jurnal myopia bener baru
TRANSCRIPT
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
1/22
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Miopia adalah suatu keadaan mata dimana sinar sejajar yang datang dari jarak tak
terhingga, oleh mata dalam keadaan istirahat, di biaskan didepan retina, sehingga pada retina
didapatkan lingkaran difuse dan bayangan kabur. Pasien dengan miopia akan menyatakan lebih
jelas bila melihat dekat, sedangkan kabur bila melihat jauh atau rabun jauh. Derajat miopia dapat
dikategorikan, yaitu :
1. Miopia ringan (0,25 3,00D)
2. Miopia sedang (3,00 6,00D)
3. Miopia berat / tinggi (>6,00D)
Epidemiologi
Miopia memiliki insiden 2,1% di Amerika Serikat dan peringkat ke tujuh yang
menyebabkan kebutaan, serta tampak memiliki predileksi tinggi pada keturunan Cina, Yahudi,
dan Jepang. Angka kejadiannya lebih sering 2 kali lipat pada perempuan dibanding laki-laki.Keturunan kulit hitam biasanya bebas dari kelainan ini.
Menurut National Eye Institute Study, miopia merupakan penyebab kelima tersering
yang mengganggu penglihatan dan merupakan penyebab kutujuh yang tersering kebutaan di
Amerika Serikat, sedangkan di Inggris merupakan penyebab kebutaan tersering .
Etiologi
Miopia tinggi dapat diturunkan, baik secara autosomal dominan maupun autosomal
resesif. Penurunan secara sex linked sangat jarang terjadi, biasanya terjadi pada miopia yang
berhubungan dengan penyakit mata lain atau penyakit sistemik. Pada ras oriental, kebanyakan
miopia tinggi diturunkan secara autosomal resesif.
1
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
2/22
Patogenesis
Terjadinya elongasi sumbu yang berlebihan pada miopia patologi masih belum diketahui.
Sama halnya terhadap hubungan antara elongasi dan komplikasi penyakit ini, seperti degenerasi
chorioretina, ablasio retina dan glaucoma. Columbre dan rekannya,menjelaskan tentang penilaian
perkembangan mata anak ayam yang di dalam pertumbuhan normalnya, tekanan intraokular
meluas ke rongga mata dimana sklera berfungsi sebagai penahannya. Jika kekuatan yang
berlawanan ini merupakan penentu pertumbuhan okular post natal pada mata manusia, dan tidak
ada bukti yang menentangnya maka dapat pula disimpulkan dua mekanisme patogenesis
terhadap elongasi berlebihan pada miopia, yaitu:
1. Menurut tahanan sklera mesadermal
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan
elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana
pembuangan sebahagian masenkhim sklera dari perkembangan ayam menyebabkan
ektasia daerah ini, karena perubahan tekanan dinding okular. Dalam keadaan normal
sklera posterior merupakan jaringan terakhir yang berkembang. Keterlambatan
pertumbuhan strategis ini menyebabkan kongenital ektasia pada area ini. Sklera normal
terdiri dari pita luas padat dari bundle serat kolagen, hal ini terintegrasi baik, terjalin
bebas, ukuran bervariasi tergantung pada lokasinya. Bundle serat terkecil terlihat menuju
sklera bagian dalam dan pada zona ora equatorial. Bidang sklera anterior merupakan area
crosectional yang kurang dapat diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada test
bidang ini ditekan sampai 7,5 g/mm2. Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada
batas terendah dari stress ekstensi pada sklera posterior ditemukan 4 x dari pada bidang
anterior dan equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kirakira 2 x lebih diperluas.
Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak berhubungan dengan hilangnya
luasnya bundle serat sudut jala yang terlihat pada sklera posterior. Struktur serat kolagen
abnormal terlihat pada kulit pasien dengan Ehlers-Danlos yang merupakan penyakit
kalogen sistematik yang berhubungan dengan miopia.
2
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
3/22
2. Ektodermal Mesodermal
Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil ketidak harmonisan
pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan dengan
bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan
peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah
diteliti ulang dalam hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan
pembentukan sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina. Pandangan baru ini
menyatakan bahwa epitel pigmen abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera
subnormal. Hal ini yang mungkin menimbulkan defek ektodermal mesodermal umum
pada segmen posterior terutama zona oraequatorial atau satu yang terlokalisir pada
daerah tertentu dari pole posterior mata, dimana dapat dilihat pada miopia patologik (tipe
stafiloma posterior).
3. Meningkatnya suatu kekuatan yang luas tekanan intraokular basal
Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada
glaucoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan
pemanjangan sumbu bola mata.
4. Susunan peningkatan tekanan
Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap induksi
deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan kelopak
mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga
seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat
meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg. Juga pada penutupan paksa kelopak mata
meningkat sampai 70 mmHg -110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan
kebiasaan jelek yang sangat sering diantara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan
tekanan intraokular.
Jenis-Jenis Miopia
1. Miopia Axial
Dalam hal ini, terjadinya miopia akibat panjang sumbu bola mata (diameter Antero-
posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal, refraktif power normal dan
tipe mata ini lebih besar dari normal.
3
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
4/22
2. Miopia Kurvatura
Dalam hal ini terjadinya miopia diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan kornea
atau perubahan kelengkungan dari pada lensa seperti yang terjadi pada katarak intumesen
dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola
mata normal.
3. Perubahan Index Refraksi
Perubahan indeks refraksi atau miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media
penglihatan seperti yang terjadi pada penderita Diabetes Melitus sehingga pembiasan
lebih kuat.
4. Perubahan Posisi Lensa
Pergerakan lensa yang lebih ke anterior setelah operasi glaukoma berhubungan dengan
terjadinya miopia.
Gejala Klinik
Gejala umum miopia antara lain:
- Mata kabur bila melihat jauh
- Sering sakit kepala
- Menyipitkan mata bila melihat jauh (squinting / narrowing lids)
- Lebih menyukai pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dekat dibanding pekerjaan
yang memerlukan penglihatan jauh.
Pada mata didapatkan:
- Kamera Okuli Anterior lebih dalam
- Pupil biasanya lebih besar
- Sklera tipis
4
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
5/22
- Vitreus lebih cair
- Fundus tigroid
- Miopi crescent pada pemeriksaan funduskopi
Diagnosis
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penderita miopia antara lain adalah :
a. Penglihatan kabur atau mata berkedip ketika mata mencoba melihat suatu objek dengan
jarak jauh (anak-anak sering tidak dapat membaca tulisan di papan tulis, tetapi dapat
dengan mudah membaca tulisan dalam sebuah buku).
b. Kelelahan mata
c. Sakit kepala
Pengujian atau test yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan mata secara umum atau
standar pemeriksaan mata, terdiri dari :
a. Uji ketajaman penglihatan pada kedua mata dari jarak jauh (Snellen) dan jarak dekat
(Jaeger).
b. Uji pembiasan, untuk menentukan benarnya resep dokter dalam pemakaian kaca mata.
c. Uji penglihatan terhadap warna, uji ini untuk meembuktikan kemungkinan ada atau
tidaknya kebutaan.
d. Uji gerakan otot-otot mata
e. Pemeriksaan celah dan bentuk tepat di retina
f. Mengukur tekanan cairan di dalam mata
g. Pemeriksaan retina
Gejala-gejala miopia juga terdiri dari gejala subjektif dan objektif
1) Gejala subjektif :
a. Kabur bila melihat jauh
b. Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat
5
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
6/22
c. Mata cepat lelah bila membaca (karena konvergensi yang tidak sesuai dengan
akomodasi)
d. Astenovergens
2) Gejala objektif :
Miopia simpleks
a. Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relatif lebar.
Biasanya ditemukan bola mata yang agak menonjol.
b. Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal, atau dapat disertai
kresen miopia (miopic cresent) yang ringan di sekitar papil saraf optik.
Miopia patologik
a. Gambaran pada segmen anterior serupa dengan miopia simpleks
b. Gambaran yang ditemukan pada semen posterior berupa kelainan-kelainan pada :
c. Badan kaca, dapat ditemukan kekeruhan berupa pendarahan atau degenerasi yang
terlihat sebagai floaters, atau benda-benda yang mengapung dalam badan kaca.
Kadang-kadang ditemukan ablasio badan kaca yang dianggap belum jelas
hubungannya dengan keadaan miopia.
d. Papil saraf optik : terlihat pigmentasi peripapil, cresent miopia, papil terlihat labih
pucat yang meluas terutama ke bagian temporal. Cresent miopia dapat ke seluruh
lingkaran papil sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid yang atrofi dan
pigmentasi yang tidak teratur.
e. Makula berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang ditemukan perdarahan
subretina pada daerah makula.
f. Retina bagian perifer berupa degenerasi kista retina bagian perifer.
Terapi
Koreksi terhadap miopia dapat dilakukan diantaranya dengan :
a. Kacamata
6
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
7/22
Kacamata masih merupakan metode paling aman untuk memperbaiki refraksi.
b. Lensa kontak
Lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa kontak keras yang
terbuat dari bahan plastik polimetilmetacrilat (PMMA) dan lensa kontak lunak terbuat
dari bermacam-macam plastik hidrogen. Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan
untuk koreksi astigmatisma ireguler, sedangkan lensa kontak lunak digunakan untuk
mengobati gangguan permukaan kornea.
Salah satu indikasi penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi miopia tinggi,
dimana lensa ini menghasilkan kualitas bayangan lebih baik dari kacamata. Namun
komplikasi dari penggunaan lensa kontak dapat mengakibatkan iritasi kornea,
pembentukan pembuluh darah kornea atau melengkungkan permukaan kornea. Oleh
karena itu, harus dilakukan pemeriksaan berkala pada pemakai lensa kontak.
c. Bedah keratoretraktif
Bedah keratoretraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah
kelengkungan permukaan anterior bola mata diantaranya adalah keratotomy radial,
keratomileusis, keratofakia, epikeratofakia.
d. Lensa intraoculer
Penanaman lensa intraokuler merupakan metode pilihan untk koreksi kesalahan
refraksi pada afakia.
e. Ekstraksi lensa jernih
Ekstraksi lensa bening telah banyak dicobakan oleh ahli bedah di dunia pada
pasien dengan miopia berat karena resiko tindakan yang minimal.
Intervensi Pencegahan Miopi
Kebanyakan anak-anak miopia hanya dengan miopia tingkat rendah hingga menengah,
tapi beberapa akan tumbuh secara progresif menjadi miopia tinggi. Faktor resiko terjadinya hal
7
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
8/22
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
9/22
d. Bila membaca atau melakukan kerja jarak dekat secara intensif, istirahatlah tiap 30 menit.
Selama istirahat, berdirilah dan memandang ke luar jendela.
e. Bila membaca, pertahankan jarak baca yang cukup dari buku.
f. Pencahayaan yang cukup untuk membaca.
g. Batasi waktu bila menonton televisi dan video game. Duduk 5-6 kaki dari televisi.
h. Jenis-jenis intervensi lain seperti pemakaian vitamin, bedah sklera, obat penurun tekanan
bola mata, teknik relaksasi mata, akupunktur. Namun, efektivitasnya belum teruji dalam
penelitian.
Komplikasi
Komplikasi miopia adalah :
a. Abalasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0D (- 4,75) D sekitar 1/6662. Sedangkan
pada (- 5)D (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-10) D resiko ini
menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan factor resiko pada miopia rendah tiga kali
sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.
b. Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2% serat
kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun
proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan denga
hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-
bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus
sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk
terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia
tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.
c. Miopic makulopati
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler pada
mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapanagn pandang berkurang. Dapat
juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan kurangnya lapangan
9
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
10/22
pandang. Miop vaskular koroid/degenerasi makular miopic juga merupakan konsekuensi
dari degenerasi makular normal, dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal
yang tumbuh di bawah sentral retina.
d. Glaukoma
Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang 4,2%,
dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan stress
akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada
trabekula.
e. Katarak
Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Dilaporkan bahwa pada orang dengan miopia
onset katarak muncul lebih cepat.
Prognosis
Diagnosis awal pada penderita miopia adalah sangat penting karena seorang anak yang
sudah positif miopia tidak mungkin dapat melihat dengan baik dalam jarak jauh.
JURNAL
10
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
11/22
PERKEMBANGAN MIOPIA PADA ANAK DENGAN EKSOTROPIA
INTERMITEN
NOHA S. EKDAWI, KEVIN J. NUSZ, NANCY N. DIEHL, AND BRIAN G. MOHNEY
TUJUAN: Untuk menggambarkan perubahan kelainan refraksi jangka panjang pada
anak-anak yang didiagnosis eksotropia intermiten (IXT) dalam populasi tertentu.
DESAIN: Retrospektif, studi observasi berbasis populasi.
METODE: Menggunakan sumber dari Rochester Epidemiology Project, catatan medis
dari semua anak (
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
12/22
esodeviasi dibanding populasi di Asia2 mungkin menjadi bentuk yang paling umum dari
strabismus di seluruh dunia. Meskipun esotropia telah dihubungkan dengan hiperopia dan
anisometropia,3-8 kelainan refraksi anak dengan strabismus divergen belum ketat dipelajari.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan hasil kelainan refraksi dalam kohort
berbasis populasi pada anak yang didiagnosis dengan eksotropia intermiten selama periode 20
tahun.
METODE
Rekam medis dari semua pasien berusia kurang dari 19 tahun yang merupakan penduduk
wilayah Olmsted, Minnesota, yang didiagnosis oleh dokter mata memiliki eksotropia intermiten
antara 1 Januari 1975 sampai 31 Desember 1994 ditinjau secara retrospektif. Kasus yang
potensial dari eksotropia diidentifikasi melalui sumber dari Rochester Epidemiology Project,
catatan medis yang berhubungan dengan sistem yang dirancang untuk menangkap data pada
setiap pertemuan pasien-dokter di wilayah Olmsted, Minnesota.9 Distribusi ras warga Olmsted
pada tahun 1990 adalah 95,7% Kaukasia, 3,0% Asia Amerika, 0,7% Afrika Amerika, dan 0,3%
baik untuk penduduk asli Amerika dan lainnya. Populasi dari wilayah ini (106.470 pada tahun
1990) relatif terisolasi dari daerah perkotaan lainnya, dan hampir semua perawatan medis yang
diberikan kepada warga adalah dari Mayo Klinik, Olmsted Medical Group, dan rumah sakit
sekitar mereka. Pasien tidak bertempat tinggal di daerah Olmsted pada saat diagnosis mereka
dikeluarkan. Eksotropia intermiten didefinisikan dalam penelitian ini sebagai jarak eksodeviasi
intermiten minimal 10 dioptri prisma (PD) tanpa didasari atau terkait gangguan neurologis,
lumpuh, atau gangguan anatomi.
Data dari catatan medis termasuk jenis kelamin, riwayat keluarga strabismus, berat lahir,usia gestasi saat lahir, usia saat dilaporkannya onset, dan temuan okular. Sudut deviasi terutama
ditentukan oleh prisma dan tekhnik menutup mata bergantian baik untuk jarak jauh maupun
dekat, meskipun beberapa pasien yang lebih muda diukur dengan Hirschberg atau teknik
Krimsky yang dimodifikasi untuk jarak dekat. Refraksi awal dan selanjutnya ditentukan pada
mayoritas pasien setelah pemberian siklopentolat 1% secara topikal pada pasien yang lebih muda
12
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
13/22
dan sesuai dengan manifestasi refraksi bagi pasien yang lebih tua. Semua refraksi dikonversi
menjadi setara dengan sferis mereka. Karena tidak ada pasien yang memiliki lebih dari 1 dioptri
dari anisometropia, kelainan refraksi pada mata kanan dan kiri dirataratakan. Miopia dalam
penelitian ini adalah lebih dari atau sama dengan 0,50 dioptri. Tindak lanjut dilakukan dari
tanggal pemeriksaan refraksi awal sampai pemeriksaan terakhir di mana kelainan refraksi
tersebut tercatat sampai dengan 31 Agustus 2007.
Data kontinu disajikan rata-rata dengan standar deviasi dan data kategorikal disajikan
dengan jumlah dan persentase. Perkembangan kelainan refraksi ditentukan dengan mengukur
perbedaan antara refraksi awal dan akhir dibagi dengan waktu keseluruhan masing - masing
pasien untuk tindak lanjut sampai usia 21 tahun. Perbandingan antara kelompok untuk variabel
kontinu diselesaikan dengan menggunakan Wilcoxon rank sum test dan untuk variabel
kategorikal menggunakan Fisher exact test. Semua uji statistik memiliki 2-sisi, dan ambang
signifikansi yang ditetapkan sebesar P= .05. Laju perkembangan miopia diperkirakan
menggunakan metode Kaplan-Meier.10
HASIL
Seratus delapan puluh emat pasien telah didiagnosis dengan eksotropia intermiten selama
periode 20 tahun. Seratus tiga puluh lima dari 184 (73,4%) memiliki 2 atau lebih pengukuran
kelainan refraksi terpisah setidaknya 1 tahun, temuan klinis ditunjukkan pada Tabel 1. Terdapat
44 (33%) laki-laki dan 91 (67%) pasien wanita. Usia rata-rata saat diagnosis dalam 135 pasien
tersebut adalah 5,6 tahun (kisaran, 0,9-14,9 tahun). Ambliopia terdapat pada 4 pasien (3%).
Sudut awal deviasi rata - rata adalah 20 prisma dioptri (kisaran, 10 sampai 40 PD) dan 14 PD
(kisaran, 0-45 PD) masing masing pada jarak jauh dan dekat.
TABLE 1.Histori dan Karakteristik Klinik dari 135 Anak dengan Eksotropia Intermiten
dengan 2 atau Lebih Penilaian Kelainan Refraksi
Karakteristik Penemuan
Jumlah laki laki (%) / jumlah perempuan (%) 44 (33%) / 91 (67%)
Usia rata rata saat didiagnosis (range) 5.6 (0.9 14.9)
Jumlah yang disertai amblyopia (%) 4 (3%)
13
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
14/22
Rata rata deviasi horizontal awal pada jarak di prisma
dioptri (range)
20 (10 40)
Rata rata deviasi horizontal awal pada jarak dekat di
prisma dioptric (range)
14 (0 45)
Jumlah yang disertai dengan disfungsi obliquus inferior 19 (14%)
Jumlah yang disertai dengan deviasi vertical 3 (2.2%)Jumlah yang disertai dengan koreksi minus berlebih 6 (4.4%)
Jumlah yang dilakukan koreksi bedah 54 (40%)
Rata rata lamanya tindak lanjut dalam tahun (range) 10.1 (1.0 27.1)
Kelainan refraksi awal dari 135 anak ditunjukkan pada Gambar 1, dengan nilai rata-rata
+0,26 (kisaran, -7,75 +3,13) pada usia rata-rata 5,6 tahun. Delapan puluh empat pasien
(62,2%) pada awalnya hiperopia pada usia rata-rata 5,0 tahun, 56 dari mereka (67%) memiliki
kurang dari 1 dioptri hyperopia. Tiga puluh sembilan dari 135 pasien (28,9%) pada awalnya
mengalami miopia pada usia rata-rata saat diagnosis 7,6 tahun. Sisanya 12 pasien (8,9%) yang
plano pada usia rata-rata 5,2 tahun.
GAMBAR 1. Kelainan refraksi awal sesuai usia pada 135 anak dengan eksotropia intermiten.
Para pasien diikuti selama rata-rata 10,1 tahun (kisaran, 1,0-27,1 tahun). Kelainan
refraksi akhir dari 135 anak yaitu miopia pada 95 anak (70%), hiperopia pada 34 anak (25%),
dan plano pada 6 anak (4,4%), pada usia rata-rata 15,9 tahun. Tingkat Kaplan-Meier untuk
perkembangan miopia pada populasi ini adalah 7,4% pada usia 5 tahun, 46,5% pada usia 10
tahun, dan 91,1% pada usia 20 tahun (Gambar 2). Dari 135 anak, 54 (40%) menjalani koreksi
bedah untuk IXT. Tingkat Kaplan-Meier untuk perkembangan miopia pada kelompok operasi
14
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
15/22
dengan kelompok observasi ditunjukkan pada Gambar 3. Tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam tingkat perkembangan miopia antara kedua kelompok (P 0,16). Hanya 6 pasien diobati
dengan koreksi minus berlebih, tetapi kelompok ini terlalu kecil untuk setiap analisis statistik.
GAMBAR 2. Kaplan-Meier untuk perkembangan miopia sesuai usia (dengan 95% CI) pada 135 anak
dengan eksotropia intermiten.
15
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
16/22
GAMBAR 3. Kaplan-Meier untuk perkembangan miopia antara 154 pasien eksotropia intermiten yang
dilakukan operasi dan 81 yang hanya diobservasi (P= .16).
Untuk menghitung perkembangan miopia tahunan, pasien dengan 2 atau lebih
pengukuran kelainan refraksi terpisah setidaknya 1 tahun dan diukur sebelum usia 21 tahun yang
terakhir. Seratus enam pasien yang memenuhi kriteria ini dengan rata-rata tindak lanjut selama
8,2 tahun (kisaran, 1.0 sampai 18,8 tahun). Perkembangan miopia tahunan untuk 106 pasien
adalah -0,26 dioptri (SD + 0,24). Dalam 54 pasien yang menjalani koreksi bedah, tingkat
perkembangan adalah -0,25 dioptri (SD + 0,23) dibandingkan -0,27 (SD + 0,25) pada mereka
yang hanya diobservasi (P = .59).
DISKUSI
Temuan dari studi berbasis populasi ini dengan 135 anak yang mengalami eksotropia
intermiten (IXT) menunjukkan hasil yang signifikan terhadap miopia dari waktu ke waktu.
Tingkat Kaplan-Meier untuk perkembangan miopia pada populasi ini adalah 7,4% pada usia 5
tahun, 46,5% pada usia 10 tahun, dan 91,1% pada usia 20 tahun. Koreksi bedah tampaknya tidak
berdampak pada tingkat perkembangan miopia tersebut.
Kelainan refraksi awal dari populasi anak-anak dengan eksotropia intermiten sebanding
dengan laporan pasien dengan IXT (Tabel 2). Kushner melaporkan kelainan refraksi rata-rata
plano untuk 62 anak eksotropia pada usia rata-rata 4,4 tahun.11 Caltrider dan Jampolsky
melaporkan kelainan refraksi rata-rata -0,669 pada 15 anak pada usia rata-rata 6,9 tahun.12
Walaupun mirip dengan laporan pada pasien dengan IXT, prevalensi miopia pada populasi kami
adalah lebih tinggi dari laporan mengenai anak-anak yang disurvei dalam populasi umum (Tabel
3). Di Amerika Serikat, Preslan dan Novak melaporkan miopia (< 0,75 dioptri) memiliki
prevalensi 3,1% pada populasi mereka pada usia 4 -7 tahun yang berada di Baltimore,
Maryland.13 Zadnik dkk, menjelaskan populasi untuk usia 6 14 tahun, dimana ditemukan
miopia (< 0,75 dioptri) dalam 7,5% dari pasiennya.14 Angle dan Wissmann melaporkan bahwa
16
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
17/22
31,8% dari populasi untuk usia 12 17 tahun yang diperiksa oleh US National Health Survey
mengalami miopia (
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
18/22
Auzemery
dkk32Madagaskar 13 16 1081 0.92 52.1
Lin dkk33 Taiwan 12 17 2353 49.6 72.5
Angle dan
Wissmann15
US 15 25 13 538 31.8 72.6
Au Eong dkk34 Singapur 110 236 44.2 88.7
Sejumlah faktor telah dikaitkan dengan perkembangan miopia, termasuk etnis, lahir pada
musim panas, jenis kelamin perempuan, usia muda pada awal onset, nilai yang tinggi IQ, waktu
belajar yang lama, dan orang tua mengalami miopia.17-22 Meskipun kami tidak memeriksa IQ
pasien studi atau prevalensi miopia orangtua, dua-pertiga dari anak-anak dalam penelitian ini
adalah perempuan,23 yang dapat menjelaskan tingginya tingkat perkembangan miopia. Namun,
bulan kelahiran pasien penelitian kami tidak signifikan terkonsentrasi di musim panas. Risiko
tinggi terkait dengan usia yang lebih muda pada awal onset dan etnis Asia juga tidak merupakan
faktor bagi populasi kami. Meskipun diketahui bahwa miopia adalah umum pada populasi Asia
(Tabel 3), merupakan hal menarik untuk diketahui bahwa eksotropia juga dua kali lebih sering
daripada esotropia di Asia,2,24 sedangkan sebaliknya terjadi untuk populasi Barat. Namun, tidak
diketahui mengapa anak-anak Kaukasia dengan IXT dalam penelitian ini, yang berarti kelainan
refraksi awal adalah hyperopia, perkembangan miopia secepat atau lebih cepat dari yang
dijelaskan untuk populasi Asia (Tabel 3).
18
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
19/22
GAMBAR 4. Perbandingan prevalensi miopia berdasarkan usia dari studi ini dengan laporan publik dari
populasi normal di Amerika Serikat.
Terdapat beberapa penjelasan potensial untuk hubungan antara IXT dan miopia. Bisadikatakan bahwa anak-anak yang tinggal di iklim yang lebih dingin dari Minnesota lebih
mungkin untuk tinggal di dalam ruangan untuk melakukan pekerjaan, sehingga meningkatkan
potensi mereka untuk perkembangan miopia. Namun, temuan ini tidak terlihat di antara anak
yang tinggal di iklim dingin yang sama dengan Sweden.16 Anak-anak dengan IXT cenderung
memiliki pemeriksaan mata lebih sering, berpotensi mengarah ke diagnosis dini dan koreksi
miopia. Meningkatnya kebutuhan akomodasi pada anak dengan intermiten eksotropia mungkin
merupakan faktor lain.27 Chua dkk telah menunjukkan bahwa pengurangan akomodasi dengan
tetes mata atropin dapat memperlambat perkembangan miopia sedang dan elongasi aksial pada
anak anak di Asia.28 Tetapi, pemeriksaan tambahan telah menunjukkan peningkatan
perkembangan miopia setelah penghentian atropin.29 Studi lebih lanjut diperlukan untuk
memperjelas hubungan antara miopia, akomodasi, dan IXT. Sementara kita tidak dapat
menyatakan bahwa IXT menyebabkan miopia, mereka muncul secara signifikan terkait dan
eksotropia intermiten dapat menjadi faktor risiko untuk perkembangan miopia.
Terdapat beberapa keterbatasan temuan dalam penelitian ini. Sifat retrospektif dibatasi
oleh kriteria inklusi yang tidak tepat dan tindak lanjut yang tidak seimbang. Kami berusaha
untuk mengatasi kelemahan kedua dengan menyediakan metode Kaplan-Meier untuk
memperkirakan laju perkembangan miopia. Kedua, tidak semua pemeriksaan refraksi ini
dilakukan dengan agen siklopegik. Namun, usia rata-rata untuk pemeriksaan refraksi akhir untuk
135 pasien studi adalah 18 tahun, usia di mana refraksi siklopegik tidak umum dilakukan untuk
pasien dengan miopia. Kami juga tidak bisa menentukan usia yang tepat pada onset miopia
karena pasien sering memiliki gejala dengan berbagai derajat miopia. Untuk alasan ini,
perkembangan miopia ditentukan dari tanggal didiagnosis bukan dari usia saat onset. Terlebih
lagi meskipun pasien studi merupakan kohort berbasis populasi, kami tidak dapat
mengidentifikasi perwakilan kelompok kontrol dari populasi yang sama untuk membandingkan
temuan kelainan refraksi kami. Selain itu, meskipun wilayah tersebut relatif terisolasi, beberapa
19
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
20/22
warga eksotropia dari wilayah Olmsted mungkin telah mencari perawatan luar daerah, sehingga
berpotensi membuat bias dari studi ini.
Penelitian ini memberikan data berbasis populasi untuk kelainan refraksi pada 135 anak
dengan eksotropia intermiten yang didiagnosis selama periode 20 tahun. Lebih dari 90% pasien
didapatkan menjadi miopia pada awal masa dewasa, tingkat yang jauh lebih tinggi daripada
populasi umum AS dan hampir dua kali lipat dari masyarakat Asia di mana miopia dan ekotropia
yang terjadi lebih umum. Temuan ini, yang memerlukan konfirmasi di tempat lain, menunjukkan
hubungan antara eksotropia intermiten dan miopia.
20
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
21/22
REFERENSI
1. Govindan M, Mohney BG, Diehl NN, Burke JP. Incidence and types of childhood exotropia:
a population-based study. Ophthalmology 2005;112:104 108.
2. Chia A, Roy L, Seenyen L. Comitant horizontal strabismus: an Asian perspective. Br J
Ophthalmol 2007;91:13371340.
3.Abrahamsson M, Fabian G, Sjostrand J. Refraction changes in children developing
convergent or divergent strabismus. Br J Ophthalmol 1992;76:723727.
4.Donders FC. On the anomalies of accommodation and refraction of the eye with a
preliminary essay on physiolog-ical dioptrics. London: The New Sydenham Society, 1864:292.
5. Gwiazda J, Marsh-Tootle WL, Hyman L, Hussein M, Norton TT. Baseline refractive and
ocular component measures of children enrolled in the correction of myopia evaluation trial
(COMET). Invest Ophthalmol Vis Sci 2002;43:314 321.6. Ingram RM. Refraction as a basis for screening children for squint and amblyopia. Br J
Ophthalmol 1977;61:8 15.
7. Ingram RM, Gill LE, Lambert TW. Emmetropisation in normal and strabismic children and
the associated changes of anisometropia. Strabismus 2003;11:71 84.
8. Ip JM, Robaei D, Kifley A, Wang JJ, Rose KA, Mitchell P. Prevalence of hyperopia and
associations with eye findings in 6- and 12-year-olds. Ophthalmology 2008;115:678 685 e1.9. Kurland LT, Molgaard CA. The patient record in epidemi-ology. Sci Am 1981;245:54 63.
10.Kaplan E, Meier P. Nonparametric estimation from incom-plete observations. J Am Stat
Assoc 1958;53:457 481.
11.Kushner BJ. Does overcorrecting minus lens therapy for intermittent exotropia cause myopia?
Arch Ophthalmol 1999;117:638 642.
12.Caltrider N, Jampolsky A. Overcorrecting minus lens ther-apy for treatment of intermittent
exotropia. Ophthalmology 1983;90:1160 1165.
13.Preslan MW, Novak A. Baltimore Vision Screening Project. Ophthalmology 1996;103:105
109.
14.Zadnik K, Satariano WA, Mutti DO, Sholtz RI, Adams AJ. The effect of parental history ofmyopia on childrens eye size. JAMA 1994;271:13231327.
15.Angle J, Wissmann DA. The epidemiology of myopia. Am J Epidemiol 1980;111:220 228.
16.Grnlund MA, Andersson S, Aring E, Hard AL, Hellstrom A. Ophthalmological findings in asample of Swedish chil-dren aged 4-15 years. Acta Ophthalmol Scand 2006;84:169 176.
Hyman L, Gwiazda J, Hussein M, et al. Relationship of age, sex, and ethnicity with myopia
progression and axial elon gation in the correction of myopia evaluation trial. Arch
Ophthalmol 2005;123:977987.
21
-
7/29/2019 Jurnal Myopia Bener Baru
22/22
18.Mandel Y, Grotto I, El-Yaniv R, et al. Season of birth, natural light, and myopia.
Ophthalmology 2008;115:686 692.
19.Rose KA, Morgan IG, Ip J, et al. Outdoor activity reduces the prevalence of myopia in
children. Ophthalmology 2008;115:1279 1285.
20.Rose KA, Morgan IG, Smith W, Burlutsky G, Mitchell P, Saw SM. Myopia, lifestyle, and
schooling in students of Chinese ethnicity in Singapore and Sydney. Arch Ophthal-mol2008;126:527530.
21.Saw SM, Katz J, Schein OD, Chew SJ, Chan TK. Epidemi-ology of myopia. Epidemiol Rev
1996;18:175187.
22.Saw SM, Shankar A, Tan SB, et al. A cohort study of incident myopia in Singaporean
children. Invest Ophthal-mol Vis Sci 2006;47:1839 1844.
23.Nusz KJ, Mohney BG, Diehl NN. Female predominance in intermittent exotropia. Am J
Ophthalmol 2005;140:546 547.
24.Lambert SR. Are there more exotropes than esotropes in Hong Kong? Br J Ophthalmol
2002;86:835 836.
25.Dirani M, Tong L, Gazzard G, et al. Outdoor activity and myopia in Singapore teenage
children. Br J Ophthalmol 2009;93:9971000.
26.Ip JM, Saw SM, Rose KA, et al. Role of near work in myopia: findings in a sample of
Australian school children. Invest Ophthalmol Vis Sci 2008;49:29032910.
27.Walsh LA, Laroche GR, Tremblay F. The use of binocular visual acuity in the assessment of
intermittent exotropia. J AAPOS 2000;4:154 157.
28.Chua WH, Balakrishnan V, Chan YH, et al. Atropine for the treatment of childhood myopia.
Ophthalmology 2006;113: 22852291.
29.Tong L, Huang XL, Koh AL, Zhang X, Tan DT, Chua WH. Atropine for the treatment of
childhood myopia: effect on myopia progression after cessation of atropine. Ophthalmol-ogy
2009;116:572579.
30.Grosvenor T. Myopia in Melanesian school children in Vanuatu. Acta Ophthalmol Suppl1988;185:24 28.
31.Cummings GE. Vision screening in junior schools. Public Health 1996;110:369 372.
32.Auzemery A, Andriamanamihaja R, Boisier P. [A survey of the prevalence and causes of eye
disorders in primary school children in Antananarivo]. Sante 1995;5:163166.
33.Lin LL, Hung PT, Ko LS, Hou PK. Study of myopia among aboriginal school children in
Taiwan. Acta Ophthalmol Suppl 1988;185:34 36.
34.Au Eong KG, Tay TH, Lim MK. Race, culture and myopia in 110,236 young Singaporean
males. Singapore Med J 1993; 34:29 32.
22