inverted nipple v2

48
BAB I PENDAHULUAN Menyusui adalah proses alami manusia tetapi tidak sederhana seperti yang di bayangkan khalayak umum. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan ini. Agar menyusui berhasil, setiap ibu harus percaya dapat melakukannya dengan didukung petunjuk pengetahuan dan manajemen laktasi yang tepat dan benar. Persiapan dini sejak masa kehamilan hingga menyusui sangat membantu kelancaran proses menyusui secara keseluruhan (Larsen, 1990; Vari, 2007). Keuntungan dari menyusui semakin terbukti baik untuk ibu dan bayi. Bagi ibu, menyusui telah terbukti menurunkan perdarahan post partum dan mengurangi resiko kanker payudara. ASI juga dapat meningkatkan kesehatan anak karena ASI memiliki nutrisi yang tinggi disertai dengan enzim, hormon, dan senyawa imunologis yang melindungi bayi dari agen infeksius. Selain itu pemberian ASI telah terbukti memberikan kontribusi dalam perkembangan neural dan kognitif dari anak (Larsen, 1990; Vazirinejad et al, 2009; Priebe et al, 2014; Lucas dan Zlotkin, 2003). 1

Upload: gol777

Post on 10-Dec-2015

145 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

refrat nipple inverted

TRANSCRIPT

Page 1: Inverted Nipple v2

BAB I

PENDAHULUAN

Menyusui adalah proses alami manusia tetapi tidak sederhana seperti yang di

bayangkan khalayak umum. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan ini. Agar

menyusui berhasil, setiap ibu harus percaya dapat melakukannya dengan didukung

petunjuk pengetahuan dan manajemen laktasi yang tepat dan benar. Persiapan dini

sejak masa kehamilan hingga menyusui sangat membantu kelancaran proses

menyusui secara keseluruhan (Larsen, 1990; Vari, 2007).

Keuntungan dari menyusui semakin terbukti baik untuk ibu dan bayi. Bagi ibu,

menyusui telah terbukti menurunkan perdarahan post partum dan mengurangi resiko

kanker payudara. ASI juga dapat meningkatkan kesehatan anak karena ASI memiliki

nutrisi yang tinggi disertai dengan enzim, hormon, dan senyawa imunologis yang

melindungi bayi dari agen infeksius. Selain itu pemberian ASI telah terbukti

memberikan kontribusi dalam perkembangan neural dan kognitif dari anak (Larsen,

1990; Vazirinejad et al, 2009; Priebe et al, 2014; Lucas dan Zlotkin, 2003).

Puting merupakan bagian anatomi yang penting baik untuk fungsi visual,

seksual maupun fungsi nutritif melalui pemberian ASI pada bayi. Banyak masalah

yang sering ditemui berkenaan dengan kelainan puting seperti puting susu terbenam

atau datar, puting susu nyeri atau puting susu lecet dan payudara bengkak. Hal ini

merupakan masalah bagi ibu yang menyusui bayinya dan mengurangi produksi ASI,

sehingga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan air susu untuk bayinya. Agar

dapat menyusui dengan baik, bayi perlu menghisap tonjolan puting dan hampir

seratus hingga delapan puluh persen dari areola (Vazirinejad et al, 2009; Alexander et

al, 1992).

1

Page 2: Inverted Nipple v2

Sekitar 10% dari wanita hamil yang berniat untuk menyusui memiliki inversi

puting. Pada inversi puting terjadi invaginasi sehingga puting tidak menonjol ke luar,

namun puting teretraksi ke dalam parenkim dan jaringan stromal payudara. Inversi

puting tidak sama dengan retraksi. Istilah retraksi diberikan apabila sebagian dari

dasar puting tertarik ke dalam, dimana inversi adalah kasus dimana keseluruhan

puting tertarik ke dalam, dan terkadang tertarik jauh ke dalam dari permukaan

payudara (Priebe et al, 2014; Alexander et al, 1992; Sanuki et al, 2009; Karacaoglu,

2012).

Meskipun banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti faktor-faktor yang

mempengaruhi pemberian ASI baik pada negara berkembang maupun negara maju,

jarang terdapat penelitian yang didesain untuk melihat efek dari variasi anatomi dari

payudara ibu terhadap pemberian ASI pada bayi. Alexander et al. menganggap

kelainan puting seperti inversi puting dan puting non protaktil sebagai penyebab dari

inisiasi dan pelaksanaan dari pemberian ASI (Alexander et al, 1992).

2

Page 3: Inverted Nipple v2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Payudara

2.1.1 Puting dan Areola

Kulit dari payudara meliputi puting dan areola dan kulit yang tipis, fleksibel dan

elastis yang menutupi badan payudara. Puting merupakan elevasi konikal pada pusat

areola setinggi celah interkostal keempat, tepat di bawah garis tengah payudara.

Puting terdiri dari serabut otot polos dan kaya akan inervasi serabut sensorik dan

serabut nyeri. Struktur ini memiliki permukaan verukous dan memiliki kelenjar sebasea

dan kelenjar apokrin namun tidak berambut (Sanuki et al, 2009; Lawrence dan

Lawrence, 2014).

Areola mengelilingi puting dan juga sedikit terpigmentasi dan menjadi sangat

terpigmentasi selama kehamilan dan laktasi. Rerata diameter adalah 15 hingga 16

mm, namun kisaran ini dapat melebihi 5cm saat kehamilan. Inervasi sensorik lebih

sedikit dibanding puting. Puting dan areola sangat elastis dan berelongasi ke papilla

mammae saat tertarik ke mulut oleh isapan bayi (Newton, 2012, Hunt et al, 2012).

Permukaan areola mengandung kelenjar Montgomery yang menjadi hipertropi

selama kehamilan dan laktasi dan menyerupai vesikel. Selama laktasi, struktur ini

mensekresikan materi sebasea untuk melubrikasi puting dan areola dan melindungi

jaringan ketika bayi menghisap. Kelenjar ini menjadi atropi setelah penyapihan dan

tidak tampak kasat mata kecuali selama kehamilan atau laktasi (Newton, 2012).

3

Page 4: Inverted Nipple v2

Setiap puting mengandung 4 hingga 18 duktus laktiferus, dimana lima hingga

delapan merupakan duktus utama yang dikelilingi oleh jaringan fibromuskular. Duktus

ini berakhir sebagai orifisium kecil (berdiameter 0.4 hingga 0.7 mm) pada ujung puting

dimana air susu keluar. Corpus mammae merupakan konglomerasi secara teratur dari

sejumlah kelenjar independen yang dikenal sebagai lobus. Morfologi dari kelenjar

termasuk parenkim yang mengandung struktur duktular-lobular-alveolar. Ini juga

meliputi stroma, yang terdiri dari jaringan ikat, jaringan lemak, pembuluh darah, syaraf,

dan pembuluh limfatik. Massa dari jaringan payudara terdiri dari kelenjar tuboalveolar

yang menempel pada jaringan adiposa, yang memberi kelenjar kontur yang halus dan

bulat, Bantalan lemak payudara penting untuk proliferasi dan diferensiasi dari

percabangan duktal (Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2012; Hunt et al, 2012).

4

Page 5: Inverted Nipple v2

Gambar 2.1 Anatomi Payudara

Tiap lobus dipisahkan satu sama lain oleh jaringan ikat, dan membuka ke

duktus yang terbuka pada puting. Ekstensi dari duktus adalah teratur dan terlindungi

oleh zona inhibisi yang mana duktus lain tidak dapat mempenetrasi. Darah disuplai ke

payudara dari cabang-cabang arteri interkostal dan cabang perforata dari arteri torakik

interna. Suplai darah utama diperoleh dari arteri payudara interna dan arteri torakik

lateral. Suplai vena paralel dengan suplai arteri. Drainase limfatik telah diteliti secara

detail oleh peneliti kanker payudara. Drainase utama adalah ke nodus aksiler dan

nodus parasternal bersama dengan arteri torakik di thoraks. Limfatik dari payudara

berasal dari kapiler limfe pada jaringan ikat mammae dan mendrainase substansi

yang berada di dalam payudara (Lawrence dan Lawrence, 2014).

Payudara diinervasi dari cabang syaraf interkostal empat, lima, dan enam.

Inervasi sensorik dari puting dan areola adalah ekstensif dan melibatkan baik syaraf

5

Page 6: Inverted Nipple v2

otonom dan sensorik. Inervasi korpus mammae tidak setara bila dibandingkan dan

utamanya adalah syaraf otonom. Serabut parasimpatik dan kolinergik tidak mensuplai

bagian manapun dari payudara. Syaraf eferen adalah simpatetik adrenergik.

Kebanyakan syaraf payudara beriringan dengan arteri. Beberapa serabut berjalan

menyusuri dinding duktus. Ini mungkin serabut sensorik yang merasakan tekanan air

susu. Tidak ada inervasi yang diidentifikasi mensuplai sel mioepitelial. Maka,

kesimpulannya adalah aktivitas sekretorik dari epitel asini dari duktus bergantung

pada stimulasi hormonal, seperti dengan oksitosin. Ketika serabut syaraf distimulasi,

perlepasan prolaktin adenohipofise dan oksitosin neurohipofise terjadi (Lawrence dan

Lawrence, 2014; Newton, 2012).

2.1.2 Morfologi Kompleks Areola-Puting

Sanuki et al. meneliti tentang morfologi dari kompleks areola-puting dari 600

payudara dari 300 wanita Jepang. Ia membagi morfologi kompleks areola-puting

menjadi 4 klasifikasi berdasarkan tinggi dan diameter puting (Gambar 1). Kompleks

puting dan areola mengandung kelenjar Montgomery, sebuah kelenjar sebaseus yang

besar atau sedang yang secara embriologi merupakan transisi antara kelenjar

keringat dan kelenjar payudara dan mampu mensekresikan ASI. Kelenjar Montgomery

terbuka ke tuberkulum Morgagni, yang merupakan penonjolan papula yang kecil

(dengan diameter 1-2 mm) yang terdapat pada areola. Kompleks ini juga mengandung

banyak ujung syaraf sensorik, otot polos, dan cukup banyak sistem limfatik yang

disebut pleksus subareolar atau pleksus Sappey. Karena kulit dari puting merupakan

struktur yang berhubungan langsung dengan epitel dari duktus, maka keganasan dari

duktus dapat menyebar ke puting (Sanuki et al, 2009; Lawrence dan Lawrence, 2014).

6

Page 7: Inverted Nipple v2

Gambar 2.2 Penelitian Sanuki tentang morfologi kompleks puting areola

Morfologi kompleks puting dan payudara terbanyak adalah tipe IIs sebesar

60.2% dan temuan puting tipe III sebesar 3.5% setara dengan laporan frekuensi

inversi puting sebesar 2-10% (Sanuki et al, 2009)

2.1.3 Inervasi Payudara

Dahulu, inervasi payudara hanya mendapat sedikit perhatian pada literatur

anatomi, dan laporan yang dipublikasi saling bertentangan mengenai distribusi dan

7

Page 8: Inverted Nipple v2

perjalanan dari persyarafan tersebut. Ahli bedah Inggris, Sir Astley Cooper merupakan

yang pertama menyelidiki inervasi payudara 135 tahun yang lalu, dan beberapa dari

temuannya masih valid hingga saat ini. Sejak saat itu, para penulis setuju bahwa kulit

dan kelenjar payudara diinervasi oleh cabang lateral dan anterior dari syaraf

interkostal, namun terdapat ketidaksepahaman mengenai syaraf interkostal ke berapa

yang terlibat (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani, 2006).

Dalam studi terbaru, Schlenz menentukan asal mula dan perjalanan syaraf

yang mempersyarafi payudara dan kompleks puting areola (Hamdi et al, 2005).

a. Inervasi Kelenjar dan Kulit Payudara

Payudara diinervasi oleh cabang kutaneus lateral dan anterior dari syaraf

interkostal kedua hingga keenam. Cabang kutaneus lateral menembus otot

interkostal dan fascia profunda dari garis mid aksila dan berjalan melalui lintasan

inferomedial. Cabang kutaneus lateral kedua berhenti pada ekor aksila dari

payudara. Cabang ketiga hingga keenam berlanjut ke permukaan serratus anterior

sepanjang 3-5 cm. Pada batas otot pektoralis mereka terpecah menjadi cabang

superfisial dan profunda. Cabang progunda berjalan di bawah atau dalam fascia

pektoralis ke garis mid klavikula, dimana syaraf tersebut berputar hampir 90o untuk

berjalan menuju kelenjar, memberikan beberapa cabang. Cabang superfisial

berjalan melalui jaringan subkutan dan berhenti pada kulit dan lateral payudara

(Hamdi et al, 2005).

Cabang kutaneus anterior menginervasi bagian medial dari payudara. Setelah

menembus fascia pada garis parasternal mereka terbagi menjadi cabang lateral

dan medial. Sementara cabang medial melintasi batas lateral dari sternum, cabang

lateral terbagi lagi menjadi beberapa cabang yang lebih kecil, yang mengambil

lintasan inferolateral melalui jaringan subkutan. Mereka secara progresif menjadi

8

Page 9: Inverted Nipple v2

lebih superfisial sepanjang perjalanan mereka dan diterminasi pada kulit payudara

atau tepi areolar. Syaraf supraklavikular diterminasi di kulit bagian superior dari

payudara (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani, 2006).

b. Inervasi dari Puting dan Areola

Inervasi dari puting dan areola sering kali bervariasi dalam hal perjalanan dan

distribusi persyarafan, yang menjelaskan hasil temuan yang kontroversial dari

penelitian sebelumnya. Puting dan areola selalu diinervasi baik oleh cabang

kutaneus anterior dan lateral dari syaraf interkostal ketiga, keempat, atau kelima.

Namun jumlah distribusi, dan ukuran dari syaraf ini bervariasi: semakin banyak

syarafnya, semakin kecil diameternya (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani,

2006).

Gambar 2.3 Gambaran skematik saraf cabang kutaneus anterior dan lateral

9

Page 10: Inverted Nipple v2

2.1.4 Sistem Arteri

Tiga arteri utama yang menyuplai payudara adalah arteri mammae interna,

arteri torakik lateral, dan arteri interkostal.

1. Arteri mammae interna, sebuah cabang arteri subklavia, memberikan sekitar 60%

dari aliran payudara total, terutama ke bagian medial, melalui cabang perforantes

anterior dan posterior. Cabang perforantes anterior keluar dari rongga interkostalnya

sekitar 2 cm secara lateral dari sternum. Arteri perforantes anterior kedua dan ketiga

sejauh ini merupakan yang paling signifikan. Cabang ini berjalan di dalam jaringan

subkutan payudara dan mungkin ditemukan 0.5 hingga 1 cm dari permukaan medial

dari kulit. Mereka berjalan secara inferior dan lateral untuk beranastomose dengan

cabang arteri torakik lateral pada puting. Anastomose dengan arteri interkostal lebih

jarang terjadi. Cabang perforantes posterior keluar lebih lateral dari ruang interkostal

dan menyuplai aspek posterior dari payudara (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani,

2006).

2. Arteri torakik lateral keluar dari arteri aksila atau, jarangnya, dari arteri

torakoakromial atau subskapular. Arteri ini menyuplai hingga 30% dari aliran darah

payudara ke bagian lateral atau bagian atas luar dari payudara. Cabang ini berjalan

secara inferomedial di dalam jaringan subkutan untuk beranastomose dengan cabang

dari arteri mammae interna dan interkostal di area areolar. Karena terdapat lebih sering

jaringan subkutan di lateral daripada medial, arteri ini sering ditemukan 1 hingga 2.5

cm dari permukaan kulit. Semakin dekat dengan areola, semua dari pembuluh darah

ini menjadi semakin superfisial (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani, 2006).

3. Arteri interkostal posterior ketiga, keempat, dan kelima adalah yang paling tidak

signifikan dari arteri yang menyuplai payudara. Berasal dari aorta, mereka berjalan

melalui rongga interkostal dan secara utama menyuplai kuadran inferoeksternal dari

10

Page 11: Inverted Nipple v2

payudara. Tambahan sumber minor dari suplai arteri ke payudara meliputi cabang dari

arteri aksila, arteri torakik, arteri subskapular, dan cabang pektoral dari arteri

torakoakromial (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani, 2006).

Gambar 2.4 Arteri pada kulit dan kelenjar payudara

2.2. Perkembangan Payudara

Kelenjar mammae manusia adalah satu-satunya organ yang tidak mengandung

semua jaringan rudimenter saat lahir. Organ ini mengalami perubahan dramatis pada

ukuran, bentuk, dan fungsi dari lahir hingga menarke, kehamilan, dan laktasi, dan

terutama selama involusi. Tiga fase utama dari pertumbuhan dan perkembangan

sebelum kehamilan dan laktasi terjadi in utero, selama 2 tahun pertama kehidupan,

dan pada pubertas (Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2012)

11

Page 12: Inverted Nipple v2

Gambar 2.5 Perkembangan payudara

2.2.1 Perkembangan Embrionik

Payudara pertama, yang dikenal dengan milk streak, muncul pada minggu

keempat gestasi ketika embrio memiliki panjang sekitar 2,5 mm. Struktur ini menjadi

garis susu atau dikenal juga sebagai mammary ridge, selama minggu kelima gestasi

(2,5 hingga 5,5 mm). Kelenjar mammae sendiri mulai berkembang pada minggu

keenam masa embrionik, dan proliferasi duktus laktiferus berlanjut di sepanjang masa

perkembangan embrionik (Lawrence dan Lawrence, 2014).

Proses pembentukan puting pada embriologi manusia dimulai dengan

penebalan dan penonjolan bagian ektoderm di regio dimana kelenjar akan berada

12

Page 13: Inverted Nipple v2

nantinya pada minggu keempat kehamilan. Penebalan ektoderm menjadi terdepresi

ke mesoderm di bawahnya, sehingga permukaan bagian mammae kemudian menjadi

datar dan akhirnya masuk lebih dalam dari epidermis di sekitarnya. Mesoderm yang

berhubungan dengan pertumbuhan ke dalam dari ektoderm menjadi terkompresi, dan

bagian dari mesoderm ini menjadi tersusun menjadi lapisan konsentris dan nantinya

akan menjadi stroma dari kelenjar (Lawrence dan Lawrence, 2014).

Dengan pembelahan dan percabangan, massa yang tumbuh ke dalam dari sel

ektodermal akan membentuk lobus dan lobulus dan nantinya juga membentuk alveoli.

Saat usia gestasi 16 minggu, tahap percabangan telah menghasilkan 15 hingga 25

garis epitelial pada fetus yang nantinya akan menjadi alveoli sekretorik. Pada saat

gestasi 28 minggu, hormon seksual plasental memasuki sirkulasi fetal dan

menyebabkan kanalisasi pada jaringan mammae fetal. Duktus laktiferus dan

cabangnya terbentuk dari perkembangan di lumen. Duktus ini membuka ke arah

depresi dangkal dari epidermal yang dikenal sebagai mammary pit. Cekungan ini

menjadi terelevasi sebagai hasil dari proliferasi mesenkimal yang membentuk puting

dan areola. (Lawrence dan Lawrence, 2014).

Pada usia gestasi 32 minggu, lumen telah terbentuk pada sistem percabangan,

dan saat aterm terdapat empat hingga 18 duktus yang terbentuk pada kelenjar

mammae fetal. Puting, areola, dan benih payudara merupakan struktur penting untuk

menentukan usia gestasi pada bayi baru lahir. Pada usia 40 minggu, puting dan areola

tampak jelas dan benih payudara mencapai diameter 1 cm. Pada minggu pertama

setelah persalinan, benih payudara tampak dan dapat terpalpasi, namun kelenjar

kemudian teregresi ke tahap diam seiring dengan menipisnya hormon maternal pada

bayi. Setelah ini, kelenjar ini hanya bertumbuh sedikit dibandingkan pertumbuhan

bagian tubuh lain hingga pubertas. (Lawrence dan Lawrence, 2014).

13

Page 14: Inverted Nipple v2

2.2.2 Perkembangan pubertas

Dengan onset pubertas pada wanita, pertumbuhan lanjut dari payudara terjadi

dan areola membesar dan lebih terpigmentasi. Pertumbuhan lanjut dari payudara

melibatkan dua proses yang berbeda: organogenesis dan pembentukan air susu.

Pertumbuhan duktal dan lobular merupakan organogenesis, dan ini diinisiasi sebelum

dan selama pubertas, menyebabkan pertumbuhan parenkim payudara dan struktur

lemak di sekitarnya. Formasi benih alveolar dimuai dalam 1 hingga 2 tahun dari onset

menstruasi dan berlanjut untuk beberapa tahun, menghasilkan lobus alveolar. Stimulus

menarke ini dimulai dengan ekstensi dari pohon duktal dan pembentukan pola

percabangannya. Duktus yang ada kemudian memanjang. Duktus dapat membentuk

ujung terminal bulbus yang merupakan cikal bakal alveoli. (Lawrence dan Lawrence,

2014; Newton, 2012).

Formasi benih alveolar dimulai dalam 1 hingga 2 tahun dari onset menstruasi.

Selama pertumbuhan duktal ini, alveoli membesar dan puting serta areola menjadi

lebih terpigmentasi. Pertumbuhan ini melibatkan peningkatan jaringan ikat, jaringan

adiposa, dan saluran pembuluh darah dan distimulasi oleh pelepasan estrogen dan

progesteron oleh ovarium. Selama siklus menstruasi, siklus pembelahan dan regresi

mikroskopik dari jaringan duktal terus berlanjut. Payudara terus berkembang dengan

pembelahan sistem duktal hingga usia 28 tahun, kecuali bila hamil (Lawrence dan

Lawrence, 2014).

2.2.3. Payudara Matur

Payudara matur terletak pada fascia superfisialis antara kartilago interkostal

kedua dan keenam dan superfisial dari otot pektoralis. Struktur ini memiliki diameter 10

hingga 12 cm dan terletak secara horizontal dari parasternal hingga garis mid aksiler.

Ketebalan pusat dari gland sekitar 5 hingga 7 cm. Pada keadaan tidak hamil, payudara

14

Page 15: Inverted Nipple v2

memiliki bobot sekitar 200g. Selama kehamilan, ukuran dan beratnya meningkat

sekitar 400 hingga 600 g, dan 600 hingga 800 g saat laktasi. Proyeksi dari jaringan

mammae ke aksila dikenal sebagai ekor Spence dan berhubungan dengan sistem

duktus sentral. Payudara biasanya berbentuk kubah atau konikal, menjadi lebih

hemisferik pada saat dewasa dan seperti pendulum pada ibu yang sudah tua (Newton,

2012).

2.3 Fisiologi Laktasi

2.3.1 Laktogenesis

Laktasi merupakan tahap akhir dari siklus reproduktif. Bayi manusia adalah

yang paling immatur dan sangat bergantung dari semua mammalia kecuali

marsupialami, dan maka dari itu payudara memberikan nutrisi yang secara fisiologis

paling cocok yang dibutuhkan oleh bayi manusia setelah lahir. Selama kehamilan,

payudara berkembang dan dipersiapkan untuk mengambil alih peran pemberian nutrisi

secara total ketika plasenta dilahirkan. Payudara dipersiapkan untuk laktasi penuh

setelah 16 minggu gestasi. Adaptasi fisiologis dari kelenjar mammae terhadap

perannya dalam keberlangsungan hidup bayi merupakan proses kompleks (Lawrence

dan Lawrence, 2014; Newton, 2012).

Kontrol hormonal dari laktasi dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan lima

perubahan mayor dalam perkembangan kelenjar mammae: embriogenesis,

mammogenesis atau perkembangan mammae, laktogenesis atau inisiasi sekresi air

susu, laktasi atau sekresi penuh dari air susu, dan involusi (Lawrence dan Lawrence,

2014).

15

Page 16: Inverted Nipple v2

Tabel 2.1 Tahap perkembangan payudara dan faktor-faktor yang berperan

Selama kehamilan, hormon menjaga kehamilan dan menghasilkan jaringan

mammae yang siap untuk memproduksi susu namun belum dapat memproduksinya.

Progesteron, prolaktin, dan kemungkinan laktogen plasental berperan dalam

perkembangan alveoli. Progesteron telah diidentifikasi sebagai inhibitor mayor dari

produksi air susu selama kehamilan. Kadar prolaktin pada kehamilan lebih besar dari

200 ng/mL. Tampaknya, kadar prolaktin yang terus tinggi dan penurunan progesteron

diperlukan untuk tahap kedua laktogenesis setelah parturisi. Plasenta merupakan

sumber utama progesteron pada kehamilan (Lawrence dan Lawrence, 2014).

Setelah melahirkan, reseptor progesteron di payudara manusia menghilang dan

kadar estrogen turun secara cepat. Sebagai tambahan terhadap prolaktin, insulin dan

kortikoid penting dalam sintesis air susu. Penundaan laktogenesis tampak pada wanita

yang mengalami retensio plasenta, sectio caesar, diabetes, dan stres selama

persalinan. Pada 1940an, Jackson pertama kali menyadari bahwa persalinan yang

membuat stres mempengaruhi pengalaman menyusui awal. Stres mungkin merupakan

pencetus tertundanya laktogenesis dalam keadaan selain retensio plasenta (Lawrence

dan Lawrence, 2014; Newton, 2012).

16

Page 17: Inverted Nipple v2

Signifikansi konsentrasi sodium yang tinggi pada air susu masih memerlukan

penelitian lebih lanjut. Telah diamati bahwa kadar sodium yang tinggi pada sampel air

susu awal sejalan dengan kehamilan, mastitis, infolusi (penyapihan), kelahiran

prematur, dan inhibisi sekresi prolaktin oleh bromokriptin. Pengamatan ini

menyarankan penutupan junction bergantung pada penghisapan yang memadai atau

pengeluaran air susu yang efektif dalam 3 hari pertama postpartum (Newton, 2012).

Jika air susu tidak mulai dikeluarkan dalam 72 jam, perubahan pada komposisi

air susu berkaitan dengan laktogenesis dibalikkan dan kemungkinan keberhasilan

laktasi akan berkurang. Maka usaha klinis yang memfasilitasi hisapan awal oleh bayi

yang baru lahir meningkatkan kemungkinan keberhasilan laktasi. Stimulasi awal dari

payudara dengan pompa sebelum 72 jam postpartum penting jika bayi tidak dapat

disusui secara langsung (Newton, 2012).

2.3.2. Let Down (Ejection) Refleks

Refleks let down merupakan kunci terhadap keberhasilan laktasi. Refleks ini,

juga dikenal sebagai refleks ejeksi, pertama kali dijelaskan pada manusia oleh

Peterson dan Ludwick pada 1942, dan setelahnya didemonstrasikan secara klinis oleh

Newton dan Newton disebabkan oleh pelepasan oksitosin oleh pituitari. Sejak saat itu,

banyak perbaruan dalam pemahaman proses yang telah dipublikasi, namun prinsip

fundamental tidak berubah (Lawrence dan Lawrence, 2014).

Ibu mungkin dapat memproduksi air susu, namun jika tidak diekskresikan,

produksi lebih lanjut kemudian akan tersupresi. Refleks ini merupakan fungsi kompleks

yang bergantung pada respon hormon, syaraf, dan glandular dan dapat diinhibisi

paling mudah oleh pegaruh psikologis (Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2012).

17

Page 18: Inverted Nipple v2

Oksitosin adalah hormon yang bertanggung jawab untuk menstimulasi sel

myoepitel untuk berkontraksi dan mengejeksi air susu dari sistem duktal. Duktus

dimulai dari alveoli, yang dikelilingi oleh struktur sel myoepitel yang tersusun seperti

keranjang yang juga mengelilingi duktus dari puting. Ketika bayi menstimulasi

payudara dengan menghisap, impuls dikirim ke sistem syaraf pusat dan ke pituitari

posterior yang menyebabkan pelepasan oksitosin, yang kemudian dibawa ke aliran

darah ke sel myoepitelial. Ini merupakan refleks neuroendokrin (Newton, 2012)

Gambar 2.6 Jalur stimulasi pada let down reflex

Pelepasan oksitosin juga dapat distimulasi oleh jalur lain; penglihatan, suara,

dan bau yang diwakili oleh bayi. Oksitosin juga menstimulasi sel myoepitelial di uterus,

yang sangat sensitif terhadap oksitosin selama parturisi dan selama seminggu atau

lebih setelah melahirkan. Ini menyebabkan uterus berkontraksi, mengurangi

perdarahan, dan mempercepat involusi postpartum. Uterus dari ibu yang menyusui

kembali ke keadaan pra hamil lebih cepat. Kram uterus saat menyusui adalah akibat

dari stimulus ini (Lawrence dan Lawrence, 2014).

18

Page 19: Inverted Nipple v2

Newton mendemonstrasikan bahwa nyeri dan stres mengganggu refleks let

down karena proses ini mengganggu dengan pelepasan oksitosin. Kadar

adenokortikotropin dan kortisol plasma menurun pada wanita yang sedang laktasi

dibandingkan dengan wanita non laktasi sebagai respon terhadap stres (Newton,

2012)

Prolaktin merupakan pusat dari produksi susu dan meregulasi tingkat sintesis.

Pelepasannya bergantung pada hisapan bayi atau stimulasi puting dengan pompa

mekanis atau ekspresi manual. Prolaktin juga dilepaskan melalui refleks

neuroendokrin. Tidak seperti oksitosin, prolaktin tidak dikeluarkan sebagai akibat dari

rangsang suara, visual, atau bau dari bayi, namun hanya dengan menghisap

(Lawrence dan Lawrence, 2014).

Gambar 2.7 Skema fisiologi menyusui pada ibu dan bayi

19

Page 20: Inverted Nipple v2

BAB III

Inversi Puting

3.1 Kelainan Kongenital dari Payudara

Kelainan kongenital dari payudara dan dinding dada sering ditemui di

praktek klinis. Meski deformitas ini memiliki sedikit dampak pada kapasitas

fungsional, konsekuensi psikologis dapat menjadi serius di pasien dewasa.

Mereka dapat mengalami rasa malu, isolasi sosial, dan kompleksitas selama

perkembangan seksual, dan ini menyebabkan masalah dalam hubungan

interpersonal. Beberapa kelainan kongenital dibagi seperti pada gambar berikut

(Kulkarni dan Dixon, 2011).

Gambar 3.1 Kelainan kongenital umum dari payudara dan dinding dada

3.1.1 Inversi Puting

Inversi puting merupakan kelainan yang tampak pada 2% dari populasi

umum. Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Sir Ashley Cooper pada tahun

20

Page 21: Inverted Nipple v2

1840. Penjelasan lebih lanjut dari inversi puting akan dibahas pada subbab

berikutnya (Kulkarni dan Dixon, 2011).

3.1.2 Polythelia

Polythelia atau dikenal sebagai accessory nipple tampak pada 1-5% dari

populasi umum dengan insidensi yang sama pada pria dan wanita. Puting

tambahan ini terbentuk di sepanjang garis susu; lebih dari 90% tampak pada regio

inframammae. Puting ini dapat terbentuk unilateral atau bilateral dan terbentuk

cukup sempurna bersama dengan areola yang mengelilinginya. Terdapat

beberapa bukti bahwa polythelia berhubungan dengan faktor familial dan dengan

kelainan urologis (ektodermal). Kebanyakan kasus ini tidak memerlukan

pengobatan kecuali puting tambahan ini menyebabkan iritasi atau untuk alasan

kosmetik (Kulkarni dan Dixon, 2011; Shermak, 2010).

Gambar 3.2 Polythelia

3.1.3 Athelia

Athelia merupakan keadaan tidak adanya puting dan areola. Kondisi ini

dapat terjadi karena faktor familial (autosom dominan), dan dapat unilateral atau

bilateral, serta berkaitan dengan amastia atau sindroma yang jarang seperti

21

Page 22: Inverted Nipple v2

sindroma scalp-ear-nipple (SEN) – nodul scalp dan malformasi telinga), sindroma

Al-Awadi/Rass-Rothschild dan sindroma Poland. Rekonstruksi dari puting dan

areola dapat dilakukan menggunakan flep kecil dari jaringan (Kulkarni dan Dixon,

2011).

3.1.4 Polymastia

Polymastia yang dikenal juga sebagai jaringan payudara tambahan atau

supernumerary breast tampak di sekitar 1-2% dari populasi umum, namun pada

laporan ditemukan kejadiannya lebih tinggi yaitu 6%. Kelainan ini biasa

terdiagnosa pada saat pubertas atau selama kehamilan ketika jaringan payudara

tambahan berkembang bersama payudara normal. Biasanya kelainan ini

asimtomatis namun dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan beberapa tidak

bagus secara kosmetik. Berdasarkan penelitian yang ada sebelumnya,

penanganan pembedahan pada kasus ini memiliki insiden komplikasi postoperatif

yang tinggi, sehingga terapi pembedahan harus dihindari sebisa mungkin (Kulkarni

dan Dixon, 2011).

Gambar 3.3 Polymastia

22

Page 23: Inverted Nipple v2

3.1.5 Asimetri dari payudara

Asimetri dari payudara dapat terjadi karena adanya hipoplasia atau aplasia

pada salah satu payudara. Ini dapat terjadi karena adanya isolasi atau kaitan

dengan kecacatan pada salah satu atau kedua otot pektoral. Beberapa tingkat

asimetri dari payudara adalah umum, namun pada hipoplasia tingkat asimetri yang

terjadi lebih parah. Kelainan ini memiliki berbagai pilihan pengobatan termasuk

augmentasi payudara yang lebih kecil, reduksi dan mastopeksi dari payudara yang

lebih besar, atau kombinasi dari keduanya. Usia terbaik untuk rekonstruksi ini

adalah ketika payudara telah berkembang sempurna, biasanya pada usia 17

hingga 18 tahun (Kulkarni dan Dixon, 2011; Shermak, 2010).

Gambar 3.4 Hipoplasia payudara kiri

3.1.6 Amastia

Amastia merupakan tidak adanya jaringan payudara dan kompleks puting

areola, dimana tidak adanya jaringan payudara saja disebut amasia. Pada

amastia, mammary ridge hilang sepenuhnya atau gagal berkembang. Seringkali

terdapat bukti kecacatan ektodermal seperti bibir sumbing, otot pektoralis terisolasi

dan kelainan ekstremitas atas, kelainan urologis, dan bahkan sindroma Poland.

Kelainan familial dari amastia telah dilaporkan sebagai autosom dominan. Terapi

23

Page 24: Inverted Nipple v2

dari kelainan ini dapat dilakukan dengan rekonstruksi pembedahan (Shermak,

2010).

Gambar 3.5 Amastia bilateral

3.1.7 Payudara tubular

Payudara tubular ditandai dengan fisiologi normal dari jaringan payudara,

namun secara anatomis mengalami kelainan. Kelainan ini dapat terjadi unilateral

atau bilateral. Tanda klasik dari kelainan kongenital ini adalah beberapa atau

seluruh dari: kurangnya jaringan payudara, hipoplasia dan asimetri dari payudara,

payudara konikal, herniasi kompleks puting areola, areola yang besar dan

konstriksi dasar payudara. Pengobatan standar adalah koreksi dengan

rekonstruksi pembedahan. Namun hasil jangka panjang dari pembedahan tidak

selalu memuaskan dengan adanya hiposensitisasi, masalah jaringan parut dan

menjadi asimetri (Kulkarni dan Dixon, 2011).

24

Page 25: Inverted Nipple v2

Gambar 3.6 Payudara tubular

3.1.8 Sindroma Poland

Sindroma Poland merupakan hipoplasia dinding dada unilateral dengan

kelainan ekstremitas atas ipsilateral. Sindroma ini terdiri dari beberapa atau semua

dari hal berikut: aplasia atau hipoplasia dari payudara; tidak adanya pektoralis

mayor atau minor, tidak adanya puting, tidak adanya otot-otot di sampingnya dan

terkadang hingga tidak adanya kartilago kosta, kelainan tulang rusuk, dan

deformitas ekstremitas atas (misal, sindaktili, mikromelia, atau brakidaktili).

Kelainan ini tiga kali lebih sering pada pria. Tujuan pengobatan kelainan ini adalah

untuk mencapai payudara yang simetris melalui prosedur pembedahan (Kulkarni

dan Dixon, 2011).

25

Page 26: Inverted Nipple v2

Gambar 3.7 Sindroma Poland pada pria

3.2 Inversi Puting

Pada kasus inversi puting secara kongenital, kelainan ini terjadi pada tahap

perkembangan embrionik dari payudara. Proses pembentukan puting pada embriologi

manusia dimulai dengan penebalan dan penonjolan bagian ektoderm di regio dimana

kelenjar akan berada nantinya pada minggu keempat kehamilan. Penebalan ektoderm

menjadi terdepresi ke mesoderm di bawahnya, sehingga permukaan bagian mammae

kemudian menjadi datar dan akhirnya masuk lebih dalam dari epidermis di sekitarnya.

Mesoderm yang berhubungan dengan pertumbuhan ke dalam dari ektoderm menjadi

terkompresi, dan bagian dari mesoderm ini menjadi tersusun menjadi lapisan

konsentris dan nantinya akan menjadi stroma dari kelenjar. Dengan pembelahan dan

percabangan, massa yang tumbuh ke dalam dari sel ektodermal akan membentuk

lobus dan lobulus dan nantinya juga membentuk alveoli. Saat usia gestasi 16 minggu,

tahap percabangan telah menghasilkan 15 hingga 25 garis epitelial pada fetus yang

nantinya akan menjadi alveoli sekretorik. Pada saat gestasi 28 minggu, hormon

seksual plasental memasuki sirkulasi fetal dan menyebabkan kanalisasi pada jaringan

mammae fetal. Duktus laktiferus dan cabangnya terbentuk dari perkembangan di

26

Page 27: Inverted Nipple v2

lumen. Duktus ini membuka ke arah depresi dangkal dari epidermal yang dikenal

sebagai mammary pit. Cekungan ini menjadi terelevasi sebagai hasil dari proliferasi

mesenkimal yang membentuk puting dan areola. Inversi puting adalah kegagalan dari

elevasi cekungan ini. (Karacaoglu, 2012; Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton,

2012)

Inversi puting kongenital dapat diklasifikasikan secara klinis ke dalam tiga

kelompok (Karacaoglu, 2012):

1. Puting grade I dapat dengan mudah ditarik keluar secara manual dan

menjaga proyeksinya dengan baik tanpa traksi. Puting keluar dengan palpasi

ringan di sekitar areola. Jaringan lunak intak pada bentuk ini dan duktus

laktiferus normal.

2. Puting grade II juga dapat keluar dengan palpasi namun tidak semudah pada

grade I. Puting cenderung teretraksi. Puting memiliki fibrosis sedang dan

duktus laktiferus secara ringan teretraksi namun tidak memerlukan

pemotongan untuk melepaskan fibrosis. Puting ini telah terbukti memiliki

stromata kolagen yang kaya dengan sekumpulan otot polos.

3. Puting grade III merupakan bentuk yang parah dimana inversi dan retraksi

signifikan. Mengeluarkan puting secara manual cukup sulit. Jahitan traksi

diperlukan untuk mempertahankan puting untuk menonjol. Fibrosis di bawah

puting berpengaruh signifikan dan jaringan lunak tidak mencukupi. Pada

pemeriksaan histologis, duktus terminal laktiferus dan unit lobuler menjadi

atropi dan digantikan dengan fibrosis berat.

Inversi puting unilateral atau bilateral dapat menunjukkan variasi normal.

Penting untuk menegakkan bahwa inversi sudah ada sejak lahir atau tidak

berubah selama bertahun-tahun. Inversi puting akibat kongenital adalah tipe yang

27

Page 28: Inverted Nipple v2

paling sering. Prevalensi yang dilaporkan adalah sebesar 2-10% (Karacaoglu,

2012; Lawrence dan Lawrence, 2014).

Meski demikian, retraksi yang baru terjadi dan/atau inversi dapat

merupakan hasil dari inflamasi kronis atau proses keganasan. Maka dari itu,

anamnesa yang teliti diperlukan untuk menentukan kebutuhan investigasi lebih

lanjut dari temuan ini. Retraksi puting yang didapat beberapa contohnya adalah

akibat sekunder dari operasi payudara sebelumnya, karsinoma yang menginfiltrasi

duktus, dan mastitis. Sindroma seperti sindroma Robinow dan sindroma

glikoprotein dengan defisiensi karbohidrat juga memiliki inversi puting sebagai

salah satu ciri dari temuan sindroma ini (Karacaoglu, 2012; Lawrence dan

Lawrence, 2014; Kulkarni dan Dixon, 2011).

3.3 Manajemen Inversi Puting

Masalah mengenai inversi puting bervariasi dari masalah estetika,

fungsional, hingga psikologis. Inversi puting dapat menyebabkan masalah mekanis

pada saat menyusui bayi, meski demikian banyak ibu yang masih dapat menyusui

tanpa kesulitan, kemungkinan hal ini disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada

payudara selama kehamilan (Karacaoglu, 2012; Kulkarni dan Dixon, 2011).

Gambar 3.8 Mekanisme latch on bayi pada puting

Perlekatan kongenital dari puting ke fascia yang mendasari didiagnosa

menggunakan pinch test dengan menekan bagian terluar dari areola; biasanya,

28

Page 29: Inverted Nipple v2

puting akan menonjol keluar. Perlekatan yang berat termanifestasi sebagai inversi

puting. Bentuk yang paling berat ini terjadi kurang dari 1% dari wanita.

(Karacaoglu, 2012).

Gambar 3.9 Pinch test untuk mendiagnosa perlekatan

Meski keberhasilan menyusui dapat tercapai pada keadaan yang berat ini,

konsultasi prenatal dan tindak lanjut ketat sangat penting untuk mengidentifikasi

dan menangani transfer air susu yang buruk. Puting datar atau terinversi

kebanyakan jarang mempengaruhi keberhasilan menyusui (Karacaoglu, 2012;

Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2012).

Telah dijelaskan tiga metode non pembedahan menangani puting yang

terlekat ini, yaitu: menarik puting, latihan Hoffman, dan cup (shell) payudara. Pada

awal periode neonatal, pompa payudara mungkin membantu pada wanita dengan

puting datar atau terinversi. Payudara secara lembut dipompa pelan hingga puting

tertarik keluar. Bayi kemudian segera didekatkan pada puting. Prosedur yang

sama dilakukan pada sisi lainnya. Biasanya hal ini diperlukan selama beberapa

hari. (Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2012; Kulkarni dan Dixon, 2011).

Metode menarik puting atau dikenal juga dengan nipple rolling (tug and roll)

merupakan intervensi pertama dari inversi puting. Latihan ini dilakukan tiga hingga

29

Page 30: Inverted Nipple v2

empat kali setiap hari. Ibu secara lembut menarik dan menggulirkan puting keluar

dengan jari-jari dan ibujarinya hingga ia merasa terenggang. Rotasikan jari-jari dan

ibu jari di sekitar puting dan kemudian diulang kembali (Lawrence dan Lawrence,

2014; Newton, 2011).

Teknik Hoffman dapat dilakukan dengan meletakkan kedua ibu jari pada

dasar puting dan dengan lembut dilakukan gerakan menjauhkan kedua ibu jari

satu sama lain. Latihan menggunakan teknik Hoffman ini dilakukan tiga hingga

empat kali sehari untuk memisahkan adhesi yang mungkin menyebabkan retraksi

atau inversi dari puting. Latihan ini dilakukan dengan arah gerakan kedua ibu jari

secara horizontal dan kemudian dilanjutkan dengan arah gerakan vertikal

(Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2011; Alexander et al, 1992).

Gambar 3.10 Teknik Hoffman

Penggunaan cup (shell) payudara, dengan ukuran yang sesuai dengan

ukuran bra, memberikan tekanan lembut ke payudara. Penggunaan cup (shell)

payudara ini awalnya digunakan selama satu hingga dua jam per hari, perlahan

30

Page 31: Inverted Nipple v2

penggunaannya semakin lama hingga satu hari penuh. Cup (shell) payudara harus

dilepas saat tidur untuk mencegah terjadinya blokade saluran air susu. Dengan

penekanan lembut dari cup (shell) payudara, puting dan areola akan menonjol ke

bagian tengah dari shell. Pada cup (shell) payudara terdapat lubang udara yang

sebaiknya diposisikan di atas sehingga mencegah kebocoran air susu ke baju

(Lawrence dan Lawrence, 2014, Alexander et al, 1992).

Gambar 3.11 Breast shell

Jika diperlukan lebih dari beberapa hari, bisa digunakan niplette atau dapat

alternatif yang relatif murah dapat dibuat dari spuit plastik 10 atau 20 ml, ukuran

bergantung pada ukuran puting. Ujung dari spuit dimana jarum terpasang dipotong

dan pendorong dipasang terbalik. Puting diletakkan pada ujung halus lubang

pendorong dari spuit dan traksi lembut diaplikasikan hingga puting tereversikan.

Meski memompa dan suction spuit merupakan solusi praktis, tidak ada percobaan

terkontrol yang mendukung kemanjurannya (Lawrence dan Lawrence, 2014;

Newton, 2011; Alexander et al, 1992).

31

Page 32: Inverted Nipple v2

Gambar 3.12 Niplette (kiri) dan alat sederhana menggunakan spuit (kanan)

Terdapat pula berbagai macam prosedur yang telah dijelaskan untuk

koreksi pembedahan, akan tetapi terjadinya hiposensitisasi dan kehilangan

kemampuan untuk menyusui merupakan masalah utama dari prosedur

pembedahan ini. Kebanyakan prosedur melibatkan insisi kecil areolar atau insisi

pada dasar puting. Jaringan ikat yang menempel akan terenggangkan namun

seringkali diperlukan pembelahan dari duktus (Karacaoglu, 2012; Kulkarni dan

Dixon, 2011)

32

Page 33: Inverted Nipple v2

BAB IV

KESIMPULAN

Kelenjar mammae manusia adalah satu-satunya organ yang tidak mengandung

semua jaringan rudimenter saat lahir. Organ ini mengalami perubahan dramatis pada

ukuran, bentuk, dan fungsi pada tiga fase utama yaitu pada tahap in utero, selama 2

tahun pertama kehidupan, dan pada pubertas.

Inversi puting terjadi pada tahap in utero, dimana terjadi proses pembentukan

puting dari bagian ektoderm. Pada awal proses ini, ektoderm menebal dan menjadi

terdepresi ke mesoderm di bawahnya. Saat usia gestasi 28 minggu, hormon seksual

plasental memasuki sirkulasi fetal dan menyebabkan kanalisasi pada jaringan

mammae fetal. Duktus laktiferus terbentuk dan membuka ke arah depresi dangkal

yang dikenal sebagai mammary pit. Cekungan ini menjadi terelevasi sebagai hasil dari

proliferasi mesenkimal yang membentuk puting dan areola. Inversi puting adalah

kegagalan dari elevasi cekungan ini.

Perlekatan kongenital dari puting ke fascia yang mendasari didiagnosa

menggunakan pinch test dengan menekan bagian terluar dari areola. Terdapat tiga

metode menangani puting yang terlekat ini, yaitu: menarik puting, latihan Hoffman, dan

cup (shell) payudara.

33

Page 34: Inverted Nipple v2

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Jo M; Grant, Adrian M; Campbell, Michael J. 1992. Randomised controlled

trial of breast shells and Hoffman’s exercises for inverted and non-protractile

nipples. BMJ Vol 304: halaman 1030-1032

Hamdi, Moustapha; Wuringer, Elisabeth; Schlenz, Ingrid; Kuzbari, Rafic. 2005.

Anatomy of the Breast: A Clinical Application. Vertical Scar Mammaplasty. New

York: Springer.

Hunt, Kelly K; Green, Marjorie C.; Buchholz, Thomas A. 2012. Disease of the Breast.

Sabiston Textbook of Surgery 19th ed. Elsevier.

Karacaoglu, Ercan. 2012. Correction of Inverted Nipple: Comparison of Techniques

with Novel Approaches. Current Concepts in Plastic Surgery. InTech: Eropa.

Kulkarni, Dhananjay; Dixon, J Michael. 2011. Congenital Abnormalities of the Breast.

Women’s Health 8(1): halaman 75-88

Larsen, Loma LV. 1990. Prenatal Counselling – Nipple Inversion. International Journal

of Childbirth Education Vol 5 (1) halaman: 33-34.

Lawrence, Robert M; Lawrence, Ruth A. 2014. The Breast and the Physiology of

Lactation. Creasy and Resnik’s Maternal-Fetal Medicine: Principle and Practice.

Elsevier.

Lucas, Alan; Zlotkin, Stanley. 2003. Fast Facts: Infant Nutrition. Abingdon, Inggris:

Health Press Limited: halaman 81-97

34

Page 35: Inverted Nipple v2

Macea, Jose Rafael; Fregnani, Jose Humberto Tavares Guerreiro. 2006. Anatomy of

the Thoracic Wall, Axilla and Breast. Int. J. Morphol., 24(4): halaman 691-704

Newton, Edward R. 2012. Lactation and Breastfeeding. Obstetrics: Normal and

Problem Pregnancies 6th ed. Elsevier.

Priebe, Jan; Howell, Fiona; Bue, Maria Carmela Lo. 2014. Examining the Role of

‘Modernisation’ and Health-Care Demand in Shaping Optimal Breastfeeding

Practices: Evidence on Exclusive Breastfeeding from Eastern Indonesia.

TNP2K: Jakarta

Sanuki, Jun-ichi; Fukuma, Eisuke; Uchida, Yoshihiro. 2009. Morphologic Study of

Nipple-Areola Complex in 600 Breasts. Aesth Plast Surg Vol 33: halaman 295-

297

Shermak, Michele A. 2010. Congenital and Developmental Abnormalities of the

Breast. Management of Breast Disease. New York: Springer

Vari, Patty Ryan Maloney. 2007. Community breastfeeding attitudes and beliefs.

Dakota Utara: University of North Dakota

Vazirinejad, Reza; Darakhshan, Shokoofeh; Esmaeili, Abbas; Hadadian, Shiva. 2009.

The effect of maternal breast variations on neonatal weight gain in the first

seven days of life. International Breastfeeding Journal Vol 4 (13).

35