isu 4 gabungan
DESCRIPTION
gabunganTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gigi Sebagai Komponen Stomatognathi
2.2 Temporo Mandibula Joint
2.2.1 Komponen TMJ
2.2.2 Fisiologi Pergerakan TMJ
2.3 Oklusi
Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada maksila dan mandibula,
yang terjadi selama pergerakan mandibula dan berakhir dengan kontak penuh dari gigi geligi
pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena adanya interaksi antara dental system, skeletal system
dan neuromuscular system (Hamzah, Zahseni, 2009).
2.3.1 Oklusi Ideal
Dikenal dua macam istilah oklusi yaitu :
1. Oklusi ideal adalah Merupakan konsep teoretis dari struktur oklusal dan hubungan fungsional
yang mencakup prinsip dan karakteristik ideal yang harus dimiliki suatu keadaan oklusi.
Menurut Kamus Kedokteran Gigi, oklusi ideal adalah keadaan beroklusinya semua gigi,
kecuali insisivus central bawah dan molar tiga atas, beroklusi dengan dua gigi di lengkung
antagonisnya dan didasarkan pada bentuk gigi yang tidak mengalami keausan. Syarat lain
untuk mendapatkan oklusi ideal antara lain:
a. Bentuk korona gigi berkembang dengan normal dengan perbandingan yang tepat antara
dimensi mesio-distal atau buko-lingual
b. Tulang, otot, jaringan disekitar gigi anatomis mempunyai perbandingan yang normal
c. Semua bagian yang membentuk gigi geligi geometris dan anatomis, satu dan secara
bersama-sama memenuhi hubungan yang teratur.
d. Gigi geligi terhadap mandibula dan cranium mempunyai hubungan geometris dan
anatomis yang teratur (Hamzah, Zahseni, 2009).
2. Oklusi normal adalah suatu kondisi oklusi yang berfungsi secara harmonis dengan proses
metabolic untuk mempertahankan struktur penyangga gigi dan rahang berada dalam keadaan
sehat. Oklusi dikatakan normal jika:
a. Susunan gigi di dalam lengkung gigi teratur dengan baik
b. Gigi dengan kontak proksimal
c. Hubungan seimbang antara gigi dan tulang rahang terhadap cranium dan muscular di
sekitarnya
d. Ketika gigi berada dalam kontak oklusal, terdapat maksimal interdigitasi dan minimal
overbite dan overjet
e. Cusp mesio-bukal molar 1 maksila berada di groove mesio-bukal molar 1 mandibula dan
cusp disto-bukal molar 1 maksila berada di embrasure antara molar 1 dan 2 mandibla dan
seluruh jaringan periodontal secara harmonis dengan kepala dan wajah (Hamzah,
Zahseni, 2009).
Beberapa ahli menyatakan bahwa oklusi dibentuk oleh suatu sistem struktur yang
terintegrasi antara sistem otot-otot mastikasi dan sistem neuromuskuler sendi temporomadibular
dan gigi-geligi. Dari aspek sejarah perkembangannya, dikenal tiga konsep dasar oklusi yang
sejauh ini diajarkan dalam pendidikan kedokteran gigi : (Gunadi, Haryanto A, 1994).
1. Pertama, konsep oklusi seimbang (balanced occlusion) yang menyatakan suatu oklusi baik
atau normal, bila hubungan antara kontak geligi bawah dan geligi atas memberikan tekanan
yang seimbang pada kedua rahang, baik dalam kedudukan sentrik maupun eksentrik.
2. Kedua, konsep oklusi morfologik (morphologic occlusion) yang penganutnya menilai baik-
buruknya oklusi melalui hubungan antar geligi bawah dengan lawannya dirahang atas pada
saat geligi tersebut berkontak.
3. Ketiga, konsep oklusi dinamik/individual/fungsional (dinamic/individual/functional
occlusion). Oklusi yang baik atau normal harus dilihat dari segi keserasian antara komponen-
komponen yang berperan dalam proses terjadinya kontak antar geligi tadi. Komponen-
komponen ini antara lain ialah gigi geligi dan jaringan penyangganya, otot-otot mastikasi dan
sistem neuromuskularnya, serta sendi temporo mandibula. Bila semua struktur tersebut
berada dalam keadaan sehat dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik, maka oklusi
tersebut dikatakan normal.
C. Berdasarkan Bentuk Oklusi
Oklusi gigi geligi bukanlah merupakan keadaan yang statis selama mandibula bergerak,
sehingga ada bermacam-macam bentuk oklusi, misalnya: sentrik, eksentrik, habitual, supra-infra,
mesial distal, lingual (Gunadi dkk., 1994).
D. Berdasarkan Bentuk Madibula
1. Intercupal Contact Position (ICP), adalah kontak maksimal antara gigi geligi dengan
antagonisnya
2. Retruded Contact Position (RCP), adalah kontak maksimal antara gigi geligi pada saat
mandibula bergerak lebih ke posterior dari ICP, namun RB masih mampu bergerak secara
terbatas ke lateral.
3. Protrusif Contact Position (PCP) adalah kontak gigi geligi anterior pada saat RB digerakkan
ke anterior
4. Working Side Contact Position (WSCP) adalah kontak gigi geligi pada saat RB digerakkan ke
lateral.
Selain klasifikasi diatas, secara umum pola oklusi akibat gerakan RB dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Bilateral balanced occlusion, bila gigi geligi posterior pada kerja dan sisi keseimbangan,
keduanya dalam keadaan kontak
2. Unilateral balanced occlusion, bila gigi geligi posterior pada sisi kerja kontak dan sisi
keseimbangan tidak kontak
3. Mutually protected occlusion, dijupai kontak ringan pada gigi geligi anterior, sedang pada
gigi posterior
4. Tidak dapat ditetapkan, bila tidak dikelompokkan dalamklasifikasi diatas. (Hamzah dkk.,
2009).
2.1.3 Oklusi yang Normal
Konsep bahwa ada yang ideal untuk setiap komponen oklusi gigi-geligi, dari suatu
pengetahuan di mana variasi, atau maloklusi bisa diukur, barangkali dimulai dari hasil penelitian
Angel (1899). Angel yang mengadakan penelitian mengenai oklusi statis pada posisi interkuspal,
mendifinisikan hubungan ideal dari gigi geligi molar pertama atas dan bawah tetap pada bidang
sagital. Dari definisi ini, dapatlah didefinisikan variasi dari oklusi pada bidang yang sama, dan
klasifikasi oklusi dari angel, atau versi modifikasinya, sudah dipergunakan secara luas sejak
klasifikasi tersebut diperkenalkan (Foster, 1997).
Andrew (1972) menyebutkan enam kunci oklusi normal, yang berasal dari hasil
penelitian yang dilakukannya terhadap 120 subyek yang oklusi idelnya mempunyai enam cirri.
Keenam cirri tersebut adalah :
1. Hubungan yang tetap dari gigi-gigi molar pertama tetap pada bidang sagital.
2. Angulasi mahkota gigi-gigi insisivus yang tepat pada bidang transversal.
3. Inklinasi mahkota gigi-gigi insisivus yang tepat pada bidang sagital.
4. Tidak adanya rotasi gigi-gigi individual.
5. Kontak yang akurat dari gigi-gigi individual dalam masing-masing lengkung gigi, tanpa
celah maupun berjejal-jejal.
6. Bidang oklusi yang datar atau sedikit melengkung (Foster, 1997).
Andrew memperkirakan bahwa jika satu atau beberapa ciri ini tidak tepat, hubungan oklusal
dari gigi geligi tidaklah ideal (Foster, 1997). Sekali lagi, “Kunci” Andrew berhubungan terutama
dengan oklusi static, tetapi cirri-ciri yang didefinisikan tidak mencangkup klasifikasi dari Angel
(Foster, 1997).
Beberapa criteria mengenai oklusi fungsional yang idela sudah diperkenalkan oleh Roth
(1976). Berikut ini adalh salinan dari konsep Roth, yang ditunjukan terutama untuk mendapatkan
efisiensi pengunyahan maksimal yang konsisten dengan beban traumatuk minimal yang
mengenai gigi-gigi dan jaringan pendukung serta otot dan apparatus pengunyahan skeletal
(Foster, 1997).
1. Pada posisi interkuspal maksimal (oklusi sentrik), kondil mandibula harus berada pada
posisi paling superior dan paling retrusi dalam fosa kondilar. Ini berdampak bahwa posisi
interkuspal adalah sama dengan posisi kontak retrusi.
2. Pada saat menutup ke oklusi sentrik, stress yang mengenai gigi-gigi posterior harus
diarahkan sepanjang sumbu panjang gigi.
3. Gigi-gigi posterior harus berkontak setara dan merata, tanpa kontak pada gigi-gigi
anterior, pada oklusi sentrik.
4. Harus ada overjet dan overbite minimal, tetapi cukup besar untuk membuat gigi-gigi
posterior saling tidak berkontak pada gerak lateral dari mandibula, ke luar dari oklusi
sentrik.
5. Harus ada halangan minimal dari gigi-gigi terhadap gerak mandibula seperti dibatasi oleh
sendi temporomandibula (Foster, 1997).
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Oklusal
1.Kontak Prematur dan Blocking
Ketidakseimbangan oklusi terjadi bila gigi yang berkontak terlebih dahulu pada regio
tertentu jumlahnya kurang dari 50% dari jumlah gigi di regio tersebut atau satu atau dua gigi
berkontak terlebih dahulu. Bila hambatan terjadi pada waktu oklusi sentris disebut kontak
prematur, sedangakan jika terjadi pada gerak artikulasi disebut blocking
2. Gigi Hilang yang Tidak Diganti
Hilangnya gigi-gigi fungsional akan menghasilkan perubahan hubungan dan
keseimbangan tekanan diantara gigi-gigi. Ketika gigi bagian proksimal tidak didukung oleh gigi
tetangganya karena telah diekstrasi, tekanan oklusal menekan jaringan periodonsium dan
mengakibatkan gigi semakin miring.
3. Perbandingan Mahkota-Akar yang Tidak Seimbang
Gigi dengan mahkota yang besar dan permukaan oklusal yang lebar tetapi akarnya
pendek dan runcing menyebabkan trauma oklusi, karena tekanan oklusal yang jatuh pada
permukaan gigi akan melebihi kapasitas adaptasi jaringan periodonsiumnya.
4. Restorasi yang Terlalu Tinggi
Jika restorasi terlalu tinggi, gigi akan bertemu dengan lawannnya terlebih dahulu pada penutupan
sentrik. Salah satu contoh adalah pada pemakaian restorasi mahkota jaket porselen yang terlau tinggi sehingga
pada posisi protrusif hanya makhota dengan gigi lawan yang berkontak.
5. Kebiasaan Buruk
Kebiasaan menggigit kuku, pulpen, jepit rambut dan lain-lain akan menyebabkan kerusakan jaringan
periodonsium. Kebiasaan lainnya seperti bruksism dapat menyebabkan terkikisnya gigi sehingga
mengakibatkan kontak gigi geligi menjadi terganggu.
6. Ukuran dan Bentuk Gigi
Gigi adalah tempat utama dalam etiologi dari kesalahan bentuk dentofacial dalam berbagai macam
cara. Variasi dalam ukuran, bentuk, jumlah dan posisis gigi semua dapat menyebabkan maloklusi. Hal yang
sering dilupakan adalah kemungkinan bahwa malposisisi dapat menyebabkan malfungsi.
7. Herediter
Herediter telah lama dikenal sebagai penyebab maloklusi. Kesalahan asal genetic dapat menyebabkan
penampilan gigi sebelum lahir mereka tidak dapat dilihat sampai 6 tahun setelah kelahiran. Faktor genetic gigi
adalah kesamaan bentuk gigi dalam keluaraga sangat sering terjadi, dimana gigi anak akan mengikuti bentuk
gigi orang tuanya.
8. Trauma
Baik trauma prenatal atau setelah kelahiran dapat menyebabkan kerusakan atau kesalahan bentuk
dentofacial.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Oklusal
Menurut Dockrell (1952) dan Moyers (1988) menyatakan faktor yang mempengaruhi
perubahan lengkung gigi antara lain genetik dan lingkungan seperti kebiasaan oral, malnutrisi,
dan fisik. Menurut Van der Linden (1986), faktor yang mempengaruhi perubahan dan
karakteristik lengkung gigi antara lain fungsi rongga mulut, kebiasaan oral dan otot-otot rongga
mulut.Faktor lain seperti prematur loss gigi desidui, ras dan jenis kelamin juga mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan lengkung gigi.
A. Genetik
Genetik merupakan faktor yang penting dalam menentukan ukuran dan bentuk rahang
gigi. Arya (1973), dan Hue (1991) menunjukkan bahwa faktor genetik berperan pada dimensi
lebar, panjang, dan keliling lengkung gigi. Penelitian Cassidy menerangkan bahwa hubungan
bagian bukal yaitu hubungan molar pertama antara maksila dan mandibula dalam arah sagital
pada remaja saudara kandung lebih serupa daripada remaja yang tidak ada hubungan biologis.
B. Lingkungan
Faktor lingkungannya termasuk kebiasaan oral, malnutrisi dan fisik.
a. Kebiasaan Oral
Kebiasaan oral yang mempengaruhi lengkung gigi antara lain menghisap ibu jari atau
jari-jari tangan, menghisap dot, bernafas melalui mulut, dan penjuluran lidah. Peran kebiasaan
oral terhadap perubahan dan karaktristik lengkung gigi tergantung dari frekuensi, intensitas dan
lama durasi Hasil penelitian Aznar (2006) dan peneliti lain, menunjukkan kebiasaan hisap jari
untuk jangka waktu yang panjang akan menyebabkan penambahan jarak antara molar
mandibula. Aznar juga menunjukkan bahwa kebiasaan menghisap mainan akan menyebabkan
pengurangan lengkung gigi maksila terutama di bagian kaninus dan kebiasaan bernafas melalui
mulut menyebabkan pengurangan ukuran pada rahang atas dan bawah.Aktivitas kebiasaan buruk
ini berkaitan dengan otot-otot rongga mulut. Aktivitas ini sangat sering ditemukan pada anak-
anak usia muda dan bisa dianggap normal pada masa bayi, meskipun hal ini menjadi tidak
normal jika berlanjut sampai masa akhir anak-anak.
b.Malnutrisi
Nutrisi yang baik adalah penting pada waktu remaja untuk memperoleh pertumbuhan oral yang
baik. Pengambilan nutrisi atau energi yang kurang dapat mempengaruhi pertumbuhan sehingga
membatasi potensi pertumbuhan seseorang.Malnutrisi dapat mempengaruhi ukuran bagian
badan, sehingga terjadi perbandingan bagian yang berbeda-beda dan kualitasjaringan yang
berbeda-beda seperti kualitas gigi dan tulang. Adanya malnutrisi dapat berakibat langsung pada
organ-organ tubuh.
c.Fisik
Perubahan dalam kebiasaan diet seperti tekstur makanan yang lebih halus menyebabkan
penggunaan
otot pengunyahan dan gigi berkurang. Akibat pengurangan pengunyahan akan menyebabkan
perubahan pada perkembangan fasial sehingga maksila menjadi lebih sempit. Hasil penelitian
Moore dkk (1968) mengenai dimensi rahang dan gigi sejak zaman Neolitik sampai zaman
modern menunjukkan bahwa diet modern kurang membutuhkan pengunyahan sehingga kurang
memberi stimulus terhadap pertumbuhan rahang dibandingkan dengan diet yang lebih
primitif.Penelitian Defraia mendapati anak-anak pada zaman sekarang mempunyai lengkung gigi
atas yang lebih kecil dari subjek yang diteliti 40 tahun yang lalu oleh Lindsten dkk.
2.3.3 Klasifikasi Oklusi
1. Klasifikasi Menurut Edward Angle
Klasifikasi ini berdasarkan pada klasifikasi Edward Angle (1899) walaupun berbeda
dalam beberapa aspek yang penting. Ini adalah klasifikasi dari hubungan antero-posterior
lengkung gigi-gigi atas dan bawah, dan tidak melibatkan hubungan lateral serta vertikal, gigi
berjejal dan malposisi local dari gigi-gigi (Foster, 1997).
Klas 1
Hubungan ideal yang bisa ditolerir. Ini adalah hubungan antero-posterior yang
sedemikian rupa, dengan gigi-gigi berada pada posisi yang tepat di lengkung rahang, ujung gigi
kaninus atas berada pada bidang vertical yang sama seperti ujung distal gigi kaninus bawah.
Gigi-gigi premolar atas berinterdigitasi dengan cara yang sama dengan gigi-gigi premolar
bawah, dan tonjol antero-bukal dari molar pertama atas tetap beroklusi dengan alur (groove)
bukal dari molar pertama bawah tetap (Gambar 2.8). Jika gigi insisivus berada pada inklinasi
yang tepat, overjet insisal adalah sebesar 3 mm (Foster, 1997).
Gambar 2.8. Oklusi Klas I Angle
Klas 2
Pada hubungan klas 2, lengkung gigi bawah terletak lebih posterior daripada lengkung
gigi atas dibandingkan pada hubungan klas 1. Karena itulah, keadaan ini kadang disebut sebagai
“hubungan postnormal” . Ada 2 tipe hubungan Klas 2 yang umum dijumpai, dan k arena itu,
Klas 2 ini umumnya dikelompokkan menjadi dua devisi (Foster, 1997).
Klas 2 divisi 1
Lengkung gigi mempunyai hubungan Klas 2, dengan gigi-gigi insisuv sentral atas
proklinasi, dan overjet insisal lebih besar (Gambar 2.9). Gigi insisivus lateral atas juga proklinasi
(Foster, 1997).
Klas 2 divisi 2
Lengkung gigi mempunyai hubungan klas 2, dengan gigi-gigi insisivus sentral atas yang
proklinasi dan overbite insisal yang besar (Gambar 2.9). Gigi-gigi insisivus lateral atas bisa
proklinasi atau retroklinasi (Foster, 1997).
Tidaklah selalu dapat mengelompokkan hubungan oklusal Klas 2 ke dalam salah satu
dari divisi ini, pada kasus semacam ini, oklusi bisa disebut sebegai “Klas 2 tidak pasti”
Gambar 2.9. Oklusi Klas II Angle
Klas 3
Pada hubungan Klas 3, lengkung gigi bawah terletak lebih anterior terhadap lengkung
gigi atas dibandingkan pada hubungan Klas 1. Oleh karena itu, hubungan ini kadang-kadang
disebut juga sebagai “hubungan prenormal”. Ada dua tipe utama dari hubungan Klas 3. Yang
pertama, biasanya disebut Klas 3 sejati, dimana rahang bawah berpindah dari posisi istirahat ke
oklusi Klas 3 pada saat penutupan normal. Pada tipe yang kedua, gigi-gigi insisivus terletak
sedemikian rupa sehingga gerak menutup mandibula menyebabkan insisivus bawah berkontak
dengan insisivus atas sebelum mencapai oklusi sentrik. Oleh karena itu, mandibula akan
bergerak ke depan pada penutupan translokasi, menuju ke posisi interkuspal. Tipe hubungan
semacam ini biasanya disebut Klas 3 postural atau Klas 3 dengan pergeseran (Gambar 2.10)
Gambar 2.10. Oklusi Klas III Angle
Pada masing-masing tipe hubungan oklusal, malposisi gigi setempat bisa mempengaruhi
hubungan dasar dari kedua lengkung gigi. Jadi, rincian interkuspal dari gigi-gigi tidak sama
dengan klasifikasi keseluruhan dari hubungan lengkung gigi. Jika banyak gigi yang malposisi,
akan sulit bahkan tidak mungkin untuk menentukan klasifikasi oklusi. Di samping itu, asimetris
bisa menyebabkan hubungan pada satu sisi rahang berbeda dari sisi yang lain. Pada situasi
semacam ini, oklusi perlu dideskripsikan dengan kata-kata, bukan hanya dengan klasifikasi
verbal saja (Foster, 1997).
Kelihatannya proporsi pembagian oklusi menjadi berbagai kategori seperti disebutkan di
atas adalah berbeda pada berbagai populasi. Pada salah satu penelitian mengenai oklusi gigi yang
dilakukan terhadap populasi murid sekolah di shrpshire, yang berusia dari 11-12 tahun, Foster
dan Day (1974) menemukan proporsi berikut ini.
Klas 1 44%
Klas 2 divisi 1 27%
Klas 2 divisi 2 18%
Klas 2 (tak pasti) 7%
Klas 3 (sejati) 3%
Klas 3 (portural) 0,3%
Dari penelitian ini terlihat bahwa walaupun hubungan oklusal oklusal Klas 1 adalah ideal
hubungan ini tidak selalu normal, seperti terlihat pada kurang dari separuh populasi (Foster,
1997).
2. Klasifikasi Modifikiasi Dewey
Dewey memperkenalkan modifikasi dari klasifikasi maloklusi Angle. Dewey membagi
klas I angle menjadi lima tipe, dan klas III Angle kedalam tiga tipe.
a. Modifikasi Dewey klas I
Tipe 1 : maloklusi klas I dengan gigi anterior yang crowded
Tipe 2 : maloklusi klas I dengan gigi insisiv maksila yang protrusif
Tipe 3 : maloklusi klas I dengan gigi anterior crossbite
Tipe 4 : maloklusi klas I dengan gigi posterior crossbite
Tipe 5: maloklusi klas I dengan gigi molar permanen telah bergerak ke arah
mesial (Iyyer, 2006)
b. Modofikasi Dewey klas III
Tipe 1 : maloklusi klas III, dengan rahang atas dan bawah yang jika dilihat
secara terpisah terlihat normal. Namun, ketika beroklusi pasien menunjukkan
insisiv yang edge to edge, yang kemudian menyebabkan mandibula bergerak
kedepan (Iyyer, 2006)
Tipe 2 :maloklusi klas III, dengan insisiv mandibula crowded dan memiliki
lingual relation terhadap insisiv maksila (Iyyer, 2006)
Tipe 3 : maloklusi klas III, dengan insisiv maksila crowded dan crossbite
dengan gigi anterior mandibula (Iyyer, 2006)
3. Klasifikasi Modifikasi Lischer
Lischer memberikan istilah neutrocclusion, distoclusion, dan mesioclusion pada klas I,
klas II dan klas III Angle. Sebagai tambahan Lischer juga memberikan beberapa istilah lain yaitu
:
Neutrocclusion : sama dengan maloklusi klas I Angle
Distocclusion : sama dengan maloklusi klas II Angle
Mesiocclusion : sama dengan maloklusi klas III Angle
Buccocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke bukal
Linguocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke lingual
Supraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi diatas batas normal
Infraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi dibawah batas
normal
Mesioversion : lebih kemesial daripada posisi normal
Distoversion : lebih ke distal daripada posisi normal
Transversion : transposisi dari dua gigi
Axiversion : inklinasi aksial yang abnormal dari sebuah gigi
Torsiversion : rotasi gigi pada sumbu panjang (Iyyer, 2006)
4. Klasifikasi Bennet
Norman Bennet mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan etiologinya.
Klas I : posisi abnormal dari satu gigi atau lebih dikarenakan faktor lokal
Klas II : formasi abnormal baik satu maupun kedua rahang dikarenakan defek
perkembangan pada tulang
Klas III : hubungan banormal antara lengkung rahang atas dan bawah, dan antar
kedua rahang dengan kontur facial dan berhubungan dengan formasi abnormal
dari kedua rahang (Iyyer, 2006)
Klasifikasi Maloklusi
Cara paling sederhana untuk menentukan maloklusi ialah dengan Klasifikasi Angle
(Dewanto, 1993). Menurut Angle yang dikutip oleh Rahardjo, mendasarkan klasifikasinya atas
asumsi bahwa gigi molar pertama hampir tidak pernah berubah posisinya. Angle
mengelompokkan maloklusi menjadi tiga kelompok, yaitu maloklusi Klas I, Klas II, dan Klas III
(Rahardjo, 2008):
1. Maloklusi Klas I : relasi normal anteroposterior dari mandibula dan maksila. Tonjol
mesiobukal cusp molar pertama permanen berada pada bukal groove molar pertama
permanen mandibula. Seperti yang terlihat pada gambar (Gambar 2.1) Terdapat relasi
lengkung anteroposterior yang normal dilihat dari relasi molar pertama permanen
(netrooklusi). Kelainan yang menyertai maloklusi klas I yakni: gigi berjejal, rotasi dan
protrusi (Rahardjo, 2008).
Tipe 1 : Klas I dengan gigi anterior letaknya berdesakan atau crowded atau gigi C
ektostem
Tipe 2 : Klas I dengan gigi anterior letaknya labioversi atau protrusi
Tipe 3 : Klas I dengan gigi anterior palatoversi sehingga terjadi gigitan terbalik
(anterior crossbite).
Tipe 4 : Klas I dengan gigi posterior yang crossbite.
Tipe 5 : Klas I dimana terjadi pegeseran gigi molar permanen ke arah mesial akibat
prematur ekstraksi (Widodo, 2007).
Gambar 2.1 Maloklusi Klas I
2. Maloklusi Klas II : relasi posterior dari mandibula terhadap maksila. Tonjol
mesiobukal cusp molar pertama permanen atas berada lebih mesial dari bukal groove
gigi molar pertama permanen mandibula. Seperti yang terlihat pada gambar (Gambar
2.2) (Foster, 1993).
Gambar 2.2 Maloklusi Klas II
Divisi 1 : insisivus sentral atas proklinasi sehingga didapatkan jarak gigit besar
(overjet), insisivus lateral atas juga proklinasi, tumpang gigit besar
(overbite), dan curve of spee positif (Rahardjo, 2008).
Divisi 2 : insisivus sentral atas retroklinasi, insisivus lateral atas proklinasi, tumpang
gigit besar (gigitan dalam). Jarak gigit bisa normal atau sedikit bertambah
(Rahardjo, 2008).
Pada penelitian di New York Amerika Serikat diperoleh 23,8% mempunyai
maloklusi Klas II. Peneliti lain mengatakan bahwa 55% dari populasi Amerika Serikat
mempunyai maloklusi Klas II Divisi I (Proffit, 1993).
3. Maloklusi klas III : relasi anterior dari mandibula terhadap maksila. 12 Tonjol
mesiobukal cusp molar pertama permanen atas berada lebih distal dari bukal groove
gigi molar pertama permanen mandibula dan terdapat anterior crossbite (gigitan silang
anterior). Seperti yang terlihat pada gambar (Gambar 2.3) (Proffit, 1993).
Gambar 2.3 Maloklusi Klas III
Tipe 1 : adanya lengkung gigi yang baik tetapi relasi lengkungnya tidak normal.
Tipe 2 : adanya lengkung gigi yang baik dari gigi anterior maksila tetapi ada
linguoversi dari gigi anterior mandibula.
Tipe 3 : lengkung maksila kurang berkembang; linguoversi dari gigi
anterior maksila; lengkung gigi mandibula baik. 15
Untuk kasus crossbite ada yang membaginya menjadi crossbite anterior dan crossbite
posterior (Proffit, 1993):
a. Crossbite anterior
Suatu keadaan rahang dalam relasi sentrik, namun terdapat satu atau beberapa gigi anterior
maksila yang posisinya terletak di sebelah lingual dari gigi anterior mandibula.
b. Crossbite posterior
Hubungan bukolingual yang abnormal dari satu atau beberapa gigi posterior mandibula.
Selain Klasifikasi Angle, terdapat berbagai jenis maloklusi, seperti (Proffit, 1993):
1. Deepbite adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal gigi insisivus
maksila terhadap insisal gigi insisivus mandibula dalam arah vertikal melebihi 2-3 mm. Pada
kasus deepbite, gigi posterior sering linguoversi atau miring ke mesial dan insisivus
mandibula sering berjejal, linguoversi, dan supra oklusi.
2. Openbite adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat rahang atas dan
rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik. Macam-macam open bite menurut lokasinya
antara lain (Proffit, 1993):
a.Anterior openbite
Klas I Angle anterior openbite terjadi karena rahang atas yang sempit, gigi depan
inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra oklusi, sedangkan Klas II Angle divisi I
disebabkan karena kebiasaan buruk atau keturunan.
b. Posterior openbite pada regio premolar dan molar.
c. Kombinasi anterior dan posterior/total openbite terdapat baik di anterior,
posterior, dapat unilateral ataupun bilateral.
3. Crowded (Gigi berjejal)
Gigi berjejal adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal. Penyebab gigi
berjejal adalah lengkung basal yang terlalu kecil daripada lengkung koronal. Lengkung
basal adalah lengkung pada prossesus alveolaris tempat dari apeks gigi itu tertanam,
lengkung koronal adalah lengkung yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah
mesiodistal yang paling besar dari mahkota gigi geligi. Faktor keturunan merupakan salah
satu penyebab gigi bejejal, misalnya ayah mempunyai struktur rahang besar dengan gigi
yang besar-besar, ibu mempunyai struktur rahang kecil dengan gigi yang kecil. Kombinasi
genetik antara rahang kecil dan gigi yang besar membuat rahang tidak cukup dan gigi
menjadi berjejal. Kasus gigi berjejal dibagi berdasarkan derajat keparahannya, yaitu (Proffit,
1993):
a. Gigi berjejal kasus ringan
Terdapat gigi-gigi yang sedikit berjejal, sering pada gigi depan mandibula, dianggap
suatu variasi yang normal dan dianggap tidak memerlukan perawatan.
b. Gigi berjejal kasus berat
Terdapat gigi-gigi yang sangat berjejal sehingga dapat menimbulkan oral hygiene yang
buruk.
4. Diastema (Gigi renggang)
Gigi renggang adalah suatu keadaan terdapatnya ruang di antara gigi geligi yang
seharusnya berkontak. Diastema ada 2 macam, yaitu:
a. Lokal, jika terdapat diantara 2 atau 3 gigi. Penyebabnya antara lain frenulum labial
yang abnormal, kehilangan gigi, kebiasaan jelek, dan persistensi.
b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi, dapat disebabkan oleh faktor
keturunan, lidah yang besar dan oklusi gigi yang traumatis.
2.3.4 Jenis-Jenis Maloklusi
1. Protusi
Gigi yang posisinya maju ke depan. Protusi dapat disebabkan oleh faktor keturunan,
kebiasaan jelek seperti menghisap jari dan menghisap bibir bawah, mendorong lidah ke
depan, kebiasaan menelan yang salah serta bernafas melalui mulut.
2. Intrusi dan ekstrusi
Intrusi adalah pergerakan gigi menjahui bidang oklusal. Pergerakan intrusi membutuhkan
kontrol kekuatan yang baik. Ekstrusi adalah pergerakan gigi yang mendekati bidang
oklusal.
3. Crossbite
Suatu keadaan jika rahang dalam keadaan relasi sentrik terdapat kelainan-kelainan dalam
arah transversal dari gigi geligi maksila terhadap gigi geligi mandibula yang dapat
mengenai seluruh atau setengah rahang, sekelompok gigi, atau satu gigi saja.
Berdasarkan lokasinya crossbite dibagi dua, yaitu :
a. Crossbite anterior
Suatu keadaan rahang dalam relasi sentrik, namun terdapat satu atau beberapa gigi
anterior maksila yang posisinya terletak di sebelah lingual dari gigi anterior
mandibula.
b. Crossbite posterior
Hubungan bukolingual yang abnormal dari satu atau beberapa gigi posterior
mandibula.
4. Deepbite
Suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal insisivus maksila terhadap
insisal insisivus mandibula dalam arah vertikal melebihi 2-3mm. Pada kasus deep bite,
gigi posterior sering lingoversi atau miring ke mesial dan insisivus mandibula sering
berjejal, linguo versi, dan supra oklusi.
5. Open bite
Keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah
dalam keadaan oklusi sentrik. Macam-macam open bite menurut lokasinya adalah :
a. Anterior open bite
Klas I angle anterior open bite terjadi karena rahang atas yang sempit, gigi depan
inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra oklusi, sedangkan klas II angle divisi I
disebabkan karena kebiasaan buruk atau keturunan.
b. Posterior open bite pada regio premolar dan molar.
c. Kombinasi anterior dan posterior (total open bite) terdapat baik di anterior, posterior,
dapat unilateral atau bilateral.
6. Crowded
Keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal. Penyebab crowded adalah
lengkung basal yang terlalu kecil daripada lengkung koronal. Lengkung basal adalah
lengkung pada prossesus alveolaris tempat dari apeks gigi itu tertanam, lengkung koronal
adalah lengkungan yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal yang
paling besar dari mahkota gigi geligi. Derajar keparahan gigi crowded :
a. Crowded ringan
Terdapat gigi-gigi yang sedikit berjejal, sering pada gigi depan mandibula, dianggap
suatu variasi yang normal, dan dianggap tidak memerlukan perawatan.
b. Crowded berat
Terdapat gigi-gigi yang sangat berjejal sehingga dapat menimbulkan oral hygiene
yang jelek.
7. Diastema
Suatu keadaan adanya ruang diantara gigi geligi yang seharusnya berkontak. Diastema
ada dua macam, yaitu :
a. Lokal, jika terdapat 2 atau 3 gigi, dapat disebakan karena dens supernumerary,
frenulum labii yang abnormal, gigi yang tidak ada, kebiasaan jelek, dan persistensi.
b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi, dapat disebabkan oleh faktor
keturunan, lidah yang besar dan oklusi gigi yang traumatis.
2.2 Maloklusi
2.2.1 Definisi Maloklusi
Maloklusi adalah penyimpangan dari pertumbuhkembangan yang disebabkan karena
faktor-faktor tertentu. Maloklusi adalah oklusi abnormal yang ditanda dengan tidak benarnya
hubungan antar lengkung di setiap bidang spatial atau anomaly abnormal dalam posisi gigi
(Pambudi, 2012).
2.2.2 Penyebab Maloklusi
A. Secara Umum
1. Ketika ada kebutuhan bagi subjek untuk melakukan posisi postural adaptif dari mandibula.
2. Jika ada gerak menutup translokasi dari mandibula, dari posisi istirahat atau dari posisi
postural adaptif ke posisi interkuspal.
3. Jika posisi gigi adalah sedemikian rupa sehingga terbentuk mekanisme refleks yang
merugikan selama fungsi pengunyahan dari mandibula.
4. Jika gigi-gigi menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak mulut.
5. Jika ada gigi berjejal atau tidak teratur, yang bias merupakan pemicu bagi terjadinya penyakit
periodontal dan gigi.
6. Jika ada penampilan pribadi yang kurang baik akibat posisi gigi.
7. Jika ada posisi gigi yang menghalangi bicara yang normal (Pambudi, 2012).
B. Secara Etiologi
Etiologi dari maloklusi secara garis besar digolongkan menjadi 3, yaitu :
1. Primary etiologi site terbagi menjadi :
A. Sistem Neuromuskular
Beberapa pola kontraksi neuromuscular beradaptasi terhadap ketidakseimbangan
skeletal / malposisi gigi. Pola- pola kontraksi yang tidak seimbang adalah bagian penting dari
hampir semua maloklusi.
B. Tulang
Karena tulang muka, terutama maxilla dan mandibula berfungsi sebagai dasar untuk
dental arch, kesalahan dalam marfologi / pertumbuhannya dapat merubah hubungan dan fungsi
oklusi. Sebagian besar dari maloklusi yang sangat serius adalah membantu dalam identifikasi
dishamorni osseus.
C. Gigi
Gigi adalah tempat utama dalam etiologi dari kesalahan bentuk dentofacial dalam
berbagai macam cara. Variasi dalam ukuran, bentuk, jumlah dan posisis gigi semua dapat
menyebabkan maloklusi. Hal yang sering dilupakan adalah kemungkinan bahwa malposisisi
dapat menyebabkan malfungsi, secara tidak langsung malfungsi merubah pertumbuhan tulang.
Yang sering bermasalah adalah gigi yang terlalu besar.
D. Jaringan Lunak (tidak termasuk otot)
Pengaruh jaringan lunak terhadap tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah yang memberi
pengaruh besar tehadap letak gigi. Maloklusi dapat disebabkan oleh penyakit periodontal /
kehilangan perlekatan dan berbagai macam lesi jaringan lunak termasuk struktur TMJ.
2. Faktor herediter (Genetik)
Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi dari populasi primitif sehingga diduga
karena adanya kawin campur yang menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi. Pengaruh
herediter bermanifestasi dalam beberapa hal :
• Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi
berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun jarang dijumpai.
• Disproporsi ukuran , posisi dan bentuk rahang atas dan rahang baawah yang menghasilkan
relasi rahang yang tidak harmonis.
3. Faktor Lokal
a. Gigi sulung tanggal prematur
Gigi sulung tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen, semakin
muda umur pasien semakin besar akibatnya pada gigi permanen.
b. Persistensi gigi
Persistensi gigi berarti gigi sulung yang sudah melewati waktunya tidak tanggal.
c. Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen
• Prenatal trauma / injuri semasa kelahiran
Hipoplasia dari mandibula disebabkan karena tekanan intrauterine (kandungan) atau
trauma selama proses kelahiran.
• Postnatal trauma
Fraktur / retak tulang rahang dan gigi, Kebiasaan dapat menyebabkan mikrotrauma dalam
masa yang lama. Baik trauma prenatal atau setelah kelahiran dapat menyebabkan kerusakan atau
kesalahan bentuk dentofacial.
• Asymetri
Disebabkan karena lutut atau kaki menekan muka sehingga menyebabkan
ketidaksimetrian pertumbuhan muka.
d. Kebiasaan Buruk
• Mengisap jempol / jari
Biasanya pada usia 3 tahun – 4 tahun anak-anak mulai mengisap jempol jika M1 nya
susah saat erupsi. Arah aplikasi tekanan terhadap gigi selama mengisap jempol dapat
menyebabkan Insisivus maksila terdorong ke labial, sementara otot bukal mendesak tekanan
lingual terhadap gigi pada segmen leteral dari lengkung dental desakan lidah yang bisa
menyebabkan maloklusi.
• Kebiasaan mengisap bibir dapat menyebabkan proklinasi insisiv atas disertai jarak gigit yang
bertambah dan retroklinasi insisiv bawah.
e. Faktor Iatrogenik
Iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakn profesional , perawatan ortodonti mempunyai
kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik, Misalnya pemakaian kekuatan yang besar untuk
menggerakkan gigi dapat menyebabkan resorbsi yang berlebihan pada tulang alveolar dan
kematian pulpa gigi dan juga gerakan gigi kearah labial / bukal dapat menyebabkan terjadinya
dehiscence dan fenetrasi.
f. Penyakit
• Penyakit sistemik
Suatu infeksi kronis /akut dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan gigi,
akibatnya dapat terjadi kelainan struktur,morfologi, ukuran dan bentuk gigi geligi
Penyakit – penyakit yang dapat menyebabkan maloklusi antara lain:
1. Cerebral palsy
2. Congenital syphilis
3. Rubella
4. Febrile disease
• Gangguan endokrin
Defisiensi dan disfungsi kelenjar endokrin dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan tubuh kita, Defisiensi endokrin mempengaruhi pembentukan erupsi gigi dan
resorpsi gigi sulung.
• Penyakit lokal
Penyakit gingival periodontal dapat menyebabkan efek langsusng seperti hilangnya gigi,
perubahan pola penutupan mandibula untuk mencegah trauma, ancylosis gigi.
g. Malnutrisi
Malnutrisi tidak secara langsung menyebabkan maloklusi, jika maloklusi terjadi pada saat
pembentukan gigi dapat mempengaruhi kualitas gigi tersebut (Pambudi, 2012).
ETIOLOGI
Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan berbeda pada tiap individu. Pada
beberapa pasien disebabkan karena erupsi gigi yang tidak normal, gigi sulung yang tanggal
terlalu dini, atau akibat pencabutan gigi permanen. Pada pasien yang lain dapat disebabkan
kelainan skeletal yang meliputi maksila atau mandibula (Burstone CJ, 1998).
Meskipun penyebabnya sangat beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori yaitu defek perkembangan, trauma, patologi (Burke PH, 1992).
ASIMETRI WAJAH
Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang homolog
pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang
asimetri sering disertai ketidaksimetrisan dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu
diperhatikan dalam merawat suatu maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa
asimetri wajah merupakan fenomena alami dan bukanlah merupakan hal yang abnormal.
Asimetri keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan bagian yang
homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan karena luka atau
penyakit dapat menimbulkan asimetri yang parah, ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak
dapat dirawat dengan perawatan ortodontik (Fischer B, 1954).
Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik tampak
menyenangkan ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada pemeriksaan dengan
posteroanterior sefalogram (Peck S, Peck L, Kataja, M, 1991).
Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan lunak
bagian bawah lebih banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri karena jaringan
lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri pada maksila biasanya merupakan akibat dari
pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat diklasifikasikan sebagai dental, skeletal,
otot dan fungsional (Legan HL, 1998).
ASIMETRI DENTAL
Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan
lengkung gigi yang tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas dan bawah pada
segmen yang sama, ketidakseimbangan antara lengkung gigi rahang atas dan bawah secara
keseluruhan atau sebagian (Fischer B, 1954).
Deviasi garis tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh ortodontis. Hal
ini terdapat pada seluruh tipe kasus tapi yang paling sering adalah pada maloklusi klas II.
Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang posterior karena pergeseran
mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah, pergeseran ke lateral mandibula (tidak
terdapat gigitan silang), asimetri lengkung gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas (Lewis PD,
1976).
2.4.1 Hubungan Kehilangan Gigi Posterior dengan Dimensi Vertical dan TMJ
2.4.2 Disharmoni Dentomaksilofacial
Disharmoni dentomaksiler adalah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi dan rahang
dalam hal ini lengkung gigi. Menurut Anggraini (1975) etiologi disharmoni
dentomaksiler adalah faktor herediter. Tanda-tanda klinis suatu disharmoni dentomaksiler di
regio anterior yang mudah diamati antara lain:
A. Tidak ada diastema fisiologis pada fase geligi sulung yang secara umum dapatdikatakan
bahwa bila pada fase geligi sulung tidak ada diastema fisiologis dapatdiduga bahwa
kemungkinan besar akan terjadi gigi berdesakan bila gigi-gigi permanen telah erupsi.
B. Pada saat insisiv sentral akan erupsi, gigi ini meresorpsi akar insisiv sentral sulungdan
insisiv lateral sulung secara bersamaan sehingga insisiv lateral sulung tanggal prematur
C. Insisiv sentral permanen tumbuh dalam posisi normal oleh karena mendapat tempatyang
cukup. Bila letak insisiv sentral permanen tidak normal berarti penyebabnya bukan
disharmoni dentomaksiler murni tapi penyebab lain.
D. Pada saat insisiv lateral permanen akan erupsi dapt terjadi dua kemungkinan.
Yang pertama insisv lateral permanen meresorpsi akar kaninus sulung sehingga
kaninussulung tanggal prematur dan insisiv lateral permanen tumbuh dalam letak yang
normal karena tempatnya cukup. Selanjutnya kaninus permanen akan tumbuh
diluar lengkung geligi karena tidak mendapat tempat yang cukup. Kemungkinan kedua
adalah insisv leteral permanen tidak meresopsi akar kaninus sulung tetapi tumbuh
di palatal sesuai dengan letak benihnya
Faktor Lokal
1. Persistensi Gigi
Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti gigisulung
yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Bila diduga
terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga mulut,
perludiketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang
tua pasien
2. Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila
terjaditrauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi
gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah terbentuk
makanterjadi dilaserasi. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi
permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma di sekitar mulutuntuk
lebih memperkuat dugaan. Trauma pada salah satu sisi muka pada masa kanak-kanak
dapat menyebakan asimertri muka.
3. Pengaruh Jaringan Lunak
Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap letak gigi.
Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubahletak gigi.
Misalnya pada lidah, karena letak lidah pada posisi istirahat tidak benar atau karena
makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga
insisiv bergerak ke arah labial. Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan
langit-langit kadang-kadang mengandung jaringan parut yang banyak selain tekannya
yang besar oleh karena bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi
tekanan yang lebih besar dengan akibat insisiv tertekankearah palatal
4. Kebiasaan Buruk
Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggidengan
intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi . kebiasaan menghisap jari pada fase
geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi permanen bilakebiasaan tersebut telah
berhenti sebelum gigi permanen tumbuh. Bila kebiasaan initerus berlanjut sampai gigi
permanen erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisiv yang
proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkungatas yang sempit serta
retroklinasi insisv bawah. Kebiasaan menghisap bibir bawahdapat menyebabkan
proklinasi insisiv atas disertai jarak gigit yang bertambah danretroklinasi insisiv bawah
5. Faktor Iatrogenik
Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik.Misalnya,
pada saan menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti lepasan tetapikarena kesalahan
desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga terjadi gerakan gigi
kedistal dan palatal. Pemakaian kekuatan besar untuk menggerakkan gigi dapat
menyebabkan resorpsi akar gigi yang akan digerakkan,resorpsi yang berlebihan pada
tulang alveolar selain kematian pulpa gigi. Kelainan jaringan periodontal dapat juga
disebabkan adanya perawatan ortodontik, misalnya gerakan gigi kearah labial/bukal yang
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.
2.5 Gangguan Pada TMJ
Menurut Gordon kelainan STM dapat dikelompokkan dalam 2 bagian yaitu : gangguan
fungsi akibat adanya kelainan struktural dan dangguan fungsi akibat adanya penyimpangan
dalam aktifitas salah satu komponen fungsi sistem mastikasi (disfungsi). Kelainan STM akibat
kelainan struktural jarang dijumpai dan terbanyak dijumpai adalah disfungsi (Pedersen, 1996).
STM yang diberikan beban berlebihan akan menyebabkan kerusakan pada strukturnya
atau mengganggu hubungan fungsional yang normal antara kondilus, diskus dan eminensia yang
akan menimbulkan rasa sakit, kelainan fungsi tubuh, atau kedua-keduanya. Idealnya, semua
pergerakan STM harus dipenuhi tanpa rasa sakit dan bunyi pada sendi (Pedersen, 1996).
Kelainan struktural
Kelainan struktural adalah kelainan yang disebabkan oleh perubahan struktur
persendiana akibat gangguan pertumbuhan, trauma eksternal, penyakit infeksi atau neoplasma
dan umumnya jarang dijumpai (Pedersen, 1996).
Gangguan pertumbuhan konginetal berkaitan dengan hal-hal yang terjadi sebelum
kelahiran yang menyebabkan kelainan perkembangan yang muncul setelah kelahiran. Umumnya
gangguan tersebut terjadi pada kondilus yang menyebabkan kelainan selain pada bentuk wajah
yang menimbulkan masalah estetika juga masalah fungsional (Pedersen, 1996).
Cacat juga dapat terjadi pada permukaan artikular, yang maana cacat ini dapat
menyebabkan masalah pada saat sendi berputar yang dapat pula melibatkan permukaan diskus.
Cacat dapat disebabkan karena trauma pada rahang bawah, peradangan, dan kelainan struktural.
Perubahan di dalam artikular juga dapat terjadi kerena variasi dari tekanan emosional. Oleh
karena itu, ketika tekanan emosional meningkat, maka tekanan pada artikular berlebihan,
menyebabkan terjadinya perubahan pergerakan (Pedersen, 1996).
Tekanan yang berlebihan pada sendi dapat mengakibatkan penipisan pada diskus.
Tekanan berlebihan yang terus menrus pada akhirnya menyebabkan perforasi dan keausan
sampai terjadi fraktur pada diskus yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada
permukaan artikular (Pedersen, 1996).
Kelainan trauma akibat perubahan pada STM dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan, kondilus ataupun keduanya. Konsekuensi yang mungkin terjadi adlah dislokasi,
hemartrosisi dan fraktur kondilus. Pasien yang mengalami dislokasi tidak dapat menutup mulut
dan terjadi open bite anterior, serta dapat tekanan pada satu atau dua saluran pendengaran
(Pedersen, 1996).
Kelainan struktural akibat trauma STM juga dapat menyebabkan edema atau
hemorage di dalam sendi. Jika trauma belum menyebabkan fraktur mandibula, pada umumnya
pasien mengalami pembengkakan pada daerah STM , sakit bila digerakaan dan pergerakan sendi
berkurang. Kondisi ini kadang kadang dikenal sebagai radang sendi traumatis (Pedersen, 1996).
Kelainan struktural yang dipengaruhi penyakit infeksi akan melibatkan sistem
muskuluskeletal yang banyak terdapat pada STM, penyakit-penyakit tersebut antara lain yaitu
osteoarthritis dan reumatoid arthritis adalah suatu penyakit peradangan sistemik yang melibatkan
sekililing STM (Pedersen, 1996).
Gangguan Fungsional
Gangguan fungsional adalah masalah-masalah STM yang timbul akibat fungsi yang
menyimpang kerena adanya kelainan pada posisi dan fungsi gigi-geligi, atau otot-otot kunyah
(Pedersen, 1996).
Suatu keadaan fisiologis atau yang biasa disebut orthofunction yakni batas toleransi
tiap individu saat melakukan pergeseran mandibula saat melakukan pergeseran mmandibula
tanpa menimbulakan keluhan otot ditandai dengan adanya keserasian antara morfologi oklusi
dan fungsi neuromuskular. Istilah keadaan ini dikenal dengan zona toleransi fisiologik. Apabila
ada rangsangan yang menyimpang dari biasanya akibat oklusi gigi yang menimbulkan kontak
prematur, respon yang timbul berfariasi akibat biologis yang umumnya merupakan respon
adaptif atau periode adaptasi. Disini terjadi perubahan-perubahan adaptif pada jaringan yang
terlibat sebagai upaya menerima rangsangan yang menyimpang tersebut contoh dari perubahan
adaptif adalah ausnya permukaan oklusal gigi, timbulnya perubahan membran periodontal,
resorbsi alveolar setempat. Periode oklusi ini akan jalan terus menerus sampai batas toleransi
fisiologis otoy-otot atau jaringan sekitar telah terlampaui. Berapa lama adatasi ini akan
berlangsung berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, dan dipengaruhi oleh keadaan
patologi. Setelah batas psikologis ini terlampaui respon jaringan mengalami perubahann yang
bersifat lebih patologis. Keluhan dirasakan pada otot-otot pergerakan mandibula, atau dapat pula
pada sendi temporo mandibula (Pedersen, 1996).
Keabnormala pada proses TMJ diantara:
1. Dislokasi misalnya luksasi terjadi bila kapsul dan ligamen temporomandibula mengalami
gangguan sehingga memungkinkan processus condylaris untuk bergerak lebih kedepan dari
eminentia articularis dan ke superior pada saat membuka mulut. Kontriksi otot dan spasme yang
terjadi selanjutnya akan mengunci processus condylaris dalam posisi ini, sehingga
mengakibatkan gerakan menutup. Dislokasi dapat terjadi satu sisi atau dua sisi, dan kadang
terjadi secara sepontan bila mulut dubuka lebar, misalnya pada saat makan atau mengunyah.
Dislokasi dapat juga ditimbulkan oleh trauma saat penahanan mandibula waktu dilakukan
anestesi umum atau akibat pukulan. Dislokasi dapat bersifat kronis dan kambuh, dimana pasien
akan mengalami serangkaian serangan yang menyebabkan kelemahan abnormal kapsul
pendukung dan ligamen(subluksasi kronis) (Pedersen, 1996).
2. Kelainan internal ini jika perlekatan meniscus pada kutub processus condylaris lateral
mengendur atau terputus, atau jika zona bilaminar mengalami kerusakan atau degenerasi akibat
trauma atau penyakit sendi ataupun keduanya, maka stabilitas sendi akan terganggu. Akibatnya
akan terjadi pergeseran discus kearah anteromedial akibat tidak adanya penahanan terhadap
pergerakan musculus pterygoideus laterralis superior. Berkurangnya pergeseran kearah anterior
yang spontan dari discus ini akan menimbulkan ”kliking” yang khas, yang akan terjadi bila jarak
antara insisal meningkat. Sumber ”kliking”sendi ini berhubungan dengan pergeseran prosescus
condylaris melewati pita posterior meniscus yang tebal. Dengan memendeknya pergeseran
anterior dari meniscus, terjadi ”kliking” berikutnya. Pada tahap inilah discus akan bersifat
fibrokartilagenus, yang mendorong terbentuknya konfirgurasi cembung-cembung (Pedersen,
1996).
Closed lock merupakan akibat dari pergeseran discus ke anterior yang terus
bertahan. Bila pita posterior dari discus yang mengalami deformasi tertahan di anterior processus
condylaris, akan terbentuk barier mekanis untuk pergeseran processus condylaris yang normal.
Jarak antar insisial jarang melebihi 25 mm, tidak terjadi translasi, dan fenomena “clicking”
hilang. Closed lock dapat terjadi sebentar-sebentar dengan disela oleh “clicking” dan “locking”,
atau bisa juga bersifat permanen. Pada kondisi parsisten, jarak antar insisal secara bertahap akan
meningkat akibat peregangan dari perlekatan posterior discus, dan bukannya oleh karena
pengurangan pergeseran yang terjadi. Keadaan ini dapat berkembang ke arah perforasi discus
yang disertai dengan osteoarthritis pada processus condylaris dan eminentia articularis
(Pedersen, 1996).
3. Closed lock akut Keadaan closed lock yang akut biasanya diakibatkan oleh trauma yang
menyebabkan processus condylaris terdorong ke posterior dan akibat terjadi cedera pada
perlekatan posterior. Rasa sakit atau tidak enak yang ditimbulkan dapat sangat parah, dan
keadaan ini kadang disebut sebagai discitis. Discitis ini lebih menggambarkan keradangan pada
perlekatan discus daripada keadaan discus yang avaskular/aneural (Pedersen, 1996).
4. Artritis. Keradanga sendi temporomandibula yang disebabkan oleh trauma, atritis tertentu,
dan infeksi disebut sebagai artritis. Trauma, baik akut atau pun kronis, menyebabkan suatu
keadaan progresif yang ditandai dengan pembekaan, rasa sakit yang timbul hilang dan
keterbatasan luas pergerakan sendi yang terlibat (Pedersen, 1996).
5. Spasme otot. Miospasme atau kekejangan otot, yaitu kontraksi tak sadar dari satu atau
kelompok otot yang terjadi secara tiba-tiba, biasanya nyeri dan sering kali dapat menimbulkan
gangguan fungsi. Devisiasi mandibula saat membuka mulut dan berbagai macam
gangguan/keterbatasan pergerakan merupakan tanda obyektif dari miospasme. Bila musculus
maseter dan temporalis mengalami kekejangan satu sisi, maka pergerakan membuka dari
mandibula akan tertahan, dan akan terjadi deviasi mandibula ke arah sisi yang kejang. Pada saat
membuka mulut mengunyah dan menutupkan gerakan akan timbul rasa nyeri ekstraartikular.
Bila musculus pterygoideus lateralis inferior mengalami spasme akan terjadi maloklusi akut,
yang ditunjukkan dengan tidak beroklusinya gigi-gigi posterior pada sisi yang sama dengan
musculus tersebut, dan terjadi kontak prematur gigi-gigi anterior pada sisi yang berlawanan.
Nyeri akibat spasme pterygoideus lateralis kadang terasa pada sendi itu sendiri. Bila terjadi
kekejangan pada musculus masseter, temporalis, dan musculus pterygoideus lateralis inferior
terjadi secara berurutan, baik unilateral ataupun bilateral, maka dapat timbul maloklusi akut
(Pedersen, 1996).
6. Oklusi. Pemeriksan gigi secara menyeluruh dengan memperhatikan khususnya faktor
oklusi, merupakan awal yamg tepat. Gangguan oklusi secara umum bisa langsung diperiksa,
yaitu misalnya gigitan silang, gigitan dalam, gigi supraerupsi dan daerah tak bergigi yang tidak
direstorasi. Abrasi ekstrem dan aus karena pemakain seringakali merupakan tanda khas penderita
bruxism, yang bisa langsung dikenali. Protesa yang digunakan diperiksa stabilitas, fungsi dan
abrasi/aus pada oklusal (Pedersen, 1996).
7. Sters. Walaupu sters dikatakan memiliki peranan etiologis yang penting dalam dialami
penderita atau reaksi penderita dalam menghadapinya. Beberapa penderita akan mengalami
kualitas tidurnya menjadi rendah dengan mulai timbulnya bruxism dengan keadaan sters
(Pedersen, 1996).
2.5.1 Gejala dan Pemeriksaan
A. Gejala
Kelainan-kelainan sakit sendi rahang umumnya terjadi karena aktivitas yang tidak
berimbang dari otot-otot rahang dan/atau spasme otot rahang dan pemakaian berlebihan.
Gejala-gejala bertendensi menjadi kronis dan perawatan ditujukan pada eliminasi faktor-
faktor yang mempercepatnya. Banyak gejala-gejala mungkin terlihat tidak berhubungan
dengan TMJ sendiri. Berikut adalah gejala-gejala yang umum:
1. Sakit Telinga: Kira-kira 50% pasien dengan gangguan sendi rahang merasakan sakit
telinga namun tidak ada tanda-tanda infeksi. Sakit telinganya umumnya digambarkan
sepertinya berada di muka atau bawah telinga. Seringkali, pasien-pasien dirawat
berulangkali untuk penyakit yang dikirakan infeksi telinga, yang seringkali dapat
dibedakan dari TMJ oleh suatu yang berhubungan dengan kehilangan pendengaran
(hearing loss) atau drainase telinga (yang dapat diharapkan jika memang ada infeksi
telinga). Karena sakit telinga terjadi begitu umum, spesialis-spesialis kuping sering
diminta bantuannya untuk membuat diagnosis dari gangguan sendi rahang.
2. Kepenuhan Telinga: Kira-kira 30% pasien dengan gangguan sendi rahang
menggambarkan telinga-telinga yang teredam (muffled), tersumbat (clogged) atau
penuh (full). Mereka dapat merasakan kepenuhan telinga dan sakit sewaktu pesawat
terbang berangkat (takeoffs) dan mendarat (landings). Gejala-gejala ini umumnya
disebabkan oleh kelainan fungsi dari tabung Eustachian (Eustachian tube), struktur
yang bertanggung jawab untuk pengaturan tekanan ditelinga tengah. Diperkirakan
pasien dengan gangguan sendi rahang mempunyai aktivitas hiper (spasme) dari otot-
otot yang bertanggung jawab untuk pengaturan pembukaan dan penutupan tabung
eustachian.
3. Dengung Dalam Telinga (Tinnitus): Untuk penyebab-penyebab yang tidak
diketahui, 33% pasien dengan gangguan sendi rahang mengalami suara bising (noise)
atau dengung (tinnitus). Dari pasien-pasien itu, separuhnya akan hilang tinnitusnya
setelah perawatan TMJnya yang sukses.
4. Bunyi-Bunyi: Bunyi-bunyi kertakan (grinding), klik ( clicking) dan meletus
(popping), secara medis diistilahkan crepitus, adalah umum pada pasien-pasien
dengan gangguan sendi rahang. Bunyi-bunyi ini dapat atau tidak disertai dengan sakit
yang meningkat.
5. Sakit Kepala: Hampir 80% pasien dengan gangguan sendi rahang mengeluh tentang
sakit kepala, dan 40% melaporkan sakit muka. Sakitnya seringkal menjadi lebih
ketika membuka dan menutup rahang. Paparan kepada udara dingin atau udara AC
dapat meningkatkan kontraksi otot dan sakit muka.
6. Pusing: Dari pasien-pasien dengan gangguan sendi rahang, 40% melaporkan pusing
yang samar atau ketidakseimbangan (umumnya bukan suatu spinning type vertigo).
Penyebab dari tipe pusing ini belum diketahui.
7. Penelanan : Kesulitan menelan atau perasaan tidak nyaman ketika menelan
8. Rahang Terkunci : Rahang terasa terkunci atau kaku, sehingga sulit membuka atau
menutup mulut
9. Gigi: Gigi-gigi tidak mengalami perlekatan yang sama karena ada sebagian gigi yang
mengalami kontak prematur dan bisa d sebabkan karena maloklusi atau merasa
gigitan tidak pas
B. Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis
1. Inspeksi
Untuk melihat adanya kelainan sendi temporomandibular perlu diperhatikan
gigi, sendi rahang dan otot pada wajah serta kepala dan wajah. Apakah pasien
menggerakan mulutnya dengan nyaman selama berbicara atau pasien seperti menjaga
gerakan dari rahang bawahnya. Terkadang pasien memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan
yang tidak baik selama interview seperti bruxism.
2. Palpasi :
a. Masticatory muscle examination: Pemeriksaan dengan cara palpasi sisi kanan dan
kiri pada dilakukan pada sendi dan otot pada wajah dan daerah kepala.
b. Temporalis muscle, yang terbagi atas 3 segmen yaitu anterior, media, dan
posterior.
c. Zygomatic arch (arkus zigomatikus).
d. Masseter muscle
e. Digastric muscle
f. Sternocleidomastoid muscle
g. Cervical spine
h. Trapezeus muscle, merupakan Muscular trigger point serta menjalarkan nyeri ke
dasar tengkorang dan bagian temporal
i. Lateral pterygoid muscle
j. Medial pterygoid muscle
k. Coronoid process
l. Muscular Resistance Testing: Tes ini penting dalam membantu mencari lokasi
nyeri dan tes terbagi atas 5, yaitu :
1. Resistive opening (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada ruang
inferior m.pterigoideus lateral)
2. Resistive closing (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada m.
temporalis, m. masseter, dan m. pterigoideus medial)
3. Resistive lateral movement (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada m.
pterigoideus lateral dan medial yang kontralateral)
4. Resistive protrusion (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada m.
pterigoideus lateral)
5. Resistive retrusion (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada bagian
posterior m. temporalis)
3. Pemeriksaan tulang belakang dan cervical : Dornan dkk memperkirakan bahwa
pasien dengan masalah TMJ juga memperlihatkan gejala pada cervikal. Pada
kecelakaan kendaraan bermotor kenyataannya menunjukkan kelainan pada cervikal
maupun TMJ. Evaluasi pada cervikal dilakukan dengan cara :
a. Menyuruh pasien berdiri pada posisi yang relaks, kemudian dokter menilai
apakah terdapat asimetris kedua bahu atau deviasi leher
b. Menyuruh pasien untuk menghadap kesamping untuk melihat postur leher
yang terlalu ke depan
c. Menyuruh pasien untuk memutar (rotasi) kepalanya ke setiap sisi, dimana
pasien seharusnya mampu untuk memutar kepala sekitar 80 derajat ke
setiap sisi.
d. Menyuruh pasien mengangkat kepala ke atas (ekstensi) dan ke bawah
(fleksi), normalnya pergerakan ini sekitar 60 derajat
e. Menyuruh pasien menekuk kepala kesamping kiri dan kanan, normalnya
pergerakan ini 45 derajat
4. Auskultasi : Joint sounds
Bunyi sendi TMJ terdiri dari “clicking” dan ‘krepitus’. “Clicking” adalah
bunyi singkat yang terjadi pada saat membuka atau menutup mulut, bahkan
keduanya. “Krepitus” adalah bersifat difus, yang biasanya berupa suara yang
dirasakan menyeluruh pada saat membuka atau menutup mulut bahkan keduanya.
“Krepitus” menandakan perubahan dari kontur tulang seperti pada osteoartrosis.
“Clicking” dapat terjadi pada awal, pertengahan, dan akhir membuka dan
menutup mulut. Bunyi “click” yang terjadi pada akhir membuka mulut
menandakan adanya suatu pergeseran yang berat. TMJ ‘clicking’ sulit didengar
karena bunyinya halus, maka dapat didengar dengan menggunakan stetoskop.
5. Range of motion:
Pemeriksaan pergerakan ”Range of Motion” dilakukan dengan pembukaan
mulut secara maksimal, pergerakan dari TMJ normalnya lembut tanpa bunyi atau
nyeri. Mandibular range of motion diukur dengan :
a. Maximal interticisal opening (active and passive range of motion)
b. Lateral movement
c. Protrusio movement
Pemeriksaan penunjang
1. Transcranial radiografi : Menggunakan sinar X, untuk dapat menilai kelainan, yang
harus diperhatikan antara lain:
a. Condyle pada TMJ dan bagian pinggir kortex harus diperhatikan
b. Garis kortex dari fossa glenoid dan sendi harus dilihat.
c. Struktur condyle mulus, rata, dan bulat, pinggiran kortex rata.
d. Persendian tidak terlihat karena bersifat radiolusen.
e. Perubahan patologis yang dapat terlihat pada condyle diantaranya flattening,
lipping.
2. Panoramik Radiografi : Menggunakan sinar X, dapat digunakan untuk melihat hampir
seluruh regio maxilomandibular dan TMJ. Kelemahan dari pemeriksaan ini antara
lain :
a. Terdapatnya bayangan atau struktur lain pada foto X ray.
b. Fenomena distorsi, dimana terjadi penyimpangan bentuk yang sebenarnya yang
terjadi akibat goyang saat pengambilan gambar.
c. Gambar yang kurang tajam. Kelainan yang dapat dilihat antara lain fraktur,
dislokasi, osteoatritis, neoplasma, kelainan pertumbuhan pada TMJ.
3. CT Scan : Menggunakan sinar X, merupakan pemeriksaan yang akurat untuk melihat
kelainan tulang pada TMJ.
2.5.2 Penatalaksanaan Gangguan TMJ
Terapi TMJ yang paling konservatif meliputi terapi fisik, obat-obatan dan mekanis.
Metode ini sering digunakan secara bersamaan.
Terapi Fisik.
Pendekatan paling dasar untuk gangguan fungsi/penyakit TMJ adalah secara fisik.
Kompres panas pada otot yang kaku seringkali dapat menghilangkan nyeri otot dan kaku. Pasien
diintruksi untuk membatasi jarak antar insisal pada saat membuka mulut, untuk menghindari
“kliking”. Pemijatan otot yang nyeri dapat membantu meregangkan gejala nyeri kronis
(Pedersen, 1996).
Manipulasi.
Manipulasi dapat dilakukan dalam terapi TMJ untuk mengurangi dislokasi mandibular
dan pergeseran discus ke anterior.
Karena keradangan merupakan bagian dari gangguan fungsi sendi baik intra maupun
ekstra-artikular, maka diindikasikan penggunaan bahan anti radang non-steroid. Aspirin,
ibuprofen, dan Naproxen merupakan obat-obatan yang efektif .
Mekanisme. Penatalaksanaan penyakit fungsi sendi temporomandibula secara mekanis
meliputi penggunaan splint, penyesuaian oklusal, retorasi prostetik (Pedersen, 1996).
Penatalaksanaan pembedahan, beberapa keadaan tertentu hanya dapat ditangani secara
pembedahan. Penatalaksanaan pembedahan dilakukan bila secara konservatif gagal. Kasus yang
ditangani secara pembedahan seperti, ankilosis tulang, eksisi neoplasia, hiperplasia procesus
condylaris, rekonstruksi processus condylaris, dan penanganan beberapa fraktur subcondylaris
secara pembedahan (Pedersen, 1996).
2.2.4 Perawatan pada STM akibat Maloklusi
Diagnosa syndorme stress mandibula tidak sulit ditentukan keberhasilan perawatan
tergantung dari pemeriksaan dari seluruh keadaan klinis dan etiologi. Perawatan yang rasional
harus diarahkan dengan mengurangi aksi otot (Yuwono, 1990).
Agar seorang dokter gigi dapat melakukan perawatan pada kelainan TMJ dengan hasil
yang baik, maka sebaiknya dokter gigi membuat rencana perawatan, yaitu:
1. Pemeriksaan dan diagnosa. Meliputi pemeriksaan awal dan penetuan diagosa.
2. Perawatan aktif. Meliputi perawatan lanjutan yang dilakukan.
3. Perbaikan. Meliputi pelepasan alat dan pembarhentian obat, serta penjelasan tentang prognosa
oleh dokter (Yuwono, 1990).
Perawatan yang dapat dilakukan:
A. Perawatan gejala
Perawatan yang segera dan dan efisisen tidak hanya dapat meredakan penderintannya
teteapi juga membantu mengembalikan rasa percaya diri pasien. Yang harus dilakukan dalam
perawatan gejala adalah (Yuwono, 1990):
1. Menenangkan pasien. Merupakan cara yang harus dan selalu digunakan, karena pasien
menganggap ini keadaan yang berbahaya, jadi tugas seorang dokter adalah menjelaskan tentang
kelainan ini agara pasien merasa tenang. Dan katakan setidaknya diperlukan beberapa kali
kunjungan untuk hasil yang lebih baik.
2. Mengistirahatkan rahang. Pada kunjungan biasanya hanya digunakan untuk diagnosa dan
menenangkan pasien. Tapi dokter juga harus memberi nasihat agar pasien mengistirahatkan
rahangnya dari kerja-kerja yang dapat memperparah keadaan seperti, mengunyah makanan yang
terlalu keras, menguap dan bereteriak.
3. Pemberian obat-obatan. Pemberian analgetik seperti aspirin dan parasetamol untuk
mengurangi rasa sakit umum digunakan. Selain itu pemberian penenang seperti diazepam juga
lebih baik digunakan apada malam hari menjelang tidur, untuk menghindari kebiasaan bruxism
pada malam hari dan menghindari kekakuan otot dipagi hari. Bila terdapat perubahan degenerasi
sendi analgetik yang lebih kuat dapat digunakan seperti antiartritik contohnya adalah
indomethacin.
4. Latihan. Tujuan darai perawatan dengan latihan adalah untuk merangsang fungsi mandibula.
Sebagai contoh dapat dilakuakan kegiatan seperti dibawah ini.
a. Pasien diminta mengistirahatkan otot.
b. Pada posisi rahang yang intirahat pasien diminta untuk membuka mulut. Buatlah garis vertikal
dari filtrum sampai ke mentalis. Lalu secara perlahan suruh pasien membuka mulut sambil
memiringkan mandibula kearah samping. Hati-hati jangan sampai memajukan mandibula.
Instruksikan pasien untuk mengulang gerakan ini 10 menit setiap hari dengan kondisi relaks dan
tenang, serta hindarai keadaan stess atau frustasi.
5. Terapi panas. Ini dapat mengurangi rasa sakit dari kekakuan otot. Metode yang paling sering
digunakan adalah diatermi gelombang pendek terapi ultrasonik juga memberi efek yang sama.
Atau dengan pemberian krim metil salisilat di daerah master dan temporal.6. Bite plane. Tujuan
dari penggunaan bite plane adalah untuk menghilangkan beban kerja pada sendi serta membantu
hubungan meniskus- condyle yang normal. Indikasi penggunaan bite plane adalah perawatan
kliking, pencegahan bruxism, dan menghilangkan rasa sakit (Yuwono, 1990).
B. Perawatan dari Faktor Penyebab
Aktivitas neuromuskular yang menimbulkan beban yang besar dan berulang-ulang dari
sendi, disebabkan terutama oleh tekanan emosi dan ketgangan. Usaha menghilangkan faktor-
faktor terrsebut merupakan tujuan utama dalam perawatan faktor penyebab (Yuwono, 1990).
C. Hipnoterapi
Hipnoterapi merupakan salah satu tekhnik yang dapat digunakan untuk membawa pasien ke
kondisi relaks dan dalam alam bawah sadar pasien dibawa untuk mengetahui masalahnya serta
penyelesaianya guna menghilangkkan faktor penyebab (Yuwono, 1990).
D. Perawatan Faktor Pendorong
Penyebab syndrom stress mandibula, adalah beban besar pada neuromuskular yang
merangasang terjadinya tekanna, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor pendorong seperti
oklusi, karies dan kelainan patologis lainnya, protesa serta faktor pendorong yang lain seperti
pekerjaan (Yuwono, 1990).
E. Perawatan Efek Patologis
Pada keadaan rasa sakit yang sulit diketahui asalnya, suntikan tunggal intra-artikular dari
kortikstreoid pada sendi temporomandibula dapat memberi penyembuhan. Perawatan paling
berhasil pada pasien diatas 30 tahun (Yuwono, 1990).
F. Operasi Sendi Temporo Mandibula
Operasi pada syndrom stress mandibula hanya dilakukan bial pasien gagal memberi
respond terhadap terapi konservatif. Cara ini tidak dapat menghilangkan penyebab tetapi dapat
menghilangkan serta memperbaiki manifestasi patologisnya. Ada berbagai jenis operasi sendi
temporo mandibula, yaitu, menisektomi, condylotomi, dan high condylotomi.
Tujannya adalah untuk meremodeling permukaan artikular condyle dan memperbaiki
meniskus atau ligamen yang rusak (Yuwono, 1990).
- Perawatan dislokasi
Prinsip reposisi sendi rahang adalah mengembalikan prosesus kondilus ke dalam fosa
glenoidalis. Tekhnik reposisi sendi rahang tersebut, dapat dilakukan dengan ibu jari kedua
tangan dibungkus dengan kassa, kemudian diletakkan di atas permukaan oklusal molar bawah
atau pada kista bukinator kedua sisi rahang, sedangkan jari-jari lain memegang dagu, rahang
ditekan ke bawah agar kondilus dapat meluncur melalui eminensia, kemudian dagu diangkat ke
atas dan di dorong ke belakang. Mulut akan menutup mendadak dan kondilus kembali ke fossa
glenoid (Wardani, 2000).
Bila reposisi yang dilakukan tidak berhasil, maka dapat dilakukan tekhnik reposisi lain,
contohnya adalah tekhnik reposisi Jhonson. Tekhnik ini hanya perlu menginjeksikan larutan
anstesi ke dalam satu ruang persendiain walaupun dislokasi terjadi bilateral. Injeksi bahan
anastesi lokal ke dalam ruang persendian merupakan metode yang paling aman dan paling
sedikit komplikasinya untuk mereduksi dislokasi kepala kondilus. Jika pasien diketahui alergi
terhadap anastesi lokal, barbiturat intravena diinjeksikan secara perlahan dan dalam jumlah yang
kecil akan merelaksasikan otot pengunyahan dan memberikan reduksi yang atraumatik
(Wardani, 2000).
G. Perawatan Ankilosis
Salah satu perawatan terhadap ankilosis sendi temporo mandibula yaitu dengan teknik
gap arthroplasty. Tujuan perawatan ankilosis sendi temporo mandibula yaitu tidak hanya untuk
merekonstruksi sendi, tetapi untuk mengembalikan fungsi sendi temporomandibula dan
mencegah kambuhnya ankilosis setelah pembedahan dilakukan, akan tetapi perawatan ankilosis
pada anak–anak dilakukan untuk menyelamatkan pertumbuhan mandibula yang mendekati
normal (Triesti, 2010).
Clicking
2.3.1 Definisi Clicking
Clicking” adalah bunyi singkat yang terjadi pada saat membuka atau menutup mulut,
bahkan keduanya.Clicking” dapat terjadi pada awal, pertengahan, dan akhir membuka dan
menutup mulut. Bunyi “click” yang terjadi pada akhir membuka mulut menandakan adanya
suatu pergeseran yang berat. TMJ ‘clicking’ sulit didengar karena bunyinya halus, maka dapat
didengar dengan menggunakan stetoskop dan dirasakan dengan palpasi pada daerah sendi
temporamandibula selama pergerakan rahang. Umumnya bunyi tersebut hanya dapat didengar
oleh penderita, namun pada beberapa kasus bunyi tersebut menjadi cukup keras dan dapat
didengar oleh orang lain. Bunyi tersebut dideskripsikan penderita sebagai suara yang berbunyi
‘klik’. Di antara fossa dan kondil terdapat diskus yang berfungsi sebagai penyerap tekanan dan
mencegah tulang saling bergesekan ketika rahang bergerak. Bila diskus ini mengalami dislokasi,
dapat menyebabkan timbulnya bunyi saat rahang bergerak. Penyebab dislokasi bisa trauma,
kontak oklusi gigi posterior yang tidak baik atau tidak ada, dan bias saja karena gangguan
tumbuh kembang rahang dan tulang fasial. Kondisi seperti ini dapat juga menyebabkan sakit
kepala, nyeri wajah dan telinga. Jika dibiarkan tidak dirawat, dapat menyebabkan rahang
terkunci. Pada beberapa orang, terdapat perbedaan posisi salah satu atau kedua sendi
temporomandibula ketika beroklusi.(marpaun,dkk , 2003).
2.3.2 Faktor Penyebab Clicking pada Sendi Temporomandibula
1. Adanya benturan atau trauma pada sendi temporomandibula tersebut.
Misalnya karena kecelakaan atau terbentur benda keras karena tidak disengaja,(rahang
pernah patah atau tulang muka pernah patah).
2. Orang yang mengunyah satu sisi.
Biasanya disebabkan dari berbagai hal misalnya ada gigi yang hilang dan tidak diganti
satu sisi sehingga gigi tersebut tidak enak dipakai untuk mengunyah. Tekanan pada satu sisi
sendi temporomandibula yang terus menerus dipakai mengunyah jadi terlalu berat dan akan
mengakibatkan adanya keausan tulang yang cepat.
3. Adanya arthritis atau penyakit radang sendi
Radang sendi ini menyebabkan gangguan pada system sendi temporomandibula,
sehingga pergerakannya menjadi terbatas.
4. Kelelahan otot sekitar sendi
Penyebab karena terlalu sering digunakan biasanya pada orang yang
• Mengeretakan gigi (teeth grinding)
• Mengepalkan gigi (bruxism)
Terjadi pada waktu tidur,karena pengaruh psikologis seperti stress ataupun mimpi buruk.
Dan akan meningkatkan keausan pada lapisan tulang rawan dari sendi rahang (Marpaung dkk.,
2003).
2.3.3 Mekanisme Clicking
Mekanisme kliking terjadi jika pada gerakan diskus tidak sinkron dengan gerakan kondil.
Perpindahan diskus timbul dari beberapa keadaan salah satunya adalah trauma terhadap sendi
sehingga ligament - ligament yang bekerja berlawanan dengan otot pterigoideus
lateralmengalami ketegangan atau robek. Pada posisis ini, kontraksi otot menggerakan diskus
maju ketika kondil bergerak maju sewaktu membuka mulut tetapi ligament tidak dapat
mempertahankan diskus, di posisinya yang tepat saat rahang ditutup, sehingga terjadi kliking
saat membuka dan menutup mulut.
Terdapat gejala klinis yang dapat dikenali pada kliking, yaitu antara lain sebagau berikut:
- Nyeri pada sekitar telinga
- Lock jaw: Kesulitan membuka rahang, tetapi Posisi Diskus artikularisnya berbeda dengan
kliking
- Close lock: Proc condilaris mengarah ke posterior padahal diskus ke anterior, jadi menghambat
gerak kondil.
- Sakit pada rahang
- Kesulitan mengunyah
- Sakit kepala
- Sulit menggerakan rahang
- Nyeri pada otot pengunyahan
- Rasa pada rahang terkunci pada saat menguap
- Gigitan yang tidak pas (Marpaung dkk., 2003).
2.4 Kehilangan Gigi
2.4.1 Etiologi Kehilangan Gigi
Hingga kini, karies dan penyakit periodontal masih menjadi penyebab terbanyak
tanggalnya gigi. Hal ini masih dialami oleh sekitar 90 persen masyarakat Indonesia.
Kedua penyakit itu disebabkan oleh kebersihan mulut yang buruk sehingga
mengakibatkan akumulasi plak yang mengandung berbagai macam bakteri. Selain itu,
kehilangan gigi juga dapat disebabkan oleh adanya abses, tumor ataupun fraktur, namun
hal ini tidak umum terjadi.
2.4.2 Dampak Kehilangan Gigi
A. Secara Umum
Kehilangan gigi sebagian maupun seluruhnya dapat menimbulkan dampak, seperti
dampak fungsional, sistemik dan emosional.
1. Fungsional
Kesehatan mulut yang rendah berdampak pada kehilangan gigi yang dapat menyebabkan
masalah pada pengunyahan dan pola makan sehingga mengganggu status nutrisi. Individu yang
kehilangan gigi sebagian atau seluruhnya hanya dapat memakan makanan yang lembut sehingga
nutrisi bagi tubuh menjadi terbatas. Populasi yang mengalami kehilangan gigi terutama
kehilangan seluruh gigi akan mengubah pola konsumsinya, sehingga makanan yang keras dan
kesat seperti buah-buahan, sayur – sayuran dan daging yang merupakan sumber vitamin, mineral
dan protein menjadi sesuatu hal yang sulit bahkan tidak mungkin untuk dikunyah. Hasil
penelitian Osterberg dkk (1996) menemukan bahwa kemampuan mengunyah pada pasien yang
kehilangan seluruh gigi hanya 1/6 dari pasien yang memiliki gigi asli. Kekuatan gigit pada
pemakai GTP hanya sekitar 20% jika dibandingkan dengan subjek yang masih bergigi. Hal ini
dapat menjelaskan mengapa orang yang kehilangan gigi – geliginya mengeluhkan kesukaran
dalam mengunyah makanan yang keras
2. Sistemik
Dampak sistemik yang timbul akibat kehilangan gigi berupa penyakit sistemik seperti
defisiensi nutrisi, osteoporosis dan penyakit kardiovaskular (artherosclerosis). Penyebabnya
adalah status gigi yang buruk dan perubahan pola konsumsi. Kurangnya konsumsi kalsium dan
vitamin D yang berasal dari buah – buahan dan sayur – sayuran akibat kehilangan gigi dapat
meningkatkan resiko terjadinya osteoporosis. Selain itu, penyakit kardiovaskular dapat
disebabkan bersatunya agen infeksius dalam bentuk atheroma dan faktor predisposisi genetik
terhadap penyakit periodontal dan penyakit kardiovaskular. Penyebaran bakteri dari penyakit
periodontal akan masuk ke sirkulasi pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan resiko
sistemik.
3. Emosional
Dampak emosional adalah perasaan atau reaksi yang ditunjukkan pasien sehubungan
dengan status kehilangan seluruh gigi yang dialaminya. Kehilangan gigi dapat merubah bentuk
wajah, tinggi muka dan vertikal dimensi serta rahang yang prognasi sehingga menimbulkan
reaksi seperti merasa sedih dan depresi, kehilangan kepercayaan diri, merasa tua, perubahan
tingkah laku, merasa tidak siap untuk menerima kehilangan gigi dan tidak ingin orang lain
melihat penampilannya saat tidak memakai gigitiruan serta mengubah tingkah laku dalam
bersosialisasi. Fiske dkk (1998) menyatakan bahwa hilangnya gigi dan pemakaian gigitiruan
berdampak pada psikososial seseorang. Penelitian oleh Davis dkk (2000) menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh emosional yang signifikan sebagai konsekuensi kehilangan gigi, 45% dari
pasien kehilangan seluruh gigi di London sulit untuk menerima kehilangan gigi (Haryanto dkk.,
1995).
B. Secara Khusus
1. Migrasi dan Rotasi
Hilangnya kesinambungan pada gigi dapat menyebabkan pergeseran,miring atau
berputarnya gigi. Karena gigi tidak lagi menempati posisi yang normal, pada saat pengunyahan
maka akan mengakibatkan kerusakan struktur periodaonatl. Gigi yang miring lebih sulit
dibersihkan, sehingga aktifitas karies meningkat.
2. Erupsi berlebihan
Bila gigi sudah tidak mempunyai gigi antagonisnya lagi, maka akan terjadi erupsi
berlebihan. Erupsi berlebih dapat terjadi tanpa atau disertai pertumbuhan tulang alveolar, maka
struktur periodontal akan mengalami kemunduran, sehingga gigi mulai ekstruksi
3. Penurunan Efisiensi Kunyah
Mereka yang sudah kehilangan gigi cukup banyak, apalagi gigi belakang akan merasakan
betapa efisiensi kunyahnya menurun
4. Gangguan pada sendi temporomandibular
Kebiasaan mengunyah yang buruk, penutupan berlebih atau over clessure, hubungan
rahang yang eksentrik akibat kehilangan gigi, dapat menyebabkan gangguan pada TMJ
5. Beban berlebih pada jaringan pendukung
Bila penderita yang sudah kehilangan sebagian gigi aslinya, maka gigi yang masih ada
akan menerima tekanan mastikasi lebih besar sehingga terjadi pembebanan berlebih (over
loading). Hal ini akan mengakibatkan kerusakan membrane periodontal dan lama kelamaan gigi
yang tidak akan menjadi goyang dan akhirnya terpaksa dicabut
6. Kelaianan Bicara
Kehilangan gigi depan atas dan bawah sering kali menyebabkan kelainan bicara. Karena
giginya (khususnya gigi depan) termasuk bagian organ fonetik (penghasil suara)
7. Memburuknya penampilan
Gigi yang hilang mengurangi daya tarik wajh seseorang
8. Terganggunya kebersihan mulut
Migrasi dan rotasi gigi menyebabkan gigi kehilangan kontak dengan gigi tetangganya,
demikian pula gigi yang kehilangan lawan giginya. Adanya ruang interproksimal ini,
mengakibatkan celah antar gigi mudah disisipi sisa makanan. Dengan sendirinya kebersihan
mulut terganggu dan mudah terjadi plak. Pada tahap berikut terjadinya karies dapat meningkat.
9. Efek terhdap jaringan lunak mulut
Bila ada gigi yang hilang, ruang yang di tinggalkanya akan ditempati jaringan lunak pipi
dan lidah. Jika berlangsung lama, hal ini akan menyebabkan kesukaran adaptasi terhadap geligi
tiruan yang kemudian dibuat, karena terdesaknya kembali jaringan lunak tadi tempat yang di
tempati protesi. Dalam hal ini, pemakaian gigi tiruan akan dirasakan sebagai suatu benda asing
yang cukup mengganggu (Haryanto dkk., 1995).
2.5 Fungsi Gigi dalam Sistem Stomatognathi
Sistem stomatoghnathi adalah suatu unit fungsional tertutup yang meliputi gigi &
jaringan pendukungnya, rahang, sendi temporomadibular, lidah, otot-otot, pembuluh darah,
syaraf, serta struktur lain dimana diantara semua struktur tersebut saling mempengaruhi.
Karakteristik sistem stomatognatik tersusun dari sejumlah matriks fungsional yang saling
bergantung satu sama lainnya. Organ-organ yang termasuk dalam sistem stomatognatik:
- Gigi
- Jaringan Perodontal
- Lidah
- Tulang Rahang
- Otot-otot Pengunyahan
- Sendi Temporomandibular
- Syaraf
Fungsi gigi incisivus adalah untuk memotong makanan, caninus untuk mengoyak
makanan, premolar untuk menghaluskan dan memotong makanan, dan molar untuk mengunyah
atau menghaluskan makanan (Haryanto dkk., 1995).