isolasi sosial.docx
TRANSCRIPT
B A B I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang
efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosi. Upaya kesehatan jiwa dapat
dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
pekerjaan, lingkungan masyarakat yang didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa
dan sarana lain seperti keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan tersebut selain
menunjang upaya kesehatan jiwa juga merupakan stressor yang dapat mempengaruhi
kondisi jiwa seseorang, pada tingkat tertentu dapat menyebabkan seseorang jatuh
dalam kondisi gangguan jiwa (Videbeck, 2008).
Gangguan jiwa mengalami peningkatan di era globalisasi ini. Kecenderungan ini
tampak dari banyaknya pasien yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di rumah
sakit jiwa. Di Rumah Sakit Grhasia dan Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, klien
gangguan jiwa terus bertambah. Pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 7.000 orang,
sedang pada tahun 2004 naik menjadi 10.610 orang. Demikian juga di propinsi
Sumatera Selatan, gangguan jiwa yang ditangani di Rumah Sakit Jiwa mengalami
peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah klien yang dirawat sebanyak 4.101, dan pada
tahun 2004 meningkat menjadi 4.384 orang (Yosef, 2007).
Meningkatnya pasien dengan gangguan jiwa ini disebabkan banyak hal. Kondisi
lingkungan sosial yang semakin keras diperkirakan menjadi salah satu penyebab
meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan. Apalagi untuk
individu yang rentan terhadap kondisi lingkungan dengan tingkat kemiskinan terlalu
menekan (Maramis, 2005).
Salah satu gangguan jiwa yang paling banyak diderita adalah gangguan dengan
isolasi sosial. Gangguan isolasi sosial adalah gangguan hubungan interpersonal yang
terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan. Isolasi sosial
merupakan salah satu gejala psikosis yang dialami penderita gangguan jiwa
skizofrenia. Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak yang
dapat menyebabkan timbulnya perubahan kepribadian seperti menarik diri, tidak dapat
membina hubungan sosial secara mendalam bahkan dapat menyebabkan terjadinya
narkisisme yaitu harga diri yang rapuh (Copel, 2007).
Gangguan isolasi sosial yang tidak mendapat perawatan lebih lanjut dapat
menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain,
sehingga klien menjadi regresi, mengalami penurunan dalam aktivitas, dan kurangnya
perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri bahkan bisa berlanjut menjadi
halusinasi yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart,
2007).
Penatalaksanaan keperawatan klien dengan isolasi sosial selain dengan
pengobatan psikofarmaka juga dengan pemberian terapi modalitas yang salah satunya
adalah Terapi Aktifitas Kelompok (TAK). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah
satu terapi modalitas yang dilakukan perawat pada sekelompok klien yang mempunyai
masalah keperawatan yang sama. Aktifitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok
digunakan sebagai target asuhan (Fortinash & Worret, 2004).
Terapi Aktivitas Kelompok sangat efektif mengubah perilaku karena di dalam
kelompok terjadi interaksi satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Dalam
kelompok akan terbentuk satu sistem sosial yang saling berinteraksi dan menjadi
tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang
maladaptif (Christopher, 2007).
TAK dibagi sesuai dengan masalah keperawatan klien, salah satunya adalah
TAK Sosialisasi. TAK Sosialisasi adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi
sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Dengan TAK sosialisasi maka klien
dapat meningkatkan hubungan sosial secara bertahap dari interpersonal (satu dan
satu), kelompok dan masyarakat (Keliat, Panjaitan, Helena, 2006).
Beberapa penelitian mengenai pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok terhadap
klien dengan masalah keperawatan isolasi sosial seperti penelitian yang dilakukan oleh
Andaryaniwati (2003) di rumah sakit jiwa Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang,
menunjukkan persentasi pelaksanaan yang memuaskan yaitu mencapai tingkat
keberhasilan 90% dimana mampu meningkatkan kemampuan pasien untuk
berinteraksi sosial. Andaryaniwati (2003) menunjukkan adanya pengaruh yang
bermakna dari pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. Keberhasilan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah peran perawat di rumah sakit
tersebut yang turut membantu pelaksanaan TAK Sosialisasi yang senantiasa
dikembangkan di dalam kegiatan sehari-hari melalui proses keperawatan.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa perawat ruangan di Rumah Sakit
Khusus Daerah Dadi Prov. Sul-Sel dan berpedoman pada prosedur tetap TAK yang
ada di ruang perawatan, pada dasarnya pelaksanaan TAK telah diterapkan sejak tahun
2004 dan memberi dampak pada kemampuan klien dalam bersosialisasi. Tapi tindakan
ini tidak berkesinambungan karena berbagai alasan, salah satunya adalah rasio antara
perawat dan pasien yang belum mencukupi.
Studi pendahuluan yang dilakukan di RS. Khusus Daerah Dadi Makassar pada
tanggal 15 agustus 2009, salah satu masalah keperawatan yang paling banyak
ditemukan adalah isolasi sosial. Pada tahun 2007 terdapat 20% pasien dengan isolasi
sosial dengan jumlah pasien 1824 orang dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 25%
dengan jumlah pasien meningkat menjadi 2105 orang (RS. Khusus Daerah Dadi Prov.
Sul-Sel, 2009).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap
kemampuan pasien berinteraksi sosial guna membantu klien dalam menangani
masalah kesehatan yang dihadapi melalui penerapan asuhan keperawatan dalam
bentuk Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapatlah dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah :
“ Apakah ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan
pasien berinteraksi sosial ? “
C. Tujuan.
1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap kemampuan
pasien berinteraksi sosial.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi kemampuan klien berinteraksi sosial sebelum dilakukan Terapi
Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi.
b. Mengidentifikasi kemampuan klien berinteraksi sosial setelah diberikan dilakukan
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi.
c. Menganalisis pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi terhadap
kemampuan pasien berinteraksi sosial.
D. Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan :
1. Sebagai bahan informasi bagi keperawatan, khususnya keperawatan jiwa, terutama
dalam mengaplikasikan Terapi Ativitas Kelompok Sosialisasi pada pasien dengan
gangguan isolasi sosial.
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan bacaan keperawatan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya keperawatan jiwa.
3. Dapat digunakan untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut dalam lingkup yang
sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Isolasi Sosial.
1. Pengertian.
Menurut Carpenito (2007) bahwa isolasi sosial adalah keadaan ketika individu
atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk
meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu membuat kontak. Hal
yang sama juga dinyatakan oleh Doenges, Townsend dan Moorhouse (2007) isolasi
sosial adalah kondisi ketika individu atau kelompok mengalami, atau merasakan
kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama orang lain, tetapi
tidak mampu mewujudkannya.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka isolasi sosial adalah keadaan ketika
individu atau kelompok mengalami ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan
dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya secara wajar, sehingga menimbulkan
kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri secara fisik maupun psikis.
2. Rentang respon Isolasi sosial
Isolasi sosial merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiologi. Respon maladaptif adalah respon individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan (Stuart, 2007).
1. Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultural dimana
individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal. Adapun respon adaptif
tersebut:
a. Solitude
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan merupakan suatu cara untuk mengawasi diri dan menentukan langkah
berikutnya.
b. Otonomi
Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide- ide pikiran.
c. Kebersamaan
Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk
memberi dan menerima.
d. Saling ketergantungan
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan
interpersonal.
2. Respon Maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat.
Karakteristik dari perilaku maladaptif tersebut adalah:
a. Menarik diri
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan
dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.
b. Manipulasi
Menganggap orang lain sebagai obyek dan berorientasi pada diri sendiri.
c. Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
d. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman,
mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak.
e. Narkisisme
Harga diri yang rapuh, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika orang lain
tidak mendukung.
3. Penyebab
Berbagai faktor bisa menimbulkan respon sosial yang maladaptif yang disebabkan
oleh kombinasi dari berbagai faktor (Suliswati, Payapo, Maruhawa et.al, 2005) sebagai
berikut:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Dalam pencapaian tugas perkembangan dapat mempengaruhi respon sosial maladaptif
pada setiap individu (Copel, 2007).
2) Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif, keterlibatan
neurotransmitter dalam perkembangan gangguan ini (Corwin, 2001).
3) Faktor sosiokultural
Norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai
anggota masyarakat yang kurang produktif, seperti lanjut usia, orang cacat, dan
penderita penyakit kronis dapat menyebabkan terjadinya isolasi sosial (Stuart & lararia,
2001).
4) Faktor dalam keluarga
Komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan
berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang negatif akan
mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.
b. Faktor presipitasi
1) Stres sosiokultural
Stres dapat ditimbulkan oleh karena menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah
dari orang yang berarti, misalnya karena dirawat di rumah sakit (Tambayong, 2000).
2) Stressor psikologis
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya (Dalami, Suliswati, Rochimah et.al, 2009).
4. Tanda dan gejala
Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial akan ditemukan data
obyektif yaitu kurang spontan terhadap masalah yang ada, apatis (acuh terhadap
lingkungan), ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi bersedih), efek tumpul,
menghindar dari orang lain, tidak ada kontak mata atau kontak mata kurang, klien lebih
sering menunduk, berdiam diri dalam kamar, bahkan tidak mampu merawat dan
memperhatikan kebersihan diri (Dalami, Suliswati, Rochimah et.al, 2009).
Selain itu beberapa tanda dan gejala lain yaitu komunikasi verbal menurun
bahkan sama sekali tidak ada, klien tidak bercakap-cakap dengan klien lain atau
perawat (mengisolasi diri sendiri/menyendiri), menolak hubungan dengan orang lain
dengan memutuskan percakapan atau pergi bila diajak bercakap-cakap, pasien tampak
memisahkan diri dari orang lain misalnya, pada saat makan, terjadi gangguan pada
pemasukan makanan dan minuman sehingga terjadi retensi urine dan feces, Pasien
mengalami gangguan aktifitas atau aktifitas menurun dan pasien tampak kurang
energik sehingga pasien mengalami gangguan harga diri (Dalami, Suliswati, Rochimah
et.al, 2009).
5. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Pasien dengan Isolasi Sosial
Menurut Damaiyanti (2005), membagi menjadi 5 bagian:
1. Strategi pelaksanaan komunikasi pasien dengan isolasi sosial pertama.
Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal keuntungan
berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, pasien
berkenalan.
2. Strategi pelaksanaan komunikasi pasien dengan isolasi sosial kedua.
Mengajarkan Pasien berinteraksi secara bertahap ( berkenalan dengan orang
pertama – seorang perawat ).
3. Strategi pelaksanaan komunikasi pasien dengan isolasi sosial ketiga. Melatih
Pasien berinteraksi secara bertahap ( berkenalan dengan orang kedua – seorang
pasien ).
4. Strategi pelaksanaan komunikasi keluarga pasien dengan isolasi sosial
keempat.
Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah isolasi sosial,
penyebab isolasi sosial dan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
5. Strategi pelaksanaan komunikasi keluarga pasien dengan isolasi kelima.
Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan masalah isolasi
sosial langsung dihadapan pasien.
B. Tinjauan Umum Terapi Aktivitas Kelompok
1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat
kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama (Keliat &
Akemat, 2005).
2. Tujuan dan Fungsi Kelompok
a. Tujuan kelompok
Mencegah masalah kesehatan, mendidik dan mengembangkan potensi anggota
kelompok, meningkatkan kualitas kelompok, antara anggota kelompok saling
membantu dalam menyelesaikan masalah.
b. Fungsi kelompok
Sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk
menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok merupakan laboratorium tempat
mencoba dan menemukan hubungan interpersonal dengan baik, serta
mengembangkan perilaku yang adaptif (Yosef, 2007).
3. Komponen kelompok
Menurut Stuart & Laraia tahun 2001, kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai
berikut:
a. Struktur kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan
dan hubungan otoritas dalam kelompok.Struktur kelompok menjaga stabilitas dan
membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi.
Struktur dari kelompok diatur dengan adanya pimpinan dan anggota, arah
komunikasi dipandu oleh pimpinan, sedangkan keputusan diambil secara
bersama.
b. Besar Kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang berkisar antara 5
– 12 orang.
c. Lamanya Sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20 – 40 menit, bagi fungsi kelompok yang rendah
dan 60 – 120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. (Stuart & Laraia, 2001). Dimulai
dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan finishing berupa
terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali / dua kali
per minggu, atau dapat direncanakan sesuai kebutuhan.
d. Komunikasi
Salah satu tugas pimpinan kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan
menganalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan
balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok, terhadap dinamika yang
terjadi serta mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat
kompetitif, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti dan melaksanakan
kegiatan.
e. Peran Kelompok
Pemimpin mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga peran dan
fungsi kelompok dalam kerja kelompok, yakni peran serta dalam proses kelompok dan
fungsi kelompok, fokus pada penyelesaian tugas serta distraksi pada kelompok.
f. Kekuatan Kelompok
Kemampuan anggota dalam mempengaruhi berjalannya kegiatan kelompok, diperlukan
kajian siapa yang paling banyak mendengar, siapa yang membuat keputusan dalam
kelompok.
g. Norma Kelompok
Norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan
interaksi dalam kelompok.
h. Kekohesifan
Kekohesifan dapat diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian dan
mengungkapkan kekaguman satu sama lain.
4. Perkembangan Kelompok
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan
berkembang. Pemimpin akan mengembangkan kelompok melalui empat fase yakni
yaitu pra-kelompok, awal kelompok, kerja kelompok, dan terminasi kelompok (Keliat,
2003).
a. Fase pra-kelompok
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan dari
kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pimpinan dan
pelaksanaan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan itu.
Karena itu perlu dibuat proposal atau panduan pelaksanaan kegiatan kelompok
yang mencakup: tujuan umum dan khusus, pemimpin kelompok, kerangka teoritis yang
akan digunakan untuk mencapai tujuan, daftar kriteria anggota kelompok, uraian proses
seleksi anggota kelompok, struktur kelompok, tempat, waktu sesi, jumlah anggota,
jumlah sesi, perilaku anggota yang diharapkan , perilaku pemimpin yang diharapkan,
proses evaluasi, alat serta dana yang dibutuhkan.
b. Fase awal kelompok
1) Tahap orientasi
Tahap ini pemimpin lebih aktif memberikan pengarahan, mengorientasilkan
anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan,
kerahasiaan, waktu pertemuan, struktur, kejujuran dan aturan komunikasi.
2) Tahap konflik
Tahap ini kadang sebagian ingin pemimpin memutuskan dan ada anggota yang ingin
berperan sebagai pemimpin. Kadangkala dalam tahap ini sering terjadi permusuhan.
3) Tahap kohesif
Setelah tahap konflik, anggota merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Mereka
merasa lebih bebas membuka diri dan belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan.
c. Fase kerja kelompok.
Pada fase ini kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil dan realistis. Pada
fase ini akan tampak kekuatan terapeutik seperti : memberi informasi, instalasi
harapan, kesamaan, altruisme, koreksi pengalaman, pengembangan teknik
interaksi sosial, faktor eksistensi, katarsis dan kekohesifan diri bertambah, serta
percaya diri secara kemandirian.
d. Fase terminasi
Terminasi dapat sementara (temporal) atau akhir. Terminasi dapat juga anggota
kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok. Pada akhir sesi, perlu dicatat
atau didokumentasikan proses yang terjadi berupa notulen.
5. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok.
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompok
stimulasi realitas, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi.
C. Tinjauan tentang Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS)
1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) adalah suatu bentuk terapi yang meliputi
sekelompok orang yang memfokuskan pada kesadaran diri dan mengenal diri sendiri
dalam memperbaiki hubungan interpersonal dan merubah tingkah laku (Keliat &
Akemat, 2005).
2. Tujuan Umum
Tujuan umum pada TAKS adalah klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam
kelompok secara bertahap.
3. Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada TAKS adalah :
a. Klien mampu memperkenalkan diri
b. Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok
c. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
d. Klien mampu membicarakan topik pembicaraan tertentu dengan orang lain
e. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain
f. Klien mampu bekerjasama dalam permainan sosialisasi kelompok
g. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah
dilakukan.
4. Aktivitas dan indikasi
Aktivitas TAKS yang dilakukan tujuh sesi yang melatih kemampuan sosialisasi klien.
Klien yang mempunyai indikasi TAKS adalah klien dengan gangguan hubungan sosial
yaitu klien menarik diri yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal dan yang
mengalami kerusakan komunikasi verbal yang telah berespon sesuai dengan stimulus.
5. Tujuan TAK Sosialisasi
Sesi 1: TAKS
Tujuan:
Klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama
panggilan, asal dan hobi.
Sesi 2: TAKS
Tujuan:
Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok:
a. Memperkenalkan diri sendiri: nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi
b. Menanyakan diri anggota kelompok lain: nama lengkap, nama panggilan, asal,
dan hobi.
Sesi 3: TAKS
Tujuan:
Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok:
a. Menanyakan kehidupan pribadi kepada satu anggota kelompok.
b. Menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi.
Sesi 4: TAKS
Tujuan:
Klien mampu menyampaikan topik pembicaraan tertentu dengan anggota kelompok:
a. Menyampaikan topik yang ingin dibicarakan
b. Memilih topik yang ingin dibicarakan
c. Memberi pendapat tentang topik yang dipilih
Sesi 5: TAKS
Tujuan:
Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain:
a. Menyampaikan masalah pribadi
b. Memilih satu masalah untuk dibicarakan
c. Memberi pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih
Sesi 6: TAKS
Tujuan:
Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok:
a. Bertanya dan meminta sesuai dengan kebutuhan pada orang lain
b. Menjawab dan memberi pada orang lain sesuai dengan permintaan.
Sesi 7: TAKS
Tujuan:
Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan kelompok yang telah
dilakukan.