jurnalisme sehat untuk penanggulangan bencana

2
Kombinasi Edisi ke-56 Juni 2014 18 M EDIA H al itu terungkap dalam dis kusi bertema “Jurnalisme Sehat dalam Penanggulang an Bencana Erupsi Merapi” yang diprakarsai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Geologi (BP PTKG) dan Jalin Merapi, Selasa (10/6) di Kantor BPPTKG Yogyakarta. Disku si yang dibuka Kepala BPPTKG Suban driyo itu menghadirkan Jenarto, pe nyiar Radio Komunitas Lintas Mera pi FM dan Ahmad Arif, jurnalis Hari an Kompas sebagai narasumber. Dalam diskusi yang diikuti oleh jur nalis media arus utama, media komu nitas, serta admin media sosial ini, Su bandriyo menuturkan bahwa selama ini pihaknya cukup kewalahan ketika menghadapi munculnya beragam in formasi terkait kondisi Gunung Me rapi. Banyak berita yang ternyata tak sesuai fakta sehingga membuat ma syarakat bingung. oleh karena itu jur nalisme sehat sangat dibutuhkan. Bagi Subandriyo, jurnalisme sehat adalah jurnalisme yang menghasilkan informasi menyehatkan bagi psikolo gi masyarakat. Artinya, informasi itu tidak membingungkan, dan bisa men dorong masyarakat untuk bersikap tenang namun tetap siaga dan antisi patif dalam merespons bencana. “Se hingga masyarakat dapat merespons aktivitas gunung Merapi secara lebih efektif dan terukur tanpa ada kepanik an, meskipun badan pemerintah tak bisa menjamin masyarakat untuk ti dak panik,” ujarnya. Terkait dengan aktivitas kegunung apian, lanjut dia, perbedaan persepsi dalam menginterpretasikan aktivitas gunung api adalah hal biasa. Interpre tasi tidak tunggal karena setiap ahli mempunyai pendapat yang berbeda. Perbedaan interpretasi ini menjadi ba han berita yang menarik bagi media. Namun jika tidak hatihati, informasi mengenai perbedaan pendapat di ka langan ahli gunung api bisa membu at masyarakat kebingungan. oleh karena itu, ke depan ia berha rap informasi yang berkaitan dengan peringatan dini status Merapi berasal dari satu sumber. Adapun sumber in formasi resmi terkait aktivitas gunung api di Indonesia ada di Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Da ya Mineral, dan BPPTKG untuk infor masi lokal terkait Merapi. Gagap Bencana Ahmad Arif berpendapat, salah sa tu masalah paling serius dalam peli putan bencana di Indonesia adalah mi nimnya pengetahuan jurnalis tentang bencana. Banyak media arus utama yang tak punya standar prosedur ope rasional dalam meliput bencana. Arif mencontohkan adanya jurna lis televisi yang tidak dapat membe dakan antara awan panas dengan abu vulkanik. Selain itu, banyak lembaga media yang menggunakan lokasi ben cana sebagai tempat magang bagi war tawan baru, sehingga akhirnya salah dalam memberitakan bencana. Padahal jurnalis juga menjadi ke lompok rentan dalam bencana. Keti ka meliput tsunami Aceh, ada jurna lis foto yang kehilangan keluarganya ketika sedang meliput bencana yang semula dikiranya hanya banjir besar. Sebagai jurnalis, ia memang menda pat kepuasan batin lantaran berhasil Jurnalisme Sehat untuk Penanggulangan Bencana Tahap-tahap penanggulangan bencana membutuhkan keterlibatan media yang menyebarkan informasi terkait bencana kepada masyarakat. Namun informasi mengenai penanggulangan bencana ha- nya akan berguna bagi warga jika media menerapkan jurnalisme sehat. Oleh FATCHUR RAHMAN SATUHARAPAN.COM

Upload: nuno-rahman

Post on 02-Apr-2016

218 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Tahap-tahap penanggulangan bencana membutuhkan keterlibatan media yang menyebarkan informasi terkait bencana kepada masyarakat. Namun informasi mengenai penanggulangan bencana hanya akan berguna bagi warga jika media menerapkan jurnalisme sehat. Bagi Subandriyo, jurnalisme sehat adalah jurnalisme yang menghasilkan informasi menyehatkan bagi psikologi masyarakat. Artinya, informasi itu tidak membingungkan, dan bisa mendorong masyarakat untuk bersikap tenang namun tetap siaga dan antisipatif dalam merespons bencana. “Sehingga masyarakat bisa merespons aktivitas gunung Merapi secara lebih efektif dan terukur tanpa ada kepanikan, meskipun badan pemerintah tidak bisa menjamin masyarakat untuk tidak panik,” ujarnya.

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnalisme Sehat untuk Penanggulangan Bencana

Kombinasi Edisi ke-56 Juni 201418

M E d i a

Hal itu terungkap dalam dis­kusi bertema “Jurnalisme Se hat dalam Penanggu lang­an Bencana Erupsi Me rapi”

yang diprakarsai Ba dan Pengkajian dan Penerapan Teknolo gi Geo logi (BP­PTKG) dan Jalin Merapi, Selasa (10/6) di Kantor BPP TKG Yog ya kar ta. Disku­si yang di bu ka Kepala BPP T KG Suban­driyo itu meng ha dirkan Je nar to, pe­nyi ar Ra dio Ko muni tas Lin tas Mera­pi FM dan Ah mad Arif, jur na lis Ha ri­an Kompas se ba gai na ra sum ber.

Dalam diskusi yang diikuti oleh jur­nalis media arus utama, media ko mu­nitas, serta admin media so sial ini, Su­bandriyo menuturkan bah wa sela ma ini pihaknya cukup ke wa lahan ketika menghadapi munculnya bera gam in­for masi terkait kondisi Gu nung Me­ra pi. Banyak berita yang ternyata tak sesuai fak ta se hing ga membuat ma­sya rakat bi ngung. oleh karena itu jur­nalisme se hat sangat dibutuhkan.

Bagi Subandriyo, jurnalisme sehat adalah jurnalisme yang menghasilkan informasi menyehatkan bagi psikolo­gi masyarakat. Artinya, informasi itu

tidak membingungkan, dan bisa men­dorong masyarakat untuk ber si kap te nang namun tetap siaga dan an ti si­pa tif dalam merespons ben ca na. “Se­hingga masyarakat dapat merespons aktivitas gunung Merapi se ca ra lebih efektif dan terukur tanpa ada kepanik­an, meskipun badan pe me rin tah tak bisa menjamin ma sya ra kat un tuk ti­dak panik,” ujarnya.

Terkait dengan aktivitas kegunung­apian, lanjut dia, perbedaan persepsi dalam menginterpretasikan aktivitas gunung api adalah hal biasa. Interpre­tasi tidak tunggal karena setiap ahli mempunyai pendapat yang ber beda. Perbedaan interpretasi ini menjadi ba­han berita yang menarik bagi me dia. Namun jika tidak hati­ha ti, infor masi mengenai perbedaan pen da pat di ka­langan ahli gunung api bisa mem bu­at masyarakat kebi ngung an.

oleh karena itu, ke depan ia berha­rap informasi yang berkaitan dengan peringatan dini status Merapi berasal dari satu sumber. Adapun sum ber in­formasi resmi terkait aktivitas gu nung api di Indonesia ada di Badan Geo logi

Kementerian Energi dan Sum ber Da­ya Mineral, dan BPPTKG un tuk in for­masi lokal terkait Merapi.

Gagap Bencana Ahmad Arif berpendapat, salah sa­

tu ma salah paling serius dalam peli­put an bencana di Indonesia adalah mi­nim nya pengetahuan jurnalis ten tang bencana. Banyak media arus uta ma yang tak punya standar pro se dur ope­rasional dalam meliput ben ca na.

Arif mencontohkan adanya jur na­lis televisi yang tidak dapat mem be­da kan antara awan panas dengan abu vul kanik. Selain itu, banyak lembaga media yang menggunakan lokasi ben­cana sebagai tempat magang bagi war­ta wan baru, sehingga akhirnya sa lah dalam memberitakan bencana.

Padahal jurnalis juga menjadi ke­lompok rentan dalam bencana. Ke ti­ka meliput tsunami Aceh, ada jurna­lis foto yang kehilangan keluarganya ke tika sedang meliput bencana yang se mu la dikiranya hanya banjir be sar. Sebagai jurnalis, ia memang men da­pat kepuasan batin lantaran berhasil

Jurnalisme Sehat untuk Penanggulangan BencanaTahap-tahap penanggulangan bencana membutuhkan keterlibatan media yang menyebarkan informasi terkait bencana kepada masyarakat. Namun informasi mengenai penanggulangan bencana ha-nya akan berguna bagi warga jika media menerapkan jurnalisme sehat.

Oleh FATCHUR RAHMAn

satuHaraPan.com

Page 2: Jurnalisme Sehat untuk Penanggulangan Bencana

Kombinasi Edisi ke-56 Juni 2014 19

meng aba di kan momen bencana. Na­mun ia tidak menyadari bahaya yang meng ancam nyawanya saat bertugas.

Bencana juga menjadi komoditi, ti­dak hanya bagi media massa, tapi ju­ga media sosial. Kesedihan ma sya ra­kat dieksploitasi. Prak tik itu se makin marak ter uta ma di me dia yang sarat ke pen ting an po li tik pemiliknya.

Kini ada kecenderungan me dia di Indonesia dimiliki pengu asa tunggal atau pemegang saham mayo ritas. Ka­rena itu, ada prak tik­prak tik tang gung jawab sosial per usa ha an (CSR) terse­lubung saat me dia menyalurkan ban­tuan. Ben ca na didra ma ti sasi lantaran pihak media terlibat da lam pe ngum­pulan ser ta penyaluran ban tuan.

Media massa pun tak selalu meng­awal proses pemulihan pascabenca­na yang sebenarnya vital. Se la in itu, ada bias desentralisasi da lam pembe­ritaan, seperti ketika ben cana di Men­ta wai ber lang sung ham pir bersama­an dengan Me ra pi. Li put an me dia yang terfokus pada Me ra pi membuat ben­cana Mentawai ham pir ter lu pakan.

Situasi pascabencana juga berpo­tensi jadi bencana ba ru. Sembi lan bu­lan usai erupsi Sina bung menjadi pun­cak kri sis bagi war ga penyintas. Pu­sat Vulka nologi dan Mitigasi Benca na Geologi sudah mem per si la kan warga untuk pulang, ta pi warga tak be ra ni. Selain itu, se la lu ada po tensi kon flik dan kejahat an korupsi pas caben cana yang se ba ik nya dika wal media.

Arif menambahkan, seharusnya li­putan bencana diawali dengan mem­pelajari informasi dari bencana sebe­lumnya. Ada tiga tahap yang harus di­lakukan. Pertama meliput pra benca­na untuk mendorong kesiapsiagaan, kedua meliput tahap tanggap darurat sewaktu terjadi ben ca na, dan ketiga mengawal proses re kon struksi dan re­habilitasi pas ca ben cana untuk men­cegah munculnya ben ca na baru.

Dia lantas membandingkan media di Indonesia dengan media di Jepang da lam memberitakan tahap tanggap darurat bencana. Jepang mempunyai lem baga penyiaran publik NHK yang me mang diwajibkan oleh undang­un­dang untuk menyampaikan in for ma­si tanggap darurat.

Pendokumentasian terbaik tentang tsunami dilakukan oleh me dia di Je­pang karena sebelum tsunami da tang, stasiun televisi di sana sudah si ap me­nyorot gelombang yang da tang. Se­dangkan berita pertama ten tang tsu­nami Aceh baru muncul 12 jam pas­cakejadian, itu pun tidak akurat.

Di Jepang, hampir tak ada jeda da­lam pemberitaan bencana. Media Je­pang berhubungan langsung de ngan institusi pemantau bencana dan lem­baga ber we nang. Di Indonesia, jur na­lis terpaksa mengandalkan te bengan untuk mencapai lo ka si ben cana di pe­losok. Aki bat nya, antara lain, pe nyam­paian in for ma si bencana di Ke pu lau­an Men ta wai terlambat satu hari.

Di samping itu, media­media di Je­pang cenderung memberi infor masi yang bisa mengangkat semangat un­tuk bang kit. “Substansi pem be ritaan­nya di de sain untuk mendorong kor­ban tetap bersemangat,” ka ta Arif.

AlternatifKegagapan media arus utama da­

lam meliput bencana itu meng ha dir­kan tantangan sekaligus peluang ba­gi media­media alternatif, utamanya me dia komunitas. Untuk itu, ke mam­pu an media komunitas dalam meng­ha dirkan informasi akurat ter ka it ben­cana di wilayahnya perlu di per kuat se­hingga warga punya sum ber infor ma­si alternatif yang bisa di per caya.

Terlebih lagi pada kondisi bencana, ba nyak media arus utama yang lum­puh karena ikut terkena bencana. Ra­dio dan media sosial semacam twit­ter yang lebih tahan bencana menja­di media yang efektif. Ketika terjadi tsu nami, media sosial di Jepang juga me miliki peran besar. Banyak korban yang terselamatkan berkat informasi yang beredar di twitter.

Penggunaan radio dan media sosi­al juga sudah lama dipraktikkan di Me­rapi. Salah satu contoh keberhasilan penggunaan radio dan media sosial un tuk meliput bencana di se putar ka­wasan Merapi dilakukan oleh Ra dio Komunitas Lintas Merapi FM.

Jenarto mengungkapkan, pada awal kip rah nya menyediakan informasi se­pu tar Merapi bagi warga, Lintas Me­

ra pi FM kerap dicap sebagai provoka­tor dan pembangkang oleh pe merin­tah. Cap itu justru muncul ke ti ka pa­ra pe giatnya berupaya me nyam pai kan in formasi yang benar bagi war ga.

Contohnya terjadi men jelang erup­si Merapi 2006. Sewaktu Merapi ber­sta tus “waspada”, pe merintah setem­pat me me rin tahkan warga me ngung­si. Pe giat Lintas Merapi FM yang su­dah bel ajar bahwa evakuasi mestinya ba ru dila ku kan ketika sta tus “awas” pun me no lak pe rintah itu, se hing ga di­cap se ba gai pem bang kang.

Namun, radio komunitas itu terus konsisten pada upayanya sehingga ja­di rujukan penting bagi warga. Pada erupsi Merapi 2010, Lintas Me rapi FM dapat menunjukkan bahwa ra dio ko­munitas bisa berperan baik di ra nah onair maupun offair.

Menurut Jenarto, media arus utama ter utama televisi masih sering salah da lam memahami istilah­istilah ke­ben ca naan sehingga memberi infor­masi yang membingungkan bagi war­ga. Guna mengatasi hal itu, Lintas Me­rapi FM pernah sampai ha rus men­da tangkan petugas BP P T KG guna me­luruskan informasi dan mem berikan penjelasan lang sung ke pada warga.

Terkait fenomena media sosial, Je­narto mengatakan saat ini ma kin ba­nyak komunitas yang meng gu na kan media sosial untuk menye bar kan in­formasi tentang Merapi. Na mun, ba­nyak di antaranya yang menyebarkan opini ketimbang fakta.

Kondisi tersebut membuat pegiat Lin tas Merapi FM khawatir. “Mun cul­nya komunitas­komunitas itu mem­buat masyarakat terkotak­ko tak, se­hingga nanti jika terjadi le tus an, ma­syarakat bingung harus ber gan tung pada in formasi siapa,” ung kapnya.

Melihat kondisi tersebut, para pe­giat radio komunitas pun aktif men­da tangi warga untuk mengajak mere­ka lebih kritis atas informasi di te le­visi dan me dia la in. “Ka mi bukannya anti TV, te tapi ingin mem be ri pe ma­haman ten tang pem be ri taan yang ti­dak be nar, ba gai ma na meng an ti sipa­si an cam an, me ne nang kan warga, ser­ta me re dam ke pa nik an jika ben ca na Me ra pi ter ja di lagi,” te rang nya.