jurnal imajinasi
TRANSCRIPT
Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
PENERAPAN ZAT PEWARNA ALAMI LIMBAH ORGANIK KULIT
RAMBUTAN (NEPHELIUM LAPPACEUM) PADA BAHAN KATUN
DENGAN TEKNIK SHIBORI (TIE DYES) DAN BATIK
RA. Ataswarin Oetopo1, Caecilia Tridjata Suprabanindya2, Ririn Despriliani3,
Fariz Al Hazmi2*
1,2,3Universitas Negeri Jakarta 2Institut Seni Indonesia Yogyakarta
*Corresponding author
Abstrak
Kulit Rambutan merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan
secara optimal. Dalam permasalahan lingkungan, sampah organik juga menjadi
permasalahan saat ini. Meskipun sampah organik merupakan limbah yang dapat
terurai, akan tetapi limbah organik juga perlu dikelola agar penumpukannya dapat
terkendali dan tidak mencemari lingkungan. Tujuan Penelitian yaitu untuk
menganalisis hasil formula zat warna alami yang dihasilkan dari limbah kulit
rambutan terhadap penerapannya pada kain dengan teknik Shibori (Tie dye) dan
Batik. Metode penelitian ini menggunakan metode praeksperimen, yaitu hanya
melakukan eksplorasi warna berupa ujicoba yang diamati tanpa adanya kelompok
kontrol yang dihasilkan oleh larutan limbah organik kulit rambutan pada karya
tekstil, dengan melakukan uji coba tehadap bahan kain katun dan berbagai larutan
fiksasi yang digunakan, seperti larutan tawas (KAI(SO4)21∙2H2O), kapur
(Ca(OH)2) dan Tunjung (FeSO4). Uji coba juga dilakukan terhadap teknik dalam
membuat motif, seperti shibori (tie dye) dan batik. Hasil menunjukan bahwa limbah
kulit rambutan menghasilkan larutan yang dapat digunanan sebagai pewarna alami
dan dapat diaplikasikan kedalam beragam teknik shibori (tie dye) dan batik dengan
fiksasi tawas yang memiliki nilai kualitas lebih baik dibanding menggunakan
fiksasi tunjung dan kapur, sehingga dapat menjadi sebuah media dalam berkreasi
seni khususnya pada bidang tekstil.
Kata Kunci: Zat Pewarna Alam, Kulit Rambutan, Shibori, Batik.
2
Abstract
Rambutan peel is one of the organic wastes that has not been used optimally. In
terms of environmental problems, organic waste is also a problem today. Although
organic waste is biodegradable waste, organic waste also needs to be managed so
that the accumulation can be controlled and does not pollute the environment. The
aim of this research is to analyze the results of the formula for natural dyes
produced from rambutan skin waste against its application to fabrics using the
Shibori (Tie dye) and batik techniques. This research method used a pre-
experimental design is only doing color exploration in the form of trials that are
observed without a control group by produced by the organic waste solution of
rambutan peel in textile works, by conducting trials on the cotton cloth and various
fixation solutions used, such as alum (KAI (SO4) 21 ∙ 2H2O), calcium oxide (Ca
(OH) 2) and ferrous sulfate (FeSO4). Experiments were also carried out on
techniques in making motifs, such as Shibori (tie dye) and batik. The results show
that rambutan peel waste produces a solution that can be used as a natural dye and
can be applied to various techniques of Shibori (tie dye) and batik with alum
fixation which has a better quality value than using tunjung and lime fixation, so
that it can become a medium for creation. arts, especially in the field of textiles.
Keywords: Natural Dyes, Rambutan Peel, Shibori, Batik
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara
tropis dengan berbagai jenis tumbuhan
yang dapat dimanfaatkan, salah satunya
yaitu buah rambutan sebagai komoditas
hasil kebun yang biasa dikonsumsi
masyarakat. Rambutan merupakan
tumbuhan musiman yang buahnya
dipanen pada bulan November hingga
Februari. Di Indonesia sendiri
masyarakat biasanya mengonsumsi
buah rambutan bagian daging buahnya
saja dan membuang kulitnya karena
tidak memiliki manfaat bagi mereka
sehingga menjadi limbah organik.
Pada saat musim buah rambutan
terjadi, banyak para pedagang buah
yang menjual rambutan dalam jumlah
yang banyak, namun apabila tidak habis
terjual ataupun mengalami pembusukan
mereka akan membuangnya begitu saja,
Hal tersebut tentunya meningkatkan
penumpukan sampah organik yang
memicu beragam dampak buruk yang
ditimbulkan, seperti pencemaran udara
akibat pembusukan, penyumbatan
saluran air dan lain-lain.
Berdasarkan data dari dinas
lingkungan hidup DKI Jakarta tahun
2019, bahwa limbah organik merupakan
sampah terbanyak yang ada di tempat
pembuangan sampah terpadu (TPST)
Bantar Gebang Bekasi Jawa Barat
dengan presentase sebesar 47% dari
jumlah seluruh sampah yang ada seperti
sisa makanan, kayu, rumput dan sisa
buah-sayuran, sehingga tentunya bukan
hanya sampah non-organik saja yang
harus di perhatikan, tetapi sampah
organik juga menjadi permasalahan saat
ini.
Meskipun sampah organik
merupakan limbah yang dapat terurai,
akan tetapi limbah organik juga perlu di
3
kurangi penumpukannya agar dapat
terkendali di tempat pembuangan
sampah dan tidak mencemari
lingkungan. Sampah organik, yaitu
sampah yang mudah membusuk seperti
sisa makanan, sayuran, daun-daun
kering, dan sebagainya (Purwendo dan
Nurhidayat, 2006).
Pengertian limbah menurut UU
32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yaitu
suatu sisa yang berasal dari usaha atau
kegiatan, seperti dari industri, pertanian,
pertambangan, transportasi maupun
kegiatan rumah tangga (Bagong, 2008).
Banyak beragam cara dapat
dilakukan untuk mendaur ulang sampah
organik dan dapat bermanfaat bagi
kehidupan misalnya menjadi sebuah
pupuk kompos ataupun biogas, namun
hal tersebut tentunya belum cukup
untuk meningkatkan pemanfaatan
sampah organik. Kulit rambutan sendiri
merupakan limbah organik yang
memiliki zat tanin apabila dilakukan
proses ekstraksi, hal tersebut tentunya
larutan kulit rambutan dapat dijadikan
sebagai pewarna alam untuk bahan
tekstil.
Penggunaan pewarna alami pada
bahan tekstil telah ada sejak zaman
nenek moyang, namun sejak tahun
1960an penggunaannya telah bergeser
pada penggunaan pewarna sintetis di
mana pada tahun 1960 sudah
berkembang dalam industri tekstil (Dwi
Suheryanto, 2017). Saat ini penggunaan
pewarna alami pada kain masih jarang
dilakukan karena prosesnya yang rumit,
sehingga banyak industri tekstil yang
beralih terhadap pewarna sintetis yang
praktis dan memiliki warna yang
beragam.
Menurut Ari Wulandari (2011),
zat pewarna alam merupakan larutan
pewarna yang diperoleh dari alam, baik
yang berasal dari hewan (lac dyes)
ataupun tumbuhan dapat berasal dari
akar, batang, daun, buah kulit kayu, dan
bunga, serta warna yang di hasilkan
cenderung lebih pucat dan memiliki ciri
khas. Meningkatnya kepedulian
terhadap lingkungan dalam mengurangi
penggunaan bahan kimia sintetik telah
menekankan perlunya mengeksplorasi
sumber baru dan berkelanjutan seperti
pewarna ramah lingkungan untuk sektor
tekstil (Batool dkk, 2019)
Penggunaan pewarna sintetis
memiliki dampak yang besar terhadap
kerusakan lingkungan, salah satunya
adalah pencemaran air dan tanah,
dimana limbah hasil industri tekstil
dibuang ke sungai, sehingga perlu
adanya inovasi dan pengurangan
penggunaan pewarna sintetis. Dengan
demikian, menggunakan pewarna alami
yang dihasilkan oleh limbah kulit
rambutan tentunya menjadi salah satu
cara agar dapat mengurangi penggunaan
pewarna sintetis dalam proses berkarya,
terutama pada kerajinan batik dan
shibori (tiedye).
Kulit buah rambutan merah
mengandung pigmen antosianin yang
merupakan sub-tipe senyawa organik
dari keluarga flavonoid. Antosianin
lebih stabil dalam suasana asam
dibandingkan dalam suasana alkalis
ataupun ketahanan luntur pada
4
penambahan zat fiksasi tawas yang
bersifat asam lebih baik jika
dibandingkan dengan zat fiksasi kapur
(basa) (Amalia dan Akhtamimi, 2016).
Pewarna alami yang
diaplikasikan pada serat kain katun
dibutuhkan proses mordanting sebagai
penguat warna yang tahan dan tidak
mudah luntur (Dolca, 2018). Dalam
proses penggunaannya, pewarna alami
membutuhkan suatu elemen untuk
membuat ikatan antara kain dengan
partikel zat pewarna alami yang disebut
dengan mordan, yang memberikan
sebuah reaksi kimia sehingga zat
pewarna dapat terserap kedalam bahan
tekstil dan memperbaiki warna pada
kain dengan meningkatkan ketahanan
warna tersebut (Singh dan Srivastava,
2015). Di Indonesia, proses fiksasi atau
mordanting biasanya menggunakan
logam mordan seperti tawas
(KAI(SO4)21∙2H2O), kapur (Ca(OH)2)
dan Tunjung (FeSO4) (Darsih., dkk,
2019).
Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan bertujuan untuk menganalisis
hasil pewarna alami limbah kulit
rambutan terhadap kain katun serta hasil
penerapannya terhadap produk dan
menemukan apakah kualitas yang
dihasilkan dari limbah kulit rambutan
dapat menjadi sebuah pewarna alternatif
terhadap produk batik dan shibori
(tiedye).
Shibori merupakan istilah teknik
pewarnaan kain yang berasal dari
jepang, sedangkan di Indonesia Shibori
dikenal dengan Ikat Celup atau Tie dye.
Shibori merupakan teknik pewarnaan
akin dengan cara ikat celup yang
meliputi jahitan, ikatan, lilitan, dijepit,
dan dibungkus, teknik ini telah
digunakan di Jepang sejak abad ke 8
(Suwantara Dkk, 2018). Teknik dalam
shibori memiliki berbagai lipatan dalam
proses pewarnaan kain dengan berbagai
motif yang berbeda, antara lain:
a. Teknik Kanoko, dibuat dengan cara
mengikat bagian tertentu dari kain.
b. Teknik Itajime, dibuat dengan cara
melipat dan menjepit kaindengan
dua buah kayu lalu mengikatnya
dengan tali atau benang
c. Teknik Arashi, dibuat dengan
melilitkan kain pada sebuah tiang
dan diikat kencang denganbenang
disepanjang tiang, kemudian kain
didorong hingga membentuk
kerutan.
d. Teknik Kumo, dibuat dengan
melipat kain secara halus dan
merata, kemudian diikat menjadi
bagian-bagian yang berdekatan satu
sama lain.
Secara etimologi, kata batik berasal
dari bahasa jawa dengan dua kata, yaitu
“amba” dan “titik, amba berarti lebar,
luas atau kain, sedangkan titik yang
berarti titik atau matik, yang kemudian
di kembangkan menjadi istilah “batik”
(Ari Wulandari, 2011).
Batik merupakan teknik tekstil
rekalatar dengan menggunakan alat
perintang (resist)” (Wardhani dan
Pangabean. 2003). Sedangkan kain
batik itu sendiri adalah kain bergambar,
berhiasan dengan proses pembuatan
yang khusus dengan menggunakan lilin
malam yang kemudian diproses dengan
5
cara tertentu (Setiawati, 2004). Lilin
malam yang dilelehkan diterapkan pada
kain menggunakan aplikator semburan
kecil yang disebut canting, yang terbuat
dari tembaga yang menempel di ujung
gagang kayu atau bambu ringan sekitar
empat inci (Ishwara Dkk, 2012).
METODE PENELITIAN
Metode dalam penelitian ini
menggunakan metode praeksperimen,
yaitu hanya melakukan eksplorasi
warna berupa ujicoba yang diamati
tanpa adanya kelompok kontrol warna
yang dihasilkan oleh larutan limbah
organik kulit rambutan pada bahan
tekstil, dengan melakukan uji coba
tehadap bahan kain dan berbagai larutan
fiksasi yang digunakan, seperti larutan
Tawas, Tunjung, dan Kapur. Uji coba
juga dilakukan terhadap teknik dalam
membuat motif, seperti shibori (tie dye)
dan batik, yang kemudian dianalisis
secara deskriptif.
Alur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
perencanaan alur penelitiaan. Berikut
alur penelitian yang dilakukan dalam
penelitian ini:
1. Studi Pendahuluan; melakukan
pengumpulan data dan studi
literatur.
2. Studi awal pembagian tim kerja.
3. Proses penelitian; pembuatan
network planning dan membuat
perencanaan dan persiapan
penelitian.
4. Proses eksplorasi dan pengumpulan
sampel.
5. Analisis Data; Analisis data
instrumen penelitian dan uji grey
scale.
6. Penerapan terhadap produk katun.
7. Analisis data hasil eksplorasi
pewarna alami limbah kulit
rambutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini dilakukan dalam
dua tahap, seperti eksplorasi warna yang
dihasilkan dari limbah kulit rambutan
dan eksplorasi terhadap teknik batik dan
shibori. Proses eksplorasi dilakukan
untuk menemukan warna yang
dihasilkan dari limbah kulit rambutan
sebagai pewarna tekstil, dengan proses
fiksasi menggunakan larutan Tawas,
Tunjung dan kapur.
Hasil tersebut diuji dengan uji
grey scale atau skala abu setelah proses
pencucian dengan detergen untuk
menentukan kualitas dan ketahanan
luntur dari zat pewarna alam limbah
kulit rambutan.
Tabel 1. Nilai Kualitas Warna Pada
Grey-scale
Nilai
Kualitas
Warna
Perubahan
Warna
Penilaian
5 0 Baik
Sekali
4-5 0,8 Baik
4 1,5 Baik
3-4 2,1 Cukup
Baik
6
3 3,0 Cukup
2-3 4,2 Kurang
2 6,0 Kurang
1-2 8,5 Jelek
1 12,0 Jelek
a. Membuat larutan pewarna alam
kulit rambutan.
Proses membuat larutan kulit
rambutan, diperlukan sebanyak satu kilo
limbah kulit rambutan baik yang sudah
busuk maupun yang belum.
Gambar 1. Limbah kulit Rambutan.
(Sumber Pribadi, 2020)
Berikut proses pembuatan larutan
pewarna kulit rambutan:
1) Setelah dikumpulkan, kulit
rambutan di jemur selama 3hari dan
didiamkan selama 4 hari hingga
menghitam.
2) Kemudian kulit rambutan
diekstraksi dengan jumlah 1
kilogram kulit rambutan dengan 8
liter air.
3) Rebus kulit rambutan hingga air
tersisa 4-5 liter, fungsinya adalah
untuk mendapatkan zat tanin yang
berwarna kecokelatan.
4) Setelah selesai proses perebusan,
diamkan larutan hingga tiris dan
larutan pewarna dapat digunakan
untuk mewarnai kain.
Gambar 2. Larutan ZPA kulit Rambutan.
(Sumber Pribadi, 2020)
b. Hasil Eksplorasi warna
Tahap eksporasi dilakukan
setelah mendapatkan larutan kulit
rambutan dari hasil ekstraksi.
Eksplorasi dilakukan dengan
melakukan uji coba terhadap kain yang
telah di mordanting dan dilakukan
proses fiksasi untuk mendapatkan hasil
warna dari reaksi jenis fiksasi yang
digunakan. Berikut jenis fiksasi yang
digunakan yaitu, tawas (AI2(SO4)3),
kapur (Ca(OH)2), asam cuka
(CH3COOH), dan tunjung (FeSO4).
Kain yang telah di mordanting
dicelupkan pada larutan pewarna kulit
rambutan sebanyak 3 kali dengan jeda
waktu 5 menit untuk setiap pencelupan.
kemudian kain di fiksasi dengan larutan
yang berbeda. Berikut tabel hasil yang
didapat dari proses eksplorasi:
7
Tabel 2. Hasil Eksplorasi Warna
Tawas (AI2(SO4)3)
Kapur (Ca(OH)2)
Tunjung (FeSO4)
Setelah mendapatkan warna hasil
dari fiksasi, selanjutnya dilakukan
proses uji gray scale untuk menemukan
kualitas yang dihasilkan dari pewarna
limbah kulit rambutan.
Tabel 3. Hasil Uji Grey Scale
Jenis
Fiksasi
Perubahan
Warna
Nilai
Kualitas
tawas 0,2 4-5
Kapur 0,5 4-5
Tunjung 0,3 4-5
c. Hasil Eksplorasi Teknik
Proses eksplorasi teknik
dilakukan untuk mengaplikasikan
warna terhadap berbagai teknik, baik
dalam teknik batik maupun teknik
shibori.
Berikut hasil eksplorasi yang
dilakukan dengan berbagai teknik:
Tabel 4. Hasil Eksplorasi Teknik
Batik
Kanoko
Kumo
Itajime
Arashi
8
Pembahasan
Fiksasi tawas (AI2(SO4)3) bereaksi
terhadap larutan zat pewarna alami kulit
rambutan menghasilkan warna cokelat,
fiksasi tunjung (FeSO4) bereaksi
terhadap larutan zat pewarna alami kulit
rambutan menghasilkan warna abu-abu
(Grey), dan fiksasi Kapur (Ca(OH)2)
bereaksi terhadap larutan zat pewarna
alami kulit rambutan menghasilkan
warna cokelat. Setiap larutan pengikat
memberikan reaksi dan menghasilkan
warna yang berbeda, hal tersebut sejalan
dengan pendapat Handayani dan
Maulana (2013), bahwa kenampakan
warna yang dihasilkan oleh pewarna
alami di pengaruhi oleh zat pengikat
yang digunakan.
Hasil analisis dengan uji grey scale
ditemukan bahwa zat pewarna alami
dari limbah kulit rambutan yang telah
lama dikeringkan, menghasilkan
kualitas warna yang baik. Hal tersebut
dibuktikan dengan nilai masing-masing
dari jenis fikasasi menghasilkan kualitas
4-5 (baik) meskipun pada nilai
perubahan warna setelah dilakukan
proses pencucian memiliki nilai yang
berbeda, yaitu fiksasi tawas memiliki
nilai perubahan warna paling baik
sebesar 0,2 dibandingkan dengan fiksasi
tunjung dan kapur. Sedangkan tunjung
memiliki nilai 0,3 dan kapur 0,4.
Dengan temuan tersebut, sejalan dengan
penelitian Amalia dan Akhtamimi
(2016), bahwa zat fiksasi tawas
memberikan nilai ketahanan luntur yang
lebih baik dibandingkan dengan
penggunaan zat fiksasi kapur dan
tunjung.
Setelah mendapatkan hasil warna,
eksplorasi dilakukan terhadap teknik
shibori (tie dye) dan batik. Pada teknik
shibori (tie dye), menggunakan jenis
teknik kumo, kanoko, itajime dan
arashi, sedangkan batik menggunakan
teknik tulis. Hasil eksplorasi teknik
menghasilkan motif dan ketahanan
luntur yang baik dengan beragam
percampuran jenis fiksasi yang
digunakan, sejalan dengan pendapat
Dolca (2018) bahwa pewarna alami
yang diaplikasikan pada serat kain katun
dibutuhkan proses mordanting sebagai
penguat warna yang tahan dan tidak
mudah luntur.
Warna yang dihasilkan dari kulit
rambutan cenderung pucat, hal tersebut
sesuai dengan pendapat Wulandari
(2011), bahwa warna yang di hasilkan
pewarna alam cenderung lebih pucat
dan memiliki ciri khas.
KESIMPULAN
Limbah Organik kulit rambutan
dapat dimanfaatkan sebagai pewarna
alami untuk tekstil, terutama pada
produk dengan teknik shibori dan batik.
Larutan dari kulit rambutan yang
diekstraksi menghasilkan zat tanin
berwarna cokelat yang menghasilkan
beberapa warna tergantung dari larutan
fiksasi yang digunakan. Larutan tawas
menghasilkan warna krem kekuningan
9
hingga cokelat, tunjung menghasilkan
warna abu-abu hingga kehitaman, dan
kapur menghasilkan warna krem pucat.
Hasil uji grey scale ditemukan
bahwa penggunaan larutan fiksasi tawas
menghasilkan warna dengan kualitas
nilai perubahan warna lebih baik dari
fiksasi tunjung dan kapur, sedangkan
tunjung memiliki nilai lebih baik dari
kapur.
Berbagai teknik yang dilakukan
juga menghasilkan beragam motif
sesuai dengan teknik yang digunakan
dan dapat digunakan pada produk
fesyen berbahan kain. Meskipun warna
yang dihasilkan oleh larutan kulit
rambutan sama seperti pewarna alami
pada umumnya, yaitu soft dan pastel
(tidak cerah dan kuat), namun hal
tersebut menjadi keunikan dalam
pewarna alami dan menambah kesan
artistik dan estetik dari karya tersebut.
REFERENSI
Amalia, Rizka dan Iqbal Akhtamimi, 2016.
Studi Pengaruh Jenis Dan
Konsentrasi Zat Fiksasi Terhadap
Kualitas Warna Kain Batik Dengan
Pewarna Alam Limbah Kulit
Buah Rambutan (Nephelium
lappaceum). Jurnal Dinamika
Kerajinan dan Batik, Vol. 33,
No.2, Hal. 85- 92.
Batool, Fatimah et all. 2019.”Sustainable
Dyeing of Cotton Fabric Using
Black Carrot (Daucus carota L.)
Plant Residue as a Source of
Natural Colorant”. J. Environ.
Stud. Vol. 28, No. 5.
Darsih, Cici dkk. 2019. “Dyeing Of Cotton
Fabric With Natural Dye From
Cudrania Javanensis Using Soka
(Ixora Javanica) Leaves Extract As
Bio-Mordant”. Dinamika
Kerajinan dan Batik: Majalah
Ilmiah, Vol. 36 No. 2, Hal 105-112.
doi: 10.22322/dkb.V36i1.4149
Dolca, Cristina. 2018.”Textiles Coloured
With Natural Dyes of Vegetal
Origin”. Scientific Bulletin of
North University Center of Baia
Mare, Volume XXXII No. 2
Handayani, Prima Astuti dan Ivon
Maulana. 2013. “Pewarna
Alami Batik Dari Kulit Soga
Tingi(Ceriops Tagal) Dengan
Metode Ekstraksi”. Jurnal
Bahan Alam Terbarukan.
Semarang : Universitas Negeri
Semarang. Purwendro, S. Nurhidayat. 2006. Mengolah
Sampah Untuk Pupuk Pestisida
Organik. Jakarta: Penebar
Swadaya.
R, Singh and Srivastava S. 2015.
“Exploration Of Flower Based
Natural Dyes - A Review”.
Research Journal of Recent
Sciences, Vol. 4, 6-8.
Setiawati, Puspita. 2004. Kupas Tuntas
Teknik Proses Membatik
Dilengkapi Teknik Menyablon.
Yogyakarta: Absolut.
Suheryanto, Dwi. 2017. NATURAL DYES –
Ensiklopedia Zat Warna Alami
Dari Tumbuhan Untuk Industri
Batik. Yogyakarta: Andi
Yogyakarta.
Suwantara, Dermawati dkk. 2018.
Eksplorasi Teknik Shibori dalam
Pengembangan Desain Motif
Tradisional Indonesia pada
Permukaan Kain Sandang. Balai
Besar Tekstil; Bandung.
10
Suyoto, Bagong. 2008. Fenomena Gerakan
Mengelola Sampah. Jakarta: PT
Prima Media.
Whardani, Cut Kamaril dan Ratna
Pangabean. 2005. TEKSTIL Buku
Pelajaran Kesenian Nusantara
untuk Kelas VII. Jakarta: Lembaga
Pendidikan Seni Nusantara.
Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
ANALISIS KARYA BATIK A. MATTAROPURA HUSAIN
Aulia Evawani Nurdin1*
1Universitas Negeri Makassar
*Corresponding author
Abstrak
Batik merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia yang masih bertahan dan
mengalami perkembangan yang sangat pesat dewasa ini. Selama ini batik telah menunjukkan
eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, dengan berbagai motif dan
ragam batik yang tumbuh seiring dengan ciri khas setiap daerah yang mengembangkannya.
Sulawesi Selatan memiliki keanekaragaman ragam hias yang dapat diterapkan menjadi karya
batik. Batik di Sulawesi Selatan sudah cukup dikenal, namun masih sedikit yang dapat
menerangkan proses pembuatannya sehingga perkembangan pembuatan batik di masyarakat
Sulawesi Selatan masih dikatakan sangat sedikit. A. Mattaropura Husain merupakan pembatik
yang berasal dari Sulawesi Selatan yang menerapkan berbagai macam ragam hias, beberapa karya
beliau bermuatan motif Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar
belakang penciptaan karya batik A. Mattaropura Husain. dan motif pada karya batik A.
Mattaropura Husain. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan
dukomentasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hasil
penelitian ini menunjukkan kecintaan beliau terhadap Sulawesi Selatan terlihat pada karya batik
yang diciptakannya bermuatan lokal Sulawesi Selatan. Setiap motif yang tercipta cenderung
terlahir secara spontan dari hati dan pikiran beliau. Karya yang beliau ciptakan terbuat dari bahan
kain sutera dan katun dengan teknik batik tulis. Karya yang diciptakan tersebut bermuatan motif
Sulawesi Selatan yaitu motif Bugis, Makassar dan Toraja. Motif tersebut antara lain Sulapa Appa,
Paqbombo Uai, Paq Don Lambiri, Swastika, Paqtedong dan lain-lain.
Keywords: batik, Sulawesi Selatan, motif
PENDAHULUAN
Batik adalah kain dengan hiasan yang
dibuat dengan teknik wax resist dyeing yang
menggunakan ragam hias tertentu dengan
kekhasan budaya Indonesia sebagai busana
maupun keperluan lainnya. Batik merupakan
salah satu unsur seni budaya bangsa Indonesia
yang masih bertahan dan mengalami
perkembangan yang sangat pesat dewasa ini.
Pada zaman dahulu batik hanya digunakan bagi
Raja ddan bangsawan. Seiring perkembangan
zaman kini batik sudah digunakan di seluruh
lapisan masyarakat. Bahkan tak hanya
merupakan konsumsi masyarakat Indonesia
sendiri tetapi juga masyarakat mancanegara.
United Nations Education, Scientific,
and Culture Organization (UNESCO)
merupakan organisasi tertinggi dunia di bidang
kebudayaan di bawah naungan PBB telah
mengeluarkan sertifikat pengakuan warisan
budaya Indonesia pada tanggal 2 Oktober
2009.
Selama ini batik telah menunjukkan
12
eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia, dengan berbagai motif
dan ragam batik yang tumbuh seiring dengan
ciri khas setiap daerah yang
mengembangkannya. Upaya pengembangan
batik yang dilakukan di berbagai daerah untuk
dijadikan sebagai komoditas perdagangan,
pada gilirannya melahirkan nama jenis batik
yang diproduksinya berdasarkan ciri khas
motif dan nama daerah yang bersangkutan,
seperti batik Yogyakarta, Solo, Pekalongan,
Lasem, Cirebon, Tegal, Madura dan Papua.
Sulawesi Selatan memiliki
keanekaragaman ragam hias yang dapat
diterapkan menjadi karya batik. Batik di
Sulawesi Selatan sudah cukup dikenal, namun
masih sedikit yang dapat menerangkan proses
pembuatannya sehingga perkembangan
pembuatan batik di masyarakat Sulawesi
Selatan masih dikatakan sangat sedikit, sebab
minat masyarakat untuk dapat mempelajari
proses pembuatan batik cenderung kurang,
padahal apabila masyarakat Sulawesi Selatan
ingin mengembangkan batik di provinsi ini
maka tidak menutup kemungkinan dapat
mengangkat unsur-unsur budaya yang ada di
daerah Sulawesi Selatan. A. Mattaropura
Husain merupakan salah satu Dosen Fakultas
Seni dan Desain UNM. Beliau juga merupakan
pembatik yang berasal dari Sulawesi Selayang
yang menerapkan motif Sulawesi Selatan.
Penellitian ini bertujuan untuk
mengetahui latar belakang penciptaan karya
batik A. Mattaropura Husain. dan motif pada
karya batik A. Mattaropura Husain.
METODE
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi, wawancana dan
dukomentasi. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik analisis data deskriptif
kualitatif, yaitu mendeskripsikan atau bentuk
dari gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai
objek yang diteliti yakni motif pada karya batik
A. Mattaropura Husain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
A. Mattaropura Husain dengan nama
lengkap Drs. A. Mattaropura Husain, M.Pd/
beliau lahir di Watansoppeng 5 Desember
1948. Beliau merupakan Purnabakti Dosen
(Seni lukis batik) pada Jurusan Seni Rupa
Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri
Makassar sejak tahun 1982 hingga tahun 2013.
Beliau merupakan lulusan Seni Rupa IKIP
Yogyakarta pada tahun 1981 dan
memperdalam ilmu seni lukis batiknya pada
Amri Yahya di Galeri Tobong Seni
Yogyakarta. Selanjutnya beliau melanjutkan
pendidikannya pada program Pascasarjana di
Universitas Negeri Makassar dan memperoleh
gelas Masternya pada tahun 2013.
Pada Tahun 1991 A. Mattaropura
Husain.beserta beberapa rekan beliau
melakukan diskusi mengenai perencanaan
penghapusan mata kuliah batik dalam
kurikulum. Penghapusan tersebut didasari oleh
oleh kecenderungan pemahaman masyarakat
terhadap batik yang merupakan motif dan
identitas masyarakat Jawa. Namun, menurut
beliau batik merupakan teknik dengan cara
tutup celup.
Teknik tersebut bisa digunakan untuk
menerapkan motif khas Sulawesi Selatan pada
kain. Hal tersebut merupakan salah satu latar
belakang pembuatan karya batik Sulawesi
Selatan Drs. A. Mattaropura Husain.
Berbagai macam pameran telah diikuti
oleh beliau, salah satunya adalah Pameran
tunggal pada tahun 1997 mengenai Batik
Sutera di Ujung Pandang (kini Makassar).
Pameran tersebut merupakan pameran karya
batik sutera pertama di Sulawesi Selatan.
Karya batik beliau didominasi oleh motif khas
Sulawesi Selatan yang merupakan hasil stilasi
motif Bugis, Makassar dan Toraja. Penerapan
motif tersebut bertujuan agar dapat
melestarikan motif yang ada di Sulawesi
Selatan.
13
Gambar 1. Katalog Pameran A. Mattaropura Husain
Pada tahun 2011 A. Mattaropura
Husain mengikuti kegiatan “Word Batik
Summit” yang diadakan di Jakarta. Kegiatan
tersebut diikuti oleh peserta yang berasal dari
berbagai Negara. Beliau hadir mewakili
Indonesia (Sulawesi Selatan).
Gambar 2. Sertifikat Word Batik Summit
A. Mattaropura Husain
Karya batik yang beliau ciptakan
cenderung menerapkan batik teknik tulis
menggunakan canting dengan bahan utama
berupa kain sutera dan katun.
Adapun beberapa karya batik A.
Mattaropura Husain.sebagai berikut:
Gambar 3. Karya batik Sutera
Drs. A. Mattaropura Husain
Karya batik Sutera pada gambar
tersebut merupakan karya batik Sutera pertama
yang dibuat oleh A. Mattaropura Husain pada
tahun 1995.
Gambar 4. Karya batik Sutera
Drs. A. Mattaropura Husain
Gambar 5. Karya batik Sulawesi Selatan
A. Mattaropura Husain
Gambar 6. Karya batik Sulawesi Selatan
A. Mattaropura Husain
Gambar 7. Karya batik Sulawesi Selatan
A. Mattaropura Husain
Gambar 8. Karya batik Sulawesi Selatan
A. Mattaropura Husain
14
Pembahasan
Kecintaan beliau terhadap Sulawesi
Selatan terlihat pada karya batik yang
diciptakannya bermuatan lokal Sulawesi
Selatan. Setiap karya beliau tidak memiliki
makna tersendiri, hanya sebatas
mengekspresikan diri pada selembar kain.
Karya yang beliau ciptakan terbuat dari bahan
kain sutera dan katun dengan teknik batik tulis.
Setiap motif yang tercipta merupakan hasil
penyederhanaan (stilasi) dari motif Sulawesi
Selatan. Motif yang tercipta yang cenderung
terlahir secara spontan dari hati dan pikiran
beliau. Dalam kajian bentuk motif, prinsip
estetika yang dianut seperti komposisi,
proporsi, harmoni, kesatuan (unity), tekstur
dan pertimbangan wujudyang memiliki
keharmonisan agar tercipta kesatuan yang tak
terpisahkan antara elemen-elemen utama
(Muhaemin, 2018: 80). Adapun beberapa motif
Sulawesi Selatan yang terdapat pada karya
batik A. Mattaropura Husain sebagai berikut:
Karya batik Sutera pada gambar 3
merupakan karya batik Sutera pertama yang
dibuat oleh A. Mattaropura Husain pada tahun
1995. Karya tersebut memiliki motif khas
Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya stilasi
motif Paqbombo Uai (Toraja) dan Paqdon
Lambiri (Toraja) dengan berbagai ukuran dan
komposisi. Paq Bombo Uai dan Paqdon
Lambiri merupakan motif Toraja yang
terdapat pada ukiran. Motif Paqbombo Uai
berbentuk menyerupai binatang air yang dapat
bergerak di atas air dengan halus dan sangat
cepat. Motif Paqdon Lambiri merupakan
pohon lambiri yang memiliki daun berbentuk
segi empat.
Gambar 9. Pola dasar motif Paq Bombo Uai
Gambar 10. Pola dasar motif Paqdon Lambiri
.
Karya pada gambar 4 merupakan
karya batik yang bermotifkan stilasi motif
Sulapa Appa. Sulapa Appa merupakan motif
Bugis Makasaar. Motif tersebut berbentuk
belah ketupat.
Gambar 11. Pola dasar motif Sulapa Appa
Karya pada gambar 5 memiliki motif
khas Sulawesi Selatan, diantaranya stilasi
motif Paqbombo Uai, Pilin dan Sulapa Appa
dengan komposisi yang sangat indah. Pola
dasar motif karya pada gambar 5 cenderung
sama dengan karya pada gambar 3 yakni
adanya motif Paqbombo Uai, dan Sulapa
Appa, tetapi motif tersebut memiliki bentuk
stilasi dan warna yang berbeda.
Gambar 12. Pola dasar motif Paqbombo Uai
Gambar 13. Pola dasar motif Pilin
Gambar 14. Pola dasar motif Sulapa Appa
Karya pada gambar 6 memiliki motif
khas Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya
stilasi motif Paq Tedong dengan berbagai
bentuk dan komposisi yang indah. Paq tedong
terdapat pada ukiran Toraja. Motif tersebut
merupakan motif memiliki bentuk menyerupai
seekor kerbau. Kerbau merupakan hewan
peliharaan utama bagi warga Toraja.
15
Gambar 15. Pola dasar motif Paq Tedong
Karya pada gambar 7 memiliki motif
khas Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya
stilasi motif swastika yang merupakan motif
khas Toraja.
Gambar 16. Pola dasar motif Swastika
Karya pada gambar 8 memiliki motif
khas Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya
stilasi motif Paq Bombo Uai, Paq Don
Lambiri, Paq Salaqbi, Sekong dan Paqkollong
Buqkuq. Selain itu ada pula motif sekong.
Gambar 17. Pola dasar motif Paq Don
Lambiri
Gambar 18. Pola dasar motif Paq Don
Lambiri
Gambar 19. Pola dasar motif Paq Salaqbi
Gambar 20. Pola dasar motif Paq Kollong
Buqkuq
Gambar 21. Pola dasar motif Sekon atau
Sekong
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Latar belakang penciptaan karya batik
Sulawesi Selatan A. Mattaropura Husain
merupakan salah satu bentuk kecintaan dan
kebanggaan beliau terhadap Sulawesi Selatan
serta salah satu bentuk pelestarian terhadap
keanekaragaman motif Sulawesi Selatan.
Karya yang diciptakan bermuatan
motif Sulawesi Selatan yaitu motif Bugis,
Makassar dan Toraja. Motif tersebut antara lain
Sulapa Appa, Paqbombo Uai, Paq Don
Lambiri, Swastika, Paqtedong dan lain-lain.
Saran
Upaya untuk melestarikan budaya
bangsa Indonesia dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan kreativitas dalam
pengembangan motif lokal agar batik yang
diciptakan menjadi lebih unik.
DAFTAR RUJUKAN
Azis Said, Abd et al. (2009). Pengembangan
Produk Akhir Kain Tenun Sutera
Berbasis Budaya Lokal, (Laporan
Hasil Penelitian Strategi Nasional),
DIPA Universitas Negeri Makassar.
Departemen Perindustrian. Teknik Membuat
Batik Tradisional dan Batik Modern.
16
Hamzuri. (1981). Batik Klasik. Jakarta:
Djambatan.
Kusrianto, Adi. (2013). Batik. Yogyakarta:
CV. Andi Offset.
Muhaemin, M., & Lugis, M. (2020). Desain
Ragam Hias Pada Makam We
Pattekke Tana Di Kabupaten Barru.
Jurnal Pakarena, 3(2), 75-81.
doi:https://doi.org/10.26858/p.v3i2.13
063
Nurdin, Aulia Evawani. (2016). Modul
Pembelajaran Batik Ikat Celup.
Makassar: PPs UNM.
Sande, J.S. (1989). Toraja In Carving. Ujung
Pandang.
Wulandari, Ari. (2011). Batik Nusantara.
Yogyakarta: CV Andi Offset.
.
Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
MOTIF RAGAM HIAS SAO RAJA LA PAWAWOI KARAENG SIGERI Andi Baetal Muqadas1*
1Universitas Negeri Makassar
*Corresponding author
Abstrak
Salah satu bentuk arsitektur yang memiliki ciri tersendiri adalah bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone, dengan tiga permasalahan pokok yaitu: (1)
Bagaimana bentuk motif ragam hias, (2) Apakah fungsi dan makna yang terkandung dalam motif
ragam hias dan (3) Bagaimana ciri khas motif ragam hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri di Watampone. Adapun tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk memperoleh data
yang akurat, tentang bentuk ragam hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri di Watampone, (2) Untuk memperoleh data yang akurat tentang fungsi dan makna
yang terkandung dalam motif ragam hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di
Watampone, (3) Untuk memperoleh data yang akurat mengenai ciri khas motif ragam hias pada
bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone. Dalam mengumpulkan data
penulis menggunakan tiga metode yaitu teknik observasi, wawancara, serta dokumentasi.
Manfaat hasil penelitian ini diharapkan (1) Menjadi referensi bagi peneliti-peneliti pemula yang
mengkaji dari permasalahan yang berkaitan dengan motif ragam hias, (2) Agar masyarakat dapat
mengenal lebih dekat tentang motif ragam hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri yang ada di Watampone, (3) Dapat menambah wawasan seni bagi masyarakat,
khususnya mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan. Dari hasil penelitian ini
penulis dapat menarik kesimpulan (1) Bentuk motif ragam hias yang ada pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone antara lain bentuk tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas
jenis “bunga parenreng” (bunga matahari), “colli paku” (tumbuhan paku), “bunga tunggal”, motif
nangka serta gubahan daun. Bentuk geometris yang terdiri atas jenis swastika, dan jenis tumpal.
Bentuk Lawa Suji, bentuk Kaligrafi. Fungsi ragam hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone yaitu: (1) Berfungsi sebagai ragam hias murni yang
hanya sebagai hiasan semata, dan (2) Berfungsi sebagai ragam hias simbolis yang memiliki
beberapa makna. Ciri khas motif ragam hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri
di Watampone adalah pada ragam hias jenis “colli paku” (tumbuhan paku), lawasuji, “bunga
parenreng” (bunga matahari), bunga tunggal, buah nangka serta ragam hias kaligrafi.
Keywords: motif, ragam hias, karaeng sigeri
PENDAHULUAN
Kebudayaan memiliki pengertian yang
luas, dan tidak lagi terbatas pada pengertian
yang sempit seperti yang lazim diartikan.
Seolah-olah kebudayaan itu terbatas pada
beberapa cabang olah seni seperti seni tari, seni
musik, seni rupa dan seni lainnya. Kebudayaan
dinilai sebagai suatu yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia secara keseluruhan
yang meliputi moral, etik, sikap mental tingkah
laku dan nilai hidup yang dapat disimpulkan
sebagai hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya hubungan
18
sesama manusia serta hubungan manusia
dengan lingkungannya. Di dalam hal ini juga
kegiatan manusia di masa lampau yang lazim
disebut sejarah, merupakan bagian dari
kebudayaan. Ditinjau dari sudut sejarah, maka
pada masa lampau bangsa Indonesia pernah
mengalami atau menciptakan puncak-puncak
kreasi dan karya budaya yang sampai sekarang
masih mengundang kekaguman. Kreasi dan
karya budaya Indonesia itu bertebaran di
daerah yang apabila diteliti lebih seksama,
maka ternyata mengandung unsur kesatuan
yang kuat seperti yang terwujud di dalam
lambang “Bhineka Tunggal Ika”.
Kebudayaan nasional perlu dibina dan
dipelihara dalam rangka pembinaan dan
pemeliharaan kebudayaan nasional termasuk
usaha-usaha penggalian dan pemupukan
kebudayaan daerah, serta tradisi dan kesenian
daerah. Kesemuanya itu untuk diwariskan
kepada generasi muda. Warisan budaya bangsa
perlu diselamatkan, dalam usaha penyelamatan
itu termasuk kegiatan penelitian,
pendokumentasian dan penerbitan karya-karya
seni budaya nasional daerah. Kegiatan tersebut
merupakan usaha pembinaan, kelangsungan
dan pengembangan kebudayaan nasional, serta
pembinaan ketahanan kebudayaan nasional.
Mengenai kebudayaan bangsa Indonesia
telah diuraikan pada penjelasan Pasal 32
Undang-Undang Dasar 1945 yakni
Kebudayaan bangsa Indonesia ialah
kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budidaya rakyat di Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di
seluruh Indonesia, terhitung sebagai
kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri. Serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.
Dengan demikian kebudayaan
merupakan salah satu unsur yang paling utama
dalam menarik wisatawan manca negara
sehingga perlu terus dipelihara, dibina, dan
dikembangkan guna meningkatkan kualitas
hidup masyarakat sehingga mampu menjadi
penggerak dan pengemban pembangunan bagi
perwujudan cita-cita bangsa di masa yang akan
datang. Seperti halnya yang terdapat dalam
Undang-undang Dasar 1945, yakni pasal 32
mengatakan, “Pemerintah memajukan
kebudayaan nasional Indonesia”. Dari
Undang-undang Dasar itu jelas dapat
diketahui, bahwa pemerintah memberikan
kesempatan seluas-luasnya terhadap
perkembangan dan kemajuan kebudayaan
nasional dengan tetap berpegang pada landasan
Ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945. Untuk memajukan kebudayaan nasional,
maka langkah pertama yang harus ditempuh
adalah membangun dan mengembangkan
kebudayaan-kebudayaan daerah, dimana
kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut
merupakan akar dari kemajuan kebudayaan
nasional, seperti apa yang dilihat dan dinikmati
sekarang.Guna mengangkat potensi budaya
daerah yang beranekaragam, maka perguruan
tinggi sebagai wadah dan pengembang
pembangunan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi memiliki peranan yang sangat
penting, yaitu meliputi pendidikan, penelitian
dan pengabdian pada masyarakat. Khusus pada
bidang penelitian diharapkan dapat
mengangkat berbagai fenomena-fenomena di
dalam lingkungan pendidikan maupun dalam
lingkungan masyarakat, sehingga potensi-
potensi budaya yang ada dalam masyarakat
tersebut dapat menjadi masukan dan referensi
dalam ilmu pengetahuan.
Sebagai unsur perguruan tinggi,
mahasiswa dapat berperan aktif sebagai
penghubung antara masyarakat serta
pembangunan terhadap eksistensi ilmu
pengetahuan dan sekaligus mengangkat
peradaban budaya sebagai sumber motivasi
untuk mengembangkan pembangunan
selanjutnya.
Melalui penelitian lapangan, diharapkan
dapat memperoleh berbagai masukan berupa
kekayaan budaya antara lain: bangunan
arsitektur daerah, hasil kerajinan, kesenian dan
berbagai bentuk hasil seni budaya lainnya yang
masih terpendam. Untuk menggali hasil
potensi tersebut maka penelitian sangat
diperlukan.
Searah dengan perkembangan seni
budaya, baik dalam bentuk arsitektur yang
memiliki nilai seni keindahan dan keunikan
khas daerah sebagai warisan budaya bangsa,
maupun dalam wujud seni rupa, seni musik,
seni tari, dan seni kerajinan, maka Majelis
19
Permusyawaratan Rakyat memutuskan dalam
sebuah ketetapan, yaitu TAP MPR
No.2/MPR/1993 yang mengamatkan bahwa
pembinaan dan pengembangan kesenian
sebagai ungkapan budaya bangsa diusahakan
agar dapat menampung dan mengembangkan
daya cipta seniman, memperkuat diri bangsa,
meningkatkan apresiasi dan kreativitas seni
bangsa memperluas kesempatan masyarakat
untuk meningkatkan dan mengembangkan seni
budaya bangsa serta memberikan inspirasi dan
gairah membangun (TAP MPR: 1993: 287).
Dengan menghayati amanat tesebut
maka pemerintah telah berusaha mendorong
serta memupuk pertumbuhan dan
perkembangan seni budaya Indonesia, melalui
penciptaan karya-karya seni. Di antara karya
seni yang hingga sekarang berkembang dengan
pesatnya adalah seni arsitektur yang tentu
dalam penciptaannya tetap mengakar pada
budaya daerah setempat. Salah satu bentuk
karyas seni arsitektur yang memiliki ciri
tersendiri adalah bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
yang pada dinding bangunan tersebut secara
keseluruhan menampilkan motif ragam hias
yang sarat dengan sentuhan-sentuhan estetis
dengan berbagai motif.
Hal inilah yang mendorong penulis
untuk mengangkat judul penelitian “Motif
Ragam Hias pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone”.
Dalam kamus bahasa Indonesia
ditemukan pengertian motif, yaitu “Tindakan
seseorang, pendapat atau dasar pikiran”
(Poerwadarminto, 1982: 158). Sedangkan
menurut Bastomi (1982), bahwa motif dapat
ditinjau beberapa bagian, yaitu:
1. Motif adalah ragam hias suatu hasil karya,
atau motif ragam hias, misalnya: motif
tumbuh-tumbuhan, motif binatang dan
motif geometris.
2. Motif adalah gaya yang pada dasarnya
mengandung pengertian kekhususan atau
ciri khusus suatu karya seni, motif lahir
dan ada, karena didasarkan atas
kekhususan sifat karakteristik atau
penampilan pribadi yang dimiliki pada
hasil karya seni tersebut. Misalnya dapat
dilihat pada motif-motif ornamen pada
ukiran, seperti motif ukiran Bali, motif
Jepara, motif Madura dan sebagainya.
3. Dan selanjutnya pengertian motif juga
bisa menunjukkan suatu zaman di masa
pembuatnya, misalnya karya seni
kerajinan pada masa primitif, zaman
Hindu dan Islam kesemuanya itu masing-
masing mempunyai motif, sesuai dengan
zamannya.
Dari beberapa definisi di atas maka
dapat disimpulkan bahwa motif adalah
pendapat seseorang yang mempunyai
ragam/corak yang berbeda satu sama lainnya.
Ragam hias atau ornamen merupakan
karya seni yang diwujudkan secara visual
dalam bentuk rupa dengan maksud
memperindah dan mempercantik benda secara
fisik, ragam hias selalu dikenakan pada benda-
benda yang akan dihias agar memiliki nilai seni
(estetis) yang tinggi, di samping itu dapat juga
menuju nilai simbol atau makna tertentu.
Menurut Damit (1990: 32) pengertian
“ragam hias adalah corak/motif atau bentuk
hiasan tertentu menurut historis dan
geografisnya”. Artinya adalah motif-motif
yang ada dalam suatu hiasan sering dijumpai
pada suatu tempat dengan bentuk yang
berbeda, itu menurut letak geografisnya.
Sedangkan menurut historisnya adalah ragam
hias lahir dan berkembang karena pengaruh
sejarah suatu bangsa.
Ragam hias mungkin sama
perwujudannya dalam bentuk rupa, tapi belum
tentu mempunyai persamaan dari segi fungsi,
maknanya dari suatu tempat serta masyarakat
yang berbeda. Artinya makna adalah simbol-
simbol yang sering dijumpai dalam suatu
ragam hias, dan erat kaitannya dengan
kejiwaan dan kepercayaan masyarakat
pembuatnya. Walaupun unsur-unsur simbolis
dalam masyarakat sering berbeda, namun tidak
menutup kemungkinan terdapat kesamaan-
kesamaan dalam wujud pengungkapannya dari
segi makna atau simbolisnya, misalnya untuk
mampu membangkitkan kesan magis dan
religius, mereka mempergunakan jenis hiasan
tertentu pada patung atau tempat pemujaannya.
Jadi hiasan ini berfungsi sebagai pelengkap
kepercayaan atau religius, biasanya ragam hias
itu dapat juga dilihat pada benda-benda seperti,
porselin batu hiasan, tembikar, nekara, ukiran
dan lain-lain.
Banyak cara untuk membedakan jenis
ragam hias. Ada pembedaan berdasarkan
20
periode sejarah atau pengaruh kebudayaan
besar. Dengan cara ini kita akan mengenal
ragam hias Dongson, ragam hias Hindu, ragam
hias Islam, ragam hias Chou, ragam hias Gotik,
ragam hias Barok dan rakoko. Ada
penggolongan ragam hias menurut asal daerah,
kita akan jumpai misalnya: ragam hias
Tapanuli, Minang, Jepara, Yogya, Madura,
Bali, Toraja, Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara
dan sebagainya. Penggolongan lain
berdasarkan motif atau pola yang
dipergunakan misalnya: ragam hias hewan,
ragam hias tumbuh-tumbuhan, ragam hias
pinggir awan, ragam hias lidah api, bukit batu,
atau bentuk alam lainnya. Penggolongan lain
berdasarkan pemakaian ragam hias pada objek
yang dihias. Kita temui misalnya: ragam hias
pinggir, ragam hias tunggal, ragam hias
berganda, ragam hias panel, ragam hias bebas
dan sebagainya.
METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif-
kualitatif yang menekankan penjelasan
terhadap suatu obyek dengan apa adanya.
Teknik yang digunakan yaitu observasi,
wawancara dan domumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng
Sigeri
Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri
yang sekarang menjadi kantor PPD (Panitian
Pemilihan Daerah) TK. II Kabupaten Bone
adalah merupakan tempat tinggal Raja Bone
yang XXXI bergelar “Lapawawoi Karaeng
Sigeri”. Mengenai tanggal dan tahun
didirikannya penulis agak sulit memperoleh
data yang akurat, hanya saja menurut Andi
Muhammad Ali, Sao Raja ini sudah ada
sebelum Bone kalah perang dari Belanda pada
tahun 1905. Dengan demikian Sao Raja
tersebut diperkirakan telah ada pada akhir abad
XIX. Bangunan Sao Raja Lapawawoi pada
umumnya terbuat dari kayu cendana yang
memiliki sepuluh jendela dan timpak laja
bersusun empat, berukuran panjang 20 meter
serta lebar 11 meter. Pada dinding bagian
depan yang dipenuhi motif ragam hias berukir
terdapat empat jendela yang memakai terali
dari besi. Sedangkan pada bagian dalam
bangunan terdapat satu dinding pemisah pada
umumnya dipenuhi motif ragam hias. Menurut
Andi Mappasissi, bahwa bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri tersebut pada awal
dibangunnya memiliki tiang dan bentuknya
adalah rumah panggung seperti kebanyakan
rumah adat bugis Makassar. Akan tetapi
setelah Belanda menduduki Indonesia dan
mengalahkan Bone pada tahun 1905,
Lapawawoi Karaeng Sigeri ditangkap, dan
bangunan Sao Raja tersebut dibongkar oleh
Belanda lalu diangkut ke Karebosi, Makassar
pada tahun 1906 sebagai bukti kemenangan
Belanda. Setelah Lapawawoi Karaeng Sigeri
wafat pada tanggal 17 Januari 1911 di
Bandung, maka Andi Mappanyuki sebagai
pengganti beliau (Lapawawoi Karaeng Sigeri)
menjadi Raja Bone XXXII. Pada tahun 1931
barulah Sao Raja ini dikembalikan ke Bone
atas permintaan Raja Andi Mappanyuki tetapi
tiang-tiangnya sudah tidak utuh lagi sehingga
tidak dapat berdiri sebagaimana bentuk
awalnya. Maka oleh masyarakat Bone dan atas
permintaan Raja Andi Mappanyuki Sao Raja
tersebut dibangun kembali pada tempat
semula, tetapi tidak lagi menjadi tempat tinggal
raja, karena telah dibangun Sao Raja yang baru
( sekarang museum Lapawawoi), meskipun
demikian Sao Raja yang lama tetap
difungsikan. Hanya saja beralih menjadi kantor
Ade’ pitu (adat tujuh) yang fungsinya dari
tahun ke tahun sebagai tempat pertemuan raja
dengan tokoh masyarakat, agama dan adat.
Kemudian lama kelamaan bangunan tersebut
menjadi multi fungsi antara lain: KNI (Komite
Nasional Indonesia), kantor DPR, kantor
kebudayaan sekaligus menjadi sekretariat IKS
(Ikatan Kesenian Sulawesi), Kantor BP 7
hingga pada akhirnya menjadi kantor PPD II
(Panitia Pemilihan Daerah) Tingkat II
Kabupaten Bone 1998 hingga sekarang (2000).
Menurut data terakhir yang penulis dapatkan
(28/12/99) dari kepala seksi kebudayaan
Kabupaten Bone dalam hal ini Andi Sinar HL.
Gedung ini akan diserahkan lagi pada pengurus
Dewan Kesenian Bone (DKB) sebagai pusat
kegiatan seni dan budaya.
Kini bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri yang terletak di jalan Merdeka
Watampone masih berdiri kokoh sebagai saksi
21
sejarah bahwa bangunan tersebut pernah
menjadi Sao Raja seorang Raja bergelar
Lapawawoi Karaeng Sigeri. Hanya saja bila
diperhatikan bangunan tersebut nampaknya
tidak mendapat perawatan yang cukup
sehingga beberapa bagian penting kelihatan
rusak dan kotor.
2.Ragam Hias Pada Bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri
Dari hasil penelitian, penulis
memperoleh data tentang ragam hias yang
terdapat pada bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri di Watampone. Ragam hias
pada bangunan tersebut umumnya berupa
ukiran yang dipahat dan jenis ukiran yang
beraneka ragam. Mengenai siapa nama
pembuat motif ragam hias tersebut penulis
agak sulit menemukan data, tetapi menurut
Andi Muh. Ali dan Drs. H. Abd. Kahar Wahid
bahwa pembuat motif tersebut berasal dari
Desa Cenrana kurang lebih 30 kilometer dari
Kotif Watampone.
Ada beberapa cerita yang berkembang di
kalangan masyarakat Bone mengenai sejarah
pembuatan motif ragam hias pada bangunan
Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri tersebut,
yaitu setelah pembuatan motif ragam hias
rampung maka Raja Bone Lapawawoi Karaeng
Sigeri langsung memerintahkan pada
pengawal kerajaan untuk membunuh
sipembuat ragam hias tersebut, alasannya
adalah agar motif ragam hias yang terdapat
pada bangunan Sao Raja tidak memiliki
kesamaan bentuk di daerah lain. Tetapi cerita
ini sangat dibantah oleh Andi Muh. Ali bahwa
Raja Bone (Lapawawoi Karaeng Sigeri) adalah
seorang raja penganut ajaran Islam yang sangat
taat dan sangat mencintai rakyatnya, maka
sangat mustahil melakukan perbuatan yang
kejam itu (Wawancara 29/12/1999). Hal
senada juga dibantah oleh Drs. H. Abd. Kahar
Wahid (Purnabakti dosen seni rupa UNM)
bahwa cerita itu adalah dibuat-buat oleh orang
yang tidak tahu menahu tentang sejarah.
Selanjutnya motif ragam hias yang
ditemukan pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
umumnya motif-motif yang diambil dari alam
berupa motif tumbuh-tumbuhan yang
berbentuk “bunga perenreng” (Bunga
menjalar) “colli paku” (tumbuhan paku), buah
nangka, bunga tunggal. Selain itu ditemukan
pula motif ragam hias berbentuk geometris
(tumpal, swastika), motif lawa suji dan motif
kaligrafi. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan
dipaparkan bentuk ragam hias yang terdapat
pada bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng
Sigeri di Watampone.
Pada ragam hias yang ada di Sao Raja
tidak ditemukan jenis hewani dan manusia
sebagai ragam hias pada bangunan tersebut
karena ada kaitannya dengan ajaran Islam yang
tidak menghendaki menggunakan atau
menggambarkan makhluk bernyawa sebagai
hiasan, apalagi pada saat itu (kepemimpinan
Lapawawoi Karaeng Sigeri) penduduk
kerajaan Bone sudah menjadikan Islam sebagai
agama mayoritas. Hanya saja bila melihat
bentuk dan gayanya tetap memiliki pengaruh
budaya Hindu.
Gambar 1. Bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri di Watampone (dokumentasi
pribadi)
Gambar 2. Ragam hias yang terdapat dalam
ruangan tepatnya di atas pintu, terdiri dari
jenis lawa suji, kaligrafi, bunga tunggal,
“bunga parenreng” serta motif gubahan daun.
(dokumentasi pribadi)
22
Gambar 3. Ragam hias dalam ruangan,
tepatnya bagian dinding pemisah, terdiri dari
jenis colli paku, “bunga parenreng”, lawa suji,
kaligrafi, motif buah nangka, bunga tunggal
serta jenis gubahan daun. (dokumentasi
pribadi)
Di atas telah dijelaskan bahwa umumnya
motif ragam hias yang digunakan pada
bangunan Sao Raja Lapawawoi tersebut adalah
berasal dari motif yang diambil dari tumbuh-
tumbuhan baik berupa tangkai maupun daun
yang sudah digubah. Gubahan tersebut di
dalam penyusunannya dapat menghasilkan
suatu bentuk yang secara keseluruhan memiliki
hubungan harmonis dan kesatuan antar unsur
yang satu dengan unsur yang lain. Berikut ini
akan dijelaskan satu persatu mengenai bentuk
ragam hias, fungsi dan makna ragam hias yang
terdapat pada Bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri di Watampone.
Gambar 4. Motif bunga parenreng
(dokumentasi pribadi)
Colli Paku merupakan motif ragam hias
yang menyerupai bentuk bunga parenreng
hanya saja bentuknya tidak terlalu ramai.
Tetapi merupakan kombinasi antara motif
vegetal dengan motif geometris yang sudah
distilasi atau digayakan. Jenis hiasan ini dapat
dilihat pada bingkai bentuk segi empat panjang
berwarna putih di dalam ruangan dan pada
bagian dinding depan. Bila memperhatikan
motif colli paku ini, dan membandingkan
dengan motif-motif ragam hias di daerah lain
nampaknya tidak memiliki kesamaan. Motif
inilah yang menjadi ciri paling menonjol pada
dinding depan Bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri di Watampone.
Gambar 5. Colli Paku (dokumentasi pribadi)
Jenis motif bunga tunggal dapat dilihat
dalam bentuk bunga tunggal. Pada Bangunan
Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di
Watampone bentuk ini umumnya dapat dilihat
pada dinding depan bagian atas serta dinding
pemisah bagian dalam yang berwarna merah
dan putih. Bentuk bunga ini mirip dengan motif
patra Cina yang ada di daerah Bali terdiri dari
bunga teratai mekar besar dan kecil hanya saja
bedanya di Bali di tempatkan di atas Boma
dalam jumlah yang banyak. Sementara pada
Bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng
Sigeri di Watampone di samping hiasan
perantar motif yang satu dengan motif lain,
juga sebagai hiasan yang ditempatkan di atas
motif lain dalam bentuk bunga tunggal.
Gambar 6. Motif bunga tunggal (dokumentasi
pribadi)
Motif buah nangka pada Bangunan Sao
Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di
Watampone dapat dilihat pada dinding
pemisah bagian dalam, bentuknya sudah
digubah menyerupai sebra, dan warnanya
merah kuning. Penempatan motif buah nangka
ini, berada pada sudut persegi empat panjang
dan sebagai perantara pada motif Colli Paku.
23
Gambar 7. Motif buah nangka (dokumentasi
pribadi)
Selain bentuk tumbuh-tumbuhan,
terdapat pula bentuk geometris seperti bentuk
swastika, bentuk tumpal, dan pertalian (lawa
suji).
Gambar 8. Bentuk swastika (dokumentasi
pribadi)
Gambar 9. Bentuk tumpal (dokumentasi
pribadi)
Gambar 10. Bentuk swastika (dokumentasi
pribadi)
Gambar 11. Bentuk kaligrafi (dokumentasi
pribadi)
Pembahasan
Dari hasil penelitian dan wawancara
penulis dengan Andi Muh. Ali, mengenai
fungsi dan makna ragam hias yang terkandung
dan diterapkan pada Bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
terdapat dua fungsi antara lain:
a.Ragam Hias Murni
Ragam hias murni artinya hanya sebagai
hiasan semata-mata tanpa adanya unsur-unsur
simbolik yang berkaitan dengan kegiatan
spiritual. Jadi fungsinya hanya memperindah
suatu bentuk atau bangunan dimana ia
ditempatkan.
b.Ragam Hias Simbolis
Jenis ragam hias ini di samping
berfungsi sebagai hiasan, fungsi yang lain
adalah fungsi simbolis yang berkaitan dengan
spiritual. Selain fungsi ragam hias tersebut juga
memiliki makna dan simbol-simbol tertentu.
Makna dan simbol tersebut dapat dijumpai
pada bentuk tumbuh-tumbuhan ‘bunga
parenreng” dan bentuk kaligrafi.
Untuk mengetahui makna ragam hias
ini dapat diuraikan berikut ini:
- “Bunga Parenreng” (bunga menjalar)
Makna yang terkandung pada ragam hias
ini adalah rezeki yang tidak putus-
putusnya, seperti menjalarnya “bunga
parenreng” tersebut dengan pemasangan
ragam hias ini di pintu, serta pada dinding
luar maka akan mudah dilihat, serta dapat
menjadi pedoman bagi penghuninya
bahwa rezeki murah dan terus menerus.
Dalam bahasa bugis diistilahkan
“Sirenreng-renreng dalle’e”. Berarti
sebagai lambang kesuburan dan
kemakmuran.
- “Motif Kaligrafi”
Motif ini bermakna bahwa pada saat
pembuatan ragam hias tersebut tidak
24
terlepas dari pengaruh ajaran Islam, dan
mengenai bentuk/motif penempatannya
sangat ditentukan oleh norma-norma
falsafah agama yang harus ditaati betul-
betul. Hal ini sangat perlu untuk
menghindari timbulnya salah pengertian
akan makna dan maksud yang terkandung
di dalam ragam hias kaligrafi, mengenai
makna motif kaligrafi yang terdapat pada
bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng
Sigeri di Watampone itu sesuai dengan
artinya: Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah. Namun fungsi
utamanya adalah untuk mengembangkan
dan memantapkan ajaran dalam
kehidupan.
Adapun makna dari motif “Colli Paku”
(tumbuhan paku) lawa suji, motif buah nangka,
motif tumpal dan swastika penulis agak sulit
menemukan datanya. Namun secara umum
menurut Andi Muhammad Ali ia hanya
berfungsi sebagai hiasan akan tetapi dalam
setiap penempatan motif pada bangunan tetap
memiliki makna yang terkandung, berdasarkan
asal daerah dimana motif tersebut dibuat.
Ciri Khas Motif Ragam Hias
Dilihat dari seluruh motif ragam hias
yang terdapat pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
pada umumnya adalah berupa hiasan dari
ornamen ukir kayu yang dipahat dengan bentuk
ragam hias yang berbeda. Pada bagian dalam
terdapat dinding pemisah yang dipenuhi
dengan motif ragam hias dengan bentuk timbal
balik. Pada bagian luar juga terdapat ragam
hias dengan bentuk yang berbeda.
Secara keseluruhan dari motif ragam
hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
apabila diperhatikan dan diamati maka akan
terasa nyaman dan memperlihatkan nilai estetis
yang sangat tinggi dan bila dibandingkan
dengan bangunan-bangunan lain yang ada di
Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia, maka
ragam hias yang ada pada bangunan Sao Raja
tersebut tidak memiliki kesamaan, khususnya
motif colli paku, lawa suji, dan buah nangka.
Selanjutnya pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
terdapat ciri khusus yang sangat menonjol,
yaitu pada dinding bagian luar menggunakan
motif tumbuh-tumbuhan jenis “colli paku”
(tumbuhan paku). Sementara pada bagian
dalam dinding pemisah ciri yang ditonjolkan
adalah motif “lawa suji”, “bunga parenreng”
(bunga menjalar), motif buah nangka serta
motif kaligrafi. Di samping ciri tersebut
terdapat pula ciri yang lain yaitu tidak
ditemukannya motif dari jenis mahluk hidup
ini disebabkan karena pada saat dibuatnya
agama Islam telah menjadi agama mayoritas,
yang tidak menghendaki pembuatan makhluk
bernyawa dari jenis hewan dan manusia.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian serta pembahasan
mengenai data yang diperoleh pada bangunan
Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di
Watampone maka penulis menarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Bentuk ragam hias yang terdapat pada
bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng
Sigeri di Watampone memiliki bermacam-
macam bentuk yang diterapkan pada jenis
ornamen ukir kayu dengan teknik yang
berbeda, ini dapat ditemui pada ragam hias
tumbuh-tumbuhan, dari jenis bunga
parenreng (bunga menjalar), colli paku
(tumbuhan paku) bunga tunggal, motif buah
nangka, motif geometris, lawa suji dan
kaligrafi.
2. Fungsi dan makna ragam hias yang
terkandung pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
adalah di samping berfungsi sebagai ragam
hias murni atau hiasan semata pada
bangunan tersebut, juga sebagai hiasan
simbolis yang berkaitan dengan unsur-
unsur religius. Di samping itu terkandung
beberapa makna tertentu yang
melambangkan simbol-simbol tertentu pada
ragam hias “bunga parenreng” (bunga
menjalar), “colli paku” (tumbuhan paku),
lawa suji dan kaligrafi
3. Ciri khas atau tanda-tanda khusus ragam
hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi
Karaeng Sigeri di Watampone pada
umumnya menggunakan ornamen ukiran
dari kayu cendana dengan motif “colli
paku” (tumbuhan paku) yang ada pada
dinding depan bangunan, motif bunga
25
parenreng (bunga menjalar), motif lawa
suji, motif buah nangka, motif bunga
tunggal serta motif kaligrafi pada bagian
dalam bangunan. Di samping itu ciri yang
lain adalah tidak terdapatnya ragam hias
dari jenis hewani dan manusia.
Saran
Dari beberapa kesimpulan di atas maka
di bawah ini penulis akan mengemukakan
saran-saran sebagai berikut:
1. Dalam rangka usaha peningkatan apresiasi
seni bagi mahasiswa khususnya tentang
motif ragam hias Sulawesi Selatan maka
perlu kiranya diadakan wisata seni pada
bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng
Sigeri di Watampone, guna mengamati
lebih mendalam tentang ragam hias yang
ada baik dari bentuknya maupun
penggarapannya.
2. Mengharapkan kepada dosen seni rupa
yang membina mata kuliah ragam hias agar
motif ragam hias pada bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
dapat dijadikan bahan referensi dalam
pelaksanaan pengajaran.
3. Mengharapkan pada seksi kebudayaan
kabupaten Bone agar bangunan Sao Raja
Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone
tetap dijaga kelestariannya, karena
bagaimanapun juga ragam hias yang ada
pada bangunan tersebut merupakan
kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia,
khususnya Kabupaten Bone.
DAFTAR RUJUKAN
Bastomi, Suwaji. (1982). Ornamen Ukir Kayu,
Semarang: IKIP Semarang.
Depdikbud. (1994). Materi Penataran UUD
1945, GBHN. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. 1984. Pengetahuan Ornamen.
Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. (1983). Ragam Hias Jawa. IA.
Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. (1983). Ragam Hias Jawa. IB.
Yogyakarta: Depdikbud.
Gustami, SP. (1980). Seni Ornamen Indonesia,
Yogyakarta: ASRI.
Internusa, PT. 1992. Sulawesi Selatan. Jakarta:
PT. Info Budaya Harapan.
Kayam, Umar. (1981). Seni Tradisional
Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Mardanas, et. Al. (1985). Arsitektur
Tradisional Daerah Sulawesi Selatan.
Ujung Pandang: Depdikbud.
Nasir, Abdul. (1997). Motif Ragam Hias Pada
Arsitektur Bangunan Sao Mario
Kabupaten Soppeng, Skripsi:
Universitas Negeri Makassar.
Poerwadarminta, WJS. (1976) Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Riwut, Tjilik. (1993). Kalimantan
Membangun, Alam dan Kebudayaan.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yokya.
Rochaediet. Al. (1994). Metode Penelitian Seni
Budaya. Jakarta: Proyek Pelestarian
dan Pengembangan Kesenian
Tradisional Betawi.
Sahriah, Abdul Hamid Muchtar. (1991). Seni
Ragam Hias Kain Tenun Sulawesi
Selatan. Ujungpandang.
Sika, Wayan. (1983). Ragam Hias Bali.
Jakarta: Depdikbud.
Soeharjo, AJ. (1990). Pendidikan Seni Rupa.
Buku Guru.
Soetanto et. al. (1980). Pengetahuan Ornamen,
Jakarta: Depdikbud.
Sukmono. (1991). Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia, Jakarta:
Kanisius.
Sumarjadi et. al. (1982). Seni Dekorasi dan
Kerajinan II Untuk SMTA. Proyek
Pendidikan dan Pembinaan Tanaga
Teknis Kebudayaan, Jakarta:
Depdikbud.
Supadi, et. al. (1987). Seni Rupa 1 Untuk Kelas
1 SMP. Klaten: Intan Pariwara.
Toekio, M. Soegeng. (1981). Mengenal Ragam
Hias Indonesia. FPBS: IKIP Ujung
Pandang.
.
Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
PEMANFAATAN KULIT BATANG PISANG SEBAGAI KARYA
KERAJINAN PADA IBU IBU RUMAH TANGGA DESA KALIANG
KECAMATAN DUAMPANUA KABUPATEN PINRANG
Baso Indra Wijaya Aziz 1*, Rusman Rasyid2, Gawarti3 1,3Universitas Negeri Makassar
2Universitas Khairun
*Correspondency Author
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Dari hasil survei yang telah dilakukan pada kelompok mitra sasaran, khususnya di
diperoleh informasi bahwa ibu ibu rumah tangga di Desa Kaliang Kecamatan Duampanua
Kabupaten Pinrang usaha kerajinan batang kulit pisang perajin mitra tersebut sebenarnya
sudah pernah mendapatkan pelatihan, namun mereka masih terus memerlukan pembinaan
untuk lebih mengembangkan usaha mereka. Secara rinci permasalahan utama yang
dialami oleh kelompok industri kecil mitra selama ini antara lain: Para ibu ibu rumah
tangga tidak memiliki wawasan pengetahuan tentang pentingnya pengembangan desain
kerajinan dan peningkatan kualitas produk. Pengabdian ini bertujuan meningkatan
keterampilan ibu ibu rumah tangga dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan
potensi SDA yang tersedia secara optimal, tidak tertutup kemungkinan ekonomi perajin
dapat ditingkatkan.
Pemberdayaan ibu ibu rumah tangga merupakan salah satu hal penting yang patut
mendapat perhatian dalam rangka membangun perekonomian nasional yang adil dan
merata, termasuk di Desa Kaliang dengan pertimbangan bahwa usaha kerajinan batang
pisang tersebut suatu saat merupakan salah satu andalan daerah setempat yang diharapkan
mampu terus menyokong pertumbuhan ekonomi masyarakatnya. Metode yang dilakukan
adalah ceramah, demonstrasii dan dokumentasi. Hasil yang diperoleh dari pengabdian iini
adalah ibu ibu Desa Kaliang dapat meningkatkan keterampilan serta pengetahuan
utamanya pemanfaatan kulit batang pisang dengan membuat tempat tissue dan erang
erang. Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan PKM ini, maka dapat dirumuskan
kesimpulan bahwa pelaksanaan pelatihan pemanfaatn kult batang pisang di Desa Kaliang
Kabupaten Pinrang ini dapat meningkatan pengetahuan dan keterampilan para peserta
dalam membuat Tempat tissue dan tempat erang erang sebagai suatu kerajinan yang
dapat memberikan penghasilan tambahan bagi rumah tangga di Desa Kaliang yang
dibuktikan dengan dihasilkannya produk berupa tempat tissue dengan aneka bentuk
dasar, komposisi, estetika, dan warna.
Keywords: Keterampilan, Kerajinan, Batang Pisang
27
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan penghasil pisang
yang cukup besar, 50% dari produksi pisang
Asia dihasilkan oleh Indonesia dan produksi
setiap tahunnya terus meningkat. Hampir
seluruh wilayah di Indonesia merupakan daerah
penghasil tanaman pisang.Tanaman pisang
banyak ditanam penduduk Indonesia. Menurut
Rohma (2016), bahwa setiap tahun lahan dan
produksi pisang semakin meningkat. Jika dikaji
lebih dalam sebenarnya pohon pisang bisa
dikatakan tanaman multi fungsi karena
mulaidari buah, pelepah, daun sampai akarnya
bermanfaat dan bernilai. Pohon pisang pada
waktu panen yang diambil hanya buah pisang
dan daunnya saja kemudian pohonnya di tebang
karena mati dan biasanya hanya dibuang saja
disekitar tanaman pisang yang masih produksi
sehingga batangnya dibiarkan busuk menjadi
sampah. Akibat dari meningkatnya produksi
pisang di Indonesia, juga akan berdampak pada
lingkungan karena pisang yang sudah dipanen
serta diambil buah dan daunnya, maka
batangnya dibuang dan tidak dimanfaatkan,
sehingga akan mengakibatkan bertumpuknya
limbah pelepah pisang yang bisa berdampak
besar pada lingkungan. Desa Kaliang Kecamata
Duampanua merupakan salah desa di
Kecamatan Duampanua. Kabupaten Pinrang
memiliki banyak populasi tanaman pohon
pisang. Pada umumnya pohon pisang tersebut
hanya buah dan daunnya yang dimanfatkan
tanpa menyadari ternyata batang atau pelapah
pisang dapat pula dimanfaatkan dan hanya
menjadi sampah atau dibiarkan menumpuk dan
membusuk jadi limbah.
Salah satu upaya kreatif dan normatif
yang dapat dilakukan untuk mengurangi
dampak negatif dari pohon pisang atau pelepah
pisang, adalah dengan PKM mitra Unversitas
Negeri Makassar. Pengelolaan limbah tersebut,
dapat pula dilakukan pada limbah lain, seperti
limbah pelepah pisang. Dengan harapan, selain
dapat mengurangi dampak lingkungan, juga
mempunyai daya guna yang dapat dimanfaatkan
kembali dalam bidang kerajinan. Limbah
pelepah pisang apabila didaur ulang (recycle),
maka akan menghasilkan produk kerajinan yang
akan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, dan
juga bagi masyarakat yang membutuhkan hasil
olahan limbah tersebut. Seperti halnya
Pengelolaan sampah dengan konsep 3R
melibatkan berbagai aspek, tidak hanya
menyangkut aspek teknik semata, namun yang
jauh lebih penting adalah menyangkut masalah
sosial dalam rangka mendorong perubahan
sikap dan pola pikir menuju terwujudnya
masyarakat yang ramah lingkungan. Proses
pemberdayaan masyarakat meliputi antara lain
sosialisasi/penyuluhan, pelatihan, percontohan,
dan pengembangan kegiatan. Pengelolaan yang
dapat memberi nilai tambah tersebut tentu harus
mendapat perlakuan tertentu, dapat berupa
pendidikan atau pelatihan yang dapat
meningkatkan keterampilan dan
keahlian.Seperti yang dikemukakan oleh
Madera (2011), bahwa pelatihan merupakan
salah satu kegiatan pokok dalampengembangan
sumberdaya manusia. Desa Kaliang Kecamatan
Duampanua menjadi salah satu Kecamatan
yang berpotensi untuk dijadikan objek dalam
kegiatan pengabdian masyarakat terutama pada
Ibu Ibu Rumah tangga dalam upaya
menngkatkan pendapatan sampingan.
Kondisi keterampilan ibu bu rumah
tangga di Desa Kaliang Kecamatan Duampanua
Kabupaten Pinrang sebagai salah satu
penyangga pertumbuhan ekonomi masyarakat
desa setempat, Pemberdayaan ibu bu rumah
tangga / untuk mendukung peningkatan
keterampilan ibu bu rumah tangga di Desa
Kaliang dan ekonomi kreatif. Potensi bahan
baku untuk pembuatan kerajinan batang kulit
pisang cukup tersedia sebagai potensin di desa
Kaliang , tanaman pisang belum dikelola secara
profesional mengenai batang atau pelepahnya
yang dihasilkan tanaman pisangnya hanya
buahnya saja sehinggga bisa maksimal. Pada
umumnya ibu bu rumah tangga di Desa Kaliang
Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang
memiliki keterampilan yang cukup baik, tetapi
kurang atau tidak ada pembinaan sehingga tidak
termotivasi untuk mengembangkan potensi
yang ada di Desa sebagai penyangga
perekonomian desa. Kurangnya dukungan dari
pihak lain (pemerintah/swasta) pada pelatihan
dan pembinaan ibu bu rumah tangga di Desa
Kaliang Kecamatan Duampanua Kabupaten
Pinrang sehingga ibu ibu rumah tangga kurang
agresif dalam pengembangan keterampilan
kerajinan kulit batang pisang.
Pertumbuhan usaha kecil menengah
merupakan salah satu faktor penentu dalam
pengembangan ekonomi di banyak negera di
dunia karena merupakan sektor ekonomi (sektor
ril). Hal ini disebabkan karena daya lenturnya
28
yang sangat kuat terhadap berbagai gejolak. Ini
telah terbukti saat terjadi krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada tahun 1998 silam -
dimana industri kecil berperan sebagai katup
pengaman dengan menyediakan lapangan kerja,
memproduksi output dan menjadi sumber
kehidupan bagi rakyat (Siregar, 2004). Dilihat
dari jumlah unit usahanya di semua sektor
ekonomi, kontribusinya yang sangat besar
terhadap penciptaan kesempatan kerja dan
sumber pendapatan, khususnya di daerah
pedesaan dan bagi rumah tangga berpendapatan
rendah. Fenomena ini menunjukkan betapa
pentingnya peran dari usaha kecil menengah
tersebut termasuk peningkatan keteramplan
batang kulit pisang.. Selain itu, selama ini ibu bu
tersebut juga berperan sebagai salah satu motor
penggerak bagi pembangunan ekonomi dan
komunitas lokal (Menkop dan PKM, 2000).
Berdasarkan alasan tersebut, maka
pemberdayaan ibu bu rumah tangga atau
industri/ pengusaha kecil merupakan salah satu
hal penting yang patut mendapat perhatian
dalam rangka membangun perekonomian yang
diharapkan dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat, termasuk di dalamnya
ekonomi kerakyatan sebagai potensi yang ada
di desa-desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kehadiran keterampilan yang di tengah-tengah
masyarakat, khususnya pada masyarakat
pedesaan sangat penting karena dapat
memberikan kontribusi terhadap pembangunan
yang secara langsung bersentuhan dengan
masyarakat bawah, serta berpotensi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pengelolanya. Bahkan tidak tertutup
kemungkinan dapat menjadi salah satu wadah
untuk meminimalisasi angka pengangguran bila
terus berkembang dan maju.
Pemanfaatan kulit Batang Pisang sebagai bahan
kerajinan adalah salah satu diantara sekian
banyak potensi yang perlu mendapat perhatian
secara serius. Ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa potens Desa Kaliang yang memiliki
tanaman pohon pisang merupakan salah satu
andalan daerah setempat yang diharapkan
mampu terus menyokong pertumbuhan
ekonomi masyarakatnya. Namun pada
kenyataannya kinerja penngkan keterampilan
ibu ibu tersebut untuk menjadi sebuah industry
kerajinan kurang diperhatikan sehingga tidak
mampu memenuhi harapan pertumbuhan
ekonomi masyarakatnya. Padahal jika dilihat
dari segi potensi sumberdaya (bahan baku dan
tenaga ibu ibu rumah tangga cukup terampil),
Desa Kaliang sangat potensial untuk
pengembangan usaha kerajinanbatang kulit
pisang. Permasalahan utama yang tampak pada
ibu bu rumah tangga di Desa Kaliang
Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang
usaha kerajinan batang kult pisang ini belum
dimanfaatkan hal ini disebabkan kurangnya
wawasan pengetahuan ibu ibu rumah tangga
terhadap aspek desain kerajinan, masalah
kualitas produk, manajemen produksi dan
teknik produksi, keterbatasan modal usaha, dan
informasi pasar sehingga perajin cenderung
bersikap apatis Kurangnya pemahaman
terhadap peranan dan pentingnya keterampilan
kerajinan sehingga potensi yang ada tidak
dimanfaatkan walaupun telah ada tetapi yang
dihasilkan masihmerupakan kebutuhan sendiri.
Fenomena menunjukkan bahwa kondisi
ibu ibu rumah tangga masih bertumpuh pada
hasl pertanian pisang ata buah pisangnya dari
tahun ke tahun cenderung statis sehingga tidak
mampu mengembangkan potensi yang ada.
Indonesia merupakan penghasil pisang yang
cukup besar, 50% dari produksi pisang Asia
dihasilkan oleh Indonesia dan produksi setiap
tahunnya terusmeningkat. Hampir seluruh
wilayah di Indonesia merupakan daerah
penghasil tanaman pisang.Tanaman pisang
banyak ditanam penduduk Indonesia. Menurut
Rohma (2016), bahwa setiap tahun lahan dan
produksi pisang semakin meningkat. Jika dikaji
lebih dalam sebenarnya pohon pisang bisa
dikatakan tanaman multi fungsi karena
mulaidari buah, pelepah, daun sampai akarnya
bermanfaat dan bernilai. Pohon pisang pada
waktu panen yang diambil hanya buah pisang
dan daunnya saja kemudian pohonnya di tebang
karena mati dan biasanya hanya dibuang saja
disekitar tanaman pisang yang masih produksi
sehingga batangnya dibiarkan busuk menjadi
sampah. Akibat dari meningkatnya produksi
pisang di Indonesia, juga akan berdampak pada
lingkungan karena pisang yang sudah dipanen
serta diambil buah dan daunnya, maka
batangnya dibuang dan tidak dimanfaatkan,
sehingga akan mengakibatkan bertumpuknya
limbah pelepah pisang yang bisa berdampak
besar pada lingkungan .
Selain itu, kemampuan ibu ibu dalam
mengembangkan keterampilan sangat kurang
dan terbatas sehingga untuk menjadi industri
29
kerajinan yang maju seperti halnya dengan
industri kerajinan lain di Jokyakarta, lampung
dan Banjar misalnya, sangat lamban. Hal inilah
yang dipandang krusial untuk mendapatkan
perhatian dari pihak-pihak yang terkait,
termasuk pihak perguruan tinggi. Perlu
diketahui bahwa sementara ini, walaupun masih
dalam skala kecil, keterampilan ibu bu rumah
tangga di Desa Kaliang Kecamatan Duampanua
Kabupaten Pinrang sudah menunjukkan
andilnya dalam menanggulangi angka
pengangguran, paling tidak dalam lingkup
terbatas. Dengan keberadaannya, telah mampu
mempekerjakan sejumlah anggota keluarga dan
masyarakat sekitarnya, baik sebagai petanin
maupun sebagai pedagang pengecer yang
menjajakan produk ke pelosok desa sebagai
kebutuhan masyarakat. Bila industri kerajnan
batang kulit pisang tersebut terus berkembang,
maka peluang membawa dampak positif yang
lebih besar bagi masyarakat lingkungannya
semakin terbuka, baik dalam hal pemberian
kesempatan kerja bagi tenaga-tenaga
penganggur maupun peningkatan kesejahteraan
masyarakatnya.
Potensi bahan baku tanaman pisang
cukup tersedia, tetapi belum dikelola secara
profesional sehingga belum meningkatkan
potensi keterampilan ibu ibu yang bias menjadi
penyangga perekonomian desa. Pada umumnya
keterampilan ibu bu rumah tangga di Desa
Kaliang Kecamatan Duampanua Kabupaten
Pinrang memiliki keterampilan yang cukup
baik, tetapi kurangada pembinaan sehngga ,
tidak termotivasi untuk mengembangkan
produk inovatif; Kurangnya dukungan dari
pihak lain (pemerintah/swasta) sehingga ibu ibu
rumah tangga kurang agresif dalam
pengembangan keterampilan kerajnan batang
kulit pisang . Kondisi kehidupan sosial-ekonomi
ibu bu rumah tangga pada umumnya tergolong
dalam masyarakat ekonomi lemah dan
berpendidikan rendah.
Mitra sasaran yang akan dilibatkan
dalam kegiatan ini adalah salah satu kelompok.
keterampilan ibu bu rumah tangga di Desa
Kaliang Kecamatan Duampanua Kabupaten
Pinrang yang tergabung dalam kelompok
LKMD Desa Kaliang. PKM kegiatan pelatihan
dalam rangka peningkatan keterampilan ibu ibu
rumah tangga maka Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa Kaliang telah menyatakan
kesediaannya untuk menjadi mitra dan bekerja
sama dengan tim pelaksana PPM dari
Universitas Negeri Makassar. Penulis
berasumsi bahwa Jika SDM bu ibu di desa
Kaliang ini diberdayakan dengan
memanfaatkan potensi yang dimiliki dan
potensi SDA yang tersedia secara optimal, tidak
tertutup kemungkinan ekonomi perajin dapat
ditingkatkan.
Pemberdayaan ibu rumah tangga
merupakan salah satu hal penting yang patut
mendapat perhatian dalam rangka membangun
perekonomian nasional yang adil dan merata,
termasuk di Desa Kaliang dengan pertimbangan
bahwa usaha kerajinan batang pisang tersebut
suatu saat merupakan salah satu andalan daerah
setempat yang diharapkan mampu terus
menyokong pertumbuhan ekonomi
masyarakatnya. Hanya saja kinerja usaha
kerajinan tersebut untuk menjadi sebuah
industry kerajnan yang mampu memenuhi
harapan masyarakatnya dan mengikuti
perkembangan pasar masih sangat lamban..
Melalui kegiatan ini disarankan
beberapa hal, yakni: (1) Untuk pengembangan
kualitas dan citra produk, para ibu ibu rumah
tangga perlu mendapatkan pembinaan melalui
pelatihan secara berkesinambungan; dan (2)
Untuk meningkatkan kinerja ibu ibu rumah
tangga di Desa Kaliang peran pemerintah dan
pihak-pihak terkait lainnya, sangat dibutuhkan
dalam rangka pembinaan dan pengembangan
usaha kerajinan batang kulit pisang di Desa
Kaliang Kecamatan Duampaua Kabupaten
Pinrang. Salah satu faktor penyebabnya adalah
kurang mendapatkan perhatian dari pihak lain,
baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta.
Untuk mewujudkan cita-citanya, para ibu bu
berusaha terus mengikuti perkembangan yang
telah maju di daerah-daerah lainnya. Tekad
untuk memajukan kerajinan ini telah
dibuktikannya dengan mengikuti pelatihan dan
magang usaha dalam berbagai kesempatan yang
diprakarsai oleh Dinas perdagangan dan
Perindustrian Kabupaten Pinrang
Dalam meningkatkan keterampilan
melalui pelatihan, mereka mengakui cukup
banyak tantangan yang dialami dalam berjuang
untuk meningkatkan pendapat keluarga . Ibu Ibu
berharap agar pihak-pihak luar mau
memberikan dukungan sepenuhnya dalam
rangka peningkatan keterampilan ibu ibu umah
tangga di Desa Kaliang. Dari hasil survei yang
telah dilakukan pada kelompok mitra sasaran,
30
khususnya di diperoleh informasi bahwa ibu bu
rumah tangga di Desa Kaliang Kecamatan
Duampanua Kabupaten Pinrang usaha kerajinan
batang kulit pisang perajin mitra tersebut
sebenarnya sudah pernah mendapatkan
pelatihan, namun mereka masih terus
memerlukan pembinaan untuk lebih
mengembangkan usaha mereka. Secara rinci
permasalahan utama yang dialami oleh
kelompok industri kecil mitra selama ini antara
lain: Para ibu ibu rumah tangga tidak memiliki
wawasan pengetahuan tentang pentingnya
pengembangan desain kerajinan dan
peningkatan kualitas, tidak berani bereksplorasi
dan menawarkan prototip desain kepada
konsumen/pasar. Bahan baku batang pisang
cukup tersedia yang digunakan oleh perajin
mitra, kurang memenuhi standar (kualitas
dibawah standar), dan kurang serius mencari
upaya untuk mengatasi bagaimana memperbaiki
kualitas bahan baku yang digunakan.
Permasalahan tersebut mengakibatkan
tidak berkembangnya pengetahuan dan
keterampilan ibu ibu rumah tangga sebagai
penyangga ekonomi keluarga. Namun
demikian, atas kesediaan kelompok ibu ibu
ruma tangga di Desa Kaliang untuk bekerja
sama melalui kegiatan diharapkan anggota
kelompok ibu ibu tersebut dapat memperoleh
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan
baru sebagai pendapatan sampingan, dengan
modal itu mereka kelak dapat berkembang, dan
bisa mandiri sehingga akan membuka lapangan
kerja untuk masyarakat lainnya.
METODE
Metode dan pendekatan yang
ditawarkan dalam kegiatan ini adalah metode
ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi,
dan pelatihan. Metode ceramah untuk
menjelaskan hal yang berhubungan dengan
pengetahuan mengenai peningkatan
keterampilan ibu ibu rumah tangga di Desa
Kaliang lebih menekuni usaha kerajinan
keterampilan batang kulit pisang Metode
diskusi akan dilakukan untuk memberikan
kesempatan kembali kepada mitra untuk
menanyakan hal-hal yang mereka belum
dipahami. Metode demonstrasi akan digunakan
untuk memperlihatkan proses pengembangan
desain sampai pada proses penyelesaian atau
finishing. Metode pendampingan dan pelatihan
akan digunakan dengan cara memberikan tugas
kepada peserta membuat prototipe yang sudah
disiapkan/direncanakan. Evaluasi pelaksanaan
penerapan pengabdian bagi Masyarakat ini
terdiri dari dua tahapan, yaitu evaluasi proses
dan evaluasi hasil kegiatan. Evaluasi proses
dilakukan pada saat pelatihan sedang
berlangsug. Evaluasi ini juga menjadi umpan
balik bagi tim pelaksana kegiatan untuk dapat
memberikan solusi bila ada hal-hal yang
kurang dipahami oleh peserta. Evaluasi hasil
kegiatan dilakukan setelah selesai kegiatan
pelatihan. Indikator yang digunakan untuk
mengukur sejauhmana keberhasilan program
ini adalah: “Jika ibu ibu rumah tangga di Desa
Kaliang yang telah dilatih mampu menerapkan
pengetahuan dan keterampilan tersebut secara
mandiri mencapai <50% dan mampu membuat
3 jenis prototip yang direncanakan dalam
kegiatan ini”.
1.
2. Pemberian Informasi (Receive knowledge)
Pelaksanaan pelatihan ini diikuti oleh 25
peserta yang keseluruhannya adalah wanita ibu
rumah tangga dengan rentang usia 25 – 60
tahun. Awalnya jumlah yang direncanakan
adalah 20 orang, namun karena tingginya minat
peserta maka untuk menghargai antusiasme ini,
kapasitas peserta ditambah menjadi 30 orang.
Pada tahapan ini, kegiatan dilakukan
dengan cara memberikan informasi berupa
materi dengan menggunakan metode ceramah.
Kegiatan ini dimulai dengan memberikan
penjelasan mengenai pengertian dan
pemanfaatannya kulit batang ppisang sebagai
sumber daya alam yang potensial bagi Desa
Kaliang. Selanjutnya juga diberikan
pengetahuan mengenai desain secara sederhana
seperti : bentuk dasar, komposisi, estetika, dan
warna. Selain itu, Peserta juga diberi wawasan
tentang alternatif bentuk, trend dan
perkembangan pasar, sehingga diharapkan
peserta dapat membuat dan menjual produk
sesuai dengan sasaran serta kebutuhan
masyarakat
Penyampaian materi (informasi)
disampaikan secara menarik dan tidak
membosankan, antara lain dengan memberikan
banyak contoh-contoh aplikasi dari teori yang
diberikan, baik berupa foto, hasil scan, dan hasil
akhir, yang dapat dijadikan contoh maupun
31
pembanding agar mudah dipahami oleh setiap
peserta.
Selain itu, pada tahapan pemberian
informasi dan penjelasan tentang materi
tersebut, dilakukan kegiatan tanya jawab dan
diskusi yang diikuti antusias oleh para peserta
sesuai dengan tahapan informasi atau materi
yang diberikan. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan oleh Tim terhadap pelaksanaan
kegiatan yang telah berlangsung ini, terlihat
bahwa meskipun tingkat pendidikan peserta
cukup beragam, namun cukup mampu dalam
menangkap informasi yang disampaikan,
terbukti antara lain terlihat pada partisipasi pada
kegiatan, keseriusan dalam memperhatikan
presentasi materi pelatihan, serta banyaknya
interaksi serta pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan oleh masing-masing peserta,
terkait dengan materi pelatihan.
Praktek (Practice)
Pada tahapan ini, kegiatan dilakukan
dengan cara melatih peserta untuk membuat
kerajinan sepertitempat Tissu dan tempat erang
erang pengantin. Tempat tissue dipilih untuk
diajarkan dalam pelatihan dan pendampingan
ini karena permintaan di pasaran tinggi sebab
merupakan yang banyak digunakan oleh setiap
keluarga maupun pada kios, tempat makan
maupun pada mobil termasuk wanita pada
berbagai umur. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan pada saat praktek pembuatan
kerajinan bross yaitu antara lain:
a. Mengumpulkan kulit batang pisang
b. Menjemur kulit batang pisang sebaga
bahan utama
c. Memilah kain motif kult pisang sesuai
dengan keinginan motif, yang
disesuaikan dengan desain produk yang
akan dibuat
d. Membuat pola sesuai produk yang akan
di hasilkan.
e. Potong karton atau gardus dibentuk
pola.
f. Satukan bagian-bagian pola
membentuk produk yang diinginkan.
g. Percantik tampilan produk dengan
menambah bahan pelengkap sesuai
desain.
Dari hasil pengamatan terhadap
aktivitas pada saat dilakukannya praktik
pembuatan produk kerajinan terlihat adanya
peningkatan motivasi dan kemampuan para
peserta dalam membuat tempat tissue sebagai
suatu kerajinan yang dapat memberikan
penghasilan tambahan bagi rumah tangga di
Desa Kaliang yang dibuktikan dengan
dihasilkannya produk berupa tempat tissue dan
tempat erang erang dengan aneka bentuk dasar,
komposisi, estetika, dan warna. Bahkan
beberapa peserta memberi masukan dengan
mengatakan bahwa mereka merasa kegiatan
pelatihan ini sangat bermanfaat khususnya bagi
pengembangan dan peningkatan pengetahuan
dan keterampilan masyarakat di Desa Kaliang
Kabupaten Pinrang dalam mengolah kulit
batang pisang menjadi produk kreatif yang
bernilai ekonomi yang mampu menambah
pendapatan ekonomi keluarga menuju
kemandirian ekonomi keluarga, dan sangat
disayangkan kegiatan ini hanya dilaksanakan
selama tiga hari (pertemuan secara formal).
4.1 Partisipasi Mitra
Kegiatan Program Kemitraan
Masyarakat (PKM) ini dilakukan di Desa
Kaliang Kabupaten Pinrang yang menjadi mitra
dari tim PKM Universitas Negeri Makassar.
Sebelum dilaksanakannya kegiatan ini maka tim
PKM melakukan koordinasi dan sosialisasi
dengan mendatangi dan bertemu langsung
dengan kepala Desa Kaliang dan beberapa
perwakilan masyarakat Desa Kaliang untuk
menyampaikan maksud dan tujuan tim PKM
Universitas Negeri Makassar dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat di Desa Kaliang akan
rendahnya kesadaran masyarakat dalam
memanfaatkan kulit batang pissang sehingga
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
melalui pelaksanaan pelatihan. Hasil dari
kegiatan koordinasi dan sosialisai tersebut
ternyata mendapat respon yang positif dari
Pemerintah Desa Kaliang Kabupaten Pinrang
dan masyarakat dengan meminta agar pada
pelaksanaan kegiatan pelatihan tersebut bukan
hanya disampikan meteri tetapi langsung diajari
cara membuat kerajinan dari kulit batang
pisang.
Pada pelaksanaan kegiatan pelatihan,
partisipasi pemerintah Desa Kaliang cukup
baik terbukti dari ikut terlibatnya pemerintah
kepala Desa Kaliang dalam mengatur jadwal
pelaksanaan kegiatan, mendata masyarakat
yang akan menjadi peserta dalam kegiatan
32
PKM tersebut, menyediakan tempat menginap
bagi tim PKM Universitas Negeri Makassar,
serta menyediakan ruangan sebagai tempat
pelaksanaan kegiatan berikut alat-alat
pendukung lainnya seperti sound system, LCD
(infokus) dan lainnya. Selain itu, masyarakat
Desa Kaliang juga menunjukkan animo yang
sangat besar dalam mengikuti kegiatan PKM
tesebut. Hal ini dibuktikan dengan tingginya
partisipasi masyarakat yang hadir tepat waktu
untuk mengikuti kegiatan PKM tersebut
meskipun berlangsung selama 3 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil yang telah dicapai pada
pelaksanaan kegiatan Program Kemitraan
Masyarakat (PKM) ini yaitu para peserta
pelatihan telah memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam memanfaatkan kulit
batang pisang menjadi produk yang bernilai
jual lebih tinggi, berkelas dan dapat dipasarkan
dengan mudah. Hal ini dibuktikan dengan
tingginya respon peserta terhadap kegiatan
PKM yang diamati dengan cermat oleh
observer pada tiga indikator yaitu terampil,
inovasi, dan motivasi. Untuk hasil respon yang
didapatkan dapat di lihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Respon Peserta
Indikato
r Tinggi Sedang
Renda
h
Terampil 1
3
52
% 9
36
% 3
12
%
Inovasi 6 24
%
1
5
60
% 4
16
%
Motivasi 1
5
60
% 8
32
% 2 8%
Berdasarkan hasil pengamatan di atas
dapat diketahui pada indikator Terampil yaitu
sebesar 52% menunjukkan kategori tinggi
dalam kemampuan ibu-ibu memanfaatkan
kulit batang pisang. Pada indikator Inovasi
yaitu sebesar 60% menunjukkan kategori
sedang, hal ini menunjukkan bahwa ibu-ibu
mampu mengembangkan bentuktempat tissue
berbagai ukuran. Pada indikator Motivasi yaitu
sebesar 60% menunjukkan kategori tinggi,
berarti tingginya antusias ibu-ibu Desa Kaliang
berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan ini.
Selain itu, hasil yang juga dicapai pada
kegiatan PKM iniyaitu adanya produk
kerajinan tempat erang
Guna untuk mengevaluasi produk
yang dihasilkan oleh peserta pelatihan,maka
dilakukan penilaian produk dengan
menggunakan rentangan skor dari 0 sampai
100. Adapun hasil yang diperoleh pada
kegiatan tersebut yaitu antara lain:
Tabel 2. Hasil Penilaian Produk Tempat
Tissue
No Aspek Penilaian
Produk
Rerata
Nilai
1 Bentuk dasar 80
2 Komposisi bahan
penyusun 85
3 Nilai estetika
(keindahan) 80
4 Pewarnaan 85
Dari tabel tersebut terlihat bahwa para
peserta memiliki kemampuan untuk membuat
kerajinan tempat tissue dan tempat erang erang
baik itu dari segi bentuk dasar, komposisi
bahan penyusun, nilai estetika maupun
pewarnaan yang baik dan memenuhi standar
pasaran dengan rata rata nilai diatas 80. Hal ini
merupakan kemajuan luar biasa karena peserta
sebelum dilakukan pelatihan memiliki
pengetahuan an keterampilan yang rendah
dalam memanfaatkan kulit batang pisang
menjadi kerajinan yang bernilai ekonomi.
Pembahasan
Animo masyarakat Desa kaliang yang tinggi
dalam mengikuti materi yang dibuktikan
dengan tingginya partispasi kehadiran peserta
disertai dengan sikap dan rasa ingin tahu
peserta yang besar. Dukungan Pemerintah
Desa Kaliang dalam menyediakan tempat
menginap bagi tim PKM Universitas Negeri
Makassar, serta menyediakan ruangan sebagai
tempat pelaksanaan kegiatan berikut alat-alat
pendukung lainnya seperti sound system, LCD
(infokus) dan lainnya. Penyampaian materi
(informasi) disampaikan secara menarik dan
tidak membosankan, antara lain dengan
memberikan banyak contoh-contoh aplikasi
dari teori yang diberikan, baik berupa foto,
hasil scan, dan hasil akhir, yang dapat
33
dijadikan contoh maupun pembanding agar
mudah dipahami oleh setiap peserta Produk
yang dihasilkan oleh peserta disesuaikan
dengan alternatif bentuk, trend dan
perkembangan pasar, sehingga diharapkan
peserta dapat membuat dan menjual produk
sesuai dengan sasaran serta kebutuhan
masyarakat
Faktor penghambat dalam pelaksanaan
Program Kemitraan Masyarakat (PKM) yaitu
keterbatasan dana dan waktu mengakibatkan
tim PKM tidak dapat melaksanakan kegiatan
ini secara lebih intensif sehingga masih ada
pelatihan produk lain dari pemanfaatan kulit
batang pisang yang tidak tersampaikan seperti
keset kaki, tas jinjing dan lain sebagainya.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan
kegiatan PKM ini, maka dapat dirumuskan
kesimpulan bahwa pelaksanaan pelatihan
pemanfaatn kult batang pisang di Desa Kaliang
Kabupaten Pinrang ini dapat meningkatan
pengetahuan dan keterampilan para peserta
dalam membuat Tempat tissue dan tempat
erang erang sebagai suatu kerajinan yang
dapat memberikan penghasilan tambahan bagi
rumah tangga di Desa Kaliang yang dibuktikan
dengan dihasilkannya produk berupa tempat
tissue dengan aneka bentuk dasar, komposisi,
estetika, dan warna.
Saran
Melihat antusiasme peserta yang
tinggi, dan terbatasnya waktu pelatihan serta
guna meningkatkan pemahaman peserta,
sebaiknya diadakan program lanjutan sejenis
dengan jangka waktu yang relatif lama
sehingga kegiatan pelatihan dapat lebih efektif
dan setiap peserta akan memperoleh
bimbingan lebih banyak dengan demikian hasil
yang diperoleh dapat lebih maksimal.
DAFTAR RUJUKAN
Bastomi, Suwaji. (1982). Seni rupa Indonesia.
Semarang IKIP Semarang.
Bahri, S. (2015). Pembuatan Pulp dari Batang
Pisang. Jurnal Teknologi Kimia Unimal
Dewi, I., et al. (2015). Ketahanan Tarik Kertas
Seni dari Serat Pelepah Nipah
(Nypa fruticans) (Kajian Proporsi
Bahan Baku dan Perekat).
Prosiding: Seminar Agroindustri dan
Lokakarya Nasional FKPT-TPI
Gustami, SP. (1987). Seni Ornamen Indonesia.
Yogyakarta: Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI).
Pratomo, Prieyo. (2006). Pengembangan
Desain dan Inovasi produk
Kerajinan Indonesia. Jakarta: Materi
Pelatihan, Indonesia Australia
Spesialiced Training Proyect – Phase
III, Kerja sama Menteri Negara
Koperasi danUsaha Kecil dan
Menengah RI.
Pratomo, Prieyo. (2006). Produk Kerajinan
sebagai Unggulan Daerah. Jakarta:
Materi Pelatihan, Indonesia Australia
Spesialiced Training Proyect Phase –
III, Kerja sama Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah RI.
Miyazaki, Kiyoshi. (2001). Desain Jepang:
Karakteristik Kriya dan Desain,
Seminar: Mencermati Desain Jepang.
Bandung: FSRD-ITB INDDES, 4 Juli
2001.
Semiawan ,Cony. (1988). Dimensi Kreatif
dalam Falsafah Ilmu. Bandung:
Remaja Karya CV Bandung.
Wucius Wong. (1972) Beberapa asas
Merancang Dwimatra. Terjemahan:
Drs. Adjat Sakri M.Sc. Bandung: ITB.
Zainuddin, Imam Buchori. (1990). The
Education of Art & Design, With
Special Reference to the Case Of
Indonesia. Melbourne: The National
Conference Of Art & Design Of Head
School.
Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
PRINSIP MONTESSORI PADA PEMBELAJARAN SENI RUPA
BAGI PESERTA DIDIK KATEGORI INKLUSIF
Muhammad Muhaemin1* 1Universitas Negeri Makassar
*Corresponding author
Abstrak
Tujuan pendidikan Indonesia menekankan kualitas iman dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pengalaman belajar dalam
pendidikan seni rupa memberikan kesempatan kepada siapapun yang menempuh jalur
pendidikan mendapatkan esensi dalam pendidikan kesenirupaan yang disebut
pengalaman estetis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat prinsip Montessori pada
pembelajaran seni rupa dengan peserta didik kategori inklusi. Metode yang digunakan
adalah studi pustaka dengan penelusuran dokumen terkait pendidikan inklusif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengalaman estetis dalam pendidikan seni rupa dengan
prinsip Montessori memberikan kesempatan kepada peserta didik kategori inklusif untuk
memiliki gaya belajar yang santai namun memiliki tujuan sesuai kurikulum yang ada.
Keywords: prinsip montessori, pembelajaran seni rupa,peserta didik inklusif
PENDAHULUAN
Sulit disangkal bahwa pendidikan
mampu melahirkan manusia yang unggul jika
dilakukan pembelajaran yang sesuai dengan
fitrah manusia tersebut. Setiap saat pendidikan
melahirkan berbagai model manusia yang
berbeda karakter, termasuk manusia Indonesia
dengan tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan dalam hukum negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Tujuan pendidikan Indonesia
menekankan kualitas iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Hal ini bertujuan agar
pendidikan di Indonesia melahirkan manusia-
manusia unggul seperti dalam wacana manusia
yang dibutuhkan di era globalisasi seperti
sekarang ini. Model manusia Indonesia secara
ideal kemudian dirancang dalam konsep
pendidikan yang dibagi menjadi beberapa jalur
yaitu pendidikan formal, non formal, informal,
anak usia dini (AUD), pembelajaran jarak jauh
serta pendidikan berbasis masyarakat. Tidak
hanya itu, pendidikan nasional dibuat
berjenjang mulai pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi untuk
memenuhi fungsi pendidikan agar mampu
mengembangkan watak, kemampuan,
berperadaban dan bermartabat, serta
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jalur pendidikan formal menjadi banyak
diminati karena kurikulum dan luaran yang ada
akan terus ada dan berkembang. Tidak hanya
itu, jalur formal yang berjenjang seperti
pendidikan dasar, menengah dan tinggi adalah
jenjang yang secara rasionalitas dalam
masyarakat diharapkan mampu melahirkan
35
manusia Indonesia yang sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
Dalam pelaksanaan pembelajaran
terdapat beberapa mata pelajaran yang
ditawarkan dengan tujuan pembelajaran yang
berbeda-beda pula. Pada pelaksanaan
pembelajaran pendidikan seni khususnya
pendidikan seni rupa dimaksudkan untuk
mengembangkan karakter para peserta didik.
Sofyan Salam (2018) memberikan pandangan
bahwa uniknya pendidikan seni dapat dilihat
dalam pengalaman belajar yang direncanakan
yaitu pengalaman estetik dengan tiga sentuhan
aspek sekaligus yaitu aspek ekspresif, kreatif,
dan estetis.
Pengalaman belajar dalam pendidikan
seni rupa memberikan kesempatan kepada
siapapun yang menempuh jalur pendidikan
mendapatkan esensi dalam pendidikan
kesenirupaan yang disebut pengalaman estetis.
Pengalaman estetis itu sendiri merupakan
pengalaman tentang keindahan tanpa adanya
unsur lain yang mencederai rasa keindahan
tersebut. Pengalaman estetis lahir dari
keindahan yang dilihat, dinikmati dan dialami
secara langsung terhadap cerapan visual yang
ada dihadapannya. Keterlibatan peserta didik
dalam pembelajaran seni rupa yang
mengutamakan unsur visual menjadi hal
penting agar pengalaman estetis terefleksikan
di dalam dirinya. Meski pengalaman estetis
adalah hal pokok dalam pendidikan seni rupa,
namun tentu dalam intisari pembelajaran harus
tetap mencakup tiga ranah penilaian yang harus
dipenuhi yaitu kognitif, sikap dan psikomotor.
Selain sistem pendidikan formal yang
berjalan pada umumnya, muncul jenis
pendidikan baru yaitu sistem pendidikan
inklusi untuk anak berkebutuhan khusus yang
dipandang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa. Hal tersebut dilakukan demi
terselenggaranya amanat undang-undang
tentang kesamarataan pendidikan bagi setiap
warga negara. Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa pasal 1 diterangkan
bahwa “Yang dimaksud dengan pendidikan
inklusif adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya.”
Uraian dalam undang-undang di atas
melihat pendidikan inklusi sebagai model
pendidikan dengan menyamaratakan peserta
didik pada umumnya dengan peserta didik
berkebutuhan khusus dalam kelas yang sama
pada sekolah formal. Hal ini juga disepakati
berbagai negara dalam World Conference yang
membicarakan Education for All (EFA) tahun
1990 di Thailand dengan peserta 115 negara
dan 150 organisasi. Kesepakatan dalam World
Conference EFA yang digagas oleh UNESCO
itu antara lain:
1. Expand and improve comprehensive
early childhood care and education,
especially for the most vulnerable and
disadvantaged children.
2. Ensure that by 2015 all children,
particularly girls, those in difficult
circumstances, and those belonging to
ethnic minorities, have access to and
complete, free, and compulsory primary
education of good quality.
3. Ensure that the learning needs of all
young people and adults are met
through equitable access to appropriate
learning and life-skills programs.
4. Achieve a 50% improvement in adult
literacy by 2015, especially for women,
and equitable access to basic and
continuing education for all adults.
5. Eliminate gender disparities in primary
and secondary education by 2005, and
achieve gender equality in education by
2015, with a focus on ensuring girls' full
and equal access to and achievement in
basic education of good quality.
6. Improve all aspects of the quality of
education and ensure the excellence of
all so that recognized and measurable
learning outcomes are achieved by all,
especially in literacy, numeracy and
essential life skills.
(https://www.worldbank.org/en/topic/edu
cation/brief/education-for-all)
Jika diterjemahkan kesepakatan
konferensi tersebut antara lain: 1) Memperluas
dan meningkatkan perawatan anak usia dini
36
yang komprehensif dan pendidikan, terutama
bagi yang paling rentan dan anak-anak yang
kurang beruntung, 2) Memastikan bahwa pada
2015 semua anak, khususnya anak perempuan,
yang dalam keadaan sulit, dan mereka yang
termasuk etnik minoritas, memiliki akses
lengkap dan bebas ke wajib pendidikan dasar
yang berkualitas baik, 3) Memastikan bahwa
kebutuhan belajar semua pemuda dan dewasa
dipenuhi melalui akses yang adil untuk
pembelajaran yang tepat dan program
ketrampilan hidup, 4) Tercapainya 50%
peningkatan literasi pada orang dewasa pada
tahun 2015, khususnya bagi perempuan, dan
akses ke pendidikan dasar dan pendidikan
berkelanjutan bagi semua orang dewasa secara
adil, 5) Menghilangkan perbedaan gender
pada pendidikan dasar dan menengah pada
tahun 2005, dan mencapai kesetaraan gender
dalam pendidikan dengan tahun 2015, dengan
fokus pada perempuan bahwa mereka
dipastikan mendapat akses penuh dan sama ke
dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang
baik, dan; 6) Meningkatkan semua aspek
kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan
semua sehingga diakui dan diukur hasil
pembelajaran yang dicapai oleh semua,
khususnya dalam keaksaraan, berhitung dan
kecakapan hidup yang esensial.
Melihat adanya penyamarataan
pendidikan baik peserta didik secara umum
maupun peserta didik kategori inklusi dalam
kelas yang sama, maka terdapat tantangan yang
dihadapi bagi para pendidik khususnya
pendidik seni rupa dalam mengajarkan peserta
didik yang termasuk dalam kategori inklusi
untuk belajar seri rupa dalam hal ini Mata
Pelajaran Seni budaya dan Kerajinan. Oleh
karena itu, ditawarkan metode Montessori
untuk memenuhi tantangan terhadap
pengajaran kelas yang menyatukan antara
peserta didik secara umum dan peserta didik
kategori inklusif agar tercapai tujuan
pembelajaran.
Prinsip Montessori adalah prinsip yang
ditemukan oleh Maria Montessori tahun 1870
yang fokus pada pendidikan anak di Roma,
Italia. Prinsip pendidikan Montessori
mengadopsi kurikulum yang mebuat peserta
didik belajar sesuai kondisi lingkungan agar
anak-anak dapat mengaplikasikan hal yang
didapatkannya dari lingkungan sekitar.
METODE
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini metode studi Pustaka yang
mengacu kepada dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan penelitian ini. Menurut
Mardalis (1999) metode studi pustaka (library
research) merupakan suatu studi yang
digunakan dalam mengeumpulkan informasi
dan data dengan bantuan berbagai macam
material yang ada di perpustakaan seperti
dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah,
dsb.
Stempel (1983) berpendapat Penelitian
menggunakan teknik analisis isi (content
analysis) yaitu analisis terhadap kandungan
isi yang tidak akan lepas dari interpretasi
sebuah karya, sedangkan menurut Sugiyono
(2010: 335) teknik analisis data yaitu proses
mencari data, menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan
sintesis, menyusun ke dalam pola memilih
mana yang penting dan yang akan dipelajari,
dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Peserta Didik Inklusif
Pengamatan Montessori kepada anak-
anak membawanya kepada deskripsi singkat
tentang anak bahwa tidak ingin disibukkan
pada hal-hal yang berat. Maka Barbara Isaacs
(2007:7) memberikan gambaran penjelasan
mengenai karakter anak menurut Montessori
sebagai berikut:
1. Being capable of extended periods of
concentration;
2. Enjoying repetition and order;
3. Revelling in the freedom of movement
and choice;
4. Enjoying purposeful activities
(preferred work to play);
5. Self-motivated, displaying behaviours
that did not require either
6. Punishments or rewards;
7. Taking delight in silence and harmony
of the environment;
8. Possessing personal dignity and
37
spontaneous self-discipline;
9. Being capable of learning to read and
write.
Penjelasan di atas memberikan makna
bahwa anak-anak mampu melakukan
konsentrasi dalam waktu yang lama,
menikmati keteraturan dan pengulangan,
memiliki kebebasan bergerak, memiliki
aktivitas yang memiki tujuan, mampu
memotivasi diri, menerima hukuman dan
penghargaan, kedisiplinan diri yang cekatan,
dan mampu membaca dan menulis.
Pertama, pada umumnya pengajaran
yang dilakukan dengan peserta didik kategori
inklusi dilakukan jika peserta didik tersebut
mampu tidak memiliki cacat sempurna pada
bagian visual atau penglihatan sehingga
cerapan estetis yang dihasilkan melalui panca
indra tidak terganggu.
Kedua, peserta didik dalam keadaan
tidak terganggu. Jika peserta didik terganggu
maka konsentrasi mengerjakan pelajaran seni
tidak akan mudah.
Montessori berkeyakinan bahwa setiap
anak memiliki kemampuan yang unik untuk
belajar menjadi tangguh, memiliki kecakapan,
dan percaya diri.
Menurut
2. Pendekatan Montessori
Pendekatan Montessori dalam
pendidikan terdapat tiga komponen yaitu
peserta didik, lingkungan yang
menguntungkan, serta guru atau pendidik.
Montessori mengembangkan kurikulum
kepada anak-anak dengan tujuan agar anak-
anak menjadi santai di dalam pembelajaran
namun tujuan akhir yang akan dicapai
memenuhi target.
Angeline Stoll Lillard (2005:18)
menjelaskan bahwa ”Dr. Montessori
developed materials for education in concert
with ideas about it, and the materials were field
tested until she believed she had found
reasonably optimum ones for teaching a given
concept. She also tested materials across ages
and frequently found a material appealed to
children much younger than those for whom
she had designed it.”
Melalui penjelasan di atas dapat dilihat
bahwa kurikulum yang dikembangkan dengan
proses tes yang tidak sedikit sehingga nantinya
didapatkan materi yang cukup optimal untuk
digunakan pada berbagai usia.
Tujuan kurikulum Montessori yaitu
memberikan pengalaman kepada anak-anak
seluas-luasnya agar mendapatkan pengalaman
untuk mendukung perkembangan secara
spontan kepada anak tersebut. Fokus utama
kurikulum Montessori terletak pada
keterampilan yang manipulatif terhadap anak
tersebut sehingga tumbuh keterampilan dan
konsentrasi yang melahirkan kemandirian.
Pengajaran Holistik
Montessori melihat pendidikan sebagai
kunci perkembangan anak dan faktor yang
berkontribusi besar pada persiapan anak untuk
menjalani kehidupannya. Namun, disadari juga
bahwa anak tidak mempelajari mata pelajaran
tetapi pembelajaran yang sifatnya holistik.
Kemampuan anak untuk mengamati,
mengeksplorasi, menyelidiki, mengajukan
pertanyaan dan belajar tentang lingkungan
mereka tidak harus disusun menjadi pelajaran
atau mata pelajaran. Anak mengamati dan
mengeksplorasi hal tersebut ketika sedang
tertarik. Setiap anak membutuhkan orang
dewasa yang mampu menanggapi
keingintahuan mereka dimanapun, kapanpun
dan apapun situasinya.
Bermain adalah Alat Terbaik untuk Belajar
Landasan kedua dalam kurikulum
Montessori adalah bermain untuk belajar.
Pengamatannya terhadap anak-anak
membawanya pada sebuah pemahaman bahwa
yang dilakukan oleh anak pada dasarnya
berbeda dengan sifat pekerjaan orang dewasa.
Menurut Montessori, anak tertarik pada proses
sedangkan orang dewasa tertarik pada produk
atau hasil. Anak senang mengulanginya proses
yang dilakukannya dan menyempurnakannya
melalui pengulangan.
Area Belajar
Aktivitas di kelas Montessori memiliki
tujuan yang jelas dengan demikian hal tersebut
berpengaruh kepada pengembangan dan
pembelajaran. Para pembelajar Teori
Montessori melihat kegiatan ini sudah
mewakili kurikulum yang didampingi oleh
orang dewasa di lingkungan tersebut. Area
belajar yang digunakan bisa dimana saja
38
namun di dalam kelas dengan berbagai alat
yang disediakan oleh pendidik atau guru sangat
memungkinkan.
Pembelajaran Kehidupan
Kegiatan di area ini mencerminkan
kebutuhan anak-anak untuk mencontoh
perilaku yang mencerminkan kehidupan
keluarga mereka. Mereka memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk melebur
dalam kehidupan sosial di dalam kelas agar
tumbuh rasa memiliki.
2. Prinsip-prinsip Montessori
Dalam menjalankan kelas yang menjadi
tujuan pembelajaran dengan metode
Montessori, diperlukan prinsip-prinsip untuk
menjalankan hal tersebut. Prinsip-prinsip yang
dimaksud oleh Montessori dapat dilihat di
bawah ini:
1. That movement and cognition are
closely entwined, and movement can
enhance thinking and learning
2. That learning and well-being are
improved when people have a sense of
control over their lives
3. That people learn better when they
are interested in what they are
learning
4. That tying extrinsic rewards to an
activity, like money for reading or
high grades for tests, negatively
impacts motivation to engage in that
activity when the reward is withdrawn
5. That collaborative arrangements can
be very conducive to learning
6. That learning situated in meaningful
contexts is often deeper and richer
than learning in abstract contexts
7. That particular forms of adult
interaction are associated with more
optimal child outcomes; and
8. That order in the environment is
beneficial to children.
Untuk membatasi panjangnya prinsip di
atas, maka dibuat menjadi sederhana yaitu: 1)
Gerakan dan pengetahuan, 2) Pilihan, 3) Minat,
4) Menghindari pemberian hadiah, 5) Belajar
dengan teman sebaya, 6) Belajar dengan
konteks yang bermakna, 7) Memperhatikan
cara guru dan cara anak, 8) Ketertiban dalam
kelas dan pikiran.
Delapan prinsip di atas dapat digunakan
untuk memulai kelas dengan metode
Montessori.
Pembahasan
1. Prinsip Montessori dalam Pendidikan
Inklusi dan permasalahannya
Pada kenyantaannya membuat anak
berkebutuhan khusus untuk belajar
memerlukan metode dan teknik yang tepat agar
memudahkan mereka dalam pembelajaran.
Tantangan tersebut yang akan digunakan untuk
menerapkan prinsip Montessori dalam
pembelajaran.
Jika disederhanakan dalam pelaksanaan
lapangan, prinsip Montessori tersebut
menekankan keterampilan hidup yang
membantu peserta didik untuk mandiri,
menambah konsentrasi, membantu motorik
halus, serta menambah rasa percaya diri.
Dalam pelaksanaan prinsip Montessori seperti
mencontohkan gerakan agar pengetahuan anak
berkebutuhan khusus bertambah, terlebih
dahulu prinsip tersebut ditekankan kepada
anak berkebutuhan khusus untuk tetap fokus
pada yang dilakukan. Cipta (2018) mengatakan
dalam kelas Montessori tersebut siswalah yang
menguasai panggung kelas dengan lingkungan
sebagai titik pusat kegiatan belajarnya. Maka,
model pembelajaran untuk peserta didik
inklusi terlebih dahulu dibuat berdasarkan
analisis terhadap peserta didik tersebut.
Olifia Rombot (2017) menjelaskan
kendala yang ditemukan dalam
mengimplementasikan pendidikan inklusi.
Kendala-kendala tersebut yaitu minimnya
sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang
dimiliki oleh para guru sekolah inklusi
menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi
belum benar – benar dipersiapkan dengan baik.
Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum
yang ada sekarang memang belum
mengakomodasi keberadaan anak – anak yang
memiliki perbedaan kemampuan (difabel),
Sehingga sepertinya program pendidikan
inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Meski nantinya dalam tataran
pelaksanaan anak berkebutuhan khusus terlihat
perbedaan kemampuan namun pengulangan-
pengulangan yang terjadi dalam kelas yang
dikondisikan menyebabkan anak berkebutuhan
khusus tersebut mengulangi hal yang
39
eksperimental menjadi hal terlihat disiplin atau
telaten. Dalam
2. Konsep Pendidikan Seni Rupa dan
Pendekatan Montessori terhadap peserta
didik inklusif
Konsep pendidikan seni rupa dengan
tawaran pengalaman estetiknya diharapkan
secara sudah cukup untuk menemukan tujuan
dari pendidikan inklusif. Sofyan Salam (2018)
mengatakan bahwa pendidikan seni dalam
pengembangan kesensitifan terhadap gejala
keindahan sejalan dengan pemberian
pengalaman estetik, saat itu pula peserta didik
diberi pengalaman estetik, pada saat itu pula
kesensitifannya akan gejala keindahan terasah.
Prinsip Montessori yang menekankan
anak sebagai raja di dalam pembelajaran
namun teta terarah sangat sejalan dengan
konsep pendidikan seni rupa yang
mengutamakan pengalaman estetik terhadap
anak.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Prinsip Montessori yang menekankan
anak sesuai dengan lingkungan agar tidak
disibukkan dengan hal-hal berat dan mengikuti
gaya belajar anak sesuai kemauannya sejalan
dengan konsep pendidikan seni rupa dengan
tawaran pengalaman estetik bagi peserta didik
kategori inklusif. Faktor pendukung yang dapat
membuat kelas Montessori terarah yaitu anak
di sekelilingnya, lingkungan yang mendukung
serta guru yang peduli. Sedangkan faktor
penghambatnya yaitu sarana, kurikulum dan
kemampuan anak berkebutuhan khsus itu
sendiri (difabel).
Saran
Perbaikan terhadap sarana untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik kategori
inklusif. Di lain hal, perlu juga dipikirkan
mengenai lingkungan yang mendukung
tumbuhnya kemandirian oleh peserta didik
kategori inklusif tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Cipta, D. A. S. (2018). Penerapan pendekatan
montessori untuk mananamkan
pemahaman konsep bilangan cacah
pada siswa TK putera zaman. Jurnal
Matematika dan Pembelajaran, 6(1),
30-34.
http://dx.doi.org/10.33477/mp.v6i1.
440.
Dinas Pendidikan Kota Depok. Online:
https://disdik.depok.go.id/pendidik
an-inklusif
https://www.worldbank.org/en/topic/educatio
n/brief/education-for-all
Isaacs, B. (2007) Bringing The Montessori
Approach To Your Early Years
Practice. London: Routledge.
Lillard, S. L. (2005). Montessori: The Science
Behind the Genius.New York:
Oxford University Press.
Mardalis. (1999). Metode Penelitian Suatu
Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi
Aksara.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif
bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa. Jakarta.
Rombot, O. (2007) Pendidikan Inklusi. Online:
https://pgsd.binus.ac.id/2017/04/10/
pendidikan-inklusi
Salam, S. (2018). Potensi Unik Pendidikan
Seni Dalam Pengembangan
Karakter. Prosiding Seminar
Nasional Dies Natalis UNM Ke 57.
Makassar: Badan Penerbit UNM.
Stempel, G. H. (1983). Content Analysis.
terj. Jalaludin Rahmat dan Arko
Kasta. Bandung: Arai Komunikasi.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
DESAIN GRAFIS PADA PRODUKSI SABLON T-SHIRT
M. Muhlis Lugis1*, Muhammad Muhaemin2 1,2,Universitas Negeri Makassar
[email protected], [email protected]
*Corresponding author
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman dalam merancang
desain T-shirt pada produksi sablon yang harus diketahui oleh desainer. Merancang
desain T-shirt untuk kebutuhan produksi sablon tidak cukup hanya memahami dan
mampu menggunakan aplikasi desain grafis. Merancang desain T-shirt untuk produksi
sablon harus memahami beberapa hal yang saling berhubungan antara lain proses desain
grafisnya, proses film output, dan prinsip teknik produksi sablon. Merancang desain T-
shirt untuk produksi sablon perlu mengetahui bentuk dasar format desain yang dibuat
yaitu vector atau bitmap agar tidak salah dalam memilih atau menggunakan aplikasi
(software) desainnya. Desainer harus memahami pendekatan dalam proses film output
agar desain yang dibuat dapat diproduksi dengan tekhnik cetak sablon dan dapat
menyesuaikan dengan kualitas karakter visual hasil cetakan yang dinginkan. Desainer
grafis T-shirt perlu memahami prinsip teknik produksi sablon agar dalam merancang
desain dapat menyesuaikan dengan pendekatan pada proses film output yang dilakukan.
Keywords: desain grafis,produksi sablon, t-shirt
PENDAHULUAN
T-shirt atau yang lebih polpuler kita
kenal dengan istilah baju kaos merupakan salah
satu bagian dari dunia fashion yang tidak
pernah mati. T-shirt dapat digunakan oleh
seluruh lapisan usia bahkan pakaian ini
merupakan primadona para generasi muda
karena menjadi gaya busana yang fashionable,
trendi, dan keren. Adanya gambar atau desain
pada T-shirt menjadi unsur yang terpenting
sehingga eksistensinya sampai saat ini dapat
terus bertahan dan bahkan semakin
berkembang dalam dunia fashion. Gambar
yang terdapat pada T-shirt dapat memberikan
nilai etetis dengan keunikan dan karakternya
sehingga mampu menarik perhatian orang
yang melihatnya. Selain itu, adanya gambar
pada t-shirt juga dapat memberikan nilai
ekonomis karena dapat menjadi daya tarik
untuk memilki dan membelinya tanpa
mempertimbangkan harga jual.
Gambar pada T-shirt dapat dibuat
dengan berbagai teknik, baik secara manual
maupun secara digital menggunakan teknologi
komputer. Pembuatan gambar dengan teknik
manual dilakukan dengan sablon (cetak
saring/screen printing) dan secara digital dapat
dilakukan menggunakan teknik transfer paper,
teknik cutting polyflekx dan print DTG (direct
to garment). Pemilihan teknik dalam membuat
gambar pada T-Shirt menyesuaikan kebutuhan
yang berdasarkan pada efesiensi biaya dan
waktu produksinya karena secara kwalitas
kedua teknik tersebut hampir sama.
Membuat gambar pada T-shirt tidak
dapat melepaskan dari desainya. Dari semua
teknik dalam membuat gambar pada T-shirt
harus melalui proses desain. Kebutuhan desain
41
untuk setiap teknik memilki perbedaan karena
bergantung pada teknik produksi cetaknya.
Pembuatan gambar T-shirt dengan teknik
digital lebih praktis dibanding dengan teknik
sablon karena dari desain yang dibuat dapat
dicetak secara langsung padaT-shirt. Pada
produksigambar di T-shirt dengan teknik
sablon harus melalui beberapa tahapan. Desain
yang telah dibuat harus melalui proses pisah
warna untuk membuat film diapositif,
kemudian film diafdruk untuk memindahkan
gambar ke screen barulah kemudian kita dapat
melakukan proses cetak.
Membuat desain pada T-shirt secara
digital sudah dapat dilakukan oleh banyak
orang dengan cukup menguasai aplikasi desain
grafis seperti CorelDraw, Adobe Ilutrstor dan
Photoshop. Desain yang dibuat bahkan banyak
memiliki konsep dan visual yang menarik
namun desain tersebut hanya dapat dicetak
pada T-shirt dengan menggunakan teknik print
DTG. Desain yang dibuat oleh para desainer
tidak sesuai dengan kebutuhan untuk produksi
sablon. Desain yang dibuat terlihat kurang
maksimal, sedikit blur dan tidal solid
(wujudnya yang tidak begitu jelas).
Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas,
tulisan ini akan memberikan gambaran tentang
pemahaman dan beberapa ketentuan dalam
merancang desain T-shirt untuk kebutuhan
produksi dengan teknik sablon.
METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif. Pada
penelitian ini hanya ingin menggambarkan
gejala sosial yang terjadi pada desainer grafis
dalam merancang desain T-shirt untuk
produksi sablon. Berdasarkan hal tersebut
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Sugiono bahwa metode deskriptif merupakan
metode yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu hasil
penelitian tetapi tidak digunakan untuk
membuat kesimpulan yang lebih luas
(Sugiono, 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Bentuk format image desain sablon
Desain T-shirt yang dibuat seorang
desainer menggunakan komputer grafis belum
tentu dapat langsung diaplikasikan pada proses
produksi sablon. Hal tersebut disebabkan
karena desain yang dibuat tidak sesuai dengan
format desain untuk kebutuhan dalam prinsip
teknik cetak sablon. Format desain ini perlu
diketahui oleh seorang desainer agar dapat
disesuaikan dengan langkah kerja yang harus
dilakukan sehingga hasil kerja dapat efektif
dan efesien. Pada perancangan desain
menggunakan komputer grafis, gambar atau
desain yang kita buat secara garis besar akan
terbaca dalam 2 bentuk format yaitu vektor dan
bitmap.
Vektor
Vektor diartikan sebagai garis. Vektor
ini merupakan gambar yang terbentuk dari
titik-titik koordinat (verteks), kemudian antar
titik koordinat tersebut terdapat garis (vector)
yang menjadi penghubung. Dengan cara ini,
komputer dapat membaca dan/atau
menggambar titik, garis dan kurva (bila titik
awal gambar garis bertemu dengan titik akhir
gambar garis yang sama). Dengan demikian,
vektor ini sistem pembuatan gambarnya
menjadikan komputer tidak dapat membaca
dan/atau menggambar sebuah foto yang
memiliki multigradasi (Darmawan, 2010).
Bitmap
Bitmap yang biasa juag disebut raster
adalah gambar yang terbentuk atau tersusun
dari piksel (titik-titik) dengan jumlah ratusan,
ribuan bahkan jutaan. Dengan kata lain,
gambar yang kita lihat sebenarnya dibaca
dan/atau digambar oleh komputer sebagai
kumpulan banyak titik/piksel yang memiliki
warna-warna tertentu. Bitmap dapat
menampilkan kualitas sebuah gambar fotografi
yang memiliki multigradasi (Darmawan,
2010).
Gambar 1. Perbandingan vektor dan
bitmap
42
Karakteristik citra berbasis bitmap
adalah apabila diperbesar melebihi ukuran
actual pixel, kepadatan (solid) citra tersebut
akan pecah dan merenggang menjadi bintik-
bintik (raster) kasar. Ukuran kepadatan unit
terkecil citra (pixel) berbasis bitmap
dinyatakan dengan dpi (dot perinchi), semakin
tinggi angka dpi berarti semakin padat citra
tersebut. Oleh sebab itu kualitas citra berbasis
bitmap sangat bergantung pada ukuran pixel-
nya dan kepadatan dpi-nya. Citra berbasis
vektor memilki karakteristik akan tetap solid
walau diperbesar berkali-kali sampai batas
kemampuan piranti komputer dalam
mengalibrasi citra. Pemahaman mendasar
karakteristik antara citra grafis berbasis bitmap
dan citra grafis berbasis vektor ini sangat
penting dikuasai oleh desainer grafis dalam
memproses atau menyiapkan desain agar
dalam proses produksi pencetakan selanjutnya
dapat dieksekusi secara tepat dengan screen
printing (Supatmo, 2015).
2. Prinsip teknik proses sablon manual
Pada proses menyablon terdapat tiga
tahapan yaitu tahap pra cetak, tahap produksi,
dan tahap finishing. Tahap pra cetak yang
dilakukan adalah proses membuat desain yang
dapat dilakukan dengan cara manual maupun
digital, kemudian proses film output memecah
desain menjadi film berdasarkan jumlah warna
pada desain, dan proses afdruk untuk
memindahkan desain pada screen yang akan
dijadikan sebagai acuan cetak. Pada tahap
produksi yang dilakukan adalah mencetak
gambar pada T-shirt menggunakan screen yang
telah diafdruk. Tahap finishing pada proses
menyablon yaitu mencuci/menghapus gambar
pada screen. (Tobroni, 2011)
Tahap pra cetak I: membuat desain
Proses pembuatan desain sablon dapat
dilakukan dengan cara manual atau digital
menggunakan komputer. Bahkan proses
pembuatan desain ini ada yang
menggabungkan ke dua cara ini, namun pada
umunya saat ini proses pembuatan desain
banyak yang finishing menggunakan komputer
karena lebih efesien dan efektif. Pembuatan
desain dengan komputer dapat menggunakan
berbagai macam aplikasi/software grafis,
namun yang umum digunakan adalah aplikasi
CorelDraw, Adobe Ilustrator, dan Adobe
Photoshop. Pemilihan aplikasi grafis tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter
desain yang ingin dibuat.
Pada proses desain ini juga dilakukan
proses film output untuk membuat film
diapositif. Film output merupakan tahapan
teknik memroses citra desain grafis dan
mengonversinya menjadi film. Luaran tahap
film output ini adalah citra yang tercetak pada
media tranparan (idealnya adalah plastik film),
yang disebut film. Secara prinsip, film inilah
yang berperan menciptakan bayangan citra dari
sumber cahaya menuju media peka cahaya
(emulsi yang menutup pori-pori screen) dalam
proses expose. Kualitas film akan berpengaruh
langsung terhadap kualitas hasil cetakan.
Dalam hal ini film berperan sebagai master
dalam screen printing (Supatmo, 2015)
Tahap pra cetak II: Afdruk
Proses afdruk (Exposure) merupakan
proses pemindahan gambar pada screen
melalui penyinaran. Pada tahap inilah
klise/acuan cetak yang berupa penyaring
(screen) yang berfungsi sebagai media
penggandaan (editional) dibuat. Proses afdruk
merupakan tahapan paling menentukan
kualitas hasil screen printing secara
keseluruhan.. Ketika hasil afdruk pada screen
memiliki kwalitas yang baik maka hasil
cetakan pada saat menyablon juga dapat
berkwalitas. Pada proses afdruk ini digunakan
bahan dan alat berupa screen, coating
(campuran emulsi dan sensitizer), rakel, meja
afdruk/penyinaran, hairdrayer, spon,
pemberat(batu), dan semprot air.
Proses pengelolaan exposure secara
garis besar dimulai dari penggunaan screen
yang bersih dan dalam keadaan kering.
Selanjutnya screen diolesi (coating) secara
menyeluruh untuk menutup lubang pori-
porinya lalu dikeringkan ditempat gelap
menggunakan hairdryer atau alat khusus
kabinet pengering screen untuk mempermudah
dan mempercepat prosesnya. Setelah screen
kering selanjutnya dilakukan proses
pengembangan citra dari film (developing)
dengan cara diekspos cahaya. Proses exposure
paling bagus sebenarnya adalah menngunakan
cahaya terik matahari, namun kadang-kadang
kondisi demikian sangat sulit didapatkan dan
tidak dapat dipastikan keberadaannya. Sebagai
43
penggatinya dapat digunakan atau dapat
direkayasa sendiri menggunakan lampu neon
biasa dengan kekuatan tertentu. Setelah
terekspose selanjutnya screen dicelupkan dan
disemprot air secara lembut dan merata maka
akan terjadi proses developing (pori-pori
screen akan terbuka seperti citra bayangan
film). Screen siap dicetak setelah dalam
keadaan kering (Supatmo, 2015).
Tahap cetak I: produksi
Pada tahapan produksi ini merupakan
proses pencetakan atau penggandaan gambara
pada kaos. bahan dan alat yang digunakan
yaitu, screen yang telah diafdruk, rakel, papan
tripleks yang dilapisi lem kain (hidronol G),
tinta (rubber/plastisol), pigmen warna, binder
dan lakban. Mengawali tahapan proses cetak
degan memasang atau menyisipkan tripleks
yang telah dilapisi lem kain ke bagian dalam
kaos. Pemasangan tripleks ini agar permukaan
kaos rata dan tidak bergeser pada saat dicetak.
Selanjutnya siapkan tinta yang akan
digunakan, campurkan tinta tersebut dengan
pigmen warna secukupnya, aduk sampai warna
merata.
Selanjutnya siapkan screen yang sudah
diafdruk serta dilapisi lakban pada keempat
sisinya, kemudian letakkan screen di atas
permukaan kaos yang akan dicetak. Setelah itu
tuangkan tinta ke atas permukaan screen
bagian dalam, lalu sapukan tinta dengan
menggunakan rakel pada screen bagian dalam.
Jangan menekan rakel terlalu kuat, karena akan
banyak tinta yang keluar dari screen sehingga
dapat mengakibatkan hasil cetak mengembang.
Namun sebaliknya apabila tekanan rakel
kurang kuat, hasil cetak akan menjadi kurang
jelas dan kurang tajam.Pengeringan hasil cetak
dapat dilakukan dengan menggunakan
hairdryer atau hanya didiamkan saja untuk
sementara waktu (Luzar, 2010).
Pada proses cetak sablon ini dilakukan
dengan menyesuikan desain yang dibuat.
Ketika desain terdiri dari empat warna maka
proses pencetakan akan dilakukan empat kali
sesuai dengan warna pada desain. Setiap warna
dapat dicetak setelah warna sebelumnya telah
kering. Prinsip dalam produksi cetak ini mesti
dipahami oleh seorang desainer agar dalam
prose film output/ pisah warna sesuai dengan
warna desain dan presisinya.
Tahap cetak II: Finishing
Tahap finisning ini merupakan proses
pencucian dan pembersihan screen yang telah
digunakan pada proses cetak. Screen yang ada
gambarnya, yang sudah tidak digunakan lagi
atau diganti gambar yang baru harus dihapus
terlebih dahulu sehingga screen kembali bersih
seperti baru. Penghapusan gambar pada screen,
dapat dilakukan dengan berbagai bahan
remover dengan merek dagang ulano 5,
photoxol 199, ultrasol 2. Tetapi ada juga bahan
penghapus gambar yang murah seperti kapurit
dan kostik soda, tetapi dalam pemakain harus
hati-hati. Kapurit jika mengenai pada baju
yang kita kenakan dapat merusak, warna baju
menjadi luntur, kostik jika kena tangan
mengakibatkan gatal.
3. Film output desain sablon
Pada pembahasan sebelumnya telah
disinggung terkait film output dalam tahapan
perancangan desain sablon. Bentuk film output
ini berupa blok warna hitam solid (spot) dan
pola titik-titik (dot) warna hitam (halftone)
pada media yang transparan. Film output yang
berupa halftone merupakan pola titik-titik kecil
yang dapat mensimulasikan perbedaan warna
dengan menggunakan perbedaan persentase
tinta. Perbedaan ukuran titik-titik halftone
mampu menciptakan perbedaan antara terang
dan gelap sehingga menghasilkankan ilusi
gambar. Kedua bentuk film output tersebut
dapat mengahasilkan berbagai macam
karakteristik citra desain.
Proses film output sangat berpengaruh
terhadap hasil produksi cetak sablon sehingga
perlu melakukan pendekatan yang tepat agar
hasil produksi sesuai dengan desain yang
dibuat. Secara teknis terdapat berbagai
alternatif pendekatan dalam proses film output,
diantaranya spot color process, CMYK-four
color separation dan simulated color process.
Setiap pendekatan memiliki perbedaan
karakter masing-masing sehingga perlu untuk
diketahui dan dipahami agar dalam melakukan
proses film output sesuai dengan pendekatan
yang dilakukan.
Pendekatan spot color process
merupakan pendekatan yang digunakan untuk
citra dengan nada warna atau paduan warna-
warna blok dan solid (spot). Desain dengan
pendekatan ini biasanya berupa gambar dengan
format vektor. Teknik spot colour process ini
44
digunakan untuk menjelaskan cara mencetak
dengan menggunakan satu per satu warna tinta
yang ada di dalam setiap gambar. Setiap warna
yang akan dicetak menggunakan film dan
screen secara tersendiri. Spot colour process
juga dapat ditemukan pada gambar yang lebih
kompleks seperti gradasi warna atau warna
dengan nada dari gelap ke terang atau
sebaliknya. Teknik ini menggunakan halftone
untuk memperoleh efek gradsi. Teknik gradasi
ini dipergunakan untuk gambar yang cukup
kompleks dengan kesulitan yang lebih tinggi
dibanding proses spot color biasa, tetapi anda
akan memperoleh hasil akhir yang tentu saja
jauh lebih baik (Rahardjo, 2018).
CMYK-four color separation biasa juga
disebut separasi 4 warna. Pendekatan CMYK-
four color separation akan membuat film
output dengan memisah dan mengalibrasi
warna nyata menjadi empat mode warna pokok
cyan, magenta, yellow, dan key (black)
berbentuk halftone menggunakan software
tertentu. Bila keempat warna dasar tersebut
disatukan kembali dalam proses produksi cetak
sablon menggunakan tinta transparan maka
akan dihasilkan gambar full color seperti warna
pada desain. Pendekatan film output CMYK-
four color separation lebih tepat digunakan
untuk mencetak gambar foto realistis berwarna
penuh (full color) yang sesungguhnya
terkalibrasi dari jutaan warna (lebih dari 16 juta
atau 32 juta, bergantung pada kemampuan
komputer dan software yang digunakan) pada
media berwarna putih (Supatmo, 2015).
Simulated color process adalah teknik
yang lebih maju dibandingkan dengan separasi
4 warna untuk menghasilkan cetakan sablon
dengan gambar realistis. Memperoleh hasil
cetakan yang maksimal sesuai dengan gambar
pada desain diperlukan beberapa film output
berbentuk halftone yang dipisahkan
berdasrakan warna-warna dominan pada
desain. Dibutuhkan minimal 6 warna dan
maksimum 12 warna untuk mencetak dengan
pendekatan ini agar menghasilkan gambar
yang maksimal sesuai dengan desainya.
Semakin banyak jumlah warna yang digunakan
kita akan mendapatkan hasil cetakan yang
semakin baik. Proses pencetakan
menggunakan pendekatan ini menggunakan
tinta yang berjenis opaque atau tinta pekat.
Teknik ini biasanya digunakan untuk mencetak
di atas dasar kain berwarna gelap. Untuk dasar
kain yang berwarna gelap, kita memerlukan
underbase atau pelapisan warna putih terlebih
dahulu (Rahardjo, 2018).
4. Ketentuan merancang desain T-shirt
untuk produksi sablon
Merancang desain untuk produksi
sablon seorang desainer harus memahami
bentuk dasar format gambar yang akan dibuat
agar tidak salah dalam menggunakan aplikasi
atau software grafis. Ketika desain yang dibuat
formatnya bebentuk vektor maka software
grafis yang harus digunakan juga harus
berbasis vektor. Begitupun ketika desain yang
dibuat formatnya bitmap maka software
grafisnya juga mesti berbasis bitmap. Software
grafis berbasis vektor yang dapat digunakan
seperti Corel Draw, Adobe illustrator, Adobe
Indesign, dan Inscape. Software grafis berbasis
bitmap dapat menggunakan software Adobe
Photoshop, GIMP, Corel Photo-Paint, dan
Corel Paint Shop Pro. Banyaknya software
grafis yang dapat digunakan untuk merancang
desain untuk T-shirt, namun yang umum
digunakan hanya ada dua software untuk
produksi cetak dengan teknik sablon yaitu
Corel Draw untuk desain berbasis vector dan
Adobe photoshop untuk desain yang berbasis
bitmap. Kedua software grafis tersebut banyak
digunakan dalam merancang desain untuk
produksi sablon karena juga dapat digunakan
dalam proses film output atau pisah warna film
secara praktis.
Pada proses film output desain T-shirt
harus menyesuaikan dengan bentuk dasar
format desainya. Film output desain yang
memilki bentuk dasar format gambar berupa
vector dilakukan dengan pendekatan spot
colour process karena desain dengan bentuk
bentuk dasar format vector ini akan
menghasilkan cetakan sablon dengan bentuk
warna blok atau solid (spot). Hasil film output
desain dengan pendekatan spot colour proses
akan menyesuaikan dengan jumlah warna yang
ada pada desain. Pada proses produksi cetak
sablon dengan pendekatan spot colour proses
ini akan dilakukan sesuai jumlah filmmnya.
Jika pada desain setelah dipisah film output
terdiri dari lima warna, maka dalam proses
cetaknya juga akan dilakukan sebanyak lima
kali untuk menghasilkan gambar yang sesuai
pada desain.
Desain dengan bentuk dasar format
45
bitmap proses film output dapat dilakukan
dengan pendekatan CMYK-four color
separation dan Simulated color process.
Pemilihan kedua pendekatan tersebut dalam
proses film output dilakukan dengan
pertimbangan karakter visual yang dihasilkan,
efesiensi dalam produksi sablon yang
berhubungan waktu dan biaya produksinya .
Kedua pendekatan tersebut dapat dilakukan
dengan pertimbangan desain T-shirt yang
dibuat berbentuk foto realistis walaupun akan
menghasilkan gambar cetakan sablon dengan
karakteristik visual yang berbeda dari setiap
pendekatan. Desain dengan bentuk dasar
format bitmap untuk proses film output harus
memilki kualitas desain (resolusi) yang dapat
menyesuaikan dengan ukuran standar cetakan
pada T-shirt. Penggunaan resolusi standar pada
desain akan menghasilkan kwalitas gambar
yang lebih jelas/detail. Desain yang akan
dicetak pada baju dengan ukuran standar A3
maka resolusi desain yang harus digunakan
untuk proses film output sebaiknya memiliki
resolusi 300 dpi.
Pembahasan
Proses produksi sablon harus
menyesuaikan dengan pendekatan dalam
proses film output. Pendekatan dengan desain
dasar format vector dan bitmap kita akan
menggunakan alat dan bahan yang berbeda.
Desain dengan dasar format vector yang proses
film output dengan pendekatan spot colour
process kita dapat menggunakan screen yang
memilki kerapatan antara T40 sampai T70
sedangkan untuk desain dengan dasar format
bitmap dengan pendekatan CMYK-four color
separation dan Simulated color process kita
dapat menggunakan screen dengan kerapatan
T77 sampai T120.
Penggunaan screen yang berbeda secara
otomatis bahan cetak yang digunakan juga
berbeda menyesuaikan dengan kerapatan
screen. Pendekatan spot colour process dalam
proses produksi sablon mencetak
menggunakan bahan cat/tinta sablon yang
sedikit lebih kasar karena film outputnya
berupa bidang warna yang blok sedangkan
pendekatan CMYK-four color separation dan
Simulated color process menggunakan
cat/tinta yang lebih halus karena bentuk film
output-nya berupa titik-titik yang berukuran
kecil (halftone). Emulsi untuk pelapis screen
juga menggunakan bahan yang berbeda sesuai
dengan tingkat kerapatan screen.
Pemilihan pendekatan film output
dengan kedua pendekatan untuk desain dengan
bentuk dasar format bitmap harus
mempertimbangkan efesiensi dalam produksi
cetak yang terkait dengan waktu dan biaya.
Desain dengan pendekatan CMYK-four
color separation dari segi waktu proses
produksi cetaknya akan lebih efesien dari pada
Simulated color process karena jumlah film
output pasti terdiri dari empat warna yaitu
cyan, magenta, yellow, dan black, jadi untuk
proses produksi sablonya pasti melakukan
empat kali cetak untuk dapat menghasilkan
kwalitas gambar yang maksimal. Sedangkan
untuk desain dengan pendekatan Simulated
color process film output-nya akan
menghasilkan minimal enam warna bahkan
bisa lebih untuk mendapatkan gambar hasil
cetakan yang maksimal sesuai dengan desain,
jadi dalam proses produksi sablonya juga
pencetakan akan dilakukan minimal enam kali.
Efesiensi waktu produksi sablon berhubungan
langsung dengan biaya produksi karena
semakin banyak jumlah film output desain
maka biaya produksi sablonya juga akan
semakin besar.
Berdasarkan pembahasan di atas maka
dalam perancangan desain T-shirt untuk
produksi sablon seorang desainer harus
memahami beberpa ketentuan agar desain yang
di buat dapat diapalikasikan pada teknik
produksi cetak sablon. Seorang desain perlu
memahami karakter desain yang berhubungan
langsung dengan bentuk dasar format desainya
agar tidak salah dalam menggunakan aplikasi
desain grafis dalam membuat desain.
Seorang desain harus memahami proses
film output agar pendekatan yang digunakan
nantinya dalam membuat desain sesuai dengan
bentuk dasar format desainnya. Seorang
desainer juga dalam merancang desain T-shirt
untuk produksi sablon harus memahami
prinsip teknik produksi sablon agar dapat
menyesuaikan dengan pendekatan dalam
proses film output.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Merancang desain T-shirt untuk
kebutuhan produksi sablon tidak cukup hanya
46
memahami dan mampu menggunakan aplikasi
desain grafis. Desainer dalam merancang
desain untuk produksi T-shirt harus memahami
beberapa hal yang saling berhubungan antara
lain proses desain grafisnya, proses film
output, dan proses teknik produksi sablon.
Merancang desain T-shirt untuk produksi
dengan teknik sablon perlu mengetahui bentuk
dasar format desain yang dibuat yaitu vector
atau bitmap agar tidak salah dalam
menggunakan aplikasi (software) desainnya.
Desainer harus memahami pendekatan dalam
proses film output agar desain yang dibuat
dapat diproduksi dengan tekhnik cetak sablon
dan dapat menyesuaikan dengan kualitas
karakter visual hasil cetakan yang dinginkan.
Saran
Sebaiknya desainer grafis T-shirt perlu
memahami prinsip teknik produksi sablon agar
dalam merancang desain dapat menyesuaikan
dengan pendekatan pada proses film output
yang dilakukan. Selain beberapa hal terkait
ketentuan dalam proses merancang desain T-
shirt untuk produksi sablon seorang desainer
harus tetap mempertimbangkan kebutuhan
konsumen baik dari segi efesiensi dan kualitas.
DAFTAR RUJUKAN
Darmawan, James. (2010). Proses Kerja
Komputer yang dapat
Mengoptimalkan Hasil Komunikasi
Visual secara Efisien. Jurnal
Humaniora, 1(2), 187-195.
Luzar, Laura Christina. (2010). Kreasi cetak
sablon mudah dan berkualitas tinggi
pada kaos. Jurnal Humanior, 1(2),
187-810.
Rahardjo, Benny Setiawan. (2018). Desain T-
shirts dengan CorelDraw dan
Photoshop. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Sugiono. (2013). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Supatmo. (2015). Screen printing dalam
industri grafika pada era digital.
Jurnal Seni Imajinasi, 9(2), 105-116.
Tobroni, Muhammad Imam. (2011). Teknik
Sablon Sebagai Media Apresiasi
Karya Desain ada t-shirt. Jurnal
Humaniora, 2(1), 169-181.
Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATA KULIAH KAJIAN SENI RUPA
LOKAL PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA PROGRAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
Pangeran Paita Yunus1* 1Universitas Negeri Makassar
*Corresponding author
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengembangkan bahan ajar seni rupa lokal
dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan memahami, menghargai, dan
menganalisis mahasiswa pada aspek latar belakang sejarah, konsep, dan karya seni di
daerah Sulawesi Selatan 2) Mengukur kelayakan bahan ajar seni rupa lokal pada
Program Studi Pendidikan Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Negeri
Makassar. Penelitian ini mengacu pada prosedur pengembangan yang dikembangkan
oleh Borg & Gall yang terdiri dari sepuluh langkah yang disusun secara sistematis,
dengan penjelasan yang mudah dipahami, dan dapat mengarahkan pengembang dari
awal hingga akhir penelitian. Dalam penelitian tentang pengembangan bahan ajar,
hanya dilakukan hingga sembilan langkah, diseminasi produk atau kegiatan distribusi
tidak dilakukan karena keterbatasan dana dan waktu peneliti. Komponen paket
pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah buku teks, media
presentasi, dan tes apresiasi. Tahapan dalam penelitian dan pengembangan paket
instruksional ini terdiri dari empat fase: fase studi awal dan fase pengembangan, fase
implementasi, fase pengujian dan evaluasi. Paket pembelajaran Kajian Seni Rupa Lokal
berupa bahan ajar, media presentasi dan lembar tes apresiasi yang dihasilkan dalam
penelitian ini adalah paket yang layak digunakan dalam proses pembelajaran pada mata
kuliah Kajian Seni Rupa Lokal pada Program Studi Magister Pendidikan Seni Rupa
Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Hal ini dikarenakan paket yang
dikembangkan telah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan.
Kata Kunci: Pengembangan, Bahan Ajar, Seni Rupa Lokal
Abstract
This study aims to 1) Develop local art teaching materials with the aim of knowing the
ability to understand, appreciate, and analyze students in aspects of historical background,
concepts, and artwork in South Sulawesi 2) Measuring the feasibility of local art teaching
materials in the Postgraduate Program in Arts Education Study Program Universitas Negeri
Makassar. This research refers to the development procedure developed by Borg & Gall which
consists of ten steps that are arranged systematically, with easy-to-understand explanations,
and can direct the developer from the beginning to the end of the study. In research on the
development of teaching materials, it was only carried out up to nine steps, product
dissemination or distribution activities were not carried out due to limited funds and time of the
48
researcher. The components of the learning package developed in this study are textbooks,
media presentations, and appreciation tests. The stages in research and development of this
instructional package consist of four phases: the initial study phase and the development phase,
the implementation phase, the testing and evaluation phase. Learning packages for Local Art
Studies in the form of teaching materials, media presentations and appreciation test sheets
produced in this study are feasible packages to be used in the learning process in the subject of
Local Art Studies at the Universitas Negeri Makassar Postgraduate Program in Fine Arts
Education. This is because the package developed has fulfilled the validity criteria, practicality,
and effectiveness.
Keywords: Development, Teaching Materials, Local Art
PENDAHULUAN
Mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal
merupakan salah satu mata kuliah wajib yang
diajarkan pada program studi Magister
Pendidikan Seni Rupa. Setelah menempuh
mata kuliah ini mahasiswa diharapkan
memiliki kemampuan mengetahui, memahami,
mengapresiasi, dan menganalisis aspek latar
belakang historis, konsep, dan karya seni rupa
yang ada di daerah yang mencakup semua hasil
karya seni rupa yang ada di daerah Sulawesi
Selatan.
Pembahasan diutamakan pada aspek
kesenirupaan yang meliputi media, teknik,
bentuk, jenis, makna simbolik, fungsi, gaya,
tema, dan hiasan; kepercayaan; dan latar
budaya yang mendasarinya. Konteks hubungan
dengan pertumbuhan seni rupa Indonesia juga
menjadi bahasan mata kuliah ini. Oleh karena
itu, sangat penting untuk menyajikan mata
kuliah tersebut secara sistematis, kaya akan
materi, serta memenuhi kompetensi
pembelajaran yang telah dirumuskan untuk
mencapai tujuan pembelajaran secara
maksimal.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh
para pengajar di Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Makassar adalah belum
terstandar dan seragamnya silabus mata kuliah,
sehingga masing-masing dosen pengampu
mata kuliah membuat silabus dan kontrak
perkuliahan sesuai selera masing-masing.
Akibat yang ditimbulkan adalah pencapaian
tujuan pembelajaran tidak tercapai secara
maksimal sesuai yang diharapkan. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk
memaksimalkan pencapaian tujuan
pembelajaran adalah dengan mengembangkan
bahan ajar yang mampu merespon setiap
perubahan dan mengantisipasi setiap
perkembangan, sebagaimana dikemukakan
Faturrohman dan Sutikno (2007: 14) bahwa
“bahan ajar merupakan materi yang terus
berkembang secara dinamis seiring dengan
kemajuan dan tuntutan perkembangan
masyarakat”.
Dalam kegiatan belajar mengajar, dosen
dan mahasiswa terlibat dalam sebuah interaksi
dengan bahan ajar sebagai mediumnya. Dalam
interaksi itu, mahasiswalah yang lebih aktif,
bukan dosen. Mahasiswa sebagai pusat
pembelajaran. Keaktifan mahasiswa dalam
proses pembelajaran tentu mencakup kegiatan
fisik dan mental, individual dan kelompok.
Oleh karena itu, interaksi dikatakan maksimal
apabila terjadi antara dosen dengan semua
mahasiswa, antara mahasiswa dengan dosen,
antara mahasiswa dengan mahasiswa, serta
mahasiswa dengan bahan dan media
pembelajaran. Dengan demikain, salah satu hal
yang sangat penting dalam pencapaian tujuan
pembelajaran adalah tersedianya bahan (buku)
ajar yang teruji dan bermutu sebagai salah satu
sumber belajar.
Berdasarkan beberapa hal yang telai
diuraian, maka peniliti merancang sebuah
penelitian dengan judul: pengembangan bahan
ajar mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal pada
Program Studi Magister Pendidikan Seni Rupa
Program Pascasarjana Universitas Negeri
Makassar.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian
pengembangan (research and Development)
yang merupakan penelitian yang berorientasi
untuk menghasilkan atau mengembangkan dan
menvalidasi sebuah produk (Borg & Gall
49
dalam Setyosari, 2013: 237), sedangkan
menurut Sugiyono (2015: 407) bahwa
penelitian dan pengembangan adalah metode
penelitian yang digunakan untuk menghasilkan
produk tertentu, dan mengkaji keefektifan
produk tersebut. Produk yang dikembangkan
dalam peneltian ini adalah bahan ajar mata
kuliah Kajian Seni Rupa Lokal yang
merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi
mahasiswa program studi magister Pendidikan
Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas
Negeri Makassar.
Penelitian ini mengacu pada prosedur
pengembangan yang dikembangkan oleh Borg
& Gall yang terdiri dari sepuluh langkah yang
tersusun secara sistematis, dengan penjelasan
yang mudah dipahami, dan mampu
mengarahkan pengembang dari awal hingga
akhir penelitian. Dalam penelitian
pengembangan bahan ajar ini hanya sampai
pada sembilan langkah, kegiatan desiminasi
atau penyebarluasan produk tidak dilakukan
karena faktor keterbatasan dana dan waktu
peneliti.
Kesembilan langkah di atas kemudian
disederhanakan tanpa mengurangi esensi dari
sembilan langkah yang disarankan oleh Borg &
Gall menjadi tiga tahap, yaitu 1) tahap analisis
kebutuhan, 2) tahap pengembangan, dan 3)
tahap evaluasi. Dalam penelitian ini, semua
tahapan dilaksanakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Model pengembangan yang diacu dalam
penelitian ini adalah model pengembangan
Borg & Gall yang terdiri dari 10 tahap, namun
dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan
sampai tahap 9 dengan alasan keterbatasan
dana dan waktu penelitian. Kesembilan tahap
dari model pengembangan Borg & Gall yang
ditempuh peneliti adalah: 1) mencari dan
mengumpulkan informasi, (2) membuat
perencanaan, (3) mengembangkan drafawal(4)
melaksanakan ujicoba awal, (5) melakukan
revisiuntuk uji coba skala terbatas,(6)
melaksanakan ujicoba skala terbatas, (7)
melakukan revisi untuk uji coba lapangan, (8)
melaksanakan uji coba lapangan, (9)
melakukan revisi produk akhir. Kesembilan
langkah tersebut kemudian disederhanakan
menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap studi
pendahuluan, (2) tahap pengembangan, dan (3)
tahap evaluasi. Ketiga tahap tersebut diuraikan
sebagai berikut:
Tahap Studi Pendahuluan
Pada tahap ini dilakukan studi literatur
dan studi lapangan. Studi literatur dilakukan
untuk mengumpulkan data dan informasi yang
berkaitan dengan pengembangan produk yang
direncanakan, yaitu sebuah paket
pembelajaran. Studi lapangan yaitu melakukan
observasi atau pengamatan langsung terhadap
pelaksanaan pembelajaran di kelas, melihat
kontrak Perkuliahan, materi pembelajaran, dan
instrumen penilaian yang digunakan oleh
dosen pengampu mata kuliah, kemudian
melakukan wawancara untuk
mendapatkanfakta dan masalah yang terjadi di
lapangan.
Dari hasil wawancara dengan dosen
pengampu mata kuliah, dapat diidentifikasi
beberapa masalah esensial yang dihadapi oleh
dosen dalam proses pembelajaran di kelas,
yaitu dosen kesulitan dalam mengajarkan mata
kuliah kepada mahasiswa karena kurangnya
referensi yang relevan, seperti buku teks dan
media pembelajaran. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa belum ada buku teks
sebagaibahan pembelajaran yang digunakan
oleh dosen. Materi yang disajikan merupakan
kumpulan materi yang diambil dari berbagai
sumber, sementara buku yang diacu tersebut
materi pembelajarannya kurang lengkap, tidak
sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan tidak
dikemas menyesuaikan kondisi mahasiswa.
Berpatokan pada materi yang ada membuat
pembelajaran terkesan monoton dan membuat
mahasiswa kurang termotivasi. Atas dasar
permasalahan yang ada di atas, maka peneliti
mengembangkan paket pembelajaran yang
relevan untuk digunakan oleh dosendan
mahasiswa dalam proses pembelajaran mata
kuliah Kajian seni rupa Lokal.
Hasil observasi dan wawancara yang
diperoleh digunakan untuk menentukan materi
yang akan dikembangkan menjadi sebuah
paket. Materi yang dipilih untuk
dikembangkan menjadi paket pembelajaran
adalah seni rupa Lokal yang merupakan salah
satu mata kuliah wajib pada program studi
Pendidikan Seni Rupa Program Pascasarjana
Universitas Negeri Makassar. Alasan penulis
memilih materi seni rupa Lokal adalah karena
50
berdasarkan hasil observasi, salah satu materi
dalam buku teks yang dipelajari mahasiswa
adalah materi seni rupa Lokal yang
pembahasannya terdapat banyak kekurangan
baik dari segi isi/konten maupun media
pembelajaran yang digunakan.
Setelah menetapkan beberapa hal yang
akan dikembangkan, selanjutnya
mengembangkan kerangka draf awal, serta
menetapkan jenis instrumen yang digunakan
dalam penelitian.
Tahap Pengembangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini
terbagi atas dua, yaitu: (1) mengembangkan
draf awal dan (2) mengembangkan instrumen
penilaian, (3) melakukan validasi, dan (4)
melaksanakan uji coba.
Pada fase kedua penelitian ini, kegiatan
yang dilaksanakan adalah validasi oleh ahli
materi dan ahli media serta uji coba terhadap
buku petunjuk dosen, buku petunjuk
mahasiswa, buku ajar, media presentasi, dan
lembar tes apresiasi mahasiswa serta revisi ahli
materi terhadap buku ajar serta evaluasi
terhadap kevalidan, kepraktisan dan
keefektivan produk buku ajar.
Pada tahap evaluasi, semua data yang
diperoleh dari ahli materi, ahli media, dosen,
dan mahasiswa melalui angket, dianalisis
secara kuantitatif kemudian diekuivalenkan
menjadi data kualitatif. Kegiatan menganalisis
data mencakup seluruh kegiatan dengan
mengklasifikasi, menganalisis, dan menarik
kesimpulan dari semua data yang terkumpul
dalam proses validasi, uji coba awal, uji coba
kelompok kecil, dan uji kelayakan. Adapun
pedoman yang digunakan dalam menentukan
kualitas kevalidan dan kepraktisan paket
pembelajaran ini adalah pedoman skala 5
Sukardjo, sedangkan untuk penentuan
keefektifannya ditetapkan berdasarkan kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yaitu nilai 75 pada
skal penilaian yang berlaku di Program
Pascasarjana Univeritas Negeri Makassar.
Pembahasan
Paket pembelajaran dalam bentuk buku
ajar mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal yang
dihasilkan dalam penelitian ini adalah paket
yang telah dirancang secara mendalam dan
sistematis, namun untuk mengetahui apakah
paket pembelajaran yang telah dirancang dan
dikembangkan telah memenuhi kriteria
kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan, telah
dilakukan kegiatan validasi yang akan
dilakukan oleh validator ahli materi dan ahli
media, sedangkan untuk mengetahui kriteria
kepraktisan akan dilakukan uji coba oleh dosen
pengampu mata kuliah, dan untuk mengetahui
kriteria keefektifan maka akan dilakukan uji
kepada mahasiswa pengguna buku ajar
tersebut. Hal ini sejalan yang dikemukakan
oleh Akker (Nursyahidah, 2010:24) bahwa
kriteria kualitas produk yang telah
diujicobakan yaitu validitas, kepraktisan, dan
evektifitas (memiliki efek potensial).
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap
materi-materi yang terkait dengan mata kuliah
kajian seni rupa lokal, menunjukkan bahwa
begitu banyak materi yang tersedia yang
membuat peneliti kewalahan dalam
menentukan materi yang sesuai dengan pokok
bahasan pada mata kuliah Kajian Seni Rupa
Lokal. Akhirnya yang dilakukan adalah
memilih beberapa karya seni rupa yang ada di
lokal berdasarkan pertimbangan keterwakilan
daerah atau suku serta bahan yang tersedia
mencukupi dan layak dijadikan sebagai materi
ajar pada mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal.
Kepraktisan paket ini diketahui dari
penilaian dosen dan mahasiswa terhadap paket
pembelajaran yang diujicobakan serta
keterlaksanaan kegiatan pembelajaran.
Sebelum paket pembelajaran diujicobakan di
kelas, paket pembelajaran diberikan kepada
dosen pengampu mata kuliah Kajian Seni Rupa
Lokal untuk memahami tujuan dan langkah-
langkah penggunaan paket tersebut. Dosen
berperan sebagai ahli praktisi yang
memberikan komentar dan saran tentang segi
kepraktisan dan sebagai fasilitator yang
mengujicobakan paket tersebut. Pelaksanaan
dari setiap tahapan kegiatan pembelajaran
dimulai dari kegiatan awal, kegiatan inti,
hingga kegiatan akhir merupakan komponen
yang dijadikan acuan kemampuan dosen dalam
mengelola pembelajaran.
Uji coba dilaksanakan selama tiga kali,
yaitu uji coba awal, uji coba kelompok kecil,
dan uji coba kelompok sesungguhnya. Setelah
proses pembelajaran berakhir, dilakukan tes
untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa.
Hasil tes tersebut menentukan efektif tidaknya
paket pembelajaran yang dikembangkan. Hasil
tes apresiasi mahasiswa secara keseluruhan
51
pada uji coba kelompok sesungguhnya
diperoleh ketuntasan nilai mahasiswa, yaitu
rerata 85,79. Nilai rerata skor yang diperoleh
mahasiswa dinyatakan tuntas karena telah
melewati nilai KKM (kriteria ketuntasan
maksimal) yang telah ditetapkan yaitu nilai 75.
Ketuntansan nilai yang diperoleh ini berkat
metode pengamatan dengan bantuan media
pembelajaran dan metode diskusi kelompok
yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Melalui metode pengamatan dengan media
pembelajaran, mahasiswa dapat mengamati
setiap gambar yang disajikan dengan lebih
jelas, dan melalui metode diskusi kelompok,
mahasiswa dapat bekerja sama dan saling
membantu anggota kelompok yang sulit
memahami materi.
Tercapainya nilai ketuntasan dengan
rerata 85,79, maka mahasiswa yang
memprogramkan mata kuliah Kajian Seni
Rupa Lokal dianggap sudah mampu
mengapresiasi dan memahami dengan baik,
sehingga paket ini dinyatakan efektif
digunakan pada mahasiswa yang
memprogramkan mata kuliah Kajian Seni
Rupa Lokal.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka kesimpulan dalam
penelitian ini diuraikan sebagai berikut: a.
Komponen paket pembelajaran yang
dikembangkan dalam penelitian ini adalah
buku ajar, media presentasi, dan tes apresiasi.
Tahap yang dilalui dalam penelitian dan
pengembangan paket pembelajaran terdiri dari
empat tahap, yaitu tahap studi pendahuluan,
tahap pengembangan, tahap pelaksanaan uji
coba (uji coba kelomok kecil dan uji coba
kelompok sesungguhnya) dan tahap evaluasi.
b. Dalam penelitian ini, instrumen yang
dikembangkan adalah angket, lembar
observasi, dan tes apresiasi. Angket yang
dikembangkan terdiri dari angket untuk
validator (ahli materi dan ahli media), angket
untuk dosen, dan angket untuk mahasiswa.
Angket untuk validator digunakan untuk
memvalidasi paket pembelajaran, dan
memperoleh masukan atau saran untuk
merevisi paket yang dikembangkan. Angket
untuk dosen fasilitator digunakan untuk
mengetahui tanggapan dosen terhadap paket
pembelajaran yang dikembangkan, dan saran
yang diperlukan untuk merevisi paket.
Demikian pula angket untuk mahasiswa
digunakan untuk mengetahui tanggapan dan
saran mahasiswa terhadap paket pembelajaran
yang dikembangkan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai pengembangan paket yang telah
dibuat dengan menggunakan uji oba pada
tempat lain agar luaran yang dihasilkan lebih
bermutu.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. (1997). Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Baharuddin, Haerati. (2014). Pengembangan
Modul Pembelajaran Dasar
Menggambar Perspektif untuk Siswa
Kelas XII IPA SMA Negeri 1
Tanete Rilau Kabupaten Barru.
Makassar: Tesis Magister PPs UNM.
Borg, Walter. R & Gall. (1973). Educational
Research: An Introduction (second
edition). New York: David Mc Key
Company. Inc
Daryanto. (2013). Menyusun Modul Bahan
Ajar untuk Persiapan Guru dalam
mengajar. Yogyakarta: Penerbit
Gava Media.
Faturahhman, Pupuh dan Sutikno. (2007).
Strategi Belajar Mengajar: Strategi
Mewujudkan Pembelajaran
Bermakna Melalui Penanaman
Konsep Umum dan Islami. Bandung:
PT. Rafika Aditama.
Ghufron, Anik. (2007). Panduan dan
Pengembangan Bidang Pendidikan
dan Pembelajaran. Yogyakarta.
Lembaga Penelitian UNY.
Najamuddin, Nurhayati. (2014).
Pengembangan Paket Pembelajaran
untuk Siswa Kelas VIII SMP
Nasional Makassar. Makassar: Tesis
Magister PPs UNM.
52
Putra, Nusa. (2013). Research & Development:
Penelitian dan Pengembangan: Suatu
Pengantar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Setyosari. Punaji. (2001). Rancangan
Pembelajaran: Teori dan Praktik.
Malang: Elang Mas.
Setyosari. Punaji. (2013). Metode Penelitian
Pendidikan dan Pengembangan.
Jakarta: Kencana.
Sudjana, Nana. (1989). Dasar-Dasar Proses
Belajar Mengajar. Bandung. Sinar
Baru Algesindo
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian
Pendidikan: Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan R&D. Bandung:
Penerbit Alpabeta.
Sukarjo. (2006). Kumpulan Materi Evaluasi
Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit
Universitas Negeri Yogyakarta.
Suryani, Nunuk dan Agung. (2012). Strategi
Belajar Mengajar. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.