iv hasil dan pembahasan 4.1. keadaan umum daerah...
TRANSCRIPT
37
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian
4.1.1. Keadaan Fisik Daerah Penelitian
Kabupaten Garut termasuk kedalam wilayah provinsi Jawa Barat bagian
selatan. Luas wilayah Kabupaten Garut sebesar 306.519 Ha yang meliputi 42
Kecamatan, 21 Kelurahan, dan 403 Desa. Batas-batas wilayah Kabupaten Garut
yaitu, pada bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Sumedang, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten tasikmalaya, bagian
selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan bagian barat berbatasan
dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.
Desa sindanggalih merupakan salah satu desa yang terdapat di
Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa
Sindanggalih memiliki 14 Rukun Warga (RW) yang terdiri dari 45 Rukun
Tetangga (RT). Desa Sindanggalih mempunyai luas wilayah 436,500 Ha (Data
Monografi Desa, 2017).
Luas lahan untuk areal pertanian di Desa Sindanggalih masih cukup
besar, yaitu 120 Ha. Keadaan ini mendukung untuk budidaya ternak di daerah
tersebut, karena peternak dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk mendapatkan
hijauan bagi pakan ternak. Secara administratif Desa Sindanggalih Kecamatan
Karangpawitan Kabupaten Garut memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Utara : Desa Sindanglaya dan Desa Jatisari
Selatan : Kabupaten Tasikmalaya
Barat : Desa Godog
Timur : Desa Sindangpalay
38
Kondisi geografi Desa Sindanggalih termasuk dalam kategori dataran
tinggi dengan ketinggian ±700 meter diatas permukaan laut (mdpl), curah hujan
250 mm/tahun, suhu rata-rata harian 240C (Data Monografi Desa, 2017). Kondisi
tersebut cocok untuk daerah budidaya kambing, hal ini sesuai dengan pernyataan
Mankuwidjojo (1988) yang menyatakan bahwa suhu yang nyaman bagi ternak
kambing ± 8 - 300C.
4.1.2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Desa Sindanggalih berjumlah 7.831 jiwa dengan
rincian laki-laki 4.006 jiwa dan perempuan 3.825 jiwa (Data Monografi Desa,
2017). Penduduk Desa Sindanggalih memiliki beragam mata pencaharian seperti
yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Mata Pencaharian Penduduk Desa Sindanggalih
No Mata Pencaharian Jumlah
Orang …%...
1 Petani 568 7,25
2 Buruh Tani 2234 28,53
3 Buruh/Swasta 255 6,62
4 Pegawi Negeri 150 1,92
5 Perajin 132 1,69
6 Pedagang 235 3,00
7 Peternak 137 1,75
8 Montir 55 0,70
9 Mantri 4 0,05
10 Bidan 4 0,05
11 Dukun Bayi 5 0,06
Jumlah 3779 51,62
Sumber: Monografi Desa Sindanggalih 2017
Keberagaman mata pencaharian penduduk Desa Sindanggalih selaras
dengan jumlah penduduknya. Peternak di Desa Sindanggalih hanya sekitar 1,75%
dari total keseluruhan. Penyebab sedikitnya jumlah peternak yang dimuat pada
39
Tabel 2 disebabkan karena penduduk hanya didata berdasarkan pekerjaan utama.
Sedangkan para peternak Desa Sindanggalih, umumnya menjadikan usaha
peternakan sebagai usaha sampingan. Selain itu, sebagian besar masyarakat desa
bekerja sebagai buruh tani dengan presentase sebesar (28,58%), para penduduk
memilih bekerja sebagai buruh tani karena tidak memiliki sawah, sehingga
keahlian bertani yang dimiliki dimanfaatkan untuk menjadi buruh tani.
4.1.3. Tingkat Pendidikan Formal
Tingkat pendidikan penduduk di Desa Sindanggalih berdasarkan profil
Desa tahun 2017 umumnya tergolong rendah. Hal ini terlihat dari data pada Tabel
3 yang menunjukan bahwa, sebagian besar masyarakat Desa Sindanggalih
mempunyai riwayat pendidikan tamat SD/Sederajat, dengan presentase (30,92%)
dari keseluruhan penduduk. Kurangnya minat untuk melanjutkan ke tingkat
pendidikan lebih tinggi disebabkan oleh faktor ekonomi serta kesadaran akan
pentingnya pendidikan yang masih rendah.
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Formal Penduduk Desa Sindanggalih
No Jenjang Pendidikan Jumlah
Orang …%...
1 Belum masuk TK 250 4,25
2 Sedang TK/Play Group 280 4,76
3 Sedang sekolah 825 14,02
4 Pernah SD tetapi tidak
tamat
150 2,55
5 Tamat SD/sederajat 1820 30,92
6 Tamat SMP/sederajat 1457 24,75
7 Tamat SMA/sederajat 950 16,14
8 Tamat D-2/sederajat 15 0,25
9 Tamat D-3/sederajat 29 0,49
10 Tamat S-1/sederajat 93 1,58
11 Tamat S-2/sederajat 17 0,29
Jumlah 5886 100
Sumber : Monografi Desa Sindanggalih 2017
40
4.1.4. Keadaan Peternakan Daerah Penelitian
Ternak yang dipelihara oleh penduduk di Desa Sindanggalih terdiri dari
ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Ternak besar terdiri dari sapi, kerbau, dan
kuda. Sedangkan ternak kecil terdiri dari kelinci, kambing, dan domba. Serta
ternak unggas yang dipelihara yaitu ayam kampung. Desa Sindanggalih dijadikan
sebagai basis peternakan kambing PE, oleh karena itu pengembangan kambing PE
harus terus di kembangkan guna meningkatkan populasi ternak. Berikut ini Tabel
yang menjelaskan mengenai subsektor peternakan yang ada di Desa Sindanggalih.
Tabel 4. Subsektor peternakan di Desa Sindanggalih
No Komoditi Jumlah (ekor)
1 Sapi 30
2 Kerbau 2
3 Ayam kampung 1650
4 Kuda 4
5 Kambing 900
6 Domba 250
sumber: Monografi Desa Sindanggalih
4.1.5. Profil Kelompok peternak Lebaksiuh Desa Sindanggalih
Kelompok Lebaksiuh pada awalnya bernama Tunas Lingga, yang
didirikan pada tahun 1975 oleh bapak Omat rohimat. Namun, sejak ada program
bantuan pemerintah berupa bibit kambing perah PE , nama Tunas Lingga berubah
menjadi Lebaksiuh pada tahun 2012. Kelompok peternak Lebaksiuh pernah
menjuarai kontes ternak yang diselenggarakan pada tahun 2013 dan 2015. Hingga
saat ini, kelompok Lebaksiuh tetap dipercaya oleh Dinas Peternakan untuk
mengikuti kontes ternak yang diadakan oleh berbagai instansi.
Lahan yang digunakan adalah lahan milik anggota kelompok ternak yang
didirikan pada satu hamparan seluas ±0,5 Ha dengan populasi ternak ± 400 ekor
41
di tahun 2017. Lahan tersebut dipergunakan untuk mendirikan kandang dan
menanam hijauan makanan ternak (HMT).
Sistem perkandangan yang digunakan adalah sistem panggung.
Pemeliharaan ternak kambing dilakukan secara (intensif) dan pakan disajikan di
kandang. Hal ini memudahkan dalam pengelolaan ternak, penggunaan waktu dan
tenaga lebih efisien, serta memudahkan dalam pengaturan pemberian pakan.
Hijauan yang umumnya diberikan terdiri dari rumput lapang, rumput gajah dan
lamtoro yang berasal dari lahan hutan yang bekerjasama dengan Perum Perhutani.
Rata-rata 10 kg/ekor/hari yang disesauikan dengan kondisi, umur dan jenis
kelamin ternak dengan waktu pemberian dilakukan pada pagi dan sore hari.
Penanggulangan penyakit pada umumnya dilakukan oleh peternak sendiri
dengan menggunakan obat-obatan tradisional dan Dinas Peternakan yang
melakukan pengecekan kesehatan kambing secara rutin. Usaha ternak kambing
PE pada umumnya dilakukan dengan tenaga kerja keluarga. Peternak yang
tergabung didalam anggota koperasi dapat menggantikan atau membantu apabila
ada peternak atau anggota yang lain dalam kondisi sakit atau keadaan yang
menyebabkan tidak dapat melakukan pemeliharaan.
Peternakan di Koperasi Lebaksiuh belum memiliki fasilitas bak
penampungan limbah serta tempat pengolahan limbah seperti untuk diolah
menjadi biogas. Kotoran ternak dibiarkan begitu saja, peternak hanya
mengumpulkan kotoran apabila dibutuhkan sebagai pupuk untuk kebun.
Penjualan ternak dilakukan melalui ketua kelompok dan tengkulak.
Namun, peternak lebih banyak memilih menjual ternak melalui ketua kelompok
karena harga yang ditawarkan lebih tinggi. Tidak semua peternak memerah susu
42
kambing, karena peternak merasa kesulitan dalam menjual susu kambing.
Sehingga, peternak hanya membudidayakan kambing perah untuk pembibitan.
4.2. Karakteristik Peternak
Peternak yang dijadikan responden pada penelitian ini sebanyak 33 orang
anggota kelompok peternak Lebaksiuh. Karakteristik peternak diungkap
berdasarkan enam indikator, yaitu umur, pendidikan formal, pendidikan non
formal, pengalaman beternak, kepemilikan ternak, dan kekosmopolitan. Penilaian
karakteristik peternak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, rendah.
Karakteristik pribadi tersebut dapat mewakili karakter atau sifat individu
yang dimiliki. Setiap peternak memiliki sifat yang berbeda satu sama lain, tetapi
tidak menutup kemungkinan terdapat peternak yang memiliki sifat yang hampir
sama. Karakteristik peternak di kelompok peternak Lebaksiuh Desa Sindanggalih
Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut dapat diuraikan sebagai berikut :
4.2.1. Umur
Umur dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kinerja dan perilaku.
Pada umur produktif, seseorang dapat memaksimalkan tenaga yang dimiliki untuk
keberhasilan usahanya. Umur peternak yang menjadi responden pada penelitian
ini bervariasi antara 18-60 tahun. Hurlock (1996) membagi umur menjadi tiga
kelompok yaitu dewasa awal (15-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan
dewasa lanjut (lebih dari 61 tahun). Umur responden pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 5.
43
Tabel 5. Tingkat Umur Responden
No Umur (Tahun) Jumlah
…Orang… …%...
1 15-40 19 57,58
2 41-60 14 42,42
3 >61 0 0
Jumlah 33 100
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa responden terbagi menjadi dua
kelompok yaitu dewasa awal dan dewasa madya. Pada saat dewasa awal dan
dewasa madya, seseorang telah mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Badan Pusat statistik mengelompokkan umur seseorang dalam bekerja menjadi 3
kelompok yaitu umur belum produktif (0-14 tahun), umur produktif (15-64
tahun), dan umur tidak produktif (>64 tahun).
Berdasarkan data pada Tabel 5, seluruh responden berada pada kategori
umur produktif. Tingginya proporsi responden yang berumur produktif
disebabkan karena secara psikologis, pada umur tersebut seseorang dapat mulai
bekerja. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Santrock (2002) yang menyebutkan
bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan
dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya.
Sedangkan pada saat memasuki dewasa maka seseorang akan mendapatkan
pekerjaan penuh yang kurang lebih tetap.
Keaktifan peternak berumur produktif berkaitan dengan produktivitas
seseorang dalam melakukan aktivitas. Peternak yang berada pada usia produktif,
akan lebih mampu melakukan pekerjaan dengan maksimal karena ketahanan fisik
yang masih kuat. Sesuai dengan pendapat Lestari, dkk (2009) umur peternak
yang produktif mempengaruhi kemampuan fisik dan pola pikir sehingga sangat
potensial dalam mengembangkan usaha ternaknya.
44
4.2.2. Tingkat Pendidikan Formal
Pendidikan formal merupakan proses belajar yang dilakukan secara
teratur, sistematis, dan berjenjang melalui sekolah formal. Pendidikan formal
merupakan faktor yang penting untuk mengembangkan pola pikir dan daya cerna
seseorang ketika menyerap suatu informasi.
Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini bervariasi antara SD
sampai S1. Variasi pendidikan ini terjadi karena para peternak mulai menyadari
bahwa pendidikan tinggi sangat penting untuk memajukan kehidupan seseorang.
Tingkat pendidikan responden penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Formal Responden
No Pendidikan Jumlah
…Orang… …%...
1 ≤ SD 11 33,33
2 SMP-SMA/SMK 18 54,55
3 ≥D3 4 12,12
Jumlah 33 100
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
(54,55%) berpendidikan SMP dan SMA/SMK, tingkat pendidikan yang sudah
cukup baik ini akan memudahkan peternak dalam mengadopsi inovasi
pengetahuan yang baru. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soekartawi (2005)
yang mengungkapkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih
cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang
berpendidikan rendah akan sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.
4.2.3. Tingkat Pendidikan Non Formal
Menurut Joesoef (1997), pendidikan non formal bertujuan
mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan
45
baginya menjadi peserta-peserta yang efesien dan efektif dalam lingkungan
keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya. Frekuensi
keaktifan peternak Lebaksiuh dalam mengikuti pendidikan non formal pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Pendidikan Non Formal Responden
No Frekuensi (1 Tahun) Jumlah
…Orang… …%...
1 ≥ 7 6 18,18
2 4-6 12 36,36
3 ≤ 3 15 45,46
Jumlah 33 100
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
(45,46%) tidak aktif mengikuti pendidikan non formal. Ketidakaktifan tersebut
disebabkan karena ketidaktepatan penyuluh dalam memilih waktu dan tempat
penyuluhan. Para penyuluh sering melakukan penyuluhan di tempat diskusi yang
terletak di area kandang kelompok milik peternak pada pagi atau siang hari,
sedangkan pada waktu-waktu tersebut sebagian besar peternak berkumpul di area
hutan untuk mencari pakan dan mengurus kebun kopi.
Faktor lain yang menyebabkan kurangnya partisipasi peternak, yaitu
materi penyuluhan yang tidak sesuai dnegan keinginan peternak. Sehingga terjadi
penolakan secara tidak langsung dari peternak, karena ketidaktepatan penyuluh
dalam memilih waktu, tempat, dan materi penyuluhan. Di lain pihak, sesuai
pendapat Hawkins dan Van (1999) petani mempunyai kebebasan untuk menerima
atau menolak sasaran yang diberikan agen penyuluhan pertanian. menerima atau
menolak sasaran yang diberikan agen penyuluhan pertanian. Dengan demikian
46
penyuluhan hanya dapat mencapai sasarannya jika perubahan yang diinginkan
sesuai dengan kepentingan petani
Sebagian besar pendidikan non formal yang didapatkan berasal dari
kegiatan penyuluhan mengenai pemeliharaan ternak yang diadakan oleh Dinas
Peternakan Kabupaten Garut dan Universitas Garut. Menurut para peternak
biasanya penyuluhan tersebut meliputi materi pakan, penyakit, dan pemerahan
susu. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat No 36 Tahun
2009 tentang tugas pokok, fungsi, rincian tugas unit dan tata kerja dinas
peternakan Provinsi Jawa Barat, salah satunya mempunyai fungsi melaksanakan
penyusunan penyelenggaraan koordinasi perencanaan dan program dinas yang
meliputi prasarana dan sarana, produksi, kesehatan hewan dan kesmavet, serta
pengembangan usaha.
4.2.4. Pengalaman Beternak
Pengalaman beternak responden merupakan lamanya responden dalam
memelihara ternak. Pengalaman beternak merupakan salah satu faktor yang dapat
menunjang keberhasilan usaha, karena dari pengalaman tersebut seseorang akan
mampu berinovasi dan memberikan informasi. Pengalaman yang dimiliki oleh
seseorang peternak dapat bermanfaat bagi orang lain, karena umumnya para
peternak akan saling bertukar pengalaman, baik dalam diskusi formal maupun non
formal. Pengalaman beternak responden pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 8.
47
Tabel 8. Tingkat Pengalaman Beternak Responden
No Pengalaman (Tahun) Jumlah
…Orang… …%...
1 ≥ 9 9 27,27
2 5-8 13 39,39
3 ≤ 4 11 33,34
Jumlah 33 100
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
(39,39%) memilki pengalaman 5-8 tahun. Hal tersebut cukup wajar, mengingat
pembentukan kelompok peternak Lebaksiuh dan bantuan kambing perah PE
terjadi pada tahun 2012. Jadi, ketika pemerintah Dinas Peternakan Kabupaten
Garut memberikan bantuan bibit kambing perah PE, banyak masyarakat Desa
Lebaksiuh yang mendaftarkan diri untuk menjadi peternak anggota kelompok
peternak Lebaksiuh.
Peternak yang memiliki pengalaman beternak lebih lama pada umumnya
memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan peternak yang baru,
sehingga peternak lama dapat membantu memberikan informasi mengenai
pemeliharaan ternak kepada peternak baru sesuai dengan pengalamannya. Sesuai
dengan Pendapat Sulistytati, dkk (2014), semakin berpengalaman seseorang
peternak, maka semakin tinggi pula kemampuan peternak dalam memelihara
ternaknya.
4.2.5. Kepemilikan Ternak
Ternak yang dimiliki oleh responden merupakan ternak milik pribadi.
Devendra (2001) membagi skala kepemilikan kambing sebanyak 1-5 ekor dalam
skala kecil, 6-10 ekor dalam skala sedang dan >10 ekor dalam skala besar.
Jumlah kepemilikan ternak responden dapat dilihat pada Tabel 9.
48
Tabel 9. Tingkat Kepemilikan Ternak Responden
No Jumlah Kepemilikan Jumlah
...Orang… …%...
1 >10 9 27,27
2 6-10 6 18,18
3 ≤ 5 18 54,55
Jumlah 33 100
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (54,55%) berada
dalam skala usaha kecil atau memiliki 1-5 ekor/orang. Skala usaha kecil
merupakan salah satu dari ciri peternakan rakyat. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan Yusdja (2006) yang menyebutkan bahwa peternakan rakyat
mempunyai ciri-ciri antara lain tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan
rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak
menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil serta pengadaan input
utama yakni hijauan makanan ternak (HMT) yang masih tergantung pada musim,
ketersediaan tenaga kerja keluarga, penguasaan lahan HMT yang terbatas,
produksi butir-butiran terbatas dan sebagian tergantung pada impor.
Keterbatasan modal merupakan faktor utama yang menghambat para
peternak Lebaksiuh dalam mengembangkan skala usaha ternak kambing
perahnya, oleh sebab itu, peternakan kambing perah kelompok Lebaksiuh belum
menjadi peternakan yang modern. Sesuai dengan pendapat Manullang (2002), di
dalam skala usaha tani modern, kunci keberhasilan untuk menghasilkan
pendapatan finansial yang optimum dan untuk mempertahankan kelestarian skala
usaha adalah tersedianya kekayaan aset perskala usaha dengan jumlah yang cukup
dan dalam kombinasi yang tepat. Contohnya, tersedianya lahan, hewan, mesin-
mesin dan faktor modal lainnya, tenaga kerja dan keterampilan. Jumlah aset yang
49
dikuasai seorang pengskala usaha, syarat dan kondisi yang ada pada waktu
kekayaan tadi diperoleh.
4.2.6. Kekosmopolitan
Kekosmopolitan merupakan keterbukaan responden, berupa pencarian
informasi mengenai peternakan khususnya kambing perah PE dengan melakukan
kunjungan ke kota atau desa lainnya. Tingkat kekosmopolitan dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Tingkat Kekosmopolitan Responden
No Frekuensi Jumlah
…Orang… …%...
1 ≥ 3 kali/3 bulan 4 12,12
2 1-2 kali/3 bulan 6 18,18
3 0 kali/3 bulan 23 69,70
Jumlah 33 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa kekosmopolitan responden di daerah
penelitian, secara umum tergolong pada kategori rendah (69,70%) dalam tiga
bulan terakhir. Rendahnya tingkat kekosmopiltan peternak disebabkan oleh
beberapa faktor seperti tingginya alokasi waktu untuk kegiatan pokok sehari-hari,
jarak tempat tinggal peternak yang jauh dengan sumber informasi, dan tingginya
ketergantungan peternak terhadap informasi yang diperoleh dari para tetangga,
pengurus, khususnya ketua kelompok.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers dan Shoemakers (1995) bahwa
orang yang sifat kekosmopolitannya rendah cenderung mempunyai
ketergantungan yang tinggi pada tetangga atau teman-teman dalam lingkungan
yang sama, lalu mengandalkannya sebagai sumber informasi.
50
4.3. Perilaku Komunikasi
Perilaku komunikasi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh peternak untuk menyampaikan dan memperoleh informasi dari lingkungan.
Perilaku komunikasi sangat penting untuk dipelajari dalam suatu kelompok,
karena dengan mengetahui perilaku komunikasi anggota kelompok, maka
diharapkan penyampaian informasi yang diberikan akan searah dengan tujuan
komunikasi.
Perilaku komunikasi pada penelitian ini dapat diungkapkan berdasarkan
tiga hal yaitu, keterdedahan pada media massa, keterdedahan pada komunikasi
interpersonal, dan interaksi komunikasi dalam diskusi. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Rogers (1983) yang menyebutkan bahwa, ada tiga peubah pokok yang
dapat digunakan untuk mengetahui perilaku komunikasi, yaitu pencarian
informasi, kontak personal atau komunikasi interpersonal dengan sesama anggota
sistem sosial, dan keterdedahan pada media massa. Berikut kategori perilaku
komunikasi disajikan pada pada Tabel 11.
Tabel 11. Tingkat Perilaku Komunikasi Peternak
No Kategori Jumlah Peternak Persentase (%)
1 Tinggi 9 27,27
2 Sedang 17 51,52
3 Rendah 7 21,21
Jumlah 33 100,00
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa secara umum perilaku
komunikasi peternak kambing perah di Desa Sindanggalih termasuk kategori
sedang (51,52%). Nilai tersebut diperoleh berdasarkan pada tiga faktor yaitu
keterdedahan pada media massa, keterdedahan pada komunikasi interpersonal,
dan interaksi komunikasi dalam diskusi yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
51
4.3.1. Keterdedahan pada Media Massa
Keterdedahan pada media massa, merupakan tingkat kemampuan
responden dalam mendapatkan informasi melalui pemanfaatan media cetak dan
elektronik, khususnya yang menyangkut bidang peternakan. Menurut Effendy
(2001), fungsi media massa di dalam masyarakat adalah sebagai berikut : a) fungsi
menyiarkan informasi (to inform), b) fungsi mendidik (to educate), c) fungsi
menghibur (to entertain), dan d) fungsi mempengaruhi (to influence). Tingkat
keterdedahan responden terhadap media massa dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Tingkat Keterdedahan pada Media Massa
No Uraian
Kategori
Tinggi Sedang Rendah
…%....
1 Keterdedahan pada Media
Cetak
a. Sumber Informasi 33,33 21,21 45,46
b. Frekuensi 27,27 6,06 66,67
c. Durasi 0 9,09 90,91
2 Keterdedahan pada Media
Elektronik
a. Sumber Informasi 72,73 24,24 3,03
b. Frekuensi 93,94 0 06,06
c. Durasi 60,61 27,27 12,12
Menurut jenisnya media massa dapat digolongkan kedalam dua kategori
yaitu media cetak dan elektronik. Secara umum peternak lebih terdedah dengan
media elektronik karena hampir seluruh peternak memiliki media elektronik,
sedangkan pada media cetak hanya beberapa orang saja yang memilikinya
dikarenakan faktor biaya yang harus dikeluarkan setiap ingin mengakses media
cetak seperti koran. Selain itu, media elektronik menyajikan informasi dengan
memanfaatkan audio visual dengan menampilkan gambar yang bergerak ditambah
efek suara yang dapat menarik masyarakat untuk terus mengaksesnya.
52
Berdasarkan Tabel 12, dapat dilihat bahwa rata-rata keterdedahan
terhadap sumber informasi yang berasal dari media cetak termasuk kategori
rendah (45,46%). Sumber informasi dari media cetak yang dapat diakses
responden yaitu koran, modul, majalah, dan leaflet. Rendahnya sumber informasi
media cetak yang diakses disebabkan oleh tidak adanya penjual koran eceran di
desa (harus berlangganan), peternak hanya memiliki sedikit jenis-jenis media
cetak (koran, modul, dan leaflet), serta terdapat media cetak yang hanya dapat
diakses jika anggota kelompok Lebaksiuh bertamu ke rumah ketua kelompok
(majalah).
Frekuensi pemanfaatan media cetak yang rendah (66,67%) disebabkan
oleh responden yang berlanggan koran perminggu dan hanya membaca majalah
peternakan atau laeaflet ketika berada di rumah ketua kelompok. Durasi
membaca responden yang rendah (90,91%) disebabkan oleh faktor usia yang
membuat kemampuan membaca menurun, kesibukan responden dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari, dan kurangnya minat untuk membaca. Hal
tersebut sesuai dengan survei yang dilakukan oleh International Education
Achievement (IEA) pada awal tahun 2000 menunjukkan bahwa Indonesia
menduduki urutan ke 29 dari 31 negara yang diteliti di Asia, Afrika, Amerika, dan
Eropa dalam hal minat membaca.
Tabel 12 menunjukkan bahwa keterdedahan responden terhadap media
elektronik tergolong kategori tinggi. Persentase sumber informasi yang berasal
dari media elektronik sebesar 72,73%. Sumber media elektronik yang dapat
diakses responden yaitu laptop, handphone, dan televisi. Tingginya sumber
informasi media elektronik yang diakses disebabkan karena sebagian besar
peternak memiliki televisi dan handphone, peternak membutuhkan informasi,
53
informasi dapat diakses dengan cepat, menarik, dan berita lebih aktual. Sesuai
yang diungkapkan oleh situs berita Trend Ilmu (2015) media elektronik ini
memiliki kelebihan antara lain lebih mudah dipahami, lebih menarik, sudah
dikenal masyarakat, jangkauan penyajian lebih besar.
Frekuensi penggunaan media elektronik termasuk kategori tinggi
(93,94%), hal tersebut terjadi karena para peternak mengakses media elektronik
setiap hari terutama televisi. Para peternak mengakses siaran televisi diantaranya
TV ONE, TVRI, RCTI, dan NET TV. Berita pertanian biasanya diakses melalui
stasiun televisi milik pemerintah (TVRI) pada saat akhir pekan. Sedangkan berita
diluar pertanian dan peternakan dapat diakses melalui stasiun televisi swasta (TV
ONE, RCTI, dan NET TV). Handphone dan laptop yang dimiliki peternak tidak
digunakan setiap hari dalam mencari informasi dengan alasan adanya biaya yang
harus dikeluarkan jika ingin memperoleh informasi menggunakan media
handphone dan laptop.
Durasi penggunaan media elektronik juga termasuk kategori tinggi
(60,61%), durasi yang tinggi berasal dari lamanya menonton televisi. Sebagian
besar peternak mengakses informasi melalui televisi rata-rata selama 2-3 jam pada
saat pagi hari dan malam hari, sedangkan laptop dan handphone umumnya
digunakan hanya saat penting dan tidak lebih dari 2 jam.
4.3.2. Keterdedahan pada Komunikasi Interpersonal
Keterdedahan pada komunikasi interpersonal, merupakan keterbukaan
peternak terhadap komunikasi yang dilakukan secara langsung (tatap muka)
maupun melalui perantara media dengan sumber informasi, yang bertujuan
mendapatkan tanggapan secara langsung. Perilaku komunikasi interpersonal
54
dalam penelitian ini diukur berdasarkan frekuensi dan durasi responden bertemu
dengan penyuluh, pemerintah, dan sesama peternak dalam rangka mencari dan
menerima informasi mengenai peternakan kambing perah PE selama tiga bulan
terakhir.
Rogers dalam Hadiyanto (2001) mengungkapkan bahwa petani di desa
cenderung bersifat lokalit dan sumber informasi utama berasal dari kontak
interpersonal, sementara masyarakat urban di sisi lain sudah lebih kosmopolit
antara lain dicirikan lebih intensif memanfaatkan media massa sebagai sumber
informasi. Tingkat keterdedahan responden terhadap media massa dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13. Tingkat Keterdedahan pada Komunikasi Interpersonal
No Uraian
Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1 Sumber Informasi
Interpersonal
72,73 12,12 15,15
2 Interpersonal dengan
penyuluh
a. Frekuensi 9.09 36.36 54.55
b. Durasi 57.58 15.15 27.27
3 Interpersonal dengan
pemerintah
a. Frekuensi 15.15 30.30 54.55
b. Durasi 03.03 15.15 81.82
4 Interpersonal dengan sesama
peternak
a. Frekuensi 81.82 18.18 0
b. Durasi 51.52 15.15 33.33
Berdasarkan Tabel 13, sumber informasi interpersonal berada pada
kategori tinggi (72,73%). Sumber informasi peternak Lebaksiuh terdiri dari : a)
penyuluh yaitu dari Dinas Peternakan Kabupaten Garut dan pihak akademisi
55
seperti Univeristas Garut, b) pemerintah yaitu pamong desa dan Dinas Peternakan
Kabupaten Garut, dan c) sesama peternak anggota kelompok peternak Lebaksiuh.
Tingginya sumber informasi interpersonal responden disebabkan karena
kelompok Lebaksiuh dijadikan sentra kambing perah PE di kabupaten Garut,
sehingga memiliki perhatian khusus dari Dinas Peternakan dan lembaga yang
berhubungan dengan peternakan, seperti dari pihak akademisi yang memiliki
jurusan peternakan. Selain karena kebutuhan informasi mengenai kambing perah,
alasan lain terjadinya komunikasi interpersonal yaitu untuk meningkatkan
keeratan hubungan diantara sumber informasi dengan penerima informasi, hal
tersebut sesuai dengan pendapat Cangara (2004) yang menyebutkan bahwa
fungsi komunikasi antar pribadi atau komunikasi interpersonal
adalah berusaha meningkatkan hubungan insani, menghindari dan
mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta
berbagai pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain.
Berdasarkan Tabel 13, hasil yang didapatkan dalam penelitian
menunjukkan bahwa frekuensi komunikasi interpersonal peternak dengan
penyuluh tergolong kategori rendah (54,55%). Hal tersebut terjadi karena
kesalahan pemilihan waktu, tempat, dan materi dalam memberikan penyuluhan
membuat sebagian besar peternak tidak dapat mengikuti penyuluhan.
Durasi komunikasi tergolong kategori tinggi (57,58%), penyuluhan
biasanya dilakukan selama 2-3 jam. Para peternak sangat menyukai informasi
yang disampaikan oleh para penyuluh karena dinilai informasi yang disampaikan
lebih terpercaya. Sebagian besar peternak akan mengikuti penyuluhan hingga
akhir, bahkan akan berdiskusi dengan penyuluh setelah penyuluhan berakhir
untuk mendalami informasi yang diberikan penyuluh.
56
Frekuensi komunikasi interpersonal peternak dengan pemerintah selama
tiga bulan terakhir pada Tabel 13 termasuk kategori rendah (54,55%), karena
anggota kelompok merasa tidak memiliki kepentingan untuk berkomunikasi
dengan pemerintah seperti pamong desa dan Dinas Peternakan yang bukan
penyuluh. Sebagian besar peternak Lebaksiuh sepenuhnya menyerahkan urusan
yang berhubungan dengan pemerintah kepada para pengurus kelompok,
khususnya ketua.
Durasi komunikasi interpersonal antara responden dengan pemerintah
pada Tabel 13 termasuk kategori rendah (81,82%). Hal tersebut terjadi karena
komunikasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh responden,
dilakukan dengan langsung menuju ke inti penyampaian pesan. Dinas peternakan
sering berkunjung ke kelompok peternak Lebaksiuh untuk memantau
perkembangan peternakan, adapun anggota yang berkomunikasi dengan Dinas
Peternakan, yaitu anggota yang sering menghadiri diskusi non formal dirumah
ketua kelompok.
Frekuensi peternak berkomunikasi dengan sesama peternak selama tiga
bulan terakhir termasuk kategori tinggi (81,82%). Hal ini terjadi karena setiap
hari para peternak akan berkomunikasi ketika mencari pakan, memberikan pakan,
dan berkumpul dirumah ketua kelompok pada malam hari. Faktor lain yang
mempengaruhi intensitas terjadinya komunikasi sesama peternak yaitu jarak
rumah antar peternak yang berdekatan.
Durasi komunikasi interpersonal antara responden dengan sesama
peternak pada Tabel 13 termasuk kategori tinggi (51,52%). Hal tersebut terjadi
karena para peternak akan melakukan perbincangan mengenai berbagai hal
sebelum membahas mengenai ternak kambing PE yang dipelihara, sehingga
57
waktu yang dibutuhkan peternak untuk dapat mencapai informasi mengenai
kambing perah PE kira-kira 3-4 jam.
4.3.3. Interaksi Komunikasi Dalam Diskusi
Diskusi dalam kelompok komunikasi, merupakan proses komunikasi
yang melibatkan sekelompok orang, dilakukan dalam bentuk formal dan non
formal dengan tujuan bertukar pengalaman, pendapat, dan menghasilkan
keputusan. Diskusi merupakan suatu bagian dari komunikasi partisipatif.
Menurut Mefalopulos dalam Muchtar, dkk (2014), komunikasi partisipatif
merupakan pendekatan yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan, sebuah proses yang membantu menangani
kebutuhan dan meningkatkan keberdayaan.
Penelitian ini mengungkapkan mengenai perilaku komunikasi responden
ketika berada dalam diskusi, baik diskusi formal maupun non formal. Pengukuran
dilakukan berdasarkan frekuensi dan keaktifan responden dalam mengikuti
diskusi selama satu bulan terakhir. Tingkat keterdedahan responden terhadap
media massa dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Tingkat Interaksi Komunikasi dalam Diskusi
No Uraian
Kategori
Tinggi Sedang Rendah
%
1 Diskusi Formal
a. Frekuensi 24.24 30.30 45.46
b. Keaktifan 42,42 09.09 48.49
58
2 Diskusi Non Formal
a. Frekuensi 51,52 27,27 21,21
b. Keaktifan 63.64 09.09 27.27
Berdasarkan hasil penelitian, Tabel 14 menunjukkan bahwa frekuensi
diskusi formal (rapat) responden berada pada kategori rendah (45,46%) selama
satu bulan terakhir. Hal tersebut terjadi karena selama satu bulan terakhir, rapat
rutin yang biasanya dilakukan minimal satu minggu sekali, hanya dilakukan dua
kali dalam sebulan. Faktor lainnya yaitu, para peternak disibukkan dengan
berbagai kegiatan seperti memanen kopi, gotong royong membangun rumah
warga yang kurang mampu, dan jumlah produksi bata merah yang sedang
meningkat (sebagian besar peternak menjadi buruh bata merah).
Keaktifan responden dalam diskusi formal pada Tabel 14 termasuk
kategori rendah (48,49%). Responden tidak berperan aktif dalam adanya diskusi
formal karena terdapat rasa malu dan takut untuk bertanya dan menjawab atau
memberikan saran mengenai masalah yang dibahas didalam rapat. Rapat yang
dilaksanakan oleh kelompok Lebaksiuh membahas mengenai keadaan kelompok
seperti keuangan kelompok, kegiatan kelompok, dan masalah yang dihadapi
anggota kelompok. Sesuai dengan pendapat Hadi (2001), didalam rapat akan
dibicarakan suatu masalah yang berhubungan dengan tujuan organisasi, dan harus
dipecahkan secara musyawarah. Rapat yang dilaksanakan oleh kelompok
Lebaksiuh membahas mengenai keadaan kelompok seperti keuangan kelompok,
kegiatan kelompok, dan masalah yang dihadapi anggota kelompok.
Berdasarkan hasil penelitian, Tabel 14 menunjukkan bahwa frekuensi
diskusi non formal (insidental) responden berada pada kategori tinggi (51,52%)
selama satu bulan terakhir. Hal tersebut terjadi karena selama satu bulan terakhir,
para petrnak selalu bertemu dalam berbagai kegiatan seperti memanen kopi,
59
gotong royong membangun rumah warga yang kurang mampu, mencari pakan,
ronda, dan diskusi setiap malam hari di rumah ketua kelompok. Tujuan peternak
berdiskusi non formal yaitu bukan hanya membahas keadaan ternak masing-
masing, tetapi dijadikan sebagai ajang untuk mempererat hubungan dengan
anggota lain.
Keaktifan responden dalam diskusi formal pada Tabel 14 termasuk
kategori tinggi (63,64%). Responden lebih aktif dalam adanya diskusi non
formal, hal ini dilatarbelakangi karena peternak merasa lebih bebas dalam
bertanya dan mengemukakan pendapat, kepercayaan diri responden bertambah
ketika bertanya atau memberikan pendapat, dan para peternak dapat bertanya atau
memberikan pendapat tidak hanya mengenai ternak yang dipelihara.
4.5. Hubungan antara Karakteristik Peternak dengan Perilaku
Komunikasi
Berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi Rank Spearman
menggunakan aplikasi SPSS, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa
karakteristik peternak kambing perah yang mempunyai hubungan nyata dengan
perilaku komunikasi adalah pendidikan formal, pendidikan non formal, dan
kepemilikan ternak dengan nilai koefisien korelasi Rank Spearman (rs) berturut-
turut 0,611, 0,369, dan 0,482.
Karakteristik Peternak
Perilaku
Komunikasi
Spearman's rho Umur
Correlation
Coefficient -0.055
Sig. (2-tailed) 0.761
N 33
Pendidikan Formal Correlation 0.611 (**)
60
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0
N 33
Pendidikan Non
Formal
Correlation
Coefficient 0.369 (*)
Sig. (2-tailed) 0.035
N 33
Pengalaman Beternak
Correlation
Coefficient 0.078
Sig. (2-tailed) 0.667
N 33
Kepemilikan Ternak
Correlation
Coefficient 0.482 (**)
Sig. (2-tailed) 0.004
N 33
Kekosmopolitan
Correlation
Coefficient 0.195
Sig. (2-tailed) 0.276
N 33
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan pada uraian diatas, pendidikan formal, pendidikan non
formal, dan kepemilikan ternak mempunyai korelasi yang nyata dan searah
(positif) dengan perilaku komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pendidikan formal seseorang maka semakin tinggi pula perilaku komunikasinya,
dan semakin sering seseorang mengikuti pendidikan non formal maka semakin
tinggi pula perilaku komunikasinya, serta semakin tinggi jumlah kepemilikan
ternak maka semakin tinggi pula perilaku komunikasinya. Mengacu pada aturan
Guilford, interpretasi nilai koefisian hubungan pendidikan formal dan kepemilikan
ternak terhadap perilaku komunikasi berada pada kisaran 0,40 ≤ rs < 0,70 yang
berarti termasuk dalam kategori cukup berarti.
61
Karakteristik peternak merupakan karakter atau sifat individu yang yang
membedakan dirinya dengan orang lain, tetapi tidak menutup kemungkinan
terdapat peternak yang memiliki sifat yang hampir sama. Karakteristik peternak
akan muncul ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan interaksi manusia. Pada saat
seseorang berinteraksi maka akan terjadi komunikasi baik itu secara verbal
maupun non verbal. Setiap individu akan menampilkan teknik dan
keterampilannya dalam berkomunikasi, hal ini akan menjadi suatu perilaku dalam
berkomunikasi dan merupakan ciri khas individu tersebut yang dapat menentukan
sejauhmana tingkatan perilaku komunikasinya. Dalam penelitian ini, karakteristik
peternak yang paling nyata hubungannya dengan perilaku komunikasi yaitu
pendidikan formal, pnedidikan non formal,dan kepemilikan ternak.
Komunikasi merupakan hal yang vital dalam pendidikan, karena didalam
proses belajar mengajar akan terjadi proses komunikasi. Peternak akan
memunculkan perilaku komunikasinya ketika menyampaikan ataupun menerima
informasi sesuai dengan karakteristiknya. Pendidikan dapat merubah perilaku
komunikasi seseorang, karena adanya perubahan pengetahuan dan wawasan
setelah memperoleh pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Slamet
(2003) yang menegaskan bahwa perubahan perilaku yang disebabkan oleh
pendidikan berupa: 1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, 2)
perubahan dalam ketrampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu,dan 3)
perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan.
Pendidikan formal berhubungan dengan perilaku komunikasi karena
berperan dalam kemampuan peternak untuk bisa membaca dan menulis. Para
peternak kelompok Lebaksiuh sebagian besar merupakan tamatan Sekolah
62
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Akhir (SMA), dengan rata-rata
pendidikan yang sudah memasuki tahapan sekolah menengah maka para peternak
sudah mampu untuk membaca dan menulis. Jika para peternak dapat membaca
dan menulis maka para peternak tersebut akan lebih mudah dalam mengakses
informasi khususnya yang berasal dari media massa.
Selain itu, dalam pendidikan formal, setiap orang akan mendapatkan
wawasan yang lebih luas sehingga pola pikir orang yang berpendidikan tinggi
akan lebih berkembang dan menjadikannya lebih mudah dalam mengadopsi
pengetahuan dan melakukan inovasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Soekartawi (2005) yang mengungkapkan bahwa mereka yang berpendidikan
tinggi akan relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula
sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah akan sulit melaksanakan adopsi
inovasi dengan cepat.
Pendidikan non formal berhubungan dengan perilaku komunikasi,
karena didalam pendidikan non formal terdapat aktivitas-aktivitas untuk
memenuhi kebutuhan informasi seperti diskusi, membaca media cetak (leaflet
atau modul), dan komunikasi interpersonal dengan penyuluh, pemerintah, maupun
sesama peternak. Aktivitas-aktivitas tersebut akan memunculkan perilaku
komunikasi dari masing-masing individu ketika mencari informasi. Semakin aktif
seseorang mengikuti pendidikan non formal, maka perilaku komunikasinya akan
berubah untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik karena bertambahnya
wawasan dan pengetahuan orang tersebut. Hal tersebut sesuai dengan tujuan
jangka pendek penyuluhan yang diungkapkan Zakaria (2006) yang menyebutkan
tujuan jangka pendek penyuluhan adalah menumbuhkan perubahan-perubahan
yang lebih terarah pada usaha tani yang meliputi: perubahan pengetahuan,
63
kecakapan, sikap dan tindakan petani keluarganya melalui peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dengan berubahnya perilaku petani dan
keluarganya, diharapkan dapat mengelola usahataninya dengan produktif, efektif
dan efisien.
Kepemilikan ternak berhubungan dengan perilaku komunikasi, karena
semakin tinggi jumlah ternak yang dimiliki maka responden tersebut akan lebih
aktif dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi karena pada umumnya peternak
yang memiliki jumlah ternak dengan kategori tinggi (≥ 10 ekor) akan menjadikan
usaha ternaknya sebagai usaha pokok, sehingga untuk mencapai keberhasilan
usahanya maka peternak tersebut akan lebih banyak mengakses media massa,
melakukan komunikasi interpersonal, diskusi formal, dan diskusi non formal.
Lampiran 9 menunjukkan bahwa hubungan karakteristik peternak lainnya
seperti umur, pendidikan non formal, pengalaman beternak, dan kekosmopolitan
terhadap perilaku komunikasi mempunyai nilai koefisien korelasi rank spearman
dibawah 0,3. Jika mengacu pada atura Guilford maka nilai tersebut berada pada
kategori hubungan yang lemah dan sangat lemah.
Hubungan yang lemah dan rendah antara umur, pengalaman beternak,
dan kekosmopolitan terhadap perilaku komunikasi disebabkan karena para
responden yang berusia muda belum terfokus untuk mengurus ternak sehingga
kurang aktif dalam pemenuhan kebutuhan informasi, secara psikologis hal
tersebut didukung oleh pernyataan Santrock (2002) yang menyatakan masa
dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan
jenis. Pengalaman beternak kurang berhubungan dengan perilaku komunikasi
karena peternak yang memiliki pengalaman lebih lama cenderung mencari
informasi secara interpersonal dengan peternak yang memiliki pengalaman
64
beternak lebih lama juga karena dianggap lebih sepemahaman. Kekosmopolitan
kurang berhubungan dengan perilaku komunikasi karena para peternak Lebaksiuh
sebagian besar tidak mencari informasi keluar desa karena sudah merasa cukup
dengan informasi yang tersedia di dalam desa Sindanggalih.
Hare (1962) mengemukakan bahwa perubahan perilaku seseorang
terhadap penerimaan ide-ide baru, akan dipengaruhi oleh karakteristik pribadi,
karakteristik ekonomi dan lingkungan. Perilaku komunikasi merupakan perilaku
yang muncul akibat aktivitas yang dilakukan secara-terus menerus ketika
seseorang berkomunikasi, dengan tujuan mendapatkan ide baru, mengubah sikap,
kepercayaan, dan opini. Kendala yang dihadapi beberapa peternak dalam
berkomunikasi ketika mencari informasi yaitu terbatasnya kecakapan dalam
berbicara, akibat tidak terlatih berbicara didepan umum yang disebabkan
pendidikan rendah.