jurusan pemikiran politik islam fakultas...
TRANSCRIPT
KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF
AHMADIYAH
Oleh :
AHMAD HUDORI NIM: 204033203106
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M/1430 H
KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Ahmad Hudori
NIM. 204033203106
Pembimbing
Drs. Agus Nugraha, M. Si
NIP. 150 262 447
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH”,
telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 Maret 2009.
Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 02 Maret 2009
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A
NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Sirajuddin Aly, MA. Dr. Yusron Rozak, MA.
NIP. 150 318 684 NIP. 150 216 359
Pembimbing,
Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 299 478
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 02 Maret 2009
Ahmad Hudori
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas untuk pertama kali diucapkan selain untaian kata
syukur kehadirat Illahi Rabbi – Allah SWT – , atas semua kasih sayangNya, cinta,
dan limpahan rahmatNya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
junjungan kita yang agung pula, yang telah memberi banyak pelajaran hidup
kepada kita, Rosulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Amin.
Rasa syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan pada sang Robbi, Jika air
mata ini harus tertumpah; jika raga ini harus tersungkur, dan jika jiwa ini harus
berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada
Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi yang penulis beri
judul “Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah” Sebagai sebuah karya,
rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa apabila di dalamnya tidak
merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku
Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Drs.Agus Nugraha,M.Si selaku Dosen Pembimbing atas semua
dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan
selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran
Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu
dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
7. Sebesar-besarnya kebanggaan penulis persembahkan kepada orang tua,
Ayahanda, H. Achfas HM dan Ibundaku (Alm) Hj. Rodemah yang
telah melahirkanku dan mengorbanakan hidupnya untuk membesarkan
penulis sehingga menjadi orang berguna bagi diri sendiri dan mudah-
mudah bagi agama dan negara. Dan Ibu Hj. Syamsiyah yang selama ini
telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada kak. Nurjanah, Kak. Nurmala Sari. Yang telah memberi
dukungan dan moril. dan kepada abangku Wahid Hilmi, Lukman
Hakim, M. Khoirul Anam. Kepada bang. Ardi dan kak. Anis yang tak
ada hentinya memberikan nasihat dan dukungan semoga Allah
meberikan balasan yang setimpal kepada seluruh keluarga kenanga.
Amiiiiiiiiiiiiiiiin……..
9. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Freedom
Institute, dan Perpustakaan Nasional Replublik Indonesia, yang banyak
memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur.
10. kepada seluruh keluarga besar KH. Syamsul Marif yang telah
mendoakan penulis untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala
cobaan.
11. Kepada kekasihku SYARIFAH-AHMAD, untukmu cinta, doa dan
sayang,kaulah yang akan selalu memberikan inspirasi, motivasi, dan
semangat kepada penulis untuk selalu tenang dalam menghadapi
bahtera kehidupan. Semoga cinta kita menjadi yang sejati dan hakiki
dimata Allah SWT. Amiiin….
12. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004, Tsani,
Sofian,Pojess, Iskak, Mucin Alatas yang telah membantu dalam tim
suksek dalam selesainya skripsi ini , Yusuf Fadli, Zulfikar, Indra, Rei,
Isti, Buhari, Tohid, Sa’di, Aziz, Fadil, Galo, Iin Solihin, Asep, Awe,
Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang
menjadi sumber inspirasi penulis.
13. Kepada teman satu kostan, Tsani, Sofian, Iskak, Ahmad. Terimakasih
atas tranformasi pengalaman, ilmu pengetahuan, perubahan sudut
pandang, kebersamaan dan banyak hal lain yang tidak dapat penulis
temukan sebelumnya.
14. Teman-teman alumni El-Masyhar 2004, yang telah memberikan
masukan, terutama Haidar Ali. Dan warnet El-Tajir makasih banget
atas internet geratisan, semoga rame terus. Amiin.
15. Tentunnya banyak pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
disini, yang telah memotivasi dan meberi membantuan dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini dan selama penulis menempuh
perkuliahan.
16. Sepinya suasana malam, cinta, gemintang, rembulan, lampu-lampu
jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu setia
menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat.
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
Ciputat, 02 Maret2009
Ahmad Hudori
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………… 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………. 11
D. Metode Penelitian …………………………………………. 12
E. Sistematika Penulisan ……………………………………… 12
BAB II KERANGKA TEORI ISLAM DAN POLITIK
A. Pengertian Politik …………………………………………… 13
B. Islam dan Politik …………………………………………… 17
C. Sistim Politik Islam ………………………………………… 22
D. Polemik Tentang Relasi Islam dan Politik ………………… 26
BAB III . HISTOGRAFI AHMADIYAH
A. Sejarah Awal Berdirinya Ahmadiyah ……………………… 29
B. Tokoh-Tokoh Ahmadiyah ...................................................... 32
C. Doktrin-Doktrin Ahmadiyah ……………………………….. 39
D. Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia …………………… 49
E. Perbedaan antara Ahmadiyah Qodian dan Lahore ................ 53
BAB IV. RELASI ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIAH
A. Paradigma Islam dan Politik ……………………………….. 54
B. Pemikiran Politik Islam Perspektif Ahmadiyah …………. 57
C. Relasi Islam dan Politik dalam Negara menurut Ahmadiyah 69
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………… 73
B. Saran ……………………………………………………….. 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Islam dan politik di pandang bukan saja bersifat organis
atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural di ikat oleh sistem
religius Islam yang formal. Menguatnya revivalisme agama dalam kancah
politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay –-
bahwa pembangunan politik itu biasanya ditandai dengan proses
rasionalisasi kekuasaan. 1
Salah satu pangkal pembicaraan yang tak pernah habis dibahas
adalah relasi agama dan politik. Tarik menarik antara keduanya
menghasilkan ketegangan dinamik yang tidak jarang melahirkan benturan.
Bagi penganut aliran mekanik-holistik, Islam dianggap bukan saja sebagai
gugusan dogma-dogma agama yang bersifat kaku saja, tapi juga dipahami
sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam juga
di pahami mempunyai watak omnipresent (hadir di mana-mana).
Islam hadir (dihadirkan?) di ranah politik yang seharusnya netral
dan hampa dari kepentingan kelompok manapun. Bagi penganut militan
premis ini bisa jadi mendorongnya untuk memaksakan lewat jalan
kekerasan. Ketika agama ditampilkan melalui cara yang menghalalkan
1 Burhanudian. “Carut Marut Wajah Teknis”. Artikel di akses tanggal 18 Januari 2009,
dari http://carur.marut/politikislam.html
1
kekerasan, maka tersibaklah wajah Tuhan yang menyeringai seram, penuh
dendam. Sontak A.N Wilson tertawa melihat orang yang tak mau
menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam daripada candu. Atas nama
Tuhan, FPI membakar, merusak, bahkan menjarah kafe-kafe. Atas nama
Tuhan, kedua belah pihak yang bertikai di Ambon saling menghunuskan
pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk menikam
lawan.
Tapi, di atas segalanya, relasi agama dan politik, dalam diskursus
modern hingga detik ini belum juga tuntas. Lebih-lebih Islam yang oleh
penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil dan
mutakamil. Ilmuwan sekelas Robert N. Bellah dengan civil religion, dan
Jose Casanova dengan public religion pun coba menengahi pandangan
“ekstrem” bahwa agama berkutat pada wilayah private, sementara ruang
publik harus secularized.
Persoalan yang sering kali diperdebatkan tentunya adalah apakah
Islam dan politik tak bisa di pisahkan atau memang antara agama (Islam)
harus dipisahkan dari persoalan politik. Akan tetapi, persoalan sebenarnya
bukan terletak pada perdebatan apakah Islam dan politik harus dipisahkan
atau tidak di pisahkan. Dan karena sebagian besar pemikir dan praktisi
politik Islam terpaku pada soal di pisahkan atau tidak bisa (boleh) di
pisahkannya Islam dari persoalan-persoalan keduniawian, pemikiran politik
Islam sulit beranjak pada tataran atau artikulasi yang lebih baru.
Hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari
pemikiran bahwa (1) Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan; (2) Islam
dan politik itu bisa di pisahkan; dan (3) Islam dan politik mempunyai
keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-
formalistik, tetapi substansialistik. Dan bentuk ketiga ini hampir di miliki
oleh pemikir Islam moderat seperti Nurkholis Majid, Amin Rais dan
sebagian pemikiran Islam lainnya.
Pada masa awalnya, Islam dipahami secara sederhana. Komunitas
awal masyarakat Islam berada langsung dalam bimbingan Nabi
Muhammad SAW dan para khalifah. Mereka hampir tidak pernah terjadi
keributan dan perbedaan pendapat. Kemudian setelah terjadi penyebaran
(futuhat) pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi yang
dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak
untuk melakukannya. Perkembangan pertama dan paling dominan dalam
Islam adalah masalah teologi. Namun pemikiran teologi ini bukan murni
karena masalah teologi tapi karena politik.2 Pemikiran politik yang
berkaitan atau mempunyai hubungan erat dengan teologi kemudian
berkembang berbarengan dengan perkembangan Islam dan akulturasi
kebudayaan dengan helenisme.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau
bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis,
khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk
2 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Apeknya. (Jakarta: UI Press, 1985).h.88
apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas
dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa
politik tidak dapat di pisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal
atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah
wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang
sebagian suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari
agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam
sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari
kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara
doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).3
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu
dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad
S.A.W. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai
seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin
masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran
sebagai seorang Nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh
dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci.
Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau
melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam
musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan
meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala
3 Nurkholis Majid. “Islam dan Politik Suatu Tinjauan Atas Prinsip-Prinsip Hukum dan
Keadilan”. Artikel diakses pada tanggal 20 Januari 2009, dari
http//islamdanpolktik.prinsip.nurkholis.html
negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan
ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya
merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal
itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan
pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak
diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa
beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan
tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di
pihak lain telah membuat Nabi Muhammad saw. seorang tokoh yang paling
berhasil dalam sejarah umat manusia.
Sebagaimana Rasulullah membangun negara Madinah, menarik
kita mengkonklusikan pemikiran Ahmadiyah dalam peran agama dengan
politik sebab secara teori Ahmadiyah lahir diakibatkan banyaknya
kemerosotan agama dalam hal ini Islam dalam pentas kekuatan politik yang
di tandai hancurnya kekhalifahan Turki Ustmani.
Gerakan pembaharuan dengan segala variannya muncul sejak masa
kekhalifahan Utsman bin Affan ketika menerapkan kebijakan nepotisme
dalam pemerintahannya. Ketika itu muncul beberapa golongan yang tidak
menyetujui kebijakan Utsman, ditambah lagi terjadinya pertentangan
kelompok Ali yang kurang mendukung kekuasaan Utsman. Puncaknya
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kemunculan golongan
khawarij (golongan yang keluar dari jama’ah).
Dalam konteks politik, kemunculan sektarianisme merupakan
akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan penguasa. Pada masa Bani
Umayyah, kelompok pendukung Ali disebut sebagai golongan Syi’ah
diposisikan sebagai opasisi penguasa Umayyah. Konflik yang sengit antar
firqah kian mengemuka pada masa kekuasaan Abbasyiah dengan
kemunculan golongan Mu’tazilah yang bercorak rasionalistik. Golongan ini
vis a vis berhadapan dengan faham yang disokong oleh penguasa, yaitu
Ahiussunah wal Jama’ah. Di samping itu hadir pula kalangan inkarussunah
yang berhadapan dengan ahiussunah dengan pencetus Ahmad bin Hanbal.
Kehadiran Ahmadiyah merupakan reaksi yang hampir mirip
dengan kehadiran golongan-golongan keagamaan pada awal-awal
perkembangan Islam. Sebagai gerakan pembaharuan (menurut versi
Ahmadiyah), Ahmadiyah lahir karena kekecewaan terhadap penguasa India
yang berada dibawah imperialisme Inggris.
Perkembangan Ahmadiyah dalam kontek sosial politik keagamaan
telah menjadi polemik berkepanjangan. Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiani, Mujadid abad 14 Hijriah yang bergelar
Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. yang beliau terima
pada tanggal 1 Desember 1888. Pada saat ini Ahmadiyah tersebar di seluruh
dunia, bahkan di Indonesia.
Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan
Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh
Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914,
Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud
Ahmad, putra pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih,
timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Karena
pengakuannya sebagai perwujudan Imam Mahdi bahkan Ahmad yang
tercantum dalam Qur’an Suci 61:6, maka terjadi friksi di tubuh Ahmadiyah.
Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam
Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai
Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India tetapi setelah
Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah sampai sekarang, meskipun
Khalifahnya berada di Inggris. Kemudian mereka menyebut dirinya sebagai
Jemaat Ahmadiyah.
Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut
tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah,
Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai
Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad
Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi,
dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad dalam Al-Qur’an adalah Nabi suci
Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak bai’at kepada beliau
tidaklah kafir.
Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah
Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua
muballigh, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Berkat rahmat
Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H.Minhadjurrahman
Djajasugita dkk. yang mendapat Badan Hukum Nomor 1X tanggal 30 April
1930.
Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan
puluhan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia
serta majalah-majalah. Di samping itu telah pula melahirkan Yayasan
Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai
daerah, yang menyelenggarakan pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman
Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi
Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad
(yang terpuji). Yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan.
Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban
Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap
Allah Ta'ala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw.
Kondisi Islam di India pada saat di jajah oleh Imperialisme Inggris
benar-benar menyedihkan. Di satu sisi gerakan Kristenisasi sedang gencar-
gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam
agama Kristen dan di sisi lain serangan-serangan pihak Hindu terhadap
Islam, Al-Quran dan terhadap wujud suci Nabi Muhammad Mustafa saw.
Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal daripada
Hz.Mirza Ghulam Ahmad. Beliau banyak menelaah literatur-literatur yang
berkaitan dengan agama-agama tersebut. Beliau secara personal banyak
terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di
kedua arah tersebut. Disamping itu beliau sendiri mengalami perkembangan
rohaniah. Konteks berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari pergolakan
politik di India. Oleh karena itu, Ahmadiyah bukan saja sebuah spektrum
gerakan pembaharuan keagamaan yang banyak disinyalir oleh orang,
melainkan sebagai sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama.
Tipologi gerakan politik Islam, atau setidak-tidaknyya di
kategorikan sebagai sebuah gerakan politik, menurut Din Syamsuddin
mengandung dua dimensi, pertama: bahwa kulturisasi Islam harus
ditransformasikan ke dalam dunia politik atau domain politisasi; dan kedua:
adanya upaya totalisasi ajaran Islam yang terdiri tidak hanya dari sistem
ibadah tapi juga prinsip-prinsip aqidah, syari’ah, dan jalan hidup sehingga
tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.4
Berdasarkan asumsi di atas, gerakan Ahmadiyah telah memasuki
gerakan politik Islam, atau organisasi keagamaan yang memiliki agenda
besar dalam skala nasional bahkan internasional. Selain penafsiran yang
dilakukan oleh Din Dyamsuddin, Ahmadiyah dapat di golongkan sebagai
gerakan politik karena meliputi dua hal yaitu adanya sosialisasi ajaran yang
dilakukan secara massif untuk menarik anggota Jemaat sebanyak mungkin.
Gerakan perekrutmen di upayakan melalui jalan dakwah, penyebaran brosur,
buku pamflet, pendirian Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia
(PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan
4 Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Ciputat: Logos,), h. 153
pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan
Tinggi.5
Kedua, Ahmadiyah menjalankan aktivitas sosial yang memiliki
implikasi politis terhadap kemapanan agama-agama samawi, terutama Islam.
Gejolak yang ditimbulkan dari gerakan Ahmadiyah mendatang dialektika
epistemologis yang mengerucut pada pertentangan ideologis (the clash of
ideology). Perspektif ini diambil dari konsep Samuel Huntington yang
melihat pertentangan kapitalisme dan Islam sebagai tipologi pertentangan
ideo-politik berskala global.6
Berdasarkan pandangan di atas maka diajukan judul penelitian
sebagai berikut: Islam dan Politik dalam Perspektif Ahmadiyah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat kompleksitasnya permasalahan yang akan dibahas
khususnya mengenai Ahmadiyah, maka penulis membatasi
permasalahannya mengenai relasi Islam dan Politik menurut perspektif
Ahmadiyah.
Dari pembatasan tersebut penulis merumuskan permasalahan :
a. Bagaimana relasi Islam dan politik dari pandangan Ahmadiyah?
b. Bagaimana Ahmadiyah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan
politik?
c. Apa yang melatarbelakang kelahiran Ahmadiyah di India?
5 Ahmad Shultoni, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 26
6 Samuel Huntington, Benturan Peradaban, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004), h. 68
d. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Indonesia pra dan pasca
kemerdekaan?
e. Bagaimana polemik yang muncul di tengah konstelasi kehidupan
sosial-politik di Indonesia terhadap keberadaan Ahmadiyah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pandangan Ahmadiyah tentang relasi Islam dan
politik.
2. Untuk mengetahui paradigma politik Islam Ahmadiyah.
3. Untuk mengetahui prkembangan gerakan Ahmadiyah di Indonesia
sebagai gerakan politik keagamaan.
b. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan
manfaat, antara lain :
1. Bagi Penulis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
perspektif yang baru dalam pengembangan ilmu politik kontemporer
khususnya tentang hubungan Islam dan Politik
2. Bagi. Kaum agamawan, diharapkan penelitian ini menjadi khazanah
yang mampu mendialogkan perbedaan keyakinan sebagai sesuatu yang
tidak terelakkan dalam kehidupan bernegara.
3. Bagi ilmuwan politik Islam, diharapkan hasil penulisan ini memberikan
nuansa baru dalam memahami perkembangan Ahmadiyah pada pespektif
ilmu politik Islam.
D. Metode Penelitian
Dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penulis berusaha memperoleh data-data
dan informasi melalui literature-literatur kepustakaan, majalah-majalah
maupun artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah tersebut. Dalam
pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi analisis.
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, agar lebih terarah dan terperinci
terbagi kedalam bab-bab dalam tiap sub-babnya dijelaskan secara global.
Di dalam bab I yang diawali dengan pendahuluan, ini terdiri atas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian serta sistematika penelitian.
Di dalam bab II terdiri dari pengertian politik, relasi Islam dan politik
serta sistem politik Islam
Di dalam bab III terdiri dari sejarah berdirinya Ahmadiyah, profil
Mirza Gulam Ahmad dan doktrin-doktrin Ahmadiyah, Perkembangan
Ahmadiyah di Indonesia dan Perbedaan Aliran Ahmadiyah Qodian dan
Lahore
Di dalam bab IV terdiri dari paradigma Islam dan politik, paradigma
politik Islam Ahmadiyah dan relasi Islam dan politik menurut Ahmadiyah
Dan dalam bab V terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II
KERANGKA TEORI : ISLAM DAN POLITIK
Pengertian Politik
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu.7 Pengambilan keputusan
(decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik
itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari
sumber-sumber dan resources yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk
membina kerja sama maupun untuk meyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat persuasif
(meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent)
belaka.
7 Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta:PTGramedia Pustaka
Utama,2006).cet.20.h.8 13
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat
(public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula
politik menyangkut kegiatan berbagai-bagi kelompok termasuk partai politik
dan kegiatan orang seorang (individu). Perbedaan-perbedaan dalam definisi
yang kita jumpai, disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu
aspek atau unsur dari politik saja. Unsur itu diperlakukannya sebagai konsep
pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari uraian
di atas teranglah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah: Pertama, Negara
(state), Kedua, Kekuasaan (power), Ketiga, Pengambilan keputusan
(decisionmaking), Keempat, Kebijaksanaan (policy,beleid) Kelima, Pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation).8
Sedangkan kata politik itu sendiri dan diambil dari bahasa Yunani
atau Latin “politicos” yang berarti “relating to citizen”.keduanya berasal dari
kata polis yang berarti kota. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
mengeartikan kata politik sebagai pengetahuan mengenai ketatnegaraan atau
kenegara (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Atau juga, segala
urusan dan tindakan kebijaksanaan siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan.9
Sedangkan Ramlan Surbakti mengartikan politik yaitu: Pertama,
politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan
dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang
berakaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik
8 Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.h 9
9 Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pusaka, 1998), h.125
sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima,
politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting.10
David Easton mengatakan : politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi
yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoratif (berdasarkan wewenang)
untuk dan atas nama masyarakat. Sedangkan Al Ghazali memakai kata siyasah
(politik) lebih luas dari pada makna politik dalam pengertian yang lebih
popular sekarang. Siyasah atau politik diartikan dengan segala hal ihwal,
seperti memperbaiki kehidupan makhluk Tuhan dan menunjukkan ke jalan
yang benar yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.11
Selain kata politik, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula kata
siyasah yang berasal dari bahasa Arab. Pemakaian kata siyasah jauh lebih tua
dari perkataan yang memiliki arti senada politik. Namun kepopuleran dan
keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudahnya itu. Siyasah
pada awalnya hanya mengandung arti muslihat dan segala macam usaha serta
ikhtiar untuk mencapai sesuatau atau menyelesaikan suatu perkara. Tetapi
pada akhirnya cenderung mengandung arti kenegaraan sebagai halnya
perkataan politik.
10
Ramlan Surbakti. Memhami Ilmu Politik,(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia,1992). cet.I.h. 1-2 11
Maftuhin, Prinsip Moral dalam Politik Islam (Kajian Terhadap Pemikiran al-
Gazali),(Skripsi S1, FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2005),h.17
Siyasah berasal dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari kata
sasayasusu yang mengandung arti kepemimpinan. Pelakunya disebut sa’is
berarti pemimpin yang menangani urusan rakyatnya yang mendatangkan
kemaslahatan bagi mereka. Jadi siyasah adalah ilmu memerintah, yaitu
kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Dia harus
dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan
peraturan-peraturan dalam negara.12
Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata siyasah mempunyai
arti yang berbeda dengan siasat. Siyasah mempunyai arti politik, sedangkan
siasat artinya adalah kebijaksanaan atau kecerdikan dalam menyampaikan
suatu maksud atau untuk memperoleh sesuatu. Jadi perbedaan mendasar
antara siyasah. Siasat diartikan segala macam muslihat di dalam berbagai
lapangan, yang biasa disebut “taktik”, sedangkan siyasah mempunyai arti
yang terbatas, ialah soal kenegaraan yang dinamika”politik”.
Dari penjelasan diatas sangat jelas bahwa politik atau siyasah merupakan pola
kenegaraan yang didalamnya terdapat seperangkat pengaturan sosial dalam
masyarakat.
Islam dan Politik
Dalam sejarah agama-agama, pertautan antara politik dan agama
muncul pada politik para raja dan pemimpin untuk melanggengkan kekuasaan
12 Maftuhin, Prinsip Moral dalam Politik Islam , h.22
mereka. Mereka menafsirkan dalil dan doktrin agama-agama sesuai dengan
kemauan mereka dengan tujuan untuk melindungi kepentingan politik mereka.
Dalam sejarah Islam, politisasi agama sudah berlangsung sejak awal
perkembangan Islam. Para raja dan khalifah berusaha melanggengkan
kekuasaan mereka dengan berbagai cara: menafsirkan secara politis dalil al-
Qur’an dan Hadits sesuai kepentingan para penguasa. Diantaranya adalah ayat
yang berbunyi “Taatlah kepada Allah dan para penguasa di antara kalian”.
Para penguasa menafsirkan ayat ini bahwa para penguasa harus dipatuhi apa
dan bagaimana pun cara mereka memimpin. Ayat ini kemudian oleh para
kritikus disebut “ayat al-umara” (ayat para penguasa).
Watt menggambarkan hubungan agama dan politik dalam Islam
dalam bukunya “Islamic Political Thought”. Pertama, gagasan keagamaan
menjadi semacam kerangka ideologis ketika terlibat dalam bermacam
aktivitas, sehingga aktivitas yang dilakukan memperoleh arti penting.Kedua,
agama dapat menentukan bentuk-bentuk motif Islam aktivitas yang akan
dilakukan. Adanya signifikansi agama dalam politik, diakui oleh Watt bukan
karena agama memberikan penjelasan yang sifatnya terinci terhadap semua
hal,tetapi karena agama memberikan berbagai tujuan umum kepada manusia
dalam kehiduan dan membantunya memusatkan kekuatan untuk mencapai
berbagai tujuan tersebut.
Robert N Bellah menyatakan bahwa masyarakat Islam klasik adalah
modern secara politis. Tidak lagi dipersoalkan, demikian ia menegaskan dalam
bukunya “Beyond Belief”, bahwa di bawah Nabi masyarakat Arab telah
membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dalam kapasitas
politik.Demikian juga tidak terlalu mengherankan, jika umat Islam
menjadikan sejarah politik Islam dalam periode Nabi sebagai model ideal
yang senantiasa diidamkan sepanjang sejarah Pemikiran politik Islam seperti
juga pemikiran Islam dan gerakan Islam pada umumnya dapat dilihat sebagai
hasil dari kelanjutan dan perubahan yang berlangsung dalam sejarah Islam.13
Di Indonesia, istilah Islam politik sering kali dilawankan dengan
Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang
ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik,
atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi
(eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang
hanya bergerak di bidang dakwah, pendidkan, seni dan sebagainya tanpa sama
sekali terlibat dalam politik.
Islam dan politik pertama kali digulirkan oleh kalangan Barat yang
menguasai berbagai negeri Islam, yang mengatakan bahwa Islam adalah
agama bukan negara. Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan
dengan Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai
yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai
politik, atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik
resmi (eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada
Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidikan, seni dan
sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam politik.
13 Irfan Indris. “Paradigma Pemikiran Politik Islam Modern” artikel di akses pada tanggal
22 Januari 2009, dari http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=84233
Islam berasal dari kata salam yang berarti tunduk atau berserah diri
pada Allah, atau menerima semua peraturan Tuhan sebagai petunjuk bagi
kehidupan seseorang, taat sepenuh hati, akan keadaan noda dan cela.14
Menurut Hasan al-Banna seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardhawy
mengatakan Islam adalah sesuatu yang syumul (menyeluruh), mencakup
semua aspek kehidupan dengan syariat dan pengarahannya. Islam menata
kehidupan manusia sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan
sebelum ia dilahirkan dan sesudah meninggal dunia.15
Selain itu Islam menata
kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan politik, mulai
beristinja sampai kepada pemerintahan.
Hasan Al-Banna juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang
mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan
mungkin bisa berseteru. Ketika Hasan al-Banna berbicara tentang politik
praktis pada kesempatan ini, maka yang dikehendaki adalah politik secara
umum. Yakin melihat persoalan-persoalan umat, baik internal maupun
eksternal yang sama sekali tidak terkait dengan hizhiyah (kepartaian). Ini yang
pertama.
Kedua, Takala orang-orang nonmuslim awam tentang Islam, oleh
urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya,
atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka
tidak berusaha untuk melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai
14
IAIN Syarif Hidayatillah, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Jambatan, 1992), h. 445 15
Yusuf Qardhawy, Fikih Negara: Ijtihad Baru Seputar Sistem Demokrasi Multi Partai dan
Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi dalam Pemerintahan Sekuler, terj, Syafril
Halim, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), h.18
nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha
membatasi substansi makna Islam pada lingkup sempit yang menghilangkan
semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamya. Kendati setelah itu yang
tersisa bagi kaum muslimnin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang
sama sekali tidak berguna.16
Sedangkan menurut Moh. Mufid, M.Si, ada dua pandangan berbeda
yang mengkaji masalah legitimasi dalam politik, yaitu: pertama, Barat (Eropa)
dengan ciri skularistiknya berpendapat bahwa pengakuan terhadap suatu
pemerintahan adalah pengakuan yang berasal dari rakyat. Artinya, ketika
seseorang dalam sebuah pemilihan umum secara mayoritas memperoleh suara
terbanyak, maka sejak itu pula ia berhak memperoleh tampuk kekuasaan.
Kedua, legitimasi kepemimpinan/kekuasaan dalam perspekitf
pemikiran politik Islam berbeda dengan Barat. Bagi kelompok ini legitimasi
berasal dari dua sumber, yaitu Tuhan dan manusia. Yang pertama menjadi
keyakinan syiah, bahwa kepemimpinan itu berasal; dari Tuhan, karenanya
mempunyai sifat dan fungsi keagamaan dan ditransmisikan lewat keturunan
Nabi Muhammad lewat jalur Ali bin Abi Thalib. Yang kedua merupakan
preferensi Sunni yang memandang bahwa kepemimpinan merupakan hasil
kesepakatan masyarakat (ijma’) melalui para elit.17
Moh.Mufid,M.Si juga memandang hubungan agama dan politik
(negara) dengan tiga paradigma. Yaitu : Pertama, paradigma integrative,
16
Hasan Al Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Terj. Anis Matta, LC.et.all
(Surakarta:Era Intermedia, 1999). h.70 17 Moh. Mufid, M.Si, Politik Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Press,2004), h.10
kedua, paradigma simbiotik, dan ketiga,paradigma instrumental. 18
Dalam
paradigma pertama dan kedua hubungan agama dan politik (negara)
merupakan hubungan kemitraan yang saling membutuhkan antara keduanya
tidak dapat dipisahkan, dalam pengembangan dan eksistensi suatu negara,
agama sering dijadikan faktor penentu yang paling dominan. Karenya, baik
keberadaan agama maupun politik (negara) dalam prakteknya saling
melengkapi kebutuhan satu salam lain. Sementara dalam paradigma yang
terakhir, agama hanya sebatas menjadi pelengkap kebutuhan suatu negara
begitupun juga sebaliknya.
Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum
muslimin bahwa Islam adalah sesuatu, sementara masalah sosial adalah
sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah
sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi sesuatu
yang lain, yang tidak ada hubunganya sama sekali. Islam adalah sesuatu dan
peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada
jarak yang jauh dari politik.
Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam
tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-
Ghazali yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama.
Karena pegangan dari semua ilmu itu ialah ajaran kitab-kitab suci yang
diturunkan Tuhan kepada para Nabi dan ucapan-ucapan yang ditinggalkan
oleh orang-orang yang suci.
18 Moh. Mufid, M.Si, Politik Dalam Perspektif Islam, h.44
C. Sistem Politik Islam
Berbicara tentang sistem politik islam, para pengamat Islam telah
menulis sejumlah buku tentang teori politik islam dalam beberapa topik,
seperti : sistem pemerintahan, hubungan pemerintah dengan rakyat dan jenis
kekuasaan dalam islam (batasan dan tugas-tugas).19
Agaknya sudah merupakan kebiasaan orang-orang tertentu untuk
agak menyamakan Islam dengan salah satu sistem kehidupan tertentu atau
sistem kehidupan lainnya yang dewasa ini tengah menjadi wacana
kontemporer. Ada yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah demokrasi,
dan yang mereka maksudkan dengan ini adalah bahwa tidak ada perbedaan
antara Islam dengan demokrasi yang kini tengah naik daun di barat. Beberapa
orang lainnya menyatakan bahwa komunisme tidak lain merupakan versi lain
dari Islam yanag telah direvisi dan sangatlah cocok bagi kaum muslim untuk
meniru eksperimen-eksperimen komunis soviet rusia. Yang lainnya lagi
membisikan bahwa Islam mengandung unsur-unsur kediktatoran dan kita
harus membangun kembali adat “taat kepada amir (pemimpin)”.20
Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya
Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a
religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem).
Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat
19
Empan Supandi. Islam dan Politik (Kajian Tentang Pemikiran Politik Al
Ghazali.”,(Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri,Jakarta,,
2006),h.16-26 20
Abu A’la Al Maududi. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. terj. Drs.Asep Hikmat
(Bandung : Mizan,1995). Cet.IV. h.144
Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha
memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun
atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis
lainnya, yang berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar agama, ia
mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan
yang lebih sederhana Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang
mencakup agama dan negara secara bersamaan. Dengan demikian, seperti
yang di kemukakan oleh H. A. R. Gibb, jelaslah bahwa Islam bukanlah
sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya
suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri
dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi.
Pendapat dari para orientalis tersebut diperkuat oleh fakta-fakta
sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama
kaum Mukmin di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan
variabel-variabel sistem politik modern, maka dapat dikatakan bahwa sistem
itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tidak disangkal jika
dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan motif-
motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Sebagai sebuah sistem politik dalam perjalanan sejarahnya Islam
diwarnai dengan dinamika pemikiran politik, seperti halnya perjalanan
sejarah pemikiran politik agama-agama lain. Pemikiran politik Yahudi,
Kristen, dan juga Islam tidak terlepas dari unsur kesejarahannya. Teori-
teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian
proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan
diteorisasi secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat
sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan
Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan
perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan
kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang
sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di
negara-negara yang menjadi perhatian mereka.
Mustafa Muhammad dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran
Menuju Gerakan Islam, mengatakan bahwasanya sistem politik Islam adalah
suatu sistem yang bertolak dari kaidah-kaidah umum, yakin kebebasan,
kesetaraan, keadilan, dan supremasi hukum. Juga konsistensi terhadap
pemilihan pemimpin, dan bahwa pemerintah adalah pelaksana hukum dan
perundang-undangan, pelindung agama dan bertanggung jawab terhadap
rakyat. Di antara rakyat adalah memberi nasihat, mengevaluasi, memecat dan
menggantinya, jika diperlukan. Sistem politik harus ditegakkan di atas prinsip
syura, dan syura menjadi sesuatu yang harus ditegakkan oleh penguasa.21
Abu A’la al-Maududi mengatakan bahwasanya sistem politik Islam
merupakan suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan
suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan suatu sistem
21
Mustafa Muhamad, Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern, (Solo: Era
Intermedia,2000), cet ke-1, h. 47
politik Islam yang ditegakan oleh rasul. Aspek-aspek lain berkisar
disekelilingnya. Akidah inilah yang menjadi landasan pijakan dan paradigma
teori politik Islam. akidah juga merupakan dasar undang-undang politik Islam
yang telah melahirkan bentuk ketahanan politik dan hukum ciptaan manusia,
baik secara individu (ijtihad fardli) maupun kelompok (ijtihad jam’I). Namun
seseorang tidak mempunyai otoritas dalam memeaksakan kehendaknya yang
menginginkan ijtihadnya diikuti dan dipatuhi. Pembuatan hukum Islam mutlak
menjadi hak Allah, dan tidak ada campur tangan manusia.22
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasannya al-Maududi
dalam menjelaskan tentang sistem politik Islam adalah suatu sistem yang
bermuara pada ketentuan (undang-undang)yang terdapat dalam al-Qur’an.
Al-Nabani mengatakan bahwasannya sistem politik Islam adalah
sistem yang membicarakan tentang kekhalifahan dan konsep-konsep
pemerintahannya. Konsep pemerintahan Islam adalah sistem ”khilafah”, yang
mempuyai pola yang unik yang berbeda dari pola pemerintahan lainnya.
Syariat yang diterapkan untuk mewujudkan pemerintahan. Pengaturan urusan
rakyat dan hubungan luar negerinya, berasal dari Allah Swt. Syariat tersebut
bukan dari rakyat, bukan dari beberapa orang, atau seseorang. Sedangkan ciri-
ciri khas khliafah yang menurut as-Sanhuri, ialah prinsip kesatuan umat.
22
Abul A’la al-Mandudi, Politik Alternatif: Suatu Perspekif Islam, (terjemahan),
(Jakarta:Gema Insani Press, 1994), Cet. Ke-11, h. 35
D. Polemik Tentang Relasi Agama dalam Konteks Negara-
Bangsa
Perdebatan antara relasi agama dalam konteks negara adalah sebuah
perdebatan panjang yang melelahkan. Diskursus politik kontemporer pun
tidak terlepaskan dari perdebatan tersebut, antara pihak yang memisahkan
agama dari politik, dan menjadikan agama sebagai jiwa spiritual penentu
aturan moral kemasyarakatan dan konstitusi.
Ada golongan yang memandang agama sebagai sebuah ajaran yang
bersifat universal, sehingga konteks kehidupan politik harus dijiwai oleh nilai-
nilai agama. Golongan ini disebut dengan formalisme yakin sebuah aliran
yang berpandangan Islam harus menjadi landasan kehidupan bernegara, Islam
menjadi basis konstitusional negara. Praktek-praktek dalam konteks
ketatanegaraan harus dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Tidak ada tempat buat
faham sekulerisme. Tokoh-tokoh yang mengusung tema besar ini adalah
M.Natsir dari Masyumi.
Ada juga golongan yang memandang bahwa agama harus dipisahkan
dari negara. Alasannya sederhana, bahwa wilayah agama adalah wilayah
private (pribadi) karena menyangkut keyakinan akan nilai-nilai supranatural.
Sedangkan wilayah negara adalah domain publik yang membutuhkan
kesepakatan bersama berlandaskan rasionalitas, kemakmuran, dan keadilan.
Perbedaan wilayah publik dan privat menjadi keharusan adanya pemisahan
yang tegas yang cenderung bersifat sekularistik.
Golongan lain adalah menjadi penengah di antara kedua arus besar
tersebut yang bercorak nilai substansialistik. Artinya, golongan kedua ini
membutuhkan ajaran agama sebagai asas moralitas dan etika dalam konteks
politik kenegaraan. Biarpun tidak dilegalkan secara formal, namun nilai-nilai
agama melandasi setiap keputusan hukum, Undang-undang, bahkan ideologi
negara.
Dalam sejarah pembentukan negara modern Indonesia, polemik
seputar kedudukan agama dalam sistem politik kenegaraan terjadi antara
Soekarno yang mewakili kaum nasionalis dengan Natsir dari golongan
agama.23
Perdebatan itu muncul sekitar tahun 1930.
Berbicara singkat tentang hubungan Islam dan negara, Natsir
mengatakan bahwa agama lain dijamin hidupnya dalam suatu negara Islam. Ia
berseru kepada golongan kebangsaan agar kembali ke dalam lingkungan
Islam, apalagi karena bagian terbesar mereka adalah orang Islam.24 Ia
meragukan adanya jaminan perlindungan terhadap Islam dalam suatu negara
yang pemerintahannya dipegang oleh negara yang netral atau dibawah kendali
non-Muslim.
Sedangkan soekarno menekankan bahwa landasan kebangsaan
berdasarkan pada nasionalisme yang luas yang meliputi semua golongan
Islam, kristen, Hindu, Buddha dengan berasaskan konstitusi modern legar-
formal, bukan berasaskan kepada ajaran agama Islam. Rujukan Soekarno
adalah berdirinya negara modern Turki dengan Kemal Attaturk yang menjadi
23
Perdebatan panjang tersebut dapat dilihat dalam karya Deliar Noer, Gerakan Moderen
Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 296-311 24 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 299
pioner. Soekarno mengganggap tidak ada ijma’ ulama yang mengenai
persatuan agama dengan negara, dan ada juga yang mengatakan agama dan
negara terpisah karena memiliki dimensi yang berbeda.25
Zaid Sakhir menjelaskan posisi agama dalam negara dengan
argumentasi apakah Islam sebuah agama atau ideologi.26 Sebaggai sebuah
agama Islam meliputi aspek keyakinan, peribadatan, moralitas, aturan
kemasyarakatan, dan aspek-espek yang lainnya dalam skala yang lebih luas.
Namun di sisi lain, sebagai salah satu agama terbesar di dunia, Islam
dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila menghadirkan teori yang dapat
diterpakan yang bersifat lengkap dan universal bagi umat manusia. Ia berkata:
Islam is indeed an ideology as it presents a “complete and universally
applicable theory of man and society.” However, the relevant realm of
action and thought for an ideology is the political, as Scruton points out.
This limitation to the political realm marks where Islam parts with ideology. Islam is not simply concerned with man’s political condition; it
is also concerned with his spiritual condition, and at the heart of the Islamic call is a normative program for spiritual salvation.27
Secara umum hubungan antara Islam dan Negara serta politik dapat
dibedakan kepada tiga golongan: Pertama, golongan formalistik yaitu
golongan yang ingin menjadikan Islam sebagai sebuah konstitusi resmi
Negara, tidak sebatas jargon tetapi ditempatkan sebagai aturan hukum
tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Golongan Hizbut Tahrir, M. Natsir, dan
tokoh-tokoh Masyumi lain; Kedua, golongan substansialistik, bagi golongan
ini yang terpenting bukan menjadikan agama sebagai legal-formal dalam
konteks Negara, melainkan sebuah upaya gerakan –meminjam istilah Quraish
25
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 303 26
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, Zaituna Institute terbit 25 Juli 2006, h. 2 27 Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, h. 4
Syihab “membumikan Al-Qur’an”—kulturisasi nilai-nilai keIslaman yang
tertanam kuat di tengah masyarakat. Tokoh penganjur utama adalah Gus Dur,
Amien Rais, NU, Muhammadiyah, Cak Nur; dan ketiga, golongan
fundamentalis, yaitu yang mengidolakan kondisi Madinah sebagai bentuk
Negara ideal dalam struktur Negara bangsa modern. Kebanyakan golongan ini
lebih bergerak di bawah tanah seperti NII atau juga Ahmadiyah.
BAB III
HISTOGRAFI AHMADIYAH
Sejarah Berdirinya Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah adalah gerakan Islam yang di dirikan oleh Mirza
Gulam Ahmad pada tahun 1889 M bertepatan dengan tahun 1306 H.
Ahmadiyah adalah sebutan singkat dari Jemaat Ahmadiyah. Jemaat berarti
kumpulan individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program
bersama. Ahmadiyah adalah nama dari Islam, jadi Ahmadiyah adalah suatu
perkumpulan, himpunan atau organisasi yang bersatu padu dan bekerja untuk
suatu program yang sama, yaitu Islam. Ahmadiyah diambil dari salah satu
nama Rosulullah yang diinformasikan kepada Nabi Isa a.s dalam Surat As-
Shaf ayat enam yang menyatakan bahwa akan datang seorang Nabi dan Rosul
yang bernama Ahmad.
Kemunculan Ahmadiyah di India merupakan salah satu bagian dari
peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak terlepas dari konteks sosial pada saat
itu. Kemunduran dunia Islam yang ditandai oleh runtuhnya kerajaan Ustmani
1683. Sementara di Barat perkembangan ilmu pengetahuan dan industri
semakin berkembang pesat, yang ditandai dengan berbagai macam penemuan
yang antara lain ditemukannya alat tranportasi dengan menggunakan tenaga
uap pada tahun 1902 M dan penemuan-penemuan yang lainnya. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyebabkan Barat semakin
melebarkan kekuasaan kolonialnya kedunia yang pernah dikuasai oleh Islam.
29
Seperti Inggris dapat menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai
Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Barat lainya menduduki bekas Imperium
Islam.
Kerajaan Islam yang menguasai anak benua India adalah kerajaan
Mughal (1526-1858 M) yang saat itu sedang menuju kehancuran. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, melemahnya pemerintahan karena
dekadensi moral dan polah hidup mewah para pejabat pemerintah pasca
Aungrazeb. Kedua, adanya pemberontakan yang dilakukan secara terus
menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India. Walaupun India berada
dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi mayoritas
penduduknya masih beragama Hindu, sebagain lain beragama Kristen, Budha,
Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang dipimpin Guru Tgh
Bahdur dan Guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga mengadakan
pemberontakan dibawah pimpinan raja Udaipur, sedangkan golongan Maratah
di pimpin Sivaji dan anaknya yang bernama Sambaji. Pada masa pemerintahan
raja Bahdur Syah juga terjadi pemberontakan dari golongan Sikh dibawah
pimpinan Bandah yang berhasil merampas kota Sadhaura di sebelah utara
Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap penduduk
yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratah yang
dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M.
Ketiga, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak Abad ke 15,
terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan
Munity 1857 M. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan East India
Company, dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu keoloninya
yang terpenting di dunia. Dengan runtuhnya kerajaan Mughal di India maka
secara otomatis runtuh pula kekuasaa Islam dan inilah periode kemerosotan
ummat Islam. Secara otomatis dengan berkuasanya Inggris di India maka
sistem pemerintahannya pun berganti dan masuknya kebudayaan Eropa
kedalam India.
Pada masa India berada dalam kekuasaan Inggris terjadi gerakan misi-
misi Kristenisasi yang terjadi hal ini bukan hanya di India akan tetapi di
seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M, khususnya ketika British
and Foreign Society terbentuk.28
Kelompok Kristen menetapkan pada tahun
1813-1815 M sebagai The Great Century of World Evangelization (Abad
Agung Penginjilan Dunia), dimana anak benua India merupakan sebuah
sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan penginjilan atau
kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk kedalam agama Kristen melalui
gerakan missionaris Kristen. Ketika terjadi pergerakan Kristenisasi di India
kondisi umat Islam semakin mengalami kemunduran, kelompok Neo-Hindu
bermunculan, diantara yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya
Samaj merupakan gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama
Hindu dan menampilkan sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang
pemahaman-pemahaman Hindu Brahma yang ortodoks dan sering
melancarkan serangan besar-besaran terhadap ajaran Kristen dan Islam.
28 Husain bin Abu Bakar Al-Habsyi, Ahmadiyah Qadian dan kekafiran.hal. 45
Gerakan ini sudah berkembang dari tahun 1819 M yang dipimpin oleh Swami
Dayananda Saraswati yang diberi gelar Hindu Luther oleh para penentangnya.
Kondisi umat Islam India pada saat itu, mengalami dekadensi moral
dan sekaligus kemunduran dari segi intelektualitas. Sering terjadi perpecahan
dalam diri umat Islam sendiri disebabkan oleh perbedaan-perbedaan
pandangan. Di tengah keadaan sosial dan politik India seperti di atas tadi
Ahmadiyah di lahirkan dengan berorientasi pada pembaharuan pemikiran dan
juga sebagai protes terhadap gerakan kaum misionaris Kristen dan juga
sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawah oleh
Sayyid Ahmad Khan yang merupakan pelopor menerapkan ide-ide
pembaharuan demi kemajuan umat Islam di India dengan Aligarh-nya.
Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental Colloge yang kemudian menjadi
Universitas di India.
Orientasi kelahiran Ahmadiyah adalah pembaharuan pemikiran ummat
Islam. Pendiri Ahmadiyah Mirza Gulam Ahmad merasa memiliki tanggung
jawab besar yang harus dia pikul untuk memajukan Islam dengan memberikan
interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan zamannya,
dengan menulis kitab yang dijadikan rujukan utama setelah Al-Qur’an nomor
dua yaitu Tadzkirah.
Tokoh-tokoh Ahmadiyah
Mengingat aliran bernama Ahmadiyah ini telah memunculkan
kontroversi tidak saja di Anak Benua (India-Pakistan), bahkan di Afrika dan
Eropa, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya termasuk Indonesia, maka
menelisik tokoh sekaligus pendirinya jelas sangat penting. Dari perspektif
historis, gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada paruh
akhir tahun abad ke-19 M. jauh hari sebelum terjadi pemisahaan Anak Benua
yang sekarang menjadi Pakistan.
Mirza Ghulam Ahmad lahir pada saat shubuh, bertepatan pada hari
Jum’at tanggal 13 Februari 1835 M yang dalam kalender Islam tepat pada 14
Syawal 1250 H di Qadian India.29
Qodian adalah sebuah desa yang terletak di
distrik Gurdaspur Punjab India, Jaraknya 100 km disebelah Timur laut kota
Lahore. Asal usul kata Qadian berasal dari nenek moyang Mirza Gulam
Ahmad yang bernama Mirza Hadi Beg yang diangkat sebagai qadhi (hakim)
maka tempat itu disebut Islampur Qadhi yang dalam perkembangan
selanjutnya hanya terkenal dengan Qadhi berubah manjadi Qadian ini karena
logat daerah tersebut.
Mirza Gulam Ahmad ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha yang
meninggal pada tahun 1876, merupakan seorang tabib yang sangat terkenal.
Ibunya bernama Ciraagh Bibi, sedangkan kakeknya adalah Mirza Atha
Muhammad bin Mirza Gul Muhammad adalah keturunan Haji Barlas.30
Yang
berasal dari keluarga Moghul. Haji Barlas adalah raja kawasan Qesh yang
merupakan paman Amir Tughlak. Ketika penyerangan terjadi Haji Barlas
sekeluarga terpaksa mengungsi ke Khurasan dan Samarkhan yang kemudian
29
A. Nahdi, Sejemput Riwayat dan Mukjizat Pendiri Ahmadiya., (Jakarta: Raja Pena,
2001).h. 4 30
Basyiruddim Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz
Ahmad Khan. (Parung: Jamaah Ahmadiyah Indonesia, 1995).h. 2.
menetap disana. Pada tahun 1503 M seseorang keturunan Haji Barlas yang
bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 pengikutnya hijrah dari Khurasan ke
daerah Gurdashpur di Punjab yang letaknya 70 mil sebelah Timur Lahore
sekitar kawasan sungai Bias dengan mendirikan perkampungan yang bernama
Islampur.
Dalam bidang pendidikan Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah
menerima pendidikan formal karena dengan situasi sosial dan poltik pada saat
itu di Qadian belum ada sekolah formal. Ia mulai mendapat pendidikan ketika
berusia 6-7 itu pun belajar atas keinginan dari ayahnya untuk memberikan
pendidikan kepada anaknya dengan memanggil seorang guru bernama Fazal
Ilahi untuk belajar membaca Al-Quran, serta beberapa kitab bahasa Parsi yang
bermuatan pendidikan agama Islam.31
Ketika dia berusia 10 Tahun ayahnya
mempekerjakan seorang guru yang bernama Fazal Ahmad untuk mengajar
nahwu dan sharaf.32 Pada saat ia berumur 17 tahun ayahnya kembali
memanggil seorang guru bernama Gul Ali Syah untuk memberikan pengajaran
kepada Mirza Ghulam Ahmad dengan pelajaran Ilmu Mantiq (Logika). Ilmu
tentang pengobatan ia pelajari sendiri kepada ayahnya langsung.
Pada masa ia telah menyelesaikan pendidikan non-formal, dan
stabilnya politik dalam negeri India dengan ditandai tidak adanya
pemberontakan-pemberontakan menentang kolonialisme Inggris, banyak
warga yang ingin memperbaiki kehidupan khususnya dalam bidang ekonomi
dengan bekerja kepada kolonilisme Inggris, demikian juga kelurga Mirza
31
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, (Jakarta : RM Books, 2006).h.39 32
skripsi lihatIhsan Ilahi Zakir, A-Qadaniyah dan I’tiqadnya,terj. Asmuni Dalam Mengapa
Ahmadiyah dilarang. (Jakarta: Darul Falah, 2006).h. 152.
Ghulam Ahmad yang dari semula sudah bekerja untuk pemerintah Inggris di
India maka anaknya pun Mirza Ghulam Ahmad pada usia 29 tahun dia bekerja
pada pemerintahan Inggris di kantor Bupati Sailkot. Setelah empat tahun
bekerja dia dipanggil ayahnya kembali ke kampung halaman untuk menekuni
pekerjaan dalam bidang pertanian. Akan tetapi tidak lama dia menggeluti
bidang pertanian, merasa tidak cocok dengan apa yang dia kerjakan. Mirza
Ghulam Ahmad menghabiskan waktunya dengan mengkaji Al-Quran,
menelaah buku, mengajar, dan berdiskusi tentang agama.33
Pada tahun 1875, Mirza Ghulam Ahmad merasakan kesedihan dengan
melihat golongan Hindu, Nasrani, Sikh, dan golongan lainnya yang
melancarkan serangan kepada Islam. Mirza Ghulam Ahmad melakukan
Mujahadah atau menjalani disiplin asketis dengan melakukan puasa selama 6
bulan berturut-turut. Tujuannya adalah untuk bertawajjuh kepada Allah
dengan media puasa, sholat tahajjud, dan semakin mendalami ajaran Islam.
Dengan memiliki modal dan kekuatan hati Mirza Ghulam Ahmad
dapat memberikan jawaban dan sanggahan terhadap argumentasi kelompok
lain yang mendiskreditkan Islam. Kemudian hasil buah pikirannya ia
publikasikan dalam bentuk artikel di media massa. Puncaknya pada tahun
1880 M, Ghulam Ahmad banyak menulis karyanya lebih dari 86 karya ilmiah
yang telah ia ciptakan.
Ketika dia berusaha semakin mendalami ajaran Islam, dia dihadapkan
pada kesedihan dengan meninggalnya ayahnya pada tahun 1876 M. akan
33 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.
tetapi hal itu tidak mengurangi produktifitas dalam menulis sebuah gagasan.
Karya Mirza Ghulam Ahmad yang sangat monumental adalah Barahin
Ahmadiayah yang berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran ummat
Islam dibanding dengan ajaran-ajaran agama-agama lainnya. Dengan buku itu
maka terjadi pro-kontra dalam kalangan umat beragama India. Tidak seperti
halnya di kalangan non-muslim yang menimbulkan berbagai polemik dan
perbedaan sengit, akan tetapi dikalangan umat Islam sendiri kehadiran buku
tersebut disambut dengan suka cita, karena telah dianggap membela ajaran
Islam dari serangan serangan yang selama ini dilancarkan oleh berbagai pihak,
khususnya dari kalangan neo-Hindu (Arya samaj dan Brahma Samaj), dan
Nasrani. Salah seorang ulama ahli hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain
Batalwi, menulis dalam bukunya Isyaat as Sunnah jilid VII, no 6-10, halaman
169-170 dan Swanah Fazl Umar Jilid I, Halaman 20:
Menurut pandangan kami, Pada zaman sekarang dan sesuai dengan
kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa yang mana sampai saat ini tidak ada bandingannya telah ditulis dalam Islam,
dan tidak ada kabar di masa mendatang karena Allah lah yang lebih mengetahui kejadian setelah ini. Penulisannya pun dalam hal
memberi bantuan terhadap Islam dari segi harta, jiwa, tulisan
maupun lisan, dan langkah-langkahnya adalah sangat teguh dan
kokoh karenanya, sangat sedikit sekali diketemukan contoh seperti
dirinya biarpun dari kalangan umat Islam terdahulu.34
Dengan terbitnya buku Barahin Ahmadiyah yang didalamnya ada
pendakwaan Ghulan Ahmad sebagai Mujahid abad ke 14 M. berdasarkan
ilham-ilham yang diterimanya, maka pada tahun 1883 banyak dari kalangan
umat Islam yang berkeinginan untuk melakukan bai’at (janji setia) menjadi
34
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan. (Jogjakarta: Lkis 2005).h.
36
muridnya, tetapi Ghulam Ahmad sendiri menolak dengan alasan belum
mendapatkan ilham (Mandat) dari Allah untuk menerima bai’at dari orang-
orang. Selanjutnya, berdasarkan ilham yang sudah ia terima pada tahun 1888
M untuk pengambilan bai’at, maka pada tanggal 23 Maret 1889 M. Sebanyak
40 orang melakukan bai’at pertama di tangan Ghulam Ahmad yang
dilaksanakan di rumah Mia Ahmad Jaan, Ludhiana, India.35
Setelah Mirza Ghulam Ahmad mangkat pada 26 Mei 1908, maka
estafet gerakan Ahmadiyah dilanjutkan oleh pengikut setianya, Maulana
Hakim Nuruddin yang dianggap sebagai khalifah Masih I (1908-1914).9
Sebelum kematiannya pada tanggal 13 Maret 1914 ia mengangkat anak
sulung Mirza Ghulam Ahmad yakni Hazrat Basyiruddin Mahmud Ahmad
sebagai khalifah Masih II (1914-1965). Pada masa kekhalifahannya dimulai
penyebaran Ahmadiyah ke Indonesia yang dibawa oleh tiga pemuda asal
Minangkabau yaitu Ahmad Nurdin, Abubakar Ayub, Zaini Dahlan.
Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah
adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman
Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat
Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.,
Masih Mau’ud. Bukan hal yang aneh ketiga pemuda itu segera baiat di tangan
Hadhrat Khalifah Masih II r.a.. Hadhrat Haji Mirza Basyruddin Mahmud
Ahmad r.a., peristiwa baiat ketiga pemuda itu akan mengubah wajah
masyarakat Islam Indonesia di masa yang akan datang.
35
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan ,h. 37 9 Husain bin Abu Bakar Al-Habsyi,Ahmadiyah Qadian dan kekafiran,hal.17
Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah
Ahmadiyah. Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi berkat
karunia Tuhan yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di
Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di
Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh
tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga
pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk
ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah orang indonesia yang pertama baiat ke dalam
Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. pergi ke Inggris untuk
menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan
kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat,
para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia,
mendapatkan karunia dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya.
Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dalam
suatu jamuan teh, yang didalamnya (alm) Haji Mahmud – juru bicara para
pelajar indonesia – menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab,
mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul
Masih II r.a. telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat
Khalifatul Masih II r.a. berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia.
Hadhrat Khalifatul Masih II r.a menjawab dalam Bahasa Arab bahwa mereka
jangan khawatir dan berduka cita, karena itu adalah tanda-tanda ornag-orang
tidak beriman. Dan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a meyakinkan mereka
bahwa karena Hadhrat Masih Mau’ud r.a adalah Zulqarnain (yang memiliki
dua tanduk), satu mengarah ke barat dan yang lain mengarah ke timur, maka
pesan Hadhrat Masih r.a juga meyakinkan mereka bahwa meskipun beliau
sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau
ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat II r.a. dikirim sebagai
muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Pada hari yang dibasahi
hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a,
Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. memimpin pelepasan
(alm) Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat ke Indonesia. Pondasi
perkembangan Ahmadiyah di Indonesia telah diletakkan.
Kemudian kekhalifahan berpindah kepada Mirza Nasir Ahmad,
khalifah ketiga (1965 – 2003), sebagai khalifah III. Pada khalifah ketiga inilah
yang pertma kali berkunjung ke Indonesia dan diterima langsung oleh
Presiden Abdurrahman Wahid pada waktu itu. Setelah itu kekuasaan beralih
ke tangan Mirza Masroor Ahmad (2003 – sekarang).
Saat itulah dinyatakan sebagai peletak batu pertama berdirinya
organisasi al-Jamaah al-Islamiyah Ahmadiyah (Jamaah Islam Ahmadiyah).
Doktrin-Doktrin Ahmadiyah
1. Masalah Kenabian
Ahmadiyah secara teologis, memiliki banyak doktrin yang dijadikan
landasan dalam keyakinan para pengikutnya. Akan tetapi doktrin-doktrin
Ahmadiyah bukanlah doktrin pokok dalam ajaran tersebut. Beberapa
doktrin Ahmadiyah yang dianggap tidak paralel dengan umat Islam pada
umumnya, termasuk pemahaman para ulama. Doktrin-doktrin yang
dikategorikan sebagai doktrin terpenting di kalangan Ahmadiyah, antara
lain yaitu tentang kenabian, al-Mahdi dan al-Masih, Wahyu, khilafah, dan
jihad. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis akan uraikan.
Masalah Kenabian
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa telah terjadi
perpecahan di dalam tubuh Ahmadiyah sehingga terbentuk dua kubu yaitu
Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore akibat beberapa perbedaan
pandangan tentang doktrin yang mereka anut. Salah satu dari doktrin
tersebut adalah mengenal pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad sebagai
Nabi. Maka ketika berbicara mengenai kenabian, akan terlihat jelas
perbedaan argumen yang dikumandangkan oleh masing-masing kelompok
tersebut.
Sedangkan istilah nabi sendiri berasal dari kata naba’ yang berarti
membawa kabar gaib, juga berarti ramalan tentang peristiwa yang akan
terjadi. Sedangkan menurut Ahmadiyah, istilah nabi secara syar’i hanya
diterapkan kepada manusia pilihan Allah dan ia diutus untuk
menyampaikan perintah Allah kepada manusia. Ia juga disebut rasul
(utusan Allah). Dengan demikian, semua nabi adalah rasul dengan kata
lain, nabi dan rasul adalah satu, tidak berbeda. Mengenai nabi dan rasul,
golongan Ahmadiyah Lahore memberi penjelasan berbeda, bahwa semua
nabi itu utusan Allah dan semua nabi adalah rasul. Bedanya, kata nabi
hanya diterapkan kepada manusia, sedangkan kata rasul selain diterapkan
kepada manusia juga diterapkan kepada malaikat. Dasar yang dipakai oleh
kelompok ini adalah firman Allah surat al-Hajj (22):”Allah memilih para
utusan dari kalangan Malaikat dan dari manusia”.
Adapun menurut pandangan Ahmadiyah Qadian tentang kenabian,
bahwa kenabian itu terus menerus berlangsung hingga hari kiamat.
Ahmadiyah sangat tidak setuju kepada pendapat, bahwa setelah Nabi
Muhammad Saw. tidak ada lagi. Menurut Ahmadiyah Qadian, bahwa Nabi
Muhammad Saw merupakan nabi penutup yang membawa syari’at. Akan
tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari’at. Maka dari
itu tetap terbuka di utusnya nabi yang tidak membawa syari’at setelah
Nabi Muhammad Saw, atau dengan perkataan lain sesudah pengangkatan
Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi, Tuhan tetap mengangkat terus nabi-
nabi.
2. Masalah al-Mahdi dan al-Masih
Mengenai doktrin ini, antara Ahmadiyah Lahore maupun Ahmadiyah
Qadian sama sekali tidak ada perbedaan. Menurut Ahmadiyah, doktrin
tentang al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan Isa al-
Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu
tokoh, satu pribadi yang kedatangannya telah dijanjikan Tuhan. Ia
ditugaskan untuk membunuh Dajjal dan mematahkan tiang salib, yakni
mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau
bukti-bukti yang meyakinkan serta menujukkan kepada para pemeluknya
tentang kebenaran Islam. Selain itu, ia ditugaskan untuk menegakkan
kembali syari’at Nabi Muhammad Saw, sesudah umatnya mengalami
kemerosotan dalam kehidupan beragama.
Mengenai kedatangan al-Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan,
mereka menggunakan sabda Nabi Saw. Sebagai dasar, yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Ibnu Bukair, dari al-Laits dari Yunus, dari Ibnu
Syihab, dari Nafi’ Maulana Abi Qatadah al-Anshari, dari Abu Hurairah,
bahwa kata-kata imamukum minkum menunjukan seseorang di antara umat
Islam sendiri. Artinya, bukan seorang imam yang datang dari luar umat
Islam, misalnya dari Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih yang akan
datang di akhir zaman itu bukanlah Nabi Isa a.s yang telah wafat,
melainkan seorang muslim yang mempunyai perangai atau sifat-sifat
seperti nabi Isa a.s dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yng dijanjikan
itu adalah Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian.
Menurut Ahmadiyah, hadis tentang turunnya al-Masih (Nuzul al-
Masih) tidak dapat dipahami secara harfiah, tetapi harus di pahami secara
kiasan. Alasan yang mereka gunakan adalah: Pertama, Sabda Nabi Saw
secara lahiriah ditunjukan kepada sahabatnya, akan tetapi secara hakikat ia
ditunjukan kepada umat Islam zaman akhir; kedua, Nabi a.s tidak dapat
digolongkan ke dalam kata antum (kaum umat Muhammad). Sebab, (a)
Nabi Isa memang bukan umat Muhammad; (b) Nabi Isa adalah Imam Bani
Israil; (c) Nabi Isa sudah wafat; (d) Orang yang sudah wafat tidak akan
bangkit lagi ke dunia sebelum hari kiamat datang.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa sendainya Nabi
Isa benar-benar akan dibangkitkan kembali maka hal itu berarti
membongkar segel penutup kenabian. Ini merusak dasar akidah Islamiyah
bahwa Nabi Muhammad Saw adalah penutup para nabi. Sementara jika
kedatangan al-Masih bukan sebagai nabi, melainkan sebagai umat, maka
hal itu berarti menrunkan derajat Nabi Isa a.s dari derajat nabi menjadi
umat biasa.
3. Masalah Wahyu
Wahyu menurut Ahmadiyah ialah pembucaraan Allah dengan
hamba-Nya dalam bentuk lafadz-lafadz, yang terdengar oleh orang-orang
yang menerimanya.
Ia berpendapat bahwa wahyu Allah yang dimaksud dalam al-
Qur’an adalah kenyataan yang universal. Wahyu Allah tidak hanya
diturunkan kepada para nabi dan utusan Allah saja, tetapi dikaruniakan
juga kepada semua umat manusia, dan bahkan dikaruniakan kepada semua
ciptaan-Nya. Seorang propagandis Ahmadiyah Qadian dari Sialkot, Nazir
Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah
adalah wahyu tasyri atau wahyu syari’at, bukan wahyu mutlak.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir
ini tidak dikhususkan hnya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga
kepada selain mereka.
Dalam menggunakan istilah wahyu dan ilham, Mirza Ghulam
Ahmad semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan
sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai
wahyu. Pernyataan seperti itu tidak dibantah sama sekali oleh Ghukam
Ahmad, bhakan ia mengakui kebenarannya. Dengan demikian, Ahmadiyah
tidak membedakan antara ilham dan wahyu.
4. Masalah Khilafah
Pemahaman terhadap konsep khilafah dikalangan dua kubu
Ahmadiyah, Lahore dan Qadian, sama-sama mendasarkan pada ayat al-
Qur’an, akan tetapi memiliki perbedaan dalam tingkat pemahaman.
Menurut Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad yang beraliran Ahmadiyah
Qadian, perkataan khilafah (pengganti), di dalam al-Qur’an digunakan
dalam tiga pengertian:
Pertama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang seakan-akan
menjadi pengganti Allah di dunia. Misalnya Nabi Adam disebut khalifah
dan Nabi Daud disebutkan juga sebagai khalifah.
Kedua, khalifah diartikan sebagai kaum yang datang kemudian.
Dalam pengertian ini dartikan sebagai pengganti nabi, dipilih oleh
kaumnya sendiri. Sebagai contoh adalah khalifah Abu Bakar yang
menggantikan Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, khalifah dipergunakan untuk para pengganti nabi karena
mereka mengikuti jejak para nabi sebelum mereka. Khalifah-khalifah
semacam itu dapat diangkat oleh Tuhan sendiri. Khalifah yang berpangkat
nabi ini adalah pembantu bagi nabi yang ada sebelumnya atau pada
masanya. Umpamanya Nabi Harun adalah khalifah bagi Nabi Musa.
Dari ketiga pengertian khalifah di atas, diambil suatu kesimpulan
bahwa khalifah hanyalah pemimpin-pemimpin rohani. Aliran Ahmadiyah
Qadian menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan rasul yang disebutkan di
dalam Al-Qur’an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin
pemerintahan. Di antara sekian banyak nabi dan rasul yang disebutkan
dalam al-Qur’an hanya beberapa orang saja yang menjadi pemimpin
rohani dan sekaligus pemimpin pemerintahan.
Berbeda dengan pandangan Ahmadiyah aliran Qadian, Ahmadiyah
aliran Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah:
1. Khalifah yang sesuai dengan makna khalifah dalam Al-Qur’an (Q.S.
An Nur:55). Dalam ayat tersebut dijelaskam bahwa umat Islam adalah
umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu
dibutuhkan sistem kekhalifahan untuk membangun pemerintahan
tersebut. Nabi Muhammad Saw adalah khalifah pertama yang
kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya khulafaur rasyiddin..
2. Khalifah yang dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh spiritual
yang mendirikan sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang
akan meneruskan syariat.
Dikalangan aliran Ahmadiyah pun terjadi perbedaan pendapat
mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menurut Ahmadiyah
Qadian setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah sistem
khilafah dalam Ahmadiyah yang dikenal dengan khalifah Al Masih.
Doktrin khalifah Al Masih ini didasarkan dan dimotivasi oleh wasiat
Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang
menggantikannya.36
Sedangkan aliran Ahmadiyah Lahore dengan dasar Al Qur’an surat
An Nur ayat 55 dan wasiat dari Ghulam Ahmad sebagai landasannya,
bahwa setelah kekhalifahan Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah sistem
khilafah dalam Ahmadiyah. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad
tampuk kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangan Sadr
Anjuman Ahmadiyah. Sementara dengan sangat diplomatis aliran ini
mengatakan bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak
wajib ditaati karena khalifah hanya berfungsi sebagai penerima baiat saja,
sementara tanggung jawab kepemimpinan tetap berada di tangan Pusat
Anjuman Ahmadiyah dan keputusannya wajib ditaati. Menurut Aliran
Ahmadiyah Lahore bahwa setelah khilafah rasyidah dan termasuk setelah
36 A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.77
Ghulam Ahmad tidak ada lagi khalifah, yang ada hanya mujaddid yang
muncul setiap satu abad sekali.
5. Masalah Jihad
Pengertian Jihad menurut Ahmadiyah, Lahore maupun Qadian
adalah mencurahkan segala kesanggupan dalam menghadapi pertempuran,
menyampaikan pesan. Kebenaran atau dengan kata lain jihad adalah tidak
menahan apapun, mengarahkan segala daya dengan memaksakan diri
dalam mencapai suatu tujuan.
Ahmadiyah mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori, yaitu:
Pertama, jihad shagir adalah perjuangan membela agama, nusa, dan
bangsa dengan mempergunakan senjata terhadap musuh-musuh yang
menggunakan kekerasan dan senjata dengan tujuan memusnahkan agama,
nusa, dan bangsa. Ahmadiyah meyakini bahwa perjuangan atau jihad
dengan senjata untuk membela agama sudah tidak diperlukan lagi saat ini,
karena tidak ada orang atau pihak yang mempergunakan senjata untuk
membela dan mengembangkan agama. Kedua, Jihad Kabir adalah
perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau keterangan,
baik lisan maupun tulisan untuk meyebarluaskan ajaran al—Qur’an
kepada kaum kafir dan musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang sedang
dilancarkan oleh Ahmadiyah saat ini. ketiga, Jihad Akbar adalah
perjuangan atau jihad terhadap godaan setan dan hawa nafsu akan terus
dilakukan setiap saat.37
Jihad dalam bentuk ini dilakukan setiap saat sama
seperti ketika kita terus melakukan aktivitas.
Khalifah II Ahmadiyah Bashirudin Mahmud Ahmad
menyimpulkan bahwa banyak orang yang mempunyai pemahaman keliru
tentang Ahmadiyah terkait pemahaman jihad. Menurut pandangannya
dan kemudian menjadi paham Ahmadiyah, bahwa peperangan itu terbagi
menjadi dua macam, yaitu : Pertama, perang jihad dan kedua, perang
lumrah.38
Perang jihad adalah perang yang terjadi karena dorongan
mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh
yang dihadapi adalah sekelompok orang atau pihak yang mencoba
membinasakan dan melakukan tindak kekerasan dengan maksud dan
tujuan mengubah dan memaksa seseorang atau kelompok untuk
melepaskan kepercayaan dan keyakinan agamanya. Isu yang menjadi
mainstream dalam peperangan tersebut adalah perang agama atau perang
suci(holy war). Kemudian khalifah II menjelaskan lebih lanjut bahwa jika
seandainya peperangan melawan kelompok bersenjata dengan motivasi
seperti di atas, maka wajib bagi setiap kaum muslimin untuk berjihad.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa jihad yang
digambarkan adalah hanya jihad untuk membela agama bukan membela
negara. Ini terlihat jelas keberpihakan Ahmadiyaha terhadap Inggris ketika
menjajah India dengan alasan Inggris tidak mengancam kebebasan agama.
37
A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.67 38 A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.68
Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni suatu pesantren di
Sumatera Barat meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka
adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini
Dahlan. Awalnya mereka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo
terkenal sebagai Pusat Studi Islam.
Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena
negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam.
Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan bertemu
dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah
Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat sumber
dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah mendapatkan
penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai'at di tangan Hadhrat
Khalifatul Masih II., Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad.
Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah
Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan
pengajaran di sana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera
Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian dua puluh tiga
orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga
pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat
masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia
menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II. berkunjung ke Indonesia.
Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar
Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat
Khalifatul Masih II.. Beliau meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri
tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke
Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali Haot dikirim sebagai
muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus 1925,
Maulana Rahmat Ali Haot dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II berangkat
dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat
Ali Haot di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang,
Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa
menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat
Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi.
Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali Haot berangkat ke
Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin
cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan
(alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya.
Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di
dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang
ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R. Muhyiddin.
Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau
merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada
beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara.
Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-
masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul Wahid
dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio,
menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara
itu, muballigh yang lain (alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan
salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik
Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau
untuk dedikasi beliau kepada negara.
Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan
legalitas menjadi satu Organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan
dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA.
5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik,
meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat
tinggi.
Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden
pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu
lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa
kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain
melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah
ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa
itu. Oleh karena itu ia pun diberikan penghargaan sebagai salah satu
Pahlawan Ampera.
Di Era 70-an, melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-
jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka.
Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non
muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap
Ahmadiyah. Sebagai akibatnya, Banyak mesjid Ahmadiyah yang
dirubuhkan oleh massa yang di pimpin oleh ulama. Selain itu, banyak
Ahmadi yang menderita serangan secara fisik.
Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di
Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television
Ahmadiyya (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri
wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor
Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada
Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim
Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000,
tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London
menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat
sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid
dan Ketua MPR, Amin Rais.39
Sedangkan Ahmadiyah Aliran Lahore dikembangkan oleh Mirza
Wali Ahmad Beig. Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza
Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta.
Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi
39
Abdul Halim Mahally, Benarkah Ahmadiyah Sesat, (Jakarta: Cahaya Kirana Rajasa,
2006), h. 59
Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam
Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai
"Organisasi Saudara Muhammadiyah".
Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig,
dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup
Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo
tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa "orang yang percaya akan
Nabi sesudah Muhammad adalah kafir". Djojosoegito yang diberhentikan
dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari
Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.40
Perbedaan antara Ahmadiyah Qodian dan Lahore
Pada tahun 1914 Gerakan Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan
karena perbedaan aqidah, yaitu:
Ahmadiyah Qadian, berpusat di Qadian, di bawah pimpinan Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad putera almarhum Mirza Ghulam Ahmad (pada
tanggal 31 Agustus 1947 pindah ke Rabwah, Pakistan, dan pada awal tahun
1985 pindah ke London, Inggris setelah mendapat tekanan terus-menerus di
Pakistan). Ahmadiyah Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi
dan dialah Ahmad yang diramalkan dalam QS. ash-Shaff (61): 6, meskipun
hanya Nabi yang menghidupkan kembali ajaran Rasulullah Muhammad
40 Bashiruddin Mahmud Ahmad, Apakah Ahmadiyah itu?, 1963, Jakarta, Djemaat
Ahmadiyah Indonesia. h. 23
S.A.W. dan bukan Nabi yang membawa syari'at baru. Sosok nabi tidak
berhenti sampai Mirza Ghulam Ahmad saja, tetapi akan terus ada yang disebut
nabi buruzi, yaitu nabi yang tidak membawa syariat. Menurut golongan
Qadian, Jemaat Ahmadiyah harus dipegang oleh seorang Khalifah dan
khalifah itu memegang kekuasaan tertinggi.41
Ahmadiyah Lahore, berpusat di Lahore, Pakistan, di bawah pimpinan
Maulana Muhammad Ali M.A. LL.B., sekretaris almarhum Mirza Ghulam
Ahmad. Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad sekedar
seorang mujaddid (pembaharu) untuk abad yang bersangkutan, tak beda
dengan pembaharu-pembaharu untuk abad-abad terdahulu seperti Iman Syafi'i,
Al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dan lain-lain. Para pembaharu ini menurut mereka
juga menerima wahyu hanya saja bukan wahyu kenabian. Menurut golongan
Lahore, Gerakan Ahmadiyah dipegang oleh Pedoman Besar (Shadr Anjuman
Ahmadiyah) dan kekuasaan tertinggi terletak pada Kongres.
Pada tahun 1973, Pakistan menetapkan undang-undang yang
menyatakan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam dan pada tahun 1974,
Pakistan menempatkan Ahmadiyah sebagai minoritas non-muslim dalam
konstitusi negaranya.
Kini, pimpinan rohani tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah (Qadian) di
seluruh dunia adalah Khalifatul Masih V, Mirza Masroor Ahmad (dilantik 22
April 2003) yang berkedudukan di London, Inggris, yaitu "negara sahabat"
dimana dahulu Mirza Ghulam Ahmad pernah menjalin hubungan baik dengan
41
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit LKiS,
2005),h. 67
pemerintah kolonoal Inggris. Berbeda dengan Jemaat Ahmadiyah (Qadian)
yang memiliki struktur organisasi internasional yang berpusat di London,
maka Gerakan Ahmadiyah (Lahore) merupakan organisasi jaringan tanpa
otoritas internasional yang terpusat.42
Di Indonesia, baik Ahmadiyah Qadian maupun Ahmadiyah Lahore,
sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al-Masih
yang telah dijanjikan (al-Masih al-Mau'ud) oleh Nabi Muhammad SAW.
Akan tetapi, dua golongan tersebut memiliki perbedaan prinsip: Ahmadiyah
Qadian, dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), berpusat di
Bogor, yakni golongan yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah seorang mujaddid dan seorang nabi. Pimpinan organisasinya adalah
Pengurus Besar JAI dan berada di bawah otoritas Khalifatul Masih V yang
berkedudukan di London, Inggris.43
Ahmadiyah Lahore, dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(GAI), berpusat di Yogyakarta, yakni golongan yang mempercayai Mirza
Ghulam Ahmad sebagai mujaddid dan tidak menganggapnya sebagai nabi.
Pimpinan organisasinya adalah Pedoman Besar GAI, tanpa otoritas
internasional yang membawahinya.44
42
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,h.73 43
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,h.76 44 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h..79
BAB IV
ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIYAH
A. Paradigma Islam dan Politik
Pandangan Ahmadiyah yang paling kontroversial sepenjang sejarah
berdirinya sampai sekarang adalah keyakinan Mirza Ghulam Ahmad (MGA)
yang di yakini sebagai sosok Nabi di mata para pengikutnya. Pengakuan MGA
sebagai pengganti Nabi atau jelmaan Al-Masih merupakan keyakinan yang
bukan barang baru dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran dalam Islam.
Dalam golongan Syi’ah Imamiyah juga terdapat sempalan yang serupa.
Bahkan untuk kasus terbaru di Indonesia, seorang mantan guru olahraga,
Ahmad Mosadeq mengaku sebagai seorang Nabi.
Untuk mengetahui sejauh mana pengakuan kenubuwatan MGA
tersebut dapat dilihat dengan pernyataan-pernyataannya sebagi berikut:
Akidah tentang Wahyu, Alquran, dan Penutup Para Nabi
"Aku bersumpah dengan Allah yang nyawaku dalam genggaman-Nya, Dialah
yang mengutusku dan menamai aku nabi dan memanggilku dengan nama Al-
Masih yang dijanjikan. Dan Dialah yang menurunkan bukti-bukti untuk
menunjukkan kebenaran pengakuanku, yang jumlahnya mencapai tiga ratus
ribu bukti."
"Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang telah mengutus Rasulnya di Al-Qadian
(tampat kelahirannya), dan sesungguhnya Allah menjaga Al-Qadiyan dan
memeliharanya dari penyakit Tha'un meskipun ia berlangsung tujuh puluh
54
tahun, karena aku tempat tinggal rasulnya, dan ini adalah tanda (kebenaran)
bagi manusia."
Dia mengatakan, "Sesungguhnya Allah menurunkan ayat-ayat untuk
membuktikan kebenaran risalahku, yang sekiranya ayat-ayat itu dibagi kepada
seribu nabi, niscaya cukuplah ayat tersebut membuktikan kenabian mereka
semua, akan tetapi setan manusia tidak percaya hal ini."
"Adalah merupakan nikmat Allah bahwa para nabi itu senantiasa datang dan
mata rantai mereka tidak terputus. Ini adalah peraturan Allah yang kamu tidak
mampu menghadapinya."
"Ali (Jibril) datang kepadaku lalu ia memilih dan memutar-mutar telunjuknya
dan menunjuk aku dan mengatakan bahwa Allah menjagamu dari musuh."
"Demi Allah Yang Maha Agung, aku beriman kepada wahyu sebagaimana
aku beriman kepada Alquran dan kitab-kitab lainnya yang diturunkan dari
langit. Aku percaya bahwa ucapan yang turun kepadaku berasal dari Allah,
sebagaimana aku percaya Alquran itu turun dari sisi-Nya."
Pahamilah apa itu syariah. Syariah ialah penjelasan tentang perintah dan
larangan, orang melakukan itu dan menetapkan peraturan-peraturan untuk
pengikutnya, maka ia telah menjadi shahibisy syariah (pembuat syariah), maka
aku shahibisy syariah karena Dia mewahyukan kepadaku perintah dan
larangan. Syariah itu tidak harus membawa hukum-hukum baru, karena
ajaran-ajaran yang ada dalam Alquran, ada pula dalam Taurat. Itulah yang
diisyaratkan oleh Tuhan."45
Cukup jelas bahwa diterima dan tidak diterimanya Ahmadiyah
sebagai bagian dari agama Islam bersifat tekstual maupun kontekstual, dan
sejarah telah mencatat berkali-kali tentang apa yang disebut sebagai
Ahmadiyah. Misalnya saja perbedaan mendasar yang tertulis dalam kitab-
kitab yang menjadi pegangan penganut ajaran Ahmadiyah, dimulai dengan
pernyataan-pernyataan "hukum" Mirza Ghulam Ahmad yang dibangun secara
gradual. Misalnya saja pernyataanya bahwa dirinya adalah Messiah dan
Mahdi, serta klaim memiliki keserupaan spiritual dengan Yesus Kristus
(Tadzkirah). Lebih lengkapnya dalam Tazkiratush-Shahadatain, Mirza juga
menuliskan tentang pencapaian kebenaran ramalan dalam Al-Quran dan
Hadist yang dikait-kaitkan dengan dirinya, khususnya sebagai Messiah yang
dijanjikan.
Dalam ayat yang lebih kontroversial misalnya dalam kitab suci
Tadzkirah yang artinya: “Dialah tuhan yang mengutus rasulnya “Mirza Ghulam Ahmad” dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar
Dia memenangkannya atas segala agama-agama semuanya. Tidaklah
mengherankan bila akhirnya titik awal gesekan keyakinan berawal dari
kasus pangklaiman sosok nabi.
Ada beberapa hal yang menunjukan bentuk politik Ahmadiyah
terutama di Indonesia:
1. Ahmadiyah sebagai Organisasi Eksklusif
Karena pelarangan dari lembaga formal keagamaan (MUI), mau
tidak mau Ahmadiyah bercorak eksklusif tidak terbuka untuk
berdialog, beribadah, beraktivitas, bahkan dalam interaksi sosial
semacam pernikahan. Ketertutupan Ahamadiyah dilakukan untuk
memperkuat basis ideologis keagamaan versi Mirza Ghulam
45 Asy-Syekh Manzhur Ahmad Chinioti, Al-Qadiani wa Mu'taqaduhu, Pakistani, 1958, h.
12-17
Ahmad agar tidak terkooptasi oleh pengkafiran golongan lain.
Semakin eksklusif suatu gerakan semakin berbau politis gerakan
organisasi tersebut.
2. Dakwah Secara Tersembunyi
Sebagai sebuah entitas politik keagamaan, Ahmadiyah dirancang dalam melakukan dakwah secara sistematis, komprehensif, dan
persuasif. Model-model pendekatan itu diupayakan dapat menjaring massa sebanyak mungkin tanpa menimbulkan resiko.
Untuk mengurangi resiko dari resistensi mayoritas, Ahmadiyah bergerak secara tersembunyi. Seandainya dakwah diucapkan di
depan publik, maka diupayakan penyamaran maksud dan tujuan
seruan tersebut.
B. Pemikiran Politik Islam Perspektif Ahmadiyah
Sejak penciptaan awal manusia, kedatangan seorang nabi selalu
merupakan manifestasi daripada rahmat Ilahi dan menjadi sumber dari
berbagai berkat. Dengan wafatnya Nabi bersangkutan, muncul manifestasi
kedua dari rahmat dan karunia Ilahi dalam bentuk lembaga Khilafat. Lembaga
Khilafat merupakan sistem Ilahi yang unik. Khilafat merupakan jabatan dan
kawasan dari seorang Khalifah atau penerus seorang Nabi, yang dipilih
sebagai pemimpin tertinggi dari komunitas mukminin. Yang bersangkutan
menduduki posisi akhlak tertinggi di masanya dan dalam dirinya terkandung
kewenangan absolut dalam segala hal yang berkaitan dengan agama. Artikel
ini memberikan uraian singkat tentang beberapa keberhasilan akbar dari para
penerus Rasulullah s.a.w. dan Masih Maud a.s. yang menggambarkan
bagaimana lembaga Khilafat telah menjadi sarana penegakan hegemoni ruhani
dan politis Islam.
Konteks hubungan antara politik dan Islam atau sebaliknya menurut
Abdul Ghaffar Aziz terletak pada tujuan diturunkannya agama yakni untuk
menegakkan kebenaran dan mencegah permusuhan di antara sesama umat
manusia.46
Maka, tujuan yang paling mendasar bagi semua agama samawi
adalah mengukuhkan adanya keadilan sosial. Karenanya, mendirikan sebuah
negara merupakan bagian dari ajaran agama untuk mencapai salah satu tujuan,
yaitu keadilan sosial tadi, dengan menggunakan kekuatan politik, di samping
mimbar-mimbar dakwah dan tabligh-tabligh umum maupun khusus yang
selalu harus bekerja sama dengan kekuatan politik.
Dalam paradigma tersebut, tentunya Ahmadiyah sangat kental
dengan muatan politik, dalam artian memiliki tujuan tertentu melalui upaya
dakwah yang dijalankan secara sistematis. Beberapa ajaran Ahmadiyah yang
menjadi parameter politik Islam Ahmadiyah adalah sebagai berikut:
1. Konsep Jihad
Bagi Ahmadiyah, konsep jihad didefinisikan sebagai tindakan
mencurahkan segala macam kesanggupan, kemampuan, dan kekuatan
yang dimiliki dalam menghadapi pertempuran, menyampaikan pesan
kebenaran, ataupun mengerahkan seluruh daya kemampuan dalam
menghadapi suatu urusan atau dengan kata lain adalah tidak menahan
apapun, mengerahkan segala upaya dengan memaksakan diri dalam
mencapai suatu tujuan.47
Ahmadiyah mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori, yaitu pertama,
Jihad Shagir adalah perjuangan membela agama, nusa, dan bangsa dengan
46
Abdul Ghaffar Aziz, Islam Politik Pro dan Kontra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.
32 47
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, (Jakarta: Penerbit RMBooks, 2006),
h. 66
mempergunakan senjata terhadap musuh-musuh ang menggunakan
kekerasan dan senjata dengan tujuan memusnahkan agama, nusa, dan
bangsa. Ahmaduyah meyakini bahwa perjuangan atau jihad dengan senjata
untuk membela agama sudah tidak diperlukan lagi saat ini, karena tidak
ada orang atau pihak yang mempergunakan senjata untuk membela atau
mengembangkan agama. Kategori jihad ini merupakan jihad yang paling
rendah nilainya. Kedua, Jihad Kabir adalah perjuangan atau jihad dengan
mempergunakan dalil-dalil atau keterangan, baik lisan ataupun tulisan
untuk menyebarluaskan ajaran Al-Qur’an kepada kaum kafir dan musyrik.
Jihad ini ang sedang dilancarkan pihak Ahmadiyah. Ketiga, Jihad Akbar
adalah perjuangan atau jihad terhadap godaan setan dan hawa nafsu
amarah sendiri, jihad yang ketiga ini merupakan bentuk jihad yang paling
berat, karena menghadapi setan dan hawa nafsu setiap saat selalu
dilakukan.48
2. Konsep Khilafah
Khilafah merupakan tujuan dari pergerakan keagamaan yang
muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. dalam hal ini,
berdirinya Ahmadiyah tidak terlepaskan dari upaya memperteguh
eksistensi sistem khilafah yang sudah tidak berdaya lagi menahan
gempuran pihak kolonial Barat.
Sejak penciptaan awal manusia, kedatangan seorang nabi selalu
merupakan manifestasi daripada rahmat Ilahi dan menjadi sumber dari
48 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, h. 67
berbagai berkat. Dengan wafatnya Nabi bersangkutan, muncul manifestasi
kedua dari rahmat dan karunia Ilahi dalam bentuk lembaga Khilafat.
Lembaga Khilafat merupakan sistem Ilahi yang unik. Khilafat merupakan
jabatan dan kawasan dari seorang Khalifah atau penerus seorang Nabi,
yang dipilih sebagai pemimpin tertinggi dari komunitas mukminin. Yang
bersangkutan menduduki posisi akhlak tertinggi di masanya dan dalam
dirinya terkandung kewenangan absolut dalam segala hal yang berkaitan
dengan agama. Analisis ini memberikan makna tersendiri tentang beberapa
keberhasilan akbar dari para penerus Hazrat Rasulullah s.a.w. dan Hazrat
Masih Maud a.s. yang menggambarkan bagaimana lembaga Khilafat telah
menjadi sarana penegakan hegemoni ruhani dan politis Islam.49
Khilafah Ahmadiyah didasarkan pada keyakinan bahwa Mirza
Ghulam Ahmad muncul sebagai seorang Mesianis sejati, seorang
mujaddid yang berupaya mereformasi tatanan nilai dan sistem
kepercayaan yang dianggap melenceng dari ajaran Al-Qur’an maupun
Nabi Muhammad. Ahmadiyah mendasarkan pada ucapan Baginda Nabi
Muhammad dengan sabdanya:
”Nabi Suci Muhammad saw. bersabda bahwa sesungguhnya Allah
akan membangkitkan untuk umat ini pada permulaan tiap abad orang
yang akan memperbaharui agamanya baginya”. (H.r. Abu Daud dari
Abu Hurairah r.a)
Berdasarkan Hadits sahih di atas, Allah SWT. pada tiap-tiap
permulaan abad membangkitkan seorang Mujadid atau orang yang
49
Abdul Halim Mahally, Benarkah Ahmadiyah Sesat…?, (Jakarta: PT. Cahaya Kirana
Rajasa, 2006), h. 22
memperbaharui agama di dalam Islam. Pembaharuan mereka itulah yang
disebut gerakan pembaharuan di dalam Islam. Pada zaman akhir ini
gerakan itu bernama Ahmadiyah. Jadi Ahmadiyah adalah Gerakan
Pembaharuan di dalam Islam.
Perkembangan khilafah yang dijalankan Ahmadiyah melalui proses
pengorganisasian, suatu konsolidasi internal gerakan yang berupaya
menjalankan sistem pembaharuan pada msyarakat Islam dunia.
Ahmadiyah berjuang hanya untuk membela dan menyiarkan Islam melalui
lima cabang kegiatan dakwah Islam yang telah digariskan oleh Mujadid
dalam kitab Fathi Islam (1893), yaitu:
1. Menyusun karangan-karangan atau buku-buku dan menerbitkannya
2. Menyiarkan brosur-brosur dan maklumat-maklumat yang dilanjutkan
dengan pembahasan dan diskusi
3. Komunikasi langsung dengan kunjung-mengunjung, mengadakan
ceramah-ceramah dan majelis taklim
4. Korespondesi dengan mereka yang mencari atau menolak kebenaran
Islam
5. Bai’at50
Setelah konsep pembaiatan dilaksanakan, militansi keanggotaan
Jamaah Ahmadiyah dapat terjaga untuk berjuang dijalan Allah. Model
pembaiatan ini sesungguhnya mencirikan bahwa Gerakan Ahmadiyah
50
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad Jihad Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: LKis, 2006),
h. 35
bersifat politis daripada organisasi yang bergerak di bidang pembaharuan
keagamaan.
Konsep khilafah Ahmadiyah didasarkan pada firman Allah yang
menggariskan adanya seorang khalifah di antara manusia. Allah SWT
telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh, bahwa
sepeninggal Rasulullah SAW, Allah SWT akan membangkitkan khalifah-
khalifah.
FirmanNya:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara
kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka
itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah kepada
orang-orang yang sebelum mereka: dan Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama mereka. yang telah Dia ridhai bagi mereka; dan niscaya
Dia akan menggantikan mereka sesudah ketakutan mereka dengan
keamanan. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan
mempersekutukan sesuatu dengan Aku. Dan barangsiapa ingkar sesudah
itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka “(An-Nur, 24:55)
Rasulullah SAW-pun telah mengkhabar-ghaibkan bahwa akan ada
empat periode yang mewarnai kepemimpinan Muslimin sepanjang
perjalanan sejarahnya, yaitu masing-masing adalah: Masa Kenabian, Masa
Khilafah yang mengikuti jejak kenabian lalu Masa kerajaan dan manakala
masa kerajaan berakhir, kepemimpinan Muslimin akan kembali memasuki
Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah, Khilafah yang berpola/mengikuti
jejak kenabian. Sebagaimana yang dapat kita baca dari hadits berikut:
“Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, berkata:
Rasulullah SAW, bersabda: Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-
tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkalnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah
‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkalnya apabia Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adhan),
adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia
telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa
Kerajaan yang menyombong ((Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak
Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia telah menghendaki
untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti
jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). Kemudian (Nabi),
diam”51
.
Lalu seperti apakah sebenarnya bentuk dari kekhalifahan Islamiyah
yang dimaksud Allah dan Rasulullah tersebut? Apakah itu suatu lembaga
yang bercorak politis ataukah lembaga yang hanya bercorak agamis? Pada
kenyataannya memang terjadi pemahaman dan penafsiran yang berbeda
atas kedudukan Khilafah Islamiyah tersebut, dimana sebagian memahami
bahwa Khilafah itu adalah suatu lembaga yang bercorak politis, namun
sebagian lagi memahami bahwa itu hanya bercorak agamis semata.
Bagi Ahmadiyah, sistem khilafah yang harus berdiri itu adalah
Khilafah Ala Minhajin Nuhuwwah, maka itu artinya kekhalifahan ini
coraknya adalah agamis, bukan politis. Bila diperhatikan, maka semenjak
51 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jilid 4, Kairo: Maktabah Mishriyyah, h. 273
ke-khilafahan Turki Usmani runtuh (1924), upaya untuk mendirikan
kembali Khilafah banyak dilakukan oleh para pemimpin dunia Islam,
seperti misalnya: tahun 1926, di Kairo, Mesir, dan di Mekah, Saudi
Arabia, berlangsung Kongres Islam Sedunia, atas prakarsa Ulama Al-
Azhar dan Raja Ibnu Sa’ud. Mewakili Muslim Indonesia, hadir H.O.S.
Tjokro Aminoto dari Syarikat Islam, K.H. Mas Mansur dari
Muhamadiyah, dan H.A. Karim Amarullah. Tetapi, kongres ini tidak
berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita.
Tahun 1974, di Lahore, Pakistan, berlangsung Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Islam, dihadiri 38 negara. Pesertanya terdiri atas Kepala
Negara, Perdana Menteri, dan Menteri-Menteri Luar Negeri. Masalah
Khilafah juga menjadi salah satu agenda pembahasan KTT. Tetapi, KTT
tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi harapan dan cita-cita ummat
Islam. KTT gagal mewujudkan Khilafah Islamiyah.
Hizbut Tahrir adalah satu diantara kelompok Islam yang tak pernah
surut berjuang untuk menegakan kembali lembaga Khilafah. Hizbut Tahrir
mengklaim sebagai partai politik idiologis dengan tujuan menjadikan
idiologi Islam sebagai lampu penerang dalam kegelapan sekularistik yang
membelenggu dunia saat ini. Tidak heran, jika ditengah krisis multi
dimensi yang melanda dunia, termasuk melanda bangsa Inonesia saat ini,
Hizbut Tahrir menawarkan sistim Khilafah Islamiyah, mengantikan sistim
Demokrasi yang diusung Sekularisme dan Kapitalisme. Tetapi semua
usaha-usaha tersebut menghadapi kegagalan yang berarti di mata
Ahmadiyah.52
Adalah kelompok Muslim Ahmadiyah yang meng-klaim bahwa
sebenarnya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Itu telah berdiri, yang
terwujud dalam Khilafah Ahmadiyah dimana silsilah Khilafah ini berdiri
semata-mata hanya untuk melaksanakan tugas Risalah An-Nubuwwah
Muhammad Rasulullah SAW, yakni: “Memenangkan agama (Islam)
diatas semua agama” (Ash-Shaf, 61:9).53
Selama 100 tahun masa ke-Khilafahan telah 5 kali berganti
Khilafah. dengan susunan nama dan masa ke-Khalifahan, sbb: 1) Al-Haj
Maulana Hakim Nuruddin. Khalifatul Masih I 1908-1914).2) AI-Haj
Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II (1914-1965).
3).AI-Hafiz Mirza Nasir Ahmad, Khalifatul Masih III (1965-1982).
4).Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV (1982-2003).
5).Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih V (2003-Sekarang).
Bagi Ahmadiyah, khilafah dibentuk untuk menghancurkan
beberapa rintangan yang menghadang umat Islam dalam mengembangkan
syari’at Islam.54
Rintangan pertama yang harus diperjuangkan oleh umat
pada jalannya menuju pintu Khilafah adalah masalah pengembalian
kepercayaan diri yang sebelumnya berusaha ditanggalkan oleh kaum kafir
dari akal dan hati umat. Kaum kafir dengan segala kebohongan dan tipu
52 Abdullah Hasan Alhadar, Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah, (Bandung:
PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980), h. 39 53
Abdullah Hasan Alhadar, Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung, h. 44 54 Abdullah Hasan Alhadar, Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung, h. 56
dayanya berupaya meyakinkan umat bahwa umat ini tidak akan pernah
bisa kembali seperti dahulu dan wajib menjadi pengikut Barat, berpegang
pada ekor Barat dan memandang seperti pandangan Barat. Para pejuang
Khilafah dan mereka yang berjalan ke arah pintu kemuliaannya telah
berhasil mengembalikan kepercayaan diri umat. Mereka telah berhasil
menjadikan umat mengerti siapa jati diri umat. Mereka berhasil
memahamkan umat bahwa ucapan kaum kafir semuanya adalah kedustaan
dan kebohongan yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Tidak belebihan jika dikatakan bahwa rintangan-rintangan berat itu
hampir lenyap secara total dari tengah jalan kaum Muslim. Adapun
mengenai ucapan beberapa orang yang mengulang-ulang perkataan bahwa
pertolongan telah tertunda dan waktu sudah berlalu sekian lama tetapi
belum terealisir pertolongan itu, sesungguhnya maksud di balik ucapan itu
tidak lain hanyalah ingin menancapkan rasa frustrasi dalam diri umat dan
para pengemban dakwah. Umat dan khususnya para pengemban dakwah
sudah semestinya meyakini bahwa pertolongan itu berkaitan dengan
kehendak dan keinginan Allah semata.
Ahmadiyah menggunakan pendekatan kooperatif kepada pihak
penguasa atau pemerintahan resmi dengan tujuan mendukung upaya-upaya
yang akan dilakukan jamaah Ahmadiyah, atau setidak-tidaknya
Ahmadiyah dapat eksis dalam percaturan politik tingkat nasional. Sebelum
sistem kholafah terbentuk, Ahmadiyah berusaha merangkul kaum
pergerakan di masa penjajahan atau mendukung program-program
pemerintah.
Pada masa Mirza Ghulam Ahmad masih hidup, beliau berusaha
memberikan keyakinan kepada kaum Muslimin India untuk tidak melawan
kaum Inggris. Maka, banyak tulisan Mirza Ghulam Ahmad yang mengkaji
persoalan Jihad.55 . Bahkan sikap ini dilanjutkan oleh anaknya yang
dipandang sebagai khalifah kedua, Hazrat Bashiruddin sebagai khalifah
dengan gagahnya berkata:
"Pada zaman sekarang ini tindakan yang gila untuk berpropaganda guna
hancurnya suatu agama melalui jalan kekerasan senjata telah lenyap.
Karena itu Agama Islam tidak lagi memerlukan pertahanan dirinya dengan
kekuatan senjata."56
Demikian pula pada zaman pergerakan kemerdekaan, Ahmadiyah
melakukan sebuah pendekatan kooperatif terhadap tokoh-tokoh
pergerakan dan founding fathers untuk dapat mensosialisasikan ajaran
khilafah ‘ala minhaaji nubuwwah . mereka tidak segan-segan membantu
perlawanan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajahan Belanda,
walaupun dalam kondisi terbatas.
Mungkin karena jasa Ahmadiyah dalam perjuangan kemerdekaan
RI inilah founding father bangsa ini, Ir. Soejkarnom bersikap simpatik
terhadap Jemaat Ahmadiyah. Rasa simpati presiden pertama RI ini
55
Abdullah Hasan Alhadar, Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung, h. 63 56Bashiruddin M.A., Apakah Ahmadiyah itu? terjemah Abdulwahid H.A., (Djakarta
Djemaah Ahmadiyah Indonesia, 1963), h. 21-22.
dibadikan dalam bukunya ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ itu juga (jilid I).
Di halaman 389 Soekarno menulis: “Ya,……. Ahmadiyah tentu ada
cacadnya, - dulu pernah saya terangkan di dalam suratkabar
‘Pemandangan’ apa sebabnya saya tidak mau masuk Ahmadiyah – tetapi
satu hal adalah nyata sebagai batukarang yang menembus air laut:
Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan
pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula di dalam
propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan kaum
intelektuil seluruh dunia umumnya. Buat jasa ini – cacad saya tidak
bicarakan di sini – ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas
menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu, marilah
kita ucapkan kepadanya di sini dengan cara yang tulus dan ikhlas”57
Sistem khilafah yang akan dikembangkan Ahmadiyah adalah
berusaha meniadakan sistem pemerintahan yang berdasarkan geografis,
ikatan primordialisme kesukuan atau kebangsaan, melainkan ikatan
khilafah berdasarkan pan-islamisme yang bersifat universal. Hal itu
dijelaskan oleh Hazrat Nashiruddin sebagai berikut:
"Islam bukan kaum muslimin tanah Arab; Islam bukan kaum Muslimin
Afghanistan, Syria, Iran. Islam adalah mempunyai claim international.
Islam harus dalam satu jemaat Islami dengan seorang imam dan
pengganti-penggantinya sebagai khalifah."58
Pernyataan Bashir tersebut diperpanjang maka dapat dipastikan
pula bahwa Islam bukan kaum Muslimin Kremia, Islam bukan kaum
57
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Jakarta: PT. Djambatan, h. 389 58 Bashiruddin M.A., Apakah Ahmadiyah itu, h. 24
muslimin Turkistan; Islam bukan kaum muslimin Palestina. Sebab Islam,
mempunyai klaim internasional maka harus ada organisasinya yang
internasional; harus ada Jema'at Islami di bawah seorang imam dan
diganti dengan khalifah-khalifah. Jika semua itu belum ada maka orang-
orang Ahmadiyah akan menjawab di hadapan Allah Ta'ala bahwa masih
belum tiba waktunya untuk jihad di saat saat itu.
C. Relasi Islam dan Politik dalam Negara menurut Ahmadiyah
Hubungan antara Islam dan politik dalam negara adalah substansi
dari politik Islam yang dikembangkan pada awal-awal abad ke-19. secara
umum, pandangan para sarjana Muslim menghubungkan antara Islam dan
politik dalam konsep khilafah atau imamah.59 Khilafah adalah memerintah
rakyat sesuai aturan syara’, demi kebaikan akhirat mereka dan juga
kebaikan dunia yang kembali kepada kepentingan akhirat, sebab menurut
syara’ kepentingan dunia semua kembali kepada kepentingan akhirat.60
Sedangkan imamah adalah ungkapan tentang kepemimpinan umum
dalam urusan dunia dan agama menggantikan Nabi Muhammad saw.61
Orang yang memegang kekuasaan atas umat Islam disebut dengan
”Imam”. Khalifah disebut juga Imam, sebab para khalifah adalah
59
Ali Abd ar-Raziq, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian Khilafah dan Pemerintahan
Dalam Islam, (Yogyakarta: Jendela, 2002). h. 4 60
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). h. 37 61 Ali Abd ar-Raziq, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan, h. 5
pemimpin (imam) yang wajib ditaati, manusia berjalan di belakangnya,
seperti manusia shalat di belakang ma’mum.62
Sesuai pandangan di atas, sistem pemerintahan menurut
Ahmadiyah harus didasarkan pada sifat-sifat kenabian, bukan pada sifat-
sifat kemanusiaan. Oleh karena itu, yang berhak memegang tampuk
kekuasaan atas umat Islam dunia adalah orang yang secara langsung
mendapatkan wahyu dari Allah. Ahmadiyah dilahirkan sebagai upaya
meneruskan estafet kepemimpinan yang terputus sejak Nabi Muhammad
meninggal. Secara historis, berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari
sejarah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini. Mirza lahir
pada 13 Pebruari 1835 di desa Qodian Punjab, India dan meninggal tahun
1908 di Lahore. Ia memiliki darah ningrat, karena ia keturunan Haji
Barlas, raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak Temur,
dinasti Mughal. Gerakan Ahmadiyah lahir di India pada tahun 1888.63
Sesudah India menjadi koloni Inggris, umat Islam India semakin
terisolasi dengan sikap-sikap lama (baca: konservatif) yang masih
dipelihara. Keadaan umat Islam India ini semakin buruk terutama sesudah
terjadi pemberontakan Mutiny tahun 1857 masehi. Titik pijak kelahiran
Ahmadiyah dimulai ketika umat Islam India mengalami kemunduran
dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan lainnya.
Sebagai sebuah sekte mesiah dalam Islam, kekuasaan Ahmadiyah
bersifat monolitik di tangan keturunan Mirza Ghulam Ahmad dan
62
Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah: Dalam Tinjauan Syar’I, (Jakarta: Gema insani
Press, 1997), h. 16 63 Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 68
keluarganya yang sekarang berada di London, Inggris. Pendekatan
kekuasaan dijalankan dengan menggunakan kekuasaan “wahyu” yang
diturunkan sebagai penobatan kenabian Mirza Ghulam, meskipun menjadi
perdebatan di antara sekte Qodian dan Lahore.
Kedatangan Imam Mahdi digambarkan sebagai pemberian otoritas
dalam memerintahkan umat Islam dunia. Bagi kalangan Ahmadiyah,
kekuasaan diperoleh melalui otoritas wahyu bukan proses dialektika
demokrasi yang mengatasnamakan rakyat, atau melalui mekanisme
pemilihan umum.
Pendekatan kekuasaan yang diberlakukan Ahmadiyah lebih
menonjolkan aspek imamah atau khilafah dibandingkan dimensi sosial,
ekonomi, dan budaya yang lebih mengena. Barangkali hal itu terjadi
lantaran kemunculan Ahmadiyah, selain faktor imperialisme Inggris, juga
terjadi kontradiksi antara Pan-Islamisme yang digagas Jamaluddin Al-
Afghani dengan dunia barat. Salah satu cara untuk aman dari benturan dua
kekuatan tersebut adalah bersikap depensif. Hal itu diutarakan oleh
Abdullah Ahmad Hasan Alhadar sebagai berikut:
Demikian hebatnya Pan Islamisme menentang dunia Barat
terutama kolonialisme Inggris. Sebaliknya, Inggris telah
menancapkan cengkeramannya dalam-dalam terhadap kaum
Muslimin India. Adanya kontradiksi yang hebat itu, maka tidak
mustahil atau bisa diduga-duga jika orang-orang seperti Mirza
Ghulam Ahmad cepat-cepat mencari posisi yang enak di tengah-
tengah arena politik kaum Muslimin India yang hangat. Dan yang
paling enak atau paling mudah untuk bersih diri, ialah membantah
dirinya dari kaum Turki.64
64
Abdullah Hasan Alhadar, Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung, h. 71
Tujuan Jemaat Ahmadiyah adalah Yuhyiddiyna wayuqiymus-
syariah. Menghidupkan kembali agama Islam, dan menegakkan kembali
Syariat Qur'aniah. Dalam arti yang lebih mendalam adalah untuk
menghimbau ummat manusia kepada Allah Ta'ala dengan
memperkenalkan mereka sosok sejati Rasulullah saw., dan menciptakan
perdamaian serta persatuan antar berbagai kalangan manusia. Ahmadiyah
berusaha menghapuskan segala kendala yang timbul karena perbedaan ras
dan warna kulit sehingga umat manusia dapat bersatu dan mengupayakan
perdamaian semesta.
Dalam kata pengantar seabad kelahiran Ahmadiyah, pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indoneisa menegaskan posisi Ahmadiyah dalam
konstelasi politik nasional. Golongan Ahmadiyah menjunjung tinggi
kebebasan suara hati lebih dari segala kemerdekaan dan sebagai hak-hidup
setiap makhluk manusia. Kami memandang tidak ada dosa yang begitu
keji seperti tindakan paksa atau kekerasan dalam urusan agama.
Ahmadiyah memandang haram untuk berperang atau memerangi
pemerintah atau bangsa yang memberi kemerdekaan penuh kepada
penyuaraan kata hati dan agama orang-orang yang menghuni wilayah-
wilayahnya. Kami memandang orang-orang Islam yang mensahkan perang
disebabkan perbedaan dalam urusan agama adalah sebagai kesalahan besar
dalam memegang akidah yang sama-sekali tidak sesuai dengan jiwa agama
Islam yang hakiki ini.65
65
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Akidah Dan Tujuan Jemaat Ahmadiyah; Suvenir
Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari 1894-1994, , 1994, h.46-47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Jemaat Ahmadiyah adalah gerakan Islam yang didirikan oleh Mirza
Gulam Ahmad pada tahun 1889 M bertepatan dengan tahun 1306 H.
Ahmadiyah adalah sebutan singkat dari Jemaat Ahmadiyah. Jemaat berarti
kumpulan individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program
bersama. Ahmadiyah adalah nama dari Islam, jadi Ahmadiyah adalah suatu
perkumpulan, himpunan atau organisasi yang bersatu padu dan bekerja untuk
suatu program yang sama, yaitu Islam. Ahmadiyah diambil dari salah satu
nama Rosulullah yang diinformasikan kepada Nabi Isa a.s dalam Surat As-
Shaf ayat enam yang menyatakan bahwa akan datang seorang Nabi dan Rosul
yang bernama Ahmad.
Kemunculan Ahmadiyah di India merupakan salah satu bagian dari
peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak terlepas dari konteks sosial pada saat
itu. Kemunduran dunia Islam yang ditandai oleh runtuhnya kerajaan Ustmani
1683. Sementara di Barat perkembangan ilmu pengetahuan dan industri
semakin berkembang pesat, yang ditandai dengan berbagai macam penemuan
yang antara lain ditemukannya alat tranportasi dengan menggunakan tenaga
uap pada tahun 1902 M dan penemuan-penemuan yang lainnya. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyebabkan Barat semakin
melebarkan kekuasaan kolonialnya kedunia yang pernah dikuasai oleh Islam.
Seperti Inggris dapat menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai
73
Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Barat lainya menduduki bekas Imperium
Islam.
Orientasi kelahiran Ahmadiyah adalah pembaharuan pemikiran ummat
Islam. Pendiri Ahmadiyah Mirza Gulam Ahmad merasa memiliki tanggung
jawab besar yang harus dia pikul untuk memajukan Islam dengan memberikan
interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan zamannya,
dengan menulis kitab yang dijadikan rujukan utama setelah Al-Qur’an nomor
dua yaitu Tadzkirah.
Mengenai kedatangan al-Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan, mereka
menggunakan sabda Nabi Saw. Sebagai dasar, yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Ibnu Bukair, dari al-Laits dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari
Nafi’ Maulana Abi Qatadah al-Anshari, dari Abu Hurairah, bahwa kata-kata
imamukum minkum menunjukan seseorang di antara umat Islam sendiri.
Artinya, bukan seorang imam yang datang dari luar umat Islam, misalnya dari
Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih yang akan datang di akhir zaman itu
bukanlah Nabi Isa a.s yang telah wafat, melainkan seorang muslim yang
mempunyai perangai atau sifat-sifat seperti nabi Isa a.s dalam pandangan
Ahmadiyah, al-Masih yng dijanjikan itu adalah Mirza Ghulam Ahmad dari
Qadian.
Khalifah hanyalah pemimpin-pemimpin rohani. Aliran Ahmadiyah
Qadian menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan rasul yang disebutkan di
dalam Al-Qur’an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin
pemerintahan. Di antara sekian banyak nabi dan rasul yang disebutkan
dalam al-Qur’an hanya beberapa orang saja yang menjadi pemimpin
rohani dan sekaligus pemimpin pemerintahan.
Pengertian Jihad menurut Ahmadiyah, Lahore maupun Qadian
adalah mencurahkan segala kesanggupan dalam menghadapi pertempuran,
menyampaikan pesan. Kebenaran atau dengan kata lain jihad adalah tidak
menahan apapun, mengarahkan segala daya dengan memaksakan diri
dalam mencapai suatu tujuan.
Bagi Ahmadiyah, sistem khilafah yang harus berdiri itu adalah
Khilafah Ala Minhajin Nuhuwwah, maka itu artinya kekhalifahan ini
coraknya adalah agamis, bukan politis. Tetapi memiliki implikasi politis
ketika bersinggungan dengan sistem pemerintahan.
Ahmadiyah dalam strategi perjuangan meraih kekuasaan didapat
dengan dua cara: pertama, pendekatan kooperatif kepada penguasa atau
tidak melakukan serangan ke pihak lawan dan kedua, melalui legitimasi
wahyu. Sedangkan hubungan Islam dan politik dalam pandangan
Ahmadiyah terletak pada sistem khilafah ala minhaajin Nubuwah dan
sistem imamah (kepemimpinan) yang bersifat otokratis.
Saran
Adapun saran-saran ang diajukan adalah sebagai berikut:
Hendaknya bagi kalangan agamawan berusaha menemukan kata dialog
dalam mensikapi perbedaan keyakinan yang berurat akar, dicarikan
solusi setiap permasalahan dengan Ahmadiyah.
Bagi kalangan sarjana politik Islam, diharapkan dapat
mengembangkan lebih jauh tentang politik Islam dalam pandangan
Ahmadiyah agar menjadi bahan dialog dalam membangun
peradaban yang saling menghargai perbedaan
bagi pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
referensi guna menjembatani perbedaan teologis yang sulit
dipertemukan.
Daftar Pustaka
Alhadar, Abdullah Hasan. Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah,
Bandung: PT. Alma’arif, Cetakan Pertama 1980
Aziz, Abdul Ghaffar. Islam Politik Pro dan Kontra. Jakarta: Pustaka Firdaus,1993
Banna, Hasan Al. Risalah Pergreakan Ikhwanul Muslimin. Terj. Anis Matta,
LC.et.all. Surakarta:Era Intermedia, 1999
Bashiruddin M.A., Apakah Ahmadiyah itu? Terjemah Abdul wahid H.A.Djakarta
Djemaah Ahmadiyah Indonesia, 1963
Bashiruddin, Mahmud Ahmad, Apakah Ahmadiyah itu?, Jakarta, Djemaat
Ahmadiyah Indonesia, 1963
Bashiruddin, Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj.
Malik Aziz Ahmad khan. Parung: Jamaah Ahmadiyah Indonesia,1995
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006
Burhanuddin, Asep. Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan. Jogjakarta: Lkis,
2005
Burhanuddin, “Carut Marut Wajah Teknis”. Artikel di akses tanggal 18 Januari
2009, dari http://carur.marut/politikislam.html
Chinioti, Asy-Syekh Manzhur Ahmad. Al-Qadiani wa Mu’taqaduhu,
Pakistan,1958
Huntington, Samuel. Benturan Peradaban, Yogyakarta:Penerbit Qalam, 2004
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Jambatan, 1992
Indris, Irfan. “Paradigma Pemikiran Politik Islam Modern” artikel di akses pada
tanggal 22 Januari 2009, dari http:// detak.fajar.co.id/ newa.php?
Newsid=84233
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusaka, 1998
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus,2002
Kurniawan, A. Fajar. Teologi Kenabian Ahmadiyah. Jakarta: RM Books, 2006
Maftuhin, “Prinsip Moral dalam Politik Islam (Kajian Terhadap Pemikiran Al-
Gazahli)”. Skripsi SI, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005
Mahally, Abdul Halim. Benarkah Ahmadiyah Sesat. Jakarta: Cahaya Kirana
Rajasa, 2006
Majid, Nurkholis. “Islam dan Politik Suatu Tinjauan Atas Prinsip-Prinsip Hukum
dan Keadilan”. Artikel diakses pada tanggal 20 Januari 2009, dari
http//islamdanpolitik.prinsip.nurkholis.html
Maududi, Abu A’la Al-, Politik Alternatif: Suatu Perspektif Islam. Jakarta: Gema
Insani Press, 1994
Maududi, Abu A’la Al-, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Terj. Drs.
Asep Hikmat. Bandung:Mirza,1995
Mufid, Moh. M.Si. Politik Dalam Perspekitf Islam. Jakarta: UIN Press,2004
Muhammad, Mustafa. Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern
Solo: Era Intermedia,2000
Nahdi, A. Sejemput Riwayat dan Mukjizat Pendiri Ahmadiyah., Jakarta: Raja
Pena, 2001
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985
Noer, Deliar. Gerakan Modren Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta: LP3ES
1995
Qardhawy, Yusuf, Fikih Negara: Ijitihad Baru Seputar Sistem Demokrasi Multi
Partai dan Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi dalam
Pemerintahan Sekuler, terj, Syarif Halim. Jakarta: Rabbani Press,1997
Raziq, Ali Abd ar-. Islam Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian Khilafah dan
Pemerintahan Dalam Islam. Yogyakarta: Jendela, 2002
Sakhir, Zai., Islam: Religelion or Ideology. Zaituna Institute: 2006
Salus,Ali As-. Imamah dan Khilafah: Dalam Tinjauan Syar’I. Jakarta: Gema
insani Press, 1997
Shultoni, Ahmad. Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 1999
Soekarno, Di Bawa Bendera Revolusi Jilid I, Jakarta: PT. Djambatan
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1992
Syamsuddin, Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Ciputat: Logos,
Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
LkiS, 2005