izin perkawinan beda agama di pengadilan negeri dan...
TRANSCRIPT
IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI
(Studi Perbandingan Putusan No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan
Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
SINTA FELISIA AGNES
NIM. 11150440000002
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Sinta Felisia Agnes. NIM. 11150440000002. IZIN PERKAWINAN BEDA
AGAMA DI PENGADILAN NEGERI (Studi Perbandingan Putusan
No.45/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla). Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pertimbangan hakim dalam
menetapkan perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Surakarta dan
Pengadilan Negeri Blora dari perspektif hukum Islam, interpretasi hukum oleh
hakim, dan hukum positif yang berkaitan dengan penelitian ini serta juga
menjelaskan perkawinan beda agama berdasarkan teori maqasid al-syariʻah.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu
dengan mengumpulkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data
dilakukan dengan teknik studi dokumen yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan
hukum, mengkategorisasikan berdasarkan bahan-bahan hukum serta memberikan
penilaian terhadap bahan hukum. Kemudian data yang telah dihimpun dianalisis
menggunakan metode deskriptif analitis.
Hasil Penelitian ini adalah pertimbangan hakim Pengadilan Negeri
Surakarta dalam mengabulkan permohonan izin perkawinan beda agama adalah
untuk mengisi kekosongan hukum, karena tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 maupun PP Nomor 9 Tahun 1975. Kemudian hakim juga
berpedoman pada asas “ius curia novit”. Dalam memeriksa dan menyelesaikan
perkara tersebut, hakim cenderung hanya menggunakan metode interpretasi
sosiologis. Sedangkan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Blora dalam
menolak permohonan izin perkawinan beda agama adalah menimbang bahwa
kedua agama para pemohon tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama.
Kemudian dengan memperhatikan ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama Pasal 2 ayat
(1) bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan sesama agama. Dalam
memeriksa dan menyelesaikan perkara tersebut, hakim menggunakan 3 (tiga)
metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi gramatikal, interpretasi a
contrario, dan interpretasi historis. Kemudian, perkawinan beda agama berdasarkan
teori maqasid al-syari’ah termasuk ke dalam kategori tingkatan al-Ḏaruriyat yang
berupa hifz al-Dîn (memelihara agama) dan hifz al-Nasl (memelihara keturunan).
Kata Kunci: Izin, Perkawinan Beda Agama, Pengadilan Negeri
Pembimbing : Indra Rahmatullah S.H, M.H
Daftar Pustaka : 1996 s.d. 2017
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat
diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q qo ق
vii
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrop ˋ ء
y ya ي
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
â a dengan topi di
atas
viii
î i dengan topi di
atas
û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd = اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah = الشفعة
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî’ah شريعة 1
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
ix
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري = al-Bukhâri
tidak ditulis Al- Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
الضرورة تبيح المحظورات 1al-darûrah tubîhu al-
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
األصل في األشياء اإلباحة 4al-‘asl fî al-asyya al-
ibâhah
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
x
KATA PENGANTAR
ه ٱ مسب لرحهيمه ٱ لرنمحٱ لل
Puji beserta syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada uswah hasanah kita
yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana
memaknai hidup ini sesungguhnya dan istiqomah dalam memegang sunnahnya
sampai hari pembalasan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini, baik moril maupun materil. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar
besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan
Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga.
3. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H selaku dosen pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu serta memberikan arahan dan ilmunya
selama penulis mengerjakan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag., selaku Dosen Penasihat Akademik
yang selalu membimbing dan menyemangati penulis selama menjalani
kuliah.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta terkhusus Ibu Hj. Rosdiana, MA yang telah memberikan ilmunya
dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan fasilitas dalam penelitian ini.
7. Keluarga penulis, Ayahanda Damsuar dan Ibunda Erma Wati, yang tidak
pernah berhenti untuk memberikan dukungan, do’a maupun bantuan
xi
materil kepada penulis dalam menempuh pendidikan. Nenek tersayang
Asmawati, Kakek tersayang Marsal (Alm), Kakak penulis Nia Mahesa
Agustia, S.Pd dan Adik Edo Apway Tri Nanda serta keponakan-
keponakan yang selalu menyemangati dan mendoakan Alfatihul Azim dan
Ziyad Farhatan.
8. Guru-guru MTsN 1 Bukittinggi dan MAN 1 Bukittinggi yang sampai saat
ini selalu menyemangati dan mendoakan penulis.
9. Bapak H. Holies Basuno dan Aly Dzulfiqar yang senantiasa meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dan berbagi ilmu serta membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga Besar Hukum Keluarga 2015 khususnya Hukum Keluarga A.
11. Alumni Man 1 Model Bukittinggi khususnya Adeb Davega Prasna, S.H.,
Rahmat Kurnia, S.H., dan Mursyidah., yang telah membantu dan
mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman seperjuangan penulis; Zae, Anis, Anita, Enri, Citra, Puput
Nadia, Abdul Rahman H.N, dll.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya
untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 27 Juni 2019
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............. 5
1. Identifikasi Masalah ...................................................... 5
2. Pembatasan Masalah ...................................................... 6
3. Perumusan Masalah ....................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 6
E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu ...................................... 7
F. Metode Penelitian ................................................................ 9
1. Jenis Penelitian .............................................................. 9
2. Metode Pendekatan ........................................................ 9
3. Sumber Data .................................................................. 10
xiii
4. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 11
5. Analisis Data.................................................................. 11
G. Sistematika Penulisan .......................................................... 12
BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN TEORI MAQASHID AL-
SYARI’AH
A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan ................................. 14
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan .................... 14
2. Syarat-syarat Perkawinan .............................................. 17
B. Perkawinan Beda Agama ..................................................... 19
1. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Islam .............................................................................. 19
2. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Positif ............................................................................. 31
C. Teori Maqashid Al-Syari’ah ................................................ 36
1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah ................................. 36
2. Ruang Lingkup Maqashid Al-Syari’ah .......................... 39
BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI
A. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.................................... 46
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman ................................ 46
2. Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman ........................ 47
B. Kewenangan Pengadilan Negeri .......................................... 56
C. Kronologis Izin Perkawinan Beda Agama di Pengadilan
xiv
Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan
Negeri Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla ............................ 57
1. Pokok Gugatan dalam Perkara No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt
dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla ...................................... 57
2. Dasar dan Pertimbangan Hukum dalam Perkara No.46/
Pdt.P/2016/PN.Skt, dan No71/Pdt.P/2017/PN.Bla ........ 61
3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan
Pengadilan Negeri Blora ............................................... 64
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN
NEGERI No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla
A. Perbandingan Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
(No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt) dan Pengadilan Negeri Blora
(No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla) ................................................ 68
1. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan
Izin Perkawinan Beda Agama .................................... 69
2. Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan
Perkawinan Beda Agama ............................................ 75
B. Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Maqashid al-Syari’ah 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 88
B. Saran .................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 91
xv
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 99
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya,
mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan
perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadinya suatu
perkawinan sangat diperlukan1. Seiring dengan perkembangan masyarakat,
persoalan dalam bidang perkawinan semakin kompleks. Ditandai dengan
adanya pemberitaan mengenai perkawinan yang merupakan problematis di
masyarakat. Salah satunya adalah perkawinan dengan beda keyakinan, lebih
spesifiknya yaitu perkawinan beda agama2.
Perkawinan beda agama merupakan ikatan perkawinan antara seorang pria
dan seorang wanita yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda
dengan tetap mempertahankan keyakinan masing-masing3. Semua agama
secara normatif dan prinsipil tidak membolehkan adanya perkawinan beda
agama. Sedangkan secara yuridis, dibuatlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dengan seperangkat aturan pelaksanaannya. Salah
satu asas yang dikembangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tersebut bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini
merupakan penghapus berlakunya berbagai peraturan perundang-undangan
sebelumnya4.
1 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1993), cet.3, h., 2. 2 Jamilah, “Tinjauan Yuridis Pencatatan Perkawinan Campuran Beda Agama di Yayasan
Paramadina menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum,
Universitas Tanjungpura Pontianak, 2013), h., 2. 3 Nur Asiah, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Hukum Islam”, dalam Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol. 10 No. 2, (Juli-
Desember 2015), h., 206. 4 Yasin Baidi, “Fenomena Nikah Beda Agama di Indonesia: Telaah terhadap Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1400K/Pdt/1996”, dalam Jurnal Sosio-Religia Vol.9,
No.3, (Mei, 2010), h., 672.
2
Menurut Hazairin dalam bukunya Tinjauan Mengenai UU No.1 Tahun 1974
menjelaskan, bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan
melanggar hukum agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen dan bagi
orang Hindu atau Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia5. Dalam
realitas di masyarakat perkawinan beda agama bukanlah suatu hal yang tabu,
walaupun dalam praktek perkawinan beda agama tersebut banyak mengandung
perdebatan di kalangan tertentu karena perkawinan ini tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, baik secara hukum positif maupun secara hukum
agama, namun di Indonesia tidak sedikit pelaku perkawinan beda agama.
Sebagai contoh perkawinan artis seperti yang dilakukan oleh Dimas
Anggara (Islam) dengan Nadine Chandrawinata (Kristen), Lidya Kandou
(Kristen) dengan Jamal Mirdad (Islam), dan Rio Febrian (Kristen) dengan
Sabriakono (Islam). Pernikahan tersebut tidak hanya dilaksanakan di Indonesia
tetapi juga dilaksanakan di luar negeri. Mereka yang ingin melakukan
perkawinan beda agama di Indonesia dapat dilakukan jika mendapatkan surat
izin menikah dari Pengadilan Negeri, akan tetapi apabila melakukan
perkawinan beda agama di luar negeri maka harus mencatatkan perkawinannya
di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil saat kembali ke Indonesia.
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh mereka yang akan melakukan
perkawinan beda agama, diantaranya salah satu dari pasangan mengikuti
keyakinan agama pasangannya dan menikah menurut agama dari pasangannya
tersebut. Dalam hal ini terdapat dua bentuk perpindahan keyakinan agama yang
dilakukan pasangan untuk dapat melangsungkan pernikahan dengan
pasangannya, yaitu; Pertama, perpindahan agama hanya berupa proforma untuk
memenuhi persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicatatkan
secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang
bersangkutan kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap
menjalankan aturan agamanya. Kasus perkawinan beda agama dengan cara
5 Zaidah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan mengenai Perkawinan
Beda Agama”, dalam Jurnal Al-Ahkam, Volume 23, Nomor 1, (April, 2013), h., 2.
3
seperti ini banyak terjadi dan menyebabkan timbulnya gangguan terhadap
kehidupan rumah tangga dan keluarga di kemudian hari.
Kedua, murni dilakukan karena peralihan keyakinan agamanya dan
menjalankan ajarannya untuk seterusnya dalam kehidupan perkawinan dan
keluarga mereka. Cara lain yang yang ditempuh oleh mereka yang akan
melakukan perkawinan beda agama ialah masing-masing pasangan tetap
mempertahankan keyakinan agamanya. Pernikahan dilangsungkan menurut
masing-masing agama, seperti contoh bisa jadi di pagi hari pernikahan
berlangsung menurut keyakinan agama salah satu pasangan, serta siang atau
sore harinya melakukan pernikahan lagi menurut agama yang lainnya.
Pernikahan dengan cara seperti ini juga banyak dilaksanakan dengan
konsekuensi masing-masing pasangan yang hidup bersama dalam perkawinan
tersebut dengan tetap menjalankan keyakinan agama masing-masing6.
Otoritas agama dalam bidang hukum perkawinan tidak dapat dihindari
karena selain menyatukan dua insan yang berbeda perkawinan juga merupakan
ibadah yang diperintahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kaedah-kaedah agama
yang mengatur tentang perkawinan tidak dapat di kesampingkan oleh setiap
orang yang hendak melangsungkan perkawinan, tetapi ironisnya terdapat
kecenderungan bahwa nilai-nilai agama terabaikan karena perkawinan hanya
merupakan persoalan suka sama suka, saling menyayangi dan mencintai lawan
jenis. Sehingga ingin membentuk ikatan rumah tangga walaupun beda
keyakinan tidak menjadi halangan untuk melaksanakan perkawinan, akibatnya
perkawinan beda agama merupakan hal yang biasa dilaksanakan, walaupun
agama belum tentu membolehkannya.
Praktek perkawinan beda agama ini bisa dilaksanakan dengan mengajukan
permohonan izin ke Pengadilan Negeri. Namun tidak semua permohonan izin
tersebut dikabulkan oleh hakim. Dalam putusan Pengadilan Negeri Surakarta
Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt, Hakim mengabulkan permohonan para
6 Abdurrahman, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan (Perkawinan Beda Agama dan
Implikasinya), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,
2011), h., 4.
4
pemohon antara Pemohon I (AVR) menganut Agama Katolik dengan Pemohon
II (DF) menganut agama Islam untuk melangsungkan perkawinan beda agama
dan dicatatkan oleh pejabat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Surakarta ke dalam register Pencatatan Perkawinan dan menerbitkan akta
perkawinan. Namun sebelum mendapatkan penetapan izin dari Pengadilan
Negeri para pemohon telah memberitahukan perkawinan tersebut kepada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, akan tetapi karena para
pemohon beda agama maka permohonan para pemohon tersebut ditolak dan
perkawinan dapat dicatatkan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri
Surakarta7.
Adapun alasan hukum yang dipakai hakim dalam mengabulkan
permohonan tersebut adalah bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak memuat ketentuan yang melarang perkawinan beda
agama. Demikian juga dalam Peraturan Pelaksanaannya Nomor 9 Tahun 1975
sama sekali tidak memuat ketentuan terkait pelaksanaan perkawinan beda
agama. Sehingga dengan demikian, hakim melalui penafsirannya sendiri
mengabulkan permohonan perkawinan beda agama.
Sedangkan dalam putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor
71/Pdt.P/2017/PN.Bla, Hakim menolak permohonan para pemohon antara
Pemohon I (NOBA) yang beragama Islam dengan Pemohon II (YA) yang
beragama Kristen untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Berbeda
halnya dengan putusan Pengadilan Surakarta, bahwa para pemohon tersebut
akan melaksanakan lamaran secara resmi setelah memperoleh izin dari
Pengadilan Negeri Blora8.
Dalam kasus ini pertimbangan hakim dalam menolak permohonan para
pemohon tersebut adalah bahwasanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 mengandung larangan perkawinan beda agama menurut agama
para pemohon. Maka dari itu Hakim mempertimbangkan sahnya perkawinan
menurut agama Islam dan agama Kristen. Dari uraian tersebut dapat dilihat
7 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran) 8 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)
5
bahwasanya hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Blora
menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai salah satu dasar
hukum pada bidang hukum perkawinan, dimana undang-undang ini merupakan
hukum materil dari perkawinan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis melihat adanya perbedaan persepsi
yang signifikan pada putusan hakim dalam menetapkan permohonan izin
perkawinan beda agama. Dengan demikian timbulah pertanyaan apakah
pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Negeri Surakarta dan
Pengadilan Negeri Blora sudah sesuai dengan aturan hukum Islam dan hukum
positif dan apakah Pengadilan Negeri berwenang menangani perkara
perkawinan beda agama ini. Hal ini patut untuk diteliti secara mendalam dan
komprehensif. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut
berdasarkan teori interpretasi hukum oleh hakim dan Teori Maqashid al-
Syari’ah yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Izin Perkawinan
Beda Agama di Pengadilan Negeri (Studi Perbandingan Putusan
No.45/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
1. Mengapa sulit mendapatkan legalitas perkawinan beda agama di
Indonesia?
2. Apakah izin perkawinan beda agama merupakan kewenangan absolut
Pengadilan Negeri?
3. Mengapa hakim mengabulkan permohonan perkawinan beda agama?
4. Bagaimana pertimbangan hakim mengizinkan perkawinan beda agama?
5. Mengapa hakim menolak permohonan perkawinan beda agama?
6. Bagaimana pertimbangan hakim menolak perkawinan beda agama?
7. Bagaimana konsep perkawinan beda agama dalam Islam?
6
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan pada penelitian ini lebih terfokus, maka pada
penelitian yang berjudul Izin Perkawinan Beda Agama di Pengadilan Negeri
penulis membatasi pada analisis pertimbangan hakim di Pengadilan
Surakarta pada putusan Nomor.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan Blora
pada putusan Nomor.71/Pdt.P/2017/PN.Bla terkait dengan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berdasarkan teori interpretasi hukum oleh
Hakim dan teori maqasid al-syari’ah serta hukum positif yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah
bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan perkawinan beda
agama di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Blora serta
dikaitkan dengan teori maqasid al-syari’ah?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, sesuai dengan rumusan masalah tersebut, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam
menetapkan perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Surakarta dan
Pengadilan Negeri Blora serta perkawinan beda agama berdasarkan teori
maqasid al-syari’ah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan wawasan secara umum mengenai Izin Perkawinan Beda
Agama di Pengadilan Negeri.
2. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang Izin Perkawinan Beda Agama di
Pengadilan Negeri.
3. Menambah khazanah pengetahuan dalam keilmuan bidang hukum keluarga
baik secara teoritis maupun praktis.
7
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis mengulas beberapa kajian pustaka atau karya
ilmiah terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang penulis angkat agar
tidak terjadi duplikasi atau pengulangan dengan penelitian yang telah ada.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa karya ilmiah terdahulu, yaitu:
1. Dalam skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif
Terhadap Penetapan Pengadilan Negeri Magelang tentang Perkawinan
Beda Agama (Penetapan PN Magelang No.04/Pdt.P/2012/PN.MGL.) yang
ditulis oleh M. Andy Chafid Anwar MS9. Dalam tulisannya membahas
pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Magelang dalam pemberian izin
perkawinan beda agama berdasarkan tinjauan hukum Islam dan hukum
positif. Pengumpulan data dalam penelitian ini berupa wawancara dengan
hakim Pengadilan Negeri Magelang yang memberikan penetapan.
Sedangkan di dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji pertimbangan
hakim terhadap izin perkawinan beda agama dengan studi perbandingan
putusan Nomor.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan putusan Nomor
71/Pdt.P/2017/PN.Bla berdasarkan teori interpretasi hukum oleh hakim dan
teori maqasid al-Syari’ah. Peneliti mencoba menganalisis bagaimana hakim
menginterpretasikan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang
Perkawinan serta undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi dokumen.
2. Dalam Jurnal yang berjudul Keabsahan Perkawinan Warga Negara
Indonesia yang Berbeda Agama (Analisis Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 Studi Penetapan No.92/Pdt.P/2010/PN.Surakarta) yang
ditulis oleh Raphon Fajar RHR10. Dalam tulisannya membahas tentang
9 M. Andy Chafid Anwar MS, “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap
Penetapan Pengadilan Negeri Magelang tentang Perkawinan Beda Agama (Penetapan PN Magelang
No.04/Pdt.P/2012/PN.Mgl)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2014). 10 Raphon Fajar RHR, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia yang Berbeda
Agama (Analisis Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 35 huruf (a)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Studi Penetapan No.92/Pdt.P/2010/PN.Surakarta)”, dalam
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013.
8
perkawinan campuran. Dimana dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa “Perkawinan campuran ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”. Kemudian menjelaskan tentang
legalisasi buku nikah perkawinan campuran, serta menganalisis pasal 35
huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Tentunya pada penelitian ini tidak menyinggung tentang
perkawinan campuran dan juga tidak menganalisis secara khusus UU
Administrasi Kependudukan. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan
pembahasan pada analisis pertimbangan hakim dalam menetapkan izin
perkawinan beda agama dengan membandingkan putusan Pengadilan
Negeri yang mengabulkan dengan putusan PN yang menolak izin
perkawinan beda agama.
3. Dalam skripsi yang berjudul Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama
(Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor
156/Pdt.P/2010/PN.Ska) yang ditulis oleh Azhar Muhammad Hanif11.
Dalam skripsi ini membahas tentang perkawinan beda agama menurut Fiqh
serta hukum positif. Disini dijelaskan beberapa pendapat ulama yang pro
dan kontra dengan perkawinan beda agama serta hukum positif yang
mengatur perkawinan Islam di Indonesia. Kemudian membahas mengenai
penetapan yang membolehkan perkawinan beda agama serta pertimbangan
hakim PN Surakarta ditinjau dengan Kompilasi Hukum Islam. Perbedaan
skripsi ini dengan skripsi yang ditulis oleh Azhar Muhammad Hanif adalah
bahwa skripsi ini mengkaji tentang pertimbangan hakim terhadap izin
perkawinan beda agama berdasarkan teori interpretasi hakim dan maqasid
al-Syari’ah. Peneliti mencoba menganalisis bagaimana hakim
menginterpretasikan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang
11 Azhar Muhammad Hanif, “Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama (Analisis
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska)”, (Skripsi S-1
Jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah UIN Walisongo, Semarang, 2015).
9
Perkawinan serta undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Penetapan hakim yang dikaji dalam skripsi ini tidak hanya yang
membolehkan saja tetapi membandingkan dengan putusan hakim yang
menolak perkawinan beda agama.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif
(legal research) yaitu mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penelitian. Penelitian hukum normatif mencakup,
penelitian terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematika
hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian terhadap
sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum12.
Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian terhadap azas-azas
hukum yaitu penelitian terhadap unsur-unsur hukum, baik unsur ideal yang
menghasilkan kaidah-kaidah hukum maupun unsur nyata di masyarakat
yang menghasilkan tata hukum tertentu13. Yang menjadi tumpuan penelitian
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan putusan Nomor.
46/Pdt.P/2016/PN.Skt dengan putusan Nomor.71/Pdt.P/2017/PN.Bla dalam
menetapkan perkawinan beda agama.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian yang
diteliti adalah:
a. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap14.
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), cet.3, h., 51. 13 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet.Pertama), h., 31. 14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet.6, h.,134.
10
Pendekatan kasus dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh
gambaran tentang pertimbangan hakim dalam putusan Nomor
46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan putusan Nomor 71/Pdt.P/2017/PN.Bla
sehingga diharapkan dapat mengetahui cara pandang hakim dalam
menyikapi permasalahan izin perkawinan beda agama.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi15.
Pada penelitian ini, peneliti dapat mengidentifikasi konsep tersebut
dalam undang-undang serta putusan hakim Nomor
46/Pdt.P/2016/PN.Skt dengan putusan Nomor 71/Pdt.P/2017/PN.Bla
terkait izin perkawinan beda agama.
3. Sumber Data
Sumber-sumber dalam penelitian hukum ini terdiri dari:
a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat16. Yang
terdiri dari perundang-undangan yakni Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
sebagai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, Kompilasi Hukum Islam, Fatwa MUI, dan putusan-
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.,136. 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet.8, h., 13.
11
putusan hakim yakni putusan No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan putusan
No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
tersebut berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, laporan
penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan yang berkaitan dengan penelitian17.
c. Bahan hukum Tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus, ensiklopedia, indeks komulatif, dan seterusnya18.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi
dokumen yang meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder19.
Studi dokumen dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan
hukum, mengkategorisasikan berdasarkan bahan-bahan hukum, serta
memberikan penilaian terhadap bahan hukum. Penilaian tersebut dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu kritik ekstern dan kritik intern.
5. Analisis Data
Setelah bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis untuk
mendapatkan argumentasi akhir yang berupa jawaban terhadap
permasalahan penelitian. Dalam menganalisa data, penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan mengungkapkan
tentang pertimbangan hakim dalam menetapkan perkawinan beda agama di
Pengadilan Negeri dikaitkan dengan teori-teori hukum, kemudian
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet.6, h.,181. 18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), h., 13. 19 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2004), h., 68.
12
diinterpretasikan menggunakan metode interpretasi gramatikal dan
interpretasi teleologis.
Setelah itu bahan hukum yang diperoleh dianalisis menggunakan
metode argumentatif. Metode ini digunakan dengan mengupayakan lebih
dahulu membuat ulasan, telaah kritis atas berbagai pandangan dalam bentuk
komparasi untuk menggiring opini ke arah terbangunnya nalar. Pada tahap
inilah penulis sudah beragumentasi untuk menjawab permasalahan
penelitiannya. Argumentasi ini merupakan inti dari hasil penelitian hukum
normatif20.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan pada penelitian ini, penulis
menguraikan secara singkat yang dibagi atas lima bab.
Bab pertama dalam penulisan ini merupakan pendahuluan, yang mencakup
latar belakang yang menjadi alasan penulis membahas penelitian ini,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian yang
mencakup: jenis penelitian, metode pendekatan, sumber data, teknik
pengumpulan data, analisis data, serta sistematika penulisan.
Kemudian bab kedua, membahas mengenai kajian teori tentang perkawinan
beda agama dan teori maqashid al-syari’ah, dimana dalam bab ini membahas
mengenai tinjauan umum tentang perkawinan, konsep perkawinan beda agama
menurut hukum islam dan hukum positif, serta teori maqasid al-syari’ah secara
umum.
Selanjutnya bab ketiga menjelaskan tentang perkawinan beda agama di
pengadilan negeri, yang dimuat di dalamnya yaitu kekuasaan kehakiman di
Indonesia, kewenangan pengadilan negeri, dan kronologis izin perkawinan beda
agama di Pengadilan Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt. dan
Pengadilan Negeri Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.
20 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), cet.2, h.,155.
13
Selanjutnya bab empat, pada bab ini penulis akan menguraikan hasil analisis
terhadap penetapan hakim pengadilan negeri No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt. dan
No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang mencakup : perbandingan pertimbangan hakim
Pengadilan Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan Negeri
Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla, serta perkawinan beda agama berdasarkan
teori maqashid al-syari’ah.
Kemudian bab lima merupakan penutup yang menjelaskan kesimpulan dari
hasil penelitian yang dilakukan serta saran-saran yang berguna untuk penelitian
yang akan datang.
14
BAB II
PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan merupakan sebuah peristiwa yang sakral yang ditunggu-
tunggu oleh setiap pasangan untuk dapat menjalani hidup bersama secara
sah. Ikatan perkawinan ini bertujuan untuk membina rumah tangga serta
memperoleh keturunan.
Perkawinan sendiri diartikan dalam istilah arab dengan “nikah”, yang
menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqîqat) dan arti kiasan
(majâz). Arti yang sebenarnya dari nikah, ialah “ḏam”, yang berarti
“menghimpit”, “menindih”, atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah
“waṯaʻ “ yang berarti “setubuh” atau “ ‘aqad” yang berarti “mengadakan
perjanjian pernikahan”. Jika ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan
pemakaian perkataan nikah di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits, maka
nikah dengan arti “perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai
daripada nikah dengan arti “setubuh” 1.
Menurut Muhammad Amin Suma2, nikah dari sudut pandang lughawi
(kebahasaan) diartikan dengan berkumpul atau berhimpun (al-jamʻ wa al-
ḏamm) atau bersetubuh dan akad (al-waṯʻ wa al-‘aqd) yang dalam konteks
syari’ah lazim diistilahkan sebagai ungkapan akad pernikahan atau akad
perkawinan (‘aqd al-nikâh au ‘aqd al-tazwîj).
Sebutan lain dari perkawinan adalah al-zawaj. Dimana dalam Al-
Qur’an juga menggunakan kata zawwaja atau zauwj yang berarti pasangan.
Dengan menikah menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata ini
diulang dalam al-Qur’an sebanyak 80 kali. Bahkan dalam al-Qur’an, kata
1 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1993), cet.3, h., 1-2. 2 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syaria dan Qanuniah,
(Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 18.
14
15
nikah dalam berbagai istilah ditemukan sebanyak 23 kali3. Hal ini
menunjukkan bahwa berpasangan merupakan tanda kebesaran Allah Swt
dan juga merupakan sunnatullah atau ketetapan illahi, seperti difirmankan
Allah Swt dalam surah al-Ḏariyat ayat 49:
شيء خلقنا زوجي ومنرون كل ن لعل كم تذك
Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S al-Ḏariyat [51] : 49)
Di dalam surah Yâsîn ayat 36 juga dijelaskan tentang perkawinan yaitu
yang berbunyi:
زوج ٱخلق ل ذيٱ سبحن ا تنبت لأ رض ٱكل ها مم
نفسه لأ
ا لا يعلمون ومن أ م ومم
Artinya: Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-
pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q.S Yâsîn [36] :
36)
Perkawinan adalah salah satu jalan yang diberikan oleh Allah kepada
semua makhluknya baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan agar
mereka berkembang biak untuk melanjutkan generasi ke generasi
berikutnya. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah Swt surah al-Syûrâ
ayat 11:
ت ٱ فاطر مو رض ٱو لس زوجا ومن لأ
نفسكم أ
ن أ نعم ٱجعل لكم م
زوجا يذرؤكم لأ
أ
وهو ۦفيه ليس كمثله ميع ٱشيء لبصير ٱ لس
Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu
dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
3 Lukman A. Irfan, Nikah, (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Mardani, 2007), h., 2.
16
jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang
Maha Mendengar dan Melihat. (Q.S al-Syûrâ [42] : 11)
Allah SWT menciptakan suatu hukum dalam perkawinan antar
manusia, karena manusia diciptakan berbeda dengan makhluk lainnya yang
hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa ada aturan. Ia menciptakan hukum
tersebut untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia. Seperti Firman
Allah surah al-Nûr ayat 32:
نكحوا يمي ٱ وأ
لحين ٱمنكم و لأ من عبادكم إومائكم إن يكونوا فقراء يغنهم لص
ٱ ٱو ۦ ه من فضل لل وسع عليم لل
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S al-Nûr [24] : 32)
Selanjutnya Wahbah al-Zuhailî mengartikan perkawinan dengan “akad
yang membolehkan terjadinya al-Istimtaʻ (persetubuhan) dengan seorang
wanita, atau melakukan waṯʻ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan
wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan”4.
Definisi lain yang diberikan Wahbah al-Zuhailî adalah akad yang telah
ditetapkan oleh syari’ agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat
untuk melakukan istimtaʻ dengan seorang wanita atau sebaliknya5.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa6,
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
4 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), cet.1, h., 2. 5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,
2004), h., 39. 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1.
17
Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana
sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur
batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting7. Sementara Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan bahwa “perkawinan menurut hukum islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîzan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”8.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
yang bertujuan untuk membentuk keluarga dengan memperhatikan tiga
aspek penting yakni aspek hukum, sosial dan agama. Sebab perkawinan
tidak hanya bertujuan menyatukan insan yang berbeda untuk membentuk
rumah tangga tetapi juga bernilai ibadah dan merupakan ketetapan Illahi.
2. Syarat-syarat Perkawinan dalam Islam
Syarat mesti ada dalam suatu perbuatan hukum, karena menentukan sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti dalam Islam calon pengantin laki-
laki atau perempuan itu harus beragama Islam9. Menurut jumhur ulama
rukun perkawinan dalam Islam ada lima, dan masing-masing rukun tersebut
memiliki syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat perkawinan
mengikuti rukun-rukunnya adalah sebagai berikut10:
1) Calon suami, syarat-syaratnya: Beragama Islam, laki-laki, jelas
orangnya, dapat memberikan persetujuan, dan tidak terdapat halangan
perkawinan.
7 Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), cet.2, h., 2-3. 8 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2. 9 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h., 46. 10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,
2004), h,. 62-63.
18
2) Calon istri, syarat-syaratnya: Beragama (meskipun Yahudi atau
Nasrani), perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuannya,
dan tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali nikah, syarat-syaratnya: Laki-laki, dewasa, mempunyai hak
perwalian, dan tidak terdapat halangan perwalian.
4) Saksi nikah, syarat-syaratnya: Minimal dua orang laki-laki, hadir dalam
ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, Islam, dan dewasa.
5) Ijab qabul, syarat-syaratnya: Adanya pernyataan mengawinkan dari
wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai, memakai
kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara
ijab dan qabul bersambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya,
orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji dan
umrah, serta majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat
orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita
dan dua orang saksi.
Sementara, Asrorun Ni’am Sholeh11 dalam bukunya menyatakan bahwa
pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun nikah dan syarat-
syaratnya sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
1) Calon suami, syaratnya yaitu Muslim, merdeka, berakal, benar-benar
laki-laki, adil, tidak beristri empat, tidak mempunyai hubungan mahram
(haram dinikahi) dengan calon istri, serta tidak sedang berihram haji
atau umrah.
2) Calon istri, syaratnya adalah Muslimah, benar-benar perempuan, telah
mendapat izin dari walinya, tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah,
tidak mempunyai hubungan mahram (haram dinikahi) dengan calon
suami, dan tidak sedang berihram haji atau umrah.
3) Sighat (Ijab dan Qabul), syaratnya adalah lafaz ijab dan qabul harus
lafaz nikah atau tazwij, bukan merupakan kata-kata kinayah (kiyasan),
11 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), h., 30-31.
19
tidak di-taʻliq-kan (dikaitkan) dengan suatu syarat tertentu yang
dilarang agama, dan lafaz tersebut harus terjadi pada satu majlis dan
bersambungan.
4) Wali calon pengantin perempuan, syaratnya ialah Muslim, berakal,
tidak fasik, laki-laki, dan mempunyai hak kewalian.
5) Dua orang saksi, syaratnya yaitu Muslim, baligh dan berakal, merdeka,
laki-laki, adil, pendengaran dan penglihatannya sempurna, memahami
bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul, serta tidak sedang berihram
haji atau umrah.
Lebih lanjut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur dua syarat
perkawinan yakni: Pertama, syarat materil yaitu syarat yang melekat pada
setiap rukun nikah, baik yang diatur dalam fiqh maupun yang diatur dalam
perundang-undangan. Kedua, syarat administratif adalah syarat yang
berhubungan dengan pencatatan perkawinan, sebagaimana disebutkan
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang
berlaku”12.
B. Perkawinan Beda Agama
1. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam
Perkawinan beda agama secara sederhana dapat dipahami sebagai
perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berbeda agama. Adapun
definisi perkawinan beda agama menurut Amir Syarifuddin13 adalah
perkawinan antara pria muslim dengan wanita nonmuslim dan sebaliknya
wanita muslimah dengan pria nonmuslim. Dalam istilah fiqh disebut kawin
dengan orang kafir. Orang yang tidak beragama Islam dalam pandangan
Islam dikelompokkan kepada kafir kitabi yang disebut juga dengan ahli
kitab dan kafir bukan kitabi atau disebut juga musyrik atau pagan.
12 Sehabudin, “Pencatatan Perkawinan dalam Kitab Fikih dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Perspektif Maqashid Syariʻah)”, dalam Jurnal Al-Mazahib,
Volume 2 No. I (Juni 2014), h., 48. 13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.2, h., 133.
20
Sedangkan Budi Handrianto14 dalam bukunya yang berjudul
Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam menjelaskan bahwa hukum
perkawinan beda agama dalam Islam dibagi menjadi dua yaitu perkawinan
pria muslim dengan wanita nonmuslim dan perkawinan wanita muslimah
dengan pria non muslim. Disini beliau membahas lebih rinci mengenai
wanita nonmuslim, sebab terdapat beberapa golongan wanita kafir, yaitu
wanita musyrik, wanita atheis (mulhidah), wanita murtad dan wanita ahli
kitab. Sementara itu Islam tidak mengatur lebih rinci mengenai pria
nonmuslim karena hukumnya tidak dibedakan.
Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti hukum perkawinan beda
agama antara orang Islam dengan orang Ahlul Kitab. Sebelum membahas
tentang kebolehan perkawinan beda agama, terlebih dahulu dijelaskan
mengenai pengertian Ahlul Kitab dan ruang lingkupnya. Berdasarkan
terminologi dan ruang lingkup Ahli Kitab/Utul Kitab terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama. Mayoritas ulama Islam cenderung membatasi
terminologi Ahli Kitab dengan Yahudi dan Nasrani, kedua agama ini
disetarakan dalam kelompok agama-agama samawi(langit/wahyu) oleh para
ahli perbandingan agama15.
Di dalam al-Qur’an juga sudah menegaskan bahwa Ahli Kitab hanya
dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani, selain kedua golongan
tersebut apakah Majusi, Hindu, Budha, penyembah berhala, Shinto,
Konghuchu, aliran animisme, dinamisme, kejawen, sekte-sekte, semuanya
digolongkan kepada kaum musyrikin16. Menurut pandangan Wahbah al-
Zuhailî yang dikutip Al Yasa, Novita17 dalam jurnalnya bahwa Ahlul Kitab
adalah orang Yahudi dan Nasrani yang diturunkan kitab Taurat dan Injil
oleh Allah kepada nabi-nabinya. Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan
14 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,
2003), h., 40. 15 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syaria dan Qanuniah,
(Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 146. 16 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, h., 49. 17 Al Yasa Abubakar dan Novita, “Pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang Perkawinan
Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab”, dalam Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Volume 1 No. 2. (Juli-Desember 2017), h., 293.
21
bahwa Ahli Kitab yang dimasudkan adalah mereka yang beragama Yahudi
dan Nasrani.
Di dalam kitab-kitab fikih umumnya, perkawinan beda agama ini masih
dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita
kitabiyah. Kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah karena
wanita kitabiyah berpedoman kepada kitab yang aslinya berasal dari wahyu
Allah Swt. Pemahaman tekstual ini didasarkan kepada surah al-Mâʻidah
ayat 5 :
حل لكم ليوم ٱي بت ٱأ وتوا ل ذين ٱوطعام لط
حل ل كم وطعامكم حل ل هم لكتب ٱأ
وتوا ل ذين ٱمن لمحصنت ٱو لمؤمنت ٱمن لمحصنت ٱو من قبلكم إذا لكتب ٱأ
ج أ ورهن ءاتيتموهن ومن يكفر ب خدان
لإيمن ٱمحصنين غير مسفحين ولا مت خذي أ
لخسرين ٱمن ألخرة ٱوهو في ۥفقد حبط عمله
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (Q.S al-
Mâʻidah [5] : 5)
Ayat ini menjelaskan tentang kebolehan menikahi perempuan ahli
kitab. Dimana halnya sejarah menunjukkan bahwa beberapa sahabat nabi
pernah menikahi perempuan Ahli Kitab. Hal ini menunjukkan bahwa
menikahi perempuan Ahli Kitab itu halal hukumnya18. Namun dalam hal
pengertian Ahli Kitab yang boleh dikawini oleh laki-laki muslim terdapat
18 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h., 288.
22
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan ahli kitab dalam ayat ini adalah orang Yahudi dan
Nasrani. Selain dari dua agama tersebut tidak termasuk ahli kitab19.
Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan beda agama
sama sekali tidak diperbolehkan termasuk perkawinan antara laki-laki
dengan perempuan ahli kitab, apalagi sebaliknya. Pendapat ini merujuk
kepada surah al-Baqarah ayat 221:
عجبتكم ولا لمشركت ٱتنكحوا ولاشركة ولو أ ن م ؤمنة خير م مة م
ولأ حت ي يؤمن
ئك حت ي يؤمنوا لمشركين ٱتنكحوا ل و عجبكم أ
شرك ولو أ ن م ؤمن خير م ولعبد م
ٱو لن ار ٱإلي عون يد عل هم ل للن اس ۦويبي ن ءايته ۦ بإذنه لمغفرة ٱو لجن ة ٱيدعوا إلي لل
رون يتذك
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Q.S al-Baqarah [2] : 221)
Ayat ini dengan tegas melarang perkawinan beda agama, bahwa laki-
laki dan perempuan muslim dilarang kawin dengan laki-laki dan perempuan
musyrik atau kafir, karena dalam ayat tersebut dikatakan bahwa “mereka
(orang-orang musyrik) itu akan membawa kamu ke neraka, sedangkan
Allah Swt akan membawamu ke surga dan ampunan”20. Dalam ayat lain
Allah juga menyatakan larangan-Nya seperti dalam ayat:
19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.2, h., 134. 20 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 156.
23
..... لكوافر ٱولا تمسكوا بعصم ......
Artinya: .... Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir .... (Q.S al-Mumtahanah
[60] : 10)
Ayat tersebut menambah dan memperkuat dalil dilarangnya kaum
muslimin untuk menikahi wanita kafir (Ahli Kitab). Maka berdasarkan
kedua ayat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya larangan
perkawinan beda agama baik laki-laki maupun perempuan. Berkenaan
dengan perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan
nonmuslim dari Ahli Kitab, ulama berbeda pendapat: Pendapat pertama,
yang membolehkan kaum muslimin menikahi wanita-wanita Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani) yakni jumhur ulama terutama ulama sunni. Termasuk
Imam Ibnu Taimiyah yang menyatakan dengan tegas tentang kebolehan
menikahi wanita Ahli Kitab. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada
surah al-Mâʻidah ayat 5.
Apabila dikaitkan dengan surah al-Baqarah ayat 221 tentang keharaman
mengawini wanita musyrikah dan surah al-Mumtahanah ayat 10 tentang
keharaman menikahi wanita kafir, surah al-Mâʻidah ayat 5 ini merupakan
tahsis (pengkhususan) dan bukan nasakh (penghapus) kedua ayat
sebelumnya. Ayat dalam al-Baqarah dan al-Mumtahanah bersifat umum dan
al-Mâʻidah bersifat khusus sehingga hukumnya menjadi jelas, yaitu
mengawini wanita kafir yang tergolong musyrik itu haram sedangkan
mengawini wanita kafir yang tergolong Ahli Kitab itu boleh21.
Ibnu Katsir22 mengemukakan bahwa “Pada zahirnya kata المحصنت dalam
surah al-Mâʻidah ayat 5 ialah wanita-wanita yang menjaga diri dari
perbuatan zina, beliau juga mendasarkan pendapatnya pada ayat lain:
21 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,
2003), h., 64. 22 Yusuf Qarḏawi, Hadyu al-Islâm Fatâwi Mu’âshirah, Penerjemah: As’ad Yasin, Fatwa-
Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h., 588.
24
خدان محصنت غير مسفحت ولا مت خذت أ
Artinya: “..... wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya ....
“ (Q.S al-Nisâʻ [4] : 25)
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Katsir, karena laki-laki muslim
tidak boleh sembarang memilih wanita untuk dikawininya. Wanita yang
dikawini hendaknya wanita yang tidak mudah menyerahkan kendalinya
kepada sembarang laki-laki, wanita yang lurus, bersih dan terhindar dari
syubhat (kesamaran). Demikianlah pendapat yang dipilih Ibnu Katsir,
beliau menyebutkan pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur,
sehingga dengan demikian laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahli
Kitab dengan ketentuan tersebut.
Menurut mazhab Hambali, secara mutlak membolehkan laki-laki
muslim menikahi wanita Ahli Kitab, dengan syarat wanita Ahli Kitab
tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak), karena kata المحصنت yang
dimaksud dalam ayat al-Mâʻidah adalah wanita merdeka. Sedangkan
mazhab Maliki membagi pendapatnya menjadi dua kelompok, pertama
memandang bahwa mengawini wanita Ahli Kitab hukumnya makruh baik
berada di dar al-harb maupun dzimmiyyah. Kedua memandang tidak
makruh sebab zhahir Q.S al-Mâʻidah ayat 5 membolehkan secara mutlak.
Tetapi tetap saja makruh karena digantungkan kemakruhannya berkaitan
dengan dar al-Islam (pemerintahan Islam), sebab wanita Ahli Kitab tetap
boleh minum khamar, memakan babi, dan pergi ke gereja. Sedangkan
suaminya tidak melakukan itu semua23.
Wahbah al-Zuhailî24 dalam tafsirnya berpendapat bahwa wanita Ahli
Kitab (yakni beragama Yahudi atau Kristen) boleh dinikahi oleh laki-laki
23 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2006),
h., 41-42. 24 Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Minhaj,
diterjemahkan oleh: Abdul Hayyie al-Kattani,dkk, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari’ah dan Manhaj
Jilid 1 (Juz 1-2), (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet.2, h., 514.
25
muslim kecuali Ahli Kitab yang tergolong ahlul-harbi25 tidak halal untuk
dinikahi, ia mengutip pendapat Ibnu Abbas yang didasarkan pada firman
Allah Swt:
تلوا ل ذين ٱ ق ٱلا يؤمنون ب لل مون ما حر م ألخر ٱ ليوم ٱولا ب ٱولا يحر ا ول ۥورسوله لل
وتوا ل ذين ٱمن لحق ٱيدينون دين عن يد وهم صغرون لجزية ٱحت ي يعطوا لكتب ٱأ
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan
apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Q.S al-Taubah [9]
: 29)
Sejalan dengan beberapa pendapat yang telah disebutkan, ulama Ahli
Sunnah wa al-Jamaʻah sepakat bahwa menikahi perempuan Yahudi dan
Nasrani itu diperbolehkan karena hal tersebut pernah dipraktekkan oleh para
sahabat, seperti Utsman bin Affan, Thalhah bin Zubair, dan Hudzaifah. Juga
pernah dipraktekkan oleh para tabi’in seperti Said bin al-Musayyab, Said
bin Zubair, dll26. Pandangan lain juga datang dari kalangan mufasir
kontemporer, di antaranya al-Sayyid Muhammad Rasyid Riḏa27 juga
menyimpulkan dan berpendirian bahwa menikahi wanita Kitabiah
hukumnya jaiz (boleh), pendapat tersebut didasarkan pada surat al-Mâʻidah
ayat 5.
Di antara golongan yang berpendapat bahwa menikahi wanita Ahlul
Kitab hukumnya halal, Ibrahim Hosen28 mengemukakan pendapat yang
25 Yang dimaksud dengan Ahlul Harbi dalam HR. Bukhâri sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu ‘Abbas r.a adalah mereka yang memerangi kaum muslimin dan bermusuhan dengan kaum
muslimin. Lihat, Salma Mursyid dalam Jurnal Aqlam – Journal of Islam and Plurality Volume 2
Nomor 1, (Desember 2016), h., 42. 26 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h., 179. 27 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 119. 28 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h., 290.
26
menjelaskan bahwa wanita Ahlul Kitab ialah yang telah membayar jizyah,
sedangkan Ahlul Kitab yang tidak membayar jizyah tetap berlaku padanya
hukum perang, dan tidak halal dinikahi oleh kaum muslimin. Hal ini
berdasarkan kepada surah al-Taubah ayat 29.
Pendapat kedua, adalah pendapat yang melarang atau mengharamkan
pernikahan beda agama. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Umar dan Syi’ah
Imamiah. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada surah al-Baqarah ayat
221 dan surah al-Mumtahanah ayat 10 yang melarang kaum muslimin
menikah dengan perempuan musyrik. Bagi mereka orang musyrik juga
termasuk Ahli Kitab, dengan alasan bahwa orang Yahudi mempertuhankan
Uzair dan orang-orang Nasrani mempertuhankan al-Masih Isa bin Maryam.
al-Qur’an mensifati mereka sebagai orang yang berbuat syirik, dimana dosa
syirik tidak dapat diampuni jika mereka tidak bertobat kepada Allah
sebelum meninggal dunia29.
Abdullah bin Umar ketika ditanya tentang perkawinan dengan wanita
Yahudi dan Nasrani ia menjawab, “Allah Swt telah mengharamkan wanita-
wanita musyrik bagi kaum muslimin. Sehingga aku tidak mengetahui
manakah syirik yang lebih besar daripada syirik perempuan yang
mengatakan bahwa Isa adalah Tuhannya, sedangkan Isa merupakan seorang
hamba Allah.” Pendapat Ibnu Umar ini dijadikan pegangan oleh mazhab
syiah Imamiah dan Zaidiyah30. Dapat dipahami bahwa pendapat yang
dikemukakan oleh Ibnu Umar tidak membedakan antara wanita Ahli Kitab
dan wanita musyrik. Karena Ahli Kitab yang berbuat syirik dikategorikan
sebagai musyrik.
Namun pendapat Ibnu Umar ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat
nabi lainnya. Karena mereka mengacu kepada bunyi teks pada surah al-
Mâʻidah ayat 5 yang sering penulis sebutkan di atas, menyatakan bahwa
walaupun akidah ketuhanan Ahli Kitab tidak sama dengan akidah Islamiah,
29 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluratitas Hukum Agama”,
dalam Jurnal Cita Hukum Vol. II No. 2 (Desember 2015), h., 295-296. 30 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,
2003), h., 54.
27
akan tetapi al-Qur’an membedakan mereka dengan kaum musyrikin dan
memberi nama khusus, yakni Ahli Kitab. Sebagaimana firman Allah Swt:
هل ل ذين ٱيكن لم تيهم لمشركين ٱو لكتب ٱكفروا من أ
ين حت ي تأ لبي نة ٱمنفك
Artinya: Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)
sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Q.S al-Bayyinah [98]:1)
Ayat ini menjadikan orang kafir menjadi dua kelompok, yaitu Ahli
Kitab dan orang-orang musyrik. Perbedaan tersebut dapat dipahami dengan
adanya huruf و (wau) pada ayat di atas yang berarti “dan”. Dari segi bahasa
huruf ini digunakan untuk memisahkan dua hal yang berbeda31. Pendapat
lain yang menyatakan keharaman menikahi wanita Ahli Kitab karena
mereka termasuk musyrik yang telah mengubah, mengganti dan
mengingkari risalah Muhammad Saw32. Hal ini didasarkan pada ayat al-
Qur’an surah Yûsuf ayat 106:
وما كثرهم ب ٱيؤمن أ شركون لل ا وهم م
إل
Artinya: Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada
Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain). (Q.S Yûsuf [12] : 106)
Pendapat selanjutnya adalah pendapat Umar bin Khattab. Ia melarang
laki-laki muslim menikahi wanita non muslim (Ahli Kitab) dengan
pertimbangan untuk melindungi wanita muslimah, dan untuk kepentingan
negara, agar rahasia negara tidak bocor melalui istri pemimpin Islam yang
non muslimah itu. Lalu terdapat dalam suatu riwayat Umar ra. pernah
berkata kepada Hudzaifah: “Apabila orang-orang Islam suka menikahi
perempuan kitabiyah, maka siapakah yang akan mengawini perempuan
31 M. Qurais Sihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an), (Ciputat:
Lentera Hati, 2007), h., 30-31. 32 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), cet.2, h., 8.
28
muslimah?” hal ini menunjukkan bahwa Umar melarang perkawinan beda
agama karena untuk penjagaan dan pengawasan yakni urusan politik, bukan
karena haram menikahi wanita ahli kitab33.
Menurut Abdul Mutâl al-Jabry, Ahli kitab yang boleh dikawini adalah
suatu generasi Ahli Kitab yang memeluk agamanya sebelum Nabi
Muhammad diutus, namun setelah Nabi Muhammad diutus termasuk juga
pada zaman Rasulullah haram mengawini Ahli Kitab karena mereka
termasuk golongan orang-orang musyrik yang disimpulkan dari surah Al-
Baqarah ayat 221 yang berbunyi: يؤمن تحتى Dan janganlah) ولتنكحواٱلمشرك
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman) ayat ini
masih bersifat umum mengenai larangan menikahi orang-orang musyrik,
setelah itu turunlah ayat yang mengkhususkan yang umum tersebut dengan
firman Allah surah Al-Maidah ayat 5: ب ٱلكت -di antara orang) منٱلذينأوتوا
orang yang diberi Al-Kitab) lalu orang Ahli Kitab yang boleh dikawini ini
dibatasi dengan waktu منقبلكم (Ahli Kitab sebelum kamu)34.
Selanjutnya Amir Syarifuddin35 juga mendasarkan pendapatnya pada
surah al-Mâʻidah ayat 5, bahwasanya Ahli Kitab yang dimaksud pada ayat
tersebut adalah orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di masa Nabi
Muhammad, karena pada masa itu agama mereka diterima oleh Nabi.
Mengenai hukum menikahi wanita Ahli Kitab yang terdapat dalam ayat
tersebut apakah berlaku untuk orang Yahudi dan Kristen zaman sekarang,
disini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Mayoritas ulama
mengatakan mereka tidak lagi termasuk wanita Ahli Kitab yang boleh
dikawini.
Selain membahas perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
Ahli Kitab, penulis juga membahas perkawinan wanita muslimah dengan
laki-laki nonmuslim yang masih mengundang perdebatan. Padahal jika
33 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 159. 34 Abdul Mutâl Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,
penerjemah: Achmad Syathori, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), cet. 3, h., 44-46. 35 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2013), cet.4, h., 117.
29
diilihat dari segi hukumnya, ulama telah sepakat bahwa perkawinan tersebut
haram hukumnya, baik laki-laki itu Ahli Kitab maupun bukan Ahli Kitab
(musyrik)36. Larangan wanita muslimah menikahi laki-laki nonmuslim ini
sesuai dengan firman Allah surah al-Baqarah ayat 221, yakni wanita-wanita
mukmin dilarang menikah dengan orang-orang musyrik sebelum mereka itu
beriman, karena mereka akan menjerumuskan wanita muslimah ke neraka,
hal ini juga ditegaskan dalam surah al-Mumtahanah ayat 10 bahwasanya
wanita beriman tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir
tidak pula halal bagi wanita beriman37.
Al-Sayyid Sâbiq menyebutkan beberapa alasan mengenai keharaman
wanita muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim yaitu Pertama,
orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan surah al-Nisâʻ
ayat 141: ....dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk
mengalahkan orang mukmin. Kedua, laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak
akan memahami agama istrinya yang muslimah, bahkan akan mendustakan
kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Ketiga, dalam rumah tangga
campuran pasangan suami-istri tidak mungkin hidup bersama karena
perbedaan keimanan yang jauh38.
Selanjutnya, pendapat lain yang sejalan dengan pendapat di atas
memandang bahwa perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki
nonmuslim amatlah buruk, karena perkawinan tersebut tidak sah dan haram
hukumnya, berdasarkan ijma’ umat Islam. Persetubuhan wanita muslimah
dengan suaminya yang nonmuslim pun tidak menjadikan halal hukumnya
walaupun perkawinannya sudah lama masanya karena pada dasarnya
perkawinan tersebut tidak sah, dan bahkan Anak yang lahir dari pernikahan
tersebut merupakan anak zina39.
36 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), cet.2, h., 13. 37 H. A Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan
Pena Divisi Penerbitan, 2005), h., 78. 38 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2006),
h., 36-37. 39 Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Minhaj,
diterjemahkan oleh: Abdul Hayyie al-Kattani,dkk, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari’ah dan Manhaj
Jilid 1 (Juz 1-2), (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet.2, h., 516.
30
Demikianlah, mengapa syariat Islam mengharamkan perkawinan
wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim karena Islam merupakan
agama yang melindungi. Perkawinan seperti ini tidak mengenal Islam, tidak
mengenal kitabnya dan tidak mengenal rasulnya. Dalam rumah tangga
suami lah yang bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Mereka
akan berada dalam penguasaan pemimpin keluarga yang akidahnya tidak
benar. Pendapat ini didasarkan pada surah al-Mumtahanah ayat 10 yang
mengungkap permasalahan suami yang musyrik, kemudian Ahli ilmu
mengambil keumuman lafalnya dengan memuat kafir kitabi dan orang-
orang musyrik, disandarkan pada surah al-Nisâʻ ayat 141: “.......dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman”40.
Berbeda dengan pendapat di atas, Usman41 menyimpulkan bahwasanya
dalam konteks perkawinan beda agama semestinya tidak hanya laki-laki
muslim saja yang boleh menikah dengan wanita Ahli Kitab, namun
sebaliknya wanita muslimah juga diperbolehkan menikah dengan laki-laki
nonmuslim, alasannya karena peran wanita dan perempuan dalam semua
aspek rumah tangga itu sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pendapat yang membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab didasarkan
dengan surah al-Mâʻidah ayat 5 yang bersifat khusus, sehingga hukumnya
sangat jelas yaitu diharamkan menikahi wanita kafir yang tergolong
musyrik dan dibolehkan menikahi wanita Ahli Kitab.
Lalu madzhab Hambali menambahkan bahwa wanita Ahli Kitab itu
harus wanita yang merdeka bukan budak. Sedangkan pendapat yang tidak
membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab, didasarkan
pada surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10, karena para
wanita Ahli Kitab termasuk orang musyrik yang masih mempertuhankan
Uzair dan al-Masih Isa Bin Maryam. Menurut Umar bin Khattab
40 Musa Shalih Syaraf, Fatwa-Fatwa Kontemporer tentang Problematika Wanita,
diterjemahkan oleh: Iltizam Syamsuddin, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h., 27-28. 41 Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Pemikiran Reaktualisasi
Hukum Islam Munawir Sjadzali, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2015), h., 142.
31
pengharaman ini adalah untuk melindungi wanita muslimah, sebab jika laki-
laki muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab akan berakibat banyak yang
lebih memilih menikahi wanita Ahli Kitab dibandingkan wanita muslimah,
sedangkan mayoritas ulama fiqh mengatakan mereka tidak lagi termasuk
wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini. Adapun hukum menikahi laki-laki
musyrik, ulama telah sepakat bahwa perkawinan tersebut haram hukumnya.
2. Konsep Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif
Dalam konteks perkawinan, yang dimaksud dengan hukum positif
menurut pakar ilmu hukum adalah hukum perkawinan atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan diberlakukan di suatu negara hukum
Indonesia, sejak diundangkan dan disahkannya Undang-Undang
Perkawinan hingga Undang-Undang tersebut dinyatakan sudah tidak
berlaku lagi atau sudah diubah/ditambah aturannya dengan peraturan
perundang-undangan baru yang menggantikannya.
Untuk negara Indonesia, hukum positif bidang Perkawinan yang
diberlakukan yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, dan khusus untuk orang-orang yang beragama Islam,
juga berlaku Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)42. Ketiga peraturan perundang-
undangan tersebut, jelas mengatur hukum materil dan administratif di
bidang perkawinan.
Sukarja mencatat bahwa jauh sebelum Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah berlaku Hukum Antar-Golongan
yang mengatur perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Kolonial Belanda, yakni Regeling op de
Gemengde Huwelijke (GHR) dan sebagaimana dimuat dalam Staatsblad
1898 No. 158. Dalam hal ini perkawinan antar agama termasuk ke dalam
42 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 132.
32
perkawinan campuran di bawah GHR. Namun, dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua ketentuan-
ketentuan terdahulu mengenai perkawinan sepanjang telah diatur dalam
Undang-Undang tersebut dinyatakan sudah tidak berlaku lagi43.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada satu pasal pun
yang membahas secara khusus dan tegas tentang perkawinan beda agama,
namun ada beberapa pasal yang dijadikan sebagai landasan dalam
perkawinan beda agama. Pasal-pasal tersebut diantaranya: Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 8 huruf (f). Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan
berbunyi44, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa “Dengan
perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini”.
Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah calon
mempelai sudah memenuhi syarat-syarat ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan oleh hukum agamanya
masing-masing. Sehingga jika dihubungkan dengan perkawinan beda
agama, maka untuk keabsahannya juga diserahkan pada masing-masing
agamanya karena tidak ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan
secara langsung45. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ini
43 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,
2003), h., 140-141. 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2
ayat (1). 45 Moh Syamsul Muarif, “Legalitas Perkawinan Beda Agama dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Perkawinan”, (Tesis Program Magister al-Ahwal al-Syakhsiyah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2015), h., 104.
33
diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) yang menyebutkan bahwa perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal ini secara tegas
mengakomodasi hukum-hukum yang berlaku dalam masing-masing
agama46.
Menurut Iehtijanto47 pakar Hukum Keluarga Fakultas Hukum
Universitas Indonesia sebagaimana yang dikutip Hutari dalam jurnalnya
berpendapat bahwa perkawinan antar agama sudah diatur secara jelas dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57. Beliau menyebutkan
beberapa gagasan yang terdapat dalam pasal tersebut diantaranya adalah
perkawinan campuran yang dilakukan antara dua orang di Indonesia yang
tunduk pada hukum yang berlainan. Perkawinan beda agama termasuk di
dalamnya karena pengertian tunduk pada hukum yang berbeda dapat
diartikan juga dengan hukum yang berlainan.
Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan beda
agama sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Oleh karena itu dengan merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 66, menurut pendapat ini peraturan-peraturan lama yang terdapat
dalam pasal tersebut diberlakukan. Namun Sukarja memberikan komentar
lain terhadap pendapat tersebut, seperti ditulis Budi Handrianto48 dalam
bukunya, menurutnya pendapat ini kurang tepat karena tidak diaturnya
perkawinan beda agama secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 karena perkawinan itu kurang dikehendaki pelaksanaannya.
Sejalan dengan itu Kompilasi Hukum Islam mempertegas melalui Pasal
40, 44, 61 dan 75 bahwa hanya perkawinan satu agama yang diperkenankan.
Oleh karena itu, pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa
46 Asep Saepudin Jahar, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Ciputat: Kencana, 2013), h., 67. 47 Hutari H.W.P, “Legalitas Perkawinan Antar Pemeluk Beda Agama di Indonesia
dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, dalam Jurnal Hukum
dan Pembangunan Tahun Ke-36 No. 2 (April-Juni 2006), h., 228. 48 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,
2003), h., 142.
34
apabila salah satu pihak keluar dari agama Islam, maka hal tersebut dapat
dijadikan alasan oleh pihak lainnya untuk mengajukan perceraian49. Pasal
40 huruf c menyebutkan bahwa “dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (a)
karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain; (b) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain; (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”50.
Sedangkan Pasal 44 yang berbunyi: “seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam”51. Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 di atas secara tegas melarang
terjadinya perkawinan baik antara laki-laki muslim dengan wanita non
muslim maupun wanita muslimah dengan laki-laki non muslim. Jadi pasal
ini mengatur secara tegas bahwasanya orang Islam dilarang menikah dengan
orang non muslim apapun agama yang dianutnya, baik itu Ahli Kitab
maupun bukan Ahli Kitab.
Menurut M. Karsayuda dalam bukunya menyebutkan bahwa
sesungguhnya Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 ini merupakan syarat bagi calon
mempelai, walau dalam pasal tersebut disebutkan larangan dan bukan
rukun, namun kedua calon mempelai itu merupakan rukun nikah. Antara
rukun dan syarat dalam perkawinan, memiliki konsekwensi hukum yang
berbeda apabila ada yang tidak terpenuhi. Ketika rukun nikah yang tidak
terpenuhi maka perkawinan harus dinyatakan batal demi hukum, akan tetapi
apabila syarat yang tidak terpenuhi, maka pembatalannya tergantung dari
pengajuan para pihak, dan jika tidak ada pengajuan, maka perkawinannya
dianggap sah. Disini beliau menyimpulkan bahwa perkawinan yang
dilakukan oleh pihak yang berbeda agama seyogianya termasuk dapat
dibatalkan, karena Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan status
49 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 126. 50 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB VI: Larangan Perkawinan, Pasal 40 huruf c. 51 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB VI: Larangan Perkawinan, Pasal 44.
35
perkawinan beda agama ini, apakah batal demi hukum atau dapat
dibatalkan52.
Selanjutnya, pada bagian pencegahan perkawinan disebutkan bahwa
“tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien”53.
Dalam hal ini pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila kedua calon
mempelai menganut agama yang berbeda. Pasal 75 huruf a mengatur:
“keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap
perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad”54.
Ketentuan ini menimbulkan dampak bahwa sebuah perkawinan yang
salah satu pihaknya murtad, maka akan dibatalkan perkawinannya terhitung
sejak putusan Pengadilan Agama dijatuhkan dan mempunyai kekuatan
hukum tetap. Pembatalan oleh Pengadilan ini dapat dilakukan apabila ada
permohonan yang diajukan oleh pihak yang berhak, karena murtadnya
seseorang tidak membuat otomatis perkawinan tersebut menjadi batal55.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa mengenai
perkawinan beda agama sebanyak dua kali, pertama pada Musyawarah
Nasional (Munas) II MUI tanggal 11-17 Rajab 1400H, bertepatan dengan
26 Mei- 1 Juni 1980M tentang perkawinan campuran dan yang kedua lebih
spesifik, pada Forum Munas MUI VII tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426H
bertepatan 26-29 Juli 2005M di Jakarta tentang perkawinan beda agama.
Dalam fatwa pada tahun 1980 haramnya perkawinan beda agama dengan
didasarkan pada prinsip sadd al-dzariʻah yang mencegah lahirnya mafsadah
yang lebih besar, meskipun ada maslahah tetapi mafsadahnya lebih besar.
Dan pada fatwa tahun 2005 ditetapkannya perkawinan beda agama adalah
52 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 137. 53 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB X: Pencegahan Perkawinan, Pasal 61. 54 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB XI: Batalnya Perkawinan, Pasal 75 huruf a. 55 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, h., 140.
36
haram dan tidak sah, demikian juga menurut qaul mu’tamad adalah haram
dan tidak sah56.
C. Teori Maqashid al-Syari’ah
1) Pengertian Maqashid al-Syari’ah
Menurut Abu al-Husyain Ahmad dalam kitab Mu’jam Maqayis al-
Lughah sebagaimana dikutip Abdi Wijaya57 dalam jurnalnya, bahwa
maqasid al-syari’ah dari segi bahasa terdiri dari dua kata, yaitu maqasid dan
al-syari’ah. Makna maqasid dapat dikemukakan sebagai berikut:
صد ع م ج : ة غ ل د ا ص ق م ل ا ص م ال و ,مق ي م م ي م ر د ص م :د ق ال ق ي " د ص ق ل ع ف ال ن م ذ و خ أ
ا وم : د صد قص ا قصد يق صد د و ق ال ف ,ق م ال ص صد ب د ق ال و د اح ي و ن ع م ق ي ص أ ة لغ ل ي اي ف ت
ي ال ن ع م ال , ان ع م ل ال و , اد م ت اع ل ا : ل و أ م
. ه ج و الت و , ء ي الش ان ي ت إو ,أ
“Maqasid secara bahasa adalah jamak dari maqsad, dan maqsad masdar
mimi dari fi’il qasada, dapat dikatakan: qasada-yaqsidu-qasdan-wa maqsadan, al-qasdu dan al maqsadu artinya sama, beberapa arti al-qasdu
adalah: al-i’timad: berpegang teguh, al-amma: condong, mendatangi
sesuatu dan menuju”.
Makna yang sejalan, dikemukakan oleh Amir Syarifuddin dalam
bukunya bahwa secara etimologi kata maqasid merupakan bentuk jama’
dari maqasad yang berarti maksud dan tujuan. Sedangkan kata al-syari’ah
yang sejatinya berarti hukum-hukum Allah, baik yang ditetapkan oleh
Allah, maupun ditetapkan oleh Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang
ditetapkan oleh Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang
ditetapkan oleh Allah atau dijelaskan oleh Nabi. Karena yang dihubungkan
kepada kata syari’at itu adalah kata “maksud”, maka kata al-syari’ah berarti
pembuat hukum atau syari’, bukan hukum itu sendiri58.
56 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), h., 124-126. 57 Abdi Wijaya, “Cara Memahami Maqashid al-Syari’ah”, dalam Jurnal Ad-Daulah Vol. 4
/ No. 2 / Desember 2015, h., 346. 58 Amir Syarifuddin, Ushul fiqih jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2017), h., 231. Lihat juga Abdul
Manan dalam bukunya Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
37
Al-Syari’ah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yakni,
syaraʻa-yasyraʻu-syarʻan yang berarti membuat syari’at atau undang-
undang, menerangkan serta menyatakan59. Sedangkan secara terminologi al-
syari’ah adalah al-nusus al-muqaddasah (teks-teks suci) dari al-Qur’an dan
al-Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh
pemikiran manusia60. Adapun secara terminologi maqasid al-syari’ah
didefinisikan dengan berbagai pendapat.
Menurut Satria Efendi, maqasid al-syari’ah mengandung pengertian
umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu
pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum,
baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang
terkandung di dalamnya. Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah
substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.
Sementara itu Wahbah al-Zuhailî mengartikan maqasid al-syari’ah dengan
makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh
hukumnya atau sebagian besar hukumnya dan rahasia-rahasia yang
diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya61.
Sedangkan secara terminologi Maqasid al-Syari’ah dimaknai oleh
Izzuddin bin Abd al-Salam62 dalam bukunya al-Qawa’id al-Sugra,
sebagaimana dikutip oleh Zul Anwar Harahap yaitu:
ع ي ر ش الت د اص ق م ع م ال ي ه ة ام ع ال ة ظ و ح ل م ال م ك ح ال و ي ان ع ي م ي ج ف ع ار لش ل
ال و ح أ
ع ي ر ش الت ه م ظ ع م و أ ص ت خ ا ت ل ث ي ح ا ب ه ت ظ ح لا م ب ن م اص خ ع و ي ن ف ن و ك ا ل ا ب
م ا كح أ
2006), h., 105 dan Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin dalam buku yang berjudul Kamus Ilmu
Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), h., 196. 59 Ali Mutakin, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570, h., 550. 60 Moh. Toriquddin, “Teori Maqashid Syariah Perspektif al-Syatibi”, dalam de Jure, Jurnal
Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, h., 34. 61 Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal Sultan
Agung Vol. XLIV No. 118 (Juni-Agustus 2009), h., 119. 62 Zul Anwar Ajim Harahap, “Konsep Maqashid al-Syari’ah sebagai Dasar Penetapan dan
Penerapannya dalam Hukum Islam Menurut Izzuddin bin Abd al-Salam (W.660H)”, dalam Jurnal
Tazkir Vol.9 No. (Juli-Desember 2014), h., 179.
38
ذ ي ه ف ل خ د ي ف , ة ع ي ر الش ع م ال و ة ام ع ا ال ه ت ا ي غ و ة ع ي ر الش اف ص و ا أ و ل خ ا ي ي ل ت ال ي ان
م ن ع ع ي ر ش الت . اه ت ظ ح لا
“Maqasid al-Syariʻah adalah makna dan kebijaksanaan yang dipelihara
oleh syariʻ pada semua penetapan hukum atau sebagian besarnya sekalipun
tidak dikhususkan untuk memeliharanya pada setiap jenis hukum dari
hukum-hukum syariʻah, maka termasuk di dalamnya setiap hal yang diberi
sifat hukum dan tujuannya yang tidak terlepas syaraʻ dalam
memeliharanya”.
Selanjutnya Izzuddin bin Abd Salam menerangkan bahwa semua
maqasid bertujuan untuk memelihara aturan-aturan hukum yang ada untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menolak hal-hal yang merusak63.
Dikalangan ulama ushul fiqh, maqasid al-syariʻah merupakan tujuan al-
syariʻ dalam menetapkan hukum. Tujuan hukum tersebut dapat dipahami
melalui penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian
ulama ushul fiqh tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa tujuan al-Syari’
menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia (al-maslahah),
baik di dunia maupun di akhirat64.
Imam al-Ghazâlî mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah
adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara
tujuan-tujuan syara’. Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan
syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena
kemaslahatan manusia sering didasarkan kepada hawa nafsu. Misalnya pada
zaman jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan, hal ini
merupakan kemaslahatan bagi mereka karena sesuai dengan adat istiadat
mereka, tetapi pandangan ini tidak sesuai dengan kehendak syara’, maka
tidak dinamakan maslahah.
Maka dari itu menurut Imam al-Ghazâlî, yang menjadi patokan
dalam menentukan kemaslahatan adalah kehendak dan tujuan syara’ bukan
63 Zul Anwar Ajim Harahap, “Konsep Maqashid al-Syari’ah sebagai Dasar Penetapan dan
Penerapannya dalam Hukum Islam Menurut Izzuddin bin Abd al-Salam (W.660H)”, dalam Jurnal
Tazkir Vol.9 No. (Juli-Desember 2014), h., 179. 64 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 304.
39
kehendak dan tujuan manusia65. Berkaitan dengan hal tersebut Imam al-
Syaṯibi sebagaimana dikutip Ali Mutakin66 dalam jurnalnya mengatakan
bahwa:
ما هو لمصا لح ال عباد في ال عا جل وال ا جل معا ا رع إن ع الش إن وض
“sesungguhnya syari’ (pembuat syari’at) dalam mensyari’atkan hukumnya
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya baik di dunia
maupun di akhirat secara bersamaan.
2) Ruang lingkup Maqashid al-Syari’ah
Kemaslahatan akan terwujud apabila lima unsur pokok (usul al-
khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut
adalah al-Dîn (agama), al-Nafs (jiwa), al-‘Aql (akal), al-Nasl (keturunan),
dan al-Mâl (harta). Untuk mewujudkan pemeliharaan ushul al-khamsah
tersebut, maka maslahah dibagi kepada tiga tingkatan kepentingan, yaitu
maslahah al-Ḏaruriyat (kemaslahatan primer), maslahah al-Hajiyat
(kemaslahatan sekunder), dan maslahah al-Tahsiniyat (kemaslahatan
tersier)67.
Maslahah al-Ḏaruriyat yaitu kebutuhan yang harus ada atau disebut
dengan kebutuhan primer. Apabila dalam tingkat ini tidak terpenuhi, maka
akan mengancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Menurut al- Syaṯibi dalam memelihara usul al-khamsah inilah
syariat Islam diturunkan. Dalam ayat hukum pun bila diteliti bertujuan
untuk memelihara lima pokok di atas68. Maslahah al-Hajiyat ialah
kemaslahatan yang diperlukan dalam menyempurnakan kemaslahatan
65 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu Anggota IKAPI, 1997),
h., 114. 66 Ali Mutakin, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570, h., 548. 67 Lihat Ali Mutakin, “Implementasi Maqashid al-Syari’ah dalam Putusan Bahts al-Masa’il
tentang Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal Koordinat Vol. XV No. 2 (Oktober, 2016), h., 167.
Lihat juga Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, diterjemahkan oleh Khikmawati
(Kuwais), (Jakarta: Amzah, 2013). Yang membahas secara detil mengenai ushul al-khamsah. 68 Galuh Nashrullah Kartika MR dan Hasni Noor, “Konsep Maqashid al-Syariah dalam
Menentukan Hukum Islam (Perspektif al-Syatibi dan Jasser Auda)”, dalam Jurnal al-Iqtishadiyah
Volume I, Issue I, (Desember 2014), h., 54.
40
pokok yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah dibolehkan
meringkas (qasr) shalat yang sedang musafir69.
Maslahah al-Tahsiniyat adalah kemaslahatan yang dimaksudkan
agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan
pemeliharaan kelima unsur pokok tersebut70. Seperti memakan makanan
yang halal, menutup aurat dan menjaga kebersihan. Menurut Abdul Wahab
Khallaf, apabila ketiga kemaslahatan di atas masing-masing telah dipenuhi
secara sempurna berarti telah terealisasi kemaslahatan manusia yang
merupakan tujuan hukum syariat71. Berikut ini akan dijelaskan mengenai
kelima pokok (usul al-khamsah) kemaslahatan tersebut:
1. Hifz al-Dîn (memelihara agama). Memeluk suatu agama merupakan
fitrah yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkan manusia. Allah
mensyari’atkan kepada setiap manusia untuk memelihara agama, baik
berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun muamalah72. Dalam hal
agama, Islam menjaga hak dan kebebasan berkeyakinan dan beribadah,
setiap pemeluk agama berhak atas agama dan mazhabnya tidak boleh
ada paksaan untuk meninggalkannya menuju agama atau mazhab lain.
Dasar hak ini sesuai dengan firman Allah73:
ين ٱإكراه في لا ٱمن لر شد ٱقد ت بي ن لد لغي
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
(Q.S al-Baqarah [2]: 256)
Memelihara agama dalam tingkat ḏaruriyat seperti melaksanakan
shalat lima waktu, jika shalat ini diabaikan maka akan terancamlah
69 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 116. 70 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: AMZAH,
2009), h., 197. 71 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 227. 72 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h., 115. 73 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),
(Jakarta: AMZAH, 2009), h., 1.
41
keutuhan agama. Tingkat hajiyat seperti shalat jamaʻ dan qasar bagi
yang bepergian. Jika tidak dilaksanakan makan akan mempersulit orang
yang bepergian. Dalam tingkat tahsiniyat, misalnya menutup aurat
dalam shalat dan di luar shalat, membersikan pakaian dan badan. Pada
tingkatan ini berhubungan dengan akhlak terpuji dan menjunjung tinggi
martabat manusia, jika tidak dilakukan maka tidak akan merusak
keutuhan agama dan tidak mempersulit orang yang melakukannya74.
2. Hifz al-Nafs (memelihara jiwa). Hak hidup merupakan hak paling utama
yang diperhatikan Islam. Hak yang disucikan dan tidak boleh
dihancurkan kemuliaannya. Allah telah menciptakan manusia dengan
fitrah yang diciptakan-Nya untuk manusia dan menyempurnakan
tubuhnya dalam bentuk yang dikehendaki-Nya. Dalam firman Allah75:
ٱصنع تقن كل شيء إن ه ل ذي ٱ لل بما تفعلون ۥأ خبير
Artinya: (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh
tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (Q.S al-Naml [27]:88)
Memelihara jiwa dalam tingkat ḏaruriyat seperti memperoleh
makanan untuk mempertahankan hidup, jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka akan mengancam jiwa manusia. Dalam tingkat hajiyat
seperti dibolehkannya berburu, menikmati makanan dan minuman lezat,
jika kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam hidup manusia
hanya saja akan mempersulit hidupnya. Sedangkan tingkat tahsiniyat
seperti adab ketika makan dan minum. Hal ini berhubungan dengan
kesopanan yang tidak mengancam jiwa manusia maupun mempersulit
kehidupan manusia76.
3. Hifz al-‘Aql (memelihara akal). Akal yang diciptakan Allah Swt untuk
manusia merupakan sumber hikmah (pengetahuan), cahaya mata hati,
74 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 228. 75 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),
h., 22. 76 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 228.
42
dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal,
menjadikan manusia mulia dan berbeda dengan makhluk yang lainnya,
dan dengannya pula manusia berhak menjadi pemimpin di muka bumi.
Sebagaimana firman Allah Swt:
منا بني ءادم وحملنهم في ن لبحر ٱو لبر ٱولقد كر ي بت ٱورزقنهم م لنه لط م وفض
ن خلقنا تفضيلا علي كثير م م
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki
dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S al-
Isra’ [17]:70)
Diriwayatkan juga dari Nabi Muhammad Saw:
ق ر ف ي ب ل ق ي ال ف ر و ن ل ق ع ال ن ي ب ه ب ل اط ب ال و ق ح ال
Artinya: Akal adalah cahaya dalam hati yang membedakan antara
perkara yang haq dan perkara yang batil77.
Dari sinilah Islam memerintahkan manusia untuk memelihara
akalnya dan menjaga segala macam yang merusak dan berkurangnya
akal tersebut. Apabila Allah menyempurnakan akal manusia maka
sempurnalah akal dan kebutuhannya. Cara memelihara akal dalam
tingkat ḏaruriyat adalah diharamkannya meminum minuman keras, jika
hal ini tidak dilarang maka akan merusak akal seseorang.
Dalam tingkat hajiyat dengan cara menuntut ilmu pengetahuan.
Apabila hal ini tidak dilakukan maka akan mempersulit seseorang dalam
kehidupannya. Sedangkan dalam tingkat tahsiniyat seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal karena termasuk kegiatan yang
77 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),
(Jakarta: AMZAH, 2009), h., 91-93.
43
tidak berfaedah. Hal ini jika tidak dilakukan tidak akan mengancam dan
mempersulit kehidupan manusia karena beraitan dengan etika78.
4. Hifz al-Nasl (memelihara keturunan). Berketurunan merupakan masalah
pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan manusia
di muka bumi ini79. Ketika nasab menjadi fondasi kekerabatan dalam
keluarga, maka Islam memberikan perhatiannya untuk melindungi
nasab dari segala sesuatu yang merusaknya. Dalam hal ini Allah
berfirman:
زك لهم إن قللك أ بصرهم ويحفظوا فروجهم ذ
وا من أ ٱل لمؤمنين يغض خبي لل ر
ولا يبدين وقل ٠٣بما يصنعون ويحفظن فروجهن بصرهن ل لمؤمنت يغضضن من أ
إل ا ولا يبدين زينتهن وليضربن بخمرهن علي جيوبهن إل ا ما ظهر منها زينتهن
و ءابائه أ ن لبعولتهن
و أ
أ نهن و إخو
أ بناء بعولتهن
و أ أ بنائهن
و أ أ و ءاباء بعولتهن
و أ يمنهن
و ما ملكت أ
أ و نسائهن
أ تهن خو
و بني أ
أ نهن بعين ٱبني إخو ل لت و
غير أ
و لر جال ٱ من لإربة ٱفل ٱأ ولا يضربن لن ساء ٱلم يظهروا علي عورت ل ذين ٱ لط
وتوبوا إلي ليعلم ما يخفين من زينتهن رجلهن ٱبأ ي ه لل
ا أ عل كم ل لمؤمنون ٱجميع
تفلحون
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-
78 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 229. 79 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 115.
44
putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S al-Nur [24]:
30-31)
Memelihara keturunan disini dapat dibedakan menjadi tiga
tingkatan yaitu tingkat ḏaruriyat seperti disyariatkan menikah dan
dilarang berzina. Jika aturan ini tidak dipatuhi maka akan mengancam
keutuhan keturunan. Tingkat hajiyat seperti diberikan hak talak kepada
suami. Jika hak ini tidak diperbolehkan, maka si suami akan kesulitan
ketika rumah tangga sudah tidak harmonis lagi. Pada tingkat tahsiniyat
seperti walimah dalam perkawinan. jika hal ini tidak dilakukan maka
tidak akan mengancam keutuhan keturunan hanya sedikit mempersulit
saja80.
5. Hifz al-Mâl (memelihara harta). Harta merupakan sesuatu yang pokok
dalam kehidupan manusia, dimana manusia tidak bisa dipisahkan
dengannya. Harta tersebut dihasilkan dengan cara bekerja dan mewaris,
sehingga seseorang tidak boleh mengambil harta orang lain dengan cara
yang bathil. Sebagaimana firman Allah81:
لاو لكم بينكم ب موكلوا أ
ام ٱوتدلوا بها إلي لبطل ٱتأ ن لحك كلوا فريقا م
لتأ
ل مو لن اس ٱأ نتم تعلمون لإثم ٱب
وأ
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
80 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 229. 81 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, penerjemah: Khikmawati (Kuwais),
(Jakarta: AMZAH, 2009), h., 167-168.
45
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.S al-
Baqarah[2]: 188)
Memelihara harta dalam tingkat ḏaruriyat, seperti disyariatkannya
tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain
dengan cara yang tidak sah. Kalau aturan ini dilanggar maka akan
mengancam keutuhan harta. Tingkat hajiyat, seperti disyariatkannya
jual beli dengan cara salam. Jika cara ini tidak dipakai maka akan
mempersulit orang yang membutuhkan modal. Dalam tingkat
tahsiniyat, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha
penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika dalam bermuamalah atau
etika bisnis82.
82 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 230.
46
46
BAB III
PERKAWINAN BEDA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI
A. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Dalam menegakkan aturan-aturan hukum yang ada di Indonesia,
maka diperlukan adanya suatu lembaga yang disebut kekuasaan kehakiman
(judicative power), dimana lembaga ini bertugas untuk menegakkan dan
mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius
constitutum)1. Istilah kekuasaan kehakiman2 ini pertama kali ditemukan
dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dimana kekuasaan kehakiman
disebut juga dengan kekuasaan yudikatif.
Sebelum membahas mengenai kekuasaan kehakiman di Indonesia,
terlebih dahulu didifinisikan yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman berasal dari Bahasa Belanda yaitu “Rechtterlijke
Macht”. Kekuasaan merupakan terjemahan dari kata power, yang bisa
diartikan sebagai authority yaitu wibawa, hak untuk bertindak, ahli, dan
wewenang3. Adapun “kehakiman” ialah lembaga pengadilan (justisia),
urusan hakim dan pengadilan, serta apa saja yang bersangkutan dengan
hukum4. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kehakiman
diartikan sebagai urusan hukum dan pengadilan, segala sesuatu yang
berkenaan dengan hukum baik undang-undang, pengadilan dan sebagainya5.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diartikan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kewenangan yang melekat pada hakim maupun lembaga
1 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 2. 2 Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan,
(Yogyakarta: MedPress Digital, 2013), h., 1. 3 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h., 137. 4 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,
2012), h., 32. 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h., 503.
47
kehakiman yang bersumber langsung dari konstitusi, untuk mengadili dan
memberikan putusan perkara di pengadilan yang bebas dari pengaruh pihak
manapun6. Kemudian diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan7.
Menurut Harun al-Rasyid, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan
merdeka yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan harus
adanya jaminan dalam undang-undang terhadap kedudukan hakim.
Berhubungan dengan itu, Jaenal Aripin menambahkan bahwasanya jaminan
tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk hakim saja, tetapi untuk seluruh
pelaksana kekuasaan kehakiman, terutama lembaga-lembaga peradilan,
agar mereka dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku8.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
“kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”9.
2. Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan
tertinggi di Indonesia. Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup dinamis, ditandai dengan perubahan perundang-
undangan yang mengaturnya, serta lembaga-lembaga peradilan yang
6 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,
2012), h., 34. 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24 ayat
(1). 8 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h., 137-138. 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 1 ayat (1), h., 3.
48
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman secara menyeluruh10. Diantaranya
perubahan pengaturan mengenai kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang bertujuan untuk mempertegas
posisi kekuasaan kehakiman, kewenangan pelaku kekuasaan kehakiman,
dan mekanisme pengisian anggota dari badan-badan kekuasaan
kehakiman11.
Berdasarkan perubahan tersebut, maka kekuasaan kehakiman
diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi12, yang kemudian dijelaskan secara rinci
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari bagan berikut ini:
10 M. Natsir Asnawi, “Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Politik Hukum: (Studi
tentang Kebijakan Hukum dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)”, dalam
Majalah Hukum Varia Peradilan No. 332 (Juli 2013), h., 101. 11 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (Depok: PT
Rajagrafindo Persada, 2014), h., 50-51. 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24 ayat
(2).
49
Sumber: Diolah dari berbagai bacaan
Dalam penyelenggaraan kekuasaan tersebut, mengenai kedudukan
dan wewenang masing-masing badan peradilan tersebut telah diatur dalam
perundang-undangan di bawah ini13:
1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun
2004 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun
2004 tentang Peradilan Umum.
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
6. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
7. Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
13 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 4.
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH KONSTITUSI
PT PTA DILMILITAMA PT TUN
PTUNPN PA DILMIL
DILMILTI
50
Sistem kekuasaan kehakiman telah beberapa kali mengalami
perubahan. Pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 yang dibuat pada zaman pemerintahan orde lama. Kemudian undang-
undang ini dicabut dan diganti oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
Pada tahun 1999, undang-undang tersebut direvisi dengan pengundangan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Kemudian undang-undang ini
dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Pada
bulan Oktober 2009 undang-undang ini dicabut karena menurut pembentuk
undang-undang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 200914.
Berkaitan dengan hal itu, Mahfud MD menjelaskan bahwa
kekuasaan kehakiman mengalami perubahan. Sebelumnya kekuasaan
kehakiman hanya berpuncak pada Mahkamah Agung, sedangkan saat ini
puncak kekuasaan kehakiman terbagi menjadi dua yakni Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi. Dimana Mahkamah Agung memegang
kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional dan Mahkamah
Konstitusi memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara
ketatanegaraan15.
Lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman berdasarkan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 setelah amandemen akan diuraikan sebagai
berikut:
a. Mahkamah Agung (MA)
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Mahkamah Agung
merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan16.
14 Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan,
(Yogyakarta: Medpress Digital, 2013), h., 2. 15 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,
2012), h., 260. 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24 ayat
(1).
51
Dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Mahkamah
Agung merupakan Pengadilan Negara Tertinggi yang mmebawahi
empat lingkungan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer maupun Peradilan Tata Usaha Negara17.
Kewenangan Mahkamah Agung adalah mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang dan wewenang lainnya yang diberikan undang-
undang18. Selain itu, diatur pula mengenai kewenangan Mahkamah
Agung untuk memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat
hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan sebagaimana
diatur dalam undang-undang19. Dengan merujuk pada Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, maka MA mempunyai dua kewenangan, yakni
pertama, mengadili pada tingkat kasasi, dan yang kedua menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sedangkan
kewenangan lainnya hanya sebagai kewenangan tambahan yang
diberikan oleh undang-undang.
Adapun badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
akan diuraikan sebagai berikut:
1) Peradilan Umum
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Pasal 2, disebutkan
bahwa Peradilan Umum20 adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan. Selanjutnya dalam
penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud rakyat pencari keadilan
ialah setiap orang baik warga negara maupun orang asing yang
mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia. Kekuasaan
17 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 4. 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, BAB III, Pasal 20 ayat (2). 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, BAB III, Pasal 22 ayat (1) (2). 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 2.
52
kehakiman dalam operasionalnya di lingkungan Peradilan Umum
diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri pada pengadilan tingkat
pertama, Pengadilan Tinggi Negeri pada pengadilan tingkat banding
dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi21.
Kewenangan Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili
dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan22. Selain itu di lingkungan Peradilan
Umum dapat diadakan pengkhususan, yakni adanya
diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, seperti
Pengadilan Lalu Lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pengadilan
Ekonomi, sedangkan mengenai susunan, kekuasaan dan hukum
acaranya telah diatur oleh undang-undang23.
2) Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu24. Kewenangan Peradilan
Agama berdasarkan Pasal 25 ayat (3) ialah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang
beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan25.
Sedangkan yang menjadi kewenangan absolut pengadilan
agama adalah perkara-perkara keperdataan perkawinan, kewarisan,
dan hibah yang dilakukan menurut atau berdasarkan agama Islam,
21 Bambang Sutiyoso, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2006), h., 33. 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, BAB III, Pasal 25 ayat (2) 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
BAB II, Pasal 8. 24 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, (Jakarta: STIH
“IBLAM”, 2004), h., 38. 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, BAB III, Pasal 25 ayat (3).
53
wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah26. Adapun tugas
yudisial lain Peradilan Agama adalah memberikan keterangan,
pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi
Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta, dan tugas-tugas
lain berdasarkan undang-undang27.
Peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama pada
tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama pada tingkat banding.
Pengadilan tinggi agama juga bertugas dan berwenang mengadili di
tingkat Pengadilan Agama dan menjadi terakhir dalam mengadili
sengketa yang berada di pengadilan daerah kewenangannya28.
3) Peradilan Militer
Peradilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan
kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan
hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara29. Adapun wewenang
Peradilan Militer yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh seseorang yang
berstatus anggota militer sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan30. Apabila terjadi kasus pidana yang dilakukan
oleh anggota militer, maka berlaku hukum pidana militer yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
sebagai hukum materiil, dan Hukum Acara Pidana Militer sebagai
hukum formil31.
26 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,
2012), h., 278. 27 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,
2007), h., 84. 28 Lihat Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
Pasal 5 ayat (1). 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, BAB III, Pasal 25 ayat (4). 31 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h., 36.
54
Peradilan Militer dilaksanakan oleh: (1) Pengadilan Militer
sebagai pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang
dilakukan oleh anggota TNI/ABRI atau dipersamakan dengan itu,
(2) Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding
untuk perkara pidana militer dan sebagai pengadilan tingkat pertama
untuk perkara sengketa tata usaha angkatan bersenjata, (3)
Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding untuk
perkara sengketa tata usaha angkatan bersenjata, (4) Pengadilan
Militer Pertempuran sebagai Pengadilan Tingkat Pertama untuk
perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI/ABRI atau
dipersamakan dengan itu dalam pertempuran32.
4) Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara33. Yang dimaksud dengan sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku34.
Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama, yang
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa tata usaha, sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara sebagai pengadilan tingkat banding yang bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara di
32 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, (Jakarta: STIH
“IBLAM”, 2004), h., 43-44. 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 4. 34 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, (Jakarta: STIH
“IBLAM”, 2004), h., 41.
55
tingkat banding, dan juga memeriksa dan memutus di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan TUN di dalam daerah hukumnya, kemudian berpuncak
pada Mahkamah Agung35.
b. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga tinggi
negara yang memiliki kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah
Agung36. Namun, Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri dan terpisah dari
Mahkamah Agung (duality of jurisdiction). Dalam hal kedudukan Ia
tidak seperti halnya Mahkamah Agung yang memiliki beberapa badan
peradilan di bawahnya sampai pada tingkat pertama kabupaten/kota,
Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota negara37.
Adapun wewenang Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran politik dan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memutus pendapat
DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil
Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar38.
B. Kewenangan Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
di Indonesia dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Negeri merupakan
pengadilan tingkat pertama, yang berwenang memeriksa, memutus, dan
35 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,
2007), h., 84. 36 Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Sejarah, Kedudukan,
Fungsi, dan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Konstitusi), (Malang: Setara
Press, 2016), h., 180. 37 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h., 195. 38 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BAB IX, Pasal 24C ayat
(1) dan (2).
56
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama39.
Menurut staatsblad 1847 Nomor 23, yang termasuk perkara perdata adalah
semua perselisihan tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya,
utang-piutang atau hak-hak perdata yang lain, kecuali sekiranya undang-undang
memberikan kewenangan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya40.
Perkara perdata yang dimaksudkan di atas tidak hanya berupa sengketa saja,
tetapi juga menyangkut penyelesaian masalah dalam bentuk permohonan
(voluntair), yaitu tuntutan yang tidak mengandung sengketa. Selain tugas dan
wewenang tersebut, pengadilan juga dapat diserahi tugas dan kewenangan lain
oleh atau berdasarkan undang-undang, seperti pengadilan dapat memberikan
keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum kepada instansi
Pemerintah di daerahnya apabila diminta. Pengadilan dapat diserahi tugas dan
wewenang lainya oleh atau berdasarkan undang-undang41.
Wewenang Pengadilan Negeri yang disebutkan di atas adalah wewenang
mutlak atau kompetensi absolut, yaitu kewenangan badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh
badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (seperti
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan
lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama)42.
C. Kronologis Izin Perkawinan Beda Agama di Pengadilan Negeri
Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Pengadilan Negeri Blora
No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla
1. Pokok Gugatan dalam Perkara No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dan
No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.
39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
BAB III, Pasal 50. 40 Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan,
(Yogyakarta: Medpress Digital, 2013), h., 7. 41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
BAB III, Pasal 52 (1) dan (2). 42 Supandi, “Kompetensi Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
Menyelesaikan Sengketa Informasi Publik”, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVIII
No. 331 (Juni 2013), h., 29.
57
Dalam putusan No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt43, terdapat beberapa
duduk perkara yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara perkawinan beda agama antara pemohon I (AVR)
yang beragama Katolik dan pemohon II (DF) yang beragama Islam, telah
mengajukan permohonan untuk melaksanakan perkawinan ke Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil, namun permohonan tersebut ditolak
dengan alasan adanya perbedaan agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 2
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
Kemudian juga disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahwa perkawinan
tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan
Negeri. Selanjutnya, para pemohon mengajukan permohonan ijin kepada
Pengadilan Negeri Surakarta untuk melangsungkan perkawinan dengan
tetap pada pendiriannya menganut kepercayaan masing-masing. Karena
berdasarkan pokok perkara tersebut, pada prinsipnya perbedaan agama
tidaklah menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan berdasarkan
asas hukum yang berlaku di Indonesia.
Selanjutnya, para pemohon meminta agar Pengadilan Negeri
Surakarta memeriksanya dan memberikan penetapan: mengabulkan
permohonan para pemohon, memberikan ijin kepada para pemohon untuk
melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, memerintahkan kepada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan
pencatatan tentang perkawinan beda agama ke dalam register pencatatan
perkawinan yang digunakan untuk itu, dan membebankan biaya
permohonan kepada para pemohon.
43 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)
58
Selain alasan-alasan yang telah disebutkan tersebut, untuk
menguatkan permohonannya para pemohon menyerahkan bukti-bukti surat
baik asli maupun foto copy yang telah dicocokkan dengan surat aslinya serta
menghadirkan 2 (dua) orang saksi yaitu Heribertus Soetardjo dan Sugeng
Sartono. Kedua saksi yang diajukan oleh para pemohon merupakan orang
terdekat pemohon I (AVR) dan tidak mengenal pemohon II (DF).
Kemudian selain saksi-saksi tersebut, Pengadilan menganggap perlu
mendengar keterangan dari bapak Bassilus Sutanta dan ibu Veronika Sri
Ernawati selaku orang tua pemohon I yang hadir di persidangan, meskipun
keterangan tersebut tidak di bawah sumpah atau janji, akan tetapi dicatat
dalam Berita Acara Persidangan yang menerangkan bahwa mereka
membenarkan maksud dan tujuan para pemohon mengajukan permohonan
ke Pengadilan untuk mendapatkan ijin melangsungkan perkawinan beda
agama dan memberikan restu kepada para pemohon untuk menikah beda
agama yang kemudian perkawinan tersebut dilaksanakan menurut agama
Katolik di Kantor Catatan Sipil Surakarta. Bukti-bukti dan keterangan
kedua saksi yang diajukan oleh para pemohon, berguna untuk menguatkan
hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam memberikan keputusan atas
perkara perkawinan beda agama.
Sedangkan dalam putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla44. duduk
perkara yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara perkawinan beda agama antara pemohon I (NOBA)
yang beragama Islam dan pemohon II (YA) yang beragama Kristen, bahwa
mereka telah menjalin hubungan saling mencintai, sudah ada kecocokan dan
saling pengertian karena sudah berpacaran sejak tahun 2004 sampai dengan
2017 (lebih kurang 13 tahun). Kemudian mereka bersepakat bahwa akan
melangsungkan perkawinan setelah mendapatkan restu dari keluarga
masing-masing. Setelah para pemohon mendapatkan restu dari masing-
masing keluarga, para pemohon berencana akan melaksanakan lamaran
44 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)
59
setelah mendapatkan putusan atau penetapan Pengadilan Negeri Blora
tentang Izin Perkawinan Beda Agama yaitu sesaat sebelum Upacara
Perkawinan dilaksanakan.
Dalam hal perkawinan atau perkawinan beda agama telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan yaitu: Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1), Petunjuk-petunjuk Mahkamah
Agung No: M.A/Pemb/0807/1975 tanggal 20 Agustus 1975 mengenai
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974, Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66, Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 Bab II mengenai Pencatatan Perkawinan,
Pasal 2 ayat (2) serta KUH Perdata Bab IV tentang Perkawinan, Pasal 26.
Kemudian berdasarkan dalil-dalil sebagaimana yang disebutkan di
atas, maka selanjutnya para pemohon meminta agar Pengadilan Negeri
Blora memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan: menerima dan
mengabulkan permohonan para pemohon, menetapkan memberikan izin
perkawinan beda agama kepada para pemohon, memerintahkan kepada
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk membukukan perkawinan
beda agama tersebut dalam register catatan sipil, serta membebankan biaya
perkara dan biaya-biaya lain dalam perkara ini kepada para pemohon sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain alasan-alasan yang telah disebutkan tersebut, untuk
menguatkan permohonannya para pemohon yang diwakili oleh Kuasa
Hukumnya di hari persidangan menyatakan tidak ada perubahan pada isi
permohonan para pemohon tersebut dan kemudian menyerahkan bukti-
bukti surat berupa foto copy surat-surat yang telah dicocokkan dengan surat
aslinya yang dibubuhi materai yang cukup sehingga bukti-bukti surat
tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sah serta menghadirkan 4
(empat) orang saksi yaitu Yayuk Budhi Rahayu yang merupakan ibu
60
kandung dari pemohon I (NOBA), Deborah Sri Rahayu adalah kakak
kandung dari pemohon I (NOBA), Yanto Pandiangan merupakan Pendeta
di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora, serta Widodo yang merupakan
Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Blora.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut, Kuasa Hukum para
pemohon menanggapinya dengan kesimpulan bahwa para pemohon datang
ke Pengadilan Negeri Blora untuk mengajukan permohonan ijin menikah
beda agama, pernikahan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada
tanggal 8 Mei 2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu,
Kab.Blora dengan berkeinginan baik sebelum menikah maupun setelah
menikah para pemohon tetap pada pendiriannya menganut agamanya
masing-masing. Pemohon I (NOBA) setuju menikah di gereja tetapi tetap
menggunakan jilbab pada waktu acara pernikahan di gereja tersebut.
2. Dasar dan Pertimbangan Hukum dalam Perkara
No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla.
Adapun mengenai pertimbangan hukumnya pada putusan perkara
No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt45 yaitu adanya permohonan tersebut didasarkan
pada alasan bahwa terjadi penolakan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Surakarta, karena perbedaan agama menyebabkan tidak dapat
dilangsungkannya perkawinan tersebut, dan selanjutnya mengajukan
permohonan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan ijin berupa
penetapan. Tujuan pokok diajukannya permohonan ini adalah agar
Pengadilan Negeri Surakarta dapat memberikan ijin kepada para pemohon
untuk melangsungkan perkawinan di hadapan pejabat pencatat perkawinan
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta
dengan tetap menganut agama masing-masing.
Berdasarkan bukti surat-surat yang diajukan oleh para pemohon baik
surat asli maupun fotocopy secara keseluruhan dapat diterima sebagai alat
45 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)
61
bukti yang sah dan memiliki kekuatan hukum. Demikian juga dengan saksi-
saksi yang memberikan keterangan, tidak ada halangan hukum sebagai saksi
di depan persidangan yang kemudian keterangan mereka saksi-saksi dapat
dipedomani sebagai keterangan yang berkekuatan hukum.
Kemudian menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dimana adanya dua instansi Pegawai
Pencatat Perkawinan yaitu Pegawai Pencatat Perkawinan untuk beragama
Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talaq dan Rujuk,
sedangkan Pegawai Pencatat Perkawinan bagi yang beragama selain agama
Islam di Kantor Catatan Sipil. Kedua instansi pencatat perkawinan tersebut
berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diperbolehkan menolak
melangsungkan perkawinan, dan apabila terdapat pelanggaran ketentuan
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka kedua instansi pencatat
perkawinan tersebut akan menolak melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan.
Bagi mereka yang perkawinannya ditolak diberi hak untuk mohon
campur tangan pengadilan, yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang beragama selain
agama Islam berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 21 tersebut, berlaku bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan yang seagama yaitu sama-sama
Islam atau sama-sama selain beragama Islam.
Dihubungkan dengan permohonan para pemohon, penolakan oleh
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta didasarkan
karena pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan berlainan agama.
Penolakan ini didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor
447/2535/PUOD tertanggal 25 Juli 1990 butir 2 yang menyatakan bahwa
“bagi mereka yang menyatakan tidak melaksanakan ajaran dari salah satu
62
agama dari 5 (lima) agama yang ada di Indonesia (Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, dan Budha), maka pencatatan terhadap mereka tidak
dapat dilaksanakan”.
Selanjutnya, dalam putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla46 adapun
maksud dan tujuan permohonan ini adalah para pemohon ingin mengajukan
permohonan ijin menikah beda agama sebelum memberitahukan kepada
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Blora, Kuasa
Hukum para pemohon telah mengajukan bukti surat-surat P.1 s/d P.9 dan 4
(empat) orang saksi di persidangan, berdasarkan bukti surat P.1 dan P.2
berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan keterangan saksi-saksi
menunjukkan bahwa para pemohon berdomisili di wilayah Kabupaten
Blora, maka Pengadilan Negeri Blora berwenang dalam memeriksa
permohonan ini.
Kemudian, menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa “perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
dilanjutkan dengan Pasal 6 ayat (1) bahwa “perkawinan didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”, Pasal 7 ayat (1) bahwa “perkawinan
hanya diizinkan bila pria mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai
usia 16 tahun”.
Berdasarkan bukti surat P.3 dan P.4 berupa Kutipan Akta Kelahiran
para pemohon dan bukti surat P.5 dan P.6 berupa Kartu Keluarga para
pemohon serta keterangan saksi-saksi bahwa para pemohon telah mencapai
batas umur untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang telah
diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Selanjutnya bukti surat P.8 dan keterangan saksi Yayuk Budhi, bahwa
46 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)
63
Bambang Marjono yang merupakan ayah dari pemohon I Neneng Oktora
Budi telah meninggal pada 13 Februari 2012.
Menurut keterangan saksi Yayuk Budhi dan saksi Deborah Sri
Rahayu yang merupakan keluarga dari para pemohon bahwa pernikahan
para pemohon telah disetujui oleh keluarga karena mereka saling mencintai,
pernikahan tersebut rencananya akan dilaksanakan di Gereja GBI
Arumdalu, Kabupaten Blora. Kemudian saksi yang merupakan Kepala
Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Blora memberikan keterangan bahwa Akte
Perkawinan untuk perkawinan beda agama tersebut akan dikeluarkan
setelah para pemohon mendapatkan penetapan ijin menikah beda agama
dari Pengadilan Negeri.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menjelaskan bahwa “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan”. Oleh
karena pemohon I (NOBA) beragama Islam dan pemohon II (YA) beragama
Kristen, maka Hakim akan mempertimbangkan sahnya perkawinan menurut
agama Islam dan agama Kristen.
3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan
Negeri Blora
Dalam memberikan penetapan atas suatu perkara, hakim selalu
menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan landasan dalam
mengambil keputusan. Pada penetapan Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt47,
hakim Pengadilan Negeri Surakarta mempertimbangkan bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat
suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan
atau kepercayaan antara calon suami dan calon istri merupakan larangan
perkawinan.
47 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)
64
Dalam hal ini sejalan dengan Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun
1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, tercakup dalam hak asasi untuk kawin
dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan atau
kepercayaan selama tidak ditentukan oleh undang-undang bahwa perbedaan
agama dan atau kepercayaan merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan, juga sejalan dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun
1945 bahwa dijaminnya oleh negara kemerdekaan setiap warga negara
untuk memeluk agama dan atau kepercayaannya masing-masing.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak mengatur mengenai perkawinan dari pasangan yang berbeda
agama. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400 K/Pdt/1986 tanggal 20
Januari 1989 lebih mempertegas mengenai perkawinan beda agama yang
berbunyi: “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak
merupakan larangan perkawinan bagi mereka”. Begitu pula dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal pun
yang mengatur tentang bagaimana melangsungkan perkawinan antara orang
yang berlainan agama atau kepercayaan.
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, maka perkawinan yang
dilakukan oleh pihak yang berbeda agama hingga kini belum ada
peraturannya dan itu berarti dalam hal perkara ini telah terjadi kekosongan
hukum (rechts vacum). Oleh karena belum adanya aturan yang mengatur,
sementara dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dirubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dirubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman ditentukan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan
dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas”.
Oleh karena adanya kekosongan hukum, maka sejalan dengan
ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, Hakim wajib
65
menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum dan
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa terlebih dahulu harus
dicari dalam praktek hukum yang telah terjadi berkenaan dengan hal
tersebut. Berdasarkan ketentuan hukum yang telah disebutkan dan setelah
memperhatikan bukti-bukti surat maupun keterangan saksi-saksi dan
terutama niat atau kehendak para pemohon untuk melangsungkan
pernikahan mereka meskipun mereka saat ini berbeda agama, maka
permohonan para pemohon dapat dikabulkan.
Dengan memperhatikan segala pasal dan ketentuan lain yang
berhubungan dengan perkara ini, hakim menetapkan: mengabulkan
permohonan para pemohon, memberikan ijin kepada para pemohon untuk
melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, memerintahkan kepada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan
pencatatan perkawinan beda agama para pemohon tersebut ke dalam
register Pencatatan Perkawinan, membebankan biaya perkara permohonan
sebesar Rp.151.000,- (seratus lima puluh satu ribu rupiah) kepada para
pemohon.
Sedangkan dalam penetapan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla48 Hakim
Pengadilan Negeri Blora mempertimbangkan bahwa dalam ajaran agama
Islam terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 221 disebutkan bahwa seorang
perempuan muslim tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki
yang bukan muslim. Diperjelas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
44 menyebutkan bahwa “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Berdasarkan hal tersebut maka ajaran Islam tidak membolehkan perkawinan
beda agama.
Menurut keterangan saksi Yanto Pandiangan yang merupakan
pendeta di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora menerangkan bahwa
48 Salinan Penetapan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)
66
ajaran agama Kristen juga melarang pernikahan beda agama, sehingga
pernikahan para pemohon bisa dilaksanakan di gereja apabila pemohon I
(NOBA) mau melepaskan atribut yang menunjukkan beragama Islam.
Kemudian para pemohon dalam persidangan menyatakan bahwa para
pemohon tetap pada pendiriannya menganut agamanya masing-masing baik
sebelum menikah maupun setelah menikah yaitu pemohon I (NOBA) tetap
beragama Islam dan pemohon II (YA) tetap beragama Kristen.
Dikarenakan para pemohon menyatakan tetap ingin menganut
agamanya masing-masing, sedangkan di dalam ajaran Islam maupun agama
Kristen tidak membolehkan pernikahan beda agama maka berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, keinginan
para pemohon yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak
dapat dilaksanakan karena pernikahan beda agama dilarang menurut ajaran
agama para pemohon sehingga permohonan para pemohon tidak dapat
dikabulkan. Oleh karena permohonan para pemohon tidak dikabulkan,
maka permohonan ijin pernikahan beda agama tersebut ditolak.
Mengenai bukti surat P.7 yang berupa penetapan Nomor.
156/Pdt.P/2010/PN.Ska diajukan para pemohon di persidangan, Hakim
tidak akan mempertimbangkan bukti surat tersebut. Permohonan ini ditolak,
maka para pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara ini. Dengan
memperhatikan pasal-pasal di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini,
maka Hakim menetapkan bahwa: menolak permohonan para pemohon, dan
menghukum para pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah).
68
68
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN NEGERI
No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla
A. Perbandingan Pertimbangan Hakim Pegadilan Negeri Surakarta
(No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt) dan Pengadilan Negeri Blora
(No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)
Pada dasarnya terdapat beberapa aturan yang mengatur tentang hukum
perkawinan di Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang masih berlaku
sampai sekarang diantaranya adalah: Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan khusus untuk orang-orang yang
beragama Islam, juga berlaku Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)1.
Berbeda halnya dengan perkawinan beda agama yang tidak memiliki
legalitas hukum secara tegas. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur
secara khusus mengenai larangan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan
yang memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda. Hal ini menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat, sehingga
mengakibatkan perdebatan mengenai hukum perkawinan beda agama.
Meskipun bersumber pada aturan hukum yang sama, namun dapat
menghasilkan keputusan yang berbeda.
Seperti penetapan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan hakim
Pengadilan Negeri Blora dalam menetapkan perkawinan beda agama, antara
Hakim yang satu dengan Hakim yang lainnya menghasilkan penetapan yang
1 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,
(Tangerang: Lentera Hati, 2015), h., 132.
69
berbeda karena dalam memeriksa suatu perkawinan beda agama hakim
memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda-beda mengenai hukum agama
dan hukum nasional.
1. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Izin
Perkawinan Beda Agama
Dalam putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor:
46/Pdt.P/2016/PN.Skt2, pemohon I (AVR) yang beragama Katolik dan
pemohon II (DF) yang beragama Islam berniat melangsungkan perkawinan.
Para pemohon hendak mengurus perkawinannya di Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, namun permohonan
tersebut ditolak karena para pemohon beda agama dengan alasan sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
Perkawinan tersebut dapat dilaksanakan setelah mendapatkan penetapan
dari Pengadilan Negeri Surakarta.
Pada penetapan ini pengadilan berpendapat bahwa para pemohon
telah dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya sebagaimana yang
telah penulis uraikan sebelumnya, dengan memperhatikan bukti-bukti surat
maupun keterangan saksi dan niat para pemohon maka hakim mengabulkan
permohonan izin perkawinan beda agama. Pertimbangan yang digunakan
hakim dalam mengabulkan permohonan para pemohon atas izin perkawinan
beda agama, diantaranya adalah hakim mempertimbangkan bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat
suatu ketentuan yang jelas dilarangnya perkawinan antara calon suami dan
calon istri yang berbeda keyakinan atau kepercayaan.
Kemudian pertimbangan tersebut dianggap sejalan dengan Pasal 27
dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Termasuk di dalamnya hak
untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan
2 Salinan Penetapan Nomor: 46/Pdt.P/2016/PN.Skt (Lihat dalam lampiran)
70
atau kepercayaan selama tidak ditentukan oleh undang-undang bahwa
perbedaan agama dan atau kepercayaan merupakan larangan untuk
melangsungkan perkawinan dan dijaminnya oleh negara bagi setiap warga
negara untuk memeluk agama atau kepercayaan masing-masing.
Oleh karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur
mengenai perkawinan dari pasangan yang berbeda agama, maka hakim
menggunakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400 K/Pdt/1986
tanggal 20 Januari 1989 yang lebih mempertegas mengenai perkawinan
beda agama yang berbunyi: “Bahwa perbedaan agama dari calon suami
istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka”. Begitu pula
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal
pun yang mengatur tentang bagaimana melangsungkan perkawinan antara
orang yang berlainan agama atau kepercayaan.
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, maka hakim
berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang berbeda
agama hingga kini belum ada peraturannya dan itu berarti dalam hal perkara
ini telah terjadi kekosongan hukum (rechts vacum). Oleh karena belum
adanya aturan yang mengatur, sementara dalam Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas”.
Maka dari itu, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman tersebut, Hakim wajib menggali hukum yang tidak tertulis
untuk memutus berdasarkan hukum dan bertanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa terlebih dahulu harus dicari dalam praktek hukum yang
telah terjadi berkenaan dengan hal tersebut. Dari ketentuan-ketentuan
hukum yang telah disebutkan dan setelah memperhatikan bukti-bukti surat
maupun keterangan saksi-saksi dan terutama niat atau kehendak para
71
pemohon untuk melangsungkan pernikahan mereka meskipun mereka saat
ini berbeda agama, maka permohonan para pemohon dapat dikabulkan.
Dengan memperhatikan segala pasal dan ketentuan lain yang
berhubungan dengan perkara ini, hakim menetapkan: mengabulkan
permohonan para pemohon, memberikan ijin kepada para pemohon untuk
melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, memerintahkan kepada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan
pencatatan perkawinan beda agama para pemohon tersebut ke dalam
register Pencatatan Perkawinan, membebankan biaya perkara permohonan
sebesar Rp.151.000,- (seratus lima puluh satu ribu rupiah) kepada para
pemohon.
Hasil analisa penulis, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hakim yang telah penulis uraikan di atas, maka dengan merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan bahwa3 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, dalam
penjelasan pasal disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan
berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dimana ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu tidak bertentangan dalam Undang-Undang ini.
Jika dicermati secara saksama, maka dapat dikatakan bahwa hukum
masing-masing agama dan kepercayaan menjadi tolak ukur sahnya suatu
perkawinan, dimana dalam hal pelaksanaan perkawinan tersebut hanya
tunduk pada satu hukum agama saja. Dengan kata lain, perkawinan tidak
dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua hukum agama yang berbeda.
Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal
3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2
ayat (1).
72
10 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tata cara Perkawinan dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Hakim mendasarkan pendapatnya pada Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 Pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum, yang kemudian sejalan dengan
Pasal 29 tentang kebebasan tiap-tiap orang memeluk agama dan beribadah
menurut agama yang dianutnya, adalah kurang tepat karena pasal tersebut
terlalu umum. Di dalam pasal maupun penjelasan pasal tersebut tidak
menjelaskan hak untuk kawin dengan berlainan agama dan kepercayaan
tercakup di dalamnya.
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut
diperkuat lagi oleh Pasal 8 huruf (f) yang menyebutkan bahwa perkawinan
dilarang apabila dua orang tersebut mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Ini berarti
bahwa Pasal 8 huruf (f) ini merupakan halangan untuk melangsungkan
perkawinan antara mereka yang berbeda agama, sehingga lembaga
pencatatan (KUA dan Kantor Catatan Sipil) tidak dapat menerima
permohonan tersebut karena status agama para pemohon. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa ketika para pihak mengajukan permohonan tersebut
mereka sudah tidak menghiraukan status agamanya dan meminta campur
tangan pengadilan agar perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dan
dicatatkan.
Hakim dalam mengeluarkan penetapan guna untuk memerintahkan
pencatatan perkawinan beda agama oleh Kantor Catatan Sipil. Alasan
Pengadilan Negeri Surakarta menerima permohonan izin perkawinan beda
agama ini karena menimbang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dirubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dirubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwasanya, “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan
73
kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dalam kasus yang belum ada undang-undang/hukum tertulis yang
mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali
dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat4. Keabsahan
perkawinan beda agama ini jika dilihat dari segi yuridis formal adalah sah,
karena mereka yang melakukan perkawinan beda agama ini telah dicatatkan
dan memiliki akta perkawinan yang dikeluarkan oleh pejabat Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta. Namun, hal tersebut
hanya berupa administratif saja. Sementara jika dikembalikan pada aturan
hukum yang berlaku, perkawinan ini adalah tidak sah. Dengan kata lain,
tidak sah menurut peraturan perundang-undangan dan hukum agama.
Pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan
sebagaimana yang telah disebutkan di atas sudah mengakomodasi hukum-
hukum yang berlaku dalam masing-masing agama. Di samping dijelaskan
bahwa ada larangan-larangan yang disebutkan di dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya,
juga ada larangan-larangan dari hukum masing-masing agamanya5.
Larangan tersebut dinyatakan secara tegas dalam Fatwa MUI Tahun 1980
dan dipertegas kembali dalam Fatwa MUI Tahun 2005, kemudian
Kompilasi Hukum Islam mengatur melalui Pasal 40, 44, 61 dan 75.
Dalam perkara ini perkawinan beda agama yang dimaksud adalah
perkawinan antara wanita nonmuslim dengan laki-laki muslim. Mengenai
perkawinan tersebut, agama Islam telah mengatur secara tegas dalam al-
Qur’an surah al-Mumtahanah ayat 10 bahwasanya, “Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir” (Q.S al-Mumtahanah [60]:10). Ayat tersebut memperkuat dalil
4 Afif Khalid, “Penafsiran Hukum oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, dalam
Jurnal Al’Adl, Volume VI Nomor 11, (Januari-Juni 2014), h., 25. 5 https://anastasyaleony.wordpress.com/2016/03/18/sahnya-perkawinan-beda-agama-
dtinjau-dari-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-dan-agama-agama-di-indonesia/ diakses pada 18
Maret 2016.
74
dilarangnya kaum muslimin untuk menikahi wanita kafir (Ahli Kitab).
Maka berdasarkan ayat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya
larangan perkawinan beda agama baik laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya, yang dimaksud Ahli Kitab dalam ayat di atas adalah
mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani. Apabila dikaitkan di zaman
sekarang ini, yang dimaksud Ahli Kitab tersebut yaitu agama Kristen
Katolik dan Kristen Protestan. Namun, Imam Syafi’i menukil suatu
peristiwa dari Ata’ bahwa orang-orang Arab yang mengikuti ajaran Agama
tersebut (Kristen Katolik dan Kristen Protestan) tidak dapat disebut dengan
Ahli Kitab. Sebab, yang dimaksud Ahli Kitab disini adalah golongan bani
Israil dan orang-orang yang menerima Kitab Taurat dan Injil berdasarkan
apa yang telah Allah turunkan kepada mereka (agama Samawi)6. Mengenai
hukum menikahi wanita Ahli Kitab yang terdapat dalam ayat tersebut
apakah berlaku untuk orang Yahudi dan Kristen zaman sekarang, disini
terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Mayoritas ulama mengatakan
mereka tidak lagi termasuk wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini7.
Kemudian, agama Kristen Katolik juga mengatur mengenai
perkawinan beda agama ini. Pada dasarnya agama Kristen Katolik juga
melarang perkawinan beda agama sebagaimana yang telah diatur dalam
Kanon;1086 (§1) dan (§2) yang berbunyi “Perkawinan antara dua orang,
yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik dengan yang
tidak dibaptis adalah tidak sah. Dari halangan itu janganlah diberikan
dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut kan.1125 dan
1126”8.
Walaupun Gereja dapat memberikan dispensasi yang diberikan oleh
Uskup, namun dispensasi tersebut dapat diberikan setelah kedua pihak
memenuhi beberapa persyaratan dan membuat perjanjian secara tertulis
6 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,
2003), h., 83. 7 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2013), cet.4, h., 117. 8 Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Konferensi
Waligereja Indonesia, Edisi 2006, KHK., 241.
75
yang berisi: Pertama, bahwa yang beragama Katolik akan tetap beragama
Katolik dan mendidik anak-anak mereka secara Katolik. Kedua, bahwa
yang tidak beragama Katolik tidak menghalangi pihak yang beragama
Katolik melaksanakan ibadahnya dan bersedia mendidik anak-anaknya
secara Katolik9.
Berdasarkan analisis berbasis hukum Islam dan Hukum Positif di
atas tampak bahwa perkawinan tidak seagama tidak bisa dilaksanakan,
menimbang bahwa Ahli Kitab yang dimaksudkan dalam al-Qur’an sudah
tidak ada di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak murninya kitab
umat Kristiani karena ajarannya telah menyimpang dari ajaran Taurat dan
Injil yang telah Allah turunkan. Kemudian tidak sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Larangan perkawinan tidak seagama ini dimaksudkan untuk menghindari
kemudharatan, karena perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
non muslim akan memberikan banyak muḏarat daripada manfaat, baik yang
diterima oleh pasangan tersebut maupun anak-anaknya bahkan keluarganya.
2. Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Izin Perkawinan
Beda Agama
Dalam putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor:
71/Pdt.P/2017/PN.Bla10, pemohon I (NOBA) yang beragama Islam dan
pemohon II (YA) yang beragama Kristen berencana akan melaksanakan
perkawinan sesaat setelah pelaksanaan lamaran yang akan dilaksanakan
setelah mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri Blora. Para pemohon
akan mengurus perkawinannya di Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Blora setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan
Negeri Blora.
Pada penetapan ini dengan memperhatikan ketentuan pasal-pasal di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
9 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama:Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 85. 10 Salinan Putusan Nomor: 71/Pdt.P/2017/PN.Bla (Lihat dalam lampiran)
76
peraturan lain yang bersangkutan dengan perkara ini maka pengadilan
menetapkan menolak permohonan para pemohon. Terdapat beberapa
pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan menolak permohonan
izin perkawinan beda agama, diantaranya adalah hakim mempertimbangkan
bahwa agama Islam melarang perkawinan beda agama yang terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 221. Diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
44 yang menjelaskan bahwa “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Kemudian berdasarkan keterangan saksi Yanto Pandiangan yang
merupakan pendeta di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora
menerangkan bahwa ajaran agama Kristen juga melarang pernikahan beda
agama, sehingga pernikahan para pemohon bisa dilaksanakan di gereja
apabila pemohon I (NOBA) mau melepaskan atribut yang menunjukkan
beragama Islam. Kemudian para pemohon dalam persidangan menyatakan
bahwa para pemohon tetap pada pendiriannya menganut agamanya masing-
masing baik sebelum menikah maupun setelah menikah yaitu pemohon I
(NOBA) tetap beragama Islam dan pemohon II (YA) tetap beragama
Kristen.
Dikarenakan para pemohon menyatakan tetap ingin menganut
agamanya masing-masing, sedangkan di dalam ajaran Islam maupun agama
Kristen tidak membolehkan pernikahan beda agama maka berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, keinginan
para pemohon yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak
dapat dilaksanakan karena pernikahan beda agama dilarang menurut ajaran
agama para pemohon sehinggga permohonan para pemohon tidak dapat
dikabulkan. Oleh karena permohonan para pemohon tidak dikabulkan,
maka permohonan ijin pernikahan beda agama tersebut ditolak.
Berdasarkan yang telah dipaparkan di atas, maka perkawinan beda
agama jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam dibedakan menjadi dua
macam. Pertama, perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
nonmuslim, kedua perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki
77
nonmuslim. Berkenaan dengan perkawinan beda agama antara laki-laki
muslim dengan wanita nonmuslim, ulama berbeda pendapat. Pendapat
pertama, yang membolehkan kaum muslimin menikahi wanita non muslim
dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), yakni jumhur ulama
terutama ulama sunni. Termasuk Imam Ibnu Taimiyah yang menyatakan
dengan tegas tentang kebolehan menikahi wanita Ahli Kitab. Mereka
mendasarkan pendapatnya kepada surah al-Mâʻidah ayat 5.
Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat yang melarang atau
mengharamkan pernikahan beda agama walaupun dari kalangan Ahli Kitab.
Pendapat ini dianut oleh Ibnu Umar dan Syi’ah Imamiah. Mereka
mendasarkan pendapatnya kepada surah al-Baqarah ayat 221 dan surah al-
Mumtahanah ayat 10 yang melarang kaum muslimin menikah dengan
perempuan musyrik. Bagi mereka orang musyrik juga termasuk Ahli
Kitab11. Kemudian perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki
nonmuslim jika diilihat dari segi hukumnya, ulama telah sepakat bahwa
perkawinan tersebut haram hukumnya, baik laki-laki itu Ahli Kitab maupun
bukan Ahli Kitab12.
Larangan wanita muslimah menikahi laki-laki nonmuslim ini sesuai
dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221, yakni wanita-wanita
mukmin dilarang menikah dengan orang-orang musyrik sebelum mereka itu
beriman, karena mereka akan menjerumuskan wanita muslimah ke neraka,
hal ini juga ditegaskan dalam surah al-Mumtahanah ayat 10 bahwasanya
wanita beriman tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir
tidak pula halal bagi wanita beriman13.
Pendapat tersebut merupakan ijma’ dari umat Islam yang kemudian
menjadi salah satu pedoman hakim Pengadilan Negeri Blora ini dalam
mempertimbangkan perkara perkawinan beda agama. Kemudian penolakan
11 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: KB Press,
2003), h., 64. 12 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), cet.2, h., 13. 13 H. A Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan
Pena Divisi Penerbitan, 2005), h., 78.
78
permohonan ini dipertegas dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 44 yang
berbunyi: “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”14.
Pasal 44 di atas secara tegas melarang terjadinya perkawinan baik
antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim maupun wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim. Begitu pula dengan Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) menyatakan
bahwa, perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Sehingga dalam hal pelaksanaan perkawinan
hanya tunduk pada satu hukum agama saja. Dengan kata lain, perkawinan
tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua hukum agama yang
berbeda, itu artinya jika tidak sama agama dan kepercayaan kedua calon
suami dan istri maka perkawinannya tidak sah.
Kemudian, dalam ajaran agama Kristen Protestan juga diatur
mengenai perkawinan beda agama. Pada prinsipnya agama Protestan
menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang seagama, karena
apabila suami istri tidak seiman, maka akan sulit tercapai tujuan perkawinan
yaitu untuk mencapai kebahagiaan15. Agama Kristen Protestan melarang
perkawinan beda agama secara tegas dimana termuat dalam Perjanjian Baru
6: 14-18 (Injil Korintus)16.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas juga disampaikan oleh Pendeta
di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora dalam memberikan keterangan
sebagai saksi pada waktu persidangan. Selain itu, dalam keterangannya
menyebutkan bahwa pihak gereja membolehkan para pemohon untuk
menikah di gereja dengan syarat, pemohon II (NOBA) yang beragama Islam
harus melepaskan atribut agama Islam seperti jilbab, dll. Apabila pemohon
II tidak mau melepaskan atribut agama Islam maka perkawinan
14 Kompilasi Hukum Islam, Buku I BAB VI: Larangan Perkawinan, Pasal 44. 15 Abdurrahman, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan:Perkawinan Beda Agama dan
Implikasinya, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011, h., 96. 16 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5431ffe62bdd1/menunggu-solusi-
konstitusi-atas-problematika-kawin-beda-agama diakses pada Senin, 06 Oktober 2014.
79
dilangsungkan di salah satu rumah calon pengantin secara agama Kristen.
Dengan demikian, pada prinsipnya dalam ajaran agama Kristen menyatakan
perkawinan beda agama dilarang.
Jika dicermati dengan saksama, mengenai perkawinan beda agama
berdasarkan kedua agama tersebut (Islam dan Kristen Protestan), dapat
ditarik kesimpulan bahwa keduanya tidak menghendaki adanya perkawinan
beda agama. Karena pada dasarnya tiap agama mempunyai pengaturan
tersendiri mengenai perkawinan terutama perkawinan antara penganut
agamanya dengan penganut agama lain.
Perkawinan beda agama akan berpotensi melahirkan persoalan-
persoalan hukum, seperti hak dan kewajiban suami istri yang mencakup:
hak nafkah, hak harta bersama, hak pemeliharaan anak dan nasab anak,
kemudian hak kewarisan suami istri dan anak-anaknya serta masalah
pengadilan yang menyelesaikan sengketa rumah tangga17. Larangan
melakukan perkawinan beda agama ini sekaligus menghindari diri dan
keluarga dari fitnah dan kemafsadatan (kemuḏaratan) yang akan timbul dari
perkawinan tersebut.
Kemudian, pada permohonan ini para pemohon belum pernah
memberitahukan kehendak mereka untuk melangsungkan perkawinan pada
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Blora. Sedangkan di
dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 197518
menyatakan bahwa “Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat
perkawinan itu dilangsungkan”. Dengan tidak terpenuhinya unsur pada
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka
ketentuan diberlakukannya pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9
17 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama:Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006), h., 89-90. 18 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 3 ayat (1).
80
Tahun 1975 juga tidak dapat dilaksanakan. Pemberitahuan kehendak juga
berhubungan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Setelah penulis menguraikan pertimbangan hakim dari Pengadilan Negeri
Surakarta dan Pengadilan Negeri Blora mengenai masalah perkawinan beda
agama di atas, maka tampak bahwa pertimbangan-pertimbangan tersebut
bermuara kepada penafsiran hukum. Di Indonesia model penafsiran hukum itu
bermacam-macam, sehingga tidak heran jika hasil akhir dari sebuah penafsiran
hukum menimbulkan dampak pro-kontra. Menurut penulis, hakim di
Pengadilan Negeri Surakarta dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan
perkawinan beda agama sebagaimana yang penulis teliti, cenderung
menggunakan metode interpretasi sosiologis.
Metode penafsiran ini menerapkan makna undang-undang dilihat
berdasarkan tujuan kemasyarakatan, sehingga hakim menafsirkan undang-
undang sesuai dengan tujuan undang-undang itu dibuat, bukan pada bunyi kata-
katanya saja. Peraturan perundang-undangan yang telah usang, disesuaikan
penggunaannya dengan menghubungkan pada kondisi dan situasi saat ini atau
situasi sosial yang baru19. Menurut analisis penulis, hakim memandang bahwa
pertama, ketidakbolehan perkawinan beda agama sudah tidak sesuai dengan
masa sekarang, karena sudah semestinya perkawinan beda agama dibolehkan
menimbang adanya kekosongan hukum. Sehingga, dalam perkara ini penetapan
hakim berasaskan the binding force of precedent20, karena menggunakan
yurisprudensi MA Nomor:1400 K/Pdt/1986 sebagai bahan pertimbangannya.
Kedua, adanya jaminan oleh negara dalam memeluk dan menjalankan
agamanya, sehingga seseorang tidak boleh memaksakan agamanya kepada
orang lain, dalam hal ini yang dimaksud calon istri maupun calon suami.
Sementara itu, hakim Pengadilan Negeri Blora menggunakan penafsiran
yang berbeda dengan Pengadilan Negeri Surakarta. Jika diteliti dengan metode
19 Abdul Manan, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan
Agama”, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2, (Juli 2013), h., 193. 20 Yang dimaksud “the binding force of precedent” adalah dalam menemukan hukum
hakim terikat pada putusan hakim lain mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan. Lihat
bukunya Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), h., 62.
81
penafsiran, maka dapat dikatakan bahwa Pengadilan Negeri Blora
menggunakan 3 (tiga) metode penafsiran hukum yaitu pertama, metode
interpretasi gramatikal. Metode penafsiran ini digunakan untuk mengetahui
makna ketentuan undang-undang yang belum jelas, sehingga perlu ditafsirkan
dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari21. Dalam hal ini
bahwasanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sudah jelas
menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama
dan kepercayaan masing-masing. Ini berarti bahwa, perkawinan dapat
dilaksanakan jika calon suami istri seagama, dan kepercayaannya sama.
Kedua, metode interpretasi a contrario. Metode penafsiran ini digunakan
jika ada ketentuan undang-undang yang mengatur hal tertentu untuk peristiwa
tertentu, maka untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya22. Dalam Pasal
2 ayat (1) sudah jelas bahwa perkawinan yang sah apabila menurut masing-
masing agama dan kepercayaannya. Itu artinya, pernikahan tidak sah jika tidak
sama agama dan kepercayaannya. Ketiga, metode interpretasi historis. Dari
sejarah diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dapat dikatakan
bahwa Undang-Undang Perkawinan ini bertujuan untuk menuju tertib hukum
dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Sesuai dengan filsafat Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa hakim Pengadilan
Negeri Surakarta dan hakim Pengadilan Negeri Blora menggunakan metode
penafsiran hukum yang berbeda, sehingga kesimpulan yang dihasilkannya
terkesan timpang. Dengan perkataan lain, perbedaan tersebut menimbulkan
adanya ketidakpastian hukum pada praktek beda agama di masyarakat.
Dalam hal ini, terhadap dua putusan yang berada dalam tingkat yang sama
dan mengenai perkara yang sama, penulis setuju terhadap putusan PN Blora
No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang menolak permohonan ini karena pertimbangan
21 Abdul Manan, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan
Agama”, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2, (Juli 2013), h., 192. 22 Muwahid, “Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya
Mewujudkan Hukum yang Responsif”, dalam Jurnal AL-HUKAMA the Indonesian Journal of
Islamic Family Law, Volume 07 Nomor 01, (Juni 2017), h., 244.
82
hakim lebih merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peter Mahmud Marzuki23 menjelaskan bahwa Indonesia menganut sistem
hukum civil law24 yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai
rujukan pertama.
Sedangkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt
yang mengabulkan permohonan tersebut merujuk kepada yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400 K/Pdt/1986 dengan
mempertimbangkan bahwa tidak ada aturan yang mengatur secara jelas
mengenai perkara tersebut, padahal jika dibedah menggunakan peraturan
perundang-undangan mengenai perkawinan serta hukum agama, dapat
ditemukan aturan yang mengatur perkawinan beda agama melalui upaya
penafsiran hukum. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa apabila suatu
hukum sudah di atur secara jelas, selama belum ada aturan yang merubah
ataupun mengganti atau belum adanya aturan yang lebih tinggi dari aturan
tersebut, maka aturan tersebut masih dijadikan sebagai rujukan dalam
menetapkan hukum tersebut.
Hal ini sejalan dengan asas lex superior derogat legi inferiori25 yang
bermakna bahwa hukum yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan
hukum/peraturan yang lebih rendah derajatnya. Berdasarkan asas hukum dan
pertimbangan hakim tersebut, bahwa undang-undang perkawinan telah
mengesampingkan yurisprudensi, sehingga dalam penetapan tersebut, hakim
merujuk kepada undang-undang perkawinan yang berlaku. Dengan demikian,
menurut penulis putusan PN Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt tidak bisa
dijadikan sebagai rujukan mengenai izin perkawinan beda agama.
B. Perkawinan Beda Agama berdasarkan Maqasid al-Syari’ah
Masalah perkawinan merupakan masalah yang berkaitan dengan
kerohanian atau keagamaan seseorang, karena setiap agama mempunyai aturan
23 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 3, h.,305. 24 Civil law merupakan sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang
didasarkan atas hukum Romawi. Lihat bukunya Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,
h.,261. 25 Muhamad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017), cet. 2, h., 160.
83
masing-masing tentang perkawinan, sehingga harus mengikuti ketentuan-
ketentuan dari ajaran agama yang dianut. Di samping berkaitan dengan
keagamaan, perkawinan juga berkaitan dengan hubungan antar manusia, maka
perkawinan dapat dianggap sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam
kenyataannya, pengaruh agama yang paling dominan terhadap peraturan-
peraturan hukum adalah di bidang hukum perkawinan26.
Salah satu masalah dibidang perkawinan yang masih mengemuka hingga
saat ini adalah mengenai perkawinan antar agama atau perkawinan beda agama.
Beragamnya agama dan kepercayaan tidak menutup kemungkinan untuk
terjadinya perkawinan beda agama dan kepercayaan, sehingga perkawinan beda
agama masih banyak terjadi di Indonesia. Sebagaimana yang penulis teliti pada
putusan-putusan mengenai permohonan izin perkawinan beda agama, pada
penetapan Nomor 46/Pdt.P/2016/PN.Skt antara AVR (calon istri) yang
beragama Katolik dengan DF (calon suami) yang beragama Islam dan
penetapan Nomor 71/Pdt.P/2017/PN.Bla antara NOBA (calon istri) yang
beragama Islam dengan YA (calon suami) yang beragama Kristen.
Kedua putusan tersebut menjelaskan bahwa para pihak saling mencintai satu
sama lainnya, dan keduanya telah bertekad untuk melanjutkan hubungan
mereka ke jenjang perkawinan disertai dengan dukungan masing-masing orang
tua kedua belah pihak yang telah memberikan restu kepada mereka untuk
melakukan perkawinan walaupun berbeda agama. Jika dilihat menggunakan
hukum Islam, maka putusan tersebut dapat dianalisis menggunakan teori
maqasid al-syari’ah yaitu pengkajian tentang tujuan yang hendak dicapai oleh
pembuat hukum (Allah Swt) dalam menetapkan suatu hukum.
Tujuan hukum tersebut dapat dipahami melalui penelusuran terhadap ayat-
ayat Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian dikalangan ulama ushul fiqh
menghasilkan kesimpulan bahwasanya tujuan al-Syari’ menetapkan hukum
26 Raphon Fajar RHR, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia yang Berbeda
Agama (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 35 Huruf (a)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Studi Penetapan No. 92/Pdt.P/2010/PN. Skt)”, (Skripsi: S-
1 Universitas Brawijaya Fakultas Hukum, Malang, 2013), h., 12.
84
adalah untuk kemaslahatan manusia (al-maslahah), baik di dunia maupun di
akhirat27. Berkaitan dengan hal tersebut Imam al-Syaṯibi mengatakan bahwa:
ا إن وضع ع ل م الا ج ا جل و ا لح العباد فى الع ا هو لمص ا رع إن م الش
“sesungguhnya syari’ (pembuat syari’at) dalam mensyari’atkan hukumnya
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun
di akhirat secara bersamaan28”
Jasser Auda29 menyatakan bahwa tujuan-tujuan syariat itu dapat
diklasifikasikan kepada tiga peringkat keperluan (necessity atau al-ḏarurat),
yaitu: pertama, al-Ḏaruriyyat (kepentingan pokok/primer) yaitu kebutuhan
yang harus ada, sehingga apabila tidak terpenuhi pada tingkat ini, maka akan
mengancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kedua, al-Hajiyyat (kepentingan sekunder) ialah kemaslahatan yang diperlukan
untuk meringanan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat
dilaksanakan dengan baik, dan ketiga, al-Tahsiniyyat (kepentingan tersier)
adalah kemaslahatan yang berkaitan dengan penyempurnaan kelima unsur
pokok tersebut.
Kemudian, peringkat al-Ḏaruriyyat ini dibagi kepada lima macam unsur
pokok yang harus dijaga dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah:
Menjaga agama (hifz al-Dîn), menjaga nyawa (hifz al-Nafs), menjaga harta (hifz
al-Mâl), menjaga akal (hifz al-‘Aql), dan menjaga keturunan (hifz al-Nasl).
Jika dicermati menggunakan teori maqasid al-Syariʻah, maka perkara yang
penulis teliti di atas termasuk ke dalam kategori menjaga agama (hifz al-Dîn)
karena perkawinan beda agama tersebut dapat menimbulkan muḏarat yang lebih
besar dibandingkan manfaatnya, sehingga beberapa agama melarang
27 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h., 304. 28 Ali Mutakin, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570, h., 548. 29 Jasser Auda, Maqâshid al-Syarîʻah, penerjemah: Marwan Bukhari A. Hamid, Memahami
Maqasid Syariah: Peranan Maqasid dalam Pembaharuan Islam Kontemporari, (Selangor: PTS
Islamika SDN.BHD, 2014), h., 7.
85
perkawinan tersebut, termasuk agama Islam. Pelarangan terhadap perkawinan
beda agama didasarkan pada surah al-Baqarah ayat 221:
لا و ت ٱتنكحوا لا لمشرك بتكم و عجو أ ل ة و شرك ن م ير م ؤمنة خ ة م م
لأ و ت ى يؤمن ح
ٱتنكحوا ئك يد ين لمشرك ولبكم أ عج
و أ ل شرك و ن م ير م ؤمن خ بد م لع و ت ى يؤمنوا ون ع ح
ٱو لن ار ٱإلى ن ة ٱيدعوا إلى لل ٱو لج ة غفر ته ۦ بإذنه لم يبي ن ءاي رو للن اس ۦو ك تذ هم ي ل ن لع
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran. (Q.S al-Baqarah [2] : 221)
Ayat ini dengan tegas melarang perkawinan beda agama, bahwa laki-laki
dan perempuan muslim dilarang kawin dengan laki-laki dan perempuan
musyrik atau kafir, karena dalam ayat tersebut dikatakan bahwa “mereka
(orang-orang musyrik) itu akan membawa kamu ke neraka, sedangkan Allah
SWT akan membawamu ke surga dan ampunan”30. Akan tetapi, bagi laki-laki
muslim masih dimungkinkan untuk menikahi wanita selain muslim dalam
kategori (Ahli Kitab) yaitu Yahudi dan Nasrani, sebagaimana dijelaskan dalam
surah al-Mâʻîdah ayat 5, pendapat ini dianut oleh jumhur ulama terutama ulama
sunni.
Namun, menurut Abdul Mutâl al-Jabry bahwa Ahli kitab yang boleh
dikawini adalah generasi sebelum Nabi Muhammad diutus, bukan ketika atau
setelah Nabi Muhammad diutus, karena mereka termasuk golongan orang
musyrik, maka haram untuk dikawini. Seperti pada surah al-Baqarah ayat 221
30 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 156.
86
yang berbunyi: ت حتى يؤمن ول تنكحوا ٱلمشرك (Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman) ayat ini mengenai larangan
menikahi orang-orang musyrik, tetapi belum dijelaskan secara khusus orang-
orang musyrik tersebut. Setelah itu turunlah ayat yang lebih mengkhususkan
yang umum tersebut dengan firman Allah surah al-Mâʻîdah ayat 5: من ٱلذين أوتوا
ب lalu orang Ahli Kitab yang (di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab) ٱلكت
boleh dikawini ini dibatasi dengan waktu من قبلكم (Ahli Kitab sebelum kamu)31.
Kemudian Amir Syarifuddin32 juga mendasarkan pendapatnya pada surah
al-Mâʻîdah ayat 5, bahwasanya Ahli Kitab yang disebutkan pada ayat tersebut
adalah orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di masa Nabi Muhammad, karena
pada masa itu agama mereka diterima oleh Nabi. Namun mengenai hukum
menikahi wanita Ahli Kitab pada zaman sekarang terdapat perbedaan pendapat
ulama fiqih. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Ahli Kitab pada zaman
sekarang bukan termasuk wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini.
Dengan demikian melihat filosofi agama Islam yang hendak dicapai dari
larangan perkawinan beda agama adalah untuk merealisasikan hifz al-Dîn.
Dalam memelihara agama, manusia harus membentengi diri dan memperkuat
iman dengan nilai-nilai keagamaan. Karena itulah ajaran syari’at mendorong
umat manusia untuk berbuat berdasarkan al-Qur’an dan Hadits agar beriman
kepada Allah Swt, inilah yang menjadi prinsip perkawinan yang sejalan dengan
Pasal 1 dan 2 dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Perkawinan
mempunyai hubungan yang erat dengan agama/rohani, sehingga perkawinan
dalam Islam bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur
bathin/rohani karena perkawinan dalam Islam bernilai ibadah33.
Kemudian selain untuk menjaga agama (hifz al-Dîn), larangan perkawinan
beda agama juga bertujuan untuk menjaga keturunan (hifz al-Nasl). Berbicara
soal perkawinan bukan hanya membahas urusan kedua belah pihak semata
(suami istri), namun juga urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan diatur
31 Abdul Mutâl Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam,
penterjemah: Achmad Syathori, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), cet. 3, h., 44-46. 32 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2013), cet.4, h., 117. 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 dan 2.
87
secara ketat oleh agama dan undang-undang untuk melindungi hak-hak kedua
belah pihak dan keturunannya.
Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, masalah
hukum yang berdampak pada status anak hasil perkawinan beda agama dilihat
dari sah atau tidaknya perkawinan orang tuanya. Jika perkawinan orang tuanya
tidak sah, maka anak tersebut bernasab hanya kepada ibunya. Kemudian anak
tersebut mempunyai hak untuk memilih agama atau keyakinan dari salah satu
orang tuanya. Dalam agama Islam mengenai hak waris anak, apabila anak
tersebut berbeda agama dengan pewaris, maka anak tersebut tidak bisa
menerima harta warisan dari pewaris, begitu pula sebaliknya. Jika mengenai
perwalian, Agama Islam menjadikan perwalian termasuk salah satu syarat sah
nikah. Ketika anak perempuan yang akan menikah, maka harus menggunakan
wali hakim.
Selanjutnya mengenai masalah psikologi anak, anak tersebut tidak bisa
bebas dalam melaksanakan ibadah karena adanya tekanan dari salah satu orang
tuanya. Dan selalu merasa kebingungan untuk memilih agama sesuai keinginan
hati nuraninya. Berbeda jika orang tuanya memberi kebebasan kepada anaknya
untuk memilih agama. Dari sudut pandang sosiologis, anak akan menjadi
pendiam dan tidak bisa bergaul dengan teman-temannya karena mendapatkan
tekanan dari masing-masing orang tuanya yang mengakibatkan anak tersebut
kebingungan dan stres berat. Oleh karena itu, perkawinan beda agama itu bisa
diharamkan 34.
34 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
(Bandung: Percetakan Angkasa, 2005, cet.1), h., 161.
88
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan pengkajian dan pencermatan mengenai “Izin Perkawinan
Beda Agama di Pengadilan Negeri (Studi Perbandingan Putusan
No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt dan Putusan No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla)” pada bab-
bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, bahwa pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam
mengabulkan permohonan izin perkawinan beda agama antara AVR dan DF
adalah untuk mengisi kekosongan hukum, karena mengenai perkawinan beda
agama tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dengan mengesampingkan
ketentuan yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dalam Undang-Undang
Perkawinan. Kemudian hakim juga berpedoman pada asas “ius curia novit”,
dimana pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang
diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, maka permohonan izin
perkawinan beda agama yang diajukan dapat dikabulkan. Dalam memeriksa
dan menyelesaikan perkara tersebut, hakim cenderung hanya menggunakan
metode interpretasi sosiologis.
Kedua, bahwa pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Blora dalam
menolak permohonan izin perkawinan beda agama antara NOBA dan YA
adalah menimbang bahwa kedua agama para pemohon yakni agama Islam dan
Kristen tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Dalam ajaran
agama Islam dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 221 dan Pasal 44
Kompilasi Hukum Islam mengenai larangan perkawinan beda agama.
Kemudian dengan memperhatikan ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama Pasal 2
ayat (1) bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan sesama agama, maka
89
permohonan para pemohon tidak dapat dikabulkan. Dalam memeriksa dan
menyelesaikan perkara tersebut, hakim menggunakan 3 (tiga) metode
penafsiran hukum yaitu metode interpretasi gramatikal, interpretasi a contrario,
dan interpretasi historis.
Ketiga, dikarenakan kedua pengadilan tersebut menggunakan pertimbangan
yang berbeda dalam perkara ini, maka perbedaan tersebut menimbulkan adanya
ketidakpastian hukum pada praktek perkawinan beda agama di masyarakat.
Namun, terhadap dua putusan yang berada dalam tingkat yang sama dan
mengenai perkara yang sama seperti pada penelitian ini, penulis setuju terhadap
putusan Pengadilan Negeri Blora No.71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang menolak
permohonan ini karena pertimbangan hakim lebih merujuk kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan putusan Pengadilan Negeri
Surakarta No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt yang mengabulkan permohonan tersebut
merujuk kepada yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1400
K/Pdt/1986. Hal ini sejalan dengan asas lex superior derogat legi inferiori.
Dengan demikian, putusan pengadilan negeri perkara No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt
tidak bisa dijadikan sebagai rujukan mengenai izin perkawinan beda agama.
Keempat, perkawinan beda agama berdasarkan teori maqasid al-syari’ah
merupakan praktek perkawinan yang menyalahi prinsip-prinsip perkawinan
dalam Islam. Prinsip perkawinan dalam Islam merupakan prinsip yang
berlandaskan teori maqasid al-syari’ah, yaitu menciptakan kemaslahatan bagi
manusia baik di dunia maupun di akhirat secara bersamaan. Kemaslahatan
perkawinan ini termasuk ke dalam kategori tingkatan ḏaruriyyat yang berupa
hifz al-Dîn (memelihara agama) dan hifz al-Nasl (memelihara keturunan).
Praktek perkawinan beda agama tersebut dapat menimbulkan mudharat yang
lebih besar dibandingkan manfaatnya, baik bagi pasangan yang menikah
maupun pihak-pihak yang bersangkutan dengan perkawinan tersebut, sehingga
beberapa agama melarang perkawinan beda agama.
90
B. Saran
Berdasarkan penelitian dan kesimpulan dalam penulisan ini, maka penulis perlu
memberikan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan, diantaranya:
1. Pemerintah harus membuat suatu aturan/hukum tertulis yang jelas dan
tegas, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam memahami aturan
tersebut.
2. Masyarakat hendaknya memperhatikan aturan yang berlaku dalam ajaran
agama dan hukum positif di Indonesia, serta mempertimbangkan
konsekuensi dari perkawinan tersebut.
3. Hakim dalam menyelesaikan perkara perkawinan beda agama diharapkan
untuk tidak secara tekstual dalam mencermati aturan hukum, namun juga
dilihat dari segi kontekstualnya.
91
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan (Perkawinan Beda
Agama dan Implikasinya), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
Cet.Pertama, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2004.
Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Sejarah, Kedudukan,
Fungsi, dan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif
Konstitusi), Malang: Setara Press, 2016.
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2008.
Auda, Jasser, Maqâshid al-Syarî’ah, penerjemah: Marwan Bukhari A. Hamid,
Memahami Maqasid Syariah: Peranan Maqasid dalam Pembaharuan
Islam Kontemporari, Selangor: PTS Islamika SDN.BHD, 2014.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Diantha, I Made Pasek, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, cet.2, Jakarta: Prenada Media Group, 2017.
Doi, A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Handrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta: KB
Press, 2003.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu Anggota IKAPI,
92
1997.
Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
Irfan, Lukman A. Nikah, Yogyakarta: PT Pustaka Insan Mardani, 2007.
Is, Muhamad Sadi, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2017.
al-Jabry, Abdul Mutâl Muhammad, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam, cet. 3, penerjemah: Achmad Syathori, Jakarta: PT Bulan Bintang,
1996.
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah,
2009.
Karsayuda, M. Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media Yogyakarta, 2006.
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia,
Konferensi Waligereja Indonesia, Edisi 2006, KHK., 241.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cet.6, Jakarta: Kencana, 2016.
______________, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 3, Jakarta: Kencana, 2009.
Mertokusumo, Sudikno, Teori Hukum: Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2012.
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta:
STIH “IBLAM”, 2004.
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1993.
Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: PT Refika
Aditama, 2007.
al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad, Maqashid Syariah, diterjemahkan oleh
93
Khikmawati (Kuwais), Jakarta: Amzah, 2013.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974
sampai KHI), Jakarta: Kencana, 2004.
Qarḏawi, Yûsuf. Hadyu al-Islâm Fatâwi Mu’âshirah, Penerjemah: As’ad
Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press,
1995.
Ramulyo, Mohd Idris, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), cet.2, Jakarta:
Bumi Aksara, 1999.
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman: Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana,
2012.
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, cet.1, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007.
Saepudin Jahar, Asep, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian
Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, Ciputat:
Kencana, 2013.
Sarong, H. A Hamid, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh:
Yayasan Pena Divisi Penerbitan, 2005.
Shalih Syaraf, Musa, Fatwa-Fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita,
diterjemahkan oleh: Iltizam Syamsuddin, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Shidiq, Sapiudin, Fikih Kontemporer, cet.2, Jakarta: Kencana, 2017.
Sihab, M. Qurais, Tafsîr al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an),
Ciputat: Lentera Hati, 2007.
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:
Elsas, 2008.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, Jakarta: UI Press, 1986.
______________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), cet.8, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
94
Suadi, Amran, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, Depok: PT
Rajagrafindo Persada, 2014.
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKIS,
2006.
Suma, Muhammad Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syaria dan
Qanuniah, Tangerang: Lentera Hati, 2015.
Sutiyoso, Bambang, Motode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang
Pasti dan Berkeadilan), Yogyakarta: UII Press, 2006.
______________ dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, cet.4, Jakarta: Kencana, 2013.
______________, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.2, Jakarta: Kencana,
2007.
______________, Ushul fiqih jilid 2, Jakarta: Kencana, 2017.
Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Pemikiran
Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali, Yogyakarta: PT. LkiS
Printing Cemerlang, 2015.
Wijayanta, Tata, dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan
Pengadilan, Yogyakarta: MedPress Digital, 2013.
Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
cet.1, Bandung: Percetakan Angkasa, 2005.
al-Zuhailî, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Minhaj.
cet.2, penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Tafsir al-Munir: Akidah,
Syari’ah dan Manhaj Jilid 1 (Juz1 dan 2), Jakarta: Gema Insani, 2013.
Jurnal dan Majalah Hukum
Abubakar, Al Yasa dan Novita, “Pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang
Perkawinan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab”, dalam Jurnal
Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 1 No. 2. Juli-Desember 2017.
95
Ashsubli, Muhammad, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluratitas Hukum
Agama”, dalam Jurnal Cita Hukum Vol. II No. 2 Desember 2015.
Asiah, Nur, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang
Undang Perkawinan dan Hukum Islam”, dalam Jurnal Hukum Samudra
Keadilan Vol. 10 No. 2, Juli-Desember 2015.
Asnawi, M. Natsir, “Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Politik Hukum:
(Studi tentang Kebijakan Hukum dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman)”, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. 332
Juli 2013.
Baidi, Yasin, “Fenomena Nikah Beda Agama di Indonesia: Telaah terhadap
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1400 K/Pdt/1996”,
dalam Jurnal Sosio-Religia Vol.9, No.3, Mei, 2010.
H.W.P, Hutari, “Legalitas Perkawinan Antar Pemeluk Beda Agama di Indonesia
dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”,
dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-36 No. 2 April-Juni
2006.
Hanif, Azhar Muhammad, “Tinjauan Tentang Perkawinan Beda Agama (Analisis
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor
156/Pdt.P/2010/PN.Ska)”, Skripsi S-1 Jurusan Al-Ahwal Asy
syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah UIN Walisongo, Semarang, 2015.
Harahap, Zul Anwar Ajim, “Konsep Maqashid al-Syari’ah Sebagai Dasar
Penetapan dan Penerapannya dalam Hukum Islam Menurut Izzuddin Bin
Abd al-Salam (W.660H)”, dalam Jurnal Tazkir Vol.9 No. Juli-Desember
2014.
Khalid, Afif, “Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di
Indonesia”, dalam Jurnal Al’Adl, Volume VI Nomor 11, Januari-Juni
2014.
Manan, Abdul, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di
Peradilan Agama”, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor
2, Juli 2013.
Mursyid, Salma, Jurnal Aqlam – Journal of Islam and Plurality, Volume 2 Nomor
1, Desember 2016.
96
Mutakin, Ali, “Implementasi Maqashid al-Syari’ah dalam Putusan Bahts al-
Masa’il tentang Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal Koordinat Vol.
XV No. 2 Oktober, 2016.
______________, “Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode
Istinbath Hukum”, dalam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3,
Agustus, 2017, pp. 547-570.
Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya
Mewujudkan Hukum yang Responsif, dalam Jurnal AL-HUKAMA The
Indonesian Journal of Islamic Family Law, Volume 07 Nomor 01, Juni
2017.
Nashrullah Kartika MR, Galuh, dan Hasni Noor, “Konsep Maqashid al-Syariah
dalam Menentukan Hukum Islam (Perspektif al-Syatibi dan Jasser Auda)”,
dalam Jurnal Al-Iqtishadiyah Volume I, Issue I, Desember 2014.
RHR, Raphon Fajar, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang
Berbeda Agama (Analisis Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Studi Penetapan No.92/Pdt.P/2010/PN.Surakarta)”, dalam Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013.
Rosidah, Zaidah Nur, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Mengenai
Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal Al-Ahkam, Volume 23, Nomor 1,
April, 2013.
Sehabudin, “Pencatatan Perkawinan dalam Kitab Fikih dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Perspektif Maqashid Syari’ah)”,
dalam Jurnal Al-Mazahib, Volume 2 No. I Juni 2014.
Shidiq, Ghofar, “Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal
Sultan Agung Vol. XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009.
Supandi, “Kompetensi Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
Menyelesaikan Sengketa Informasi Publik”, dalam Majalah Hukum Varia
Peradilan Tahun XXVIII No. 331 Juni 2013.
Toriquddin, Moh, “Teori Maqashid Syariah Perspektif al-Syatibi”, dalam de Jure,
Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014.
Widihastuti, Setiati, Sri Hartini, dan Eny Kurdarini, “Kajian Terhadap Perkawinan
97
Antar Orang Berbeda Agama Di Wilayah Hukum Kota Yogyakarta”, Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial (SOCIA) FIS UNY Yogyakarta Volume XI nomor 2,
September 2014.
Wijaya, Abdi, “Cara Memahami Maqashid al-Syari’ah”, dalam Jurnal Ad-Daulah
Vol. 4 / No. 2 / Desember 2015.
Skripsi dan Tesis
Jamilah, “Tinjauan Yuridis Pencatatan Perkawinan Campuran Beda Agama Di
Yayasan Paramadina Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”
Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura Pontianak, 2013.
MS, M. Andy Chafid Anwar, “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap
Penetapan Pengadilan Negeri Magelang Tentang Perkawinan Beda
Agama(Penetapan PN Magelang No.04/Pdt.P/2012/PN.Mgl)”, Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
Muarif, Moh Syamsul, “Legalitas Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Perkawinan”, Tesis Program Magister Al
Ahwal Al-Syakhsiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2015.
Internet
Wijaya, Leony. Sahnya Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari UU No 1 Tahun
1974 dan Agama-agama di Indonesia. Dalam
https://anastasyaleony.wordpress.com/2016/03/18/sahnya-perkawinan-
bedaagama-ditinjau-dari-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-dan-agama-
agama-di-indonesia/ diakses pada 18 Maret 2016.
Galuh. Solusi Konstitusi atas Problematika Kawin Beda Agama. Dalam
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5431ffe62bdd1/menunggu-
solusi-konstitusi-atas-problematika-kawin-beda-agama diakses pada Senin,
06 Oktober 2014.
Undang-undang
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.
98
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004, tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A NNo. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Surakarta yang memeriksa dan memutus perkara – perkara
permohonan telah memberikan penetapan sebagai berikut dalam perkara pemohon :
1 ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI :
Lahir di Surakarta, 29 April 1991, agama Katolik, pekerjaan karyawan
swasta, alamat di Jl. Kebangkitan Nasional 5 A RT.001 RW.006 Kel.
Penumping, Kec. Laweyan, Kota Surakarta.-
Selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON - I.
2 DANDI FERDIAN :
Lahir di Surakarta, 29 April 1994, agama Islam, Pekerjaan karyawan
swasta, alamat di Jl. Siwal RT. 005 RW. 002 Desa Siwal, Kec. Baki,
Kabupaten Sukoharjo.-
Selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON - II.
Pengadilan Negeri tersebut ;
Setelah membaca segala surat – surat dalam berkas perkara ;
Setelah memperhatikan bukti – bukti surat yang diajukan ;
Setelah mendengar keterangan saksi – saksi di persidangan ;
Menimbang bahwa pada hari persidangan yang ditentukan untuk memeriksa perkara ini,
pemohon telah hadir di persidangan dengan membawa alat bukti yang berhubungan dengan
perkara ini.
Menimbang bahwa para pemohon tersebut di atas telah mengajukan permohonan
perihal : Ijin Kawin Beda Agama ke Pengadilan Negeri Surakarta dengan surat permohonan
yang diregister dengan nomor : 46/Pdt.P/2016/PN.Skt, dimana setelah diperbaiki (diberi tanda
paraf disamping halaman surat permohonan) isinya sebagai berikut :
• Bahwa para pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan perkawinan yang
rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Surakarta.
Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 1 dari 13.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa pada tanggal 4 Februari 2016 Para Pemohon telah memberitahukan kepada
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta tentang akan
dilaksanakannya perkawinan tersebut tetapi oleh karena beda agama yaitu Pemohon I
beragama Katolik, sedangkan Pemohon II beragama Islam maka oleh Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut
ditolak, dengan alasan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 35 Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2006.
• Bahwa dengan alasan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1 Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 35 Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya, perkawinan
tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan Penetapan Pengadilan Negeri.
• Bahwa Para Pemohon masing – masing tetap pada pendiriannya untuk melakukan
perkawinan tersebut dengan tetap pada kepercayaannya masing – masing, dengan cara
mengajukan permohonan ijin kepada Pengadilan Negeri Surakarta yang mengacu pada
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 35 huruf (a)
Undang – Undang Nomor : 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta
penjelasannya.
• Bahwa asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada prinsipnya
perbedaan agama tidaklah menjadikan penghalang untuk melakukan perkawinan.
Berdasarkan alasan – alasan tersebut di atas, maka perkenankanlah kiranya Bapak Ketua
pengadilan Negeri Surakarta berkenan untuk menerima, memeriksa permohonan ini dan
selanjutnya berkenan memberikan penetapan sebagai berikut :
1 Mengabulkan permohonan para pemohon.
2 Memberikan ijin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda
agama di Kantor Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta.
3 Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta
untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut
di atas ke dalam register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu.
4 Membebankan biaya permohonan kepada para pemohon.
Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya para pemohon telah menyerahkan
bukti – bukti surat yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-16 sebagai berikut :
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P-1 : Asli Surat dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta No.474.2/330/
II/2016 tanggal 4 Februari 2016 kepada Dandi Ferdian perihal penolakan permohonan
pencatatan perkawinan.
P-2 : Foto copy Kartu Tanda Penduduk No.3311102904940004 atas nama Dandi Ferdian.
P-3 : Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.3311-LT-13012016-0047 tanggal 14 Januari 2016
atas nama Dandi Ferdian, yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kab. Sukoharjo.
P-4 : Foto copy Kartu Keluarga No.3311102808130002 tertanggal 7 September 2013 atas
nama Kepala Keluarga Mami Sularmi.
P-5 : Foto copy Kartu Keluarga No.3372010501120001 tertanggal 5 Januari 2012 atas nama
Kepala Keluarga Yarianto.
P-6 : Foto copy Kutipan Akta Nikah No.455/11/III/1990 tanggal 9 Maret 1990 antara Yarianto
dengan Mami Sularmi.
P-7 : Asli Surat dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta No.474.2/330/
II/2016 tanggal 4 Februari 2016 kepada Aloysia Vettyana Ratnawati perihal penolakan
permohonan pencatatan perkawinan.
P-8 : Foto copy Kartu Tanda Penduduk No.3372016904910001 atas nama Aloysia Vettyana
Ratnawati.
P-9 : Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No. Nas.123/952/TP/1991 tanggal 28 Oktober 1991
atas nama Aloysia Vettyana Ratnawati, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kota
Surakarta.
P-10 : Foto copy Kutipan Akta Perkawinan No. Nas.190/1990 tanggal 6 Agustus 1990 antara
Bassilius Sutanta dan Veronika Sri Ernawati.
P-11 : Foto copy Kartu Keluarga No.3372011203082504 tertanggal 26 Januari 2016 atas nama
Kepala Keluarga Bassilius Sutanta.
P-12 : Foto copy Surat Pernyataan Belum Pernah Menikah yang dibuat oleh Dandi Ferdian
tertanggal Januari 2016.
P-13 : Foto copy Surat Pernyataan Belum Pernah Menikah yang dibuat oleh Aloysia Vettyana
Ratnawati tertanggal 11 Januari 2016.
P-14 : Foto copy Surat Pernyataan Persetujuan Menikah dari Orang Tua yang dibuat oleh
Bassilius Sutanta dan Veronika Sri Ernawati tertanggal 17 Desember 2015.
P-15 : Foto copy Surat Keterangan Imunisasi TT Bagi Calon Pengantin tertanggal 12 januari
2016, atas nama Dandi Ferdian.
P-16 : Foto copy Surat Pernyataan Persetujuan Menikah dari Orang Tua yang dibuat oleh
Yarianto dan Mami Sularmi tertanggal 19 Desember 2015.
Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 3 dari 13.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang bahwa bukti surat bertanda P-1 dan P-7 keduanya merupakan surat asli
sedangkan selainnya berupa foto copy surat yang telah diberi meterai cukup dan telah diperiksa
dan terlihat sama dan cocok dengan surat aslinya.
Menimbang selain itu, para pemohon telah menghadirkan saksi – saksinya di persidangan
untuk didengar keterangannya setelah mengucapkan janji menurut agama yang dianut saksi –
saksi telah pula memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
1 Heribertus Soetardjo, SPD,
• Saksi tidak kenal dengan Pemohon II Dandi Ferdian.
• Saksi kenal dengan Pemohon Aloysia Vettyana Ratnawati karena selain bertetangga,
saksi juga sebagai Ketua Lingkungan dimana saksi dan Pemohon Aloysia berdomisili.
Selain itu Pemohon Aloysia adalah mantan murid saya di SMP 10 Surakarta sejak dia
duduk di Kelas 1 sampai dengan Kelas 3 SMP, sedangkan dengan Pemohon Dandi
Ferdian sebelumnya saksi tidak kenal.
• Saksi kenal dengan orang tua dari Aloysia yaitu pak Sutanta dan Ernawati yang biasa
dipanggil ibu Erna.
• Saksi mengerti mengapa saksi diajukan oleh Pemohon sebagai saksi yaitu untuk memberi
keterangan mengenai maksud para Pemohon yang ingin untuk mendapatkan ijin dari
Pengadilan karena Para Pemohon ingin menikah di Kantor Catatan Sipil Surakarta
sedangkan mereka beda agama. Pemohon I beragama Katolik dan Pemohon II beragama
Islam oleh karena itu Kantor Catatan Sipil Surakarta menolak keinginan mereka untuk
menikah.
• Setahu saksi, Aloysia belum pernah menikah.
• Aloysia adalah anak yang pertama dari dua bersaudara, dan kedua-duanya adalah
perempuan.
• Setahu saksi, usia Aloysia saat ini adalah sekitar 24 tahun.
• Menurut yang saksi tahu dari Pemohon I, Pemohon II (Dandi) beragama Islam.
• Kalau menurut ajaran agama Katolik menikah beda agama dibolehkan.
• Setahu saksi orang tua Aloysia merestui pernikahan mereka, kalau orang tua Dandi saya
tidak tahu.
• Saya tidak tahu apakah Dandi sudah pernah menikah.
• Keterangan saksi sudah cukup dan tidak ada lagi keterangan lain yang ingin saksi
tambahkan.
4
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang bahwa Para Pemohon menyatakan tidak keberatan dan membenarkan
keterangan saksi ini;
1 SUGENG SARTONO,
• Saksi kenal dengan Pemohon Aloysia Vettyana Ratnawati karena bertetangga,
sedangkan dengan Pemohon Dandi Ferdian sebelumnya saksi tidak kenal.
• Saksi kenal dengan orang tua dari Aloysia yaitu pak Sutanta dan ibu Ernawati yang biasa
dipanggil ibu Erna.
• Setahu saksi maksud para Pemohon mengajukan permohonan ini adalah untuk keperluan
mendapatkan ijin dari Pengadilan untuk menikah beda agama di Kantor Catatan Sipil
Surakarta karena Kantor Catatan Sipil Surakarta menolak keinginan mereka.
• Aloysia belum pernah menikah.
• Aloysia adalah anak yang pertama dari dua bersaudara, kedua-duanya adalah
perempuan.
• Saat ini usia Aloysia adalah 24 tahun.
• Dandi beragama Islam.
• Kalau menurut ajaran agama Kristen yang saksi anut menikah beda agama tidak
diperbolehkan.
• Setahu saksi orang tua Aloysia merestui pernikahan mereka, kalau orang tua Dandi saya
tidak tahu.
• Keterangan saksi sudah cukup dan tidak ada lagi keterangan lain yang ingin saksi
tambahkan.
Menimbang bahwa Para Pemohon menyatakan tidak keberatan dan membenarkan
keterangan saksi ini.
Menimbang bahwa selain dari keterangan saksi – saksi, Pengadilan Negeri juga
menganggap perlu mendengar keterangan dari bapak Bassilius Sutanta dan ibu Veronika Sri
Ernawati (orang tua dari pada Pemohon I) yang hadir di persidangan dimana meskipun bukan
dibawah sumpah atau janji mereka telah memberikan keterangan seperlunya dan telah dicatat
dalam Berita Acara Persidangan yang menerangkan sebagai berikut :
Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 5 dari 13.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa benar maksud dan tujuan para Pemohon mengajukan permohonan ke Pengadilan
adalah untuk mendapatkan ijin melangsungkan perkawinan beda agama oleh karena
sebelumnya Kantor Catatan Sipil Surakarta telah mengeluarkan Surat Penolakan
melangsungkan perkawinan beda agama kecuali ada Penetapan dari Pengadilan Negeri
Surakarta.
• Bahwa benar kami telah memberikan persetujuan dan tidak keberatan dengan keinginan
para Pemohon untuk menikah beda agama;
• Bahwa menurut rencana perkawinan tersebut akan dilangsungkan secara agama Katolik
di Kantor Catatan Sipil Surakarta;
Menimbang bahwa setelah segala sesuatu untuk pemeriksaan permohonan ini dinyatakan
cukup oleh Para Pemohon dan mohon untuk diputuskan, maka selanjutnya Hakim yang
bersidang akan memberikan pertimbangannya sebagai berikut :
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA
Menimbang, adapun maksud dan tujuan para pemohon telah dapat dimengerti secara
jelas yaitu untuk mendapatkan ijin menikah dari Pengadilan Negeri Surakarta oleh karena
diantara mereka Para Pemohon faktanya memeluk agama yang berbeda dimana Pemohon I
(ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) sesuai identitasnya menganut agama Katolik
sedangkan Pemohon II (DANDI FERDIAN ) sesuai identitasnya menganut agama Islam.
Menimbang bahwa setelah Pengadilan Negeri mencermati permohonan Para Pemohon
dihubungkan dengan bukti surat – surat dan keterangan saksi – saksi bahkan keterangan dari
orang tua Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) maka dapat disimpulkan
permasalahan hukum sehubungan permohonan ini adalah : “Apakah Pengadilan Negeri
Surakarta dapat memberikan ijin kepada Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI)
dan Pemohon II (DANDI FERDIAN) yang berbeda agama karena masing – masing tidak berniat
untuk melepaskan keyakinan agamanya, mereka dapat melangsungkan perkawinan di hadapan
pejabat pencatat perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Surakarta ?”.
Menimbang bahwa sebelum Pengadilan Negeri Surakarta lebih jauh mempertimbangkan
permohonan Para Pemohon perlu lebih dahulu mempertimbangkan kekuatan hukum dari pada
alat bukti yang diajukan oleh Para Pemohon.
6
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang bahwa oleh karena bukti surat bertanda : P-2 ; P-3 ; P-4 ; P-5 ; P-6 ; P-8 ;
P-9 ; P-10 ; P-11 ; P-12 ; P-13 ; P-14 ; P-15 ; dan P-16 ; yang seluruhnya merupakan foto copy
dan telah diberi meterai yang cukup serta telah cocok dan sesuai dengan surat asli masing –
masing yang diajukan oleh Para Pemohon. Sedangkan khusus mengenai bukti surat P-1 dan P-7,
keduanya adalah surat asli, maka dengan demikian keseluruhan butki surat dimaksud dapat
diterima sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan hukum untuk selanjutnya dapat
dipertimbangkan dalam memutus perkara permohonan Para Pemohon.
Menimbang demikian juga halnya dengan saksi – saksi yang memberikan keterangan
setelah lebih dahulu berjanji menurut agama masing – masing dan tidak ada halangan hukum
untuk dapat didengar sebagai saksi di depan persidangan maka keterangan mereka saksi – saksi
juga dapat dipedomani sebagai keterangan yang berkekuatan hukum.
Menimbang bahwa dengan memperhatikan bukti surat – surat dan keterangan saksi –
saksi yang diajukan oleh Para Pemohon, telah nyata bahwa Para Pemohon memang sungguh –
sungguh berkehendak untuk melangsungkan pernikahan mereka secara sah namun mereka
terbentur oleh keyakinan / agama masing – masing yang berbeda, yakni Pemohon I (ALOYSIA
VETTYANA RATNAWATI) beragama Katolik sedangkan Pemohon II (DANDI FERDIAN)
beragama Islam.
Menimbang bahwa dengan memperhatikan bukti surat – surat dan keterangan saksi –
saksi termasuk orang tua Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) diperoleh fakta –
fakta yang kuat sebagai berikut :
• Bahwa Pemohon I (ALOYSIA VETTYANA RATNAWATI) yang berusia sekitar 24
(dua puluh empat) tahun dan belum pernah menikah dan beragama Katolik berencana
hendak melangsungkan perkawinan dengan calon suaminya yang bernama DANDI
FERDIAN (Pemohon II) yang berusia sekitar 21 (dua puluh satu) tahun dan beragama
Islam di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta secara agama
Katolik.
• Bahwa karena agama Pemohon I dan Pemohon II berbeda maka mereka telah
mengajukan permohonan untuk melaksanakan pernikahan ke Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil namun permohonan mereka tersebut ditolak dengan
alasan adanya perbedaan agama (vide bukti surat P-1 dan P-7).
Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 7 dari 13.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa dalam bukti surat P-1 dan P-7 diterangkan, Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Surakarta dapat menerima atau melaksanakan pencatatan
perkawinan Para Pemohon setelah ada penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta.
• Bahwa orang tua Pemohon I maupun orang tua Pemohon II semuanya menyatakan tidak
keberatan dan menyetujui serta mengijinkan apabila Pemohon I menikah dengan
Pemohon II di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta (vide
bukti surat P-14 dan P-16).
• Bahwa oleh karena adanya surat dari Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Surakarta maka Para Pemohon mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri
Surakarta untuk meminta ijin melangsungkan perkawinan beda agama tersebut.
Menimbang bahwa menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 ada 2 (dua) instansi Pegawai pencatat perkawinan yaitu Pegawai pencatat
untuk perkawinan menurut agama Islam berada di Kantor Urusan Agama sebagaimana dimaksud
dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talaq dan Rujuk, sedangkan
bagi mereka yang beragama selain agama Islam adalah Pegawai Pencatat Perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil.
Menimbang bahwa kedua instansi pencatat perkawinan tersebut berdasarkan ketentuan
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
diperbolehkan dan akan menolak melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan
bila ia mengetahui adanya pelanggaran ketentuan dari Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10
dan Pasal 12 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meskipun ada
pencegahan perkawinan.
Menimbang bahwa pelanggaran – pelanggaran ketentuan perundang – undangan tersebut
antara lain dikatakan karena usia pihak – pihak yang akan kawin belum memenuhi syarat,
hubungan kekeluargaan yang terlalu dekat, satu pihak masih terikat tali perkawinan dengan
orang dan sebagainya.
Menimbang bahwa berdasar Pasal 21 ayat (3) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
kepada mereka yang perkawinannya ditolak diberi hak untuk mohon campur tangan pengadilan,
yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi mereka
yang beragama selain beragama Islam agar supaya penolakan tersebut dinyatakan batal dan
selanjutnya memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
8
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang bahwa ketentuan sebagaimana diatur oleh Pasal 21 Undang Undang Nomor
1 Tahun 1974 tersebut berlaku bagi mereka pihak – pihak yang melangsungkan perkawinan yang
seagama yaitu sama – sama Islam atau sama – sama selain beragama Islam.
Menimbang bahwa dihubungkan dengan permohonan Para Pemohon ternyatalah
penolakan oleh instansi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta didasarkan
pada alasan karena pihak – pihak yang akan melangsungkan perkawinan berlainan agama.
Menimbang bahwa penolakan oleh instansi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Surakarta didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 477/2535/PUOD tertanggal
25 Juli 1990 butir 2 yang menyatakan bahwa : “terhadap mereka yang menyatakan tidak
melaksanakan ajaran dari salah satu agama dari 5 (lima) agama yang ada di Indonesia (Islam,
Katolik, Protestan, Hindu dan Budha), maka pencatatan terhadap mereka tidak dapat
dilaksanakan”, karena Undang Undang Perkawinan mengatur perkawinan berdasarkan ketentuan
agama, bukan penolakan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 20 Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Menimbang bahwa terhadap permohonan Para Pemohon ini Pengadilan Negeri Surakarta
mempertimbangkan sebagai berikut :
1 Bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu
ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan atau kepercayaan
antara calon suami dan calon istri merupakan larangan perkawinan, hal mana adalah
sejalan dengan Pasal 27 Undang – Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya
kesamaan hak azazi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan
agama dan atau kepercayaan dan selama oleh undang – undang tidak ditentukan bahwa
perbedaan agama dan atau kepercayaan merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan, maka asas ini adalah sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang Undang Dasar
1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk
memeluk agama dan atau kepercayaannya masing – masing.
2 Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak mengatur mengenai perkawinan dari pasangan yang berbeda agama, hal mana
lebih dipertegas dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1400 K/Pdt/1986
tanggal 20 Januari 1989 yang berbunyi : “Bahwa perbedaan agama dari calon suami
istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka”.
Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 9 dari 13.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3 Bahwa perkawinan Para Pemohon faktanya didasarkan pada perbedaan agama diantara
mereka.
4 Bahwa Undang Undang nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan pelaksanaannya
nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur tentang bagaimana
melangsungkan perkawinan antara orang yang berlainan agama atau kepercayaan.
Menimbang bahwa dari hal – hal tersebut di atas, berarti perkawinan yang terjadi antara
pihak yang menganut agama yang berbeda hingga kini belum ada peraturannya dan itu berarti
menyangkut perkara ini telah terjadi kekosongan hukum (rechts vacum).
Menimbang bahwa selain dari pada peraturan dimaksud belum ada sementara dalam
ketentuan Pasal 14 Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 yang telah dirubah dengan Undang
Undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian dirubah dan ditambah dengan Undang Undang
Nomor 4 tahun 2004 dan terakhir dirubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa
hukumnya tidak ada atau kurang jelas.
Menimbang bahwa oleh karena adanya kekosongan hukum tersebut maka sejalan dengan
ketentuan penjelasan Pasal 14 Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 yang telah dirubah dengan
Undang Undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian dirubah dan ditambah dengan Undang
Undang Nomor 4 tahun 2004 dan terakhir dirubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimaksud mengatakan bahwa Hakim wajib
menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum dan bertanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa terlebih dahulu harus dicari dalam praktek hukum yang telah
terjadi berkenaan dengan hal tersebut.
Menimbang bahwa didasari pada ketentuan hukum tersebut di atas dan setelah
memperhatikan segala sesuatu hal yang terlihat dalam bukti – bukti surat maupun yang
diterangkan oleh saksi – saksi dan terutama melihat niat atau kehendak para pemohon untuk
tetap melangsungkan pernikahan mereka meskipun mereka saat ini berbeda agama, maka
Permohonan Para Pemohon yaitu untuk dapat melangsungkan perkawinan mereka yang berbeda
agama satu sama lainnya dan yang memohon supaya perkawinan yang akan mereka langsungkan
dapat dicatat dalam catatan perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
kota Surakarta, permohonan demikian dapat dikabulkan.
10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang bahwa oleh karena permohonan ini dapat dikabulkan maka menyangkut
biaya perkara yang timbul dalam permohonan ini secara hukum dibebankan kepada para
pemohon sebesar yang tersebut nanti dalam amar penetapan ini.
Memperhatikan segala pasal dan ketentuan lain yang berhubungan dengan perkara ini.
M E N E T A P K A N
1 Mengabulkan permohonan para pemohon.
2 Memberikan ijin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di
Kantor Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta.
3 Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk
melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut di atas ke
dalam register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu.
4 Membebankan biaya perkara permohonan ini sebesar Rp.151.000,- (seratus lima puluh
satu ribu rupiah) kepada Para Pemohon.
Demikian ditetapkan dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari
ini SENIN tanggal 07 Maret 2016 oleh : T.O.C.H. SIMANJUNTAK, SH., M.Hum, Hakim
yang ditunjuk untuk bersidang dibantu oleh JUVENAL A. CORBAFO, SH selaku Panitera
Pengganti, dan dihadiri oleh para pemohon.
Hakim yang bersidang,
TOCH. SIMANJUNTAK, SH., MHum.
Panitera Pengganti,
JUVENAL A. CORBAFO, SH
Rincian Biaya :
Biaya Proses Rp. 50.000,-
Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 11 dari 13.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Materai Rp. 6.000,-Pemanggilan Rp. 60.000,-PNBP Rp. 30.000,-Redaksi Rp. 5.000,-
----------------------------------- +Jumlah Rp.151.000,- (Seratus lima puluh satu ribu rupiah).
12
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Salinan resmi Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 46/Pdt.P/2016/PNSkt
tanggal 07 Maret 2016 diberikan atas permintaan secara lisan para Pemohon (Aloysia Vettyana
Ratnawati dan Dandi Ferdian) pada hari Senin, tanggal 7 Maret 2016.
PANITERA
PENGADILAN NEGERI KELAS I A KHUSUS SURAKARTA
H.MUHAMMAD MAKMUN, S.H.,M.H.
NIP : 19571122 198103 1 004
Penetapan No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt. Hal : 13 dari 13.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1
P E N E T A P A N
Nomor : 71/Pdt.P/2017/PN Bla.
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pengadilan Negeri Blora yang memeriksa dan mengadili perkara-
perkara perdata permohonan dalam tingkat pertama telah menjatuhkan
penetapan dalam perkara :
NENENG OKTORA BUDI ASRI Binti BAMBANG MARJONO (Alm),
Tempat/tanggal lahir : Blora/ 07 Oktober 1979, pekerjaan : Guru
GTT pada SMAN 1 Tunjungan, agama : Islam, alamat Jl. R.A.
Kartini Gang 8 No. 11 RT 003/RW 001, Kelurahan Kunden,
Kecamatan/Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, selanjutnya
disebut sebagai PEMOHON I;
YAFET ARIANTO Bin MARKUS WARTONO (Alm)Tempat/tanggal lahir :
Blora/ 25 Januari 1980, pekerjaan : Guru GTT pada SMK Negeri 1
Blora, agama : Kristen, alamat Desa Gersi RT 002/Rw 002,
Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah,
selanjutnya disebut sebagai PEMOHON II;
dalam perkara ini Para Pemohon diwakili oleh Kuasa Hukumnya Drs. S.
TEGUH WIYONO,SH,M.Hum Advokat & Konsultan Hukum yang beralamat di
Jl. Jejeruk No.2 Seso, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa
Tengah berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 16 Maret 2017 ;
PENGADILAN NEGERI tersebut ;
Telah memperlajari berkas perkara permohonan ini ;
Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan keterangan Para Pemohon;
Telah mempelajari bukti-bukti surat yang diajukan oleh Para Pemohon ;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Para Pemohon telah mengajukan surat
permohonan tertanggal 17 Maret 2017 yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Blora tanggal 20 Maret 2017 dibawah Nomor Register
Perkara : 71/Pdt.P/2017/PN.Bla yang pada pokoknya Para Pemohon
mengajukan permohonan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon/ Neneng Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono (Alm)
telah menjalin hubungan saling cinta-mencintai dengan seorang Pria
temannya sendiri bernama Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm).
Mereka berdua sudah saling mengenal sejak tahun 1996 (waktu masih
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2
sekolah SMTA), sudah ada kecocokan dan saling pengertian karena
sudah berpacaran sejak tahun 2004 s/d sekarang (± 13 tahun), sehingga
mereka berdua setuju dan bersepakat untuk ditingkatkan ke jenjang
perkawinan;
2. Bahwa oleh karena itu, maka persetujuan dan kesepakatan antara
Pemohon dan teman Prianya bernama Yavet Arianto bin Markus
Wartono (Alm) tentang rencana perkawinan tersebut selanjutnya
mereka mohonkan restu kepada orangtua/ keluarga masing- masing;
3. Bahwa atas penuturan Pemohon terhadap orangtuanya (Ibu Yayuk
Budhi Rahayu) mengenai hubungan Pemohon dengan teman Prianya /
bernama Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) yang akan ditingkatkan
ke jenjang perkawinan, telah mendapatkan restu secara lisan dari Ibu
Yayuk Budhi Rahayu (Ibunda Pemohon) ; demikian pula dari Pihak
teman Prianya / Sdr. Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) juga telah
mendapat restu dari keluarga (kakaknya) karena kedua orangtuanya
telah meninggal dunia;
4. Bahwa berkenaan dengan hal sebagaimana tersebut pada point No 2
dan 3 di atas, terkait dengan rencana perkawinan Pemohon dengan
teman Prianya/ Sdr. Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) , maka
pelaksanaan lamaran dari keluarga Sdr. Yavet Arianto direncanakan
akan dilaksanakan setelah mendapat Putusan/ Penetapan Pengadilan
Negeri Blora tentang Izin Perkawinan Beda Agamayaitu sesaat sebelum
Upacara Perkawinan dilaksanakan ;
5. Bahwa mengenai Perkawinan dan/ atau Perkawinan Beda Agama, telah
diatur dalam Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :
a. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat
(1) menyatakan bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu ;
Ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan“;
b. Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Nomor : M.A/ Pemb./ 0807 / 1975
tanggal 20 Agustus 1975 Mengenai Pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP Nomor 1 Tahun 1974 ; Tersebut
pada point No 6, yang menyatakan bahwa : “ Adalah wewenang
Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum untuk memeriksa :
6.1 Mengenai perkara-perkara antara mereka yang tidak beragama Islam
yang berbeda agamanya dan berlainan kewarganegaraannya ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3
6.2 Mengenai hal- hal yang tidak diatur dalam PP tersebut sekalipun
terhadap mereka yang beragama Islam;
Karena menurut UU Nomor 14 Tahun 1970, pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum lah yang memeriksa semua sengketa
perdata dan dalam mengadili sengketa perdata mana yang menurut
hukum yang berlaku masih diterapkan hukum perdata yang berlainan,
kadang- kadang hukum adat hukum BW hukum antargolongan atau
hukum perdata internasional ;
c. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , Bab XIV
Ketentuan Penutup Pasal 66 jo. Peraturan tentang Perkawinan
Campuran ( Penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 Nomor 23-Stbl
1896 No 158, dir. Dandit, dengan Stbl 1901/348 , 1902/ 311 , 1907/ 205 ,
1918/ 30 , 159, 160, dan 161, 1919/ 81, dan 816, 1931/ 168 jo
423 ) ; Pasal 4 ayat ( 2) menyatakan bahwa : Perbedaan agama, bangsa
atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan
itu ;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab II
mengenai Pencatatan Perkawinan , Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa
“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-
undangan mengenai pencatatan perkawinan”;
e. KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek Buku I tentang Orang, Bab IV
tentang Perkawinan , Pasal 26 menyatakan bahwa : “ Undang- undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan- hubungannya
perdata “;
Bagian VII tentang Bukti Bukti Adanya Perkawinan: Pasal 100
menyatakan bahwa: “ Adanya suatu perkawinan tak dapat dibuktikan
dengan cara lain, melainkan dengan Akta Perlangsungan Perkawinan
itu, yang telah dibukukan dalam Register Catatan Sipil, kecuali dalam hal-
hal teratur dalam pasal- pasal berikut “;
6. Bahwa dari uraian dan keterangan-keterangan sebagaimana telah
diutarakan tersebut di atas , dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Hubungan Pemohon / Neneng Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono
(Alm) dengan teman Prianya / Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4
adalah didasarkan atas saling cinta mencintai, dan mereka berdua telah
setuju/ sepakat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan ;
b. Hubungan saling cinta – mencintai antara Pemohon / Neneng Oktora Budi
Asri dengan teman Prianya / Yavet Arianto tersebut, apabila dilanjutkan
ke jenjang perkawinan maka akan terjadi Perkawinan Beda Agama (Islam
dan Kristen) yang terlebih dahulu harus memperoleh Putusan/
Penetapan dari Pengadilan Negeri Blora tentang Izin Perkawinan Beda
Agama;
c. Niat dan kesepakatan Pemohon/ Neneng Oktora Budi Asri dengan
teman Prianya / Yavet Arianto telah mendapat restu secara lisan dari
orangtua/ keluarga masing-masing sedangkan Lamaran Resmi dari Pihak
keluarga Yavet Arianto menurut rencana akan dilaksanakan setelah
memperoleh Putusan/ Penetapan dari Pengadilan Negeri Blora tentang
Izin Perkawinan Beda Agama ;
7. Bahwa bardasarkan alasan-alasan dan dalil-dalil sebagaimana tersebut
di atas maka guna memenuhi salah satu persyaratan administrative
untuk dapatnyadilangsungkanPerkawinan antara Pemohon/Neneng
Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono (Alm) dengan Yavet Arianto
bin Markus Wartono(Alm) maka Pemohon memohon agar Hakim yang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara/permohonan ini
berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut :
DALAM POKOK PERKARA
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon ;
2. Menetapkan Memberikan Izin Perkawinan Beda Agama kepada
Pemohon/ Neneng Oktora Budi Asri binti Bambang Marjono(Alm)
dengan Yavet Arianto bin Markus Wartono (Alm) ;
3. Memerintahkan untuk membukukan Perkawinan Beda Agama tersebut
dalam Register Catatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
4. Membebankan biaya Perkara dan Biaya lain-lain dalam perkara ini
kepada Pemohon sesuai peraturan perundang- undangan yang
berlaku ;
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan,
Para Pemohon diwakili oleh Kuasa Hukumnya datang menghadap
dipersidangan;
Menimbang, bahwa Kuasa Hukum Para Pemohon menyatakan tidak
ada perubahan pada isi permohonan Para Pemohon tersebut ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
5
Menimbang, bahwa dipersidangan Kuasa Hukum Para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat berupa :
1. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama NENENG OKTORA
BUDI ASRI, diberi tanda bukti P.1;
2. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama YAFET ARIANTO,
diberi tanda bukti P.2 ;
3. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 3.682/Dis/1990 atas nama
NENENG OKTORA BUDI ASRI, diberi tanda bukti P.3 ;
4. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 335/1985 atas nama YAFET
ARIANTO, diberi tanda bukti P.4 ;
5. Fotocopy Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga YAYUK BUDHI
RAHAYU, diberi tanda bukti P.5 ;
6. Fotocopy Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga MARKUS
WARTONO, diberi tanda bukti P.6 ;
7. Fotocopy Penetapan Nomor : 156/Pdt.P/2010/PN.Ska, diberi tanda bukti
P.7;
8. Fotocopy Surat Keterangan Kematian atas nama BAMBANG MARJONO,
diberi tanda bukti P.8 ;
9. Fotocopy Surat Keterangan dari Gereja Bethel Indonesia, diberi tanda
bukti P.9 ;
Menimbang, bahwa dipersidangan fotocopy bukti-bukti surat (P.1 s/d
P.9) tersebut diatas telah dicocokkan dan sesuai dengan aslinya kecuali bukti
surat P.8 yang merupakan fotocopy dari fotocopy dan fotocopy bukti-bukti
surat tersebut telah dibubuhi meterai yang cukup sehingga bukti-bukti surat
tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sah untuk dipertimbangkan
dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa dipersidangan Kuasa Hukum Para Pemohon telah
mengajukan saksi-saksiyang telah disumpah sesuai dengan agamanya
masing-masing telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Saksi YAYUK BUDHI RAHAYU
Bahwa saksi adalah ibu kandung dari Pemohon Neneng Oktora Budi Asri;
Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena
Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;
Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan
calon suaminya yang bernama Yafet Arianto beragama Kristen ;
Bahwa rencananya Para Pemohon akan menikah pada tanggal 8 Mei
2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6
Bahwa setahu saksi, setelah menikah baik Pemohon Neneng Oktora Budi
Asri maupun Pemohon Yafet Arianto tetap memeluk agamanya masing-
masing ;
Bahwa saksi setuju dengan rencana pernikahan Para Pemohon tersebut
karena Para Pemohon saling mencintai hanya saksi merasa khawatir
dengan rumah tangga mereka jika Para Pemohon berbeda agama;
Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri adalah anak perempuan dari
suami istri Bambang Marjono dan Yayuk Budi Rahayu dan Bambang
Marjono telah meninggal pada tanggal 13 Februari 2011 di Kunden,
Kabupaten Blora ;
2. Saksi DEBORAH SRI RAHAYU
Bahwa saksi adalah kakak kandung dari Pemohon Yafet Arianto ;
Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena
Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;
Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan
calon suaminya yang bernama Yafet Arianto beragama Kristen ;
Bahwa rencananya Para Pemohon akan menikah pada tanggal 8 Mei
2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;
Bahwa setahu saksi, setelah menikah baik Pemohon Neneng Oktora Budi
Asri maupun Pemohon Yafet Arianto tetap memeluk agamanya masing-
masing ;
Bahwa saksi setuju dengan rencana pernikahan Para Pemohon tersebut
karena Para Pemohon saling mencintai;
Bahwa Pemohon Yafet Arianto adalah anak laki-laki dari suami istri
Markus Wartono dan Ernest Suginah ;
Bahwa Markus Wartono telah meninggal pada tanggal 30 Oktober 2014 di
Gresi, Kabupaten Blora dan Ernest Suginah telah meninggal pada tanggal
28 Januari 2003 ;
Bahwa setahu saksi, Pemohon Yafet Arianto pernah menanyakan rencana
pernikahannya dengan Pemohon Neneng Oktora Budi Asri yang beda
agama ke Kantor Catatan Sipil dan petugas Catatan Sipil mengatakan
bahwa syarat pernikahan tersebut harus mendapatkan penetapan dari
Pengadilan Negeri ;
3. Saksi YANTO PANDIANGAN
Bahwa saksi adalah Pendeta di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;
Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena
Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
7
Bahwa Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen sedangkan calon istrinya
yang bernama Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam;
Bahwa rencananya Para Pemohon hendak melangsungkan perkawinan
mereka di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora ;
Bahwa pihak gereja membolehkan Para Pemohon untuk menikah di gereja
tetapi jika Para Pemohon hendak menikah di gereja maka Pemohon
Neneng Oktora Budi Asri harus melepaskan atribut yang menunjukkan jika
calon pengantin beragama Islam ;
Bahwa jika calon pengantin tidak mau melepaskan atribut yang
menunjukkan jika calon pengantin beragama Islam maka pernikahan
dilangsungkan di salah satu rumah calon pengantin secara agama Kristen;
Bahwapada prinsipnya didalam ajaran agama Kristen menyatakan
perkawinan beda agama adalah dilarang ;
4. Saksi Drs. WIDODO, M.si
Bahwa saksi adalah Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Dinas
Kependudukkan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Blora ;
Bahwa saksi mengetahui jika Para Pemohon datang ke Pengadilan karena
Para Pemohon ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama;
Bahwa Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen sedangkan calon istrinya
yang bernama Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam ;
Bahwa mengenai perkawinan beda agama tersebut Kantor Dinas
Kependudukkan dan Catatan Sipil Kabupaten Blora akan mengeluarkan
Akte Perkawinan jika ada penetapan dari Pengadilan Negeri ;
Bahwa setahu saksi, pada tahun 2010 ada penetapan dari Pengadilan
Negeri Blora mengenai ijin menikah beda agama ;
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut Kuasa
Hukum Para Pemohon akan menanggapinya dalam kesimpulan ;
Menimbang, bahwa dipersidangan juga telah didengar keterangan dari
Para Pemohon yang telah memberikan keterangan sebagai berikut :
Bahwa Para Pemohon datang ke Pengadilan untuk mengajukan
permohonan ijin menikah beda agama ;
Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan
Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen ;
Bahwa Pemohon Yafet Arianto kenal lama dengan Pemohon Neneng
Oktora Budi Asri sejak SMA yaitu sekitar 13 tahun dan karena Para
Pemohon saling mencintai hingga akhirnya Para Pemohon memutuskan
untuk menikah ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
8
Bahwa rencananya Para Pemohon akan menikah pada tanggal 8 Mei
2017 atau tanggal 10 Mei 2017 di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;
Bahwa Pemohon Neneng Oktora Budi Asri setuju untuk menikah di gereja
tetapi Pemohon Neneng Oktora Budi Asri tetap akan memakai jilbab pada
waktu acara pernikahan di gereja tersebut sebab Pemohon Neneng Oktora
Budi Asri berkeinginan baik sebelum menikah maupun setelah menikah
Para Pemohon tetap memeluk agamanya masing-masing yaitu Pemohon
Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan Yafet Arianto
beragama Kristen ;
Bahwa Pemohon Yafet Arianto pernah menanyakan pernikahan beda
agama tersebut kepada Pendeta Yanto Pandiyangan dan Kantor Catatan
Sipil ;
Menimbang, bahwa Kuasa Hukum Para Pemohon menyatakan tidak
akan mengajukan apapun lagi dan mohon putusan;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat penetapan ini maka segala
sesuatu yang terjadi di persidangan sebagaimana tercatat dalam berita acara
sidang perkara ini dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari penetapan
ini ;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan ini adalah
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa ParaPemohon didalam permohonannya tersebut
ingin mengajukan permohonan ijin menikah beda agama dimana Pemohon
Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan Pemohon Yafet Arianto
beragama Kristen ;
Menimbang, bahwa terhadap permohonan Para Pemohon tersebut,
Hakim mempertimbangkan sebagai berikut :
Menimbang, bahwa Kuasa Hukum Para Pemohon dipersidangan telah
mengajukan bukti surat P.1 s/d P.9 dan 4 (empat) orang saksi yaitu saksi
YAYUK BUDHI RAHAYU, saksiDEBORAH SRI RAHAYU, saksi YANTO
PANDIANGAN dan saksi Drs. WIDODO,M.Si.;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1 berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atas nama NENENG OKTORA BUDI ASRI, bukti surat P.2
berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama YAFET ARIANTO dan
keterangan saksi-saksi menunjukkan bahwa Para Pemohon berdomisili/
bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Blora sehingga Pengadilan Negeri
Blora yang berwenang untuk memeriksa permohonan ini ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
9
Menimbang, bahwa didalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1, bukti surat P.2, bukti
surat P.5, bukti surat P.6 dan keterangan saksi-saksi bahwa Pemohon
Neneng Oktora Budi Asri beragama Islam sedangkan calon suaminya yang
bernama Yafet Arianto beragama Kristen ;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai ;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan
bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun ;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.3 berupa Kutipan Akta
Kelahiran Nomor : 3.682/Dis/1990 atas nama NENENG OKTORA BUDI
ASRI, bukti surat P.4 berupa Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 335/1985 atas
nama YAFET ARIANTO, bukti surat P.5 berupa Kartu Keluarga atas nama
Kepala Keluarga Yayuk Budhi Rahayu, bukti surat P.6 berupa Kartu Keluarga
atas nama Kepala Keluarga Markus Wartono dan keterangan saksi-saksi
bahwa Pemohon NENENG OKTORA BUDI ASRI lahir pada tanggal 07
Oktober 1979 dan Pemohon YAFET ARIANTO lahir pada tanggal 25 Januari
1980 sehingga Para Pemohon telah mencapai batas umur untuk
melangsungkan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.8 dan keterangan dari
saksi YAYUK BUDHI RAHAYU bahwa Bambang Marjono yang merupakan
ayah dari Pemohon Neneng Oktora Budi Asri telah meninggal pada tanggal
13 Februari 2012 ;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan dari saksi YAYUK BUDHI
RAHAYU dan saksi DEBORAH SRI RAHAYU yang merupakan keluarga dari
Para Pemohon bahwa Para Pemohon saling mencintai sehingga mereka
ingin melangsungkan pernikahan dan rencana pernikahan mereka juga telah
disetujui oleh keluarga dari Para Pemohon;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
10
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.9 berupa surat
keterangan dari Gereja Bethel Indonesia, keterangan Para Pemohon dan
keterangan saksi YAYUK BUDHI RAHAYU, saksi DEBORAH SRI RAHAYU,
saksi YANTO PANDIANGAN bahwa rencananya Para Pemohon hendak
melangsungkan perkawinannya di Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten Blora;
Menimbang, bahwa berdasarkanketerangan saksi Drs. WIDODO,M.Si
yang merupakan Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil di Dinas
Kependudukkan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Blora menerangkan bahwa
Kantor Dinas Kependudukkan dan Catatan Sipil Kabupaten Blora akan
mengeluarkan Akte Perkawinan untuk perkawinan beda agama tersebut jika
Para Pemohon telah mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri untuk ijin
menikah beda agama tersebut ;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu ;
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Neneng Oktora Budi Asri
beragama Islam sedangkan Pemohon Yafet Arianto beragama Kristen maka
Hakim akan mempertimbangkan sahnya perkawinan menurut agama Islam
dan agama Kristen ;
Menimbang, bahwa didalam ajaran agama Islam yaitu didalam surat
Al-Baqarah : 221 disebutkan bahwa seorang perempuan muslim tidak boleh
menikah dengan seorang laki-laki yang bukan muslim bahkan didalam
Kompilasi Hukum Islam yaitu dalam Pasal 44 juga disebutkan seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam sehingga berdasarkan hal tersebut maka ajaran Islam tidak
membolehkan pernikahan beda agama ;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi YANTO
PANDIANGAN yang merupakan pendeta di Gereja GBI Arumdalu,
Kabupaten Blora menerangkan bahwa didalam ajaran agama Kristen juga
tidak diperbolehkan pernikahan beda agama sehingga pihak Gereja GBI
Arumdalu membolehkan Para Pemohon untuk menikah di gereja jika
Pemohon Neneng Oktora Budi Asri mau melepaskan atribut yang
menunjukkan jika calon pengantin yaitu Pemohon Neneng Oktora Budi Asri
beragama Islam ;
Menimbang, bahwa Para Pemohon dipersidangan menyatakan jika
Para Pemohon baik sebelum menikah maupun setelah menikah tetap
berkeinginan memeluk agamanya masing-masing yaitu Pemohon Neneng
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
11
Oktora Budi Asri tetap beragama Islam sedangkan Pemohon Yafet Arianto
tetap beragama Kristen ;
Menimbang, bahwa oleh karena Para Pemohon menyatakan tetap
ingin memeluk agamanya masing-masing yaitu Pemohon Neneng Oktora
Budi Asri tetap beragama Islam dan Pemohon Yafet Arianto tetap beragama
Kristen dan didalam ajaran agama Islam maupun agama Kristen juga tidak
membolehkan pernikahan beda agama maka berdasarkan ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut keinginan Para
Pemohon yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak dapat
dilakukan karena pernikahan beda agama dilarang menurut ajaran agama
Para Pemohon sehingga permohonan Para Pemohon tidak dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Para Pemohon yang
ingin melangsungkan pernikahan beda agama tidak dapat dikabulkan maka
permohonan Para Pemohon tersebut ditolak;
Menimbang, bahwa atas bukti surat P.7 berupa Penetapan Nomor :
156/Pdt.P/2010/PN.Ska maka Hakim tidak akan mempertimbangkan bukti
surat tersebut ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan ditolak maka Para
Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara ini;
Memperhatikan ketentuan pasal-pasal didalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan lain yang
bersangkutan dengan perkara ini ;
M E N E T A P K A N
1. Menolak permohonan Para Pemohon;
2. Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah) ;
Demikian penetapan ini diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum pada hari Selasa tanggal 18 April 2017 oleh YUNITA,SH, Hakim pada
Pengadilan Negeri Blora dengan dibantu oleh KRISTINA Panitera Pengganti
pada Pengadilan Negeri Blora dan dihadiri oleh Kuasa Hukum Para
Pemohon.
Panitera Pengganti, Hakim,
ttd
ttd
KRISTINA YUNITA,SH
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
12
Perincian Biaya-biaya :
1. Biaya Pendaftaran Rp. 30.000,-
2. Biaya Proses Rp. 50.000,-
3. Biaya Panggilan Rp. 225.000,-
4. Redaksi Penetapan Rp. 5.000,-
5. MateraiPenetapan Rp. 6.000,-
Jumlah Rp.316.000,-
(tiga ratus enam belas ribu rupiah)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
PERBANDINGAN PENETAPAN HAKIM PADA PERKARA No.46/Pdt.P/2016/PN.Skt
dan No. 71/Pdt.P/2017/PN Bla
Keterangan Nomor Perkara:
No. 46/Pdt.P/2016/PN.Skt
Nomor Perkara:
No. 71/Pdt.P/2017/PN Bla
Para Pihak 1. Aloysia Vettyana Ratnawati: Lahir
di Surakarta, 29 April 1991, Katolik,
pekerjaan karyawan swasta.
2. Dandi Ferdian:Lahir di Surakarta,
29 April 1994, Islam, Pekerjaan
karyawan swasta.
1. Neneng Oktora Budi Asri: lahir,
Blora/7 Oktober 1979, Islam,
pekerjaan Guru SMAN 1
Tanjungan
2. Yafet Arianto: lahir, Blora/ 25
Januari 1980, Kristen, pekerjaan
Guru SMKN 1 Blora
Saksi-Saksi 1. Heribertus Soetardjo: tetangga
Aloysia, menurut ajaran agama
Katolik menikah beda agama
dibolehkan
2. Sugeng Sartono : tetangga Aloysia,
Menurut ajaran agama Kristen yang
saksi anut menikah beda agama tidak
diperbolehkan.
Tambahan keterangan: Menurut
Orangtua Aloysia, rencananya
perkawinan tersebut akan
dilangsungkan secara agama Katolik
di Kantor Catatan Sipil Surakarta.
1. Yayuk Budhi Rahayu : Ibu kandung
Neneng, setelah menikah mereka
tetap memeluk agamanya masing-
masing, saksi setuju dgn
pernikahan mereka, namun merasa
khawatir dengan rumah tangga
mereka jika Para Pemohon berbeda
agama
2. Deborah Sri Rahayu : kakak
kandung Yafet, setuju dgn
pernikahan mereka
3. Yanto Pandiangan : Pendeta di
Gereja GBI Arumdalu, Kabupaten
Blora, Mereka hendak
melangsungkan perkawinan
mereka di Gereja GBI Arumdalu,
jika Pemohon hendak menikah di
gereja maka Pemohon Neneng
Oktora Budi Asri harus melepaskan
atribut yang menunjukkan jika
calon pengantin beragama Islam,
ajaran Agama Kristen menyatakan
perkawinan beda agama adalah
dilarang
4. Widodo: Kepala Bidang Layanan
DisDukCapil, akan mengeluarkan
Akte Perkawinan setelah ada
penetapan dari PN.
Pertimbangan
Hukum
1. Adanya penolakan oleh Kantor
DisDukCapil Surakarta, karena
perbedaan agama menyebabkan
tidak dapat dilangsungkannya
perkawinan tersebut
2. Bukti surat-surat dan saksi-saksi
yang memberikan keterangan dapat
diterima sebagai alat bukti yang sah
dan memiliki kekuatan hukum
3. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1)
dan (2) PP No 9 Tahun 1975 dimana
adanya dua instansi Pegawai
Pencatat Perkawinan yaitu Pegawai
1. Para pemohon ingin mengajukan
permohonan ijin menikah beda
agama ke PN sebelum
memberitahukan kepada Kantor
Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Blora
2. Kuasa Hukum para pemohon telah
mengajukan bukti surat-surat P.1
s/d P.9 dan 4 (empat) orang saksi di
persidangan, berdasarkan bukti
surat P.1 dan P.2 berupa Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan
keterangan saksi-saksi
Pencatat Perkawinan untuk
beragama Islam di Kantor Urusan
Agama (KUA) sebagaimana yang
terdapat dalam UU No 32 Tahun
1954 tentang Nikah, Talaq dan
Rujuk, sedangkan Pegawai Pencatat
Perkawinan bagi yang beragama
selain agama Islam di Kantor Catatan
Sipil.
4. Kedua instansi pencatat perkawinan
tersebut berdasarkan ketentuan Pasal
20 dan Pasal 21 UU No 1 Tahun
1974 tidak diperbolehkan menolak
melangsungkan perkawinan, apabila
terdapat pelanggaran ketentuan Pasal
7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10
dan Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maka kedua instansi
pencatat perkawinan tersebut akan
menolak melangsungkan atau
membantu melangsungkan
perkawinan
5. Bagi mereka yang perkawinannya
ditolak diberi hak untuk mohon
campur tangan pengadilan, yaitu
Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam, dan Pengadilan
Negeri bagi mereka yang beragama
selain agama Islam berdasarkan
Pasal 21 ayat (3) UU No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dalam
ketentuan Pasal 21 tersebut, berlaku
bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan yang seagama yaitu
sama-sama Islam atau sama-sama
selain beragama Islam.
6. Penolakan ini didasarkan pada Surat
Menteri Dalam Negeri
Nomor.447/2535/PUOD tertanggal
25 Juli 1990 butir 2 yang
menyatakan bahwa “bagi mereka
yang menyatakan tidak
melaksanakan ajaran dari salah satu
agama dari 5 (lima) agama yang ada
di Indonesia (Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, dan Budha), maka
pencatatan terhadap mereka tidak
dapat dilaksanakan”.
menunjukkan bahwa para pemohon
berdomisili di wilayah Kabupaten
Blora, maka Pengadilan Negeri
Blora berwenang dalam memeriksa
permohonan ini.
3. Berdasarkan bukti surat P.3 dan P.4
berupa Kutipan Akta Kelahiran
para pemohon dan bukti surat P.5
dan P.6 berupa Kartu Keluarga para
pemohon serta keterangan saksi-
saksi bahwa para pemohon telah
mencapai batas umur untuk
melangsungkan perkawinan
sebagaimana yang telah diatur
dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1)
UU No 1 Tahun 1974
4. Bukti surat P.8 dan keterangan
saksi Yayuk Budhi, bahwa
Bambang Marjono yang
merupakan ayah dari pemohon I
Neneng Oktora Budi telah
meninggal pada 13 Februari 2012.
5. Menurut keterangan saksi Yayuk
Budhi dan saksi Deborah Sri
Rahayu yang merupakan keluarga
dari para pemohon bahwa
pernikahan para pemohon telah
disetujui oleh keluarga karena
mereka saling mencintai,
pernikahan tersebut rencananya
akan dilaksanakan di Gereja GBI
Arumdalu, Kabupaten Blora
6. Kepala Bidang Pelayanan
Pencatatan Sipil di Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Blora memberikan
keterangan bahwa Akte
Perkawinan untuk perkawinan beda
agama tersebut akan dikeluarkan
setelah para pemohon mendapatkan
penetapan ijin menikah beda agama
dari Pengadilan Negeri.
Pertimbangan
Hakim
1. UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak memuat suatu
ketentuan apapun yang menyebutkan
bahwa perbedaan agama dan atau
kepercayaan antara calon suami dan
1. Dalam ajaran Islam terdapat dalam
surat Al-Baqarah:221 disebutkan
bahwa seorang perempuan muslim
tidak diperbolehkan menikah
dengan seorang laki-laki yang
calon istri merupakan larangan
perkawinan, sejalan dengan:
Pasal 27 UUD 1945: segala warga
negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum, tercakup di dalamnya
kesamaan hak asasi untuk kawin
dengan sesama warga negara
sekalipun berlainan agama dan atau
kepercayaan dan selama oleh UU
tidak ditentukan bahwa perbedaan
agama dan atau kepercayaan
merupakan larangan untuk
melangsungkan perkawinan
Pasal 29 UUD 1945 tentang
dijaminnya oleh negara
kemerdekaan bagi setiap warga
negara untuk memeluk agama dan
atau kepercayaannya masing-masing
2. Dipertegas dengan adanya putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 1400
K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989
yang berbunyi : “Bahwa perbedaan
agama dari calon suami istri tidak
merupakan larangan perkawinan
bagi mereka”
3. UU No 1 Tahun 1974 maupun dalam
PP No 9 Tahun 1975 tidak terdapat
satu pasal pun yang mengatur
tentang bagaimana melangsungkan
perkawinan antara orang yang
berlainan agama atau kepercayaan.
Menimbang terjadi kekosongan
hukum (rechts vacum)
UU No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ditentukan
bahwa Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang
diajukan kepadanya dengan dalih
bahwa hukumnya tidak ada atau
kurang jelas
Hakim wajib menggali hukum yang
tidak tertulis untuk memutus
berdasarkan hukum dan bertanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
terlebih dahulu harus dicari dalam
praktek hukum yang telah terjadi
berkenaan dengan hal tersebut.
bukan muslim. Diperjelas lagi
dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 44 menyebutkan bahwa
“seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam”. Berdasarkan hal
tersebut maka ajaran Islam tidak
membolehkan perkawinan beda
agama.
2. Menurut keterangan saksi Yanto
Pandiangan yang merupakan
pendeta di Gereja GBI Arumdalu,
Kabupaten Blora menerangkan
bahwa ajaran agama Kristen juga
melarang pernikahan beda agama,
sehingga pernikahan para pemohon
bisa dilaksanakan di gereja apabila
pemohon I Neneng Oktora mau
melepaskan atribut yang
menunjukkan beragama Islam.
Kemudian para pemohon dalam
persidangan menyatakan bahwa
para pemohon tetap pada
pendiriannya menganut agamanya
masing-masing baik sebelum
menikah maupun setelah menikah
yaitu pemohon I Neneng Oktora
tetap beragama Islam dan pemohon
II Yafet Arianto tetap beragama
Kristen.
3. Dikarenakan para pemohon
menyatakan tetap ingin menganut
agama masing-masing, sedangkan
dalam ajaran Islam maupun agama
Kristen tidak membolehkan
pernikahan beda agama maka
berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, keinginan para pemohon
yang ingin melangsungkan
pernikahan beda agama tidak dapat
dilaksanakan karena pernikahan
beda agama dilarang menurut
ajaran agama para pemohon
sehingga permohonan para
pemohon tidak dapat dikabulkan.
Oleh karena permohonan para
pemohon tidak dikabulkan, maka
permohonan ijin pernikahan beda
agama tersebut ditolak.
Putusan Hakim MENGABULKAN MENOLAK