internalisasi nilai
DESCRIPTION
INTERNALISASI NILAI SOFTSKILLS DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMTRANSCRIPT
-
1
INTERNALISASI NILAI SOFTSKILLS DALAM PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Model Alternatif Pengembangan Kurikulum PAI)
Imam Mawardi
Dosen Prodi PAI Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Magelang
Abstraksi
Artikel ini memfokuskan pada model alternatif pembelajaran PAI yang
menjelaskan bahwa penekanan akhir pembelajaran PAI lebih diutamakan pada
segi softskills yang mengikat pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh
peserta didik, sehingga akan memunculkan makna bagi pendewasaan peserta
didik, meskipun kadarnya berbeda-beda sesuai atribut softskills yang melekat
pada diri peserta didik. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata,
bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan
mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang
baru. Penularan softskills dalam pembelajaran, yaitu melalui:1) Lecturer role
model, 2) Message of the week, 3) Hidden curriculum. Hal ini lebih efektif karena
selaras dengan misi kependidikan yang dibawah Nabi Muhammad saw yaitu
menanamkan aqidah yang benar: yakni aqidah tauhid, memahami seluruh
fenomena alam dan kemanusiaan sebagai suatu kesatuan yang holistic. Dalam
kerangka tauhid maka kemanusiaan adalah manusia yang memiliki kualitas yang
seimbang: beriman, berilmu (beriptek) dan beramal; cakap baik secaraa lahiriah
maaupun batiniah; berkualitas secara emosional dan raasional, atau memiliki EQ
dan IQ yang tinggi.
Kata Kunci: Soft skills, Pembelajaran, PAI, Kurikulum
LATAR BELAKANG
Pendidikan Islam sebagai
konsep yang lengkap dalam mengkaji
struktur keilmuan secara universal
tidak sekedar keilmuan yang
berhubungan dengan akhirat belaka
tetapi juga ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan persoalan
keduniaan (profan). Kedua jenis
keilmuan ini dalam transformasinya
harus berjalan seimbang, karena pada
hakekatnya ilmu dunia pun sebagai
sarana atau bekal pada kehidupan
akhirat kelak.
Pendidikan Islam, dalam kajian
yang lebih sempit, berhubungan
dengan pembelajaran diistilahkan oleh
banyak ahli sebagai pendidikan agama
-
2
Islam (PAI) yang mana pendidikan
Islam sebagai bidang studi atau mata
kuliah yang intinya lebih
menitikberatkan pada dataran kajian
studi Islam. Muatan materi PAI dalam
struktur kurikulum Madrasah terdiri
dari mata pelajaran Aqidah dan
Akhlaq, Al-Quran Hadits, Fiqh, dan
Sejarah Kebudayaan Islam sebagai
mata pelajaran yang berdiri sendiri. Hal
ini berbeda dengan pendidikan sekolah
umum non madrasah dimana
pembelajaran PAI sebagai satu
kesatuan integral dari materi-materi
Aqidah akhlak, Al-Quran hadits, Fiqh
dan SKI yang dihimpun dalam satu
mata pelajaran atau mata kuliah.
Pendidikan agama Islam dalam
kipranya dalam dunia belajar mengajar
menghadapi dua tantangan, yaitu
tantangan internal dan eksternal. Secara
internal di samping seringkali
dihadapkan pada budaya mengekor
pendidikan umum dari segi
metodologi, kurikulum, alat evalusi dan
sebagainya, juga ketidakpercayaan diri
yang menimbulkan sikap apatis seluruh
komponen penyelenggara pendidikan
Islam. Meskipun tidak ada salahnya
untuk mengikuti konsep-konsep baru
yang bisa menimbulkan kegairahan
dalam pembelajaran asalkan tidak
bertentangan dengan asas Islam.
Secara ekternal, hingga saat ini
pendididikan agama Islam menghadapi
berbagai tantangan yang berat.
Diantara tantangan yang dihadapi
adalah globalisasi, baik di bidang
capital, budaya, etika maupun moral.
Era globalisasi adalah era pasar bebas
dan sekaligus persaingan bebas dalam
produk material dan jasa. Kalau dulu
untuk membangun basis ekonomi
masyarakat yang kuat sangat
mengandalkan pada money capital
(modal uang) selanjutnya berevolusi
pada human capital, yakni SDM yang
menguasai ipteks, dapat mengerjakan
tugas secara professional, serta
berperilaku dan berpribadi mandiri.
Pada perkembangan selanjutnya, kedua
capital tersebut dianggap kurang
memadai. Justru masyarakat yang mau
membangun basis ekonomi yang kuat
sangat membutuhkan social-capital
yang kokoh, yang inti didalamnya
adalah adanya trust (sikap amanah),
atau masyarakat yang saling percaya
dan bisa dipercaya. Di samping itu,
sebagai akibat kemajuan teknologi
terutama di bidang informasi,
menyebabkan peran pendidik
-
3
khususnya pendidik agama Islam
dalam pendidikan mulai bergeser,
terutama dalam pembinaan moralitas
peserta didik. Peserta didik saat ini
telah mengenal berbagai sumber pesan
pembelajaran, ada yang bersifat
pedagogis dan mudah dikontrol, dan
banyak pula yang sulit dikontrol.
(Muhaimin, 2006: 84-86).
Kalau selama ini pendidikan
secara umum terhadap pengembangan
potensi peserta didik, mengikuti ranah
kognitif, afektif dan psikomotor secara
berurutan, tetapi dalam pendidikan
Islam bahwa kognitif dan psikomotor
harus secara langsung diikuti afektif.
Karena afektif ini merupakan ruh atau
inti yang menjadi muara tujuan
pendidikan Islam. Sejauhmana
pengetahuan ditarnsferkan dan seluas
apakah ketrampilan dikuasai tak ada
artinya kalau tidak diringai dengan
sikap yang baik.
Oleh karena itu, perlu kiranya
membangun model baru, dalam hal ini
adalah soft skills sebagai alternatif
memberdayakan pembelajaran PAI,
biar tidak terjebak rutinitas yang kaku
dimana PAI hanya muatan kognitif
belaka dan tidak bisa menjadi basis
moralitas pada pelajaran-pelajaran
yang lain. Mengingat, kesuksesan
seseorang tidak ditentukan semata-
mata oleh pengetahuan dan
keterampilan teknis (hard skills), tetapi
oleh keterampilan mengelola diri dan
orang lain (soft skills).
Untuk menjawab permasalahan
tersebut, dalam makalah ini akan
diuraikan tentang sofskills,
pembelajaran PAI dan peranan soft
skills sebagai alternatif model
pembelajaran PAI.
SOFT SKILLS: ORIENTASI
KEPADA MAKNA
PENDIDIKAN
Peggy dalam bukunya berjudul
The Hard Truth about Soft Skills yang
dikutip Illah Sailah (2008), mengatakan
bahwa soft skills encompass personal,
social, communication, and self
management behaviours, they cover a
wide spectrum: self awareness,
trustworthiness, conscientiousness,
adaptability, critical thinking,
organizational awareness, attitude,
innitiative, emphathy, confidence,
integrity, self-control, leadership,
problem solving, risk taking and time
management. Soft skills adalah
-
4
ketrampilan seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain
(termasuk dengan dirinya sendiri),
Dengan demikian atribut soft skills
meliputi nilai yang dianut, motivasi,
perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap.
Menurut Dr dr Abdurachman
(2007) Soft skills diartikan sebagai
sikap dan prilaku. Sikap dan prilaku
yang dimaksud, antara lain, jujur,
percaya diri (self confidence), motivasi
yang tinggi, kemampuan beradaptasi
dengan perubahan, kompetensi
interpersonal, orientasi nilai yang
menunjukkan kinerja yang efektif dan
jiwa kewirausahaan
(entrepreneurship). Dalam soft skills
ini sikap jujur mampu membuat
seseorang berani menyampaikan
sesuatu sesuai dengan kenyataannya.
Kejujuran memungkinkan seseorang
untuk mengevaluasi diri dengan baik
karena berani mengakui kekurangan
dan siap untuk memperbaikinya. Di sisi
lain, kejujuran akan menjadikan
seseorang mampu menyatakan
kelebihannya. Semua perilaku tersebut
sangat mendukung seseorang untuk
percaya diri. Yaitu, keyakinan
seseorang pada kemampuannya untuk
menyelesaikan tugas dan menghadapi
tantangan. Untuk mampu menghadapi
tantangan itu, seseorang harus
mempunyai motivasi yang tinggi.
Dengan motivasi tinggi tersebut,
seseorang akan mudah untuk
beradaptasi dengan segala perubahan.
Bila semua sikap dan prilaku tersebut
ada pada diri seseorang, sebenarnya dia
telah mempunyai kompetensi
interpersonal yang tinggi.
Pengembangan soft skills dalam
pendidikan bertumpu pada pembinaan
mentalitas agar siswa dapat
menyesuaikan diri dengan realitas
kehidupan. Hasil penelitian
mengungkapkan, kesuksesan seseorang
hanya ditentukan sekitar 20 persen
dengan hard skill dan sisanya 80 persen
dengan soft skills. Proses pendidikan
merupakan perubahan pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotor)
dan sikap (afektif) seseorang, maka
pendidikan seharusnya menghasilkan
output dengan kemampuan yang
proporsional antara hard skills dan soft
skills. Selain karena kurikulum yang
memiliki muatan soft skills yang
rendah dibanding muatan hard skills,
ketidakseimbangan antara soft skills
dengan hard skills juga dapat
disebabkan oleh proses pembelajaran
-
5
yang menekankan pada perolehan nilai
hasil ulangan maupun nilai hasil ujian.
(Pramuji, 2008)
Apabila sejak dini peserta didik
dibekali dengan softskills yang cukup
dan bahkan sudah terbiasa
mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari maka peluang mereka untuk
menjadi orang sukses di masyarakat
akan semakin besar. Hal ini harus
dimulai dari pimpinan lembaga
pendidikan, para guru/dosen dan para
staf penunjang pendidikan yang
berhubungan langsung dengan peserta
didik. Dengan demikian apabila peserta
didik terbiasa diperlakukan baik,
terhormat dan dihargai pendapatnya,
lambat atau cepat mereka akan menjadi
pelayan yang baik di masyarakat. Inilah
yang dimaksud dengan penularan yang
paling sederhana.
Menurut Sailah (2008), sesuatu
yang akan ditularkan kepada orang lain
menghendaki diri kita tertular terlebih
dahulu. Layaknya seseorang yang
menularkan penyakit flu, dapat
dipastikan dirinya telah tertular terlebih
dahulu, sebelum menular kepada orang
lain. Hal ini bermakna, seorang
pendidik apabila ingin menerapkan
aturan disiplin untuk datang tidak
terlambat kepada mahasiswa, maka
seyogyanya pendidik harus datang
tepat waktu di dalam kelas dan juga
tidak terlalu cepat untuk mengakhiri
tatap muka di kelas. Apabila pendidik
ingin menularkan rasa tanggungjawab
kepada peserta didiknya dengan
memberi tugas dan tugas tersebut
dikumpulkan dalam waktu dua minggu
(misalnya), maka guru pun harus
berupaya untuk mengembalikan tugas
tersebut dengan umpan balik kepada
peserta didik sesuai dengan waktu yang
dijanjikan. Hal ini sebagai indikasi
pentingnya suri tauladan (uswatun
hasanah) yang dimulai pada diri
pendidik, sehingga dapat dikatakan
penularan melalui ibda bi nafsi
(dimulai dari diri sendiri) akan mampu
mentransformasikan nilai-nilai yang
sangat berarti bagi kehidupan peserta
didik.
Rasio kebutuhan soft skills dan
hard skills di dunia kerja/usaha
berbanding terbalik dengan
pengembangannya di lembaga
pendidikan, sebagaimana gambar yang
dilustrasikan Ilah Sailah (2008) sebagai
berikut:
-
6
Gambar 1 menunjukkan bahwa
yang membawa atau mempertahankan
orang di dalam sebuah kesuksesan di
lapangan kerja yaitu 80% ditentukan
oleh mind set yang dimilikinya dan
20% ditentukan oleh technical skills.
Namun, pada Gambar 2 dapat dilihat
bahwa pada sistem pendidikan kita saat
ini, soft skills hanya diberikan rata-rata
10% saja dalam kurikulumnya. Jadi,
bagaimana baiknya agar proses
pendidikan kita dapat mensinergikan
antara soft skills dan hard skills dengan
baik, sementara jumlah satuan kredit
mahasiswa sudah cukup banyak.
Mengamati Gambar 1 dan 2,
Ilah Sailah memberi jawaban
argumentatif bahwa di dunia
pendidikan perlu ada pergeseran
paradigma berfikir dan bertindak dari
fokus pada hard skills saja menjadi
mensinergikan antara hard skills
dengan soft skills. Salah satu caranya
yaitu dengan melakukan penularan soft
skills melalui Hidden Curriculum.
Menurut Zamroni (2000:79),
hidden curriculum adalah proses
penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat
pada diri peserta didik. Proses ini
dilaksanakan lewat perilaku guru
selama melaksanakan proses belajar
mengajar. Untuk menanamkan sikap
disiplin, guru harus memberikan
contoh bagaimana perilaku mengajar
yang disiplin. Misalnya, memulai dan
mengakhiri pelajaran tepat pada
waktunya.
PEMBELAJARAN PAI
Pembelajaran PAI sebagai
bagian dari pendidikan agama telah
diamanatkan Undang-Undang Dasar
COMPONENT OF SUCCESS
20%
80%
Technical Mindset
Gambar 1. Persentase soft skills sebagai komponen sukses
OUR EDUCATION SYSTEM
90
10
0 20 40 60 80 100
Hardskills
Softskills
Gambar 2. Porsi soft skills yang diberikan dalam sistem pendidikan
-
7
Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 31 ayat (3) bahwa:
"Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-
undang". Atas dasar amanat ini, makat,
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal
3 menyatakan bahwa pendidikan
nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Dalam
Penjelasan Umum UU Nomor 20
Tahun 2003 ini ditegaskan bahwa
strategi pertama dalam melaksanakan
pembaruan sistem pendidikan nasional
adalah "pelaksanaan pendidikan agama
dan akhlak mulia".
Selanjutnya, pada Pasal 37 ayat
(1) UU Nomor 20 Tahun 2003,
mewajibkan Pendidikan Agama dimuat
dalam kurikulum pendidikan dasar,
menengah dan tinggi. Pendidikan
agama pada jenis pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
dan khusus disebut "Pendidikan
Agama". Penyebutan pendidikan
agama ini dimaksudkan agar agama
dapat dibelajarkan secara lebih luas
dari sekedar mata pelajaran/kuliah
agama. Pendidikan Agama dengan
demikian sekurang-kurangnya perlu
berbentuk mata pelajaran/mata kuliah
Pendidikan Agama untuk menghindari
kemungkinan peniadaan pendidikan
agama di suatu satuan pendidikan
dengan alasan telah dibelajarkan secara
terintegrasi. Ketentuan tersebut
terutama pada penyelenggaraan
pendidikan formal dan pendidikan
kesetaraan.
Selain itu, Pasal 12 ayat (1)
huruf a mengamanatkan bahwa setiap
peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai agama yang
dianutnya dan diajar oleh pendidik
yang seagama. Ketentuan ini
setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan,
yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan
dan kemurnian ajaran agama; kedua,
dengan adanya guru agama yang
seagama dan memenuhi syarat
-
8
kelayakan mengajar akan dapat
menjaga kerukunan hidup beragama
bagi peserta didik yang berbeda agama
tapi belajar pada satuan pendidikan
yang sama; ketiga, pendidikan agama
yang diajarkan oleh pendidik yang
seagama menunjukan profesionalitas
dalam penyelenggaraan proses
pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan agama sebagaimana
dijelaskan dalam PP RI Nomor 55
Tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan
(Pasal 1), adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan
membentuk sikap, kepribadian, dan
keterampilan peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya
melalui mata pelajaran/kuliah pada
semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.
Selanjutnya pada pasal 2 ayat
(1) PP RI Nomor 55 Tahun 2007
dijelaskan bahwa Pendidikan agama
berfungsi membentuk manusia
Indonesia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia dan mampu menjaga
kedamaian dan kerukunan hubungan
inter dan antarumat beragama. Pada
ayat (2) Pendidikan agama bertujuan
untuk berkembangnya kemampuan
peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-
nilai agama yang menyerasikan
penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Dan Islam sendiri sebagai salah
satu agama yang dilekatkan kepada
pendidikan dalam membina peserta
didik mencapai tujuan yang
diharapkan, Mengenai pengertian
Pendidikan Agama Islam (PAI) Zakiah
Daradjat (1995:86) menjelaskan
sebagai berikut:
1. PAI adalah usaha berupa bimbingan
dan asuhan terhadap anak didik agar
kelak setelah selesai pendidikannya
dapat memahami dan mengamalkan
ajaran agama Islam serta
menjadikannya sebagai pandangan
hidup (way of life).
2. PAI ialah pendidikan yang
dilaksanakan berdasarkan ajaran
Islam
3. PAI adalah pendidikan melalui
ajaran-ajaran agama Islam, yaitu
berupa bimbingan dan asuhan
terhadap anak didik agar nantinya
-
9
setelah selesai dari pendidikan ia
dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama
Islam yang telah diyakininya secara
meyeluruh, serta menjadikannya
ajaran agama Islam itu sebagai suatu
pandangan hidupnya demi
keselamatan hidup di dunia maupun
di akhirat kelak,
Adapun kebijaksanaan yang
harus dijadikan arahan dalam
pelaksanaan PAI sebagaimana kata
pengantar yang dikemukakan oleh
Direktur Madrasah dan Pendidikan
Agama Drs. H. Firdaus Basuni, M.Pd
dalam Shaleh (2005: x-xi) adalah
sebagai berikut:
Pertama, PAI harus mampu
mengembangkan aqidah sebagai
landasan keberagamaan siswa dalam
meningkatkan iman, takwa dan akhlak
mulia.
Kedua, PAI harus mengembangkan
konsep keterpaduan antara
ketercapaian kemampuan yang bersifat
kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
PAI bukan hanya bersifat hafalan,
melainkan juga praktik dan amalan.
Ketiga, PAI harus mampu mengajarkan
agama sebagai landasan dasar dan
inspirasi siswa untuk mengembangkan
bidang keilmuan dari semua mata
pelajaran dan bahan kajian yang
diajarkan di sekolah.
Keempat, PAI harus dapat
menjadi landasan moral dan etika
sosial dalam kehidupan sehari-hari
siswa.
PERANAN SOFT SKILLS
SEBAGAI ALTERNATIF
MODEL PEMBELAJARAN
PAI
UNESCO (Depdiknas, 2005)
menjelaskan bahwa untuk
melaksanakan perubahan besar di
bidang pendidikan, dipakai empat pilar
pendidikan sebagai landasan, yaitu: (i)
learning to know, (ii) learning to do
yang bermakna pada penguasaan
kompetensi dari pada penguasaan
ketrampilan menurut klasifikasi ISCE
(International Standard Classification
of Education) dan ISCO (International
Standard Classification of
Occupation), dematerialisasi pekerjaan
dan kemampuan berperan untuk
menanggapi bangkitnya sektor layanan
jasa, dan bekerja di kegiatan ekonomi
informal, (iii) learning to live together
-
10
(with others), dan (iv) learning to be,
serta; belajar sepanjang hayat (learning
throughout life).
Empat pilar pendidikan tersebut
sebagai satu kesatuan utuh, meskipun
terdapat pengelompokan pilar, hal ini
hanya untuk mencirikan pengutamaan
substansi materi dan proses
pembelajaran. Artinya bahwa
kompetensi sebagai ciri utama dari
penguasaan learning to do dari suatu
materi pembelajaran tidak dapat
dipisahkan dengan elemen kompetensi
yang terkandung dalam learning to
know, learning to live together, dan
learning to be dari materi yang
bersangkutan atau materi-materi
pembelajaran lainnya. Oleh karenanya
pemisahan antara materi
pembelajaran atas hard skill dan soft
skill dalam satu kurikulum tidak
berlaku lagi. Makna arti hard skill dan
soft skill diakomodasi dalam proses
pembelajaran yang sesuai dengan
dimensi proses kognitif, yaitu: (i)
mengingat/menghafalkan, (ii)
memahami, (iii) menerapkan, (iv)
menganalisa, (v) mengevaluasi, dan
(vi) mengkreasi; dari setiap dimensi
pengetahuan yang berjenjang, mulai
dari dimensi faktual, dimensi
konsepsual, dimensi prosedural, dan
dimensi pengetahuan metakognitif.
Pada pembelajaran PAI,
penekanan akhir lebih diutamakan pada
segi soft skills yang mengikat
pengetahuan dan ketrampilan yang
diperoleh peserta didik, sehingga akan
memunculkan makna bagi
pendewasaan peserta didik, meskipun
kadarnya berbeda-beda sesuai atribut
soft skills yang melekat pada diri
peserta didik. Hal ini dipengaruhi oleh
kebiasaan berfikir, berkata, bertindak
dan bersikap. Namun, atribut ini dapat
berubah jika yang bersangkutan mau
merubahnya dengan cara berlatih
membiasakan diri dengan hal-hal yang
baru. Kebiasaan baru ini paling tidak
dilakukan selama 90 hari berturut-turut
(Aribowo dalam Sailah, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh negara-negara Inggris, Amerika
dan Kanada, ada 23 atribut softskills
yang dominan di lapangan kerja. Ke 23
atribut tersebut diurut berdasarkan
prioritas kepentingan di dunia kerja,
yaitu:
Inisiatif
Etika/integritas
Berfikir kritis
Kemauan
belajar
Manajemen diri
Menyelesaikan
persoalan
Dapat
meringkas
-
11
Komitmen
Motivasi
Bersemangat
Dapat
diandalkan
Komunikasi
lisan
Kreatif
Kemampuan
analitis
Dapat
mengatasi stres
Berkoperasi
Fleksibel
Kerja dalam tim
Mandiri
Mendengarkan
Tangguh
Berargumentasi
logis
Manajemen
waktu
Aribowo dalam Sailah (2008),
membagi soft skills atau people skills
menjadi dua bagian, yaitu
intrapersonal skills dan interpersonal
skills. Dua jenis keterampilan tersebut
dirinci sebagai berikut:
1. Intrapersonal Skill (Keterampilan
seseorang dalam mengatur diri
sendiri): Transforming Character,
Transforming Beliefs, Change
management, Stress management,
Time management, Creative
thinking processes, Goal setting &
life purpose, Accelerated learning
techniques.
2. Interpersonal Skill (Keterampilan
seseorang yang diperlukan dalam
berhubungan dengan orang lain):
Communication skills,
Relationship building, Motivation
skills, Leadership skills, Self-
marketing skills, Negotiation
skills, Presentation skills, Public
speaking skills.
Belakangan yaitu kira-kira tahun
2006-an sedang dikembangkan atribut
lain yang tergolong pada extra
personal concern, yang mengandung
makna kearifan/welas asih atau
wisdom. Atribut ini penting karena
kalaulah dia menjadi seorang
pengusaha maka tidak menjadi
pengusaha yang bengis, memiliki
kebijakan yang berorientasi pada win-
win solution.
PENGEMBANGAN KURIKULUM
SOFT SKILLS
Pengembangan kurikulum
menurut Sumantri (2005) dilakukan
melalui beberapa tahapan, yaitu:
analisis kebutuhan, merumuskan
kebutuhan dan disain kurikulum,
menyusun kurikulum, menentukan
pihak-pihak yang terkait dalam
pengembangan kurikulum, dan
mempertimbangkan berbagai pengaruh
terhadap pengembangan kurikulum.
Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan meliputi
tiga hal berikut ini. Pertama, analisis
-
12
kebutuhan masyarakat terhadap
kurikulum diantaranya meliputi:
(1) kebutuhan untuk
menularkan lingkungan
kebudayaan dan tatanan
masyarakat;
(2) kebutuhan untuk
mempersiapkan anak sebelum
memasuki kehidupan masyarakat;
dan
(3) kebutuhan untuk
memperkenalkan nilai-nilai yang
berlaku, harapan masyarakat,
struktur kekuatan dan kekuasaan
politik, masalah-masalah sosial,
dan berbagai arah gejala yang
mungkin timbul dalam kehidupan
masyarakat.
Kedua, analisis kebutuhan
pengembangan ilmu dan nilai melalui
kurikulum diantaranya meliputi:
(1) kebutuhan jenis ilmu dan nilai
yang begaimana yang seharusnya
dipelajari oleh anak;
(2) kebutuhan jenis ilmu dan nilai
yang bermanfaat bagi kehidupan
anak;
(3) kebutuhan untuk
mengorganisasikan ilmu dan nilai
untuk kepentingan pendidikan;
dan
(4) kebutuhan kriteria untuk
menentukan relevansi ilmu dan
nilai dengan kebutuhan anak.
Ketiga, analisis kebutuhan anak
diantaranya meliputi: (1) kebutuhan
tentang populasi anak (normal, luar
biasa, dan sebagainya); (2) kebutuhan
tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak; (3) kebutuhan
tentang kondisi lingkungan anak; (4)
kebutuhan tentang kesempatan anak
dalam hubungannya dengan dunia
kerja, pengembangan karir, dan
proyeksi atau perkiraan pertumbuhan
ekonomi; dan kebutuhan tentang
kesempatan belajar yang sama
berdasarkan minat dan kemampuan
anak. (Sumantri, 2005)
Dalam pembelajaran PAI
analisis kebutuhan ditambah dengan
hal-hal yang berhubungan dengan
analisa terhadap pemahaman terhadap
makna ibadah sebagai kebutuhan hidup
yang harus dihayati sebagai bentuk
keyakinan yang mendasari tata
pergaulan dan aktifitas dalam
kehidupan sebagai makhluk individu,
makluk sosial dan sebagai makluk yang
berketuhanan.
Merumuskan Kebutuhan Kurikulum
-
13
dan Disain Kurikulum
Kebutuhan kurikulum
diantaranya meliputi dua hal sebagai
berikut: (1) kondisi khusus dan
kepentingan dari lembaga pendidikan.
Kurikulum harus disesuaikan dengan
misi lembaga pendidikan baik misi
yang sifatnya pendidikan umum
maupun misi yang sifatnya pendidikan
khusus (kejuruan atau keterampilan);
dan (2) kurikulum yang direncanakan
harus berdasarkan efektivitas
kurikulum yang dilaksanakan
sebelumnya. Hasil-hasil penelitian dan
penilaian akan memberikan informasi
yang dibutuhkan untuk menentukan
efektif atau tidaknya suatu kurikulum.
(Sumantri, 2005)
Desain dan isi kurikulum dipilih
sesuai dengan tujuan dari mata
pelajaran PAI di setiap program
pendidikan. Sehingga penajaman
makna soft skills benar-benar nampak
dan berpengaruh di seluruh aktivitas
siswa, bagaimana keyakinannya,
bagaimana akhlak yang seharusnya,
dan bagimana pengamalan ibadahnya.
Menyusun Kurikulum
Dalam menyusun kurikulum
sofst kills, sebagaimana yang dilakukan
Tyler (1975) dengan merumuskan
pertanyaan-pertanyaan dasar yang
harus dijawab dalam pengembangan
kurikulum:
Pertama, "What educational purposes
should the school seek to attain?"
(tujuan-tujuan pendidikan apa yang
seharusnya dicapai oleh sekolah?).
Kedua, "How can learning experiences
be selected which are likely to be useful
in attaining these experiences?"
(bagaimana pengalaman belajar dapat
dipilih yang mungkin berguna dalam
pencapaian pengalaman tersebut?).
Ketiga, "How can learning experiences
be organized for effective instruction?"
(bagaimana pengalaman belajar dapat
diorganisasikan untuk pengajaran yang
efektif?).
Terakhir, "How can the effectiveness
of learning experiences be evaluated?"
(bagaimana keefektifan pengalaman
belajar dapat dinilai?).
Rumusan tujuan kurikulum
harus mencakup antara lain hal-hal
sebagai berikut: (1) generalisasi bidang
pelajaran; (2) pengembangan sikap,
kepekaan, dan perasaan; (3) penguatan
-
14
cara berpikir; dan (4) penguasaan
kebiasaan dan keterampilan.
Unsur-unsur yang Terlibat dalam
Pengembangan Kurikulum
Unsur-unsur yang terlibat
langsung dalam kegiatan
pengembangan kurikulum ialah (1)
para pengambil keputusan yang terkait
dengan penetapan kurikulum (2) para
ahli kurikulum, (3) para ahli disiplin
keilmuan, (4) para ahli psikologi, dan
(5) guru-guru. Sifat keterlibatan
mereka dipilih dan ditentukan oleh
latar belakang, keterampilan, dan
kemampuannya dalam bidang masing-
masing.
Mempertimbangkan Berbagai
Pengaruh terhadap Pengembangan
Kurikulum
Pengembangan suatu kurikulum
akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi baik
secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh langsung biasanya
datang dari lembaga-lembaga legislatif
dan eksekutif yang mempunyai
kepentingan dengan kurikulum sesuai
dengan misi dan "trends" politik yang
sedang populer dan berkembang pada
waktu tertentu. Para pengembang
kurikulum tidak dapat mengabaikan
pengaruh langsung tersebut, sebab
kurikulum yang akan diberlakukan
harus sesuai dengan kriteria dan
tuntutan zaman.
Pengaruh tidak langsung datang
dari pihak masyarakat dan
cendekiawan yang merasa langsung
atau tidak langsung merasa terlibat
dan/atau mempunyai kepentingan
dengan kurikulum. Masyarakat,
misalnya, mengusulkan agar pelajaran
agama di sekolah lebih ditingkatkan
baik untuk mengurangi perkelahian
para pelajar maupun untuk
menanggulangi penyalahgunaan obat
dan narkotika.
Model Alternatif Penularan Soft
Skills PAI Melalui Proses
Pembelajaran
Pengembangan soft skills dapat
dilakukan melalui kegiatan proses
pembelajaran dan juga kegiatan ekstra
kurikuler atau ko-kurikuler. Yang
terpenting, soft skills ini bukan bahan
hafalan melainkan dipraktekkan oleh
individu yang belajar atau yang ingin
mengembangkannya. Pada saat peserta
didik ingin mengembangkan minat dan
bakatnya di dalam bidang seni tilawah
-
15
umpamanya, acapkali pembimbing
kegiatan seni tilawah hanya berpusat
pada teknik bagaimana memenangkan
pertandingan yang akan dilakukan oleh
anak didiknya. Tidak sedikit yang tidak
mengindahkan, bahwa pada saat guru
agama menjadi pembina tilawah, maka
soft skills yang perlu dikembangkan
adalah sportifitas, keberanian untuk
kalah, keberanian untuk menang dan
semangat juang yang membara.
Seringkali, hard skills-nya yang selalu
kita perhatikan. Namun, ketika
menerima kekalahan, bukan introspeksi
diri yang pertama dilakukan, tetapi
mungkin malah menyalahkan cara
kerja juri, atau kecurangan yang
dilakukan oleh lawan. Hal-hal
demikian akan banyak digali dalam
kegiatan ektra kurikuler.
Pengembangan soft skills dalam
proses pembelajaran PAI dapat
dilakukan melalui kegiatan belajar
melalui tatap muka di dalam kelas
maupun praktek di lapangan. Hal ini
memerlukan keikhlasan, kesabaran,
ikeistiqomahan dan kreatifitas pendidik
yang mengampu mata pelajaran PAI
dan kompetensi yang diharapkan dari
pembelajaran mata pelajaran yang
diampu tersebut.
Menurut Illah Sailah (2008)
terdapat sedikitnya tiga cara penularan
soft skills dalam pembelajaran, yaitu
melalui:1) Lecturer role model, 2)
Message of the week, 3) Hidden
curriculum
Role model pendidik dapat
diperlihatkan dengan saling edifikasi
dengan teman sejawat di depan siswa.
Edifikasi berasal dari kata to edify yaitu
memberikan penghargaan sekaligus
proposi bagi teman sejawat. Saling
menjelekkan antar pendidik di depan
siswa patut dihindari. Jangan sampai
siswa menjadi tumpahan keluhan rasa
kekesalan pendidik dengan
menyalahkan orang lain. Sering-
seringlah memberikan pujian kepada
siswa di depan siswa lainnya jika
mampu mencapai prestasi tertentu.
Penularan cara kedua dapat
dilakukan dengan memberi pesan
moral di setiap waktu tatap muka baik
pada saat awal membuka pelajaran atau
menutup pelajaran. Cara ini disebut
Message of the week (MOW). Pesan
yang disampaikan dapat berupa kata-
kata mutiara dan cerita yang
membangun moral dari berbagai
sumber dengan pemaknaannya dalam
-
16
berkehidupan, atau animasi yang
mendukung dari web site internet.
Selain cara kedua di atas yaitu
melalui hidden curriculum. Hidden
Curriculum is the broader concept of
which the informal curriculum is a
part Pelajaran dari kurikulum
tersembunyi diajarkan secara implisit.
Kurikulum tersembunyi lebih ampuh
karena dapat membuat proses
pembelajaran lebih menarik minat dan
menyenangkan. Peran pendidik dalam
hal ini adalah:
Membangun proses dialog
Menangani dinamika kelompok
Terlibat dengan motivasi siswa
Mengintroduksikan berpikir
kritis
Memberdayakan kurikulum
tersembunyi (Empowering
Hidden Curriculum)
Ketiga cara penularan ini, kalau
dikaji dari perspektif pendidikan Islam
merupakan pengejawantahan dari misi
profetik pendidikan Islam,
sebagaimana misi kependidikan yang
dibawah Nabi Muhammad saw adalah
menanamkan aqidah yang benar: yakni
aqidah tauhid, yang by extension,
memahami seluruh fenomena alam dan
kemanusiaan sebagai suatu kesatuan
yang holistic. Dalam kerangka tauhid
dalam pengertian terakhir ini, maka
kemanusiaandan demikian SDM
adalah manusia yang memiliki kualitas
yang seimbang: beriman, berilmu
(beriptek) dan beramal; cakap baik
secaraa lahiriah maaupun batiniah;
berkualitas secara emosional dan
raasional, atau memiliki EQ dan IQ
yang tinggi.(Azra, 1999). Sebagaimana
firman Allah swt yang artinya; Dan
Kami tidak mengutus, melainkan
kepada umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan (Q.S.
Saba/34:28). Dan tiadalah Kami
mengutus kamu (Muhammad),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam (Q.S. al-
Anbiya/21:107).
Di sisi yang lain, akhlak
mediasi antara pendidik dan anak didik
secara timbal balik memberikan
keteladanan (uswatun hasanah)
sebagaimana yang dicontohkan Nabi
Muhammaad saw sehingga ilmu yang
ditransferkan syarat dengan muatan
nilai.
-
17
Andrea Hirata dalam Laskar
Pelanginya (2007), mengeluhkan
tentang betapa mekanistiknya
pendidikan saat ini sehingga siswa-
siswa belajar sekeras-kerasnya bukan
lantaran cinta dengan ilmu
pengetahuan, tapi keinginan untuk
menembus level sosial yang lebih
tinggi. Sebagaimana juga pendidikan
kita yang kian mekanistik secara
sistemik telah mencetak generasi robot
yang pintar menyelesaikan soal-soal
UAN tetapi gagap untuk
menyelesaikan persoalan hidup. Siswa
dididik untuk menganggap bahwa bisa
berhitung jauh lebih mulia
dibandingkan bisa bernyanyi.. Dan
dididik untuk senantiasa mengasah otak
kiri kita hingga cerdas dan licik dalam
berpikir tetapi disisi lain menumpulkan
banyak potensi otak kanan siswa yang
seharusnya sadar bahwa perbedaan
individual begitu unik. Di sini Andrea
menunjukkan tentang pendidikan yang
mencerahkan visi peserta didik dari
seorang guru dusun bernama bu
Muslimah.
Apa yang dilakukan bu
Muslimah adalah sebuah praktek soft
skills dimana nilai-nilai agama dapat
diramu sedemikian rupa sehingga
benar-benar membekas dalam dalam
diri siswa. Bu Muslimah berusaha
mendobrak paradigma-paradigma
pendidikan tipikal dengan suatu dogma
baru. Satu hal yang amat unik dari
sosok ini adalah kemampuannya untuk
membuat anak-anak dusun menjadi
bocah-bocah maniak ilmu pengetahuan.
Ia mampu menjadikan setiap orang
istimewa dengan kekhasannya masing-
masing, entah itu dengan
kebandelannya, kemampuan
matematikanya maupun kemampuan
seninya. Beliau dapat membuat para
bocah ini begitu merindukan sekolah
sehingga hari minggu menjadi mimpi
buruk yang harus cepat-cepat diakhiri
dan hari senin menjadi hari yang paling
ditunggu-tunggu.
Rahasia dibalik itu semua
menurut Andrea Hirata adalah jiwa
guru yang ada dalam diri seorang bu
Muslimah. Jiwa guru yang dimaksud
adalah motivasi tanpa pamrih yang
telah berhasil melampaui sekat-sekat
batasan ekonomi, fasilitas, sosio-kultur
dan bahkan kungkungan paradigma
yang selama ini membelenggu masa
depan para bocah laskar pelangi itu.
Hal yang paling utama adalah, beliau
mampu menumbuhkan rasa ingin tahu
-
18
yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan,
menjadikan mereka sosok-sosok yang
cinta ilmu, sekaligus berhasil
menancapkan mimpi-mimpi besar
dibenak bocah-bocah kecil itu agar
mereka mampu berbuat sesuatu
dikemudian hari. Itulah sebuah senjata
yang amat berharga yang mampu
mengalahkan uang berjuta-juta atau
fasilitas bergunung-gunung yang
mampu diberikan sebuah sekolah
paling favorit sekalipun. Sebuah
perhiasan bagi kaum guru yang tidak
mungkin ditukarkan dengan anggaran
pendidikan sebesar apapun, kurikulum
sedahsyat apapun, atau bahkan guru-
guru setingkat profesor sekalipun.
Berkaca dari Laskar Pelangi ini
dalam hubungannya dengan penularan
soft skills dapat dikaji bahwa
keberhasilan pembelajaran dalam
tinjauan pendidikan Islam bukan
sekedar transfer ilmu dan nilai secara
terpisah, tapi merupakan core yang
menyatu, sehingga ilmu adalah nilai,
dan nilai adalah wujud ilmu. Dan
keduanya ketika diaplikasikan dalam
kehidupan merupakan ketrampilan
yang bermanfat bagi diri peserta didik--
bagaimana ia dapat menyadari dirinya
seutuhnya dan mengetahui segala
potensi yang ia miliki untuk kemudian
dapat memanfaatkannya untuk
menghadapi persoalan-persoalan yang
mereka hadapi dalam kehidupan,
masyarakat, kehidupan dan
kemanusiaan.
Demikianlah, sekilas kupasan tentang
hakekat pengembangan soft skills
pembelajaran PAI yang intinya adalah
ketrampilan halus yang harus
ditularkan kepada peserta didik.
Ditularkan karena untuk menstansfer
sebuah nilai yang menularkan
seharusnya sudah terinfeksi terlebih
dahulu. Wallahu alamu bi shawab.
SIMPULAN
1. Soft skills diartikan sebagai sikap
dan prilaku, yaitu antara lain, jujur,
percaya diri (self confidence),
motivasi yang tinggi, kemampuan
beradaptasi dengan perubahan,
kompetensi interpersonal, orientasi
nilai yang menunjukkan kinerja
yang efektif dan jiwa kewirausahaan
(entrepreneurship). Pengembangan
soft skills dalam pendidikan
bertumpu pada pembinaan
mentalitas agar siswa dapat
menyesuaikan diri dengan realitas
kehidupan.
-
19
2. Pendidikan Agama Islam (PAI)
ialah pendidikan yang dilaksanakan
berdasarkan ajaran Islam yang
berupa bimbingan dan asuhan
terhadap anak didik agar nantinya
setelah selesai dari pendidikan ia
dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama
Islam yang telah diyakininya secara
meyeluruh, serta menjadikannya
ajaran agama Islam itu sebagai suatu
pandangan hidupnya demi
keselamatan hidup di dunia maupun
di akhirat kelak,
Penularan soft skills dalam
pembelajaran, yaitu melalui:1) Lecturer
role model, 2) Message of the week, 3)
Hidden curriculum. Hal ini lebih
efektif karena selaras dengan misi
kependidikan yang dibawah Nabi
Muhammad saw yaitu menanamkan
aqidah yang benar: yakni aqidah
tauhid, memahami seluruh fenomena
alam dan kemanusiaan sebagai suatu
kesatuan yang holistic. Dalam
kerangka tauhid maka kemanusiaan
adalah manusia yang memiliki kualitas
yang seimbang: beriman, berilmu
(beriptek) dan beramal; cakap baik
secaraa lahiriah maaupun batiniah;
berkualitas secara emosional dan
raasional, atau memiliki EQ dan IQ
yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, Jawa Post. Kualitas PT, Kualitas Soft Skills-nya Rabu, 04 Juli 2007.
Azra, A. 1999, Pendidikan Islam: Tradisi
dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Daradjat, Z. et.al. 1995. Metodik
Khusus Pengajaran Agama
Islam. Edisi ke-2. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hirata, A. 2007. Laskar Pelangi.
Yogyakarta: Bentang
Miller, J.P. dan Seller, W. 1985.
Curriculu: Perspectives and
practice. New York: Longmen
Muhaimin, 2006. Nuansa Baru
Pendidikan Islam (Mengenai
Dunia Kusut Dunia
Pendidikan). Jakarta: PT
Grafindo Persada.
PP RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang
Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan
Pramuji, L. 2008. Mengembangkan
Soft Skills Siswa Melalui
Pembelajaran Kontekstual.
[Online]. Tersedia:
http://alkhoirot.com/2008/07/06
/mengembangkan-soft-skills-
siswa/ [22 Oktober 2008]
Sailah, I. 2008. Pengembangan Soft
Skills di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Tim Kerja
Pengembangan Soft Skills
Direktorat Jenderal Pendidikan
-
20
Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional
Shaleh, A.R. 2005. Pendidikan Agama
& Pembangunan Watak
Bangsa. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Somantrie, H. 2005. Pengembangan dan
Penilaian Kurikulum. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan
Nasional
Tyler, R.W. 1975. Basic Principles of
Curriculum and Instruction.
Chicago & London: The
University of Chicago Press.
Tim Kerja Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kemahasiswaan.
2005. Kurikulum Berbasis
Kompetensi Bidang-Bidang Ilmu
(Ilmu-ilmu Dasar, Pertanian,
Kesehatan, Sosial, Teknik).
Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional
Tim Kerja Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kemahasiswaan.
2005. Tanya Jawab Seputar Unit
Pengembangan Materi dan Proses
Pembelajaran di Perguruan
Tinggi. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan
Masa Depan. Yogyakarta:
Bigraf Publishing.