islam dan toleransi beragama: (studi pada upacara...
TRANSCRIPT
ISLAM DAN TOLERANSI BERAGAMA:
(STUDI PADA UPACARA SELAMATAN DI GUNUNG KAWI, MALANG,
JAWA TIMUR, INDONESIA)1
ISLAM AND RELIGIOUS TOLERANCE:
(STUDY ON SALVATION “SELAMATAN” CEREMONY IN MOUNTAIN KAWI,
MALANG, EAST JAVA – INDONESIA)
Nuryani
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia
Abstrak
Toleransi beragama sesungguhnya dapat dimulai dari lingkungan sekitar kita melalui
berbagai bentuk kegiatan. Islam telah memulainya melalui sebuah kegiatan yang didalamnya
mencerminkan bentuk toleransi antarumat beragama. Dalam tulisan ini, akan dideskripsikan
sebuah kegiatan yang di dalamnya terdapat pelajaran mengenai toleransi beragama. Selain
itu, dalam tulisan ini juga akan dideskripsikan mengenai pengaruh Islam dalam kegiatan
tersebut. Kegiatan yang di maksud adalah kegiatan selamatan yang dilaksanakan di Gunung
Kawi, Malang, Jawa Timur, Indonesia. Toleransi beragama sangat terlihat dalam kegiatan
Selamatan di tempat ini. Hal tersebut tidak lepas dari adanya pengaruh Islam sebagai
rahmatan lil alamin dan juga adanya kesamaan perasaan oleh pelaku kegiatan Selamatan.
Pengaruh Islam sangat terlihat dalam kegiatan Selamatan di antaranya melalui penggunaan
bahasa, tuturan doa-doa, sampai pada proses menuju pelaksanaan kegiatan Selamatan.
Bentuk toleransi yang terlihat di antaranya adalah membaurnya semua pemeluk agama dalam
satu kegiatan, setiap pemeluk agama melaksanakan setiap tahapan yang disyaratkan, sampai
pada penerimaan doa-doa yang disampaikan oleh semua pemeluk agama. Penelitian ini
menggunakan pendekatan etnografi komunikasi, yakni peneliti ikut terjun dan melihat
langsung setiap tahapan yang dilaksanakan. Melalui hasil penelitian ini diharapkan
masyarakat luas dapat belajar bertoleransi dan dapat saling menerima perbedaan di
masyarakat. Dengan demikian, kedamaian akan menjadi bagian dalam kehidupan
bermasyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Kata kunci: toleransi beragama, Islam yang Rahmatan lil alamin, Selamatan, Gunung Kawi,
Indonesia
Abstract
Religious tolerance real can be started from the our around environment through
various forms of activities. Islam has been started through an activity in which reflects the
shape of religious tolerance. In this paper, we will describe an activity in which there are
lessons on religious tolerance. Moreover, in this paper will also describe the influence of
Islam in these activities. The activities are salvation (selamatan) activities that conducted in
Gunung Kawi, Malang, East Java, Indonesia. Religious tolerance is very visible in the
activities of salvation at this place. It could not be separated from the influence of Islam as
1 Bagian dari Disertasi Penulis untuk mendapatkan gelar Doktor (Dr.) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
rahmatan lil Alamin and also the similarities feeling by the perpetrator of salvation
(selamatan) activities. Islamic influence is very visible in the activities of the salvation of
them through the use of language, speech prayers, until the process towards the
implementation of salvation. The kind of tolerance that is visible of which is mixing all faiths
in one activity, every religious believer required to implement each stage, until the
acceptance of the prayers given by all faiths. This research uses ethnographic communication
approach. The researchers took the plunge and see firsthand every stage implemented.
Through the results of this research is expected that the public can learn tolerance and mutual
acceptance of diversity. Thus, peace will become a part of Indonesian public life who very
diverse.
Keyword: Religious tolerance, Islam as rahmatan lil Alamin, salvation (selamatan), Gunung
Kawi (Mountain of Kawi), Indonesia
Pendahuluan
Toleransi menjadi kata yang saat ini jamak diperbincangkan oleh hampir semua
kalangan. Berbagai pandangan, opini, dan perspektif mengenai toleransi dimunculkan.
Berbagai definisi juga muncul sesuai dengan kepentingan kalangan yang
memperbincangkannya. Hal tersebut tidak lepas dari adanya Indonesia sebagai negara yang
penuh dengan warna. Warna suku mendominasi di Indonesia. Demikian juga dengan warna
agama dan warna bahasa daerah. Hal tersebut tentu saja membawa konsekuensi adanya
pergesekan di antara segala sesuatu yang dianggap berbeda.
Simarta, dkk (2017: vii) menyebutkan bahwa nusantara adalah simbol sekaligus
pengalaman yang amat panjang dalam budi daya toleransi. Hal itu mengindikasikan bahwa
toleransi telah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Toleransi telah
mulai disemai berbarengan dengan menyemai benih-benih berdirinya negara Indonesia.
Tidak akan ada Indonesia jika tanpa toleransi. Di Indonesia ada sekitar 656 suku. Jumlah
bahasa yang ada lebih dari 500 dan terdapat agama dan kepercayaan yang sangat beragam
(Simarta, dkk: 2017, 6). Adanya hal di atas bukan berarti toleransi telah dipahami sepenuhnya
oleh masyarakat penghuni negara Indonesia. Perbedaan suku, agama, faham, dan pandangan
terkadang mampu menjadikan toleransi menjadi sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan.
Bahkan, kesamaan agama dan suku bukan menjadi jaminan toleransi dapat berjalan dengan
baik.
Hal tersebut yang saat ini sedang marak terjadi di Indonesia. Adanya beberapa agama
yang diakui di Indonesia seharusnya bukan menjadi alasan untuk tidak saling bertoleransi.
Mengapa demikian? Indonesia berdiri sudah dengan keberagaman, sehingga akan terus
berjalan dengan keberagaman. Hal yang sama telah dicontohkan oleh Islam. Islam yang
disebut sebagai agama rahmatan lil alamin sebenarnya telah memulai proses toleransi
tersebut. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa tiap-tiap orang telah memiliki agamanya
masing-masing. Dengan demikian, di antara yang berbeda tersebut tidak diperkenankan untuk
saling mencampuri dan selayaknya memberikan ruang untuk saling menerima. Akan tetapi,
ruang tersebut berkenaan dengan kegiatan kehidupan sehari-hari yang tidak terkait dengan
proses atau ritual keagamaan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima berbagai agama untuk dianut
oleh penduduknya. Hal tersebut telah diakui secara sah di dalam undang-undang yang
berlaku, sehingga tidak suatu alasan untuk menolak agama yang telah diakui. Keberagaman
agama yang ada telah menimbulkan banyak interaksi dan akulturasi di dalam masyakat.
Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan banyak kegiatan di dalam masyarakat yang
merupakan percampuran atau hasil penerimaan dari unsur-unsur dari berbagai agama
tersebut.
Salah satu kegiatan yang di dalamnya terdapat cerminan toleransi adalah kegiatan
Selamatan. Kegiatan ini jamak ditemukan di masyarakat Jawa di Indonesia. Manusia
membutuhkan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hidup dalam lingkungan
yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan membuat manusia memiliki tanggung jawab
untuk menjaga keharmonisannya dengan lingkungan. Kehidupan harmonis yang tercipta
antara lingkungan alam dan manusia yang menempati akan memberikan dampak positif bagi
perkembangan manusia dan alam itu sendiri. Demikian halnya yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat di Jawa yang memang cukup terkenal kedekatan antara manusia dengan alam
yang ditempatinya. Pemanfaatan antara kehidupan makrokosmos dengan mikrokosmos
berjalan sangat dinamis dan tercipta simbiosis mutualisme yang sangat bagus. Bagi
masyarakat Jawa kedekatan manusia dengan alam sekitarnya sudah berlangsung sejak lama
dan masih berjalan sampai saat ini.
Islam menganggap hal tersebut sudah sewajarnya dimiliki oleh manusia. Manusia
tidak dapat melepaskan diri dari keberadaan Tuhan atas kebutuhannya. Baik Islam yang
dianggap sebagai Islam ortodoks maupun Islam sinkretik tidak terdapat perbedaan akan
anggapan tersebut. Kalapun terdapat perbedaan hanya pada perbedaan penafsiran terhadap
beberapa hal. Perbedaan penafsiran tersebut lebih mengacu pada (1) keesaan Allah (tauhid),
(2) pembedaan sufi antara makna batin dan zahir, (3) pandangan Al-Quran dan Sufi bahwa
hubungan antara kemanusiaan dan ketuhanan harus dipahami sebagai hubungan kawula dan
gusti, dan (4) kesamaan mikrokosmos dan makrokosmos yang sama-sama dianut oleh tradisi-
tradisi Sufi dan Hindu (Woodward: 2008, 9).
Pokok-pokok kehidupan masyarakat telah ditentukan sebelumnya. Anggapan tersebut
muncul terkait erat dengan kepercayaan bahwa hidup mereka akan dituntun dan dibantu oleh
Tuhan melalui roh-roh nenek moyang. Hal itulah yang memunculkan kepercayaan terhadap
bermacam-macam roh yang mampu membantu mereka dalam menyelesaikan masalahnya.
Bantuan yang diberikan oleh Tuhan yang dilewatkan melalui nenek moyang berlaku juga
dalam pemenuhan kebutuhan secara materi. Tindakan yang dilakukan oleh manusia karena
adanya dorongan berbagai macam perasaan dikenal dengan kelakuan keagamaan. Kelakuan
keagamaan yang dilakukan menurut aturan tertentu yang dianggap penting dinamakan
upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1980;241).
Kepercayaan tersebut oleh masyarakat Jawa disebut sebagai agama kejawen.
Keagamaan orang Jawa Kejawen selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada pelbagai
macam roh yang tidak kelihatan. Melihat hal tersebut, terdapat hubungan antara bentuk-
bentuk magis dengan agama. Hal ini menurut Malinowski (1982; 87) muncul karena adanya
tekanan situasi, seperti krisis dalam hidup, merasa kosong dalam mengejar sesuatu yang
penting, kematian dan permulaan kehidupan yang menjadi misteri, sampai pada
ketidakbahagiaan cinta dan ketidakpuasan hidup. Hal-hal yang demikian menjadikan manusia
terkadang memiliki berbagai macam cara untuk sekadar mencari kepuasan dari sesuatu yang
lain.
Salah satu kegiatan yang tumbuh di dalam masyarakat terkait dengan magis dan
agama adalah kegiatan ritual. Kegiatan ritual dipakai sebagai bentuk tumbuhnya kepercayaan
masyarakat terhadap adanya kekuatan di luar dirinya. Ritual yang mengaitkan dengan adanya
daya magis dianggap sebagai kegiatan kejawen yang bukan bagian dari Islam. Namum hal
tersebut dinyatakan oleh Woodward dalam buku Islam Jawa (2008; 4) bahwa kagiatan
kejawen merupakan bagian dari Islam.
“ Dengan agak kecil hati, saya mulai mempelajari doktrin dan ritual
Islam dengan seorang anggota pengurus masjid di lingkungan saya
tinggal dan memperhatikan secara seksaa khotbah-khotbah Jumat.
Kendati, orang yang menjadi informan kepercayaan saya ini merupakan
anggota terkemuka Muhammadiyah (organisasi pembaruan terbesar di
Indonesia), ia meyakinkan saya bahwa ritual-ritual keraton yang saya
amati dan sistem-sistem mistik kejawen yang saya gambarkan padanya
diderivasi dari Islam”.
Kepercayaan terhadap kekuatan gaib masih dapat dijumpai di beberapa tempat
meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Salah satunya dapat ditemukan di
wilayah Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Gunung Kawi merupakan salah satu gunung
yang terdapat di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Gunung ini terkenal
dengan berbagai macam ritual yang diselenggarakan di sana. Selain itu, Gunung Kawi juga
memiliki cerita tersendiri kaitannya dengan perjuangan Pangeran Diponegoro2. Dengan
begitu, tidak mengherankan jika tempat ini banyak dikunjungi tidak hanya dari kalangan
rakyat biasa, melainkan juga kalangan pejabat Indonesia, pengusaha pribumi maupun
pendatang, dan termasuk juga keluarga keraton.
Ritual selamatan memang sudah cukup dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat
Jawa yang cenderung “suka” melakukan kegiatan ritual. Manusia memilih berbagai alternatif
atau cara untuk menyesuaikan kegiatan tersebut. Namun demikian, terdapat hal-hal prinsip
yang tidak akan berubah dalam pelaksanan kegiatan selametan dari waktu ke waktu. Salah
satunya adalah dalam penggunaan perantara. Segala bentuk permohonan pada dasarnya
ditujukan kepada Tuhan, namun dengan perantara yang beragam sebagai bentuk kepercayaan
pelaku. Perantara dalam ritual biasanya berupa roh-roh tidak terlihat yang dianggap berkuasa.
Dituliskan dalam Primbon Jawa Betaljemur Jilid I, terdapat mantra atau di masyarakat Jawa
dikenal dengan istilah donga untuk menghadapi bencana (pageblug). Dalam donga ini
terdapat perantara yang berupa ‘sanghyang pengikut bumi’ yakni ‘Pangeran Purbaya’.
Penggunaan penyebutan ini dilakukan karena ‘Pangeran Purbaya’ dianggap sebagai penguasa
bumi yang dekat dengan Tuhan. Untuk itu, Pengaran Purbaya diharapkan dapat menjadi
perantara antara manusia dengan Tuhan. Berikut donga menghadapi bencana yang dikenal
dalam masyarakat Jawa.
Prayoga turu jam 1 wengi, sarta maca donga: Ashadu sadat mutahar, si
bapa kang murba wisesa, si buyung kempaling iman, si anak penjaring
jama. Pangeran panatagama, kang bisa ngrata jagad, nyirep sakehing
penyakit, Pangeran karya kekuna, kang tulen sajroning tulis, kang urip tan
kena lara pati, urip langgeng purbawasesa, ya ingsun kang bisa ngucapake
pasangat mutahar, ya ingsun Pangeran Purbaya, ingsun kawulane. Ashadu
sadat sanghyang, kawula bumi jung langit, apa isine, manungsa sajatining
karsa, herlis sajatining sidik amanat tableg, herna sajatining lawang rat
gumilang. Ashadu sadat rohiman jati, sabenere manungsa maya, Pangeran
puter siwalan jatining tunggal, Ashadu sadat Allah, tuhu yahuwa. Mukamat
warangkaning Allah, bismillah tanpa kawitan, sadat tanpa wakesan, kang
urip tanpa kena ing lara pati, urip langgeng salawase. Luwih becik saben
bengi sadurunge jan 12, ana latar karo maca donga (Soemododjojo,
2008).
‘Lebih baik tidur jam 1 malam, dan membaca doa: Ashadu sadat mutahar,
si bapa yang maha unggul, si buyung berkumpulnya iman, si anak
pengumpul manusia. Pangeran Panatagama, yang dapat meratakan dunia,
menghapus segala penyakit, Pangeran karya kekuna, yang asli dalam cerita,
2 Salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Cerita keterkaitan ini dapat dilihat pada prasasti yang terdapat di
pelataran Gunung Kawi
yang hidup dan tidak akan terkena sakit dan mati, hidup selamanya dalam
keunggulan, ya kami yang dapat menyampaikan pasangat mutahar, ya kami
Pangeran Purbaya, kami pengikutnya. Ashadu sadat sanghyang pegikut
bumi ujung langit, apa isinya, manusia yang sejati dalam kehendak, yang
sejatinya dapat dipercaya, amanah, tableg, sejatinya merupakan pintu yang
gemilang. Ashadu sadat rohiman jati, sebenarnya manusia itu tidak nyata,
Pangeran yang hanya satu. Ashadu sadat Allah, patuh. Muhamad utusan
Allah, bismilah tanpa permulaan, sadat tanpa akhir, yang hidup tanpa sakit
dan mati, hidup selama-lamanya’.
Bentuk bahasa dalam donga tersebut memperlihatkan pengaruh Islam yang cukup
kental, terlihat dalam penggunaan beberapa bahasa Arab. Bahasa Arab yang terdapat dalam
donga tersebut memiliki fungsi sebagai pernyataan kepercayaan dan permintaan yang
memang ditujukan kepada Tuhan. Pengaruh Islam juga terlihat dalam penggunaan nama
Mukamat (Muhammad) yang merupakan nabi dalam agama Islam. Penggunaan kata ashadu
sadat juga memperlihatkan pengaruh Islam sebagai bentuk kepercayaan mengakui adanya
Allah. Meskipun demikian, secara lafal menyesuaikan dengan ejaan dalam bahasa Jawa atau
lidah orang Jawa. Selain bahasa Arab, juga terlihat penggunaan bahasa Jawa yang tidak
umum dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Isi dari tuturan donga atau mantra di atas adalah permintaan kepada Tuhan. Akan
tetapi, permintaan tersebut tidak secara langsung dituturkan, melainkan diselipkan beberapa
hal di dalamnya. Beberapa hal yang diselipkan adalah pengakuan ketundukan manusia,
kelemahan kita sebagai manusia biasa, dan penegasan pengakuan atas kekuatan dan
kekuasaan Tuhan. Tuturan penegasan terlihat dari penggunaan kata Pangeran panatagama,
kang bisa ngrata jagad, nyirep sakehing penyakit (Pangeran piñata agama, yang dapat
meratakan dunia, menghilangkan semua penyakit). Tuturan yang berisi permintaan memang
tidak terlihat secara jelas dalam penggunaan kata tertentu, melainkan tersirat dalam hampir
semua tuturan. Sementara itu, tuturan yang berisi pujian terlihat jelas dan itu tersebar di
hampir seluruh tuturan.
Salah satu bentuk slametan yang sampai sekarang masih dilakukan oleh
masyarakat Jawa adalah kenduren. Di dalam kenduren juga dibacakan donga-donga yang
dalam penggunaan bahasanya sudah tercampur antara bahasa Jawa dan bahasa Arab. Hal
tersebut juga memperlihatkan adanya pengaruh Islam yang masuk. Struktur wacana dalam
kenduren biasanya diawali dengan bacaan-bacaan dalam bahasa Arab, kemudian bahasa Jawa
dan akan diakhiri dengan bacaan-bacaan dari bahasa Arab kembali (biasanya diambil dari
bacaan Al-Quran). Baik dalam penggunaan bahasa Arab maupun bahasa Jawa terlihat adanya
pujian, penegasan, dan ungkapan terima kasih atau rasa syukur, dan di dalamnya tersirat juga
adanya permintaan kepada Tuhan.
Selametan dapat dikatakan telah menjadi bagian atau kebudayaan masyarakat Jawa.
Akan tetapi, dalam berbagai bentuk kegiatan tersebut sebenarnya juga dikenal dalam
kehidupan masyarakat di berbagai daerah lain. Kessing (dalam Casson; 1981:46) menyatakan
bahwa kebudayaan adalah sistem adaptasi, sistem kognisi, sistem struktural, sistem simbolis,
dan sistem ideasional. Untuk itulah, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
sebuah kelompok masyarakat. Melalui kebudayaan yang dimiliki, masyarakat mencoba untuk
selalu beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada di sekitarnya.
Dalam tulisan ini, ritual selamatan memiliki perbedaan dengan istilah selamatan yang
dipakai oleh Geertz. Geertz menggambarkan bahwa slametan menjadi tradisi di kalangan
masyarakat di Jawa dengan mengundang tetangga-tetangga lelaki. Geertz menjelaskan bahwa
slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya. Di sana
handai taulan, tetangga, sanak saudara, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang
hampir terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja. Masih menurut Geertz,
slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan sesuatu
kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan, seperti kelahiran, perkawinan,
kematian, maupun pindah rumah (Geertz, 1983;13). Sementara selametan yang dilakukan
oleh pelaku ritual di pesarean Gunung Kawi tidaklah demikian. Meskipun di atas dikatakan
berbeda antara selamatan yang biasa dilaksanakan oleh orang Jawa dengan yang
dilaksanakan di Gunung Kawi, di beberapa hal terdapat juga persamaan di antara keduanya.
Persamaan yang terlihat adalah penyebutan pemimpin ritual yang sama-sama disebut dengan
istilah Modin dan sama-sama menghidangkan sesajen.
Pengunjung yang ikut menjadi pelaku dalam ritual selamatan berasal dari berbagai
macam latar belakang. Dari sisi agama, pengunjung berasal dari beragam agam, yakni Islam,
Kristen, Katolik, dan Konghuchu. Sementara itu, dari sisi daerah, pelaku ritual berasal dari
beberapa daerah, yakni Jawa (meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Madura),
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan berbagai daerah lain di Indonesia. Melihat keberagaman
tersebut, memunculkan beberapa pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini, yakni
a. Agama apa yang paling mendominasi dalam kegiatan tersebut?
b. Bagaimana salah satu agama yang mendominasi tersebut dapat diterima?
c. Dengan keberagaman tersebut, bagaimana suasana toleransi yang tercipta baik di
dalam kegiatan maupun di lingkungan masyarakat sekitar?
Metode
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi. Etnografi adalah
proses penelitian yang dalam kegiatan tersebut peneliti mengobservasi, merekam, dan ikut
berpartisipasi di dalam kegiatan yang dilaksanakan (Sibarani; 2004:54). Dengan kegiatan
yang semacam itu, metode yang digunakan adalah metode lapangan (fieldwork method), dan
kemudian menulis laporan tentang kebudayaan tersebut dengan memperhatikan uraian atau
perincian deskriptif (Marcus&Fisher dalam Sibarani; 2004: 54).
Dalam penelitian ini menggunakan tiga metode dalam mengumpulkan data, yakni
obseravsi partisipatoris, observasi periodik, dan wawancara mendalam (indepth interview)
(Sibarani; 2004:51). Metode observasi partisipatoris adalah peneliti ikut serta berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan yang diobeservasi, disekripsi, dan dianalisis (Sibarani; 2004:55,
Danesi; 2004:7, Spradley; 1997:105). Dalam metode ini peneliti ikut terjun langsung bersama
dengan pengunjung-pengunjung lain termasuk pelaku ritual selamatan. Peneliti juga
bergabung dengan pelaku-pelaku ritual dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Peneliti
mengikuti seluruh rangkaian ritual yang dilaksanakan di tempat penelitian. Partisipasi
langsung ini dimaksudkan supaya peneliti dapat lebih memahami segala hal yang menjadi
aturan dalam pelaksanaan ziarah. Selain itu, juga dimaksudkan supaya peneliti mendapatkan
informasi langsung bentuk tuturan atau doa yang digunakan dan disampaikan oleh Modin
dalam ritual ziarah tersebut.
Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat observasi partisipatoris adalah
mengikuti segala kegiatan pelaksanaan selametan. Di sana peneliti merekam dan mengamati
pelaksanaan kegiatan ritual selamatan tersebut sehingga akan didapatkan gambaran yang jelas
mengenai konteks ritual. Konteks yang dilihat meliputi konteks fisik, sosial, budaya, dan
psikologis dari pelaku ritual dan modin. Selain itu, dicermati juga aturan-aturan yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama kegiatan ritual berlangsung. Hal itu dilakukan
dengan pertimbangan ada kemungkinan hal-hal tersebut memengaruhi tuturan ritual maupun
pola pikir pelaku ritual.
Observasi lain yang dilakukan adalah observasi periodik ke lapangan. Metode ini
memiliki peran yang cukup penting dalam penelitian lapangan khususnya maupun budaya
secara umum. Metode ini juga terkait dengan metode sebelumnya atau lebih tepatnya
merupakan kelanjutan metode sebelumnya, yakni metode observasi partisipatoris. Metode ini
digunakan untuk melakukan kroscek data yang telah didapatkan dari observasi partisipatoris.
Dalam menggunakan metode ini peneliti sudah tidak lagi terjun dan ikut langsung dalam
perilaku ritual, melainkan secara berkala melihat ritual-ritual tersebut dilakukan. Ritual yang
dilihat boleh yang telah diikuti maupun yang belum diikuti dalam penelitian sebelumnya.
Kegiatan yang dilakukan juga dalam observasi periodik adalah melanjutkan wawancara
mendalam yang telah dilakukan.
Pengumpulan data selanjutnya dilakukan melalui kegiatan wawancara mendalam
(Indepth Interview). Wawancara mendalam dilakukan supaya informasi yang didapatkan
tidak simpang siur dan jelas dari sumbernya. Berdasarkan sifatnya wawancara yang
dilakukan dibagi dalam dua kategori, yakni wawancara terbuka dan tertutup. Wawancara
terbuka dilakukan dengan pengunjung dan pelaku ritual selamatan di pesarean, sedangkan
wawancara tertutup dilakukan dengan juru kunci yang menjaga pesarean Gunung Kawi dan
Modin selaku pemimpin ritual selamatan.
Wawancara dilakukan beberapa kali terhadap beberapa narasumber (informan). Di
Gunung Kawi, terdapat pengunjung yang sifatnya sangat heterogen, yakni dari suku Jawa,
Cina, bahkan sampai luar Jawa. Selain itu, pengunjung dan pelaku juga berasal dari latar
belakang agama yang berbeda pula, di antaranya berasal dari agama Islam, Kristen, Budha,
dan Konghucu. Melihat beragamnya latar belakang pengunjung dan pelaku ritual, dalam
penelitian ini dipilih informan-informan yang dapat mewakili beragam masing-masing suku
dan agama. Sementara itu, untuk juru kunci, di Pesarean Gunung Kawi terdapat banyak juru
kunci, baik yang sekadar menjaga pintu makam, menjaga makam, menjaga sumber air,
sampai yang memimpin ritual. Masing-masing juru kunci menjadi informan untuk
mendapatkan data yang beragam.
Data-data yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, dan dianalisis dengan
menggunakan beberapa tahapan. Tahap-tahap tersebut meliputi (1) melakukan transkripsi
diikuti dengan terjemahan bebas, (2) menganalisis berdasarkan konteks, dan (3) analisis
berdasarkan klasifikasi dan kemudian mengintrepretasikan penyebab adanya pola pikir
tersebut. Transkripsi merupakan kegiatan menyalin tuturan doa yang dituturkan secara lisan
ke dalam bentuk teks. Terjemahan bebas memiliki arti bahwa peneliti mengartikan atau
menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam tuturan itu secara bebas. Penerjemahan perlu
dilakukan sebab data bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut sangat beragam. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan penerjemahan guna memberikan pemahaman terhadap pembaca
lain yang tidak atau belum memahami bahasa yang digunakan.
Beberapa komponen yang didapatkan dari wawancara dan analisis wacana ritual
Modin menjadi dasar peneliti untuk memberikan penafsiran. Dalam penelitian budaya
khususnya, metode interpretative menjadi sifat yang cukup penting. Sesuai dengan yang
disarankan oleh Geertz (1992:4) bahwa dalam penelitian kebudayaan senantiasa terbuka
kemungkinan untuk menganalisis data dengan mempertimbangkan sifat penelitian itu sendiri.
Adapaun sifat penelitian itu adalah penafsiran (interpreatif).
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus menurut
Creswell (2003:15) adalah peneliti mengeksplor secara mendalam setiap peristiwa, kegiatan,
proses pada satu atau lebih individu. Kasus yang diambil dibatasi oleh waktu dan kegiatan,
dan peneliti mengumpulkan data dan informasi secara lengkap dan mendalam dengan
menggunakan prosedur pengumpulan data yang bervariasi. Dengan demikian, metode atau
prosedur pengambilan data yang digunakan oleh peneliti selalu berkembang sesuai dengan
kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena penelitian ini merupakan penelitian studi
kasus maka simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan dengan
penelitian lain meskipun sejenis.
Hasil Temuan
Deskripsi Gunung Kawi
Adanya fenomena kepercayaan di pesarean Gung Kawi dan berbagai mitos yang
berkembang di sana, tidak dapat dilepaskan dari dua sosok bersahaja yang dimakamkan di
tempat tersebut. Hal itu disebabkan, setiap pengunjung yang datang selalu memberikan
alasan hendak melakukan ziarah ke makam Eyang Djugo dan R.M. Imam Soedjono.
Pengunjung yang datang dari berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, maupun agama
yang berbeda tersebut selalu memiliki alasan yang sama. Oleh sebab itu, kedua tokoh tersebut
seperti menjadi sentral atau pusat dalam setiap pembicaraan mengenai keberadaan Gunung
Kawi. Untuk itu, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai sejarah keberadaan tokoh tersebut
sampai berada di Gunung Kawi. Selain akan terlihat dua sosok tersebut, dalam subbab ini
nantinya juga akan terlihat proses terjadinya akulturasi budaya yang tercipta dan terlihat
melalui bangunan-bangunan di sekitar pesarean. Dari situ akan terbayang gambaran
keharmonisan yang tercipta di antara pengunjung yang berbeda latar belakangnya.
Gambar 1.
Peta Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur, Indonesia
Sejarah mengenai keberadaan Gunung Kawi dimulai pada tahun 1830, setelah
Pangeran Diponegoro dapat dikalahkan oleh Belanda. Banyak pengikut Pangeran Diponegoro
yang melarikan diri ke pelosok-pelosok nusantara. Salah satu pengikut setia Pangeran
Diponegoro yang juga ikut melarikan diri adalah Kyai Zakaria II (versi lain menyebutkan
bahwa Kyai Zakaria II adalah penasihat spiritual Pangeran Diponegoro). Kyai Zakaria II
melarikan diri ke beberapa tempat, yakni Pati, Bagelan, Tuban, kemudian sampai di Blitar,
tepatnya di dusun Djoego, Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Diperkirana
Beliau sampai di daerah tersebut sekitar tahun 1840.
Kanjeng Panembahan Kyai Zakaria II merupakan anak keturunan dari Kyai Zakaria I.
Beliau adalah cucu dari Bendoro Pangeran Hario Diponegoro dan buyut dari Sampeyan
Dalem Engkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwono I. Kandjeng Susuhunan
Pakubuwono adalah raja yang memerintah di Keraton Surakarta. Oleh karena beliau adalah
keturunan dari Kyai Zakaria I maka beliau dikenal dengan Kyai Zakaria II. Melihat silsilah
Kyai Zakaria yang tidak lain adalah keturunan keratin, maka dalam tuturan ritual beliau
disapa dengan istilah Kanjeng dan Penembahan. Keduanya menjadi ciri khas bahwa yang
bersangkutan adalah keturunan keraton.
Dalam pengembaraannya di dusun Djoego, beliau mendirikan padepokan yang
digunakan untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar. Keberadaannya di
dusun Djoego yang membuat Kyai Zakaria II kemudian dikenal dengan sebutan Eyang
Djugo. Sekitar sepuluh tahun setelah pendiriannya, padepokan tersebut mulai banyak murid
yang berdatangan. Salah satu yang menjadi murid setia beliau adalah yang juga pengikut
Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke wilayah Jawa Timur. Pengikut tersebut
akhirnya menemukan padepokan Eyang Djugo dan bergabung menjadi muri setia. Selain
menjadi salah satu murid setia Eyang Djugo, belaiu sekaligus diangkat sebagai anak oleh
Eyang Djugo. Beliaulah yang dikenal dengan nama R.M. Imam Soedjono. Oleh kalangan
orang-orang keturunan Tionghoa, Eyang Djoego dikenal dengan sebutan Tao Law Shi, yang
artinya guru besar pertama. Sementara itu, R.M. Imam Soedjono dikenal dengan sebutan Djie
Law Shi, yang artinya adalah guru besar kedua.
Sepeninggal Eyang Djoego, kepemimpinan diambil alih oleh R.M. Imam Soedjono,
yang kemudian dikenal dengan Eyang Soedjo. Kepemimpinan diambil alih sampai beliau
wafat pada tahun 1876. Eyang Soedjo wafat pada hari Rabu Kliwon, dan langsung
dimakamkan di tempat tersebut. Kedua panembahan Eyang Djoego dan Eyang Soedjo
dimakamkan dalam satu liang lahat (namun terdapat juga versi lain yang menyebut mereka
dimakamkan tidak dalam satu liang lahat, melainkan berjajar). Namun demikian, yang
terlihat dalam pasarean tersebut memang makam yang cukup luas dan dimungkinkan dua
jenasah yang dimakamkan saling berdempetan.
Dengan kematian dua tokoh tersebut tidak menjadikan Gunung Kawi sepi dari orang-
orang yang hendak belajar kebijaksanaan hidup. Pada sekitar tahun 1931 datang seorang
keturunan Tionghoa yang bernama Ta Kie Yam (dikenal dengan sebutan mpek Yam).
Kedatangannya ke Gunung Kawi pada awalnya untuk melakukan ziarah ke makam Eyang
Djoego dan Eyang Soedjo dan mencari pengobatan di tempat tersebut. Setelah minum air suci
yang diambil dari guci kuno dan diberikan beberapa doa, mpek Yam merasakan kesembuhan
dan merasa berterimakasih kepada Eyang Soedjo. Namun, setelah mendapatkan kesembuhan,
mpek Yam merasakan kehidupan yang tenang dan nyaman di tempat tersebut, sehingga
memutuskan untuk tinggal dan mengambdi pada Eyang sekalian.
Deskripsi Selamatan dan Analisis Data
Ritual Selamatan di Pesarean Gunung Kawi sudah muncul sejak adanya dua tokoh
bersahaja yang dimakamkan di tempat tersebut, yang tidak lain adalah Eyang Djoego (Kyai
Zakaria II) dan Eyang Soedjo (R.M. Imam Soedjono). Dengan alasan atau tujuan untuk
melakukan ziarah ke makam dua tokoh tersebut pengunjung berduyun-duyun mendatangi
tempat ini. Terlepas dari tujuan dan alasan awal tersebut, beberapa di antara atau bahkan
hampir setiap pengunjung memiliki alasan yang lain. Salah satu yang menjadi alasan utama
mendatangi tempat tersebut adalah untuk melakukan ritual selamatan.
Ritual selamatan ini menjadi menarik karena berbeda dengan ritual-ritual lain yang
ada di tempat tersebut. Jika dalam ritual lain, segalanya dilakukan oleh pelaku sendiri, tanpa
adanya bantuan atau doa-doa dari pihak lain, sehingga maksud dan harapan hanya dapat
diketahui oleh yang bersangkutan. Sementara itu, untuk ritual selamatan dilaksanakan secara
bersamaan dengan dipimpin oleh juri kunci makam dan dibacakan doa-doa oleh modin.
Selain hal itu, beberapa hal lain juga membedakan antara ritual selamatan ini dengan
ritual-ritual yang lain. Beberapa perlengkapan yang harus dibawa dan dipenuhi oleh pelaku
ritual cukup banyak, dan ini tidak akan ditemukan dalam ritual yang lain. Pelaku ritual juga
diharapkan dalam kondisi yang bersih, suci lahir dan batin. Beberapa pengunjung mengaku
sebelum mengikuti ritual tersebut terlebih dahulu melakukan puasa. Sementara itu, sebelum
melaksanakan ritual ini pengunjung diharapkan sudah mandi keramas. Hal ini menyiratkan
makna bahwa setiap pelaku ritual harus bersih dan suci lahir dan batin.
Sama halnya dengan uba rampe yang berupa nasi tumpeng, uba rampe yang terdiri
atas bunga dan sebagainya juga telah tersedia di tempat tersebut. Beberapa pedagang siap
melayani setiap kebutuhan mereka. Di sepanjang jalan menuju gapura puncak pesarean
berjajar kios-kios yang menawarkan bunga-bunga dan segala perlengkapan yang dibutuhkan.
Berkenaan dengan seberapa banyak bunga yang harus dibawa juga tidak ditentukan, sehingga
para pedagang bunga menyediakan dalam beberapa pilihan. Bunga-bunga yang telah
dibungkus dengan daun pisang dijual dengan harga Rp2.000 per bungkus. Pedagang juga
menyediakan bunga yang ditempatkan pada keranjang plastik dan dijual dengan harga
Rp5.000 per wadah. Untuk satu kemenyan dijual dengan harga Rp1.000 (belum termasuk
kantongnya). Untuk kantongnya sendiri per bungkus ditawarkan dengan harga bervariasi
antara Rp 4.000 sampai Rp 5.000. karena ada dua warna, dan itu bukan pilihan melainkan
untuk dua maksud yang berbeda, maka pelaku biasanya membeli dua kemenyan untuk
dimasukkan dalam dua kantong yang berbeda warna tersebut. Akan tetapi, bagi pelaku yang
hanya menghendaki satu kantong juga tidak dipermasalahkan. Semua pilihan tersebut
kembali kepada pelaku ritual. Setelah semuanya dibeli, pedagang akan menatakan dalam satu
tempat, bunga-bunga diberi taburan irisan daun pandan kemudian diberi wewangian dan siap
untuk dibawa ke makam. Sementara untuk kemenyan tetap dimasukkan dalam kantong, tidak
dijadikan satu dengan bunga dan irisan daun pandan tersebut.
Apabila semua sudah siap tetapi waktu pelaksanaan belum dimulai, pelaku bisa
menunggu di depan bangunan pesarean. Pelaku belum diperkenankan untuk masuk ke
pesarean karena pintu akan dibuka jika ritual sudah akan dimulai, baik pintu utama maupun
pintu di sisi kiri maupun kanan. Apabila sudah terlihat juru kunci makam datang maka dapat
dipastikan ritual akan segera dilaksanakan. Sementara juru kunci makam bersiap-siap,
beberapa abdi dalem mulai membuka semua pintu pesarean. Meskipun semua pintu dibuka,
pelaku ritual hanya diperkenankan masuk melalui pintu utama yang terdapat di depan
pesarean. Bagi pelaku yang kedatangannya juga hendak mencari kesembuhan ataupun ingin
sehat, dapat memesan air suci kepada abdi dalem yang menunggu air suci. Nantinya, sesaat
sebelum ritual selamatan dimulai abdi dalem akan mengantarkan jerigen-jerigen pesanan
pelaku ritual untuk ikut dibacakan doa oleh modin.
Setelah pintu dibuka, pelaku ritual yang merasa sudah memesan dan membawa uba
rampe ritual berduyun-duyun masuk ke pesarean. Mereka masuk dengan bertelanjang kaki
dan berpakaian bersih serta rapi. Terlihat pelaku berasal dari beragam suku dan agama.
Mereka kemudian duduk bersila di hamparan karpet hijau yang menutupi lantai pesarean.
Dengan tertib dan teratur mereka memberikan bunga dan kemenyan yang telah mereka bawa
kepada abdi dalem yang berada tepat di pinggir makam. Bunga-bunga tersebut kemudian
dibuka dan dimasukkan ke dalam baskom yang berisi bunga. Sementara itu, untuk kemenyan
diserahkan tidak beserta kantongnya, karena kemenyan semuanya akan dimasukkan ke dalam
satu baskom. Kantongnya dibawa oleh masing-masing pelaku ritual.
Setelah semua pelaku siap, duduk tertib dan diharapkan tidak mengobrol, muncul
beberapa abdi dalem yang menata pesanan nasi tumpeng pelaku. Nasi tumpeng tersebut
ditempatkan di wadah semacam besekan (wadah berbentuk kotak yang terbuat dari bambu).
Besekan tersebut oleh abdi dalem ditata di depan pelaku ritual sesuai dengan pesanan masing-
masing. Di luar besekan tersebut sudah tertera nama pemesannya, dan abdi dalem akan
mencocokkan sesuai dengan tempat duduk mereka. Selama prosesi ritual, pelaku duduk
bersila menghadap ke makam dengan membentuk beberapa baris. Setiap pelaksanaan ritual
diikuti tidak kurang dari 20 sampai 25 orang, atau untuk waktu-waktu tertentu bisa lebih dari
jumlah tersebut. Untuk itu, pelaku ritual membentuk barisan ke belakang sambil menghadap
ke makam sekaligus menghadapi modin yang membacakan doa-doa.
Setelah semua pelaku ritual siap, uba rampe yang berupa nasi tumpeng sudah ditata,
sementara perlengkapan lain sudah diserahkan kepada abdi dalem penjaga makam, dan oleh
abdi dalem sudah ditempatkan ke baskom masing-masing, maka ritual segera dilaksanakan.
Ritual akan dibuka dengan pertanyaan dari modin tentang kesiapan para pelaku ritual. Selain
itu, modin juga akan memberikan peringatan untuk tertib selama pelaksanaan ritual. Tertib di
sini diartikan pelaku ritual tidak boleh bercakap-cakap selama pelaksanaan ritual, bagi yang
membawa anak kecil dimohon untuk menjaganya supaya tidak mengganggu jalannya ritual.
Pelaku juga diharapkan untuk turut serta dalam beberapa bagian pembacaan doa, di antaranya
mengucapkan “amin” jika diperlukan. Akan tetapi, bacaan amin tersebut juga tidak boleh
terlalu keras, bisa dilakukan dalam hati atau hanya sekadar membuka mulut tanpa suara.
Modin membuka pembacaan doa-doa dengan terlebih dahulu mengajak kepada
seluruh pelaku ritual untuk dimintai doa restunya dan berharap semua dalam keadaan sehat.
Berikut beberapa cuplikan tuturan modin dalam ritual selamatan.
Mangga sedherek sedaya
‘Mari saudara semua’
Kula suwun pangestunipun rahayu wilujeng
‘Saya minta restu selamat sejahtera’
Muginipun rencang angge ne dedonga wonten wana dhumateng Rosulullah
‘Semoga teman dalam berdoa di hutan kepada Rosulullah’
Kula tansah nglantaraken hajatipun para jaler saha re ncang estri
‘Saya selalu nglantaraken hajatnya para saudara laki dan teman perempuan’
Sedaya wau sami caos wuri lan nedhi
‘Semua tadi sama memberi wuri dan makan’
Ingkang dipuntujukaken dhumateng eyang panembahan sekaliyan
‘Yang ditujukan kepada eyang panembahan berdua’
Pramilo dipuntenggo wangsulanipun pandonga rahayu wilujeng
‘Untuk itu ditunggu jawaban doa rahayu wilujeng’
Wilujenga anggenipun saget gesang ing bebriyo, wilujenga sak keluarganipun sedaya
‘Semoga selamat dalam hidup berumah tangga, semoga selamat bersama keluarganya
semua’.
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
‘Mari saudara semua’
‘Saya minta restunya selamat sejahtera’
‘Semoga saudara dalam melakukan doa di hutan kepada Rosulullah’
‘Saya selalu menghantarkan hajatnya para saudara laki-laki dan perempuan’
‘Semuanya tadi memberikan makan (nasi) dan perlengkapannya’
‘Yang ditujukan kepada Eyang Panembahan sekaliyan’
‘Untuk itu, ditunggu jawaban atas doa keselamatan ‘
‘Semoga selamat dalam menjalani hidup berumah tangga, dan selamat bersama
dengan semua keluarganya’
Doa pembuka yang menggunakan bahasa Jawa tersebut dapat dimaknai sebagai
bentuk kepasrahan pelaku ritual dalam memohon kepada sanga pencipta. Dalam hal ini,
permohonan disampaikan kepada Tuhan melalui Rosulullah dan mengambil lokasi di hutan.
Pernyataan dhumateng Rosulullah pada dasarnya memberikan tanda bahwa pelaku ritual
menganggap bahwa wujud tertinggi dari pengharapan tetap ditujukan kepada Tuhan.
Rosulullah adalah nabi Muhammad yang merupakan utusan terakhir Tuhan dalam
kepercayaan agama Islam. Hal tersebut juga diyakini oleh pelaku ritual yang beragama selain
Islam, dan hal itu menurut mereka tidak menjadi suatu permasalahan. Sementara yang di
maksud wana (hutan) adalah karena lokasinya yang berada di gunung, masih dipenuhi
dengan pepohonan, maka masih dikenal dengan sebutan hutan.
Doa dilanjutkan dengan tuturan berikut.
Sageta kinabulan sedaya penyuwunipun para wayah ingkang sowan wonten
pesare
‘Semoga bisa terkabul semua permintaan anak-anak yang datang ke makam
kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
Mawi wilujengan motong kambing lan ayam sekul suci.
‘Dengan mengadakan selamatan pototng kambing dan ayam serta nasi
gurih’.
Ugi wilujengan mawi sekul tumpeng.
‘Juga selamatan dengan nasi tumpeng’.
Sedaya wau kagem caos dhahar Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan.
‘Semua itu untuk memberi makan kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
Mugi Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan kerso’a nampi sampun
ngantos nagih tanpa nyambi.
‘Semoga kanjeng Eyang Penembahan berdua mau menerima jangan sampai
menagih tanpa’.
Sageto luar ing dinten menika, panyuwunapiun para wayah sedaya.
‘Semoga bisa bebas di hari ini permintaan anak-anak semua’.
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
‘Kecuali dari itu, anak-anak dulu berada dalam kerepotann dalam hati’.
‘Dalam kerepotan di hati itu, saya memohon kepada Tuhan yang Maha
Kuasa dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
‘Juga punya rasa dalam hati, dan juga bisa diberi kebebasan semua
kerepotannya, semoga bisa terkabul semua permintaan anak-anak yang
datang ke makam kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
‘Dengan mengadakan selamatan pototng kambing dan ayam serta nasi gurih’.
‘Juga selamatan dengan nasi tumpeng’.
‘Semua itu untuk memberi makan kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
‘Semoga kanjeng Eyang Penembahan berdua mau menerima jangan sampai
menagih tanpa mencicipi’.
‘Semoga bisa bebas di hari ini permintaan anak-anak semua’.
‘Semoga bisa hilang bahayanya, jauhkan nafsunya, siap rejekinya, dengan
perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
Tuturan yang masih menggunakan bahasa Jawa ini menjadi penghantar sebelum
masuk kepada tuturan inti dalam pelaksanaan selamatan. Doa yang dipanjatkan masih umum
dengan menyebutkan para wayah yang berarti menganggap pelaku ritual ini datang kepada
orang tuanya, yang dalam hal ini adalah Eyang Djoego dan Eyang Soedjo. Dengan
menganggap mereka sebagai orang tua atau orang yang dianggap lebih tua, kemudian
membawakan segala macam yang dibutuhkan, seperti nasi dan lain sebagainya, diharapkan
permintaan dapat dikabulkan. Setelah tuturan ini, akan dilanjutkan dengan tuturan berikutnya
yang menggunakan bahasa Indonesia.
Berikut tuturan selanjutnya.
Kajawi saking punika, kula ngaturaken hajatipun
‘Kecuali dari itu, saya menghantarkan hajatnya’.
Dari Bapak FM, usahanya PT FBAP, di Jl. TM raya, no. 27 J, sekeluarga mohon
sehat, selamet, usahanya lancar, banyak rejekinya.
Dari Bapak WG, usahanya PT PIM, di Jl. KT, no.7 J, usahanya mohon lancar, banyak
rejeki, dan selamet sekeluarga.
Dari Saudara B, usahanya LJ di D, W, mohon usahanya lancar, banyak rejeki, mohon
usaha lancar, banyak rejeki, dan slamet sekeluarga.
Dari Bapak WS di Jl. SI, no. 19 S, sekeluarga mohon sehata selamet, usaha mohon
lancar, banyak rejekinya, usaha pintu besi harmonika dan bengkel.
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
Tuturan di atas merupakan penggalan dari tuturan yang dituturkan pada bagian inti
wacana. Karena merupakan bagian inti, masih terdapat bagian penutup yang kembali
menggunakan bahasa Jawa dan dilanjutkan dengan bacaan yang menggunakan bahasa Arab.
Berikut doa penutup yang masih menggunakan bahasa Jawa.
Sedaya usahanipun sageto lancar maju berhasil lan sukses.
‘Semua usahanya semoga bisa lancar, maju, berhasil, dan sukses’.
Para wayah dalu menika kang sowan wonten pesareanipun Kanjeng Eyang
Panembahan sekaliyan.
‘Anak-anak malam ini yang datang ke makam kanjeng Eyang Penembahan
berdua’.
Mawi wilujengan, motong kambing lan ayam sekol tumpeng kagem caos dhahar
Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan.
‘Dengan mengadakan selamatan, potong kambing dan ayam nasi tumpeng untuk
member makan kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
Mugi Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan kerso’a nampi sampun ngantos
nagih tanpa nyambi sageta luar ing dinten menika, panyuwunanipun para
wayah sedaya sageta lancar sedaya usahanipun.
‘Semoga kanjeng Eyang Penembahan berdua mau menerima jangan sampai
menagih tanpa, semoga bisa bebas di hari ini, permintaan anak-anak semua
semoga lancar semua usahanya ’.
Sageta ical sengkalane, tebiya birahine, cepaka rejekine, lelantaran Kanjeng
Eyang Panembahan sekaliyan.
‘Semoga bisa hilang bahayanya, jauhkan nafsunya, siap rejekinya, dengan
perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
Tuturan di atas merupakan pengulangan pada tuturan pembuka yang kedua, hanya
terdapat penambahan sedikit pada bagian awal tuturan. Setelah doa tersebut, doa kemudian
ditutup dengan bacaan berbahasa Arab.
Berikut tuturan tersebut.
Audzubillahiminasyaithanirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim.
Allahummashali’alasayidina Muhammad, wa’ala ali sayidina Muhammad.
Minal awalina wal akhirina ………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
Tuturan dengan menggunakan bahasa Arab ini yang kemudian oleh pelaku ritual
disambut dengan bunyi “amin”. Kata “amin” diucapkan dengan bunyi rendah atau bahkan
tanpa bersuara. Setelah pembacaan doa ditutup dengan bacaan berbahasa Arab tersebut,
modin kemudian mengumumkan bahwa pelaksanaan selamatan telah selesai. Sepertinya
setiap pelaku ritual sudah tahu atau hafal harus melakukan apa ketika ritual selamatan selesai.
Besekan diambil kembali oleh abdi dalem berpakaian Jawa untuk dibagikan kepada warga
sekitar. Akan tetapi tidak semua diambil, jika pelaku ritual menghendaki, besekan tersebut
dapat dibawa pulang.
Setelah segala prosesi ritual selamatan selesai, abdi dalem kembali akan menutup
semua pintu pesarean. Pintu akan dibuka kembali pada waktu pelaksanaan ritual selamatan
berikutnya. Karena begitu banyaknya yang mengikuti ritual selamatan, pada saat keluar
pelaku dapat menggunakan pintu, baik sebelah kiri, kanan, maupun pintu utama. Namun
untuk pengambilan air suci dari guci kuno masih dapat dilakukan selama persediaan air
masih ada.
Gambar 2.
Bunga yang menjadi salah satu uba rampe diletakkan di depan makam
Gambar oleh Nuryani (10 Maret 2010)
Gambar 3.
Kemenyan dan kantong yang berwarna kuning dan merah yang digunakan sebagai salah satu
uba rampe juga disediakan oleh pedangang di sekitar makam
Gambar oleh Nuryani (10 Maret 2010)
Pada pelaksanaan ritual selamatan modin membakar kemenyan pada saat kegiatan
dilaksanakan. Kemenyan yang dibakar bukan kemenyan yang berasal dari pelaku ritual.
Sebelum pelaksanaan ritual selamatan dimulai, peserta ritual terlebih dahulu memasukkan
kemenyan yang mereka bawa ke dalam wadah yang telah disediakan di samping makam.
Kemenyan yang dibawa oleh pelaku ritual tidak akan dibakar, karena kemenyan tersebut
akan dikembalikan kepada pemilikinya setelah ritual selesai. Sementara itu, yang dibakar
adalah kemenyan yang telah disediakan oleh pihak penyelenggaran ritual selamatan.
Penggunaan ubo rampe juga dapat dimaknai sebagai pengaruh keberadaan Islam yang
diakui sebagai agama yang disebarkan oleh Eyang Djoego dan Imam Soedjono.
a. Nasi gurih (nasi suci)
Nasi yang dibawa sebagai uba rampe merupakan nasi gurih atau yang dikenal oleh
pelaku ritual dengan istilah nasi suci. Istilah nasi suci juga disebutkan oleh modin dalam
tuturan ritualnya. Seperti yang dapat dilihat dalam penggalan tuturan di bawah ini!
Mawi wilujengan motong kambing lan ayam, sekul suci, ugi wilujengan mawi sekul
tumpeng, sedaya wau kagem caos dhahar Eyang Panembahan sekaliyan.
‘Dengan selamatan potong kambing dan ayam, nasi suci, juga selamatan dengan nasi
tumpeng, semua tadi untuk memberi makan eyang panembahan sekaliyan’.
Adapun makna yang terkandung di dalamnya adalah peserta ritual memberikan sesaji
secara ikhlas, dan berharap dapat diterima oleh eyang sekalian. Sementara itu, nasi gurih
dianggap sebagai nasi yang enak dan pantas untuk disajikan kepada orang yang dihormati.
Setelah membawa nasi suci, diharapkan eyang sekalian tidak menolak permintaan ataupun
permohonan yang disampaikan oleh peserta ritual selamatan. Hal ini dapat dilihat dalam
penggalan tuturan ritual di bawah ini!
Mugi Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan kersa nampi, sampun ngantos nagih
tanpa nyambi, sageta luar ing dinten punika, panyuwunanipun para wayah sedaya.
‘Semoga Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan bersedia menerima, jangan sampai
menagih tanpa nyambi, bisa keluar di hari ini, permintaan para anak semua’.
Nasi yang berwarna putih menandakan kesucian dan keihlasan peserta ritual
selamatan. Sementara gurih yang ada dalam rasa nasi diartikan sebagai pertanda bahwa
selama menjalani proses ritual selamatan semua peserta tidak boleh memiliki perasaan
ataupun harapan yang kotor. Segala yang berada di tempat tersebut diharapkan bersih baik
secara lahir maupun batin. Rasa gurih merupakan rasa yang tidak tercampur dengan asam,
manis, ataupun rasa yang lain. Dengan demikian, diharapkan semua peserta ritual mampu
menjaga segala perasaannya dari hal-hal, prasangka, dan harapan-harapan yang buruk.
b. Lauk Pauk (Tempe goreng, Mie, Sayur)
Perlengkapan lain sebagai pelengkap dalam besekan yang dibawa oleh pelaku adalah
adanya lauk pauk. Lauk pauk yang disajikan biasanya adalah tempe goreng, mie goreng, dan
sayur. Sayur yang disajikan biasanya adalah campuran antara kentang, tahum tempe, krecek,
dan kuah santan. Ketika ditanyakan mengenai makna dari lauk pauk yang disajikan ini,
modin mengatakan tidak ada makna tertentu. Modin hanya mengatakan bahwa lauk pauk ini
yang dari zaman dahulu ada dan menjadi makanan kesukaan rakyat. Meskipun demikian,
lauk pauk ini tidak pernah digantikan dengan jenis lauk pauk yang lain. Menurut modin, pada
dasarnya boleh saja diganti, akan tetapi dengan tujuan supaya tidak merepotkan pelaku ritual
dan panitia penyedia, maka lauk pauk tersebut tetap sama dari waktu ke waktu.
Bahan Diskusi
Berdasarkan hasil temuan yang telah diuraikan di atas, terlihat adanya banyak unsur
Islam yang mendominasi kegiatan selamatan. Pada beberapa aspek, tidak terlihat seperti
ritual keagaam dalam Islam. Namun demikian, pada unsur-unsur kebatinan dan doa-doa
sangat terlihat adanya pengaruh Islam yang mendominasi. Seperti pada hal kepercayaam,
dalam Islam sangat meyakini adanya Tuhan penguasa alam yang hanya kepadaNya semua
keyakinan dan pengharapan dipasrahkan. Tidak ada kekuatan dan daya manusia selain dari
bantuan Tuhan (Allah). Untuk itulah, dalam kegiatan selamatan semua permohonan
disampaikan kepada Allah melalui Muhammad (yang dalam kepercayaan Islam adalah nabi
terkahir).
Islam sebagai agama yang mendominasi dalam kegiatan selamatan mampu diterima
dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya keikutsertaan pengunjung yang
berasal dari agama selain Islam. Penerimaan ini didasarkan atas kesamaan kepentingan dan
tujuan mengadakan kegiatan ritual. Pengunjung merasa tidak ada suatu alasan untuk lebih
mengedeoankan agama dan sukunya sendiri di atas Islam. Setiap tahap ritual selamatan yang
mengandung unsur Ilsma diikuti secara baik oleh setiap pengunjung dari beragam latar
belakang. Ketika modin menyampaikan doa yang menggunakan bahasa Arab dan menyebut
Allah serta Muhammad, maka setiap pengunjung dari beragam latar belakang agama juga
meng”amin”i. Hal tersebut menunjukkan penerimaan yang baik dari setiap kalangan dan
pengunjung.
Adanya penerimaan yang baik pada kegiatan selamatan di atas menunjukkan adanya
toleransi yang baik pada kegiatan tersebut. Penyelenggara (yang dalam hal ini adalah pihak
pesarean maupun modin selaku pemimpin ritul), tidak membedakan peserta ritual yang satu
dengan yang lain. Setiap pengunjung dengan beragam latar belakang agama melakukan ritual
selamatan dalam waktu yang sama dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Pengunjung dengan agama Islam tidak memiliki keistimewaan dibangikan dengan
pengunjung dari agama lain. Demikian juga sebaliknya, pengunjung dari agama Kristen,
Konghuchu, maupun agama yang lain juga harus mengikuti setiap langkah dan tahapan yang
telah ditetapkan.
Di tempat tersebut terdapat beberapa tempat ibadah dari beberapa agama. Di sana
terdapat klenteng sebagai tempat ibadah warga Konghuchu, masjid sebagai tempat ibadah
umat Islam, dan gereja sebagai tempat ibadah umat Kristen dan Katolik. Semua tempat
ibadah tersebut berdiri berdampingan di wilayah pesarean Gunung Kawi. Hal tersebut
dimaksudkan supaya pengunjung dapat beribadah dengan baik setelah selesai melaksanakn
ritual selamatan. Adanya beberapa tempat ibdaha tersebut menjadi penanda bahwa toleransi
beragam cukup terjalin dengan baik di tempat tersebut. Hal itu tidak terlepas dari peran tokoh
yang dimakamkan di tempat tersebut yang dianggap sebagai ulama Islam, yakni Eyang
Djoego dan Imam Soedjono. Beliau berdua mampu menjadi contoh dalam menghidupkan
toleransi beragam bahkan jauh sebelum hingar bingar mengenai toleransi digaungkan.
Simpulan
a. Agama yang paling mendominasi dalam kegiatan selamatan di pesarean Gunung
Kawi adalah agama Islam. Hal tersebut terlihat dari tuturan dalam doa-doa yang
disampaikan, yakni terdapat bahasa Arab, meskipun terdapat juga bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa. Dalam tuturan yang disampaikan terdapat adanya kepasrahan
terhadap Allah (yang merupakan Tuhan dalam agama Islam) dan Muhammad (yang
merupakan nabi dalam agama Islam).
b. Islam sebagai agama yang mendominasi mampu diterima dengan baik oleh semua
kalangan dan pengunjung dalam kegiatan selamatan. Hal tersebut tidak lepas dari
keberadaan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Islam mampu merangkul
semua kalangan dengan beragam latar belakang. Dalam Islam tidak mengenal adanya
perpecahan selama tidak saling mengusik dalam hal ibadah. Selama keberagaman
tersebut dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat, maka Islam akan menjaganya
dengan baik.
c. Kegiatan selamat di pesarean Gunung Kawi diikuti oleh peserta ritual dari latar
belakang agama, suku, dan bahasa yang berbeda. Di tempat tersebut juga terdapat
beragam tempat ibadah untuk agama yang berbeda. Selain itu, masyarakat setempat
juga terdiri atas masyarakat yang majemuk. Hal-hal tersebut tidak menjadikan adanya
perpecahan maupun adanya keinginan untuk saling mendominasi. Setiap pengunjung
telah dengan rela dan suka hati mengikuti ritual dengan beragam aspek yang terdapat
di dalamnya. Suasana toleransi dan saling menghargai sangat terasa dalam kegiatan
tersebut. islam mampu menjadi agam yang menyatukan setiap pengunjung untuk
dapat mengikuti ritual dengan baik. Pengunjung dari agama-agama lain seperti
Kristen, Katolik, Konghuchu, maupun agama yang lain mampu menerima dan
mengikuti proses ritual dengan baik. Mereka tidak saling memusuhi maupun memiliki
keinginan untuk mendominasi maupun “menggantikan” Islam dengan agama yang
lain.
Daftar Pustaka
Casson, R.W. 1981. Language, Culture, and Cogintion. London: Mas. Milan
Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approches. London: Sage Publications Ltd
Danesi, Marcel. 2004. A Basic Course in Anthropological Linguistics. Toronto: Canadian
Scholars Press Inc
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Terj. Aswab
Mahasin) Jakarta: Pustaka Jaya
_____________.1983. Local Knowledge. London: Fontana Press
_____________.1992. Tafsir Kebudayaan. (Terj. Fransisco Budi Hardiman) Yogyakarta:
Kanisius
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Malinowski, Bronislaw. 1982. Magic, Science, & Religion and Other Essays. London:
Souvenir Press (Educational&Academic) Ltd
Raden Soemododjojo. 2008 (cetakan ke-57). Kitab Primbon Betaljemur Adammakna.
Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda.
Simarmata, Henry Thomas, dkk. 2017. Indonesi: Zamrud Toleransi. Jakarta: PSIK-Indonesia.
Simarmata, Henry Thomas, dkk. 2017. Menghargai Perbedaan: Pendidikan Tolernasi untuk
Anak. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung dan PSIK-Indonesia.
Soeryowidagdo, R.M. 1989. Pesarean Gunung Kawi. Malang: Yayasan Ngesti Gondo
(Pengelola Pesarean Gunung Kawi)
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. (terj. Misbah Zulfa Aliza) Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Woodward, Mark R. 2008. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta:
LKiS.