jamsus eksekusi fidusia
DESCRIPTION
eksekusi fidusiaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada asasnya Buku II KUHPerdata menganut sistem yang tertutup,
dalam arti diluar yang secara limitatif ditentukan disana tidak dikenal lagi
hak-hak kebendaan yang lain dan para pihak pada pokoknya tidak bebas untuk
memperjanjikan/menciptakan hak kebendaan yang baru1. Dikatakan “pada
asasnya” karena dalam kenyataannya pembuat undang-undang sendiri telah
menciptakan hak kebendaan yang baru dalam suatu perundang-undangan
diluar KUHPerdata salah satunya adalah Fidusia (Undang-Undang 42 Tahun
1999)2. Dengan demikian berdasarkan Buku II yang menganut sistem tertutup,
orang tidak bisa memperjanjikan hak kebendaan, kecuali hak seperti yang
diberikan oleh undang-undang atau diakui dalam yurisprudensi3.
Fidusia merupakan hak kebendaan yang baru dan telah diatur dalam
undang-undang. Fidusia muncul sebab terdapat kelemahan dari lembaga gadai
yang telah diatur dalam KUHPerdata. Maka untuk menutupi kelemahan
tersebut dibuat lembaga fidusia. Kelemahan dalam gadai terletak pada
penguasaan obyek, pada gadai penguasaan obyek gadai ada pada
penerima/pemegang gadai. Hal tersebut menciptakan iklim bisnis yang tidak
kondusif, dimana obyek benda gadai yang diberikan kepada
penerima/pemegang gadai tersebut masih dibutuhkan oleh pemberi gadai
sebagai modal barang, tetapi disisi lain pemberi gadai juga memerlukan modal
financial.
Untuk terciptanya kepastian hukum dalam praktik penyelenggaraan
jaminan fidusia maka Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang fidusia
mengatur dengan mewajibkan setiap jaminan fidusia untuk didaftarkan pada
pejabat yang berwenang. Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia kepada
instansi yang berwenang merupakan salah satu perwujudan dari asas
1 J.Satrio. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. Hlm 1.2 Ibid. Hlm 2.3 Ibid.
1
publisitas. Asas publisitas ini menunjuk pada obyek tertentu dimana obyek
tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kreditur. Sehingga semakin
terpublikasi jaminan hutang akan semakin baik sebab kreditur atau khalayak
ramai dapat mengetahui atau memiliki akses terhadap informasi-informasi
penting disekitar jaminan hutang tersebut. Hal ini dapat meminimalisir dari
pemberi fidusia yang tidak memiliki itikad baik, seperti halnya menjual obyek
jaminan fidusia tanpa sepengetahuan kreditur atau melakukan fidusia ulang.
Selain itu dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Fidusia lahirnya fidusia
tersebut adalah pada saat didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia. Sehingga
fidusia dengan akta jaminan fidusia, lembaga fidusia dianggap belum lahir.
Oleh karena itu pendaftaran fidusia itu bersifat wajib.
Setelah fidusia didaftarkan, sebagai bukti bahwa penerima fidusia
memiliki hak fidusia, maka kepadanya diserahkan dokumen yang disebut
dengan sertifikat jaminan fidusia. Pada sertifikat jaminan fidusia dicantumkan
pula irah-irah dengan tulisan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Hal tersebut memberikan sertifikat jaminan fidusia mempunyai
kekuatan eksekutorial yakni memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan
dari suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap. Sehingga
apabila pemberi fidusia cidera janji atau wanprestasi, penerima fidusia
mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas
kekuasaannya sendiri.Hal tersebut merupakan salah satu ciri dari jaminan
fidusia yaitu kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi apabila pihak pemberi
fidusia cidera janji.
Pelaksanaan eksekusi fidusia dalam Undang-Undang Fidusia diatur
pada Pasal 29 yaitu dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu pertama dengan
pelaksanaan titel eksekutorial, kedua dengan penjualan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan,
dan yang terakhir dengan penjualan dibawah tangan yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima jaminan fidusia kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
2
Ketiga cara untuk melakukan eksekusi fidusia tersebut dapat dilakukan
terhadap jaminan fidusia yang sudah lahir. Mengingat, lahirnya jaminan
fidusia pada saat didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia. Pada realita
praktiknya terdapat jaminan fidusia yang tidak didaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia. Seperti contoh lembaga pembiayaan dalam melakukan
perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia.
Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di
Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu
dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan4.
Hal tersebut menimbulkan resiko dan permasalahan hukum yang
komplek. Terlebih pada pelaksanaan proses eksekusi apabila pemberi fidusia
cidera janji. Sebab, dalam hal jaminan fidusia dengan akta dibawah tangan
dikaitkan dengan undang-undang fidusia maka dapat disimpulkan bahwa
jaminan fidusia tersebut dianggap belum lahir. Sehingga tidak bisa
dilaksanakan eksekusi sesuai yang telah diatur dalam undang-undang fidusia.
Oleh karena itu pada praktiknya eksekusi objek jaminan fidusia dengan akta
dibawah tangan kerap kali dilakukan secara sepihak oleh pihak penerima
fidusia dan hal tersebut dapat menimbulkan tindakan kesewenangan dari
pihak penerima fidusia. Tentunya tindakan kesewenangan dari pihak penerima
fidusia tidak dibenarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu, diperlukan informasi terhadap pelaksanaan
eksekusi fidusia dengan akta dibawah tangan yang bersifat legal atau tidak
bertentangan dengan hukum Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, pada kesempatan ini
kelompok kami akan membahas terkait dengan eksekusi terhadap objek
perjanjian fidusia dengan akta dibawah tangan.
B. Rumusan Masalah
4 Hukum online. 2007. Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan. From: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17783/eksekusi-terhadap-benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-bawah-tangan. diakses 1 Desember 2015.
3
1. Bagaimana proses eksekusi dalam perjanjian fidusia?
2. Apakah objek perjanjian fidusia dengan akta dibawah tangan dapat di
eksekusi?
3. Bagaimana mekanisme eksekusi objek perjanjian fidusia dengan akta
dibawah tangan?
C. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif, yaitu
memberikan gambaran tentang fenomena tertentu atau aspek kehidupan
tertentu dari masyarakat yang diteliti.
Sedangkan Rosenberg, Morris memberikan dua pengertian metode deskriptif,
yaitu: “(1) mendeskripsikan gejala-gejala yang diteliti, (2) Mempelajari
hubungan antara gejala-gejala yang diteliti”
Metode deskriptif tidak hanya terbatas pada pengumpulan data, tetapi meliputi
analisis dan interprestasi tentang arti data itu. Penelitian deskriptif
membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang tidak langsung diperoleh dari masyarakat atau
pihak terkait. Data tersebut dapat berupa informasi dari buku, jurnal hukum,
thesis, internet, dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui observasi.Dengan
teknikini, peneliti mengamati aktivitas-aktivitas sehari-hari obyek
penelitian,karakteristik fisik situasi sosial dan perasaan pada waktu menjadi
bagian darisituasi tersebut. Selama peneliti di lapangan, jenis observasinya
tidak tetap.Dalam hal ini peneliti mulai dari observasi
deskriptif (descriptiveobservation)secara luas, yaitu berusaha melukiskan
secara umum situasisosial dan apa yang terjadi di sana. Kemudian, setelah
perekaman dan analisisdata pertama, peneliti dapat menyempitkan datanya
dan mulai melakukan observasiterfokus. Peneliti menyempitkan lagi
4
penelitiannya dengan melakukanobservasi selektif (selective observation).
Sekalipun demikian, penelitimasih terus melakukan observasi deskriptif
sampai akhir pengumpulan
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif
secara analitik yaitu mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana
adanya, sehingga hanya merupakan penyingkapan fakta.
BAB II
5
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauau Umum tentang Jaminan Fidusia
1. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan
pemilik benda.
Jaminan Fidusia dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor
42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan Pemberi Fidusia,sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dari definisi yang diberikan diatas maka fidusia dibedakan dari
Jaminan Fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak
kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam
bentuk fidusia. Hal ini berarti pranata jaminan fidusia yang diatur dalam
UU No. 42 Tahun 1999 ini adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud dalam fiducia cum creditore contracta5, yaitu artinya hak milik
atas suatu benda diserahkan sebagi jaminan dengan janji bahwa ia akan
menyerahkannya kembali kepada debitor bila utangnya telah dibayar
lunas.6
Dari definisi Fidusia yang diberikan UU Jaminan Fidusia dapat kita
katakan bahwa dalam Jaminan Fidusia terjadi pengalihan hak
kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji
5 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1206 Sururudin's Weblog, https://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/mencermati-pokok-pokok-undang-undang-jaminan-fidusia/. Diakses pada tanggal 28 November 2015.
6
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan
pemilik benda.
Pengalihan hak kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara
constitutum possessorium. Ini berarti pengalihan hak kepemilikan atas
suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut
dimaksud untuk kepentingan Penerima Fidusia.
2. Ruang Lingkup dan Objek Jaminan Fidusia
Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang
lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu berlaku
terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda
dengan Jaminan Fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang
dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia dengan tegas
menyatakan bahwa Undang-Undang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku
terhadap:7
a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,
sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan
jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun
demikianbangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat
dibebani hak tanggunan berdasarkan UU Hak Tanggungan dapat
dijadikan objek Jaminan Fidusia.
b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20
(dua puluh) atau lebih;
c. Hipotek atas pesawat terbang; dan
d. Gadai
Mengacu pada pasal 1 angka 2 dan 4 serta pasal 3 UU Jaminan
Fidusia, dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek Jaminan Fidusia
adalah benda apa pun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak
kepemilikanya. Benda itu dapat berubah benda berwujud maupun tidak
berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda
tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana
7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit., hal 145
7
dimaksud dalam UU Hak Tanggunganatau Hipotek sebagaimana
dimaksud dalam pasal 314 KUHD.
Benda-benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut adalah :8
1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
2. Dapat atas benda wujud.
3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang.
4. Benda bergerak.
5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak
tanggungan.
6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik.
7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang
akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh
kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia
tersendiri.
8. Dapat atas suatu satuan atau jenis benda.
9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.
10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.
11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.
12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga
menjadi objek jaminan fidusia.
Ada pengecualian dari prinsip beralihnya fidusia jika benda objek
Jaminan Fidusia dialihkan, yaitu jika benda tersebut merupakan barang
persediaan. Dalam hal ini, sesuai dengan sifat benda tersebut memang
selalu beralih-alih, maka beralihnya benda persediaan tersebut tidak
menyebabkan beralihnya fidusia yang bersangkutan. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 20 Undang-undang Fidusia No. 42 Tahun 1992.
3. Sifat Accessoir pada Perjanjian Fidusia
Mengenai sifat accessoir dari perjanjian fidusia oleh Pitlo
dikemukakan bahwa dengan diakuinya zekerheidseigendom (fidusia),
8 Munir fuady, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 23.
8
tunduklah fidusia kepada ketentuan-ketentuan dari hak-hak kebendaan
yang memberi jaminan. Karenanya dapat dilakukan penerapan secara
analogi ketentuan-ketentuan hipotik dan gadai. Maka ini tidak lain berarti
fidusia dianggap bersifat accessoir.9
Anggapan bahwa fidusia bersifat accessoir membawa serta
konsekuensi, bahwa terhadap hak tersebut jika terjadi peralihan hak yang
berupa cessi, subrogasi, ataupun novasi sebagaimana dikehendaki oleh
kreditur, maka hal tersebut beralih kepada kreditur baru tanpa penyerahan
khusus.10
Perjanjian fidusia ini adalah bersifat accessoir, adanya perjanjian
tergantung pada perjanjian pokok yang biasanya berupa perjanjian
peminjaman uang pada bank. Di dalam praktek perbankan perjanjian
fidusia itu sering diadakan sebagai tambahan jaminan pokok, manakala
jaminan pokok itu kurang memenuhi. Adakalanya fidusia juga diadakan
secara tersendiri, dalam arti tidak sebagai tambahan jaminan pokok, yaitu
sebagaimana sering dipakai oleh pegawai kecil, pedagang kecilm
pengecer, dan lain-lain sebagai jaminan kredit yang dimintakan pada
Bank.11
4. Pendaftaraan Jaminan Fidusia
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum Indonesia, adanya
kewajiban untuk mendaftarkan fidusia ke instansi yang berwenang.
Kewajiban tersebut bersumber dari Pasal 11 UU tentang Fidusia.
Pendaftraan fidusia dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia ditempat
kedudukan pihak pemberi fidusia.12
Seperti yang telah dijelaskan bahwa Jaminan Fidusia dicatat di
Kantor Pendaftaran Fidusi. Untuk keperluan tersebut, Kantor Pendaftaran
Fidusia akan mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.
9 Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal 24.10 Ibid., hal 2511 Ibid., hal 26.12 Munir fuady, Op Cit., hal 30
9
Pencatatan dalam buku fidusia tersebut ditanggali dengan tanggal yang
dama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
Kantor Pendaftaran Fidusia tidak berwenang melakukan penilaian
terhadap kebenaran data yang dicantumkan dalam Pernyataan Pendaftaran
Jaminan Fidusia, namun hanya berwenang melakukan pengecakan data
saja sebagaimana yang dimaksud pasal tentang ketentuan mengenai
pernyataan pendaftaran.13
Menurut Pasal 14 ayat (3) UU No 42 Tahun 1999 tentang Fidusia,
maka fidusia oleh undang-undang dianggap lahir pada saat yang sama
dengan dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Sehingga
UU tentang Fidusia ini secara tegas menyatakan bahwa tanggal
pencatatan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia merupakan tanggal
lahirnya fidusia.14
Sebagai bukti bahwa penerima fidusia memiliki hak fidusia
tersebut, maka kepadanya diserahkan dokumen yag disebut Sertifikat
Jaminan Fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia dikeluarkan oleh instans yang
sah dan berwenang, dalam hal ini Kantor Pendaftaran Fidusia, maka
sertifikat tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagai
suatu akta otentik, dan hanya Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai satu-
satunya yang berwenang mengeluarkan sertifikat penjaminan fidusia
tersebut.
Karena itu pula, jika ada alat bukti Sertifikat Jaminan Fidusia, dan
sertifikat tersebut adalah sah, maka alat bukti lain dalam bentuk apa pun
harus ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan
adanya fidusia dengan hanya mempertunjukkan Akta Jaminan Fidusia
yang dibuat oleh notaris. Sebab, menurut Oasal 14 ayat (3) UU Fidusia,
maka dengan Akta Jaminan Fidusia, lembaga fidusia dianggap belum
lahir. Lahirnya fidusia tersebut adalah pada saat didaftarkan di Kantor
Pendaftran Fidusia.
13 Ibid., hal 3114 Ibid., hal 34-35.
10
B. Tinjauan Umum tentang Eksekusi Jaminan Fidusia
UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia mengatur mengenai eksekusi
jaminan fidusia dalam Bab V, termasuk didalamnya Pasal 29 menyatakan
bahwa:
(1) Apabila debitur atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap
Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud pada Pasal 15
(2) oleh Penerima Fidusia;
b. Penjualan Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia ini mengatur
eksekusi fidusia secara bervariasi, sehingga para pihak dapat memilih model
eksekusi mana yang mereka inginkan. Sekalipun tidak sebutkan dalam Undang-
Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, tetapi tentunya pihak kreditur
dapat menempuh proses eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke pengadilan.15
Selanjutnya akan dibahas satu-persatu mengenai cara eksekusi yang
diatur dalam UU Fidusia serta proses eksekusi melalui gugatan biasa ke
pengadilan, yaitu sebagai berikut:16
1. Eksekusi Fidusia dengan Titel Eksekutorial
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata atau HIR,
setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan fiat
eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa Grosse dari akta
hipotik dan surat hutang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia
dan yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan suatu keputusan
hakim.
15 Ibid., hal 5816 Ibid., hal 59-63
11
Kemudian, Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
menyatakan bahwa dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan
kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” Irah-Irah inilah yang memberikan titel
eksekutorial, yakni titel yang mensejajarkan kekuatan akta tersebut
dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, akta tersebut tinggal
dieksekusi (tanpa perlu lagi suatu putusan pengadilan).
2. Eksekusi Fidusia secara Parate Eksekusi Lewat Pelelangan Umum
Eksekusi fidusia dapat juga dilakukan dengan jalan
mengeksekusinya oleh penerima fidusia lewat lembaga pelelangan
umum (Kantor Lelang), di mana hasil pelelangan tersebut diambil
untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya. Parate eksekusi
lewat pelelangan umum ini dapat dilakukan tanpa melibatkan
pengadilan sama sekali.
3. Eksekusi Fidusia secara Parate Eksekusi Secara Penjualan Di Bawah
Tangan
Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi dengan cara menjual benda
objek Fidusia tersebut secara di bawah tangan, asalkan terpenuhi
syarat-syarat antara lain:
(1) Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan
penerima fidusia.
(2) Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
(3) Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima
fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(4) Diumumkan dalam sedikit-sedikitnya dalam dua surat kabar
yang beredar di daerah yang bersangkutan.
(5) Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis.
4. Eksekusi Fidusia Lewat Gugatan Biasa
12
Dalam pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, tidak
disebutkan cara eksekusi fidusia lewat gugatan biasa. Meskipun
begitu, pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat
gugatan biasa ke Pengadilan Negeri yang berwenang.
Sebab keberadaan UU Fidusia dengan model-model eksekusi
khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum, tetapi
untuk menambah ketentuan yang ada dalam hukum acara umum,
melainkan untuk mempermudah dan membantu pihak kreditur. Satu
dan lain hal disebabkan eksekusi fidusia lewat gugatan biasa
memakan waktu yang lama dan dengan prosedur yang berbelit-belit.
Dan hal tersebut sangat tidak praktis dan tidak efisien bagi hutang
dengan Jaminan Fidusia tersebut.
C. Tinjauan Umum tentang Akta Di Bawah Tangan
Akta yang dibuat di bawah tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1844 KUH Perdata adalah tulisan yang ditandatangani tanpa perantara pejabat
umum.
Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah suatu akta yang dibuat oleh
para pihak untuk suatu kepentingan atau tujuan tertentu tanpa mengikutsertakan
pejabat yang berwenang. Jadi dalam suatu akta di bawah tangan, akta tersebut
cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian ditandatangani oleh para
pihak tersebut, misainya kwitansi, surat perjanjian utang-piutang,
ketidakikutsertaan pejabat yang berwenang inilah yang merupakan perbedaan
pokok antara akta di bawah tangan dengan akta. otentik. Sehingga secara
popular dikatakan “siapa yang hendak membuat akta di bawah tangan
mengambil pena, sedangkan siapa yang hendak memperoleh akta otentik
mengambil notaris.”17
Akta di bawah tangan ini diatur dalam Pasal 1874 - 1984 KUHPerdata.
Terhadap akta di bawah tangan apabila ada tanda tangan yang disangkal, maka
pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus membuktikan kebenaran
tanda tangan itu melalui alat bukti lain.
17 Subekti, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa,Jakarta, hal 75.
13
Dengan demikian selama tanda tangan tidak diakui maka akta di bawah
tangan tersebut tidak banyak membawa manfaat bagi pihak
yangmengajukannya di muka pengadilan. Namun apabila tanda tangan tersebut
sudah diakui maka akta di bawah tangan itu bagi yang menandatangani, ahli
warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti
yang sempurna sebagai kekuatan formil dan kekuatan formil dari suatu Akta
Otentik (Pasal 1875 KUHPerdata).
Pada prakteknya, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian
pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi
ironisnya beberapa diantaranya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak
didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta
semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.18 Hal tersebut
karena jika jaminan fidusia yang tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran
Fidusia dalam hal ini sebagai pejabat yang berwenang, maka kreditur atau
penerima jaminan fidusia tidak mendapat Sertifikat Jaminan Fidusia yang
dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia, yang mana Sertifikat tersebut
memiliki kekuatan yang sama dengan akta otentik.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Proses Eksekusi Dalam Perjanjian Fidusia
Eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang
menjadi objek jaminan fidusia. Hal yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi
18 Hukumonline, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17783/eksekusi-terhadap-benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-bawah-tangan. Diakses tanggal 28 November 2015.
14
jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau
tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia,
walaupun mereka telah diberikan somasi. Fokus perhatian dalam masalah
jaminan fidusia adalah wanprestasi dari debitur pemberi fidusia. Undang-
Undang Jaminan Fidusia tidak menggunakan kata wanprestasi melainkan
cedera janji.
Tindakan eksekutorial atau lebih dikenal dengan eksekusi pada dasarnya
adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan.
Menurut Pasal 195 HIR pengertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim
oleh pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa piutang kreditur menindih pada
seluruh harta debitur tanpa kecuali.
Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur di dalam Pasal 29 sampai
dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia.
Pasal 29
(1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2) oleh Penerima Fidusia;
b. Penjualan benda yangrnenjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
(2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh Pemberi dan Penerima Fidusia kepada pihak-pibak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan.
Pasal 30
15
Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.
Pasal 31
Dalam hal Benda yang menjadi objek Jamiman Fidusia terdiri atas benda
perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya
dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 32
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum.
Pasal 33
Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitur cidera janji, batal
demi hukum.
Pasal 34
(1) Dalam hal basil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.
(2) Apabila basil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Dari pengaturan pasal-pasal di atas, maka dapat diiihat bahwa eksekusi
Jaminan Fidusia dapat dilakukan melalui cara-cara, antara lain:
1. Eksekusi langsung dengan titel eksekutorial yang berarti sama
kekuatannya dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Eksekusi ini dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia karena menurut pasal 15 ayat (2) Undang-
undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sertifikat
Jaminan Fidusia menggunakan titel “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti kekuatannya sama dengan
kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Hal ini memberikan
titel eksekutorial dan berarti akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa harus
16
melalui suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang dimaksud dengan fiat
eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni dengan cara
meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon penetapan dari
ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan
memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR.
2. Pelelangan Umum.
Eksekusi fidusia juga dapat dilakukan dengan jalan
mengeksekusinya, oleh penerima fidusia lewat lembaga pelelangan umum
(kantor lelang), di mana hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi
pembayaran tagihan penerima fidusia. Parate eksekusi lewat pelelangan
urnum ini dapat dilakukan tanpa melibatkan pengadilan sebagaimana
diatur pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia.
3. Penjualan di bawah tangan.
Eksekusi fidusia juga dapat dilakukan melalui penjualan di bawah
tangan asalkan terpenuhi syarat-syarat untuk itu. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah:
a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima
fidusia.
b. Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak.
c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Diumumkan dalam sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah
tersebut.
e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak
diberitahukan secara tertulis.
4. Eksekusi secara mendaku
Eksekusi fidusia dalam cara ini adalah eksekusi dengan cara
mengambil barang fidusia untuk menjadi milik kreditur secara langsung
17
tanpa lewat suatu transaksi apapun. Namun, hal ini dilarang oleh Pasal 33
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
5. Eksekusi terhadap barang perdagangan dan efek yang dapat
diperdagangkan.
Eksekusi terhadap barang tersebut dapat dilakukan dengan cara
penjualan di pasar atau bursa sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
pasar dan bursa tersebut sesuai dengan maksud pasal 31 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
6. Eksekusi lewat gugatan biasa.
Meskipun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke
pengadilan, tetapi tentunya pihak kreditor dapat menempuh prosedur
eksekusi biasa lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dengan model-
model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum.
Tidak ada indikasi sedikit pun dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia yang bertujuan meniadakan ketentuan
hukum acara.
Selama ini sebelum keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, tidak
ada kejelasan mengenai bagaimana caranya mengeksekusi objek Jaminan
Fidusia. Oleh karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya, banyak yang
menafsirkan eksekusi objek Jaminan Fidusia dengan memakai prosedur gugatan
biasa (lewat pengadilan dengan prosedur biasa) yang panjang, mahal dan
melelahkan.
Sehingga dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia ini semakin
mempermudah dan memberi kepastian bagi kreditur dalam pelaksanakan
eksekusi. Salah satu ciri Jaminan Fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam
pelaksanaan eksekusinya, jika debitur (pemberi fidusia) cedera janji.
Untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, maka pemberi
fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Apabila
18
benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau
efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di
tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang
jaminan fidusia seperti yang tercantum dalam Pasal 34, yaitu:
1. Hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia;
2. Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur atau
pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.
Ada 2 janji yang dilarang dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia,
yaitu:
1. Janji melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999; dan
2. Janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk
memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur
cedera janji.
Kedua macam perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Artinya
bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Untuk menyelenggarakan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia secara
aman, tertib, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan; melindungi
keselamatan Penerima Jaminan Fidusia, Pemberi Jaminan Fidusia, dan/ atau
masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/
atau keselamatan jiwa maka diterbitkanlah Peraturan Kapolri No. 8 Tahun
2011.
Dalam Peraturan Kapolri tersebut, untuk melaksanakan eksekusi atas
jaminan fidusia dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
1. Ada permintaan dari pemohon;
2. Objek tersebut memiliki akta jaminan fidusia;
3. Objek jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;
4. Objek jaminan fidusia memiliki setifikat jaminan fidusia;
5. Jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.
19
Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum
dalam Pasal 7 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011, dimana permohonan
pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima
jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat
eksekusi dilaksanakan. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima
jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan
fidusia.
Untuk pengajuan permohonan eksekusi, pihak pemohon eksekusi harus
melampirkan:
1. Salinan akta jaminan fidusia;
2. Salinan sertifikat jaminan fidusia;
3. Surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya, dalam
hal ini telah diberikan pada Debitor sebanyak 2 kali dibuktikan dengan
tanda terima;
4. Identitas pelaksana eksekusi;
5. Surat tugas pelaksanaan eksekusi.
B. Dapat Tidaknya Objek Jaminan Fidusia dengan Akta DiBawah Tangan
untuk Dieksekusi
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
telah ditegaskan dengan jelas kewajiban untuk melakukan pendaftaran terhadap
perjanjian hutang-piutang yang menggunakan jaminan fidusia dalam Pasal 11-
Pasal 18. Namun dalam prakteknya masih banyak sekali yang tidak
melaksanakan kewajiban melakukan pendaftaran tersebut sehingga dapat
menimbulkan hal-hal yang merugikan para pihak misalnya saja adanya fidusia
dua kali tanpa sepengetahuan kreditur dan adanya pengalihan barang fidusia
dua kali tanpa sepengatahuan kreditur.
Selanjutnya apabila suatu perjanjian hutang-piutang dengan jaminan
fidusia tidak dilakukan pendaftaran maka jika dikemudian hari terjadi cidera
janji kreditur tidak dapat secara langsung melakukan eksekusi karena jaminan
20
tidak memiliki kekuatan eksekutorial seperti yang dijelaskan dalam Pasal 15
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia dijelaskan apabila terjadi cidera janji eksekusi terhadap benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia:
b. Penjuakan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutang dari hasil penjualan:
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepaktan
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Dengan melihat ketentuan tersebut terhadap objek jaminan fidusia yang
tidak dilakukan pendaftaran, maka secara argumentum a contrario kreditur
tidak dapat melakukan eksekusi objek yang dijadikan jaminan baik secara
eksekutorial maupun pelelangan umum.
Namun terhadap jaminan fidusia yang tidak dilakukan pendaftaran
pihak kreditur tidak dapat secara langsung melakukan pelenagan terhadap
jaminan yang diberikan debitur melainkan dimungkinkan untuk melakukan
pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang
normal.
Jadi apabila kita mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia maka terhadap jaminan fidusia
yang tidak dilakukan pendaftaran tidak akan dapat dilakukan eksekusi apabila
terjadi cidera janji, namun terdapat perlindungan hukum lain terhadapnya yaitu
dengan jalan mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dengan melalui proses
hukum acara yang normal.
C. Mekanisme Eksekusi Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah
Tangan
Proses eksekusi objek perjanjian fidusia dengan akta di bawah tangan
dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan
21
Negeri. Mengingat bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UU No 42 Tahun 1999
tentang Fidusia, fidusia oleh undang-undang dianggap lahir pada saat yang
sama dengan dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, maka
Perjanjian Fidusia dengan akta di bawah tangan dianggap belum lahir menurut
UU Fidusia.
Oleh karena itu, kreditur atau penerima jaminan fidusia tidak
mendapatkan perlindungan hukum dari UU Fidusia tersebut apabila debitur
cidera janji. Oleh karenanya pula, apabila debitur cidera janji maka proses
eksekusi objek perjanjian fidusia dengan akta di bawah tangan tidak dapat
dilakukan dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU No. 42 Tahun
1999 tentang Fidusia yang terdiri dari eksekusi dengan titel eksekutorial,
eksekusi dengan parate eksekusi melalui pelelangan umum, dan eksekusi
dengan parate eksekusi secara di bawah tangan.
Proses hukum acara yang ditempuh dalam gugatan perdata di Pengadilan
Negeri meliputi susunan persidangan dalam praktik yang terdiri dari hakim
tunggal atau majelis hakim terdiri dari satu ketua dan dua hakim anggota, dan
dilengkapi oleh panitera sebagai pencatat jalannya persidangan. Dan
persidangan kurang lebih akan dilakukan 8 kali yang terdiri dari sidang pertama
sampai dengan putusan hakim, apabila persidangan tersebut berjalan dengan
lancar.
Pada sidang pertama, yang merupakan “checking” identitas para pihak
dan apakah para pihak sudah mengerti mengapa sebab mereka dipanggil untuk
menghadiri sidang. Setelah para pihak dianggap mengerti hakim menghimbau
agar kedua pihak berdamai, dan kemudian sidang ditangguhkan.
Dalam sidang kedua, apabila para pihak dapat berdamai maka terdapat 2
kemungkinan yaitu gugatan dicabut atau mereka mengadakan perdamaian
diluar atau di muka sidang. Apabila tidak tercapai perdamaian maka sidang
dilanjutkan dengan penyerahan jawaban dari pihak tergugat.
Selanjutnya pada sidang ketiga, pada sidang ini penggugat menyerahkan
replik yaitu tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat kepada hakim dan
tergugat. Sidang ke empat, dalam sidang ini tergugat menyerahkan duplik yaitu
tanggapan tergugat terhadap replik penggugat.
22
Sidang kelima yang merupakan sidang pembuktian oleh penggugat, pada
kesempatan ini penggugat mengajukan bukti-bukti yang memperkuat
penggugat dan melemahkan pihak tergugat. Apabila pembuktian ini tidak
selesai maka dilanjutkan pada sidang berikutnya, pembuktian ini dapat
dilakukan cukup sehari, tetapi biasanya bisa dua atau tiga kali atau lebih
tergantung pada kelancaran pembuktian. Kelancaran dalam pembuktian akan
mempengaruhi terhadap jangka waktu dalam peradilan.
Berikutnya pada sidang ke-enam yang merupakan pembuktian dari pihak
tergugat, jalannya sidang sama dengan sidang ke lima yaitu pembuktian oleh
penggugat.
Pada sidang ketujuh yang merupakan penyerahan kesimpulan. Disini
kedua belah pihak membuat kesimpulan dari hasil-hasil sidang tersebut, dimana
kesimpulan tersebut akan menguntungkan para pihak masing-masing.
Pada sidang kedelapan yang merupakan sidang terakhir yaitu sidang
putusan hakim, dalam sidang ini hakim membaca putusan yang seharusnya
dihadiri oleh para pihak. Setelah menjatuhkan putusan para pihak diberi
kesempatan untuk mengajukan banding, dimana banding ini diberi jangka
waktu 14 hari terhitung sejak dijatuhkannya putusan.19
Proses eksekusi dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan
Negeri ini memang memiliki kelemahan, yaitu bahwa eksekusi objek jaminan
fidusia melalui gugatan perdata biasa dirasa tidak efektif dan efisien karena
membutuhkan proses yang panjang dan biaya yang mahal, sehingga terkadang
merugikan kedua belah pihak yang bersengketa.
Kreditur juga dapat mengajukan permohonan sita jaminan revindicatoir
melalui Pengadilan Negeri dalam hal objek jaminannya adalah barang bergerak.
Sita jaminan revindicatoir berdasarkan Pasal 260 RBg, yaitu pemilik barang
bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat diminta, baik secara
lisan maupun tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang
memegang barang tersebut tinggal, agar barang tersebut disita.
19 Soeroso, 2006, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, hal 4-5.
23
Sita jaminan revindikatoir dipakai karena dalam Jaminan fidusia kreditur
atau penerima jaminan dianggap sebagai pemilik objek jaminan berupa barang
bergerak tersebut. Dalam jaminan fidusia terdapat beberapa unsur yang perlu
kita cermati, pertama-tama unsur “pengalihan hak kepemilikan” suatu benda.
Undang-undang tidak mengatakan, apa yang dimaksud dengan hak
kepemilikan, namun kiranya yang dimaksud adalah hak-hak yang melekat pada
hak milik. Hak milik intinya merupakan “hak” sesuai dengan yang diatur dalam
Pasal 570 KUHPerdata dan hak dihubungkan dengan subjek tertentu tidak lain
merupakan kewenangan (kewajiban) dan lebih dari itu, hak milik merupakan
sekelompok kewenangan.20
Jadi fidusia yang dialihkan adalah kewenangan-kewenangan si pemilik
atas benda-benda tertentu miliknya. Karena kewenangan seorang pemilik
meliputi tindakan-tindakan pemilikan (beschikkingsdaden).
Apabila kreditor (penggugat) menggugat barang-barang bergerak yang
berasal darinya atau miliknya dan barang tersebut berada di tangan tergugat
(debitur), maka Sita Revindicatoir dapat dimohonkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri sebelum putusan dijatuhkan.
Dalam proses gugatan sebelum perkaranya diputus oleh hakim yang
memeriksa, jika ada dugaan yang mendasar bahwa barang-barang bergerak
milik penggugat yang berada di tangan tergugat digelapkan oleh tergugat agar
tidak jatuh ke tangan penggugat, maka penggugat dapat mengajukan
permohonan untuk penyitaan terhadap barang-barang bergerak milik penggugat
yang berada di tangan tergugat, walaupun dalam proses persidangan belum ada
putusan, hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk mengadakan
penyitaan terhadap barang-barang bergerak milik penggugat yang berada di
tangan tergugat.21
Apabila permohonan sita revindicatoir yang diajukan penggugat
dikabulkan, maka dalam diktum putusan sita revindicatoir itu dinyatakan sah
dan berharga, dan diperintahkan agar barang yang bersangkutan diserahkan
20 Ari Wahyudi Hertanto, http://arididit.blogspot.co.id/2014/10/eksistensi-jaminan-fidusia-suatu-kajian.html. Diakses tanggal 4 Desember 201521 Sarwono, S.H., 2011, M.Hum, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Yogyakarta, hal 147.
24
kepada penggugat. Sedangkan jika permohonan ditolak, maka permohonan sita
revindicatoir yang telah dijalankan itu dinyatakan dicabut.
Mengenai permohonan Sita Revindicatoir yang diajukan oleh pengguggat
diatur dalam Pasal 226 HIR, Pasal 227 HIR, Pasal 260 RBg, Pasal 261 RBg,
Pasal 720 Rv, Pasal 721 Rv, Pasal 722 Rv, dan Pasal 728 Rv.
Pasal 226 HIR mengatur mengenai pengajuan surat pemohonan Sita
Revindicatoir oleh penggugat, yaitu:
1) Orang yang empunya barang yang tidak tetap, dapat meminta dengan
surat atau dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang di dalam
daerah hukumnya tempat tinggal orang yang memgang barang itu, supaya
barang itu disita.
2) Barang yang hendak disita itu harus dinyatakan dengan saksama dalam
permintaan itu.
3) Jika permintaan itu dikabulkan, maka penyitaan dijalankan menurut surat
perintah ketua/tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan
tentang syarat-syaratnya yang harus dituruti
4) Tentang penyitaan yang dijalankan itu diberitahukan dengan segera oleh
panitera pada yang memasukkan permintaan, sambil memberitahukan
kepadanya, bahwa ia harus menghadap persidangan dengan pengadilan
negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan
gugatannya.
5) Atas perintah ketua, orang yang memegang barang yang disita itu harus
dipanggil untuk menghadap persidangan itu juga.
6) Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara yang diperiksa dan
diputuskan seperti biasa.
7) Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan dan diperintahkan,
supaya barang yang disita itu diserahkan kepada penggugat, sedang jikka
gugatan itu ditolah, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu
Namun, bagaimanapun mengingat bahwa akta di bawah tangan tidak
memiliki kekuatan sempurna sebagaimana akta otentik, maka bagi kreditur atau
penerima jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan tidak sepenuhnya
25
mendapat kepastian hukum seperti penerima jaminan fidusia yang telah
didaftarkan.
Cara-cara eksekusi yang telah diuraikan di atas memang dapat dijadikan
jalan keluar untuk kreditur agar dapat menuntut haknya, namun demikian
belum pasti kreditur atau penerima jaminan fidusia dapat mendapat haknya
secara penuh seperti penerima jaminan fidusia yang telah didaftarkan. Karena
dengan objek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, telah menghilangkan hak
preferen dari si kreditur dan juga eksekusi jaminan fidusia tidak dapat
dilakukan secara otomatis. Sehingga satu-satunya jalan hanya mengharapkan
putusan hakim yang pada praktiknya belum tentu mengabulkan gugatan dari
penggugat itu.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Hal yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan
fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau tidak
26
memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun
mereka telah diberikan somasi.
A.1. Proses Eksekusi Dalam Perjanjian Fidusia
Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur di dalam Pasal 29 sampai dengan
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Dari
pengaturan pasal tersebut, maka dapat dilihat bahwa eksekusi Jaminan Fidusia dapat
dilakukan melalui cara-cara, antara lain:
1. Eksekusi langsung dengan titel eksekutorial yang berarti sama kekuatannya
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
2. Pelelangan Umum.
Eksekusi fidusia juga dapat dilakukan dengan jalan mengeksekusinya, oleh
penerima fidusia lewat lembaga pelelangan umum (kantor lelang), di mana
hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran tagihan
penerima fidusia.
3. Penjualan di bawah tangan.
Eksekusi fidusia juga dapat dilakukan melalui penjualan di bawah tangan
asalkan terpenuhi syarat-syarat untuk itu. Adapun syarat-syarat tersebut
adalah:
a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima
fidusia.
b. Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak.
c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Diumumkan dalam sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah
tersebut.
e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak
diberitahukan secara tertulis.
4. Eksekusi secara mendaku
27
Eksekusi fidusia dalam cara ini adalah eksekusi dengan cara mengambil
barang fidusia untuk menjadi milik kreditur secara langsung tanpa lewat suatu
transaksi apapun. Namun, hal ini dilarang oleh Pasal 33 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
5. Eksekusi terhadap barang perdagangan dan efek yang dapat diperdagangkan.
Eksekusi terhadap barang tersebut dapat dilakukan dengan cara penjualan di
pasar atau bursa sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk pasar dan bursa
tersebut sesuai dengan maksud pasal 31 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia.
6. Eksekusi lewat gugatan biasa.
Meskipun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke pengadilan, tetapi tentunya
pihak kreditor dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke
pengadilan.
A. 2. Dapat Tidaknya Objek Jaminan Fidusia dengan Akta Di Bawah Tangan Untuk
Dieksekusi
Apabila mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia maka terhadap jaminan fidusia yang tidak dilakukan
pendaftaran tidak akan dapat dilakukan eksekusi objek yang dijadikan jaminan baik
secara eksekutorial maupun pelelangan umum. Apabila terjadi cidera janji, namun
terdapat perlindungan hukum lain terhadapnya yaitu dengan jalan mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri dengan melalui proses hukum acara yang normal.
A.3. Mekanisme Eksekusi Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan
Proses eksekusi objek perjanjian fidusia dengan akta di bawah tangan dapat
dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Mengingat
bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UU No 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, fidusia
oleh undang-undang dianggap lahir pada saat yang sama dengan dicatatnya Jaminan
Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, maka Perjanjian Fidusia dengan akta di bawah
tangan dianggap belum lahir menurut UU Fidusia.
28
Proses hukum acara yang ditempuh dalam gugatan perdata di Pengadilan
Negeri meliputi susunan persidangan dalam praktik yang terdiri dari hakim tunggal
atau majelis hakim terdiri dari satu ketua dan dua hakim anggota, dan dilengkapi oleh
panitera sebagai pencatat jalannya persidangan. Dan persidangan kurang lebih akan
dilakukan 8 kali yang terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim,
apabila persidangan tersebut berjalan dengan lancar.
Kreditur juga dapat mengajukan permohonan sita jaminan revindicatoir
melalui Pengadilan Negeri dalam hal objek jaminannya adalah barang bergerak. Sita
jaminan revindicatoir berdasarkan Pasal 260 RBg, yaitu pemilik barang bergerak
yang barangnya ada di tangan orang lain dapat diminta, baik secara lisan maupun
tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang memegang barang
tersebut tinggal, agar barang tersebut disita.
Cara-cara eksekusi yang telah diuraikan di atas memang dapat dijadikan jalan
keluar untuk kreditur agar dapat menuntut haknya, namun demikian belum pasti
kreditur atau penerima jaminan fidusia dapat mendapat haknya secara penuh seperti
penerima jaminan fidusia yang telah didaftarkan. Karena dengan objek jaminan
fidusia yang tidak didaftarkan, telah menghilangkan hak preferen dari si kreditur dan
juga eksekusi jaminan fidusia tidak dapat dilakukan secara otomatis. Sehingga satu-
satunya jalan hanya mengharapkan putusan hakim yang pada praktiknya belum tentu
mengabulkan gugatan dari penggugat.
B. Saran
Eksekusi objek perjanjian fidusia dengan akta dibawah tangan, memiliki
kelemahan hukum karena tidak dilakukan pendaftarkan maka tidak akan dapat
dilakukan eksekusi objek yang dijadikan jaminan baik secara eksekutorial maupun
pelelangan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Fidusia
Dalam hal ini, kreditur atau penerima jaminan fidusia tidak mendapatkan
perlindungan hukum dari UU Fidusia tersebut apabila debitur cidera janji. Sedangkan
jika terjadi cidera janji, hal yang dapat dilakukan kreditur untuk mendapatkan haknya
29
adalah dengan jalan mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dengan melalui proses
hukum acara yang normal. Tetapi proses pengajuan gugatan ini memakan waktu yang
lama, berbiaya mahal dan putusan hakim juga belum tentu menerima gugatan
kreditur.
Saran dari kelompok kami, supaya UU Fidusia melengkapi pengaturan
mengenai eksekusi obyek perjanjian fidusia dengan akta dibawah tangan agar
terlindunginya kepentingan kreditur dimata hukum, karena pada praktiknya masih
banyak terjadi perjanjian fidusia dengan akta dibawah tangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Fuady, Munir, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sarwono, 2011, M.Hum, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar
Grafika, Yogyakarta.
30
Satrio, J, 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Soeroso, 2006, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses
Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta.
Sofwan, Sri SM, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya
Fiducia Di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Subekti, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa,Jakarta.
Widjaja G dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Salim HS, Haji. 2014, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali
Pers. Jakarta.
A. Artikel Jurnal
Ganitra Dhiksa Weda, “Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang-Piutang
Yang dibuat Oleh Notaris Dengan Jaminan Fidusia yang Tidak
Didaftarkan” , Vol. 02 Nomor. 04, Juni 2014.
B. Artikel Internet
Ari Wahyudi Hertanto, “Eksistensi Jaminan Fidusia Suatu Kajian”,
http://arididit.blogspot.co.id/2014/10/eksistensi-jaminan-fidusia-suatu-
kajian.html, diakses tanggal 4 Desember 2015
“Eksekusi Objek Jaminan”, http://melissamanis.blogspot.co.id/2011/11/eksekusi-
obyek-jaminan-fidusia.html, diakses pada tanggal 28 November 2015.
“Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah
Tangan”,
https://www.academia.edu/14735649/Eksekusi_Terhadap_Benda_Objek
_Perjanjian Fidusia_dengan_Akta_di_Bawah_Tangan, diakses pada
tanggal 29 November 2015.
“Eksekusi terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di bawah
Tangan”, http://www.bedanews.com/eksekusi-terhadap-benda-objek-
perjanjian-fidusia--dengan-akta-di-bawah-tangan, diakses pada tanggal
28 November 2015.
31
“Fidusia dan Eksekusi Jaminan Fidusia”,
http://kantorhukumkalingga.blogspot.co.id/2013/06/fidusia-dan-
eksekusi-jaminan-fidusia.html,diakses pada tanggal 29 November 2015.
Hukum online, “Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta
di Bawah Tangan”. From:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17783/eksekusi-terhadap-
benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-bawah-tangan, diakses
1 Desember 2015.
Sururudin's Weblog, “Mencermari Pokok-Pokok Undang-Undang Jaminan
Fidusia”, https://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/mencermati-
pokok-pokok-undang-undang-jaminan-fidusia/, diakses pada tanggal 28
November 2015.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
32