jstni feb 2009 secured
TRANSCRIPT
JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIA INDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY
Vol. X, No. 1, Februari 2009
ISSN 1411 - 3481
Penanggung Jawab/ Executive editor
: Prof. Dr. Rochestri Sofyan
Penyunting/Editors Ketua merangkap anggota/Chief editor
:
Dr. Ir. Guntur Daru Sambodo
Anggota/ Editorial Board
: Drs. Ilias Ginting, M.Sc. Ir. Henky Poedjo Rahardjo, MSME. Dr. Poppy Intan Tjahaja, M.Sc. Prof. Ir. Budiono, M.Sc. Drs. Dani Gustaman Syarif, M.Eng. Dr. Muhayatun, MT. Dra. Nanny Kartini Oekar, M.Sc. Dr. Ir. Efrizon Umar, MT
Penyunting Tamu/ Honorary Editor
: Prof. Dr. Johan S. Masjhur, dr., Sp.PD-KE, Sp. KN. (UNPAD) Prof. Dr. Ir. Aryadi Soewono (ITB) Prof. Dr. Ir. Rochim Suratman (ITB) Abdul Waris, M. Eng., Ph.D. (ITB) Dr. Mitra Djamal (ITB)
Pelaksana/ Administration
: Rina Yuliani Dra. Arie Widowati Mintoro, MT. Diah Dwiana Lestiani, M.Eng. dr. Rudi Gunawan
Alamat Penerbit /Redaksi Publisher/Editor
: Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (Nuclear Technology Center for Material and Radiometry) BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL (NATIONAL NUCLEAR ENERGY AGENCY) JL. Tamansari 71 Bandung 40132 Telp. (022) 2503997 Fax: (022) 2504081 http://www.batan-bdg.go.id
e-mail : [email protected] Frekuensi terbit/Issue
: Setiap bulan Februari dan Agustus Every February and August
JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIAINDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY
Vol. X, No. 1, Februari 2009 ISSN 1411 - 3481
LINGKUP PENERBITAN
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia memuat hasil penelitian yang berhubungan dengan sains dan teknologi nuklir dalam bidang: fisika, kimia, biologi, ilmu bahan, teknologi reaktor, konversi energi, instrumentasi, kesehatan, pertanian, industri, geologi dan lingkungan.
KEBIJAKAN REDAKSI Makalah yang diajukan untuk dimuat dalam Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia harus berupa hasil penelitian yang belum pernah dipublikasi dan tidak dalam proses untuk publikasi atau seminar. Demikian pula setelah makalah dimuat di Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia tidak dibenarkan diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia maupun bahasa lain, kecuali dengan izin resmi dari redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia. Diterima atau tidaknya suatu makalah merupakan keputusan redaksi yang tidak dapat diganggu gugat. Penulis akan menerima hasil evaluasi redaksi dalam waktu tidak lebih dari enam minggu. Apabila diperlukan, penulis dapat menerima contoh cetak lepas dari makalah yang siap diterbitkan untuk dikoreksi, dan dikembalikan ke redaksi dalam waktu tidak lebih dari satu minggu.
KEBIJAKAN UMUM
Pelanggaran HAKI. Penulis membebaskan Redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia dari kemungkinan gugatan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (HAKI) khususnya hak cipta pihak ke tiga. Apabila sampai terjadi gugatan maka penulis harus menyelesaikannya sendiri tanpa melibatkan Redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia atau instansi terkait. Hak cipta dan cetak ulang (reprint). Begitu tulisan dimuat di dalam Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia maka hak cipta atas tulisan tersebut menjadi milik Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia. Cetak ulang tulisan tersebut hanya dapat dilakukan atas sepengetahuan redaksi.
JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIAINDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY
Vol. X, No. 1, Februari 2009 ISSN 1411 - 3481
DAFTAR ISI Kata Pengantar i
RADIOAKTIVITAS IODIUM-125 PADA UJI PRODUKSI MENGGUNAKAN TARGET XENON-124 DIPERKAYA Rohadi Awaludin, Hotman Lubis, Anung Pujianto, Ibon Suparman, Daya Agung Sarwono, Abidin, Sriyono
1-10
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI KLINIS KIT-KERING RADIOFARMAKA SIPROFLOKSASIN Nurlaila Zainuddin, Basuki Hidayat, Rukmini Iljas 11-24
PENANDAAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAMETILEN FOSFONAT (EDTMP) DENGAN RADIONUKLIDA 175Yb Azmairit Aziz 25-36
KARAKTERISTIK KIMIA PAPARAN PARTIKULAT TERESPIRASI Noneng Dewi Zannaria, Dwina Roosmini, Muhayatun Santoso 37-50
SIFAT MAGNETORESISTANCE BAHAN KOMPOSIT Fe0,2C0,8 SEBELUM DAN SESUDAH IRADIASI SINAR GAMMA PADA DOSIS 250 kGy Yunasfi, Setyo Purwanto, Wisnu A. A. 51-58
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia
Terakreditasi Sesuai SK LIPI Nomor: 83/Akred-LIPI/P2MBI/5/2007 Masa berlaku tanggal, 29 Mei 2007 – 28 April 2010
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009
i
ISSN 1411 - 3481
KATA PENGANTAR
Di awal tahun 2009 ini, bertepatan dengan ulang tahun ke 44 BATAN Bandung,
yang saat ini bernama Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (PTNBR), Jurnal
Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia (JSTNI) hadir kembali di tengah masyarakat
ilmiah untuk menyajikan lima buah makalah. Empat makalah pertama berkaitan
dengan pemanfaatan reaktor riset, sedang makalah terakhir adalah mengenai
penggunaan iradiator gamma dalam ilmu bahan. Makalah pertama membahas tentang
produksi iodium-125 menggunakan target xenon-124 diperkaya, untuk memenuhi
kebutuhan di bidang kesehatan. Makalah ke dua membahas pengembangan dan
aplikasi klinis kit – kering radiofarmaka siprofloksasin untuk diagnosis infeksi yang sulit
terjangkau dengan cara konvensional. Topik makalah ke tiga adalah penandaan ligan
etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP) dengan radionuklida 175Yb, dalam rangka
pembuatan radiofarmaka untuk terapi paliatif metastases kanker ke tulang. Makalah
berikutnya membahas karakteristik kimia paparan partikulat terespirasi, yang
melibatkan penggunaan metode analisis berbasis teknik nuklir untuk penentuan unsur
dalam partikulat udara. Makalah terakhir membahas tentang sifat magnetoresistance
bahan komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi gamma. Diharapkan bahasan
dalam kelima makalah yang disajikan pada JSTNI terbitan ini dapat memberi kontribusi
nyata dalam pemanfaatan iptek nuklir.
Editor
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009
i
ISSN 1411 - 3481
KATA PENGANTAR
Di awal tahun 2009 ini, bertepatan dengan ulang tahun ke 44 BATAN Bandung,
yang saat ini bernama Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (PTNBR), Jurnal
Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia (JSTNI) hadir kembali di tengah masyarakat
ilmiah untuk menyajikan lima buah makalah. Empat makalah pertama berkaitan
dengan pemanfaatan reaktor riset, sedang makalah terakhir adalah mengenai
penggunaan iradiator gamma dalam ilmu bahan. Makalah pertama membahas tentang
produksi iodium-125 menggunakan target xenon-124 diperkaya, untuk memenuhi
kebutuhan di bidang kesehatan. Makalah ke dua membahas pengembangan dan
aplikasi klinis kit – kering radiofarmaka siprofloksasin untuk diagnosis infeksi yang sulit
terjangkau dengan cara konvensional. Topik makalah ke tiga adalah penandaan ligan
etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP) dengan radionuklida 175Yb, dalam rangka
pembuatan radiofarmaka untuk terapi paliatif metastases kanker ke tulang. Makalah
berikutnya membahas karakteristik kimia paparan partikulat terespirasi, yang
melibatkan penggunaan metode analisis berbasis teknik nuklir untuk penentuan unsur
dalam partikulat udara. Makalah terakhir membahas tentang sifat magnetoresistance
bahan komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi gamma. Diharapkan bahasan
dalam kelima makalah yang disajikan pada JSTNI terbitan ini dapat memberi kontribusi
nyata dalam pemanfaatan iptek nuklir.
Editor
Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481
1
RADIOAKTIVITAS IODIUM-125 PADA UJI PRODUKSI MENGGUNAKAN TARGET XENON-124 DIPERKAYA
Rohadi Awaludin, Hotman Lubis, Anung Pujianto, Ibon Suparman,
Daya Agung Sarwono, Abidin, Sriyono
Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka (PRR), BATAN Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang
ABSTRAK RADIOAKTIVITAS IODIUM-125 PADA UJI PRODUKSI MENGGUNAKAN TARGET XENON-124 DIPERKAYA. Telah dilakukan uji produksi 125I menggunakan target xenon diperkaya dengan pengayaan 124Xe sebesar 82,4%. Target diiradiasi neutron di kamar iradiasi di posisi S1 pada reaktor G.A. Siwabessy. Setelah iradiasi selama 24 jam, gas xenon teriradiasi diluruhkan di dalam botol peluruhan selama 7 hari. Radioisotop 125I yang terbentuk di dalam botol peluruhan dilarutkan menggunakan NaOH 0,005N sebanyak 3 kali. Dari uji produksi ke-1 sampai dengan ke-8 diperoleh radioaktivitas total 125I sebesar 9541, 9801, 11239, 9458, 3293, 3735, 4693 dan 2744 mCi. Penurunan radioaktivitas total 125I disebabkan oleh penurunan jumlah gas target. Radioaktivitas 125I hasil pelarutan pertama bergantung pada volume larutan NaOH yang digunakan. Persentase rerata radioaktivitas 125I pada pelarutan pertama sebesar 65,1%, 71,5% dan 82,6% dari radioaktivitas total untuk pelarutan menggunakan larutan NaOH dengan volume 3, 4 dan 5 mL. Konsentrasi radioaktivitas maksimum yang berhasil diproduksi sebesar 3410 mCi/mL dari hasil pelarutan pertama dari uji produksi pertama. Kata kunci: iodium-125, produksi radioisotop, xenon diperkaya
ABSTRACT IODINE-125 RADIOACTIVITY DURING PRODUCTION TEST USING ENRICHED
XENON-124 TARGET. Production tests of Iodine-125 have been carried out using enriched xenon target with 82,4% of 124Xe enrichment. The target was irradiated at irradiation chamber in S1 position of G.A. Siwabessy reactor. After irradiation for 24 hours, the irradiated xenon gas was decayed at decay pot for 7 days. The produced iodine-125 was dissolved 3 times using NaOH 0.005N. From 1st to 8th tests, the total radioactivities were 9541, 9801, 11239, 9458, 3293, 3735, 4693 and 2744 mCi. The decrease of the total radioactivity was caused by the decrease of the gas target. Radioactivity of the 1st solution depended on the volume of NaOH solution. The average percentages of the 1st solution were 65.1, 71.5 and 82.6% of the total radioactivity for 3, 4 and 5 mL of NaOH. The maximum radioactivity concentration was 3410 mCi/mL from 1st solution of the 1st production test. Keywords : iodine-125, radioisotope production, enriched xenon. 1. PENDAHULUAN
Penggunaan radioisotop di bidang
kesehatan terus menunjukkan peningkatan.
Di Jepang dan Amerika Serikat, skala
ekonomi penggunaan radioisotop telah
mencapai sekitar 5% dari total belanja di
bidang kesehatan kedua negara tersebut
(1). Salah satu radioisotop yang telah
berkembang penggunaannya adalah
Iodium-125. Radioisotop ini merupakan
radioisotop pemancar gamma berenergi
rendah yaitu 35,5 keV dan memiliki umur
paro 59,4 hari. Iodium-125 telah
dimanfaatkan untuk tujuan diagnosis
menggunakan radioimmunoassay,
pembuatan sumber tertutup untuk
penanganan kanker dan radioactive tracer
untuk penelitian (2,3,4).
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481
2
Radioisotop ini dapat dihasilkan
melalui reaksi aktivasi neutron dengan
menembakkan neutron pada target isotop 124Xe. Penembakan ini menghasilkan
radioisotop 125Xe yang selanjutnya akan
meluruh menjadi 125I. Xenon alam
mengandung isotop 124Xe sebesar 0,1%.
C.G. Kadhar melaporkan bahwa 125I dapat
dibuat menggunakan xenon alam yang
dimasukkan ke kapsul stainless steel.
Kapsul tersebut diiradiasi di dalam reaktor
selama 4 hari dan selanjutnya iodium yang
tebentuk di dalamnya dilarutkan. Dengan
metode ini diperoleh 125I dengan
radioaktivitas sebesar 0,7 Ci. Kandungan
radioisotop pengotor berupa 126I sangat
tinggi, lebih dari 5% (5). Dari hasil ini, untuk
mendapatkan 125Xe dengan radioaktivitas
yang tinggi diperlukan gas xenon dengan
kandungan 124Xe yang telah diperkaya.
Selain itu, untuk mendapatkan kemurnian
radionuklida yang tinggi diperlukan sistem
pemindahan gas xenon. Gas xenon hasil
iradiasi dipindahkan ke tempat peluruhan
untuk mendapatkan 125I. Dengan metode ini, 125I dapat diperoleh dengan kemurnian
radionuklida yang tinggi karena produk 125I
tidak bercampur dengan 126I yang terbentuk
saat iradiasi (5,6).
Dengan metode pemindahan gas
xenon, radioaktivitas 125I yang diperoleh dari
hasil peluruhan xenon-125 setelah
dipindahkan ke botol peluruhan dapat
dinyatakan dengan persamaan (1) (6). Pada
persamaan (1) tersebut A, λ dan t masing
masing menyatakan radioaktivitas,
konstanta peluruhan dan waktu peluruhan.
Nilai radioaktivitas 125I (AI-125) mencapai
maksimum pada saat turunan dari
persamaan AI-125 terhadap waktu sama
dengan nol (dA/dt = 0) (2).
Persamaan (3) menunjukkan waktu
peluruhan saat radioaktivitas 125I mencapai
nilai maksimum.
Pusat radioisotop dan radiofarmaka -
BATAN telah berhasil melakukan uji
produksi iodium-125 menggunakan target
xenon dengan kandungan 124Xe diperkaya
dengan metode pemindahan gas xenon.
Hasil uji ini perlu dievaluasi dari berbagai
sisi, di antaranya radioaktivitas larutan 125I
yang berhasil diperoleh. Tujuan dari
evaluasi ini adalah mendapatkan gambaran
radioaktivitas total dan konsentrasi
radioaktivitas yang berhasil diperoleh pada
uji produksi 125I menggunakan target xenon
diperkaya. Dari evaluasi ini diharapkan
didapatkan faktor-faktor yang berpengaruh
serta langkah-langkah yang diperlukan
untuk meningkatkan radioaktivitas total dan
konsentrasi radioaktivitas.
)}exp(){exp()( 125125125125125
125125 ttAA IXeXe
IXe
II −−−
−−
−− −−−
−= λλ
λλλ (1)
)}exp()exp({)(0 125125125125125125125
125125 ttAdt
dAIIXeXeXe
IXe
II−−−−−
−−
−− −+−−−
== λλλλλλ
λ (2)
125125
125
125 )ln(
−−
−
−
−=
XeI
Xe
I
tλλ
λλ
(3)
Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481
3
2. BAHAN DAN TATA KERJA Pada uji produksi ini digunakan target
gas xenon dengan kandungan 124Xe
sebesar 82,4% dari Isotec Inc., Amerika
Serikat. Target yang digunakan sebanyak
0,0223 mol gas xenon. Komposisi isotop di
dalam target ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan isotop di dalam target gas xenon diperkaya.
Jenis isotop
Kandungan atom (% jumlah)
124Xe 82,4 126Xe 0,6 128Xe 0,3 129Xe 4,5 130Xe 0,7 131Xe 3,6 132Xe 4,6 134Xe 1,8 136Xe 1,5
Skema fasilitas produksi iodium-125
ditunjukkan pada Gambar 1. Sebelum
digunakan, fasilitas divakumkan sampai
dengan tekanan 50 militorr. Gas xenon
dipindahkan ke dalam kamar iradiasi
memanfaatkan perbedaan tekanan botol
penyimpanan dan kamar iradiasi.
Perpindahan gas berhenti setelah tekanan
botol penyimpanan sama dengan tekanan
kamar iradiasi. Gas xenon yang tersisa di
botol penyimpanan dipindahkan ke dalam
cold finger dengan mendinginkan cold finger
menggunakan nitrogen cair. Selanjutnya
dari cold finger gas xenon dipindahkan ke
kamar iradiasi dengan mengeluarkan
nitrogen cair dari dewar cold finger setelah
katup menuju botol penyimpanan ditutup
dan jalur gas ke kamar iradiasi dibuka.
Sasaran gas xenon diiradiasi selama
24 jam di kamar iradiasi di posisi S1 yang
berada di pinggir teras reaktor G.A.
Siwabessy. Posisi ini memiliki fluks neutron
rerata 3 x 1013 ns-1cm-2 (7) , selanjutnya gas
xenon yang telah diiradiasi dipindahkan ke
dalam botol peluruhan. Pada saat
pemindahan, gas xenon dilewatkan filter
iodium untuk mencegah kontaminasi isotop
iodium lain yang terbentuk di kamar iradiasi.
Oleh karena itu, iodium-125 yang terbentuk
di dalam botol peluruhan merupakan iodium
dari gas xenon yang dipindahkan, tidak
tercampur dengan iodium yang terbentuk
selama iradiasi (8).
Peluruhan 125Xe dilakukan selama 7
hari atau lebih dari 9 kali umur paruhnya
yang sebesar 17 jam. Dengan peluruhan 7
hari, radioisotop 125Xe hampir seluruhnya
telah berubah menjadi 125I. Waktu 7 hari ini
juga mempertimbangkan faktor keselamatan
radiasi pada saat pelarutan [9]. Radioisotop 125Xe memancarkan radiasi hasil anihilasi
sebesar 511 keV yang dapat memberikan
paparan radiasi yang besar ke lingkungan
pada saat perisai timbal pada botol
peluruhan dibuka (6).
Iodium-125 yang terbentuk di dalam botol
peluruhan dilarutkan menggunakan larutan
NaOH 0,005N dengan volume bervariasi
antara 3-5 mL. Botol peluruhan dikocok
selama 30 menit untuk memastikan bahwa
seluruh permukaan botol telah terbasahi
oleh larutan NaOH.
Larutan selanjutnya dikeluarkan dari
botol dan diperoleh larutan 125I.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481
4
Gambar 1. Skema fasilitas produksi iodium-125
Pelarutan menggunakan larutan
NaOH 0,005N ini dilakukan sebanyak 3 kali.
Larutan diukur volumenya dan dicuplik
sebanyak 5 μl menggunakan pipet mikro
untuk pengukuran radioaktivitas tiap hasil
pelarutan. Radioaktivitas diukur
menggunakan gamma ionization chamber
Atom Lab100. Dari pengukuran ini diperoleh
radioaktivitas 125I tiap 5 μl larutan. Dari hasil
pengukuran ini dihitung konsentrasi
radioaktivitas larutan 125I dan selanjutnya
dihitung radioaktivitas 125I total yang
didapatkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pelarutan 125I dari botol
peluruhan diperoleh larutan fraksi 1, fraksi 2
dan fraksi 3. Radioaktivitas 125I yang
diperoleh tersebut dijumlah dan diperoleh
radioaktivitas total hasil uji produksi. Hampir
seluruh 125I berhasil dilarutkan dengan tiga
kali pelarutan. Radioisotop 125I dalam jumlah
sangat sedikit yang masih tersisa di dalam
botol peluruhan diabaikan pada perhitungan
ini. Total radioaktivitas 125I yang diperoleh
ditunjukkan pada Gambar 2. Radioaktivitas
total tersebut adalah radioaktivitas pada
saat pelarutan atau 7 hari setelah iradiasi.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1 2 3 4 5 6 7 8
Uji produksi ke-
radi
oakt
ivita
s I-1
25 (m
Ci)
Gambar 2. Radioaktivitas total 125I dari uji produksi ke-1 sampai dengan ke-8.
Pada Gambar 2 ditunjukan bahwa
pada 4 kali uji produksi pertama diperoleh
radioaktivitas yang tinggi sebesar 9541,
9801, 11239, 9458 mCi. Selanjutnya mulai
pada uji produksi ke-5 terjadi penurunan
tajam radioaktivitas total. Uji produksi ke-5
sampai dengan ke-8 menghasilkan 125I
sebesar 3293, 3735, 4693, 2744 mCi.
Dari Gambar 2 diketahui bahwa
radioaktivitas 125I menurun dengan tajam
dari uji produksi ke-4 dan ke-5. Hal ini
diduga karena penurunan jumlah gas
sasaran. Dugaan ini diperkuat dari hasil
pengukuran tekanan gas sasaran sebelum
gas tersebut dikirim ke kamar iradiasi.
Kamar iradiasi 1000 cm3
Botol peluruhan dan penyimpanan
Cold finger
Ke pompa vakum
Filter Iodium
Dinding reaktor
Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481
5
Sebelum dimasukkan ke kamar iradiasi,
pada saat uji produksi ke-2 sampai dengan
ke-4, tekanan gas di depan kamar iradiasi
menunjukkan nilai sekitar 40 psi. Tekanan
gas pada uji pertama tidak dapat
dibandingkan karena gas sasaran dikirim ke
kamar iradiasi dari botol target di luar
fasilitas produksi dengan volume botol lebih
besar. Pada uji produksi ke-5, tekanan gas
menunjukkan angka sekitar 20 psi. Besaran
tekanan ini memang sulit dilihat secara teliti
karena alat ukur tekanan gas yang ada
memiliki rentang ukur yang besar sampai
dengan 300 psi. Namun demikian,
penurunan tekanan gas terlihat sangat
signifikan pada uji produksi keempat dan
kelima.
Jumlah sasaran gas xenon yang
sesungguhnya teriradiasi di dalam kamar
iradiasi tiap uji produksi tidak dapat
diketahui dengan tepat. Faktor ini dapat
menyebabkan perbedaan hasil untuk tiap
kali uji produksi. Gas xenon disimpan di
dalam botol penyimpanan yang ada di
dalam fasilitas produksi. Botol tersebut
memiliki volume dalam sebesar 50 mL.
Pada saat penyimpanan, tekanan gas
sebanyak 0,0223 mol di dalam botol
tersebut lebih dari 10 atm. Jika diasumsikan
sebagai gas ideal, gas sebanyak 0,0223 mol
pada suhu 20 °C dengan volume 50 mL
memiliki tekanan 10,7 atm. Penyimpanan
gas bertekanan tinggi dalam waktu lama
memiliki kerawanan terjadinya kebocoran.
Kebocoran dalam jumlah besar dapat
terdeteksi dengan adanya peningkatan
paparan radiasi di dalam glove box. Namun,
jika kebocoran tersebut sangat kecil, sulit
untuk diketahui. Berkurangnya tekanan gas
pada saat pengiriman gas ke kamar iradiasi
dibandingkan uji produksi sebelumnya
mengindikasikan terjadinya penurunan
jumlah gas yang tersimpan dalam waktu
lama tersebut. Jeda waktu dari uji produksi
ke - 4 dan ke - 5 sekitar 10 bulan.
0
200
400
600
800
1000
0 5 10 15 20 25
lama iradiasi (jam)ra
dioa
ktiv
itas
(Ci)
Gambar 3. Radioaktivitas 125Xe seiring dengan waktu iradiasi
Hasil perhitungan secara teoritis
radioaktivitas 125Xe yang dihasilkan di kamar
iradiasi ditunjukkan pada Gambar 3. Pada
perhitungan ini digunakan tampang lintang
reaksi penangkapan neutron termal oleh 124Xe sebesar 165 barn (10). Dari Gambar 3
diketahui bahwa setelah iradiasi selama 24
jam, 125Xe terbentuk sebanyak 927 Ci.
Selanjutnya 125Xe ini dipindahkan ke dalam
botol peluruhan untuk mendapatkan 125I
hasil dari peluruhannya. Perubahan
radioaktivitas 125Xe dan 125I di dalam botol
peluruhan ditunjukkan pada Gambar 4.
Dari gambar 4 diketahui bahwa
radioaktivitas 125I meningkat tajam pada saat
awal. Peningkatan radioaktivitas 125I
mencapai puncak maksimum pada 4,6 hari
sebesar 10,45 Ci. Pada saat puncak ini, laju
pembentukan 125I sama dengan laju
peluruhannya. Setelah itu, laju peluruhan
lebih cepat dari laju pembentukan sehingga
radioaktivitas 125I mengalami penurunan
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481
6
seiring dengan waktu.
1
10
100
1000
0 1 2 3 4 5 6 7
waktu peluruhan (hari)
radi
oakt
ivita
s (C
i)
Xe-125
I-125
Gambar 4. Hasil perhitungan radio Aktivitas 125Xe dan 125I pada saat peluruhan 125Xe menjadi 125I di dalam botol peluruhan.
Pada Gambar 4, penurunan
radioaktivitas 125I tersebut tidak terlihat
dengan jelas karena umur paro yang
panjang yaitu 59,4 hari. Setelah 7 hari
peluruhan, radioaktivitas 125I sebesar 10,27
Ci. Hasil dari uji produksi ke-1 sampai
dengan ke-4 mendekati hasil perhitungan
teoritis dengan perbedaan kurang dari 10%.
Perbedaan antara hasil uji produksi
dan perhitungan teoritis ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya adalah variasi fluks neutron di
kamar iradiasi, perbedaan tingkat
kesempurnaan pelarutan 125I dari botol
peluruhan serta akurasi pengukuran volume
saat pengambilan sampel pada saat
pengukuran. Pada perhitungan ini
digunakan nilai rerata fluks neutron di posisi
S1. Nilai fluks neutron sesungguhnya pada
saat iradiasi dapat sedikit lebih besar atau
lebih kecil bergantung pada komposisi
bahan bakar dan tingkat serapan neutron
dari bahan yang diiradiasi di dalam teras
reaktor pada saat tersebut.
Dari hasil perhitungan dapat diketahui
waktu peluruhan 125Xe saat radioaktivitas 125I mencapai nilai maksimum. Dari
perhitungan menggunakan data sasaran
pada Gambar 4 dan hasil penurunan secara
matematis menggunakan persamaan 3
diketahui bahwa nilai radioaktivitas 125I
mencapai maksimum pada saat peluruhan
selama 4,6 hari. Namun, pada saat
pengoperasian fasilitas, peluruhan dilakukan
selama 7 hari. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan keselamatan radiasi. Pada
saat peluruhan selama 4,6 hari,
radioaktivitas 125Xe masih sebesar 10,1 Ci.
Radioisotop 125Xe memancarkan radiasi
hasil anihilasi positron dan elektron sebesar
511 keV. Pada penyiapan pelarutan, perlu
dilakukan penanganan botol peluruhan
dengan membuka perisai timbal. Radiasi
dari 125Xe ini memiliki daya tembus yang
tinggi sehingga memberikan paparan ke
lingkungan yang besar jika hanya ditahan
oleh dinding botol peluruhan berbahan
SS316 setebal 5 mm. Setelah 7 hari
peluruhan, radioaktivitas 125Xe telah
berkurang menjadi 0,94 Ci sehingga
paparan ke lingkungan telah mengecil.
Radioisotop 125I memancarkan radiasi
gamma dengan energi rendah sebesar 35,5
keV. Radiasi gamma serendah ini hampir
tidak menembus dinding botol peluruhan
dari SS316 setebal 5 mm.
Hasil pelarutan menggunakan NaOH
0,005 N menunjukkan bahwa volume larutan
NaOH yang digunakan untuk pelarutan
pertama berpengaruh pada radioaktivitas
yang dihasilkan pada pelarutan pertama.
Pada uji produksi ini digunakan NaOH
dengan volume 3, 4 dan 5 mL pada
pelarutan pertama. Korelasi antara volume
NaOH yang digunakan dan persentase
radioaktivitas 125I yang berhasil dikeluarkan
pada larutan 1 ditunjukkan pada Gambar 5.
Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481
7
0
20
40
60
80
100
2 3 4 5 6
volume NaOH pada pelarutan I (ml)
pers
enta
se ra
dioa
ktiv
itas
frak
si I
diba
ndin
g ra
dioa
ktiv
tas
tota
l (%
)
0
1000
2000
3000
4000
5000
kons
entr
asi r
adio
aktiv
itas
(mC
i/ml)
persentase radioaktivitaskonsentrasi radioaktivitas
Gambar 5. Hubungan antara volume NaOH yang digunakan pada pelarutan I dengan persentase
radioaktivitas fraksi I dan konsentrasi radioaktivitasnya.
Pada Gambar 5 ditunjukkan bahwa
pada saat pelarutan menggunakan NaOH
sebanyak 3 mL, larutan pertama diperoleh
64,3 dan 65,6 % dari total radioaktivitas.
Pada saat volume NaOH ditingkatkan
menjadi 4 mL, persentase meningkat
menjadi 71,3 dan 71,9%. Sedangkan saat
digunakan 5 mL, persentase larutan I
sebesar 81,7, 84,6, 79,6 dan 82,6%. Jadi
semakin besar volume NaOH yang
digunakan, semakin besar pula persentase
yang dapat dilarutkan pada pelarutan
pertama. Namun, pada Gambar 5 tersebut
ditunjukkan pula bahwa semakin besar
pelarut yang digunakan, konsentrasi
radioaktivitas yang diperoleh pun semakin
kecil. Penurunan konsentrasi tersebut
terlihat pada uji produksi pertama sampai
dengan ke-4 pada saat radioaktivitas total
sekitar 9 Ci maupun pada uji produksi ke-5
sampai dengan ke-8 pada saat
radioaktivitas total sekitar 4 Ci.
Dari hasil pelarutan ini dapat
direkomendasikan bahwa untuk
radioaktivitas besar, jumlah pelarut dapat
digunakan dalam jumlah yang besar karena
konsentrasi radioaktivitas tetap akan tinggi.
Namun, jika total radioaktivitas rendah,
pelarut digunakan seminimal mungkin untuk
mendapatkan konsentrasi radioaktivitas
yang tinggi sehingga memenuhi persyaratan
yang diperlukan dengan mengorbankan total
radioaktivitas pada pelarutan pertama.
Konsentrasi radioaktivitas pada uji
produksi 1 sampai dengan 8 untuk hasil
pelarutan 1 sampai dengan 3 ditunjukkan
pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa
dari pelarutan 1, konsentrasi maksimum
yang pernah dihasilkan adalah 3410 mCi/mL
pada uji produksi pertama. Pada uji produksi
ke-2 sampai dengan ke-4 diperoleh
konsentrasi antara 2000 – 3000 mCi/mL.
Pada uji produksi ke-6 diperoleh 1225
mCi/mL sedangkan pada uji produksi ke 5, 7
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481
8
dan 8 diperoleh konsentrasi radioaktivitas
kurang dari 1000 mCi/mL.
Pada uji produksi ini telah dilakukan
pula evaluasi kemurnian radionuklida yang
diperoleh. Uji produksi ini menghasilkan 125I
dengan kemurnian radionuklida lebih dari
99,9%. Pengotor radionuklida yang
terkandung di dalamnya berupa 126I dengan
umur paro 13,1 hari. Evaluasi kemurnian
radionuklida secara rinci telah dipublikasikan
sebelumnya (12). Tabel 2. Konsentrasi Radioaktivitas pelarutan 1, 2 dan 3 dari uji produksi ke-1 sampai dengan ke-8
Uji produksi
Konsentrasi radioaktivitas 125I (mCi/mL)
pelarutan 1
pelarutan 2
pelarutan 3
1 3410 763 166 2 2004 304 71 3 2865 936 125 4 2224 317 77 5 789 135 80 6 1225 263 61 7 934 151 31 8 504 92 28
4. KESIMPULAN Telah dilakukan uji produksi 125I
dengan target xenon-124 diperkaya 82,4%
sebanyak 0,0223 mol sebanyak 8 kali.
Radioaktivitas total dari uji produksi ke-1
sampai dengan ke-8 pada saat pelarutan
adalah 9541, 9801, 11239, 9458, 3293,
3735, 4693 dan 2744 mCi. Radioaktivitas
hasil dari iradiasi pertama sampai dengan
ke-4 mendekati hasil perhitungan secara
teoritis yang sebesar 10,27 Ci. Rerata
persentase radioaktivitas dari pelarutan
pertama sebesar 65,1%, 71,5% dan 82,6%
untuk volume pelarut NaOH masing masing
sebeasr 3 mL, 4 mL dan 5 mL. Konsentrasi
radioaktivitas maksimum yang pernah
dicapai adalah 3410 mCi/mL pada pelarutan
pertama dari uji produksi pertama.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada
PT. Batan Teknologi atas kerja sama yang
diberikan dalam pelaksanaan uji produksi
Iodium-125.
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Inoue T, Hayakawa K, Shiotari H,
Takada E and Torikoshi M. Economic
scale of utilization of radiation (III):
Medicine, Journal of Nuclear Science
and Technology, 2002, Vol 39:1114-
1119.
2. Widayati P, Ariyanto A, Yunita F, Sutari.
Optimasi rancangan assay kit IRMA CA-
125, Jurnal Radioisotop dan
Radiofarmaka, 2006, Vol 9: 1-12.
3. Antipas V, Dale RG, Coles IP. A
theoretical investigation into the role of
tumor radiosensitivity, clonogen
repopulation, tumor shrinkage and
radionuclide RBE in permanent
brachytherapy implants of 125I and 103Pd,
Physics in Medicine and Biology, 2001,
Vol 46: 2557-2569.
4. Sedelnikova OA., Panyutin IG, Thierry
AR and Neumann RD. Radiotoxicity of
Iodine-125-Labeled
Oligodeoxyribonucleotides in
Mammalian Cells, The Journal of
Nuclear Medicine, 1998, Vol. 39: 1412-
1418.
5. Karhadkar CG. Design review and
safety assessment of the xenon
irradiation in tray rods, Proceeding of the
IAEA Meeting on Irradiation Technology
Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481
9
and Radioisotope Production, Jakarta,
2005.
6. Saitoh N, et al. Handbook of
Radioisotope, Maruzen, Tokyo, 1996.
7. Soenarjo S, Tamat SR, Suparman I and
Purwadi B. RSG-GAS based
radioisotopes and sharing program for
regional back up supply, Jurnal
Radioisotop dan Radiofarmaka, 2003,
Vol 6:33-43.
8. Anonymous. Manufacturing manual of
iodium-125, Mediphysics, New York,
1985.
9. Anonymous. Iodine-125 handling
precaution, Perkin Elmer, New York,
2007.
10. Japan Radioisotope Association. Note
Book of Radioisotope, Maruzen, Tokyo,
1990.
11. Awaludin R. Penggunaan ulang xenon
pada produksi iodium-125, Prosiding
Pertemuan dan Presentasi Ilmiah
Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Nuklir 2006: 24-28
12. Awaludin R. dkk. Evaluasi kemurnian
radionuklida pada uji produksi iodium-
125 menggunakan target xenon
diperkaya, Prosiding Pertemuan dan
Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Nuklir
2008:146-151.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481
10
Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481
11
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI KLINIS KIT-KERING RADIOFARMAKA SIPROFLOKSASIN
Nurlaila Zainuddin,1) Basuki Hidayat2), Rukmini Iljas1)
1)Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri-BATAN Jln. Tamansari 71 Bandung 40132
2)Bagian Kedokteran Nuklir-RS Hasan Sadikin Jln. Pasir Kaliki 192, Bandung
ABSTRAK PENGEMBANGAN DAN APLIKASI KLINIS KIT-KERING RADIOFARMAKA SIPROFLOKSASIN. Radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin tersedia dalam bentuk kit-cair yang dikemas terpisah dari radionuklidanya. Sediaan dalam bentuk ini mempunyai stabilitas yang rendah. Guna memenuhi kebutuhan radiofarmaka untuk diagnosis infeksi telah dilakukan modifikasi pembuatan kit-kering radiofarmaka siprofloksasin menggunakan larutan infus siprofloksasin laktat yang beredar di pasaran dengan metode liofilisasi. Kit-kering siprofloksasin terdiri dari flakon A berisi 2 mg siprofloksasin laktat dan flakon B berisi 2 mg reduktor Sn-tartrat. Preparasi sediaan 99mTc-siprofloksasin dilakukan dengan menambahkan radioisotop 99mTc ke dalam flakon A yang telah dilarutkan dalam akuabides, diikuti penambahan larutan reduktor Sn-tartrat dari flakon B pada kondisi penandaan optimal. Kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin ditentukan dengan metode kromatografi menggunakan fase diam ITLC-SG dengan fase`gerak aseton kering. Pengujian aktivitas biologis dan uptake 99mTc-siprofloksasin terhadap mikroorganisme dilakukan secara in-vitro. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan sterilitas, toksisitas dan evaluasi klinis terhadap volunter. Hasil penandaan kit-kering siprofloksasin dengan radionuklida 99mTc diperoleh 99mTc-siprofloksasin dengan kemurnian radiokimia sebesar 96,39 ± 2,01%. Pengujian aktivitas biologis terhadap bakteri S. aureus dan E. coli menunjukkan bahwa kit-kering siprofloksasin setelah proses penandaan dengan 99mTc tidak kehilangan daya bakterisidanya dan uptake maksimum terjadi pada waktu inkubasi 1 jam sebesar 83,06 ± 10,95% dan 80,26 ± 8,58% masing-masing terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Kit-kering radiofarmaka siprofloksasin merupakan sediaan yang steril, vakum dan tidak toksik. Uji klinis radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin terhadap volunter yang menderita abses hati dan korpus tulang belakang menunjukkan adanya akumulasi radioaktivitas di daerah tersebut. Aplikasi klinis 99mTc-siprofloksasin dengan teknik pencitraan menggunakan kamera gamma menunjukkan bahwa radiofarmaka ini dapat digunakan untuk penyidik infeksi.
Kata kunci: siprofloksasin, 99mTc, kit-kering, infeksi. ABSTRACT
DEVELOPMENT AND CLINICAL APPLICATION OF THE RADIOPHARMACEUTICAL DRIED-KIT OF CIPROFLOXACIN. Nowadays, the 99mTc-ciprofloxacin radiopharmaceutical is available in the form of liquid-kit, which is separately packed with its radionuclide. The radiopharmaceuticals in that form has low stability. In order to fulfill the necessity of radiopharmaceutical for the diagnosis of infection, the modification of the preparation radiopharmaceutical dried-kit of ciprofloxacin using a commercial ciprofloxacin infuse solution by lyophilization method has been carried out. Ciprofloxacin dried-kit consists of 2 mg of ciprofloxacin lactate in the vial A and 2 mg of stannous tartrate in the vial B. The preparation of 99mTc-ciprofloxacin was performed by adding 99mTc radionuclide into the vial A dissolved in sterile water for injection, followed by addition of Sn-tartrate solution from the vial B at the optimum condition of labeling. The radiochemical purity of 99mTc-ciprofloxacin was analyzed by chromatographic method using ITLC-SG as a stationary phase and acetone as a mobile phase. In vitro determination of the biological activity and uptake of 99mTc-ciprofloxacin were performed to microorganism. Meanwhile, the sterility, toxicity and clinical evaluation were also observed. The labelling result of ciprofloxacin dried-kit with 99mTc radionuclide indicated that radiochemical purity of 99mTc-ciprofloxacin was 96.39 ± 2.01 %. The determination of biological activity to S. aureus and E. coli showed that after labelling the bactericide activity was not change i.e. 83.06 ± 10.95 % and 80.26 ± 8.58 % for S. aureus and E. coli respectively, whereas the maximum
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481
12
uptake were occured after one hour incubation. Clinical evaluation of 99mTc-ciprofloxacin to liver and bone marrow abscess patients showed the radioactivity accumulation around those areas. Clinical application of 99mTc-ciprofloxacin with tomography technique using gamma camera showed that this radiopharmaceutical could be used for infection imaging. Key words: ciprofloxacin, 99mTc, dried-kit, infection. 1. PENDAHULUAN Penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram positif maupun gram negatif
merupakan penyakit yang penyebarannya
sangat luas dan dapat menjangkiti seluruh
lapisan masyarakat. Beberapa metode
diagnosis dengan metode pencitraan
(imaging) menggunakan berbagai peralatan,
di antaranya ultrasonography (USG),
magnetic resonance imaging (MRI),
computed tomography (CT-scan) kadang-
kadang tidak dapat diterapkan secara
spesifik untuk lokasi infeksi yang terjadi
pada bagian tubuh yang sangat dalam
(deep-seated infection), misalnya dalam
tulang dan persendian (1,2). Untuk maksud
ini, metode teknik nuklir menggunakan
radiofarmaka merupakan metode alternatif
yang dapat diterapkan. Salah satu
radiofarmaka yang dapat digunakan adalah
siprofloksasin bertanda teknesium-99m.
Pendeteksian dilakukan dengan metode
pencitraan dengan alat kamera gamma.
Pencitraan menggunakan radiofarmaka ini
sangat spesifik, di mana dapat dibedakan
antara infeksi dan inflamasi steril (3).
Siprofloksasin adalah suatu antibiotik
spektrum luas, golongan fluorokinon yang
biasa digunakan dalam terapi infeksi baik
yang disebabkan oleh bakteri gram-positif
maupun gram-negatif, di antaranya E. coli,
Shigella, Salmonella, Enterobacter,
Staphyllococcus, Clostridium, Eubacterium,
Brucella alcaligenes, Aeromonas,
Paseurella, Mycobacterium dan
Actinormyces [2]. Senyawa fluorokinon ini
bersifat membunuh bakteri (bakterisid)
dengan cara mengikat enzim DNA-gyrase
yang diperlukan DNA untuk berubah dari
bentuk spiral ganda` menjadi bentuk spiral
tunggal pada saat pembelahan sel (4).
Dalam bidang radiofarmasi,
teknesium-99m merupakan radio-nuklida
yang dipakai secara luas dalam
pembuatan radiofarmaka untuk tujuan
diagnosis. Hal ini disebabkan beberapa
sifat yang menguntungkan dari
radionuklida tersebut sebagai penyidik
organ, yaitu mempunyai umur paro yang
pendek (6,08 jam), memancarkan sinar
gamma murni dengan energi yang ideal
untuk pencitraan dengan kamera gamma
(140 keV), toksisitas rendah dan dapat
berikatan dengan berbagai molekul
organik (5).
Kemajuan teknologi formulasi telah
mempengaruhi perkembangan
radiofarmaka. Bentuk sediaan kering yang
dapat mempertinggi kestabilan dan
teknologi produk instant yang dapat
meningkatkan kenyamanan pemakai telah
dimanfaatkan pula dalam formulasi
radiofarmaka yang dikenal dengan
sediaan kit-kering radiofarmaka, yaitu
radiofarmaka setengah jadi, steril dan
bebas pirogen yang dikemas secara
Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481
13
terpisah dengan radioisotop atau
radionuklidanya dan dikeringkan dengan
cara liofilisasi (beku-kering) (6).
Sejalan dengan perkembangan
teknologi formulasi tersebut, teknologi
penyediaan radioisotop 99mTc yang semula
diperoleh dari induk 99Mo dengan cara
ekstraksi pelarut organik telah berhasil
diganti dengan teknologi generator
radioisotop 99mTc. Generator ini berisi
radionuklida induk 99Mo dan radionuklida
anak 99mTc dalam kesetimbangan sehingga
pengguna di rumah sakit setiap hari secara
instant dapat memperoleh larutan 99mTc
dalam bentuk Na99mTcO4. Dengan
tersedianya kit-kering radiofarmaka, larutan 99mTc dari generator dapat langsung
ditambahkan ke dalam kit-kering tersebut
dan diperoleh radiofarmaka 99mTc yang siap
dipakai tanpa harus melalui langkah
pemurnian atau sterilisasi.
Dalam penelitian terdahulu telah
dilakukan penandaan siprofloksasin dengan
radionuklida 99mTc menggunakan
siprofloksasin HCl sebagai bahan awal.
Penelitian tersebut meliputi formulasi dan
penyediaan radiofarmaka dalam bentuk kit-
cair dan kit-kering (7,8). Sediaan dalam
bentuk kit-cair mempunyai stabilitas yang
rendah selama penyimpanan, sedangkan
sediaan dalam bentuk kit-kering setelah
ditandai dengan radionuklida 99mTc
memberikan kemurnian radiokimia yang
rendah, yaitu lebih kecil dari 64% (8). Untuk
mengatasi masalah ini, dalam penelitian ini
akan dilakukan pengembangan dan
modifikasi formulasi pembuatan kit-kering
siprofloksasin menggunakan larutan infus
siprofloksasin laktat [9] yang beredar di
pasaran sebagai bahan awal. Untuk
mengetahui bahwa sediaan tersebut
memenuhi persyaratan sebagai
radiofarmaka diagnosis infeksi, dilakukan
juga beberapa pengujian di antaranya
kemurnian radiokimia (4,5), aktivitas
biologis dan uptake secara in-vitro oleh
mikroba, sterilitas dan toksisitas sediaan.
Selain itu, dilakukan juga uji pendahuluan
klinis pada beberapa volunter di rumah
sakit untuk memastikan bahwa
radiofarmaka tersebut dapat digunakan
untuk diagnosis infeksi. Penelitian ini
bertujuan memperoleh kit-kering
siprofloksasin untuk radiofarmaka
bertanda teknesium-99m yang mempunyai
kualitas dan stabilitas yang baik dengan
harga yang terjangkau karena dibuat di
dalam negeri, sehingga radiofarmaka ini
dapat digunakan secara luas untuk
menunjang pelayanan yang lebih baik di
bidang kesehatan.
2. TATA KERJA 2.1. Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan adalah
radionuklida 99mTc dalam bentuk larutan
Na99mTcO4 yang diperoleh dari generator 99Mo/99mTc buatan BATAN-Teknologi.
Siprofloksasin laktat dalam bentuk larutan
infus 0,2% buatan Dexa Medica, Sn-tartrat
produksi Sigma, larutan NaCl fisiologis
dan akuabides steril produksi IPHA
Laboratories. Bahan lainnya adalah
ITLCTM-SG buatan Pall Corporation, asam
klorida, aseton serta pereaksi lain produksi
E.Merck dengan tingkat kemurnian
pereaksi analisis, media agar nutrien
padat dan agar glukosa sabouroud (SGA)
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481
14
produksi Oxoid.
Bakteri yang digunakan adalah
S.aureus dan E.coli biakan Biofarma, media
trypton soya broth (TSB), agar nutrien
buatan Difco, hewan uji mencit putih galur
Swiss dengan berat ± 25 gram.
Peralatan yang dipakai antara lain
pengering-beku (freeze-dryer) Labconco,
dose calibrator, pencacah saluran tunggal
(C.Schlumberger) dengan detektor NaI-Tl,
inkubator (Heraeus), timbangan analitis
(Sauter), laminar air flow, seperangkat alat
kromatografi menaik dan seperangkat alat
kamera gamma.
2.2. Optimalisasi jumlah Sn-tartrat Penyiapan larutan Sn-tartrat sebagai
reduktor dilakukan dengan menambahkan
14 µL HCl 10N (dibuat dari HCl fuming 37%
≈11,8N) ke dalam flakon yang berisi 10 mg
Sn-tartrat. Kemudian ditambahkan akua-
bides steril sampai volume tepat 10 mL dan
dialiri gas nitrogen selama ± 5 menit.
Ke dalam flakon 10 mL dimasukkan
berturut-turut 1 mL larutan infus
siprofloksasin laktat (0,2%) dan 0,25 mL
larutan Na99mTcO4 dengan radioaktivitas 8-
10 mCi. Ke dalam campuran segera
ditambahkan larutan Sn-tartrat (1mg/mL)
dengan jumlah bervariasi (300, 400, 500,
600 dan 700 µg). Campuran dikocok
perlahan-lahan sampai homogen, pH
berkisar 3,5 dan diinkubasi pada temperatur
kamar selama 15 menit. Kemurnian
radiokimia 99mTc-siprofloksasin ditentukan
dengan metode kromatografi tipis. (7)
2.3. Penentuan waktu inkubasi Penandaan siprofloksasin dengan
radionuklida 99mTc dilakukan sama seperti
pada percobaan terdahulu dengan
menggunakan 2 mg siprofloksasin laktat
yang diperoleh dari percobaan variasi
jumlah ligan (6) dan 500 µg reduktor Sn-
tartrat (1mg/mL). Campuran diinkubasi
pada temperatur kamar dengan waktu
yang bervariasi (0, 5, 10, 15 dan 20
menit). Kemurnian radiokimia 99mTc-
siprofloksasin ditentukan dengan metode
instant kromatografi lapis tipis.
2.4. Penetapan kemurnian radiokimia
99mTc-siprofloksasin Kemurnian radiokimia senyawa
bertanda 99mTc-siprofloksasin ditentukan
dengan cara instant kromatografi lapis tipis
[9]. Sebagai fase diam digunakan ITLCTM-
SG (1x10 cm) dan sebagai fase gerak
digunakan pelarut aseton. Kromatogram
dipotong-potong sepanjang 1 cm,
kemudian dicacah dengan pencacah
saluran tunggal yang dilengkapi dengan
detektor NaI-Tl. Pengotor radiokimia
dalam bentuk Tc-perteknetat (99mTcO4)-
diperoleh dengan fase gerak aseton
dengan harga Rf = 1,0. Persentase
pengotor radiokimia dan persentase
kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin
dihitung dengan cara sebagai berikut :
Pengotor radiokimia (99mTcO4)- (%) =
Kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin
(%)= 100% - (99mTcO4)-% di mana LB
adalah latar belakang
%100x LB Cacahan- mkromatogra pada cacahan Jumlah LB Cacahan-)TcO( Rf pada cacahan Jumlah 4
99m
Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481
15
2.5. Pembuatan kit-kering radiofarmaka siprofloksasin
Kit-kering radiofarmaka siprofloksasin
terdiri dari 2 buah flakon 10 mL (A dan B),
yang masing-masing dalam keadaan steril,
kering dan vakum. Flakon A berisi 2 mg
siprofloksasin laktat dan flakon B berisi 2 mg
bahan reduktor Sn-tartrat.
Sebanyak 1 mL larutan infus
siprofloksasin laktat 0,2 %, masing-masing
dimasukkan ke dalam 100 buah flakon 10
mL steril, kemudian dikeringkan dengan cara
liofilisasi (flakon A).
Dalam wadah terpisah yang berisi 110
mg Sn-tartrat ditambahkan 100 µL HCl 10N,
dikocok sampai larut sempurna, kemudian
ditambahkan akuabides bebas oksigen
hingga volume 100 mL. Larutan disaring
dengan penyaring bakteri (0,22 µm),
kemudian dimasukkan masing-masing
sebanyak 1 mL ke dalam flakon 10 mL steril
dan dikeringkan dengan cara liofilisasi
(flakon B).
2.6. Penyediaan radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin
Ke dalam flakon A dan B masing-
masing ditambahkan 1 mL akuabides steril,
dikocok perlahan-lahan hingga larut.
Kemudian ke dalam flakon A ditambahkan
sejumlah tertentu larutan Na99mTcO4 dan
segera ditambahkan 0,5 mL larutan dari
flakon B. Campuran dikocok sebentar,
diinkubasi selama 15 menit pada temperatur
kamar, kemurnian radiokimia 99mTc
siprofloksasin serta pengotor radiokimianya
ditentukan dengan kromatografi lapis tipis.
2.7. Pengujian sterilitas kit-kering radiofarmaka siprofloksasin
Sterilitas kit-kering radiofarmaka
siprofloksasin (flakon A dan B) diuji
menggunakan 2 macam media yaitu agar
nutrien padat dan agar glukosa sabouroud
(SGA). Kit-kering radiofarmaka
siprofloksasin (masing-masing flakon A
dan B) dilarutkan dalam 1 mL larutan NaCl
fisiologis. Dengan menggunakan jarum
ose, larutan tersebut dioleskan pada
permukaan masing-masing media secara
aseptis di bawah laminar air flow.
Selanjutnya tabung perbenihan diinkubasi
dalam inkubator pada temperatur 37 oC
dan pertumbuhan bakteri serta kapang
dipantau selama 7 – 10 hari.
2.8. Pengujian toksisitas radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin
Pengujian toksisitas dilakukan
terhadap sekelompok (10 ekor) mencit
putih galur Swiss tanpa membedakan jenis
kelaminnya (11), dengan berat berkisar 20
g. Sebanyak kurang lebih 200 µL (≈ 500
µCi) radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin
disuntikkan pada masing-masing mencit
melalui vena ekor. Hewan tersebut
dipelihara seperti biasa dan diamati
selama 7 hari terhadap kemungkinan
adanya yang mati.
2.9. Pengujian biologis in-vitro
radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin terhadap bakteri
2.9.1 Aktivitas biologis Di atas biakan plat agar nutrien
yang masing-masing berisi S. aureus dan
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481
16
E.Coli diletakkan 100 µL radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin, kemudian disimpan dalam
inkubator 37ºC selama 24 jam. Sebagai
standar digunakan prosedur yang sama
untuk larutan infus siprofloksasin. Ukuran
diameter lingkaran inhibisi yang terjadi pada
biakan plat agar menyatakan aktivitas
biologis masing-masing cuplikan.
2.9.2. Ikatan pada bakteri Ke dalam tabung sentrifuga yang
berisi 2 mL larutan NaCl fisiologis (0,9%),
yang masing-masing mengandung ≈ 107 sel
bakteri S. aureus dan E.Coli ditambahkan
100 µL radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin.
Suspensi diinkubasi pada temperatur 37ºC
selama waktu tertentu (1, 2, 3, 4, 5 dan 24
jam) sambil dikocok, kemudian
disentrifugasi. Endapan dan supernatan
dipisahkan, selanjutnya endapan dicuci
dengan 0,5 mL larutan NaCl fisiologis dan
dicacah. Sebagai kontrol, digunakan larutan
Na99mTcO4 yang diperlakukan sama seperti
di atas. Persen ikatan pada bakteri diperoleh
dengan cara sebagai berikut :
Persen ikatan pada bakteri =
%100 )supernatan (endapan cacahan
endapan cacahan x+
2.10. Uji klinis radiofarmaka 99mTc- siprofloksasin
Uji klinis radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin dilakukan terhadap tiga orang
volunter di Bagian Kedokteran Nuklir RS Dr.
Hasan Sadikin, Bandung. Radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin disuntikkan secara intra
vena dengan dosis ≈ 15 mCi. Setelah waktu
tertentu (1, 2 dan 4 jam) dilakukan
pencitraan menggunakan alat kamera
gamma.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembuatan kit radiofarmaka
bertanda teknesium-99m, banyak faktor
yang mempengaruhi efisiensi penandaan
dengan kemurnian radiokimia yang tinggi
seperti di antaranya jumlah reduktor,
jumlah ligan, pH dan waktu inkubasi.
Efisiensi penandaan 99mTc-siprofloksasin
ditentukan dari kemurnian radiokimianya
yang dilakukan dengan metode
kromatografi lapis tipis seperti yang
dikembangkan oleh Siaens dkk.(10).
Pemakaian fase diam ITLC-SG dengan
fase gerak aseton dapat memisahkan
pengotor radiokimia dalam bentuk 99mTc-
perteknetat (99mTcO4)- dengan Rf = 1,0;
sedangkan pengotor radiokimia dalam
bentuk 99mTc-tereduksi (99mTcO2) akan
berimpit dengan 99mTc-siprofloksasin
dengan Rf = 0,0. Dari penelitian
sebelumnya diketahui bahwa pengotor
radiokimia dalam bentuk 99mTc-tereduksi
yang dievaluasi secara biologis
menggunakan hewan percobaan terlihat
bahwa tidak terjadi akumulasi pada hati
(7).
Penggunaan larutan infus
siprofloksasin sebagai bahan awal dalam
penelitian formulasi kit-kering
radiofarmaka siprofloksasin memberikan
suatu kelebihan di mana tidak dibutuhkan
modifikasi pH. Larutan infus yang tersedia
di pasaran mempunyai pH 3,0 – 3,5. Dari
penelitian terdahulu (7) diperoleh bahwa
pada pH 3,0 – 3,5 memberikan kemurnian
radiokimia yang tertinggi dan ini
merupakan pH di mana 99mTc-
Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481
17
siprofloksasin tersebut stabil. Akan tetapi,
untuk memperoleh kondisi penandaan yang
optimal dengan pemakaian larutan infus ini,
perlu dilakukan variasi beberapa parameter
yang berpengaruh dalam penandaan
siprofloksasin dengan 99mTc, di antaranya
jumlah reduktor dan waktu inkubasi.
Dari percobaan optimalisasi jumlah
reduktor Sn-tartrat dengan tiga kali
pengulangan diperoleh bahwa penggunaan
Sn-tartrat dengan jumlah 500 µg
memberikan efsiensi penandaan yang
maksimal sebesar 97,24 ± 2,40 % (Gambar
1), dengan pengotor radiokimia (99mTcO4)-
sebesar 2,76 ± 1,17 %. Penggunaan jumlah
Sn-tartrat yang lebih kecil dari 500 µg
memberikan efisiensi penandaan yang
rendah karena jumlah tersebut terlalu sedikit
sehingga proses reduksi kurang sempurna
yang mengakibatkan tingginya pengotor
radiokimia dalam bentuk (99mTcO4). Di
samping itu, efisiensi penandaan juga akan
menurun bila digunakan Sn-tartrat dalam
jumlah yang lebih besar dari 500 µg, di
mana pada kondisi ini mengakibatkan pH
sediaan menjadi lebih asam (pH < 3)
sehingga meningkatkan terbentuknya
pengotor radiokimia (7).
Pada Tabel 1 disajikan pengaruh
waktu inkubasi terhadap efisiensi
penandaan 99mTc-siprofloksasin dengan tiga
kali pengulangan. Inkubasi pada temperatur
kamar sambil dikocok beberapa saat
memberikan efisiensi penandaan relatif kecil
yaitu 89,63±1,17%. Penambahan waktu
inkubasi selama 15 dan 20 menit diperoleh
hasil yang lebih tinggi dan relatif konstan,
masing-masing sebesar 96,73 ± 0,68 % dan
96,67±1,28%. Perpanjangan waktu inkubasi
sampai 30 menit tidak banyak
berpengaruh terhadap efisiensi
penandaan sehingga untuk percobaan
selanjutnya digunakan waktu inkubasi
selama 15 menit pada temperatur kamar.
Tabel 1. Penentuan waktu inkubasi dalam penandaan siprofloksasin dengan teknesium-99m (99mTc)
Waktu
inkubasi
(menit)
Efisiensi
penandaan 99mTc-
siprofloksasin (%)
Segera 89,63 ± 1,17
5 94,26 ± 0,82
10 94,56 ± 1,06
15 96,73 ± 0,68
20 96,67 ± 1,28
30 95,57 ± 1,24
70
75
80
85
90
95
100
200 300 400 500 600 700
Kadar reduktor Sn-tartrat (μg)
Efis
iens
i pen
anda
an (%
)
Gambar 1. Penentuan jumlah reduktor Sn-
tartrat dalam penandaan siprofloksasin dengan teknesium-99m (99mTc)
Kit-kering radiofarmaka sipro-
floksasin dibuat berdasarkan hasil yang
diperoleh dari percobaan optimalisasi
jumlah reduktor Sn-tartrat. Dalam
pembuatan kit-kering ini, seluruh tahap
pengerjaan dilakukan secara aseptik di
bawah laminar air flow. Kit didesain dalam
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481
18
2 flakon terpisah (A dan B), dikeringkan
dengan cara liofilisasi, flakon A mengandung
2 mg siprofloksasin laktat dan flakon B
mengandung 2 mg Sn-tartrat. Desain dalam
2 flakon terpisah ini karena dalam
pembuatan radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin tersebut, larutan Sn-tartrat
sebagai reduktor ditambahkan segera
setelah penambahan larutan 99mTc-
perteknetat ditambahkan pada ligan
siprofloksasin. Apabila kit-kering ini didesain
dalam satu flakon di mana Sn-tartrat dan
siprofloksasin berada dalam campuran,
maka pada penandaan dengan 99mTc
diperoleh larutan yang keruh. Hal ini diduga
terbentuknya senyawa koloid dari sejumlah
reduktor Sn(II) yang terdapat di dalam kit
sehingga diperoleh efisiensi penandaan
yang rendah (8,12).
Untuk memastikan bahwa kit-kering
siprofloksasin setelah ditandai dengan 99mTc
memenuhi persyaratan sebagai
radiofarmaka yang dapat diaplikasikan
secara klinis, perlu dilakukan beberapa
pengujian fisikokimia dan biologis.
Pengujian kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin menggunakan metode
kromatografi lapis tipis yang dilakukan
terhadap 5 flakon kit-kering siprofloksasin
memberikan efisiensi penandaan sebesar
96,39 ± 2,01 % (Tabel 2). Harga ini
memenuhi persyaratan kemurnian
radiokimia, mengingat bahwa radiofarmaka
dengan hasil klinis yang baik umumnya
mempunyai kemurnian radiokimia ≥ 90 % (4,
5).
Sama halnya dengan larutan
parenteral lainnya, radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin harus steril. Adanya
mikroorganisme baik bakteri maupun
kapang/jamur dalam sediaan dapat
menyebabkan infeksi pada pasien.
Pengujian sterilitas radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin dilakukan dengan
menggunakan metode yang terdapat pada
Farmakope Indonesia IV [11]. Dalam
pengujian ini digunakan agar nutrien padat
untuk mengetahui adanya bakteri aerob
dan anaerob, sedangkan penggunaan
agar glukosa sabouroud dimaksudkan
untuk mengetahui adanya kapang atau
jamur. Dari hasil pengujian dengan tiga
kali pengulangan diperoleh bahwa setelah
diinkubasi selama tujuh hari tidak terjadi
pertumbuhan baik bakteri aerob dan
anaerob maupun jamur dalam semua
media. Hal ini menunjukkan bahwa
radiofarmaka tersebut dalam keadaan
steril (Tabel 2)
Persyaratan lain yang harus
dipenuhi suatu radiofarmaka yang
digunakan secara parenteral adalah harus
tidak toksik. Pengujian toksisitas suatu
sediaan menurut Farmakope Indonesia IV
(11) dilakukan menggunakan hewan
percobaan mencit putih dengan dosis
yang sama dengan dosis yang diberikan
pada manusia. Guna menjamin keamanan
pemakaian untuk manusia, dalam
percobaan ini, pengujian toksisitas
radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin
dilakukan dengan menggunakan dosis
yang lebih tinggi yaitu lebih kurang 100
kali dari dosis untuk manusia. Pengujian
dilakukan terhadap dua kelompok mencit
putih, yang masing-masing kelompok
terdiri dari lima ekor. Dari hasil
pemantauan selama 7 hari setelah
Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481
19
penyuntikan, tidak ada satupun mencit dari
masing-masing kelompok tersebut yang
mati, ini berarti bahwa radiofarmaka tersebut
tidak toksik (Tabel 2).
Reaksi penandaan siprofloksasin
dengan radionuklida 99mTc dapat
menyebabkan terjadinya perubahan struktur
molekul dari siprofloksasin tersebut (3).
Adanya atom O (oksigen) yang mempunyai
pasangan elektron bebas dalam struktur
molekul siprofloksasin memungkinkan
senyawa tersebut membentuk kompleks
dengan 99mTc, di mana pasangan elektron
bebas ini akan membentuk ikatan kovalen
koordinat dengan radionuklida tersebut.
Adanya perubahan struktur molekul ini dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan
karakter dan sifat mikrobiologis
siprofloksasin baik daya bakterisida maupun
uptake-nya terhadap sel mikroba. Untuk
mengetahui hal ini, dilakukan pengujian
secara in-vitro menggunakan beberapa
mikroba.
Pengujian daya bakterisida
radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin terhadap
bakteri S. aureus dan E. Coli menunjukkan
bahwa kit-kering siprofloksasin setelah
proses penandaan dengan 99mTc tidak
kehilangan daya bakterisidanya. Hal ini
dapat dilihat dari luasnya daya inhibisi
terhadap biakan kedua mikroba tersebut
pada media plat agar yang dibandingkan
dengan siprofloksasin sebagai bahan awal.
Dari hasil percobaan dengan lima kali
pengulangan diperoleh diameter inhibisi 99mTc-siprofloksasin terhadap bakteri S.
aureus dan E. Coli masing-masing sebesar
3,90±0,34 cm dan 4,14±0,13 cm, sedangkan
siprofloksasin sebesar 4,37±0,19 cm dan
3,82±0,07 cm masing-masing terhadap
bakteri S. aureus dan E. Coli (Gambar 2,
Tabel 2).
Tabel 2. Pengujian hasil penandaan kit-
kering siprofloksasin dengan radionuklida 99mTc
Jenis
pengujian Hasil Keterangan
Kemurnian radiokimia 96,39 ± 2,01 % -
Sterilitas Steril -
Toksisitas Tidak toksik - Inhibisi
terhadap S. aureus
3,90 ± 0,34 cm Siprofloksasin 4,37 ± 0,19 cm
Inhibisi terhadap
E. coli4,14±0,13 cm Siprofloksasin
3,82 ± 0,07 cm
Gambar 2. Pengujian daya bakterisida
siprofloksasin (a, c), 99mTc-siprofloksasin (b,d) terhadap mikroba
Hasil uji mikrobiologis ini,
memperlihatkan bahwa daya bakterisida
dari radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin
terhadap bakteri S. aureus dan E. Coli
tidak menunjukkan perbedaan yang berarti
dengan siprofloksasin sebagai bahan awal
c
a b
d
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481
20
karena masih memenuhi persyaratan daya
bakterisida suatu antibiotika sebesar 80%–
125% (11). Hal ini menunjukkan pula bahwa
reaksi penandaan tidak mempengaruhi
pusat aktif reaksi antara siprofloksasin
dengan enzym-girase pada bakteri.
Afinitas bakterial suatu senyawa juga
menggambarkan uptake senyawa tersebut
oleh mikroba. Dengan tiga kali pengulangan
diperoleh uptake 99mTc-siprofloksasin oleh
bakteri S. aureus dan E. coli pada satu jam
pertama inkubasi masing-masing sebesar
83,06 ± 10,95 % dan 80,26 ± 8,58 %, yang
kemudian menurun secara perlahan dengan
bertambahnya waktu. Terlihat setelah 4 jam
inkubasi masih memberikan uptake yang
cukup tinggi sebesar 44,41 ± 7,60 % dan
35,64 ± 2,85 % masing-masing terhadap
bakteri S. aureus dan E. coli. Hasil ini
didukung oleh data biodistribusi 99mTc-
siprofloksasin pada mencit putih di mana
diperoleh rasio abses-otot sebesar 2,1 ± 0,4
dan 1,9 ± 0,3 masing-masing untuk bakteri
S. aureus dan E. coli pada 4 jam setelah
penyuntikan intra vena (13) Sebagai
pembanding, dilakukan juga percobaan
menggunakan larutan Na99mTcO4, di mana
diperoleh uptake yang sangat rendah (<
5%) baik terhadap S. aureus maupun E.
Coli (Gambar 3).
Uji klinis radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin dilakukan terhadap tiga
orang volunter di Bagian Kedokteran
Nuklir RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
Radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin
disuntikkan secara intra vena, masing-
masing dengan dosis ≈ 15 mCi. Setelah
waktu tertentu (1 dan 2 jam) dilakukan
pencitraan menggunakan alat kamera
gamma.
Gambar 4 menunjukkan distribusi
radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin yang
disuntikkan secara intra vena pada
volunter normal. Terlihat adanya
akumulasi normal di sistem genito-urinary
(ginjal dan kandung kemih), samar-samar
juga terlihat adanya akumulasi di jantung
dan hati. Untuk mengetahui bahwa
radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin dapat
digunakan untuk diagnosis infeksi,
pengujian dilakukan terhadap volunter
yang menderita peradangan (abses) pada
organ hati.
Gambar 3. Afinitas bakterial 99mTc-siprofloksasin
Bakteri S. Aureus
-100
1020
304050
6070
8090
0 4 8 12 16 20 24
Waktu (jam)
TcO4Tc-SIP
Bakteri E. Coli
-10
0
10
20
3040
50
60
7080
90
0 4 8 12 16 20 24
Waktu (jam)
TcO4Tc-SIP
Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481
21
Gambar 4. Hasil pencitraan seluruh tubuh radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin pd volunter normal menggunakan kamera gamma. (A: anterior, B: posterior 1 jam pasca penyuntikan, C: anterior, D: posterior 2 jam pasca penyuntikan).
Dari hasil pencitraan seluruh tubuh
menunjukkan terjadi peningkatan akumulasi
radioaktivitas secara patologis pada lesi di
hati (terlihat di perifer hati) yang mengelilingi
daerah yang tidak menangkap radioaktivitas
(void). Akumulasi di daerah perifer ini dapat
disebabkan oleh dua hal, pertama karena
adanya bakteri yang hidup dan yang kedua
karena adanya peningkatan aliran darah
(perfusi). Daerah void disebabkan karena
terkumpulnya radang dan nanah (pus), di
mana pada tempat tersebut tidak terjadi
peningkatan aliran darah (perfusi) (Gambar
5).
Pengujian dilakukan juga terhadap
volunter yang menderita abses pada korpus
tulang belakang torakal VI dan pencitraan
dilakukan menggunakan alat gabungan
Single-Photon Emission Computed
Tomography - Computed Tomography
(SPECT-CT).
Gambar 5. Hasil pencitraan seluruh tubuh
radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin pada volunter yang menderita abses pada organ hati menggunakan kamera gamma (SPECT), (A) 1 jam, (B) 4 jam pasca penyuntikan.
Gambar 6A menunjukkan
pencitraan berdasarkan CT di mana
terlihat adanya destruksi pada korpus
tulang belakang. Gambar 6B adalah
pencitraan menggunakan SPECT di mana
terlihat jelas adanya akumulasi
radioaktivitas radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin pada daerah kelainan, yang
sesuai dengan citra CT. Gabungan kedua
citra tersebut (SPECT dan CT) dengan
hasil yang memuaskan dapat dilihat pada
Gambar 6C.
Dari berbagai percobaan di atas
menunjukkan bahwa radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin merupakan sediaan yang
tidak toksik dan dapat digunakan untuk
pemakaian pada manusia di mana dengan
metode pencitraan dapat mendeteksi
daerah terjadinya infeksi.
4. KESIMPULAN Kit radiofarmaka siprofloksasin
dapat dibuat dengan cara liofilisasi dalam
dua flakon terpisah (siprofloksasin laktat
A B C D
Hati Hati
A B
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481
22
dan reduktor Sn-tartrat), kondisi vakum dan
steril.
Gambar 6. Pencitraan radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin pada volunter yang menderita abses pada korpus tulang belakang menggunakan gabungan alat SPECT-CT 1 jam pasca penyuntikan. (A) citra anatomi Computed Tomographic (CT); (B) citra SPECT; (C) citra gabungan SPECT-CT.
Penandaan kit-kering siprofloksasin dengan
radionuklida 99mTc menghasilkan 99mTc-
siprofloksasin dengan kemurnian radiokimia
yang memenuhi persyaratan sebagai
radiofarmaka (≥ 90%), tidak toksik dan
masih mempunyai daya bakterisida terhadap
mikroba S. Aureus dan E.coli. Uji klinis di
rumah sakit dengan metode pencitraan
menggunakan kamera gamma dan SPECT-
CT terhadap volunter memberikan hasil
yang memuaskan dan menunjukkan
harapan untuk dapat digunakan sebagai
radiofarmaka untuk diagnosis infeksi.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Sdr. Mimin Ratna Suminar atas
partisipasi aktifnya dalam penelitian ini,
demikian juga kepada Sdr. Rizky Juwita S.
dan Sdr. Yetti Suryati dan seluruh staf dan
teknisi Kelompok Biodinamika serta
seluruh staf medik Bagian Kedokteran
Nuklir-RSHS.
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Larikka MJ, Ahonen AK, Niemela O,
Puronto O, Junila JA, Hamalainen
MM, Britton KE, Syrjala HP. 99mTc-
cyprofloxacin (infecton) imaging in
diagnosis of knee prosthesis
infections. Nucl. Med. Comm.
2002;23:167-170.
2. Dass SS, Hall AV, Wareham DW,
Britton KE. Infection imaging with
radiopharmaceuticals in the 21th
century. Brazilian Archives of Biology
2002;45:223-228.
3. Gano L, Patricio L, Cantiho G, Pena
H, Martins T, Marques E.
Ciprofloxacin in imaging of infective
versus sterile inflamation, IAEA-
TecDoc 1029, Vienna, 1998, 213-220.
4. Britton KE, Solanki KK, Wareham
DW, Dass SS. Analysis of infecton
imaging for patients in the UK., IAEA
Coordinated Research Programme,
London, 1999.
5. Owunwanne A, Patel M, Sadek S.
The Handbook of
Radiopharmaceuticals, 1st ed.,
London:Chapman & Hall Medical;
1995:9–12.
6. htpp://Amanda.uams.edu/other/nucle
ar/chem.html., Chemistry of
radiopharma-ceutical, 1-5.
7. Hasan Basry T, Nurlaila Z, Rukmini I.
Formulasi radiofarmaka 99mTc-
siprofloksasin untuk diagnosis infeksi.
Prosiding Seminar Nasional Sains
A
B
C
Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481
23
dan Teknik Nuklir. Bandung: Puslitbang
Teknik Nuklir-BATAN; 2005:38-45.
8. Rukmini I. Desain kit kering
radiofarmaka siprofloksasin,
P3TkN/Lap301008/ NP/2005.
9. CHOI TAE HYUN, Komunikasi pribadi,
Kirams, KCCH, Korea, 2006.
10. Siaens RH, Rennen HJ, Boerman OC,
Dierckx R, Slegers G. Synthesis and
comparison of 99mTc-enfrofloxacin and 99mTc-cyprofloxacin, J. Nucl.Med. 2004;
45(12):2088-2094.
11. Dep. Kesehatan Republik Indonesia,
Farmakope Indonesia IV; 1992:855–
859.
12. Bhardwaj N, Bhatnagar A, Singh AK.
Development and evaluation of a
single vial cold kit for infection
imaging : Tc-99m cyprofloxacin.
World. J. Nucl. Med. 2005;4:244-251
13. Yana S, Rizky JS, Nurlaila Z.
Biodistribusi dan uji clearance 99mTc-
siprofloksasin pada mencit (Mus
musculus) yang terinfeksi bakteri
Escherichia coli, Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknik Nuklir.
Bandung: PTNBR-BATAN; 2007:393-
398.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481
24
Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481
25
PENANDAAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAMETILEN FOSFONAT (EDTMP) DENGAN RADIONUKLIDA 175Yb
Azmairit Aziz
Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri – BATAN E-mail : [email protected]
ABSTRAK
PENANDAAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAMETILEN FOSFONAT (EDTMP) DENGAN RADIONUKLIDA 175Yb. Iterbium-175 (175Yb) merupakan salah satu radioisotop yang dapat digunakan untuk terapi karena merupakan pemancar-β (T1/2 = 4,2 hari dengan Eβ (maks) sebesar 480 keV). Di samping itu, radioisotop tersebut juga memancarkan sinar-γ dengan energi yang cukup ideal untuk penyidikan (imaging) selama terapi berlangsung (113 keV (1,9%), 282 keV(3,1%) dan 396 keV (6,5%)). Ligan EDTMP dapat ditandai dengan radionuklida 175Yb sebagai radiofarmaka alternatif untuk penghilang rasa sakit (paliatif) akibat metastase kanker ke tulang. Telah dilakukan penandaan ligan etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP) dengan radionuklida 175Yb. Untuk mendapatkan radiofarmaka 175Yb-EDTMP dengan efisiensi penandaan yang tinggi, maka dilakukan variasi beberapa parameter yang berpengaruh dalam reaksi penandaan, yaitu jumlah ligan EDTMP, pH penandaan, waktu inkubasi dan jumlah larutan 175Yb. Radiofarmaka 175Yb-EDTMP yang diperoleh ditentukan efisiensi penandaan melalui pemeriksaan kemurnian radiokimianya dengan cara kromatografi kertas dan elektroforesis kertas. Kondisi optimum penandaan diperoleh pada pH 7 dengan jumlah ligan EDTMP sebanyak 4 mg, larutan 175Yb sebanyak 100 µL (105 µg setara dengan 0,6 µmol) dan waktu inkubasi selama 30 menit pada temperatur kamar. Kompleks yang terbentuk memberikan efisiensi penandaan maksimum sebesar 98,81 ± 0,15%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ligan EDTMP dapat ditandai dengan radionuklida 175Yb dengan efisiensi penandaan yang tinggi (di atas 95%).
Kata kunci: radionuklida, iterbium-175 (175Yb), etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP),
terapi, paliatif. ABSTRACT LABELLING OF ETHYLENEDIAMINETETRAMETHYLENE PHOSPHONIC ACID (EDTMP) WITH 175Yb. Ytterbium-175 (175Yb) is one of radioisotopes that can be used for therapy due to its β-particle emission (T1/2 = 4.2 d , Eβ (max) = 480 keV). Beside that, this radioisotope also emits γ-rays of 113 keV (1.9%), 282 keV (3.1%) and 396 keV (6.5%) which are suitable energy for imaging as long as therapeutic applications. EDTMP could be labeled with radionuclide of 175Yb as an alternative radiopharmaceutical for bone pain palliation due to bone metastases. Labeling of ethylenediaminetetramethylenephosphonic acid with 175Yb has been studied. Various influential parameters in labeling conditions i.e. the amount of EDTMP ligand, the pH of labeling, incubation time and the amount of 175Yb solution were studied in order to obtain high labeling efficiency of 175Yb-EDTMP. The labeling efficiency was obtained by radiochemical purity that was determined by paper chromatography and paper electrophoresis techniques. The optimum labeling condition was obtained at pH 7, 4 mg of EDTMP ligand, 100 µL (105 µg; 0.6 µmol) of 175Yb solution and 30 minutes incubation time at room temperature. The complex formed was gave maximum labeling efficiency of 98.81 ± 0.15%. Owing to the results, EDTMP ligand can be labeled with 175Yb radionuclide with labeling efficiency more than 95%. Key words: radionuclide, ytterbium-175 (175Yb), ethylenediaminetetramethylene phosphonic
acid (EDTMP), therapy, palliative.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35
26
ISSN 1411 - 3481
1. PENDAHULUAN Kebanyakan pasien yang menderita
kanker payudara, kanker prostat dan kanker
paru-paru mempunyai kecenderungan untuk
menderita metastase kanker ke tulang.
Kanker ini dapat menyebabkan rasa nyeri
yang sangat kuat sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup pasien (1-4).
Radiofarmaka untuk keperluan terapi yang
ditandai dengan radioisotop pemancar-β,
seperti 89SrCl2, 153Sm-EDTMP, 186Re-HEDP, 117mSn-DTPA, 166Ho-EDTMP dan 177Lu-
EDTMP sudah digunakan di bidang
kedokteran nuklir sebagai radiofarmaka
penghilang rasa sakit akibat metastase
kanker ke tulang (4-10). Akan tetapi,
beberapa radiofarmaka untuk metastase
kanker ke tulang tersebut mulai ditinggalkan
oleh bidang kedokteran nuklir karena energi
partikel-β yang dimiliki oleh radionuklida
pembentuk radiofarmaka tersebut cukup
besar seperti pada 89SrCl3 dan 166Ho-
EDTMP, di mana kedua radionuklida
tersebut masing-masing memiliki Eβ
maksimum sebesar 1,49 dan 1,85 MeV.
Energi partikel-β yang cukup besar ini dapat
memberikan dosis yang tinggi pada sumsum
tulang, sehingga dapat menekan
pembentukan sel-sel darah (1,11-13).
Iterbium-175 (175Yb) merupakan salah
satu radioisotop unsur iterbium (golongan
lantanida) yang dapat digunakan untuk
terapi karena merupakan pemancar-β (t1/2 =
4,2 hari, Eβ (maks) = 480 keV). Di samping itu,
radioisotop tersebut juga memancarkan
sinar-γ dengan energi yang cocok untuk
penyidikan (imaging) selama terapi
berlangsung (Eγ = 113 keV (1,9%), 282 keV
(3,1%) dan 396 keV (6,5%)). Sehingga
berdasarkan sifat radionuklida tersebut, 175Yb dapat digunakan sebagai radioisotop
alternatif penghilang rasa sakit akibat
metastase kanker ke tulang (7). Pada
penelitian terdahulu telah berhasil dilakukan
pembuatan dan uji kualitas radioisotop
iterbium-175 (175Yb) untuk terapi melalui
reaksi inti (n,γ) di reaktor TRIGA 2000
Bandung (14).
Ligan etilendiamintetrametilen
fosfonat (EDTMP) merupakan senyawa
turunan fosfonat dengan struktur dasar P-C-
N-C-P dan memungkinkan untuk ditandai
dengan radionuklida 175Yb menghasilkan
radiofarmaka 175Yb-EDTMP. Radiofarmaka
tersebut dapat digunakan sebagai
radiofarmaka alternatif penghilang rasa sakit
(paliatif) akibat metastase kanker ke tulang
(13). Dalam makalah ini dikemukakan
penentuan kondisi optimum dalam
penandaan ligan etilendiaminterametilen
fosfonat dengan radionuklida 175Yb. Untuk
mendapatkan radiofarmaka 175Yb-EDTMP
dengan efisiensi penandaan yang tinggi,
maka dilakukan variasi beberapa parameter
yang berpengaruh dalam reaksi penandaan,
yaitu jumlah ligan EDTMP, pH penandaan,
waktu inkubasi dan jumlah mol larutan 175Yb.
Radiofarmaka 175Yb-EDTMP yang diperoleh
ditentukan efisiensi penandaan melalui
pemeriksaan kemurnian radiokimianya
dengan berbagai sistem kromatografi. 2. BAHAN DAN TATA KERJA 2.1. Bahan dan peralatan Iterbium oksida (Yb2O3) alam, asam
klorida, natrium hidroksida, natrium
bikarbonat, dinatrium hidrogen fosfat, asam
Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481
27
asetat, aseton, etilendiamintetra asetat
(EDTA) serta pereaksi-pereaksi lain buatan
E.Merck. Ligan etilendiamintetrametilen-
fosfonat buatan TCI. Akuabides steril dan
NaCl fisiologis steril (0,9%) buatan IPHA.
Kertas kromatografi Whatman 3MM dan
TLC SG 60.
Peralatan yang digunakan terdiri dari
seperangkat alat kromatografi lapisan tipis
dan kromatografi kertas, pencacah-β Geiger
Muller, peralatan gelas, alat pemanas
(Nuova), dose calibrator dan seperangkat
alat elektroforesis kertas (Bijou-ADCO).
2.2. Tata Kerja 2.2.1. Iradiasi iterbium oksida (Yb2O3) Sebanyak 6 mg serbuk Yb2O3
dimasukkan ke dalam tabung kuarsa, lalu
ditutup dengan cara pengelasan. Tabung
kuarsa dimasukkan ke dalam inner capsule
yang terbuat dari bahan aluminium nuclear
grade, lalu ditutup dengan cara pengelasan.
Uji kebocoran dilakukan terhadap inner
capsule dengan metode gelembung dalam
media air sampai tekanan 30 inci Hg.
Setelah lolos uji kebocoran, kemudian inner
capsule dimasukkan ke dalam outer capsule
untuk diiradiasi. Iradiasi dilakukan di RSG-
GA Siwabessy Serpong selama ± 11 hari
pada posisi iradiasi CIP dengan fluks
neutron termal sebesar 1,12x1014 n.cm-2det-1
2.2.2. Preparasi larutan radioisotop
175YbCl3 Sebanyak 6 mg serbuk 175Yb2O3 hasil
iradiasi dimasukkan ke dalam gelas piala
100 mL, lalu dilarutkan dalam 5 mL larutan
HCl 0,1 N sambil dipanaskan perlahan-
lahan sampai hampir kering. Kemudian
dilarutkan kembali dalam 5 mL akuabides
steril sambil dipanaskan perlahan-lahan
sampai hampir kering. Proses tersebut
dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh
larutan 175YbCl3 yang memiliki pH∼7 dengan
volume 5 mL. Radioaktivitas larutan 175YbCl3
diukur dengan alat dose calibrator.
2.2.3. Penentuan kondisi optimum preparasi senyawa bertanda 175Yb-EDTMP
Untuk mendapatkan senyawa
bertanda 175Yb-EDTMP dengan efisiensi
penandaan yang tinggi, dilakukan variasi
beberapa parameter yang berpengaruh
dalam reaksi penandaan, yaitu jumlah ligan
EDTMP (2, 4, 8 dan 16 mg); pH penandaan
(2, 4, 6, 7 dan 8); waktu inkubasi pada
temperatur kamar (0, 15, 30, 45 dan 60
menit); dan jumlah larutan 175Yb (0,3 ; 0,6 ;
0,9 dan 1,2 μmol).
2.2.4. Preparasi senyawa bertanda 175Yb-EDTMP
Sebanyak 4 mg ligan EDTMP
dilarutkan dalam 0,4 ml larutan NaHCO3 0,5
M (pH 9), lalu ditambahkan sebanyak 0,5
mL larutan NaCl fisiologis (0,9%) dan 0,1 ml
larutan 175YbCl3. Kemudian pH ditepatkan
ke 7 dengan penambahan larutan HCl 1 N
atau NaOH 1 N. Larutan diinkubasi selama
30 menit pada temperatur kamar, kemudian
ditentukan kemurnian radiokimianya dengan
metode kromatografi lapisan tipis,
kromatografi kertas dan elektroforesis
kertas.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35
28
ISSN 1411 - 3481
2.2.5 Pemeriksaan kemurnian radiokimia senyawa bertanda 175Yb-EDTMP
Kemurnian radiokimia senyawa 175Yb-
EDTMP ditentukan dengan metode
kromatografi lapisan tipis (KLT) dengan
menggunakan pelat silika gel 60 (2 x 10 cm)
sebagai fase diam dan aseton sebagai fase
gerak. Metode kromatografi kertas dilakukan
dengan menggunakan kertas Whatman 3
MM (2 x 17 cm) sebagai fase diam dan
asam asetat 50%, NaCl fisiologis (0,9%),
aseton, EDTA 1 mM sebagai fase gerak.
Metode elektroforesis kertas dilakukan
dengan menggunakan pelat pendukung
kertas kromatografi Whatman 3 MM (2 x 38
cm) dan larutan Na2HPO4 0,025 M pH 7,5
sebagai larutan elektrolitnya, di mana
pemisahan dilakukan selama 1 jam pada
tegangan 300 Volt. Kemudian kertas
kromatografi dan kertas elektroforesis
dikeringkan, dipotong-potong sepanjang 1
cm dan dicacah dengan alat pencacah
Geiger Muller.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Larutan 175YbCl3 yang diperoleh dari
hasil iradiasi iterbium oksida (Yb2O3) alam
sebanyak 6 mg di RSG Serpong, kemudian
setelah dilarutkan dalam 5 mL larutan HCl
0,1N sambil dipanaskan perlahan-lahan
sampai agak kering serta dilarutkan kembali
dalam 5 mL akuabides steril mempunyai pH
~7. Berdasarkan pengamatan secara visual,
larutan tersebut terlihat jernih. Hasil analisis
kromatografi kertas menggunakan kertas
kromatografi Whatman 3 MM (2x17 cm)
sebagai fase diam dan NaCl fisiologis
(0,9%) sebagai fase gerak, menunjukkan
bahwa radioisotop 175Yb yang diperoleh
berada dalam bentuk senyawa tunggal yaitu 175YbCl3, di mana senyawa 175YbCl3 tetap
berada pada titik nol (Rf = 0). Nilai Rf
senyawa kompleks / radiofarmaka 175Yb-
EDTMP dan pengotor radiokimia (175YbCl3)
pada berbagai sistem kromatografi dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 . Nilai Rf senyawa kompleks / radiofarmaka 175Yb-EDTMP dengan berbagai sistem kromatografi kertas dan kromatografi lapisan tipis.
No. Sistem kromatografi Rf Waktu elusi
(menit) Keterangan Fase diam Fase gerak 175Yb-EDTMP 175YbCl31. TLC SG 60
(2x10 cm) Aseton 0 0 30 tidak dapat digunakan
2. Whatman
3 MM (2x17 cm)
Aseton 0 0 35 tidak dapat digunakan
3. Whatman
3 MM (2x17 cm)
NaCl fis 0,8 – 0,9 0 60 dapat digunakan
4. Whatman 3 MM
(2x17 cm)
Asam asetat 50%
0 0,8 – 0,9 90 dapat digunakan
5. Whatman 3 MM
(2x17 cm)
EDTA 1 mM
0,9 – 1,0 0,9 – 1,0 60 tidak dapat digunakan
Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481
29
0102030405060708090
100
Rad
ioak
tivita
s (%
)
1 3 5 7 9 11 13 15 17
Jarak migrasi (cm)
175YbCl3 175Yb-EDTMP
Gambar 1. Hasil analisis kromatografi kertas senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3
dengan menggunakan kertas kromatografi Whatman 3 MM sebagai fase diam dan NaCl fisiologis sebagai fase gerak.
0102030405060708090
100
Rad
ioak
tivita
s (%
)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jarak migrasi (cm)
175YbCl3 175Yb-EDTMP
Gambar 2. Hasil elektroforesis kertas senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3
Pada Tabel 1 terlihat bahwa sistem
kromatografi nomor 1, 2 dan 5 tidak dapat
digunakan karena tidak dapat memisahkan
dengan baik senyawa kompleks 175Yb-
EDTMP dari senyawa 175YbCl3. Pada sistem
kromatografi nomor 1 dan 2, kedua senyawa
tersebut tetap berada pada titik nol (Rf = 0).
Akan tetapi, pada sistem kromatografi
nomor 5, kedua senyawa tersebut bergerak
ke arah aliran fase gerak dengan Rf=0,9 - 1.
Pada sistem kromatografi nomor 3 dan 4,
senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dapat
dipisahkan dengan baik dari senyawa 175YbCl3. Pada sistem kromatografi nomor 3,
-2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35
30
ISSN 1411 - 3481
senyawa 175YbCl3 tetap berada pada titik nol
(Rf = 0), sedangkan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP bergerak ke arah aliran fase
gerak dengan Rf = 0,8 – 0,9.
Pada sistem kromatografi nomor 4,
senyawa kompleks 175Yb-EDTMP tetap
berada pada titik nol (Rf = 0), sedangkan
senyawa 175YbCl3 bergerak ke arah aliran
fase gerak dengan Rf = 0,8 – 0,9.
Berdasarkan hasil analisis
kromatografi pada kedua sistem
kromatografi di atas, maka kedua sistem
kromatografi tersebut dapat digunakan
untuk memisahkan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dari pengotor radiokimianya
(175YbCl3) dengan waktu elusi masing-
masing selama 60 dan 90 menit.
Gambar 1 memperlihatkan hasil
analisis kromatografi kertas senyawa
kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3 dengan menggunakan fase gerak
NaCl fisiologis. Hasil analisis metode
elektroforesis kertas menggunakan pelat
pendukung kertas kromatografi Whatman 3
MM (2x38 cm) dan larutan Na2HPO4 0,025
M pH 7,5 sebagai larutan elektrolitnya
diperoleh senyawa 175YbCl3 tidak
bermuatan dan tetap berada pada titik nol
(Rf = 0), sedangkan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP bergerak ke arah anoda yang
menunjukkan bahwa senyawa kompleks 175Yb-EDTMP tersebut bermuatan negatif
dengan Rf = 0,3.
Gambar 2 memperlihatkan hasil
elektroforesis kertas senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3. Hasil
analisis kromatografi kertas dan
elektroforesis kertas digunakan untuk
menentukan kemurnian radiokimia senyawa
kompleks 175Yb-EDTMP.
Reaksi yang terjadi pada proses
penandaan ligan EDTMP dengan
radionuklida 175Yb adalah melalui reaksi
seperti pada Gambar 3.
Untuk mendapatkan kondisi optimum
penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP,
pertama-tama dilakukan dengan cara
memvariasikan jumlah ligan EDTMP.
Efisiensi penandaan ditentukan dengan
melihat kemurnian radiokimianya.
Gambar 3. Reaksi pembentukan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP.
Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481
31
94
95
96
97
98
99
100
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18Jumlah ligan (mg)
Efis
iens
i pen
anda
an (%
)
Gambar 4 . Pengaruh jumlah ligan terhadap efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP.
Keterangan : pH = 7, tinkubasi = 30 menit pada temperatur kamar, larutan 175Yb = 105 µg (100 µL ; 0,6 µmol).
40
50
60
70
80
90
100
0 2 4 6 8 10pH
Efis
iens
i pen
anda
an (%
)
Gambar 5 . Pengaruh pH terhadap efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP.
Keterangan: EDTMP = 4 mg, t inkubasi = 30 menit pada temperatur kamar, larutan 175Yb = 105 µg (100 µL ; 0,6 µmol).
Gambar 4 memperlihatkan pengaruh
jumlah ligan EDTMP (2, 4, 8 dan 16 mg)
terhadap efisiensi penandaan 175Yb-EDTMP.
Dari hasil percobaan terlihat bahwa
penggunaan bahan ligan sebanyak 2 mg
diperoleh efisiensi penandaan yang masih
rendah (< 95%), yaitu sebesar 94,88%.
Penggunaan jumlah ligan EDTMP sebanyak
4 mg, maka efisiensi penandaan yang
diperoleh cukup tinggi, yaitu sebesar 98% (di
atas 95%), sehingga memenuhi syarat untuk
penggunaan di bidang kedokteran nuklir.
Semakin bertambah jumlah ligan EDTMP
yang digunakan, maka efisiensi penandaan
yang diperoleh tidak memberikan perbedaan
yang signifikan, yaitu masih sekitar 98%.
Mengingat segi ekonomis penggunaan
bahan ligan, maka dalam penelitian ini
penggunaan ligan EDTMP sebanyak 4 mg
dinyatakan sebagai kondisi optimum reaksi
dengan efisiensi penandaan sebesar 98,55
± 0,59%.
Dalam preparasi radiofarmaka 175Yb-
EDTMP, pH merupakan faktor yang sangat
penting. Pada Gambar 3 terlihat bahwa
molekul EDTMP memiliki sepuluh sisi basa,
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35
32
ISSN 1411 - 3481
yaitu delapan buah berasal dari atom oksigen
gugus fosfonat dan 2 buah berasal dari atom
nitrogen. Pada suasana asam, sisi basa
tersebut menjadi kurang reaktif bertindak
sebagai donor elektron untuk berikatan
dengan ion logam membentuk ikatan
koordinasi, sehingga efisiensi pembentukan
kompleks menjadi rendah. Semakin tinggi
tingkat keasaman (pH semakin rendah), maka
reaktivitas sisi basa molekul EDTMP
berkurang. Hal ini terbukti pada hasil yang
diperoleh. Gambar 5 memperlihatkan
pengaruh pH (2, 4, 6, 7, dan 8) terhadap
efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-
EDTMP. Pada Gambar 5 terlihat bahwa
efisiensi penandaan yang tinggi diperoleh
pada pH 6, yaitu sebesar 98%.
Semakin meningkatnya pH reaksi, tidak
memberikan perbedaan yang signifikan
terhadap efisiensi penandaan yaitu masih
sekitar 98%. Efisiensi penandaan akan
menurun dengan semakin menurunnya pH
reaksi. Hal ini dapat terlihat dari hasil
penandaan yang dilakukan dalam suasana pH
4 yang memberikan efisiensi penandaan yang
lebih rendah, yaitu sebesar 73%. Mengingat
campuran reaksi hasil penandaan yang
diperoleh mempunyai pH ∼ 7, maka pada
pH 7 tersebut dinyatakan sebagai kondisi
optimum reaksi dengan efisiensi penandaan
sebesar 98,81 ± 0,15%. Hal ini selain dapat
mempermudah dalam proses penandaan,
senyawa 175Yb-EDTMP yang diperoleh
mempunyai pH netral yang mendekati pH
darah. Pengaruh waktu inkubasi (0, 15, 30,
45 dan 60 menit) terhadap efisiensi
penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP
ditunjukkan pada Gambar 6. Dari hasil
percobaan terlihat bahwa dengan
bertambahnya waktu inkubasi dari 0 sampai
15 menit, maka efisiensi penandaan yang
diperoleh mengalami kenaikan yang
signifikan yaitu dari 84% menjadi 93%. Akan
tetapi, efisiensi penandaan yang diperoleh
masih lebih kecil dari 95%, sehingga belum
memenuhi syarat sebagai radiofarmaka
untuk terapi (15-17). Pada waktu inkubasi 0
dan 15 menit diperoleh efisiensi penandaan
yang masih rendah karena waktu yang
diperlukan untuk reaksi pembentukan
kompleks tidak memadai, sehingga
senyawa kompleks 175Yb-EDTMP yang
terbentuk belum maksimum.
8284
868890
929496
98100
0 15 30 45 60 75Waktu inkubasi (menit)
Efis
iens
i pen
anda
an (%
)
Gambar 6 . Pengaruh waktu inkubasi terhadap efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP.
Keterangan : EDTMP = 4 mg, pH = 7, larutan 175Yb = 105 µg (100 µL; 0,6 µmol).
Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481
33
88
90
92
94
96
98
100
0 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5Jumlah larutan Yb-175 (mikro mol)
Efis
iens
i pen
anda
an (%
)
Gambar 7. Pengaruh jumlah mol larutan 175Yb terhadap efisiensi penandaanradiofarmaka 175Yb-
EDTMP. Keterangan : EDTMP = 4 mg, pH = 7, t inkubasi = 30 menit pada temperatur kamar.
Penandaan dengan waktu inkubasi
selama 30 menit, maka efisiensi penandaan
yang diperoleh cukup tinggi yaitu sekitar 98%.
Hasil penandaan yang diperoleh dengan
semakin lamanya waktu inkubasi tidak
memberikan kenaikan efisiensi penandaan
yang signifikan, yaitu masih sekitar 98%.
Untuk efektifitas waktu, maka dalam penelitian
ini dengan waktu inkubasi selama 30 menit
dinyatakan sebagai kondisi optimum reaksi
dengan efisiensi penandaan sebesar 98,20 ±
0,94%.
Gambar 7 memperlihatkan pengaruh
jumlah mol larutan radioisotop 175Yb (0,3, 0,6,
0,9 dan 1,2 µmol dalam volume total sediaan
sebanyak 1 mL) terhadap efisiensi penandaan
radiofarmaka 175Yb-EDTMP. Pada Gambar 7
terlihat bahwa penggunaan larutan 175Yb
sebanyak 0,3 µmol diperoleh efisiensi
penandaan yang masih rendah yaitu sekitar
93%. Efisiensi penandaan yang tinggi
diperoleh dengan penambahan larutan 175Yb
sebanyak 0,6 µmol, yaitu sebesar 97,65 ±
0,12%. Akan tetapi, penggunaan larutan 175Yb
dengan jumlah yang lebih besar dari 0,6 µmol
memberikan efisiensi penandaan yang lebih
kecil dari 95%. Semakin besar jumlah mol
larutan 175Yb yang digunakan untuk
penandaan, maka semakin kecil efisiensi
penandaan yang diperoleh. Hal ini
disebabkan karena semakin banyaknya
senyawa 175YbCl3 bebas (sebagai pengotor
radiokimia) yang terdapat dalam
radiofarmaka 175Yb-EDTMP.
4. KESIMPULAN Radiofarmaka 175Yb-EDTMP dapat
dibuat melalui penandaan ligan EDTMP
dengan radionuklida 175Yb sebagai
radiofarmaka alternatif untuk penghilang
rasa sakit (paliatif) akibat metastase kanker
ke tulang. Berdasarkan metode
elektroforesis kertas, radiofarmaka 175Yb-
EDTMP merupakan kompleks yang
bermuatan negatif. Kondisi optimum
penandaan diperoleh pada pH 7 dengan
jumlah ligan EDTMP sebanyak 4 mg dan
jumlah larutan 175Yb sebanyak 100 µL (105
µg ; 0,6 µmol) serta waktu inkubasi selama
30 menit pada temperatur kamar. Kompleks
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35
34
ISSN 1411 - 3481
yang terbentuk memberikan efisiensi
penandaan maksimum sebesar 98,81 ±
0,15%.
Berdasarkan hasil yang diperoleh,
diharapkan radiofarmaka 175Yb-EDTMP ini
memiliki karakteristik fisiko-kimia yang
memenuhi syarat untuk terapi metastase
kanker ke tulang.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bpk. Nana S., Bpk. Uu Sumantri dan
Ibu Lenny K., yang telah membantu penulis di
dalam penelitian ini.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Washiyama K, Amano R, Sasaki J, Kinuya
S, Tonami N, Shiokawa Y, et al. 227Th-
EDTMP : A potential therapeutic agent for
bone metastasis. J Nucl Med Biol
2004;31(7):901-8.
2. Toegel S, Mien LK, Wadsak W, Eidherr H,
Viernstein H, Kluger R, et al. In vitro
evaluation of no carrier added, carrier
added and cross-complexed [90Y]-EDTMP
provides evidence for a novel “foreign
carrier theory”. J Nucl Med Biol
2006;33:95-9.
3. Uehara T, Jin ZL, Ogawa K, Akizawa H,
Hashimoto K, Nakayama M, et al.
Assessment of 186Re chelate-conjugated
bisphosphonate for the development of
new radiopharmaceuticals for bones. J
Nucl Med Biol 2007;34(1):79-87.
4. Taskar NP, Batraki M, Divgi CR.
Radiopharmaceutical therapy for palliation
of bone pain from osseous metastases. J
Nucl Med 2004;45(8):1358-65.
5. Unni PR, Kothari K, Pillai MRA.
Radiochemical processing of
radionuclides (105Rh, 166Ho, 153Sm, 186Re
and 188Re) for targeted radiotherapy. In:
Therapeutic applications of
radiopharmaceuticals. Proceedings of
an International Seminar; 1999 Jan 18-
22; Hyderabad, India. Vienna: IAEA;
2001. p. 90-8.
6. Fischer M. New aspects of radionuclide
therapy of bone and joint diseases. In:
Therapeutic applications of
radiopharmaceuticals. Proceedings of
an International Seminar; 1999 Jan 18-
22; Hyderabad, India. Vienna: IAEA;
2001. p. 18-22.
7. Chakraborty S, Unni PR, Venkatesh M,
Pillai MRA. Feasibility study for
production of 175Yb : A promising
therapeutic radionuclide. J Appl Radiat
Isot 2002;57:295-301.
8. Neves M, Kling A, Lambrecht RM.
Radionuclide production for therapy
radiopharmaceuticals. J Appl Radiat
Isot 2002;57(5):657-64.
9. Rahman M. Radiopharmaceuticals of
DTPA, DMSA and EDTA labelled with
holmium-166. In: Therapeutic
applications of radiopharmaceuticals.
Proceedings of an International
Seminar; 1999 Jan 18-22; Hyderabad,
India. Vienna: IAEA; 2001. p. 118-24.
10. Riccabona G, Naveda RM,
Oberlandstatter M, Donnemiller E,
Kendler D. Trial to optimize dosimetry
for 153Sm-EDTMP therapy to improve
therapeutic effects. In: Therapeutic
applications of radiopharmaceuticals.
Proceedings of an International
Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481
35
Seminar; 1999 Jan 18-22; Hyderabad,
India. Vienna: IAEA; 2001. p. 112-7.
11. Das T, Chakraborty S, Unni PR, Banarjee
S, Samuel G, Sarma HD, et al. 177Lu-
labeled cyclic polyaminophosphonates as
potential agents for bone pain palliation. J
Appl Radiat Isot 2002;57(2):177-84.
12. Bayouth JE, Macey DJ, Kasi LP, Forsella
FV. Dosimetry and toxicity of samarium-
153-EDTMP administered for bone pain
due to skeletal metastases. J Nucl Med
1994;35:63-9.
13. Mathew B, Chakraborty S, Das T, Sarma
HD, Banerjee S, Samuel G, et al. 175Yb
labeled polyaminophosphonates as
potential agents for bone pain palliation.J
Appl Radiat Isot 2004;60(5):635-42.
14. Aziz A. Pembuatan dan uji kualitas
radioisotop iterbium-175 (175Yb) untuk
terapi melalui reaksi inti (n,γ) di reaktor
TRIGA 2000 Bandung. Jurnal Sains dan
Teknologi Nuklir Indonesia
2005;6(1):25-47.
15. Anonymous. Criteria for palliation of
bone metastases – Clinical applications.
IAEA-TECDOC-1549. Vienna: IAEA;
2007.
16. Anonymous. Optimization of production
and quality control of therapeutic
radionuclides and radiopharmaceuticals.
IAEA-TECDOC-1114. Vienna: IAEA;
1999.
17. Kothari K, Samuel G, Banarjee S, Unni
PR, Sarma HD, Chaudhari PR, et al.
186Re-1,4,8,11-tetraaza
cyclotetradecyl-1,4,8,11-tetramethylene
phosphonic acid: A novel agent for
possible use in metastatic bone-pain
palliation. J Nucl Med Biol 2001;28:709.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35
36
ISSN 1411 - 3481
Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481
37
KARAKTERISTIK KIMIA PAPARAN PARTIKULAT TERESPIRASI
Noneng Dewi Zannaria1, Dwina Roosmini2, Muhayatun Santoso3
1,2) Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung 3)Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri-BATAN Bandung
[email protected]), [email protected]), [email protected])
ABSTRAK KARAKTERISTIK KIMIA PAPARAN PARTIKULAT TERESPIRASI. Partikulat terespirasi adalah partikulat dengan ukuran 2-5μm yang karena sifat aerodinamiknya dapat masuk ke dalam saluran pernafasan dan terdeposit dalam paru-paru serta merusak alveoli sehingga membahayakan kesehatan manusia. Dinas Kesehatan kota Bandung mencatat bahwa ada kecenderungan peningkatan angka kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) setiap tahun di kota Bandung. Pengukuran PM10 pada periode tahun 2002-2005 yang dilakukan oleh BPLH Kota Bandung menunjukkan bahwa di beberapa lokasi ambang batas baku mutu harian untuk PM10 telah dilampaui. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui paparan partikulat terespirasi pada masyarakat dengan melakukan karakterisasi unsur-unsur kimia yang terkandung di dalamnya sebagai bentuk identifikasi bahaya. Penelitian dilakukan di empat kawasan di kota Bandung. Pengambilan sampel partikulat terespirasi dilakukan menggunakan personal sampler. Karakterisasi kimia dilakukan menggunakan metode analisis aktivasi neutron, spektrometri serapan atom dan reflektansi. Hasil identifikasi dan karakterisasi tersebut digunakan untuk menghitung nilai IEC(Inhalation Exposure Concentration) sebagai estimasi paparan partikulat terespirasi yang terhirup selama kurun waktu tertentu. Tahap tersebut merupakan tahap awal dari studi epidemiologi yang mengkaitkan kejadian penyakit saluran pernafasan dengan hasil identifikasi dan karakterisasi partikulat terespirasi. Unsur-unsur kimia yang diidentifikasi adalah unsur Br, Mn, Al, I, V, Cl, Ti, Na, Hg, Pb, dan black carbon (BC). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partikulat terespirasi yang dihirup oleh penduduk sebagai reseptor di kawasan Tegalega, Aria Graha, Dago Pakar, dan Cisaranten Wetan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi PM2,5 udara ambien di lokasi yang sama. Kawasan industri Cisaranten Wetan mempunyai konsentrasi tertinggi untuk sebagian besar unsur-unsur yang terkandung dalam partikulat terespirasi. Kata kunci : Paparan, partikulat terespirasi, reseptor, unsur-unsur kimia ABSTRACT
CHEMICAL CHARACTERISATIC OF RESPIRABLE PARTICULATES. Respirable particulates are particulates which having diameter size at 2-5 μm, due to aerodinamically may be inhaled through respiratory tract and having ability to deposit into lungs, causing damage of the alveolar tissues and inducing health problems. Health Departement of Bandung have reported that prevalency of acute respiratory tract infection disease having increasing tendency every year. Meassurement of PM10 in period of 2002-2005 have done by BPLH Bandung city which pointed that in some places the concentration of PM10 was higher than daily threshold limit values. This research having intend to understand of respirable particulates exposure in society with characterization of chemical materials contained as hazard identification. Location of research have done in four regions of Bandung City. Personal sampler has used for collection of respirable particulates from human breathing zone. Chemical characteristic were done using neutron activation analysis, atomic absorption spectrometer and reflectance methodes. The useful of this procedur as the baseline to calculate IEC (Inhalation exposure Concentration) values for estimate the exposure of respirable partiulates which inhaled during period of time. Calculating of IEC is the earlier step from epidemiological study or risk assessment which connecting prevalency of tract respiratory disease with characteristic of respirable particulates. Elements Br, Mn, Al, I, V, Cl, Ti, Na, Hg, Pb, and black carbon (BC), are
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481
38
the elements which identified. The results showed that respirable particulates which inhaled by citizen as reseptor at Tegalega, Aria Graha, Dago Pakar, and Cisaranten Wetan are relatively higher than PM2,5 ambient air at the same places. Almost whole of such elements which contained in respirable paticulates was found in highest concentration at Cisaranten Wetan. Key words : Chemical elements, exposure, reseptor, respirable particulates 1. PENDAHULUAN Particulate matter (PM) adalah salah
satu parameter polutan di udara (1). Unsur
partikulat ini dapat mempengaruhi
kesehatan manusia sebagai reseptor
terutama menyebabkan gangguan pada
sistem respirasi. Masuknya partikulat ke
dalam sistem respirasi manusia dipengaruhi
ukuran partikulat. Ukuran partikulat yang
dapat masuk ke dalam sistem respirasi
adalah kurang dari 10 μm dengan
spesifikasi sebagai berikut (2) :
- Ukuran 5 - 10 μm akan mudah tersaring
secara fisik oleh rambut-rambut halus
dalam rongga hidung
- Ukuran 2 - 5 μm akan terendapkan di
alveoli
- Ukuran < 2 μm akan mudah masuk ke
dalam saluran respirasi dan akan
mudah keluar kembali bersama udara
ekspirasi.
Beberapa penelitian sebelumnya
telah menghubungkan antara paparan
polutan partikulat terespirasi dengan
beberapa kejadian penyakit saluran
pernafasan. Seperti yang dilakukan oleh
Mutius et al. di Jerman Timur (3), bahwa
peningkatan konsentrasi partikulat, SO2,
NOx, serta kombinasi antara ketiganya di
udara ambien berhubungan dengan
peningkatan risiko anak-anak mengidap
penyakit saluran pernafasan bagian atas
dan asma.
Bandung adalah salah satu kota
besar di Indonesia dengan tingkat
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi
setiap tahunnya. Aktivitas penduduk kota
Bandung beragam mulai dari sektor
pertanian, perkebunan, pendidikan, hingga
sektor industri dan transportasi. Aktivitas
tersebut menghasilkan polutan termasuk
emisi polutan ke udara yang menimbulkan
pencemaran udara, dan pada akhirnya
dapat mempengaruhi kesehatan manusia
serta menimbulkan penyakit yang salah
satunya berhubungan dengan saluran
pernafasan.
Penelitian mengenai pencemaran
udara Kota Bandung yang berkaitan dengan
partikulat telah dilakukan oleh Santoso et al.
(4). Hasil penelitian tersebut menyebutkan
adanya peningkatan rata-rata konsentrasi
tahunan untuk PM10 dan PM2,5
dari tahun
2004 ke tahun 2005. Hasil pengukuran pada
periode tahun 2002-2005 yang dilakukan
oleh BPLH Kota Bandung menunjukkan
bahwa di beberapa lokasi ambang batas
baku mutu harian untuk PM10 telah
dilampaui, baik di lokasi perumahan,
perkantoran dan perdagangan, ruang
terbuka hijau, dan terminal (5).
Profil kesehatan kota Bandung pada
tahun 2004 menyebutkan bahwa lebih dari
dua pertiga bayi menderita gangguan
penyakit infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA). Penelitian mengenai kadar timbal
Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481
39
dalam darah menghasilkan bahwa nilai rata-
rata konsentrasi timbal dalam darah anak-
anak dari 40 Sekolah Dasar yang tersebar di
25 kecamatan di Kota Bandung sebesar
14,13 μg/dl. Angka tersebut telah melebihi
ambang batas konsentrasi timbal dalam
darah yaitu sebesar 10 μg/dl. Kondisi
tersebut menunjukkan tingkat pencemaran
timbal yang berbahaya di Kota Bandung [5].
Merujuk pada hasil-hasil penelitian
tersebut maka perlu dilakukan analisis
paparan partikulat terespirasi terhadap
masyarakat sebagai reseptor dari
pencemaran udara, mengingat setiap unsur
kimia tersebut mempunyai potensi bahaya
bagi fungsi fisiologis tubuh. Data mengenai
karakteristik partikulat terespirasi yang
memapari masyarakat sebagai reseptor,
khususnya untuk pemantauan perorangan
belum banyak dilakukan. Sistem monitoring
kualitas udara pada umumnya dilakukan
dengan mengukur pencemaran udara
ambien. Penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi data paparan pencemaran
udara pada manusia dan menjadi dasar
studi epidemiologi dalam kaitannya dengan
kondisi kesehatan masyarakat, sehingga
dapat menjadi masukan bagi pengambil
keputusan untuk kesehatan lingkungan dan
masyarakat, khususnya di Kota Bandung.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui unsur-unsur kimia yang
terkandung dalam partikulat terespirasi.
Selain itu penelitian ini diharapkan juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi
pengaruh kondisi lahan terhadap
karakterisasi dan identifikasi polutan
partikulat terespirasi serta sebagai analisis
awal studi paparan partikulat terespirasi
terhadap reseptor.
2. METODE PENELITIAN Lokasi pengambilan sampel partikulat
udara dilakukan di empat lokasi yang
berbeda di kota Bandung. Lokasi-lokasi
tersebut adalah Aria Graha yang mewakili
kawasan pemukiman; Cisaranten Wetan,
mewakili kawasan industri; Tegalega
mewakili kawasan keramaian transportasi;
Dago Pakar, mewakili kawasan bersih
(sebagai lokasi kontrol). Penentuan lokasi
berdasarkan kepada perbedaan tataguna
lahan dengan asumsi bahwa dengan
perbedaan lokasi penggunaan lahan dapat
terlihat perbedaan sumber polutan,
sehingga jenis partikulat yang memapari
masyarakat di lokasi tersebut berbeda.
Disamping itu penentuan titik juga
disesuaikan dengan lokasi stasiun tetap
yang dipergunakan oleh BPLHD provinsi
Jawa Barat untuk memantau kualitas udara
kota Bandung. Pengambilan sampel
dilakukan dua hari dalam satu minggu di
setiap lokasi dengan perbedaan hari
berdasarkan aktivitas keramaian. Adanya
perbedaan aktivitas dan keramaian pada
waktu-waktu tersebut diperkirakan dapat
membuat perbedaan paparan polutan pada
masyarakat.
Alat yang dibutuhkan dalam proses
pengambilan sampel partikulat terespirasi
adalah Hi Flow Personal Sampler Pump
Gilian HFS-513A yang dilengkapi dengan
filter Mixed Cellulose Ester (MCE) diameter
25 mm, kerapatan 0,8 μm, dan SKC
aluminium cyclone 225-01-01/02. Alat
tersebut dipasang pada responden selama 8
jam kerja sesuai dengan aktivitas responden
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481
40
dan kemampuan alat. Responden adalah
orang-orang yang melakukan kegiatan dan
berada pada lokasi tersebut sepanjang hari
seperti pengamen, pedagang kaki lima,
pemilik warung-warung, satpam, tukang
becak, dan tukang kebun dengan
pertimbangan responden tersebut bekerja di
area terbuka sehingga berpotensi
maksimum terpapar polutan partikulat
terespirasi. Responden yang dipilih adalah
orang-orang yang tidak merokok atau yang
dipastikan tidak akan merokok selama
dipasang alat. Pengambilan sampel
dilakukan dalam dua ketegori hari yaitu hari
kerja dan akhir pekan. Partikulat terespirasi
kemudian dianalisis menggunakan analisis
gravimetri untuk mengetahui konsentrasi
dari partikulat terespirasi tersebut. Analisis
dilanjutkan untuk mengetahui komposisi dan
konsentrasi tiap-tiap unsur yang terkandung
dengan INAA (instrumental neutron
activation analysis) untuk unsur logam
selain Pb dan Hg, AAS (atomic absorption
spectrophotometry) untuk unsur Pb dan Hg,
serta EEL smokestain reflectometer untuk
analisis black carbon (BC) sehingga
diperoleh karakteristik dan komposisi
partikulat terespirasi baik secara kualitatif
maupun kuantitatif.
Data primer yang diperoleh
dikuantifikasi dengan diuji secara statistik.
Metode analisis faktor digunakan untuk
memperkirakan sumber yang berkontribusi
mengemisikan partikulat. Software yang
digunakan adalah SPSS ver.11.5.
Interpretasi dilakukan terhadap hasil yang
diperoleh didasarkan atas unsur-unsur
penanda pada profil sumber yang
dikeluarkan oleh US EPA dan dilengkapi
dengan literatur-literatur lain serta hasil
penelitian terdahulu mengenai karakterisasi
partikulat.
Analisis paparan partikulat terhadap
manusia dilakukan dengan perhitungan nilai
IEC (inhalation exposure concentration).
Perhitungan nilai IEC dilakukan sebagai
gambaran awal untuk mengetahui potensi
paparan dari unsur-unsur kimia terhadap
manusia melalui jalur inhalasi di lingkungan
umum (udara ambien), dengan
menggunakan persamaan berikut (6):
BIOEDEFETCaIEC ××××=7036524
Keterangan:
IEC : Inhalation exposure
concentrations atau konsentrasi
paparan melalui inhalasi (mg/m3)
Ca : Konsentrasi unsur kimia di udara
(mg/m3)
ET : Waktu paparan (jam/hari)
EF : Frekuensi paparan (hari/tahun)
ED : Durasi terpapar (tahun)
BIO : Faktor bioavailibility = 1,0
Dalam perhitungan IEC, waktu
paparan ET yang digunakan untuk seluruh
lokasi adalah 8 jam disesuaikan dengan
rata-rata aktivitas di luar ruangan dari
penduduk di keseluruhan lokasi. Frekuensi
paparan (EF) yang digunakan adalah 365
hari, sedangkan durasi terpapar (ED) adalah
selama 67,8 tahun yang merupakan rata-
rata usia harapan hidup penduduk Indonesia
baik laki-laki maupun perempuan pada
periode 2000-2005 (7).
Hasil dari perhitungan IEC merupakan
gambaran yang akan merujuk pada estimasi
Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481
41
rata-rata paparan polutan partikulat
terespirasi pada masyarakat selama kurun
waktu tersebut. Dengan demikian dapat
dijadikan sebagai dasar untuk studi
epidemiologi dengan menghubungkannya
dengan data kejadian penyakit saluran
pernafasan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi paparan partikulat
terespirasi pada empat lokasi penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1. Rentang
konsentrasi paparan partikulat terespirasi
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1
menunjukkan selisih tertinggi untuk hari
kerja diperoleh di Aria Graha yaitu sebesar
134,55 dan terendah diperoleh di Dago
Pakar sebesar 40,43. Untuk akhir pekan
selisih paparan tertinggi diperoleh di
Cisaranten Wetan yaitu sebesar 83,95 dan
terendah di Dago Pakar sebesar 25,18.
Adanya rentang konsentrasi tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal diantaranya
aktivitas responden, posisi responden, dan
jarak dengan sumber pencemar. Responden
di Dago Pakar relatif mempunyai aktivitas
yang sejenis, yaitu penjaga Tahura dan
tukang kebun, selain itu lokasi antara
responden juga relatif berdekatan sehingga
paparan yang diperoleh relatif tidak jauh
berbeda. Di Aria Graha aktivitas objek
sampling diantaranya sebagai satuan
pengamanan, tukang becak, dan tukang
gorengan. Masing-masing mempunyai posisi
yang berbeda-beda sehingga paparan
partikulat yang diperoleh juga relatif
berbeda.
Pada umumnya responden yang
berada di areal depan kompleks perumahan
terpapar partikulat terespirasi lebih banyak
karena bagian depan berbatasan langsung
dengan jalan raya Soekarno-Hatta. Di
Cisaranten Wetan, kondisi yang terjadi tidak
jauh berbeda dengan di Aria Graha.
Diperkirakan aktivitas dan posisi yang
berbeda antara tukang kebun dan satpam
cukup berpengaruh dalam paparan
partikulat yang diterima. Tukang kebun
relatif berada dalam posisi yang sama
sepanjang hari sedangkan satpam bertugas
berkeliling ke seluruh wilayah kompleks
perumahan sehingga paparan yang diterima
dapat lebih tinggi. Rata-rata konsentrasi
paparan partikulat terespirasi tertinggi
diperoleh di Tegalega pada hari kerja yaitu
sebesar 83,28 μg/m3 dan di Cisaranten
Wetan pada akhir pekan sebesar 75,89
μg/m3. Hal tersebut dapat terjadi karena di
Tegalega dipengaruhi berbagai aktivitas
diantaranya aktivitas transportasi, kegiatan
bengkel las, pengrajin kusen, serta aktivitas
lainnya yang cukup banyak ditemui di
sekitar kawasan tersebut, sedangkan di
Cisaranten wetan kemungkinan dipengaruhi
oleh berbagai aktivitas industri seperti
industri furniture, pemintalan benang,
barang logam, dan makanan.
Tabel 1. Konsentrasi paparan partikulat terespirasi
No Lokasi Rentang Konsentrasi (μg/m3) Rata-rata Konsentrasi (μg/m3)
Hari kerja Akhir pekan Hari kerja Akhir pekan 1 Tegalega 48,97 – 107,72 39,70 – 79,63 82,38 ± 19,50 56,98 ± 12,36 2 Aria Graha 22,58 – 157,13 43,03 – 110,49 67,93 ± 34,84 61,75 ± 21,73 3 Dago Pakar 21,30 – 61,73 37,65 – 62,83 51,30 ± 12,39 51,27 ± 8,41 4 Cisaranten wetan 26,85– 104,63 24,38 -108,33 72,65 ± 27,54 75,89 ± 31,26
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481
42
Rata-rata konsentrasi terendah
diperoleh di Dago Pakar baik pada hari kerja
maupun akhir pekan yaitu sebesar 51,30
μg/m3 dan 51,27 μg/m3. Hal tersebut dapat
dikaitkan dengan aktivitas antropogenik
yang cenderung lebih sedikit dibandingkan
dengan kawasan lainnya. Perbedaan hari
kerja dan akhir pekan tidak memberikan
perbedaan yang signifikan terhadap
paparan partikulat terespirasi yang diperoleh
di ketiga lokasi lainnya selain di Tegalega.
Hal ini dapat terjadi karena selain aktivitas
transportasi, di kawasan tersebut terdapat
kegiatan-kegiatan lain seperti bengkel las,
pengrajin kusen yang lebih aktif beroperasi
pada hari kerja. Disamping itu di kawasan
tegalega terutama di sekitar jalan BKR dan
jalan Moh. Toha terdapat aktivitas
perkantoran, sehingga mempengaruhi
adanya jumlah kendaraan bermotor yang
relatif lebih tinggi karena keluar masuk
kawasan perkantoran.
Perbedaan paparan yang diterima
dapat juga disebabkan karena posisi
sebagai perokok pasif. Koistinen
menyebutkan bahwa asap rokok adalah
salah satu faktor kuat yang mempengaruhi
paparan perseorangan untuk PM2,5 (8).
Perokok aktif akan terpapar PM2,5 hampir
tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan
yang tidak merokok dan tidak terpapar asap
rokok. Perokok pasif akan terpapar PM2,5
dua kali lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak merokok dan tidak terpapar asap
rokok. Meskipun demikian perlu dilakukan
kajian lebih lanjut mengenai hubungan
paparan asap rokok dan paparan partikulat
terespirasi termasuk komposisi yang
terkandung di dalamnya (8).
Unsur-unsur yang diidentifikasi dari
partikulat terespirasi di keempat lokasi
adalah unsur Br, Mn, Al, I, V, Cl, Na, Pb, Hg,
black carbon (BC). Khusus di Cisaranten
Wetan, pada hari kerja teridentifikasi unsur
Ti yang tidak teridentifikasi di lokasi lain.
Kehadiran unsur Ti ini dapat dikaitkan
dengan adanya kegiatan pembongkaran
tanah karena unsur Ti merupakan salah
satu penanda dari tanah (4). Kegiatan
pembongkaran tanah terkait dengan tahap
pembangunan beberapa cluster di kawasan
Cisaranten Wetan khususnya di sekitar
Pinus Regency yang lebih aktif beroperasi
pada hari kerja. Konsentrasi unsur-unsur
dalam partikulat terespirasi disajikan pada
Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, dan
Gambar 4.
Analisis faktor merupakan suatu
teknik reduksi data [9]. Teknik ini merupakan
sekelompok prosedur untuk menyisihkan
data yang melimpah dari suatu set variabel-
variabel yang berkorelasi dan
merepresentasikan variabel-variabel
tersebut dengan variabel baru yang lebih
kecil, yang disebut faktor (10). Analisis
interpretasi sumber terhadap hasil yang
diperoleh dari analisis faktor didasarkan
pada besarnya nilai loading tiap-tiap unsur/
senyawa terhadap faktor baru yang
terbentuk. Nilai loading dapat diartikan
sebagai koefisien korelasi antara variabel
dengan faktor (9). Nilai loading yang lebih
besar dari 0,5 dianggap signifikan meskipun
nilai yang lebih kecil masih dapat
berpengaruh terhadap sumber (10).
Berdasarkan analisis faktor, diperoleh
kemungkinan sumber yang diperkirakan
berpengaruh dalam mengemisikan unsur-
Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481
43
unsur tersebut ke udara. Sumber pencemar
yang diperkirakan berpengaruh terhadap
paparan partikulat terespirasi di kawasan
Tegalega adalah campuran unsur tanah dan
unsur garam laut (Al, Mn, Cl, Na),
kendaraan bermotor (Pb, Hg), dan
pembakaran biomassa (BC, Cl). Unsur Hg
dapat berasal dari bahan bakar fosil. Salah
satu bahan bakar fosil tersebut adalah
bahan bakar minyak seperti bensin dan
solar meskipun kandungan dalam produk-
produk hasil sampingan minyak bumi ini
relatif kecil (11). Unsur Pb juga merupakan
penanda dari sumber kendaraan bermotor.
Unsur Pb digunakan untuk menaikkan
angka oktan sebagai upaya untuk
mengurangi ketukan pada mesin kendaraan.
Di Indonesia bensin yang mengandung
timbal masih umum digunakan. Unsur Br
digunakan sebagai komponen pencampur
dalam bensin bertimbal untuk mengeluarkan
sisa timbal dari silinder mesin (12). Dengan
demikian keberadaan unsur Pb dan Hg
dapat menjadi penanda sumber kendaraan
bermotor.
Unsur Al dan Mn merupakan unsur
penanda dari sumber tanah. Manahan (12)
menyebutkan bahwa unsur Al merupakan
unsur yang berasal dari tanah dengan
konsentrasi dalam partikulat udara dapat
mencapai lebih dari 1 μg/m3, sedangkan
mangan merupakan unsur tanah terutama
dalam bentuk mangan oksida. Kehadiran
unsur Na dengan nilai loading yang tinggi
dan diikuti dengan Cl, menandakan bahwa
dalam faktor pertama ini kemungkinan
terdapat faktor campuran dari sumber
pencemar, yaitu unsur tanah dan garam-
garam laut (seasalt). Secara geografis, kota
Bandung tidak berbatasan dengan laut, dan
memiliki jarak sekitar 180 km dari garis
pantai utara maupun selatan (13). Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan
kehadiran dari unsur penanda garam-garam
laut, karena pada dasarnya partikel halus
dapat terdistribusi hingga mencapai ratusan
hingga ribuan kilometer, bahkan dapat
melintasi batas negara (14). US EPA dalam
Fierro (15) juga menyebutkan bahwa jangka
waktu partikulat halus dapat bertahan di
udara selama beberapa hari hingga
beberapa minggu. Soedomo (13)
menyatakan bahwa aerosol yang berasal
dari laut dapat ditransportasikan oleh angin
ke daerah cekungan Bandung pada jarak
yang dapat ditempuh dalam waktu kurang
dari 12 jam dengan kecepatan angin
minimum 4 m/s.
Perkiraan terhadap sumber pencemar
yang berpengaruh di kawasan Aria Graha
adalah unsur tanah (Al, Mn, Na), road dust
(Mn, Cl), dan kendaraan bermotor (Hg, Pb).
Terdapat kegiatan konstruksi bangunan dan
jalan yang menghubungkan antar kompleks,
di kawasan pemukiman Aria Graha ini serta
di kawasan pemukiman sekitarnya, serta
kawasan ini berdekatan dengan jalan raya
Soekarno-Hatta sehingga dapat dipahami
apabila unsur-unsur yang ditemukan ada
pengaruh dari aktivitas kendaraan bermotor,
juga debu dari tanah dan jalan raya
tersebut.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481
44
0.0001
0.001
0.01
0.1
1
10
100
Br Mn Al I V Cl TiNa BC Hg Pb
Unsur-unsur
Rat
a-ra
ta k
onse
ntra
si (u
g/m
3)
Hari kerja
akhir pekan
Gambar 1. Unsur-unsur kimia dalam partikulat
terespirasi di Tegalega
0.0001
0.001
0.01
0.1
1
10
100
BrMn Al I V Cl Ti
Na BC Hg Pb
unsur-unsur
rata
-rat
a ko
nsen
tras
i (ug
/m3)
hari kerjaakhir pekan
Gambar 2. Unsur-unsur kimia dalam partikulat
terespirasi di Aria Graha
0.0001
0.001
0.01
0.1
1
10
100
Br Mn Al I V Cl TiNa BC Hg Pb
Unsur-unsur
Rat
a-ra
ta k
onse
ntra
si (u
g/m
3)
hari kerjaakhir pekan
Gambar 3. Unsur-unsur kimia dalam partikulat terespirasi di Dago Pakar
0.0001
0.001
0.01
0.1
1
10
100
BrMn Al I V Cl Ti
Na BC Hg Pb
Unsur-unsur
Rat
a-ra
ta K
onse
ntra
si (u
g/m
3)
hari kerja
akhir pekan
Gambar 4. Unsur-unsur kimia dalam partikulat
terespirasi di Cisaranten Wetan Campuran unsur tanah dan garam
laut (Mn, Al, Na, Cl), sumber kendaraan
bermotor (Pb, Hg), dan campuran faktor
sumber pembakaran biomassa dan road
dust (Mn, Cl, BC) diperkirakan menjadi
sumber pencemar yang berpengaruh di
Dago Pakar. Menurut Wirawan (16) bahwa
unsur tanah di Dago Pakar berkontribusi
sebesar 14% terhadap PM2,5. Kehadiran
unsur Cl dengan nilai loading yang cukup
tinggi menunjukkan bahwa disamping unsur
tanah juga ada campuran dengan unsur sea
salt. Santoso et al. (4) menyebutkan bahwa
faktor pembakaran biomassa untuk PM2,5
memberikan kontribusi sekitar 39% di
kawasan rural yaitu Lembang. Kawasan
Dago Pakar secara garis besar mempunyai
kemiripan karakteristik dengan kawasan
Lembang tersebut. Sehingga untuk
pembakaran biomassa dapat berpengaruh
terhadap unsur-unsur yang terkandung
dalam partikulat terespirasi. Sumber
kendaraan bermotor juga ditemukan di
kawasan ini mengingat adanya aktivitas
wisata di kawasan Tahura Dago Pakar
sehinga memungkinkan keluar masuk
kendaraan bermotor.
Kegiatan industri (Mn, Al, Cl, I, BC),
insinerasi (Cl, Na, BC), dan pembakaran
bahan bakar minyak (Pb, V) diperkirakan
mempunyai pengaruh pada partikulat
terespirasi di Cisaranten Wetan. Unsur V
umumnya merupakan penanda dari
kegiatan industri juga kegiatan pembakaran
bahan bakar minyak (12). Unsur Pb selain
menjadi pananda dari sumber kendaraan
bermotor, juga dapat berasal dari
pembakaran bahan-bahan yang
mengandung timbal dan bahan bakar fosil
seperti batubara yang kemungkinan
digunakan pada proses industri. Kegiatan
insinerasi dan pembakaran senyawa yang
mengandung organoklorin kemungkinan
juga ditemukan pada pabrik-pabrik di sekitar
kawasan tersebut. Hal ini diindikasikan
dengan adanya unsur Cl dan BC.
Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481
45
Kendaraan bermotor mendominasi
kemungkinan sumber partikulat terespirasi di
Kota Bandung. Hal tersebut diketahui dari
kemungkinan faktor sumber pencemar yang
berasal dari kendaraan bermotor diperoleh
pada tiga dari empat lokasi penelitian.
Pernyataan ini didukung dengan kajian
emisi oleh Kurniawan (17) yang
menyebutkan bahwa untuk parameter SPM
(suspended particulate matter) kontribusi
yang diberikan sumber transportasi adalah
sebesar 31,9%. BPLHD (18) menyebutkan
bahwa tingkat emisi untuk parameter PM10
dan PM2,5 di Kota Bandung masing-masing
sebesar 1.112,9 ton/tahun (PM10), dan
1.030,4 ton/tahun (PM2,5). Nilai tersebut
merupakan angka tingkat emisi tertinggi
untuk PM10 dan PM2,5 jika dibandingkan
dengan parameter yang sama di Kota
Cimahi, Kabupaten Bandung, dan
Kabupaten Sumedang.
Kontribusi sektor transportasi yang
lebih dominan terhadap emisi polutan
khususnya partikulat di Kota Bandung terkait
dengan jumlah kendaraan yang ada. Jumlah
kendaraan di Kota Bandung menempati
urutan tertinggi dibandingkan dengan kota
lain di wilayah cekungan Bandung yaitu
Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota
Cimahi. Hal tersebut didasarkan pada data
hasil survey Dinas Perhubungan (SAMSAT)
dalam BPLHD (18). Sepeda motor
merupakan kendaraan dengan jumlah
tertinggi di Kota Bandung yang mencapai
355.266 unit, kendaraan penumpang
(berbahan bakar premium) sebanyak
166.820, kendaraan penumpang berbahan
bakar diesel sebanyak 21.733 unit,
angkutan ringan (premium) sebanyak
18.433 unit, angkutan ringan (diesel)
sebanyak 11.983 unit, dan angkutan berat
(diesel) sebanyak 19.817 unit.
Pembakaran sampah (dapat
termasuk di dalamnya pembakaran
biomassa) juga diperkirakan merupakan
sumber yang cukup berpengaruh dalam
emisi partikulat terespirasi. Kontribusi
pembakaran sampah terhadap emisi SPM di
Kota Bandung sebesar 14,6%. Menurut
Supriatno dalam Huboyo (19) emisi
partikulat dari proses pembakaran sampah
adalah sebesar 594,3 kg/hari. Santoso
mengungkapkan bahwa kontribusi
pembakaran biomassa terhadap PM2,5 di
kota Bandung adalah sebesar 20% (4).
Selain dari faktor kendaraan bermotor
dan pembakaran biomassa, faktor tanah
juga merupakan salah satu yang perlu
diperhatikan sebagai faktor yang memiliki
kontribusi pada sumber partikulat terespirasi
di kota Bandung. Santoso (4)
mengemukakan bahwa kontribusi faktor
tanah dan debu jalan terhadap PM2,5 di kota
Bandung adalah sebesar 20%.
Kegiatan industri merupakan kegiatan
yang kompleks dan melibatkan berbagai
proses. Penggunaan bahan bakar, proses
insinerasi ataupun kegiatan pembakaran
bahan baku dengan suhu tinggi umumnya
terdapat pada kegiatan-kegiatan industri.
Kontribusi pencemaran udara di Kota
Bandung untuk parameter partikulat (SPM)
dari sektor industri adalah sebesar 28,6%
(17). Kurniawan (17) juga menyebutkan
bahwa tingkat emisi untuk partikulat paling
tinggi diemisikan oleh industri tekstil yaitu
sebesar 613,73 ton/tahun, kemudian industri
makanan dan minuman (145,34 ton/tahun),
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481
46
industri kertas, barang-barang dari kertas,
dan sejenisnya (63,06 ton/tahun), industri
furnitur dan pengolahan lainnya (60,20
ton/tahun). Industri tekstil dan pengolahan
tekstil merupakan industri yang cukup
banyak dijumpai di Kota Bandung. Di sekitar
kawasan Cisaranten Wetan terdapat sekitar
tujuh industri tekstil dan satu industri furnitur.
Dengan demikian hal tersebut memperkuat
dugaan mengenai adanya pengaruh faktor
industri serta proses-proses yang terjadi di
dalamnya pada sumber paparan partikulat
terespirasi di kawasan industri Cisaranten
Wetan.
Berdasarkan konsentrasi unsur-unsur
di seluruh lokasi, unsur BC dan Cl relatif
merupakan unsur tertinggi dari partikulat
terespirasi, sedangkan unsur Na dan Pb
relatif merupakan unsur dengan konsentrasi
terendah. Komposisi BC dapat mencapai
10-40% dari fraksi massa dalam PM2,5 [20].
Unsur Cl dan Na merupakan unsur penanda
garam-garam yang berasal dari laut.
Komposisi Cl yang lebih tinggi kemungkinan
menunjukkan bahwa keberadaan unsur Cl di
Kota Bandung tidak hanya berasal dari
garam-garam laut, namun dapat juga dari
aktivitas insinerasi, kegiatan industri dan
proses-proses pembakaran senyawa-
senyawa yang mengandung klor.
3.1. Analisis Awal Resiko Kesehatan Konsentrasi partikulat terespirasi dan
nilai IEC dari partikulat terespirasi yang
diterima oleh masyarakat pada hari kerja di
masing-masing kawasan disajikan pada
Gambar 5. Pada Gambar 5 dapat dilihat
bahwa nilai IEC partikulat terespirasi yang
diterima masyarakat yang beraktivitas di luar
ruangan di Tegalega dan Cisaranten Wetan
lebih tinggi dibandingkan di Aria Graha dan
Dago Pakar. Nilai IEC tertinggi pada hari
kerja adalah di Tegalega sedangkan pada
akhir pekan diperoleh di Cisaranten Wetan.
Nilai IEC terendah untuk kedua kategori hari
adalah di Dago Pakar.
Nilai IEC merepresentasikan estimasi
rata-rata potensi paparan polutan yang
diinhalasi selama kurun waktu 8 jam
aktivitas dengan asumsi 67,8 tahun paparan
yang disesuaikan dengan usia harapan
hidup penduduk Indonesia. Sehingga
dengan kondisi polutan partikulat terespirasi
yang ada di masing-masing lokasi maka
penduduk yang beraktivitas di luar ruangan
dengan asumsi waktu 8 jam setiap hari
sepanjang hidupnya, diperkirakan
berpotensi menghirup partikulat terespirasi
sebesar:
- 26,89μg/m3 setiap hari kerja dan
18,40μg/m3 setiap akhir pekan di
Tegalega
- 21,93μg/m3 setiap hari kerja dan
20,39μg/m3 setiap akhir pekan di Aria
Graha
- 16,56μg/m3 setiap hari baik hari kerja
dan akhir pekan di Dago Pakar
- 23,46μg/m3 setiap hari kerja dan
24,50μg/m3 setiap akhir pekan di
Cisaranten Wetan
Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481
47
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
IEC
(ug/
m3)
Tegalega Aria Graha Dago Pakar Cisaranten Wetan
Lokasi
Hari kerja Akhir pekan
Gambar 5. IEC partikulat terespirasi
Pada Gambar 6 dan Gambar 7
disajikan pola IEC pada hari kerja dan akhir
pekan berdasarkan pada rata-rata
konsentrasi unsur yang terkandung dalam
partikulat terespirasi di masing-masing
lokasi. Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar
7 dapat diketahui bahwa untuk hampir
semua unsur baik pada hari kerja maupun
akhir pekan estimasi paparan yang terhirup
paling tinggi didominasi oleh Cisaranten
Wetan. Hal ini disebabkan rata-rata
konsentrasi sebagian besar unsur-unsur di
kawasan ini relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan di kawasan lainnya. Estimasi
paparan yang terhirup dari unsur-unsur
dalam partikulat terespirasi terendah untuk
sebagian besar unsur diperoleh di Dago
Pakar. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penduduk yang beraktivitas di luar
ruangan di kawasan Tegalega pada hari
kerja dan Cisaranten Wetan berpotensi
terpapar polutan partikulat terespirasi lebih
tinggi dibandingkan penduduk yang
beraktivitas di luar ruangan di Aria Graha
dan Dago Pakar. Untuk sebagian besar
unsur-unsur kimia yang diidentifikasi,
penduduk yang beraktivitas di luar ruangan
di Cisaranten Wetan berpotensi terpapar
lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk
yang beraktivitas di luar ruangan di
Tegalega, Aria Graha, dan Dago Pakar.
Hasil penelitian sebelumnya
mengenai PM2,5 dan PM10 di Tegalega, Aria
graha, Dago Pakar, dan Cisaranten Wetan
menunjukkan bahwa di sebagian besar
lokasi di Kota Bandung kondisi PM2,5 udara
ambien belum melampaui baku mutu harian
(21). Namun demikian hal ini tidak dapat
dijadikan patokan bahwa kualitas udara di
Kota Bandung selalu dikatakan baik,
melainkan perlu dijadikan suatu peringatan
dini untuk melihat konsentrasi tersebut
dalam pemantauan jangka panjang agar
dapat dilihat dan dibandingkan dengan baku
mutu tahunan. Kecenderungan beban emisi
yang terus meningkat serta kondisi topografi
Kota Bandung yang dikategorikan tidak
berventilasi baik (13) memungkinkan
terjadinya penurunan kualitas udara Kota
Bandung dari waktu ke waktu. Oleh karena
itu diharapkan pemantauan dan penelitian
mengenai kualitas udara di Kota Bandung
khususnya kondisi yang diterima
masyarakat sebagai reseptor penting untuk
dilakukan secara intensif dan menerus.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481
48
0.000010
0.000100
0.001000
0.010000
0.100000
1.000000
10.000000
IEC
(ug/
m3)
Tegalega Aria Graha Dago Pakar CisarantenWetan
Lokasi
Br
Mn
Al
I
V
Ti
Cl
Na
BC
Hg
Pb
Gambar 6. IEC unsur-unsur kimia
pada hari kerja
0.000010
0.000100
0.001000
0.010000
0.100000
1.000000
10.000000
IEC
(ug/
m3)
Tegalega Aria Graha Dago Pakar CisarantenWetan
Lokasi
Br
Mn
Al
I
V
Ti
Cl
Na
BC
Hg
Pb
Gambar 7. IEC unsur-unsur kimia
pada akhir pekan
Secara umum arah angin di Kota
Bandung didominasi dari arah barat menuju
arah timur sehingga dimungkinkan
terjadinya transboundary polutan. Hal
tersebut dapat menjelaskan fenomena
diperolehnya dominasi konsentrasi unsur-
unsur dalam partikulat terespirasi lebih tinggi
di Cisaranten Wetan dibandingkan dengan
kawasan lainnya dan memungkinkan bahwa
kehadiran unsur pencemar tidak hanya
berasal dari sumber-sumber lokal melainkan
dapat berasal dari sumber di kawasan lain.
Konsentrasi unsur Pb yang diterima
oleh masyarakat dalam penelitian ini relatif
masih sangat kecil, hal tersebut dapat
dijelaskan karena sejak Juli 2006 kota
Bandung telah menggunakan bahan bakar
tanpa timbal. Namun demikian konsentrasi
Pb di udara terutama yang diterima
masyarakat sebagai reseptor perlu dipantau
secara intensif dan kontinyu, sebab
kenaikan konsentrasi Pb baik di udara
maupun yang terhirup oleh masyarakat
dapat terakumulasi dalam tubuh serta
menimbulkan dampak yang cukup
berbahaya bagi kesehatan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian
tentang paparan partikulat terespirasi ini,
maka dapat diambil suatu kesimpulan
sebagai berikut:
1. Paparan partikulat terespirasi tertinggi
diperoleh di Tegalega pada hari kerja
dan Cisaranten Wetan pada akhir
pekan. Paparan terendah diperoleh di
Dago Pakar sebagai kawasan bersih
pada hari kerja maupun akhir pekan.
2. Unsur-unsur kimia yang terkandung
dalam partikulat terespirasi di seluruh
lokasi adalah unsur Br, Mn, Al, I, V, Cl,
Ti, Na, Hg, Pb, dan black carbon (BC).
Sebagian besar konsentrasi tertinggi
dari unsur-unsur tersebut diperoleh di
kawasan industri Cisaranten Wetan.
Unsur Cl dan BC menempati komposisi
tertinggi dari keseluruhan unsur yang
diidentifikasi dalam partikulat terespirasi,
sedangkan unsur Na dan Pb menempati
komposisi terendah.
3. Sumber pencemar yang diperkirakan
berpengaruh terhadap paparan
partikulat terespirasi di kawasan
Tegalega adalah tanah, kendaraan
bermotor, garam laut, dan pembakaran
biomassa. Perkiraan terhadap sumber
pencemar yang berpengaruh di
kawasan Aria Graha adalah tanah, road
Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481
49
dust, dan kendaraan bermotor.
Campuran unsur tanah dan garam laut,
sumber kendaraan bermotor, dan
campuran faktor sumber pembakaran
biomassa dan road dust diperkirakan
menjadi sumber pencemar yang
berpengaruh di Dago Pakar. Kegiatan
industri, insinerasi, dan pembakaran
minyak diperkirakan mempunyai
pengaruh dominan pada partikulat
terespirasi di Cisaranten Wetan.
4. Penduduk yang beraktivitas di luar
ruangan di kawasan Tegalega pada hari
kerja serta Cisaranten Wetan sebagai
kawasan keramaian transportasi dan
industri berpotensi terpapar polutan
partikulat terespirasi lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk yang
beraktivitas di Aria Graha dan Dago
Pakar. Untuk sebagian besar unsur-
unsur kimia yang diidentifikasi,
penduduk yang beraktivitas di luar
ruangan di Cisaranten Wetan berpotensi
terpapar lebih tinggi dibandingkan
dengan penduduk yang beraktivitas di
luar ruangan di Tegalega, Aria Graha,
dan Dago Pakar.
5. DAFTAR PUSTAKA 1. Cooper CD, Alley FC. Air pollution
control a design approach. 2nd edition.
Illionis : Waveland Press Inc; 1994.
2. Soemirat, Juli. Toksikologi lingkungan.
Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press; 2003
3. Mutius E Von. Air pollution and upper
respiratory symptoms in children from
East Germany. Eur Respir J 1995; 8:
723-8
4. Santoso M, Diah DL, Achmad H, Lenny
K. Konsentrasi PM2,5 dan PM10 udara
ambien di Bandung dan Lembang tahun
2000 – 2006, Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi Nuklir
PTNBR BATAN, Bandung, 2007.
5. Bappennas. Strategi dan rencana aksi
lokal kota Bandung untuk peningkatan
kualitas udara perkotaan. Bandung:
Bappenas; 2006
6. Foster SE. Human intake. Dalam: Toxic
air pollutions hand book. Patrick DR.
Van Nostrand Reinhold Editor. New
York; 1994
7. Statistik Indonesia.
http://www.datastatistik_indonesia.com,
didownload pada 14 Februari 2008
8. Koistinen K. Exposure of an urban adult
Population to PM2,5. Academic
dissertation. University of Kuopio
Finland 2002.
http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/mat/fysi
k/vk/kousa/ pm25andn.pdf, didownload
pada 2 Juni 2007
9. Garson GD. Factor analysis 2007.
http://www.chass.ncsu.edu/garson/pa76
5/factor.htm didownload pada 19
Januari 2008
10. Mauliadi YD. Identifikasi sumber
pencemar partikel halus dan partikel
kasar di kota Bandung menggunakan
analisis faktor. Tugas akhir program
sarjana Teknik Lingkungan. Institut
Teknologi Bandung; 2004
11. European Commission. Mercury
emissions from natural and
anthropogenic sources. Dalam :
Position paper on mercury 2001.
http://ec.europa.eu/environment/air/pdf/p
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481
50
p_mercury1.pdf. didownload pada 24
Agustus 2007; 1-4
12. Manahan SE. Toxicological Chemistry.
2nd edition. USA: Lewis; 1992
13. Soedomo M. Kumpulan karya ilmiah
mengenai pencemaran udara. Bandung:
Penerbit ITB; 2007
14. US EPA 1999. Air quality criteria for
particulate matter vol I EPA 600/P-
99/0024. http://www.epa.gov,
didownload pada 25 Desember 2007
15. Fierro M. Particulate matter 2000.
http://www.Air_updates/particulatematter
-singspace.htm. didownload pada 2
Juni 2007
16. Wirawan SMS. Penentuan kontribusi
sumber pencemar dalam upaya
pengendalian kualitas udara ambient di
kota Bandung menggunakan metode
positive matrix factorization (PMF).
Tesis Program Magister Teknik
Lingkungan Institut Teknologi Bandung;
2004
17. Kurniawan E. Inventori emisi (Emission
Inventory) pencemaran udara di
kawasan cekungan Bandung. Tesis
Program Magister Teknik Lingkungan
Institut Teknologi Bandung; 2006
18. BPLHD Provinsi Jawa Barat. Inventori
emisi kendaraan bermotor di provinsi
Jawa Barat. LPPM-ITB. BPLHD Jabar,
Bandung; 2005
19. Huboyo HS. Studi kontribusi sumber
pencemar partikel halus dan kasar di
udara ambien kawasan Bandung
dengan chemical mass balance studi
kasus Tegalega dan Dago Pakar. Tesis
Program Magister Teknik Lingkungan
Institut Teknologi Bandung; 2003
20. Cohen DD. The measurement and
sources of fine particle elemental carbon
at several key sites in NSW over the
Past Eight Years. 15th International
Clean Air Conference. Sydney: 2000;
485-90
21. Anonymous. Pemerintah Republik
Indonesia. PP nomer 41 tahun 1999.
Peraturan pemerintah mengenai baku
mutu udara ambien nasional.
Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481
51
SIFAT MAGNETORESISTANCE BAHAN KOMPOSIT Fe0,2C0,8 SEBELUM DAN SESUDAH IRADIASI SINAR GAMMA
PADA DOSIS 250 kGy
Yunasfi, Setyo Purwanto, Wisnu A. A.
Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) – BATAN Kawasan Puspiptek Serpong 15314, Tangerang
ABSTRAK
SIFAT MAGNETORESISTANCE BAHAN KOMPOSIT Fe0,2C0,8 SEBELUM DAN SESUDAH IRADIASI SINAR GAMMA PADA DOSIS 250 kGy. Telah dilakukan penelitian terhadap sifat magnetoresistance bahan komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi dengan sinar gamma pada dosis 250 kGy. Bahan komposit Fe0,2C0,8 dibuat dari campuran serbuk Fe dan serbuk C, dengan rasio komposisi 20% berat Fe dan 80% berat C. Pada penelitian ini, diamati perubahan sifat magnetoresistance bahan komposit Fe0,2C0,8 setelah diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 250 kGy. Pengujian struktur Fe0,2C0,8 dilakukan dengan difraktometer sinar-X (XRD) dan karakterisasi sifat magnetoresistance dilakukan dengan metode Four Point Probe. Hasil pengujian dengan XRD menunjukkan penurunan intensitas puncak difraksi dari fasa Fe dan C oleh radiasi sinar gamma, sedangkan hasil pengukuran magnetoresistance menunjukkan peningkatan nilai magnetoresistance bahan tersebut. Peningkatan nilai ini mencapai 5 kali pada medan magnet 7,5 kOe setelah diiradiasi dengan sinar gamma. Hal ini disebabkan oleh adanya cacat struktur yang terbentuk dalam bahan komposit Fe0,2C0,8 akibat interaksi sinar gamma dengan bahan komposit tersebut yang menimbulkan perubahan intensitas interaksi magnetik di dalam bahan ini. Kata Kunci : iradiasi sinar gamma, cacat struktur, magnetoresistance ABSTRACT
MAGNETORESISTANCE PROPERTIES OF Fe0,2C0,8 COMPOSITE MATERIALS PRE AND POST GAMMA IRRADIATED AT 250 kGy DOSE. Research about change of magnetoresistance properties of Fe0,2C0,8 composite materials pre and post gamma irradiation at a dose of 250 kGy was carried out. Fe0,2C0,8 was prepared by mixing of Fe and C powder with the ratio of Fe : C set on 20:80 in weight %. In this research, the phase structure and magnetic properties of Fe0,2C0,8 composite materials after 250 KGy dose of gamma irradiation have been measured and analyzed. The phase structure of Fe0,2C0,8 was analyzed using X-ray diffractometer (XRD), whole the magnetoresistance properties was characterized using Four Point Probe method. The analyzing results showed the decreasing of X-ray diffraction peak intensity, but also in the same time showed the increasing of magnetoresistance properties after gamma irradiation. The enhancement of magnetoresistance value reached 5 times at 7,5 kOe magnetic field. This enhancement was caused due to structure defect within Fe0,2C0,8 composite initiated by interaction between radiation of gamma ray and composite materials that further causes a change of magnetic interaction intensity in this materials.
Key words : gamma ray irradiation, structure defects, magnetoresistance 1. PENDAHULUAN
Bahan magnetoresistance adalah
suatu bahan yang sifat resistivitasnya
berubah terhadap pengaruh medan magnet
luar (1). Telah umum diketahui bahwa sifat
resistivitas pada bahan magnetoristance
seperti lapisan Fe/Ni (2) dan paduan
(Sm,R)Mn2Ge2 (3) memiliki ketergantungan
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481
52
terhadap medan magnet. Konfigurasi spin
magnet ternyata menjadi salah satu sebab
munculnya sifat ini. Pencarian sifat-sifat
magnetoresistance pada paduan magnetik
akhir-akhir ini sangat sensitif dengan
ditemukannya bahan Giant dan Colosal
magnetoresistance pada bahan Perovskite
seperti La-Mn-O, di mana peningkatan
magnetoresistance-nya dapat sampai
ratusan dan bahkan ribuan prosen (4).
Potensi aplikasi dari bahan magneto-
resistance ini adalah sebagai sensor
resistivitas dan divais penyimpan data,
sehingga bahan jenis ini terus dipejari oleh
para peneliti maupun litbang swasta.
Penelitian sifat transport elektron
pada material karbon dan kompositnya
menjadi sangat menarik karena berkaitan
langsung dengan ketidak sempurnaan
struktur kristal dan struktur elektroniknya.
Cacat atau kerusakan pada material
berbasis karbon akan mempengaruhi sifat
elektronik dan magnetik bahan secara
bersamaan (5). Salah satu dari material
nanokomposit berbasis karbon yang telah
diteliti dan dikembangkan sejak beberapa
tahun yang lalu adalah material komposit
Fe-C. Penelitian dan pengembangan
material ini sangat menarik sekali karena
Fe-C menunjukkan konduktivitas elektrik
dan transmisi cahaya yang rendah.
Beberapa studi yang dilakukan oleh
Romanenko et.al. (6), menunjukkan adanya
evolusi sifat magnetoresistance pada karbon
nano- partikel akibat proses grafitisasi nano-
diamond dari negative magnetoresistance
(NMR) sampai medan H=3 Tesla namun
berubah menjadi positive magneto-
resistance (PMR) pada medan H>3 Tesla.
Mekanisme terjadinya fenomena PMR ini
belum dapat dijelaskan, kecuali bahwa
besaran rasio MR berbanding lurus dengan
medan yang diberikan, yaitu Mr α Bn dengan
n adalah konsentrasi berat Fe.
Dari hasil penelitian terdahulu (7)
diketahui bahwa Fe0,2C0,8 menunjukkan
positive magnetoresistance (PMR), yaitu
ditunjukkan dengan meningkatnya nilai
magnetoreistance seiring dengan
peningkatan medan magnetik. Penelitian ini
merupakan studi lanjutan untuk mempelajari
perubahan sifat magnetoresistance bahan
komposit Fe0,2C0,8 yang disebabkan karena
adanya iradiasi sinar gamma. Dalam studi
ini dilakukan analisis sifat magneto-
resistance pada bahan komposit Fe0,2C0,8
yang dihasilkan dari interaksi radiasi
pengion (radiasi energi tinggi, dalam hal ini
radiasi sinar gamma) terhadap bahan
komposit Fe0,2C0,8. Karakterisasi yang
dilakukan meliputi karakterisasi fasa dengan
difraktometer sinar-X (XRD) dan pengujian
resistivitas dan sifat magnetoresistance
dengan metode Four Point Probe. Penelitian
ini dirasa perlu dilakukan dalam rangka
untuk membuka jalan menuju
diaplikasikannya teknik radiasi, dalam hal ini
radiasi sinar gamma, pada industri
manufaktur elektronik.
2. METODE PERCOBAAN Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah serbuk Fe 99.9 %
dengan ukuran 10-50 μm dan serbuk
C (grafit) 99,5 % dengan ukuran 10 μm.
Bahan Fe dan C ditimbang dengan
komposisi 20 % berat Fe dan 80 % berat C
dengan berat total pencampuran adalah 2
Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481
53
gram, kemudian dimilling selama 4,5 jam
menggunakan High Energy Milling (HEM)
merek SPEX CertiPrep 8000M Mixer/Mill
yang terdapat di Bidang Karakterisasi dan
Analisis Nuklir (BKAN), PTBIN-BATAN.
Perbandingan berat bola : berat serbuk
adalah 1 : 1 di dalam vial kecil berukuran 5
cc. Untuk menghindari kerusakan pada alat
milling akibat peningkatan suhu motor yang
terlalu tinggi, maka untuk setiap siklus
milling selama 90 menit, proses dihentikan
sekitar 1 jam untuk tujuan pendinginan
motor. Pada proses milling ini vial serta bola
yang digunakan terbuat dari bahan stainless
steel.
Serbuk Fe0,2C0,8 yang diperoleh dari
proses milling ditimbang sebanyak 0,5 gram
dan kemudian diproses kompaksi untuk
dibentuk pelet berdiameter φ 15 mm dan
ketebalan 1 mm dengan tekanan 5000 psi
menggunakan hydraulic Press Enerpac.
Selanjutnya dilakukan identifikasi fasa
terhadap cuplikan pelet menggunakan
difraktometer sinar-X (XRD) merek Phillips
APD 3520 yang ada di Bidang Karakterisasi
dan Analisis Nuklir (BKAN), PTBIN-BATAN.
Karakterisasi sifat magnetoresistance bahan
Fe0,2C0,8 dilakukan dengan menggunakan
metode four point probe merek Jandel yang
terdapat di BKAN, PTBIN-BATAN, dengan
nilai minimum 0,01 A, nilai perubahan arus
0,01 A dan nilai tegangan masimum 2 mV.
Perubahan resistivitas sebanding dengan
perubahan panjang dan luas penampang
bahan, seperti ditunjukkan pada persamaan
(1), yaitu [7] :
R = ρ( ) (1)
dimana, R, ρ, x, dan A masing-masing ada-
lah resistansi (ohm),resistivitas (ohm.cm),
panjang (cm) dan luas penampang (cm2).
Dengan menggunakan rumus ini, maka nilai
resistivitas bahan komposit Fe0,2C0,8
sebelum dan sesudah diiradiasi dengan
sinar gamma dapat dihitung.
Cuplikan Fe0,2C0,8 yang telah
diidentifikasi dengan XRD dan
dikarakterisasi dengan metode Four Point
Probe ini kemudian diiradiasi dengan sinar
gamma pada dosis 250 kGy dari Co-60
sebagai sumber radiasi. Iradiasi cuplikan
Fe0,2C0,8 dilakukan pada fasilitas iradiasi
yang ada di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop
dan Radiasi (PATIR) - BATAN, Pasar Jum’at
– Jakarta. Cuplikan Fe0,2C0,8 yang telah
diiradiasi selanjutnya diidentifikasi kembali
fasanya dengan XRD dan diuji resistivitas
dan sifat magnetoresistance dengan metode
four point probe untuk mengetahui
perubahan yang terjadi akibat iradiasi.
Analisis profil difraktometer sinar-X yang
diperoleh dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak program RIETAN (rietveld
analysis) (8).
3. HASIL DAN DISKUSI Pola difraksi sinar-X untuk bahan
komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah
iradiasi dengan sinar gamma pada dosis
250 kGy ditunjukkan pada Gambar 1. Pada
Gambar 1 tidak terlihat munculnya puncak
baru karena Fe0,2C0,8 merupakan bahan
komposit dan tidak terjadi reaksi antara Fe
dan C oleh iradiasi sinar gamma. Dengan
iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy
terjadi penurunan intensitas puncak difraksi
secara drastis dan terjadi pergeseran sudut A x
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481
54
puncak difraksi, seperti ditunjukkan pada
Tabel 1. Penurunan intensitas puncak
difraksi C(002) adalah 33 %, 25 % untuk
C(004), 13 % untuk Fe(110), dan 9 % untuk
Fe(200). Sudut puncak difraksi C(002)
berkurang 0,002° dan 0,027° untuk C(004)
sedangkan untuk Fe(110) bertambah
0,005° dan 0,008° untuk Fe(200).
Tabel 1. Penurunan intensitas dan pergeseran
sudut puncak difraksi bahan komposit Fe0,2C0,8 oleh iradiasi sinar gamma
Perubahan yang ditunjukkan pada
Gambar 1 dan Tabel 1 disebabkan oleh
interaksi sinar gamma dengan bahan
komposit Fe0,2C0,8.Radiasi sinar gamma
menyebabkan terjadinya kerusakan pada
permukaan struktur bahan, sehingga terjadi
penurunan intensitas puncak difraksi bahan
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
struktur bahan tersebut menjadi tidak
sempurna atau dengan kata lain terbentuk
cacat oleh adanya radiasi sinar gamma,
salah satu kemungkinan adalah terjadinya
cacat titik interstisi (9,10). Kerusakan
permukaan struktur bahan ini menyebabkan
elektron yang dihamburkan dalam bahan
tersebut semakin berkurang. Proses
terjadinya kerusakan pada bahan ini oleh
sinar gamma akan dibahas lebih lanjut. Data yang diperoleh dari identifikasi
dengan metode XRD ini dianalisis dengan
menggunakan program RIETAN, untuk
membandingkan kurva eksperimen dengan
teori dan untuk mendapatkan parameter kisi.
Data hasil analisis dengan program RIETAN
ditunjukkan pada Tabel 2, yang
menunjukkan data criteria of fit dan
goodness of fit untuk Fe0,2C0,8 sebelum dan
sesudah iradiasi sinar gamma. Terlihat
bahwa faktor R (criteria of fit) meningkat
sedangkan faktor S (goodness of fit)
berkurang setelah diiradiasi dengan sinar
gamma pada dosis 250 kGy.
Tabel 2. Data criteria of fit dan goodness of fit untuk Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah sesudah iradiasi sinar gamma pada 250 kGy.
Catatan : Rwp = ratio of weight pattern
Ri = ratio of intensity
Rf = ratio of fitting
Rp = ratio of pattern
S = goodness of fit = Rwp/Rp
Hasil pengukuran resistivitas dan
IIradiasi Rwp Ri Rf SFe0,2C0,8 Fe C Fe C Fe0,2C0,8
Sebelum 23,57 3,22 12,34 4,17 9,32 1,5850Sesudah 29,02 4,86 12,95 4,39 12,13 1,1915 Fasa
Sudut puncak difraksi (2θ)
Intensitas puncak difraksi
Sebelum iradiasi
Sesudah iradiasi
Sebelum iradiasi
Sesudah iradiasi
C(002) 26,514 26,512 3352 2237 C(004) 54,598 54,595 164 123 Fe(110) 44,630 44,635 322 279 Fe(200) 64,956 64,964 44 40
Gambar 1. Pola difraksi sinar X bahan
komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy
Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481
55
magnetoresistance pada cuplikan Fe0,2C0,8
dengan metode four point probe sebelum
dan sesudah diiradiasi dengan sinar gamma
pada dosis 250 kGy ditunjukkan pada
Gambar 2 dan Gambar 3. Munculnya
resistivitas bahan disebabkan karena
adanya impuritas (ketidak murnian bahan),
porositas atau void (kekosongan) dan cacat
kristal sehinga elektron terhambur olehnya.
Resistivitas bahan komposit Fe0,2C0,8
mengalami penurunan oleh radiasi sinar
gamma, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Penurunan resistivitas oleh radiasi ini
mencapai sekitar 400 % atau dengan kata
lain akibat iradiasi sinar gamma maka
resistivitas berkurang menjadi ¼ nya pada
medan magnet 0,1 kOe dan penurunan ini
semakin besar lagi dengan meningkatnya
medan magnet, yaitu penurunan mencapai
500 % pada medan magnet 7,5 kOe. Hal ini
disebabkan karena adanya cacat struktur
yang disebabkan oleh radiasi sinar gamma
sehingga efek hamburan elektron akan
berkurang maka resistivitas bahan menjadi
turun.
Sifat Magnetoresistance dapat
didefinisikan sebagai perubahan resistivitas
akibat pengaruh medan magnet luar, yang
dapat ditulis sebagai berikut [11] :
Δρ/ρ = x 100% (2)
dimana : Δρ/ρ, ρH, dan ρH=0 masing-masing
adalah Magnetoresistance Ratio (MR),
tahanan listrik (resistivitas) ketika dikenakan
medan magnet dan resistivitas saat medan
magnet nol.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai
MR untuk bahan komposit Fe0,2C0,8
meningkat setelah diiradiasi dengan sinar
gamma pada dosis 250 kGy. Sebelum
iradiasi menunjukkan nilai MR sekitar
0,100% pada medan magnet 1 kOe dan
meningkat menjadi sekitar 1,049% setelah
diiradiasi. Nilai MR ini semakin meningkat
dengan meningkatnya medan magnet, yaitu
1,130% pada 7,5 kOe sebelum iradiasi
menjadi 5,245% setelah iradiasi, artinya nilai
MR meningkat sekitar 5 kali lipat setelah
diiradiasi. Peningkatan nilai MR ini
disebabkan oleh adanya cacat yang
dihasilkan di dalam struktur komposit
Fe0,2C0,8.
Cacat struktur ini diduga terjadi pada
masing-masing fasa C dan Fe. Dengan
rusaknya struktur Fe, maka momen
magnetik dari Fe ini juga terganggu,
sedangkan carbon dalam hal ini
memberikan kontribusi sebagai barrier
magnetik antara partikel Fe. Dengan
demikian, dengan meningkatnya medan
magnet yang diterapkan, tampak MR juga
semakin meningkat.
0500
100015002000250030003500400045005000
0 2 4 6 8 10
Medan Magnet, H (kOe)
Res
istiv
itas,
ρ ( Ω
.cm
) Sebelum irradiasi
Sesudah irradiasi
Gambar 2 Kurva resistivitas untuk
Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy.
ρH - ρH=0
ρH=0
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481
56
Pada bahan komposit Fe0,2C0,8 yang
telah diproses milling selama 4,5 jam
kemudian diiradiasi dengan sinar gamma
ditemukan adanya cacat/kerusakan pada
struktur graphene dari grafit secara
signifikan yang ditandai dengan
menurunnya secara drastis intensitas
puncak difraksi C(002) pada pola difraksi
sinar-X. Proses magnetoresistance yang
terjadi adalah electron tunneling antar Fe
granular dengan matriks grafit sebagai
potensial barrier (11,12). Iradiasi bahan
komposit Fe0,2C0,8 menyebabkan terjadinya
cacat stuktur bahan tersebut. Cacat tersebut
disebabkan oleh pengrusakan struktur
bahan. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Rob
H. Telling et.al. (13), bahwa pengukuran
makroskopik pada grafit yang diiradiasi
mengungkapkan adanya strain atau
pertumbuhan paralel pada sumbu-c dan
kontraksi ke dalam basal-plane, peningkatan
konduktivitas termal, berbagai perubahan
pada sifat mekanik bahan grafit seperti
konstanta elastis, strength dan sifat creep,
penurunan resistivitas elektrik sumbu-c, dan
peningkatan energi internal. Grafit
merupakan bahan semi-logam dengan
jumlah elektron dan hole hampir sama.
Dalam medan magnet, elektron dan hole
dibelokkan pada sisi yang sama sehingga
terjadi penimbunan muatan tanpa adanya
spasi pada permukaan dan tanpa tegangan
ruang yang dikembangkan, sehingga
menghasilkan tenaga yang bersaing dengan
tenaga Lorentz. Carrier dalam medan
magnet dipindahkan sepanjang garis kurva
dari pada garis lurus. Oleh karena itu,
apabila medan magnet diaplikasikan pada
grafit, resistivitas grafit akan berubah. Akibat
interaksi sinar gamma dengan bahan
komposit Fe0,2C0,8 menghasilkan pasangan
elektron dan hole meningkat, sehingga
intensitas magnetik dalam bahan meningkat.
Peningkatan intensitas magnetik ini
menimbulkan peningkatan sifat
magnetoresistance bahan dan penurunan
sifat resistivitas bahan tersebut.
4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa iradiasi bahan komposit
Fe0,2C0,8 dengan sinar gamma pada dosis
250 kGy menyebabkan penurunan
intensitas puncak difraksi pada pola XRD
dan meningkatkan nilai MR bahan, serta
penurunan sifat resistivitas bahan tersebut.
Penurunan intensitas maksimum ini
disebabkan karena adanya permukaan
struktur kristal bahan yang hancur oleh
radiasi sinar gamma, sehingga struktur
kristal menjadi tidak sempurna atau rusak.
Akibat dari kerusakan struktur bahan
komposit Fe0,2C0,8 ini salah satu
kemungkinan terjadinya cacat titik interstisi. Adanya cacat yang terbentuk oleh
y = 0.0125x2 + 0.0652x
y = 0.0394x2 + 0.4473x
0
2
4
6
8
0 2 4 6 8 10
Medan Magnet (kOe)
MR
(%)
Sesudah Radiasi
Sebelum Radiasi
Gambar 3. Kurva magnetoresistance untuk
Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy.
Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481
57
radiasi sinar gamma ini menyebabkan
peningkatan nilai MR dan peningkatan ini
semakin lebih besar dengan meningkatnya
medan magnet, yaitu mencapai 500 % pada
medan magnet 7,5 kOe, sedangkan nilai
resistivitasnya berkurang dan pengurangan
ini semakin lebih besar dengan
meningkatnya medan magnet, yaitu
penurunan mencapai 500 % pada medan
magnet 7,5 kOe. Kerusakan struktur bahan
komposit Fe0,2C0,8 oleh sinar gamma
mengakibatkan perubahan intensitas
interaksi magnetik antar atom dalam bahan
tersebut, sehingga meningkatkan sifat MR
dan menurunkan sifat resistivitas bahan
tersebut. Namun, sampai batas dosis radiasi
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
sebesar 250 kGy, belum menunjukkan
terjadinya perubahan fase dari struktur
bahan komposit Fe0,2C0,8.
Untuk mengetahui lebih rinci peran
cacat pada struktur C (grafit) dalam
komposit Fe0,2C0,8 akibat iradiasi sinar
gamma maka perlu dilakukan percobaan
untuk dosis yang lebih tinggi yaitu sampai
dosis 1000 kGy.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kami sampaikan kepada : Ibu Tria
Madesa yang telah membantu kami dalam
preparasi sampel, Bapak Yosef Sarwanto
yang telah membantu kami dalam pengujian
dengan metode XRD, serta Bapak Nada
Marnada dari PATIR-BATAN, Pasar Jumat-
Jakarta yang telah memberi kesempatan
kepada kami untuk melakukan iradiasi
sampel.
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Meneghini C, Mobilio S, Garcia-Prieto A,
Foez-Gubieda M L F. Structure and
magnetic properties in CoCu granular
alloy. Nucl Instr and Meth in Phys Rev
B. 2003 : 215-219.
2. Setyo Purwanto. Penelitiam dam
pengembangan bahan unggul giant
magnetoresistance paduan (Sm, R)
Mn2Ge2,. Laporan Riset Unggulan
Terpadu VI. Kantor Menteri Riset dan
Teknologi. Dewan Riset Nasional. 2001.
3. Coey J M D, Hinds G. Magnetic
electrodeposition. Journal of Alloy and
Compound. 2001 ; 326 : 238-245.
4. Foncuberta J, Martinez B, Seffat A,
Pinol S, Garcia-Muniz J L, and X.
Obtadors. Chemical runing of the
colosal magnetoresistance of
ferromagnetic perovskites. Europhys
Lett. 1996 ; 34 : 379-384.
5. Kenji Itozawa. Magnetic recording
medium containing iron carbide. United
State Patent 4748080 (2007).
6. Romanenko et al. The temperature
dependence of the electrical resistivity
and the negative magnetoresistance of
carbon nanoparticle,. Phys of Solid
State. 2002 ;.44 (3) : 487-489.
7. Setyo Purwanto, Wisnu A. A., Ari
Handayani dan Mashadi. Evolusi sifat
magnetoresistance pada cupplikan
komposit Fe-C (grafit) hasil sintesis
dengan metode mechanical alloying,
Jurnal Sains Materi Indonesia. 2007 ; 9 :
30-32.
8. Izumi F. Rietan Manual. 1994 (private
cammunication).
9. Florian Banhart,. Irradiation effects in
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481
58
carbon nanostructure. Rep Prog Phys.
1999; 62 : 1181-1221.
10. Lehtinen P O, Foster A S, Yuchen Ma,
Krasheninnikov A V and Nieminen R M.
Irradiation induced magnetism in
graphite : A density functional study.
Phys Rev Let. 2004; 93 (18) : 187202.
11. Xue Q Z, Zhang X, Zhu D D. Posistive
linear magnetoresistance in Fex-C1-x
composites. Journal of Magnetism and
Magnetic Materials. 2004 ; 270 : 397-
402.
12. Gane E Schwarze, Janis M Niedra,
Albert J Frasca and William R
Wieserma. Radiation and yemperature
effects on electronic components
investigated under the CSTI high
capasity power project. Tenth
Symposium on Space Nulear Power
Propultion. New Mexico. January 10-14,
1993.
13. Rob H Telling, Chris P Ewels, Ahlama A
El-Barry and Malcolmi I Heggie. Wigner
defects bridge the graphite gap. Nature
Materials. Advanced on Line
Publication. 2003 : 1-5.
JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIA INDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY
Vol. X, No. 1, Februari 2009
ISSN 1411 - 3481
UCAPAN TERIMA KASIH
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari
1. Prof. Drs. Sunarhadijoso M.Sc.
2. Prof. Dr. Aang Hanafiah W.S.
3. Prof. Dra. Nurlaila Z., MT.
4. Dr. Puji Lestari
5. Drs. Teuku Alfa, M.Sc.
Untuk partisipasinya dalam evaluasi dan memberikan saran perbaikan Nomor ini.
PEDOMAN BAGI PENULIS
1. Format penulisan. Makalah yang hendak dimuat dalam “Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia”, harus berupa hasil penelitian sains dan teknologi nuklir, disampaikan kepada: redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia sebanyak 2 eksemplar disertai dengan file elektronik. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris tidak lebih dari 15 halaman disertai abstrak. Makalah diketik menggunakan huruf Arial ukuran 11, jarak baris 1,5 spasi, kecuali abstrak dengan jarak 1 spasi. Ukuran kertas A4, dengan jarak dari pinggir atas 2,5 cm; bawah 2,5 cm; kiri 3,5 cm; kanan 2,5 cm.
2. Identitas penulis. Nama-nama penulis ditulis tanpa gelar dan alamat penulis
dilengkapi dengan alamat instansi penulis serta penunjukan alamat korespondensi kalau berbeda , berikut alamat email penulis (jika ada).
3. Abstrak. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, berisi judul
(dalam huruf kapital), latar belakang, metode, eksperimen dan hasil serta kesimpulan yang dirangkum secara ringkas dan jelas tidak lebih dari 200 kata. Di bawah abstrak bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris dicantumkan tidak lebih dari 5 kata kunci (key words). Kata kunci merupakan kata yang paling penting dan mencerminkan konsep, serta dapat digunakan untuk membantu akses pencarian makalah.
4. Penulisan bab atau subbab. Isi makalah mengikuti sistematika penulisan yang
disusun sebagai berikut : pendahuluan, tata kerja, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan daftar pustaka yang ditulis dengan huruf kapital dan cetak tebal. Penulisan bab dan subbab harus dapat dibedakan dengan jelas. Ucapan terima kasih (bila ada) ditulis setelah kesimpulan dan sebelum daftar pustaka, namun tidak termasuk bagian dari bab.
5. Tabel dan gambar. Tabel dan gambar diberi nomor secara berurutan (1,2,3,...dst).
Judul tabel ditulis di atas tabel, sedang judul gambar ditulis di bawah gambar. Penempatan tabel dan gambar harus berdekatan dengan teks yang mengacunya. Gambar sebaiknya dimasukkan sebagai format gambar yang mempunyai resolusi tinggi. Hindari penempatan tabel dan gambar sebagai lampiran.
6. Kepustakaan. Tidak dibenarkan menulis kepustakaan yang tidak disinggung sama
sekali dalam naskah. Pengacuan nomor pustaka dalam teks ditulis di antara tanda kurung, contoh : ..... menurut Getzen (1). Penulisan pustaka dalam daftar pustaka mengikuti sistem Vancouver. Keterangan dan contoh penulisan dapat diperoleh dari : http://www.nlm.nih.gov/bsd/uniform_requirements.html
Contoh: Pustaka dari buku 1. Getzen TE. Health economic: fundamentals and flow of funds. New York (NY):John
Wiley & Sons; 2001. 2. Fauzi AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al editors.
Harrisons’s principles of internal medicine 14th ed. New York: Mc Graw Hill, Health Professions Division; 1998
Pustaka dari jurnal 3. Russel FD, Coppell AL. Davenport AP. Comparative in vivo kinetics of some new
99mTc-labelled diphosphonates. Biochem Pharmacol 1999 Mar 1;55(5):697-701. 4. Mahmood KR. Radionuclide content of local and imported cements used in egypt. J
Rad Prot 2007; 27: 69-77 Pustaka dari prosiding 5. Kertapati EK. Probabbilistic estimates of the seismic ground motion hazard in
Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan. Bandung: Penerbit ITB;2003.
Pustaka dari website 4. Morse SS. Factor in the emergence of infections disease. Emerg Infct Dis serial [serial
on line] 1998 Jan-Mar [cited 2002 Des 20]; 1(1): [24 screens]. Available from: URL:http://www/cdc/gov/ncidoc/EID/eid.htm