its undergraduate 15561 paper pdf

15
7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 1/15 1 Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue untuk Informasi Early Warning Bencana di Kota Surabaya Arrowiyah 1  , Sutikno 2  Mahasiswa S1 Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya 1  Dosen Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya  2  [email protected] 1 , [email protected] 2 ABSTRAK Surabaya merupakan salah satu kota besar di Provinsi Jawa Timur yang angka kejadian penyakit DBD-nya masih cukup tinggi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan jumlah kejadian DBD di Kota Surabaya, namun jumlah penderita  penyakit ini masih belum dapat ditekan secara efektif. Dalam penelitian ini dilakukan  pendeskripsian dan pembuatan peta penyebaran kejadian penyakit DBD pada periode 2006- 2009. Jumlah kejadian penyakit DBD tinggi cenderung terjadi pada 6 bulan pertama (Januari-Juni). Persebaran kejadian DBD itu cenderung terjadi pada wilayah Surabaya utara, pusat sampai timur. Perbandingan hasil pengujian dengan menggunakan indeks Moran’s I dan Geary’s C memberikan informasi bahwa indeks Moran’s I lebih sensitif dari Geary’s C. Beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam kategori rawan penyebaran kejadian DBD adalah Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng. Sementara kecamatan yang masuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, Mulyorejo, Wonocolo, dan T. Mejoyo. Kata kunci : DBD, penyebaran, dependensi, spasial 1. Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini baik masyarakat maupun pemerintah, namun angka terjangkitnya penyakit ini masih belum dapat ditekan secara efektif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kurangnya informasi mengenai tempat, waktu dan lokasi persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya. Peta sebaran geografis  penyakit sangat berguna untuk mempelajari hubungan antara iklim dengan penyakit atau masalah kesehatan lain secara empirik dan bermanfaat untuk membantu mengimplementasikan rencana intervensi. Informasi sebaran wilayah rawan menurut tempat dan waktu diperlukan dalam menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan. Oleh karena itu, dibutuhkan peta sebaran yang diharapkan mampu untuk menentukan wilayah  prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan wabah DBD di Kota Surabaya. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penyakit DBD adalah model peringatan dini penyakit demam berdarah dengan menggunakan faktor iklim diantaranya: Sasmito, Gunaman, dan Widiatmoko (2006); dan Hidayati (2008) . Sasmito et al. (2006) menyusun model peringatan dini DBD di Kota Jakarta. Sementara Hidayati (2008) menyusun model kejadian DBD di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini akan menyusun peta rawan persebaran kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya dengan mempertimbangkan lokasi (kecamatan), waktu (bulan), dan musim dengan spatial pattern analysis. Metode ini cukup baik dalam menyajikan peta kerawanan penyakit sekaligus dapat megidentifikasi keterkaitan antar lokasi dan waktu (Curtis & Lee, 2010). Metode ini juga sangat efektif dalam mendeteksi variasi secara geografi (Tottrup, Tersbol, Lindeboom, dan Meyrowitsch, 2009). 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Spatial Autocorrelation Menurut Lembo (2006) dalam Kartika (2007) autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya

Upload: arief-kurniawan

Post on 15-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 1/15

Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue untuk

Informasi Early Warning Bencana di Kota Surabaya

Arrowiyah1 , Sutikno

Mahasiswa S1 Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya1

 Dosen Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya 2 

[email protected], [email protected]

2

ABSTRAKSurabaya merupakan salah satu kota besar di Provinsi Jawa Timur yang angka

kejadian penyakit DBD-nya masih cukup tinggi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk

mengatasi permasalahan jumlah kejadian DBD di Kota Surabaya, namun jumlah penderita penyakit ini masih belum dapat ditekan secara efektif. Dalam penelitian ini dilakukan pendeskripsian dan pembuatan peta penyebaran kejadian penyakit DBD pada periode 2006-2009. Jumlah kejadian penyakit DBD tinggi cenderung terjadi pada 6 bulan pertama(Januari-Juni). Persebaran kejadian DBD itu cenderung terjadi pada wilayah Surabayautara, pusat sampai timur. Perbandingan hasil pengujian dengan menggunakan indeks

Moran’s I dan Geary’s C memberikan informasi bahwa indeks Moran’s I lebih sensitif dariGeary’s C. Beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam kategori rawan penyebarankejadian DBD adalah Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng. Sementara kecamatan

yang masuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak,Mulyorejo, Wonocolo, dan T. Mejoyo.Kata kunci : DBD, penyebaran, dependensi, spasial

1. Pendahuluan

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dapatmenyebabkan kematian. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini baikmasyarakat maupun pemerintah, namun angka terjangkitnya penyakit ini masih belum dapatditekan secara efektif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kurangnya informasi mengenai

tempat, waktu dan lokasi persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya. Peta sebaran geografis penyakit sangat berguna untuk mempelajari hubungan antara iklim dengan penyakit ataumasalah kesehatan lain secara empirik dan bermanfaat untuk membantu mengimplementasikanrencana intervensi. Informasi sebaran wilayah rawan menurut tempat dan waktu diperlukan

dalam menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan. Olehkarena itu, dibutuhkan peta sebaran yang diharapkan mampu untuk menentukan wilayah

 prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan wabah DBD di Kota Surabaya.Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penyakit DBD adalah

model peringatan dini penyakit demam berdarah dengan menggunakan faktor iklim diantaranya:Sasmito, Gunaman, dan Widiatmoko (2006); dan Hidayati (2008) . Sasmito et al.  (2006)menyusun model peringatan dini DBD di Kota Jakarta. Sementara Hidayati (2008) menyusun

model kejadian DBD di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.Penelitian ini akan menyusun peta rawan persebaran kejadian penyakit DBD di Kota

Surabaya dengan mempertimbangkan lokasi (kecamatan), waktu (bulan), dan musim denganspatial pattern analysis. Metode ini cukup baik dalam menyajikan peta kerawanan penyakitsekaligus dapat megidentifikasi keterkaitan antar lokasi dan waktu (Curtis & Lee, 2010). Metodeini juga sangat efektif dalam mendeteksi variasi secara geografi (Tottrup, Tersbol, Lindeboom,

dan Meyrowitsch, 2009).

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Spatial Autocorrelation

Menurut Lembo (2006) dalam Kartika (2007) autokorelasi spasial adalah korelasi antaravariabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu ukuran

kemiripan dari objek di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat polasistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya

Page 2: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 2/15

autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilaiatribut tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga).

2.2 Matrik Pembobot SpasialMatrik pembobot spasial dapat ditentukan dengan beragam metode. Salah satu metode

 penentuan matrik pembobot spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah Queen 

contiguity  (persinggungan sisi-sudut). Matrik pembobot (w) berukuran nxn, dimana setiap

elemen matrik menggambarkan ukuran kedekatan antara pengamatan i dan j.Gambar 1 diberikan ilustrasi mengenai perhitungan matrik pembobot menggunakan

Queen contiguity. Ilustrasi tersebut menggunakan lima daerah sebagai pengamatannya. Elemen

matrik   didefinisikan 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common

vertex) bertemu dengan daerah yang menjadi perhatian, sedangkan daerah lainnya didefinisikan

elemen matrik pembobot sebesar  nol. Untuk daerah 3, didapatkan w32 =1, w34 =1, w35 =1 danyang lain sama dengan nol. Matrik wij ini memiliki ukuran matrik 5x5. Ilustrasi lebih lengkapnya

disajikan pada Gambar 1.

Sumber: Lesage (1999) dalam Winarno (2009)Gambar 1 Ilustrasi Contiguity

Matriks pembobot yang dapat terbentuk dari Gambar 1 adalah sebagai berikut.

0 0 0   0 01 0 1   0 00 1 00 0 10 0 1

101

110⎦

 

2.3 Moran’s I

Moran's I mengukur korelasi satu variabel misal x (x dan x) dimana i ≠ j, i=1,2,...n,

 j=1,2,...n dengan banyak data sebesar n, maka formula dari Moran’s I adalah pada persamaan (1)

(Paradis, 2010).

 = ∑ ∑   ()()∑   ()   (1) 

x  pada persamaan (1) merupakan rata-rata dari variabel x, w merupakan elemen dari

matrik pembobot, and S adalah jumlahan dari elemen matrik pembobot, dimana S =∑ ∑ w .

 Nilai dari indeks  I   ini berkisar antara -1 dan 1. Identifikasi pola menggunakan kriteria nilai

indeks I, jika I > I0, maka mempunyai pola mengelompok (cluster ), jika I = I, maka berpola

menyebar tidak merata (tidak ada autokorelasi), dan I < I, memiliki pola menyebar. I 

merupakan nilai ekspektasi dari I yang  dirumuskan E(I)= I =−1/ (n− 1)  (Lee dan Wong,2001).

(4)

(5)(3)

(2)

(1)

Page 3: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 3/15

Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut.

H: tidak ada autokorelasi spasial

H: terdapat autokorelasi positif (indeks Moran’s I bernilai positif)

H: terdapat autokorelasi negatif (indeks Moran’s I bernilai negatif ).

Menurut Lee dan Wong (2001) dalam Kartika (2007) statistik uji dari indeks Moran’s I

diturunkan dalam bentuk statistik peubah acak normal baku. Hal ini didasarkan pada teori DalilLimit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam diketahui maka Z(I) akan menyebar normal

 baku sebagai berikut.

Z = () ()  (2)

dengan I adalah indeks Moran’s I, Zhitung adalah nilai statistik uji indeks Moran’s I, E(I) adalahnilai ekspektasi indeks Moran’s I, dan Var(I) adalah nilai varians dari indeks Moran’s I.

Var(I) =

()()()  −

 

(

)

()()()   −   ()  (3)

dengan,

S = ∑ ∑   (w +w)  , k =∑   (x − x)   / ((∑   x − x   )) 

S =∑   (w. +w.)  , w. =∑   w  dan w. =∑   w  

Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Zhitung > Z() (autokorelasi positif)

atau Zhitung<-Z() (autokorelasi negatif). Positif autokorelasi spasial megindi-kasikan bahwa antar

lokasi pengamatan memiliki keeratan hubungan.

2.4 Geary’s CIndeks ini dirumuskan sebagai berikut (Lee dan Wong, 2010).

C=() ∑ ∑ ()

∑ ()   (4)

 Nilai w, x, x, n, dan S  yang digunakan dalam persamaan (4) sama dengan nilai pada

 persamaan (1).Identifikasi pola sebaran menggunakan indeks C, jika nilai C terletak diantara 0 (nol)

dan 1, maka pola sebarannya adalah mengelompok (cluster ), jika nilai C mendekati 1, polanya

menyebar tidak merata (tidak ada autokorelasi), dan pada nilai C terletak di antara 1 dan 2, polasebarannya merata (Lee dan Wong, 2001).

Pengujian terhadap parameter C dapat dilakukan sebagai berikut.

H: tidak ada autokorelasi spasialH: terdapat autokorelasi positif (indeks Geary’s C bernilai kurang dari 1)

H: terdapat autokorelasi negatif (indeks Geary’s C bernilai lebih dari 1).Statistik Uji:

Z = ()

 ()  (5)

dengan C merupakan indeks Geary’s C, Zhitung  merupakan nilai statistik uji indeks Geary’s C,E(C) merupakan nilai ekspektasi indeks Geary’s C (bernilai 1), dan Var(C) merupakan nilaivarians dari indeks Geary’s C.

Page 4: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 4/15

Var(C) =()[()]

()()   − ()[]

()()   +()()()

  (6)

S, S, dan S pada persamaan (6) sama dengan Moran’s I.

Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Zhitung > Z() (autokorelasi positif)

atau Zhitung<-Z() (autokorelasi negatif). Positif autokorelasi spasial megindi-kasikan bahwa antar

lokasi pengamatan memiliki keeratan hubungan.

2.6  Loc al Indic ator of Spatial Autoc orrelation (LISA)

Pengidentifikasian koefisien autocorrelation  secara lokal dalam artian menemukankorelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran’s I . Berbeda dengan Moran’s I yangdijelaskan pada sub bab 2.3 yang merupakan indikasi dari global autocorrelation, Moran’s  I   pada LISA meng-indikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana

hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang lainnya. Adapunindeksnya adalah sebagai berikut (Lee dan Wong, 2001).

I = z ∑ w   z  (7)

z dan z pada persamaan (7) merupakan deviasi dari nilai rata-rata.

 = ( − ̅)/   (8)

 adalah nilai standar deviasi dari .Pengujian terhadap parameter  dapat dilakukan sebagai berikut.

H: tidak ada autokorelasi spasial

H: terdapat autokorelasi spasialStatistik uji:

Z = ()

 (

)  (9)

dengan I  merupakan indeks LISA, Zhitung  merupakan nilai statistik uji indeks LISA, E(I)merupakan nilai ekspektasi indeks LISA, dan Var(I) merupakan nilai varians dari indeks LISA.

E(I)= - w./(n-1) (10)

var(I) =w.()

()

 − 2w()(/)

()() −   .

()  (11)

Dengan,

.()=∑    , ≠  

() =∑ ∑    

. = (∑    ) 

Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Zhitung  terletak pada pada

|Z| > Z(/).

2.7 Moran’s Scatterplot

Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa  Moran’s Scatterplot adalah salah satu carauntuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran.  Moran’s Scatterplot merupakan alat untukmelihat hubungan antara (nilai pengamatan yang sudah distandarisasi) dengan (nilai rata-rata

daerah tetangga yang telah distandarisasi). Ilustrasi lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 5: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 5/15

Gambar 2  Moran Scatterplot

Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut  High-High (HH), menunjukkan daerah yang

mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatantinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut  Low-High (LH), menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletakdi kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dandikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan bawah) disebut  High-Low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan tinggi yangdikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah (Kartika, 2007).

 Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HH dankuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang positif (cluster ).

Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HL dan LHakan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang negatif.

2.8 Peta Tematik

Barus dan Wiradisastra (2000) dalam Kartika (2007) menyatakan bahwa peta tematikadalah gambaran dari sebagian permukaan bumi yang dilengkapi dengan informasi tertentu, baikdi atas maupun di bawah permukaan bumi yang mengandung tema tertentu. Peta tematik ini biasanya mencerminkan hal-hal yang khusus. Selain itu peta tematik merupakan peta yang

memberikan suatu informasi mengenai tema tertentu, baik data kualitatif maupun datakuantitatif. Peta tematik sangat erat kaitannya dengan SIG (Sistem Informasi Geografis) karena

 pada umumnya output dari proyek SIG adalah berupa peta tematik. Baik yang berbentuk digitalmaupun masih berbentuk peta kertas.

2.9 Demam Berdarah DBD merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan gejala

sakit demam, nyeri otot, dan atau nyeri sendi yang disertai penurunan dari sel darah putih,

adanya bercak kemerahan di kulit, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan jumlahtrombosit dan kondisi terberat adalah perdarahan dari hampir seluruh jaringan tubuh. Beberapafaktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu 1) vektor (nyamuk),

terutama berhubungan dengan sanitasi lingkungan, 2) Penjamu (manusia) penderita dilingkungan, 3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Anonim,

2009).

3  Metodologi Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari DinasKesehatan Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2006 – 2009. Data tersebut adalah jumlahkejadian penyakit DBD yang terdapat pada 31 kecamatan. Selain itu juga digunakan petaadministrasi Kota Surabaya (Gambar 3). Data demografi, meliputi jumlah penduduk, dan

kepadatan penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Surabaya.

Kuadran II

Kuadran III Kuadran IV

Kuadran I

Zstd

WZstd

HHLH

LL HL

Page 6: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 6/15

Gambar 3 Peta administratif Kota Surabaya dengan 31 KecamatanKeterangan:

Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah jumlah penderita DBD bulanan perkecamatan di Kota Surabaya pada tahun 2006 sampai 2009. Di samping itu jumlah penduduk

dan kepadatan penduduk di Kota Surabaya.Adapun langkah-langkah analisis data dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.  Mendeskripsikan penyebaran kejadian DBD2.  Pembuatan peta sebaran dengan Spatial Pattern Analysis.

a.  Memetakan kejadian penyakit DBD per bulan antar tahun dalam suatu peta tematik b.  Membandingkan pola yang terbentuk dari bulan ke bulan antar tahun

c.  Menghitung ukuran dependensi spasial menggunakan indeks Moran’s Id.  Mengidentifikasi pola sebaran kejadian berdasarkan indeks Moran’s Ie.  Menguji dependensi spasial indeks Moran’s I

f. 

Menghitung ukuran dependensi spasial menggunakan indeks Geary’s Cg.  Mengidentifikasi pola sebaran kejadian berdasarkan indeks Geary’s C

h.  Menguji dependensi spasial indeks Geary’s Ci.  Membuat dan menganalisis Moran’s Scatterplot

 j.  Menghitung dan menguji dependensi spasial indeks LISA

4  Analisis dan Pembahasan

4.1 Kejadian Penyakit DBD Menurut Kecamatan

Kejadian DBD di Kota Surabaya periode 2006 sampai 2009 memiliki karakteristik yang beragam. Rata-rata tertinggi angka kejadian DBD adalah sebesar 17.90 yang terletak pada

Kecamatan Tegalsari, sedangkan rata-rata terendahnya adalah sebesar 2.38 yang terletak padaKecamatan Mulyorejo. Keragaman tertinggi adalah sebesar 399.54 yang terletak padaKecamatan Tegalsari, sedangkan keragaman terendah adalah sebesar 6.02 yang terletak pada

1 Gayungan 12 Dukuh Pakis 22 Bubutan2 Karang Pilang 13 Gubeng 23 Simokerto

3 Gunung Anyar 14 Sawahan 24 Bulak4 Jambangan 15 Sukomanunggal 25 Pabean Cantikan5 T. Mejoyo 16 Mulyorejo 26 Krembangan

6 Wonocolo 17 Tegalsari 27 Asemrowo7 Rungkut 18 Tandes 28 Pakal8 Lakarsantri 19 Sambikerep 29 Semampir

9 Wiyung 20 Genteng 30 Kenjeran10 Wonokromo 21 Tambaksari 31 Benowo11 Sukolilo

Page 7: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 7/15

Kecamatan Trenggilis Mejoyo (T.Mejoyo). Deskripsi kejadian penyakit DBD di Kota Surabayamenurut kecamatan periode 2006-2009 selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai rata-rata dan ragam jumlah kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya tahun 2006 sampai2009 tiap kecamatan

Kecamatan Rata-rata Ragam Kecamatan Rata-rata Ragam

Gayungan 9.33 82.23 Tegalsari 17.90 399.54

Karang Pilang 12.37 102.75 Tandes 11.27 138.58

Gunung Anyar 3.96 14.34 Sambikerep 11.04 119.70Jambangan 3.77 13.07 Genteng 7.73 47.31

T. Mejoyo 3.06 6.02 Tambaksari 5.99 32.49

Wonocolo 5.40 16.84 Bubutan 8.46 91.36

Rungkut 5.48 12.17 Simokerto 5.77 23.97

Lakarsantri 6.33 56.31 Bulak 17.27 216.67Wiyung 8.29 99.27 Pabean Cantikan 9.90 136.27Wonokromo 9.31 94.77 Krembangan 5.67 28.53

Sukolilo 6.38 54.15 Asemrowo 6.63 35.09

Dukuh Pakis 6.562 39.358 Pakal 6.48 24.60Gubeng 11.27 95.05 Semampir 5.44 35.87Sawahan 11.56 131.23 Kenjeran 7.27 68.97

Sukomanunggal 8.88 39.559 Benowo 5.46 29.23

Mulyorejo 2.38 9.899Keterangan: Kecamatan yang di arsir merupakan kecamatan dengan kejadian DBD tertinggi dan terendah

Tingginya kejadian DBD di Kota Surabaya bagian pusat, selatan dan utara ditunjangoleh kepadatan jumlah penduduk yang ada pada wilayah tersebut. Kecamatan dengan kepadatan

 paling tinggi adalah terletak pada Kecamatan Simokerto yaitu sebesar lebih dari 24862 jiwa/km2.

Sementara beberapa kecamatan lain yang kepadatan cukup tinggi adalah Kecamatan Kenjeran,Tambaksari, Bubutan, Sawahan, dan Tegalsari yaitu sebesar lebih dari 17285 jiwa/ km

2.

Kepadatan penduduk menurut kecamatan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4. 

Gambar 4 Kepadatan penduduk Surabaya Menurut Kecamatan Tahun 2009.

Page 8: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 8/15

Januari Februari Maret

April Mei Juni

Gambar 5 Persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya tiap Kecamatan antar bulan tahun 2006.

Page 9: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 9/15

Juli Agustus September

Oktober Nopember Desember

Gambar 5 Persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya tiap Kecamatan antar bulan tahun 2006 (lanjutan).

Page 10: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 10/15

10 

4.2 Kejadian Penyakit DBD Menurut Waktu Berdasarkan waktu (bulan) kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya pada periode

2006-2009 menunjukkan bahwa kejadian DBD di Kota Surabaya paling banyak terjadi pada bulan Januari-Juni. Periode ini merupakan periode musim hujan (Desember-Maret) dan musimtrasisi menuju kemarau (April-Juni). Persebaran tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa pada bulan Januari hingga Juni kejadian penyakit DBD cenderung berkumpul pada Surabaya pusat,selatan, timur dan utara (Gambar 5). Sebaliknya, pada bulan Juli-Desember kejadian DBD

cenderung rendah karena bulan-bulan ini merupakan musim kemarau (Juni-September) dantransisi menuju musim hujan (Oktober-Desember).

Selama periode 2006-2009 jumlah penderita DBD terbesar adalah bulan Maret padatahun 2006, sedangkan bulan Desember tahun 2009 merupakan bulan dengan angka kejadian

DBD paling kecil pada periode 2006-2009.

4.3 Hubungan Kejadian DBD Antar Kecamatan dan Pola SebarannyaPerbandingan antara nilai indeks Moran’s I dan nilai ekspektasinya (E(I)) pada tahun

2006 menunjukkan bahwa bulan Januari, Februari, Maret, Agustus, September, Oktober, dan

Desember memiliki pola penyebaran kejadian DBD yang mengelompok.

Tabel 2 Hasil perhitungan indeks Moran’s (I), E(I), Var(I), dan Zhitung tahun 2006

Bulan/ Statistik I E( I ) Var (I)  Zhitung 

Januari 0.112 -0.033 0.012 1.339a 

Februari 0.099 -0.033 0.013 1.244Maret 0.134 -0.033 0.011 1.596a 

April -0.039 -0.033 0.010 -0.057Mei -0.057 -0.033 0.011 -0.223Juni -0.043 -0.033 0.011 -0.088

Juli -0.119 -0.033 0.009 -0.886c 

Agustus 0.022 -0.033 0.006 0.695September 0.058 -0.033 0.009 0.967c 

Oktober -0.013 -0.033 0.011 0.188 Nopember -0.078 -0.033 0.010 -0.440Desember -0.016 -0.033 0.011 1.670a 

a signifikan pada =10%,  b signifikan pada =15%,dan  c signifikan pada =20%

Hal ini berarti bahwa jumlah kejadian DBD antar kecamatan pada beberapa bulan-bulantersebut hampir sama. Sementara bulan April, Mei, Juni, Juli, dan Nopember diindikasikanangka kejadian DBD-nya membentuk pola menyebar. Hal ini berarti bahwa jumlah kejadianDBD antar kecamatan pada bulan-bulan tersebut cukup beragam. Hasil perhitungan indeks

Moran’s (I), E(I), Var(I), dan Zhitung per bulan pada tahun 2006 disajikan Tabel 2.Pada tahun 2007, pola mengelompok terdapat pada bulan April, Juli, Agustus

September, Oktober, Nopember, dan Desember. Pada bulan Januari, Februari, Maret, Mei, dan

Juni memiliki pola menyebar. Selanjutnya pada tahun 2008, bulan Januari, Maret, April, Mei,Agustus, Oktober, dan Desember diindikasikan memiliki pola yang mengelompok dan bulanFebruari, Juni, Juli, September, dan Nopember diindikasikan bahwa antar kecamatan pada bulan-bulan ini memiliki pola yang menyebar. Sementara pada tahun 2009, bulan Februari,

Maret, Mei, Juni, juli, September, dan Oktober diindikasikan memiliki pola yang mengelompokdan bulan Januari, April, Agustus, Nopember, dan Desember diindikasikan memiliki pola yang

menyebar.Berdasarkan pengujian terhadap adanya autokorelasi spasial dengan menggunakan

indeks Moran’s I (Tabel 2), menunjukkan bahwa bulan Januari, Maret, dan Desember signifikanterhadap adanya autokorelasi spasial pada α= 10%, dan bulan Februari sigifikan pada α= 15%,

sementara bulan Juli dan Agustus signifikan pada α= 20%. Bulan Januari, Februari, Maret,September dan Desember sama-sama memiliki autokorelasi spasial positif, sedangkan pada

 bulan Juli, memiliki autokorelasi spasial negatif.

Page 11: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 11/15

11 

Pada tahun 2007 hanya terdapat 2 bulan yang memiliki pola hubungan spasial, yaitu bulan Juni dan Oktober. Pada bulan Juni terdapat autokorelasi spasial positif dan pada bulanOktober terdapat autokorelasi spasial negatif. Sementara pada tahun 2007, terdapat 9 bulan yangmemiliki hubungan spasial yaitu bulan Januari, Februari, April, Mei, Juni, Juli, Oktober, dan Nopember. Bulan Januari, April, Mei, dan Oktober memiliki autokorelasi spasial positif.Sementara bulan Februari, Juli, dan Nopember memiliki autokorelasi negatif. Pada tahun 2009, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah Juni, Februari, dan September. Ketiga bulan

tersebut menunujukkan adanya autokorelasi spasial positif.Berdasarkan tingkat signifikan, menunjukkan bahwa bulan-bulan tersebut mempunyai

autokorelasi spasial dengan   > 5%. Hal ini mengiindikasikan bahwa kedekatan lokasikecamatan (ketetanggaan) tidak hanya bersinggungan sisi atau tepi, namun lebih jauh lagi.Dengan demikian matriks pembobot spasial yang digunakan akan lebih sesuai dengan

menggunakan pendekatan jarak. Hal ini dimungkinkan karena mobilisasi masyarakat Surabayayang sangat tinggi. Seseorang dalam suatu kecamatan dapat melakukan mobilisasi kekecamatan-kecamatan lain, lebih dari jangkauan kecamatan yang bersinggungan.

Selanjutnya, apabila dilihat dari nilai indeks Geary’s C data kejadian DBD di Kota

Surabaya tahun 2006, dapat diketahui bahwa bulan Januari, Maret, Mei, Nopember, danDesember mengindikaskan pola yang mengelompok. Sementara bulan Februari, April, Juni, Juli,Agustus, September, dan Oktober mengindikasikan suatu pola yang menyebar. Hasil

 perhitungan nilai indeks Geary’s C lebih lengkap disajikan pada Tabel 3.Indeks Geary’s C periode 2007 memberikan informasi bahwa bulan Februari, Maret,

April, Mei, Agustus, September, Oktober, dan Desember mengindikasikan pola sebaran DBDmengelompok. Sedangkan bulan Januari, Juni, Juli, dan Nopember mengindikasikan pola

sebaran kejadian DBD yang menyebar.Indeks Geary’s C periode 2008 memberikan informasi bahwa bulan Januari, April, Mei,

dan Oktober mengindikasikan pola sebaran DBD yang mengelompok. Sedangkan bulanFebruari, Maret, Juni, Juli, Agustus, September, Nopember, dan Desember mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar.

Sementara indeks Geary’s C periode 2009 memberikan informasi bahwa bulan Januari,Maret, Mei, Juni, September, dan Oktober mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yangmengelompok. Sedangkan bulan Februari, April, Juli, Agustus, Nopember, dan Desembermengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar.

Tabel 3 Hasil perhitungan indeks Geary’s (C), Var(C), dan Zhitung tahun 2006

Bulan/ Statistik C Var (C)  Z

Januari 0.978 0.019 -0.161Februari 1.024 0.019 0.171Maret 0.909 0.019 -0.653April 1.064 0.019 0.457

Mei 0.993 0.019 -0.053

Juni 1.208 0.019 1.487

a

 Juli 1.291 0.019 2.079a 

Agustus 1.356 0.019 2.547a 

September 1.011 0.019 0.078Oktober 1.106 0.019 0.756 Nopember 0.957 0.019 -0.304

Desember 0.940 0.019 -0.429

Berdasarkan pengujian terhadap adanya autokorelasi spasial dengan menggunakanindeks Geary’s C (Tabel 3), menunjukkan bahwa bulan Juni, Juli dan Agustus memilikiautokorelasi spasial positif. Ada tahun 2007, terdapat bulan yang memiliki hubungan spasial

yaitu bulan Juni, Juli, dan Oktober. Bulan Juni dan Juli memiliki autokorelasi spasial positifsedangkan bulan Oktober memiliki autokorelasi spasial negatif. Pada tahun 2008, bulan yang

memiliki hubungan spasial adalah bulan Januari, Maret, Mei, Juli, dan Oktober. Sementara pada

Page 12: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 12/15

12 

tahun 2009, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah bulan Juni, September, Oktober, danDesember. Bulan Juni, September, dan Oktober meniliki autokorelasi spasial negatif dan bulan Nopember memiliki autokorelasi spasial positif.

Apabila dibandingkan antara hasil yang dikeluarkan Moran’s I dan geary’s C,menunjukkan hasil yang hampir sama. Akan tetapi, tidak semua hasil dari Moran’s I dan Geary’sC menghasilkan kesimpulan yang konsisten (Lee &Wong, 2001). Dapat dilihat bahwa indeksMoran’s lebih sensitif dibandingkan dengan indeks Geary’s C. Pada data yang sama (angka

DBD bulan Maret tahun 2007), Moran’s I sudah dapat signifikan pada tingkat kepercayaan 10%,sedangkan Geary’s C masih belum signifikan pada tingkat kepercayaan tersebut.

Walaupun beberapa bulan mengindikasikan adanya auto korelasi spasial pada KotaSurabaya, analisis selanjutnya menggunakan data bulan Maret 2006. Jumlah kejadian pada bulan

Maret 2006 merupakan jumlah kejadian paling tinggi jika dibandingkan dengan jumlah kejadian pada bulan-bulan yang lain pada 4 tahun terakhir. Selain itu, angka indeks Moran’s I yang tinggi

 juga merupakan alasan menggunakan data kejadian DBD pada bulan Maret 2006. Pada bulanMaret 2006 terjadi cuaca ekstrim yang menyebabkan suhu di Kota Surabaya naik. Hal tersebut

menyebabkan tingginya angka DBD di Kota Surabaya.

Berdasarkan hasil Moran’s scatterplot pada bulan Maret 2006, diperoleh informasi bahwa sebagian besar angka kejadian penyakit DBD tiap kecamatan di Kota Surabaya pada bulan Januari 2006 menyebar di kuadran 1 (HH) dan 2 (LH). Pencaran titik-titik amatan padaGambar 6 merupakan kecamatan yang menyebar berdasarkan pengaruhnya terhadap kecamatanyang bersebelahan. Sumbu X (horisontal) pada Gambar 4.3 merupakan nilai pengamatan suatukecamatan yang telah distandarisasi dan sumbu Y (vertikal) merupakan jumlah kejadian DBDkecamatan tetangga yang telah distandarisasi.

3210-1

1.5

1.0

0.5

0.0

-0.5

-1.0

Zstd

    W    Z   s    t    d

31

30

29

28

27

26

25

24

23

22

21

20

19

18

17

16

15

14

13

12

11

10

98

7

65

4

3

2

1

Maret

 Gambar 6 Moran’s scatterplot penderita DBD pada bulan Maret 2006.

Terdapat 10 kecamatan menyebar pada kuadran HH dan LH, 9 kecamatan menyebar pada kuadran LL, serta 2 kecamatan menyebar pada kuadran HL. Titik pencar pada Kuadran 1(HH) pada Gambar 6 di atas menunjukkan kecamatan yang angka DBD-nya tinggi berada diantara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya tinggi. Kuadran 2 (LH) menunjukkan

kecamatan dengan kejadian DBD-nya rendah berada di antara kecamatan-kecamatan yang angkaDBD-nya tinggi. Kuadran 3 (LL) menunjukkan kecamatan dengan kejadian DBD-nya rendah berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya rendah. Sementara kuadran 4 (HL)menunjukkan kecamatan yang kejadian DBD-nya tinggi berada di antara kecamatan-kecamatan

yang angka DBDnya rendah. Kuadran HH dan LL mengindikansikan kesamaan karakteristikantar keca-matan (pola mengelompok) dan kuadran LH dan HL meng-indikasikan keragaman

karakteristik antar kecamatan.

Page 13: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 13/15

13 

Pengujian LISA memberikan hasil yang beragam. Kecamatan Karang pilang, T.Mejoyo,Wonocolo, Lakarsantri, Wiyung, Gubeng, Sukomanunggal, Mulyorejo, Tegalsari, Tandes,Sambikerep, Genteng, Simokerto, Bulak, dan Pabean Cantikan merupakan beberapa kecamatanyang memiliki hubungan spasial dengan kecamatan-kecamatan lain yang berdekatan. Hasil perhitungan nilai Ii dan p-value periode 2006 selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai dan p-value LISA pada bulan Maret tahun 2006

Kecamatan Ii  p-value Kecamatan Ii  p-value

Gayungan -0.022 0.406 Tegalsari 0.050 0.026a 

Karang Pilang 0.040 0.110 b  Tandes 0.282 0.016a 

Gunung Anyar -0.248 0.314 Sambikerep 0.719 0.056a 

Jambangan 0.149 0.254 Genteng 0.185 0.002a 

T. Mejoyo -0.119 0.102 b  Tambaksari 0.062 0.334

Wonocolo -0.053 0.174 c  Bubutan 0.211 0.206

Rungkut 0.041 0.388 Simokerto -0.164 0.066a 

Lakarsantri 0.596 0.068a  Bulak -0.688 0.088a 

Wiyung 0.382 0.064a  Pabean Cantikan -0.328 0.098

Wonokromo 0.190 0.228 Krembangan -0.374 0.390

Sukolilo 0.398 0.206 Asemrowo -0.336 0.218

Dukuh Pakis -0.148 0.266 Pakal 1.380 0.064a 

Gubeng 0.802 0.036a  Semampir -0.157 0.404

Sawahan 0.001 0.458 Kenjeran 0.146 0.092a 

Sukomanunggal 0.076 0.084 b  Benowo 0.994 0.004a 

Mulyorejo -0.945 0.010a 

a signifikan pada α=5%,  b signifikan pada α=10%, c signifikan pada α=15%, d  signifikan pada α=20%

Hasil Moran scatterplot dan LISA memberikan informasi bahwa kecamatan yangmemiliki autokorelasi positif adalah Kecamatan Tegalsari, Genteng, Gubeng, Sukomanunggal,Tan-des, Karang pilang, Wiyung, Lakarsantri, dan Sambikerep. Sementara yang memilikiautokorelasi negatif adalah Kecamatan T.Mejoyo, Wonocolo, Simokerto, Pabean Cantikan,

Bulak, dan Mulyorejo.Peta Kerawanan pada Gambar 7 menunjukkan bahwa Kecamatan Genteng, Tegalsari,

dan Gubeng membentuk suatu pengelompok-kan dengan jumlah kejadian DBD yang tinggi danmerupakan wilayah-wilayah yang rawan terhadap penyebaran penyakit DBD. SedangkanKecamatan Wonocolo, T. Mejoyo, Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, dan Mulyorejo tidakmembentuk pengelompok-kan. Namun, posisi kecamatan-kecamatan ini yang berada di sekitar

Kecamatan-kecamatan dengan jumlah kejadian DBD yang tinggi menyebabkan kecamatan-

kecamatan ini memiliki kemungkinan terkena dampak kejadian DBD. Sehingga kecamatan-kecamatan ini termasuk dalam kategori sedang terhadap penyebaran penyakit DBD di KotaSurabaya. Ilustrasi peta kerawanan selengkapnya disajikan pada Gambar 7.

Page 14: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 14/15

14 

Keterangan:RawanSedangAmanGambar 7 Peta Kerawanan bencana DBD di Kota Surabaya 

5  Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa kejadian DBD di Kota Surabaya sebagian besarterjadi pada musim hujan (Januari-Juni). Kejadian DBD yang tinggi terdapat di wilayahSurabaya utara, pusat sampai timur. Kejadian DBD tertinggi di Kota Surabaya selama 4 tahun

terakhir terjadi pada bulan Maret 2006. Terdapat beberapa bulan yang mengindikasikankejadian DBD Kota Surabaya memiliki hubungan spasial, yaitu bulan Januari, Maret, Juni,

Oktober, dan Desember.Beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam kategori rawan penyebaran kejadian DBD

adalah Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng. Sementara kecamatan yang masuk dalamkategori sedang adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, Mulyorejo, Wonocolo,dan T. Mejoyo.

5.2 Saran

Mobilisasi masyarakat Surabaya yang tinggi menyebab-kan kurang sesuainya penggunaanmatriks bobot persinggungan (continguity). Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan

untuk menggunakan pembobot jarak dalam pengidentifikasian pola penyebaran DBD di KotaSurabaya.

6  Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik. (2010). Hasil Sensus Penduduk 2010 Kota Surabaya AgregatKecamatan, Surabaya

 _______,2009.[online]http://diskes.jabarprov.go.id/index.php?mod=pubInformasiPenyakit&idMenuKiri=56&idSelected=1&idInfo=14&page=[27September 2010]

Bivand,Roger S, Pebesma,Edzer J, dan Gomez-Rubio, Virgilio.(2008).  Applied Spatial Data

 Analysis with R. USA: Springer Sciece+Business Media, LLC.

Page 15: ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

7/23/2019 ITS Undergraduate 15561 Paper PDF

http://slidepdf.com/reader/full/its-undergraduate-15561-paper-pdf 15/15

15 

Curtis J A, Lee A W.(2010).Spatial Pattern of diabetes related health problems for vulneral

 populations in Los Angeles,USAGumanti, D N .(2010). Penerapan metode GSTAR dengan pendekatan Spatio-Temporal untuk

memodelkan kejadian demam berdarah, [Tugas Akhir] , Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),Surabaya 

Hidayati R. 2008. Model Peringatan Dini Penyakit Demam Berdarah dengan Informasi UnsurIklim.[Desertasi] Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Kartika Yoli.2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor tahun2005.[Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor

Lee Jay &Wong S W David.(2000). Statistical Analysis with Arcview GIS . John Willey & Sons,INC: United Stated of America

Paradis, Emanuel.(2010). Moran's Autocorrelation, http://hosho.ees.hokudai.ac.jp/~kubo/Rdoc/library/ape/html/MoranI.html [22 September, 2010]

Sasmito, Gunawan H, Widiatmoko H.(2006). Informasi Meteorologi Untuk Peringatan DiniBahaya Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah DKI Jakarta. Laporan Proyek

Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Tahun 2006. BMKG Jakarta.

Siregar,A F. (2004). Epidemology dan pemberantasan demam berdarah Dengue (DBD) diIndonesia. Digitized by USU digitallibrary,http://repository .usu.ac.id/bitstream/123456789/3673/1/fkm-fazidah3.pdf [22 September 2010]

Tariq, Erum.2004. Introduction of Point Pattern Analysis. South Dakota:School of Mines andTechnology.

Tottrup C, Tersbol P. B, Lindeboom W, dan Meyrowitsch D.2009. Putting child mortality onmap: towards an understanding of inequity in health, Vol 14 no 6 PP 653-662.

Winarno, deddy.2009.Analisis Angka Kematian Bayi di Jawa Timur dengan Pendekatan Model

Regresi Spasial [skripsi], Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),Surabaya