integrasi paradigma sains dan agama dalam

21
INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH (KETUHANAN) (Telaah Tcoritis dari Perspektif Kurikulum Integratif) Karwadi Abstract Basically, Islam develops universal science and never recognizes dichotomy between natural and social sciences with religious knowledge (related to reli- gious text). Therefore, all issues of scientific fields can be integrated in the learning process, include when teacher or lecture teachs about aqidah. Theoritically, integrating of both paradigm science and religion in teaching aqidah matter can be applied by interdisciplinary approach. In the practice, one subject explored by various perspective, particularly science and religion paradigm. The key of this process are correlation and harmonization beetwen them, such as in philosophical sphere, material sphere, methodological sphere, and strategic sphere. Based on the research, in philosophical sphere integration between sci- ence and religious paradigm can be explored from the fundamental values that both have the same purposes, namely to get true information about God. In the material sphere, can be apllied the model of integrating themes of sub- jects. This model requires every teachinh theme aqidah to be injected with the related general scientific theories. On the other hand, the references of teach- ing needed booksfrom religious and scientific perspective. In the methodological sphere, integrating can be practiced by using comparative perspective in teach- ing aqidah. Than, in the strategic, the problem of aqidah can be learned by various method, such as out-bond, observation, and using normative-ratonal- empiris approach. Keywords: Integrasi, paradigma sains dan agama, kurikulum integratif, pembelajaran aqidah. 51 g JURNAL PENELITIAN AGAMA. VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Upload: ngodat

Post on 13-Jan-2017

241 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMADALAM PEMBELAJARAN AQIDAH (KETUHANAN)(Telaah Tcoritis dari Perspektif Kurikulum Integratif)

Karwadi

Abstract

Basically, Islam develops universal science and never recognizes dichotomybetween natural and social sciences with religious knowledge (related to reli-gious text). Therefore, all issues of scientific fields can be integrated in thelearning process, include when teacher or lecture teachs about aqidah.Theoritically, integrating of both paradigm science and religion in teachingaqidah matter can be applied by interdisciplinary approach. In the practice,one subject explored by various perspective, particularly science and religionparadigm. The key of this process are correlation and harmonization beetwenthem, such as in philosophical sphere, material sphere, methodological sphere,and strategic sphere.

Based on the research, in philosophical sphere integration between sci-ence and religious paradigm can be explored from the fundamental valuesthat both have the same purposes, namely to get true information about God.In the material sphere, can be apllied the model of integrating themes of sub-jects. This model requires every teachinh theme aqidah to be injected with therelated general scientific theories. On the other hand, the references of teach-ing needed books from religious and scientific perspective. In the methodologicalsphere, integrating can be practiced by using comparative perspective in teach-ing aqidah. Than, in the strategic, the problem of aqidah can be learned byvarious method, such as out-bond, observation, and using normative-ratonal-empiris approach.

Keywords: Integrasi, paradigma sains dan agama, kurikulum integratif,pembelajaran aqidah.

51 g JURNAL PENELITIAN AGAMA. VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 2: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Korwodi. Integrasi Paradigma Sorns dan Agama Dalam Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

I. Pendahuluan

1. Latar Belakang dan Pokok Masalah

Pada dataran praktis terkadang terdapat hambatan psikologis ketika paradigmasains dan agama diterapkan sekaligus dalam menjelaskan sebuah pengetahuan.Sebab, masih saj a sebagian orang memandang bahwa kedua paradigma tersebutmemiliki orientasi dan cara yang berbeda. Sains, dengan basis filsafat mengedepankanlogika empirisme sehingga sesuatu yang dikatakan "benar" diukur berdasarkan akaldanmestidapatdibuktikansecaraempiris(Paulsen, 1995 :480). Sebaliknya, agamayang didasarkan kepada ajaran normatif (wahyu) menyatakan bahwa yang "benar"adalah sesuatu yang secara normatif dikatakan demikian.

Perbedaan paradigma inilah yang memunculkan perdebatan antara pendukungkeduanya. Bahkan pada tahap tertentu sains dan agama seperti terjebak dalamsubyektivitasnya masing-masing, hingga saling truth claim dan pada saat yang samasaling menyerang. Sebagai contoh, Thomas Hobbes (15 88-1679) menganggapbahwa kebenaran versi agama adalah kebenaran imaj iner dan itu tidak lebih darisekedar mimpi (Russel, 1946 : 533). Sebaliknya, kaum agamawan menuduhkebenaran sains adalah kebenaran emosional, tidak konprehensif karena hanyabersifat materi dan tidak dapat mengantarkan pada kebahagiaan hakiki (Davies,2002:9-12). Pada tahap selanjutnya, sains dan agama terlibat dalam suasana sepertidiistilahkan Barbour dengan konflik (Barbour, 2002:54).

Ternyata, sejarah hubunganyang kurang harmonis antara sains dan agamatersebut terbawa-bawa hingga ke wilayah pendidikan Islam. Sains sering diidentikkandengan Barat dan dianggap sebagai ancaman serius yang dapatmencermarkan agamaIslam. Karenanya, wajarjikaFazlur Rahman berpendapat bahwatujuan pendidikanIslam hanya diorientasikan kepada kehidupan akhirat semata dan cenderung bersifatdefensive (Rahman, 1984:86). Hal ini pula yang menjadi salah satu sebab munculnyadikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam: ilmu dunia/sekuler (Barat) dan ilmu akhirat/agama (Islam) (Bagir, 1999:19).

Namun demikian, fenomena yang terlihat akhir-akhir ini menunjukkan kesadaranperlunya melakukan integrasi paradigmatik khususnya antara ihnu agama denganumum, termasuk dalam masalah metafisik. Salah satu persoalan metafisika yangmenarik untuk dijelaskan dengan menggunakan sains dan agama adalah kepercayaantentang eksistensi Tuhan, yang dalam bahasa agama (Islam) disebut dengan aqidah.

JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 5)7

Page 3: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Kamadi, Integrasi Paradigma Sains dan Agama Da/om Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

Sebab, dalam Islam aqidah (keimanan kepada Allah SWT secara total) adalahpandangan hidup (world-view) bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan.Mengingat demikian pentingnya kedudukan aqidah, maka Sarwar mengatakan bahwatujuan yang paling esensial dari pendidikan Islam adalah menanamkan aqidah secarabenarke dalam dirianakdidik Sarwar, (1996:10). Sebagaidoktrin paling mendasar,kebenaran aqidah diyakini berdasarkan ajaran normatif (wahyu) dan bersifat spiri-tual-transendental. Akan tetapi, berkat perkembangan ilmu pengetahuan yangdemikian pesat, keyakinan manusia terhadap sesuatu tidak lagi memuaskan jikahanya didasarkan kepada dogma agama, bersifat spiritual-transendental, taken forgranted, dan seterusnya. Pada saat yang sama, kebenaran dogmatis, spiritual-transendental, juga harus dapat dijelaskan bahkan dibuktikan secara rasional-empiris-ilmiah, berdasarkan kaedah-kaedah keilmuan yang berkembang.

Persoalannya, bagaimanaparadigma sains dan agama dalam menjelaskanmasalah aqidah (ketuhanan) ? Bagaimana cara melakukan i ntegrasi paradigma sainsdan agama mengenai masalah aqidah, khususnya dalam pembelajaran ?. Inilahpersoalan pokok yang dijawab dalam penelitian ini.

Berdasarkan masalah pokok tersebut, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan,yaitu: 1) Mengungkapkan paradigma sains dan agama dalam menjelaskan masalahaqidah (ketuhanan), dan 2) Merumuskan langkah-langkah teoritis dalammengintegrasikan paradigma sains dan agama dalam pembelajaran aqidah.

2. Landasan Teori

Kata integrasi (integration) berarti pencampuran, pengkombinasian danperpaduan. Integrasi biasanya dilakukan terhadap dua hal atau lebih, dan masing-masing dapat saling mengisi (Woodford, 2003). Sedangkan kataparadigma (para-digm) dalam penelitian ini dimaknai sebagaimana dikemukakan oleh Thomas SXuhn,yaitu seperangkat pra-anggapan konseptual, metafisik, dan metodologis dalam tradisikerja ilmiah. Karenanya, dalam sebuah paradigma terdapat "contoh-contoh stan-dard" dari aktivitas ilmiah yang telah lalu dan diterima oleh para ilmuwan di berbagaimasa. Paradigma inilah yang menjadi acuan bagi para peneliti untuk menentukanlangkah-langkah penelitian, merumuskan masalah yang akan dijawab, sertamenetukan solusi yang dapat ditawarkan (Kuhn, 1970 :175-187). Dengan katalain, paradigma adalah cara pandang atau kerangka pikir (mode of thought)seseorang dalam memahami sesuatu, berdasarkan keyakinan yang dianut, metodedan ukuran tertentu.

51 g JURNAL PENEUTIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBEK 2008

Page 4: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwodi. Integra*/ Paradigma Sains dan Agamo Da/am ffembe/ajoran Aqidah (Ketuhanan)

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa yangdimaksud dengan integrasi paradigma sains dan agama dalam penelitian ini adalahmemadukan dan mengkombinasikan cara pandang atau kerangka pikir yang biasadipakai di dalam sains, yakni rasional-empiris-ilmiah dengan agama yang cenderungnormatif-teologis-transendental dalam proses pembelajaran aqidah. Artinya, masalahaqidah diajarkan denganmenggunakanduaparadigmatersebutsekaligus. Pemaduandan pengkombinasian dua paradigma ini menjadi salah satu variabel terwujudnyaintegrated curriculum.

Menurut Drake, kurikulum integratif (integated curriculum) adalah modelkurikulum yang disusun dan dilaksanakan dengan mengedepankan berbagaiperspektif, di dalamnya terangkum berbagai pengalaman belajar, dan menjangkauberbagai ranah pengetahuan sehingga pembelajaran menjadi leih bermakna (Drake,1998 :18). Lebih lanjut Drake menyatakan bahwa model kurikulum ini banyakmemberikan manfaat kepada anak didik, dari sisi keilmuan maupun pengalamanyang berguna bagi kehidupannya di masa mendatang (Drake, 1998 :17).

Integrated curriculum tersebut pada akhirnya akan menghasilkan intercon-nected curriculum atau interdependent curriculum. Perwujudan integrated cur-riculum dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitupertama, penggabungan (fu-sion) beberapa topik menjadi sata Misalnya topik tentang lingkungan hidup, tanggungjawabsosial dan perilakumasyarakatdigabungkan menjadi satu dalam kajian tentanggeografi. Kedua, memasukkan sub disiplin keilmuan ke dalam induknya menjadisatu kesatuan (within one subject). Misalnya, ilmu fisika, matematika, kimian danbiologi dimasukkan ke dalam kelompok ilmu murni (pure science). Ketiga, dengancara menghubungkan satu topik dengan pengetehuan-pengetahuan lain yang sedangdipelajari oleh siswa tetapi berbeda jam. Ini diistilahkan Drake denganmultidisciplinary. Misalnya, ketika jam tertentu siswa belaj ar tentang mahluk hidup,maka guru dapat meminta siswa untuk mengigat atau mengungkapkan pengetahuanyang diperolehnya dalam pelaj aran lain yang terkait. Keempat, mempelaj ari satutopik dengan menggunakan berbagai perspektif dalam waktu bersamaan. Ini disebutDrake dengan istilah interdicplinary. Misalnya, topik lingkungan dijelaskan melaluiperspektif budaya, geografi, biologi, sosial, agamadan sebagainya. Langkah keempattersebut cenderung mengedepankan pendekatan perandingan (comparative per-spective). Kelima, transdiciplinary, yaitu mengaitkan suatu topik dengan nilai-nilai, peristiwa, isu-isu terkini (current issues) yang sedang berkembang. Dalam

JURNAL PENEUTIAN AGAMA. VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 519

Page 5: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Paradigma Sains dan Agama Da/am Pembelajaran Aqidah (Ketuhonan)

prakteknya penyusunan dan pelaksanaan kurikulum tidak dimulai dari apa yangtertulis, tetapi berdasarkan pertanyaan siswa terhadap permasalahan tertentu atauhasil penelitian para peneliti tentang sesuatu yang dianggap urgen serta penting (Drake,1998:18-23).

Langkah-langkah di atas, menurut Drake harus tetap berada dalam bingkaikorelasi (correlation) dan harmonisasi (harmonization) (Drake, 1998 :46-47).Artinya, dalam mewujudkan kurikulum integratif, baik pada level konsep maupunimplementasi, kata kuncinya adalah korelasi dan harmonisasi. Dengan demikian,perspektif yang beragam, pengalaman yang bermacam-macam, pendekatan danbidang keilmuan yang variatif harus tetap memiliki keterkaitan antara satu sarna laindan tidak saling bertentangan atau capertentangkan, agar dapat sal ing mengisi danmelengkapi. Pada tataran praktis, penciptaan korelasi dan harmonisasi dalamkurikulum integratif sangat ditentukan kemampuan melakukan eksplorasi (terutamaguru) terhadap berbagai isu penting yang sedang berkembang, kemampuan melihatsebuah topik dari sudut pandang yang luas, dan menghindari pengulangan-pengulangan yang membingungkan (Drake, 1998 :19).

Secara implementatifdalam wilayah pembelajaran, penelitian ini menggunakanmodel yang dirumuskan oleh Tim Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, meliputiranah filosofis, ranah materi, ranah metodologi, dan ranah strategi (2006:28-32).Ranah filosofis dalam pembelajaran berarti bahwa setiap mata pelajaran harus diberinilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin ilmu lainnya. Padaranah materi, pembelajaran integratif ditandai dengan pengintegrasian materi satudisiplin ilmu dengan lainnya untuk saling melenkapi dan menguatkan. Integrasi padaranah metodologi pembelajaran mengharuskan penggunaan berbagai pendekatankeilmuan, sedangkan pada ranah strategi pembelajaran integratif ditunjukkan denganpenerapan strategi pembelajaran yang variatif dengan penekanan yang besar terhadapprinsip pembelajaran aktif.

II. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research). Oleh karena itu,data dikumpulkan dari bahan-bahan tertulis melalui studi literer. Analisis data dilakukandengan menggunakan pendekatan/z/o.sq/i,s. Metode analisis yang dipakai adalahdeskriptif&an kritis-onalitis dengan teknik berpikir induktif.

520 JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 6: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Paradigma Sains dan Agama Da/am fcmbe/ajaran Aqidah (Ketuhanan)

Metode deskriptif dimaksudkan bahwa kedua paradigma sains dan agamadalam menjelaskan persoalan aqidah dilukiskan dan dimaikan kembali sebagaimanaadanya dengan maksud untuk memperoleh gambaran utuh dan menyeluruh. Disamping metode deskriptif, data juga dianalisis secara kritis-analitis. Fokus metodeanalisis tersebut, di samping mendeskripsikan, juga memahami dan memaknai secarakritis gagasan primer dengan menggunakan pendapat atau teori lain dalam upayamenemukan arti, makna dan nuansa khas. Setelah itu, analisis diarahkan untukmemperoleh kesamaan-kesamaan antara kedua paradigma tersebut guna dij adikansebagai bahan melakukan integrasi paradigma dalam pembelajaran aqidah.

Secara operasional, langkah-langkah analisis kritis-analitis penelitian ini dapatdigambarkan sebagai berikut:

Pertama, dalam analisis kritis-analitis gagasan primer dideskripsikan terlebihdahulu. Kedua, membahas gagasan primer, yang pada hakikatnya memberikanpenafsiran secara kritis terhadap gagasan tersebut. Ketiga, melakukan kritik, yaitumelihat dan menunjukkan kelebihan dan kekurangan gagasan tersebut. Dalam kontekspenelitian ini, kedua paradigma akan ditunjukkan kelebihan dan kekurangan masing-masing, khususnya dalam menjelaskan persoalan aqidah. Hal ini akan dijadikan dasaruntuk menggabungkan keduanya dalam proses pembelajaran. Keempat,menyimpulkan hasil penelitian.

III. Hasil dan Analisis

1. Paradigma Sains dan Agama dalam Masalah Ketuhanan (Aqidah)

Ada lima argumen rasional-fUosofis yang digunakan oleh kalangan saintis dalammencari dan menemukan Tuban, yaitu:

Pertama, argumen yang diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak. Di dalamalam ini segala sesuatu bergerak. Dari sini dibuktikan Tuhan ada. Jelas sekali bahwaala mini bergerak. Setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh yang lain, sebabtidak mungkin suatu perubahan dari potensialitas bergerak ke aktualitas bergeraktanpa ada penyebabnya, dan penyebab itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri.Gerakan adalah perubahan dari potential ke actus; potential tanpa sebab tidakmungkin muncul actus. Akan tetapi, timbul persoalan: bila sesuatu bergerak hanyakarena ada penggerak yang menggerakkannya, tentu penggerak itupun memerlukanpenggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak berangkai yang tidak

JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 521

Page 7: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, /ntegrasi Paradigma Sains dan Agamo Do/am Pembelajaran Aqidah (KetuhononJ

terbatas. Konsekwensinya adalah tidak ada penggerak. Menj awab persoalan ini,saintis mengatakan bahwajustru karena itulah maka sepantasnya manusia sampaipada Penggerak Pertama, yaitu penggerak yang tidak digerakkan (unmoved mover)oleh yang lain, itulah Tuhan.

Kedua, argumen yang disebut sebab yang mencukupi (efficient cause) Secararingkas argument ini mengatakan bahwa di dalam dunia inderawi manusia dapatdisaksikan adanya sebab yang mencukupi. fidak ada sesuatu yang mempunyai sebabpada dirinya sendiri, sebab bila demikian, ia mesti menjadi lebih dahulu daripadadirinya sendiri. Ini tidak mungkin. Dalam kenyataannya, yang ada adalah rangkaiansebab dan musabab. Seluruh sebab berurutan dengan teratur: penyebab pertamamenghasilkan musabab, musabab ini penyebab yang kedua yang menghasilkanmusabab kedua, musabab kedua menghasilkan penyebab yang ketiga yangmenghasilkan musabab ketiga,begituseterusnyasehinggaterjadi rangkaian penyebab.Itu berarti membuang sebab sama artinya dengan membuang musabab. Artinya, jikatidak ada Sebab Pertama, tentu tidak akan ada rangkaian sebab, dan itu berartitidak akan ada apa-apa. Kenyataannya, banyak terdapat benda-benda. Oleh karenaitu, wajar untuk menyimpulkan adanya Sebab Pertama (Prima Causa), dan ituadalah Tuhan.

Ketiga, argtm^nkemim^aDandankebarusanfpossibilityandnecessity). Darialam ini dapat disaksikan segala sesuatubersifat mungkin ada dan mungkin tidakada. Adanya ala mini bersifat mungkin. Kesimpulan itu diambil karena kenyataannyaisi alam ini dimulai tidak ada, lalu muncul, lalu berkembang menuju hilang, membawamanusia kepada konsekwensi bahwa alam ini tidak mungkin selalu ada, sebab adadan tidak ada tidak mungkin menjadi sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama.Bila sesuatu tidak mungkin ada, ia tidak akan ada. Seharusnya sekarang ini tidakada sesuatu. Ini berlawanan dengan kenyataan. Jika demikian, harus ada sesuatuyang ada, sebab tidak mungkin muncul ada bila Ada Pertama itu tidak ada. Sebab,bila suatu waktu tidak ada sesuatu, maka tidak mungkin muncul sesuatu yang lain.Jadi, Ada Pertama itu harus ada karena adanya alam dan isinya ini. Akan tetapi,Ada Pertama itu darimana asalnya ? Terjadi lagi rangkaian penyebab. Manusiaharus berhenti pada penyebab yang harus ada; itulah Tuhan.

Keempat, argumen yang didasarkan pada tingkatan yang ada di alam. Isi alamini masing-masing berkelebihan dan berkekurangan. Misalnya, dalam hal kebaikan,keindahan, kebenaran. Ada orang yang dihormati, ada yang lebih dihormati, ada

522 JURNALPENELITIANAGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 8: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Porodigma Sains dan tqpma Do/am fembelajaran Aqidah (Ketuhananj

yang terhormat. Ada y ang indah, lebih indah, dan ada yang terindah. Tingkatantertinggi raenjadi sebab tingkatan di bawahnya. Yang Maha Sempuma, Yang Maha

Benar, ada sebab bagi sempurna dan benar pada tingkatan di bawahnya. Tuhan,karena itu, adalah tingkatan tertinggi. Begitu juga tentang ada;. Tuhan memiliki sifat

Ada yang tertinggi, ada yang di bawahnya disebabkanolehAda yang tertinggi tersebut.Kelima, argumen yang didasarkan pada keteratutan alam. Manusia dapat

menyaksikan isi alam dari jenis yang tidak berakal bergerak ataubertindak menuju

tujuan tertentu, dan pada umumnya berhasil mencapai tujuan tersebut. Dari situ,

dapat diketahui bahwa benda-benda itu diatur oleh suatu kekuatan dalam bertindak

mencapai tuj uannya. Sesuatu yang tidak berakal mestinya tidak berhasil mencapaitujuan. Nyatanya mereka sampai pada tujuan. Ini tidak mungkin terjadi jika tidakada yang mengarahkaa Yang mengarahkan pasti memiliki kemampuan, berakal dan

mengetahui. Siapa yang memiliki kemampuan, pengetahuan dan kekuatan untkmengarahkan alam raya ini ? Tidak mungkin manusia, sebab kcnyataannya manusiatidak dapat mengarahkan selunih isi alam. Pencarian ini akhirnya kembali berhentipada keyakinan pada yang mengatur alam adalah yang menciptakan dan memilikialam, diaiah Tuhan.

Proses menemukan Tuhan dalam sains dalam digambarkan dengan diagramberikut:

Fenomena alam (wujud, keteraturan)

Pemahaman terhadap fenomena alam

IPenafsiran dan aiialisis tor hadap fenomena alam

IPenetapan kesimpulan tentang Tuhan

IMerumuskan secarasistematis konsep Tuhan

JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 J23

Page 9: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Paradigma Sains dan Agama Do/am ffembe/oj'oron Aqidah (Kstuhanan)

Sementara itu, dalam perspektif agama (Islam) Tuhan diketahui dan ditemukanberdasarkan informasi wahyu. Secara umum, eksistensi Tuhan sebagai Dzat yangghaib, immateri, trancenden dan seterusnya diakui secara bulat oleh kalanganpenganut Islam. Karena keghaiban inilah, sebagian besar ummat Islam memandangbahwa persoalan eksistensi Tuhan bukan wilayah akal untuk menjelaskannya,melainkan wilayah keyakinan yang didasarkan kepada wahyu. Namun demikian,sesuai dengan keberadaan Islam sebagai agama yang menghargai akal dan ilmupengetahuan, wahyu juga memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirandan belajar dari alam agar dapat meningkatkan pengetahuan tentan Tuhan dankeimanan kepada-Nya.

Al-Qur'an secara konstan rncnwrintahkan penganut Islam untuk melihat danmemperhatikan dunia, mereka harus mengerahkan daya imajinatif dalam rangkamemahami kemaha-kuasaan-Nya, realitas transenden yang memberi penghidupankepada seluruh makhluk. Al-Qur' an juga menekankan pentingnya penggunaan akaluntuk menemukan makna dari ayat-ayat Tuhan. Seorang Muslim diperintahkan untukmenggunakan akal pikirannya semaksimal mungkin. Sekalipun demikian, merekaharus mampu melihat dan memperhatikan alam semesta secara seksama. Sekalilagi, penggunaan akal dalam memahami alam adalah sebagai media saintifikasikeyakinan Tuhan, sejauh yang dapat dilakukan oleh akal. Apabila akal tidak dapatmenemukan sebuah cara atau pola penjelasan yang memuaskan intelektualitasmanusia, maka tidak berarti kebenaran akan eksistensi Tuhan dinafikan. Justrudisinilah keharusan bagi manusia untuk kembali kepada kebenaran wahyu.

Akal manusia dalam mengenal Tuhan hanya mampu sampai batas mengetahuibahwa Tuhan itu ada. Untuk mendalami lebih lanjut, manusia memerlukan bantuanwahyu. Oleh sebab itu, Tuhan mengutus utusan (nabi dan rasul) untuk menjelaskanapa, siapa dan bagaimana Tuhan melalui sifat-sifat-Nya, dan hal-hal yang berkaitandengan bukti kebenaran keberadaan, keeasaan, da kekuasaan Tuhan. Adapunmengenai wujud Allah tidak dijelaskan karena hal tersebut bukanlah wilayahpembahasan rasio. Namun yang terpenting adalah penghayatan dan keyakinan secaratotal akan eksistensi Tuhan. Demkianlah, paradigma agama khususnya Islam dalammemandang persoalan ketuhanan. Epistemologi yang mendasarinya adalahkepercayaan secara transendental. Kunci utamanya adalah apa dan bagaimana wahyumenjelaskan persoalan ketuhanan, dan ini diterima secara total dengan keyakinan,bukan dengan penalaran logika atau pembuktian secara empiris, sebab logika

524 JURNAL PENEL1TIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 10: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Paradigma Sains dan Agoma Da/am Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

manusia dan paradigmaempiris diyakini tidak akan sampai pada pengetahuan tentanghakikat Tuhan yang sebenarnya. Logika dan pemhaman alam hanya akan sampaipada pengetahuan bahwa Tuhan itu ada, tidak lebih dari itu. Selebihnya berdasarkan

paradigma agama, sumbernya adalah wahyu.Secara praktis, pengembangan paradigma wahyu dalam memahami Tuhan

dilandai oleh rujukan berupa dalil naqli (nash) untuk mendasari dan memperkuatpemahaman tentang ketuhanan. Metode berfikir yang digunakan adalah deduktif.Artinya, terlebih dahulu dicari dalil naqli tentang persoalan ketuhanan, kemudiandalil tersebut dijadikan sebagai alat justifikasi normatif untuk mengkonstruk konsep-konsep ketuhanan. Dari sinilah kemudian muncul rumusan-rumusan yangberhubungan dengan Tuhan, misalnya sifat-sifat, bukti-bukti kekuasaan Allah, dansebagainya. Pada tahap tertentu, penjelasan rasional dan empiris "tidak diperlukan"karena yang terpenting adalah informasi wahyu. Dalam hubungan ini, seringdilontarkan tuduhan dari kalangan yang tidak sependapat dengan paradigma agama,bahwa pengetahuan yang didasarkan pada wahyu dan key akinan semata adalahpengetahuan yang diragukan kebenarannya, tidak obyektif, dan tidak memenuhistandar keilmuan yang berlaku.

Jika paradigma agama dalam menjelaskan persoalan ketuhanan di atasdigambarkan dalam bentuk diagram, maka dapat digambarakan sebagai berikut:

Dalil-dalil nash tentang ketuhanan (aqidah)

Penafsiran dalil-dalil nash

Pemahaman dalil-dalil nash

Penetapan kaidah dan konsep tentang qaidah

Merumuskan secara sistematis kaidah dan konsep

JURNAL PENELITIAN AGAMA. VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBEK-DESEMBER 2008 525

Page 11: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, /ntegrosi Paradigma Sains dan Agama Dalam Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

1. Wacana Titik Temu Sains dan Agama dalam Masalah Aqidah

Dari sisi epistemologi keilmuan, terdapat perbedaan mendasar antara sainsdan agama, khususnya Islam. Banyak ahli mengatakan bahwa sains dan agamaberbeda dalam metodologi ketika keduanya mencoba untuk menj elaskan kebenaran.Metode agama umumnya bersifat subyektif, tergantung pada intuisi/pengalamanpribadi dan otoritas nabi/kitab suci. Sedangkan sains bersifat obyektif, yang lebihmengandalkan observasi dan interpretasi terhadap fenomena yang teramati dan dapatdiverifikasi. Ada dua pertanyaan yang ingin dijawab oleh sains dan agama, yaknipertanyaan tentang fenomena yang teramati dan dapat diverifikasi (seperti hukumfisika dan hukum moral manusia)dan pertanyaan tentang fenomena yang tidak teramati(misalnya bagaimana alam semesta ini berawal dan apa itu baik dan buruk).

Secara rinci, Barbour dengan mengutip pendapat Longdon Gilkey membuatpemetaan dalam penelitian sains dan agama sebagai berikut: (1) Sains mencobamenjelaskan data yang bersifat obyektif, publik dan dapat diulang. Agamamenj elaskan hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi tatanan dan keindahandunia serta pengalaman kehidupan dakhil (seperti rasa bersalah, kecemasan danketidakberartian, pada saru sisi, dan pemanfaatan, kepercayaan dan keseluruhan,pada sisi yang lain). (2) Sains mengajukan pertanyaan "bagaimana" yang obyektif,sedangkan agama mengaj ukan pertanyaan "mengapa" tentang makna dan tujuanserta asal mula dan takdir berakhir. (3) Otoritas dalam sains adalah koherensi, logisdan kesesuaian eksperimental. Sedangkan otoritas terteinggi dalam agama adalahTuhan dan wahyu yang diterima oleh orang-orang terpilih yang memperolehpencerahan dan wawasan rohani dan diyakini melalui pengalaman personal. (4) Sainsmelakukan prediksi kuantitatif yang dapat diuji secara eksperimental. Sedangkaagama harus menggunakan bahwa simbolis dan analogis karena Tuhan bersifattarnsenden (Barbour, 1971:67)

Pemetaan sains dan agama dalam pencarian kebenaran seperti dikemukakanBarbour di atas, tidaklah dimaksudkan untuk menunj ukkan bahwa keduanya berbedasecara ekstrem dan berlawanan secara frontal. Justru, semakin mempertegas bahwasains dan agama sama-sama memiliki komitmen untuk selalu menemukanpengetahuan, sekalipun paradigma yang digunakan berbeda. Dalam konteks ini,relevan ungkapan Rolstone bahwa sains dan agama sama-sama berkeyakinan duniaadalah sesuatu yang dapat dimengerti dan dapat diperkirakan dengan pemahamanmenurut logika, meskipun keduanya menggambarkan keyakinan isi dengan cara

526 JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII. NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 12: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Korwodi. (ntegrasi Paradigma Sains dan Agama Dalam fembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

yang berbeda (Rolston, tt: 1). Sains berjalan dengan anggapan bahwa terdapat"sebab" bagi sesuatu, sementara agama berjalan dengan anggapan bahwa terdapat"makna" bagi sesuatu. Sebab dan makna lazimnya terdapat dalam sebuah konsep

yang beraturan, namun jenis aturannya berbeda."Sebab" ternyata merupakan ide yang sulit untuk dijelaskan, tetapi dalam

pengertian yang longgar, sebab menunjuk pada faktor apapun yang memberikankontribusi pada penjelasan dan bisa mencakup berbagai bidang, alasan bahkanpemaknaan. Namun demikian, dalam sains "sebab" sering direduksi pada pengertianluarnya, yakni rangkaian kausalitas yang secara konstan dapat diamati secara empiris.

Pada sisi yang lain, "makna" merupakan signifikansi inti yang dipahami tentangsesuatu, yang kadangkalabersifatsamar tetapi meruapakanpemikiran yang penting.Sains beranggapan bahwa kausalitas berlaku secara luas pada alam makhluk,sedangkan agama beranggapan bahwa apa yang merupakan "nilai tertinggi" palingberlaku luas pada makhluk. Dengan kenisbian pada perbedaan antara sebab danmakna, maka dapat dikatakan bahwa sains menjawab pertanyaan, sebagaimanadikemukakan Barbour di atas, tentang "bagaimana", sedangkan agama menjawabpertanyaan tentang "mengapa".

Dengan demikian, dapat dipahami ketika Rolston sampai pada kesimpulanbahwa dalam bentuk logika umum, sains dan agama seringkali saling berhubungandan mendukung dalam hal-hal yang prinsipil (Rolston, tt: 22-23). Selanjutnya, terkaitdengan "material content", sains dan agama seringkali menawarkan interpretasialternartfteriiadapperigalamaaBi^ianya,intErpretasiilniiahbertunipu pada kausalitas,sementara interpretasi agama bertumpu pada makna. Ada penekanan yang berbedadalam bentuk logika khusus dari model rasional Iceduanya. Bahkan, kedua disiplintersebut sama-sama "rasional" dan kedunyajuga berhasil mengembangkan diri selamaberabad-abad. Kcduany a membangun paradigma teoritis masing-masing dalammenghadapi pengelaman empiris. Jika terdapat konflik interpretasi antara sains danagama, itu dikarenakan adanya kekaburan batas antara kausalitas dan makna.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kemungkinanterbangunnya sebuah simbiosis mutualisme (hubungan saling menguntungkan) antarasains dan agama dalam masalah aqidah cukup besar. Ada beberapa alasan yangdapat dikemukakan:

Pertama, ilmuwan dan teolog sama-sama mencari apa yang disebut CandraMuzaffar dengan kebenaran dan keadilan universal, (Muzaffar, 2004:247) sebuah

JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBEK 2008 527

Page 13: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Fbradigma Sains dan Agama Dalam fembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

pencarian kepada suatu kebenaran publik. Setiap ucapan dan pijakannya selalumendasarkan pada perkataan "menurut ilmu yang saya ketahui" atau "menurutkeyakinan agama yang saya percay a". Meskipun perkataan-perkataan tersebutadalah ekspresi subyektif, namun itu adalah sebuah ungkapan kebenaran yangdiyakininya. Dengan mendasarkan pada sains yang dimiliki dan agama alau keyakinanyang dianut, secara implisit menunjukkan bahwa sains dan agama bukanlah duaobyek dengan dua dunia, tetapi dua obyek dalam satu dunia yang saling melengkapi.

Seperti halnya dalam agama, sains hanya dapat dikomunikasikan kepada siapasaja yang mau menerima nilai-nilai keilmuan tersebut. Dalam sains, nilai yangterkandung di dalamnya berbeda dengan nilai yang terkandung dalam agamaberdasarkan perspektif masyarakat Agama memiliki nilai yang bersifat sakral, profandan kredo, sementara sains memiliki nilai yang bersifat kontekstual dan temporal.

Kedua, munculnya kesadaran kalangan saintis bahwa pengembangan sainsselama ini ternyata tidak berhasil memberikan kebahagiaan hidup hakiki dan merekamembutuhkanpergantungan spiritual. Fenomena dua dekadeterakhirini menunjukkanindikasi kuat hubungan antar agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dulupernah bersengketa. Inilah yang ditangkap oleh Wimal Disayanake, Ketua IslamicCenter Honolulu, AS sebagai gejala munculnya keterbukaan pandangan sainsterhadap agama (Disayanake, 1993 : 3). Fenomenaini jugamenjadi pembuktiankebenaran tesis Albert Einstein yang sangat terkenal "ilmu tanpa agamabuta, danagama tanpa ilmu lumpuh". Jadi yang terjadi sesungguhnya bukan saja urgensi bagihubungan antar agama untuk saling berdialog dan bertoleransi, tetapi pada levalglobal adalah kesadaran untuk melakukan kolaborasi antara agama-agama, sainsdanjugafilsafat

Pandangan lain mengatakan, sains modern saat ini bukan apa-apa kecualiakumulasi dari setengah kebenaran, dan dengan basis setengah kebenaran inilahsaintis mencoba mengontrol dunia dan hasilnya membawa dunia pada kehancuran.Atau, pernyataan Morris Herman bahwa pandangan dunia sains integral denganmodernitas, masyarakat massa, dan bencara kemanusiaan yang terjadi sekarang(Herman, 1984:17).

Dengan argumen-argumen tersebut banyak orang memandang bahwa sainssemata-mata tidak dapat diandalkan. Yang lebih penting lagi, bahwa orang akhirnyasadar bahwa sains bukanlah satu-satunya pilihan. Dengan paradigma yang berbeda,dapat diciptakan sains yang berbeda, yang mungkin lebih membahagiakan manusia.

52g JUKNALPENELITIAN AGAMA, VOL. XVII. NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 14: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Korwodi. Integrasi Paradigma Sams don Agama Do/am Pembelajaran Aq/dah (Ketuhanan)

Oleh karena itu, dimulailah gerakan pencarian kebenaran hakiki, dan sampailahpencarian tersebut pada kolborasi antara sains dan agama.

Ketiga, pada saat yang sama muncul kesadaran kalangan intelektual agamawanbahwa agama (Islam khususnya) tidak mungkin steril dari persoalan sains, karenasalah satu ruh dari ajaran agama adalah pengembangan sains dengan memahamifenomena alam. Agama akan ditinggalkan pemeluknya jika tidak mampuberkomunikasisecarakomunikatif dengan sains. Dewasaini kebenaran agama tidakcukup hanya didasarkan kepada doktrin yang terdapat dalam kitab suci lanpadijelaskan secara ilmiah. Dalam konteks inilah, titik temu sains dan agama menjadisangat mungkin terjadi.

Seperti gayung bersambut, dua alasan di atas dapat menjadi sumber energibagi perpaduan antara sains dan agama. Di samping itu, alasan-alasan tersebutmenunjukkan bahwa kalangan saintis dan agamawan menyadari bahwa dalam sainsdan agama terdapat nilai-nilai yang dapat diman faatkan oleh masing-masing.Kesadaran nilai inlah yang dapat menjadi jembatan pertemuan. Pernyataan AlbertEinstein, science 'without religion is blind, religion without science is lame, atauAlexis Carrel, prayer is the biggest power in the universe adalah salah satu bentukpengakuan bahwa dalam agama terdapat nilai yang penting bagi kehidupan termasukdalam mengembangkan sains. Sebaliknya, ajaran normatif agama agama adalahakal, tidak beragama bagi orangyang tidak menggunakan akal, atau berbagaistatement ayat yang diakhiri dengan ungkapan apakah kamu tidak berpikir, apakahkamu tidak merenungkan dengan akal, juga ayat-ayat yang menyeru agar manusiamenggunakan akal pikiran, mencermati fenomena alam dan sebagainya menunjukkannilai pentingnya sains dalam kehidupan.

Dalam kaitan ini, argumen bahwa sains itu netral, perlu ditinjau ulang. Sebab,jika dilihat sejarah lahirnya sains, maka akan semakin tampak bahwa sejak masakelahiran sains modern (masa renaisans) tujuan sains adalah untuk diterapkan. Untukmemberikan tempat pada manusia sebagai penguasa alam sehingga manusia bisabebas mengekploitasinya demi kepentingannya. Ringkasnya, sejak kelahirannya,sains modern tidak bisa dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, dan akibatny aia tidak netral. Karenanya, perlu kesadaran nilai, terutama bagi masyarakat Baratsebagai pengendali sains modern saat ini.

Dengan kesadaran nilai tersebut yang terjadi adalah saling melengkapi dan salingmengisi. Oleh karena itu, wacana pertentangan antara sains dan agama akan dapat

JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 529

Page 15: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwodi, Integrasi Paradigma Sains dan Agama Dalam Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

dinetralisir. Berbagai ungkapan bernada konfrontatif misalnya"dapatkah sainsmenyingkirkan agama" atau " dapalkah agama menandingi sains" menjadi ungkapanretoris dan tidak relevan. Sebaliknya, hubungan yang harmonis dan salingmenguntungkan (mutualisme) antara sains dan agama dapat diwujudkan. Agamamengurusi kawasan yang bersifat normatif, seperti ukuran baik buruk, rasa salahdan dosa, cinta keadilan dan kesucian. Sedangkan sains, berperan memberikanpemecahan teihadap masalah sosial manusia dari perspektif rasional-empiris.

3. Imlementasi Teoritis dalam Pembelajaran

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa integrasi antara paradigma sainsdan agama dalam tnengaj arkan pe; soaian aqidah bukan hanya mungkin, tetapi adalahkeharusan. Perpaduan tersebut memungkinkan masalah aqidah tidak dipandangsecara dogmatis semata, lebih dari itu ia dapat dijelaskan secararasional, sebagaimanadilakukan oleh kalangan saintis. Hal ini menjadi tuntutan pendidikan Islam sekarang,sebab dalam perspektif integrated curriculum pembelajaran hams dilakukan denganmenggunakan paradigma integratif-interkonektif, baik pada ranah filofosis, materi,stategi maupun metode.

a. Ranah Filosofis

Perbedaan antara sains dan agama dalam memperoleh pengetahuan terletakpada wilayah metode. Dari sisi tujuan, keduanya sama-sama ingin memperolehpengetahuan yang benar mengenai sesuatu, termasuk berkaitan dengan persoalanketuhanan. Lebih dari itu, penganut kedua paradigma tersebut meyakini bahwadengan metode yang digunakannya masing-masing dapat mencapai pengetahuantentangTuhan.

Dengan demikian, pengetahuan mengenai Tuhan baik yang diperoleh melaluipengkajian sains maupun agama memiliki kebenaran berdasarkan metodenya masing-masing. Di samping itu, terdapat kesamaan mengenai makna eksistensi Tuhan, yaknisebagai Dzat Yang Maha Tinggi dan dalam hubungan ini lahir pula kesadaran bahwamanusia adalah lemah, terbatas, dan "tergantung" kepada Tuhan. Keyakinan dankesadaran akan hal ini menjadi dasar filosofis yang paling esensial dalam melaksana-kan pembelajaran aqidah. Oleh karena itu, guru atau dosen yang mengajarkan materiaqidah perlu meyakinkan anak didik bahwa informasi ketuhanan yang diperolehdari sains dan agama mengandung kebenaran yang saling melengkapi.

530 JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 16: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi. Integrasi Paradigma Sains dan Agama Dalam Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

Sebagai contoh, pencipta alam dan semua isinya yang oleh kalangan saintisdisebut dengan berbagai istilah misalnya penggerak yang tidak digerakkan (unmoved

mover), atau sebab pertama (prima causa), secara filosofis memiliki kesamaanpesan sebagaimana tertuang dalam ajaran agama (Islam) yakni Q.S.Al-Ikhlas: 1 -4.Hal ini menunjukkan bahwa pada level filosofis, masalah aqidah dapat diajarkanoleh guru tidak hanya berdasarkan wahyu tetapi juga berdasarkan sains. Bentukkajian yang dapat dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran adalahkomplementasi, yakni informasi aqidah yang ada dalam sains dan agama diposi sikanuntuk saling memperkuat dan saling mengabsahkan sehingga menjadi lebih kokoh(PokjaAkademik, 2006:34).

Integrasi antara sains dan agama pada level filosofis dalam pembelajaran aqidah,tidak harus dimunculkan secara eksplisit dalam kurikulum. Sebab, hal ini lebih banyakterkait dengan pemahaman terhadap nilai (value)Aan mind-set guru. la dapatdij adikan sebagai kurikulum tersembunyi (hiden curriculum) dan karenanya kuncinyaterletak pada kesiapan dan kemampuan guru untuk mengembangkannya.

b. Ranah Mated

Integrasi sains dan agama dalam masalah aqidah pada ranah materi lebih tepatdengan mengambil bentuk pengintegrasian dalam tema-temayang terangkum dalammateri pembelajaran. Dengan cara ini, dimungkinkan terjadi proses komplementasi,komparasi, induktifikasi, Aanverifikasisekaligus.Artinya,tematentangketuhananyang di-break-down dari sains dan agama perlu dimunculkan dalam kurikulum tertulis.Sebagai contoh, tema "Kekuasaan Tuhan", maka di dalam sub tema perlu disebutkansecara eksplisit: 1) kekuasaan Tuhan dari perspektif agama, 2) kekuasaan Tuhandari perspektif sains. Tetapi, apabila tidak dimungkinkan memunculkan sub temasecara eksplisit, maka guru perlu memastikan bahwa dalam menjelaskan temakekuasaan Tuhan harus diungkap dua paradigma tersebut, sehingga materi menj adilebih kaya, lengkap dan seimbang. Di samping itu, referensi yang digunakan untukmenyusun dan mengembangkan materi aqidah harus menunjukkan sumber yangberagam, tidak hanya bersumber dari buku-buku agama, tetapi j uga buku-bukusains yang terkait.

JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 53 \

Page 17: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karv/adi, Integral/ Paradigma Sains dan Agama Dalam Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

c. RanahMetodologi

Pada ranah metodologi bentuk integrasi yang tepat diterapkan dalampembelajaranaqidahadalah model interdisciplinary (Drake, 1998:18-23),yaitumenjelaskan satu topik (dalam hal ini aqidah / ketuhanan) dengan menggunakanberbagai perpektif. Dalam hubungannya dengan pengintegrasian antara paradigmasains dan agama, model interdisipliner ini dapat dilakukan dengan lebih dahulumenjelaskan eksistensi Tuhan berdasarkan wahyu, atau sebaliknya dengan dasarpetnahamantemadapfenomenaalammeldmpeaggunaankaidahilmiah,selanjufiiyapenjelasan diperkuat dengan paradigma yang lain

Sebagai contoh perpaduan pada ranah metodologi dalam pembelajaran aqidahdapat diambil dari dialektika pencarian Tuhan, baik bagi kalangan saintis maupunpenjelasan agama:

Pertama, wujud dunia dengan segala isinya. Kalangan saintis meyakiniberdasarkan logika bahwa sesuatu yang ada (nampak) pasti ada penyebab yangmembuatnya ada. Penelusuran logika terhadap "yang ada" ini akhirnya sampai padakesimpulan bahwa segala yang ada di dunia berasal dari "Penyebab Pertama" (PrimaCausa). Kemampuan logika tidak sampai pada identifikasi tentang siapa PenyebabPertama. Di sinilah peran agama memberikan tuntunan kepada akal manusia agarsampai pada hakikat pencipta alam semesta seperti diinformasikan oleh wahyu.Sebaliknya, agama dapat menggunakan metode kalangan sainstis dalam menemukan"Tuhan" melalui sesuatu yang ada untuk menjelaskan ajaran wahyu mengenai konsep-konsep ketuhanan.

Kedua, keteraturan alam. Berdasarkan sumber wahyu dalam Islam dapatdengan mudah diketahui bahwa Allah adalah Dzat yang mengatur alam dan segalaisinya. Dialah yang menentukan matahari terbit di timur dan tenggelam di Barat,matahari, bintang, bulan, dan planet-planet lainnya beredar secararutin pada porosnyamasing-masing, dan seterusnya. Sebagai bagian dari dogma agama, persoalan iniharus diterima. Akan tetapi, penjelasan normatif seperti ini kadang tidak memberikankepuasan secara intelektual. Sehubungan dengan hal ini, penjelasan dalam sainsmodern bahwa keteraturan alam menunjukkan adanyaTuhan, dapat membantuparadigma agama. Saintis memandang bahwa keteraturan alam bukan karenakebetulan, tetapi ada yang mengatur. Sesuatu yang kebetulan, tidak akan berlangsungsecara aj eg dan kontinyu. Pengatur alam dipastikan memiliki kekuatan melebihikekuatan alam. Dengan demikian bukan manusia, karena manusia adalah bagian

532 JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBEK-DESEMBER 2008

Page 18: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, /ntegrasi Paradigma Sains dan Agama Dalam fismbelajaran Aqidan (Ketuhanan)

Sebagai contoh, pencipta alam dan semua isinya yang oleh kalangan saintisdisebut dengan berbagai istilah misalnya penggerak yang tidak digerakkan (unmovedmover), atau sebab pertama (prima causa), secara filosofis memiliki kesamaanpesansebagaimanatertuangdalamajaranagama(Islam)yakniQ.S.Al-Ikhlas: 1-4.Hal ini menunjukkan bahwa pada level filosofis, masalah aqidah dapat diajarkanoleh guru tidak hanya berdasarkan wahyu tetapi j uga berdasarkan sains. Bentukkajian yang dapat dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran adalahkomplementasi, yakni infonnasi aqidah yang ada dalam sains dan agama diposisikanuntuk saling memperkuat dan saling mengabsahkan sehingga menjadi lebih kokoh(PokjaAkademik,2006:34).

Integrasi antara sains dan agama pada level filosofis dalam pembelajaran aqidah,tidak harus dimunculkan secara eksplisit dalam kurikulum. Sebab, hal ini lebih banyakterkait dengan pemahaman terhadap nilai (value)dan mind-set guru. la dapatdijadikan sebagai kurikulum tersembunyi (hiden curriculum) dan karenanya kuncinyaterletak pada kesiapan dan kemampuan guru untuk mengembangkannya.

b. RanahMateri

Integrasi sains dan agama dalam masalah aqidah pada ranah mated lebih tepatdengan mengambil bentuk pengintegrasian dalam tema-tema yang terangkum dalammateri pembelajaran. Dengan cara ini, dimungkinkan terjadi proses komplementasi,komparasi, induktifikasi, dan vOTyffansekaligus.Artinya, tema tentangketuhananyang di-break-dawn dari sains dan agama perlu dimunculkan dalam kurikulum tertulis.Sebagai contoh, tema"KekuasaanTuhan", makadi dalam sub tema perlu disebutkansecara eksplisit: 1) kekuasaan Tuhan dari perspektif agama, 2) kekuasaan Tuhandari perspektif sains. Tetapi, apabila tidak dimungkinkan memunculkan sub temasecara eksplisit, maka guru perlu memastikan bahwa dalam menjelaskan temakekuasaan Tuhan harus diungkap dua paradigma tersebut, sehingga materi menj adilebih kaya, lengkap dan seimbang. Di samping itu, referensi yang digunakan untukmenyusun dan mengembangkan materi aqidah harus menunjukkan sumber yangberagam, tidak hanya bersumber dari buku-buku agama, tetapi juga buku-bukusains yang terkait.

JURNAL PENEUTIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 53 \

Page 19: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi. /ntegrasi Paradigma Sains dan Agama Dalam Pembelajaran Aqidah (Ketuhanan)

c. RanahMetodologi

Pada ranah metodologi bentuk integrasi yang tepat diterapkan dalam

pemtelajaiwi aqidah adalah modeh>rtmfcc;p//Hary (Drake, 1998:18-23),yaitumenjelaskan satu topik (dalam hal ini aqidah / ketuhanan) dengan menggunakanberbagai perpektif . Dalam hubungannya dengan pengintegrasian amara paradigmasains dan agama, model interdisipliner ini dapat dilakukan dengan lebih dahulumenjelaskan eksistensi Tuhan berdasarkan wahyu, atau sebaliknya dengan dasarpemahaman terhadapfenomena alam melalui pen. ggunaankaidahilmiah, selanjutnyapenjelasan diperkuat dengan paradigma yang lain

Sebagai contoh perpaduan pada ranah metodologi dalam pembelajaran aqidahdapat diambil dari dialektika pencarian Tuhan, baik bagi kalangan saint is maupunpenjelasan agama:

Pertama, wujud dunia dengan segala isinya. Kalangan saintis meyakiniberdasarkan logika bahwa sesuatu yang ada (nampak) pasti ada penyebab yangmembuatnya ada. Penelusuran logika terhadap 'Vang ada" ini akhirnya sampai padakesimpulan bahwa segalayang ada di dunia berasal dari "Penyebab Peitema" (PrimaCausa). Kemampuan logika tidak sampai pada identifikasi tentang siapa PenyebabPertama. Di sinilah peran agama memberikan tuntunan kepada akal manusia agarsampai pada hakikat pencipta alam semesta seperti diinformasikan oleh wahyu.Sebaliknya, agama dapat menggunakan metode kalangan sainstis dalam menemukan"Tuhan" melalui sesuatu yang ada untuk menjelaskan ajaran wahyu mengenai konsep-konsep ketuhanan.

Kedua, keteraturan alam. Berdasarkan sumber wahyu dalam Islam dapatdengan mudah diketahui bahwa Allah adalah Dzat yang mengatur alam dan segalaisinya. Dialah yang menentukan matahari terbit di timur dan tenggelam di Barat,matahari, bintang, bulan, dan planet-planet lainnya beredar secara rutin pada porosnyamasing-masing, dan seterusnya. Sebagai bagian dari dogma agama, persoalan inihams diterima Akan tetapi, penjelasan normatif seperti ini kadang tidak memberikankepuasan secara intelektual. Sehubungan dengan hal ini, penjelasan dalam sainsmodern bahwa keteraturan alam menunjukkan adanya Tuhan, dapat membantuparadigma agama. Saintis memandang bahwa keteraturan alam bukan karenakebetulan, tetapi ada yang mengatur. Sesuatu yang kebetulan, tidak akan berlangsungsecara ajeg dan kontinyu. Pengatur alam dipastikan memiliki kekuatan melebihikekuatan alam. Dengan demikian bukan manusia, karena manusia adalah bagian

532 JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 200S

Page 20: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Paradigma Sa/ns dan Agama Dalam Pembe/oj'aran Aqidah (Ketuhanan)

kebenaran. Dan, secara filosofis pula Tuhan dalam sains dan agama diposisikansebagai Dzat yang menjadi awal alam semesta. Pada ranah materi, integrasi dapatdilakukan dalam bentuk komplementasi, saling melengkapi, menguatkan danmengabsahkan. Secara eksplisit, di dalam sillabus perlu ada dimunculkan paradigmasains dalam masalah ketuhanan, di samping paradigma agama. Demikian juga denganreferensi yang dipakai, tidak hanya yang bersumber dari agama tetapi juga buku-buku saintifik yang di dalamnya terkait dengan materi aqidah. Pada ranah metodologi,Pada ranah metodologi bentuk integrasi yang tepat diterapkan dalam pernbelajaranaqidah adalah model interdisciplinary, yaitu menjelaskan satu topik (dalam hal iniaqidah / ketuhanan) dengan menggunakan berbagai perspektif. Sedangkan padaranah strategi, pembelajaran aqidah adalah perpaduan antara paradigma teosentrisdengan paradigma antroposentis. Dengan demikian, strategi pembelajaran aqidahtidak hanya ceramah, tanya jawab, diskusi di kelas, tetapi siswa juga perlu diberipeluang untuk memahami persoalan aqidah berbdasarkan pemahamannya terhadapalam, misalnya dengan tadabbw alam.

DaftarPustaka

Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik(Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam),Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2002.

Amin Abdullah, dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-IImu Agama dan Umum,Yogyakarta: SUKA Press, 2003.

, "EtikaTauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologj Keilmuan Umumdan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke ArabTeoantroposentrik-Integralistik)" dalam, Jarot Wahyudi, (ed.),Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, UpayaMempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: IAINSuka Press, 2003.

Ghulam Sarwar, "Islamic Education, Its Meaning, Problems and Prospect", dalamGhulam Sarwar, et.all, The Muslim Educational Trust, London, 1996.

Haidar Bagir, "Sains Islami: Suatu Alternatif', dalam Jurnal Ulumul Qur 'an, tahun1999.

Homes Rolston, Science and Religion A Critical Survey, New York : RandomHouse, tt.

JURNAL PENEUTIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEM8ER-DESEMBER 2008 535

Page 21: INTEGRASI PARADIGMA SAINS DAN AGAMA DALAM

Karwadi, Integrasi Paradigma Sains dan Agama Do/am Pembelajaran Aq/dah (Ketuhanan)

Ian GBarbour, Issues in Science an Religion, New York: Harper and Row Pub-lisher, 1971., Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad,Bandung: Mizan, 2002.

Jack.P.Miller, The Holistic Education, Toronto: OISEPess, 1998.Kate Woodford, Cambridge Advanced Learner's Dictionary, USA: Cambridge

University Press, 2003.Mehdi Ghulsani yang menulis buku Filsafat-Sains MenurutAl-Qur 'an, terjemah

olehAgus Effendi, Bandung: Mizan, 1991.Moeflich Hasbullah, (ed.), Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu

Pengetahuan, Jakarta. Pustaka Cisecindi, 2000.Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Kerangka Dasar Keilmuan dan

Pengembangan Kurikulum, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.Susan M. Drake, Creating Integrated Curriculum Proven Ways to Increse Stu-

dent Learning, California: Corwin Press, 1998.Ted Peters Gaymon Bennet, (ed.), Menjembatani Sains dan Agama, terjemah

oleh Jessica Cristiana Pattinasarany, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago : Chicago

University Press, 1970.

*PenulisadalahdosentetapFakultasTarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

536 JURNAL PENEUTIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008