jaringan perpustakaan antarornop

3
JARINGAN PERPUSTAKAAN ANTARORNOP: SEBUAH PENGALAMAN 1 Oleh: Tedjabayu 2 KEKUATAN INFORMASI Tidak seorang manusia pun yang tidak membutuhkan informasi. Bertukar informasi atau berkomunikasi adalah salah satu watak dasar manusia. Sarana untuk bertukar informasi menjadi penting. Komunikasi yang paling sederhana terjadi di kehidupan keluarga. Kalau jarak menjadi kendala, perlu sarana untuk melakukannya. Muncul alat telekomunikasi, dan kepulan asap sekelompok orang Indian di tandusnya padang prairie, suara tifa atau genderang di hutan-hutan Maluku dan Papua sampai kelap-kelip satelit komunikasi yang terbang nun jauh di angkasa luar. Sejak ditemukannya listrik dan kemudian telegrafi, kemajuan di bidang telekomunikasi mengalami loncatan besar. Penemuan radio komunikasi oleh Guglielmo Marconi serta riset di bidang elektronika (terutama setelah ditemukannya transistor dan pendekatan mikro-elektronika serta penerapannya pada komputer) menyebabkan kemajuan di bidang telekomunikasi ini berjalan seperti deret ukur. Muncul istilah “revolusi informasi”, “c and c” (computer and communication, IT (information technology) dan lain-lain yang semua itu sebenarnya menggambarkan betapa pentingnya informasi bagi umat manusia. Bahkan timbul pendapat yang sulit untuk dibantah, siapa yang menguasai informasi ia yang akan menguasai dunia. Pemerintahan Orde Baru menyadari betul kekuatan informasi. Ini bisa kita lihat ketika terjadi perubahan politik pada tahun 1965. Pihak militer langsung mengambil alih semua infrastruktur informasi termasuk media. Dan surat kabar sampai ke televisi. Informasi yang diberikan kepada rakyat berjalan secara efisien dan satu arah. Selanjutnya Departemen Penerangan menjadi ujung tombak sebuah mesin propaganda yang bekerja secara sistematis. Akibatnya memang kolosal. Sebagai contoh, apa yang kemudian diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat adalah gambaran kaum kiri yang sangat kejam tak berperikemanusiaan (tari harum bunga Gerwani, mutilasi alat vital pahlawan revolusi dan lain sebaiknya). Di sisi lain muncul aparat keamanan yang heroik sebagai penyelamat negara. Berapa korban tak berdosa yang jatuh, tidak ada yang bisa menjawab. Pembohongan publik ini berjalan selama 3 dasawarsa lebih. ORNOP DAN PERPUSTAKAAN Secara sadar dan terencana Orde Baru menutup akses rakyat terhadap informasi obyektif sambil memberikan informasi “pembangunan yang sukses besar”. Banyak kasus yang menyangkut kepentingan rakyat banyak (pencemaran lingkungan Inti Indo Rayon Utama, kasus kasus tanah di Jenggawah, Cimacan dan Kedung Ombo, rencana pendirian PLTN Gunung Muria, penggundulan hutan Kalimantan, dan banyak lagi kasus pelanggaran HAM berat) ditutup dengan rapi oleh pihak penguasa melalui strategi informasi yang canggih. Yang ada adalah propaganda dan pemutar-balikan fakta. 1 Ditulis untuk bahan referensi Lokakarya Penguatan Kapasitas Jaringan Perpustakaan: Upaya dan Koordin2si Jaringan Perpustakaan Organisasi Non Perneriiitah. Jakarta, Gedung British Council, 29 Januari 2003. 2 Sekarang Koordinator Pelatihan dan Kepala Proyek Televisi 68H, Institut Studi Arus Informasi

Upload: tifa-foundation

Post on 13-Mar-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kemajuan teknologi informasi dan semakin luasnya jaringan informasi menjadikan perpustakaan ada apda posisi yang sangat strategis untuk meningkatkan kerjasama dan jaringan informasi. Dalam paper ini semuanya dibahas secara lugas dan jelas

TRANSCRIPT

Page 1: Jaringan Perpustakaan Antarornop

JARINGAN PERPUSTAKAAN ANTARORNOP: SEBUAH PENGALAMAN1

Oleh: Tedjabayu2

KEKUATAN INFORMASI

Tidak seorang manusia pun yang tidak membutuhkan informasi. Bertukar informasi atau berkomunikasi adalah salah satu watak dasar manusia. Sarana untuk bertukar informasi menjadi penting. Komunikasi yang paling sederhana terjadi di kehidupan keluarga. Kalau jarak menjadi kendala, perlu sarana untuk melakukannya. Muncul alat telekomunikasi, dan kepulan asap sekelompok orang Indian di tandusnya padang prairie, suara tifa atau genderang di hutan-hutan Maluku dan Papua sampai kelap-kelip satelit komunikasi yang terbang nun jauh di angkasa luar.

Sejak ditemukannya listrik dan kemudian telegrafi, kemajuan di bidang telekomunikasi mengalami loncatan besar. Penemuan radio komunikasi oleh Guglielmo Marconi serta riset di bidang elektronika (terutama setelah ditemukannya transistor dan pendekatan mikro-elektronika serta penerapannya pada komputer) menyebabkan kemajuan di bidang telekomunikasi ini berjalan seperti deret ukur. Muncul istilah “revolusi informasi”, “c and c” (computer and communication, IT (information technology) dan lain-lain yang semua itu sebenarnya menggambarkan betapa pentingnya informasi bagi umat manusia. Bahkan timbul pendapat yang sulit untuk dibantah, siapa yang menguasai informasi ia yang akan menguasai dunia.

Pemerintahan Orde Baru menyadari betul kekuatan informasi. Ini bisa kita lihat ketika terjadi perubahan politik pada tahun 1965. Pihak militer langsung mengambil alih semua infrastruktur informasi termasuk media. Dan surat kabar sampai ke televisi. Informasi yang diberikan kepada rakyat berjalan secara efisien dan satu arah. Selanjutnya Departemen Penerangan menjadi ujung tombak sebuah mesin propaganda yang bekerja secara sistematis.

Akibatnya memang kolosal. Sebagai contoh, apa yang kemudian diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat adalah gambaran kaum kiri yang sangat kejam tak berperikemanusiaan (tari harum bunga Gerwani, mutilasi alat vital pahlawan revolusi dan lain sebaiknya). Di sisi lain muncul aparat keamanan yang heroik sebagai penyelamat negara. Berapa korban tak berdosa yang jatuh, tidak ada yang bisa menjawab. Pembohongan publik ini berjalan selama 3 dasawarsa lebih. ORNOP DAN PERPUSTAKAAN

Secara sadar dan terencana Orde Baru menutup akses rakyat terhadap informasi obyektif sambil memberikan informasi “pembangunan yang sukses besar”. Banyak kasus yang menyangkut kepentingan rakyat banyak (pencemaran lingkungan Inti Indo Rayon Utama, kasus kasus tanah di Jenggawah, Cimacan dan Kedung Ombo, rencana pendirian PLTN Gunung Muria, penggundulan hutan Kalimantan, dan banyak lagi kasus pelanggaran HAM berat) ditutup dengan rapi oleh pihak penguasa melalui strategi informasi yang canggih. Yang ada adalah propaganda dan pemutar-balikan fakta.

1 Ditulis untuk bahan referensi Lokakarya Penguatan Kapasitas Jaringan Perpustakaan: Upaya dan Koordin2si Jaringan Perpustakaan Organisasi Non Perneriiitah. Jakarta, Gedung British Council, 29 Januari 2003. 2 Sekarang Koordinator Pelatihan dan Kepala Proyek Televisi 68H, Institut Studi Arus Informasi

Page 2: Jaringan Perpustakaan Antarornop

Keadaan ini telah menjadi konsern di kalangan aktifis ornop sejak permulaan tahun delapanpuluhan. Dalam setiap advokasi yang dilakukan selalu muncul kebutuhan akan informasi. Kita semua di Ornop sadar betul bahwa masyarakat yang termarjinalkan selalu menghadapi problem yang sama: tidak ada akses terhadap informasi. Akibatnya adalah, mereka tidak mempunyai kekuatan untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan dan masa depan mereka sendiri. Mereka menjadi bulan-bulanan pihak-pihak yang menguasai informasi.

Ini tergambar pada hampir setiap proposal program yang diajukan oleh sebuah Ornop. Selalu ada biaya membeli komputer, selalu ada biaya diskusi atau seminar, selalu ada biaya penerbitan buletin. Umumnya, program pendirian atau pengembangan perpustakaan selalu dicantumkan pula. Yang cukup canggih, memasukkan program jaringan informasi sebagai primadonanya!

Ornop berperan dalam memfasilitasi masyarakat di bidang informasi.Mereka mulai sadar, ada urgensi membangun sistem informasi yang lebih baik dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Perpustakaan sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dan sistem informasi menjadi sebuah keharusan bagi ornop yang serius. Melihat posisinya yang sangat penting ini, idealnya perpustakaan Ornop merupakan sebuah perpustakaan aksi. Selain berfungsi sebagai sarana referensi seperti biasa, watak kerjanya mesti proaktif. Dalam struktur organisasi, sebaiknya ia tidak masuk ke dalam support system seperti sekretariat, misalnya. Seorang pustakawan yang memimpin perpustakaan ornop sebaiknya pemegang kendali sistem informasi organisasinya. Mestinya ia terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat manajemen puncak. Dengan demikian ia bisa memberi masukan dalam menentukan strategi advokasi di lapangan. Langgam kerja pelayanannya harus seirama dengan dinamika yang terjadi. Perpustakaan ornop sebenarnya menjalankan fungsi intelijen bagi organisasinya. HAMBATAN.

Repotnya adalah, kesadaran berinformasi yang bagus ini tidak selalu (dan kebanyakan begitu!) disertai dengan komitmen kongkret di lapangan. Kehadiran sebuah perpustakaan Ornop hanya merupakan kelengkapan tambahan sekaligus keharusan bagi sebuah proposal besar. Tanpa itu rasanya kurang lengkap.

Dana yang direncanakan untuk ini biasanya larut ke kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih “urgen”. Tidak ada konsistensi antara proposal pengembangan Indok (termasuk di dalamnya perpustakaan) dengan pelaksanaannya. Pembelian bahan pustaka memang berjalan, tetapi biasanya dana pendukung yang menyangkut operasionalisasi lanjutan sebuah perpustakaan (pemrosesannya, penyimpanan dan pencarian kembali) selalu terabaikan.

Umumnya yang ada hanyalah sebuah perpustakaan seadanya, yang jarang menerapkan kaidah-kaidah dasar sebuah perpustakaan.

Tidak ada anggaran yang cukup untuk menggaji seorang pustakawan. Yang terjadi adalah, apa yang secara populer disebut sebagai “Bagian Indok” adalah jabatan rangkap seorang aktifis yang sudah mempunyai pekerjaan lain. Atau seorang petugas administrasi yang mempunyai sedikit pengetahuan di bidang kearsipan kantor.

Keterampilan dan kemampuan analisis yang sangat diperlukan oleh seorang pustakawan sebuah Ornop tidak dianggap penting. Kerja tekun pustakawan dianggap rendah nilainya dibandingkan dengan kerja kobar para aktifis. Mengklasifikasi sebuah buku atau membuat abstrak kurang gagah dibandingkan dengan ikut demo, menulis siaran pers atau diwawancara

Page 3: Jaringan Perpustakaan Antarornop

televisi! Padahal kawan-kawan yang berada di garda depan ini akan bisa lebih gagah lagi kalau dipersenjatai dengan informasi yang cukup dan akurat. JARINGAN ANTAR PEPUSTAKAAN ORNOP

Beberapa Ornop mulai melontarkan ide tentang sebuah jaringan informasi. Salah satu contoh adalah jaringan pustakawan pengguna CDS-ISIS. Saya terlibat dan masih ingat, AKA3, WALHI, SKEPHI dan LBH menyelenggarakan pelatihan CDS-ISIS. Pelatihan ini diteruskan dengan serangkaian diskusi panjang tentang format standar perpustakaan dan standar pertukaran data. Sayang sekali langkah bagus ini berhenti di tengah jalan. Penyebabnya sederhana saja, komitmen antar pustakawan ini tidak di dukung oleh unsur pengambi1 keputusan di organisasi masing-masing. Akhirnya jaringan ini meninggal dunia tanpa pamit!

Jaringan komputer (WAN) internal YLBHI yang melibatkan 16 cabang kantor LBH di daerah-daerah merupalan contoh lain. Setiap kantor LBH bisa saling bertukar informasi tentang kasus yang ditangani. Pertukaran pengalaman yang intens juga terjadi. Tidak saja di bidang manajemen dan advokasi, tetapi para petugas Indok bisa saling menajamkan pengetahuan dalam mengelola perpustakaan. Abstrak koleksi pustaka YLBHI di Jakarta disebarkan ke daerah, sementara ringkasan kasus di daerah menjadi milik bersama.

Jaringan YLBHI ini tidak bisa berlanjut karena ada kekosongan personil di tingkat pusat. Kader pustakawan di daerah seperti kehilangan pegangan dan kembali mengelola perpustakaannya dengan pola lama yang serba tambal sulam dan tidak profesional. Tidak ada dana lagi dan pusat, tidak ada kaderisasi dan tidak ada komitmen dan pengambil keputusan di daerah untuk meneruskan jaringan perpustakaan LBH ini. Meski tahu informasi penting, implementasi di lapangan tidak ada. PENUTUP

Saya tidak berkecimpung lagi di bidang ini, tetapi dan jaringan pendidik HAM yang kebetulan saya ikuti, sudah banyak pimpinan Ornop yang menyadari pentingnya sebuah jaringan yang melibatkan ornop-ornop di bidang HAM. Komnas HAM sudah merintis dan menginisiasi pertemuan rutin aktifis pendidik HAM. Lewat kegiatan ini tumbuh kesadaran tentang perlunya jaringan informasi HAM yang lebih kongkret. Buahnya adalah embrio jaringan perpustakaan HAM. Antusiasme di kalangan aktifisnya benar-benar memberi harapan. Para pustakawannya sudah lebih profesional, prasarana juga lebih baik. Tinggal kita semua sekarang, mau ke mana dan akan melakukan apa embrio jaringan ini?

Ada catatan kecil dan saya sendiri tentang ini. Sepertinya kita perlu membuat penegasan perlunya menghilangkan ketergantungan kepada Komnas HAM. Mereka inisiator. Rekan-rekan di Latuharhari mempunyai pekerjaan rumahnya sendiri yang sangat berat. (Harapan kita kan Perpustakaan Komnas HAM bisa menjadi rujukan nasional to?) Kalau kita semua menggantungkan diri kepada inisiatif satu lembaha saja,jaringan ini tidak akan berkembang. Kita perlu bicara, apa yang kita kehendaki? Sekian kali lokakarya dengan sekian buah rekomendasi tanpa langkah kongkret dan komitmen semua aktifisnya (termasuk para pengambil keputusan di organisasi masing-masing) merupakan sebuah pemborosan enerji.

Ayo. Kerja bareng-bareng!