islam sebagai wahyu dan produk sejarah
DESCRIPTION
ISLAM SEBAGAI WAHYU DAN PRODUK SEJARAHTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Produk Sejarah Islam adalah peradaban yang dibentuk melalui evolusi sejarah. Bahkan wajah
Islam yang ada di seluruh belahan dunia merupakan hasil dari produk sejarah. Karena itu,
kaitannya dengan produk sejarah Islam inilah sasaran penelitian agama semakin luas. Sejarah
Islam yang tumbuh mulai dari masa kekhalifahan sampai berkembang di seluruh kawasan dunia
adalah kaya akan persoalan-persoalan keagamaan yang perlu diteliti dari sisi sejarah. Islam
sebagai produk sejarah perlu kepada pendekatan arkeologis. Karena, untuk mengungkap sejarah
tidak cukup menganalkan dokumen-dokumen serta perkataan yang dijadikan sumber sejarah
primer. Bahkan untuk meneliti dan megggali keotentikan sebuah sejarah yang berkenaan dengan
bentuk-bentuk peninggalan, tidak bisa mengabaikan pendekatan ini. Pendekatan arkeologis
sangat dibutuhkan seorang peneliti dalam membantu untuk mempertajam analisis yang
diperlukan ketika mendeteksi sebuah rentang masa, kurun, periode atau sisi lainnya.
Ajaran I
-
Islam sebagai objek
studi dapat dibedakan ke dalam tiga aspek:: Islam sebagai sumber (mashdar) , yaitu pengkajian
Islam yang berpusat kepada isi kandungan materi Al-Qur‟an dan Hadis Nabi Muhammad Saw,
yang kedudukan sebagai sumber utama ajaran Islam. Apa saja dimensi kehidupan manusia yang
hendak dikaji oleh setiap orang dalam sudut pandang Islam, maka bahan bedah materinya adalah
Al-Qur‟an dan Sunnah. Kedua sumber ini adalah landasan asasi bagi setiap pihak yang ingin
2
mengkaji ajaran Islam. Islam sebagai pemikiran , yaitu mengkaji Islam yang telah mengalami
pengembagan dengan berpusat pada hasil olah-pikir para ulama dan cendikiawan muslim tentang
masalah tertentu, sebagai perluasan pemahaman terhadap keumuman konsep Al-Qur‟an dan
Hadis Nabi Muhammad Saw. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu fikih, ushul fikih,
ilmu kalam, ushuluddin, tasawuf, dan sebagainya. Islam sebagai pengamalan, yaitu pengkajian
Islam yang lebih terfokus pada pengejewatahan/aplikasi nilai-nilai keIslaman dalam praktek
kehidupan nyata sehari-hari. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu tarbiyah
(pendidikan), ilmu dakwah, ilmu seni, ilmu kedokteran, iptek modern, dan sebagainya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM SEBAGAI WAHYU DAN PRODUK SEJARAH
A. Islam sebagai Wahyu
Islam biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam wahyu ilahiyun unzila ila nabiyyi
Muhammad Salallahu „alaihi wassalam lisa‟adati al-dunya wa al akhirah [Islam adalah wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat]. Jadi, inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Maka kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam, yaitu : wahyu yang berbetuk
alQur‟an, dan wahyu yang bernetuk hadis, sunnah Nabi Muhammad saw [M.Atho Mudzhar,
1998:19].
Menurut M.Atho Mudzhar, bahwa tujuan studi Qur‟an, bukan mempertanyakan
”kebenaran al-Qur‟an sebagai wahyu”, tetapi misalnya mempertanyakan: bagaimana cara
membaca al-Qur‟an, kenapa cara membacanya begitu, ada berapa jenis bacaan, siapa yang
menggunakan jenis bacaan tertentu, apa kaitannya dengan bacaan sebelumnya, apa
sesusungguhnya yang melatarbelakangi lahirnya suatu ayat [asbabul nuzul], dan apa maksud
ayat itu. Maka lahirlah misalnya tafsir maudu‟I yang merupakan salah satu bentuk jawaban
terhadap pertanyaan tersebut [M.Atho Mudzhar, 1998:19]. Pertanyaan selanjutnya, apabila
4
pada zaman dulu ayat dipahami begitu, apakah sekarang masih harus dipahami sama ataukah
perlu pemahaman baru yang disesuai dengan perkembangan kehidupan sekarang atau dapat
dikatakan kontekstual dengan realitas.
Menurut M.Atho Mudzhar, mengenai nasikh-mansukh, orang juga masih terus berbeda
pendapat. Meskipun kita ambil pendapat bahwaperbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
jumlah ayat yang dimansukh. Menurut beberapa pendapat, bahwa pada awalnya jumlah ayat
yang dimansukh adalah 115 ayat, kemudian turun menjadi 60 ayat, sekarang turun lagi menjadi
16 ayat. Itu merupakan persoalan yang penting untuk dikaji dan diteliti [M.Atho Mudzhar,
1998:19-20]. Kajian ini lebih pada penelitian teks dan sejarah.
Ilmu tafsir, dengan metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur‟an, yaitu : metode
ijmali [global], metode tahlili [analisis], metode muqarin [komporatif], dan metode maudhu‟i
[tematik], telah digunakan mufasirin. Perkembangan selanjutnya, muncul studi tekstual dan
kontekstual dan sekarang ada juga yang mulai menggunakan studi hermeneutika al-Qur‟an.
Kemudian orang bertanya, apa hermeneutika al-Qur‟an itu dan bagaimana penerapannya
dalam Islam? Memang istilah ini baru, yang kemungkinan besar istilah ini belum dikenal oleh
para mufasir terdahulu [lihat : M.Atho Mudzhar, 1998:20]. Sekarang ini, mulai terlihat
penafsiran
terhadap al-Qur‟an mulai menghadapi babak baru. Tetaptnya setelah ilmu penafsisran teks atau
lazim disebut dengan hermeneutika, diadopsi oleh sebagian kalangan umat Islam. Studi Qur‟an
5
dengan menggunakan hermeneutika dari sisi keilmuan, mungkin sah-sah saja. Tapi bagi
sebagian kalangan umat Islam, ”sah-sah saja itu menjadi tidak sah”. Persoalannya,
hermeneutika bukan orisinal ciptaan umat, tetapi penafsiran dengan gaya hermeneutika
merupakan tradisi Yunani yang kemudian diadopsi oleh Kristen dan mereka menggunakannya
untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Hal inilah yang menjadikan sebagian umat
Islam belum menerima studi Qur‟an dengan menggunakan hermeneutika.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam studi al-Qur‟an adalah ”studi interdisipliner
mengenai al-Qur‟an. Sebab al-Qur‟an selain berbicara mengenai keimanan, ibadah, aturanaturan,
juga berbicara tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka ilmu-ilmu
seperti sosiologi, botani dan semacamnya perlu dipelajari, untuk memahami ayat-ayat alQur‟an.
Persoalan utamanya adalah bagaimana kaitan antara ilmu al-Qur‟an dengan ilmu-ilmu
lain dan di sinilah dibutuhkan studi interdisipliner.
Selanjutnya, Islam sebagai wahyu yang dicerminkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad
saw. Dalam perkembangan hadis, ”ada hadis shahih, hadis mutawatir, hadis mashur dan hadis
ahad. Menurut M.Atho Mudzhar [1998:20], bahwa wilayah-wilayah inilah antara lain yang
dapat
dijadikan kajian dan penelitian. Pendapat Fazlur Rahman, yang menyarankan penggunaan
pendekatan historical criticism terhadap hadis. Menurut M.Atho Mudzhar, mungkin metode ini
6
tidak dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi, tetapi sangat mungkin dapat dilakukan oleh
kelompok. Kita mengetahui dalam sejarah adanya upaya untuk pemalsuan hadis. Imam
Bukhari, Imam Muslim atau Imam Malik mengumpulkan dan melakukan mencatat hadis dengan
upaya hati-hati. Imam Muslim, dalam pengantarnya mengatakan bahwa tadinya hadis yang
dikumpulkan ada 300.000 [tiga ratus ribu] buah, tetapi setelah selesai menjadi 6.000 buah
hadis. Pertanyaannya, dari mana Hadis sebanyak itu dan sudah meresap kemana saja sisanya
itu, sehingga tinggal 6.000 ? Pertanyaan dan persoalan-persoalan seperti ini merupakan
wilayah yang dapat dilakukan kajian-kajian hermeneutika dan historical criticism terhadap
hadis [lihat : M.Atho Mudzhar, 1998:21]. Kita dapat meneliti matan hadis, rijalul hadis atau
perawi hadis tertentu dan dapat meneliti buku-buku syarah hadis tertentu. Begitu juga ilmu yang
sudah baku yang membahas persoalan hadis adalah Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis
Dirayah perlu terus dikaji dan dikembangkan. Pengertian Islam Sebagai Wahyu
B.Pengertian Akal Dan Wahyu
Akal dan Wahyu dalam Islam Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada
manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat
membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Materi “aql” dalam al-
Qur‟an terulang sebanyak 49 kali, kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk kata kerja seperti
dalam bentuk ta‟qilun atau ya‟qilun. Kata kerja ta‟qilun terulang sebanyak 24 kali dan ya‟qilun
7
sebanyak 22 kali, sedangkan kata kerja a‟qala, na‟qilu dan ya‟qilu masing-masing satu kali
(Qardawi, 1998: 19). Pengertian akal dapat dijumpai dalam penjelasan ibnu Taimiyah (2001:
18). Lafadz akal adalah lafadz yang mujmal (bermakna ganda) sebab lafadz akal mencakup
tentang cara berfikir yang benar dan mencakup pula tentang cara berfikir yang salah. Adapun
cara berfikir yang benar adalah cara berpikir yang mengikuti tuntunan yang telah ditetapkan
dalam syar‟a. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam dalam
Timbangan Akal dan Hikmah juga menyinggung mengenai kesesuaian nash al-Qur‟an dengan
akal, jika ada pemikiran yang bertentangna dengan akal maka akal tersebutlah yang salah karena
mengikuti cara berpikir yang salah
Definisi Akal Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir
untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami
lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan akal adalah
gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh ibn Taimiyah dan
menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya
terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau
bisa benar. Untuk selanjutnya, dalam penelitian ini hanya terbatas pada
penggunaan kata akal. Akal secara bahasa dari mashdar Ya‟qilu, „Aqala,
„Aqlaa,jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, „Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacam
nya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan
semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang
nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan
memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah
8
maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.Syaikh AlAlbani
berkata, “Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang
mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak
mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika
dia mengikuti kitab dan sunnah danmengikatdirinyadenganpemahamansalaf.”
Al Imam Abul Qosim Al Ash bahany berkata, ”akal ada dua macam yaitu :
thabi‟i dan diusahakan. Yang thabi‟i adalah yang datang bersamaan dengan yang
kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila senang, dan
menangisbilatidaksenang.
Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya
hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu
berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal
yang diusaha kan. Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir
menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan
selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak
butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya. Hal ini menunjukan bahwa
akal lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak bisa dijangkau
dengan akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu.
Pemuliaan Islam Terhadap Akal Islam sangat memperhatikan dan memuliakan
akal, diantara hal yang menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada
akala dalah:
Islam memerintahkan manusiauntukmenggunakanakaldalamrangkamendapatkanhal-hal
yangbermanfaatbagikehidupannya.
9
Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur (memikirkan) dan merenungi
(tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syari‟at-syari‟atnya sebagaimana dalam firmanNya,
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan
(tujuan) benar dan waktu yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara
manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum)
“ Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal”,(AlBaqarah:184),
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari
Jum‟at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
yang demikian itu lebih baik bagi mana jika kamu mengetahui. (QS.Jumu‟ah:9).
Islam melarang manusia untuk taklid buta kepada adat istiadat dan pemikiran-
pemikiran yang bathil sebagaimana dalam firman Allah, Dan apabila dikatakan
kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab,
“(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami”, (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?
(QS.AlBaqarah:170). 3.Islam memerintahkan manusia agar belajar dan menuntut
ilmu sebagaimana dalam firman Allah, ”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama.”(QS. At Taubah : 122).
Islam memerintahkan manusia agar memuliakan dan menjaga akalnya, dan
melarang dari segala hal yang dapat merusak aka lseperti khomr, Allah
10
berfirman, “Hai, orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al Maidah.90). Ruang
Lingkup Akal Dalam Islam Meskipun islam sangat memperhatikan dan
memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan
islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal
terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menggapai hakekat segala
sesuatu. Maka Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah
syar‟i walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah itu.
Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah ketika Iblis
menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena lebih mengutamakan
akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah perintah Allah tersebut dengan
membandingkan penciptaannya dengan penciptaan Adam, Iblis berkata: ”Aku
lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,sedangkan dia
Engkau ciptakan dari tanah..”(QS.Shaad;76). Karena inilah islam melarang akal
menggeluti bidang-bidang yang diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang
Dzat Allah,hakekat ruh,dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda, ”Pikirkanlah
nikmat-nikmat Allah,janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.Allah berfirman,
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah,”Roh itu termasuk
urusan Tuhanku,dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.”(QS.AlIsra‟:85). Allah menyuruh kita untuk memaksimalkan
kemampuan akal yang diberikan pada kita. Salah satu cara, Ia menganjurkan pada
11
kita untuk menuntut ilmu setinggi – tingginya demi kemajuan umat bersama.
Bahkan pernah dikatakan dalam suatu hadits bahwa ada tiga peninggalan yang
mampu menolong manusia untuk terhindar dari api neraka yaitu amal jariyah,
ilmu yang bermanfaat dan do‟a anak sholeh. Dengan kata lain, Allah hendak
mengatakan bahwa ilmu sangatlah penting untuk kita, sebagai umat islam, bukan
hanya penting untuk kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan akhirat. Ilmu yang
bermanfaat itu dapat kita bawa hingga keakhirat kelak. Firman Allah dalam QS.
Ali Imran : 110, “Kamu adalah umat yang paling baik (khaira ummah, umat
pilihan), yang dilahirkan untuk kepentingan manusia; menyuruh mengerjakan
yang benar dan melarang membuat salah, serta beriman kepada Allah. Sekranya
orang-orang keturunan Kitab itu beriman, sesungguhnya itu baik untuk mereka.
Sebahagian mereka beriman, tetapi kebanyakannya orang-orang yang
jahat”.Sebenarnya umat yang menjadi pengamal wahyu Allah (Islam) memiliki
identitas (ciri, sibghah) yang jelas di antaranya menguasai ilmu pengetahuan.
Dalam mewujudkan keberadaannya ditengah masyarakat mereka menjadi
innovator dan memiliki daya saing serta memiliki imajinasi yang kuat disamping
kreatif dan memiliki pula inisiatif serta teguh dalam prinsip (istiqamah, consern),
bahkan senantiasa berfikir objektif dan mempunyai akal budi.
C. Definisi Wahyu
Wahyu sendiri dalam al-Qur‟an disebut dengan kata al-wahy yang memiliki beberapa
arti seperti kecepatan dan bisikan. Wahyu adalah nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan
cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabiNya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadz
al-Qur‟an (as- Shieddiqy: 27). Untuk selanjutnya, dalam penelitian ini hanya terbatas pada
12
penggunaan kata wahyu. Wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para
nabi dan rasul melalui mimpi dan sebagainya. Wahyu adalah sesuatu yang dimanifestasikan,
diungkapkan. Ia adalah pencerahan, sebuah bukti atas realitas dan penegasan atas kebenaran.
Setiap gagasan yang di dalamnya ditemukan kebenaran ilahi adalah wahyu, karena ia
memperkaya pengetahuan sebagai petunjuk bagi manusia (Haque, 2000: 10). Allah sendiri telah
memberikan gambaran yang jelas mengenai wahyu ialah seperti yang digambarkan dalam al-
Qur‟an surat al-Maidah ayat 16 yaitu: “Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka kejalan yang lurus” Pengertian wahyu dalam penelitian di sini adalah kitab
al-Qur‟an yang di dalamnya merupakan kumpulan-kumpulan dari wahyu yang membenarkan
wahyu-wahyu sebelumnya (taurat, injil, zabur) dan diturunkan oleh Allah hanya kepada Nabi
Muhammad SAW selama hamper 23 tahun (Haque,2000:19). Wahyu, menurut Kamus Al-
Mufrâd âtfî Ghara`ibi`l-Qur`ân, makna aslinya adalah al-„Isyaratu`s-sarî‟ah. Artinya, isyarat
yang cepat yang dimasukkan kedalam hati seseorang atau ilqâ‟un fi`r-rau`i, maksudnya yang
disampaikandalamhati.
D. Fungsi Wahyu
1.Wahyu merupakan sumber pokok ajaran Islam.
2.Wahyu sebagai landasan berpikir. Semua produk pemikiran (ilmu, teori, konsep dan
gagasan) tidak boleh lepas dari wahyu,baik makna tersirat maupun tersurat.
13
3.Wahyu sebagai landasan berbuat, bersikap, berperilaku dalam semua segi kehidupan.
Akal dan wahyu kalau diletakkan secara fungsionalis, maka keduanya saling memiliki fungsi.
Akal memiliki fungsi untuk memahami wahyu, karena wahyu ditulis dengan bahasa Arab, dan
tidak setiap orang dapat memahami teks Arab. Wahyu (Al Qur‟an sebagai hudan, untuk
memahami hudan diperlukan akal. Wahyu memiliki fungsi mengarahkan kerja akal dan
memberikan informasi kandungan wahyu yangg memerlukan bukti empiris, bahkan dengan
observasi, eksperimen, penyelidikan dan penelitian, yang ini semua dikerjakan dengan akal
pikiran.
E. Islam Sebagai Wahyu
Islam biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam wahyu ilahiyun unzila ila
nabiyyi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam lisa’adati al-dunya wa al akhirah (Islam adalah
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat). Jadi, inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Maka kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam, yaitu : (1) wahyu
yang berbetuk al- Qur‟an, dan (2) wahyu yang bernetuk hadis, sunnah Nabi Muhammad
saw1.Sebagai mana sudah disinggung diatas, bahwa agama mengandung dua kelompok ajaran,
Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para Rasul-Nya kepada masyarakat
manusia. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti
dan cara pelaksanaannya. Penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama
kedua.
1 Pendidikan Islam,Terj.Hasan Langgung(Jakarta:Bulan Bintang,1979)hlm.25
14
Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat Absolut,mutlak benar,
kekal, tidak pernah berubah, dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap
ajaran dasar agama,karena hanya merupakan penjelasasn dan hasil pikiran, tidak absolut, tidak
mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama ynag kedua ini bersifat relatif, nisbi,
berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.2
M.Atho Mudzhar, mengatakan bahwa kajian Hadis sama dengan kajian terhadap al-Qur‟an
yang merupakan kibat yang masih berisfat universal penjelasannya membutuhkan studi
interdisipliner, dalam hadist pun usaha ini perlu dilakukan. Katakan saja, Hadis mengenai
psikologi, pendidikan, iptek dan sebagainya yang perlu dikelompokan dan dibandingkan dengan
hasil penemuan ilmu modern. Sebagai contoh, mengenai hadis ”idza waqa‟a al-dzubabu fi
inai ahadikum falyaqmishu (artinya: ketika sadar lalat terjatuh ke dalam bejanamu, maka
benamkanlah). Hadis ini diterangkan dalam kitab Subulu al-Salam, bahwa pada sayap kanan
mengandung ini dan pada sayap kiri mengandung itu. Penjelasan terhadap hadis ini memerlukan
satu upaya untuk mencoba mengadakan studi interdispliner terhadap hadis tersebut,
barangkali memerlukan ilmu tentang serangga untuk membuktikan secara emperik
terhadap pernyataan Hadis tersebut.
F. Islam sebagai Produk Sejarah dan Sasaran Penelitian
Perlu ditegaskan bahwa ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah.
Peristiwa gerakan hijrah yang dilakukan Nabi merupakan sebuah metamorfosis dari suatu
2 Ibid, hal. 58-59
15
"gerekan" menjadi "negara". Gerakan ini berasal dari tiga belas tahun sebelumnya, Nabi Saw
melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis; di mana Islam menjadi jalan hidup individu,
di mana Islam "memanusia", dan manusia kemudian "memasyarakat". Dengan melalui hijrah,
masyarakat itu bergerak secara linear menuju negara. Maka, melalui hijrah gerakan itu
"menegara", dan Madinah adalah wilayahnya. Nabi melakukan penataan negara tersebut,
dengan: Pertama, membangun infrastruktur negara dengan mesjid sebagai simbol dan perangkat
utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas
yang berbeda yaitu "Quraisy" dan "Yatsrib" yang menjadi dan dikenal dengan komunitas
"Muhajirin" dan "Anshar" tetapi menyatu sebagai komunitas agama. Ketiga,
membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang berbeda,
sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam
Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah [
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi
Saw merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Kemudian, peristiwa
hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak
terdiri dari atas suku Aus, Khazraj, dan Yahudi, tetapi Muhajirin Quraisy dan suku-suku
Arab lain yang datang dan hidup bersama mereka di Madinah. Nabi menghadapi
realitas pluralitas, karena struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat
beragam agama yaitu Islam, Yahudi, Kristen, Sabi'in dan Majusi, dan ada juga
16
golongan yang tidak bertuhan [atheis] dan bertuhan banyak [polytheists]. Struktur
masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi di atas fondasi ikatan iman dan
akidah yang tentu lebih tinggi nilai ikatannya dari solidaritas kesukuan [ashabiyah] dan
afiliasi lainnya. Selain itu, klasifikasi masyarakat pada saat itu didasarkan atas
keimanan, dan mereka terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: mu'minun,
munafiqun, kuffar, mushrikun dan Yahudi [Akram Dhiyauddin Umari, 1999:77], dengan
kata lain bahwa masyarakat di Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas FM-UII-
AA-FKA-07 ada ayat al-Qur‟an yang dimansukh dan ada
masyarakat yang majemuk atau plural. Peristiwa hijrah itu sendiri merupakan produk
sejarah yang memang perlu dikaji dan diteliti.
Konsep "Piagam Madinah" [Mitsaq al-Madinah], dianggap sebagai konstitusi tertulis
pertama dalam sejarah kemanusian. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi
juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan kebiasaan konstitusional
dan hukum dalam dunia Islam [Nurchalis Madjid, hlm. 51., dan Ahmad Hatta, 1995:10]. Selain
itu, dalam dokumen Piagam itulah, dikatakan bahwa "umat manusia untuk pertama kalinya
diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama dibidang agama dan
ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama.
Dalam Piagam tersebut juga menempatkan hak-hak individu yaitu kebebasan memeluk agama,
17
persatuan dan kesatuan, persaudaraan [al-ukhuwwah] antar agama, perdamaian dan
kedamaian, toleransi, keadilan [al-'adalah], tidak membeda-bedakan [diskriminasi] dan
menghargai kemajemukan". Konsep Piagam Madinah ini merupakan produk sejarah.
Konsep tentang Khulafa al-Rasyidin adalah merupakan produk sejarah, karena nama itu
muncul belakangan. Teologi Syiah, Mu‟tazilah adalah merupakan bagian dari wajah Islam
produk sejarah. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah dan modern, sebagai produk
sejarah. Orang dapat berkata, andaikan Islam tidak berhenti di Spanyol, Islam di Eropa akan
berkembang sampai saat ini dan andaikan Islam terus bertahan di Spanyol, sejarahnya akan
lain lagi. Demikian juga perkembangan filsafat Islam, kalam, fiqh, ushul fiqh produk sejarah.
Tasawuf dan akhlak sebagai ilmu juga merupakan produk sejarah Islam. Akhlak sebagai nilai
bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisasir akhlak adalah produk sejarah.
Kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, musik, bentuk-bentuk
masjid Timur Tengah, Indonesia, Cina adalah produk sejarah, dll. Semuanya dapat dan perlu
dijadikan sasaran penelitian. Demikian juga Seni dan metode baca al-Qur‟an yang berkembang
di Indonesia adalah merupakan produk sejarah [lihat : M.Atho Mudzhar, 1998:23]. Demikian,
banyak bangunan pengetahuan kita tentang Islam, sebenarnya merupakan produk sejarah.
Maka karena itu, semuanya dapat dan perlu dijadikan sebagai sasaran penelitian.
18
Menurut Fazlur Rahman, dalam mengkaji karya-karya, kita perlu mengetahui metodependekatan
yang digunakan dalam menulis karya-karyanya. Fazlur Rahman, sering
menyebutkan dua istilah metode dalam buku-bukunya yaitu Historico critical method dan
Hermeneutic method. Kedua istlah tersebut merupakan "kata kunci" adalah :
1. Historico critical method [metode kritik sejarah], merupakan sebuah pendekatan
kesejarahaan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh
dan mencari nilai-nilai [values] tertentu yang terkandung di dalamnya. Jadi, yang ditekankan
oleh metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data
sejarah, bukan presitiwa sejarah itu sendiri. Jikalau data sejarah dipaparkan sebatas
kronologinya, maka model semacam ini dinamakan pendekatan kesejarahan.
2. Hermeneutic method yaitu metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti
kitab suci, sejarah, hukum juga dalam bidang filsafat. Metode ini diperlukan untuk
melakukan interpretasi terhadap teks kitab suci, penafsiran terhadap teks-teks sejarah yang
menggunakan bahasa yang rumit, atau bahasa hukum yang padat juga memerlukan upaya
penafsiran, agar mudah dipahami.
G. Islam Sebagai Produk
Sejarah Islam adalah peradaban yang dibentuk melalui evolusi sejarah. Bahkan wajah
Islam yang ada di seluruh belahan dunia merupakan hasil dari produk sejarah. Karena itu,
19
kaitannya dengan produk sejarah Islam inilah sasaran penelitian agama semakin luas. Sejarah
Islam yang tumbuh mulai dari masa kekhalifahan sampai berkembang di seluruh kawasan dunia
adalah kaya akan persoalan-persoalan keagamaan yang perlu diteliti dari sisi sejarah. Islam
sebagai produk sejarah perlu kepada pendekatan arkeologis. Karena, untuk mengungkap sejarah
tidak cukup menganalkan dokumen-dokumen serta perkataan yang dijadikan sumber sejarah
primer. Bahkan untuk meneliti dan megggali keotentikan sebuah sejarah yang berkenaan dengan
bentuk-bentuk peninggalan, tidak bisa mengabaikan pendekatan ini. Pendekatan arkeologis
sangat dibutuhkan seorang peneliti dalam membantu untuk mempertajam analisis yang
diperlukan ketika mendeteksi sebuah rentang masa, kurun, periode atau sisi lainnya. Ruang
lingkup studi Islam yang merupakan produk sejarah misalnya tentang fiqih/mazhab, tasawuf/sufi,
filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Bangunan pengetahuan kita pada
wilayah Islam tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.
Studi Al-Quran Tujuan studi Al-Qur‟an bukan mempertanyakan kebenaran Al-Qur‟an
sebagai wahyu , tetapi misalnya mepertanyakan: bagaimana cara membaca Al-Qur‟an,
kenapa cara membacanya begitu, berapa macam jenis bacaan itu, siapa yang
menggunakan jenis-jenis bacaan itu, apa kaitannya dengan bacaan sebelumnya, apa
sesungguhnya yang melatar belakangi lahirnya suatu ayat, apa maksud ayat itu. Maka
lahirlah misalnya tafsir maudhu‟i yang merupakan salah satu bentuk jawaban terhadap
pertanyaan-petanyaan tersebut di atas. Pertanyaan selanjutnya, kalau dahulu dipahami
begitu, apakah sekarang masih harus dipahami sama ataukah perlu pemahaman baru.
Satu hal yang patut diperhatikan dalam studi Al-Qur‟an, yaitu studi interdisipliner
mengenai Al-Qur‟an. Sebab Al-Qur‟an selain berbicara mengenai keimanan, ibadah,
aturan-aturan, juga berbicara tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka
20
ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan semacamnya, perlu dipelajari untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur‟an dengan ilmu-ilmu lain. Di sini di butuhkan studi interdisipliner.
Potret Islam Selama ini masyarakat sudah mengenal Islam, tetapi belum jelas potret Islam
yang telah dikenal tersebut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan
oleh Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan oleh Fazlur
Rahman yang bernuansa historis dan filosofis. Demikian pula, Islam yang ditampilkan
oleh pemikir-pemikir Iran lainnya. Kenyataan tersebut memperlihatkan adanya dinamika
internal di kalangan umat Islam untuk menerjemahkan Islam dalam upaya merespon
berbagai masalah umat yang mendesak. Titik tolak dan tujuan mereka sama, yakni ingin
menunjukkan konstribusi Islam sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan berbagai
masalah umat. Selain itu, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Islam merupakan
sebuah agama yang dapat dilihat dari sisi mana saja, dan setiap sisinya akan senantiasa
memancarkan cahaya yang terang. Dari berbagai sumber kepustakaan tentang Islam yang
ditulis oleh para tokoh tersebut, dapat diketahui bahwa Islam memiliki karakteristik yang
khas yang dapat dikenali melalui konsepsinya dalam berbagai bidang, seperti bidang
teologi, ibadah, muamalah yang di dalamnya mencakup masalah pendidikan,
kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup, kesehatan, dan sejarah.
Islam Sebag
-
Islam sebagai objek studi dapat dibedakan ke dalam tiga aspek::
Islam sebagai sumber (mashdar) , yaitu pengkajian Islam yang berpusat kepada isi
kandungan materi Al-Qur‟an dan Hadis Nabi Muhammad Saw, yang kedudukan sebagai
21
sumber utama ajaran Islam. Apa saja dimensi kehidupan manusia yang hendak dikaji
oleh setiap orang dalam sudut pandang Islam, maka bahan bedah materinya adalah Al-
Qur‟an dan Sunnah. Kedua sumber ini adalah landasan asasi bagi setiap pihak yang ingin
mengkaji ajaran Islam. Islam sebagai pemikiran , yaitu mengkaji Islam yang telah
mengalami pengembagan dengan berpusat pada hasil olah-pikir para ulama dan
cendikiawan muslim tentang masalah tertentu, sebagai perluasan pemahaman terhadap
keumuman konsep Al-Qur‟an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Pengkajian dalam aspek
ini diwakili oleh ilmu fikih, ushul fikih, ilmu kalam, ushuluddin, tasawuf, dan
sebagainya. Islam sebagai pengamalan, yaitu pengkajian Islam yang lebih terfokus pada
pengejewatahan/aplikasi nilai-nilai keIslaman dalam praktek kehidupan nyata sehari-hari.
Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu tarbiyah (pendidikan), ilmu dakwah, ilmu
seni, ilmu kedokteran, iptek modern, dan sebagainya.
H. Sejarah Intelektual Islam
Perkembangan pemikiran islam mempunyai sejarah yang panjang dalam arti seluas-
luasnya. Tradisi pemikiran dikalangan umat islam berkembang seiring dengan kemunculan islam
itu sendiri. Dalam kontek masyarakat Arab sendiri, di mana islam lahir dan pertama kali
berkembang di sana, kedatangannya lengkap dengan tradisi keilmuannya. Sebab masyarakat
Arab pra islam belum mempunyai sistem pengembangan pemikiran secara sistematis.
Pada masa awal perkembangan islam, sistem pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum
terselenggara karena ajaran islam tidak diturunkan sekaligus. Namun demikian isyarat Alqur‟an
sudah cukup jelas meletakkan fondasi yang kokoh terhadap pengembangan ilmu dam
pemikiran,sebagaimana terlihat pada ayat yang pertama diturunkan yaitu suatu perintah untuk
22
membaca dengan nama Allah ( al-Alaq:1 ). Dalam kaitan itu dapat dipahami mengapa proses
pendidikan islam pertama kali berlangsung di rumah yaitu Darul Arqam. Ketika masyarakat
Islam telah terbentuk, maka pendidikan Islam dapat diselenggarakan di mesjid. Proses
pendididkan pada kedua tempat tersebut dilakukan dalam lingkaran besar atau disebut Halaqah.
Dalam mengguanakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi
perkembangannya, sejarah intelektua Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa yaitu masa
klasik, yaitu tahun 650-1250 M. dan masa modern yaitu sejak tahun 1800-sampai sekarang.
Pada masa klasik lahir para ulama madz hab seperti imamn Hambali, Hanafi, Iman Syafii, dan
Iman Malik. Selain itu, lahir pula para filosuf muslim seperti Al-Kindi, tahun 801 M. seorang
filosuf muslim pertama. Selain Al-Kindi, pada itu lahir pula para filosuf besar seperti Al-Razi
lahir tahun 865 M, Al-Farabi lahir tahun 870 M. Dia dikenal sebagai pembangun aguing sistem
filsafat. Pada abad berikutnya lahir pula filosuf agung Ibnu Miskawaih pada tahun 930 M.
pemikirannya yang terkenal tentang pendidikan akhlak kemudian Ibnu Sina tahun 1037. Ibnu
Bajjah, 1138 M. Ibnu Rasyid 1126 M. dll. Pada masa pertengahan yaitu tahun 1250-1800 M.
dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa ini merupakan fase kemunduran karena filsafat
mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan
wahyu,.iman dengan Ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
Pemikiran yang berkembang saat itu adalah pemikiran dikotomis antara agama dengan lmu dan
urusan dunia dengan urusan akhirat. Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah
mendekat kepada para penguasa, sehingga fatwa-fatwa mereka tidak lagi diikuti oleh umatnya
dan kondisi umat menjadi carut marut kehilangan figur pemimpin yang dicintai umatnya.
23
I. Nilai-Nilai Islam Dalam Budaya Indonesia
Di zaman modern, ada satu fenomena yang menarik untuk kita simak bersama yaitu
semangat dan pemahaman sebagian generasi muda umat Islam khususnya Mahasiswa PTU
dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam. Mereka berpandangan bahwa Islam yang
benar adalah segala sesuatu yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad Saw. Secara utuh termasuk
nilai-nilai budaya Arabnya. Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw. Itu adalah Rasul Allah.
Kita tahu Islam itu lebih dari beliau, dan yang menginkari kerasulannya adalah kafir.
Nabi Muhammad Saw. Adalah seorang Rasul Allah dan harus diingat bahwa beliau adalah orang
Arab. Dalam kajian budaya sudah barang tentu apa yang ditampilkan dalam perilaku
kehidupannya terdapat nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan nilai-nilai Islam itu bersifat universal.
Maka dari itu sangat dimungkingkan apa yang dicontoh oleh Nabi dalam hal mu‟amalah ada
nuansa-nuansa budaya yang dapat kita aktualisasikan dala kehidupn modern dan disesuaikan
dengan muatan budaya lokal masing-masing. Contohnya dalam cara berpakaian dan cara makan.
Dalam ajaran Islam sendiri meniru budaya satu kaum boleh-boleh saja sepanjang tidak
bertengtangan dengan nilai-nilai dasar Islam. Apalagi yang ditirunya adalah panutan suci Nabi
Muhammad Saw, namun yang tidak boleh adalah menganggap bahwa nilai-nilai budaya Arabnya
dipandang sebagai ajaran Islam.
Dalam perkembangan dakwah Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para
Wali di tanah jawa. Karena kehebatan para wali Allah dalam mengemas ajaran Islam dengan
bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk
dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari hari mereka.
24
BAB III
PENUTUP
A. PEMIKIRAN PENULIS
Menurut saya pembahasan kali ini yang bisa kita ambil yaitu pengkajian Islam yang lebih
terfokus pada pengejewatahan/aplikasi nilai-nilai keIslaman dalam praktek kehidupan nyata
sehari-hari. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu tarbiyah (pendidikan), ilmu dakwah,
ilmu seni, ilmu kedokteran, iptek modern, dan sebagainya.
Maka kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam, yaitu : wahyu yang berbetuk
alQur‟an, dan wahyu yang bernetuk hadis, sunnah Nabi Muhammad saw [M.Atho Mudzhar,
1998:19]. Perkembangan pemikiran islam mempunyai sejarah yang panjang dalam arti seluas-
luasnya. Tradisi pemikiran dikalangan umat islam berkembang seiring dengan kemunculan islam
itu sendiri. Dalam kontek masyarakat Arab sendiri, di mana islam lahir dan pertama kali
berkembang di sana, kedatangannya lengkap dengan tradisi keilmuannya.
25
Daftar Pustaka
M. Anis Hatta,From: http://www.hidayatullah. com/2001/ 06/ kajut3.shtml., 7 Maret 2001
Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Law (The
University of Chicago Press, Chicago, 1969).
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the
Orientalists (Islamic Publications Ltd., Pakistan, 1977).