jurnal ilmiah efektivitas pelaksanaan putusan … · objek gugatan adalah surat keputusan bupati...
TRANSCRIPT
JURNAL ILMIAH
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA
Oleh :
IQRO’ ALAMSYAH
D1A 014 141
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2019
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA
IQRO’ ALAMSYAH
D1A014141
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang suatu lembaga peradilan
yang belum mampu menunjukkan eksistensinya dikarenakan suatu kelemahan
terhadap upaya paksa pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara. Penelitian
ini juga akan memberikan penjelasan tentang contoh kasus putusan peradilan tata
usaha negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap namun tidak
dijalankan oleh para pihak, dan kendala yang dihadapi dalam menjalankan
putusan peradilan tata usaha negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan ini adalah penelitian
hukum normatif yang mendasarkan pada tiga persoalan hukum yakni kekosongan
norma, kekaburan norma, dan pertentangan norma. Sehingga diharapkan mampu
memberikan dampak terhadap perbaikan sistem hukum di Indonesia.
Kata Kunci: Peradilan Tata Usaha Negara, Pelaksanaan Putusan.
The Affectiveness Of Implementation Of State Administrative Court
Decision
ABSTRACT
The purpose of this study is to know about a judicial institution that have
not been able to demonstrate their existence because of the weakness in the effort
to force implementation of decision of the state administrative courts. This
research will also provide an explanation further example of a case of state
administrative court decision that have permanent legal force but are not carried
out by the parties, and the obstacles faced in carrying out the decisions of state
administrative courts that have permanent legal force.This research will use
normative law which based on three law problems such as empty of norm, faded
norm, and opposition norms. So as the expectation of this research will be
improvement of the legal system in Indonesia.
Keywords: state administrative court, state administrative court decision.
i
I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945 telah menjamin keberlangsungan tata kelola kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sejahtera dan bermartabat. Negara hukum memiliki
salah satu ciri yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang telah merdaka serta bebas
dari intervensi kekuasaan-kekuasaan lainnya dan dilakasanakan berdasarkan pada
prinsip hukum dan keadilan. Prinsip hukum yang di maksud adalah mampu
menjalankan tugas dan fungsi sebagai aparatur negara dalam lembaga peradilan
dengan penuh tanggung jawab serta menjunjung tinggi integritas dan moralitas,
sedangkan dalam hal keadilan sendiri merupakan sesuatu yang bersifat abstrak
dan tidak dapat kita nilai secara subyektif, sebab adil menurut salah satu pihak
belum tentu adil menurut pihak yang lain.
Pengadilan tata usaha negara sebagai salah satu badan peradilan di bawah
mahkamah agung merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang bewenang
memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata usaha negara. Kewenangan
tersebut tidak berlaku bagi sengketa tata usaha dilingkungan angkatan bersenjata
dan dalam soal-soal militer yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 1953 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1958 diperiksa, diputus dan
diselesaikan oleh Peradian Tata Usaha Negara Militer. Kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang ini dilaksanakan
oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
yang berpuncak pada Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-
ii
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.1
Tujuan terbentuknya peradilan tata usaha negara menurut keterangan
pemerintah pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
pada tanggal 29 April 1986 dalam pembahasan Rancangan Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menjamin terlindungnya hak-hak
rakyat yang bersumber dari hak-hak individu dan hak-hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam
masyarakat tersebut.2
Dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap ternyata belum efektif untuk membuat badan
atau pejabat Tata Usaha Negara mematuhi atau menjalankan putusan, dan juga
tidak adanya suatu badan atau lembaga yang di berikan kewenangan secara utuh
untuk melakukan upaya paksa terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berbeda dengan badan peradilan umum
seperti pengadilan negeri memiliki jaksa yang kemudian diberikan tugas
memaksakan terpidana untuk menjalankan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada Pasal 270 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menentukan
bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
1 C.S.T Kansil, Kitab Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta : PT.
Pradnya Paramita, 2006), Cet. 9 Hlm.6
2Jhohan Dewangga’s, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Dan Subyek Objeknya,
Http://Jhodewangga.Wordpress.Com/Hukum-Acara-Ptun-Dan-Subyek-Obyeknya/, Diakses Pada
Tanggal 3 Oktober 2018
iii
tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat
putusan kepadanya. Sejalan dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana tersebut dijelaskan pula bahwa dalam Pasal 36 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pelaksanaan putusan
pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
Sementara dalam pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata
dilakukan oleh panitera dan Juru Sita dipimpin oleh ketua pengadilan
sebagaimana Pasal 54 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan pelaksanaan putusan ini juga ditentukan
dalam HIR Pasal 195-224 dan Rbg Pasal 206 - 240 dan 258. Apabila dalam
perkara ini pihak yang kalah enggan untuk melaksanakan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pihak yang menang dalam
perkara dapat mengajukan hal ini kepada ketua pengadilan untuk kemudian ketua
pengadilan memerintahkan pihak yang kalah untuk mentaati putusan pengadilan
hingga batas waktu yang ditentukan. Jika setelah jangka waktu yang telah
ditetapkan, putusan masih juga tidak dilaksanakan, maka ketua pengadilan
memerintahkan agar disita barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa
cukup akan pengganti jumlah uang tersebut yang ada didalam keputusan itu dan
ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.
iv
II. PEMBAHASAN
Efektivitas Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Mekanisme Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Sesuai prinsip negara hukum, maka hukumlah yang dijadikan dasar dalam
menjalankan pemerintahan. Setiap orang itu sama kedudukannya dimuka hukum.
Dengan demikian, penetapan atau putusan pengadilan harus dihormati oleh siapa
saja, entah itu rakyat, pejabat sipil atau pejabat militer. Pejabat yang secara
sengaja melecehkan putusan pengadilan dapat digolongkan menghina terhadap
lembaga pengadilan, dan kepada pejabat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu jalur
yudisial dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum dan untuk
mewujudakan pemerintahan yang baik (good government). Namun ketiadaan
lembaga eksekutorial dan landasan hukum yang kuat mengakibatkan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak mempunyai daya paksa menjalankan
perannya dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara dan sengketa
administrasi pemerintahan.
Berikut akan dijelaskan tentang mekanisme pelaksanaan putusan
pengadilan tata usaha negara berdasarkan ketentuan Undang-undang tentang
peradilan tata usaha negara, yaitu: 1) Mekanisme eksekusi putusan pengadilan tata
usaha negara dalam perspektif Undang-undang No.5 Tahun 1986. Dalam Undang-
undang No.5 Tahun 1986 hanya ditentukan bahwa apabila setelah 3 bulan ternyata
pejabat tata usaha negara (tergugat) tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka
ketua pengadilan atas permintaan penggugat memerintahkan tergugat untuk untuk
v
melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Apabila tergugat masih tidak mau
melaksanakannya, ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan
tersebut dalam waktu menurut jenjang jabatan. Instansi atasan tersebut dalam
waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari pengadilan harus sudah
memerintahkan yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan
tersebut. Apabila upaya tersebut masih juga tidak dilaksanakan oleh yang
bersangkutan, maka upaya terakhir ketua pengadilan adalah mengajukan hal ini
kepada presiden. Mekanisme berdasarkan ketentuan di atas dalam
perkembangannya ternyata belum dapat menunjukan kekuatan lembaga
pengadilan tata usaha negara untuk membuat badan atau pejabat tata usaha negara
patuh menjalankan putusan pengadilan tata usaha negara. Hal ini disebabkan
karena atasan berdasarkan jenjang jabatan badan/pejabat tata usaha Negara
seringkali tidak memerintahkan bawahannya untuk mentaati putusan pengadilan
tata usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai pihak
yang dikalahkan dalam perkara. Bahkan sampai putusan pengadilan tata usaha
Negara tersebut disampaikan kepada presiden selaku Kepala Negara,
badan/pejabat tata usaha Negara tersebut masih enggan untuk menjalankan
putusan pengadilan tata usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. 2) Mekanisme eksekusi putusan pengadilan tata usaha negara dalam
perspektif Undang-undang No.9 Tahun 2004. Perubahan terhadap ketentuan
dalam Undang-undang No.9 Tahun 2004 menyebutkan adanya sanksi berupa
pembayaran uang paksa dan sanksi administratif sebagai reaksi atas pelanggaran
norma hukum administrasi. Penerapan sanksi juga merupakan langkah represif
vi
untuk melaksanakan kepatuhan penegakan hukum administrasi. Pemberlakuan
terhadap upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan sanksi
administratif adalah sebuah upaya yang patut di apresiasi terkait eksekusi putusan
hakim pengadilan tata usaha negara. Akan tetapi hal demikian ternyata masih
menimbulkan pertanyaan di banyak kalangan tentang bagaimana pengaturan
pelaksanaanya dan petunjuk teknis terhadap dua instrumen tersebut. Hal ini
disebabkan karena belum adanya Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar
pelaksanaan terhadap pengenaan uang paksa (Dwangsom). Pengenaan sanksi
admistratif pada upaya paksa dalam pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha
negara merupakan instrumen yang belum jelas dan tidak dapat diberlakukan pada
badan/pejabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan pengadilan tata
usaha negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini
pemerintah kembali melakukan perubahan yakni Undang-undang No.51 Tahun
2009. 3) Mekanisme eksekusi putusan pengadilan tata usaha negara dalam
perspektif Undang-undang No.51 Tahun 2009. Pembaharuan Pasal 116 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 yang lebih khusus merubah ayat (3) sampai dengan
ayat (6) menjadikan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 menjalankan
mekanisme eksekusi putusan pengadilan tata usaha negara yang sebelum nya
bersifat “eksekusi hierarkis” menjadi “upaya paksa”. Perubahan ini adalah sebagai
koreksi terhadap kelemahan badan peradilan yang dinilai tidak mampu
memberikan tekanan melalui peraturan perundang-undangan kepada pihak yang
dillahkan dalam perkara yakni badan/pejabat pemerintah untuk melaksanakan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Perbaikan sistem
vii
hukum melalui perubahan Undang-undang tentang peradilan tata usaha negara
telah dilakukan sebanyak dua kali, ini merupakan langkah yang baik dari
pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan badan atau pejabat tata usaha negara
dalam mejalankan putusan pengadilan tata usaha Negara. Namun, hal tersebut
ternyata masih belum mampu membuat peradilan tata usaha negara berdaya untuk
meningkatkan fungsinya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Perbaikan
sistem hukum melalui perubahan Undang-undang tentang peradilan tata usaha
negara telah dilakukan sebanyak dua kali, ini merupakan langkah yang baik dari
pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan badan atau pejabat tata usaha negara
dalam mejalankan putusan pengadilan tata usaha Negara. Namun, hal tersebut
ternyata masih belum mampu membuat peradilan tata usaha negara berdaya untuk
meningkatkan fungsinya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sehingga
lahirnya Undang-undang No.51 tahun 2009 diharapkan mampu memberikan
penguatan terhadap upaya paksa dalam ketentuan Pasal 116 ayat (4) mengenai
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
Contoh Kasus Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Non Eksekusi
Terdapat sekitar 118 Calon Pegawai Negeri Sipil kategori 2 Kab. Dompu
yang menggugat ke pengadilan tata usaha negara Mataram. Adapun yang menjadi
objek gugatan adalah Surat Keputusan Bupati Kab. Dompu Keputusan Bupati
Dompu Nomor : 814.3/009/BKD/2016 Tentang Pencabutan Keputusan Bupati
Dompu Tanggal 21 September 2015 No. 814.3/071/BKD/2015 Tentang
Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil dan Nomor Induk Pegawainya oleh
Badan Kepegawaian Negara. Kasus tersebut merupakan kasus tentang putusan
viii
pengadilan tata usaha negara yang tidak bisa di eksekusi, hal ini di sebabkan
karena kurangnya kesadaran badan/pejabat tata usaha negara dalam mentaati
putusan pengadilan tata usaha negara yang telah mempunyai kekutan hukum tetap
dan lemahnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara. Bahkan dalam
pelaksanaan putusan tersebut, beberapa pihak yang dimenangkan oleh pengadilan
meminta bantuan kepada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Nusa
Tenggara Barat sebagai pihak yang diharapkan mampu mendorong pelaksanaan
putusan pengadilan tata usaha negara. Ombudsman merupakan lembaga lembaga
negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik. Sehingga pada prinsipnya ombudsman dalam perkara ini bukan menjadi
lembaga eksekusi putusan pengadilan tata usaha negara. Disisi lain ombudsman
sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan
kekuasaan lain lebih mampu menunjukkan kekuatan eksekutorialnya meskipun
produk hukum penyelesaiannya adalah rekomendasi.
Dalam teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto3 adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu : 1)
Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). 2) Faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. 3) Faktor sarana
atau fasilitas yang mendukung penerapan hukum. 4) Faktor masyarakat, yakni
lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor
3Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 8
ix
kebudayaan. Dari kelima faktor diatas, tidak ada faktor yang dapat dikatakan lebih
dominan sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Jika dikaitkan
dengan teori tersebut di atas, maka pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha
negara meiliki kelemahan pada faktor hukum (Undang-undang) itu sendiri dan
faktor masyarakat dimana hukum itu berlaku. Oleh karena itu diperlukan segera
tindakan yang lebih intensif dari pemerintah dalam menanggapi permasalahan
yang cukup usang ini namun belum terselesaikan sampai saat ini.
Akibat Hukum Tidak Dilaksanakannya Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Putusan adalah hakikat pengadilan yang merupakan inti dan tujuan dari
seluruh proses peradilan. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar
putusan pengadilan yang dapat menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban
pada pihak lain, sah tidaknya suatu tindakan menurut hukum dan meletakkan
kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam perkara. Putusan pengadilan tata
usaha negara yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan yang berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde). Sebagaimana djelaskan dalam Pasal 115 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara “Hanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan”.4
Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 116 ayat (2) menerangkan bahwa
akibat hukum dari tidak dilaksanakannya putusan pengadilan tata usaha negara
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah keputusan tata usaha negara
yang menjadi objek sengketa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum lagi. Hal
4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
x
tersebut akan berdampak pada kegiatan berdasarkan surat keputusan yang
dilaksanakan oleh badan/pejabat tata usaha negara tersebut adalah ilegal dan
memungkinkan untuk dikategorikan sebagai suatu tindakan melawan hukum.
Dengan demikian apabila keputusan tata usaha Negara yang menjadi objek
sengketa dibatalkan oleh pengadilan tata usaha Negara maka keputusan tersebut
tidak meiliki kekuatan hukum lagi. Akibatnya segala produk hukum dan
kebijakan yang muncul dari keputusan tata usaha Negara yang sudah dibatalkan
tersebut menjadi illegal. Selanjutnya akibat hukum yang ditimbulkan dari putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyangkut posisi
seorang organ pemerintah sebagai badan/pejabat tata usaha Negara, maka secara
status hukum sesungguhnya bukan lagi sebagai pejabat administrasi
pemerintahan. Bahkan secara hukum pidana apabila surat keputusan yang menjadi
objek sengketa pada perdilan tata usaha Negara dibatalkan dan statusnya sebagai
badan/pejabat tata usaha Negara dibatalkan oleh pengadilan yang memiliki
kewenangan, maka segala penerimaan gaji strukturalnya sebagai badan atau
pejabat tata usaha Negara dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi.
Demikian pula atasan pejabat yang menimbulkan keputusan tata usaha Negara
yang dibatalkan oleh pengadilan tata usaha Negara tidak memerintahkan pejabat
tata usaha Negara yang memegang jabatan, maka termasuk pula melakukan tindak
pidana korupsi, dikarenakan gaji struktural yang diterima berasal dari keuangan
Negara.
xi
III. PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian yang telah penyusun terangkan pada pembahasan, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan yakni: 1) Pelaksanaan putusan pengdilan tata usaha
Negara sampai saat ini masih dikatakan belum efektif, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya kasus ketidakpatuhan badan/pejabat tata usaha negara dalam
menjalankan putusan pengadilan tata usaha negara. Hal ini dikarenakan putusan
pengadilan tata usaha Negara dalam upaya meningkatkan ketaatan dan kepatuhan
sepenuhnya didasarkan pada kesadaran dan pelaksanaan secara sukarela oleh
badan/pejabat tata usaha Negara yang menjadi pihak yang kalah dalam perkara.
Selain itu dengan belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang pengenaan
uang paksa (dwangsom) tersebut memberikan ruang bagi badan atau pejabat tata
usaha negara untuk menghindari pengenaan uang paksa dikarenakan tidak
mempunyai landasan hukum yang kuat. 2) Akibat hukum terhadap tidak
dilaksanakannya putusan pengadilan tata usaha negara adalah keputusan tata
usaha yang menjadi obyek sengketa dalam perkara tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum lagi. Hal ini menerangkan bahwa apabila badan/pejabat tata
usaha negara yang tetap melaksanakan kegiatan berdasarkan keputusan yang
dibatalkan oleh pengadilan tata usaha negara, maka kegiatan tersebut dapat
dikategorikan kegiatan yang ilegal dan tidak sah. Kemudian akibat hukum lain
yang ditimbulkan berdasarkan hasil perubahan Undang-undang tentang peradilan
tata usaha negara adalah pengenaan upaya paksa berupa pengenaan sejumlah uang
paksa dan sanksi administratif.
xii
Saran
Saran dari penelitian ini adalah: 1) Meningkatkan upaya pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara yang menjadi tugas Dewan
Perwakilan Rakyat. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim pengawasan
yang bersifat Ad Hoc dan khusus untuk mengawasi pelaksanaan putusan
pengadilan Sesuai amanat Pasal 116 ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2) Membentuk peraturan pemerintah
tentang pelaksanaan dan petunjuk teknis mengenai upaya paksa dapat menjadi
landasan hukum yang mampu mewujudkan nilai keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal dan Artikel Hukum Lainnya
C.S.T Kansil, 2006, Kitab Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
PT. Pradnya , Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Internet
Jhohan Dewangga’s, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Dan Subyek
Objeknya, Http://Jhodewangga.Wordpress.Com/Hukum-Acara-
Ptun-Dan-Subyek-Obyeknya/, Diakses Pada Tanggal 3 Oktober
2018