jurnal hukum
TRANSCRIPT
![Page 1: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/1.jpg)
1
PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI KOTA MAKASSAR
(SUATU PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA ANAK)
APPLICATION OF RESTORATIVE JUSTICE IN CHILDREN CRIMINAL COURT SYSTEM IN MAKASSAR
(AN INNOVATION OF CHILDREN CRIMINAL LAW)
Sri Rahmi, Aswanto, Muh.Syukri
Konsentrasi Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Sri Rahmi, S.H. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90216 HP: 085656883232 / 082188344344 Email: [email protected]
![Page 2: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/2.jpg)
2
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan
keadilan restoratif di kota Makassar dan mengetahui upaya-upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dan Jakarta. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi dan wawancara dengan berbagai pihak yang terkait dan diperoleh melalui dokumen, buku, makalah, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan objek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan keadilan restoratif di kota Makassar adalah substansi hukum yang belum mengakomodir pelaksanaan keadilan restoratif secara lengkap, penegak hukum yang belum melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dan masih bersikap kaku, dan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang belum maksimal. Sedangkan upaya-upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal di kota Makassar adalah pembuatan regulasi yang mengakomodir semua ketentuan tentang penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif, sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan masyarakat, koordinasi antar aparat penegak hukum di kota Makassar, dan mengubah paradigma aparat penegak hukum dari pendekatan retributive dan restitutive justice menjadi restorative justice.
Kata Kunci : Keadilan restoratif, sistem peradilan pidana anak, pembaruan hukum. Abstract
The aims of the study were to determin the factors hindering the implementation of restorative justice in
children criminal court system in Makassar and to acknowledge the effort undertaken for law enforcement so that the restorative justice is optimally implemented. The research was conducted in Makassar and Jakarta. Primary data was obtained from an observation and interviews with various related persons, and secondary data was obtained from documents, books, papers, and legislation closely related to the object of the study. The results of the research indicated that the factors hindering the implementation of restorative justice in Makassar city were legal substance which had not accomodated the full implementation of restorative justice, law enforcement officers who had not optimally implemented the existing rules and were unflexible, as well as legal culture/community participation which were still not optimumally implemented. Efforts of law enforcement in order that restorative justice were optimally implemented in Makassar were the establishment of regulations which accomodate all rules of managing ABH through restorative justice approach, socialization among all legal enforcement apparatus and community, coordination among law enforcement apparatus in Makassar city, and changing the legal enforcement apparatus paradigm from retributive and restitutive approach to restorative justice. Keywords : Restorative justice, Children Criminal Justice System, legal innovation.
![Page 3: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/3.jpg)
3
PENDAHULUAN Salah satu bentuk penanganan terhadap ABH diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau
tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan
hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Peraturan ini sesuai dengan Convention of The
Right of The Child yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden No.36 Tahun 1990 dengan menyatakan bahwa proses hukum dilakukan sebagai
langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak. (Marlina, 2009)
Pemidanaan bagi anak merupakan ultimum remedium juga telah diharmonisasikan
dalam UU tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 (Pasal 66 ayat 3 dan 4). Dalam
implementasinya telah juga dipertegas oleh mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan,
dalam tulisannya di Harian Kompas yang mengimbau para hakim agar menghindari
penahanan pada anak dan mengutamakan putusan berupa tindakan daripada pidana penjara.
(Dewi, dkk., 2011)
Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penahanan ABH sebenarnya sudah
berupaya menerapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif. Akan tetapi
kenyataannya, banyak ABH yang melakukan kejahatan ringan kemudian dipenjara seperti
hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan
adalah kasus Raju. Anak berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses
hukum yang menimbulkan trauma. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan
Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumut itu sebenarnya sudah
prosedural, sesuai dengan ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul
berbagai protes dari para pemerhati anak Indonesia.
Kasus pencurian voucher pulsa Rp. 10.000 yang dilakukan oleh anak laki-laki kelas 1
SMP menjalani proses hukum dan dituntut Pasal 362 KUHP dan diancam penjara selama 7
tahun (Fokus Pagi di Indosiar tanggal 29 April 2011 pukul 7.50 WITA). Begitupula dengan
kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh seorang anak yang berinisial AL di Palu
kemudian diproses secara hukum formal dan diperhadapkan di meja hijau.
Dari kasus di atas, ini menunjukkan bahwa masih banyak anak di Indonesia yang
berkonflik dengan hukum dan dihadapkan pada mekanisme peradilan pidana anak. Tentu saja
semua ini butuh perhatian yang serius dari semua pihak karena mengingat anak merupakan
penerus generasi bangsa yang punya masa depan dan harapan untuk meneruskan estafet
kepemimpinan bangsa ini. (Nugraheni, 2009).
![Page 4: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/4.jpg)
4
Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena
yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat Internasional semakin menyadari dan
menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani
permasalahan ABH. Sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan
retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan
atas dasar pemberian ganti rugi) hanya memberikan wewenang kepada Negara yang
didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Restorative Justice
system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan (to restore) perbuatan
kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan
lingkungannya. (Mansyur, 2010)
Demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya Aparat Penegak Hukum
menerapkan pendekatan Restorative Justice/keadilan restoratif sambil menunggu disahkan
RUU Sistem Peradilan Pidana Anak. Sangat dibutuhkan koordinasi antara Aparat Penegak
Hukum agar terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice
System) untuk menyamakan persepsi dalam penanganan ABH. Dibutuhkan kesadaran dari
Aparat Penegak Hukum dalam menerapkan keadilan restoratif lebih menggunakan Moral
Justice (keadilan menurut nurani) dan memperhatikan Sosial Justice (keadilan masyarakat)
selain wajib mempertimbangkan Legal Justice (keadilan berdasarkan perundang-undangan)
sehingga tercapainya Presice Justice (Penghargaan tertinggi untuk keadilan). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat terlaksananya
penerapan keadilan restoratif di kota Makassar dan untuk mengetahui upaya penegak hukum
agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal. (Dewi, dkk., 2011)
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Dalam penyusunan tesis ini, penulis memilih lokasi penelitian di kota Makassar dan
kota Jakarta.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka memperoleh data sebagaimana yang diharapkan, maka penulis
melakukan pengumpulan data dengan 2 cara yakni melalui kepustakaan dan metode penelitian
lapangan. Metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan
untuk mengumpulkan sejumlah data dengan jalan membaca dan menelusuri literatur-literatur
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan metode penelitian lapangan (field
research), yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan dengan pengamatan langsung. Dalam
![Page 5: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/5.jpg)
5
metode ini penulis menempuh dua jalan yaitu Wawancara (penulis mengadakan tanya jawab
dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan masalah yang dibahas) dan dokumentasi,
(penulis mengambil data kenakalan yang dilakukan oleh anak).
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pihak-pihak yang terkait yaitu dalam
hal ini Pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Balai Pemasyarakatan Anak, dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dari populasi tersebut
ditetapkan atau dipilih secara acak. Sampel yang dipilih adalah narasumber yang terdiri atas 2
(dua) orang dari Pihak Kepolisian Kota Makassar, 2 (dua) orang dari Kejaksaan Negeri
Makassar, 2 (dua) orang dari Pengadilan Negeri Makassar, 1 (satu) orang dari Balai
Pemasyarakatan Anak, dan 1 (satu) orang dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data dan sumber data dalam penelitian ini adalah Data primer (data yang
diperoleh secara langsung dari sebuah penelitian lapangan baik berupa wawancara langsung
terhadap narasumber maupun wawancara dengan pihak terkait dalam hal ini Pihak
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Balai Pemasyarakatan Anak di kota Makassar dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta. Data sekunder
(data yang diperoleh melalui kepustakaan yang relevan yaitu literatur, dokumen-dokumen
serta peraturan perundang-undangan).
Analisis Data
Setelah semua data terkumpul baik data primer atau sekunder, selanjutnya akan diolah
dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif untuk lebih mendapatkan gambaran
nyata yang selanjutnya akan disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor yang Menghambat Terlaksananya Penerapan Keadilan Restoratif di Kota
Makassar
Menurut Amir Syamsuddin (Faisal, 2010: 81), terdapat empat fakta yang menandai
kondisi gagalnya proses penegakan hukum di Indonesia: “ Pertama, ketidakmandirian hukum. Kedua, integritas aparat penegak hukum yang buruk. Ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh. Keempat, perumbuhan hukum yang mandek.” Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif
![Page 6: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/6.jpg)
6
atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang menghambat
penerapan keadilan restoratif di kota Makassar adalah sebagai berikut:
Substansi Hukum
Substansi hukum menurut Lawrence M. Friedman (Ali, 2009) mengemukakan bahwa: “Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.”
Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penanganan ABH sebenarnya sudah
berupaya menetapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif. Namun
demikian, meskipun sudah ada berbagai perangkat hukum, dalam kenyataannya tidak cukup
membawa perubahan yang cukup baik bagi anak-anak yang bermasalah dengan hukum.
Kelemahan yang terkandung dalam peraturan-peraturan yang terkait dengan penanganan
ABH itu sendiri, yaitu Undang-Undang Pengadilan Anak juga belum memberikan alternatif
mekanisme penerapan keadilan restoratif (seperti diversi atau mediasi) yang jelas untuk bisa
menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Menurut Makmur (Hakim Anak Pengadilan
Negeri Makassar, wawancara tanggal 6 Februari 2012) bahwa: “Undang-Undang Pengadilan Anak sudah bagus, tetapi kelemahannya yaitu komposisinya yang menempatkan penjatuhan pidana lebih di atas daripada tindakan. Seharusnya penjatuhan tindakan lebih utama daripada penjatuhan pidana. Pidana penjara ditempatkan paling akhir.”
Struktur Hukum
Sebenarnya kelemahan dari peraturan yang ada bisa teratasi apabila ada kepedulian
dan sensitivitas dari aparat penegak hukum dalam penanganan ABH. Hal ini terjadi karena
mereka mempunyai diskresi untuk memberikan alternatif yang lebih baik daripada penjara
untuk melindungi kepentingan masa depan anak. Namun sayangnya, aparat penegak hukum
lebih banyak yang mempunyai paradigma legalistik yang hanya berpedoman pada hukum
tertulis an sich dengan alasan mereka memang dilatih untuk itu. Padahal, hukum sendiri juga
memberikan kelenturan dalam penanganan ABH. (Supeno, 2010).
Kendala yang dihadapi di instansi kepolisian dalam melakukan pendekatan keadilan
restoratif adalah banyaknya para penegak hukum yang masih berparadigma legalistik, kaku,
dan kurangnya pemahaman tentang penanganan ABH. Hal ini diungkapkan oleh Ros Dalima
(Kanit PPA, wawancara tanggal 3 Februari 2012) bahwa: “ Masih adanya kasus-kasus ringan yang diproses secara hukum oleh Kepolisian, dikarenakan kurangnya pemahaman penyidik dan kurangnya sosialisasi terhadap aturan yang ada.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Andi Armasari (Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri
Makassar, wawancara tanggal 7 Februari 2012) bahwa: “ Seharusnya pada tingkat penyidikan dilakukan pendekatan keadilan restoratif agar tidak diteruskan pada tingkat penuntutan. Fakta yang terjadi, penyidik yang kadang menghalangi pihak pelaku dan
![Page 7: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/7.jpg)
7
korban untuk berdamai. Kita bukan ingin merendahkan penyidik, kenyataannya banyak penyidik yang tamatan SMA sehingga dalam memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat sangat minim.”
Kendala yang sama dihadapi juga di tingkat penuntutan. Hal ini dapat terlihat
dari tabel berikut ini:
Tabel 1 Data Penanganan ABH Kejaksaan Negeri Makassar Tahun 2010-2011
Tahun Jumlah Kasus Keadilan Restoratif
(Upaya Damai) Proses Hukum
2010 172 - 172
2011 117 - 117
Total 289 - 289
Sumber: Kejaksaan Negeri Kota Makassar Tahun 2012
Tabel 1 menunjukkan bahwa tahun 2010 dan 2011, penanganan ABH di
tingkat penuntutan tidak melalui pendekatan keadilan restoratif, tetapi semua kasus
anak diproses sesuai prosedur hukum formal. Menurut Andi Armasari (Jaksa
Fungsional Kejaksaan Negeri Makassar, wawancara tanggal 7 Februari 2012)
bahwa: “ Kami dalam melakukan kebijakan, harus sesuai dengan aturan karena akan dilaporkan kepada pimpinan. Apabila sudah disetujui oleh pimpinan, kemudian kami akan lanjutkan. Prosedur menghambat kami untuk melakukan pendekatan keadilan restoratif karena kami harus melaksanakan tugas sesuai aturan yang berlaku.”
Achmad Ali (Faisal,2010), memberikan kritik terhadap penegak hukum
positivist yang mengatakan: “Dewasa ini cara berhukum bangsa ini sangat memprihatinkan, karena akibat penggunaan kacamata positivistik yang kaku dalam menginterpretasikan berbagai undang-undang, maka berbagai kebijakan penegak hukum maupun putusan hakim gagal untuk menghasilkan suatu keadilan yang substansial, melainkan hanya sekadar keadilan yang prosedural.” Pernyataan tersebut hendak mengatakan bahwa penerapan positivisme
hukum dalam praktik lebih mengutamakan prosedur atau hukum acara, maka tidak
heran akan menghasilkan keadilan prosedural yang belum tentu merefleksikan
keadilan yang substansial.
Kultur Hukum/Partisipasi Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
di dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat memengaruhi penegakan hukum tersebut.
![Page 8: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/8.jpg)
8
(Soekanto, 2005). Salah satu kendala terhambatnya penerapan keadilan restoratif di kota
Makassar adalah paradigma masyarakat yang masih beranggapan bahwa setiap tindak
kejahatan yang dilakukan harus ada balasannya (retributif justice). Sehingga jika ada anak
yang melakukan perilaku menyimpang, harus dilaporkan ke pihak kepolisian untuk
dilanjutkan ke proses persidangan.
Kendala yang dihadapi oleh kepolisian dalam melakukan pendekatan keadilan
restoratif adalah dari pihak korban yang tidak ingin memaafkan pihak pelaku karena adanya
kerugian besar yang dialami oleh pihak korban. Hal ini diungkapkan oleh Ros Dalima (Kanit
PPA, wawancara tanggal 3 Februari 2012) bahwa: “ Kendala yang dihadapi adalah pihak orang tua korban yang keberatan dan masih ngotot untuk lanjut ke proses hukum dan pihak orang tua korban berpikir bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan harus dihukum.” Paradigma negatif masyarakat terhadap penegak hukum juga mempunyai pengaruh
besar terhadap penerapan keadilan restoratif. Hal ini diungkapkan oleh Wahyudi (Penyidik
Pembantu PPA, wawancara tanggal 3 Februari 2012) bahwa: “ Ketika mereka didamaikan, masyarakat beranggapan bahwa penyidik membela dan dibayar oleh pihak pelaku sehingga pelaku tidak diproses. Padahal kami melakukan upaya damai untuk kepentingan terbaik bagi anak. Penyidik harus hati-hati dalam proses mediasi karena pihak korban beranggapan bahwa kami memihak ke pelaku.”
Upaya Penegak Hukum agar Penerapan Keadilan Restoratif Berjalan Secara Optimal
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita
yang cukup abstrak menjadi tujuan hukum secara konkrit. Tujuan hukum atau cita hukum
memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. (Sukanegara, 2007). Adapun upaya-
upaya yang harus dilakukan agar penerapan keadilan restoratif dapat berjalan secara optimal
adalah sebagai berikut: a. Regulasi, yaitu dengan membentuk peraturan yang mengakomodir
tentang keadilan restoratif; b. Melakukan sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan
masyarakat; c. Melakukan koordinasi dan kerja sama antara aparat penegak hukum (polisi,
jaksa, dan hakim), advokat, petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS), petugas Rumah
Tahanan (RUTAN), Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian
Kesehatan, dan kementerian lainnya yang terkait dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum. Koordinasi dan kerja sama tersebut, selain untuk penyamaan persepsi juga
untuk penyelarasan gerak langkah.; d. Perubahan paradigma, Untuk menerapkan keadilan
restoratif di kota Makassar khususnya dan di Indonesia pada umumnya, peranan masyarakat
sangat penting. Mengubah paradigma masyarakat dari paradigma bahwa setiap orang yang
melakukan kejahatan harus dihukum menjadi paradigma bahwa setiap orang yang melakukan
![Page 9: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/9.jpg)
9
kejahatan harus diselesaikan dulu melalui musyawarah dan perdamaian. Selain itu, perlu juga
mengubah paradigma penegak hukum agar berparadigma progresif karena perilaku penegak
hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai
penggerak, pendorong sekaligus pengendali paradigma pembebasan itu. Dengan begitu,
paradigma hukum progresif bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya, akan
membuat perilaku penegak hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan
format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya. (Sudirman, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan keadilan restoratif di kota
Makassar adalah substansi hukum yang belum mengakomodir pelaksanaan keadilan restoratif
secara lengkap, penegak hukum yang belum melaksanakan secara optimal peraturan yang
sudah ada dan masih bersikap kaku, dan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang belum
maksimal. Upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal
di kota Makassar adalah pembuatan regulasi yang mengakomodir semua ketentuan tentang
penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif, sosialisasi ke semua aparat penegak
hukum dan masyarakat, koordinasi antar aparat penegak hukum di kota Makassar, dan
mengubah paradigma aparat penegak hukum dari pendekatan retributive dan restitutive
justice menjadi restorative justice. Oleh karena itu, perlunya diupayakan agar aparat penegak
hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi juga mengacu pada instrumen nasional dan
internasional serta Surat Keputusan Bersama. Kepada aparat penegak hukum yang menangani
masalah anak hendaknya mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal. Mediasi
dalam perkara anak perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas. Diperlukan peningkatan
sumber daya manusia aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH melalui
sosialisasi, pendidikan dan pelatihan khusus agar mereka dapat memahami wujud dari peradilan
anak dan hak-hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang Pengadilan Anak sehingga hak-
hak anak pelaku tindak pidana dapat dilindungi dan ditegakkan. Diperlukan pemisahan
registrasi berkas perkara anak di instansi kepolisian dan kejaksaan. Perlunya pengadaan ruang
tahanan khusus anak dan ruang sidang anak serta jaksa yang bersertifikasi khusus menangani
masalah anak.
![Page 10: Jurnal Hukum](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100601/55721369497959fc0b923f62/html5/thumbnails/10.jpg)
10
DAFTAR PUSTAKA
Ali. ( 2009). Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group. Dewi dkk., (2011). Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di
Indonesia. Depok: Indie Publishing. Faisal. (2010). Menerobos Positivisme Hukum. Yogyakarta: Mata Padi Presindo. Mansyur. (2010). Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT. Jakarta: Yayasan Gema Yustisia
Indonesia. Marlina. (2009). Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice). Bandung: PT. Refika Aditama. Nugraheni. (2009). Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana. Semarang: Undip. Soekanto. (2005). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. Sudirman. (2007). Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Sukanegara. (2007). Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem
Pemidanaan di Indonesia. Semarang: Universitas diponegoro. Supeno. (2010). Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.