inkonsistensi tiongkok dalam menghadapi kasus...
TRANSCRIPT
INKONSISTENSI TIONGKOK DALAM
MENGHADAPI KASUS NUKLIR KOREA UTARA
PERIODE 2013-2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Sosial
(S. Sos)
Oleh:
Rizky Afif Hidayah
11141130000081
Dosen Pembimbing:
Robi Sugara, M. Sc.
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1439 H
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
INKONSISTENSI TIONGKOK DALAM MENGHADAPI KASUS NUKLIR
KOREA UTARA PERIODE 2013-2016
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Juni 2018
Rizky Afif Hidayah
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Rizky Afif Hidayah
NIM : 11141130000081
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
INKONSISTENSI TIONGKOK DALAM MENGHADAPI KASUS NUKLIR
KOREA UTARA PERIODE 2013-2016
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 7 Juni 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi, Pembimbing,
Ahmad Alfajri, MA Robi Sugara, M.Sc
NIP. NIP.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
INKONSISTENSI TIONGKOK DALAM MENGHADAPI KASUS NUKLIR
KOREA UTARA PERIODE 2013-2016
Oleh:
Rizky Afif Hidayah
11141130000081
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
30 Mei 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Alfajri, MA
NIP.
Eva Mushoffa, MHSPS
NIP.
Penguji I,
Penguji II,
Ahmad Alfajri, MA
Inggrid Galuh M., MHSPS
NIP. NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 5 Juli 2018.
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
FISIP UIN Jakarta,
Ahmad Alfajri, MA
NIP.
v
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis kepentingan nasional yang ingin
dicapai suatu negara melalui kebijakan luar negeri yang mereka terapkan dalam
hubungan internasional. Kasus yang dianalisis adalah inkonsistensi kebijakan
Tiongkok dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara. Teori yang digunakan
dalam skripsi ini adalah Neorealisme, untuk melihat bagaimana negara mencapai
survivalitas dalam dunia internasional yang anarki. Kepentingan nasional dalam
kerangka pemikiran Neorealisme juga dibahas untuk menguatkan argumen
mengenai faktor di balik perilaku negara di dunia internasional. Tiongkok
berusaha untuk mencapai survivalitas dengan menunjukkan inkonsistensi dalam
mengadapi kasus nuklir Korea Utara.
Penjabaran mengenai kebijakan Tiongkok tersebut kemudian
menghasilkan temuan bahwa Tiongkok menghadapi ancaman dari aktor lain dan
memiliki kepentingan untuk mencapai survivalitas dan mempertahankan
hegeomoni mereka di Semenanjung Korea (regional hegemons). Kepentingan
tersebut membuat Tiongkok menerapkan kebijakan yang terkesan inkonsisten
dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara.
Kata kunci: Tiongkok, kepentingan nasional, inkonsistensi, senjata nuklir, Korea
Utara.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan nikmat yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis sadar bahwa tidak akan bisa diselesaikan tanpa adanya dukungan,
nasehat, dan bantuan, baik berupa materi maupun non-materi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga penulis, Ayahanda Eko Suyanto, Ibunda Dyah Priyani, dan
adik-adik penulis, Zahra Kamallina, Fakhri Muhammad, dan Firdaus
Hafiz, yang selalu memberikan semangat, doa, cinta, saran, dan
nasehat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Robi Sugara, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih
atas waktu, saran, dan kesabaran yang tidak henti-hentinya diberikan
dalam membimbing penulis selama masa pengerjaan skripsi ini.
3. Dosen-dosen program studi Hubungan Internasional UIN Jakarta.
Terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada
penulis selama masa perkuliahan.
4. Mr. Mike. Terima kasih atas segala bentuk bantuan yang telah
diberikan kepada penulis selama masa kuliah.
vii
5. Saudari Ratna Dwi Martanti. Terima kasih atas waktu, dukungan,
motivasi, bantuan, saran, dan doa yang tidak ada habisnya untuk
penulis selama pengerjaan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat seperjuangan skripsi, khususnya Allysa Julia Safira
dan Unggul Waskito. Terima kasih untuk bantuan, saran, dan motivasi
yang tidak ada habisnya.
7. Senior-senior HI UIN Jakarta, kak Arya Wirawan, kak Rifat Sauqi,
kak Idzat, dan kak Ghalib. Terima kasih atas bantuan, saran, nasehat,
dan motivasi yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Sahabat Kontrakan Inhutani dan teman-teman HI UIN Jakarta
angkatan 2014, khususnya kelas HI-C. Terima kasih telah memberikan
pengalaman yang menyenangkan selama masa kuliah.
Penulis berharap semua bentuk bantuan dan dukungan ini mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Terakhir, penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi para pembacanya dan bagi studi ilmu Hubungan Internasional.
Jakarta, Juni 2018
Rizky Afif Hidayah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ........................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ..................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 9
F. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 12
G. Metodologi Penelitian ........................................................................ 16
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17
BAB II HUBUNGAN TIONGKOK DAN KOREA UTARA TERKAIT
PENGEMBANGAN DAN UJI COBA SENJATA NUKLIR
KOREA UTARA
A. Hubungan Tiongkok dan Korea Utara Terkait Pengembangan
dan Uji Coba Senjata Nuklir Korea Utara Pada Era Kim Il Sung
................................................................................................... 20
B. Hubungan Tiongkok dan Korea Utara Terkait Pengembangan
dan Uji Coba Senjata Nuklir Korea Utara Pada Era Kim Jong Il
................................................................................................... 24
ix
C. Hubungan Tiongkok dan Korea Utara Terkait Pengembangan
dan Uji Coba Senjata Nuklir Korea Utara Pada Era Kim Jong
Un .............................................................................................. 29
BAB III INKONSISTENSI TIONGKOK DALAM MENGHADAPI
KASUS NUKLIR KOREA UTARA
A. Denuklirisasi Korea Utara ......................................................... 39
B. Hubungan Ekonomi Tiongkok dan Korea Utara ....................... 43
C. Kaitan Ekonomi Tiongkok dan Denuklirisasi Korea Utara;
Inkonsistensi Tiongkok ............................................................. 48
BAB IV ANALISIS TERHADAP INKONSISTENSI TIONGKOK
TERKAIT PENGEMBANGAN DAN UJI COBA SENJATA
NUKLIR KOREA UTARA
A. Kepentingan Nasional Tiongkok ................................................ 54
A.1. Kepentingan Keamanan ...................................................... 55
A.2. Regional Hegemons ............................................................ 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... xiv
x
DAFTAR TABEL
Tabel II.C.1. Kapabilitas Misil Balistik Korea Utara ..................................... 32
Tabel III.B.1. Tiongkok dalaam Perdagangan Korea Utara, 1990-2004 .......... 44
Tabel III.C.1. Rekan Dagang Teratas Korea Utara 2016.................................. 49
Tabel IV.A.2.1. Perbandingan Kekuatan Militer Tiongkok, Rusia, dan Amerika
Serikat ........................................................................................ 68
xi
DAFTAR GRAFIK
Grafik III.B.1. Volume Perdagangan Tiongkok dengan Korea Utara .................. 45
Grafik III.B.2. Persentase Perdagangan Tiongkok dengan Korea Utara ............... 46
Grafik III.B.3. Peningkatan Persentase Perdagangan Tiongkok dengan Korea
Utara ............................................................................................... 47
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.C.1. Jenis-Jenis Misil Balistik korea Utara ........................................ 33
xiii
DAFTAR SINGKATAN
DK Dewan Keamanan
DK PBB Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa
IAEA International Atomic Energy Agency
NPT Nuclear Non-Proliferation Treaty
PBB Persatuan Bangsa-Bangsa
SDF Self-Defence Force
THAAD Terminal High Altitude Area Defense
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini fokus pada kebijakan yang diambil suatu negara dalam
menghadapi ancaman dan tekanan terhadap keamanan nasional dan
kepentingan nasional negara tersebut. Salah satunya adalah ancaman yang
datang dari senjata nuklir. Isu nuklir menjadi salah satu isu yang sangat
sensitif dalam ranah hubungan internasional, sehingga tidak
mengherankan apabila nuklir bisa berimplikasi pada hubungan antarnegara
di dunia. Negara yang akan menjadi fokus dalam topik kali ini adalah
Tiongkok dan Korea Utara, dimana pengembangan dan sejumlah uji coba
senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara berimplikasi pada
kebijakan yang diambil Tiongkok terhadap mereka yang akhirnya
menimbulkan dinamika dalam hubungan keduanya.
Hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Korea Utara sudah
dimulai sejak berlangsungnya perang sipil di Tiongkok, atau tepatnya pada
periode 1946 – 1949, dimana pada saat itu kedua negara menjalin kerja
sama yang menguntungkan di berbagai bidang, seperti; militer, ekonomi,
dan sosial.1 Hubungan tersebut berlanjut saat terjadi Perang Korea pada
1950-1953. Tiongkok membantu melakukan intervensi militer yang sangat
1 Kim Sang Won, “The Chinese Civil War and Sino-North Korea Relations, 1945-
50”, Seoul Journal of Korean Studies 27, No. 1 (Juni 2014): 101.
2
masif untuk melindungi rezim Kim Il Sung.2 Tiongkok berkontribusi
dengan memberikan bantuan lebih dari satu juta orang relawan selama
berlangsungnya perang tersebut untuk membantu rezim Kim Il Sung
memerangi pasukan aliansi PBB.3 Pasukan ini diantaranya terdiri dari
Amerika, Inggris, Australia, Kanada, Selandia Baru, Belgia, Kolombia,
Perancis, Etiopia, Belanda, Turki, Yunani, Thailand, dan Filipina.4
Namun hubungan baik tersebut tidak bertahan lama. Seiring
dengan dimulainya program nuklir Korea Utara, hubungan keduanya terus
mengalami dinamika. Program nuklir Korea Utara tersebut dimulai pada
1956, saat mereka menandatangani sebuah perjanjian dengan Uni Soviet
dalam kerja sama penggunaan energi nuklir secara damai. Korea Utara
kemudian mengirim para ilmuwannya ke Moskow untuk mendapatkan
pelatihan seputar energi nuklir. Pada 1965, Korea Utara membangun
reaktor nuklir pertamanya, disusul dengan pembangunan reaktor kedua
pada 1970. Pada 1984, mereka sukses membuat rudal bermuatan nuklir
2 Timothy Hildebrant, ed., “Uneasy Allies: Fifty Years of China-North Korea
Relations”, Asia Program Special Report No.115:1-2, September 2003, tersedia di
https://www.google.co.id/url?q=https:/dornsife.usc.edu/tools/mytools/PersonnelInfoSy
stem/DOC/Faculty/SIR/vita_1038420.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwi8367M35jXAhVH6mMK
HTOuBhoQFjAAegQIEhAA&usg=AOvVaw2Ga7Ty2wwR1-OcgEmbp9B- ; diunduh pada 30
Oktober 2017. 3 Ranjit Kumar Dhawan, “China and Its Peripheries; Contentious Relations with
North Korea”, Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS) Issue Brief 231: 1, Agustus 2013, tersedia di https://www.google.co.id/url?q=https://www.files.ethz.ch/isn/168038/IB231-Dhawan-ChinaPeriphery-NorthKorea.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwi8367M35jXAhVH6mMKHTOuBhoQFjAJegQIDRAA&usg=AOvVaw0s0BBUM91ZnIMy_Yi-rUN2; diakses pada 30 Oktober 2017.
4 Wayne Danzik, “Participation of Coalition Forces in The Korean War” (1994),
tersedia di https://www.dtic.mil/dtic/tr/fulltext/u2/a279370.pdf diunduh pada Kamis, 12 Juli 2018.
3
(rudal Scrud-B) dan melakukan uji coba senjata nuklir untuk pertama
kalinya.5
Pengembangan senjata nuklir Korea Utara kemudian menimbulkan
beragam reaksi dari dunia internasional. Pada Oktober 1994, Korea Utara
dan Amerika menyepakati sebuah persetujuan. Persetujuan tersebut berisi
komitmen Korea Utara untuk menghentikan program pengembangan
senjata nuklirnya, dan sebagai gantinya, Korea Utara akan menerima
bantuan minyak dan pengadaan reaktor air. Namun, kesepakatan tersebut
dilanggar oleh Korea Utara.6 Hal ini tentu saja menjadi ancaman tersendiri
bagi dunia internasional, khususnya Tiongkok, yang merupakan salah satu
tetangga terdekat Korea Utara.
Korea Utara menghadirkan dilema tersendiri bagi para pembuat
kebijakan Tiongkok. Tiongkok memiliki kepentingan untuk mencegah
penyebaran pengaruh pengembangan senjata nuklir di Semenanjung
Korea, karena jika hal itu terjadi, maka akan mengancam stabilitas
keamanan regional dan negara Tiongkok itu sendiri.7 Sikap Korea Utara
tersebut tentu saja bisa menimbulkan dampak yang serius bagi kebijakan
luar negeri Tiongkok terhadap mereka nantinya.
Meskipun demikian, hubungan bilateral keduanya bisa dikatakan
mengalami trend yang cukup positif. Kedua negara masih melakukan
5 Prilla Marsingga, “Proliferasi Nuklir Korea Utara: Penangkalan dan Diplomasi
Kekerasan”, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. IV, No. II (Desember 2014): 6. 6 Joseph R. DeTrani, “After 20 Years of Failed Talks With North Korea, China
Needs to Step Up”, Arms Control Today, Vol. 44, No. 8 (October 2014): 18. 7 Timothy L. Savage, “China’s Policy Toward North Korea”, International Journal
on World Peace, Vol. 20, No. 3 (September 2003): 29.
4
hubungan perdagangan meskipun nilainya bersifat fluktuatif. Pada 1990,
perdagangan bilateral keduanya menyentuh angka 480 Juta Dollar
Amerika, dan meningkat drastis menjadi 900 Juta Dollar Amerika pada
1993.
Pada tahun-tahun berikutnya, nilai perdagangan keduanya
mengalami trend yang sangat fluktuatif. Setelah Soviet runtuh, Tiongkok
mencoba untuk memainkan peran sebagai partner dagang terbesar bagi
Korea Utara. Namun, jika dibandingkan dengan nilai perdagangan Soviet-
Korea Utara, nilai perdagangan Tiongkok-Korea Utara hanya mencapai 39
persennya saja.8 Tiongkok gagal memainkan perannya untuk
menggantikan Soviet saat itu. Namun, sejak 1990 sampai 2005, hubungan
perdagangan bilateral kedua negara menunjukkan angka yang cukup
progresif. Terlebih dalam kurun waktu 2000-2005, perdagangan bilateral
keduanya terus mengalami peningkatan.
Namun, sejak 2006 sampai 2016, hubungan kedua negara kembali
mengalami tantangan. Pada Juli 2006, Rezim Kim Jong Il memutuskan
untuk meluncurkan sebuah misil dan menguji perangkat nuklir pada 9
Oktober 2006. Tiongkok akhirnya memberikan dukungan terhadap
Resolusi 1695, 1705, dan 1718 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan
Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk memberikan sanksi kepada
8 Jaewo Choo, “Mirroring North Korea’s Growing Economic Dependence on
China: Political Ramifications”, Asian Survey, Vol. 48, No. 2 (March/April 2008): 347.
5
Korea Utara atas uji coba tersebut.9 Sanksi yang dijatuhkan PBB pada
dasarnya adalah sanksi ekonomi.
Korea Utara kembali melakukan uji coba nuklir pada 2009 yang
akhirnya mendorong Tiongkok untuk mendukung Resolusi 1874 yang
dikeluarkan DK PBB pada 2009.10
Pada Desember 2012 dan Februari
2013, Korea Utara lagi-lagi melakukan uji coba nuklir.11
Hal tersebut
membuat PBB mengeluarkan resolusi 2087 dan 2094 yang kembali
didukung oleh Tiongkok.12
Uji coba nuklir ketiga pada 2013 tersebut
menjadikan denuklirisasi sebagai prioritas utama kebijakan luar negeri
Tiongkok terhadap Korea Utara.13
Korea Utara melakukan uji coba nuklir berikutnya pada 6 Januari
2016 dan penggunaan tekonologi misil balistik pada 7 Februari 2016, yang
membuat DK mengeluarkan resolusi 2270 untuk menjatuhkan sanksi bagi
mereka.14
Setelah itu, Korea Utara kembali melakukan uji coba pada
9 Zhu Feng, “Shifting Tides: China and North Korea”, in The Architecture of
Security in the Asia-Pacific (ANU Press, 2009), : 45-46. 10
Dick K. Nanto and Mark E. Manyin, “China-North Korea Relations”, CRS Report for Congress: 2-3, December 2010, tersedia di https://www.google.co.id/url?q=https://fas.org/sgp/crs/row/R41043.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwifsrfz5ZjXAhVU92MKHRFaCpoQFjAAegQIGBAA&usg=AOvVaw1zYvA5FCoM_kYmvTickNHT ; diakses pada 30 Oktober 2017.
11 Nathan Beauchamp danMustafaga, “China-North Korea Relations: Jang Song
Thaek’s Purge vs. The Status Quo”, China Analysis No. 47:1, Februari 2014, tersedia di https://www.google.co.id/url?q=http://www.centreasia.eu/sites/default/files/publications_pdf/note_china_North_korea_relations_after_jang_song_thaek_s_purge_february2014_0.pdf ; diakses pada 30 Oktober 2017.
12 Dhawan, “China and Its Peripheries”: 5.
13 Fei Su and Lora Saalman, China’s Engagement of North Korea; Challenges and
Opportunities for Europe (Solna: Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), 2017): 8.
14United Nations Security Council, SC/12267, 2 Maret 2016.
6
September 2016 yang membuat DK PBB mengeluarkan Resolusi 2321
untuk menjatuhkan sanksi dan Tiongkok mendukung resolusi tersebut.
Di samping komitmen Tiongkok untuk mewujudkan denuklirisasi
Korea Utara, Tiongkok tetap melakukan hubungan bilateral yang baik
dengan Korea Utara. Secara keseluruhan, perdagangan bilateral kedua
negara meningkat sekitar sepuluh kali lipat selama periode 2000-2015.
Catatan ini kemudian juga sekaligus menjadikan Tiongkok sebagai rekan
dagang terbesar Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir.15
Ini
menunjukkan inkonsistensi dalam implementasi kebijakan luar negeri
Tiongkok.
Hal ini dikarenakan di satu sisi Tiongkok memprioritaskan
denuklirisasi Korea Utara, namun di sisi lain Tiongkok merupakan rekan
dagang terbesar Korea Utara. Jika Tiongkok menginginkan terciptanya
denuklirisasi Korea Utara, maka Tiongkok harus memutus aktivitas
perdagangan, atau setidaknya mengurangi sampai titik terendah untuk
mendorong Korea Utara untuk kembali ke meja perundingan dan
melakukan denuklirisasi. Jika Korea Utara masih memiliki aliansi yang
terus mendukung mereka, maka tidak ada alasan bagi Korea Utara untuk
menghentikan program nuklirnya.
Inkonsistensi yang ditunjukkan Tiongkok dalam kasus nuklir
Korea Utara secara langsung memang tidak merugikan Tiongkok, apalagi
15
Eleanor Albert, “The China – North Korea Relationship”, Council on Foreign Relationshttps://www.cfr.org./backgrounder/china-north-korea-relationship diakses pada Senin, 23 Oktober 2017.
7
kerugian yang bersifat material. Namun, inkonsistensi tersebut menjadi
masalah untuk meredam ambisi nuklir Korea Utara, mengingat Tiongkok
merupakan rekan dagang terbesar bagi Korea Utara. Jika Korea Utara
masih memiliki sumber untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, maka
tidak ada alasan bagi Korea Utara untuk berhenti mengembangkan senjata
nuklirnya.
Selain itu, jika Tiongkok inkonsisten, itu berarti mereka abai
terhadap tugas mereka sebagai anggota DK PBB. Sebagai anggota DK
PBB, Tiongkok memiliki tugas untuk menjaga keamanan dan perdamaian
internasional. Jika Tiongkok terus inkonsisten, maka tugas untuk mencapai
keamanan dan perdamaian internasional tersebut bisa terhambat.
Dari semua rangkaian kejadian di atas, peneliti akan memfokuskan
penelitian pada periode 2013-2016. Hal ini dikarenakan 2013 merupakan
tahun dimana Tiongkok dipimpin oleh presiden baru, yaitu Xi Jinping.
Banyak spekulasi mengenai kebijakan yang akan diambil Xi Jinping
dalam menghadapi nuklir Korea Utara saat ia terpilih, namun nampaknya
sampai saat ini kebijakan Tiongkok terhadap Korea Utara masih belum
banyak berubah. Tiongkok nampaknya masih menggunakan dua
pendekatan dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara.
Selain itu, periode 2013-2016 diwarnai pula oleh aktivitas
nuklir Korea Utara yang semakin agresif. Pada periode ini, Korea Utara
sudah tiga kali melakukan uji coba nuklir dan diikuti pula oleh tiga
resolusi yang dikeluarkan DK PBB untuk menjatuhkan sanksi bagi Korea
8
Utara. Hal tersebut penting untuk melihat bagaimana Tiongkok sebagai
negara tetangga Korea Utara dan sebagai anggota DK PBB menyikapi
peristiwa tersebut.
Pada periode ini pula perdagangan antara Tiongkok dan Korea
Utara sedang berada pada periode terbaiknya, dimana perdagangan kedua
negara mengalami peningkatan dari periode-periode sebelumnya seperti
yang sudah saya sampaikan pada bagian pernyataan masalah. Hal ini bisa
digunakan sebagai indikator untuk melihat apakah benar Tiongkok
inkonsisten dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara.
Penjabaran di atas menunjukkan bahwa Tiongkok cenderung
inkonsisten dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara. Tiongkok
menempatan denuklirisasi sebagai prioritas utama kebijakan mereka
terhadap Korea Utara, namun mereka tetap memperkuat hubungan
ekonomi mereka dengan Korea Utara. Oleh karena itu, menarik untuk
diketahui kepentingan nasional apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh
Tiongkok dengan menunjukkan kebijakan yang inkonsisten tersebut.
B. Pertanyaan Penelitian
Kepentingan nasional apa yang ingin dicapai Tiongkok terkait
inkonsistensi kebijakan mereka dalam menghadapi kasus nuklir Korea
Utara periode 2013-2016?
9
C. Tujuan Penelitian
Untuk menjelaskan bagaimana kebijakan yang diambil Tiongkok
dalam menghadapi uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh
Korea Utara.
Untuk mengetahui kepentingan nasional Tiongkok terkait
kebijakan yang mereka ambil dalam menghadapi kasus nuklir
Korea Utara.
D. Manfaat Penelitian
Memperbanyak wawasan bagi mahasiswa Hubungan Internasional,
khususnya dalam isu nuklir Korea Utara dan kaitannya dengan
kebijakan Tiongkok terhadap Korea Utara itu sendiri.
Menjadikanpenelitian ini sebagai bahan untuk studi perbandingan
atau dikembangkan lebih jauh lagi, serta dijadikan referensi untuk
penelitian yang sejenis.
E. Tinjauan Pustaka
Literatur pertama yang peneliti jadikan sebagai tinjauan adalah
sebuah penelitian yang disusun menjadi sebuah buku karya Yu Tiejun,
Ren Yuanzhe, dan Wang Junsheng yang berisi analisis tentang kebijakan
luar negeri Tiongkok terhadap Semenanjung Korea. Penelitian tersebut
berjudul “Chinese Perspectives Toward the Korean Peninsula: In the
Aftermath of North Korea‟s Fourth Nuclear Test” yang diterbitkan oleh
10
Stimson Center pada Juni 2016 lalu. Secara garis besar, penelitian ini
berisi analisa kebijakan Tiongkok terhadap Korea Utara dan Korea
Selatan, dan signifkansi dari kebijakan luar negeri Tiongkok terhadap
Semenanjung Korea di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Penelitian ini
juga membahas ancaman nuklir Korea Utara dan dukungan Tiongkok
terhadap resolusi DK PBB.16
Persamaan penelitian tersebut dan penelitian ini adalah sama-sama
menyoroti kebijakan luar negeri Tiongkok terhadap Korea Utara,
khususnya terkait uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara.
Selain persamaan tersebut, penelitian ini juga memiliki perbedaan dengan
penelitian ini.
Dalam penelitian tersebut, penulis juga menjelaskan tentang
bagaimana Tiongkok mencoba menjaga keseimbangan di Semenanjung
Korea dengan menjalin hubungan bilateral dengan dua Korea Utara.
Sementara dalam penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti hanya
akan sedikit membahas mengenai kerja sama ekonomi Korea Selatan
tanpa menyoroti faktor keseimbangan kebijakan yang dimainkan
Tiongkok di Semenanjung Korea.
Literatur berikutnya juga merupakan sebuah penelitian yang
disusun menjadi sebuah buku karya Fei Su dan Lora Saalman, yang
berjudul “China‟s Engagement of North Korea; Challenges and
16
Yu Tiejun, Ren Yuanzhe, dan Wang Junsheng, Chinese Perspectives Toward the Korean Peninsula: In the Aftermath of North Korea’s Fourth Nuclear Test (Washington: Stimson Center, 2016).
11
Opportunities for Europe” dan ditulis pada Februari 2017 lalu. Secara garis
besar, penelitian ini berisi analisa tentang bagaimana negara-negara di
Eropa seharusnya bisa bekerja sama dengan Tiongkok dalam ekonomi,
non-proliferasi, dan keamanan yang berkaitan dengan Korea Utara.
Penelitian ini juga membahas kebijakan Tiongkok terhadap Korea Utara,
khususnya terkait senjata nuklir. 17
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu sama-
sama membahas keterlibatan Tiongkok terhadap perekonomian Korea
Utara dan tujuan denuklirisasi yang ingin diwujudkan Tiongkok terhadap
Korea Utara. Di samping persamaan tersebut, penelitian ini juga memiliki
perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaannya adalah penelitian tersebut
membahas bagaimana seharusnya negara-negara Eropa bisa terlibat
dengan Tiongkok dalam suatu sistem kerja sama terkait denuklirisasi
Korea Utara. Sementara itu, penelitian ini tidak membahas soal negara-
negara Eropa dalam konteks denuklirisasi Korea Utara tersebut, melainkan
hanya akan fokus kepada kebijakan yang diterapkan oleh Tiongkok.
Literatur ketiga adalah jurnal yang ditulis oleh Joseph R. DeTrani.
Jurnal ini berjudul “After 20 Years of Failed Talks With North Korea,
China Needs To Step Up” dan ditulis pada Oktober 2014 lalu. DeTrani
menjelaskan tentang pengembangan dan uji coba senjata nuklir yang
Korea Utara, serta sejumlah sanksi yang mereka terima Selain itu, DeTrani
17
Fei Su dan Lora Saalman, China’s Engagement of North Korea; Challenges and
Opportunities for Europe (Solna: Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), 2017).
12
juga memberikan penjelasan mengenai hubungan diplomatik Tiongkok
dengan Korea Utara dan menyebut bahwa Tiongkok berperan besar dalam
proses denuklirisasi Korea Utara, karena Korea Utara bergantung pada
bantuan makanan dan sumber daya lain dari Tiongkok. 18
Persamaan jurnal tersebut dan penelitian iniadalah sama-sama
menyoroti perkembangan dan uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh
Korea Utara. Selain itu, jurnal dan penelitian yang akan peneliti lakukan
sama-sama membahas mengenai kerja sama Tiongkok dan Korea Utara,
dengan menyebutkan beberapa indikator yang membuktikan bahwa
Tiongkok merupakan rekan kerja sama ekonomi yang kuat bagi Korea
Utara.
Sementara itu, perbedaannya adalah jurnal tersebut tidak
menjelaskan mengenai inkonsistensi Tiongkok dalam menghadapi Korea
Utara, yang menjadi fokus utama dalam skripsi ini,melainkan lebih fokus
kepada bagaimana tindakan yang harus dilakukan Tiongkok sebagai rekan
dagang terbesar Korea Utara untuk menghasilkan denuklirisasi.
F. Kerangka Pemikiran
Realisme merupakan salah satu grand theory dalam ilmu hubungan
internasional. Menurut kamus Merriam-Webster, Realisme merujuk pada
hal-hal yang berhubungan dengan fakta dan realitas, dan penolakan
terhadap hal-hal yang sifatnya hanya berupa angan-angan atau imajinasi
18
Joseph R. DeTrani, “After 20 Years of Failed Talks With North Korea, China Needs to Step Up”, Arms Control Today, Vol. 44, No. 8 (October 2014).
13
belaka.19
Realisme dalam hubungan internasional pada umumnya
berkaitan dengan asumsi bahwa manusia hanya mementingkan dirinya
sendiri dan haus akan kekuasaan, sehingga mereka bisa melakukan apa
saja untuk mencapai kepentingannya.20
Seiring berjalannya waktu, Realisme terus mengalami
perkembangan, sehingga lahirlah sebuah kerangka pemikiran yang
merupakan kritik sekaligus pembaruan bagi teori Realisme, yaitu Realisme
Struktural atau lebih dikenal dengan istilah Neorealisme. Tokoh yang
pertama kali memperkenalkan teori ini adalah Kenneth Waltz, melalui
karyanya yang berjudul “Theory of International Politics”. Waltz
menulisnya pada tahun 1979. 21
Sama halnya dengan Realisme Klasik, Neorealisme juga
beranggapan bahwa politik internasional lekat dengan perebutan
kekuasaan dan sistem internasional adalah anarki, yaitu sebuah sistem
yang ditandai dengan tidak adanya otoritas yang lebih tinggi dari negara,
atau dengan kata lain, tidak ada otoritas yang berkuasa untuk mengatur
relasi antarnegara.22
Namun, berbeda dengan Realisme Klasik,
Neorealisme mengabaikan peran dari sifat manusia dan lebih berfokus
19
Merriam-Webster Dictionary, tersedia di https://www.merriam-webster.com/dictionary/realism , diakses pada Selasa, 19 Desember 2017.
20 Anthony F. Lang, “Morgenthau, Agency, and Aristotle”, in Realism
Reconsidered; The Legacy of Hans J. Morgenthau in International Relations (Oxford University Press, 2007), 18.
21 Stephen McGlinchey, Rosie Walters, & Christian Scheinpflug, ed.,
International Relations Theory (England: E-International Relations Publishing, 2017), : 16-17.
22 Vinsensio Dugis, ed., Teori Hubungan Internasional; Perspektif-Perspektif
Klasik (Surabaya: Cakra Studi Global Strategis (CSGS), 2016), : 81-85
14
pada sistem internasional yang anarkis tersebut dalam kaitannya dengan
perilaku negara.23
Sistem internasional yang anarkis tersebut kemudian menimbulkan
konsekuensi. Tidak adanya otoritas yang mengatur perilaku negara berarti
tidak adanya pula otoritas yang bisa menjamin keamanan suatu negara.
Hal tersebut kemudian membuat negara-negara di dunia merasa berada
dalam kondisi yang tidak aman, sehingga mendorong mereka untuk
berusaha menyelamatkan diri sendiri dan bertahan hidup (self-help dan
survival) di dalam sistem internasional yang anarki tersebut. 24
Dengan
demikian, bertahan hidup menjadi sebuah keharusan bagi setiap negara.
Terdapat dua teori dalam Neorealisme yang menjelaskan tentang
cara negara dalam mencapai keamanan tersebut, yaitu Offensive Realism
(Realisme Ofensif) dan Deffensive Realism (Realisme Defensif). Realisme
Defensif pada dasarnya menyatakan bahwa negara di dunia tidak akan
mengejar power secara berlebihan, namun cukup untuk mencapai tujuan
utama dalam sistem yang anarki yaitu survival.25
Realisme Defensif pada
intinya lebih mengedepankan cara-cara yang moderat dan tidak agresif
dalam mencapai tujuan keamanan dan mempertahankan diri.26
23
M. Saeri, “Teori Hubungan Internasional; Sebuah Pendekatan Paradigmatik”, Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2, Februari 2012, : 6.
24 Vinsensio Dugis, ed., Teori Hubungan Internasional; Perspektif-Perspektif
Klasik, : 87-88. 25
Vinsensio Dugis, ed., Teori Hubungan Internasional; Perspektif-Perspektif Klasik, : 82.
26 Jeffrey W. Taliafero, “Security Seeking Under Anarchy; Defensive Realism
Revisited”, International Security, Vol. 25, No. 3 (2000/01), : 128-129.
15
Berbeda dengan Realisme Defensif, Realisme Ofensif lebih
menekankan bahwa negara harus memaksimalkan power yang mereka
miliki untuk mencapai survivalitas. John Mearsheimer mengungkapkan
bahwa sistem internasional yang anarki menimbulkan ketakutan pada
setiap negara. Tidak adanya otoritas yang lebih tinggi dari negara
membuat negara-negara di dunia harus mampu melindungi diri mereka
masing-masing sehingga mereka harus memaksimalkan power yang
mereka miliki.27
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pada dasarnya
kepentingan utama negara di dunia internasional adalah keamanan atau
survival. Meskipun Neorealisme tidak terlalu banyak membahas soal
kepentingan nasional, Kenneth Waltz dalam bukunya menyatakan bahwa;
“to say that a country acts according to its national interest means that,
having examined its security requirements, it tries to meet them.” 28
Pernyataan Waltz semakin menekankan bahwa keamanan atau survivalitas
merupakan tujuan utama negara. Selain keamanan, ada tujuan utama lain
yang ingin dicapai oleh negara.
Mearsheimer menyatakan bahwa; “…, the best guarantee of
survival is to be a hegemon, because no other state can seriously threaten
such a mighty power”.29
Hegemoni dengan demikian menjadi tujuan
utama setiap negara, karena hanya dengan mencapai hegemoni negara-
27
John J. Mearsheimer, Tragedy of Great Power Politics (New York: Norton Company, 2001): 3.
28 Miroslav Nincic, “The National Interest and Its Interpretation”, The Review of
Politics, Vol. 61, No. 1 (1999) : 39. 29
John J. Mearsheimer, Tragedy of Great Power Politics: 3.
16
negara akan mampu mencapai survivalitas mereka. Hal itu menunjukkan
bahwa hegemoni menjadi sesuatu yang penting dalam upaya pencapaian
survivalitas.
Inkonsistensi kebijakan Tiongkok dalam menghadapi kasus nuklir
Korea Utara bisa dipahami dalam kerangka pemikiran Realisme Ofensif,
dimana Tiongkok berusaha mengatasi ancaman yang datang dan mencapai
survivalitasnya di dalam sistem internasional yang anarki dengan cara
mempertahankan hegemoni atau pengaruh besarnya di Semenanjung
Korea (regional hegemons), dimana Tiongkok merupakan negara yang
dianggap paling banyak berinteraksi dengan Korea Utara dan punya
pengaruh besar dalam perekonomian Korea Utara, sehingga Tiongkok
memiliki cukup power untuk menghentikan nuklir Korea Utara.
G. Metodologi Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dalam skripsi
ini. Menurut Lawrence Newman, penelitian kualitatif adalah suatu
penelitian yang bertujuan untuk membangun realitas sosial, fokus pada
proses dan kejadian interaktif, dan menjadikan kebenaran sebagai kunci
utamanya.30
Skripsi ini menganalisa inkonsistensi Tiongkok dalam menghadapi
kasus nuklir Korea Utara dengan mencoba mencari fakta dan data dengan
melakukan studi kepustakaan, yaitu melakukan pengumpulan data dengan
30
Lawrence Newman, Social Research Methods; Qualitative and Quantitative Approaches, 4
th Edition (Boston: Allyn and Bacon, 2000), 16.
17
cara melakukan studi atau tinjauan terhadap beberapa literatur seperti
buku, jurnal, artikel, dan situs-situs yang berkaitan dengan permasalahan
yang akan diteliti. Data yang digunakan dengan demikian adalah data
sekunder.
Setelah memperoleh data tersebut, peneliti akan menganalisa data
dengan metode deskriptif analitis. Teknik deskriptif analitis adalah sebuah
teknik analisa data yang dilakukan dengan menjabarkan masalah yang ada
kemudian menganalisa masalah tersebut dan menyusun analisa tersebut
secara sistematis untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ada.
Teknik penulisan yang peneliti gunakan dalam skripsi ini adalah
teknik yang mengacu pada buku Panduan dan Penyusunan Proposal dan
Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.Sementara itu, teknik
pengambilan kesimpulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pengambilan kesimpulan secara deduktif, dimana peneliti akan
memberikan kesimpulan dari pembahasan yang bersifat umum sampai ke
pembahasan yang bersifat khusus.
H. Sistematika Penulisan
BAB I: Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Pembahasaan pada bab ini bertujuan untuk
18
mengetahui maksud, tujuan, dan metode yang digunakan dalam penelitian
ini.
BAB II: Hubungan Tiongkok dan Korea Utara Terkait
Pengembangan dan Uji Coba Senjata Nuklir Korea
Utara
Pada bab ini, peneliti membahas tentang sejarah pengembangan
dan uji coba senjata nuklir Korea Utara yang dilakukan pada masa
pemerintahan pemimpin yang berbeda, yaitu Kim Il Sung, Kim Jong Il,
dan Kim Jong Un. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pengembangan dan uji coba senjata nuklir Korea Utara berlangsung. Hal
ini penting untuk diketahui guna melihat apakah aktivitas nuklir Korea
Utara mengalami peningkatan dan menimbulkan ancaman serius atau
tidak.
Peneliti juga menjelaskan serangkaian kebijakan yang diambil
Tiongkok dalam menghadapi serangkaian uji coba senjata nuklir yang
dilakukan oleh Korea Utara pada bab ini. Bab ini bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana sikap dan langkah-langkah yang diambil
Tiongkok dalam menghadapi Korea Utara dan kebijakan nuklirnya,
sehingga dapat terlihat apakah Tiongkok mengambil langkah yang tegas
dalam menyikapi hal tersebut atau tidak.
19
BAB III: Inkonsistensi Tiongkok dalam Menghadapi Kasus
Nuklir Korea Utara
Pada bab ini, peneliti membahas secara spesifik mengenai
inkonsistensi Tiongkok dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara.
Peneliti mengidentifikasi dua variabel utama, yaitu prioritas kebijakan luar
negeri Tiongkok terhadap Korea Utara (denuklirisasi) dan hubungan
ekonomi kedua negara tersebut. Setelah itu, peneliti menggabungkan dua
variabel tersebut untuk memperoleh kesimpulan bahwa Tiongkok
inkonsisten dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara.
BAB IV: Analisis Terhadap Inkonsistensi Tiongkok Terkait
Pengembangandan Uji Coba Senjata Nuklir Korea
Utara
Pada bab ini, peneliti melakukan analisa terhadap kepentingan
nasional apa yang ingin dicapai Tiongkok dengan menerapkan kebijakan
yang inkonsisten terkait kasus nuklir Korea Utara. Analisa ini bertujuan
untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai kepentingan nasional
apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh Tiongkok dengan menunjukkan
kebijakan yang inkonsisten dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara.
BAB V: Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan yang terdapat pada
bab-bab sebelumnya, dimana akan terdapat penjelasan tentang
kepentingan apa yang ingin dicapai oleh Tiongkok terkait kebijakan yang
mereka terapkan dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara
20
BAB II
HUBUNGAN TIONGKOK DAN KOREA UTARA TERKAIT
PENGEMBANGAN DAN UJI COBA SENJATA NUKLIR KOREA UTARA
Bab ini berisi pembahasan mengenai kebijakan yang diambil Tiongkok
dalam merespon pengembangan dan uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh
Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Il Sung, Kim Jong Il, dan Kim Jong
Un. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana
kebijakan yang diambil Tiongkok dalam menghadapi tindakan Korea Utara terkait
pengembangan dan uji coba senjata nuklirnya.
A. Hubungan Tiongkok dan Korea Utara Terkait Pengembangan dan
Uji Coba Senjata Nuklir Korea Utara Pada Era Kim Il Sung
Korea Utara sudah memiliki keinginan untuk mengembangkan
senjata nuklir sejak era kepemerintahan Kim Il Sung. Pada Juli 1955,
Korea Utara mengirim sejumlah anggota dari Akademi Sains Korea Utara
untuk menghadiri konferensi energi nuklir di Moskow. Setahun kemudian,
Korea Utara pun menandatangani sebuah perjanjian yang berisikan tentang
penelitian nuklir dengan Uni Soviet.31
Pada periode awal ini, pengembangan nuklir Korea Utara secara
garis besar dapat dibagi ke dalam tiga langkah, yaitu:
31
Walter C. Clemens Jr., “North Korea’s Quest for Nuclear Weapons: New Historical Evidence”, Journal of East Asian Studies, 10 (2010), : 129
21
1. Mengirim ilmuwan ke Uni Soviet untuk mempelajari soal energi
nuklir.
2. Mengembangkan pengalaman yang diperoleh ilmuwan yang sudah
kembali dari Uni Soviet tersebut, dengan membuat perjanjian dengan
Uni Soviet dan mendanai program nuklir mereka dengan 7-Year
Economic Plan. Kebijakan tersebut menghasilkan berdirinya dua
pusat penelitian energi atom di Pakchon dan Yongbyon pada 1962,
yang sekaligus menjadi reaktor nuklir pertama Korea Utara.
3. Pengorganisasian ulang infrastruktur industri militer dan pembentukan
Komite Ekonomi Kedua dan Akademi Ilmu Pertahanan, yang menjadi
fondasi dalam kegiatan penelitian, perancangan, dan produksi senjata
nuklir mereka. 32
Korea Utara kemudian membangun reaktor kedua pada 1970. Pada
1984 mereka sukses membuat rudal bermuatan nuklir mereka (rudal
Scrud-B) dan melakukan uji coba senjata nuklir untuk pertama kalinya.
Satu tahun berselang, Uni Soviet mendesak Korea Utara untuk bergabung
ke dalam Non-Proliferation Treaty (NPT) dan Korea Utara akhirnya
memenuhinya.33
32
Joseph S. Bermudez Jr., North Korea’s Development of a Nuclear Weapons Strategy (US-Korea Institute at SAIS, 2015), : 9.
33 Prilla Marsingga, “Proliferasi Nuklir Korea Utara: Penangkalan dan Diplomasi
Kekerasan”: 6.
22
Bergabungnya Korea Utara ke dalam NPT secara tidak langsung
merupakan bentuk persetujuan mereka untuk berada di bawah pengawasan
International Atomic Energy Agency (IAEA) terkait program nuklir yang
mereka jalankan. Program nuklir Korea Utara akan diawasi oleh IAEA
selama tujuh tahun. Korea Utara yang saat itu berada di bawah
kepemimpinan Kim Il Sung merasa tidak senang dengan hal tersebut.34
Hal ini dibuktikan dengan keberatan yang ditunjukkan Korea Utara
terhadap inspeksi yang dilakukan oleh IAEA. Salah satu contohnya adalah
saat IAEA melakukan inspeksi berdasarkan laporan Amerika yang melihat
bahwa Korea Utara mengembangkan nuklir secara diam-diam. Sejak Mei
1992 – Februari 1993, Korea Utara menerima enam inspeksi dari IAEA
dan keberatan dengan hasil dari inspeksi tersebut. 35
Pada 1993 dan 1994, isu nuklir kemudian menjadi isu utama dalam
hubungan luar negeri Korea Utara. Setelah melakukan inspeksi tersebut,
IAEA kemudian mengajukan permintaan untuk melakukan inspeksi
khusus terkait limbah nuklir di Yongbyon. Hal tersebut akhirnya justru
mendorong Korea Utara, yang pada dasarnya sudah merasa keberatan
dengan investigasi IAEA, untuk menarik diri dari NPT. Jika hal itu terjadi,
maka mereka akan dapat mengembangkan senjata nuklir secara legal.36
34
Prilla Marsingga, “Proliferasi Nuklir Korea Utara: Penangkalan dan Diplomasi Kekerasan”, : 7.
35 Fu Ying, “The Korean Nuclear Issue: Past, Present, and Future; A Chinese
Perspective”, Strategy Paper 3 (Brooking Institution, 2017), : 5. 36
Samuel S. Kim, “North Korea in 1994: Brinkmanship, Breakdown, and Breakthrough”, Asian Survey, Vol. 35, No. 1, 1995: 18.
23
Kebijakan Korea Utara tersebut akhirnya menuai berbagai reaksi
dari berbagai negara di dunia, salah satunya Tiongkok. Tiongkok
merupakan aliansi terkuat Korea Utara. Hubungan diplomatik kedua
negara sudah berlangsung sejak 1949. Hubungan Tiongkok dan Korea
Utara pada awalnya didasari oleh latar belakang ideologi. 37
Salah satu
bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah saat Tiongkok berkontribusi
memberikan bantuan lebih dari satu juta orang relawan pada periode 1950-
1953 untuk membantu rezim Kim Il Sung memerangi pasukan PBB dalam
Perang Korea.38
Saat krisis nuklir pertama Korea Utara pada 1990-an terjadi,
Tiongkok cenderung menunjukkan sikap yang pasif dan tidak peduli
terhadap hal tersebut. Tiongkok menyatakan bahwa mereka mendukung
denuklirisasi di Semenanjung Korea, namun tetap mengedepankan isu
kedaulatan negara sehingga mereka tidak ingin memainkan peran atau
tanggung jawab apa pun dalam kasus tersebut. Tiongkok juga menentang
semua jenis sanksi yang dijatuhkan untuk Korea Utara. Mereka lebih
mendukung penyelesaian melalui jalur negosiasi.39
Tiongkok justru lebih aktif dalam menjalin hubungan bilateral
dengan Korea Utara. Pada periode tersebut, hubungan perdagangan kedua
negara bisa dikatakan mengalami trend yang positif meskipun nilainya
37
Dongjin Jeong, 2012, “China’s Foreign Policy Toward North Korea: The Nuclear Issue”, Thesis, Naval Postgraduate School, : 35.
38 Ranjit Kumar Dhawan, 2013, China and Its Peripheries; Contentious Relations
with North Korea, Institute of Peace and Conflict Studies, Issu Brief 231, : 1 39
Dongjin Jeong, “China’s Foreign Policy Toward North Korea: The Nuclear Issue”, :14-15.
24
fluktuatif. Perdagangan bilateral keduanya menyentuh angka 480 Juta
Dollar Amerika pada 1990, dan pada 1993, nilai perdagangan Tiongkok
dan Korea Utara meningkat drastis menjadi 900 Juta Dollar Amerika.40
B. Hubungan Tiongkok dan Korea Utara Terkait Pengembangan dan
Uji Coba Senjata Nuklir Korea Utara Pada Era Kim Jong Il
Pada 8 Juli 1994, Kim Il Sung meninggal dunia. Sebelum
meninggal dunia, Kim Il Sung telah mempersiapkan putra dari istri
pertamanya, Kim Jong Il, untuk menggantikannya kelak. Sepuluh bulan
setelah kematian Kim Il Sung, Kim Jong Il pun secara resmi diumumkan
untuk mengisi dua jabatan yang ditinggalkan oleh ayahnya, yaitu Presiden
dan Sekretaris Umum Partai Pekerja Korea.41
Isu nuklir kemudian masih
menjadi salah satu isu utama pada masa pemerintahan Kim Jong Il ini.
Amerika mulai menguatkan perannya terkait non-proliferasi nuklir
dengan merencanakan sebuah serangan pre-emptive ke fasilitas nuklir
Korea Utara yang ada di Yongbyon.42
Korea Utara pun merespon hal
tersebut dengan menciptakan sebuah ancaman untuk memulai perang.
Namun, di tengah tensi yang sedang meningkat tersebut, sebuah solusi
diplomatik muncul. Negosiasi yang berlangsung selama musim panas
40
Jaewo Choo, “Mirroring North Korea’s Growing Economic Dependence on China: Political Ramifications”, Asian Survey, Vol. 48, No. 2 (March/April 2008), : 347
41 Brian Bridges, “North Korea after Kim Il-Sung”, The World Today, Vol. 51, No.
6 (1996), : 103-104 42
William J. Perry, “Proliferation on The Peninsula: Five North Korean Nuclear Crises”, The Annals of The American Academy of Political and Social Science, Vol. 607 (2006), : 81.
25
1994 menghasilkan U.S.- North Korea Agreed Framework 1994 yang
ditandatangani kedua pihak pada 21 Oktober 1994.43
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Korea Utara sepakat untuk:
1. Membekukan fasilitas nuklir yang mereka miliki.
2. Tetap menjadi anggota dari NPT.
3. Mengizinkan inspeksi rutin yang dilakukan oleh IAEA.
4. Mematuhi sepenuhnya perjanjian mereka dengan IAEA.
5. Mengimplementasikan The North-South Joint Declaration on the
Denuclearization of the Korean Peninsula, yang berisi deklarasi
bersama terkait denuklirisasi di Semenanjung Korea.
6. Melibatkan diri dalam North-South Dialogue.44
Sebagai gantinya, Korea Utara memperoleh semua yang mereka
inginkan dari Amerika Serikat dalam berbagai aspek, yaitu keamanan,
politik, dan ekonomi. Amerika Serikat sepakat untuk:
1. Mendanai dan menyuplai dua reaktor air ringan dengan kapasitas
2.000 Megawat.
2. Memberikan energi alternatif berupa minyak kurang lebih sebesar
500.000 ton setiap tahun.
3. Mengurangi hambatan perdagangan dan investasi.
4. Membangun hubungan diplomatik.
43
Steven E. Miller, “The Real Crisis: North Korea’s Nuclear Gambit”, Harvard International Review, Vol. 25, No. 2 (2003), : 84.
44 Samuel S. Kim, “North Korea in 1994: Brinkmanship, Breakdown, and
Breakthrough”, : 19.
26
5. Menyediakan jaminan formal bagi Korea Utara terhadap ancaman atau
penggunaan senjata nuklir Amerika.45
Kesepakatan tersebut berhasil membekukan aktivitas nuklir Korea
Utara sampai 2002.46
Namun, pada 2003, Korea Utara mengumumkan
bahwa mereka menarik diri dari NPT. Hal tersebut menimbulkan
kecemasan dari dunia internasional karena khawatir Korea Utara akan
kembali melanjutkan program nuklirnya. 47
Jika Korea Utara keluar dari
NPT, maka Korea Utara dapat mengembangkan senjata nuklirnya secara
bebas dan legal karena tidak ada yang membatasinya.
Hal yang dicemaskan tersebut akhirnya benar-benar terjadi. Setelah
mengumumkan penarikan dirinya dari NPT, Korea Utara mulai
memproses ulang plutonium yang ada di Yongbyon. Mereka juga
mengaktifkan kembali reaktor nuklir Yongbyon dan mengoperasikannya
sampai April 2005.48
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Luar
Negeri Korea Utara pada Februari 2005, yang secara resmi menyatakan
bahwa Korea Utara kembali mengembangkan senjata nuklirnya.49
Pernyataan terkait pengembangan senjata nuklir Korea Utara
tersebut kemudian dilanjutkan dengan sejumlah uji coba yang mereka
45
Samuel S. Kim, “North Korea in 1994: Brinkmanship, Breakdown, and Breakthrough”, : 19-20.
46 William J. Perry, “Proliferation on The Peninsula: Five North Korean Nuclear
Crises”, : 82. 47
Steven E. Miller, “The Real Crisis: North Korea’s Nuclear Gambit”, : 83. 48
Wade L. Huntley, “Bucks for The Bang: North Korea’s Nuclear Program and Northeast Asian Military Spending”, Asian Perspective, Vol. 33, No. 4 (2009), : 150.
49 Seong-Ryoul Cho, “North Korea’s Security Dilemma and Strategic Options”,
The Journal of East Assian Affairs, Vol. 23, No. 2 (2009), : 74.
27
lakukan. Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong Il melakukan uji
coba misil pada Juli 2006, dilanjutkan dengan uji coba nuklir pertama pada
9 Oktober 2006. Kemudian pada April 2009, Korea Utara kembali
meluncurkan misil jarak jauh dan menyatakan bahwa mereka terus
mengembangkan senjata nuklirnya. Hal ini akhirnya berujung pada uji
coba nuklir kedua pada Mei 2009.50
Pengembangan dan uji coba nuklir Korea Utara tersebut tentu saja
menimbulkan respon dari negara-negara di dunia, salah satunya dari
Tiongkok. Berbeda dengan periode sebelumnya, pada periode ini
Tiongkok mengambil peran yang lebih aktif dalam menghadapi kasus
nuklir Korea Utara. Tiongkok juga menekankan pentingnya denuklirisasi,
stabilitas keamanan dan perdamaian, dan penyelesaian masalah dengan
cara-cara yang damai.51
Tiongkok beranggapan bahwa denuklirisasi dan
stabilitas keamanan dan perdamaian dapat menciptakan lingkungan
internasional yang kondusif dan bagus untuk pertumbuhan ekonomi
mereka.
Oleh karena itu, Tiongkok mengambil langkah-langkah diplomatik
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tiongkok pada akhirnya berhasil
mempertemukan Amerika dan Korea Utara di Beijing dalam Three Party
Talks pada April 2003. Kemudian Tiongkok juga menjadi tempat
50
Wade L. Huntley, “Bucks for The Bang: North Korea’s Nuclear Program and Northeast Asian Military Spending”, : 151-152.
51 Dongjin Jeong, “China’s Foreign Policy Toward North Korea: The Nuclear
Issue”, : 18.
28
terselenggaranya Six Party Talks pada Agustus 2003 yang melibatkan
Amerika, Rusia, Jepang, Korea Utara, Kora Selatan, dan Tiongkok itu
sendiri.52
Selain itu, Tiongkok juga mengecam sikap Korea Utara terkait
senjata nuklir. Tiongkok menegaskan bahwa mereka menentang sikap
yang ditunjukkan Korea Utara dengan melakukan pengembangan dan
sejumlah uji coba senjata nuklir. Hal ini ditunjukkan dengan dukungan
mereka terhadap Resolusi Resolusi 1695 dan 1718 yang dikeluarkan oleh
DK PBB untuk memberikan sanksi kepada Korea Utara terkait uji coba
senjata nuklirnya pada 2006.53
Tiongkok juga mendukung Resolusi 1874 yang dikeluarkan oleh
DK PBB untuk memberikan sanksi kepada Korea Utara terkait uji coba
senjata nuklir yang mereka lakukan pada 2009.54
Langkah-langkah yang
diambil Tiongkok tersebut menunjukkan bahwa mereka memainkan peran
yang lebih aktif dan tegas dalam menyelesaikan kasus nuklir Korea Utara.
Namun, di samping penegasan sikap tersebut, Tiongkok juga tetap
menjalin hubungan bilateral yang baik dengan Korea Utara.
Tiongkok setidaknya sudah menerima enam kunjungan yang
dilakukan oleh Kim Jong Il dalam periode 2000-2010. Tiongkok juga
52
Jian Cai, “The Korean Nuclear Crises and The Changing Sino-DPRK Relationship”, Asian Perspective, Vol. 34, No. 1 (2010), : 144-145.
53 Zhu Feng, “Shifting Tides: China and North Korea”, in The Architecture of
Security in the Asia-Pacific (ANU Press, 2009), : 45. 54
Dick K. Nanto and Mark E. Manyin, 2010, “China-North Korea Relations”, in CRS Report for Congress, Washington: Congressional Research Service, : 2-3.
29
mengirim perwakilannya untuk melakukan kunjungan ke Korea Utara
dalam periode Oktober 2009 - Desember 2010. Hubungan ekonomi
Tiongkok dengan Korea Utara juga cukup stabil dan cenderung
mengalami penguatan dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan pernyataan
Duta Besar Tiongkok untuk Korea Utara, volume perdagangan kedua
negara tumbuh enam kali lipat sepanjang tahun 2000-2009. Ekspor
Tiongkok ke Korea Utara meningkat dua kali lipat pada tahun 2007
sampai 2008.55
C. Hubungan Tiongkok dan Korea Utara Terkait Pengembangan dan
Uji Coba Senjata Nuklir Korea Utara Pada Era Kim Jong Un
Krisis nuklir Korea Utara memasuki babak baru pasca wafatnya
Kim Jong Il pada Desember 2011.56
Setahun berselang, Kim Jong Un,
putra dari Kim Jong Il, menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin
Korea Utara yang sebelumnya meninggal akibat serangan jantung
tersebut.57
Naiknya Kim Jong Un untuk menggantikan posisi ayahnya
sebagai pemimpin Korea Utara tersebut membawa krisis nuklir Korea
Utara ke dalam babak baru, yang berimplikasi terhadap hubungan mereka
dengan negara-negara di dunia, khususnya Tiongkok.
55
Bates Gill, “China’s North Korea Policy”, in United States Institute of Peace Special Report 283, (Washington: United States Institute of Peace , 2011), : 2.
56 Jinwook Choi, “A Game Changer: North Korea’s Third Nuclear Test and
Northeast Asian Security”, The Journal of East Asian Affairs, Vol. 27, No. 1 (2013), : 106. 57
Hong Yung Lee, “North Korea in 2012 Kim Jong Un’s Succession”, Asian Survey, Vol. 53, No. 1 (2013), : 176.
30
Kim Jong-Un pada awalnya menyatakan bahwa dirinya tidak akan
mengubah arah kebijakan luar negeri Korea Utara. Namun, harapan
menuju meredanya ketegangan terkait senjata nuklir yang dimiliki Korea
Utara muncul pada Februari 2012, yang diawali dengan persetujuan yang
dibuat Kim Jong-Un untuk mengangguhkan uji coba senjata nuklir dan
pengayaan uranium, serta mengizinkan pemeriksaan terhadap kepemilikan
nuklir Korea Utara. Namun, Kim Jong-Un kemudian menyatakan akan
meluncurkan satelit ke luar angkasa yang membuat negara lain merasa
khawatir karena beranggapan bahwa peluncutran tersebut merupakan uji
coba misil balistik.58
Tidak hanya itu, Kim Jong Un juga melakukan rekonstruksi reaktor
nuklir dengan kapasitas listrik mencapai 5 Mega Watt dengan memakai
standar Plutonium-Uranium Extraction (PUREX) untuk memudahkan
Korea Utara dalam memproses plutonium dan memproduksi material
untuk senjata nuklirnya dengan lebih mudah. Korea Utara dibawah
kepemimpinan Kim Jong Un juga berupaya untuk mengembangkan
sumber-sumber daya yang ada untuk melakukan miniaturisasi atas senjata-
senjata nuklir yang mereka miliki, sehingga mereka mampu menyesuaikan
senjata tersebut dengan misil balistiknya.59
Korea Utara kemudian melakukan uji coba senjata nuklir mereka
pada Februari 2013. Mereka menyatakan bahwa mereka berhasil
58
Prilla Marsingga, “Proliferasi Nuklir Korea Utara: Penangkalan dan Diplomasi Kekerasan”,: 8-9.
59 Joseph R. DeTrani, “After 20 Years of Failed Talks With North Korea, China
Needs to Step Up”, Arms Control Today, Vol. 44, No. 8 (October 2014),: 19.
31
melakukan uji coba tersebut dengan senjata nuklir yang telah
diminiaturisasi dan dikembangkan sebelumnya dengan daya ledak yang
lebih besar. Tiongkok kemudian mengubah kebijakan mereka dengan
menempatkan denuklirisasi sebagai prioritas utama. Namun, Korea Utara
tetap melanjutkan program nuklir mereka. Korea Utara kembali
melakukan uji coba nuklir keempat pada 6 Januari 2016, 60
disusul dengan
uji coba senjata nuklir kelima pada September 2016.61
Tindakan Korea Utara ini tentu menuai berbagai kritik dari
negara-negara di dunia, salah satunya Tiongkok. Tiongkok sangat kecewa
dengan tindakan Korea Utara. Mereka akhirnya mengkritik dan
mendukung penuh resolusi 2087 dan 2094 yang dikeluarkan DK PBB
pada 2013 untuk memberikan sanksi kepada Korea Utara. Bahkan,
Tiongkok juga menekankan bahwa mereka akan mendukung semua
langkah yang akan diambil DK PBB terkait uji coba nuklir yang dilakukan
Korea Utara. 62
Tiongkok juga mendukung Resolusi 2270 yang dikeluarkan DK
PBB yang lagi-lagi bertujuan untuk memberikan sanksi terhadap Korea
60
Samman Chung, “North Korea’s Nuclear Threats and Counter-Strategies”, The Journal of East Asian Affairs, Vol. 30, No. 2 (2016), : 88-89.
61 Kim Tae-Woo, “North Korea’s 5
th Nuclear Test: The Fallout in Seoul, 2016,
tersedia di https://thediplomat.com/2016/09/north-koreas-5th-nuclear-test-the-fallout-in-seoul/ , diakses pada Rabu, 14 Februari 2018.
62 Jiang Longfan and Wang Haifan, “North Korea’s peripheral Diplomacy in the
“Post Kim Jong-Il Era” and its Relationship with Japan”, The Journal of East Asian Affairs, Vol. 30, No. 1 (2016), : 97.
32
Utara atas uji coba nuklir keempat yang mereka lakukan.63
Menteri
Perdagangan Tiongkok kemudian merilis daftar mengenai pembatasan
perdagangan dengan Korea Utara.64
Tiongkok kemudian juga mendukung
Resolusi 2321 terkait uji coba nuklir kelima Korea Utara.65
Meskipun mendapat kecaman dari berbagai pihak, Korea Utara
tetap melanjutkan program pengembangan senjata nuklir dan misil balistik
mereka. Berikut adalah gambaran kekuatan misil Korea Utara:
Tabel II.C.1 Kapabilitas Misil Balistik Korea Utara
Sistem Jumlah
Peluncur Jangkauan (Mil)
Toksa <100 75
Scud-B <100 185
Scud-C <100 310
Scud-ER <100 435-625
No Dong <50 800
IRBM <50 >2000
TD 2 Tidak Diketahui >3400
SLBM Setidaknya 1 Tidak Diketahui
KN 08 Setidaknya 1 >3400
Sumber: Eric Heginbotham, et.al., China‟s Evolving Nuclear
Deterrent, RAND Corporation (2017): 89.
63
Yu Tiejun, Ren Yuanzhe, dan Wang Junsheng, Chinese Perspectives Towards the Korean Peninsula: In The Aftermath of North Korea’s Fourth Nuclear Test (Stimson Center, 2016), : 47.
64 Sun Ru, “Beijing and Pyongyang: A “Special Friendship” Facing The Final
Curtain”, ISPI Analysis, No. 297 (2016), : 4, diunduh dari https://www.google.co.id/url?sa=t&spurce=web&rct=j&url=http://www.ispionline.it/sites/default/files/pubblicazioni/analisi297_sun_ru_05.05.2016_0.pdf&ved=2ahUKEwiA4pHW8anZAhXHpo8KHcJBBScQFjAAegQIERAB&usg=AOvVaw0fiMwnwfKh6hsBL7R_20a pada Jumat16 Februari 2018.
65 Eleanor Albert, “The China – North Korea Relationship”, Council on Foreign
Relations (2017), tersedia di https://www.cfr.org./backgrounder/china-north-korea-relationship diakses pada Jumat 16 Februari 2018.
33
Sumber lain juga memberikan gambaran mengenai kapabilitas
nuklir Korea Utara berdasarkan jangkauannya. Berikut adalah
perinciannya:
Gambar II.C.1 Jenis-Jenis Misil Balistik Korea Utara
Sumber: Eleanor Albert, North Korea‟s Military Capabilities (2018), tersedia di
https://www.cfr.org/backgrounder/north-koreas-military-capabilities
34
Data di atas memberikan sedikit gambaran bahwa di tengah sanksi
dan kecaman yang datang dari dunia internasional, Korea Utara tetap
melakukan pengembangan terhadap misil balistik mereka. Tiongkok
setidaknya memiliki beberapa unit misil balistik yang siap digunakan
untuk meluncurkan nuklir. Korea Utara tidak mundur sedikitpun dalam
menghadapi kecaman dan sanksi dari dunia internasional, tidak terkecuali
Tiongkok.
Namun, di samping sikap Tiongkok yang menentang Korea Utara
terkait senjata nuklir, Tiongkok masih tetap menjalin hubungan bilateral
yang baik. Hubungan perdagangan dan investasi kedua negara masih
terbilang cukup kuat. Total nilai perdagangan kedua negara mencapai
angka 5,64 Milyar Dollar Amerika pada 2011, meningkat sebesar 62,4%
dari tahun 2010. Total impor Korea Utara atas padi Tiongkok pada tahun
2011 mencapai 376,431 ton, meningkat 20% dari tahun 2010 dan 85% dari
tahun 2009.66
Hubungan ini mengalami peningkatan pada tahun-tahun
berikutnya.
Pada 2012, total nilai perdagangan kedua negara mencapai angka
6,01 Milyar Dollar Amerika. Kemudian angka perdagangan kedua negara
mencapai angka 6,86 Milyar Dollar Amerika pada 2014. Meskipun sempat
mengalami penurunan ke angka 5,42 Milyar Dollar Amerika pada tahun
2015, namun secara keseluruhan perdagangan bilateral kedua negara
66
Scott Snyder, “China-Korea Relations: Under New Leaderships”, in Comparative Connections; A Triannual E-Journal on East Asian Bilateral Relations (2013), : 4.
35
meningkat sekitar sepuluh kali lipat selama periode 2000-2015.67
Fakta
tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok masih berkomitmen untuk
menjaga hubungan bilateral mereka dengan Korea Utara.
Rangkaian peristiwa di atas menunjukkan bahwa kebijakan Tiongkok
terhadap pengembangan dan uji coba senjata nuklir Korea Utara mengalami
pergeseran. Pada saat Korea Utara melakukan pengembangan dan uji coba
senjata nuklir di era pemerintahan Kim Il Sung, Tiongkok cenderung bersikap
pasif dalam merespon hal tersebut. Bahkan, seperti yang telah disebutkan,
Tiongkok menolak segala bentuk sanksi yang dijatuhkan terhadap Korea Utara
dan lebih mengutamakan hubungan bilateralnya dengan Korea Utara.
Namun, pada saat Korea Utara melakukan pengembangan dan uji coba
senjata nuklir di era pemerintahan Kim Jong Il dan Kim Jong Un, Tiongkok mulai
menerapkan kebijakan yang berbeda. Tiongkok tidak lagi menentang semua
sanksi yang diberikan bagi Korea Utara, melainkan mendukung sanksi-sanksi
tersebut. Selain itu, Tiongkok juga melakukan upaya diplomatik, seperti
memfasilitasi Three Party Talks yang kemudian berlanjut menjadi Six Party
Talks, untuk mewujudkan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Namun, di sisi
lain, Tiongkok juga tetap menjaga hubungan bilateral mereka dengan Korea Utara
yang sudah terjalin cukup lama. Ini dibuktikan dengan hubungan diplomatik yang
masih terjalin dengan cukup baik dan hubungan perdagangan kedua Negara yang
terus mengalami peningkatan yang signifikan.
67
Eleanor Albert, “The China – North Korea Relationship”.
36
Tiongkok merupakan negara yang paling banyak berinteraksi dengan
Korea Utara jika dibandingkan dengan negara lain, khususnya terkait senjata
nuklir Korea Utara. Negara-negara anggota DK lainnya pun tidak ada yang
menjalin hubungan dengan Korea Utara seperti Tiongkok. Mereka hanya
mengecam tindakan Korea Utara tanpa menjalin kerja sama yang kuat seperti
yang dilakukan Tiongkok. Perancis, misalnya. Perancis mengecam keras uji coba
nuklir ketiga Korea Utara pada 2013. Presiden mereka saat itu, Francois Hollande,
menyatakan bahwa Perancis mengecam uji coba nuklir Korea Utara dan
mendukung penerapan sanksi yang lebih tegas untuk Korea Utara.68
Perancis juga
mengecam uji coba nuklir yang dilakukan Korea Utara pada 2016.69
Perancis tidak memiliki hubungan diplomatik yang resmi dengan Korea
Utara. Pada Oktober 2011, Perancis menjalankan misi France Cooperation Office,
namun tujuan dari pembentukan misi ini hanya fokus pada bidang kemanusiaan
dan budaya. Hubungan keduanya di bidang ekonomi juga tidak terlalu signifikan.
Pada 2016, perdagangan keduanya hanya mencapai angka 8,2 Juta Euro. Ekspor
Perancis ke Korea Utara hanya sebesar 2 Juta Euro, dimana Korea Utara hanya
menempati peringkat 200 negara tujuan ekspor Perancis. Selain itu, Perancis juga
tidak memiliki perusahaan yang beroperasi di Korea Utara.70
68
National News Agency Lebanon, “France’s Hollande Condemns North Korean Nuclear Test”, 12 February 2013, tersedia di http://www.nna-leb.gov.lb/en/show-news/5309/France-39-Hollande-condemns-North-Korean-nuclear-test , diakses pada Minggu, 8 April 2018.
69 Radio France Internationale, “France Condemns North Korea Nuclear Test
Announcement”, 6 January 2016, tersedia di http://m.en.rfi.fr/asia-pacific/20160106-france-condemns-north-korea-nuclear-test-announcement , diakses pada Minggu, 8 April 2018.
70 France Ministry of Europe and Foreign Affairs, “France and North Korea”, tersedia di
http://www.diplomatie.gouv.fr/en/country-files/north-korea/france-and-north-korea/ , diakses pada Minggu, 8 April 2018.
37
Contoh lainnya adalah Inggris. Inggris mengecam setiap uji coba nuklir
yang dilakukan oleh Korea Utara. Pada 2013, Menteri Luar Negeri Inggris
menyatakan Inggris siap menerapkan sanksi yang lebih tegas terkait hal tersebut.71
Inggris juga mengecam uji coba senjata nuklir Korea Utara pada 2016 dengan
mendukung penerapan sanksi yang lebih kuat dan menuntut Korea Utara untuk
segera menghentikan program nuklir mereka.72
Berbeda dengan Perancis, Inggris
memiliki hubungan diplomatik dengan Korea Utara, Namun, fokus utamanya
adalah program nuklir Korea Utara dan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi
manusia. Tidak ada aktivitas ekonomi yang mereka lakukan dengan Korea
Utara.73
Sama halnya dengan Inggris dan Perancis, Rusia juga mengecam uji coba
nuklir Korea Utara. Uji coba nuklir Korea Utara pada 2013 mendorong Rusia
untuk bersikap lebih tegas yang ditunjukkan dengan pembatasan sejumlah
perdagangan dan memperketat pengiriman barang dari berbagai jalur untuk
mematuhi resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB.74
Dengan demikian, jelas
bahwa Tiongkok merupakan negara yang paling dekat dengan Korea Utara,
terutama dari segi ekonomi. Menarik untuk dilihat bagaimana pengaruh dan
power yang dimiliki Tiongkok untuk mewujudkan denuklirisasi Korea Utara.
71
United Kingdom Government, “Foreign Office welcomes additional UN sanctions on North Korea”, 7 Maret 2013, tersedia di https://www.gov.uk/government/news/foreign-office-welcomes-additional-un-sanctions-on-north-korea, diakses pada Minggu, 8 April 2018.
72 United Kingdom Government, “Foreign Secretary welcomes strong Resolution on
North Korea”, 2 Maret 2016, tersedia di https://www.gov.uk/government/news/foreign-secretary-welcomes-strong-resolution-on-north-korea, diakses pada Minggu, 8 April 2018.
73 United Kingdom Government, “Our Mission”, tersedia di
https://www.gov.uk/world/north-korea/news, diakses pada Minggu, 8 April 2018. 74
Elena Ponomareva & Georgij Rudov, “Russia-North Korea: State of Affairs and Trends”, Journa; of Asian Public Policy, Vol. 9, No. 1: 52.
38
BAB III
INKONSISTENSI TIONGKOK DALAM MENGHADAPI
KASUS NUKLIR KOREA UTARA
Bab ini membahas tentang inkonsistensi Tiongkok dalam menghadapi
kasus nuklir Korea Utara periode 2013-2016. Pembahasan ini bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri yang diterapkan Tiongkok terhadap
Korea Utara, khususnya yang terkait dengan pengembangan dan sejumlah uji
coba senjata nuklir Korea Utara yang terjadi dalam periode 2013-2016.
Inkonsistensi berasal dari kata inkonsisten, atau dalam bahasa Inggris;
„inconsistent‟, yang mana menurut Kamus Merriam-Webster berarti pikiran atau
tindakan yang berubah-berubah atau tidak sesuai dengan klaim atau pernyataan
yang diungkapkan.75
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hal
tersebut berarti tindakan yang berubah-berubah, atau tindakan yang kontradiktif,
atau tindakan yang tidak sesuai dengan pendiriannya atau ucapannya sendiri.76
Pada pembahasan ini, inkonsistensi Tiongkok dapat dipahami dalam konteks
definisi tersebut. Sebelum masuk ke pembahasan mengenai inkonsistensi, peneliti
menjelaskan dua variabel terlebih dahulu untuk dijadikan indikator yang
menggambarkan inkonsistensi Tiongkok. Variabel tersebut adalah komitmen
Tiongkok terhadap denuklirisasi Korea Utara dan hubungan bilateral Tiongkok
dengan Korea Utara, khususnya di bidang ekonomi.
75
Merriam-Webster Dictionary, tersedia di https://www.merriam-webster.com/dictionary/inconsistent , diakses pada Selasa, 3 April 2018.
76 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tersedia di https://kbbi.wed.id/inkonsisten ,
diakses pada Selasa, 3 April 2018.
39
A. Denuklirisasi Korea Utara
Pada dasarnya, kebijakan inti dari Tiongkok terhadap Korea Utara
didasarkan pada tiga prinsip, yaitu; „no war, no instability, no nuclear
weapons‟.77
Menjaga perdamaian merupakan prioritas utama dari
kebijakan ini. Prioritas kedua dari kebijakan ini yaitu stabilitas
Semenanjung Korea, dimana Tiongkok tidak menginginkan terjadinya
instabilitas, khususnya pada Korea Utara, yang dapat berdampak negatif
pada Tiongkok. Sementara itu, denuklirisasi menjadi prioritas terbawah
dari kebijakan ini.78
Namun, seiring dengan semakin meningkatnya
aktivitas nuklir Korea Utara, tepatnya setelah Korea Utara melakukan uji
coba nuklir ketiga pada Februari 2013, kebijakan Tiongkok mengalami
sedikit pergeseran.
Korea Utara semakin aktif dalam melakukan pengembangan dan
uji coba senjata yang mereka miliki, tidak terkecuali senjata nuklirnya,
sejak berada di bawah kepemimpinan Kim Jong Un. Hal tersebut dapat
dilihat dari perbedaan jumlah uji coba senjata yang dilakukan oleh Kim
Jong Un dan ayahnya, Kim Jong Il, yang merupakan pemimpin Korea
Utara sebelumnya. Selama 18 tahun memimpin, Kim Jong Il sudah
melakukan setidaknya 18 kali uji coba senjata, termasuk dua kali uji coba
senjata nuklir.
77
Fei Su and Lora Saalman, China’s Engagement of North Korea; Challenges and Opportunities for Europe (Solna: Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), 2017): 8.
78 Bonnie S. Glaser dan Brittany Billingsley, Reordering Chinese Priorities on The
Korean Peninsula (Washington: Center for Strategic and International Studies (CSIS), 2012): 1-2.
40
Sementara itu, baru empat tahun memimpin (sejak 2012 sampai
Juli 2016), Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong Un sudah
melakukan setidaknya 25 uji coba senjata, termasuk dua kali uji coba
senjata nuklir,79
ditambah satu lagi pada September 2016. Uji coba senjata
nuklir yang pertama kali dilakukan oleh Kim Jong Un adalah pada
Februari 2013 lalu. Ini merupakan uji coba nuklir ketiga yang dilakukan
oleh Korea Utara jika dilihat dari keseluruhan uji coba yang telah
dilakukan negara tersebut.80
Setelah uji coba nuklir ketiga tersebut, kebijakan Tiongkok
terhadap Korea Utara berubah menjadi „denuklirisasi, stabilitas dan
perdamaian, dan kembali pada Six Party Talks‟.81
Perubahan ini
menunjukkan bahwa denuklirisasi, yang sebelumnya merupakan prioritas
terbawah dalam landasan kebijakan Tiongkok terhadap Korea Utara,
menjadi prioritas utama bagi Tiongkok dalam menjalin hubungan dengan
Korea Utara.
Denuklirisasi kemudian terus ditekankan oleh petinggi-petinggi
Tiongkok. Contohnya saat Presiden Tiongkok, Xi Jinping, mengadakan
pertemuan dengan Choe Ryong Hae, utusan Kim Jong Un pada Mei 2013
lalu. Xi beberapa kali menekankan pentingnya denuklirisasi Korea Utara.
Xi menyatakan bahwa; “The denuclearization of the Korean Peninsula and
79
Samman Chung, “North Korea’s Nuclear Threats and Counter Strategies”, The Journal of East Assian Affairs, Vol. 30, No. 2 (Fall/Winter 2016): 84.
80 Al Jazeera News, “Timeline of North Korea’s Nuclear Tests”, 3 September
2017, tersedia di https://www.aljazeera.com/news/2017/09/timeline-north-korea-
nuclear-tests-170903061228305.html , diakses pada Selasa, 10 Juli 2018. 81
Fei Su and Lora Saalman, China’s Engagement of North Korea; Challenges and Opportunities for Europe: 8.
41
lasting peace on the peninsula is what the people want and also the trend of the
time”. Xi kemudian menambahkan:
“The Chinese position is very clear: no matter how the situation
changes, relevant parties should all adhere to the goal of
denuclearization of the peninsula, persist in safeguarding its peace and
stability, and stick solving problems through dialogue and
consultation.”82
Wakil Presiden Tiongkok, Li Yuanchao, juga menekankan
pentingnya denuklirisasi Korea Utara saat melakukan pertemuan dengan
Kim Jong Un, dalam rangka memperingati hari jadi ke- 60 Perjanjian
Gencatan Senjata Perang Korea pada Juli 2013 lalu.83
Pada November
2013, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, kembali menekankan
bahwa denuklirisasi Semenanjung Korea merupakan tujuan utama yang
harus dicapai bersama.84
Xi Jinping juga menekankan hal yang senada dengan Wang Yi saat
melakukan kunjungan ke Korea Selatan pada 2014, yaitu pentingnya
denuklirisasi Korea Utara. Xi menyebut bahwa denuklirisasi Korea Utara
merupakan tujuan bersama yang harus dicapai melalui dialog dan
negosiasi, dan untuk itu, Xi menyerukan kepada negara-negara yang
82
Jane Perlez, “China Bluntly Tells North Korea to Enter Nuclear Talks”, 2013, New York Times, tersedia di https://mobile.nytimes.com/2013/05/25/world/asia/china-tells-north-korea-to-return-to-nuclear-talks.html, diakses pada Kamis, 19 Juli 2018.
83 Sun Ru, “Beijing and Pyongyang: A “Special Friendship” Facing The Final
Curtain”, ISPI Analysis, No. 297 (2016), : 4, diunduh dari https://www.google.co.id/url?sa=t&spurce=web&rct=j&url=http://www.ispionline.it/sites/default/files/pubblicazioni/analisi297_sun_ru_05.05.2016_0.pdf&ved=2ahUKEwiA4pHW8anZAhXHpo8KHcJBBScQFjAAegQIERAB&usg=AOvVaw0fiMwnwfKh6hsBL7R_20a pada Jumat 16 Februari 2018.
84 Wang Yi, Stay Committed to The Six-Party Talks for Lasting Peace, November
2013, tersedia di http://www.ciis.org.cn/english/2013-11/13/content_6455051.htm, diakses pada Rabu, 11 Juli 2018.
42
tergabung ke dalam Six Party Talks untuk melanjutkan negosiasi
kembali.85
Tiongkok kembali menegaskan komitmen mereka terkait
denuklirisasi pasca Korea Utara melakukan uji coba nuklir ke-empat
mereka pada Januari 2016 lalu. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri
Tiongkok, Hua Chunying, dengan tegas menyatakan bahwa:
“China is steadfast in its position that the Korean Peninsula should be
denuclearized and nuclear proliferation should be prevented to maintain
peace and stability in Northeast Asia… We strongly urge the DPRK to
honor its commitment to denuclearization, and to cease any action that
may deteriorate the situation.”86
Pernyataan tersebut tidak hanya menegaskan komitmen Tiongkok
terkait denuklirisasi Korea Utara, tetapi juga sekaligus menyerukan kepada
Korea Utara untuk menghormati komitmennya untuk melakukan
denuklirisasi dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang mampu
memperburuk situasi.
Satu bulan setelah uji coba nuklir ke-empat Korea Utara atau
tepatnya pada 5 Feburari 2016, Tiongkok, melalui Xi Jinping, lagi-lagi
menegaskan komitmen mereka untuk mewujudkan denuklirisasi Korea
Utara. Xi Jinping melakukan pembicaraan melalui telepon dengan
presiden Korea Selatan, Park Geun-hye dan menyatakan bahwa Tiongkok
85 Yu Tiejun, Ren Yuanzhe, dan Wang Junsheng, Chinese Perspectives Towards
the Korean Peninsula: In The Aftermath of North Korea’s Fourth Nuclear Test (Stimson Center, 2016): 36.
86 Shannon Tiezzi, “How Will China Respond to North Korea’s Nuclear Test?”,
2016, The Diplomat, tersedia di https://thediplomat.com/2016/01/how-will-china-respond-to-north-koreas-nuclear-test/ , diakses pada Kamis, 19 Juli 2018.
43
sangat berkomitmen untuk mewujudkan denuklirisasi Korea Utara dan
menjaga stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea.87
Wang Yi kembali menegaskan bahwa Tiongkok akan tetap pada
tujuan awal mereka, yaitu denuklirisasi Semenanjung Korea, pada saat
menghadiri Joint Press Conference di Tokyo, Jepang, pada 24 Agustus
lalu. Wang menyatakan bahwa Tiongkok akan tetap berupaya
mewujudkan denuklirisasi sekaligus menentang segala bentuk tindakan
yang bisa meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.88
Dengan
demikian, maka jelas bahwa Tiongkok menempatkan denuklirisasi sebagai
perioritas utama kebijakan luar negeri mereka terhadap Korea Utara. Hasil
tersebut tercermin dari beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh
beberapa pejabat negara mereka.
B. Hubungan Ekonomi Tiongkok dan Korea Utara
Tiongkok merupakan rekan dagang terpenting Korea Utara.89
Hal
tersebut dapat tercermin dari hubungan perdagangan kedua negara yang
sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, dan selama periode
tersebut, peran Tiongkok sebagai rekan dagang terbesar Korea Utara
87
Yu Tiejun, Ren Yuanzhe, dan Wang Junsheng, Chinese Perspectives Towards the Korean Peninsula: In The Aftermath of North Korea’s Fourth Nuclear Test: 25.
88 Huang Jin dan Bianji, ed., “China vows to realize denuclearization of Korean
Peninsula”, People’s Daily, 24 Agustus 2016, tersedia di
http://en.people.cn/n3/2016/0824/c90883-9105070.html, diakses pada Rabu, 11 Juli
2018. 89
Eleanor Albert, “The China – North Korea Relationship”, Council on Foreign Relations (2017), tersedia di https://www.cfr.org./backgrounder/china-north-korea-relationship diakses pada Jumat 16 Februari 2018.
44
semakin menonjol dari waktu ke waktu. Tahun 1990 menjadi awal periode
bagi Tiongkok untuk menjadi rekan dagang terbesar Korea Utara,
menggantikan peran Uni Soviet yang saat itu mengalami keruntuhan.
Namun, jika dibandingkan dengan nilai perdagangan Soviet-Korea Utara,
nilai perdagangan Tiongkok-Korut hanya mencapai 39 persennya saja di
awal periode 1990-an.90
Tiongkok semakin menonjol dalam perdagangan Korea Utara.
Berikut data yang menggambarkan hal tersebut:
Tabel III.B.1. Tiongkok dalam Perdagangan Korea Utara, 1990-2004
(Dalam Milyar Dolar Amerika dan Dalam Per Sen (%))
Sumber: Jaewo Choo, “Mirroring North Korea‟s Growing Economic Dependence on China:
Political Ramifications”, Asian Survey, Vol. 48, No. 2 (March/April 2008), p. 347
90
Jaewo Choo, “Mirroring North Korea’s Growing Economic Dependence on China: Political Ramifications”, Asian Survey, Vol. 48, No. 2 (March/April 2008), p. 347
1990 1992 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Total
Perdagangan
Korea Utara
(Milyar Dolar
Amerika)
4,17 2,55 2,10 1,98 2,18 1,44 1,48 1,97 2,27 2,26 2,39 2,86
Volume
Perdagangan
Bilateral
(Milyar Dolar
Amerika)
0,483 0,697 0,624 0,566 0,656 0,413 0,370 0,488 0,737 0,738 1,023 1,385
Porsi
perdagangan
Tiongkok (%)
11,5 25,5 27,2 25,4 30,1 24,8 20,4 20,4 27,6 25,4 32,8 39,0
Pertumbuhan
(%)
−14,1 14,3 −30,7 −2,9 15,9 −37,0 −10,4 31,8 51,1 0,1 38,5 35,4
45
1,58 1,7 1,97
2,79 2,68
3,47
5,63 6,01
6,54 6,86
5,71 6,06
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2005 2007 2009 2011 2013 2015 2016Nila
i Pe
rdag
anga
n (d
alam
Mily
ar D
ola
r A
me
rika
)
Tahun Perdagangan
NilaiPerdagangan
Data tersebut menunjukkan bahwa penguasaan Tiongkok terhadap
total perdagangan Korea Utara terus mengalami peningkatan mulai dari
1990 sampai dengan 2004, dimana yang awalnya hanya 11,5% saja,
kemudian bertambah menjadi 39,0%. Ini juga menjadi tanda adanya
pertumbuhan volume perdagangan bilateral Tiongkok dengan Korea
Utara, dimana yang semula hanya -14,1% pada 1990, berubah menjadi
35,4% pada 2004. Hal tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok mulai
menunjukkan perannya sebagai rekan dagang terbesar Korea Utara.
Perdagangan Tiongkok dan Korea Utara kemudian terus
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berikut adalah datanya:
Grafik III.B.1. Volume Perdagangan Tiongkok
Dengan Korea Utara
Sumber: Eleanor Albert, “The China – North Korea Relationship”, Council on Foreign Relations (2017), tersedia di https://www.cfr.org./backgrounder/china-north-korea-relationship diakses pada Jumat 16 Februari 2018
46
52,6 56,7
67,1 73
0
20
40
60
80
2005 2006 2007 2008
PER
SEN
TASE
TAHUN
PersentasePerdagangan Tiongkok
Tabel di atas menunjukkan bahwa perdagangan Tiongkok dan
Korea Utara bisa dikatakan cukup stabil dan cenderung mengalami
peningkatan. Perdagangan Tiongkok dan Korea Utara mencapai
puncaknya pada 2014, dimana nilai perdagangan kedua negara mencapai
angka 6,86 Milyar Dolar Amerika. GDP Korea Utara juga mengalami
peningkatan yang cukup stabil. GDP Korea Utara meningkat 1,8% pada
periode 1999-2004. Pada 2004-2009 GDP Korea Utara meningkat lagi
sebesar 0,74% dan kembali meningkat sebesar 0.73% pada 2009-2014.91
Stabilitas perdagangan tersebut tentu membuat penguasaan
Tiongkok atas perdagangan di Korea Utara semakin besar. Berikut adalah
data untuk menggambarkannya:
Grafik III.B.2. Persentase Perdagangan Tiongkok
dengan Korea Utara
Sumber: Dong Ryul Lee, “China‟s Policy and Influence on the North Korea Nuclear
Issue: Denuclearization and/or Stabilization of the Korean Peninsula?”, The
Korean Jurnal of Defense Analysis, Vol. 22, No. 2 (Juni 2010): 168.
91
Tat Yan Kong, “China’s engagement-oriented strategy towards NorthKorea:
achievements and limitations”, The Pacific Review (2017): 8.
47
78,5 83 88,6 88,3 89,1 90,2 91,3
21,5 17 11,4 11,7 10,9 9,8 8,7
0
20
40
60
80
100
120
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Perdagangan Korea Utaradengan Negara lain
Perdagangan Korea Utaradengan Tiongkok
Grafik di atas menunjukkan adanya peningkatan persentase
perdegangan Tiongkok dengan Korea Utara, yang berarti menunjukkan
semakin meningkatnya status Tiongkok sebagai rekan dagang terbesar
Korea Utara. Persentase perdagangan Tiongkok yang berada pada angka
39,0% pada 2004, meningkat menjadi 52,6% pada tahun berikutnya.
Angka tersebut terus mengalami peningkatan hingga akhirnya menyentuh
angka 73% pada tahun 2008.
Angka tersebut masih terus mengalami peningkatan pada tahun-
tahun berikutnya. Berikut adalah datanya:
Grafik III.B.3. Peningkatan Persentase Perdagangan Tiongkok
dengan Korea Utara (%)
Sumber: KuangKengKuek Ser, Public Radio International, “North Korea‟s Trade with
China Has Grown Tenfold in 15 Years – Which Gives China More Leverage
Than Ever, tersedia di
https://www.pri.org/stories/2017-02-15/north-koreas-trade-china-has-grown-
tenfold-15-years-which-gives-china-more?amp, diakses pada Kamis, 12 Juli
2018
48
Grafik tersebut menunjukkan semakin meningkatnya persentase
perdagangan Tiongkok dengan Korea Utara. Jumlahnya bahkan jauh
melebihi jumlah perdagangan antara Korea Utara dengan negara-negara
lainnya. Persentase tersebut terus mengalami peningkatan yang signifikan
dan cukup stabil. Puncaknya pada 2015 lalu, dimana persentase
perdagangan Tiongkok dengan Korea Utara mencapai angka 91,3% dari
total keseluruhan perdagangan Korea Utara dengan negara lain.
C. Kaitan Ekonomi Tiongkok dan Denuklirisasi Korea Utara;
Inkonsistensi Tiongkok
. Tiongkok merupakan aliansi sekaligus rekan dagang terbesar
Korea Utara. Seiring dengan diberlakukannya sanksi internasional terkait
uji coba senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara, mereka mengalami
ketergantungan ekonomi atas Tiongkok untuk melakukan pengembangan
dan memenuhi kebutuhan dalam negerinya. 92
Tiongkok berhasil
mendominasi sebagian besar perekonomian Korea Utara, baik ekspor
maupun impor.
Pada 2016, Tiongkok masih menempati posisi tertinggi dalam
daftar perdagangan Korea Utara. Tiongkok cukup jauh mengungguli
negara-negara lain yang menjalin hubungan dagang dengan Korea Utara.
Data berikut ini menunjukkan hal tersebut:
92 Dick K. Nanto, “Increasing Dependency: North Korea’s Economic Relations
With China”, Publikasi On-Line (Korea Economic Institute and the Korea Institute for International Economic Policy, 2011): 75.
49
Tabel III.C.1. Rekan Dagang Teratas Korea Utara 2016
(Per Juta Euro 2016)
Total Perdagangan (Ekspor dan Impor)
Rekan Dagang Nilai (Juta €) % Dunia
Dunia 6.028 100,0
1 Tiongkok 5.368 89,1
2 India 127 2,1
3 Filipina 77 1,3
4 Rusia 73 1,2
5 Thailand 27 0,4
6 EU 28 25 0,4
7 Pakistan 25 0,4
8 Trinidad and Tobago 22 0,4
9 Republik Dominika 16 0,3
10 Bangladesh 15 0,2
Sumber: European Commission, Directorate-General for Trade, “European
Union, Trade in Goods with North Korea, 2017
Tiongkok dengan demikian masih menempati posisi pertama
dalam daftar rekan dagang teratas Korea Utara pada 2016 dengan
persentase sebesar 89,1%. Meskipun mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya yang memiliki persentase sebesar 91,3%, namun Tiongkok
masih mendominasi perekonomian Korea Utara. Persentase ini jauh
berada di atas rekan-rekan dagang Korea Utara lainnya. Ini menunjukkan
50
bahwa Tiongkok benar-benar rekan dagang yang paling potensial,
mengingat rekan dagang Korea Utara yang lain hanya memiliki persentase
yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Tiongkok.
Tidak adanya rekan dagang potensial lain bagi Korea Utara selain
Tiongkok menyebabkan mereka mengalami ketergantungan ekonomi
terhadap Tiongkok. Konsep ketergantungan digunakan untuk
menggambarkan situasi dimana suatu aktor bergantung pada aktor yang
lain. Kertegantungan tersebut bisa diindikasikan oleh beberapa hal.
Indikasi pertama adalah semakin besar volume perdagangan yang dimiliki
suatu negara atas negara yang lain, maka negara tersebut akan kesulitan
menyesuaikan perekonomian jika rekan dagang terbesarnya hilang. 93
Selain itu, tidak adanya rekan dagang pengganti juga bisa menjadi
salah satu indikasinya. Jika suatu negara diputus hubungan dagangnya
dengan negara lain, maka negara tersebut terpaksa harus mencari
penggantinya. 94
Jika dilihat dari kasus Tiongkok dan Korea Utara, maka
jelas bahwa Korea Utara memiliki ketergantungan atas Tiongkok.
Tiongkok merupakan rekan dagang terbesar Korea Utara dan
mendominasi perekonomian Korea Utara selama beberapa tahun terakhir.
Korea Utara juga tidak memilki rekan dagang pengganti jika suatu
saat Tiongkok memutus hubungan dagangnya dengan Korea Utara. Hal ini
ditunjukkan dengan melihat perbandingan antara nilai perdagangan negara
93
Adreinne Armstrong, “The Political Consequences of Economic Dependence”, The Journal of Conflict Resolution, Vol. 25, No. 3 (September 1981): 402-403.
94 Adreinne Armstrong, “The Political Consequences of Economic Dependence”:
403.
51
yang lain dan Tiongkok. Nilai perdagangan Tiongkok sangat besar jika
dibandingkan negara lain yang juga melakukan aktivitas perdagangan
dengan Korea Utara. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Korea Utara
memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap Tiongkok, khususnya
dalam bidang ekonomi.
Ketergantungan ini kemudian menjadi power bagi Tiongkok atas
Korea Utara. Seperti yang dikatakan oleh Blau:
By supplying services in demand to others, a person establishes power
over them. If he regularly renders needed services they cannot readily
obtain elsewhere, others become dependent on and obligated to him for
these service…”
Tiongkok menjadi rekan dagang terbesar Korea Utara dan
memenuhi kebutuhan perekonomian Korea Utara selama bertahun-
bertahun. Sesuai dengan pernyataan Blau, maka Tiongkok memiliki power
atas Korea Utara, dan Korea Utara bisa saja patuh pada Tiongkok
mengingat perekonomian mereka bergantung pada Tiongkok dan
Tiongkok sudah mendominasi perekonomian Korea Utara selama
bertahun-tahun.
Power yang dimaksud mengacu pada definisi yang diungkapkan
oleh Robert Dahl, yaitu; “A has power over B to the extent that he can get
B to do something that B would not otherwise do”. 95
Negara A
meningkatkan power mereka atas negara B sebagai konsekuensi dari
ketergantungan negara B terhadap negara A. Semakin besar
95
Adreinne Armstrong, “The Political Consequences of Economic Dependence”: 405.
52
ketergantungan negara B terhadap negara A, maka semakin besar pula
power yang dimiliki A atas negara B. Jika demikian, maka negara A bisa
menggunakan power yang mereka miliki untuk mendesak negara B
melakukan sesuatu sesuai kehendak negara A.96
Jika mengacu pada definisi tersebut dan melihat hubungan antara
Tiongkok dengan Korea Utara, maka jelas Tiongkok memiliki power yang
besar atas Korea Utara. Ketergantungan Korea Utara terhadap Tiongkok
semakin besar dari tahun ke tahun. Maka dari itu, secara otomatis power
yang dimiliki Tiongkok juga semakin besar atas Korea Utara, dan
Tiongkok tentu bisa memaksa Korea Utara melakukan sesuatun sesuai
dengan kehendak Tiongkok, meskipun tidak sesuai dengan kehendak
Korea Utara itu sendiri.
Prioritas utama kebijakan Tiongkok terhadap Korea Utara,
khususnya sejak Korea Utara melakukan uji coba senjata nuklir ketiga
pada 2013 adalah denuklirisasi. Tiongkok juga memiliki power yang
cukup untuk mewujudkan hal tersebut, namun hal tersebut belum terwujud
sampai saat ini dan Korea Utara masih melakukan pengembangan dan uji
coba senjata nuklir mereka. Di sini lah letak inkonsistensi Tiongkok.
Tiongkok ingin mewujudkan denuklirisasi Korea Utara, namun di
sisi lain Tiongkok justru melakukan hal yang menghambat denuklirisasi
tersebut. Tiongkok memiliki power yang cukup untuk mewujudkan
denuklirisasi Korea Utara, namun tidak melakukannya. Jika Tiongkok
96
Adreinne Armstrong, “The Political Consequences of Economic Dependence”: 40.
53
memutus hubungan ekonomi mereka dengan Korea Utara, maka secara
otomatis Korea Utara akan kehilangan rekan dagang terbesarnya.
Korea Utara juga tidak memiliki pengganti yang potensial untuk
menggantikan Tiongkok bila Tiongkok memutuskan hubungan dagang
mereka dengan Korean Utara. Maka, secara otomatis Korea Utara akan
mengikuti kehendak Tiongkok, yang pada dasarnya merupakan rekan
dagang terbesarnya dan telah membantu memenuhi kebutuhan
perekonomian Korea Utara selama bertahun-tahun. Namun, Tiongkok
sampai saat ini belum melakukan hal tersebut dan justru Tiongkok
menentang sanksi ekonomi yang berat terhadap Korea Utara.97
Tiongkok dengan demikian inkonsisten karena melakukan tindakan
yang bertentangan dengan prinsipnya sendiri. Tiongkok menyatakan
denuklirisasi Korea Utara sebagai prioritas utama, namun justru
melakukan hal yang bertentangan dengan hal tersebut. Peran Tiongkok
sebagai rekan dagang terbesar Korea Utara dengan demikian sangat
sentral. Jika Korea Utara masih memiliki aliansi yang potensial di dunia
internasional, maka Korea Utara akan terus melakukan pengembangan dan
uji coba senjata nuklirnya.
97 Walter Diamana, “Strategic Alliance: China-North Korea”, tersedia di
https://intpolicydigest.org/2015/07/02/strategic-alliance-china-north-korea/amp/, diakses pada Kamis, 12 Juli 2018.
54
BAB IV
ANALISIS INKONSISTENSI TIONGKOK TERKAIT
PENGEMBANGAN DAN UJI COBA SENJATA NUKLIR KOREA UTARA
Bab ini berisi analisis mengenai kepentingan nasional apa yang ingin
dicapai Tiongkok dengan menerapkan kebijakan yang inkonsisten dalam
menghadapi kasus nuklir Korea Utara periode 2013-2016. Pembahasan mengenai
kepentingan nasional Tiongkok akan dibagi menjadi dua sub bab utama, yang
masing-masing membahas kepentingan keamanan Tiongkok dan juga status
Tiongkok sebagai regional hegemons di Semenanjung Korea.
A. Kepentingan Nasional Tiongkok
Kepentingan nasional merupakan aspek yang sangat penting dalam
hubungan antarnegara di dunia. Tindakan yang dilakukan negara dalam
menjalin hubungan dengan negara lain pada umumnya dipengaruhi oleh
kepentingan nasionalnya, dan mereka akan melakukan apa saja untuk
mencapai kepentingan nasionalnya. Ini seperti apa yang diungkapkan oleh
Waltz; “Each state pursues its interests, however defined, in ways it judges
best.” 98
Meskipun Realisme Ofensif, atau bahkan Neorealisme, tidak
banyak membahas tentang kepentingan nasional, ada istilah lain yang bisa
digunakan untuk menggambarkan kepentingan nasional dalam teori ini.
Shibley Telhami menjelaskan bahwa Neorealisme sedikit membahas
98
Nincic, “The National Interest and Its Interpretation”: 35.
55
tentang „states‟ preferences‟, yang berarti segala bentuk tujuan yang ingin
dicapai oleh suatu negara.99
Namun tetap saja kepentingan keamanan menjadi prioritas utama
yang harus dicapai oleh negara. Ini juga sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Mearsheimer yang sejalan dengan Waltz; “prosperity
and protecting human rights… take a back seat to survival, because if a
state does not survive, it cannot pursue those other goals.”100 Berikut ini
adalah analisa mengenai kepentingan nasional yang ingin dicapai
Tiongkok
A.1. Kepentingan Keamanan
Sejak berada di bawah kepemimpinan Xi Jinping, keamanan
menjadi faktor utama yang sangat menentukan kebijakan luar negeri
Tiongkok. Ini erat kaitannya dengan situasi keamanan yang dihadapi
Tiongkok saat ini, khususnya keamanan di kawasan yang mengancam
keamanan nasional mereka. Hal ini dapat terlihat dari Laporan Resmi
Pertahanan Tiongkok yang menyatakan bahwa mereka saat ini sedang
menghadapi situasi keamanan yang cukup kompleks.101
Kompleksitas
tersebut muncul akibat adanya uji coba nuklir yang dilakukan oleh
Korea Utara.
99
Shibley Telhami, “Kenneth Waltz, Neorealism, and Foreign Policy”, Security Study 11, no. 3 (2002): 160.
100 Ozer Ciftci, “A Comparative Analysis of The National Intetrest Concept in
Theories of International Relations”, Thesis, Dokuz Eylul University (2009): 39. 101 Fernando Delage, “The Asian Strategy of Xi Jinping”, Journal Of The
Spanish Institute for Strategic Studies, Vol. 5, 2015, : 5.
56
Uji coba nuklir Korea Utara telah menimbulkan berbagai
macam reaksi dari negara-negara di dunia. Hal ini juga memancing
keterlibatan aktor-aktor lain, seperti Amerika. Di Semenanjung Korea,
Amerika dan Tiongkok pada dasarnya memiliki keinginan yang sama
dalam hal stabilitas keamanan dan denuklirisasi, khususnya dalam
kasus nuklir Korea Utara. Meski begitu, keduanya tetap memiliki
kepentingan berbeda. Tiongkok fokus kepada stabilitas rezim Korea
Utara, kawasan, dan ekonomi, sedangkan Amerika lebih menekankan
pentingnya denuklirisasi untuk mencegah persebaran senjata nuklir di
dunia. 102
Hal ini kemudian mendorong Amerika untuk selalu menekan
Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi. Perlu diketahui bahwa
bantuan ekonomi dan politik yang diberikan Tiongkok terhadap Korea
Utara merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam menjamin
keberlangsungan hidup Korea Utara selama berada di bawah sanksi
internasional.103
Oleh karena itu, Amerika seringkali menuntut
ketegasan dari Tiongkok dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara
karena Korea Utara sangat bergantung terhadap bantuan dari
Tiongkok.
Hal ini tercermin dari beberapa pernyataan yang dikeluarkan
oleh pemerintah Amerika. Salah satunya adalah John Kerry, Menteri
102
Min-Hyung Kim, “Why Provoke? The Sino-US Competition in East Asia and North Korea’s Strategic Choice”, : 8-9.
103 Min-Hyung Kim, “Why Provoke? The Sino-US Competition in East Asia
and North Korea’s Strategic Choice”, : 11.
57
Luar Negeri Amerika Serikat. Pada April 2013, Kerry menyatakan
bahwa:
“There is no group of leaders on the face of the planet who have
more capacity to make a difference in this than the Chinese, and
everybody knows it, including, I believe, them.”104
Selain Kerry, mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Jack
Lew, juga mengemukakan pendapatnya. Dia berpendapat bahwa:
“China has the ability to both create pressure and use that as a
leverage that is a very important part of global efforts to
isolate North Korea and get North Korea to change its
policies.”105
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada intinya
Tiongkok merupakan negara yang paling memiliki kapabilitas dengan
menangani kasus nuklir Korea Utara karena Korea Utara sangat
bergantung pada bantuan Tiongkok dan Amerika ingin Tiongkok
bertindak tegas dan memberi tekanan bagi Korea Utara agar mereka
mau melakukan denuklirisasi. Namun, perbedaan kepentingan antara
104
Doug Bandow, “Will China Solve The North Korea Problem?; The United States Should Develop a Diplomatic Strategy to Pursuade Beijing To Help”, Policy Analysis, No. 806, 2016,: 4-5, diunduh dari https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://object.cato.org/sites/cato.org/files/pubs/pdf/pa806.pdf&ved=2ahUKEwi12qrLi8bZAhXDOY8KHdIMA1wQFjAAegQIBxAB&usg=AOvVaw1liOWRQdv9bHWzpi3qh9CD pada Selasa, 27 Februari 2018.
105 Doug Bandow, “Will China Solve The North Korea Problem?; The United
States Should Develop a Diplomatic Strategy to Pursuade Beijing To Help”, Policy Analysis, No. 806, 2016,: 5.
58
kedua negara sepertinya membuat ketergantungan Amerika terhadap
Tiongkok sulit untuk menimbulkan hasil.
Selain itu, Amerika menjalin kesepakatan dengan Korea
Selatan untuk menempatkan Terminal High Altitude Area Defense
(THAAD) di Korea Selatan. Tiongkok sangat menentang hal tersebut
dan beberapa kali memperingatkan Korea Selatan untuk tidak
menempatkan THAAD. Tiongkok beranggapan bahwa penempatan
THAAD di Korea Selatan akan mengancam keamanan nasionalnya.
Tiongkok juga beranggapan bahwa sistem radar yang ada pada
THAAD memiliki kemampuan untuk melihat kapabilitas militer dan
mengumpulkan informasi tentang aktivitas militernya. 106
Amerika sudah menyatakan bahwa tujuan utama dari instalasi
THAAD tersebut adalah untuk melindungi tentara dan aset militer
Amerika dari ancaman nuklir Korea Utara. Selain itu, Amerika juga
berharap bahwa dengan adanya THAAD akan mampu mengurangi
agresivitas nuklir Korea Utara.107
Namun Tiongkok tetap menentang
rencana tersebut.
Tiongkok melalui petinggi-petinggi negaranya secara umum
tetap menyatakan bahwa mereka tidak ingin Korea Selatan
melanjutkan kerja sama dengan Amerika terkait instalasi THAAD.
106
Min-Hyung Kim, “South Korea’s China Policy, Evolving Sino-ROK Relations, and Their Implications for East Asian Security”, Pacific Focus, Vol. XXXI, No. 1, April 2016, : 66.
107 Kyung-young Chung, “Debate on THAAD Deployment and ROK National
Security”, EAI Oktober 2015:4, tersedia di http://www.eai.or.kr/data/bbs/kor_report/2015102615274064.pdf, diunduh pada Rabu, 18 Juli 2018.
59
Saat melakukan kunjungan ke Seoul pada 3 Juli 2014, Xi Jinping
meenyatakan bahwa Korea Selatan sebagai negara yang berdaulat
seharusnya menolak instalasi THAAD tersebut di negara mereka. 108
Menteri Pertahanan Tiongkok, Chang Wanquan, juga
menyatakan kekecewaan Tiongkok terhadap rencana instalasi THAAD
di Korea Selatan saat mengadakan pertemuan dengan Han Min-koo,
Menteri Pertahanan Korea Selatan pada Februari 2015. Satu bulan
berselang, Asisten Menteri Luar Negeri Tiongkok, Liu Jianchao,
secara terbuka menentang upaya Amerika untuk menempatkan
THAAD di Korea Selatan dan meminta perhatian pemerintah Korea
Selatan untuk mendengar penolakan Tiongkok terkait penempatan
THAAD.109
Namun belum ada respon positif dari Korea Selatan untuk
menanggapi penolakan Tiongkok tersebut. Korea Selatan, bersama
dengan Amerika, justru membuat pernyataan resmi pada 7 Juli 2016
terkait penempatan THAAD di Korea Selatan.110
Tiongkok kemudian
merespon hal tersebut dengan membatalkan sejumlah konser musik
pop Korea dan sejumlah acara drama di saluran televisi Tiongkok.
Kemudian Angkatan Udara Tiongkok juga mengumumkan
108
Kyung-young Chung, “Debate on THAAD Deployment and ROK National Security”, EAI Oktober 2015: 6.
109 Min-Hyung Kim, “South Korea’s China Policy, Evolving Sino-ROK
Relations, and Their Implications for East Asian Security”: 66. 110 Sukjoon Yoon, “THAAD in South Korea: What Does It Really Mean for
China?”, 2016, tersedia di https://thediplomat.com/2016/07/thaad-in-south-korea-
what-does-it-really-mean-for-china/, diakses pada Rabu, 18 Juli 2018.
60
kemungkinan tindakan yang akan diambil terkait hal tersebut.111
Ini
menunjukkan bahwa Tiongkok merasa terancam dengan adanya
rencana penempatan THAAD.
Ancaman lain datang dari Jepang yang melakukan interpretasi
terhadap Artikel 9 pada 2014 lalu di bawah kepemimpinan Perdana
Menteri Shinzo Abe. Artikel 9 Jepang pertama kali dibuat oleh
Jenderal Douglas MacArthur, komandan perang Amerika di Pasifik
saat Perang Dunia II, pada 3 Mei 1947. Artikel 9 pada intinya dibuat
untuk meredam aktivitas militer Jepang dan mengurangi ancaman yang
ditimbulkan oleh militer Jepang pada waktu itu.112
Interpretasi Jepang pertama kali dilakukan pada 1946 atas
inisiasi dari Perdana Menteri Jepang saat itu, Shigeru Yoshida. Jepang
yang sebelumnya tidak mengembangkan militernya pasca
ditandatanganinya Artikel 9, bahkan untuk alasan pertahanan diri,
mulai melakukan interpretasi terhadap Artikel 9 untuk
mengembangkan militer mereka dengan tujuan pertahanan diri.
Interpretasi ini kemudian dikenal dengan sebutan „Ashida
Amendment‟.113
111
Paul Haenle dan Anne Sherman, “The Real Answer to China's THAAD Dilemma”, 2016, tersedia di https://thediplomat.com/2016/09/the-real-answer-to-chinas-thaad-dilemma/ diakses pada Rabu, 18 Juli 2018.
112 Jeffrey P. Richter, “Japan’s “Reinterpretation” of Article 9: A Pyrrhic
Victory for American Foreign Policy?”, IOWA LAW REVIEW, Vol. 101 (2016): 1227-1228.
113 Jeffrey P. Richter, “Japan’s “Reinterpretation” of Article 9: A Pyrrhic
Victory for American Foreign Policy?”: 1238.
61
Amandemen Ashida membuat Jepang kini memiliki hak untuk
mengembangkan militer mereka untuk keperluan pertahanan diri.
Jepang memulai langkah pertama dalam menerapkan interpretasi
tersebut pada 1954, dimana mereka mengubah National Safety Force,
menjadi Self-Defence Force (SDF) untuk meningkatkan pertahanan
diri mereka. SDF diabgi menjadi tiga cabang, yaitu Air Self-Defence
Force, Maritime Self-Defence Force, dan Land Self-Defence Force.
SDF hanya boleh digunakan untuk pertahanan internal Jepang. Jepang
tetap tidak boleh menempatkan militernya di luar wilayah negara
mereka.114
Pada 1 Juli 2014, Jepang melalui Perdana Menterinya, Shinzo
Abe, mengumumkan interpretasi baru mereka terhadap Artikel 9.
Interpretasi tersebut memperbolehkan Jepang untuk melakukan
collective self-defense dan memberikan bantuan militer jika ada aliansi
mereka yang berada dalam serangan.115
Reinterpretasi ini dilakukan
sebagai akibat dari ancaman yang terus meningkat dari Korea Utara
yang terus mengembangkan senjata nuklir dan juga peningkatan
aktivitas maritim Tiongkok dalam mempertahankan kedaulatannya di
Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur.116
114
Jeffrey P. Richter, “Japan’s “Reinterpretation” of Article 9: A Pyrrhic Victory for American Foreign Policy?”: 1239-1240.
115 Jeffrey P. Richter, “Japan’s “Reinterpretation” of Article 9: A Pyrrhic
Victory for American Foreign Policy?”: 1246-1247. 116
Adam P. Liff, “Japan’s Defense Policy: Abe The Revolutionary”, The Washington Quarterly (2015): 80.
62
Kebijakan tersebut mendapat respon negatif dan kecaman dari
negara-negara tetangga Jepang, khususnya dari Tiongkok. Portal berita
milik Tiongkok, Xinhua News, menyatakan bahwa kebijakan
interpretasi Artikel 9 tersebut merupakan sebuah pelanggaran yang
brutal terhadap konstitusi pasifis Jepang. Sementara itu, Menteri Luar
Negeri Tiongkok mempertanyakan komitmen Jepang terhadap
peaceful development. 117
Tiongkok semakin merasa terancam setelah reinterpretasi
tersebut disahkan pada September 2015 lalu. Tiongkok secara tegas
menyatakan bahwa Jepang mengancam perdamaian di kawasan setelah
diperbolehkannya tentara Jepang untuk bertempur di luar negaranya
untuk pertama kalinya sejak berakhirnya Perang Dunia II. Namun
Jepang melalui Ketua Sekretaris Kabinetnya, Yoshihide Suga,
menyatakan bahwa hal tersebut tetap harus dilakukan Jepang seiring
dengan memburuknya situasi keamanan di kawasan.118
Tiongkok beranggapan bahwa masih terdapat ketidakjelasan
dalam reinterpretrasi tersebut. Reinterpretasi tersebut terdapat dalam
„Cabinet Decision on Development of Seamless Security Legislation to
117
Amy King, “China’s Response to Japan’s Constitutional Reintepretation”, 2014, tersedia di http://www.eastasiaforum.org/2014/07/27/china-responds-to-japans-constitutional-reinterpretation/ diakses pada Rabu, 18 Juli 2018.
118 Justin McCurry, “China Accuses Japan of Threatening Pacific Peace with
Military Law”, 2016, tersedia di
https://amp.theguardian.com/world/2016/mar/29/china-accuses-japan-of-
threatening-peace-in-pacific-with-new-law diakses pada Rabu, 18 Juli 2018.
63
Ensure Japan‟s Survival and Protect Its People‟ dan berisi sebagai
berikut:
“The Government has reached a conclusion that not only when an
armed attack against Japan occurs but also when an armed attack
against a foreign country that is in a close relationship with Japan
occurs and as a result threatens Japan‟s survival and poses a clear
danger to fundamentally overturn people‟s right to life, liberty and
pursuit of happiness, and when there is no other appropriate means
available to repel the attack and ensure Japan‟s survival and
protect its people, use of force to the minimum extent necessary
should be interpreted to be permitted under the Constitution as
measures for self-defense in accordance with the basic logic of the
Government‟s view to date.” 119
Di dalam interpretasi baru terebut terdapat pernyataan bahwa
collective self-defense hanya boleh dilakukan jika ada „clear danger‟
atau ancaman nyata terhadap survivalitas Jepang yang diakibatkan oleh
serangan bersenjata terhadap negara aliansi Jepang. Tiongkok
mengkritik Jepang terkait kejelasan status „clear danger‟, negara
aliansi Jepang, dan otoritas yang berwenang untuk menentukan
indikator tersebut. Tiongkok beranggapan bahwa ketidakjelasan
tersebut dapat digunakan Jepang semata-mata untuk mengejar
kepentingan nasional mereka yang kemudian juga dapat mengancam
kepentingan nasional Tiongkok.120
Tiongkok dengan demikian menghadapi dua ancaman
sekaligus, yaitu ancaman yang datang dari rencana penempatan
THAAD di Korea Selatan oleh Amerika dan Korea Selatan itu sendiri,
119
Jeffrey P. Richter, “Japan’s “Reinterpretation” of Article 9: A Pyrrhic Victory for American Foreign Policy?”:1247.
120 Jeffrey P. Richter, “Japan’s “Reinterpretation” of Article 9: A Pyrrhic
Victory for American Foreign Policy?”:1253-1254.
64
serta ancaman yang timbul dari reinterpretasi Jepang terhadap Artikel
9. Keamanan kemudian menjadi sangat penting mengingat tujuan
utama negara dalam sistem anarki adalah untuk bertahan hidup
(survival).
Tiongkok kemudian menggunakan strategi buck-passing dalam
mencapai keamanannya. Mearsheimer dalam bukunya menjelaskan
buck-passing sebagai berikut:
“a buck-passer attempts to bear the burden of deterring or
possibly fighting an aggressor, while it remains on the
sidelines. The buck-passer fully recognizes the need to prevent
the aggressor from increasing its share of world power but
looks for some other state that is threatened by the aggressor to
perform that onerous task.” 121
Singkatnya, buck-passing adalah strategi untuk mencapai
survivalitas dengan cara menyerahkan sebuah ancaman kepada negara
lain, dengan harapan bahwa negara tersebut mampu untuk mengatasi
ancaman tersebut,122
atau dengan kata lain, suatu negara yang
melakukan buck-passer hanya mengandalkan negara lain yang juga
merasa terancam dengan ancaman yang sama untuk mengatasi
ancaman tersebut.
Tiongkok dalam menghadapi ancaman dari Amerika, Korea
Selatan, dan Jepang nampaknya menggunakan strategi buck-passing
tersebut dengan menggunakan Korea Utara sebagai negara yang
121
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics: 157-158 122
Peter Toft, “John J. Mearsheimer: an Offensive Realist Between Geopolitics and Power”, Journal of International Relations and Development (2005): 385.
65
melindungi mereka dari ancaman yang datang. Hal inilah yang
membuat mereka inkonsisten dalam menghadapi kasus nuklir Korea
Utara.
Tiongkok memiliki pengaruh yang besar atas Korea Utara,
khususnya di bidang ekonomi. Jika Tiongkok menginginkan
denuklirisasi Korea Utara, maka tentu Tiongkok memiliki power untuk
mendorong Korea Utara melakukan hal tersebut mengingat Korea
Utara memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi terhadap
Tiongkok. Namun, Tiongkok memilih untuk tidak melakukannya.
Kebijakan Tiongkok tersebut adalah bagian dari buck-passing,
dimana Tiongkok menjadikan Korea Utara sebagai buffer state untuk
menghadapi ancaman yang datang terhadap negaranya.123
Jika
Tiongkok menghentikan bantuan ekonominya terhadap Korea Utara,
maka kemungkinan Korea Utara akan mengalami collapse, mengingat
ketergantungan Korea Utara yang cukup tinggi terhadap Tiongkok.
Jika Korea Utara mengalami collapse, maka Tiongkok tidak
lagi memiliki buffer state untuk melindungi mereka dari ancaman yang
datang dari luar. Oleh karena itu, Tiongkok menerapkan kebijakan
yang terkesan inkonsisten dalam rangka menjalankan strategi buck-
123
Russell Maddalena, “Why Does the People’s Republic of China Continue to Support the Democratic People’s Republic of Korea?”, Indo-Pacific Strategic Papers 2014, Juni 2014 : 4, diunduh dari https://www.google.co.id/url?url=http://www.defence.gov.au/ADC/Publications/IndoPac/Maddalena.pdf&rct=j&gcjeid=14&sa=U&ved=2ahUKEwjJpsGCnqraAhUFMY8KHUAvCLcQFjACegQICRAB&q=what+made+china+vote+for+un+sanctions+on+north+Korea+pdf&usg=AOvVaw3ggncmuD9mwWc7focxGInW pada Minggu, 8 April 2018.
66
passing untuk mencapai survivalitasnya, terlebih dari ancaman yang
datang dari Amerika dan Korea Selatan terkait penempatan THAAD di
Korea Selatan, yang secara geografis letaknya berdekatan dengan
Tiongkok.
A.2. Regional Hegemons
Selain kepentingan keamanan, mencapai hegemoni merupakan
tujuan yang juga ingin dicapai setiap negara di dunia dalam sistem
yang anarki, tanpa terkecuali Tiongkok. Mearsheimer menyatakan
bahwa; “the structure of the international system encourages states to
pursue hegemony.… A state‟s ultimate goal is to be the hegemon on
the system”.124
Hegemoni penting untuk dicapai oleh setiap negara di
dunia, karena hanya hegemoni yang mampu menjamin survivalitas.125
Menurut Mearsheimer, negara hegemon adalah negara yang
sangat kuat atau memiliki power yang besar dan mampu mendominasi
negara lain yang ada di dalam sistem internasional.126
Sementara itu,
power suatu negara diukur melalui kapabilitas militer mereka, yang
terbagi menjadi potential power, yang diukur dengan besarnya
populasi dan tingkat kesejahteraan negara tersebut yang memiliki
124
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics: 12&21. 125
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics: 3. 126
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics: 40.
67
potensi untuk mengembangkan militer negaranya, dan actual power
yang merupakan kekuatan militer negara itu sendiri.127
Mearsheimer menyebut bahwa hegemoni berarti dominasi
terhadap sistem internasional atau bisa dikatakan dominasi terhadap
dunia. Mearsheimer kemudian berangggapan bahwa tidak pernah ada
negara yang menjadi global hegemons. Namun, negara tetap bisa
menjadi hegemon dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu regional
hegemons, atau negara yang mendominasi area geografis tertentu.
Mearsheimer beranggapan bahwa sulit untuk menjadi global
hegemons, oleh karena itu, negara-negara di dunia berusaha untuk
menjadi regional hegemons.128
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, negara hegemon
merupakan negara yang mendominasi sitem. Negara-negara di dunia
akan memaksimalkan power yang mereka miliki untuk mencapai
hegemoni dan power sendiri diukur melalui kapabilitas militer suatu
negara. Tiongkok dengan demikian bisa dikatan sebagai negara
hegemon atau negara dengan power yang besar, karena mereka
merupakan negara dengan kekuatan militer terbesar ke-3 di dunia,
hanya kalah dari Rusia dan Amerika Serikat. Berikut adalah
perbandingannya:
127
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics: 43. 128
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics: 40-41.
68
Tabel IV.A.2.1. Perbandingan Kekuatan Militer Tiongkok,
Rusia, dan Amerika Serikat
Amerika Rusia Tiongkok
Jumlah
Personel Aktif
1.400.000 766.055 2.333.000
Tank 8.848 15.398 9.150
Pesawat
Tempur
13.892 3.429 2.860
Kapal Selam 72 55 67
Ranking (Di
Dunia)
1 2 3
Sumber: Business Insider India, “Ranked: The World‟s 20 Strongest
Militaries”, 2016.
Oleh karena itu, Tiongkok dan Amerika bisa digolongkan
sebagai salah satu negara great powers jika megacu pada definisi
Mearsheimer, yang menggunakan kekuatan militer untuk mengukur
power suatu negara. Tiongkok dengan demikian memiliki kapabilitas
militer yang berada di bawah Amerika Serikat. Ini tentu menjadikan
Amerika sebagai ancaman bagi Tiongkok, terlebih Amerika memeiliki
aliansi di Asia Timur, yaitu Jepang dan Korea Selatan, yang secara
geografis letaknya berdekatan dengan Tiongkok.
Jika dibandingkan dengan kapabilites militer negara lain yang
ada di kawasan asia Timur, maka Tiongkok memiliki kapabilitas
militer tersebesar. Jepang hanya berada di peringkat ke-4 dan Korea
69
Selatan berada di tempat ke-7 di dunia. 129
Tiongkok dengan demikian
bisa dikatakan sebagai hegemon di kawasan Asia Timur, mengingat
kapabilitas militer mereka berada di atas negara Asia Timur lainnya.
Tiongkok kemudian merasa terancam dengan kehadiran
Amerika Serikat sebagai dengan status great power-nya di kawasan
Asia Timur, dengan menjalin kesepakatan dengan Korea Selatan untuk
menempatkan THAAD di Korea Selatan. Tiongkok sebagai negara
hegemon di kawasan tentu tidak ingin hegemoninya diganggu oleh
negara lain.
Oleh karena itu, Tiongkok menerapkan strategi buck-passing
dengan menggunakan Korea Utara untuk mencegah kehadiran
Amerika di kawasan Asia Timur karena Tiongkok tidak ingin ada
great power lain yang berpotensi menjadi hegemon di kawasan. Ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mearsheimer:
“States that achieve regional hegemony seek to prevent great
powers in other regions from duplicating their feat. Regional
Hegemons, in other words, do not want peers.”130
Oleh karena itu, Tiongkok menerapkan kebijakan yang
inkonsisten dalam menghadapi kasus nuklir Korea Utara dalam rangka
menjalankan strategi buck-passing, agar Korea Utara mampu meredam
129
Business Insider India, “Ranked: The World’s 20 Strongest Militaries”, 2016, tersedia di https://www.businessinsider.in/military-defense/ranked/the-worlds-20-strongest-militaries/slidelist/51930339.cms diakses pada Kamis, 19 Juli 2018.
130 John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics: 41.
70
ancaman yang datang mengancam Tiongkok. Jika Tiongkok
menghentikan bantuan ekonominya, maka Korea Utara kemungkinan
besar akan mengalami collapse. Jika Korea Utara mengalami collapse,
maka kemungkinan akan terjadi unifikasi Korea yang juga berarti
tercapainya denuklirisasi.
Tiongkok dengan demikian tidak lagi memiliki buffer state
untuk membantu mereka menghadapi ancaman yang datang,
mengingat tidak ada lagi ancaman bagi Aliansi militer Amerika, Korea
Selatan, dan Jepang di kawasan. Jika Tiongkok menghentikan bantuan
ekonominya dan Kroea Utara mengalami collapse, maka Amerika
akan meningkatkan kehadiran mereka di kawasan dan tentu akan
semakin mengancam Tiongkok. Oleh karena itu, Tiongkok
menerapkan kebijakan yang inkonsisten dalam kasus nuklir Korea
Utara untuk mengurangi ancaman terhadap mereka.131
131
Michael A. Spangler, “Preparing for North Korea’s Collapse: Key Stabilization Tasks”, Parameters, 46(2) (2016): 39.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tiongkok dan Korea Utara sudah menjalin hubungan bilateral
sejak lama. Hal tersebut berawal saat terjadinya perang sipil di Tiongkok,
dimana kedua negara bekerja sama di berbagai bidang untuk menghadapi
situasi perang tersebut. Hubungan bilateral tersebut berlanjut saat
Tiongkok memberikan bantuan kepada Korea Utara pada saat terjadinya
Perang Korea. Sejak saat itu, hubungan keduanya terus berlanjut sampai
saat ini. Namun, keputusan Korea Utara untuk mengembangkan dan
melakukan uji coba senjata nuklir menimbulkan dinamika dalam
hubungan keduanya.
Korea Utara memulai program nuklirnya pada 1956, lalu
dilanjutkan dengan pembangunan reaktor nuklir pertamanya pada 1965.
Korea Utara kembali membangun rekator nuklir pada 1970 dan
menghasilkan rudal bermuatan nuklir pertamanya pada 1984. Sejak saat
itu, Korea Utara terus melakukan pengembangan senjata nuklir mereka,
hingga melakukan uji coba pertama pada 2006, disusul dengan uji coba
berikutnya pada 2009, 2013, dan 2016.
Hal tersebut mengundang kekhawatiran dunia internasional. DK
PBB kemudian menjatuhkan sanksi atas semua uji coba yang dilakukan
Korea Utara tersebut. Tiongkok yang pada dasarnya merupakan negara
yang paling dekat dengan Korea Utara juga mendukung semua sanksi
72
yang dijatuhkan oleh DK PBB. Bahkan, setelah Korea Utara melakukan
uji coba nuklir ketiga padaq 2013, Tiongkok merubah prioritas kebijakan
mereka menjadi denuklirisasi. Tiongkok menekankan bahwa tujuan utama
yang harus dicapai adalah denuklirisasi Semenanjung Korea.
Namun, Tiongkok justru menerapkan kebijakan yang menghambat
proses denuklirisasi tersebut. Tiongkok tetap memberikan bantuan
ekonomi dan melakukan perdagangan dengan Korea Utara. Bahkan,
Tiongkok menguasai sekitar 90% dari total nilai perdagangan Korea Utara.
Hal ini menunjukkan inkonsistensi kebijakan Tiongkok, karena jika
Tiongkok benar-benar menginginkan denuklirisasi, maka seharusnya
Tiongkok menghentikan aktivitas perdagangan mereka dengan Korea
Utara.Tiongkok memiliki power yang cukup besar untuk mendorong
Korea Utara melakukan denuklirisasi. Ini disebabkan oleh ketergantungan
ekonomi Korea Utara terhadap Tiongkok yang sangat tinggi.
Pada tingkat ketergantungan yang tinggi, Tiongkok seharusnya
mampu mendorong Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi dengan
menghentikan aktivitas perdagangannya dengan Korea Utara. Jika
Tiongkok menghentikan aktivitas perdagangannya dengan Korea Utara,
maka Tiongkok memiliki peluang yang cukup besar untuk mewujudkan
denuklirisasi Korea Utara mengingat ketergantungan ekonomi Korea
Utara yang cukup Tinggi dengan Tiongkok dan tidak ada lagi aktor lain di
dunia internasional yang memiliki potensi untuk menggantikan peran
Tiongkok jika Tiongkok menghentikan kerja samanya.
73
Setelah dianalisis, ternyata ada kepentingan nasional yang melatar
belakangi inkonsistensi kebijakan yang diterapkan Tiongkok dalam
menghadapi kasus nuklir Korea Utara. Sesuai dengan teori Realisme
Ofensif yang diungkapkan oleh John Mearsheimer, dimana tujuan utama
negara di sistem internasional yang anarki adalah survival dan mencapai
hegemoni. Hegemoni sangat penting untuk dicapai karena hanya
hegemoni yang mampu menjamin survivalitas.
Tiongkok berusaha mencapai survivalitas dan mempertahankan
hegemoninya dengan menggunakan strategi buck-passing. Tiongkok
menghadapi ancaman dari Amerika dan Korea Selatan yang menjalin
kesepakatan untuk menempatkan THAAD di Korea Selatan, serta
ancaman dari Jepang yang melakukan reinterpretasi terhadap Artikel 9
sebagai dampak dari semakin agresifnya Korea Utara dalam
mengembangkan dan melakukan uji coba senjata nuklirnya.
Tiongkok tidak menghadapi ancaman tersebut secara langsung,
melainkan menggunakan Korea Utara sebagai buffer state. Jika Tiongkok
menghentikan aktivitas ekonominya dengan Korea Utara, maka
kemungkinan besar Korea Utara akan collapse dan tentu hal tersebut
membuat Tiongkok tidak lagi memiliki buffer state untuk menghadapi
ancaman dan mencapai survivalitasnya. Hal tersebut juga dilakukan
Tiongkok untuk mempertahankan hegemoninya, yaitu dengan
menggunakan Korea Utara untuk mencegah kehadiran Amerika di
kawasan yang dapat mengganggu hegemoni mereka.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
A. Jurnal dan Artikel Jurnal
Armstrong, Adreinne “The Political Consequences of Economic
Dependence”, The Journal of Conflict Resolution, Vol. 25, No. 3
(September 1981).
Bridges, Brian“North Korea after Kim Il-Sung”, The World Today, Vol.
51, No. 6 (1996).
Cai, Jian, “The Korean Nuclear Crises and The Changing Sino-DPRK
Relationship”, Asian Perspective, Vol. 34, No. 1 (2010).
Cho, Seong-Ryoul, “North Korea‟s Security Dilemma and Strategic
Options”, The Journal of East Assian Affairs, Vol. 23, No. 2
(2009).
Choi, Jinwook, “A Game Changer: North Korea‟s Third Nuclear Test and
Northeast Asian Security”, The Journal of East Asian Affairs, Vol.
27, No. 1 (2013).
Choo, Jaewo “Mirroring North Korea‟s Growing Economic Dependence
on China: Political Ramifications”, Asian Survey, Vol. 48, No. 2
(March/April 2008).
Chung, Samman, “North Korea‟s Nuclear Threats and Counter-
Strategies”, The Journal of East Asian Affairs, Vol. 30, No. 2
(2016).
Delage, Fernando “The Asian Strategy of Xi Jinping”, Journal Of The
Spanish Institute for Strategic Studies, Vol. 5, 2015.
DeTrani, Joseph R. “After 20 Years of Failed Talks With North Korea,
China Needs to Step Up”, Arms Control Today, Vol. 44, No. 8
(October 2014).
xv
Huntley, Wade L., “Bucks for The Bang: North Korea‟s Nuclear Program
and Northeast Asian Military Spending”, Asian Perspective, Vol.
33, No. 4 (2009).
J. Perry, William J., “Proliferation on The Peninsula: Five North Korean
Nuclear Crises”, The Annals of The American Academy of Political
and Social Science, Vol. 607 (2006).
Jr., Joseph S. Bermudez, North Korea‟s Development of a Nuclear
Weapons Strategy (US-Korea Institute at SAIS, 2015).
Jr., Walter C. Clemens, “North Korea‟s Quest for Nuclear Weapons: New
Historical Evidence”, Journal of East Asian Studies, 10 (2010).
Kim, Min Hyung, “South Korea‟s China Policy, Evolving Sino-ROK
Relations, and Their Implications for East Asian Security”, Pacific
Focus, Vol. XXXI, No. 1, April 2016.
Kim, Samuel S.. “North Korea in 1994: Brinkmanship, Breakdown, and
Breakthrough.” Asian Survey, Vol. 35, No. 1 (1995).
Lee, Dong Ryul, “China‟s Policy and Influence on the North Korea
Nuclear Issue: Denuclearization and/or Stabilization of the Korean
Peninsula?”, The Korean Jurnal of Defense Analysis, Vol. 22, No.
2 (Juni 2010).
Lee, Hong Yung, “North Korea in 2012 Kim Jong Un‟s Succession”,
Asian Survey, Vol. 53, No. 1 (2013).
Liff, Adam P., “Japan‟s Defense Policy: Abe The Revolutionary”, The
Washington Quarterly (2015).
Longfan, Jiang and Wang Haifan, “North Korea‟s peripheral Diplomacy in
the “Post Kim Jong-Il Era” and its Relationship with Japan”, The
Journal of East Asian Affairs, Vol. 30, No. 1 (2016).
xvi
Marsingga, Prilla, “Proliferasi Nuklir Korea Utara: Penangkalan dan
Diplomasi Kekerasan”, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol.
IV, No. II (Desember 2014).
Miller, Steven E., “The Real Crisis: North Korea‟s Nuclear Gambit”,
Harvard International Review, Vol. 25, No. 2 (2003).
Nincic, Miroslav “The National Interest and Its Interpretation”, The
Review of Politics, Vol. 61, No. 1 (1999).
Ponomareva, Elena, dan Georgij Rudov, “Russia-North Korea: State of
Affairs and Trends”, Journal of Asian Public Policy, Vol. 9, No. 1.
Richter, Jeffrey P., “Japan‟s “Reinterpretation” of Article 9: A Pyrrhic
Victory for American Foreign Policy?”, IOWA LAW REVIEW,
Vol. 101 (2016).
Saeri, M.,“Teori Hubungan Internasional; Sebuah Pendekatan
Paradigmatik”, Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2, Februari
2012.
Savage, Timothy L., “China‟s Policy Toward North Korea”, International
Journal on World Peace, Vol. 20, No. 3 (September 2003).
Snyder, Scott, “China-Korea Relations: Under New Leaderships”, in
Comparative Connections; A Triannual E-Journal on East Asian
Bilateral Relations (2013).
Spangler, Michael A., “Preparing for North Korea‟s Collapse: Key
Stabilization Tasks”, Parameters, 46(2) (2016).
Taliafero, Jeffrey W., “Security Seeking Under Anarchy; Defensive
Realism Revisited”, International Security, Vol. 25, No. 3
(2000/01).
Telhami, Shibley, “Kenneth Waltz, Neorealism, and Foreign Policy”,
Security Study 11, no. 3 (2002).
xvii
Tiejun,Yu, Ren Yuanzhe, dan Wang Junsheng, Chinese Perspectives
Towards the Korean Peninsula: In The Aftermath of North Korea‟s
Fourth Nuclear Test (Stimson Center, 2016).
Toft, Peter, “John J. Mearsheimer: an Offensive Realist Between
Geopolitics and Power”, Journal of International Relations and
Development (2005).
Won, Kim Sang, “The Chinese Civil War and Sino-North Korea
Relations, 1945-50”, Seoul Journal of Korean Studies 27, No. 1
(Juni 2014).
B. Buku dan E-Book
Dugis, Vinsensio. ed. Teori Hubungan Internasional; Perspektif-
Perspektif Klasik. Surabaya: Cakra Studi Global Strategis (CSGS),
2016. Buku Elektronik. Tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/321709080_Teori_Hubu
ngan_Internasional_Perspektif-Perspektif_Klasik
F. Lang, Anthony. “Morgenthau, Agency, and Aristotle”, in Michael C.
Williams. Realism Reconsidered; The Legacy of Hans J.
Morgenthau in International Relations. Oxford University Press,
2007.
Feng, Zhu. “Shifting Tides: China and North Korea”, in Ron Huisken, ed.
The Architecture of Security in the Asia-Pacific. ANU Press, 2009.
Buku Elektronik. Tersedia di
http://www.jstor.org/stable/j.ctt24h898.10
Glaser Bonnie S., dan Brittany Billingsley, Reordering Chinese Priorities
on The Korean Peninsula (Washington: Center for Strategic and
International Studies (CSIS)), 2012. Buku Elektronik. Tersedia di
https://csis-prod.s3.amazonaws.com/s3fs-
public/legacy_files/files/publication/121217_Glaser_ReOrderingC
hinese_web.pdf
xviii
McGlinchey, Stephen, Rosie Walters, & Christian Scheinpflug, ed.,
International Relations Theory (England: E-International Relations
Publishing, 2017), tersedia di http://www.e-ir.info/wp-
content/uploads/2017/11/International-Relations-Theory-E-IR.pdf
diunduh pada Kamis 19 Juli 2018.
Mearsheimer, John J., Tragedy of Great Power Politics, New York:
Norton Company, 2001.
Newman, Lawrence, Social Research Methods; Qualitative and
Quantitative Approaches, 4th
Edition, Boston: Allyn and Bacon,
2000.
Su, Fei, dan Lora Saalman. China‟s Engagement of North Korea;
Challenges and Opportunities for Europe. Solna: Stockholm
International Peace Research Institute (SIPRI), 2017. Buku
Elektronik. Tersedia di
https://www.sipri.org/sites/default/files/Chinas-engagement-North-
Korea.pdf
Tiejun, Yu, Ren Yuanzhe, dan Wang Junsheng. Chinese Perspectives
Toward the Korean Peninsula: In the Aftermath of North Korea‟s
Fourth Nuclear Test. Washington: Stimson Center, 2016. Buku
Elektronik. Tersedia di
https://www.stimson.org/sites/default/files/file-
attachments/Chinese-Perspectives-Korea.pdf
C. Tesis
Ciftci, Ozer. “A Comparative Analysis of The National Intetrest Concept
in Theories of International Relations”, Thesis, Dokuz Eylul
University (2009).
Jeong, Dongjin. “China‟s Foreign Policy Toward North Korea: The
Nuclear Issue”, Thesis, Naval Postgraduate School (2012).
xix
D. Laporan dan Penelitian
Bandow, Doug “Will China Solve The North Korea Problem?; The United
States Should Develop a Diplomatic Strategy to Pursuade Beijing
To Help”, Policy Analysis, No. 806, 2016, diunduh dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https:/
/object.cato.org/sites/cato.org/files/pubs/pdf/pa806.pdf&ved=2ahU
KEwi12qrLi8bZAhXDOY8KHdIMA1wQFjAAegQIBxAB&usg=
AOvVaw1liOWRQdv9bHWzpi3qh9CD pada Selasa, 27 Februari
2018.
Beauchamp, Nathan danMustafaga, “China-North Korea Relations: Jang
Song Thaek‟s Purge vs. The Status Quo”, China Analysis No. 47:1,
Februari 2014, tersedia di
https://www.google.co.id/url?q=http://www.centreasia.eu/sites/def
ault/files/publications_pdf/note_china_North_korea_relations_after
_jang_song_thaek_s_purge_february2014_0.pdf ; diakses pada 30
Oktober 2017.
Dhawan, Ranjit Kumar, “China and Its Peripheries; Contentious Relations
with North Korea”, Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS)
Issue Brief 231, Agustus 2013, tersedia di
https://www.google.co.id/url?q=https://www.files.ethz.ch/isn/1680
38/IB231-Dhawan-ChinaPeriphery-
NorthKorea.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwi8367M35jXAhVH6mMK
HTOuBhoQFjAJegQIDRAA&usg=AOvVaw0s0BBUM91ZnIMy_
Yi-rUN2; diakses pada 30 Oktober 2017.
Danzik, Wayne, “Participation of Coalition Forces in The Korean War”
(1994), tersedia di
https://www.dtic.mil/dtic/tr/fulltext/u2/a279370.pdf diunduh pada
Kamis, 12 Juli 2018.
European Commission, Directorate-General for Trade, “European Union,
Trade in Goods with North Korea, diunduh
darihttps://www.google.co.id/url?url=http://trade.ec.europa.eu/docl
ib/html/113428.htm&rct=j&sa=U&ved=2ahUKEwjw_fyLlKraAh
UMIpQKHRJRCeMQFJAAegQICBAB&q=europian+union+Trad
e+in+goods+with+north+korea+2016&usg=AOvVaw3S02TpuNM
boMaRW3N3LVPF pada Minggu, 8 April 2018.
xx
Gill, Bates, “China‟s North Korea Policy”, in United States Institute of
Peace Special Report 283, (Washington: United States Institute of
Peace, 2011), diunduh dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=www.
usip.org/sites/default/files/China%27s_North
_Korea_Policy.pdf&ved=2ahUKEwiq2oO6IlcAhVLXCsKHXsZA
2wQfjAAegQIABAB&usg=AOvVaw2vUYNkBhlwc4GjVXsz7Q-
8
Heginbotham, Eric, et.al., China‟s Evolving Nuclear Deterrent, (RAND
Corporation), 2017. Diunduh dari
https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/research_reports/RR1
600/RR1628/RAND_RR1628.pdf
Hildebrant, Timothy, ed., “Uneasy Allies: Fifty Years of China-North
Korea Relations”, Asia Program Special Report No.115,
September 2003, tersedia di
https://www.google.co.id/url?q=https:/dornsife.usc.edu/tools/myto
ols/PersonnelInfoSystem/DOC/Faculty/SIR/vita_1038420.pdf&sa=
U&ved=2ahUKEwi8367M35jXAhVH6mMKHTOuBhoQFjAAeg
QIEhAA&usg=AOvVaw2Ga7Ty2wwR1-OcgEmbp9B- ; diunduh
pada 30 Oktober 2017.
Maddalena, Russell, “Why Does the People‟s Republic of China Continue
to Support the Democratic People‟s Republic of Korea?”, Indo-
Pacific Strategic Papers 2014, Juni 2014, diunduh dari
https://www.google.co.id/url?url=http://www.defence.gov.au/ADC
/Publications/IndoPac/Maddalena.pdf&rct=j&gcjeid=14&sa=U&v
ed=2ahUKEwjJpsGCnqraAhUFMY8KHUAvCLcQFjACegQICR
AB&q=what+made+china+vote+for+un+sanctions+on+north+Kor
ea+pdf&usg=AOvVaw3ggncmuD9mwWc7focxGInW pada
Minggu, 8 April 2018.
Nanto, Dick K. and Mark E. Manyin, “China-North Korea Relations”,
CRS Report for Congress, December 2010, tersedia di
https://www.google.co.id/url?q=https://fas.org/sgp/crs/row/R41043
.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwifsrfz5ZjXAhVU92MKHRFaCpoQFj
AAegQIGBAA&usg=AOvVaw1zYvA5FCoM_kYmvTickNHT ;
diakses pada 30 Oktober 2017.
xxi
Nanto, Dick K.,“Increasing Dependency: North Korea‟s Economic
Relations With China”, Publikasi On-Line (Korea Economic
Institute and the Korea Institute for International Economic Policy,
2011), tersedia di https://www.keia.org/publication/increasing-
dependency-north-korea‟s-economic-relations-china
Ru, Sun,“Beijing and Pyongyang: A “Special Friendship” Facing The
Final Curtain”, ISPI Analysis, No. 297 (2016), diunduh dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&spurce=web&rct=j&url=http://
www.ispionline.it/sites/default/files/pubblicazioni/analisi297_sun_
ru_05.05.2016_0.pdf&ved=2ahUKEwiA4pHW8anZAhXHpo8KH
cJBBScQFjAAegQIERAB&usg=AOvVaw0fiMwnwfKh6hsBL7R
_20a pada Jumat16 Februari 2018.
Ying, Fu, “The Korean Nuclear Issue: Past, Present, and Future; A
Chinese Perspective”, Strategy Paper 3 (Brooking Institution,
2017), diunduh dari https://www.brookings.edu/wp-
content/uploads/2017/04/north-korean-nuclear-issue-fu-ying.pdf
United Nations Security Council, SC/12267, 2 Maret 2016.
E. Artikel dan Berita
Albert, Eleanor. “The China – North Korea Relationship”, Council on
Foreign Relations https://www.cfr.org./backgrounder/china-north-
korea-relationship diakses pada Senin, 23 Oktober 2017.
Albert, Eleanor, North Korea‟s Military Capabilities, 2018, tersedia di
https://www.cfr.org/backgrounder/north-koreas-military-
capabilities
Al Jazeera News, “Timeline of North Korea‟s Nuclear Tests”, 3
September 2017, tersedia di
https://www.aljazeera.com/news/2017/09/timeline-north-korea-
nuclear-tests-170903061228305.html , diakses pada Selasa, 10 Juli
2018.
xxii
Business Insider India, “Ranked: The World‟s 20 Strongest Militaries”,
2016, tersedia di https://www.businessinsider.in/military-
defense/ranked/the-worlds-20-strongest-
militaries/slidelist/51930339.cms diakses pada Kamis, 19 Juli
2018.
Chung, Kyung-young, “Debate on THAAD Deployment and ROK
National Security”, EAI Oktober 2015, tersedia di
http://www.eai.or.kr/data/bbs/kor_report/2015102615274064.pdf,
diunduh pada Rabu, 18 Juli 2018.
Jin, Huang dan Bianji, ed., “China vows to realize denuclearization of
Korean Peninsula”, People‟s Daily, 24 Agustus 2016, tersedia di
http://en.people.cn/n3/2016/0824/c90883-9105070.html, diakses
pada Rabu, 11 Juli 2018.
Haenle, Paul, dan Anne Sherman, “The Real Answer to China's THAAD
Dilemma”, 2016, tersedia di https://thediplomat.com/2016/09/the-
real-answer-to-chinas-thaad-dilemma/ diakses pada Rabu, 18 Juli
2018.
McCurry, Justin, “China Accuses Japan of Threatening Pacific Peace with
Military Law”, 2016, tersedia di
https://amp.theguardian.com/world/2016/mar/29/china-accuses-
japan-of-threatening-peace-in-pacific-with-new-law diakses pada
Rabu, 18 Juli 2018.
National News Agency Lebanon, “France‟s Hollande Condemns North
Korean Nuclear Test”, 12 February 2013, tersedia di
http://www.nna-leb.gov.lb/en/show-news/5309/France-39-
Hollande-condemns-North-Korean-nuclear-test , diakses pada
Minggu, 8 April 2018.
Perlez, Jane, “China Bluntly Tells North Korea to Enter Nuclear Talks”,
2013, New York Times, tersedia di
https://mobile.nytimes.com/2013/05/25/world/asia/china-tells-
north-korea-to-return-to-nuclear-talks.html
xxiii
Ser, KuangKengKuek Public Radio International, “North Korea‟s Trade
with China Has Grown Tenfold in 15 Years – Which Gives China
More Leverage Than Ever, tersedia di
https://www.pri.org/stories/2017-02-15/north-koreas-trade-china-
has-grown-tenfold-15-years-which-gives-china-more?amp,
diakses pada Kamis, 12 Juli 2018.
Tae-Woo, Kim,“North Korea‟s 5th
Nuclear Test: The Fallout in Seoul,
2016, tersedia di https://thediplomat.com/2016/09/north-koreas-
5th-nuclear-test-the-fallout-in-seoul/ , diakses pada Rabu, 14
Februari 2018.
Tiezzi, Shannon, “How Will China Respond to North Korea‟s Nuclear
Test?”, 2016, The Diplomat, tersedia di
https://thediplomat.com/2016/01/how-will-china-respond-to-north-
koreas-nuclear-test/
Yi, Wang, Stay Committed to The Six-Party Talks for Lasting Peace,
November 2013, tersedia di http://www.ciis.org.cn/english/2013-
11/13/content_6455051.htm, diakses pada Rabu, 11 Juli 2018.
Yoon, Sukjoon, “THAAD in South Korea: What Does It Really Mean for
China?”, 2016, tersedia di https://thediplomat.com/2016/07/thaad-
in-south-korea-what-does-it-really-mean-for-china/, diakses pada
Rabu, 18 Juli 2018.
F. Website
Diamana, Walter, “Strategic Alliance: China-North Korea”, tersedia di
https://intpolicydigest.org/2015/07/02/strategic-alliance-china-
north-korea/amp/, diakses pada Kamis, 12 Juli 2018.
France Ministry of Europe and Foreign Affairs, “France and North
Korea”, tersedia di http://www.diplomatie.gouv.fr/en/country-
files/north-korea/france-and-north-korea/ , diakses pada Minggu, 8
April 2018.
xxiv
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tersedia di
https://kbbi.wed.id/inkonsisten , diakses pada Selasa, 3 April 2018.
Merriam-Webster Dictionary, tersedia di https://www.merriam-
webster.com/dictionary/inconsistent , diakses pada Selasa, 3 April
2018.
Merriam-Webster Dictionary, tersedia di https://www.merriam-
webster.com/dictionary/realism , diakses pada Selasa, 19
Desember 2017.
Perlez, Jane, “China Bluntly Tells North Korea to Enter Nuclear Talks”,
2013, New York Times, tersedia di
https://mobile.nytimes.com/2013/05/25/world/asia/china-tells-
north-korea-to-return-to-nuclear-talks.html
Radio France Internationale, “France Condemns North Korea Nuclear Test
Announcement”, 6 January 2016, tersedia di http://m.en.rfi.fr/asia-
pacific/20160106-france-condemns-north-korea-nuclear-test-
announcement , diakses pada Minggu, 8 April 2018.
United Kingdom Government, “Foreign Office welcomes additional UN
sanctions on North Korea”, 7 Maret 2013, tersedia di
https://www.gov.uk/government/news/foreign-office-welcomes-
additional-un-sanctions-on-north-korea, diakses pada Minggu, 8
April 2018.
United Kingdom Government, “Foreign Secretary welcomes strong
Resolution on North Korea”, 2 Maret 2016, tersedia di
https://www.gov.uk/government/news/foreign-secretary-
welcomes-strong-resolution-on-north-korea, diakses pada Minggu,
8 April 2018.
United Kingdom Government, “Our Mission”, tersedia di
https://www.gov.uk/world/north-korea/news, diakses pada
Minggu, 8 April 2018.