jurnal skripsi aridiah kusumawati (0811243066)
TRANSCRIPT
GLOBAL WAR ON TERRORISM SEBAGAI STRATEGY OF SYMBOLS
DALAM STRATEGI KEAMANAN AMERIKA SERIKAT PADA MASA
PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH JR. (2001 - 2009)
ARIDIAH KUSUMAWATI
(0811243066)
ABSTRACT
After the attacks on the World Trade Center on September 11, 2001, the
issue of terrorism is becoming increasingly developed. The Global War on
Terrorism (GWOT) has become a symbol that spread by the United States
government, used in response to the attack. This research aims to analyze the use
of the Global War on Terrorism symbols as strategy of symbols used by United
States government in its security strategy during the George W. Bush Jr.
administration (2001-2009). The type of this research is a descriptive research, by
outlining GWOT symbols delivered through three symbolic ways in which,
through autocommunication, the official language of the United States
government's elite, and the formation and development of solidarity groups.
Where all means of delivery was intended to gain global support over the War on
Terrorism. Autocommunication is a symbolic way of delivery, addressed to
internal governance (regime) so the purpose of the submission of the symbol is
reached. The interpretation of ―our‖ and ―them‖ in the speeches of Bush Jr.,
represent the behavior, hope and expectation of the United States decision
makers. This action taken by the United States government is intended to
legitimize the actions of decision makers. The delivery of the Global War on
Terrorism symbols by official language is the statement of Bush Jr., ―either you
are with us or you are with the terrorists‖, which aimed to get support both from
the domestic (United States) and from international community. Then, the delivery
of the Global War on Terrorism symbols by the formation and development of
solidarity groups, namely labeling ―terrorism‖ and ―anti-terrorism‖ by the
United States to reveal who is referred to as comrade (the self) and who is a
potential threat or enemy (the others).
Keywords: Global War on Terrorism, the George W. Bush Jr. Administration,
Strategy of Symbols, Autocommunication, Official Language, Sense of
group Solidarity.
Carl Von Clausewitz‟s mengatakan bahwa “perang tidak lain hanyalah
kelanjutan dari hubungan politik (politic intercourse) dengan pencampuran cara-
cara yang lain”, dimana hubungan politik yang dimaksud tersebut adalah
hubungan antar negara1. Akan tetapi hubungan politik yang ada saat ini dimaknai
berbeda, bukan hanya hubungan antar Negara saja tetapi juga antar Negara
dengan non state actors. Negara tidak lagi menjadi aktor tunggal (state centered
paradigm) dalam kegiatan politik, aktor-aktor lain seperti MNC (Multinational
Corporation), NGO‟s (Non Governmental Organization), individu juga menjadi
aktor penting dalam hubungan internasional. Dimana hubungan masing-
masingnya memiliki relationship yang kompleks.
Individu atau kelompok muncul sebagai international non-state actors
yang juga turut mengambil bagian dalam dinamika sistem internasional tersebut.
Kelompok pemberontakan misalnya, seperti belligerent, insurgent, termasuk
terorisme, merupakan suatu kelompok pemberontakan yang muncul ketika rezim
yang berkuasa tidak memberi kesempatan bagi masyarakat secara umum untuk
menyampaikan aspirasi mereka. Selain itu, jalur penyampaian aspirasi politik
yang tidak berjalan dengan baik, serta adanya kaum minoritas yang merasa
terasingkan, maka kemudian munculah gerakan-gerakan radikal yang pada
akhirnya melahirkan kekerasan-kekerasan terhadap masyarakat sipil.
Pada awal kemunculannya, terorisme merupakan permasalahan internal
yang terjadi dalam suatu negara. Dimana pencegahan dan penanganannya lebih
1 George Abi Saab, 2006. Dalam “War On Terror dalam perspektif Hukum Humaniter
Internasional” oleh Sasmini. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2012 melalui
<http://sasmini.staff.uns.ac.id/2009/08/31/war-on-terror-dalam-perspektif-hhi/ >
merupakan urusan domestik negara. Akan tetapi, isu terorisme saat ini telah
berkembang dan menjadi isu internasional. Karena terorisme telah hadir sebagai
fenomena global yang mengancam semua negara didunia, tidak hanya dalam
dimensi keamanan, melainkan juga dalam dimensi ekonomi, sosial dan masa
depan pemerintahan.2 Tidak hanya itu saja, permasalahan terorisme juga
menyangkut perdamaian dan keamanan internasional. Terorisme yang muncul
menjadi permasalahan global, bisa jadi merupakan kelanjutan dari sejarah panjang
kekerasan yang terjadi dalam skala domestik.3
Dalam The National Security Strategy of The United State of America
(NSS - USA) yang dikeluarkan pada September 2002, pemerintah Amerika
Serikat mendefinisikan terorisme sebagai “premeditated, politically motivated
violence perpetrated against innocents”.4 Hal ini berarti bahwa menurut
pandangan Amerika Serikat, kegiatan terorisme merupakan suatu kejahatan yang
telah dirancang dengan sedemikian rupa dengan motivasi politik dan menyerang
warga sipil. Dalam definisi lain, terorisme mengacu pada pembunuhan dengan
sengaja dan gegabah kepada penduduk sipil atau melakukan pengerusakan dalam
skala luas terhadap properti tertentu, dengan maksud untuk menyebarkan
ketakutan ke seluruh penduduk dan menyampaikan pesan politik kepada pihak
ketiga, yang biasanya ditujukan kepada pemerintah. Dalam hal ini, penulis
menyimpulkan dan mengartikan terorisme sebagai sebuah kejahatan atau
2 Sapto Waluyo. Kontra Terrorisme: Dilema Indonesia di Era Transisi. Jakarta: NF Media Center,
2009, hal. 3. 3 Ibid.
4 The National Security Strategy of The United State of America. 2002. Diakses pada tanggal 11
Oktober 2012 melalui http://www.globalsecurity.org/military/library/policy/national/nss-
020920.pdf.
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan terencana dengan tujuan untuk
menyebarkan ketakutan kepada seluruh warga dan bermotif politik. Jelas bahwa
para teroris meninggalkan rasa takut kepada seluruh warga yang tindakannya
dilandasi dengan motif politik yang ditujukan kepada pihak ketiga (merujuk
kepada pemerintah).
Pasca 9/11, Amerika Serikat gencar menggunakan dan menyebarkan
istilah “war against terrorism” atau “war on terror” atau “global war on
terrorism” (GWOT) kepada dunia. Dalam Strategi Keamanan Nasionalnya, yang
dikeluarkan pada tahun 2002, Presiden George W. Bush Jr. mengatakan
komitmennya (AS) untuk membersihkan dunia dari kejahatan “evil”, dimana
―evil‖ yang dimaksud merujuk kepada terorisme. lebih lengkapnya,
―Just three days removed from these events, Americans do not yet have
the distance of history. But our responsibility to history is already clear:
to answer these attacks and rid the world of evil. War has been waged
against us by stealth and deceit and murder. This nation is peaceful, but
fierce when stirred to anger. The conflict was begun on the timing and
terms of others. It will end in a way, and at an hour, of our choosing.‖5
Dalam strategi keamanan nasional Amerika Serikat tahun 2002, AS
mengkarakteristikkan perang global melawan terorisme kedalam dua kategori
perang yang berbeda, tetapi terjadi dalam satu waktu yaitu perang bersenjata dan
perang pemikiran.6 Dimana perang pemikiran dalam global war on terrorism ini
menjadi perang yang fundamental dan akan butuh waktu lama untuk
menyelesaikannya. Dalam perkembangannya, banyak konspirasi yang muncul
5 The National Security Strategy of The United State of America 2002. Op.cit. hal.05.
6 Ibid. Dengan tegas dijelaskan oleh AS dalam strategi keamanan nasionalnya tahun 2002, yaitu
―we will also wage a war of ideas …‖); dan ―a battle of arms and a battle of ideas‖.
pasca terjadinya 9/11, beberapa diantaranya adalah ada yang mempercayai bahwa
kelompok Al-Qaeda tidak melakukan pemboman tersebut, kemudian ada juga
yang mempercayai bahwa pemerintahan Bush Jr. sebenarnya mengetahui
penyerangan tersebut tetapi membiarkannya terjadi seraya menghasut dengan
agenda mereka untuk mendapatkan kontrol dan power secara nasional dan
internasional, kemudian ada juga yang mempercayai bahwa pemerintahan Bush
mungkin tidak mengetahui kejadian tersebut tetapi berusaha untuk mendapatkan
keuntungan demi agenda yang sama tersebut, dan ada pula yang percaya bahwa
Israel (yang merupakan sekutu AS) terlibat didalamnya.7
Ditahun pertama masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat ke-43,
George Walker Bush Jr., merupakan masa dimana penguatan sektor militer
menjadi lebih dominan, khususnya perlawanan terhadap terorisme. Dimana pada
masa pemerintahan Presiden Bill Clinton sebelumnya, ekspansi aliansi militer
(seperti NATO), serta koalisi multinasional dalam melawan terorisme, korupsi,
hingga membentuk komitmen internasional terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)8
menjadi fokus utama dalam strategi keamanan nasional Amerika Serikat.
Penguatan terhadap sektor militer pada masa pemerintahan G. W. Bush Jr.
semakin menguat pasca peristiwa pengeboman gedung World Trade Center
(WTC) lalu. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini. Dimana dalam tabel
dibawah ini menunjukkan besaran skala prioritas kebijakan luar negeri Amerika
7 NN. 9/11 Investigation. Diunduh pada tanggal 25 September 2012 melalui
<http://www.globalissues.org/article/509/911-investigation> 8 National Security Strategy Report - October 1998. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2012
melalui <http://GlobalSecurity.Org/military/National Security Strategy Report - Oktober
1998/201998.htm>.
Serikat pada tahun 2001 hingga tahun 2004, pada masa pemerintahan George W.
Bush Jr.
Tabel 1.
Foreign Policy Priorities, 2001 – 20049
Issue Area
Percentage of Americans considering issue a
»top priority«
Early
September
2001
October 2001 July 2004
Protect against terrorist attacks 80 93 88
Protect jobs of American workers 77
74
84
Reduce spread of aids & other
diseases
73
59
72
Stop spread of weapons of mass
destruction
78 81 71
Insure adequate energy supplies 74 69 70
Reduce dependence on foreign oil - - 63
Combat international drug
trafficking
64 55 63
Distribute costs of maintaining
world order
56 54 58
Improve relationships with allies - - 54
Deal with problem of world
hunger
47 34 50
Strengthen the United Nations 42 46 48
Protect groups threatened with
genocide
49 48 47
Deal with global warming 44 31 36
Reduce U.S. military
commitments
26 - 35
Promote U.S. business interests
abroad
37 30 35
Promote human rights abroad 29 27 33
Solve Israeli / Palestinian conflict - - 28
Promote democracy abroad 29 24 24
Improve living standards in poor 25 20 23
9 Dalam artikel yang ditulis oleh Daniel W. Drezner, “The Future of US Foreign Policy‖. IPG
I/2008. Hal. 11-35.
nations
Sumber : Pew / cfr survey, “Foreign Policy Attitudes Now Driven by 9/11 and
Iraq”, «http://people-press.org/reports/display.php3?Pageid=865«,
August 2004.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa prioritas kebijakan luar negeri
Amerika Serikat yang utama adalah perlindungan terhadap serangan teroris. Jelas
bahwa ada persentase yang meningkat dari pemerintah AS dan warga masyarakat
Amerika Serikat sendiri terhadap penanganan isu terorisme.
Pembentukan istilah Global War On Terror juga dilatar belakangi oleh
sosial – budaya AS dalam menginterpretasikan serangan 11 September. Dari hal
tersebut, terbentuklah image atau simbol strategi yang diusung oleh Amerika
Serikat. Pasca 9/11 ini, Amerika Serikat mulai mempromosikan Global War on
Terrorism kepada dunia. Banyak negara ikut “geram” atas peristiwa pemboman
tersebut dan mulai menentukan sikap untuk ikut memerangi terorisme bersama
AS dan negara-negara lainnya. Disisi lain, AS terus melakukan negosiasi dengan
PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengenai peristiwa 9/11 tersebut. Hingga
kemudian pada tanggal 8 November 2002 PBB melalui Dewan Keamanan PBB
(DK PBB) mengeluarkan resolusi No. 1441 mengenai pelucutan senjata
pemusnah massal Irak. Dengan resolusi ini, pemerintah Amerika Serikat
mendapat kesempatan untuk bisa menyerang Irak atas tuduhan kepemilikin WMD
(Weapons Mass Destruction) atau senjata pemusnah massal dan mempromosikan
demokrasi juga membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam Husein.
Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan George W. Bush
Jr. didominasi oleh kalangan yang berhaluan keras. Mereka sering disebut kaum
hawkish karena kecenderungan mereka untuk menyelesaikan suatu konflik dengan
jalan perang. Mereka yang tergolong kaum hawkish ini adalah Menteri Pertahanan
Donald H. Rumsfeld, Wakil Presiden Dick Cheney, dan Penasihat Keamanan Paul
Wolfowitz. Dalam National Military Strategic Plan for The War On Terrorism10
,
banyak memasukkan rencana-rencana strategis militer AS untuk memerangi
terorisme. Didalamnya terdapat tujuan strategis nasional AS dalam memerangi
terorisme, yaitu “The national strategic aims are to defeat violent extremism as a
threat to our way of life as a free and open society; and create a global
environment inhospitable to violent extremists and all who support them.”11
Dengan kata lain, terdapat dua strategi nasional AS dalam memerangi terorisme,
yaitu menaklukkan ekstremisme keras dan membentuk lingkungan global yang
tidak ramah terhadap terorisme dan para pendukungnya.
Tindakan pemerintah Amerika Serikat pasca peristiwa nine eleven telah
tersusun dalam strategi keamanan nasional pemerintah AS tahun 2002. Dimana,
terdapat rancangan khusus yang mengatur tindakan – tindakan apa saja yang akan
diambil oleh pemerintah AS dalam memerangi terorisme. Beberapa diantaranya
adalah rancangan strategi keamanan militer AS untuk penanganan terorisme,
strategi khusus dalam memberantas terorisme. Tindakan – tindakan yang diambil
oleh pemerintah AS untuk memerangi terorisme berdasarkan perencanaan strategi
10
Chairman of the joint chief staff. 2006. National Military Strategy Plan for The War On
Terrorism. Department of Defense. Diakses melalui www.jcs.mil. 11
Ibid,hal. 7.
keamanannya tersebut merupakan suatu bentuk respon pertahanan atas peristiwa
9/11. Pasca 9/11, simbol global war on terrorism menjadi sering didengungkan
oleh Amerika Serikat. Sebagai simbol AS atas beberapa tindakan yang dilakukan.
Karena peristiwa 9/11 ini pemerintah Amerika Serikat menjadi sangat agresif
terhadap aksi – aksi terror, baik yang terjadi di wilayah AS maupun di lingkungan
internasional. Terlebih dibawah kepemimpinan George W. Bush Jr. Global war
on terrorism pun menjadi simbol yang mendominasi kebijakan luar negeri
Amerika Serikat. Penulis ingin menjelaskan dan memberi gambaran tentang
bagaimana penggunaan simbol global war on terrorism sebagai strategy of
symbols oleh pemerintah Amerika Serikat yang dilihat melalui tiga cara
penyampaian secara simbolik yaitu, dengan menggunakan cara autokomunikasi,
melalui official language dari para elit pemerintahan, dan dengan membentuk dan
mengembangkan rasa solidaritas kelompok yang mendukung war on terorism
Amerika Serikat.
Dari pemaparan diatas, penulis mempertanyakan bagaimana Global War
On Terrorism digunakan oleh Amerika Serikat sebagai strategy of symbols dalam
strategi keamanan pada masa pemerintahan George W. Bush Jr. (2001 – 2009)?
Global War On Terrorism (GWOT) dalam Kerangka Strategi Keamanan
Amerika Serikat
Komitmen pemerintah Amerika Serikat dalam memerangi terorisme
memang tidak setengah-setengah, terlebih pada masa pemerintahan Presiden
George W. Bush Jr.. Perumusan strategi pertahanan atau strategi perang melawan
terorisme menjadi tolak ukur yang mempengaruhi bagaimana pemerintah AS akan
bertindak. Dan karenanya, dalam merumuskan strategi pertahanannya, pemerintah
Amerika Serikat melakukan kerjasama dengan semua departemen yang ada dalam
pemerintahannya. Hal ini untuk mendapatkan strategi yang komprehensif dan
strategis bagi pemerintah Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman global,
yaitu terorisme.
National Military Strategic Plan for the War on Terrorism (NMSP-WOT)
atau Rencana Strategis Militer Nasional untuk Perang Melawan Terorisme
merupakan rancangan khusus yang dibuat oleh departemen pertahanan AS dengan
gabungan dari seluruh kepala staff didalam pemerintahan Bush. Didalamnya
berisi mengenai perencanaan strategi pemerintah Amerika Serikat untuk
memerangi terorisme global. Dalam rencana strategis tersebut pemerintah AS
mendefinisikan siapa saja yang menjadi musuh atau ancaman yang harus di
perangi dan siapa yang merupakan “kawan”. Pemerintah AS juga membuat
perencanaan strategis untuk menghadapi ancaman terorisme global ini.
Dalam rencana strategis keamanan militer Amerika Serikat, pemerintah
Amerika Serikat menjelaskan bahwa musuh utama dalam global war on terrorism
adalah merupakan pergerakan transnasional dari organisasi ekstremis, jaringan
dan individu – dan pendukungnnya baik negara maupun non-negara – yang
memiliki kesamaan bahwa mereka memanfaatkan Islam dan menggunakan
terorisme untuk tujuan ideologisnya.12
Dimana, Amerika Serikat mengidentifikasi
12
Chairman of the Joint Chiefs of Staff, National Military Strategic Plan for the War on
Terrorism, 2006, Washington, DC 20318, Department of Defense, hal. 13.
bahwa Al-Qaeda Associated Movement (AQAM) merupakan kelompok yang
terdiri dari Al-Qaeda itu sendiri dan gabungan para ekstremis yang merupakan
kelompok ekstremis paling berbahaya.13
Ekstremis yang dimaksudkan oleh
pemerintah Amerika Serikat, yang merujuk pada NMSP-WOT adalah mereka
yang menentang dan mendukung pembunuhan terhadap masyarakat biasa untuk
mencapai tujuan ideologisnya. Lebih jelasnya, ―Extremists‖ are those who (1)
oppose – in principle and practice -- the right of people to choose how to live and
how to organize their societies and (2) support the murder of ordinary people to
advance extremist ideological purposes.14
NMSP-WOT merupakan rancangan militer untuk membantu Amerika
Serikat dalam komitmennya memerangi terorise. Dimana didalamnya terdapat
ringkasan tujuan strategis nasional, strategi dan tujuan negara dalam GWOT.
Adapun tujuan strategis nasionalnya pemerintahan Bush Jr. pada saat itu adalah
“Defeat violent extremism as a threat to our way of life as a free and open society,
and Create a global environment inhospitable to violent extremists and all who
support them.‖15
Jelas bahwa, pemerintah Amerika Serikat dibawah
kepemimpinan Bush Jr. memiliki komitmen yang lebih agresif terhadap ancaman
global yang selalu dikatakan oleh AS, yaitu terorisme. Tidak hanya tujuan
nasionalnya yang ingin membentuk lingkungan yang tidak ramah bagi ekstremis
keras dan para pendukungnya, pemerintah AS juga melakukan tindakan atau
13
Ibid. 14
Ibid, hal. 11. 15
Ibid, hal. 19.
langkah yang mendukung tujuan tersebut. Sebagaimana terlihat dalam gambar
strategi nasional AS untuk GWOT ini.
Gambar 1.
National Strategy for The GWOT16
Dari gambaran strategi nasional yang dibuat oleh pemerintah Amerika
Serikat diatas, kita bisa melihat bagaimana pemerintahan Bush Jr. merespon
ancaman global yang sedang terjadi. Strategi pemerintah Amerika Serikat dalam
perang global melawan terorisme tersebut merupakan upaya internasional untuk
16
Ibid.
Ends
National Strategic Aims:
Defeat violent extremism as a threat to our way of life as a free and open society, and
Create a global environment inhospitable to violent extremists and all who support them.
Expand foreign partnerships and partnership capacity.
Instruments of National Power
Attack
Terror
-ists
Support
Main-
stream
Muslims
Prevent terrorist use of WMD.
Institutionalize the GWOT domestically and internationally.
Ways
Means
Continue to lead a broad international effort to
deny terrorist networks the resources they need to
operate and survive.
Protect
the
Home-
land
meniadakan jaringan ekstremis keras atas sumber daya (resources) dan fungsi
yang mereka butuhkan untuk beroperasi dan bertahan.
Terdapt tiga elemen untuk mendukung upaya pemerintah AS dalam
memerangi terorisme global, sebagaimana telah disebutkan diatas. Elemen
pertama merupakan Protect and defend the homeland, yaitu melindungi dan
mempertahankan tanah air dari ancaman terorisme global. Elemen ini merupakan
upaya dari pemerintah AS menjaga dan memberi perlindungan terhadap
masyarakat, perekonomian mereka, dan sistem pemerintahan dari dampak
ancaman terorisme, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Kedua, attack
terrorists and their capacity to operate effectively at home and abroad. Dimana
dalam hal ini merupakan bentuk strategi penyerangan yang didesain untuk
menghilangkan operasi teroris, mempengaruhi atau me-non-efektifkan
kemampuan teroris untuk melakukan ancaman atau penyebaran ideologi mereka.
Sebagaimana dikatakan dalam NMSP-WOT bahwa, “… These efforts include
killing and capturing key enemy leaders and foot soldiers, destroying training
centers, and denying the enemy access to each of the eight categories of resources
and functions critical to the enemies‘ operations…‖17
Jelas terlihat bahwa,
pemerintah Amerika Serikat memang ingin memutus jaringan terorisme global
yang menjadi “new challenge” bagi negara-negara didunia, terutama bagi
Amerika Serikat.
Kemudian elemen ketiga, yaitu support mainstream muslims efforts to
reject violent extremism, dimana pemerintah Amerika Serikat berkomitmen untuk
17
Ibid, hal. 20.
mendukung upaya kelompok muslim mainstream untuk menolak ekstremisme
keras. Dukungan ini memang dilakukan oleh pemerintah AS yang ditujukan untuk
menekan kelompok-kelompok Islam lainnya agar tidak melakukan tindakan
berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh teroris. Kunci utama dalam
dukungan yang dilakukan oleh pemerintah AS adalah;
―… Key to this is Muslim populations‘ belief that terrorism is not a
legitimate means to pursue political goals. The strategy is to encourage
and enable moderates to promote the view that violent extremist efforts
undermine the wellbeing of the Muslim community on a local, regional,
and global level. The belief that violent extremist efforts are harmful to the
Islamic community, and contrary to the teachings of Islam, must come
from within Islam itself…‖18
Dalam elemen ketiga ini, pemerintah AS ingin memberikan suatu pemikiran
tentang kebebasan, demokrasi dan kemakmuran ekonomi terhadap masyarakat
muslim. Yang kemudian pada kenyataannya adalah bahwa selain untuk
memerangi terorisme, pemerintah AS juga menyebarkan ideologi mereka
mengenai demokrasi, kebebasan dan kemakmuran ekonomi. Di sisi lain terlihat
bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah AS ini merupakan cara yang
digunakan untuk mendapakan simpati dari sebagian masyarakat muslim lainnya.
Dari ketiga elemen strategi pemerintah Amerika Serikat untuk memerangi
terorisme tersebut, dilakukan penyempurnaan dengan memberikan tiga elemen
atau aspek yang merepresentasikan upaya kritis demi mendapatkan kemenangan
dalam perang tersebut. ketiga aspek tersebut adalah expanding foreign
partnerships and partnership capacity; enhancing capacity to prevent terrorist
acquisition and use of WMD; and institutionalizing domestically and
18
Ibid.
internationally the strategy against violent extremists. Dari ketiga aspek ini, jelas
memperlihatkan bahwa pemerintah Amerika Serikat akan memperluas hubungan
dan kapasitas dari negara-negara sahabat untuk ikut mendukung dalam perang
global melawan terorisme. Yang kemudian diperkuat dengan upaya untuk
menginstitusionalisasikan atau melembagakan strategi melawan ektremis keras
baik secara domestik maupun internasional. Upaya ini diperkuat dengan
peningkatan kapasitas atau kemampuan untuk menghalangi kemampuan teroris
dan penggunaan WMD (Weapon of Mass Destruction).
Dalam komitmennya untuk melakukan perang global melawan terorisme,
pemerintah Amerika Serikat mengoptimalkan peran seluruh instrumen yang
dimiliki oleh negara. Seperti yang dijelaskan dalam gambar 1 (satu) diatas, bahwa
pemerintah AS menggunakan seluruh instrumen kekuatan nasional yang
dimilikinya untuk dapat mencapai tujuan utamanya dalam memerangi terorisme,
yaitu untuk mengeliminasi ancaman teroris internasional, ―… Our goal is to
eliminate the international terrorist threat to people, installations, and other
interests…‖19
Yang kemudian untuk dapat mencapai tujuan tersebut dibutuhkan
upaya kerjasama dari seluruh instrument kekuatan nasional dan dukungan dari
negara sahabat. Disisi lain, selain mencapai tujuan utama, yaitu untuk
mengeliminasi ancaman terorisme global, pemerintah Amerika Serikat juga
melakukan promosi tentang ideologi demokrasinya, kebebasan dan kemakmuran
ekonomi keseluruh dunia. Hal ini dimaksudkan untuk mengeliminasi atau
meminimalisir suatu keadaan yang dapat dimanfaat oleh para teroris untuk
19
US. Foreign policy Agenda, Terrorism : Threat Assessment, Countermeasures and Policy, Vol.
6, An Electronic Journal of The U.S. Department of State, No. 3., Hal. 7.
melakukan tindakan terornya.20
Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah Amerika Serikat pada dasarnya memiliki tujuan dan kepentingan
tersendiri yang melatarbelakangi tindakan yang di ambil.
Global war on terrorism yang nyatanya merupakan suatu perjuangan
panjang bagi pemerintah Amerika Serikat, terutama pada masa kepemimpinan
George W. Bush Jr., untuk dapat menghilangkan ancaman terorisme. Tidak hanya
merangkul negara-negara lain untuk memberikan dukungan dalam GWOT ini,
beberapa organisasi multilateral-pun memberikan deklarasi dukungannya terhadap
AS untuk secara bersama-sama mengeliminasi momok terorisme tersebut.
Organisasi multilateral seperti, PBB, Uni Eropa (the European Union), the
Organization of American States, the Organization for African Unity, the
Organization of the Islamic Conference, and the Asia-Pacific Economic
Cooperation forum,21
dan organisasni lainnya dimana mereka turut memberikan
solidaritasnya terhadap isu terorisme ini. Secara tidak langsung tersirat bahwa
dukungan dari organisasi tersebut memberikan legitimasi atau pengakuan atas
tindakan atau respon yang diabil oleh pemerintah AS atas GWOT.
Global War On Terrorism Sebagai Simbol
Untuk menjelaskan global war on terrorism sebagai simbol yang
digunakan oleh Amerika Serikat, hal pertama yang perlu penulis lakukan adalah
melakukan proses identifikasi mengenai simbol itu sendiri. Kemudian melihat
20
NMSP-WOT, op.cit. ―…The United States is at war, and success in the war will require the
coordinated efforts of all instruments of U.S. and partner national power. In fact, the principal
thrust, must come from instruments of national power and influence outside the Department of
Defense. The United States will also promote freedom, democracy, and economic prosperity
around the world to mitigate those conditions that terrorists seek to exploit.‖ 21
US. Foreign policy Agenda, op.cit.
bagaimana simbol tersebut memiliki makna yang dapat dipahami oleh seluruh
masyarakat luas. Dan menjelaskan mengapa simbol tersebut memiliki makna dan
menjadi berarti bagi yang menggunakannya.
―a symbol is any object used by human beings to index meanings that are
not inherent in, nor discernable from, the object itself. Literally, anything
can be a symbol: a word or a phrase, a gesture or an event, a person, a
place, or a thing. An object becomes a symbol when people endow it with
mening, value or significance.‖22
Sebagaimana dijelaskan oleh Elder dan Cobb dalam Alastair Iain Johnston
tersebut, bahwa simbol merupakan suatu objek yang digunakan oleh manusia
untuk menunjukkan makna yang tidak melekat maupun tidak terlihat dari objek
itu sendiri. Hal ini berarti bahwa, ketika kita menggunakan simbol secara sadar
maupun tidak sadar kita telah mengkomunikasikan makna tersembunyi dibalik
simbol yang kita komunikasikan tersebut. Kemudian, Elder dan Cobb mengatakan
bahwa bentuk simbol bisa berbagai macam. Beberapa diantaranya adalah sebuah
kata atau ungkapan, sebuah isyarat atau kejadian, seseorang, sebuah tempat atau
apapun dapat menjadi sebuah simbol. Yang lebih terpenting menurut Elder dan
Cobb adalah sebuah simbol dapat dikatakan simbol ketika mereka dapat memberi
makna, values (nilai – nilai) atau arti tersendiri terhadap simbol tersebut.
―… symbols are the vehicles through which shared decision rules, axioms,
and preferences are manifested empirically, so that culture can be
communicated, learned, or contested. … these symbols act as ―mental
aids‖ or heuristics which make complex environments more manageable
for decision – makers, and suggest ways of responding to this
environment.‖23
22
Alastair Iain Johnston. Op.cit. Hal.51. 23
Ibid.
Kemudian, definisi simbol selanjutnya dipaparkan oleh Alastair Iain
Johnston dalam Thinking About Strategic Culture diatas. Menurut Johnston,
dijelaskan bahwa simbol merupakan alat untuk menyebarkan keputusan, aksioma
dan pilihan – pilihan yang termanifestasikan secara empiris, sehingga budaya
dapat dikomunikasikan, dipelajari maupun di pertentangkan. Dalam hal ini,
simbol digunakan untuk menyebarkan dan mengkomunikasikan apa yang menjadi
keputusan dan pilihan – pilihan strategis yang telah ditentukan dan diputuskan
oleh para pengambil keputusan. Tidak hanya hal tersebut, simbol juga dapat
berperan sebagai “mental aids” atau bantuan secara mental dan heuristik yang
dapat membuat lingkungan yang kompleks menjadi lebih teratur dan terkendali
bagi para pembuat keputusan. Kemudian, dari simbol tersebut dapat memberikan
cara terbaik dalam merespon lingkungan yang kompleks.
Berdasarkan dua definisi tersebut, penulis mengidentifikasikan global war
on terrorism sebagai sebuah simbol. Dimana global war on terrorism merupakan
suatu kata yang digunakan oleh Amerika Serikat dengan tujuan tertentu. Dengan
simbol GWOT ini, pemerintah Amerika Serikat memiliki values atau nilai – nilai
dan makna tersendiri yang diyakini oleh Amerika Serikat. Sehingga dengan
menggunakan dan mengkomunikasikan simbol global war on terrorism ini,
seluruh masyarakat dunia turut memahami apa yang dipahami oleh Amerika
Serikat dalam tindakannya. Penjelasan mengenai values Amerika Serikat akan
dijelaskan selanjutnya.
Amerika Serikat pun menggunakan simbol global war on terrorism
sebagai “mental aids” atau bantuan secara mental. Simbol global war on
terrorism juga digunakan oleh Amerika Serikat, khususnya para elit pembuat
keputusan untuk mengatur lingkungannya yang kompleks, baik secara internal
maupun eksternal. Hal ini menjadi sangat signifikan berpengaruh karena Amerika
Serikat benar – benar menggunakan simbol global war on terrorism ini untuk
merespon lingkungan yang kompleks. Dalam hal ini berkaitan dengan respon
pemerintah Amerika Serikat terhadap serangan yang terjadi pada tanggal 11
September 2001, di New York. Lingkungan yang kompleks ini dialami oleh
Amerika Serikat dengan adanya ketakutan akan munculnya kekuatan baru yang
akan menandingi kekuatan Amerika Serikat. Tidak berselang lama bagi Amerika
Serikat untuk mengumumkan bahwa pemerintah Amerika Serikat sangat
mengecam serangan pemboman terhadap gedung World Trade Cernter (WTC)
dan mengambil sikap untuk melakukan perang melawan terorisme (global war on
terrorism).
The Bush’ Doctrine dan Jargon Bush dalam Simbol Global War On Terrorism
Doktrin atau ajaran Bush yang popular dengan sebutan The Bush‘
Doctrine merupakan suatu doktrinasi atau ajaran yang berasal dari pemikiran
seorang George Walker Bush Jr.. Doktrin ini tentu tidak muncul dengan tiba-tiba
dan tanpa alasan. Karena munculnya suatu pemikiran dapat disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal yang sedang terjadi pada saat itu. Dalam kasus
terorisme di Amerika Serikat, pasca peristiwa pemboman terhadap gedung WTC
di New York, dengung perang global melawan terorisme semakin nyaring
terdengar keseluruh belahan dunia. Terlebih hal ini sangat direspon oleh Presiden
AS, yaitu George Walker Bush Jr.. Sehingga tindakan yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Bush Jr. tidak terlepas dari pemikirannya dan elit penting
pemerintahannya – seperti, Menteri Pertahanannya, Donald H. Rumsfeld, Wakil
Presiden Dick Cheney, dan Penasihat Keamanan Paul Wolfowitz. Dimana segala
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah AS juga dipengaruhi oleh doktrin Bush
Jr. – pemikiran Bush sebagai respon atas peristiwa nine eleven. Yang kemudian,
doktrin ini termanifestasikan dalam strategi keamanan nasional AS dan strategi
keamanan militer untuk memberantas terorisme.
Dalam merespon isu terorisme, pemerintah Amerika Serikat betindak aktif
dalam memerangi aksi terorisme. Dalam merespon isu terorisme ini, pemerintah
AS mengeluarkan dan melaksanakan doktrin yang dikenal dengan sebutan The
Bush‘ Doctrine atau Doktrin Bush. Dimana doktrin ini merupakan salah satu
tindakan atau langkah nyata yang diambil oleh pemerintahan Bush Jr. dalam
merespon aksi terorisme pada saat itu. Tindakan atau doktrin Bush tersebut
termanifestasikan dalam bentuk “preemptive military action‖, yaitu tindakan
yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat sebangai bentuk “self-defense”
atas isu terorisme. Dimana tindakan ini lebih kepada tindakan defensive
(pertahanan) terhadap peristiwa pegeboman yang terjadi pada 11 September 2001.
Dalam National Security Strategy (NSS) 2002, tindakan preemptive ini
secara tegas ditujukan kepada kelompok teroris dan “rogue states”. Dimana
Michel Chossudovsky mengatakan bahwa, “rogue states” dalam hal ini merujuk
pada “state sponsorships”24
atau negara pendonor yang mendukung tindakan
terorisme. Sebelum para teroris dan rogue state tersebut mengancam dan
menggunakan senjata pemusnah masal untuk melawan AS dan negara sahabat.
Bush menyebutkan bahwa, pemerintahnya harus melakukan suatu tindakan
terlebih dahulu sebelum mereka – teroris – melakukan tindakan. Seperti yang di
kemukakan dalam strategi keamanan nasional AS 2002 “We cannot let our
enemies strike first‖.25
Mackubin Thomas Owens dalam tulisannya The Bush Doctrine: The
Foreign Policy of Republican Empire,26
mengatakan bahwa terdapat tiga prinsip
utama dalam The Bush‗ Doctrine yang dikemukakan oleh presiden Bush Jr. Yang
mana hal ini didasarkan pada pidato kedua George W. Bush dalam upacara
pelantikannya, yaitu “it is the policy of the United States to seek and support the
growth of democratic movements and institutions in every nation and culture, with
the ultimate goal of ending tyranny in our world”27
. Prinsip pertama adalah
penolakan “moral equivalency” (persamaan moral) dalam hubungan internasional.
Dimana terdapat penolakan akan kebutuhan ataupun kemungkinan akan moral
judgment dalam hubungan internasional. Kedua, adalah penyangkalan terhadap
24
Michel Chossudovsky. 2005. America‘s ―War On terrorism‖. Second edition. Global
Reasearch. ISBN 0-9737147-1-9. Hal. 267. 25
The National Security Strategy of The United States of America. 2002. hal. 14–15, dapat
diakses melalui http://www.state.gov/documents/organization/15538.pdf. dalam Robert J.
Delahunty & John Yoo. The ―Bush Doctrine‖: Can Preventive War be Justified? Harvard Jurnal
of Law and public policy, vol. 32. No.3. hal. 843-865. 26
Mackubin Thomas Owens. The Bush Doctrine: The Foreign Policy of Republican Empire.
Published by Elsevier Limited on behalf of Foreign Policy Research Institute. 2008. p. 23-40.
Hal.26. 27
George Bush. Second Inaugural Address. Januari, 20, 2005. Dalam artikel yang ditulis oleh
Mackubin Thomas Owens. The Bush Doctrine: The Foreign Policy of Republican Empire.
Published by Elsevier Limited on behalf of Foreign Policy Research Institute. 2008. Hal. 23-40.
teori pekerja sosial (“social work‖) dalam terorisme, yang meyakini bahwa faktor
ekonomi (seperti kemiskinan dan kelaparan) merupakan akar dari fenomena yang
terjadi ini28
. Doktrin Bush yang ditemukan ini menyatakan bahwa terorisme yang
terjadi pada 9/11 dan sebelumnya merupakan suatu ideologi yang kejam yang
bertujuan untukk menghancurkan liberalisme barat. Berdasarkan Doktrin Bush ini
bahwa 9/11 dan agresi serupa lainnya merupakan budaya tirani di Timur Tengah,
“the culture of tyranny in the Middle East, which spawns fanatical, aggressive,
secular, and religious despotisms”29
dan langkah perbaikannya adalah perubahan
rezim demokrasi. Prinsip ketiga adalah Doktrin Bush merupakan pengakuan
bahwa pendekatan tradisional pasca 9/11 terhadap ancaman (seperti deterrence,
containment dan ex post facto) tidaklah cukup ketika berurusan dengan teroris dan
rogue regimes (rezim yang tidak bertanggung jawab) yang mencoba untuk
mendapatkan senjata pemusnah masal. Dimana dibawah Doktrin Bush ini,
Amerika Serikat memiliki hak untuk melakukan preventive war. Bentuk dari
preventive war ini lah yang memberi kewenangan untuk melakukan tindakan
preemptive (penyerangan terlebih dahulu terhadap lawan).
Dengan doktrin preemptive tersebut, pemerintah Amerika Serikat memiliki
hak untuk melakukan perlawanan atau penyerangan secara sepihak kepada musuh.
Dimana doktrin tersebut menjadi pembenaran terhadap segala tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah AS akibat tindakan pemboman pada 11 September
2001. Dalam hal ini, pemerintahan Bush melakukan penyerangan terhadap
kelompok yang dipimpin oleh Saddam Husein (Al-Qaeda) atas tuduhan
28
Mackubin Thomas Owens. Op.cit. 29
Ibid.
kepemilikan senjata pemusnah massal (nuklir) dan memandang bahwa kelompok
teroris ini sebagai ancaman yang signifikan di kawasan timur tengah dan
komunitas internasional.30
Sehingga dengan pandangan yang seperti itu, AS
secara sepihak melakukan penyerangan terhadap Irak dan menjatuhkan rezim
Saddam Husein. Dan perang global melawan terorisme pun menjadi pembenaran
atas tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika serikat.
Kemudian, jargon yang digunakan oleh Presiden Bush untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat Amerika Serikat sendiri dan masyaraat internasional.
Jargon yang disebut Jargon Bush tersebut berbunyi, ”either you are with us or
with the Terrorists”. Jargon ini menjadi terkenal ketika presiden Bush menyatakan
ketegasannya dalam memerangi terorisme. Jargon ini sekaligus menjadi
pernyataan sikap pemerintah Amerika Serikat kepada negara-negara lain terkait
orientasi sikap dan kebijakan pemerintah dalam memerangi terorisme. Dimana
jargon ini juga memiliki peran yang sangat penting bagi pemerintahan Bush pada
saat itu. Karena setelah pemerintah Amerika Serikat menyatakan komitmennya
untuk memerangi terorisme global dan melakukan penyerangan terhadap negara
yang menjadi “sarang” teroris, pemerintah AS juga melakukan komunikasi
dengan negara-negara lain untuk mendapatkan dukungan dalam memerangi
terorisme global.
Kedua hal ini merupakan perangkat penting yang digunakan pada masa
pemerintahan George W. Bush Jr., dalam menghadapi isu terorisme. Tindakan
yang merepresentasikan cara pandang dan perilaku pemimpinnya pada saat itu.
30
Ibid. hal. 1.
Dikeluarkannya doktrin Bush memperlihatkan bagaimana orientasi kebijakan luar
negeri pemerintah Amerika Serikat dalam isu terorisme ini. Hal ini juga tidak
terlepas dari peran pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh dalam
merumuskan orientasi kebijakan berkaitan dengan penanganan terorisme. Mereka
didominasi oleh kalangan yang berhaluan keras. Dimana adanya kecenderungan
untuk menyelesaikan suatu konflik dengan jalan perang. Mereka adalah Menteri
Pertahanan Donald H. Rumsfeld, Wakil Presiden Dick Cheney, dan Penasihat
Keamanan Paul Wolfowitz. Sehingga tidak mengherankan bahwa orientasi
kebijakan khususnya mengenai penanganan isu terorisme harus diambil melalui
jalan perang. Sebagaimana presiden Bush mengatakan dalam rencana strategis
militer AS pada Februari 2006 yang menyatakan dengan tegas bahwa “Our nation
-- this generation -- will lift a dark threat of violence from our people and our
future. We will rally the world to this cause by our efforts, by our courage. We
will not tire, we will not falter, and we will not fail.”31
Dengan menggunakan pernyataan atau jargon tersebut, menegaskan bahwa
Amerika Serikat memiliki power yang kuat yang dapat mempengaruhi negara lain
untuk ikut berjalan bersama dengan kepentingan yang mereka bawa. Karena pada
dasarnya, dengan jargon yang dikeluarkan oleh pemerintahan Bush tersebut dapat
mengidentifikasikan negara mana yang merupakan kawan potensial dan negara
mana yang merupakan musuh potensial. Karena jelas bahwa dalam jargon tersebut
memiliki makna yang secara explisit menyatakan bahwa jika kalian – negara –
berada dipihak kami – AS – maka mari kita bersama-sama memerangi terorisme
31
National Military Strategic Plan for The War On Terror 2006. Op. cit.
global dan jika kalian berada dipihak mereka maka berjalanlah dengan mereka,
dan kami akan melawan terorisme global.
Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah Amerika Serikat dalam strategi
keamanan nasional 2002, “… strengthen alliances to defeat global terrorism and
work to prevent attacks against us and our friends; …”32
Yang menjadi tujuan
bagi pemerintah Amerika Serikat dalam strategi keamanan nasionalnya adalah
menguatkan aliansinya untuk mengalahkan terorisme global dan untuk
melindungi AS dan negara sahabatnya dari ancaman tersebut. Dari hal ini terlihat
bahwa ada usaha dari pemerintah Bush untuk melakukan penguatan aliansi untuk
menaklukkan terorisme global. Yang pada akhirnya, jargon “either you are with
us or with the terrorists” menjadi jargon yang sangat penting bagi pemerintah
Bush Jr. untuk mengerahkan dukungan dalam perang global melawan terorisme
(GWOT) ini.
Peristiwa 9/11 menjadi pembuka jalan bagi pemerintahan AS yang baru
pada saat itu – George Walker Bush Jr – untuk melakukan restrukturisasi terhadap
pola pertahanan dalam kebijakan pertahanannya. Dimana, pada masa
pemerintahan Bill Clinton pola pertahanan AS adalah defend (lebih kepada
mempertahankan diri). Meskipun isu terorisme pada masa pemerintahan Clinton
sudah mencuat. Akan tetapi pemerintahannya lebih memilih untuk melakukan
pertahanan, karena isu terorisme pada saat itu belum menjadi isu yang krusial.
Kemudian, pasca 9/11 – dengan tindakan yang aktif dari teroris – Amerika Serikat
mengambil tindakan preemptive (yaitu melakukan tindakan atau penyerangan
32
NSS 2002. Op.cit.
terlebih dahulu) sebagai bentuk pertahanan diri. Tindakan ini ditujukan terhadap
negara-negara yang diidentifikasikan sebagai negara teroris dan „rogue states‟
yang mendukung pergerakan teroris. Sebagaimana dalam strategi keamanan
nasionalnya yang mengatakan bahwa;
“….. The greater the threat, the greater is the risk of inaction - and the
more compelling the case for taking anticipatory action to defend
ourselves, even if uncertainty remains as to the time and place of the
enemy‘s attack. To forestall or prevent such hostile acts by our
adversaries, the United States will, if necessary, act preemptively.”33
Tindakan preemptive yang dikenal sebagai tindakan pertahanan diri yang
diambil oleh pemerintah AS pada masa kepemimpinan George W. Bush Jr.
merupakan suatu pilihan strategi yang rasional yang harus diambil pada saat itu.
Karena dengan doktrin tersebut, pemerintah AS berhak melakukan penyerangan
secara sepihak kepada mereka yang diidentifikasi sebagai ancaman. Doktrin ini
menjadi “alat” bagi pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan penyerangan
kepada negara yang telah teridentifikasi sebagai ancaman global. Dalam hal ini,
jika diasumsikan dalam kerangka hubungan antar negara (semisal: negara A dan
negara B) yang saling bertikai, dengan menggunakan doktrin preemptive ini,
negara A (misalnya) memiliki kewenangan yang legal untuk menghancurkan
kemampuan negara B dalam mengembangkan senjara nuklir jika negara A
memiliki sejumlah bukti-bukti yang kuat bahwa negara B akan menyerang negara
A dengan senjata tersebut.34
Oleh karena itu, berdasarkan doktrin Bush ini, bahwa
33
NSS 2002. Op.cit., hal. 15 34
Lihat Bradford, supra note 4, hal. 1422-1423 yang menuliskan bahwa (stating that ―[w]hereas
the doctrine of ASD justifies the resort to force in anticipation of an imminent armed attack out of
necessity, where the threat is so great that no moment for deliberation is possible, the use of force
– in the absence of an imminent threat – that is intended to destroy the potential that an enemy
negara A tersebut memiliki hak untuk melindungi diri dengan menghentikan
ancaman yang dilakukan oleh negara B, dengan tidak mengindahkan bukti-bukti
penting yang mendukung.
Secara konsep, doktrin Bush ini bukan merupakan suatu terobosan baru
bagi pemerinta Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahan
sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Ronald Reagen dan Bill Clinton,
mereka telah menggunakan kekuatan militer preemptive ini. Akan tetapi,
penggunaannya tidak secara signifikan terlihat. Dan baru pada masa pemerintahan
George W. Bush inilah penggunaan doktrin pertahanan diri preemptive ini secara
tegas digunakan atau diapliksikan. Sehingga Bush merupakan Presiden pertama
AS yang secara tegas mengaplikasikan doktrin pertahanan diri preemptive ini, dan
karena itulah doktrin ini dinamakan The Bush‘ Doctrine.35
Pasca serangan 11 September 2001, AS yang geram atas serangan tersebut
mengumumkan bahwa pemerintah AS akan melakukan perlawanan terhadap
pelaku serangan terebut dan menyatakan sikap untuk memerangi terorisme global.
Pada masa pemerintahan sebelumnya pun serangan teror pernah terjadi, akan
tetapi hal tersebut tidak menjadi besar. Pernyataan sikap Bush yang keras ini pun
tidak lepas dari serangan-serangan teror sebelumnya yang terjadi di Amerika
Serikat. Rakyat AS pun turut mendukung keputusan pemerintah dalam upaya
penanganan terorisme. Sebagaimana negara yang memiliki nilai-nilai (values)
may pose a future threat is termed ‗preventive war.‘ The Bush Doctrine, articulated in the NSS,
prominent presidential addresses, and the statements of senior officials, is effectively a unilateral
U.S. assertion of the right to engage in preventive war”). Dalam jurnal yang ditulis oleh Matthew
Klapper. 2004. The Bush Doctrine and North Korea. 35
Ibid. hal. 02.
yang menjunjung tinggi kebebasan dan keterbukaan dalam berpikir dan
berpendapat, tentu AS menolak tindakan yang melanggar hak asasi setiap
individunya. Dalam strategi keamanan nasionalnya, pemerintah Amerika Serikat
menyatakan, ―In the war against global terrorism, we will never forget that we
are ultimately fighting for our democratic values and way of life. Freedom and
fear are at war, and there will be no quick or easy end to this conflict…‖36
Dengan hal tersebut, pemerintah AS jelas akan melakukan tindakan-tindakan yang
menurutnya rasional untuk dilakukan.
Tindakan tersebut dikuatkan dengan Doktrin Bush, yang berupa tindakan
preemptive sebagai bentuk self defense pemerintah AS dalam mencegah
kemungkinan serangan lanjutan dari kelompok teroris. Doktrin ini merupakan hal
yang dipercayai oleh pemerintah Amerika Serikat dalam tindakannya
mempertahankan wilayah, rakyat dan kekuatannya. Doktrin ini juga menjadi
pembuka jalan bagi Amerika Serikat pada orientasi kebijakan penanganan
terorisme yang cenderung agresif. Dengan diberlakukannya doktrin Bush ini,
pemerintah Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
preventive dalam menyelesaikan isu terorisme tersebut. Tindakan yang mengarah
kepada individu, kelompok maupun negara yang mendukung gerakan terorisme.
Tindakan yang disebut oleh Michel Chossudovsky sebagai preventive war ini
mengarahkan serangan kepada kelompok maupun negara yang telah diidentifikasi
sebagai negara teroris. Seperti Afghanistan dengan kelompok Taliban dan Irak
dengan Al-Qaeda yang dipimpin oleh Saddam Husein.
36
National Security Strategy of The United State of America 2002. Op.cit. Hal.7.
Doktrin pertahanan diri preemptive ini merupakan respon atas peristiwa
yang terjadi pada 11 September 2001 yang menyerang simbol perekonomian
dunia, yaitu gedung WTC (World Trade Center). Dimana Amerika Serikat mulai
melihat bahwa penyerangan yang dilakukan oleh kelompok teroris tersebut akan
memicu penyerangan-penyerangan selanjutnya yang lebih besar jika pemerintah
AS tidak melakukan tindakan – atau lebih tepatnya serangan balasan – cepat dan
kongkrit. Oleh karena itu, preemptive merupakan jalan yang ditempuh oleh
pemerintah AS sebagai bentuk pertahanan diri atas apa yang mereka sebut sebagai
ancaman global, yaitu terorisme. Sehingga peristiwa pemboman terhadap gedung
WTC yang dilakukan oleh teroris menjadi penyulut perang yang lebih besar
sebagai respon atas tindakan penyerangan terhadap gedung WTC tersebut. Dan
perang tersebut dimulai dengan serangan terhadap kelompok Taliban dan Al-
Qaeda.
Penyampaian Simbolik Global War On Terrorism Dengan Cara
Autokomunikasi
Alastair Iain Johnston dalam tulisannya yang berjudul “Thinking about
Strategic Culture”.37
mengatakan bahwa autokomunikasi merupakan bahasa yang
dirancang untuk menguatkan legitimasi dan kewenangan atau kemampuan yang
dibentuk oleh para pembuat kebijakan. Dimana, dari bahasa atau simbol yang
dilakukan tersebut terdapat ekspektasi dan harapan dari para pembuat keputusan
untuk memperkuat legitimasi mereka atas keputusan yang telah dikeluarkan. dan
37
Alastair Iain Johnston. 1995. Thinking about Strategic Culture. International security, Vol.19,
No.4 (Spring , 1995), 32-64.
diluar Amerika Serikat yang mendukung pemberantasan terorisme. Dalam
pembahasan ini, penulis mengartikan bahasa atau simbol yang dimaksud adalah
gerak – gerik atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat
untuk memberitahu kepada seluruh masyarakat internasional posisi AS dalam
konteks perang melawan terorisme. Tindakan – tindakan yang dilakukan
pemerintah Amerika Serikat melalui penyampaian secara autokomunikasi ini
bertujuan untuk melegitimasi tindakannya pasca peristiwa 11 September lalu.
Indikator dalam pembahasan ini adalah pemaknaan kata “our” (kami) dan ”them”
(mereka) dalam pidato-pidatonya Bush Jr. Dimana melalui pemaknaan ini, Bush
Jr. menyebarkan keyakinan atau belief nya dan berusaha meyakinkan elit
pemerintahan untuk mendukung keputusannya, yaitu global war on terrorism
(perang global melawan terorisme).
Pasca peristiwa serangan 11 September 2001, Presiden Bush Jr. langsung
membuat pernyataan resmi kenegaraan yang menjadi respon pemerintah Amerika
Serikat terhadap serangan tersebut. Dalam pernyataan atau pidato resminya, Bush
Jr. menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat telah
mendapat dukungan dari pemerintahannya. Sebagaimana Bush Jr. menyatakan
dalam pidatonya, yaitu :
“The functions of our government continue without interruption. Federal
agencies in Washington which had to be evacuated today are reopening
for essential personnel tonight, and will be open for business tomorrow. …
I appreciate so very much the members of Congress who have joined me in
strongly condemning these attacks…”38
38
Selected speeches of George W. Bush Jr. 2001-2008. Op.cit. hal. 58.
Presiden George W. Bush Jr. berusaha menguatkan internal
pemerintahannya dengan menyatakan kesiapan dari seluruh elemen dalam
mengusut dan menyelesaikan peristiwa terorisme ini.
Pemaknaan kata “our” atau kami dalam pidato-pidatonya Bush Jr.
seakan berusaha menguatkan apa yang menjadi keputusan dari pemerintah
Amerika Serikat. Makna yang ada dibaliknya pun menjadi kekuatan bagi
Bush Jr. untuk meberi pengaruhnya terhadap pihak-pihak yang dituju.
Seperti dalam pidatonya di Washington DC, pada 20 September 2001 “… I
thank the Congress for its leadership at such an important time. All of America
was touched on the evening of the tragedy to see Republicans and Democrats
joined together on the steps of this Capitol, singing ―God Bless America.”39
Makna kata “our” atau kami disini ditujukan kepada internal pemerintahan Bush
Jr., yaitu rezim George W. Bush Jr. Hal ini dilakukan untuk membentuk sense
atau rasa memiliki dari seluruh internal pemerintahan Amerika Serikat.
Sedangkan makna kata “them” atau mereka dalam beberapa pidato Bush
Jr. lebih mengacu kepada mereka (musuh) yang menjadi pelaku serangan 11
September 2001 tersebut. Dimana dalam hal ini, pemerintah Amerika Serikat
memberikan pemahaman bahwa apa yang disebut sebagai “them” adalah merujuk
pada pemahaman mengenai mereka atau musuh (teroris). Hal ini pun menjadi
bahasa yang menguatkan legitimasi Bush Jr. atas tindakan dan komitmennya
39
Ibid. hal. 65.
memerangi terorisme, khususnya yang ditujukan kepada internal
pemerintahannya.
Penyampaian Simbolik Global War On Terrorism Melalui Official Language
Official language merupakan bahasa resmi yang digunakan oleh
pemerintah untuk menyampaikan maksud dan tujuan atas tindakan yang
dilakukan. Dalam hal ini, berkaitan dengan penyampaian simbol yang memiliki
makna dan terimplementasi kedalam bentuk kebijakan konkrit. Dimana para
pengambil keputusan didalamnya menerima dan menjalankan dengan baik apa
yang menjadi keputusan tersebut. Nilai – nilai atau value yang diyakini pun
dimasukkan dalam tindakan – tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan
dukungan secara global. Sehingga perilaku yang akan terbentuk adalah
pembenaran atas segala tindakan yang dilakukan.
Dalam penggunaan simbol global war on terrorism (GWOT) melalui
official language ini, indikator utama penulis adalah pernyataan presiden Bush Jr,
yaitu “either you are with us or you are with the terrorists” yang ditujukan untuk
mendapatkan dukungan. Pernyataan tersebut dikenal dengan Jargon yang
digunakan oleh Presiden Bush dalam kampanyenya memerangi terorisme.
Dalam merespon isu terorisme, pemerintah Amerika Serikat betindak aktif
dalam memerangi aksi terorisme. Pertama, pemerintah AS mengeluarkan dan
melaksanakan doktrin yang dikenal dengan sebutan The Bush‘ Doctrine atau
Doktrin Bush. Dimana doktrin ini merupakan salah satu tindakan atau langkah
nyata yang diambil oleh pemerintahan Bush Jr. dalam merespon aksi terorisme
pada saat itu. Tindakan atau doktrin Bush tersebut termanifestasikan dalam bentuk
“preemptive military action‖, yaitu tindakan yang diambil oleh pemerintah
Amerika Serikat sebangai bentuk “self-defense” atas isu terorisme. Dimana
tindakan ini lebih kepada tindakan defensive terhadap peristiwa pegeboman yang
terjadi pada 11 September 2001. Dalam National Security Strategy (NSS) 2002,
tindakan preemptive ini secara tegas ditujukan kepada kelompok teroris dan
“rogue states”. Dimana Michel Chossudovsky mengatakan bahwa, “rogue states”
dalam hal ini merujuk pada “state sponsorships”40
atau negara pendonor yang
mendukung tindakan terorisme.
Tindakan yang merepresentasikan cara pandang dan perilaku
pemimpinnya pada saat itu. Dikeluarkannya doktrin Bush memperlihatkan
bagaimana orientasi kebijakan luar negeri pemerintah Amerika Serikat dalam isu
terorisme ini. Hal ini juga tidak terlepas dari peran pemimpin dan orang-orang
yang berpengaruh dalam merumuskan orientasi kebijakan berkaitan dengan
penanganan terorisme. Mereka didominasi oleh kalangan yang berhaluan keras.
Dimana adanya kecenderungan untuk menyelesaikan suatu konflik dengan jalan
perang. Mereka adalah Menteri Pertahanan Donald H. Rumsfeld, Wakil Presiden
Dick Cheney, dan Penasihat Keamanan Paul Wolfowitz. Sehingga tidak
mengherankan bahwa orientasi kebijakan khususnya mengenai penanganan isu
terorisme harus diambil melalui jalan perang. Sebagaimana presiden Bush
mengatakan dalam rencana strategis militer AS pada Februari 2006 yang
menyatakan dengan tegas bahwa “Our nation -- this generation -- will lift a dark
40
Michel Chossudovsky. 2005. Op.cit. Hal. 267.
threat of violence from our people and our future. We will rally the world to this
cause by our efforts, by our courage. We will not tire, we will not falter, and we
will not fail.”41
Pasca serangan 11 September 2001, AS yang geram atas serangan tersebut
mengumumkan bahwa pemerintah AS akan melakukan perlawanan terhadap
pelaku serangan terebut dan menyatakan sikap untuk memerangi terorisme global.
Pada masa pemerintahan sebelumnya pun serangan teror pernah terjadi, akan
tetapi hal tersebut tidak menjadi besar. Pernyataan sikap Bush yang keras ini pun
tidak lepas dari serangan-serangan teror sebelumnya yang terjadi di Amerika
Serikat. Rakyat AS pun turut mendukung keputusan pemerintah dalam upaya
penanganan terorisme. Sebagaimana negara yang memiliki nilai-nilai (values)
yang menjunjung tinggi kebebasan dan keterbukaan dalam berpikir dan
berpendapat, tentu AS menolak tindakan yang melanggar hak asasi setiap
individunya. Dalam strategi keamanan nasionalnya, pemerintah Amerika Serikat
menyatakan, ―In the war against global terrorism, we will never forget that we
are ultimately fighting for our democratic values and way of life. Freedom and
fear are at war, and there will be no quick or easy end to this conflict…‖42
Dengan hal tersebut, pemerintah AS jelas akan melakukan tindakan-tindakan yang
menurutnya rasional untuk dilakukan.
41
National Military Strategic Plan for The War On Terror 2006. Op. cit.
Kutipan tersebut merupakan Quote Bush Jr. dalam salah satu pidatonya dan termuat dalam
Rencana Strategis Militer Nasional untuk perang Melawan Teror tahun 2006. 42
National Security Strategy of The United State of America 2002. Op.cit. Hal.7.
Kebijakan pre-emptive dipilih dan dilancarkan oleh pemerintahan Bush
untuk menyerang negara Irak atas kemungkinan kepemilikan senjata pemusnah
masal. Pasca penangkapan terhadap kelompok Taliban, pemerintahan Bush terus
melanjutkan pengejaran terhadap kelompok Al – Qaeda di Irak. Dimana
pemerintah Amerika Serikat sangat menginginkan pelaku teror terhadap WTC,
Amerika Serikat tertangkap. Wakil Sekretaris Pertahanan, Paul Wolfowitz,
berpendapat bahwa “... multilateral diplomacy and sanctions would not prevent
the Iraqi regime from ultimately developing nuclear weaponry—and that even if
Hussein did not possess nuclear weapons or other WMD at that time, he would
ultimately possess such capabilities‖.43
Tidak menjadi masalah ketika penjatuhan
sanksi dan penggulingan rezim Irak, terbukti atau tidak terbukti atas kepemilikan
senjata pemusnah masal oleh Irak pada saat itu. Karena, ada ataupun tidak ada.
Pemerintah Amerika Serikat telah mengidentifikasikan bahwa Saddam Husein
memiliki kapabilitas untuk itu. Oleh karena itu, penyerangan terhadap Irak pun
tetap dilancarkan. Hingga pada akhirnya value demokrasi yang sangat dijunjung
tinggi oleh pemerintah Amerika Serikat dapat diadopsi dan diaplikasikan dinegara
tersebut.
Tindakan tersebut dikuatkan dengan Doktrin Bush, yang berupa tindakan
preemptive sebagai bentuk self defense pemerintah AS dalam mencegah
kemungkinan serangan lanjutan dari kelompok teroris. Doktrin ini merupakan hal
43
Ibid. Hal. 11.
Dikutip dari “Paul Wolfowitz, quoted in Bill Keller, “The Sunshine Warrior,” New York Times
Magazine, 22 September 2002, 97, cited in, Carl Kaysen Steven E. Miller Martin B. Malin,
William D. Nordhaus John D. Steinbruner, American Academy of Arts and Sciences (2003)
http://www.amacad.org/publications/monographs/War_with_Iraq.pdf.”
yang dipercayai oleh pemerintah Amerika Serikat dalam tindakannya
mempertahankan wilayah, rakyat dan kekuatannya. Doktrin ini juga menjadi
pembuka jalan bagi Amerika Serikat pada orientasi kebijakan penanganan
terorisme yang cenderung agresif. Dengan diberlakukannya doktrin Bush ini,
pemerintah Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
preventive dalam menyelesaikan isu terorisme tersebut. Tindakan yang mengarah
kepada individu, kelompok maupun negara yang mendukung gerakan terorisme.
Tindakan yang disebut oleh Michel Chossudovsky sebagai preventive war ini
mengarahkan serangan kepada kelompok maupun negara yang telah diidentifikasi
sebagai negara teroris. Seperti Afghanistan dengan kelompok Taliban dan Irak
dengan Al-Qaeda yang dipimpin oleh Saddam Husein.
Orientasi kebijakan Bush Jr dalam menangani terorisme yang cenderung
agresif diperlihatkan dalam beberapa skala prioritas kebijakan luar negeri yang
menempatkan perlindungan terhadap serangan terorisme pada urutan pertama
dengan prosentase yang cenderung statis sejak awal September 2001 hingga Juli
2004. Dibandingkan dengan isu-isu pada area lainnya. Sebagaimana terlihat dalam
tabel prioritas kebijakan luar negeri pada tahun 2001 hingga 2004 (foreign policy
priorities 2001-2004).
Kedua, pemerintah Amerika Serikat pun banyak melakukan kerjasama
dengan negara – negara lain untuk dapat memberantas tindakan terorisme global.
Sebagaimana tujuan besar pemerintah Amerika Serikat dalam memberantas
terorisme, yaitu Defeat Terrorists and Their Organizations (menaklukkan atau
mengalahkan teroris dan organisasi mereka). Dalam National Strategy for
Combating Terrorism (Strategi Nasional dalam pemberantasan terorisme) yang
dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat pada bulan Februari 2003,
pemerintah AS memiliki 4 (empat) prinsip yang disebut strategi 4D44
, yaitu
Defeat (menaklukkan), Deny (menghilangkan), Diminish (mengurangi) dan
Defend (mempertahankan) yang digunakan untuk menaklukkan organisasi
terorisme global. Yang kemudian, secara langsung maupun tidak langsung
menggunakan diplomasi, ekonomi, kekuatan militer, inteligen dan instrumen
kekuatan lainnya untuk dapat menaklukkan dan menjatuhkan terorisme tersebut.
Prioritas utama pemerintah Amerika Serikat jelas adalah untuk
menghancurkan organisasi terorisme global dengan menghancurkan segala aspek
yang mendukung kegiatannya. Sebagaimana dalam strategi keamanan nasional
2001 menyatakan, ―Our priority will be first to disrupt and destroy terrorist
organizations of global reach and attack their leadership; command, control, and
communications; material support; and finances.”45
Kemudian, tujuan ataupun
prioritas utama pemerintah Amerika Serikat tersebut juga didukung oleh elemen-
elemen lain yang tidak hanya negara tetapi juga organisasi – organisasi
internasional pun ikut memberikan dukungan terhadap AS atas GWOT-nya.
Beberapa organisasi multilateral memberikan deklarasi dukungannya terhadap AS
untuk secara bersama-sama mengeliminasi dan mengurangi aksi terorisme yang
menjadi peristiwa mengerikan tersebut. Organisasi multilateral seperti, PBB, Uni
Eropa (the European Union), the Organization of American States, the
Organization for African Unity, the Organization of the Islamic Conference, and
44
National Strategy for Combating Terrorism. Op.cit. hal. 15. 45
National Security Strategy 2001. Op.cit. Hal.5.
the Asia-Pacific Economic Cooperation forum,46
dan organisasi – organisasi
lainnya. Dimana mereka turut memberikan solidaritas dan dukungannya terhadap
isu terorisme ini.
Dengan idealisme Amerika Serikat yang mengatakan bahwa global war on
terrorism (GWOT) bukanlah semata-mata hanya merupakan urusan AS saja.
Akan tetapi, hal ini menjadi tugas bersama (yaitu seluruh entitas negara) yang
percaya pada kebebasan, toleransi dan pluralisme.
―… We ask every nation to join us. We will ask, and we will need, the help
of police forces, intelligence services, and banking systems around the
world. The United States is grateful that many nations and many
international organizations have already responded — with sympathy and
with support. Nations from Latin America, to Asia, to Africa, to Europe, to
the Islamic world. Perhaps the NATO Charter reflects best the attitude of
the world: An attack on one is an attack on all.‖47
Pemerintah AS menegaskan kembali bahwa sebuah serangan yang terjadi
terhadap AS juga merupakan serangan terhadap yang (negara) lainnya. Hal ini
juga yang membenarkan tindakan penyerangan terhadap Afghanistan dan Irak,
yang diidentifikasikan oleh pemerintah AS sebagai negara tepat sarang teroris.
Pemerintah AS sendiri dikatakan berhasil mempengarui individu, negara maupun
organisasi lain untuk turut serta mendeklarasikan diri perang melawan terorisme.
Dan turut bekerja sama dengan pemerintah AS dalam memutus mata rantai
penyebaran terorisme diseluruh dunia. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah
Amerika Serikat secara agresif berusaha mendapatkan simpati dan dukungan dari
masyarakat internasional dan terbukti pada saat itu, berbagai organisasi ikut
46
US. Foreign policy Agenda, 2001, Terrorism : Threat Assessment, Countermeasures and Policy,
op.cit. hal. 2. 47
Ibid.
mendeklarasikan diri untuk memerangi terorisme. Bahkan pemerintah Amerika
Serikat, yang dipimpin oleh George W. Bush Jr. pun berusaha merangkul berbagai
kalangan, termasuk muslim untuk ikut mendukung GWOT. Yang kemudian dari
hal tersebut, memperlihatkan bahwa apa yang menjadi kepentingan pemerintah
Amerika Serikat turut menjadi kepentingan semua negara. Tidak lain bahwa
Amerika Serikat berusaha untuk menanamkan kepada seluruh entitas dunia bahwa
peristiwa pemboman yang terjadi di Amerika Serikat juga merpakan penyerangan
terhadap simbol dunia. Sehingga wajar, pemerintah AS mengatakan “An attack on
one is an attack on all”48
Jargon yang digunakan oleh Presiden Bush untuk mendapatkan dukungan
dari masyarakat Amerika Serikat sendiri dan masyaraat internasional. Jargon yang
disebut Jargon Bush tersebut berbunyi, ”either you are with us or you are with the
Terrorists”. Jargon ini menjadi terkenal ketika presiden Bush menyatakan
ketegasannya dalam memerangi terorisme. Jargon ini sekaligus menjadi
pernyataan sikap pemerintah Amerika Serikat kepada negara-negara lain terkait
orientasi sikap dan kebijakan pemerintah dalam memerangi terorisme. Dengan
jargon ini pemerintah AS banyak melakukan diplomasi dan kerja sama dengan
negara-negara lain. Sehingga apa yang menjadi tujuan utama dalam perang global
melawan terorisme tercapai.Jargon yang erat kaitannya dengan Bush pun menjadi
salah satu yang memiliki peranan penting dalam mendapatkan dukungan baik dari
rakyat AS sendiri maupun dari masyarakat internasional. Pemerintah Amerika
Serikat dengan menggunakan power dan pengaruh yang dimilikinya, memang
48
Ibid.
memiliki peluang dan kesempatan besar dalam menghimpun dukungan dari
masyarakat dalam dan luar negeri. Dalam strategi keamanan nasional Amerika
Serikat pada tahun 2002 pun, pemerintah AS menegaskan untuk menguatkan
aliansi dan melakukan kerjasama dengan negara-negara lain untuk menaklukkan
terorisme global. Jargon Bush yang berbunyi “either you are with us or with the
terrorists”, memberi pengaruh kepada negara-negara lain untuk ikut juga
menentukan sikap terhadap isu terorisme tersebut. Secara langsung maupun tidak
langsung, hal ini memberi pilihan kepada tiap-tiap negara untuk memilih
melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat, yang artinya mereka mendukung
tindakan AS atau memilih untuk tidak mendukung AS, yang artinya mereka
digolongkan sebagai negara yang mendukung teroris. Hal ini tentu saja menjadi
pilihan sulit bagi negara-negara lain untuk terlibat dalam isu terorisme. Akan
tetapi, inilah cara yang di tempuh oleh AS untuk menghimpun dukungan dari
negara-negara lain.
Kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam hal
yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme, telah tertuang dengan jelas
dalam strategi nasional untuk penyerangan terhadap teroris (National Strategy for
Combating Terrorism) yang dikeluarkan pada Februari 2003. Dalam jurnal
tersebut disebutkan bahwa salah satu dari tujuan besar yang ingin dicapai oleh
pemerintah Amerika Serikat dalam memberantas terorisme adalah dengan
meniadakan bantuan atau sokongan, dukungan dan tempat perlindungan bagi para
teroris. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan melakukan kerja sama dengan
negara – negara dan aktor internasional lain untuk dapat menghapus dan
meniadakan seluruh perangkat yang digunakan untuk meningkatkan kapabilitas
mereka (para teroris).
―...Where states are willing and able, we will reinvigorate old
partnerships and forge new ones to combat terrorism and coordinate our
actions to ensure that they are mutually reinforcing and cumulative.
Where states are weak but willing, we will support them vigorously in their
efforts to build the institutions and capabilities needed to exercise
authority over all their territory and fight terrorism where it exists.
Where states are reluctant, we will work with our partners to convince
them to change course and meet their international obligations. Where
states are unwilling, we will act decisively to counter the threat they pose
and, ultimately, to compel them to cease supporting terrorism..‖.49
Pemerintah Amerika Serikat akan terus melakukan pendekatan kepada
negara – negara lain untuk ikut mendukung dalam pemberantasan terorisme.
Dimana hal ini juga berkaitan dengan jargon yang digunakan oleh pemerintah
Amerika Serikat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional,
yaitu “either you are with us, or you are with the terrorists.” Jargon ini menjadi
sangat relevan digunakan oleh Amerika Serikat untuk memobilisasi dukungan
dalam memberantas jaringan terorisme global. Dimana, pemerintah Amerika
Serikat menganggap bahwa pemberantas jaringan terorisme global merupakan
tanggung jawab dari seluruh negara. Karena jaringan terorisme global merupakan
salah satu ancaman besar bagi kedaulatan seluruh negara didunia. Pemerintah
Amerika Serikat pun meminta kepada negara – negara untuk dapat mendukung
tindakan AS dalam memberantas terorisme. Lebih dari itu, pemerintah AS akan
melakukan tindakan yang sekiranya diperlukan, untuk membuat negara – negara
yang pada awalnya enggan dan tidak mau diajak kerja sama dalam memberantas
49
National Strategy for Combating Terrorism. Op.cit. hal. 12.
terorisme. Dalam hal ini, pemerintah Amerika Serikat berusaha terus meyakinkan
negara – negara tersebut untuk merubah kebijakan mereka.50
Penyampaian Simbolik Global War On Terrorism Dengan Cara Membentuk
Rasa Solidaritas Kelompok
Definisi konseptual yang dijelaskan oleh Johnston mengenai penggunaan
simbol dalam hal ini adalah bahwa, penggunaan simbol disini haruslah dapat
membentuk sense of in – a group solidarity (rasa solidaritas kelompok). Dimana
sense ini ditujukan langsung kepada lawan untuk memperlihatkan kesolidan dari
simbol tersebut. Untuk memperkuat rasa solidaritas dalam kelompok tersebut,
pemerintah Amerika Serikat banyak melakukan tindakan yang sifatnya persuasif,
baik yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Amerika sendiri maupun kepada
masyarakat internasional. Salah satu diantaranya adala elit pemerintahan Amerika
Serikat melakukan pidato kenegaraan untuk menyebarkan dan menimbulkan rasa
solidaritas terhadap simbol yang diyakini oleh Amerika Serikat yaitu, global war
on terrorism (perang global melawan terorisme).
Adanya pelabelan atau pemberian makna yang dilakukan oleh pemerintah
Amerika Serikat dalam konteks global war on terrorism ini memberikan suatu
gambaran yang jelas akan kelompok – kelompok yang mendukung (the self) dan
tidak mendukung (the others). Dimana pemaknaan ini memang ditujukan
langsung kepada lawan. Pelabelan tersebut adalah “terrorism” dengan “anti-
terrorism”. Amerika Serikat yang memiliki power dimata internasional,
memanfaatkan kekuatannya tersebut untuk mempengaruhi negara-negara maupun
50
Ibid. Hal. 17.
organisasi internasional untuk ikut juga memberi makna yang sama terhadap apa
yang disebut sebagai terorisme dan anti-terorisme serta siapa yang baik “good”
dan yang jahat “evil”.
―Americans have many questions tonight. Americans are asking: Who
attacked our country? The evidence we have gathered all points to a
collection of loosely affiliated terrorist organizations known as al Qaeda.
They are the same murderers indicted for bombing American embassies in
Tanzania and Kenya, and responsible for bombing the USS Cole.
Al Qaeda is to terror what the mafia is to crime. But its goal is not making
money; its goal is remaking the world — and imposing its radical beliefs
on people everywhere.‖51
Amerika Serikat memberikan definisi tentang apa yang disebut sebagai
terorisme. Yang kemudian definisi tersebut digunakan sebagai dasar untuk
mengklasifikasikan atau mengkategorikan negara atau kelompok mana saja yang
dikatakan sebagai teroris dan non teroris (anti teroris). Sebagaimana definisi yang
diberikan oleh AS, yaitu “The enemy is terrorism – premeditated, politically
motivated violence perpetrated against innocents.52
” Dari definisi tersebut,
terorisme didefinisikan sebagai sebuah kejahatan yang dilakukan dengan
sedemikian rupa dimana kekerasan tersebut bermotifkan politik dan menyerang
masyarakat sipil.
Amerika Serikat memberikan definisi mengenai terorisme, tidak lain untuk
memudahkan melakukan identifikasi terhadap kelompok atau negara-negara yang
masuk sebagai kelompok teroris. Proses ini menjadi sangat penting dilakukan oleh
pemerintah Amerika Serikat khususnya pada masa pemerintahan George W. Bush
Jr. untuk mendapatkan kesamaan pandangan dari seluruh masyarakat internasional
51
Selected Speeches of George W. Bush Jr. 2001-2008. Op.cit. hal. 66. 52
The National Security Strategy of The United State of America 2002. Op.cit. hal.05
dalam memandang terorisme. Pemerintah Amerika Serikat sangat agresif
melakukan segala tindakan yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme. Oleh
karena itu, pemerintah Amerika Serikat tidak ingin kehilangan momen dalam
proses pembentukkan rasa solidaritas masyarakat dalam memberantas jaringan
terorisme. Untuk dapat memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat
internasional, Amerika Serikat mengerahkan seluruh kemampuan dan power yang
dimilikinya untuk dapat bekerja sama dengan negara – negara dan organisasi
internasional untuk memberantas terorisme. Hal ini tentu saja untuk mendapatkan
legitimasi dan kesamaan pandangan terhadap terorisme, dan memandang bahwa
segala tindakan atau perilaku terorisme harus dilawan.
―... using the full influence of the United States, and working closely with
allies and friends, to make clear that all acts of terrorism are illegitimate
so that terrorism will be viewed in the same light as slavery, piracy, or
genocide: behavior that no respectable government can condone or
support and all must oppose....‖53
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah Amerika Serikat sebenarnya turut
memberi gambaran akan dua kelompok yang berbeda. Dimana terdapat kelompok
teroris dan anti teroris. Kelompok teroris dinyatakan sebagai kelompok yang tidak
kooperatif dengan AS, dan cenderung melakukan kekerasan dan pembunuhan
terhadap masyarakat sipil. Sedangkan kelompok anti terorisme merupakan
sekelompok negara atau orgaisasi atau individu yang cenderung kooperatif dan
mempunyai pengalaman baik dengan AS dan sekutunya.
Power yang dimiliki oleh Amerika Serikat, membuat kebijakan perang
global melawan terorisme menjadi hal penting bagi seluruh masyarakat dunia.
53
Ibid. hal.06
Dimana, segala tindakan yang dilakukan Amerika Serikat atas dasar global war
on terrorism menjadi suatu hal yang wajib diyakini dan dilaksakan oleh negara-
negara dunia, serta menjadi pembahasan penting dalam pembahasan –
pembahasan organisasi inernasional, seperti PBB maupun organisasi lainnya.
Simbol global war on terrorism, nyatanya mampu menjadi sebuah value baru bagi
hampir seluruh aktor – aktor internasional. Sehingga jika individu, negara,
ataupun organisasi internasional tidak mendukung global war on terrorism
seolah-seolah menjadi pihak yang tidak mematuhi norma internasional atau
bahkan diidentifikasi sebagai negara yang bersahabat dengan terorisme.
―America and our friends and allies join with all those who want peace
and security in the world, and we stand together to win the war against
terrorism.‖54 Simbol global war on terrorism membuat beberapa organisasi
internasional bergerak untuk memerangi terrorism. Global war on terrorism,
dalam pelaksanaannya juga menguatkan hubungan antara Amerika Serkat dan
negara-negara lainnya. Program kerjasama memerangi terorisme juga dilakukan
antara Amerika Serikat dan negara lainnya. Misalnya, pelatihan densus 88 yang
berlatih penangkapan dan penyergapan tersangka teroris yang dilakukan di
Amerika Serikat. Juga kerjasama mengenai kesepahaman kegiatan – kegaiatan
yang didefinisikan dan termasuk dalam terroris serta jaringannya yang dituangkan
dalam berbagai konferensi internasional.
54
Selected Speeches Of President George W. Bush 2001 – 2008. Hal. 58. Diunduh melalui
http://georgewbush-
whitehouse.archives.gov/infocus/bushrecord/documents/Selected_Speeches_George_W_Bush.pdf
pada tanggal 28 Juli 2013.
Pemerintah Amerika Serikat pun telah melakukan identifikasi terhadap
negara – negara yang menjadi pendukung tindakan terorisme. Identifikasi tersebut
berdasarkan penelusuran inteligen Amerika Serikat dalam memerangi terorisme.
Berikut merupakan beberapa negara yang dianggap sebagai negara pendukung
teroris oleh Amerika Serikat.
Tabel 3.
Negara Pendukung Terorisme oleh Amerika Serikat55
Country (negara) Designation Date (tanggal penandaan)
Cuba 1 Maret 1982
Iran 19 Januari 1984
Sudan 12 Agustus 1993
Syria 29 Desember 1979
Selain ke-empat negara diatas, pemerintah Amerika Serikat
mengidentifikasikan tiga negara lagi kedalam daftar negara yang dianggap sebagai
negara pendukung tidakan terorisme. Ketiga negara tersebut adalah Libya, Korea
Utara dan (tentu saja) Irak. 56 Berkembangnya terorisme global tidak terlepas dari
adanya dukungan kelompok – kelompok pergerakan radikal yang ingin menguasai
dunia. Terlebih, mendapat adanya negara pendukung (states sponsor) kegiatan
terorisme. Tanpa adanya negara pendukung kegiatan terorisme ini, pergerakan
terorisme global akan menemui hambatan besar. Karena tidak dapat dipungkiri
55
Office Of The Coordinator For Counterterrorism. Chapter 3 -- State Sponsors of Terrorism Overview.
Country Reports on Terrorism. April 30, 2007. Terakhir dikunjungi melalui http://state.gov
/82736- State-Sponsors-of-Terrorism-Overview.htm// pada tanggal 17 Juni 2013.
56 National Strategy for Combating Terrorism. Op.cit. hal. 18.
bahwa dengan adanya negara pendukung ini, maka kelompok – kelompok teroris
akan dengan mudah mengakses persenjataan, peralatan, pendanaan kegiatan
hingga jaminan perlindungan terhadap perencanaan dan kegiatan operasi yang
dilakukan.57
Akan tetapi, ada beberapa hal yang menjadi ancaman besar dari
negara pendukung terorisme ini. Dimana, ada kemungkinan beberapa negara
tersebut memiliki kemampuan dalam membuat dan menghasilkan weapons of
mass destruction atau senjata pemusnah masal (WMD) dan teknologi canggih
lainnya.
Sebagai negara yang aktif dan agresif dalam penanganan terorisme global,
tentu saja pemerintah Amerika Serikat terus melakukan tindakan untuk
mengeliminasi jaringan – jaringan pendukung kegiatan para teroris. Negara –
negara yang teridentifikasi sebagai state sponsors of terrorism merupakan negara
yang secara umum tidak melakukan kerjasama yang baik dengan pemerintah
Amerika Serikat dalam hal pemberantasan terorisme. Serta negara – negara yang
dianggap menjadi tempat perlindungan yang aman bagi para teroris (sarang
teroris), memberi sumber daya yang besar, dan memberi pedoman terhadap
organisasi teroris.58
Diantaranya, sebagaimana telah disebutkan diatas, yaitu,
a) Kuba
Negara Kuba, merupakan negara yang memiliki pemimpin kuat, yaitu
Fidel Castro. Dimana ia tidak menginginkan negaranya menjadi negara
yang selalu “didikte” dan diperintah oleh negara lain. Dalam penanganan
57
Ibid. 58
Ibid.
terorisme ini, pemerintah Amerika Serikat mengatakan bahwa pemerintah
Kuba tidak memberikan respon yang baik terhadap penanganan terorisme
global. Yang kemudian menganggap bahwa pemerintah Kuba memberikan
tempat perlindungan kepada kelompok – kelompok teroris dan menjaga
hubungan baik dengan negara Iran, yang notabene merupakan negara
pendukung terorisme.
b) Sudan
Pemerintahan Sudan merupakan negara partner yang kuat dalam war on
terror. Dimana mereka secara agresif terus melakukan operasi terorisme
terhadap kepentingan AS. Akan tetapi, pemerintah Sudan pun tidak secara
terbuka dan terang – terangan mendukung kehadiran elemen ekstremis di
Sudan. Dan pemerintah Sudan pun mengambil langkah untuk membatasi
kegiatan dari kelompok – kelompok tersebut. Sebagai contoh, pemerintah
Sudan menerima anggota kelompok HAMAS sebagai perwakilan atau
representatif dari otoritas Palestina (Palestinian Authority – PA), akan
tetapi membatasi kegiatan mereka dalam pencarian dana.59
c) Iran
Negara Iran yang merupakan negara paling aktif dalam mendukung
terorisme. Hal ini tidak terlepas dari keikutsertaan Islamic Revolutionary
Guard Corps (IRGC) dan Ministry of Intelligence and Security (MOIS)
dalam perencanaan dan mendukung tindakan teroris dan terus berusaha
mendesak kelompok – kelompok (khususnya kelompok Palestinian) untuk
59
Ibid.
melakukan kaderisasi dan menggunakan terorisme dalam mendapatkan
tujuan mereka. Dengan Khamenei sebagai pemimpin dan Ahmadi – Nejad
sebagai Presiden, Iran merupakan negara yang memiliki peran penting
dalam pergerakan terorisme di dunia.
d) Syria
Pada awalnya, pemerintahan Syria tidak terlibat langsung dalam tindakan
terorisme sejak tahun 1986. Kemudian dalam investigasi PBB terhadap
pembunuhan Perdana Meteri Lebanon Rafik Hariri mengindikasi kuat
keterlibatan pemerintah Syria.60
Kemudian pada 12 September, 4 (empat)
warga negara Syria yang diduga keras berkaitan dengan kelompok islam,
menggunakan senjata, geranat, dan bom mobil menyerang Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Damaskus. Pada tahun 2004 – 2005, Syria
meningkatkan kondisi keamanan fisik negaranya. Yang kemudian pada
bulan November, antara Syria dan Menteri Dalam Negeri Irak
menandatangani nota kesepahaman untuk meningkatkan hubungan
kerjasama dalam memberantas terorisme dan pengawasan perbatasan.
Negara – negara yang teridentifikasi sebagai negara pendonor atau state
sponsor tindakan terorisme internasional, sebagaimana disebutkan diatas, oleh
pemerintah Amerika Serikat dijatuhi 3 (tiga) pasal yang saling berkaitan, yaitu
section 6(j) of the Export Administration Act (pasal 6(j) undang – undang
administrasi ekspor), section 40 of the Arms Export Control Act (pasal 40 undang
– undang pengawasan ekspor senjata), and section 620A of the Foreign Assistance
60
Ibid.
Act (pasal 620A undang – undang bantuan luar negeri). Dimana oleh pemerintah
Amerika Serikat diberikan 4 (empat) sanksi utama61
, yaitu :
1. Pelarangan menjual dan mengekspor persenjataan
2. Mengontrol penggunaan dual ekspor (Controls over exports of dual-use
items), selama 30 hari, terhadap barang dan jasa yang bisa digunakan
untuk untuk meningkatkan kapabilitas atau kemampuan negara dalam
mendukung terorisme.
3. Pelarangan bantuan ekonomi
4. Pembebanan keuangan dan pembatasan lainnya, yang termasuk
didalamnya :
Tuntutan dari Amerika Serikat untuk menolak pinjaman dari Bank
Dunia dan institusi keuangan internasional lain
Mengangkat kekebalan diplomatik bagi keluarga korban teroris untuk
dapat mengajukan perkara hukum perdata di pengadilan AS
Meniadakan kredit pajak penghasilan bagi individu dan perusahaan di
negara teroris
Denial of duty-free treatment of goods exported to the United States
Otoritas untuk melarang semua warga negara AS melakukan transaksi
keuangan dengan pemerintah negara teroris tanpa adanya surat izin
dari Departemen Perbendaharaan (Treasury Department), dan
Larangan dari Departemen Pertahanan untuk melakukan kontrak
diatas 100.000 dolar dengan perusahaan yang dikontrol oleh negara
teroris
Penjatuhan pasal tersebut menjadi justifikasi pemerintah Amerika Serikat
terhadap negara pendukung terorisme. Hal ini sekaligus menjadi legitimasi atas
61
Ibid.
tindakan pemerintah Amerika Serikat dalam memberantas jaringan terorisme
global.
Dari pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa Global War On
Terrorism sebagai strategy of symbols digunakan oleh Amerika Serikat sebagai
strategi keamanannya, yang kemudian disampaikan dengan melalui tiga cara
penyampaian secara simbolik yaitu, melalui autokomunikasi, official language,
dan membentuk dan mengembangkan rasa solidaritas kelompok. Dimana cara
penyampaian tersebut ditujukan untuk mendapatkan dukungan global atas war on
terrorism. Penyampaian secara simbolik global war on terrorism sebagai strategy
of symbols Amerika Serikat, diantaranya adalah :
1) Penyampaian simbol global war on terrorism dengan cara autokomunikasi,
yaitu pemaknaan “our” dan ”them” dalam pidato-pidato Bush Jr. Dimana,
perlakuan ini merepresentasi perilaku, harapan dan ekspektsi dari para
pengambil keputusan Amerika Serikat. Tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah Amerika Serikat ini ditujukan untuk melegitimasi tindakan dari
para pembuat keputusan.
2) Penyampaian simbol global war on terrorism dengan cara official language,
yaitu pernyataan presiden Bush Jr, yaitu “either you are with us or you are
with the terrorists” yang ditujukan untuk mendapatkan dukungan baik
dukungan dari dalam negeri (AS) sendiri maupun dukungan dari masyarakat
internasional.
3) Penyampaian simbol global war on terrorism dengan cara membentuk
solidaritas kelompok, yaitu pelabelan “good” dan “evil”, “terrorism” dan
“anti-terrorism” oleh Amerika Serikat untuk memperlihatkan siapa yang
disebut sebagai kawan (the self) dan siapa yang merupakan ancaman
potensial atau musuh (the others). Hal ini menjadi justifikasi publik atas
simbol global war on terrorism dan dengan pengaruhnya Amerika Serikat
dalam menyebarkan simbol tersebut membuat masyarakat melihat dan
memandang terorisme dalam satu makna yang sama.
REFERENSI
Buku, Jurnal dan Laporan :
Cobb, and Elder. Political uses, hal. 28. (catatan kaki). Dalam Alastair Iain
Johnston. Thinking about Strategic Culture.
Chossudovsky, Michel. 2005. America‘s ―War On terrorism‖. Second edition.
Global Reasearch. ISBN 0-9737147-1-9.
Drezner, Daniel W. 2008. “The Future of US Foreign Policy‖. IPG I/2008.
(artikel).
Gardner, Hall. 2005. .American global strategy and the ―war on terrorism‖.
American University of Paris, France : Ashgate Publishing Limited.
George W. Bush. 2002. Weapons of Mass Destruction and the Middle East. Vol.
12 No. 8. (Spring 2002). Foundation for Middle East Peace : Washington
DC.
Harris, Robert. 2005. United States Mission to the OSCE Remarks on Preventing
Torture in the War Against Terrorism. Laporan yang disampaikan dalam
pertemuan di Vienna, U.S. State Department, Office of the Legal Advisor
to the Supplemental Human Dimension Meeting. Pada tanggal 15 Juli
2005.
Johnston, Alastair Iain. 1995. Thinking about Strategic Culture. International
security, Vol.19, No.4 (Spring , 1995), 32-64.
Kasbolah, Kasihani. "Studi Kepustakaan", artikel Forum Penelitian, 4(1-2), 1992:
179-185.
Mas‟oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi.
Jakarta : LP3ES.
Moleong, Lexi. 1990. “Metode Penelitian Kualitatif”. Bandung: Remaja Karya.
Owens, Mackubin Thomas. The Bush Doctrine: The Foreign Policy of
Republican Empire. Published by Elsevier Limited on behalf of Foreign
Policy Research Institute. 2008. p. 23-40.
Selected Speeches Of President George W. Bush 2001 – 2008.
http://georgewbush-
whitehouse.archives.gov/infocus/bushrecord/documents/Selected_Speeche
s_George_W_Bush.pdf pada tanggal 28 Juli 2013.
The U.S. Department of State. US. Foreign policy Agenda. Terrorism : Threat
Assessment, Countermeasures and Policy. Vol. 6. An Electronic Journal
of, No. 3.
Waluyo, Sapto. 2009. Kontra Terrorisme: Dilema Indonesia di Era Transisi.
Jakarta: NF Media Center.
Media Online :
Anup Shah. 2011. War On Terror. Diakses pada tanngal 11 Oktober 2012 melalui
<http://www.globalissues.org/issue/245/war-on-terror>.
Chairman of the joint chief staff. 2006. National Military Strategy Plan for The
War On Terrorism. Department of Defense. Diakses melalui www.jcs.mil
Daniel pipes. 2004. Reagan Early Victory in The War On Terror. Di akses pada
tangga 18 Oktober 2012 melalui
<http://www.danielpipes.org/1888/reagans-early-victory-in-the-war-on-
terror>.
George Abi Saab, 2006. Dalam “War On Terror dalam perspektif Hukum
Humaniter Internasional” oleh Sasmini. Diakses pada tanggal 10 Oktober
2012 melalui http://sasmini.staff.uns.ac.id/2009/08/31/war-on-terror-
dalam-perspektif-hhi/
Jeffrey Record. 2003. Bounding The Global War On Terrorism. ISBN 1-58487-
146-6. hal.12. diakses pada tanggal 11 Oktober 2012 melalui
http://www.strategicstudiesinstitute.army.mil/pdffiles/pub207.pdf/
Jennifer Elsea. 2001. CRS Report for Congress - Terrorism and the Law of War:
Trying Terrorists as War Criminals before Military Commissions. pdf.
Legislative Attorney - American Law Division. Diakses pada tanggal 16
Oktober 2012 melalui
http://fpc.state.gov/documents/organization/7951.pdf
Lee Kuan Yew. 2007. The United States, Iraq and The War On Terror. Diakses
pada tanggal 10 Oktober 2012 melalui
<http://www.foreignaffairs.com/articles/62266/lee-kuan-yew/the-united-
states-iraq-and-the-war-on-terror>.
National Security Strategy Report - Oktober 1998. Diakses pada tanggal 11
Oktober 2012 melalui <http://GlobalSecurity.Org/military/National
Security Strategy Report - Oktober 1998/201998.htm>.
NN. 9/11 Investigation. Diunduh pada tanggal 25 September 2012 melalui
http://www.globalissues.org/article/509/911-investigation
Office Of The Coordinator For Counterterrorism. 2007. Chapter 3 -- State Sponsors
of Terrorism Overview. Country Reports on Terrorism. April 30, 2007.
Terakhir dikunjungi melalui http://state.gov /82736- State-Sponsors-of-
Terrorism-Overview.htm// pada tanggal 17 Juni 2013.
Prof Michel Chossudovsky. 2010. Theme: 9/11 & 'War on Terrorism 9/11
ANALYSIS: From Ronald Reagan and the Soviet-Afghan War to George W
Bush and September 11, 2001. London 2005 Bombings: Debunking “7/7
Debunking”. The Conspiracy Roadtrip. British Democracy: Living. Global
Research. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2012 malalui
<http://www.globalresearch.ca/9-11-analysis-from-ronald-reagan-and-the-
soviet-afghan-war-to-george-w-bush-and-september-11-2001/20958>.
Stephen D. Biddle. 2005. American Grand Strategy Agter 9/11 : An Assesmnent.
Strategic Studies Institute. ISBN 1-58487-188-1.
http://www.carlisle.army.mil/ssi/
The National Security Strategy of The United State of America. 2002. Diakses
pada tanggal 11 Oktober 2012 melalui
http://www.globalsecurity.org/military/library/policy/national/nss-
020920.pdf.
The National Security Strategy of The United States of America. 2002. Dapat
diakses melalui http://www.state.gov/documents/organization/15538.pdf.
dalam Robert J. Delahunty & John Yoo. The ―Bush Doctrine‖: Can
Preventive War be Justified? Harvard Jurnal of Law and public policy,
vol. 32. No.3. hal. 843-865.
United State of America. National Strategy for Combating Terrorism.pdf. 2003.
Diakses pada tanggal 24 Mei 2013.