jahl dalam al quran

26
1 JAHL DALAM AL-QUR´AN DALAM PESRPEKTIF KITAB AL-QUR´AN DAN TAFSIRNYA (EDISI YANG DISEMPURNAKAN) MAKALAH DIPRESENTASIKAN DALAM DISKUSI MATA KULIAH “ TAFSIR KEINDONESIAAN “ DOSEN: PROF. DR. H. ASWADI, M.AG DISUSUN OLEH: DELTA YAUMIN NAHRI NIM: FO 3314011 PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR PROGRAM PASCASARJANA (S3) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2014

Upload: deyeen

Post on 11-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Redaksi Jahl Dalam Al Quran perspektif Al Quran dan Tafsir versi Kemenag

TRANSCRIPT

  • 1

    JAHL DALAM AL-QURAN

    DALAM PESRPEKTIF KITAB AL-QURAN DAN TAFSIRNYA (EDISI YANG

    DISEMPURNAKAN)

    MAKALAH

    DIPRESENTASIKAN DALAM DISKUSI MATA KULIAH

    TAFSIR KEINDONESIAAN

    DOSEN:

    PROF. DR. H. ASWADI, M.AG

    DISUSUN OLEH:

    DELTA YAUMIN NAHRI

    NIM: FO 3314011

    PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

    PROGRAM PASCASARJANA (S3)

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

    2014

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Makalah ini berusaha untuk mengekplorasi makna jahl yang dideskripsikan

    oleh al-Quran dengan berbagai bentuk kata dan konteksnya melalui pendekatan

    tematik (al-afsi>r al-mawd}u>iy). Kemudian dikonfrontasikan dengan menggunakan

    kitab tafsir yang dimiliki Kementrian Agama Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang

    Disempurnakan). Dengan harapan bahwa pengungkapan makna tersebut

    menghasilkan kesimpulan yang dapat dijadikan sumbangsih pemikiran sekaligus

    petunjuk operasional dalam kehidupan. Karena pada dasarnya sejarah manusia

    dengan segala problematika serta sebab akibatnya berulang1 dari satu waktu ke

    waktu, dan pengetahuan menjadi pintu awal menuju perubahan. Dengan

    diungkapkan berbagai kisah yang dilalui oleh umat-umat terdahulu serta akibat yang

    timbul dari perbuatan dan keingkaran mereka, maka kita yang hidup kemudian dapat

    mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. Sehingga dapat

    menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela dan melaksanakan hal-hal yang

    terpuji agar apa yang dialami oleh umat yang lalu itu tidak terulang lagi di masa

    kini.2 Umumnya pola kesalahan yang berulang dari satu umat ke umat lainnya

    bermuara pada satu sebab yaitu jahl / kebodohan. Baik bodoh karena tidak adanya

    ilmu terhadap Allah dan ajarannya ataupun bodoh karena meyakini sesuatu yang

    tidak pantas diyakini, musyrik misalnya. Lebih-lebih bodoh karena meyakini bahwa

    yang dilakukannya adalah kebenaran meskipun hakikatnya dia mengetahui bahwa

    itu salah, sebagaimana kaum Lut. Hal ini jika dikaitkan dengan pemikiran al-

    As}faha>niy ketika beliau mengartikan lafal jahl dalam al-Quran.3

    1 Quraish Shihab menukil pemikiran Syeikh Muhammad Mutawalli> al-Shara>wiy yang menyimpulkan

    bahwa : Bila al-Quran menyebut nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka itu menunjukan bahwa peristiwa serupa tidak akan terulang, tetapi bila tidak menyebut nama tokohnya maka

    peristiwa serupa atau semakna berpotensi terulang. M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahu dalam Memahami al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2013) 14.

    2 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakart: Pustaka Pelajar, 2011), 239. 3 Al-Ra>ghib al-As}faha>niy, Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qura>n (Damaskus: Da>r al-Qalam, 2011), 209.

  • 3

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. AL QURAN DAN TAFSIRNYA (EDISI YANG DISEMPURNAKAN)

    1. Latar Belakang Penulisan

    Al-Quran adalah kitab suci bukan untuk satu generasi tertentu tapi untuk

    beberapa generasi, dan bukan untuk bangsa Arab saja melainkan untuk segenap umat

    manusia, termasuk didalamnya adalah bangsa Indonesia terutama kaum

    Musliminnya, sebagaimana firman Allah:

    Artinya: Al Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu memberi peringatan

    kepadamu dan kepada orang yang (al-Quran ini) sampai kepadanya.4

    Dalam hal ini, para ulama di satu daerah mempunyai tanggung jawab yang

    besar dalam memasyarakatkan al-Quran. Berkaitan dengan ini, Departemen Agama

    Republik Indonesia mempunyai tugas sosialisasi Kitab Suci Al Quran kepada

    seluruh umat Islam di Indonesia. Salah satu cara sosialisasi tersebut adalah dengan

    menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia.5 Namun demikian, bagi mereka yang

    hendak mempelajari al-Quran secara lebih mendalam tidak cukup dengan sekedar

    terjemah, melainkan juga diperlukan adanya tafsir al-Quran, dalam hal ini tafsir al-

    Quran dalam bahasa Indonesia. Untuk menghadirkan tafsir al-Quran, Menteri

    Agama membentuk tim penyusun Al-Quran dan Tafsirnya yang disebut Dewan

    Penyelenggara Pentafsir al-Quran yan diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H.

    dengan KMA No. 90 Tahun 1972, kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8

    tahun 1973 dengan ketua tim Prof. H. Bustami A. Gani dan selanjutnya

    4 Al-Quran, 6: 19. 5 Kementerian Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan): Mukadimah

    (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), xxxiii.

  • 4

    disempurnakan dengan KMA No. 30 Tahun 1980 dengan ketua tim Prof. K.H.

    Ibrahim Hosen, LML.6

    Percetakan pertama kali dilakukan pada tahun 1975 secara bertahap berupa

    jilid I yang memuat juz 1 sampai dengan juz 3, kemudian menyusul jilid-jilid

    selanjutnya pada tahun berikutnya. Untuk pencetakan secara lengkap 30 juz baru

    dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana. Kemudian

    pada penerbitan berikutnya secara bertahap dilakukan perbaikan atau

    penyempurnaan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al

    Quran Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Perbaikan agak

    luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak mencakup perbaikan yang

    sifatnya substansial, melainkan lebih banyak pada aspek kebahasaan. Selanjutnya,

    dalam rangka upaya penyempurnaan tafsir al-Quran secara menyeluruh, Menteri

    Agama RI dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun 2003

    membentuk tim penyempurna yang diketuai oleh Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad,

    MA dengan anggota terdiri dari para cendikiawan dan ulama ahli al-Quran yang

    menjadi guru besar di berbagai perguruan tinggi agama Islam di Indonesia, dengan

    terget setiap tahun dapat menyelesaikan 6 juz sehingga diharapkan akan selesai

    seluruhnya pada tahun 2007. 7

    Penyempurnaan tafsir al-Quran secara menyeluruh dirasakan perlu sesuai

    perkembangan bahasa, dinamika masyarakat sertai ilmu pengetahuan dan teknologi

    (IPTEK) yang mengalami kemajuan pesat bila dibanding saat pertama kali tafsir

    tersebut diterbikan sekitar 30 tahun yang lalu. Namun demikian, Ketua Tim

    Penyempurnaan, Ahsin Sakho Muhammad menegaskan bahwa, yang demikian itu

    bukan berarti tafsir yang sudah ada sudah tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini,

    tapi ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar pembaca mendapatkan hal-hal yang

    baru dengan gaya bahasa yang cocok untuk kondisi masa kini.8

    6 Ibid., xxi. 7 Ibid., xxii. 8 Ibid., xxxiii.

  • 5

    2. Eksekusi Kepenulisan dan Tim Penulis

    Dalam upaya menyediakan kebutuhan masyarakat di bidang pemahaman al-

    Quran, yakni melakukan upaya penyempurnaan tafsir al-Quran yang bersifat

    menyeluruh, Departemen Agama mengawali kegiatan tersebut dengan Musyawarah

    Kerja Ulama Al-Quran pada tanggal 28 s.d. 30 April 2003. Muker tersebut

    merekomendasikan oerlunya dilakukan penyempurnaan Al-Quran dan Tafsirnya

    Departemen Agama serta merumuskan pedoman penyempurnaan tafsir yang

    kemudian menjadi acuan kerja tim tafsir dalam melakukan tugas-tugasnya, termasuk

    jadwal penyelesaian.9 Rumusan pedoman itu meliputi:

    1. Aspek Bahasa, yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

    bahasa Indonesia pada zaman sekarang

    2. Aspek substansi, yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat

    3. Aspek muna>sabah dan asba>b al-nuzu>l

    4. Aspek penyempurnaan hadis, melengkapi hadis dengan sanad dan ra>wiy

    5. Aspek transliterasi yang mengacu kepada Pedoman Transliterasi Arab-Latin

    berdasarkan SKB dua Menteri tahun 1987

    6. Dilengkapi dengan kajian ayat-ayat kauniyah yang dilakukan oleh tim pakar

    Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

    7. Teks ayat al-Quran menggunakan rasm Uthma>niy, diambil dari Mushaf al-

    Quran Standar yang ditulis ulang

    8. Terjemah al- Quran menggunakan Al-Quran dan Terjemahnya Departemen

    Agama yang Disempurnakan (Edisi 2002)

    9. Dilengkapi dengan kosakata yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu

    yang terdapat dalam kelompok ayat yang ditafsirkan

    10. Pada bagian akhir setiap jilid diberi indeks

    11. Diupayakan membedakan karakteristik penulisan teks Arab, antara kelompok

    ayat yang ditafsirkan, ayat-ayat pendukun dan penulisan teks hadist.10

    9 Ibid., xxvi. 10 Ibid.

  • 6

    Adapun Sebagai tindak lanjut dari Muker Ulama al-Quran dan juga

    Keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun 2003menetapkan Tim

    Penyempurnaan dengan susunan sebagai berikut:

    1. Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar Pengarah

    2. Prof. Dr. H. Fadhal AE. Bafadhal, M.Sc. Pengarah

    3. Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, M.A. Ketua / anggota

    4. Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. Wakil Ketua /anggota

    5. Drs. H. Muhammad Shohib, M.A. Sekretaris / anggota

    6. Prof. Dr. H. Rifat Syauqi Nawawi, M.A Anggota

    7. Prof. Dr. H. Salman Harun Anggota

    8. Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi Anggota

    9. Dr. H. Muslih Abdul Karim Anggota

    10. Dr. H. Ali Audah Anggota

    11. Dr. Muhammad Hisyam Anggota

    12. Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA. Anggota

    13. Prof. Dr. H.M. Salim Umar, M.A. Anggota

    14. Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA Anggota

    15. Drs. H. Sibli Sardjaja, LML Anggota

    16. Drs. H. Mazmur Syaroni Anggota

    17. Drs. H.M. Syatibi AH>. Anggota

    Staf Sekretariat:

    1. Drs. H. Rosehan Anwar, APU

    2. Abdul Azz Sidqi, M.Ag

    3. Jonni Syatri, S.Ag

    4. Muhammad Musaddad, S.TH.I

    Tim tersebut didukung oleh Menteri Agama selaku Pembina, K.H. Sahal

    Mahfudz, Prof. K.H. Ali Yafie, Prof. Drs. H. Asmuni Abd. Rahman, Prof. Drs. H.

    Kamal Muchtar, dan K>.H. SyafiI Hadzami (Alm) selaku Penasehat, serta Prof . Dr.

  • 7

    H.M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, MA selaku

    Konsultan Ahli/Narasumber.11

    Sebagai respon atas saran dan masukan dari para pakar, penyempurnaan

    Tafsir Al Quran Departemen Agama telah memasukan kajian ayat-ayat kawniyah

    atau kajian ayat dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini

    dilakukan oleh tim pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu:12

    1. Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt, M.Sc. Pengarah

    2. Dr. H. Hery Harjono Ketua/Anggota

    3. Dr. H. Muhammad Hisyam Sekretaris/Anggota

    4. Dr. H. Hoemam Rozie Sahil Anggota

    5. Dr. H. A. Rahman Djuwansah Anggota

    6. Prof. Dr. Arie Budiman Anggota

    7. Ir. H. Dudi Hidayat, M.Sc. Anggota

    8. Prof. Dr. H. Syamsul Farid Ruskanda Anggota

    3. Metode Penafsiran

    Kitab Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) berisi 30 juz

    ayat-ayat al-Qura>n yang terbagi menjadi 10 jilid berukuran besar plus satu jilid

    Mukadimah Al-Quran dan Tafsirnya. Pada setiap jilidnya berisi tiga juz. Pada tahun

    2007 tim tafsir telah menyelesaikan serluruh kajian dan pembahasan juz 1 s.d. 20,

    yang hasilnya diterbitkan secara bertahap. Pada tahun 2004 diterbitkan juz 1 s.d. 6,

    pada tahun 2005 telah diterbitkan juz 7 s.d. 12 dan pada tahun 2006 diterbitkan juz

    13 s.d. 18, pada tahun 2007 juz 19 s.d. 24, dan pada tahun 2008 diterbitkan juz 25

    s.d. 30 beserta Mukaddimahnya.

    a. Sumber Penafsiran

    11 Ibid. 12 Ibid.

  • 8

    Sumber penafsiran yang digunakan dalam Kitab Al-Quran dan Tafsirnya

    (Edisi yang Disempurnakan) adalah: bi al-mathu>r,13 baik menafsirkan al-Qura>n

    dengan al-Qura>n maupun dengan hadis/riwayat. Karena hampir disetiap ayat

    ditafsirkan dengan ayat al-Quran lainnya. Sebagai contoh saat menafsirkan lafal

    Shayt}a>n didalam al-Quran, 2:36 menafsirkan dengan al-Quran, 6:112.14 Dan

    saat menafsirkan ayat riba di dalam al-Quran, 2:275 mencantumkan hadits-hadits

    terkait riba.15

    Lebih jauh, sumber bi al-mathu>r pada kitab ini dilengkapi dengan

    pandangan ulama-ulama tafsir sebelumnya-meskipun terhitung sedikit- dan

    diperkuat dengan kajian ayat-ayat kawniyah, yakni perspektif dan penemuan

    ilmiah (IPTEK) secara sederhana sebagai refleksi kemajuan teknologi yang

    sedang berlangsung saat ini dan juga untuk mengemukakan kepada beberapa

    kalangan saintis bahwa al-Quran berjalan beriringan bahkan memacu kemajuan

    teknologi. Misalnya saat menafsirkan al-Quran 2:172 dipaparkan tentang

    bahaya babi secara fakta ilmiah.16

    Metode penafsiran yang bersumber dari

    penggabungan tersebut lazim dinamakan bi al-iqtira>n (memadukan antara bi al-

    mathu>r dan bi al-ray). 17 Dengan corak penafsiran Ilmiy.

    b. Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan

    Dari objek yang ditafsirkan, karya ini mengikuti alur tertib urutan

    ayat/surat yang menjadikannya tergolong kepada tafsir tah}li>li> (analitik), yaitu

    13 Yang dimaksud dengan tafsir bi al-mathu>r adalah tafsir yang terdapat dalam al-Quran atau as-

    Sunnah atau pendapat para sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt tentang penafsiran al-Quran berdasarkan as-Sunnah an-Nabawiyah, dengan demikian tafsir ini adakalanya menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, atau menafsirkan al-Quran dengan as-Sunnah atau menafsirkan al-Quran dengan pendapat yang yang dikutip dari para sahabat. Lihat Muhammad Abd al-Az}i>m al-Zarqani>, Mana>hil al-Irfa>n, Vol. I. (al-Nashr wa al-Tauzi: Da>r al-Fikr, tt), 12. Lihat juga, Manna> al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> Ulu>m al-Quran (Surabaya: al-Hida>yah, 1973), 347.

    14 Kementerian Agama RI, Al Quran, vol. 1, 85. 15 Ibid., 420. 16 Ibid., 253. 17 Tafsir bi al-rayi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran

    mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang

    ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asba>b al-nuzu>l, al-na>sikh wa al-mansu>kh, dan sebagainya. Lihat, Muhammad Husayn al-Dhahabi>, al-Tafsi>r al-Mufassiru>n (Kairo: Dar al-H}adith, 2005), Vol. 1. 221. Lihat juga, Ridwan Nasir, Memahami Al-Qura>n, Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqa>rin, (Surabaya, CV. Indra Media, 2003), 15

  • 9

    salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-

    Qura>n dari seluruh aspeknya,18

    dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-

    Qura>n sebagaimana tercantum dalam mus}h}af.19 Tim Penulis berusaha

    menjelaskan kandungan al-Qura>n dengan menyajikan bahasan sesuai dengan

    tema pokok surah. Hal ini mirip dengan metode yang digunakan Quraish Shihab

    dalam Tafsir al-Misbah. Wajar saja mengingat beliau diposisikan sebagai

    Konsultan Ahli/ Narasumber bersama Said Agil Al Munawar. Menurutnya,

    dalam setiap surat al-Qura>n pasti terdapat tema pokok yang dibahas. Dengan

    memperkenalkan 114 surah beserta intinya, al-Qura>n akan mudah dikenal dan

    dipahami oleh masyarakat.20

    c. Keluasan Penjelasan dan Sistematika Penafsiran

    Penjelasan yang dihidangkan Tim Penulis tergantung konteks ayat yang

    disajikan. Penyajian penafsiran ayat yang berbicara sejarah berbeda dengan ayat

    yang bernuansa kawniyah. Namun demikian, cakupan penjelasan yang terdapat

    pada kitab tafsir ini tidak lebih luas jika dibandingkan dengan kitab tafsir

    tahli>liy lainnya semisal Al Misbah Karya M. Quraish Shihab lebih-lebih yang

    berbahasa Arab. Hal ini menjadi sandaran bagi penulis untuk

    menggolongkannya dari sisi keluasan penjelasan- sebagai al-tafsi>r al-ijma>liy.

    Demikian ini karena ketika menafsirkan suatu ayat atau surat al-Qura>n, Tim

    Penulis menjelaskannya dengan porsi yang terkesan biasa. Bisa jadi, yang

    demikian ini, dimaksudkan agar karya ini bisa diterima secara luas bukan hanya

    mereka yang memang kecenderungannya pada kajian tafsir. Sebagai contoh

    misalnya, penjelasan kosa kata sangat minim, rata-rata hanya satu kosakata

    yang dijelaskan dari setiap ayatnya. Nampaknya mereka tidak ingin terjebak

    dalam penjelasan bahasa. Selain tujuan diatas juga dikarenakan tidak

    dirumuskan dalam pedoman penyempurnaan tafsir oleh Musyawarah Kerja

    Ulama Al Quran yang menjadi acuan kerja tim tafsir.

    18

    Abd. Al-H{ayy Al-Farmawi, Al-Bida>yah Fi> Tafsi>r al-Maud}ui>, (Kairo: Al-H{ad}a>rah Al-Arabiah, 1977), 23

    19Mohammad Bukhori, Jahiliyah dalam al-Qura>n; Studi Komparatif Interpretasi Sayyid Qut}ub, 52. 20 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I. (Jakarta: Lentera Hati, 2007), xii.

  • 10

    Sistematika penulisan penafsiran dimulai dengan pemberian judul yang

    disesuaikan dengan kandungan kelompok ayat yang akan ditafsirkan, kemudian

    menuliskan kelompok ayat terlebih dahulu dengan rasm standar dari Mushaf

    Standar Indonesia yang sudah banyak beredar. Langkah berikutnya adalah

    menerjemahkan kelompok ayat dengan menggunakan Al-Quran dan

    Terjemahnya edisi 2002 yang telah diterbitkan oleh Kementerian Agama tahun

    2004. Kosakata dan Muna>sabah (korelasi antar ayat) juga tidak dilupakan oleh

    Tim sebelum ia menafsirkan ayat demi ayat dengan berpijak pada nas}-nas} yang

    s}ah{i>h}. Muna>sabah yang digunakan dalam tafsir ini terbatas pada dua macam

    saja, yaitu muna>sabah antar satu surat sebelumnya dan muna>sabah antar

    kelompok ayat sebelumnya. Jika ayat tersebut terdapat sabab al-nuzul juga

    dicantumkan setelah pembahasan muna>sabah. Baru kemudian menafsirkan ayat

    dan ditutup dengan kesimpulan dengan menggunakan bahasa yang lugas dan

    ringkas. Di samping itu, terkadang mengaitkan isi kandungan al-Qura>n dengan

    problematika kehidupan masa kini, sebagai contoh saat menjelaskan ayat riba>.

    Hanya saja penjelasan ayat riba> terlalu tekstual, mendeskripsikan hadits-hadist

    terkait kemudian mengambil kesimpulan singkat bahwa bunga bank adalah

    bagian dari riba>. Seharusnya lebih kontekstual dengan menjelaskan berbagai

    bentuk bunga / riba> yang berkembang saat ini, yang hampir sulit dibedakan

    mana yang haram dan mana yang dibolehkan.

    B. AYAT-AYAT JAHL DALAM AL-QURAN

    1. Struktur Ayat-ayat Jahl Dalam al-Quran

    Pengungkapan kata jaha>lah dengan berbagai bentuknya (ishtiqa>q) tersebar

    dalam 17 surat dengan total penyebutan mencapai 24 ayat. Pertama, dalam bentuk

    mas}dar (invinitif, kata benda yang tidak terkait dengan waktu) sebanyak sembilan

    kali. Kedua, dalam bentuk fiil mud}a >ri (kata kerja yang menunjukkan waktu

    sekarang, sedang berlangsung, atau akan berlangsung) sebanyak lima kali. Ketiga,

    dalam bentuk ism fa>il (pelaku/subyek) sebanyak sepuluh kali. Dari 24 ayat tersebut,

  • 11

    15 diantaranya makkiyah, dan sisanya madaniyah. Berikut tabel lengkap sesuai

    dengan urutan kronologi turunnya wahyu.21

    No Nama

    Surat

    No

    Surat

    No

    Ayat

    Makkiah /

    Madaniah

    Urutan

    Wahyu

    Istihqa>q

    1 Al Ara>f 7 138 Makkiah 39 mud}a>ri

    2 Al Ara>f 7 199 Makkiah 39 ism fa>il

    3 Al Furqa>n 25 63 Makkiah 42 ism fa>il

    4 Al Naml 27 55 Makkiah 48 mud}a>ri

    5 Al Qas}as 28 55 Makkiah 49 ism fa>il

    6 Hu>d 11 29 Makkiah 52 mud}a>ri

    7 Hu>d 11 46 Makkiah 52 ism fa>il

    8 Yu>suf 12 33 Makkiah 53 ism fa>il

    9 Yu>suf 12 89 Makkiah 53 ism fa>il

    10 Al Ana>m 6 35 Makkiah 55 ism fa>il

    11 Al Ana>m 6 54 Makkiah 55 Mas}dar

    12 Al Ana>m 6 111 Makkiah 55 mud}a>ri

    13 Al Zumar 39 64 Makkiah 59 ism fa>il

    14 Al Ah}qa>f 46 23 Makkiah 66 mud}a>ri

    15 Al Nah}l 16 119 Makkiah 70 Mas}dar

    16 Al Baqarah 2 67 Madaniah 87 ism fa>il

    21 Disusun berdasarkan software Zekr version 1.1.0. http://zekr.org

  • 12

    17 Al Baqarah 2 273 Madaniah 87 ism fa>il

    18 Ali Imran 3 154 Madaniah 89 Mas}dar

    19 Al Ah}za>b 33 33 Madaniah 90 Mas}dar

    20 Al Ah}za>b 33 72 Madaniah 90 Mas}dar

    21 Al Nisa> 4 17 Madaniah 92 Mas}dar

    22 Al H{ujura>t 49 6 Madaniah 106 Mas}dar

    23 Al-Fath} 48 26 Madaniah 111 Mas}dar

    24 Al Ma>idah 5 50 Madaniah 112 Mas}dar

    Diantara kata yang yang merupakan sinonim jahl adalah safaha. Kata

    () safaha berasal dari kata ( ) sa-fa-ha yang berarti

    bodoh/merendahkan/tolol.22

    Di dalam al-Quran kata safaha disebutkan

    sebanyak 10 kali. Pada ayat-ayat tersebut kata safaha () menurut versi

    DEPAG diartikan dengan bodoh atau kurang akal atau lemah akalnya atau

    belum sempurna akalnya. Menurut Quraish Shihab kata safaha digunakan untuk

    orang yang lemah akalnya atau tolol, karena pelakunya melakukan aktfitas

    tanpa sadar, baik karena tidak tahu, atau enggan tahu, atau tahu tapi melakukan

    yang sebaliknya akibat keangkuhannya.23

    Sebagaimana dalam al-Quran surat

    al-Ana>m ayat 140, sebagai berikut:

    .

    Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, karena

    kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang

    Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan

    22 Louis Maluf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-Ala>m (Beiru>t: Da>r al-Masriq, 1988), 338. 23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h}, Vol. IV, 302.

  • 13

    terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka

    mendapat petunjuk.24

    Selain itu kata safaha digunakan untuk orang yang lemah akalnya

    dikarenakan sakit, sangat tua, atau karena ia belum baligh. Sebagaiman dalam

    surat al-Nisa ayat 5, sebagai berikut:

    .

    Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum

    sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang

    dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan

    pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata

    yang baik.25

    Bisa dikatakan, jahl bersifat internal karena ketiadaan ilmu didalam jiwa,

    sementara safah bersifat eksternal karena pengarai yang buruk akibat dari

    lingkungan. Dan lemah akal yang disebabkan usia baik terlalu tua ataupun

    masih terlalu anak-anak, namun tidak selamanya berkonotasi negatif. Antara

    jahl dan safah terdapat keumuman dan kekhususan, jika berupa tingkatan, jahl

    dengan arti ketiadaannya ilmu didalam jiwa adalah level yang rendah, biasanya

    tingkatan anak-anak masih minim ilmu, dan pada kondisi tua banyak ilmu

    yang hilang karena pikun. Tingkatan yang paling tinggi adalah ketika

    kebodohan tersebut dikarenakan meyakini sesuatu yang bertentangan dengan

    fakta yang seharusnya.

    2. Makna Asal

    Makna dasar merupakan sebuah kata yang selalu terbawa bersamanya

    dimanapun kata itu berada dan selalu merupakan inti konseptual kata tersebut,

    sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri dimanapun kata itu diletakkan dan

    bagaimanapun ia digunakan. Cara kerja pencarian makna dasar diperoleh melalui

    24 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, 147.

    25 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, 78.

  • 14

    perhatian makna leksikal maupun gramatikal. Semua makna baik bentuk dasar

    maupun turunan yang ada dalam kamus itu disebut dengan leksikal. Jadi, kata-kata

    tersebut memiliki makna dan dapat dibaca melalui kamus. Sedangkan makna

    gramatikal yaitu makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang

    muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat.26

    Makna lafal ja-ha-la () merupakan lawan kata ilm (), kasar tabiatnya

    /bersikap tidak ramah/berpaling dari/menjauh (), dungu/tolol/bodoh/naik darah

    ().27 Sinonim dari kata () jahala adalah () al-khiffatu (kekurangan berfikir)

    atau () istakhaffahu (meremehakan/menganggap ringan), () fasakha

    (bodoh/lemah akalnya), () d}afut}a (bodoh/dungu), () safaha

    (merendahkan/bodoh/tolol/jelek akhlaknya), () ghalaz}a (kasar dalam perangai).28

    Sedangkan antonimnya adalah () al-ilm (pengetahuan)29, () alima

    (mengetahui)30

    , () ja>malahu31 (bersikap baik dan ramah), () al-t}umani>nah

    (ketenangan), ()al-marifah (pengetahuan), () al-jusum32 (perkara-perkara

    besar).

    Dalam Mujam Mufrada>t al-Alfaz} al-Quran makna kata al-jahl dibedakan

    menjadi tiga tingkatan, yaitu kosongnya jiwa dari ilmu, dan ini merupakan makna

    asal. Kedua meyakini sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan (tidak layak

    dipercayai). Ketiga, melakukan sesuatu yang salah (tidak sesuai dengan kebenaran),

    baik mengerjakannya itu dengan keyakinan bahwa pekerjaan itu benar atau meyakini

    bahwa perbuatannya itu memang salah.33

    Pada masa-masa pra Islam, kata jahl sama sekali tidak mempunyai konotasi

    relegius, jahl semata-mata hanyalah sifat pribadi manusia, hanya saja sifat tersebut

    26 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein, dkk, (Yogyakarta: Tiara

    Wacana, 2003), 11. 27 Louis Maluf, al-Munjid..., 108. 28 Ibid,. 29 Al-Quran, (46): 23, al-Quran, (11):46. 30 Al-Quran, (12): 89. 31

    Louis Maluf, al-Munjid..., 108. 32 Ahmad bin Fa>ris bin Zakariya> al-Qazwaini al-Ra>zi>, Majmal al-lughah li ibn Fa>ris, Vol. I (Beiru>t:

    Muassasah al-Risa>lah, 1986), 201. 33 Al-Ra>ghib al-As}faha>niy, Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qura>n (Damaskus: Da>r al-Qalam, 2011), 209.

  • 15

    sangat khas. Sifat tersebut sesungguhnya merupakan ciri khas Arab pra Islam.

    Konsep jahl begitu lekat dengan psikologi orang-orang Arab pra Islam, sehingga

    wajar saja kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi jahiliyah.34

    Sebagai contoh syair bangsa Arab pra Islam yang menggunakan kata jahl

    degan arti tidak mengetahui, (kebodohan) lawan kata ilm, kasar perangainya,

    mendidih, dan semacamnya, seperti dalam syair oleh al-Dhubya>ni>:

    # 35

    Nafsu-nafsu itu mengajak kepada kamu dan kedudukan itu membutakan kamu

    (sesuatu yang membawa kamu keapada tidak mengetahui). Bagaimana

    sesorang bertingkah seperti bayi, sedangkan masa tua sudah habis.

    3. Penafsiran Jahl di Dalam Kitab Al-Quran dan Tafsirnya

    Jahl yang terdapat pada surat al-Araf ayat 138 ditafsirkan dengan: Orang-

    orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak mengetahui keharusan

    menyembah hanya kepada Allah semata dengan menyekutukan-Nya dengan sesuatu

    pun, tidak mengetahui akan keharusan beribadah langsung ditujukan kepada Allah

    tanpa mengambil perantara dengan sesuatupun.36 Menurut kitab tafsir ini,

    keimanan yang dimiliki bani Israil seperti digambarkan diatas, disebabkan

    kebodohan dan pengaruh kepercayaan nenek moyang. Keadaan seperti ini terdapat

    juga pada manusia pada umumnya dan kaum Muslimin khususnya, serta dijumpai

    pula pada tiap-tiap periode dalam sejarah sejak masa Nabi Muhammad sampai

    kepada akhir zaman kelak.37

    Ayat ini merupakan ayat pertama yang terdapat didalamnya lafal jahl

    (tajhalu>n). Berkedudukan sebagai fil mud{a>ri Konotasi makna yang terkandung

    pada ayat ini sesuai dengan konteks yang berlaku saat itu, yaitu masa awal Islam.

    34 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 227. 35 Muh}ammad bin Mukrim Ibn Manz}u>r > al-Ifri>qi>, Lisa>n al-Arab, Vol. II 130. Lihat juga Ahmad bin

    Fa>ris bin Zakariya> al-Qazwaini al-Ra>zi>, Majmal al-lughah li ibn Fa>ris, Vol. I (Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1986), 201.

    36 Kementerian Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya, vol. 3, 467. 37 Ibid.

  • 16

    Yang dihadapi adalaah kaum musyrik Makkah yang masih kental dengan budaya

    nenek moyangnya, penyembahan berhala. Begitu juga dari sisi perilaku memiliki

    kemiripan dengan kaum bani Israil. Yang membedakan adalah strata social antara

    kaum musyrik Makkah yang merupakan pembesar kaum, sementara bani Israil

    merupakan kaum marginal, bermata pencaharian sebagai budak Firaun, bukan hanya

    golongan yang rendah tetapi juga pengetahuannya, hampir tidak ditemukan cerdik

    cendikiawan yang berasal dari mereka, semua cendikiawan berasal dari bangsa

    pribumi Mesir. Strata ini menghasilkan pola pikir yang berbeda, pola pikir para

    pembesar adalah kebebasan mutlak, tidak suka diatur apalagi disalahkan. Sedangkan

    bani Israil bersifat apatis, tidak ada cita-cita untuk membebaskan diri dari

    perbudakan Firaun, tidak ada keinginan kuat untuk merdeka. Hal ini tercermin pada

    reaksi dan sikap mereka dalam menerima ajakan Musa, sedikit saja halangan dan

    kesulitan yang mereka hadapi, dengan spontan mereka menyatakan rasa putus asa

    kepada Musa. Perbedaan strata ini tidak lantas menghilangkan jurang intelektual.

    Musyrik Makkah maupun Bani Israil tetap saja dalam kebodohannya. Yang satu

    menolak kebenaran karena mereka sudah merasa besar dan benar, apalagi yang

    menyeru bukan dari sesasam pembesar. Sementara yang satu menerima ajakan Musa

    tetapi memilih untuk menyembah dengan cara yang mereka kehendaki, adanya

    bentuk fisik sesembahan, sesuatu yang mudah dijangkau oleh akal mereka yang

    terbatas.

    Ayat berikutnya al-Araf: 199, al-Furqa>n: 63 dan al-Qas{as{: 55 lafal

    ja>hil/ja>hilu>n berposisi sebagai subjek (fa>il) ditafsirkan sebagai orang yang bersikap

    kasar dan menimbulkan gangguan gangguan terhadap para Nabi dan tidak dapat

    disadarkan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menghindarkan diri dari

    orang-orang jahil, tidak melayani mereka dan tidak membalas kekerasan mereka

    dengan kekerasan pula.38

    Akan tetapi hendaklah menjawab dengan ucapan yang baik

    dan mengandung nasihat dan harapan semoga mereka diberi petunjuk oleh Allah.

    Konteks ayat ini masih tetap berlaku, karena dimanapun dakwah ditegakan selalu

    38 Ibid., 556.

  • 17

    saja ada gangguan, apalagi pada surat al-Furqa>n objek pembicaraannya berkaitan

    dengan sifat-sifat hamba-hamba Allah yang Maha Maha Pengasih (Iba>d al-

    Rah}ma>n).39

    Pada surat al-Naml: 55 membicarakan perbuatan cabul kaum Lut, lafal jahl

    dengan bentuk fiil mud }a >ri (tajhalu>n) dimaknai sebagai Orang-orang yang tidak

    mau mengetahui tujuan Tuhan menciptakan manusia yang terdiri atas laki-laki dan

    perempuan. Tidak mengetahui kedudukan dalam masyarakat, dan tidak mengetahui

    pula rencana yang besar yang akan menimpa manusia dan kemanusiaan seandainya

    teta mengerjakan perbuatan yang demikian itu (homoseksual)40

    Pada surat Hu>d: 29 lafal tajhalu>n dimaknai: tidak mengetahui tentang

    hakikat nilai iman meskipun yang memiliki iman itu orang yang rendah dalam kasta

    sosial masyarakat. Penentang nabi Nuh adalah mereka yang terhormat

    dimasyarakatnya. Menurut mereka, ukuran berharga tidaknya dinilai dari pangkat

    dan kepemilikan harta. Saat mereka mengajukan syarat agar mereka beriman yaitu

    dengan mengusir orang-orang yang dianggapnya hina karena kemiskinan, nabi Nuh

    menjawabnya dengan kalimat, Sungguh mereka akan bertemu dengan Tuhannya,

    dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum yang bodoh41 Sementara pada

    surat Hu>d: 46 lafal jahl dalam bentuk fa>il (al-Ja>hili>n) ditafsirkan: Allah melarang

    Nuh memohon kepadaNya tentang sesuatu yang belum diketahuinya dengan yakin

    bahwa permohonan itu sudah wajar di kemukakan atau tidak. Sesungguhnya Allah

    memperingatkan Nuh as supaya ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang

    jahil yang memohon sesuatu kepadaNya menurut keinginan nafsunya atau untuk

    keuntungan keluarga dan kekasihnya tanpa mengetahui apa yang boleh dan patut

    diminta.42

    Pada surat Yu>suf: 33 lafal jahl sebagai fa>il (al-Ja>hili>n) dalam konteks

    keteguhan hati dan iman nabi Yusuf dalam menghadapai rayuan dan bujukan

    39

    Ibid., vol. 7, 46. 40 Ibid., vol. 7, 221. 41 Ibid., vol. 4, 408. 42 Ibid., 423.

  • 18

    perempuan dimaknai dengan Orang bodoh yang sesat jalan dan mudah terperdaya

    hingga terjerumus kedalam lembah kehinaan dan maksiat.43

    Pada surat Al Ana>m (6) : 35 al-Ja>hili>n dimaknai dengan: Orang yang tidak

    tahu tentang sunah-Nya, sehingga mencita-citakan sesuatu yang tidak sesuai dengan

    sunatullah.44 Pembicaraan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw agar tidak

    merasa keberatan, marah dan sedih atas keingkaran orang-orang musyrik yang

    berpaling dari agama Allah dan mengajukan permintaan yang beraneka ragam agar

    mereka beriman. Allah bahkan menegaskan, jika nabi keberatan maka dipersilahkan

    untuk membuat lorong di bumi atau tangga menuju ke langit untuk mendapatkan

    bukti lain untuk memuaskan mereka. Kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah

    menjadikan mereka semua dalam petunjuk, hanya saja sunatullah berkata lain, maka

    dari itu janganlah termasuk orang yang bodoh terhadap sunatullah.

    Sementara pada ayat 54, jahl sebagai mas}dar (bijaha>lah) dimaknai dengan

    kebodohan atau ketidaktahuan mereka atas kejahatan yang diperbuat.45 Ditujukan

    kepada mereka yang melakukan kejahatan karena kebodohan dan kemudian mereka

    bertobat melakukan kebaikan. Yang tergolong dalam kebodohan dalam maksiat

    menurut tafsir ini adalah ketidaktahuan bahwa yang diperbuat adalah dosa dan

    mengerjakan larangan karena tidak sadar lantaran sangat marah atau karena

    dorongan hawa nafsu, dan kesalahan yang diperbuat dilakukan tanpa kemauan dan

    ikhtiarnya.46

    Kebodohan dalam konteks ini bukan kebodohan yang merupakan

    antonim dari pengetahuan, karena jika ini yang dimaksud tentu saja pelakunya tidak

    berdosa. Yang dimaksud jaha>lah disini adalah kecerobohan, dalam arti yang

    bersangkutan mestinya mengetahui bahwa hal tersebut terlarang, atau memiliki

    kemampuan untuk tahu, atau memiliki sedikit informasi menyangkut

    keharamannya, namun demikian ia melangkah melakukannya, didorong oleh nafsu.

    Ada juga para ulama berpendapat bahwa penyebutan kata jaha>lah disini untuk

    mengisyaratkan bahwa kebanyakan dosa lahir akibat dorongan nafsu dan kelalaian

    43

    Ibid., 524. 44 Ibid., vol. 3, 106. 45 Ibid., 130. 46 Ibid.

  • 19

    memikirkan akibat-akibat buruknya. Hal ini diungkapkan dalam surat al-Nisa ayat

    17, surat al-Nahl ayat 119, al-H}ujura>t ayat 6.

    Pada ayat berikutnya, 111, yajhalu>n ditujukan kepada orang-orang kafir

    yang miminta kepada Nabi Muhammad untuk memperlihatkan kepada mereka

    malaikat dan bukti-bukti lainnya yang bisa dilihat oleh mata kepala mereka, hanya

    saja permintaan ini bukan untuk mendapatkan petunjuk melainkan hanya

    menunjukan permusuhan dan keingkaran mereka. Sehingga ditegaskan kepada

    mereka bahwa, Mereka tidak mengetahui bahwa iman tidak perlu disangkutpautkan

    dengan melihat tanda-tanda kebenaran, sebab telah menjadi kebenaran bahwa

    keimanan adalah semata-mata anugerah dari Allah Taala.47

    Pada surat al-Zumar: 64 al-Ja>hilu>n dimaknai dengan: Orang yang tidak

    tahu tentang bukti-bukti keesaan Allah.48 Hal ini ditujukan kepada orang kafir

    Qurays yang memberi tawaran kepada Nabi Muhammad harta yang tak terbatas

    sehingga ia menjadi yang terkaya dengan syarat Nabi berhenti mencela tuhan

    mereka. Sedangkan al-ja>hili>n pada surat al-Baqarah: 67 dimaknai dengan: orang

    yang suka mengolok-olok.49 Berbeda dengan lafal al-Ja>hil pada ayat sebelumnya,

    pada ayat 273 tidak dimaknai secara gamblang, namun secara tersirat berarti orang

    yang tidak tahu antonim dari ilm (mengetahui).50

    Ayat-ayat terakhir sesuai urutan turnunnya wahyu yang menyebutkan lafal

    jahl tersisa tujuh ayat, kesemuanya dalam bentuk mas}dar. Empat ayat menggunakan

    lafal ja>hiliyyah, dua ayat menggunakan lafal jaha>lah, dan satu ayat menggunakan

    lafal jahu>la(n). Ketiga bentuk lafal jahl tersebut mempunyai makna yang berbeda.

    Lafal ja>hiliyyah pada surat Ali Imran: 154, al-Fath: 26 dan Al-Ahza>b: 33 dimaknai

    dengan: Orang-orang jahiliah yang hidup pada masa dahulu sebelum zaman Nabi

    Muhammad.51 Dan al-Fath: 26 berbunyi h}amiyyat al-Ja>hiliyyah. H{amiyyah

    dimaknai sebagai keangkuhan, keras kepala dan kedengkian. Dan al-ja>hiliyyah

    47 Ibid. 212. 48

    Ibid., vol. 8, 474. 49 Ibid., vol. 1, 128. 50 Ibid., 416. 51 Ibid., vol. 8, 5.

  • 20

    dimaknai sebagai zaman jahiliyah.52

    Tidak ada penjelasan lebih detail terkait definisi

    jahiliyah yang di paparkan tim penulis. Hanya menunjukan sebuah zaman sebelum

    kedatangan Islam.53

    Sedangkan makna jahl dengan bentuk jaha>lah dimaknai dengan

    kecerobohan, sebagaimana dipaparkan diatas. Sementara pasa surat al-Ahza>b: 72

    jahu>la(n) di dalam ayat ini dimaknai dengan: bodoh karena tidak memikirkan

    akibat-akibat dari penerimaan wahyu.54 Sifat ini diberikan Allah kepada manusia

    karena manusia yang dianggap lebih berpotensi berani menerima amanat berupa

    tugas-tugas keagamaan dari Allah disaat langit, bumi dan gunung enggan menerima

    amanat ini dikarenakan konsekwensinya yang berat, yaitu siksa di neraka jika

    menghianati amanat tersebut. Tetapi, karena pada diri manusia terdapat ambisi dan

    syahwat yang sering mengelabui mata dan menutup pandangan hatiunya, Allah

    menyifatinya dengan amat zalim dan bodoh karena kurang memikirkan akibat-akibat

    dari penerimaan amanat ini.55

    4. Karakteristik Kebodohan

    Kesimpulan yang didapat dari penelusuran makna jahl menurut kitab tafsir

    Al-Quran dan Tafsirnya yang ditulis oleh Tim Penulis Kementerian Agama adalah

    bahwa makna jahl tidak melenceng dari makna jahl yang didapat dari penelusuran

    bahasa. Hanya saja makna tersebut berkembang menyesuaikan konteks ayat itu

    ditujukan. Dari keduapuluh empat ayat yang menyertakan lafal jahl didalam al-

    Quran, maknanya berorientasi kepada hal-hal berikut:

    52 Ibid., vol. 9, 379. 53 Penulis lebih setuju dengan pendapat Sayyid Qut}b berkaitan term Ja>hiliyyah. Menurtunya, ja>hiliyah tidak hanya pada saat tertentu akan tetapi suatu tatanan, aturan, sistem yang dapat dijumpai kemarin,

    hari ini, dan esok. Yang menjadi tolak ukur adalah ke-ja>hiliyah-an sebagai kebalikan dari Islam dan bertentangan dengan Islam. Dan manusia yang berada dalam syariat hukum buatan manusia, apapun bentuknya, dan dia menerimanya, maka dia berada dalam ke-ja>hiliyah-an. Sayyid Qut}b, fi> Z}ila>l al-Quran (Beiru>t: Da>r al-Shuru>q, 1412 H), Vol. II, 904. 54 Ibid., 50. 55 Ibid.

  • 21

    a. Tidak mengetahui tentang Allah meliputi: hakikat iman terhadap Allah,

    sifat-sifat-Nya, keharusan menyembah-Nya, hukum-hukum Allah yang

    berlaku di dunia dan di Akhirat, serta tidak mengetahui akibat dari

    menyekutukan Allah. Makna ini umumnya menggunakan bentuk kata

    kerja (fiil mud}a>ri). Baik bercerita tentang umat terdahulu, maupun

    berkaitan dengan umat Nabi Muhammad. Penggunaan fiil mud{a>ri

    untuk menggambarkan masa lampau mengindikasikan bahwa

    kebodohan tentang Allah bukan hanya saat firman Allah diturunkan,

    melainkan berlanjut hingga al-Quran tidak berlaku lagi (hari kiamat).

    b. Ayat ayat yang mencantumkan lafal jahl dalam bentuk fa>il mempunyai

    makna dasarnya tetap sama yaitu ketiadaan ilmu didalam jiwa. Namun

    demikian terkadang dimaknai sebagai orang yang berperangai kasar,

    suka mengolok-olok. Terkadang juga dimaknai tidak mengetahui

    tentang Allah, sesuai makna dasarnya.

    c. Lafal jahl dalam bentuk mas}dar mempunyai makna yang lebih beragam.

    Jika masd}ar tersebut dalam bentuk jaha>lah, maka yang dimaksud jaha>lah

    disini adalah kecerobohan, kebodohan dalam konteks ini bukan

    kebodohan yang merupakan antonim dari pengetahuan, karena jika ini

    yang dimaksud tentu saja pelakunya tidak berdosa. Jika mas}dar tersebut

    dalam bentuk ja>hiliyyah maka menunjuk kepada suatu masa sebelum

    kedatangan Islam. Selain itu juga menunjuk pada suatu tatanan, aturan,

    sistem yang dapat dijumpai kemarin, hari ini, dan esok. Dan jika mas}dar

    berbentuk jahu>l maka maknanya kembali kepada makna asal, tidak

    mengetahui.

    5. Solusi Kebodohan

    a. Iman

    Orang yang beriman dikatakan mukmi>n. Kata tersebut kalau merujuk

    pada makna dasarnya bermakna: (a) Orang yang mempercayai. Maksudnya,

    orang mukmin adalah orang yang mempercayai (membenarkan) seluruh yang

  • 22

    disampaikan oleh Nabi Muh}ammad. Orang mukmin juga adalah orang yang

    mempercayakan (tawakkal, memasrahkan) dirinya sendiri dan semua

    urusannya kepada Allah. (b) Orang yang menjaga amanah (dapat dipercaya).

    Atau orang mukmin dikatakan orang yang menjaga amanat karena mereka

    konsisten dan berkomitmen dengan perjanjian dan pengakuan mereka akan ke-

    tuhan-an Allah pada zaman primordial dulu. (c) Orang yang mengamankan.

    Maksudnya, karena ke-iman-an mereka, mereka telah mengamankan diri

    mereka dari siksa Allah.56

    Jadi seseorang yang telah memiliki keimanan dalam dirinya maka ia

    pasti bertaqwa dan selalu berserah diri kepada Allah. Berhubungan dengan

    kasus jahl, masyarakat Arab pra Islam melakukan ke-jahil-an atau melakuakan

    tingkah laku ja>hiliyah dikarenakan mereka tidak memiliki iman. Mereka

    menyatakan dalam sumpah untuk beriman yaitu mereka ingin melihat dengan

    mata kepala mereka sendiri tentang kesaksian para malaikat bahwa Nabi

    Muh{ammad adalah utusan Allah dan orang yang telah mati dihidupkan

    kembali dan segala sesuatu baik berupa al-Quran dan kebenaran nabi dan

    mukjizatnya ditampakkan kepada mereka, namun setelah menampakkannya

    mereka masih tidak beriman dan menganggap itu adalah sihir. Mereka tidak

    mengetahui bahwa iman tidak perlu diungkapkan dengan melihat tanda, sebab

    telah menjadi kebenaran umum bahwa keimanan semata-mata anugerah dari

    Allah. Bahwa iman dan jahl berkaitan yaitu dengan keimanan yang kuat maka

    seseorang tidak akan terjerumus kepada ke-jahil-an.

    b. Amalu al-S}a>lih}

    Kalimat amal al-s}a>lih} terdiri dari dua kata, yaitu amal dan al-s}a>lih}

    Kata amal biasa digunakan untuk menggambarkan suatu aktivitas yang

    dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu. Dapat dikatakan bahwa kata

    amalmencakup segala macam perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan

    mempunyai tujuan tertentu, walau hanya dalam bentuk niat atau tekad. Atau

    56 Ibid., (33): 73.

  • 23

    menggunakan daya-daya manusia, baik daya fisik, daya pikir, daya kalbu, dan

    daya hidup.57

    Menurut Quraish Shihab yang dikutip oleh Mohammad Yardho, kata

    s}a>lih} diartikan sebagai tiadanya (terhentinya) kerusakan. Kata ini diartikan

    juga bermanfaat dan sesuai. Bahwa amalu al-s}a>lih} bisa mengantarkan jahl

    kepada kebaikan asalkan ia benar-benar memperbaiki ke-jahil-an tersebut dan

    tidak mengulangi kembali. Sebagaimana Allah mengampuni orang-orang yang

    mengerjakan kesalahan karena ke-jahil-an yang telah diperbuat kemudian

    mereka bertaubat dan memperbaiki dirinya, sebagaimana firman Allah dalam

    surat al-Nah}l ayat 119.

    c. Menghindari Perbuatan Dzalim

    Kata z}ulm menurut ahli bahasa diartikan dengan meletakkan di tempat

    yang salah. Dalam lingkup etika, z}ulm diartikan dengan bertindak sedemikian

    rupa yang melampui batas yang benar serta melanggar hak orang lain. Secara

    singkat dan umum, z}ulm berhubungan dengan ketidak adilan dalam pengertian

    melewati batas yang dimiliki seseorang dan melakukan yang bukan menjadi

    haknya.58

    Dalam al-Quran, karakter z}ulm meliputi mereka yang

    menyekutukan Allah,59

    mendustkan ayat-ayat Allah,60

    hatinya mengeras,61

    menghalangi jalan Allah,62

    mengadakan kedustaan terhadap Allah.63

    Berkaitan dengan jahl, bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah

    disebut dengan kezaliman yang besar.64

    Selain itu, orang yang tidak taat

    kepada Allah dan Rasulnya, setelah menerima amanat namun mereka khawatir

    akan menghianatinya, maka dia termasuk manusia yang z}alim dan bodoh.

    Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ah}za>b ayat 72. Ke-z}alim-an dan

    57 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h}, Vol. XV, 443. 58 Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Relegius Dalam al-Quran, 197. 59 Al-Quran,(31): 13. 60 Ibid., (62): 5. 61

    Ibid., (22): 53. 62 Ibid., (2): 108, dan 114. 63 Ibid., (39): 32, (6): 93. 64 Ibid., (31): 13.

  • 24

    kebodohan walaupun keduanya merupakan sesuatu yang buruk dan

    mengandung kecaman terhadap pelakunya, tetapi keduanya merupakan sebab

    yang menjadikan seseorang dapat memikul amanat (beban ilahi), karena sifat

    z}alim dan jahl hanya dapat disandang oleh siapa yang dapat menyandang sifat

    adil dan ilmu. Dan manusialah yang berpotensi menyandang keduanya,

    berpotensi pula menyandang lawan keduanya yakni z{alim dan jahl. Ini berarti

    manusia menurut tabiatnya adalah z}ulu>man jahu>lan.65

    d. Konfirmasi Ulang Informasi

    Hal ini tergambar jelas pada pristiwa yang dikisahkan pada surat al-

    H}ujura>t ayat 6, yaitu berkaitan dengan penyampaian informasi. Orang-orang

    fasik mengetahui bahwa kaum yang beriman tidak mudah dibohongi dan

    bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi, sehingga orang fa>siq

    dapat dipermalukan dengan kebohongannya. Sebagaiamana dalam al-Quran

    surat al-H}ujura>t ayat 6. Ayat tersebut menuntut agar menjadikan langkah kita

    berdasarkan pengetahuan (lawan dari jahl) supaya tidak mudah tertipu.

    e. Bersegera Taubat

    Dapat dipahami bahwa relasional taubat memberikan dampak positif

    kepada orang yang jahl. Jika seseorang mengerjakan kejahatatan lantaran jahl

    atau karena kebodohannya maka Allah menerima taubat orang tersebut dengan

    syarat ia menyadari dan menyesali perbuatan tersebut dan berjanji sepenuh

    hati tidak akan memulainya kembali. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-

    Nisa ayat 17. Taubat yang diterima oleh Allah yaitu: (a) menyesali dengan

    sungguh-sungguh perbuatan yang telah dilakukan. (b) meninggalkan perbuatan

    tersebut dan melaksanakan ketaatan-ketaatn. Dan (3) bertekad dengan kuat

    bahwa ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut.66

    65 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h}, Vol. XI, 335. 66 Kementerian Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya..., Vol. 4, 131.

  • 25

    BAB III

    PENUTUP

    Pemaparan diatas mengantarkan penulis kepada kesimpulan sebagai

    berikut:

    1. Kitab Tafsir Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Di Sempurnakan)

    adalah karya dari kumpulan ulama-ulama al-Quran Indonesia. Karya ini

    adalah penyempurnaan dari karya yang sama yang sudah disusun sejak

    tahun 1972. Kitab ini bercorak ilmiy, dengan penjelasan yang global /

    ijma>li, dengan metode tah}liliy dimulai dari al-Fatihah sampai al-Na>s.

    2. Makna asal Jahl adalah ketiadaan ilmu dalam jiwa. Penggunaan lafal

    tersebut didalam al-Quran mengalami perkembangan sedemikan rupa

    sesuai dengan konteks ayat tersebut. Diantaranya: ceroboh, tidak

    mengetahui hakikat iman kepada Allah, masa sebelum kedatangan

    Islam, tidak mengetahui sunatullah dan lain sebagainya.

    3. Makna Jahl di dalam al-Quran bisa diklasifikasikan kepada tiga

    kelompok besar sesuai dengan perubahan kata-katanya (istih{qa>q). Jahl

    sebagai kata kerja/fiil, kata benda/mas{dar dan subyek/fa>il.

    4. Pemakalah belum menemukan perbedaan makna yang signifikan terkait

    ayat-ayat jahl Makkiyah dan Madaniyah. Perbedaan lebih terasa jika

    diklasifikasikan sesuai perubahan bentuk kata nya.

    5. Beriman, Bertaubat, beramal soleh, konfirmasi ulanf informasi dan

    menhindari dari perbuatan dzolim adalah beberapa solusi dari mengatasi

    kebodohan.

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    Al-Quran, 6: 19.

    Shihab, M Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Quran. Jakarta: Lentera Hati, 2013.

    Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

    RI, Kementerian Agama. Al Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan): Mukadimah. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

    Zarqani >(al), Muhammad Abd al-Az}i>m. Mana>hil al-Irfa>n, Vol. I. Al-Nashr wa al-Tauzi: Da>r al-Fikr, tt.

    Qat}t}a>n (al), Manna>. Maba>hi>th fi> Ulu>m al-Quran. Surabaya: al-Hida>yah, 1973.

    Dhahabiy, Muhammad Husayn. Al-Tafsi>r al-Mufassiru>n. Kairo: Dar al-H}adith, 2005.

    Nasir, Ridwan. Memahami Al-Qura>n, Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqa>rin. Surabaya, CV. Indra Media.

    Farmawi (al), Abd. Al-H{ayy. Al-Bida>yah Fi> Tafsi>r al-Maud}ui>. Kairo: Al-H{ad}a>rah

    Al-Arabiah, 1977.

    Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

    As}faha>niy (al), Al-Ra>ghib. Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qura>n (Damaskus: Da>r al-Qalam, 2011), 209.

    Manz}u>r , Muh}ammad bin Mukrim Ibn. Lisa>n al-Arab, Vol. II. Beiru>t: Da>r al-Masriq, 1988.

    Ra>zi> (al), Ahmad bin Fa>ris bin Zakariya> al-Qazwaini. Majmal al-lughah li ibn Fa>ris, Vol. I. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1986.

    Qut}b, Sayyid. Fi> Z}ila>l al-Quran. Beiru>t: Da>r al-Shuru>q, Vol. II. 1412 H.