indeks keberlanjutan pembangunan pulau kecil untuk wisata
TRANSCRIPT
OPEN ACCES
Vol. 13 No. 1: 127-138 Mei 2020
Peer-Reviewed
AGRIKAN
Jurnal AgrobisnisPerikanan(E-ISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072)
URL: https:https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/
DOI: 10.29239/j.agrikan.13.1.127-138
Indeks Keberlanjutan Pembangunan Pulau Kecil untuk Wisata Bahari
Menggunakan Modifikasi Kombinasi Rapsmile dan Rapbeachtour
(Studi Kasus Pulau Benan dan Abang, Kepulauan Riau)
(Small Island Development Sustainability Index For Marine Tourism
Interests Using The Combination of Modification Rapsmile and Rapbeachtour (A Case Study in Benan and Abang Island,
Kepulauan Riau)
Dony Apdillah1,3,4, Setyo Budi Susilo2, Rika Kurniawan1,3, Viktor Amrifo5
1Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Indonesia 2Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB Bogor, Indonesia 3Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Indonesia 4Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Indonesia 5Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia
Info Artikel:
Diterima: 23 September 2020
Disetujui: 25 September 2020
Dipublikasi: 25 September 2020
Artikel Penelitian
Keyword:
Indeks Beberlanjutan , Pulau
Kecil, Rapsmiletourman,
Wisata Bahari.
Korespondensi:
Dony Apdillah
Universitas Maritim Raja Ali
Haji, Tanjungpinang,
Indonesia
Email:
Copyright© Mei 2020
AGRIKAN
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menilai status keberlanjutan pembangunan pulau kecil untuk
kepentingan pariwisata bahari di Pulau Benan dan Pulau Abang, Kepulauan Riau. Modifikasi dari kombinasi
metode Rapsmile dan Rapbeachtour menghasilkan Rapsmiletourman yang berbasis metode Rapfish telah
digunakan dalam kajian ini. Modifikasi metode dimaksudkan untuk melengkapi metode sebelumnya agar
dihasilkan metode yang memiliki kekhususan dalam menilai pembangunan pulau-pulau kecil yang berorientasi
spesifik pada kepentingan pariwisata bahari. Hasil penelitian menunjukan bahwa pembangunan pulau kecil di
Pulau Benan untuk kepentingan pariwisata bahari berada dalam status cukup berkelanjutan sementara Pulau
Abang masih berada dalam status kurang berkelanjutan. Berdasarkan indikator (atribut) dari lima dimensi
yang dipertimbangkan, dimensi teknologi dan kelembagaan di kedua pulau memberikan peran yang besar
dalam membentuk indeks keberlanjutan pembangunan pulau.
Abstract. This study aims to assess the status of small island development sustainability for marine tourism
interests on the Benan and Abang Island, Kepulauan Riau. Modification of the combination Rapsmile and
Rapbeachtour method produces Rapsmiletourman based on Rapfish methods has been used in this study.
Modification of the method is intended to complement the previous methods to produce a method that has
specificity in assessing the development of small islands which specifically oriented to the interests of marine
tourism. The results showed the development of small island in the Benan Island for marine tourism interests
in condition of the enough sustainable while Abang Island is still in the status of the less sustainable. Based on
the indicator (attributes) of the five dimensions considered technology and institutional dimensions of the both
islands, provide role profoundly in shaped island development sustainability index.
I. PENDAHULUAN
Pulau kecil memiliki keterbatasan dalam
pengembangannya, ukurannya yang kecil
menjadikan alokasi lahan sangat terbatas untuk
dimanfaatkan, minim sumberdaya air tawar, peka
dan rentan terhadap pengaruh eksternal dan
keterisolasian (Huang and Coelho, 2017). Selain itu
karakteristik sosial budaya masyarakat berbeda
dengan pulau-pulau besar, minimnya sumber
energi, mineral dan sebagainya (Dahuri, 1998).
Namun disamping keterbatasannya pulau kecil
memiliki potensi sumber daya pesisir yang dapat
diperbaharui (renewable) yang seringkali
dimanfaatkan bagi kepentingan rnanusia,
memiliki potensi keanekaragaman hayati tinggi
seperti; terumbu karang, padang lamun, hutan
bakau (UMRAH-CRITC dan COREMAP CTI LIPI,
2016) keindahan panorama alam dan budaya yang
dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan
ekonomi seperti pengembanan pariwisata bahari
(deGroot and Bush 2010; Spalding et al., 2017).
Keindahan dan keasliannya lingkungan pulau
kecil berpotensi menjadi tujuan wisata seperti
diving, snorkling surfing, fishing dan lainnya
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
128
(Yulianda, 2007; PPSPL UMRAH, 2010; Koroy et
al., 2017). Di samping itu, teresterial pulau-pulau
kecil juga mempunyai potensi ekowisata bahari
berbasis obyek alam seperti berkemah dipantai,
menyusuri sungai berhutan bakau, menyaksikan
penyu dan fauna lainnya (Pratomo et.al, 2011).
Pengembangan kegiatan pariwisata di pulau
kecil berpotensi memberikan dampak (Bentz et al.,
2013; Graham et a.l., 2017), baik positif maupun
negatif terhadap lingkungan pulau kecil dan
sekitarnya (Cornelia, 2014). Dampak tersebut dapat
dilihat dari segi fisik, sosial budaya dan ekonomi
(De et al., 2020; Bruce et al., 2002). Dampak positif
perlu dioptimalkan sementara dampak negatif
tentunya harus diminimalisir (Wardani et al.,
2017).
Berdasarkan kondisi tersebut pembangunan
pulau kecil untuk pengembangan pariwisata
bahari harus dikembangkan dengan formulasi
khusus melalui pengembangan pariwisata
berkelanjutan yaitu penyelenggaraan pariwisata
bertanggung jawab yang memenuhi kebutuhan
dan aspirasi manusia saat ini, tanpa
mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan
dan aspirasi manusia di masa mendatang (Blancas
et al., 2017). Menerapkan prinsip layak secara
ekonomi, lingkungan, sosial budaya dan tepat
guna secara teknologi (Dahuri et. al., 2001; Fennel,
1999).
Penelitian penilaian keberlanjutan
pembangunan pulau kecil telah dilakukan oleh
Susilo (2005) melalui pengembangan atribut SIDI
(Small Islands Development sustainability Index)
dengan metode RAPSMILE (Rapid Appraisal of
Small Islands Development), yang menilai indeks
pembangunan pulau kecil secara menyeluruh
(dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi,
hukum dan kelembagaan) tanpa mengkhususkan
pengelolaan pulau untuk kepentingan tertentu
seperti pariwisata. Riset terkait keberlanjutan
pengelolaan wisata telah dikaji oleh Putera (2013)
dengan menggunakan metode Rapbeachtour
(Rapid Aprraisal of Beach Tourism) telah
memformulasikan atribut keberlanjutan
pengelolaan pariwisata pantai secara umum (baik
dimensi ekologi, sosial, ekonomi dan
kelembagaan), namun belum mengkhususkan
untuk pengembangannya di pulau kecil.
Demikian pula dengan Kurniawan (2016), telah
menerapkan Rap-Insus Ecotourism (Rapid
Appraisal Index Sustainabilty of Ecotourism)
namun penekanan atribut ekologi basisnya
pada kesesuaian wisata, belum menspesifikan
untuk pulau kecil. Penelitian ini mencoba memformulasikan,
mengkombinasikan beberapa metode diatas
(Rapsmile, Rapbeachtour dan Rap-Insus
Ecotourism) menilai indeks keberlanjutan
pembangunan pulau kecil untuk kepentingan
pengembangan wisata bahari.
Pulau Benan dan Pulau Abang merupakan
pulau yang dikembangkan oleh pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau sebagai daerah tujuan
wisata bahari unggulan, berbatasan langsung
dengan negara tetangga (Singapura dan Malaysia)
di Selat Malaka (Dieter and Solvay, 2006) menjadi
alasan utama skala prioritas kebijakan
pengembangan pulau.
II. METODOLOGI
Penelitian telah dilakukan melalui
kompilasi data yang telah disurvey pada tahun
2013 dan 2016 di Pulau Benan (Kabupaten Lingga)
dan Pulau Abang (Kota Batam) Propinsi
Kepulauan Riau.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
129
2.1. Kompilasi dan Penapisan Atribut
Untuk menghasilkan kombinasi dari
metode Rapsmile, Rapbeachtour dan Rap-Insus
Ecotourism dilakukan kompilasi atribut dari
ketiga metode tersebut, sehingga dihasilkan
indikator (atribut) yang jumlahnya sangat besar.
Oleh karena itu perlu dilakukan penyaringan atau
penapisan agar diperoleh indikator-indikator yang
relevan, mudah diukur, berlaku umum dan
memiliki keterkaitan yang kuat dalam
keberlanjutan pulau kecil untuk pariwisata bahari.
Pendekatan prioritas penapisan dilakukan dengan
melihat kesamaan indikator yang digunakan,
indikator yang sama (walaupun redaksi berbeda)
dipromosikan sebagai indikator relevan, indikator
lainnya yang memiliki keterkaitan yang kuat
dengan eksistensi keberadaan pulau kecil serta
mempengaruhi pengembangan pariwisata juga
dipromosikan, baik dengan original redaksi
maupun modifikasi dengan redaksi baru.
Selanjutnya untuk setiap atribut yang dihasilkan,
disederhanakan dalam tiga kelompok dimensi
yakni; dimensi ekologi, social ekonomi, serta
kelembagaan dan teknologi. Hasil kombinasi
modifikasi beberapa metode tersebut kami
menyebutnya dengan Rapsmiletourman (Rapid
Aprraisal Small Islands Development Index for
Marine Tourism Management. Indikator berupa
atribut hasil penapisan Rapsmiletourman
disajikan pada Tabel 1, berikut dengan nilai
(skoring) yang dihasilkan..
Tabel 1. Atribut/Indikator Keberlanjutan Pembangunan Pulau Kecil untuk Kepentingan Wisata Bahari
(Rapsmiletourman) dan Hasil Skoring pada setiap Pulau
Dimensi Ekologi
Atribut/Indikator Skor
P. Benan
Skor
P. Abang Baik Buruk Acuan Pemberian Skor
1. Tingkat Ekploitasi
Sumberdaya Pulau
Kecil
0 2 0 2
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
(Susilo, 2005, modifikasi)
2. Keanekaagaman
Hayati Sumberdaya
Pulau Kecil
2 2 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
3. Kesesuaian dengan
RTRW 2 2 2 0
(0) Tidak ada RTRW;
(1) Ada tapiTidak Sesuai;
(2) Sesuia
(Modifikasi, Putera, et.al, 2013)
4. Daya Dukung
Kawasan Pulau
Kecil
2 1 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2)Tinggi;
(Mengacu pada Putera et.al, 2013)
5. Pencemaran
Limbah di Pulau
Kecil
0 1 0 2
(0) Tidak Ada
(1) Rendah
(2) Tinggi
(Susilo, 2005, modifikasi)
6. Tingkat Abrasi
Pulau Kecil 1 0 0 2
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2)Tinggi;
(Susilo, 2005, modifikasi)
7. Pelestarian
Ekosistem/
Konservasi Pulau
Kecil
1 1 1 0
(0) Tidak Ada
(1) Ada tapi belum optimal
(2) Baik
(Susilo, 2005, modifikasi)
8. Kualitas Perairan 2 1 2 0
(0) Buruk;
(1) Sedang;
(2)Baik;
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
130
Dimensi Sosial Ekonomi
1. Kunjungan
Wisatawan 0 1 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
(Kurniawan et al., 2016)
2. Pendanaan dalam
Pemasaran dan
Promosi Pulau
1 0 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
(Modifikasi, Putera et.al, 2013)
3. Kontribusi
Pendapatan Daerah 0 0 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
4. Peningkatan
Kesejahteraan
Masyarakat
1 2 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2)Tinggi;
(Kurniawan et al., 2016, modifikasi)
5. Potensi Pasar 2 2 2 0
(0) Pasar Lokal
(1) Pasar Nasional
(2) Pasar International
6. Tingkat
Pendidikan Formal
masyarakat
0 0 2 0
(0) Tidak tamat SD;
(1) Tamat SMP;
(2) Tamat SMA dan PT;
7. Pengetahuan
Lingkungan dan
kearifan lokal
2 1 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi
(Rujukan pada PPSPL, 2009)
8. Potensi Konflik
Pemanfaatan Pulau 0 1 0 2
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
9. Pertumbuhan
Penduduk di Pulau 0 1 0 2
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
10. Partisipasi
Masyarakat 2 2 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
(Mengacu pada Putera et.al, 2013)
11. Peran swasta 0 0 2 0
(0) Rendah;
(1) Cukup;
(2) Tinggi;
(Mengacu pada Putera et.al, 2013)
Dimensi Kelembagaan dan Teknologi
1. Ketersediaan
Peraturan
Pengelolaan
1 1 2 0
(0) Tidak ada;
(1) Ada namun belumg optimal;
(2) Optimal;
(Kurniawan et al., 2016)
2. Tingkat Kepatuhan
Masyarakat Pesisir 2 1 2 0
(0) Rendah;
(1) Sedang;
(2) Baik;
3. Terbentuknya
Lembaga Pengelola
Wisata di Pulau
1 1 2 0
(0) Tidak ada;
(1) Ada tapi belum efektif;
(2) Ada dan Efektif;
(Rujukan pada PPSPL, 2009)
4. Koordinasi Antar
Stakeholders 2 1 2 0
(0) Tidak ada;
(1) ada namun belumefektif;
(2) Baik;
(Kurniawan et al., 2016)
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
131
5. Pelaksanaan,
Pemantauan Dan
Pengawasan SDA
1 1 2 0
(0) Tidak ada;
(1) Pemantauan belum efektif ;
(2) Sering dan terjadwal;
(Kurniawan, 2016)
6. Campur tangan
Pemerintah 2 1 2 0
(0) Rendah
(1) Sedang;
(2) Tinggi;
(Modifikasi, Putera., 2013)
7. Aksesibilitas
menuju pulau 1 1 2 0
(0) Belum ada transportasi reguler;
(1) Terdapat transportasi reguler, jenis <2
(2) Terdapat transportasi reguler, jenis ≥2
(Modifikasi Maulida, 2014)
8. Kesediaan Air
Bersih di Pulau 0 0 2 0
(0) Ada namun terbatas;
(1) Baik;
(2) Sangat Baik
(Tesfamichael and Pitcher, 2006)
9. Sarana Prasarana
Pendukung
Kegiatan
1 1 2 0
(0) Tidak ada;
(1) Ada, masih terbatas;
(2) Baik
(Tesfamichael and Pitcher, 2006)
10. Ekoteknologi pada
wisata bahari 1 1 2 0
(0) Sangat kurang;
(1) Cukup;
(2) Banyak
(Mengacu pada Susilo, 2005)
11. Fasilitas jaringan
Telekomunikasi 2 2 2 0
(0) Sangat kurang;
(1) Cukup;
(2) Banyak
(Mengacu Kurniawan et al., 2016)
2.2. Penentuan Nilai Setiap Atribut
Setiap atribut yang ada dalam dimensi akan
diberikan salah satu nilai dari ketiga kategori nilai
yang telah ditentukan seperti yang tercantum pada
Tabel 1. Pemberian nilai terhadap setiap atribut
memberikan gambaran terhadap kondisi
pembangunan pulau kecil untuk pariwisata
bahari, apakah baik ataupun buruk. Mengacu pada
metode RAPFISH (Pitcher et al. 1998; Pitcher &
Preikshot 2001; Susilo 2003), menerangkan bahwa
nilai buruk merupakan cerminan kondisi yang
paling tidak menguntungkan dalam suatu
pengelolaan, sedangkan nilai baik yaitu nilai yang
mencerminkan kondisi yang paling
menguntungkan dalam pengelolaan sumberdaya.
Diantara nilai buruk dan nilai baik terdapat
satu nilai yang disebut dengan nilai antara atau
nilai tengah. Penilaian indikator yang dianggap
kualitatif dilakukan secara wawancara (via mobile
phone) kepada stakeholder kunci untuk
meminimalisir subyektifitas pemberian nilai.
2.3. Analisis Data
Hasil skoring terhadap indikator dianalisis
dengan Rapsmiletourman, yang merupakan
pengembangan dari metode Rapfish (Rapid
Apraisal of the status of Fisheries) berbasis multi
dimensional scaling (MDS) (Pitcher dan Preishot,
2001; Fauzi dan Anna, 2002). Multi dimensional
scaling merupakan analisis statistik multi-variabel
(multivariate), yang menjelaskan asosiasi atribut
dalam jarak euclidean (euclidean distance
squared) pada setiap pasang N obyek (positition of
point) dalam multi-dimensi (sumbu) melalui
proses proximities (reduksi dimensi) (Susilo, 2005).
Teknik ordinasi (penentuan jarak) dalam
MDS berdasarkan euclidian distance yang dalam
ruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagai
berikut (Fauzi dan Anna 2005):
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek
atau titik didalam MDS kemudian diaproksimasi
dengan meregresikan jarak euclidean (dij) dari
titik i ke titik j dengan titik asal (ϑij) sebagaimana
persamaan berikut (Fauzi dan Anna 2005):
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
132
Umumnya terdapat tiga teknik yang
digunakan untuk meregresikan persamaan diatas
yaitu metode last square (KRYST), metode least
square bergantian yang didasarkan pada akar dari
euclidean distance atau disebut metode ALSCAL,
dan metode yang didasarkan Maximum
Likelihood. Dari ketiga metode tersebut, metode
Algoritma ALSCAL merupakan metode yang
sesuai untuk RAPFISH dan mudah tersedia
hampir pada setiap software statisitika (SPSS dan
SAS) (Alder et al. 2000).
Metode ALSCAL mengoptimasi jarak
kuadrat (square distance = dijk) terhadap kuadrat
(titik asal = 0ijk), yang dalam tiga dimensi (i, j, k)
ditulis dalam formula yang disebut S-Stress
sebagai berikut:
Dimana jarak kuadrat merupakan jarak euclidian
yang dibobot atau ditulis :
Pada setiap penilaian yang bersifat
mengukur (metric) kondisi fit (goodness of fit),
jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi
sangat penting. Goodness of fit dalam metode
MDS digunakan untuk mengukur ketepatan
konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan
data aslinya. Mengacu pada Fauzi dan Anna (2005),
goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari
besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan
algoritma S-Stress diatas. Nilai S (stress) yang
rendah menunjukkan kondisi goodfit, sementara
sebaliknya untuk nilai S (stress) yang tinggi. Hasil
analisis metode RAPFISH yang baik akan
menunjukkan nilai stress yang lebih kecil dari
0,25 (S < 0,25).
Status keberlanjutan pulau kecil untuk
pengembangan wisata bahari dikategorikan
berdasarkan nilai indeks keberlanjutan yang
disusun berdasarkan selang jarak yang sama besar,
dari skala 0 - 100, merujuk pada Susilo (2005)
dengan 4 kategori (Tabel 2).
Tabel 2. Kategori status keberlanjutan pembangunan
pulau kecil untuk wisata bahari
Nilai IBPK-PB Kategori Status Kebelanjutan
0-25 Buruk
26-50 Kurang
51-75 Cukup
76-100 Baik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarlan hasil analisa Rafsmiletourman,
indek keberlanjutan pembangunan pulau-pulau
kecil untuk wisata bahari (IBPK-WB) di Pulau
Benan rata-rata 52,70 atau dengan status cukup
berkelanjutan dan Pulau Abang sebesar 50,32
dengan status juga cukup berkelanjutan (Tabel 3).
Tabel 3. Indeks Keberlanjuatan berdasarkan dimensi
Dimensi P. Benan P. Abang
Ekologi 66.77 53,59
Sosial-Ekonomi 30,51 44,6
Teknologi-Kelembagaan 60,83 52,77
Rata-rata 53,70 50,32
Walaupun secara umum pembangunan
Pulau Benan dan Abang dengan status cukup
berkelanjutan namun kenyataan masih terjadi
kesenjangan antar dimensi pembangunan.
Dimensi sosial-ekonomi merupakan dimensi yang
paling lemah diantara dimensi yang
dipertimbangkan. Dimensi sosial ekonomi
memiliki status kurang berkelanjutan, dengan
indeks sebesar 30,51 untuk P. Benan dan 44,6
untuk Pulau Abang. Sementara itu dimensi
Teknologi-Kelembagaan untuk Pulau Benan
memiliki indeks sebesar 60,83 dan 52,7 untuk
Pulau Abang. Berbeda signifikan dengan dimensi
ekologi dimana pada masing-masing Pulau Benan
dan Pulau Abang memiliki indeks keberlanjutan
paling tinggi 66,7 dan 53,59.
Dimensi ekologi memiliki Indeks
keberlanjutan paling baik dibandingkan dari
dimensi-dimensi lainnya. Hal ini disebabkan
Pulau Benan merupakan salah satu kawasan
konservasi daerah yang telah diinisiasi sejak lebih
dari 15 belas tahun yang lalu (Coremap II
Kabupaten Lingga, 2009). Demikian pula dengan
Pulau Abang menjadi binaan program Coremap II
Batam (BPP-PSPL UNRI 2009). Hasil ordinansi
Rapfish taipa dimensi disajikan pada Gambar 2.
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
133
Gambar 2. Analisis Rapsmiletourman yang menunjukan nilai IBPK-WB
di Pulau Benan dan Pulau Abang yang berada pada garis
(reference) Bad – Good
Kesenjangan yang terjadi antara dimensi
Ekologi dan sosial-ekonomi, menunjukan bahwa
pencapaian rehabilitasi ekosistem pesisir di Pulau
Benan dan Pulau Abang belum diiringi secara
signifikan dengan peningkatan aspek ekonomi
dan teknologi. Masih terdapat potensi ekonomi
yang belum dioptimalkan pada kedua pulau
tersebut. Pembangunan yang berkelanjutan adalah
pembangunan yang memperhatikan multi aspek
secara berimbang, baik aspek ekologi, ekonomi,
sosial dan kelembagaan serta teknologi.
Pembangunan pulau kecil mustinya dilakukan
secara terpadu (integrated), multi dimensi (multi
disiplin) (Dahuri et.al, 2001; Christie et al., 2005;
Suganthi, 2018).
Ketimpangan dalam salah satu aspek atau
dimensi pembangunan akan mempengaruhi
keberlanjutan pembangunan suatu pulau.
Berdasarkan analisis Rapsmiletourman indeks
keberlanjutan setiap dimensi Pulau Benan lebih
baik dibandingkan dengan Pulau Abang. Selain
dimensi ekologi, teknologi-kelembagaan dimensi
sosial-ekonomi justru paling rendah. Dimensi
yang nilai indeks berada dibawah 50 adalah
dimensi sosialekonomi.
Berdasarkan diagram layang segitiga terlihat
ketimpangan dimensi sosial-ekonomi yang tidak
simetris, terutama pada Pulau Benan, demikian
pulau Pulau Abang, diagram layang segitiga
disajikan pada Gambar 3.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk
mengetahui kestabilan hasil ordinasi
Rapsmiletourman atau melihat tingkat
kepercayaan hasil perhitungan IBPK-WB, melalui
uji-t terhadap hasil Rapsmiletourman sebanyak 25
kali ulangan. Outout dari analisis Monte Carlo
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
134
adalah selang inter-kuartil yang mencerminkan
besarnya penyimpangan (galat) jika terdapat
kesalahan dalam pembuatan skor, semakin besar
selang inter-kuartil makin kecil kepercayaan
terhadap nilai IBPK-WB yang dihasilkan. Selang
inter-kuartil divisualisasi dengan teknik scatter
plot. Analisis Monte Carlo menunjukan bahwa
indeks selang kesalahan dalam perhitungan
IBWK-WB sangat kecil yang berarti tingkat
kepercayaan indeks keberlanjutan yang dihasilkan
pada masing-masing pulau cukup tinggi, hal ini
diindikasikan dengan plot (kwartil) yang
mengumpul dan saling bersinggungan, dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 3. Diagram Layang nilai Indeks Keberlanjutan
pada setiap Dimensi Pembangunan Gambar 4. Analisis Monte Carlo menunjukanselang
kepercayaan IBPK-WB yang tinggi dengan
plot yang saling berhimpitan
Analisis leverage bertujuan untuk
mengetahui sensitifitas atau peran dari setiap
atribut terhadap pembentukan nilai indeks
keberlanjutan. Analisis leverage dilakukan
dengan melihat perubahan ordinasi ketika atribut
tertentu dihilangkan atau diabaikan dalam analisis
rapsmiletourman. Pendekatan analisis ini dalam
ilmu statistik biasanya disebut dengan
“JackKnife” (Susilo, 2003). Pengaruh setiap atribut
yang dihilangkan dilihat dari perubahan nilai
Root Mean Square (RMS) yaitu pada sumbu X
(skala sustainabilitas). Semakin besar nilai
perubahan RMS semakin besar peran atribut
tersebut dalam pembentukan nilai IBPK-WB.
Atribut yang sensitif dapat dijadikan rujukan
dalam pengambilan kebijakan prioritas.
Hasil analisis Leverage Dimensi
menunjukan bahwa tiga atribut sensitif teratas
dalam pembentuk nilai IBPK-WB pada Pulau
Abang adalah keragaman hayati sumberdaya
pesisir, tingkat ekploitasi sumberdaya pesisir dan
kesesuain tata ruang. Sedankan atribut yang
sensitif untuk Pulau Benan adalah Pencemaran
limbah, kesesuaian tata ruang dan tingkat abrasi
pulau. Indikator yang tidak sensitif
mengindikasikan bahwa atribut tersebut sangat
kecil kontribusinya dalam keberlanjutan
pembangunan pulau kecil untuk pengembangan
pariwisata bahari di kedua pulau.
Berdasarkan hasil analisis Leverage
indikator atau atribut yang paling sensitif
hendaknya mendapatkan perhatian pemerintah
dalam keberlanjutan pembangunan pulau kecil
untuk kepentingan pariwisata bahari. Untuk
dimesi sosial-ekonomi, atribut yang sangat sensitif
diantaranya: peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan potensi pasar untuk Pulau Abang,
dan partiipasi masyarakat dan peran swasta untuk
Pulau Benan.
Selanjutnya hasil analisis laverage untuk
dimensi teknologi-kelembagaan, atribut paling
sensitif pada Pulau Abang adalah campur tangan
pemerintah dalam pembangunan dan pelaksanaan
pengawasan sumberdaya alam, sedangkan atribut
paling sensitif untuk Pulau Benan diantaranya
tingkat kepatuhan masyarakat dan keberadaan
jaringan telekomunikasi sebagai pendukung
keberlanjutan pulau untuk pariwisata bahari.
Kebijakan selanjutnya adalah dengan
menelusuri atribut yang capaian kondisi eksisting,
melalui hasil skoring yang diberikan, jika skornya
saat ini masih rendah maka kebijakan yang harus
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
135
dilakukan adalah melalui peningkatan nilai skor
atribut sensitif tersebut, namun jika skornya
sudah baik maka yang perlu dilakukan adalah
mempertahan kondisi eksisting atribut tersebut.
Hasil skor dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 5. Hasil analisis leverage yang menunjukan peran setiap atribut dalam membetuk nilai indeks
keberlanjutan pada masing-masing dimensi ( Pulau Abang, Pulau Benan)
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
136
IV. PENUTUP
Secara umum status keberlanjutan
pembangunan Pulau Benan dan Pulau Abang
untuk pengembangan pariwisata bahari
dikategorikan cukup berkelanjutan dengan nilai
indeks masing-masing 53,72 dan 50,32 .
Peningkatan status keberlanjutan di Pulau
Benan dan Pulau Abang dapat dilakukan dengan
memperhatikan prioritas kebijakan berdasarkan
atribut yang berperan dalam pembentuk indeks
keberlanjutan. Atribut yang berperan penting
dalam pembentuk nilai IBPK-WB. Setiap dimensi
memiliki atribut sensisitif yang tidak sama
diantara kedua pulau. Berdasarkan status
keberlanjutan dari ketiga dimensi yang ada,
dimensi sosial-ekonomi memiliki kesenjangan
paling tinggi, sehingga perlu mendapatkan
prioritas dalam mengungkit keberlanjutan
pengembangan pariwisata bahari di masa akan
datang.
REFERENSI
Bruce. D, Z. Hoctor, B. Garrod and J. Wilson. 2002. Planning for Marine Ecotourism in the UE Atlantic Area.
META-Project Bristol: University of the Weat England.
Blancas F. J, O. M. Lozano, M. Gonzalez, F. M. Guerrero and R. Caballero. 2011. How to use sustainability
indicators for tourism planning: The case of rural tourism in Andalusia (Spain). J. Sci Tot. Env. 413
28-45.
Bentz, Julia, P. Dearden and H. Calado. 2013. Strategies for marine wildlife tourism in small islands–the
case of the Azores J. coast res. 65 874-879.
Burke. L, K. Reytar, M. Spalding and A. Perry. 2012. Reefs at risk revisited in the Coral Triangle
(Washington, DC USA) World Resources Institute.
BPP-PSPL UNRI 2009 - Studi Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Lokasi Coremap II Kabupaten
Lingga http://coremap.oseanografi.lipi.go.id/downloads/RA-BudiDayaPerikananBATAM.pdf
Christie, P., Lowry, K., White, A. T., Oracion, E. G., Sievanen, L., Pomeroy, R. S., ... & Eisma, R. L. V. (2005).
Key findings from a multidisciplinary examination of integrated coastal management process
sustainability. Ocean & Coastal Management, 48(3-6), 468-483.
COREMAP II Kabupaten Lingga. 2009. Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi KKLD Kabupaten
Lingga. COREMAP II Kabupaten Lingga
Cornelia. P.G. 2014 True cost economics: Ecological footprint. Pro. Eco and Fin 8 550-555.
Dahuri. R. 1998. Pendekatan ekonomi-ekologis pembangunan pulau-pulaukecil berkelanjutan. Prosiding
seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia, Jakarta, 7-10 Desember,
Kerjasama Depdagri-BPPT-CRMP.
Dahuri. R, Rais. Y, Putra S.G, Sitepu M.J. 2001. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita
De. K, M. Nanajkar, S. Mote and B. Ingole Coral. 2020. Damage by recreational diving activities in a Marine
Protected Area of India: Unaccountability leading to ‘tragedy of the not so commons’ J. Mar. Pol.
Bul. 155 111190.
deGroot. J, and S. R. Bush. 2010. The potential for dive tourism led entrepreneurial marine protected areas
in curacao J. Mar. Policy 34 1051–1059.
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
137
Dieter E. H, and G. Solvay 2006. The Strategic Importance of the Straits of Malacca ZEF Working Paper
Series No. 17.
Fauzi A, dan S. Anna. 2002. Evaluasi status keberlanjutan pembangunan perikanan: Aplikasi pendekatan
Rapfish (Studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol.4(3): 43-55.
Fennel. D A. 1999. Ecotourisme: An Introduction (London: Routledge) p 61.
Graham. N.A. J., T. R. McClanahan, M. A. MacNeil, S. K. Wilson, J.E. Cinner, C. Huchery and T. H. Holmes.
2017. Human Disruption of Coral Reef Trophic Structure J. Cur. Bio. 27 (2) 231-236
Gomez. E.D, and H.T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition in Kenchington, R.A. and B. E. T. Hudson (ed.):
Coral Reef Management Hand Book. Jakarta (ID) UNESCO Regional Office for Science and
Technology for South East Asia.
Huang. Y, and V. R. Coelho. 2017. Sustainability performance assessment focusing on coral reef protection
by the tourism industry in the Coral Triangle region, J. Tourism Management 59 510-527.
Kurniawan. R, F. Yulianda, H. A. Susanto. 2016. Pengembangan Wisata Bahari Secara Berkelanjutan Di
Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 8(1) :
367-383.
Koroy. K, F. Yulianda and N. A. Butet. 2017. Pengembangan Ekowisata Bahari Berbasis Sumberdaya pulau-
pulau Kecil Di Pulau Sayafi dan Liwo, Kabupaten Halmahera Tengah. J. Tek. Per. dan Kel. 8 (01)
1-17.
Suganthi. L. 2018. Multi expert and multi criteria evaluation of sectoral investments for sustainable
development: An integrated fuzzy AHP, VIKOR/DEA methodology. Sustainable cities and
society, 43, 144-156.
Susilo S. B. 2005. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang
dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jurnal Maritek. Vol 5.No 2.
Susilo B. S. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang
dan Pulau Pari. Kepulauan Seribu. DKI Jakarta. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Spalding. M, L. Burke, S.A. Wood, J. Ashpole, J. Hutchison and Z. P. Ermgassen. 2017. Mapping the global
value and distribution of coral reef tourism J. Mar. Policy 82 104–113.
Tesfamichael, D. and T.J. Pitcher. 2006. Multidisciplinary evaluation of the sustainability of Red Sea
fisheries using Rapfish. Fisheries Research, (78):277-235
Pitcher T. J., And D. Preishot. 2001. Rapfish : A rapid appraisal technique to evaluate the sustainability
status of fisheries. Fisheries Research, vol.49 (3): 255-270.
Pratomo. A, D. Apdillah, F. Yandri. 2011. Potensi Ekonomi Dan Kelayakan Pengembangan Ekowisata
Bahari Sebagai Mata Pencaharian Alternatif Bagi Masyarakat (Studi Kasus Kab Bintan,
Kepulauan Riau) Prosiding Seminar Nasional Sosial Ekonomi, BRKP Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
JurnalIlmiahagribisnisdanPerikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
138
Putera F. H. A, A. Fahrudin, N. T. M Pratiwi, S. B Susilo. 2013. Kajian Keberlanjutan Pengelolaan Wisata
Pantai di Pantai Pasir Putih Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Jurnal Kepariwisataan Indonesia,
Vol.8 No.3 September: 241-254.
PPSPL UMRAH. 2010. Kajian Pengembangan Ekowisata Bahari Sebagai Mata Pencaharian Alternatif Bagi
Masyarakat di Kabupaten Bintan. Kerja sama Coremap LIPI. 135 hal.
UMRAH-CRITC and COREMAP CTI-LIPI 2016 Monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan
Ekosistem Terkait di Kabupaten Lingga (Tanjungpinang Indonesia).
Yulianda. F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis
Konservasi, Disampaikan pada Seminar Sain pada Departemen MSP, FPIK IPB. September: 85-
110.
Wardani M. P, A. Fahrudin and F. Yulianda 2017 Analysis of successful strategy to develop sustainable
marine ecotourism in Gili Bawean Island, Gresik, East Java IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 89
012036.