junior secondary school teacher’ truancy and...
TRANSCRIPT
1
KEMANGKIRAN GURU SMP DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA
JUNIOR SECONDARY SCHOOL TEACHER’ TRUANCY AND THE ANALYSIS OF THE CAUSATIVE FACTORS
Yaya Jakaria Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kajian ini secara umum bertujuan untuk memproleh data/informasi tentang tingkat kemangkiran guru di SMP dalam rangka memberikan alternatif saran kebijakan tentang upaya peningkatan kehadiran guru guna pencapaian hasil belajar yang lebih bermutu. Jenis penelitian yang dilakukan adalah survey dan descriptive research.Kajian ini dilakukan di 20 kabupaten/kota yang ikut program BERMUTU sebagai sampel lokasi yang ditentukan secara cluster random sampling berdasarkan distribusi geografi 10 wilayah dan pertimbangan sebaran populasi jumlah guru di kabupaten/kota pada wilayah tersebut. Dari 20 kabupaten/kota terpilih ditentukan SMP sampel secara acak yang ikutserta Program BERMUTU, untuk masing-masing kabupaten/kota tersebut dipilih rata-rata 8 (delapan) SMP. Adapun total sampel SMP terpilih adalah sebanyak149 SMPN. Responden dalam penelitian ini terdiri atas Kepala Dinas Kabupaten/Kota (20 orang), Kepala Sekolah (147 orang), dan Guru SMP (1.067 orang). Hasil kajian antara lain : (1). Tingkat kemangkiran guru SMP pada hari sidak (H) ternyata cukup tinggi , yakni rata-rata 13,96%; (2) Secara keseluruhan penyebab utama kemangkiran guru adalah karena penugasan sekolah dan ini cukup besar (33,3%); (3) upaya yang dilakukan sekolah untuk mengatasi agar pembelajaran berjalan apabila guru mangkir adalah sebagian besar sekolah (67,7%) menempuh upaya dengan menerapkan tata tertib sekolah, dan 49% memberikan biaya transportasi;dan (4) Kemangkiran guru di SMP berdampak negatif terhadap proses pembelajaran, karena dapat menyebabkan pembelajaran tidak berjalan efektif (61,52%), menurunkan prestasi hasil belajar siswa (73,62%), dan citra sekolah (67,06%). Selain itu, dampak lain yang mungkin timbul adalah timbulnya perkelahian/pelanggaran (26,15%).
Kata Kunci: Kemangkiran Guru, Prestasi Belajar, dan Proses Pembelajaran
ABSTRACT
This study aims to gather data and information on the level of junior secondary teachers’ truancy in order to propose alternatives of policy recommendation concerning efforts to escalate teachers’ presence which lead to quality learning achievements. Survey methods and descriptive research are used in this study. 20 districts/municipalities which take part in BERMUTU (Better Education Through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading) program set forth as the sample location based on cluster random sampling, taking into consideration the geographical distribution of 10 localities and the population of teachers distribution within the said districts/municipalities. Out of each appointed district/municipality an average of 8 Junior Secondary School (SMP) which participated in BERMUTU were randomly appointed. A total number of 149 state SMP were selected, with Head of district/municipalities Office of Education (147 person) and SMP teachers (1067
2
person) as the respondents. It was revealed that : (1) the level of teachers’ truancy on the day of the surprise inspection was fairly high, at an average of 13,96%; (2) in general the main reason of teachers’ truancy was school assignments (33,3%); (3) schools efforts to overcome the problem so that the teaching learning process can proceed in the absence of teachers were most schools (67,7%) operationalize the school’s code of conduct, and 49% provide transportation expense, and (4) teachers’ truancy negatively impacts the learning process, as it leads to ineffective students’ learning (61,52%), declined students’ learning achievements (73,62%), and school image (67,06%). Furthermore, other potential negative impacts was the occurance of fights/violations (26,15%).
Key Words : teachers’ truancy, learning achievement, learning process
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu upaya untuk mencerdaskan bangsa seperti yang diamanatkan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melalui pendidikan yang diatur dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Manusia Indonesia diharapkan akan meningkat kualitasnya melalui pendidikan. Kualitas
tersebut dapat diukur berdasarkan Human Development Index atau Indek Pembangunan
Manusia (IPM). IPM Indonesia tahun 2008 adalah berada di urutan 7 dari 9 negara
lingkungan ASEAN atau urutan 3 dari bawah di atas Myanmar dan Cambodia (skor Indonesia
107) yang menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia masih relatif rendah.
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas proses dan hasil pendidikan, antara lain
kurikulum, guru, sarana dan sarana pendidikan, lingkungan, manajemen pendidikan, dan
potensi anak itu sendiri. Namun dari berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan
tersebut, faktor guru merupakan faktor yang penting, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor
kunci dalam keberhasilan pendidikan. Guru adalah faktor dominan dalam proses pendidikan
dan salah satu masukan instrumental yang sangat penting dalam proses belajar mengajar.
Dapat dinyatakan bahwa proses pendidikan di sekolah sangat tergantung pada guru.
Kehadiran guru dalam proses belajar tatap muka sangat penting karena guru adalah
orang yang secara periodik berinteraksi dengan peserta didik. Dengan demikian, pada
dasarnya upaya peningkatan mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh tingkat komitmen dan
profesionalitas guru dalam melaksanakan tugas pokoknya di sekolah, apalagi pada tingkat
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
3
Sebagai konsekuensi dari peran sentral guru adalah kehadiran guru dalam proses
pembelajaran peserta didik pada hari-hari belajar yang ditetapkan. Ketidakhadiran
(kemangkiran) guru dalam kelas akan mempengaruhi proses pembelajaran. Berbagai
penelitian menunjukkan apapun alasan kemangkiran guru dalam tugasnya berdampak pada
peningkatan dana operasional sekolah, menurunnya citra sekolah, dan kinerja sekolah, serta
menurunnya prestasi siswa (khususnya di daerah-daerah terpencil).
Tingkat kemangkiran guru dalam mengajar di Indonesia masih belum banyak dikaji dan
diteliti secara mendalam. Namun dari berbagai sisi, kemangkinan guru memiliki dampak yang
signifikan terhadap tingkat prestasi belajar siswa. Hasil penelitian Bank Dunia dan Universitas
Harvard (2004) di delapan negara berkembang (Bangladesh, Equador, India, Indonesia, Peru,
Papaua New Guinea, Zambia dan Uganda) dengan fokus utama angka absensi guru SD di
pedesaan, diperoleh angka rata-rata guru mangkir sebesar 19%. Angka kemangkiran guru
tertinggi terjadi di Uganda yang mencapai 39%, di India sebesar 25%, Zambia sebesar 17%,
Bangladesh sebesar 16%, Equador dan Papua New Guinea sebesar 15% dan terkecil Peru rata-
rata guru mangkir sebesar 11 %. Di Indonesia tingkat kemangkiran guru SD mencapai 19%.
Rumusan Masalah
Dalam studi ini, kajian akan dikembangkan berdasarkan rumusan masalah yang
mendasarinya yang dispesifikkan menjadi pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Seberapa tinggi tingkat kemangkiran guru?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan guru mangkir?
3. Upaya apa yang dilakukan sekolah untuk mengatasi kelas agar pembelajaran tetap berjalan?
4. Upaya apa yang dilakukan sekolah dan dinas pendidikan untuk mengurangi kemangkiran
guru?
5. Apa kebijakan daerah yang dilakukan untuk mengatasi kemangkiran guru?
6. Bagaimanakah dampak kemangkiran guru terhadap proses pembelajaran, prestasi siswa,
dan citra sekolah?
Tujuan
Secara umum tujuan penelitian adalah menganalisis tingkat kemangkiran guru SMP.
Data yang dikumpulkan memungkinkan pemangku kepentingan untuk memetakan tingkat
kemangkiran guru berdasarkan indikator yang terukur dan memanfaatkan temuan penelitian
4
sebagai bahan masukan dalam pembuatan keputusan untuk meningkatkan kehadiran guru di
kelas.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi
tentang:
1. Tingkat kemangkiran guru;
2. Faktor-faktor penyebab guru mangkir;
3. Upaya yang dilakukan sekolah untuk mengatasi kelas agar pembelajaran tetap berjalan
ketika guru mangkir;
4. Upaya yang dilakukan sekolah dan dinas pendidikan untuk mengurangi kemangkiran guru;
5. Kebijakan daerah yang dilakukan untuk mengatasi kemangkiran guru;
6. Dampak kemangkiran guru terhadap proses pembelajaran, prestasi siswa, dan citra sekolah.
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
Konsep Kemangkiran Guru
Di dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru mempunyai peranan yang sangat
penting. Hal ini disebabkan guru merupakan key person yang berhadapan langsung dengan
siswa dalam kegiatan proses belajar mengajar. Kehadiran guru merupakan kunci bagi
terwujudnya kegiatan pembelajaran yang efektif dalam proses pembelajaran.
Menurut Hoy & Miskel (2008), berbagai studi tentang sekolah bermutu di berbagai
negara maju menunjukkan bahwa salah satu indikator output sekolah bermutu adalah
rendahnya tingkat kemangkiran guru dan siswa di sekolah. Penelitian tersebut mengungkapkan
pula bahwa tingkat kemangkiran guru berkaitan erat dengan peningkatan dana yang harus
dikeluarkan sekolah untuk membiayai guru pengganti dan juga citra sekolah. Sekolah yang
gurunya banyak mangkir dikategorikan sebagai sekolah yang tidak bermutu atau citranya
kurang baik di masyarakat.
Kehadiran guru dalam proses belajar tatap muka adalah sangat penting karena guru
adalah orang yang secara periodik berinteraksi dengan peserta didik. Dengan demikian, pada
dasarnya upaya peningkatan mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh tingkat komitmen dan
profesionalitas guru dalam melaksanakan tugas pokoknya di sekolah. Peran guru sangat
esensial karena siswa memerlukan bimbingan dan layanan yang lebih intens sesuai dengan
5
karakteristik perkembangan peserta didik. Oleh karena itu ketidakhadiran (kemangkiran) guru
dalam kelas akan mempengaruhi proses pembelajaran.
Kemangkiran didefinisikan oleh Ivatts (2010) sebagai kegagalan seseorang (guru) untuk
melaporkan atau untuk bekerja sesuai dengan yang telah dijadualkan. Dalam prakteknya, ada
dua jenis kemangkiran guru. Pertama, kemangkiran karena melaksanakan tugas-tugas lembaga
yang lain dan ditetapkan secara legal (seperti mengikuti pelatihan atau rapat dinas) atau karena
alasan kesehatan (seperti sakit keras atau melahirkan). Kedua, kemangkiran karena problem
pribadi guru dan suasana kerja yang tidak kondusif, seperti halnya malas, faktor ekonomi,
tidak taat aturan, atau kerja mau enak sendiri.
Dalam studi ini, Kemangkiran guru didefinisikan sebagai guru yang tidak hadir sesuai
jadual yang sudah ditetapkan. Tingkat kemangkiran guru dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Rumus 2
X = Guru mata pelajaran yang di UN kan di SMP yang dijadualkan mengajar hari tertentu tetapi tidak hadir/tidak datang mengajar.
Y = Seluruh guru mata pelajaran yang di UN kan dan dijadualkan pada hari itu di SMP tersebut.
Tingkat kemangkiran guru dalam penelitian ini dilihat dari tiga keadaan, yakni
kemangkiran guru pada saat peneliti datang ke sekolah (hari H), serta pada satu hari (H-1) dan
dua hari (H-2) sebelum peneliti datang ke sekolah. Pengukuran tingkat kemangkiran pada hari
H, dilakukan dengan menggunakan data primer dimana peneliti langsung datang ke sekolah
terpilih tanpa memberi tahu sekolah yang bersangkutan terlebih dahulu (sidak).
Penghitungan tingkat kemangkiran guru sehari (H-1) dan dua hari (H-2) sebelum
kedatangan peneliti adalah untuk melihat konsistensi kemangkiran. Tingkat kemangkiran guru
pada satu dan dua hari sebelum peneliti datang dihitung dari dokumen absensi guru yang ada
di sekolah, informasi kepala sekolah, informasi teman guru, dan informasi dari siswa, serta
jadual mengajar.
∑ X
∑ Y
% Kemangkiran Guru SMP =
6
Kebijakan Pemerintah Indonesia Terkait Disiplin Guru
Dalam rangka peningkatan kualifikasi dan penerapan sertifikasi guru sesuai Undang-
Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pemerintah Indonesia beserta
Pemerintah Belanda dan Bank Dunia menyepakati untuk bekerjasama dalam penyelenggaraan
program BERMUTU atau Better Education through Reformed Management and Universal
Teacher Upgrading. Program ini difokuskan pada upaya peningkatan mutu pendidikan melalui
peningkatan kompetensi dan kinerja guru. Salah satu indikator kunci untuk mengukur
peningkatan kualitas dan kinerja guru melalui Program BERMUTU adalah pengurangan
kemangkiran guru di kabupaten/kota pelaksana Program BERMUTU.
Secara khusus peraturan yang mengatur mengenai disiplin PNS telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
yang telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Aturan
Disiplin PNS. Peraturan pemerintah tersebut telah disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan situasi dan kondisi saat ini dalam upaya mewujudkan PNS yang handal,
profesional, dan bermoral tersebut. Kemudian secara khusus ketentuan yang mengatur cuti
guru tercantum dalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru pasal 50 dan 51.
Penelitian Terkait Kemangkiran Guru
Hasil penelitian Bank Dunia dan Universitas Harvard (2004) di delapan negara
berkembang (Bangladesh, Equador, India, Indonesia, Peru, Papaua New Guinea, Zambia dan
Uganda) dengan fokus utama angka absensi guru SD di pedesaan, diperoleh angka rata-rata
guru mangkir sebesar 19%. Angka kemangkiran guru tertinggi terjadi di Uganda yang
mencapai 39%, di India sebesar 25%, Zambia sebesar 17%, Bangladesh sebesar 16%, Equador
dan Papua New Guinea sebesar 15% dan terkecil Peru rata-rata guru mangkir sebesar 11 %.
Di Indonesia tingkat kemangkiran guru SD mencapai 19%. Berdasarkan studi tersebut, dalam
konteks Indonesia, hampir dipastikan setiap harinya ada satu guru SD mangkir dari tugasnya
dengan berbagai alasan dan penyebabnya. Menurut penelitian tersebut, penyebab tingginya
angka kemangkiran guru antara lain adalah lemahnya kontrol pejabat dan masyarakat terhadap
sekolah, penyakit dan kemiskinan, pelatihan, serta benturan kepentingan dan peran guru
(wanita).
Apapun penyebabnya, dampak kemangkiran guru mengakibatkan proses pembelajaran
tidak berlangsung secara baik dan berdampak pada rendahnya mutu hasil belajar siswa (ILO,
2004).
7
Berbagai penelitian menunjukkan apapun alasan kemangkiran guru dalam tugasnya
berdampak pada peningkatan dana operasional sekolah, menurunnya citra sekolah, dan kinerja
sekolah, serta menurunnya prestasi siswa (khususnya di daerah-daerah terpencil). Skidmore
(1984) menemukan bahwa ketidaklancaran belajar di kelas berkontribusi terhadap rendahnya
capaian hasil belajar. Masalah lain yang timbul akibat kemangkiran guru adalah resistensi guru
untuk berubah serta motivasi yang rendah (Ferkich & Grassi, 1987). Sementara itu, Hoy &
Miskel (2008) menemukan berbagai studi tentang sekolah bermutu di berbagai negara maju
menunjukkan bahwa salah satu indikator output sekolah bermutu adalah rendahnya tingkat
kemangkiran guru dan siswa di sekolah.
Kerangka Berpikir
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat kemangkiran guru SMP
dan pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa. Kemangkiran guru sendiri dapat disebabkan
oleh kendala pribadi dan kendala organisasi. Gambar 1 memperlihatkan kerangka konsep
yang digunakan dalam penelitian ini.
Diagram 1. Kerangka Pikir Studi Kemangkiran Guru
Sumber: S.R. Rhodes & R.M. Streers dalam K.D. Scott & J.C. Wimbush, Teacher Absenteism in Secondary Education, Educational Administration Quarterly, 4 November 1991, 27(4): 509.
Kehadiran guru untuk mengajar dipengaruhi oleh motivasi untuk hadir mengajar pada
jadual yang sudah ditentukan. Motivasi kehadiran sendiri dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu (1)
kebiasaan yang ada di sekolah, (2) budaya kehadiran, dan (3) tujuan, nilai, serta tingkah laku
guru. Kehadiran juga dipengaruhi oleh kendala untuk hadir yang secara umum dapat
Faktor Kemangkiran:Sakit dan Kecelakaan Urusan Keluarga
M l h T t i
Kesanggupan untuk Hadir
Motivasi K h di
Kehadiran
Sikap Karyawan,
Budaya Absen
Praktek Organisasi
8
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) sakit dan kecelakaan, (2) keperluan keluarga, dan (3)
masalah transportasi.
METODOLOGI DAN RUANG LINKUP
Justifikasi Pendekatan yang Digunakan
Gabungan antara observasi kelas, wawancara dengan Kepala Dinas dan Kepala
Sekolah, pengisian kuesioner oleh guru, serta tes beberapa mata pelajaran yang dilakukan
siswa merupakan pendekatan komprehensif yang tepat untuk mendapatkan tingkat data
kemangkiran guru dan pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa.
Wawancara.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang terkait dengan profil guru, kondisi
terkait transportasi yang dialami guru, dan kebijakan disiplin (kehadiran) guru di sekolah,
peraturan dan penerapan peraturan tentang disiplin guru serta pola kehadiran guru.
Wawancara dilakukan dengan semua pihak yang terkait dengan masalah kehadiran guru, yaitu
Kepala Dinas Kabupaten/Kota, Kepala Sekolah, dan guru. Wawancara dipilih karena dengan
wawancara dapat dilakukan probing untuk lebih mempertajam data.
Observasi Kelas.
Cara yang paling efektif untuk melihat tingkat kemangkiran guru adalah dengan melihat
langsung, melakukan observasi keadaan kelas. Selain untuk melihat kehadiran guru di kelas,
observasi perlu dilakukan untuk melihat proses belajar di kelas dimana guru hadir dan di kelas
dimana guru mangkir.
Pengerjaan tes.
Siswa pada sekolah terpilih diminta untuk mengerjakan tes matapelajaran yang di UN -
kan. Hasil tes digunakan untuk membandingkan prestasi siswa yang diajar oleh guru yang
hadir dan guru yang mangkir. Pada dasarnya ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan
untuk memprediksi hasil belajar siswa seperti melihat nilai ulangan harian, nilai raport,
pemberian tugas, dan pengerjaan tes. Nilai ulangan harian dan nilai raport tidak dipilih untuk
digunakan dalam penelitian ini karena peneliti tidak memiliki kontrol untuk memastikan
bahwa nilai yang tertera merupakan nilai murni, pemberian tugas pun tidak dipilih karena
memerlukan waktu untuk memeriksa hasilnya.
9
Kelebihan pendekatan yang digunakan.
Penelitian ini menerapkan pendekatan yang komprehensif dalam pengumpulan data
yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Wawancara, observasi, dan
pengerjaan tes merupakan rangkaian proses pengumpulan data yang saling melengkapi. Data
yang diperoleh dari satu macam instrumen dielaborasi melalui instrumen yang lain untuk
memastikan kelengkapan dan keakuratan data. Secara khusus, kelebihan dari rangkaian
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Data diperoleh dari seluruh sumber yang terkait dengan masalah kehadiran/kemangkiran guru
di SMP (Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, kepala Sekolah, Guru, siswa);
Data diperoleh dari sumber primer maupun sekunder (Paraturan-peraturan di Dinas
Pendidikan dan sekolah serta Daftar hadir Guru);
Data yang diperoleh diverifikasi oleh pihak terkait;
Data yang diperoleh mencakup data kuantitatif (seperti jumlah hari hadir dan jumlah guru
mangkir) dan data kualitatif (penilaian guru terhadap biaya transportasi yang harus
dikeluarkan dan penerapan peraturan kedisiplinan guru);
Satuan pendidikan yang dianalisis mencakup SMP.
Pengumpulan Data
Unit Analisis.
Dalam penelitian ini digunakan dua unit analisis, yaitu guru dan sekolah. Guru
dijadikan unit analisis untuk menjawab pertanyan penelitian yang terkait tingkat kemangkiran
guru dan pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa. Tingkat kehadiran guru dalam penelitian
ini dihitung secara umum maupun berdasarkan karakteristik guru (seperti jenis kelamin, jarak
rumah ke sekolah, kepemilikan sertifikat pendidik, dan latar belakang pendidikan) dan sekolah
(seperti status akreditasi sekolah dan penerapan peraturan disiplin kehadiran) memerlukan
analisis pada tingkat guru.
Sekolah digunakan sebagai unit analisis untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
terkait hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh banyak variabel yang dalam
penelitian ini diwakili oleh kehadiran guru dan kebijakan di tingkat sekolah.
10
Teknik Pemilihan Sampel.
Penelitian ini menggunakan desain sampling: two step cluster random sampling.
Penarikan sampel pada masing-masing tingkat disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.
Berikut rincian dari proses penarikan sampel.
Tingkat pertama: penentuan sampel kabupaten/kota
Penentuan Sampel Kabupaten/Kota dilakukan secara two stage cluster random sampling untuk
menjamin keterwakilan seluruh bagian Indonesia. Untuk memastikan bahwa seluruh bagian
Indonesia terwakili maka pemilihan sampel kabupaten/kota dilakukan melalui dua tahapan.
Pada tahap pertama Indonesia dibagi terlebih dahulu atas 10 wilayah berdasarkan geografi.
Kesepuluh wilayah Indonesia tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Pada tahap ke dua dipilih 20 kabupaten/kota untuk menjadi sampel didasarkan populasi
jumlah guru pada daerah yang bersangkutan dan sebarannya menurut wilayah.
Tingkat ke dua: Penentuan sampel sekolah
Pemilihan SMP dilakukan secara acak untuk masing-masing kabupaten/kota yang terpilih
pada penentuan sampel Tingkat Pertama. Untuk masing-masing kabupaten/kota terpilih
ditentukan 2 sampai dengan 12 SMPN sebagai sampel.
Responden.
Responden dalam penelitian ini terdiri dari Kepala Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru,
dan siswa.
Responden Guru SMP adalah guru yang mengajar mata pelajaran yang di UN-kan yang
dijadualkan mengajar pada hari H (sidak).
Responden siswa adalah siswa yang diajar oleh guru yang menjadi responden.
Data yang Dikumpulkan.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
Hasil Wawancara.
Hasil Wawancara dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah berupa data
tentang upaya Dinas Pendidikan dan sekolah untuk mengurangi dan mengatasi guru mangkir,
profil sekolah serta untuk mendapatkan data pola atau kebiasaan kehadiran guru.
11
Hasil wawancara guru berupa data tentang profil guru, kegiatan di sekolah dan di luar
sekolah, transportasi dari rumah ke sekolah, status keanggotaan dalam MGMP, besar
penghasilan dan tunjangan, serta persepsi terhadap disiplin dan kemangkiran guru.
Hasil Observasi kelas.
Hasil observasi berupa data kehadiran guru (datang ke sekolah, masuk dan keluar kelas,
serta pulang), aktivitas pembelajaran peserta didik/siswa, serta upaya sekolah mengatasi kelas
kosong (kelas dimana guru yang dijadualkan mengajar tidak hadir).
Data Prestasi Siswa.
Data prestasi siswa SMP dilihat dari nilai UN (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, IPA).
Dokumen.
Dokumen yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup daftar absensi guru, satu
dan dua hari sebelum peneliti datang ke setiap sekolah sampel, status akreditasi sekolah, profil
sekolah, kebijakan sekolah mengurangi tingkat kemangkiran guru, dan kebijakan Dinas
Pendidikan mengatasi kemangkiran guru.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode yang sesuai dengan pertanyaan penelitian.
Berikut ini rincian dari analisis data yang dilakukan untuk menjawab enam pertanyaan
penelitian.
Tingkat kemangkiran guru dihitung dengan pendekatan berikut ini.
Rasio jumlah guru yang mangkir (pada masing-masing aspek) dengan total jumlah guru.
Rumus perhitungan disajikan pada Lampiran 2.
Perbedaan tingkat kemangkiran guru dari beragam aspek dihitung dengan uji beda.
Faktor-faktor yang menyebabkan guru mangkir dianalisis dengan statistik deskriptif
Upaya yang dilakukan sekolah untuk mengatasi kelas agar pembelajaran tetap berjalan
dianalisis dengan statistik deskriptif menggunakan persentase dan menentukan peringkat
upaya sekolah membatasi kelas yang kosong berdasarkan jumlah responden yang memilih
upaya tertentu.
12
Upaya yang dilakukan sekolah dan dinas pendidikan mengurangi kemangkiran guru
dianalisis dengan statistik deskriptif menggunakan persentase dan menentukan peringkat
upaya mengurangi kemangkiran berdasarkan jumlah responden yang memilih upaya tertentu.
Upaya yang dilakukan sekolah dan dinas pendidikan mengatasi kemangkiran guru
dianalisis dengan analisis statistik deskriptif dan menentukan peringkat upaya mengurangi
kemangkiran berdasarkan jumlah responden yang memilih upaya tertentu.
Hubungan tingkat kemangkiran guru dengan prestasi belajar siswa dihitung melalui dua
cara berikut ini.
Korelasi nilai rata-rata hasil tes kompetensi mata pelajaran yang di-UN dan UASBN-kan
dengan rata-rata jumlah hari mangkir dari semua sekolah yang terambil sebagai sampel
Perbandingan antara nilai rata-rata hasil tes kompetensi mata pelajaran yang di Un dan
UASBN-kan yang diajarkan oleh guru yang mangkir dengan guru yang tidak mangkir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini dilaporkan temuan dan pembahasan penelitian kemangkiran guru dan
pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa untuk tingkat SMP.
Tingkat Kemangkiran Guru
Dalam penelitian ini, pertama digunakan pendekatan data primer dimana peneliti
langsung datang ke sekolah terpilih tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Kedua digunakan data
kehadiran yang dimiliki sekolah dua semester tahun terakhir serta satu dan dua hari sebelum
peneliti melakukan sidak.
Tingkat Kemangkiran Berdasarkan Profil
Rata-rata tingkat kemangkiran guru laki-laki lebih tinggi daripada guru perempuan
(Tabel 1) meskipun secara statistik tidak ditemukan perbedaan yang nyata. Cukup menarik
juga diketemukan bahwa tingkat kemangkiran pada hari H dan H-1 relatif sama meskipun ada
perbedaan untuk H-2. Temuan ini membuktikan bahwa kecurigaan bahwa Daftar Hadir yang
ada di sekolah tidak akurat dan dapat dibantah. Disamping itu, rata-rata tingkat kemangkiran,
baik untuk laki-laki, perempuan, maupun jumlah keduanya, tidak jauh berbeda dengan median
yang mencerminkan bahwa perilaku kemangkiran dari responden relative stabil.
13
Tabel 1. Kemangkiran guru berdasarkan Jenis kelamin guru
Waktu N Mean (%) Median (%) t-values
Sig
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
Sidak 420 647 1067 15,48 12,98 13,96 14,51 12,49 14,62 0,661 0,512
Sidak-1 405 633 1038 15,56 12,32 13,58 10,23 10,5 11,96 0,324 0,748
Sidak-2 420 569 1063 11,90 9,13 11,67 9,13 9,45 9,59 -0,617 0,541
Mengingat perbedaan tingkat kemangkiran yang hampir tiga hari lebih banyak untuk
guru laki-laki, sekolah dan DInas Peniddikan perlu menaruh perhatian lebih dalam
menyosialisasikan peraturan disiplin dan meningkatkan kesadaran kehadiran bagi guru laki-
laki.
Temuan yang terkait dengan latar belakang pendidikan responden dan tingkat
kemangkiran menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan sarjana atau lebih, mangkir
lebih banyak (9,43%) daripada mereka yang belum berpendidikan sarjana (*,62%).
Memperhatikan UU Nomor 20 tahun 2003 dan PP No. 74 tahun 2008 yang mensyaratkan guru
untuk minimal berpendidikan S1 maka temuan ini perlu dijadikan peringatan dini. Meskipun
secara statistik tidak ditemukan perbedaan nyata antara tingkat kemangkiran mereka yng
sudah dan belum berpendidikan sarjana tetapi perbedaan satu hari mangkir tetap perlu
diperhatikan.
Temuan yang juga harus mendapat perhatian adalah tingginya tingkat kemangkiran
diantara guru yang mengajar IPA (Kimia). Dibandingkan dengan tingkat kemangkiran total
sebesar 8,85 %, tingkat kemangkiran guru IPA (Kimia) (33,33%) sangat mengkhawatirkan.
Apalagi jika mengingat IPA (Kimia) merupakan salah satu mata pelajaran yang di-UN-kan.
Guru mata pelajaran lain yang juga memiliki tingkat kemangkiran tinggi adalah Matematika
(12,33%).
Tingkat Kemangkiran Guru Berdasarkan Aspek Transportasi
Berdasarkan temuan penelitian terdahulu, makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai sekolah, makin tinggi kemungkinan guru mangkir. Pada penelitian ini tidak
demikian. Tingkat kemangkiran responden yang hanya membutuhkan waktu sedikit untuk
mencapai sekolah lebih tinggi (10%) dari mereka yng butuh waktu lebih lama (8,95%).
14
12.1210.00
6.52
10.71
0.000.00
5.00
10.00
15.00
Sangat Murah Murah Cukup Mahal Sangat Mahal
Diagram 1. Biaya yg Dibutuhkan untuk ke Sekolah (N=716)
Kondisi yang senada juga terjadi pada biaya transportasi yang dikeluarkan untuk
mencapai sekolah. Diagram 1. memperlihatkan bahwa tingkat kemangkiran responden yang
perlu mengeluarkan biaya tinggi untuk transportasi justru lebih rendah daripada mereka yang
mengeluarkan biaya lebih kecil.
Tingkat Kemangkiran Guru Berdasarkan Kebijakan Sekolah
Membandingkan tingkat kemangkiran berdasarkan dimensi kebijakan sekolah yang
mencakup kepemilikan sertifikat, pemberian tugas tambahan, golongan dan status
kepegawaian, serta jumlah jam mengajar memperlihatkan hasil yang tidak diduga (Diagram
2). Responden yang sudah memiliki sertifikat pendidikan ternyata tingkat mangkirnya hampir
dua kali dari mereka yang belum memiliki sertifikat pendidikan. Penelitian ini menemukan
bahwa tingkat kemangkiran guru yang sudah memiliki sertifikat pendidikan adalah 9,82 hari,
jauh lebih tinggi dari tingkat kemangkiran guru yang belum memiliki sertifikat pendidikan
sebesar 5,88 hari.
Kemudian penelitian menemukan bahwa mereka yang sudah Golongan 4 memiliki
tingkat kemangkiran tertinggi dibandingkan guru pada golongan yang lebih rendah. Lama jam
mengajar juga menunjukkan kecenderungan yang sama.
Diagram 2. Tingkat Kemangkiran Guru Berdasarkan Aspek Kebijakan Sekolah
a. Kepemilikan Sertfikat (N=718)
b. Tugas Tambahan (N=78)
c. Golongan Kepegawaian (N=737)
d. Jumlah Jam Mengajar (N=84)
9.82
5.88
1.00
3.00
5.00
7.00
9.00
11.00
7.696.25
14.29
1.00
3.00
5.00
7.00
9.00
11.00
13.00
15.00
< 5 jam
6 ‐ 9 jam
10 ‐ 15 jam
> 15 jam
8.217.17
10.79
1.00
3.00
5.00
7.00
9.00
11.00
13.00
Gol 2 Gol 3 Gol 4
6.737.42
14.49
1.00
3.00
5.00
7.00
9.00
11.00
13.00
15.00
17.00
< 24 jam 24 jam > 24 jam
15
Temuan yang juga perlu mendapat perhatian adalah beda dua hari dalam tingkat
kemangkiran pada guru yang aktif dan tidak aktif di MGMP. Guru yang aktif lebih tinggi
(10,8%) tingkat kemangkirannya dibanding guru yang tidak aktif (7,92%). Berdasarkan
peraturan, kegiatan MGMP hanya dilakukan di waktu libur sekolah tetapi kenyataannya
kegiatan dilakukan juga di waktu sekolah.
Jika tingkat kemangkiran guru memperhatikan dimensi karakteristik guru yang
mencakup profil guru, transportasi menuju sekolah, dan kebijakan sekolah yang dirinci lagi ke
dalam 15 aspek diketahui bahwa hanya satu aspek yang secara statistik berbeda nyata
terhadap tingkat kemangkiran guru, yaitu status kepegawaian guru. Pada tingkat kepercayaan
99%, rata-rata tingkat kemangkiran guru yang berstatus PNS lebih rendah daripada tingkat
kemangkiran guru non PNS. Pada 14 aspek lainnya yang tidak ditemukan perbedaan nyata
adalah jenis kelamin, daerah asal, pendidikan, lokasi tempat tinggal sekarang, jarak dari rumah
ke sekolah, biaya transportasi, sertifikasi pendidik, tunjangan profesi, tugas tambahan, jumlah
jam mengajar, keanggotaan MGMP, dan status akreditasi. Pada Lampiran 8 disajikan
perbedaan mean untuk seluruh aspek yang diteliti.
Untuk guru yang mendapat tugas tambahan, tingkat kemangkiran tertinggi ditemukan
pada responden yang diberi tambahan tugas yang memerlukan waktu 10-15 jam sebasar 14,28
hari. Tingkat kemangkiran ini jauh di atas rata-rata tingkat kemangkiran guru SMP sebesar
8,97 hari. Meskipun demikian, responden yang mendapat tugas tambahan lebih dari 15 jam
justru tidak pernah mangkir. Data ini menuntut sekolah untuk lebih berhati-hati dalam
membuat tugas tambahan. Perlu diperhatikan jumlah jam dari tugas tambahan yang
dibebankan kepada dosen untuk menekan tingkat kemangkiran.
16
Tabel 2. Perbandingan Tingkat Kemangkiran Guru dari Beberapa Aspek
Tingkat Kemangkiran Nilai t-hitung Sig.
1. Profil a. Jenis Kelamin 0,661 0,512 b. Daerah Asal 0,167 0,918 c. Pendidikan -0,048 0,962 d. Mata Pelajaran yang Diajar 1,794 0,121
3. Transportasi a. Lokasi Sekarang 0,696 0,558 b. Jarak dari rumah ke sekolah 1,863 0,124 c. Waktu dari rumah ke sekolah 0,931 0,457 d. Sarana transportasi 0,359 0,837 e. Biaya transportasi 0,381 0,821
2. Kebijakan Sekolah a. Sertifikasi Pendidik 0,284 0,778 b. Tunjangan Profesi -0,351 0,728 c. Tugas Tambahan -0,847 0,420 d. Status Kepegawaian 5,090 0,001 e. Golongan Kepegawaian 0,602 0,551 f. Jumlah Jam Mengajar 1,179 0,315 g. Keanggotaan MGMP 1,561 1,270 h. Status Akreditasi 0,940 0,437
Faktor Penyebab Guru Mangkir
Ada 12 faktor penyebab guru mangkir. Faktor terbesar yang dikemukakan responden
adalah kesulitan transportasi. Ada kemungkinan kesulitan transportasi ini disebabkan sarana
yang kurang memadai.
Lima faktor lainnya adalah sudah meminta ijin resmi (12,7%), ditugaskan melakukan
kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas mengajar (11,5%), ditugaskan mengikuti pelatihan
(8,9%), sakit dengan keterangan (8,9%), dan mengajar di waktu yang berbeda dengan waktu
yang sudah dijadualkan (8,6%). Dari lima faktor terbesar penyebab kemangkiran ini, ada dua
faktor (ditugaskan sekolah) yang berada dalam kontrol sekolah. Kegiatan yang ditugaskan
kepada guru ini dibutuhkan sekolah sehingga sekolah harus menugaskan guru untuk itu.
Upaya Sekolah agar Pembelajaran Tetap Berjalan
Dari jumlah responden penelitian, hanya 96 responden yang memberi jawaban
pertanyaan tentang pengetahuan mereka tentang upaya yang sudah dilakukan sekolah untuk
menghindari terjadinya guru mangkir. Rendahnya jumlah responden yang menjawab ini dapat
disebabkan responden tidak memperhatikan atau responden tidak peduli terhadap upaya yang
17
sudah dilakukan sekolah. Rendahnya jumlah responden yang menjawab pertanyaan ini
sungguh memprihatinkan.
Diagram 3. Upaya Sekolah untuk Menghindari Guru Mangkir (N=96, respons ganda)
Dari 96 responden yang menjawab pertanyaan tentang upaya sekolah menghindari guru
mangkir, 67,7% diantaranya mengatakan bahwa sekolah sudah menerapkan tata tertib
(Diagram 3). Sebanyak 49% responden juga menyatakan bahwa bantuan biaya transpor
sudah dikeluarkan sekolah untuk menghindari guru yang mangkir. Kebijakan sekolah
memberikan biaya transport mungkin ada kaitannya dengan pernyataan mayoritas responden
bahwa kesulitan transportasi merupakan faktor terbesar penyebab guru mangkir.
Upaya Mengurangi Tingkat Kemangkiran Guru
Persepsi Guru
Sebagian besar (71,33%) respsonden menyatakan bahwa sekolah sudah melakukan
beragam upaya untuk menghindari guru mangkir. Pada Diagram 4 disajikan 14 upaya yang
telah dilakukan sekolah untuk menghindari guru mangkir dan upaya yang paling banyak
diketahui responden adalah melakukan pembinaan baik rutin maupun insidentil (31,53%).
Upaya yang cukup banyak juga dikemukakan oleh responden adalah teguran (14,49%).
Diagram 4. Upaya Menghindari Kemangkiran Guru
a. Sekolah (N=704)
18
b. Dinas Pendidikan (N=497)
Sementara itu, hanya 50,83% dari keseluruhan responden yang mengatakan mengetahui
upaya yang sudah dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk menghindari
kemangkiran guru. Jumlah responden yang mengetahui upaya sekolah menghindari
kemangkiran guru jauh lebih tinggi dari jumlah responden yang mengetahui upaya Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dapat mengadopsi
pendekatan yang digunakan sekolah dalam mensosialisasikan upaya menghindari
kemangkiran guru (lihat Diagram 4. b.).
Pengetahuan mengenai upaya yang telah dilakukan untuk mengindari kemangkiran
guru, baik yang dilakukan sekolah maupun Dinas Pendidkan Kabupaten/Kota, diperlukan
karena 93% responden mengakui dan tahu ada rekan sesama guru yang pernah mangkir pada
tahun pelajaran 2009/2010. Dari responden yang mengetahui ada rekan guru yang mangkir,
32% diantaranya mengatakan bahwa guru yang mangkir tersebut tidak diberi hukuman.
Pendapat responden tentang perlu tidaknya guru yang mangkir diberi sanksi di sajikan pada
Diagram 5 Alasan yang paling banyak dikemukakan responden untuk tidak menjatuhkan
sanksi bagi guru yang mangkir adalah jika guru mangkir dengan alasan yang pasti, jelas, atau
kuat (97,38%). Mangkir dengan surat ijin juga masih bisa ditolerir oleh 28,89% responden.
Selain ada 3,66% responden yang menyatakan bahwa sanksi yang diberikan cukup dalam
bentuk teguran.
Pada sisi lain, 68% guru yang mengetahui ada rekan guru yang mangkir tetapi sekolah
sudah menjatuhkan sanksi mengatakan bahwa bentuk sanksi yang paling banyak diberikan
adalah pemberian teguran atau peringatan, baik lisan maupun tertulis (Diagram 6). Disamping
itu, 10,07% responden sepakat bahwa sanksi moral dapat dikenakan pada guru yang mangkir.
19
Diagram 5. Jika Ya, Sanksi yang diberikan Diagram 6. Jika “Tidak”, Perlu diberi sanksi?
(N=427) (N=382)
Disamping melakukan beragam upaya untuk menghindari guru yang mangkir, sekolah
dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota juga diakui responden sudah melakukan beragam
upaya untuk mengatasi guru mangkir. Diagram 7.a meringkas upaya sekolah dan Dinas
Pendidikan kabupaten/Kota untuk mengatasi masalah yang muncul karena guru mangkir.
Upaya yang paling banyak dilakukan sekolah adalah melakukan pembinaan, bimbingan, dan
pengingatan oleh kepala sekolah kepada guru (23,33%). Disamping itu, 16,8% responden
menyepakati bahwa teguran merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah karena
guru mangkir.
Upaya lain yang menurut responden dapat dilakukan sekolah untuk mengatasi guru
yang mangkir adalah menyediakan guru pengganti. Upaya ini layak untuk dilakukan di
sekolah dengan jumlah murid (dan guru) yang relatif besar tetapi untuk sekolah kecil dengan
jumlah murid dan guru yang terbatas, biaya yang dikeluarkan sekolah untuk menyediakan
guru pengganti dapat menimbulkan masalah baru. Teguran dari kepala sekolah juga
merupakan salah satu alternatif upaya yang dapat dilakukan sekolah untuk mengatasi guru
yang mangkir.
20
Diagram 7.a. Upaya Mengatasi Masalah karena Guru yang Mangkir
a. Sekolah (N=750, respons ganda)
b. Dinas (N=480)
Upaya yang paling banyak diusulkan untuk dilakukan Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota guna mengatasi kelas kosong karena guru mangkir adalah mengangkat guru
baru (Diagram 7.b). Disamping pengangkatan guru baru, pembimbingan dan pembinaan serta
penyuluhan merupakan salah satu upaya yang juga banyak dikemukakan responden. Seperti
halnya upaya menghindari guru mangkir, evaluasi, monitoring, dan supervisi kehadiran guru
oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota juga dimunculkan oleh responden sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi akibat dari kemangkiran guru.
Persepsi Sekolah dan Dinas Pendidikan
Menurut responden ada sebanyak 87,63% menyatakan bahwa dua upaya terbesar yang
telah dilakukan sekolah adalah membuat tata tertib dan memanggil guru yang mangkir.
Pembuatan tata tertib kembali dimunculkan responden sebagai salah satu upaya mengurangi
21
tingkat kemangkiran guru. Kemunculan pembuatan tata teritb secara konsisten pada beberapa
aspek terkait kemangkiran guru perlu diperhatikan.
Diagram 4.4.2.1 Upaya Sekolah Mengurangi Tingkat Kemangkiran
a. Secara Umum
Perlunya keseimbangan antara pemberian penghargaan dan sanksi terhadap guru yang mengikuti/ melanggar tata tertib diungkapkan oleh responden (Diagram 6.4.2.1).
Dari hasil temuan terhadap upaya yang menurut responden telah dilakukan sekolah
untuk menghindari guru mangkir, responden menyatakan bahwa mayoritas guru yang mangkir
diberi penjelasan tentang disiplin guru (88,89%). Temuan ini sejalan dengan temuan masih
ada sejumlah guru yang belum mengetahui peraturan disiplin guru. Sementara itu, bentuk
penghargaan yang dikemukakan responden beragam, mulai dari memberi Surat Keterangan
Mengajar (52.,05%), meningkatkan kesejahteraan (45,78%), memberi promosi (45,68%),
sampai memberi predikat guru teladan (38,27%).
Teguran yang pernah diberikan kepada guru yang mangkir juga beragam, mulai dari
teguran lisan (80%), tertulis (42,6%), sampai teguran melalui online (11,27%).
Kebijakan untuk Mengatasi Kemangkiran Guru
Kebijakan Disiplin Guru dan Akibat Kemangkiran Guru
Lebih dari 70% guru mengetahui peraturan disiplin guru yang dikeluarkan oleh
Kemdiknas, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun sekolah (tabel 4.5.1.1.). Meskipun
demikian, dari 794 responden guru, 87% diantaranya mengaku pernah mangkir. Data ini
mengindikasikan bahwa mengetahui keberadaan peraturan saja tidak cukup untuk membuat
guru tidak mangkir. Tingginya persentase guru yang paling tidak pernah mangkir satu hari
dalam satu tahun terakhir ini terjadi meskipun guru mengakui bahwa kemangkiran guru
mempengaruhi proses belajar, prestasi siswa, maupun citra sekolah.
22
Tabel 3. Pengetahuan tentang Kebijakan terkait Disiplin Guru (dalam persen)
Sumber Kebijakan N Tahu Tidak Tahu
Kemdiknas 474 78 22Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota 381 70 30Sekolah 730 85 5Lainnya 131 44 56
Kebijakan Daerah
Dari mereka yang merespon pertanyaan ini, sebagian besar setuju bahwa Daerah sudah
melakukan kontrol untuk memastikan bahwa peraturan disiplin guru telah diterapkan
(84,81%). Jumlah responden yang hampir sama juga menyatakan bahwa peraturan sudah
disosialisasikan ke sekolah dan guru (84,66%). Penyusunan tata tertib berada pada peringkat
ketiga dari jawaban responden (79,87%). Urutan pilihan responden ini mencerminkan bahwa
penyusunan tata tertib berada di bawah penerapan tata tertib.
Hasil temuan menunjukkan upaya yang dilakukan Daerah untuk mengatasi
kemangkiran guru adalah dengan memanggil guru yang bersangkutan, ini dilakukan untuk
menjelaskan PP Nomor 53 tahun 2010 dan disiplin guru pada umumnya. Teguran kepada
guru yang mangkir diberikan dalam beragam bentuk, mulai dari peringatan, teguran lisan
(68,25%), sampai teguran tertulis (terbanyak) (75,31%). Disamping teguran, Daerah seperti
juga sekolah, memberikan penghargaan kepada guru yang disiplin hadir melalui pemberian
predikat guru teladan (57,45%), memberi promosi (46,43%), dan memberi Surat Keterangan
mengajar (43,93%).
Dampak Kemangkiran Guru terhadap Proses Pembelajaran, Prestasi Siswa, dan Citra
Sekolah
Di temukan indikasi bahwa kemangkiran guru di SMP berdampak negatif terhadap
proses pembelajaran. Indikasi tersebut nampak dari 61,52% responden menyatakan bahwa
guru yang mangkir dapat menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan efektif yang pada
akhirnya akan menyebabkan penurunan prestasi siswa.
Kemangkiran guru SMP cenderung berdampak negatif pula terhadap prestasi siswa. Ini
terbukti dari sebagian besar (73,62%) reponden guru menyatakan kemangkiran yang tinggi
dapat menurunkan prestasi hasil belajar siswa. Dari analisis statistik tampak pula bahwa hasil
penelitian menunjukkan besarnya korelasi antara nilai UN siswa SMP dengan tingkat
kemangkiran guru sebesar -0,268 (r = -0,268). Artinya bila tingkat kemangkiran guru semakin
23
meningkat maka nilai UN semakin menurun atau sebaliknya. Namun setelah diuji secara
statistik, hubungan ini tidak signifikan (sig. =0,241).
Tingkat kemangkiran guru SMP ternyata juga berpotensi negatif terhadap citra sekolah.
Hal tersebut terlihat dari adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat kemangkiran
guru semakin buruk citra sekolah dihadapan siswa dan masyarakat. Informasi dari responden
guru menunjukan hampir semua responden guru (67,06%) menyatakan bahwa tingkat
kemangkiran guru yang tinggi akan berakibat buruk terhadap citra sekolah yang dinilai kurang
baik (32,94%).
Menurut responden efek negatif lain yang ditimbulkan oleh kemangkiran guru adalah
timbulnya perkelahian/pelanggaran (26,15%), tidak punya daya saing (21,54%), dan tidak
percaya pada guru (21,54%).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat Kemangkiran Guru SMP
Penelitian ini menemukan bahwa tingkat kemangkiran guru SMP pada hari sidak (H)
ternyata cukup tinggi, yakni mean 13,96% dan Median 14,62%. Namun, tingkat kemangkiran
guru SMP tersebut masih lebih rendah dari tingkat kemangkiran guru SD hasil penelitian Bank
Dunia tahun 2004 yang sebesar 19%.
Perbedaan kemangkiran guru berdasarkan karakteristik guru dan sekolah
Dari 15 karakteristik guru dan sekolah diketahui bahwa hanya satu aspek yang secara
statistik berbeda nyata terhadap tingkat kemangkiran guru yaitu satus kepegawaian guru.
Artinya, rata-rata tingkat kemangkiran guru yang berstatus PNS lebih rendah daripada tingkat
kemangkiran guru non PNS. Pada 14 aspek lainnya yang tidak ditemukan perbedaan nyata
adalah jenis kelamin, daerah asal, pendidikan, lokasi tempat tinggal sekarang, jarak dari rumah
ke sekolah, biaya transportasi, sertifikasi pendidik, tunjangan profesi, tugas tambahan, jumlah
jam mengajar, keanggotaan KKG, dan status akreditasi.
Faktor Penyebab Guru Mangkir
Terdapat 12 faktor yang merupakan penyebab guru mangkir. Penyebab utama
kemangkiran guru yang banyak dikemukakan oleh guru adalah kesulitan transportasi (13,5%),
berikutnya adalah ijin resmi keperluan di luar sekolah (12,7%), ditugaskan oleh sekolah untuk
24
melaksanakan kegiatan yang tidak terkait tugas mengajar (11,4%), ditugaskan mengikuti
pelatihan (8,9%), ditugaskan oleh sekolah untuk menghadiri rapat (8,5%) dan ditugaskan ke
sekolah lain (4,5%). Secara keseluruhan penyebab kemangkiran guru karena penugasan ini
cukup besar (33,3%) dan menjadi penyebab yang dominan pada kemangkiran guru SMP.
Upaya Sekolah agar Pembelajaran Tetap Berjalan
Sekolah telah berupaya agar para guru tidak mangkir dan pembelajaran tetap berjalan.
Diketahui bahwa sebagian besar sekolah (67,7%) menempuh upaya dengan menerapkan tata
tertib sekolah, dan 49% memberikan biaya transportasi, sedangkan sekolah yang lain dengan
memberikan hadiah dan pembinaan serta penyusunan tata tertib sekolah.
Upaya Sekolah dan Dinas Pendidikan Mengurangi Tingkat Kemangkiran Guru
Ada berbagai upaya sekolah untuk mengurangi tingkat kemangkiran, terbesar (87,63%)
sekolah menyatakan membuat tata tertib sekolah dan berupaya memanggil guru yang mangkir
untuk pembinaan. Sekolah yang lain (62,38%) berupaya memberikan penghargaan supaya
guru lebih rajin bekerja, sebaliknya beberapa sekolah memberikan teguran (41,05%) dan
memberikan sanksi kepada guru yang mangkir (28,40%).
Kebijakan Daerah untuk Mengatasi Kemangkiran Guru.
Sebagaian besar sekolah menyatakan bahwa Dinas pendidikan mengatasi tingkat
kemangkiran guru dengan melakukan kontrol untuk memastikan penerapan tata tertib
(88,81%), melakukan sosialisasi peraturan sampai ke sekolah (84,66%), menyusun tata tertib
(79,87%). Ada Dinas Pendidikan yang berupaya memberikan pembinaan dan tindakan yang
agak tegas, misalnya memanggil guru yang mangkir (68,71%), memberikan teguran (46,25%),
memanggil kepala sekolah (42,4%), dan bahkan memberikan sanksi (31,57%); tetapi
sebaliknya beberapa Dinas pendidikan memberikan penghargaan supaya para guru lebih rajin
untuk bekerja (44,2%).
Dampak Kemangkiran Guru SMP terhadap Proses Pembelajaran, Prestasi Belajar
Siswa, dan Citra Sekolah
Kemangkiran guru di SMP berdampak negatif terhadap proses pembelajaran, karena
dapat menyebabkan pembelajaran tidak berjalan efektif (61,52%), menurunkan prestasi hasil
belajar siswa (73,62%), dan citra sekolah (67,06%). Selain itu, dampak lain yang mungkin
timbul adalah timbulnya perkelahian/pelanggaran (26,15%), tidak punya daya saing (21,54%),
dan tidak percaya pada guru (21,54%).
25
Saran
Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten dan sekolah perlu menerapkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru Dan
Pengawas Satuan Pendidikan secara konsisten dan dilaksanakan sampai pada tingkat
pemenuhan kewajiban guru dalam kegiatan mengajar tatap muka sesuai dengan jadual
mengajar yang telah ditetapkan. Beban kerja guru paling sedikit 24 jam tatap muka dan paling
banyak 40 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu perlu dikontrol secara tertib di tingkat
pelaksanaan mengajar agar diketahui pemenuhan kewajiban guru, sekaligus untuk
meminimalisir kemangkiran guru dalam mengajar.
Sekolah dan Kepala Dinas serta instansi pemangku kepentingan lain, hendaknya lebih
bijaksana dalam mengatur dan menentukan para guru yang diminta bertugas, baik untuk rapat
dinas, pelatihan, seminar, maupun mengikuti kegiatan pembinaan lainnya. Penugasan kepada
guru diharapkan bukan pada guru yang sedang terjadual dan memiliki tanggungjawab
mengajar. Rekomendasi ini diajukan terkait dengan tingginya faktor “penugasan/dinas”
sebagai penyebab kemangkiran guru.
Pembinaan guru yang telah dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Sekolah perlu
ditata dan dikembangkan lebih baik agar guru lebih disiplin dan kemangkiran guru dapat
ditekan seminimal mungkin. Oleh sebab itu upaya dinas pendidikan mengatasi tingkat
kemangkiran guru dengan menetapkan aturan tatatertib, sosialisasi aturan sampai sekolah,
mengontrol dan memastikan penerapan tata tertib, dan memberi penghargaan kepada guru
yang melaksanakan disilin perlu ditingkatkan pelaksanaannya. Demikian pula tindakan tegas
dengan teguran atau sanksi kepada guru yang sering mangkir dan memanggil kepala
merupakan upaya yang baik agar para guru lebih rajin untuk bekerja .
Sekolah-sekolah yang memiliki karakteristik tertentu dapat menempuh upaya untuk
meningkatkan kehadiran guru sampai tingkat kemangkiran yang minim. Sekolah yang berada
di lokasi yang sulit dijangkau karena alasan geografis atau kepadatan lalu lintas dapat
menambah insentif, khusus bagi guru karena alasan kesulitan transportasi. Dengan tambahan
uang trasnsportasi diharapkan guru di lokasi tersebut selalu hadir sesuai dengan jadual yang
ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut perlu ditempuh pula strategi pengaturan distribusi
guru, khususnya penempatan guru baru di setiap daerah dengan alternatif pertimbangan asal
dan tempat tinggal guru.
26
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, D. (2001). Guru dan Masa Depan Bangsa. Harian Kompas, 16 Oktober 2001.
Atwool, N. (1999). Attachment in the school setting. New Zealand Journal of Educational Studies, 34(2): 309-322.
Creemers, B., Peters, T., & Reynolds, D. (1989). School Effectiveness and School Improvement. Lisse, The Netherland: Swiss & Zeitlinger
Castetter, W.B. (1981). The Personnel Function in Educational Administration. London: Macmillan
Chung, K. H & Megginson, L.C. (1981). Organizational Behavior, Developing Managerial Skill. Cambridge: Harper& Row, Publisher,
Depdikbud. (1988). Sistem Pembinaan Profesional Guru. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Ehrenberg, R.G., Rees, D.I., & Ehrenberg, E.L. (1991). School District Leave Policies, Teacher Absenteeism, and Student Achivement. Journal of Human Resources, 26(1): 72-105
Fisher, D.L., & Fraser, B.L. (1990). School Climate. SET Research Information for Teacher No. 2 Melbourne: Australian Council for Educational Research.
Hoy, W.K & Hannum, J.W. (1997). Middle School Climate: An Empirical Assessment of Organisational Health and Student Achievement. Educational Adminsitration Quarterly, 33(3): 209-311.
Ivatts, A. R. (2010). Literature Review on: Teacher Absenteeism. Roma Education Fund, 1:21.
Kirkpatrick, D. L (1998). Evaluating Training Programs: The Four Level (@nd). San francisco: Berrett_koehler Publisher. Inc.
Norton, M.S., (1998). Teacher Absenteeism: A Growing Dilema in Education. Contemporary Education, 69(2): 95-99
Ormrod, J. E. (2003). Educational Psycology, Developing Learners (4ed). New Jersey: Merrill. Pearson Education. Inc.
Rhodes, S.R. & Streers, R.M. Teacher Absenteism in Secondary Education, Educational Administration Quarterly, 4 November 1991, 27(4): (506-429).
Sujana, N. (2002). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Supriadi, D. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita karya Nusa.
Sutermeister, R.A. (1986). People and Productivity. New York: McGraww-Hill Inc.
UNESCO. (1996). What Makes a Good Teacher? Children Speak Their Minds. Paris.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Thomas, A. (1986). The School Productivity. New York: McGraww-Hill Inc.
Widoyoko, E. P. (2009). Analisis Pengaruh Kinerja Guru terhadap Motivasi Belajar Siswa. Laporan Penelitian.
William, B. W. & Davis, K. (1996). Resources and Personnel Management. New York: McGraww-Hill Inc.