jstf vco 08 _muslim_090814
TRANSCRIPT
PENGARUH VIRGIN COCONUT OIL (VCO) TERHADAP LIBERASI
SALEP KALIUM IODIDA
Muslim Suardi, Rostiar Nasrul, Aulia Rahman
FakultasFarmasiUNAND
ABSTRACT
The influence of Virgin Coconut Oil (VCO) towards the release of potassium
iodide from ointment base has been studied. The content of VCO in the base was varied
with concentrations of 0, 10, 20, and 30%. A simple diffusion cell with a cellulose
membrane was used to demonstrate the release kinetics of potassium iodide. The amount
of potassium iodide released from the base was estimated as potassium, and measured at
time intervals of 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90, and 120 minutes using flame photometer.
Results showed that formula containing 30% of VCO revealed the best liberation
efficiency. Pearson-Correlation analysis exhibited that there was positive correlation
between the concentration of VCO in the ointment base with the liberation efficiency of
potassium iodide (r=0.985). The higher the content of VCO in the ointment base, the
higher the amount of potassium iodide released (p<0.05).
PENDAHULUAN
Untuk mencapai efek
farmakologis obat dalam suatu sediaan
topikal yang digunakan, terlebih dahulu
lepas (terliberasi) dari pembawanya dan
berdifusi menuju permukaan jaringan
kulit. Pelepasan obat dari sediaan sangat
dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat,
bentuk sediaan/sifat pembawa, dan
anatomi fisiologis kulit. Dengan
demikian pemilihan bahan pembawa
yang tepat merupakan hal yang sangat
penting. Pemilihan pembawa tergantung
pada tujuan pengobatan, sifat
fisikokimia bahan obat, dan kondisi
kulit. Komposisi pembawa diharapkan
dapat mempengaruhi sifat dan
permeabilitas kulit secara baik serta
menghasilkan suatu kondisi optimum.
Obat diharapkan dapat larut dengan baik
dalam pembawa, namun tetap memiliki
afinitas yang besar terhadap kulit
(1,2,3,4).
Salep adalah sediaan setengah
padat ditujukan untuk pemakaian topikal
pada kulit atau selaput lendir (5). Saat ini
pemakaian salep kurang disukai karena
memberikan rasa kurang nyaman di
kulit. Secara umum, liberasi zat aktif
dari salep, khususnya dasar salep
hidrokarbon, juga lebih lambat bila
dibandingkan dengan liberasinya dari
jenis pembawa semisolid yang lain,
bahkan untuk zat yang bersifat hidrofil
(6,7,8). Namun, sediaan salep memiliki
keuntungan tersendiri, seperti proses
produksi yang lebih sederhana dan
murah.
Minyak kelapa murni atau virgin
coconut oil (VCO) adalah minyak kelapa
yang diperoleh dari dari daging kelapa
segar melalui proses alamiah, tanpa
pemurnian, pemutihan, dan
penghilangan bau (9). Komponen utama
VCO adalah asam lemak rantai sedang,
terutama asam laurat (sekitar 50%) (10).
Berbeda dengan minyak kelapa
tradisional, proses pembuatan VCO
tidak menggunakan pemanasan suhu
tinggi sehingga tidak terbentuk radikal
bebas asam lemak tidak jenuhnya dan
kandungan antioksidan alaminya tidak
hilang. Hal ini menyebabkan VCO tidak
mudah tengik karean teroksidasi (9). Di
samping itu, kandungan asam lemak
rantai sedang yang dapat sedikit
menguap pada suhu tinggi (11,12) juga
tidak ada yang hilang. Kandungan asam
lemak berbobot molekul rendah yang
besar di dalam VCO diharapkan dapat
membantu liberasi zat dengan
memberikan halangan ruang yang lebih
kecil. Asam lemak berbobot molekul
rendah juga memiliki kelarutan yang
lebih baik di dalam air dan memiliki
afinitas lebih kecil terhadap basis
hidrokarbon dibandingkan dengan
homolognya dengan bobot molekul lebih
tinggi sehingga diharapkan dapat
membantu liberasi zat aktif. VCO efektif
dan aman digunakan sebagai moisturizer
pada kulit sehingga dapat meningkatkan
hidratasi kulit (13). Peningkatan
hidratasi kulit akan meningkatkan per-
meabilitas kulit terhadap obat serta
menurunkan tahanan difusinya (4).
Pada penelitian ini VCO
ditambahkan pada dasar salep vaselin
(hidrokarbon) dengan harapan dapat
meningkatkan liberasi zat aktif sehingga
memberikan efek farmakologis yang
lebih baik dan cepat. Penambahan VCO
juga diharapkan akan memperbaiki sifat
fisik dasar salep dengan menurunkan
viskositasnya, yang tidak hanya akan
mendukung peningkatan laju liberasi zat
(14), tapi juga memberikan rasa nyaman
saat pemakaian di kulit. Kalium iodida
(KI) digunakan sebagai model untuk
menentukan profil liberasi zat aktif yang
bersifat hidrofil.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah kalium
iodida (Merck), vaselin album (Brataco),
adeps lanae (Brataco), VCO (Bio Virco
Phytomega®
), dan aquadest.
Tabel 1. Formula salep :
No Bahan (%) F1 F2 F3 F4
1 KI 20 20 20 20
2 Air suling 14 14 14 14
3 Adeps
lanae
5 5 5 5
4 VCO 0 10 20 30
5 Vaselin 61 51 41 31
Seperti terlihat pada Tabel 1, komposisi
VCO dan vaselin di dalam salep
divariasikan untuk melihat pengaruh
VCO terhadap liberasi kalium iodida.
Pembuatan salep dilakukan secara
triturasi (15). Salep jadi disimpan di
dalam wadah tertutup kedap untuk
melindungi kalium iodida dari oksidasi.
Penetapan kadar kalium iodida,
baik dalam sediaan maupun dari hasil uji
liberasi, dihitung sebagai kalium dan
diukur dengan menggunakan fotometer
nyala. Penetapan kadar kalium iodida
sebenarnya dapat dilakukan dengan
titrasi iodatometri, yang didasarkan pada
reaksi oksidasi dari iodida (16). Namun
iodida bersifat tidak stabil dan mudah
teroksidasi yang menyebabkan
penetapan kadar menjadi tidak akurat.
Karena itu kadar diukur sebagai kalium,
yang bersifat stabil, dengan
menggunakan fotometer nyala.
Kurva kalibrasi kalium dalam air
suling didapatkan dengan membuat
beberapa larutan standar dengan
konsentrasi masing-masing 2,5; 5; 10;
15; dan 20 µg/mL. Penelitian ini
dilaksanakan dalam rentang waktu yang
panjang sehingga interval waktu yang
besar ini mengakibatkan faktor
instrumen dan kondisi alat fotometer
nyala yang berbeda pada setiap
pengukuran, seperti perbedaan intensitas
nyala dan sensitivitas alat yang
menyebabkan koefisien variasi hasil
pengukuran yang didapatkan besar.
Karena itu intensitas emisi zat dalam
larutan standar diukur pada setiap kali
pengoperasian alat untuk pengukuran
sampel agar didapatkan kurva kalibrasi
yang sesuai dan tepat untuk kondisi
pengukuran saat itu.
Penetapan kadar kalium iodida dalam
salep
Salep ditimbang satu gram yang
setara dengan 200 mg kalium iodida dan
diekstraksi secara bertingkat dengan 150
mL air suling. Ekstraksi dilakukan
dengan melelehkan sediaan di dalam 30
mL air suling panas dan diaduk dengan
batang pengaduk agar kalium iodida
terbebas dari basis. Setelah dingin,
larutan hasil ekstraksi dipisahkan dari
basis yang membeku. Basis selanjutnya
diekstraksi kembali hingga lima kali
pengulangan ekstraksi. Sebanyak 1 mL
larutan hasil ekstraksi diencerkan hingga
100 mL dengan air suling. Kadar
dihitung sebagai kalium yang diukur
dengan menggunakan fotometer nyala
(n=3). Kadar ditentukan dengan
menggunakan persamaan garis lurus
pada kurva kalibrasi.
Studi liberasi kalium iodida dari dasar
salep(17)
Studi liberasi dilakukan
menggunakan metode sel difusi
sederhana yang terdiri dari pot, klem,
standar, hot plate, kertas whatman®
no.
42 sebagai membran, dan beaker glass
yang berisi medium penerima berupa
200 mL air suling bebas CO2 yang
suhunya diatur 37±1oC dan disertai
dengan pengaduk magnetik
Pot diisi dengan salep seberat 10
gram dan ditutup dengan membran
selulosa Whatman®
yang sebelumnya
telah dijenuhkan dengan air suling, lalu
diikat dengan kuat dan hati-hati untuk
mencegah timbulnya kerutan pada
permukaan dan terbentuknya gelembung
udara saat dicelupkan ke dalam beaker
glass yang berisi air suling bebas CO2
sebagai medium.
Dengan menggunakan klem dan
standar, sel difusi yang telah disiapkan,
dicelupkan ke dalam beaker glass yang
berisi 200 mL air suling bebas CO2
dengan permukaan pot salep menghadap
ke bawah. Posisi sel difusi disamakan
untuk setiap pengujian. Jika sel difusi
telah siap pada posisinya, pengaduk
magnetik dihidupkan dengan kecepatan
pada skala 6 dan suhu diatur 37±10
C.
Pada interval waktu tertentu (5, 10, 15,
30, 45, 60, 90, dan 120 menit), 5 mL
cairan penerima dalam beaker glass
diambil. Posisi pengambilan sampel juga
disamakan untuk setiap pengujian.
Setiap 5 mL cairan yang diambil dari
medium diganti dengan air suling bebas
CO2 dengan suhu dan volume yang
sama. Selanjutnya intensitas emisi
larutan sampel diukur menggunakan
fotometer nyala.
Analisis data dan statistik
Dari data hasil studi liberasi,
dicari efisiensi dan kinetika liberasinya.
Kinetika liberasi didapatkan dengan
memplot data hasil uji liberasi pada
beberapa model kinetika dan ditentukan
dari model yang memberikan plot yang
linear. Perhitungan konstanta laju
liberasi sesuai dengan pola kinetika yang
diikutinya.
Gambar 1. Sel difusi sederhana
Data hasil studi liberasi kalium
iodida dari dasar salep diolah dengan
analisis statistik ANOVA satu arah dan
uji lanjut berganda Duncan. Hubungan
antara konsentrasi VCO dengan efisiensi
liberasi dianalisis dengan korelasi
Pearson.
Analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan program
komputer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pada penelitian ini dilakukan
tujuh kali pengoperasian alat untuk
pengukuran sampel sehingga didapatkan
tujuh kurva kalibrasi yang berbeda dari
larutan standar yang sama. Linearitas
hasil pengukuran intensitas emisi larutan
standar dapat terjaga dengan baik dalam
setiap pengukuran (r ≥ 0,988).
Pemeriksaan kadar kalium iodida
dalam sediaan memberikan hasil antara
69,80-87,61%.
Setelah dilakukan uji liberasi
terhadap seluruh formula, didapatkan
hasil bahwa liberasi kalium iodida
meningkat sebanding dengan
peningkatan konsentrasi VCO. Liberasi
paling besar diberikan oleh formula 4
dengan konsentrasi VCO 30%.
y = 0.0063x + 0.0085
R2 = 0.9963
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi (µg/mL)
Emisi
Gambar 2. Contoh kurva kalibrasi
0
10
20
30
40
50
60
5 10 15 30 45 60 90 120
waktu (menit)
KI terliberasi (%
)
formula 1
formula 2
formula 3
formula 4
Gambar 3. Kurva liberasi salep KI
Dari hasil penentuan kinetika
diketahui bahwa liberasi kalium iodida
untuk formula 1 mengikuti persamaan
kinetika orde 0 (r = 0,9614). Formula 2
mengikuti kinetika orde 0 (r = 0,9856),
Higuchi (r = 0,9810), dan Korsemeyer-
Peppas (r = 0,9654). Formula 3
mengikuti kinetika Higuchi (r = 0,9590)
dan Korsemeyer-Peppas (r = 0,9816).
Sedangkan formula 4 mengikuti kinetika
Korsemeyer-Peppas (r = 0,9651).
0
10
20
30
40
50
60
0 20 40 60 80 100 120 140
t (menit)
Ct (%
KI terliberasi) F1
F2
F3
F4
Linear (F1)
Linear (F2)
Gambar 4. Profil liberasi menurut
kinetika orde 0
0
10
20
30
40
50
60
0 2 4 6 8 10 12
akar waktu (menit)
M (% m
assa terliberasi)
F1
F2
F3
F4
Linear (F2)
Linear (F3)
Gambar 5. Profil liberasi menurut
kinetika Higuchi
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
0 0,5 1 1,5 2 2,5
log t
log Ct
F1
F2
F3
F4
Linear (F2)
Linear (F3)
Linear (F4)
Gambar 6. Profil liberasi menurut
kinetika Korsemeyer-Peppas
Hasil perhitungan efisiensi dan
konstanta laju liberasi dapat dilihat pada
Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Hasil perhitungan efisiensi
liberasi
Formula Efisiensi Liberasi
Formula 1 0,66 ± 0,14
Formula 2 7,44 ± 1,16
Formula 3 27,30 ± 1,84
Formula 4 39,88 ± 2,73
Tabel 3. Hasil perhitungan konstanta laju
liberasi (k)
F Kinetika k
F1 Orde 0 0,004±0,003
Orde 0 0,087±0,036
Higuchi 1,15±0,48 F2
Korsemeyer-Peppas 0,52±0,21
Higuchi 2,75±0,39 F3
Korsemeyer-Peppas 0,43±0,19
F4 Korsemeyer-Peppas 0,30±0,06
Dari hasil pengolahan data secara
statistik dengan ANOVA satu arah
diketahui bahwa perbedaan konsentrasi
VCO di dalam salep mempengaruhi
liberasi kalium iodida secara sangat
bermakna (p<0,01). Hasil analisis uji
lanjut berganda Duncan terhadap faktor
formula juga menunjukkan bahwa
konsentrasi VCO yang berbeda pada
masing-masing formula memberikan
pengaruh yang sangat bermakna
terhadap jumlah kalium iodida yang
terliberasi dari salep. Korelasi Pearson
merupakan suatu analisis untuk melihat
kebermaknaan hubungan antar variabel.
Analisis korelasi Pearson antara
persentase VCO dengan efisiensi liberasi
dari salep kalium iodida memperlihatkan
adanya korelasi positif antara kenaikan
persentase VCO dengan peningkatan
efisiensi liberasi (r= 0,985*).
Pembahasan
Hasil pemeriksaan kadar KI yang
rendah di dalam salep mungkin
disebabkan oleh proses ekstraksi yang
tidak sempurna. Air dengan kandungan
kalium iodida terlarut di dalamnya
diserap oleh dasar salep sehingga
menyebabkan kalium iodida ikut
terperangkap di dalam matrik basis. Hal
ini terutama terlihat pada formula 1 yang
tidak mengandung VCO. Berdasarkan
reologinya, salep bersifat plastis (18)
sehingga tekstur basis yang lebih padat
dan kaku memberikan resistensi yang
lebih besar untuk pembebasan kalium
iodida. Hal yang sama juga ditemukan
pada hasil uji liberasi yang akan
didiskusikan lebih lanjut.
Uji pengaruh VCO terhadap
liberasi kalium iodida dari dasar salep
dilakukan dengan menggunakan sel
difusi sederhana. Pembebasan medium
dari udara merupakan hal yang sangat
kritis untuk mencegah terbentuknya
gelembung udara antara medium dan
membran saat pengujian, yang akan
menyebabkan hasil yang didapatkan
tidak benar (19). Suhu dijaga konstan
selama pengujian untuk memberikan
perlakuan yang sama karena suhu
mempengaruhi laju liberasi zat dari
sediaan melalui perubahan energi kinetik
zat (20). Pengaduk magnetik berfungsi
untuk menyeragamkan suhu dan
meratakan penyebaran zat aktif yang
terliberasi di dalam medium (7).
Walaupun belum ada metode dan
peralatan resmi yang disyaratkan untuk
uji liberasi sediaan semisolid secara in
vitro (19,21,22), metode sel difusi
sederhana ini sudah diterima dan banyak
digunakan dalam berbagai penelitian,
dengan hasil yang tidak berbeda nyata
dengan hasil yang diberikan oleh metode
lain (7,17,19,22). Di samping itu
penggunaannya sederhana, mudah dan
ekonomis (22).
Pada uji liberasi zat aktif dari
sediaan semisolid secara in vitro, dapat
digunakan berbagai jenis membran semi
permeabel. Walaupun membran sintetis
memiliki kekurangan yaitu tidak dapat
menggambarkan kondisi yang terjadi
secara klinis, namun penggunaannya
memberikan keuntungan tersendiri
karena dapat menjamin kondisi
perlakuan yang relatif seragam bila
dibandingkan dengan pemakaian kulit
asli. Di samping itu, pemakaian
membran ini lebih mudah dan ekonomis.
Bahkan uji dengan kulit binatang pun
memberikan hasil yang jauh berbeda
dengan hasil yang didapatkan bila
menggunakan kulit manusia asli.
Sayangnya, kulit manusia sulit
didapatkan dan harganya pun mahal.
Karena alasan-alasan inilah penggunaan
membran sintetis mendapatkan
penerimaan yang luas (22). Pada
penelitian ini kertas saring (membran
selulosa) whatman®
no. 42 digunakan
sebagai membran filter. Kertas
whatman®
no. 42 memiliki diameter pori
2,5 µm. Dengan diameter ini, ion kalium
yang berukuran ±10 Aº dapat melalui
membran.
Sebelum dipasang ke sel difusi,
membran terlebih dahulu dijenuhkan
dengan air suling. Hidrasi membran
bertujuan untuk menjaga kondisi yang
konstan selama percobaan in vitro.
Membran yang kering akan
menyebabkan infiltrasi cairan komponen
dalam salep sehingga mengubah kondisi
antara fase donor dan medium penerima
(23). Membran yang kering juga akan
menyerap cairan medium ketika sel
difusi dicelupkan sehingga volumenya
berkurang.
Liberasi obat dari sediaan
dipengaruhi oleh faktor kimia dan fisika.
Faktor kimia yang paling berpengaruh
adalah koefisien partisi (3,4). Kalium
iodida memiliki koefisien partisi yang
rendah yang dapat dilihat dari
kelarutannya yang sangat tinggi di dalam
air. Sifat kalium iodida yang sangat
hidrofil ini menyebabkannya
mempunyai afinitas yang rendah
terhadap basis vaselin yang bersifat
lipofil. Keadaan ini seharusnya membuat
kalium iodida mudah terliberasi. Akan
tetapi hal itu tidak terjadi dan
penyebabnya akan didiskusikan lebih
lanjut. VCO juga bersifat lipofil, namun
ia memiliki kandungan asam lemak
rantai sedang yang besar. Asam lemak
berbobot molekul rendah ini relatif lebih
mudah larut di dalam air dan
menyebabkan VCO sedikit lebih hidrofil
daripada vaselin. Penambahan VCO
menghasilkan basis yang lebih dapat
bercampur dengan air. Kalium iodida
memiliki afinitas yang sangat tinggi
terhadap air. Dengan demikian,
penambahan VCO menyebabkan liberasi
kalium iodida dari dasar salep ke dalam
medium air melalui membran dapat
ditingkatkan.
Secara fisika, VCO mengurangi
viskositas dasar salep sehingga
menurunkan hambatan difusinya. Faktor
difusivitas ini cukup berpengaruh
terhadap liberasi zat dari basis (14). Hal
inilah yang terlihat pada formula 1 yang
tidak memiliki kandungan VCO.
Viskositas basis hidrokarbon yang tinggi
memberikan halangan difusi cukup besar
sehingga liberasi kalium iodida
berlangsung lambat. Walaupun secara
kimia zat memiliki afinitas yang kecil
tehadap basis, namun jika hambatan
difusinya besar akan menyulitkan zat
untuk terliberasi (24). Koefisien difusi
zat berbanding terbalik dengan
viskositas basis sediaan. Difusivitas
dapat menjadi rate limiting factor untuk
sediaan yang liberasinya buruk. Artinya
parameter fisika memberikan pengaruh
yang lebih besar daripada parameter
kimia (6,24).
Liberasi zat aktif dari sediaan
berlangsung secara difusi pasif,
mengikuti hukum difusi Fick.
Berdasarkan hukum difusi Fick, selain
koefisien partisi dan koefisien difusi,
faktor lain yang mempengaruhi laju
difusi zat adalah konsentrasi zat dan
ketebalan membran yang dilalui, yang
dalam percobaan ini bersifat konstan (6).
Efisiensi liberasi, adalah luas
daerah di bawah kurva liberasi pada
waktu tertentu (t), diekspresikan sebagai
persentase dari daerah segiempat yang
menggambarkan liberasi 100% pada
waktu yang sama (17). Efisiensi liberasi
menggambarkan besarnya jumlah zat
yang telah terliberasi pada waktu
tertentu, sedangkan konstanta laju
liberasi menggambarkan besarnya laju
(peningkatan) liberasi zat per satuan
waktu. Informasi yang diberikan oleh
efisiensi liberasi lebih bermakna dari
t90% (17). Dari studi liberasi didapatkan
bahwa formula 4 dengan kandungan
VCO paling tinggi memberikan efisiensi
liberasi paling besar. Sediaan obat yang
memiliki efisiensi liberasi tinggi akan
memberikan efek yang besar. Sedangkan
sediaan obat yang memiliki konstanta
laju liberasi besar akan memberikan efek
dengan cepat.
KESIMPULAN
Penambahan VCO ke dalam
basis salep telah terbukti dapat
meningkatkan liberasi zat yang bersifat
hidrofil secara nyata. Perbaikan liberasi
zat terjadi melalui pengaruh terhadap
aspek kimia dan fisika. Perbaikan
liberasi diharapkan dapat menghantarkan
pada pencapaian efek farmakologi yang
lebih baik dan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lachman, L., H. A. Lieberman, &
J.L. Kanig, The Theory and
Practice of Industrial Pharmacy,
2nd
, diterjemahkan oleh Siti
Suyatmi, Universitas Indonesia,
Jakarta, 1994.
2. Ansel, H. C., Introduction to
Pharmaceutical Dosage Form, 4th
,
diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Universitas Indonesia, Jakarta,
1989.
3. Martin, A., J. Swarbrick, & A.
Cammarata. Physical Pharmacy,
2nd
, diterjemahkan oleh Yoshita,
Penerbit UI, Jakarta, 1993.
4. Polderman, J., Introduction to
Preparation of Dosage Form,
Elsevier/North Holl&, Biomedical
Press, Amsterdam, 1977.
5. Farmakope Indonesia, edisi IV,
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, 1995.
6. Smith, E.W., & J. M. Haigh. In
Vitro Release of Propranolol
Hydrochloride from Topical
Vehicles. J. Pharm. Educ., vol. 58,
Fall 1994.
7. Billups, N. F., & N. K. Patel,
Experiment in Physical Pharmacy
V. In Vitro Release of Medicament
from Oinment Bases, J. Pharm.
Educ. 34, 1970.
8. Babar, A., Ray S.D., Nagin K.P.,
Plakogiannis F.M., & Gogineni P.
In Vitro Release and Diffusion
Studies of Promethazine
Hydrochloride from Polymeric
Dermatological Bases Using
Cellulose Membrane and Hairless
Mouse Skin, Drug Dev. Ind.
Pharm., 1999 Feb;25(2):235-40.
9. Setiaji, B., & S. Prayugo, Membuat
VCO Berkualitas Tinggi, Penebar
Swadaya, Jakarta, 2004.
10. Enig, M. G., The Health Benefits of
Coconuts & Coconut Oil,
www.nexusmagazine.com. 2002.
11. Winarno, F. G., Kimia Pangan dan
Gizi, Penerbit P.T. Gramedia,
Jakarta, 1984.
12. Ketaren, S., Pengantar Teknologi
Minyak dan Lemak Pangan, UI
Press, Jakarta, 1986.
13. Agero, A.L., & V.M. Verallo-
Rowell. A Randomized Double-
blind Controlled Trial Comparing
Extra Virgin Coconut Oil with
Mineral Oil as a Moisturizer for
Mild to Moderate Xerosis.
Dermatitis, 2004 Sep;15(3):109-
16.
14. Lund, W., The Pharmaceutical
Codex, Principles and Practice of
Pharmaceutics, 12th
ed,
Pharmaceutical Press, London,
1994.
15. Carter, J., S., Dispensing for
Pharmaceutical Student, 12th
Ed,
Pitman Medical, London, 1975.
16. Bassett, J., R.C. Denney, G. H.
Jeffery, & J. Mendhom, Buku Ajar
Vogel Kimia Analisis Kuantitatif
Anorganik, diterjemahkan oleh A.
Hadyana Pudjaatmaka & L.
Setiono, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1994.
17. Banaker, U. V., Pharmaceutical
Dissolution Testing, Marcel
Dekker, INC, 1992.
18. Martin, E. W., Dispensing of
Medication, 7th
ed, Mack
Publishing Co., Easton,
Pennsylvania, 1971.
19. Siewert, M., J. Dressman, C. K.
Brown, & V. P. Shah. FIP/AAPS
Guidelines to Dissolution/In Vitro
Release Testing of Novel/Special
Dosage Forms. AAPS Pharm. Sci.
Tech. 2003; 4 (1) Article 7
20. Shargel, L. & A. B. C. Yu,
Biofamasetika dan
Farmakokinetika Terapan, ed II,
diterjemahkan oleh Fasich & Siti
Syamsiah, Airlangga University
Press, 1988.
21. Gennaro, A., Remington’s
Pharmaceutical Sciences, 18th
ed,
Mack Publishing Company,
Pennsylvania, 1990.
22. Abdou, H. M., Dissolution,
Bioavailability & Bioequivalence,
Mack Publishing Company,
Pennsylvania, 1989.
23. Realdon, N., A. Tagliaboschi, F.
Perin, & E. Ragazzi. The Bubble
Point for Validation of Drug
Release or Simulated Absorption
Tests for Ointments. Pharmazie,
vol 60, issue 12, p. 910-916,
Winter 2005.
24. Masahiro, N., & N. K. Patel,
Release, Uptake and Permeation
Behavior of Salicylic Acid in
Ointment Bases, J. Pharm. Sci., 59,
1970.