jurnal

14
PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL BANGSAWAN MAKASSAR DESA CIKOANG KABUPATEN TAKALAR CHANGES IN THE PHYSICAL APPERANCE OF TRADITIONAL  ARISTOCRITIC HOUSE IN MAKASSAR  Mayyadah Syuaib, S lamet Trisutomo, Ria Wikantari  Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Ma kassar Alamat Korespondensi:  Mayyadah Syuaib Sungguminasa  HP: 081 355 36 9 777  Email: mayziadah00@yaho o.co.id

Upload: glenjack-glen

Post on 13-Oct-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL BANGSAWAN MAKASSAR DESA CIKOANG KABUPATEN TAKALAR

CHANGES IN THE PHYSICAL APPERANCE OF TRADITIONAL ARISTOCRITIC HOUSE IN MAKASSAR

Mayyadah Syuaib, Slamet Trisutomo, Ria WikantariJurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar

Alamat Korespondensi:Mayyadah SyuaibSungguminasaHP: 081 355 369 777Email: [email protected]

AbstrakPenelitian ini bertujuan Merumuskan aturan adat tradisi rumah tradisional bangsawan Cikoang berdasarkan penjelasan panrita balla serta memverifikasi mengenai perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Makassar, di Desa Cikoang Takalar. Jenis penelitian ini kualitatif , untuk mengetahui aturan tradisi membangun rumah tradisional khususnya kaum bangsawan dilakukan wawancara dengan 2 panrita balla yang senantiasa dipercayakan dalam membangun rumah bangsawan yakni daeng Buang dan daeng Maling sebagai informan/narasumber. Untuk mengetahui perubahannya eksisting rumah tradisional bangsawan Makassar di desa Cikoang saat ini dibandingkan dengan penjelasan dari panrita balla setempat mengenai aturan tradisi membangun rumah tradisional bangsawan Cikoang. Hasil penelitian menunjukkan desa Cikoang memiliki aturan adat tradisi tersendiri dalam membangun rumahnya yang memiliki perbedaan dengan suku Makassar di daerah lainnya. Antara lain; a). Ukuran atap dan badan rumah, b). Bentuk sambulayang, c).Jumlah dan posisi perletakan benteng tangnga d). Pola ruang tamu e).Cara mengukur tinggi siring, f). Cara pemasangan pasu (cacat kayu). Terjadi perubahan pada wujud fisik rumah tradisional bangsawan (masyarakat strata teratas) di Desa Cikoang Takalar terhadap aturan adat tradisi membangun rumah tradisionalnya.

Kata kunci: wujud fisik, sayyid, rumah tradisionalAbstract The aims of research were to formulate the rules of costumary aristocratic tradition traditional hose base on the explanation of panrita balla of Cikoang, to asses changes in the physical appearance of traditional aristocratic house and the factors that influence it, and to know the rules of the tradition of building traditional house of the nobles in particular. Interview was conducted with 2 panrita balla who believed in building a manor houses namely daeng buang dan daeng maling as a resource person. To determine change of existing village traditional house of nobleman Cikoang, compared to the explanation of the rules panrita balla of local building tradition, and traditional aristocratic house of Cikoang. The result of the research indicated that Cikoang village has it own custom rules in building houses,s distinctif to others Makassar tribes in other regions. That distinction are; the size of the roof and the body of the house, sambulayang shape, number and position of benteng tangnga, the pattern of the living room, how to measure the hight of siring, wood decay. A change in the physical appearance of a traditional house in the village of nobleman cikoang is againstthe rules of traditional house building customs.

Keywords: Physical appearance, tradisional house, Sayyid

PENDAHULUANMenurut Mabaco (2012) tantangan berupa pergeseran gaya hidup, pengaruh politik serta agama sangat berdampak pada degradasi identitas dalam nilai-nilai kearifan lokal dan pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Harimu (2003) bahwa arsitektur tradisional yang memiliki unsur identitas budaya akan segera punah, akibat dari perubahan nilai-nilai tradisional. Maka dikhawatiran hal tersebut akan membawa sejumlah perubahan, perubahan yang dapat berdampak pada terpinggirkannya kearifan lokal pada wujud fisik kebudayaan yakni karya arsitektur.Arsitektur tradisional tidaklah lahir begitu saja, namun syarat dengan philosophi- philosophi antara lain, konsistensi hidup mereka terhadap nilai-nilai tradisi, dan bersandar kepada kepercayaan yang dianut (Idawari, 2011). Rumah tradisional di Indonesia seringkali dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya demikian pula halnya dengan rumah tradisional Makassar. Desa Cikoang dihuni oleh penduduk asli suku Makassar dimana sistem pelapisan sosial masih sangat kental di dalamnya. Kebangsawanan masyarakat Cikoang merupakan keturunan dari Kerajaan Laikang. Sesuai dengan ungkapan Wardani (2007) bahwa Perubahan sosial disebabkan oleh ada-nya pemikiran baru yang mendobrak pemikiran lama dan menyebabkan penyesuaian disegala bidang kehidupan, masuknya agama Islam yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin pada tahun 1962 memunculkan pelapisan sosial baru yakni golongan sayyid (Saransi, 2003) yang kemudian hingga saat ini masyarakat Cikoang mengenal tiga stata sosial yakni, sayyid yang juga Karaeng, sayyid yang berasal dari masyarakat biasa dan golongan umum. Aturan adat tradisi dalam membangun rumah tradisional desa Cikoang pun pada akhirnya mengikuti perubahan tingkatan strata sosial dimana hal ini memberi ciri khas tersendiri yang berbeda dengan aturan membangun rumah tradisional suku Makassar pada umumnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui aturan adat tradisi membangun rumah tradisional desa cikoang dan mengetahui perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Cikoang serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

BAHAN DAN METODELokasi, Desain Penelitian, Populasi dan Studi KasusMerupakan penelitian kualitatif naturalistik, berlokasi di permukiman Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Studi kasus ditentukan secara purposive, dari tabulasi rumah tradisional bangsawan Cikoang, karena seluruh bangsawan merupakan keturunan sayyid maka dipilih berdasar pada rumah bangsawan yang masih mengaplikasi bentuk rumah tradisional (elevated house). Kemudian ditentukan beberapa faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Cikoang antara lain faktor budaya, sosial, ekonomi, lingkungan, kemajuan teknologi serta faktor fungsi/pemanfaatan, sesuai dengan ungkapan Hasan (2002) bahwa salah satu faktor penting pewujud bentuk dalam arsitektur adalah fungsi. Teknik dan Alat Pengumpulan DataStudi kepustakaan yang relevan dengan topik penelitian bersumber dari kantor desa, kecamatan, lontara dan lain-lain. Obsevasi lapangan, membuat dokumentasi dalam bentuk foto. Teknik wawancara, dari nara sumber tokoh-tokoh masyarakat, kelurahan, ahli bangunan (panrita balla), dan pemilik rumah.Teknik Analisis DataDiawali wawancara dengan 2 panrita balla yang senantiasa dipercayakan dalam membangun rumah bangsawan sebagai narasumber untuk merumuskan aturan adat tradisi membangun rumah tradisional khususnya kaum bangsawan. Setelah mengetahui aturan adat tradisi membangun rumah tradisional bangsawan digunakan teknik analisis komparatif membandingkan antara eksisting rumah tradisional bangsawan Makassar di desa Cikoang saat ini dengan penjelasan dari panrita balla setempat mengenai aturan adat tradisi membangun rumah tradisional bangsawan Cikoang untuk mengetahui perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Cikoang. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan wujud fisik pada rumah tradisional bangsawan digunakan teknik analisis deskriptif berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik rumah. Kemudian melalui teknik komparatif membandingkan elemen-elemen wujud fisik yang paling cenderung berubah dan yang tidak, kemudian faktor non fisik yang paling kuat dan yang tidak kuat mempengaruhi perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan Cikoang.

HASILAturan Adat Tradisi Membangun Rumah tradisional bangsawan Cikoang Pammakkang (atap rumah)Aturan mengenai bentuk atap rumah tradisional Cikoang adalah berbentuk segitiga sama kaki atau pelana (tabel 1a), pannimbong (tinggi atap) diukur berdasarkan: setengah lebar badan rumah dibagi 2 ditambah ukuran sisingkulu dan silama jojo (ukuran kepala keluarga) (tabel 1b). Jenis pakkakasa padongko (material atap) menggunakan daun lontar, juga sebagai penutup sambulayang (singkap atap) dan penutup atap tangga (tabel 1c), material plafond (pammakkang) berupa kayu yang berbentuk papan seperti lantai rumah (tabel 1d). Sambulayang berbentuk polos (tanpa singkap) diperuntukkan bagi keturunan karaeng yang juga seorang sayyid (daun Lontar dipasang tidak bertrap). tappi atau ornamen pada atap yang diperuntukkan bagi golongan bangsawan adalah berbentuk sulur. (tabel 2a)Badan Rumah (kale balla)Bentuk dan MaterialFilosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut sulapa appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan angin (tato, 2008) sejalan dengan teori tersebut aturan adat tradisi membangun rumah tradisional Cikoang juga mengacu pada prinsip sulapa appa yang membagi badan rumah secara horizontal menjadi 3 padaserang demikian juga dengan bentuk jendela yang berbentuk persegi dengan 2 penutup jendela (jendela dua sayap). Dalam menentukan panjang rumah berdasar pada ukuran suami yakni: meyesuaikan panjang kayu ditambah seukuran sirappa (tabel 2b) + silama Jojo (sejengkal telunjuk) + silama lompo (Sejengkal kelingking) . Material dinding menggunakan bahan kayu, baik itu untuk lantai dan dinding luar, dinding dalam menggunakan tirai disebut Conrong. Pola Tata Ruan,g Jumlah dan ukuran Benteng tangnga, terdiri atas dua yakni benteng tangga burane sebagai benteng tangnga laki-laki selaku kepala keluarga dan benteng tangnga baine sebagai benteng tangnga perempuan (tabel 2c). Perletakan benteng tangnga terletak pada urutan kedua dari samping dan urutan kedua dari depan (tabel 2d). Benteng tangnga diikuti letak pintu, jika pintu diletakkan disebelah kanan maka benteng tangnga diletakkan disebelah kiri dan begitupun sebaliknya (tabel 3a). Pola ruang tamu semakin ke depan semakin luas . mengambil area 2 lasa atau 3 tiang (tabel 3b). Menggunakan jambang Tulusu dengan ketinggian lantai yang berbeda dengan ruang-ruang utama di dalam rumah (tabel 3c), kelengkapan ruang dan bangunan yang terdapat pada rumah bangsawan antara lain, jambang, pappaluang, paladang dan balla kambara (tabel 3d), paladang (tabel 4a), pappaluang (tabel 4b). Cara pemasangan pasu (cacat kayu) mengarah kesamping tidak boleh mengarah ke luar atau ke dalam karena seringkali disebut sebagai pasu tau mate dan Panjang Pasu tidak boleh melewati lebar tiang (tabel 4c), tradisi membangun rumah tradisional Cikoang tidak menyarankan memotong tiang didalam rumah (tabel 4d).Daun jendela berjumlah dua (jendela dua sayap) dan Jumlah teralis selalu berjumlah ganjil (tabel 5a), angka genap selalu disebut sebagai angka kematian.Siring (kolong rumah)Bentuk, Material, Tata Letak, Jumlah dan ukuran Jenis tangga atau dalam bahasa Makassar di sebut tukak, menggunakan tukak sapana (gambar 4a). Bahan bangunan untuk tangga keseluruhan berupa bambu, baik itu tiang tangga, pegangan tangga dan anak tangga, sedangkan bahan untuk penyangga tiang menggunakan batu. Jenis batu dapat berupa apa saja asalkan bentuknya memenuhi untuk menopang tiang rumah. Posisi perletakan tangga terletak dibagian depan rumah menghadap searah orientasi badan rumah (attonrang) (gambar 4b). Jumlah anrong tukak (tiang utama) sebanyak tallu anrong (tiga) dan jumlah baringang (anak tangga) harus berjumlah ganjil 11-13 anak tangga (gambar 4c). Tinggi siring setinggi kuda bersama penunggangnya ditambah ukuran sepanjang siku pemilik rumah (gambar 5d).Berdasarkan penjelasan panrita balla maka wujud rumah berdasarkan aturan adat tradisi membangun rumah tradisional bangsawan dapat dilihat pada (gambar 1,2 dan 3). Analisis perubahan dan faktor pengaruh Analisis Perubahan pada pamakkangDari 8 kasus terdapat hanya 2 rumah yang masih menggunakan bentuk atap pelana (segitiga sama kaki), dan 6 rumah lainnya menggunakan bentuk atap safari atau yang mereka sebut model Bugis. Dari segi ketinggian atap tidak satupun rumah yang tinggi atapnya sesuai dengan aturan tradisi. Jenis material yang digunakan pada 8 kasus adalah seng sebagai penutup atap serta bahan kayu jati untuk penutup sambulayang. Untuk material plafond, dari 8 kasus hanya terdapat 2 rumah yang masih menggunakan bahan kayu, 1 rumah menggunakan bahan kain, serta 1 rumah menggunakan bahan gypsum, lainnya menggunakan bahan tripleks.. Perubahan dalam bentuk sambulayang terjadi pada seluruh kasus hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya. Dari 8 kasus terdapat 3 jenis tappi yang masih mengikuti aturan tradisi, 3 lainnya rumah memakai bentuk polos persegi ada yang memakai ukiran bulan dan bintang ada yang tidak, 3 rumah memakai ornamen yang diadaptasi dari bentuk tanduk, Perubahan dalam pemilihan tappi dipengaruhi faktor budaya.Analisis Perubahan pada kale ballaBentuk Denah dan jendelaDari 8 Kasus masih terdapat 7 rumah yang membagi rumahnya atas 3 padaserang dan 1 lainnya hanya membagi atas 2 padaserang, perubahan ini faktor budaya dan faktor sosial. Dari 8 kasus hanya 2 rumah yang memiliki bentuk jendela sesuai dengan aturan tradisi, perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya serta kemajuan teknologi menjadikan beragamnya pilihan bentuk.Pakkakasa Balla (material)Untuk material dinding luar dari 8 kasus 6 rumah masih menggunakan bahan kayu pada bagian depan saja, bagian samping dan belakang menggunakan bahan seng, 2 rumah lainnya masih menggunakan bahan kayu pada seluruh dinding luar rumah. Dinding dalam didominasi penggunaan tripleks meskipun masih ada 1 rumah yang menggunakan conrong pada ruang istirahat. Perubahan dalam pemilihan material dinding dipengaruhi oleh faktor lingkungan (iklim) dan kemajuan teknologi. Tidak terjadi perubahan dalam pemilihan material lantai hanya terjadi penambahan ornamen berupa karpet pada 5 rumah dari 8 kasus hal tersebut dipengaruhi oleh faktor budaya dan faktor ekonomi. Untuk jenis material pintu seluruh rumah masih menggunakan bahan kayu meskipun ada yang memadukan dengan bahan kaca, dan untuk jendela hampir seluruh rumah menggunakan jendela bahan kaca, baik itu kaca nako maupun kaca mati terutama pada bagian depan rumah. Tersisa 1 rumah yang masih menggunakan bahan kayu mulai dari pentutup jendela, kusen dan terali terletak pada bagian samping rumah. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan kemajuan teknologi. Pola tata ruangAnalisis Jumlah benteng tangnga dan tampa toanang (ruang tamu)Dari 8 kasus 7 diantaranya masih mengikuti aturan tradisi, 1 rumah lainnya hanya memiliki satu benteng tangnga, perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya yang erat kaitannya dengan unsur-unsur kepercayaan yang diyakini pemilik rumah. Aturan mengenai ruang tamu yang seluas 2 lasa (3 tiang rumah) masih diikuti oleh seluruh kasus. Tidak terjadi perubahan, seluruh kasus masih mengikuti aturan tradisi, karena masih melekatnya nilai-nilai kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat di desa ini.Analisis Perletakan benteng tangnga terhadap posisi tiang dan posisi pintuEnam rumah dari 8 kasus masih mengikuti aturan tradisi dan 2 diantaranya tidak meletakkan benteng tangnga pada posisi semestinya, perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya. Jika dikaitkan dengan posisi pintu perletakan posisi benteng tangnga terhadap posisi pintu tidak terjadi perubahan. Analisis Ketersediaan jambang, tamping, dan kelengkapan ruangDari 8 kasus hanya 2 rumah, yang menyediakan tamping, tidak satupun rumah menyediakan jambang , perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya. 3 dari 8 kasus memiliki balla kambara yang dibangun beberapa tahun setelah rumah utama dibangun, perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya. Analisis Perubahan pada SiringAnalisis Bentuk tukak (tangga) Dari 8 kasus hanya 2 rumah yang bentuk tangganya sesuai aturan tradisi, 6 yang lainnya memiliki bentuk tangga yang menyamai strata dibawahnya. 5 dari 8 kasus yang memiliki pegangan tangga dan 1 rumah dengan bentuk tangga modern. Perubahan yang terjadi dalam pemilihan bentuk tangga ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor budaya. Analisis Pakkakasa tukak (material) dan Tata letak tukak (tata letak tangga)Tujuh dari 8 kasus menggunakan bahan kayu dan 1 rumah menggunakan bahan beton. Perubahan dalam pemilihan material tangga ini dipengaruhi oleh faktor budaya, kemajuan teknologi, dan faktor lingkungan (iklim).Dalam perletakan orientasi tangga tidak ada perubahan, seluruh rumah masih mengikuti aturan tradisi yakni searah orientasi rumah yang menyesuaikan fungsi tangga sebagai jalur sirkulasi untuk masuk ke dalam rumah.Analisis Jumlah dan ukuran tukak dan tinggi siring (kolong rumah) Dua dari 8 rumah memakai 3 tiang utama pada tangga dan untuk anak tangga seluruh rumah memiliki anak tangga berjumlah ganjil yakni 11-13 anak tangga, terdapat 1 rumah dengan jumlah anak tangga 7 baringang. Tidak terjadi perubahan dalam aplikasi jumlah anak tangga. Melihat kondisi eksisting pada tinggi siring seluruh kasus tidak satupun tinggi rumah yang sesuai dengan aturan tradisi, tinggi rata-rata siring berkisar 170-220 cm. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya kemajuan teknologi dan faktor fungsi/pemanfaatan.

PEMBAHASANBerdasarkan pada analisis diatas disimpulkan bahwa faktor yang paling kuat mempengaruhi perubahan pada rumah tradisional bangsawan desa Cikoang adalah faktor budaya. Faktor budaya terdiri atas beberapa bagian yaitu: religi, struktur keluarga, persepsi/selera pemilik rumah dan gaya hidup, dari semua hal tersebut persepsi/selera pemilik rumah merupakan alasan yang paling dominan mempengaruhi perubahan, terutama pada bentuk atap, tinggi atap, ornamen pada bubungan atap, dan tinggi kolong rumah. Selain itu perubahan gaya hidup yang merupakan bagian dari faktor budaya juga cukup berpengaruh, seperti tidak tersedianya jambang pada seluruh objek penelitian yang diganti dengan ruang makan tamu, hal ini mengikuti terjadinya perubahan gaya hidup pemilik rumah dalam menerima tamu. Selain faktor budaya, kemajuan teknologi dan faktor lingkungan (iklim) adalah hal yang cukup berpengaruh terhadap pemilihan material. Faktor yang memiliki pengaruh paling sedikit dalam perubahan wujud fisik rumah tradisional bangsawan di desa Cikoang adalah faktor sosial. Dari ketiga variabel yakni pammakkang (atap), kale balla (badan rumah), siring (kolong rumah), elemen wujud fisik yang paling cenderung berubah adalah pada pammakkang (atap), perubahan terjadi pada semua elemen pamakkang yakni pada bentuk, pannimbong (tinggi atap), material, jumlah sambulayang sampai pada bentuk ornamen. Hasil penelitian Harimu (2003) mengenai rumah tradisional minahasa di desa Tonsealama (Kota Tondano) dan di desa Rurukan (Kota Tomohon) yang dibangun tahun 1897-1945 menunjukkan perubahan terbesar adalah sesudah tahun 1900, pada pola ruang dan fungsi ruang, kemudian perubahan material dan konstruksi. Faktor faktor yang mempengaruhi perubahan fisik konstruksi rumah tradisonal Minahasa adalah faktor status kepemilikan rumah dan lahan, serta faktor ekonomi penghuninya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang dan pola ruang dalam rumah adalah faktor kebutuhan ruang dan faktor kemajuan teknologi. Dalam penelitian Umar (2003). Karakteristik rumah tradisional Makassar secara horizontal berbentuk segi empat (sulapa appa), terdiri dari ruang depan (padaserang ri olo), ruang tengah (padaserang ri tangga), ruang belakang (padaserang ri boko), ruang penunjang terdiri dari, tamping, paladang dan appaluang. Secara vertikal berupa rumah panggung terdiri dari kolong rumah (siring), badan rumah (kale balla), dan loteng (pamakkang). Perbedaan bentuk menurut stratifikasi sosial dapat dilihat pada jumlah formasi tiang, besarnya rumah, penggunaan dapur, penggunaan tamping pada kedua sisi bangunan, jumlah anak tangga dan penutup tangga, jumlah terali jendela, daun jendela, susunan timba sila, penggunaan hiasan atap, dan penggunaan atap kembar (balla kambara). Keberadaan bentuk rumah tradisional Makassar berdasarkan strata tidak lepas dari keberadaan sistem pemerintahan kerajaan sebagai sebagai peletak dasar stratifikasi sosial dalam masyarakat suku Makassar.

KESIMPULAN DAN SARANDesa Cikoang memiliki aturan adat tradisi tersendiri dalam membangun rumahnya yang memiliki perbedaan dengan suku Makassar di daerah lainnya yaitu; a). Ukuran atap dan badan rumah, b). Bentuk sambulayang, c).Jumlah dan posisi perletakan benteng tangnga d). Pola ruang tamu e).Cara menukur tinggi siring, f). Cara pemasangan pasu (cacat kayu). Terjadi perubahan pada wujud fisik rumah tradisional bangsawan (karaeng) di Desa Cikoang Takalar terhadap aturan adat tradisi membangun rumah tradisionalnya. Dari seluruh populasi rumah bangsawan di desa Cikoang 8 diantaranya terjadi perubahan pada beberapa bagian elemen-elemennya, dan 10 diantaranya berubah menjadi rumah dalam bentuk modern. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pada wujud fisik rumah tradisional bangsawan adalah faktor budaya, kemajuan teknologi, faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor fungsi/pemanfaatan dan faktor sosial. Dari ketiga variabel yakni pammakkang (atap), kale balla (badan rumah), siring (kolong rumah), elemen-elemen wujud fisik yang paling cenderung berubah adalah pada pammakkang (atap); perubahan terjadi pada semua elemen pamakkang yakni pada bentuk, pannimbong (tinggi atap), material, jumlah sambulayang sampai pada bentuk ornamen. Faktor yang paling kuat mempengaruhi perubahan pada rumah tradisional bangsawan desa Cikoang adalah faktor budaya yakni persepsi/selera pemilik rumah dan gaya hidup.

Analisis Perletakan benteng tangnga terhadap posisi tiang dan posisi pintuEnam rumah dari 8 kasus masih mengikuti aturan tradisi dan 2 diantaranya tidak meletakkan benteng tangnga pada posisi semestinya, perubahan ini dipengaruhi oleh faktor budaya. Masyarakat Cikoang menganggap benteng tangnga diibaratkan sebagai jantungnya rumah maka posisi benteng tangnga tidak boleh sebaris dengan posisi pintu, hal ini dipercaya untuk mencegah hal buruk yang masuk melalui pintu tidak langsung mengena benteng tangnga. Kepercayaan ini masih diyakini oleh seluruh pemilik rumah dari seluruh kasus. Maka dalam hal perletakan posisi benteng tangnga terhadap pintu tidak terjadi perubahan.

Untuk strata bangsawan/karaeng mengukur tinggi siring (kolong rumah) diukur setinggi dengan ukuran kuda dengan penunggangnya ditambah ukuran sisingkulu kepala keluarga, dimana pada jaman dulu kuda merupakan alat transportasi yang ditempatkan di kolong rumah, sehingga tinggi siring diupayakan dapat dimasuki langsung kuda beserta penunggangnya setelah bepergian

Variabel PenelitianBentuk polos atau tanpa singkap merupakan bentuk yang memiliki nilai yang paling tinggi, yang hanya bisa diaplikasikan pada rumah karaeng yang juga keturunan sayyid, menurut mereka jika atap rumah menggunakan sambulayang maka derajatnya dapat diukur misalnya, 7 sambulayang untuk raja, 5 sambulayang untuk anak raja dan 4 sambulayang untuk karaeng yang menduduki jabatan, sedangkan kaum sayyid yang merupakan keturunan Nabi Muhammad merupakan golongan tertinggi yang tidak dapat diukur derajatnya, terlebih jika didukung dengan status sebagai keturunan karaeng

Berikutnya adalah menentukan ukuran rumah, dalam menentukan ukuran rumah tradisional pengukurannya menggunakan anggota tubuh pemilik rumah baik itu istri maupun suami