jurnal 11 - murni naiborhu1

Upload: deydi

Post on 26-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    1/10

    J-DA | 79

    PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI LUHUR PANCASILA MELALUI PENDIDIKAN

    KEWARGANEGARAAN

    Oleh :

    Dra. Murni Naiborhu, M.SiDosen FKIP Darma Agung Medan

    ABSTRACT

    Writing this paper aims to determine how institutionalized the noble values of

    Pancasila through civic education. Writing method using library research. From the

    results of the discussion can be concluded that the values of Pancasila acculturation

    among young citizens can now be done through the educational process. Proper education

    is the education of Pancasila which can be done by Citizenship Education.

    However, since the charge material Pancasila in Civics yet cover the whole of

    Pancasila as the basic competencies and idologi nations, the Pancasila as appropriate by

    education subjects / courses devoted to Pancasila in learning right through subjects /courses in special education Pancasila.

    Keywords: Pancasila and citizenship education

    I. Pendahuluan

    1.1. Latar Belakang

    Pancasila sebagaimana ditetapkanPPKI sebagai Dasar Negara RepublikIndonesia pada 18 Agustus 1945 paling

    tidak memiliki dua fungsi yaitu pertamasebagai simbol yang mengukuhkan

    pendirian negara modern Indonesia yangmerdeka. Ia menjadi tanda kesepakatan

    pendirian republik modern dimana didalamnya bernaung berbagai kelompok,suku agama, dan wilayah. Di siniPancasila bersifat pragmatis dalam arti iasengaja dipilih untuk menjamin suatukesatuan dan integrasi politik yang

    bernama Republik Indonesia. Kedudukanini secara mencolok nampak dalam

    penetapan kembali sila-sila Pancasila kedalam Pembukaan UUD 1945. Artinya,Pancasila harus dilihat sebagai visi

    bersama bagi pencapaian-pencapaiantujuan negara yang diperjuangkan.

    Yang kedua, Pancasila jugadikukuhkan sebagai wawasan politik atauideologi negara. Posisi semacam ini tak

    pelak menjadikan Pancasila sebagai arenayang terbuka terhadap pemaknaan politik.Pemaknaan terhadap Pancasila terus

    berkembang dan berubah sesuai dengankonteks historis pada suatu masa tertentu.Pada masa demokrasi parlementer(liberal) misalnya, Pancasila merupakanrujukan bagi pelaksanaan praktik sistem

    pemerintahan liberal. Pada masademokrasi terpimpin, Pancasilamerupakan landasan bagi praktek politiknasakom, ekonomi termpimpin dandemokrasi terpimpin. Sedangkan padamasa Orde Baru, Pancasila dimaknaisebagai dasar bagi pembangunan ekonomidan stabilitas politik yang antikomunissekaligus juga antilberal. ArtinyaPancasila merupakan musuh utama dari

    paham/aliran komunisme dan liberaldalam pengertian politik, sementara padamasa demokrasi terpimpin, Pancasilaadalah pengayom bagi semua pemikirandan ideologi termasuk agama,nasionalisme dan komunisme.

    Selama masa Indonesia merdeka,Pancasila merupakan empty signifier,

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    2/10

    J-DA | 80

    penanda tanpa petanda, signified tanpasignifier. Artinya, Pancasila terus menerusdimaknai, tanpa adanya pemaknaan yangtetap dan abadi (fixed). Pancasila

    merupakan empty signifierbagi kontestasipemaknaan dan simbolisasi dalampartikularitas suatu rentang waktu. Tiapkekuasaan pada suatu waktu,menggunakan kekuasaannya untukmemaknai Pancasila, dan menjadikannyadiskursus hegemonik. Seiring runtuhnyakekuasaan suatu rezim, runtuh pulalahsistem pemaknaan dan simbolisasiterhadap Pancasila, diisi dengan

    pemaknaan baru, dan diskursushegemonik baru, menggantikan yang

    sebelumnya, dan terus menerus.Sebagai dasar negara, Pancasila

    yang digali dari budaya dan pengalamankehidupan masyarakat Indonesia didesainsebagai rujukan bagi para penyelenggaranegara dan segenap warga negara dalammelaksanakan aktivitas kehidupannyadalam berbagai bidang dan aspeknya.

    Namun realitas menunjukkan pemaknaannilai-nilai Pancasila semakin jauh dimilikioleh setiap warga negara. Dalam pidato

    politik berkaitan dengan peringatan HariLahir Pancasila 1 Juni Tahun 2006 yanglalu, Presiden Susilo BambangYudhoyono mensinyalir adanyakeengganan bangsa kita untuk berbicaratentang Pancasila, seperti penegasan

    berikut: .Kita merasakan, dalamdelapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasiyang berlangsung di negara kita,terkadang kita kurang berani, kitamenahan diri, untuk mengucapkan kata-

    kata semacam Pancasila, UUD 1945,NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, WawasanKebangsaan, Kebangsaan, Stabilitas,Pembangunan, Kemajemukan, dan lain-lain, karena bisa dianggap tidak sejalandengan gerak reformasi dandemokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidakreformis (Yudhoyono, 2006:xv)

    Apa yang disinyalir oleh PresidenSBY sebagaimana diutarakan di atas,tentu bukan tanpa argumentasi. Betapatidak, tatkala euforia reformasi melanda

    negeri kita, juga diiringi denganperubahan lingkungan strategis nasional,regional, maupun global yang terjadidalam eskalasi yang cepat, ternyata tidakdiikuti dengan penyikapan secara

    proporsional oleh segenap warga negaradalam memandang keberhasilan reformasitersebut. Sikap dan perilaku tidak

    proporsional tersebut antara lainterejawantahkan melalui tuntutankebebasan yang tak terbatas. Secaraakumulatif, sikap dan tindakan

    aproporsional itu ternyata telah mampumenggerus rasa kebangsaan, pahamkebangsaan, dan semangat kebangsaan,yang berujung pada keengganankomponen bangsa kita; pelajar,mahasiswa, generasi muda, pengusaha,tak terkecuali kalangan aparatur

    pemerintah sendiri, untuk membicarakanPancasila.

    Apa penyebab tindakanaproporsional tersebut? Menurut Somantri(2006) Pancasila mempunyai stigmakarena sepak terjang rezim otoriter OrdeLama maupun Orde Baru. Orde Lamamenggiring Pancasila pada ortodoksiideologis Manipol-Usdek bahkan konsepsisimplistik Nasakom. Sementara OrdeBaru memerosokkan Pancasila pada jerammistifikasi dan ideologisasi monologisPedoman Penghayatan dan PengamalanPancasila (P4) dan asas tunggal. SehinggaPancasila yang di awal kelahirannyasecara eksistensialis ibarat sebuah

    keajaiban yang maujud, kemudian di erareformasi hampir dilupakan dan dianggapideologi kalah, bahkan analog denganrezim Orde Baru itu sendiri. PadahalPancasila bukanlah milik sebuah rezimtertentu. Ia secara substansialisdirumuskan sebagai grundsnorm bagikonsensus untuk merekatkan aneka ragamkelompok masyarakat kepulauan yang

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    3/10

    J-DA | 81

    besar jumlahnya, berbeda-beda dan hidupdi kawasan yang luas, untuk berdiri tegakdi wilayah negara kesatuan bernamaIndonesia.

    Kelekatan rezim Orde Barudengan mistifikasi dan ideologisasiPancasila membawa implikasi penistaanPancasila tatkala rezim berganti(Somantri, 2006). Pergantian rezim

    berimplikasi pada skenario demistifikasidan pengenyahan Pancasila yangmenyertakan penanggalan simbol, bahasa,dan instrumen-instrumen politik rezimOrde Baru. Tidak terkecuali dalam politik

    pendidikan. Pendidikan Pancasila yangsejatinya menjadi alat untuk proses

    pembudayaan dan pelembagaan nilai-nilaiPancasila direduksi dengan dalih integrasike dalam Pendidikan Kewarganegaraan.Persoalannya kemudian adalah bagaimanamemaknai dan menempatkan Pancasilasetelah pemaknaannya oleh Orde Baruruntuh? Bagaimana pula membudayakandan melembagakan nilai-nilai Pancasiladalam kehidupan berbangsa dan bernegaradi era reformasi sekarang? Tidak dapatdipungkiri bahwa baik sebagai sebuah

    perjanjian yang memateraikan pendirianrepublik, dan sebagai ideologi bangsa,nilai-nilai Pancasila berada jauh denganimplementasinya.

    1.2. Tujuan Penulisan

    Penulisan makalah ini bertujuanuntuk mengetahui bagaimana

    pembudayaan nilai-nilai luhur pancasilamelalui pendidikan kewarganegaraan.

    II. Uraian Teoritis

    2.1. Pancasila sebagai Dasar Negara

    dan Pandangan Hidup Bangsa

    Pancasila sebagaimana dirumuskan oleh penggalinya adalah

    pandangan hidup yang muncul dalammengenali realitas sosio-politik bangsaIndonesia. Pancasila adalah upaya dan

    muara yang paling mungkin untukdisepakati dari beragamnya aspek pluralkehidupan masyarkata Indonesia.Rumusan Pancasila sebagaimana terdapat

    dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alineaIV, terdiri atas lima sila, asas atau prinsipyaitu:1. Ketuhanan Yang Maha Esa2. Kemanusiaan yang adil dan beradab3. Persatuan Indonesia4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

    kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan

    5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia

    Sedangkan secara entitas,

    Pancasila itu sendiri pada hakekatnya iaadalah nilai (Kaelan, 2002). Nilai atauvalue adalah sesuatu yang berharga,

    berguna bagi kehidupan manusia. Nilaimemiliki sifat sebagai realitas yangabstrak, normatif dan berguna sebagai

    pendorong tindakan manusia. Kelima sila,asas atau prinsip Pancasila di atas dapatdikristalisasikan ke dalam lima nilai dasaryaitu nilai KeTuhanan, kemanusiaan,

    persatuan, kerakyatan dan keadilan.Pancasila yang berisi lima nilai

    dasar itu ditetapkan oleh bangsa Indonesiasebagai dasar negara dan ideologi nasionalIndonesia sejak tahun 1945 yaitu ketikaditetapkan Pembukaan UUD NRI olehPanitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.Kedudukannya sebagai dasar negara danideologi nasional ini dikuatkan kembalimelalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998 yang mencabut KetetapanMPR No. II/MPR/1978 tentang P4sekaligus secara eksplisit menetapkan

    Pancasila sebagai dasar negara(Yudhoyono, 2006:xvi). Pancasila sebagaidasar negara berkonotasi yuridis, sedangPancasila sebagai ideologi dikonotasikansebagai program sosial politik (MahfudMD, 1998 dalam Winarno, 2010).Pancasila telah menjadi dasar filsafatnegara baik secara yuridis dan politis(Kaelan, 2007:12).

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    4/10

    J-DA | 82

    Pancasila sebagai dasar negaradapat ditinjau dari aspek filosofis danyuridis. Dari aspek filosofis, Pancasilamenjadi pijakan bagi penyelenggaraan

    bernegara yang dikristalisasikan dari nilai-nilainya. Dari apek yuridis, Pancasilasebagai dasar negara menjadi cita hukum(rechtside) yang harus dijadikan dasar dantujuan setiap hukum di Indonesia. Politik

    pembangunan hukum di Indonesia dengankerangka nilai Pancasila memiliki kaidahkaidah penuntunnya.

    Pancasila sebagai sumber dankaidah penuntun hukum itu selanjutnyadituangkan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum formal.

    Jalinan nilai nilai dasar Pancasiladijabarkan dalam aturan dasar (hukumdasar) yaitu UUD 1945 dalam bentuk

    pasal-pasal yang mencakup berbagai segikehidupan berbangsa dan bernegaraIndonesia. Aturan-aturan dasar dalamUUD 1945 selanjutnya dijabarkan lagidalam undang-undang dan peraturandibawahnya. Hieraki hukum Indonesiayang terbentuk ini berbentuk piramidayang dapat dilihat dan sejalan denganStufenbautheorie (teori jenjang norma)dari Hans Kelsen, dimana Pancasilasebagai Grundsnormberada di luar sistemhukum, bersifat meta yuristic tetapimenjadi tempat bergantungnya normahukum

    Pada posisinya sebagai ideologinasional, nilai-nilai Pancasila difungsikansebagai nilai bersama yang ideal dan nilai

    pemersatu. Hal ini sejalan dengan fungsiideologi di masyarakat yaitu: Pertama,sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak

    dicapai secara bersama oleh suatumasyarakat. Kedua, sebagai pemersatumasyarakat dan karenanya sebagai

    prosedur penyelesaian konflik yang terjadidi masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999dalam Winarno, 2010). Dalam kaitannyadengan yang pertama nilai dalam ideologiitu menjadi cita-cita atau tujuan darimasyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat

    adalah untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam ideologi itu.

    Sedangkan dalam kaitannya yangkedua, nilai dalam ideologi itu merupakan

    nilai yang disepakati bersama sehinggadapat mempersatukan masyarakat itu sertanilai bersama tersebut dijadikan acuan

    bagi penyelesaian suatu masalah yangmungkin timbul dalam kehidupanmasyarakat yang bersangkutan. Pancasilasebagai ideologi nasional ini dapatdipandang dari sisi filosofis dan politis.Dari aspek filosofis, nilai-nilai Pancasilamenjadi dasar keyakinan tentangmasyarakat yang dicita-citakan (fungsi

    pertama ideologi). Dari aspek politik

    Pancasila merupakan modus vivendi ataukesepakatan luhur yang mampumempersatukan masyarakat Indonesiayang majemuk dalam satu nation stateatas dasar prinsip persatuan (fungsi keduaideologi). Pancasila menjadi nilai bersamaatau nilai integratif yang amat diperlukan

    bagi masyarakat yang plural.

    2.2. Pancasila dalam Politik

    Pendidikan Nasional

    Dalam konteks pendidikannasional, tidak dapat dipungkiri bahwaPancasila sebagai ideologi bangsamengalami fluktuasi tafsiran dari setiaprezim yang berkuasa, bukan hanya masaorde baru yang selama ini kita anggapsebagai rezim yang paling getolmemberikan tafsir tetapi juga sudahdimulai sejak rezim pemerintahan

    presiden Soekarno pada masa orde lama(Samsuri, 2009).

    Pada tahun 1959/1960-an ketika

    gegap gempita Demokrasi Terpimpinbegitu kuat di panggung politik ketika itu,telah diperkenalkan mata pelajaran Civicsdalam dunia pendidikan Indonesia. Hal iniditandai dengan adanya satu buku terbitanDepartemen Pendidikan, Pengajaran danKebudayaan (PP&K) yang berjudulCivics: Manusia Indonesia Baru,

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    5/10

    J-DA | 83

    karangan Mr. Soepardo, dkk. Materi bukuitu berisi tentang Sejarah PergerakanRakyat Indonesia; Pancasila; UUD 1945;Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin;

    Konferensi Asia-Afrika, Hak danKewajiban Warga Negara, ManifestoPolitik; Laksana Malaikat; dan lampiran-lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959,Pidato Lahirnya Pancasila, PancaWardana, dan Declaration of Human

    Rights; serta pidato-pidato lainnya dariPresiden Sukarno dalam Tujuh BahanPokok Indoktrinasi (Tubapi) (Muchson,2004:30). Buku Civics dan Tubapitersebut kemudian menjadi sumber utamamata pelajaran pendidikan

    kewarganegaraan di sekolah-sekolah,dengan ciri indoktrinasi yang sangatdominan.

    Perkembangan berikutnya, matapelajaran Civics yang kemudian digantimenjadi Kewargaan Negara pada 1962,

    pada Kurikulum 1968 ditetapkan secararesmi menjadi Pendidikan Kewargaan

    Negara. Di dalam kurikulum ini,penjabaran ideologi Pancasila sebagaipokok bahasan dianggap mengedepankankajian tata negara dan sejarah perjuangan

    bangsa, sedangkan aspek moralnya belumnampak (Aman, dkk., 1982:11).Pada masa orde baru, tafsir ideologisnegara dalam bidang pendidikan mulaimenampakkan kekuatannya ketika secaraformal, GBHN 1973 menyebut perlunya:Kurikulum di semua tingkat pendidikanberisikan Pendidikan MoralPancasila. Apabila dicermati, nampak

    jelas bahwa Pancasila ditafsirkan dalammasing-masing pokok bahasan, sub pokok

    bahasan, dan bahan pengajaran, dengannuansa Civics Kurikulum 1968.Materi tafsir ideologi nasional

    dalam PMP makin indoktrinatif ketikaMPR telah menetapkan PedomanPenghayatan dan Pengamalan Pancasila(P4). P4 ini mengharuskan setiap warganegara dan aparatur negara untukmelaksanakannya. Dalam lapangan

    pendidikan, P4 ini menjadi roh danmata air dari mata pelajaran PMPsampai dengan diubah namanya menjadiPendidikan Pancasila dan

    Kewarganegaraan (PPKn) padaKurikulum 1994.

    Istilah PPKn lebih dikuatkan danditegaskan dengan keluarnya keputusanMendikbud No. 061/U/1993 tenangKurikulum Pendidikan Dasar danKurikulum Sekolah Menengah Umumyang antara lain menyebutkan bahwaPPKn adalah mata pelajaran yangdigunakan untuk wahana mengembangkandan melestarikan nilai luhur dan moralyang berakar pada budaya bangsa

    Indonesia.Selama periode Orde Baru,

    pendidikan sebagai instrumenpembentukan karakter warga negaramenampakkan wujudnya dalamstandarisasi karakter warga negara. yangdisajikan dalam mata pelajaran PMP danatau PPKn dengan memasukan secaramembabi-buta tafsir Pancasila menurutP4. Pancasila direduksi menjadi 36 butirtafsir pengamalan nilai-nilai Pancasila. P4inilah yang kemudian menjadi keharusan

    pedoman atau arah tingkah laku warganegara.

    Meskipun Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 Pasal 1 menjelaskan bahwaPedoman Penghayatan dan PengamalanPancasila tidak merupakan tafsir Pancasilasebagai Dasar Negara sebagaimanatercermin dalam Pembukaan UUD 1945,Batang Tubuh dan Penjelasannya, tetapiP4 menjadi kelihatan lebih penting dariPancasila itu sendiri. Lebih jauh, P4 dan

    Pancasila menjadi kata sakti dalamsegenap kesempatan pejabat dari tingkatpusat hingga lokal dalam forum-forumformal maupun non formal (Samsuri,2009).

    Dari gambaran tersebut, nilai-nilaiyang menjadi materi pokok pembelajaranPMP ataupun PPKn berasal dari atas(rejim yang sedang berkuasa), bukan dari

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    6/10

    J-DA | 84

    kehendak masyarakat pendidikan (arusbawah). Konsekuensinya nilai-nilai yangmenjadi model materi pembelajaran puncenderung hipokrit dan jauh dari aspirasi

    ilmiah (keilmuan), sehingga PMP ataupunPPKn terkesan tidak jauh beda denganmata pelajaran Civics atau pun Kewargaan

    Negara pada masa rejim Soekarno 1960an(Samsuri, 2009).

    Dewasa ini, sejalan denganberlakunya UU No. 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional,maka mata pelajaran PPKn diganti denganPendidikan Kewarganegaraan (PKn).Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006tentang standar isi, mata pelajaran

    pendidikan kewarganegaraan diartikansebagai Mata pelajaran yangmemfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampumelaksanakan hak-hak dan kewajibannyauntuk menjadi warga negara Indonesiayang cerdas, terampil, dan berkarakteryang diamanatkan oleh Pancasila danUUD 1945 (Permendiknas RI No. 22Tahun 2006).Tujuan PKn ini adalah untuk mewujudkan

    para siswa untuk memiliki kemampuan:1.

    Berpikir secara kritis, rasional, dankreatif dalam menanggapi isukewarganegaraan.

    2.

    Berpartisipasi secara aktif danbertanggung jawab, dan bertindaksecara cerdas dalam kegiatan

    bermasyarakat, berbangsa, danbernegara, serta anti-korupsi.

    3.Berkembang secara positif dandemokratis untuk membentuk diri

    berdasarkan karakter-karakter

    masyarakat Indonesia agar dapathidup bersama dengan bangsa-bangsalainnya.

    4.Berinteraksi dengan bangsa-bangsalain dalam percaturan dunia secaralangsung atau tidak langsung denganmemanfaatkan teknologi informasidan komunikasi (Lampiran

    Permendiknas RI No. 22 Tahun2006:272, 280, 287).

    Untuk mencapai tujuanpembelajaran PKn tersebut, delapan

    materi pokok standar isi mata pelajaranPKn di Indonesia untuk satuan pendidikandasar dan menengah memuat komponensebagai berikut: (1) Persatuan danKesatuan Bangsa; (2) Norma, Hukum danPeraturan; (3) Hak Asasi Manusia; (4)Kebutuhan Warga Negara; (5) Konstitusi

    Negara; (6) Kekuasan dan Politik; (7)Pancasila; dan, (8) Globalisasi. MenurutSamsuri (2011), jika dipilah-pilah darikedelapan materi pokok ke dalam standarkompetensi dan kompetensi dasarnya,

    maka dimensi pembelajarannya mencakupaspek kajian (1) Politik Ketatanegaraan;(2) Hukum dan Konstitusi; dan, (3) NilaiMoral Pancasila. Sedangkan untuk materitentang Pancasila menurut ketentuanstandar isi tersebut dijabarkan ke dalam

    beberapa sub materi, yaitu: (1) KedudukanPancasila sebagai dasar negara danideologi negara, (2) Proses perumusanPancasila sebagai dasar negara, (3)Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalamkehidupan sehari-hari, dan (4) Pancasilasebagai ideologi terbuka.

    Pada jenjang perguruan tinggi,pernah ada mata kuliah Manipol danUSDEK, Pancasila dan UUD 1945(sekitar tahun 1960-an), Filsafat Pancasila(tahun 1970-an sampai sekarang),Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an) danPendidikan Kewarganegaraan (2000sampai sekarang). Proses pembelajaranPendidikan Pancasila yang dijadikanrujukan dalam proses pembudayaan nilai-

    nilai Pancasila di kalangan mahasiswacenderung bersifat indoktrinatif yanghanya menyentuh aspek kognitifsedangkan aspek sikap dan perilaku belumtersentuh (Cipto, at all, 2002:ix).

    Substansi mata kuliah Kewiraansebagai pendidikan bela negara direvisidan selanjutnya namanya diganti menjadiPKn berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    7/10

    J-DA | 85

    No. 267/Dikti/2000 tentangPenyempurnaan Kurikulum. Substansimata kuliah Pendidikan Kewarganegaraanmakin disempurnakan dengan keluarnya

    Surat Keputusan Dirjen Dikti No.38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan DirjenDikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah

    pengembangan Kepribadian di PerguruanTinggi.

    Menurut Pasal 3 Keputusan DirjenDikti tersebut, PKn dirancang untukmemberikan pengertian kepadamahasiswa tentang pengetahuan dankemampuan dasar berkenaan denganhubungan antar warga negara serta

    pendidikan pendahuluan bela negarasebagai bekal agar menjadi warga negarayang dapat diandalkan oleh bangsa dannegara. Sedangkan dalam Pasal 4Keputusan Dirjen Dikti tersebutmenyebutkan bahwa tujuan PKn di

    perguruan tinggi adalah sebagai berikut:1. Dapat memahami dan mampu

    melaksanakan hak dan kewajibansecara santun, jujur dandemokratis serta ikhlas sebagaiwarga negara terdidik dalamkehidupannya selaku warga negararepublik Indonesia yang

    bertanggung jawab.2.

    Menguasai pengetahuan danpemahaman tentang beragammasalah dasar kehidupan

    bermasyarakat, berbangsa danbernegara yang hendak diatasidengan penerapan pemikiran yang

    berlandaskan pancasila, wawasannusantara dan ketahanan nasional

    secara kritis dan bertanggungjawab.3.

    Mempupuk sikap dan perilakuyang sesuai denan nilai-nilaikejuangan serta patriotisme yangcinta tanah air, rela berkorban baginusa dan bangsa.Berdasarkan Surat Keputusan

    Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek

    pembahasan Pendidikan kewarganegaraanialah: Filsafat Pencasila, Identitas

    Nasional, Negara dan Konstitusi,Demokrasi Indonesia, HAM dan Rule of

    Law, Hak dan Kewajiban Warga Negara,Geopolitik Indonesia, dan GeostrategiIndonesia. Dengan demikian, jikadicermati pendidikan kewarganearaan di

    perguruan tinggi memuat kajian Pancasilayaitu dalam bab Filsafat Pancasila yangdikembangkan menjadi beberapa sub bab.

    III. Pembahasan

    Berdasarkan kajian Pancasiladalam politik pendidikan di atas, kita

    menemukan bahwa proses pembudayaannilai-nilai Pancasila dapat dilakukanmelalui pembelajaran PKn. Secara umumhasil-hasil penelitian tentang PKn di

    berbagai negara sesungguhnyamenyimpulkan bahwa PKn mengarahkanwarga negara itu untuk mendalamikembali nilai-nilai dasar, sejarah, danmasa depan bangsa bersangkutan sesuaidengan nilai-nilai paling fundamentalyang dianut bangsa bersangkutan.

    Dari perspektif teori

    fungsionalisme struktural, sebuah negarabangsa yang majemuk seperti Indonesiamembutuhkan nilai bersama yang dapatdijadikan nilai pengikat integrasi(integrative value), titik temu (commondenominator), jati diri bangsa (nationalidentity) dan sekaligus nilai yangdianggap baik untuk diwujudkan (idealvalue). Nilai bersama ini tidak hanyaditerima tetapi juga dihayati. Dalam

    pandangan teori kewarganegaraancommunitarian, sebuah komunitas politik

    bertanggung jawab memelihara nilai-nilaibersama (common values) tersebut dalamrangka mengarahkan individu (Winarno,2010). Melalui PKn nilai-nilai bersamayang merupakan komitmen sebuahkomunitas diinternalisasikan sehinggatumbuh penghayatan terhadapnya.

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    8/10

    J-DA | 86

    Dalam kepustakaan asing ada duaistilah teknis yang dapat diterjemahkanmenjadi pendidikan kewarganegaraanyakni civic education dan citizenship

    education. Cogan (1999:4) mengartikancivic education sebagai the

    foundational course work in school

    designed to prepare young citizens for an

    active role in their communities in their

    adult lives, atau suatu mata pelajarandasar di sekolah yang dirancang untukmempersiapkan warga negara muda, agarkelak setelah dewasa dapat berperan aktifdalam masyarakatnya. Sedangkancitizenship education atau education forcitizenship oleh Cogan (1999:4)

    digunakan sebagai istilah yang memilikipengertian yang lebih luas yang mencakupboth these in-school experiences as

    well as out-of school or non-

    formal/informal learning which takes

    place in the family, the religious

    organization, community organizations,

    the media,etc which help to shape the

    totality of the citizen.Di sisi lain, David Kerr (1999)

    mengemukakan bahwa Citizenship orCivics Education is construed broadly toencompass the preparation of young

    people for their roles and responsibilities

    as citizens and, in particular, the role of

    education (through schooling, teaching

    and learning) in that preparatory process.(Kerr, 1999:2) atau PKn dirumuskansecara luas mencakup proses penyiapangenerasi muda untuk mengambil perandan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran

    pendidikan termasuk di dalamnya

    persekolahan, pengajaran, dan belajardalam proses penyiapan warganegaratersebut.

    Dari pendapat di atas, dapatdikemukakan bahwa istilah citizenshipeducation lebih luas cakupan

    pengertiannya daripada civic education.Dengan cakupan yang luas ini makacitizenship education meliputi di

    dalamnya PKn dalam arti khusus (civiceducation). Citizenship education sebagai

    proses pendidikan dalam rangkamenyiapkan warga negara muda akan

    hak-hak, peran dan tanggung jawabnyasebagai warga negara, sedang civiceducation adalah citizenship educationyang dilakukan melalui persekolahan.

    Untuk konteks di Indonesia,citizenship educationatau civic educationdalam arti luas oleh beberapa pakarditerjemahkan dengan istilah pendidikankewarganegaraan (Somantri, 2001;Winataputra, 2001) atau pendidikankewargaan (Azra, 2002). Secaraterminologis, PKn diartikan sebagai

    pendidikan politik yang yang fokusmaterinya peranan warga negara dalamkehidupan bernegara yang kesemuanya itudiproses dalam rangka untuk membina

    peranan tersebut sesuai dengan ketentuanPancasila dan UUD 1945 agar menjadiwarga negara yang dapat diandalkan oleh

    bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalamSamsuri, 2011).

    Dilihat secara yuridis, kurikulumpendidikan dasar, menengah, dan tinggiwajib memuat PKn yang dimaksudkanuntuk membentuk peserta didik menjadimanusia yang memiliki rasa kebangsaandan cinta tanah air sesuai denganPancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 37ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwakurikulum pendidikan dasar danmenengah wajib memuat: a) PendidikanAgama, b) Pendidikan Kewarganegaraan,c) Bahasa dan kurikulum pendidikantinggi wajib memuat: a) PendidikanAgama; b) Pendidikan Kewarganegaraan;

    c) Bahasa. Dengan demikian, secarayuridis, pendidikan kewarganegaraanmemiliki landasan yang kuat untukdibelajarkan kepada setiap warga negara.

    Sekaitan dengan penanaman nilai-nilai Pancasila melalui pendidikankewarganegaraan, Arief Rahman, DutaUNESCO untuk Indonesia sekaligus

    pengamat pendidikan mengemukakan

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    9/10

    J-DA | 87

    bahwa penanaman ideologi Pancasila saatini dapat diterapkan melalui PendidikanKewarganegaraan (anonim, 2011). Namunlebih lanjut ia mengemukakan bahwa agar

    ideologi tersebut dapat berjalan maksimalmaka perlu diperhatikan proses

    pembelajarannya. Dalam setiap prosespembelajaran harus meliputi tiga aspek,yakni kognitif (pengetahuan), afektif(sikap), dan psikomotor (pengalaman).Begitu pula dengan penanaman ideologiPancasila dalam pelajaran pendidikanKewarganegaraan, ketiga aspek tersebutharus dijalankan secara seimbang(anonim, 2011).

    IV. Penutup

    Pembudayaan nilai-nilai Pancasiladi kalangan warga negara muda saat inidapat dilakukan melalui proses

    pendidikan. Pendidikan yang tepat adalahpendidikan tentang Pancasila yang dapatdilakukan oleh PendidikanKewarganegaraan. Namun demikian,karena muatan materi Pancasila dalamPKn belum mencakup keseluruhankompetensi tentang Pancasila sebagai

    dasar dan idologi bangsa, makasepantasnya menurut pendidikanPancasila sebagai mata pelajaran/matakuliah yang khusus membahas Pancasiladibelajarkan lewat mata pelajaran/matakuliah khusus Pendidikan Pancasila.

    Daftar Pustaka

    Aman, Sofyan, dkk. 1982. PedomanDidaktik Metodik Pendidikan

    Moral Pancasila untuk para GuruSD, SLTP dan SLTA. Jakarta: PNBalai Pustaka.

    Anonym. 2011. Cukupkan PendidikanKewarganegaraan? Tersedia[Online]http://edukasi.kompas.com/read/20

    11/05/06/10495397/Cukupkah.Pendidikan.Kewarganegaraan. (11Mei 2011).

    Azra, Azyumardi (2002). PendidikanKewargaan untuk DemokrasiIndonesia. Warta PTM, Edisi 2Tahun XV p. 8-10.

    Cipto, B. at all. (2002). Pendidikankewarganegaraan (Civic

    Education). Yogyakarta: LP3UMY.

    Cogan, John J. 1999.Developing the CivicSociety: The Role of Civic

    Education, Bandung: CICED.

    Djahiri, A. Kosasih dan Wahab, A. Azis.1996. Dasar dan KonsepPendidikan Moral. Jakarta:Departemen Pendidikan danKebudayaan Ditjen Dikti ProyekPendidikan Tenaga Akademik.

    Kaelan. 2007. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Paradigma.

    Kerr, David. 1999. Citizenship Education:an International Comparison.London: National Foundation forEducational Research-NFER.

    Muchson. 2004. PendidikanKewarganegaraan Paradigma Barudan Implementasinya dalamKurikulum Berbasis Kompetensi.

    Jurnal Civics, Vol. 1, No. 1, Juni,pp. 29-41.

    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RINomor 22 Tahun 2006 tentangStandar Isi Satuan PendidikanDasar dan Menengah.

    Samsuri. 2009. Objektivikasi PancasilaSebagai Modal Sosial Warga

    Negara Demokratis dalam

  • 7/25/2019 Jurnal 11 - Murni Naiborhu1

    10/10

    J-DA | 88

    Pendidikan Kewarganegaraan.Acta Civicus: Jurnal Pendidikan

    Kewarganegaraan, Vol. 2 (2)April 2009.

    Samsuri. 2011. Model PembelajaranPendidikan Kewarganegaraanuntuk Membangun KompetensiWarga Negara. Makalahdisampaikan dalam Kuliah UmumProgram Studi PPKn FKIPUniversitas Ahmad Dahlan, Senin,9 Mei 2011 di Kampus II UAD,Yogyakarta.

    Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006.

    Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. dalam

    Nasution, Irfan dan Agustinus,Rony (ed) Restorasi Pancasila:

    Mendamaikan Politik Identitas

    dan Modernitas. Bogor: BrightenPress.

    Somantri, M. Numan. 2001. MenggagasPembaharuan Pendidikan IPS.Bandung Remaja Rosdakarya danPPs UPI.

    Surat Keputusan Dirjen Dikti No.43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah

    pengembangan Kepribadian diPerguruan Tinggi.

    Undang Undang Republik Indonesia No.

    22 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional.

    Winarno. 2010. Implementasi Pancasilamelalui PendidikanKewarganegaraan (civiceducation). Makalah disajikandalam Seminar di UniversitiPendidikan Sultan Idris (UPSI), 13April 2010

    Winataputra, Udin Saripudin. 2001.

    Jatidiri PendidikanKewarganegaraan sebagaiWahana Sistemik PendidikanDemokrasi (Suatu KajianKonseptual dalam KonteksPendidikan IPS). Disertasi padaPPS UPI, tidak diterbitkan.

    Yudhoyono, Soesilo Bambang. 2006.Pidato Peringatan Hari LahirPancasila, 1 Juni 2006. dalam

    Nasution, Irfan dan Agustinus,Rony (ed) Restorasi Pancasila:

    Mendamaikan Politik Identitas

    dan Modernitas. Bogor: BrightenPress.