implikasi pemanfaatan lahan dan manajemen lalu … · dan efektif sebagaimana konsep compact city....
TRANSCRIPT
IMPLIKASI PEMANFAATAN LAHAN DAN MANAJEMEN LALU LINTAS JALAN
TERHADAP KONSUMSI BBM DI KOTA TEGAL
RINGKASAN TESIS
Oleh :
ANITA SETYANINGSIH L4D005048
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEKNIK PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2006
Abstrak
Jumlah kepemilikan kendaraan bermotor yang makin meningkat dari tahun ke tahun dan tingginya aktivitas pada suatu tata guna lahan merupakan penyebab kemacetan lalu lintas. Transportasi jalan merupakan pengkonsumsi terbesar BBM yaitu 75 % dari konsumsi BBM pada sektor transportasi. Dengan konsumsi BBM yang begitu besar sementara cadangan minyak bumi semakin tipis, tentunya perlu langkah–langkah penghematan. Adanya kemacetan lalu lintas di beberapa ruas jalan di Kota Tegal ditunjukkan dengan nilai derajat kejenuhan (DS) > 0,75 berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan
Dari permasalahan di atas dapat dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini yaitu: menganalisis dampak/implikasi pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas terhadap konsumsi BBM di kota Tegal dalam rangka mencari konsep sistem transportasi jalan yang hemat energi. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: mengidentifikasi penyebab kemacetan lalulintas di Kota Tegal, menganalisis penggunaan lahan di sekitar lokasi kemacetan yang menyebabkan bangkitan/tarikan pergerakan, menganalisis manajemen lalu lintas untuk mengetahui dampak/pengaruh terhadap kinerja/kapasitas jalan, melakukan perhitungan konsumsi BBM pada ruas-ruas jalan yang mewakili jenis pemanfaatan lahan yang berbeda–beda.
Berdasarkan hasil analisis terdapat dua ruas jalan yang mempunyai DS > 0,75 yaitu Jl. Werkudoro (DS = 0,79) dan Jl. Kapten Ismail (DS=0,81). Penanganan masalah dengan manajemen lalu lintas dilakukan terhadap ruas jalan yang mempunyai DS > 0,6 yaitu Jl. Martoloyo, Jl. M. Sutoyo, Jl. Werkudoro dan Jl. Kapten Ismail. Dengan penerapan manajemen lalu lintas terjadi selisih konsumsi BBM pada keempat ruas jalan tersebut yaitu sebesar 352,2 liter / hari atau setara dengan Rp 1.584.900,-
Dihubungkan dengan konsep sistem transportasi yang hemat energi ada 2 aspek yang perlu dikaji yaitu manajemen lalu lintas dan tata guna lahan. Berdasarkan kondisi existing pelaksanaan manajemen lalu lintas belum terpadu dengan rencana tata guna lahan. Dengan manajemen lalu lintas yang baik, kapasitas jalan dapat ditingkatkan sehingga derajat kejenuhan menurun. Selain itu perlu adanya rencana tata guna lahan yang matang sehingga diharapkan interaksi pergerakan penduduk dapat berjalan efisien dan efektif sebagaimana konsep compact city. Kata kunci : Manajemen lalu lintas, tata guna lahan, compact city
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Transportasi menurut Kodoatie (2005:259), dapat didefinisikan sebagai
suatu kegiatan untuk memindahkan sesuatu (orang atau barang) dari suatu tempat
ke tempat lain yang terpisah secara spasial, baik dengan atau tanpa sarana/alat
(udara, sungai, laut) maupun man made (jalan raya, jalan rel, pipa), obyek yang
diangkut dapat berupa orang maupun barang, alat/sarana angkutan (kendaraan,
pesawat, kapal, kereta, pipa), dengan sistem pengaturan dan kendali tertentu
(manajemen lalu lintas, sistem operasi, maupun prosedur pengangkutan).
Menurut Ross (1988:371), Hubungan antara transportasi dan tata guna
lahan sangatlah penting. Bermacam–macam kebutuhan akan transportasi,
sebaliknya bentuk susunan sistem transportasi mempengaruhi pola pengembangan
lahan. Lingkungan perkotaan, sistem transportasi dan pola tata guna lahan saling
berpengaruh, dengan berubahnya salah satu dari bagian tersebut akan
menghasilkan perubahan pada bagian yang lain. Pemahaman yang baik mengenai
pengaruh tersebut akan memudahkan perencana dalam merencanakan bentuk dan
lokasi transportasi masa mendatang serta kebutuhan tata guna lahan, dengan
menganalisis informasi tentang struktur bangunan, tata ruang, tata guna lahan dan
pola perjalanan.
Makin tinggi tingkat aktivitas suatu tata guna lahan, makin tinggi pula
tingkat kemampuannya dalam menarik lalulintas. Contohnya, pasar swalayan
2
menarik arus pergerakan lalulintas lebih banyak dibandingkan dengan rumah sakit
untuk luas lahan yang sama karena aktivitas di pasar swalayan lebih tinggi per
satuan luas lahan dibandingkan dengan di rumah sakit (Tamin, 2000:43).
Dalam melakukan aktivitas, kebanyakan orang menggunakan alat
transportasi seperti bus, truk, sedan, dan lain–lain yang dalam pengoperasiannya
memerlukan bahan bakar jenis bensin/premium maupun solar. Pertumbuhan
populasi kendaraan yang tinggi yaitu mencapai 3–4% pertahun untuk mobil dan
lebih dari 4% untuk sepeda motor (Departemen Perhubungan) menyebabkan
peningkatan konsumsi BBM. Bahkan di Jakarta pertumbuhan kendaraan bermotor
mencapai 11% pertahun, sedangkan panjang jalan hanya bertambah 1%.
Sektor transportasi merupakan sektor yang paling besar menggunakan
BBM, menurut Departemen Perhubungan (2005) dalam 10 tahun pemakaian
BBM akan meningkat dua kali lipat. Dilihat dari sisi demand (permintaan),
diperkirakan pemakaian energi untuk transportasi jalan mencapai 88% (Warta
Pertamina dalam Dephub, 2005). Tingginya konsumsi BBM tersebut disebabkan
karena meningkatnya aktivitas ekonomi yang berdampak pada meningkatnya
aktivitas pergerakan penduduk dan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor.
Harga minyak bumi juga cenderung naik, pada Maret 2005 mencapai
US$ 56,96 perbarel di bursa komoditas berjangka (New York Mercantile
Exchange), bahkan pada 7 Juli 2005 pasca serangan bom di London mencapai
US$ 62 per barel (Kompas, 2 Agustus 2005). Dengan tingginya harga minyak
bumi akhirnya pada 1 Oktober 2005, Pemerintah menaikkan harga BBM. Harga
minyak bumi saat ini mencapai US$ 75 perbarrel (Suara Merdeka, 25 April 2006).
3
Tingginya harga minyak bumi dan semakin menipisnya cadangan
minyak bumi harus segera diantisipasi dari sekarang. Cadangan minyak bumi
Indonesia akan habis sekitar 18 tahun ke depan, gas 60 tahun, dan batubara 150
tahun ke depan (detik.com dalam Budi, 28 September 2005), mestinya ada
langkah–langkah nyata dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kota dalam
rangka mengurangi konsumsi energi, atau mulai memikirkan penggunaan bahan
bakar alternatif.
Untuk mengurangi penggunaan BBM, peranan manajemen lalu lintas
sangat penting. Tujuan pokok manajemen lalu lintas adalah memaksimumkan
pemakaian sistem jalan yang ada dan meningkatkan keamanan jalan, tanpa
merusak kualitas lingkungan (Hobbs, 1995). Dengan manajemen lalu lintas,
kapasitas jalan dapat ditingkatkan sehingga kecepatan rencana/teoritis dapat
dipertahankan dan arus lalu lintas menjadi lancar. Manajemen lalu lintas dapat
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain (Tamin, 2000 : 523-526):
• Perbaikan sistem lampu lalu lintas dan sistem jaringan jalan
Perbaikan sistem lampu lalu lintas bertujuan untuk mengurangi tundaan dan
kemacetan, sedangkan perbaikan sistem jaringan jalan dilaksanakan untuk
menunjang Sistem Angkutan Umum Perkotaan Terpadu.
• Kebijakan perparkiran
Kebijakan perparkiran dilakukan untuk meningkatkan kapasitas jalan yang
sudah ada. Penggunaan badan jalan sebagai tempat parkir jelas memperkecil
kapasitas jalan tersebut karena sebagian besar lebar jalan digunakan sebagai
tempat parkir. Pengelolaan parkir yang tidak baik cenderung merupakan
4
penyebab kemacetan karena antrian kendaraan yang menunggu tempat yang
kosong justru menghambat pergerakan arus lalu lintas.
• Prioritas angkutan umum.
Angkutan umum menggunakan prasarana secara lebih efisien dibandingkan
dengan kendaraan pribadi, terutama pada waktu sibuk. Tujuan pemberian
prioritas angkutan umum yang dalam hal ini adalah bus, bertujuan untuk
mengurangi waktu perjalanan, dan membuat bus lebih menarik untuk
penumpang. Untuk merangsang masyarakat menggunakan angkutan umum,
hal utama yang perlu diperhatikan adalah pejalan kaki. Perjalanan dengan
angkutan umum selalu diawali dan diakhiri dengan berjalan kaki. Jika fasilitas
pejalan kaki tidak disediakan dengan baik, masyarakat tidak akan pernah
menggunakan angkutan umum. Hal yang perlu diperhatikan adalah masalah
fasilitas, kenyamanan, dan keselamatan. Perlu selalu diingat ‘pejalan kaki
bukan warga negara kelas dua’.
Penerapan manajemen lalu lintas yang baik dan tata guna lahan yang
tepat akan akan memperlancar arus lalu lintas dan mengurangi jumlah perjalanan
penduduk suatu kota. Kedua hal tersebut dapat mengurangi konsumsi BBM.
Faktor–faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar mencakup jarak
tempuh, geometrik jalan (alinyemen vertikal dan alinyemen horisontal),
kecepatan, perubahan kecepatan (termasuk ‘stop’), kekasaran permukaan jalan
dan faktor–faktor lain yang berpengaruh pada kecepatan seperti: lebar lajur,
jumlah lajur, lebar bahu, dan kondisi lalu lintas. Ada hubungan yang mendasar
antara konsumsi bahan bakar dan kecepatan, di luar (lepas) dari pengaruh
5
geometrik jalan, kekasaran permukaan, dan kondisi lalu lintas. Konsumsi bahan
bakar seperti itu disebut sebagai konsumsi bahan bakar dasar (basic fuel) yang
didefinisikan sebagai konsumsi bahan bakar pada kondisi lalu lintas bebas (free
flow), kelandaian yang relatif datar (0%), dan kekasaran permukaan relatif tidak
mempengaruhi konsumsi bahan bakar (LAPI-ITB).
Walaupun sudah pernah diadakan studi mengenai manajemen lalu lintas,
permasalahan lalu lintas di kota Tegal belum dapat diatasi secara terpadu. Selain
itu terdapat jenis pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata guna
lahan sehingga berdampak terhadap arus lalu lintas di sekitar tata guna lahan
tersebut.
Sebagai kota yang cukup dinamis dalam perkembangannya, Kota Tegal
merupakan kota yang kepadatan penduduknya tinggi. Jumlah penduduk pada
tahun 2005 adalah 245.324 jiwa dan luas wilayah 39,68 km2, berarti kepadatan
penduduk Kota Tegal 6.183 jiwa/km2. Kecamatan Tegal Timur merupakan daerah
yang berkepadatan paling tinggi yaitu sebesar 11.512 jiwa/km2 dengan jumlah
penduduk pada tahun 2005 sebesar 73.216 jiwa dan luas wilayah 6,36 km2.
Walaupun merupakan kota kecil tetapi penduduknya cukup padat, yaitu nomor
dua di Jawa Tengah setelah kota Surakarta (Executive Summary Kota Tegal dalam
Angka Tahun 2005). Hal ini tentu saja merupakan potensi masalah bagi
Pemerintah Kota Tegal kalau tidak diantisipasi dari sekarang.
Karena terletak di jalur Pantura, Kota Tegal dilalui oleh banyak
kendaraan berat maupun pribadi yang menuju maupun dari Jakarta. Lalu lintas
antar kota maupun propinsi, pada saat ini melewati jalan arteri sekunder karena
6
Jalan Lingkar Utara sebagai jalan arteri primer belum selesai pembangunannya.
Jadi di jalan arteri sekunder terjadi percampuran antara lalu lintas dalam kota dan
luar kota yang berdampak pada kemacetan dan rawan kecelakaan. Kepadatan
penduduk yang cukup tinggi serta ditunjang aktivitas ekonomi yang tinggi pula,
akan memberikan angka yang tinggi pada jumlah perjalanan yang dilakukan oleh
penduduknya. Semakin tinggi jumlah perjalanan yang dilakukan semakin tinggi
konsumsi bahan bakar yang digunakan.
Kemacetan lalu lintas terjadi di beberapa ruas jalan di kota Tegal antara
lain di Jl. Werkudoro, Jl. Sultan Agung, Jl. Kartini dan Jl. Pancasila yang terletak
di dalam kota. Kemacetan pada ruas jalan Werkudoro terjadi karena di pertigaan
jalan dekat Rumah Sakit Kardinah tersebut terlalu sempit yaitu dengan lebar 6 m
sementara begitu banyak pengguna jalan yang melaluinya. Hal ini terjadi karena
banyak pegawai / pekerja dan anak sekolah yang bertempat tinggal di Mejasem
yang masuk wilayah Kabupaten Tegal bersekolah dan bekerja di Kota Tegal, jadi
di sini terjadi migrasi walaupun tidak menetap. Kemacetan lalu lintas terjadi pada
jam berangkat sekolah dan jam berangkat bekerja, yaitu antara jam 6.45–jam 7.30.
Kemacetan pada ruas jalan Pancasila terjadi karena manajemen lalu lintas yang
kurang efektif. Sebagai kawasan yang ramai, dimana terdapat pasar tradisional,
taman bermain, kampus dan stasiun kereta api, kondisi jalan Pancasila diperburuk
dengan tidak disediakannya tempat parkir yang memadai, sehingga kendaraan
parkir di badan jalan. Untuk Jl. Kartini kemacetan terutama terjadi pada jam–jam
masuk dan pulang sekolah, karena di sekitarnya terdapat sekolah. Menurut
rencana tata guna lahan daerah tersebut merupakan kawasan pendidikan.
7
Sedangkan untuk Jl. Sultan Agung kemacetan terjadi karena di jalan tersebut ada
pintu perlintasan kereta api.
Kepadatan lalu lintas di Kota Tegal juga ditunjang oleh tingginya
aktivitas perdagangan dan industri. Sektor perdagangan merupakan sektor
penyumbang PDRB terbesar pada tahun 2005 yaitu sebesar 24,13% disusul
kemudian sektor industri sebesar 21,56% dari total PDRB kota Tegal.
Dari pemaparan di atas, maka perlu diadakan suatu studi mengenai
manajemen lalu lintas dihubungkan dengan jenis dan pemanfaatan lahan terhadap
konsumsi bahan bakar pada Transportasi jalan. Adanya alternatif–alternatif
manajemen lalu lintas yang dapat menghemat konsumsi bahan bakar dihubungkan
dengan kebijakan tata guna lahan diharapkan dapat memberikan masukan guna
perencanaan tata guna lahan dan sistem transportasi pada masa yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah
Potensi tata guna lahan adalah satu ukuran dari skala aktivitas
sosioekonomi yang terjadi pada suatu lahan tertentu. Ciri khas dari tata guna lahan
adalah kemampuan atau potensinya untuk “membangkitkan” lalu lintas. Dengan
demikian, sudah sewajarnya kita menghubungkan potensi tata guna lahan dari
sepetak lahan yang memiliki aktivitas tertentu, untuk membangkitkan sejumlah
tertentu arus lalu lintas per hari (Miro, 2005). Dengan adanya potensi tersebut,
perlu adanya kebijakan tata guna lahan yang terintegrasi dengan perencanaan
sistem transportasi sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan perjalanan yang
panjang.
8
Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan
komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda:
- jumlah arus lalu lintas;
- jenis lalu lintas;
- lalulintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalulintas pada pagi
dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalu lintas di sepanjang
hari) (Tamin, 2000).
Untuk memberikan gambaran mengenai kepadatan arus lalu lintas dan
kapasitas beberapa ruas jalan di kota Tegal dapat dilihat pada tabel berikut ini:
TABEL I.1 DERAJAT KEJENUHAN (DS) JALAN DI KOTA TEGAL
No. Nama Ruas Jalan Fungsi Jalan Panjang (m)
Lebar (m) DS
1 Martoloyo Arteri primer 1.400 14 0,642 Perintis Kemerdekaan Arteri sekunder 800 8 0,663 Gajah Mada Arteri primer 1.220 14 0,564 Kapten Sudibyo Arteri sekunder 1.550 7 0,715 Mayjend Sutoyo Arteri primer 483 14 0,706 Diponegoro Arteri sekunder 390 18 0,857 Werkudoro Arteri sekunder 1.260 6 0,858 Ahmad Yani Arteri Sekunder 800 17 0,709 Setiabudhi Kolektor primer 450 9 0,8610 Letjen. Suprapto Kolektor primer 280 10 0,8611 Kapten Ismail Kolektor primer 1.000 7 0,8712 Cokroaminoto Kolektor primer 320 10 0,8713 Pancasila Kolektor primer 400 8 0,8914 Kartini Kolektor primer 510 8 0,86
Sumber: LPM Diklat Transjaya (2002)
Yang dimaksud DS atau disebut juga derajat kejenuhan di dalam MKJI (Manual
Kapasitas Jalan Indonesia) adalah rasio arus lalu lintas (smp/jam) terhadap
kapasitas (smp/jam) pada bagian jalan tertentu. DS yang direkomendasikan oleh
MKJI 1997 adalah sebesar 0,75 pada jam puncak rencana. Berdasarkan data di
9
atas, ruas–ruas jalan yang memiliki DS> 0,75 adalah: Serayu, Setiabudhi, Letjend.
Suprapto, Kapt. Ismail, Cokroaminoto, Diponegoro, Pancasila, Kartini, Abimanyu
dan Werkudoro. Bahkan menurut versi Bina Marga tahun 2004 pada studi
manajemen lalu lintas Propinsi Jawa Tengah, beberapa ruas jalan di Kota Tegal
mempunyai DS > 1 yaitu: Jl. Kol. Sugiono (1,06), Jl. Gajah Mada (1.31), dan Jl.
Martoloyo (1,00). Di ketiga ruas jalan tersebut sering terjadi kemacetan dan rawan
kecelakaan. Selain nilai DS > 1, kemacetan ditunjang oleh tata guna lahan di
sekitar ruas jalan tersebut yang mempunyai potensi tinggi untuk membangkitkan
lalu lintas yaitu adanya pasar swalayan “Rita Mall” di Jl. Kol. Sugiono, adanya
sekolah “Al Irsyad” di Jl. Gajah Mada, dan adanya pasar di Jl. Martoloyo.
Kemacetan lalu lintas mengakibatkan kerugian yang besar dari segi biaya
(pemborosan BBM), nilai waktu (tundaan), lingkungan (polusi udara dan suara)
dan berkurangnya kenyamanan dalam berkendaraan. Seandainya tidak ada
kemacetan, betapa besar biaya yang dapat dihemat. Selain alasan di atas,
tingginya harga minyak bumi dan semakin menipisnya cadangan minyak bumi,
merupakan alasan untuk melakukan penghematan BBM di sektor Transportasi
jalan. Karena sektor Transportasi jalan merupakan sektor yang paling banyak
mengkonsumsi BBM. Hal ini juga untuk mendukung gerakan hemat energi yang
dicanangkan oleh Presiden.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan pertanyaan penelitian (research
question) sebagai berikut: Bagaimana dampak/implikasi pemanfaatan lahan dan
manajemen lalu lintas jalan terhadap konsumsi BBM di Kota Tegal?
10
1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: Menganalisis
dampak/implikasi pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas terhadap
konsumsi BBM di kota Tegal dalam rangka mencari konsep sistem transportasi
jalan yang hemat energi. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah:
- Mengidentifikasi penyebab kemacetan lalulintas di Kota Tegal.
- Menganalisis penggunaan lahan di sekitar lokasi kemacetan yang
menyebabkan bangkitan/tarikan pergerakan.
- Menganalisis manajemen lalu lintas untuk mengetahui dampak/pengaruh
terhadap kinerja/kapasitas jalan.
- Melakukan perhitungan konsumsi BBM pada ruas–ruas jalan yang mewakili
jenis pemanfaatan lahan yang berbeda–beda.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian mencakup ruang lingkup substansi dan ruang
lingkup spasial. Ruang lingkup substansi membahas batasan materi penelitian,
sedangkan ruang lingkup spasial membahas cakupan/batasan wilayah penelitian.
1.4.1 Ruang Lingkup Substansi
Ruang lingkup substansi pada penelitian ini dibatasi pada materi–materi
berikut ini:
- Jumlah arus lalu lintas dan kapasitas jalan pada ruas–ruas jalan yang diteliti,
sehingga diketahui nilai derajat kejenuhan masing–masing ruas jalan. Selain
11
itu dapat pula diketahui tingkat hambatan samping dan jumlah kendaraan yang
melalui ruas jalan tersebut.
- Jenis pemanfaatan lahan di sekitar ruas jalan dengan melihat potensi tata guna
lahan existing untuk membangkitkan pergerakan dan seberapa besar
kontribusinya terhadap arus lalu lintas.
- Penerapan manajemen lalu lintas untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
kapasitas jalan.
- Pengaruh jenis pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas terhadap
konsumsi BBM.
1.4.2 Ruang Lingkup Spasial
Untuk ruang lingkup spasial dibatasi pada ruas–ruas jalan yang
mengalami kemacetan dan berpotensi untuk macet berdasarkan pengamatan
lapangan dan penelitian yang pernah diadakan sebelumnya, yaitu ruas jalan yang
mempunyai derajat kejenuhan > 0,70 berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan oleh LPM Diklat Transjaya pada Studi Manajemen Lalu Lintas di Kota
Tegal (2002) dan PT. Ika Adya Perkasa pada Manajemen Lalu Lintas Propinsi
Jawa Tengah (2004).
Jenis pemanfaatan lahan di sekitar ruas jalan yang diteliti mewakili setiap
jenis pemanfaatan lahan yang berbeda–beda, yaitu: permukiman, perdagangan dan
jasa, industri, serta fasilitas umum/ruang publik atau institusi pemerintah.
Walaupun jenis pemanfaatan lahan tersebut kebanyakan adalah jenis pemanfaatan
lahan campuran tetapi mewakili setiap jenis pemanfaatan lahan seperti di atas,
karena sulit untuk menemukan jenis pemanfaatan lahan khusus untuk satu jenis
12
saja. Jenis pemanfaatan lahan pada Jl. Martoloyo adalah: perdagangan, jasa,
industri, sekolah dan permukiman; Jl. Mayjend Sutoyo: perdagangan, jasa,
perkantoran, sekolah dan permukiman; Jl. Ahmad Yani: perdagangan, jasa dan
permukiman; Jl. Werkudoro: perdagangan, jasa dan permukiman; Jl. Pancasila:
ruang publik, perdagangan, jasa dan permukiman; dan Jl. Kapten Ismail: sekolah,
perdagangan, jasa, institusi pemerintah dan permukiman.
Selain itu ruas jalan yang diteliti juga mewakili fungsi jalan yang
berbeda–beda, yaitu arteri primer, arteri sekunder dan kolektor primer. Masing-
masing fungsi jalan tersebut diwakili 2 ruas jalan yaitu sebagai berikut: Jl.
Martoloyo dan Jl. Mayjend. Sutoyo mewakili jalan arteri primer, Jl. Ahmad Yani
dan Jl. Werkudoro mewakili jalan arteri sekunder, sedangkan jalan kolektor
primer diwakili oleh Jl. Pancasila dan Jl. Kapten Ismail.
1.5 Kerangka Pemikiran
Pola pemanfaatan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal
mencakup rencana tata guna lahan yang mengatur rencana jenis–jenis
pemanfaatan dalam jangka waktu sepuluh tahun yaitu dari tahun 2004–2014.
Dalam kenyataan di lapangan terdapat perbedaan antara jenis pemanfaatan lahan
existing dengan rencana tata guna lahan. Hal ini disebabkan karena
pengaturan/pengendalian tata guna lahan merupakan pekerjaan yang sulit karena
kebanyakan lahan yang ada di Kota Tegal merupakan milik pribadi/swasta.
Masing–masing jenis pemanfaatan lahan menyebabkan bangkitan dan
tarikan pergerakan, terutama untuk jenis perdagangan dan jasa. Bangkitan dan
tarikan pergerakan memberikan kontribusi terhadap jumlah arus lalu lintas.
13
Semakin besar jumlah arus lalu lintas semakin besar konsumsi BBM. Selain itu
penerapan manajemen lalu lintas akan berpengaruh terhadap kapasitas suatu ruas
jalan. Penerapan manajemen lalu lintas yang buruk akan mengakibatkan
berkurangnya kapasitas jalan sehingga akan terjadi penurunan kecepatan pada
kendaraan. Penurunan kecepatan mengakibatkan konsumsi BBM meningkat.
Jumlah arus lalu lintas yang besar sementara kapasitas jalan berkurang akan
mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang berdampak pada meningkatnya
konsumsi BBM.
Berdasarkan kajian teori yang ada, untuk mengetahui dampak
pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas terhadap konsumsi BBM perlu
diadakan analisis kemacetan lalu lintas untuk mengetahui penyebab kemacetan
dan karakteristik lalu lintas, analisis bangkitan/tarikan pergerakan dihubungkan
dengan jenis pemanfaatan lahan, analisis manajemen lalu lintas jalan untuk
mengetahui pengaruh penerapan manajemen lalu lintas terhadap kapasitas jalan
serta analisis konsumsi BBM untuk mengetahui seberapa besar pemborosan BBM
akibat jenis pemanfaatan lahan dan penerapan manajemen lalu lintas.
Dari output masing–masing analisis di atas diadakan analisis secara
keseluruhan untuk mengetahui dampak pemanfaatan lahan dan manajemen lalu
lintas jalan terhadap konsumsi BBM di Kota Tegal dalam rangka mencari konsep
transportasi jalan yang hemat energi.
Dari uraian di atas dapat digambarkan secara sederhana kerangka pikir
penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 1.1.
14
GAMBAR 1.1. KERANGKA PEMIKIRAN
Bagaimana implikasi pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas jalan terhadap konsumsi BBM ?
Konsep sistem transportasi jalan yang hemat energi
Kemacetan Lalu lintas & konsumsi BBM naik
Pola Pemanfaatan Ruang/ RTRW Kota Tegal
Tata Guna Lahan existing
Rencana Tata Guna Lahan
-Intensitas dan jenis pemanfaatan lahan mempenga-ruhi jumlah Bangkitan/Tarikan Lalu Lintas - Manajemen lalu lintas mempengaruhi kapasitas jalan j l
Analisis kon-sumsi BBM
Analisis Bangkitan / Tarikan pergerakan
Kajian Teori
Analisis kema-cetan lalu lintas
Kesimpulan & Rekomendasi
Analisis Mana-jemen Lalu lintas
Analisis Implikasi Pemanfaatan Lahan dan Manajemen Lalu Lintas Jalan Terhadap Konsumsi BBM
15
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini bersifat
deskriptif dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu secara kualitatif dan
kuantitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta–fakta, sifat–sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1988:63).
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data yang terukur
(numerik). Dalam penelitian ini pendekatan kuantitatif digunakan untuk analisis
kemacetan lalu lintas, konsumsi Bahan Bakar & bangkitan/tarikan pergerakan.
Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk analisis manajemen lalu lintas
dan gabungan keempat analisis di atas untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan
lahan dan manajemen lalu lintas jalan terhadap konsumsi BBM.
1.6.2 Metode Pelaksanaan Penelitian
1.6.2.1 Kebutuhan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan
data primer. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi antara lain:
- Data geometrik jalan
- Jarak/waktu tempuh
- Data OD (Origin–Destination/Asal–Tujuan)
16
- Peta tata guna lahan
- Peta jaringan jalan
- Peta administrasi kota Tegal
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber asli.
Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan
penelitian (research question). Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini,
antara lain:
- Jumlah arus lalu lintas
- Kapasitas Jalan
- Kecepatan kendaraan
Data primer akan diperoleh dengan melaksanakan survey di ruas–ruas jalan
sampel yang mewakili karakteristik lalu lintas yang berbeda-beda berdasarkan
pemanfaatan lahan di kiri dan kanan ruas jalan.
1.6.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, data primer diperoleh dari hasil survei di lapangan
dengan menghitung volume lalu lintas dan waktu tempuh kendaraan pada ruas-
ruas jalan sampel. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui berbagai instansi
terkait (DPU, Bappeda, Dinas Perhubungan dan Pariwisata).
Survei rencananya akan dilaksanakan pada hari Selasa, Rabu dan Sabtu,
yaitu pada jam puncak volume lalu lintas. Penghitungan dan pengamatan volume
lalu lintas dilakukan selama 3 jam. Penentuan hari survei tergantung pada jenis
pemanfaatan lahan/tata guna lahan existing. Misalnya untuk pemanfaatan lahan
yang berupa perkantoran, sekolah maupun permukiman survei akan dilaksanakan
17
pada hari kerja, sedangkan untuk pemanfaatan lahan yang berupa pusat
perbelanjaan survei akan dilaksanakan pada hari libur. Selasa dan Rabu mewakili
hari kerja, Sabtu mewakili hari libur. Penentuan jam puncak berdasarkan
pengamatan langsung maupun wawancara dengan Polisi Lalu lintas di sekitar
lokasi survei. Survei akan dilakukan selama satu bulan, yaitu pada bulan Agustus
2006, yang meliputi pengumpulan data primer dan sekunder serta pengolahan
data.
1.6.2.3 Penentuan Sampel
Menurut Mantra dan Kasto dalam Singarimbun (1995:149) dalam suatu
penelitian yang menggunakan metode survei, tidak selalu perlu untuk meneliti
semua individu dalam populasi, karena di samping memakan biaya yang sangat
besar juga membutuhkan waktu yang lama. Ruas jalan dalam penelitian ini
dianggap sebagai populasi. Jumlah ruas jalan di kota Tegal ada 337 ruas (DPU
Kota Tegal, 2005), terdiri dari: jalan arteri primer ada 7 ruas, jalan arteri sekunder
ada 19 ruas, jalan kolektor primer ada 21 ruas dan sisanya merupakan jalan
kolektor sekunder serta jalan lokal.
Banyaknya ruas jalan yang ada tidak mungkin untuk diteliti seluruhnya
karena keterbatasan waktu dan biaya. Untuk itu perlu diadakan penentuan sampel.
Karena penelitian ini ditekankan untuk meneliti kondisi existing secermat
mungkin sehingga dapat menghasilkan analisis yang tepat mengenai hubungan
antara pemanfaatan lahan, manajemen lalu lintas dan konsumsi BBM, sampel
yang diambil merupakan sampel yang mewakili karakteristik lalu lintas yang
berbeda-beda berdasarkan pemanfaatan lahan di kiri dan kanan ruas jalan.
18
Dengan pengambilan sampel yang mewakili karakteristik lalu lintas yang
berbeda–beda diharapkan penelitian akan lebih terfokus.
Sampel yang diambil mewakili ruas jalan arteri primer, arteri sekunder
dan kolektor primer, yang mempunyai derajat kejenuhan > 0,70 berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan. Untuk mewakili jalan arteri primer ditentukan 2
sampel, yaitu: Jl. Martoloyo dan Jl. Mayjend Sutoyo. Untuk mewakili jalan arteri
sekunder ditentukan 2 sampel yaitu: Jl. A. Yani dan Jl. Werkudoro. Untuk
mewakili jalan kolektor primer ditentukan 2 sampel yaitu: Jl. Pancasila dan Jl.
Kapten Ismail.
1.6.2.4 Teknik Analisis
A. Analisis Kemacetan Lalu Lintas
Analisis kemacetan lalu lintas dilakukan melalui analisis derajat kejenuhan
jalan, hambatan samping dan jumlah kendaraan. Derajat kejenuhan jalan
adalah perbandingan antara jumlah arus lalu lintas (smp/jam) terhadap
kapasitas jalan yang ada (smp/jam) pada jam sibuk. Arus lalu lintas (Q) adalah
jumlah kendaraan bermotor yang melalui titik jalan per satuan waktu,
dinyatakan dalam kend/jam (Q kend), smp/jam (Q smp) atau LHRT/ Lalu
lintas harian rata–rata tahunan (Q LHRT) (MKJI, 1997:5–11). Sedangkan
kapasitas (C) adalah arus lalu lintas (stabil) maksimum yang dapat
dipertahankan pada kondisi tertentu (geometri, distribusi arah dan komposisi
lalu lintas, faktor lingkungan) (MKJI, 1997:5-8)
1. Survei jumlah arus lalu lintas
19
Pengamatan dilakukan selama jam puncak, sehingga data yang diperoleh
dapat dianggap sebagai jumlah arus lalu lintas maksimum yang mewakili
untuk perhitungan.
2. Survei kapasitas jalan
Kapasitas jalan merupakan ruang lintasan yang dilalui oleh kendaraan
yang besarnya tergantung pada banyak faktor, diantaranya lebar efektif
yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan.
3. Survei hambatan samping
Hambatan samping terutama yang berpengaruh pada kapasitas dan kinerja
jalan perkotaan adalah: pejalan kaki; angkutan umum dan kendaraan
masuk dan keluar dari lahan di samping jalan (MKJI, 1997:5-7).
B. Analisis Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Dihubungkan dengan Jenis
Pemanfaatan Lahan
Analisis bangkitan dan tarikan pergerakan dilakukan untuk mengetahui jumlah
bangkitan dan tarikan pergerakan yang disebabkan oleh jenis pemanfaatan
lahan di sekitar ruas–ruas jalan yang diteliti. Pada tahap ini dilakukan
perhitungan jumlah bangkitan dan tarikan pergerakan dihubungkan dengan
jenis pemanfaatan lahan existing kemudian dianalisis dampaknya terhadap
arus lalu lintas.
Menurut Godschalk (1988) dalam Kaiser (1995:207), klasifikasi tata guna
lahan/land use untuk daerah perkotaan terdiri dari: residential (permukiman);
commercial and service (perdagangan dan jasa); industrial (industri);
transportation, communications, and utilities (Transportasi, komunikasi dan
20
prasarana); dan Public or institusional (fasilitas umum/ruang publik atau
institusi pemerintah).
Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah
pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah
pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. Pergerakan
lalulintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan
lalu lintas. Bangkitan lalulintas ini mencakup:
- Lalulintas yang meninggalkan suatu lokasi
- Lalu lintas yang menuju lokasi
Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalulintas berupa jumlah
kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya
kendaraan/jam. Kita dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau
kendaraan yang masuk atau keluar dari suatu luas tanah tertentu dalam satu
hari (atau satu jam) untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan.
Bangkitan dan tarikan lalulintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna
lahan:
- jenis tata guna lahan dan
- jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.
Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan komersial)
mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda:
- jumlah arus lalulintas
- jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil)
21
- lalu lintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalulintas pada
pagi dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalulintas di
sepanjang hari) (Tamin, 2000:40-41).
Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan dapat
dilihat pada tabel II.1.
Untuk menghitung bangkitan lalu lintas, terlebih dahulu dihitung luas lantai
masing–masing bangunan kemudian dikelompokkan menurut jenis
pemanfaatan lahannya, misalnya untuk perkantoran, hotel, perdagangan, dan
lain–lain. Luas pemanfaatan lahan kemudian dikalikan dengan tingkat
bangkitan lalu lintas berdasarkan hasil kajian BNI City, Pondok Indah Mal,
dan Danayasa City seperti pada tabel II.2 – II.4.
Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi
juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah,
semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang dihasilkannya. Salah satu
ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah kepadatannya.
Walaupun arus lalulintas terbesar yang dibangkitkan berasal dari daerah
permukiman di luar kota, bangkitan lalulintasnya terkecil karena intensitas
aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah.
Karena bangkitan lalulintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan,
hubungan antara bangkitan lalulintas dan kepadatan permukiman menjadi
tidak linear (Tamin, 2000).
22
C. Analisis Manajemen Lalu Lintas
Yang dimaksud analisis manajemen lalu lintas jalan di sini adalah
menganalisis jenis penerapan manajemen lalu lintas jalan untuk meningkatkan
kapasitas jalan sehingga arus lalu lintas menjadi lancar yang ditunjukkan
dengan menurunnya nilai derajat kejenuhan. Prinsip manajemen lalu lintas
ditekankan pada pemanfaatan fasilitas ruas jalan yang ada (Tamin, 2005:549),
seperti:
- pemanfaatan lebar jalan secara efektif
- kelengkapan marka dan rambu jalan yang memadai serta seragam
sehingga ruas jalan dapat dimanfaatkan secara optimal baik dari segi
kapasitas maupun keamanan lalulintas yang meliputi sistem satu arah,
pengendalian parkir, pengaturan lokasi rambu berbalik arah, pengendalian
kaki lima, pengaturan belok, serta kelengkapan marka dan rambu jalan.
Tujuan pokok manajemen lalu lintas adalah memaksimumkan pemakaian
sistem jalan yang ada dan meningkatkan keamanan jalan, tanpa merusak
lingkungan (Hobbs, 1995:269).
Beberapa studi simulasi dan pengukuran di jalan–jalan menunjukkan
pentingnya langkah–langkah manajemen lalu lintas dalam hal konsumsi bahan
bakar. Semakin berkurang kebisingan karena percepatan kendaraan, semakin
baik efisiensi kendaraan, yang mengakibatkan penghematan bahan bakar dan
polusi (Hobbs, 1995:282).
23
Hasil dari analisis manajemen lalu lintas adalah seberapa besar pengaruh
manajemen lalu lintas terhadap kapasitas jalan yang berpengaruh terhadap
konsumsi BBM.
D. Analisis Konsumsi Bahan Bakar
Analisis konsumsi bahan bakar dilakukan dengan membandingkan konsumsi
bahan bakar pada waktu lalu lintas macet dengan konsumsi bahan bakar pada
waktu tidak terjadi kemacetan lalu lintas setelah diadakan manajemen lalu
lintas.
Faktor–faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar mencakup jarak
tempuh, geometrik jalan, kecepatan, perubahan kecepatan, kekasaran
permukaan jalan dan faktor–faktor lain yang berpengaruh pada kecepatan
seperti: lebar lajur, jumlah lajur, lebar bahu, dan kondisi lalu lintas.
Diperkirakan ada hubungan yang mendasar antara konsumsi bahan bakar dan
kecepatan, di luar dari pengaruh geometrik jalan, kekasaran permukaan dan
kondisi lalu lintas. Konsumsi seperti itu disebut sebagai konsumsi bahan bakar
dasar yang didefinisikan sebagai konsumsi bahan bakar pada kondisi lalu
lintas bebas, kelandaian yang relatif datar (0%), dan kekasaran permukaan
relatif tidak mempengaruhi konsumsi bahan bakar. Konsumsi tersebut
selanjutnya disebut sebagai basic fuel. Dengan demikian spesifikasi model
konsumsi bahan bakar dapat dijelaskan sebagai berikut:
Konsumsi bahan bakar = basic fuel (1 + kk + kl + kr)
dimana:
basic fuel dalam liter/1000 km
24
kk = koreksi akibat kelandaian
kl = koreksi akibat kondisi lalu lintas
kr = koreksi akibat kekasaran jalan (roughness)
Konsumsi bahan bakar tidak dapat diukur secara teliti dalam selang waktu
yang kecil (Bowyer, 1985 dalam LAPI–ITB, 1986).
Hubungan basic fuel dengan kecepatan (v) sebagai berikut :
Basic fuel = 0,0284 V2 – 3,0644 + 141,68
Basic fuel bus = 2.2655 x Basic fuel Kijang
Basic fuel truk = 2.3004 x Basic fuel Kijang
TABEL I.2 FAKTOR KOREKSI KONSUMSI BAHAN BAKAR DASAR KENDARAAN
g < -5% -0,337Faktor koreksi akibat kelandaian negatif (Kk) -5% < g < 0% -0,158
0% < g < 5% 0,4Faktor koreksi akibat kelandaian positif (Kk) g > 5% 0,82
0 < NVK < 0,6 0,050,6 < NVK < 0,8 0,185Faktor koreksi akibat kondisi arus lalu lintas (Kl)
NVK > 0,8 0,253< 3 m / km 0,035Faktor koreksi akibat kekasaran jalan (Kr) > 3m / km 0,085
g = kelandaian NVK = nisbah volume per kapasitas Sumber: LAPI-ITB (1996)
E. Analisis Implikasi Pemanfaatan Lahan dan Manajemen Lalu Lintas Jalan terhadap Konsumsi BBM
Dari output analisis kemacetan lalu lintas, analisis bangkitan/tarikan
pergerakan, analisis manajemen lalu lintas existing dan analisis konsumsi
bahan bakar, diadakan analisis implikasi pemanfataan lahan dan manajemen
lalu lintas jalan terhadap konsumsi BBM yang merupakan gabungan dari
25
keempat analisis yang dilakukan sebelumnya. Dari analisis ini dapat diketahui
hubungan antara pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas jalan terhadap
konsumsi BBM.
26
GAMBAR 1.2
KERANGKA ANALISIS
Identifikasi kemacetan lalu lintas: volume lalu lintas, kapasitas jalan dan hambatan samping
Analisis kuantitatif Kemacetan lalu lintas
Karakteristik kemacetan lalu lintas
INPUT PROSES OUTPUT
Kecepatan kendaraan, Jarak tempuh, kondisi geometrik jalan
Analisis kuantitatif Konsumsi Bahan Bakar
Perbandingan konsumsi BBM pada saat derajat kejenuhan (DS) > 0,6 (Do Nothing) dg. DS < 0,6 (Do Minimum )
Jenis tata guna lahan di wilayah kajian dan matriks OD
Analisis kuantitatif Bangkitan / tarikan pergerakan
Kontribusi pemanfa-atan lahan thd. vo-lume lalu lintas dan pembebanan jaring-an jalan.
Manajemen lalu lintas
Analisis kualitatif Manajemen lalu lintas
Pengaruh pemanfaatan lahan & manajemen lalu lintas jalan thd. konsumsi BBM
Pengaruh manajemen lalu lintas jalan thd. konsumsi BBM
Analisis kualitatif dan kuantitatif: Implikasi pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas jalan thd. konsumsi BBM
Konsep sistem transportasi jalan yang hemat energi
27
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika Penulisan adalah sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
sasaran penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran,
metode penelitian serta sistematika penulisan penelitian
BAB II. KAJIAN TEORI MENGENAI TATA GUNA LAHAN, KONSUMSI BBM DAN MANAJEMEN LALU LINTAS JALAN
Bab ini berisi tentang kajian teori yang berhubungan dengan
pemanfaatan lahan, konsumsi BBM dan Manajemen Lalu Lintas Jalan.
BAB III. GAMBARAN UMUM TENTANG PEMANFAATAN LAHAN DAN KONDISI LALU LINTAS JALAN DI KOTA TEGAL
Bab ini berisi tentang masalah pemanfaatan lahan, mamajemen lalu
lintas jalan dan gambaran umum wilayah penelitian.
BAB IV. ANALISIS IMPLIKASI PEMANFAATAN LAHAN DAN MANAJEMEN LALU LINTAS JALAN TERHADAP KONSUMSI BBM DI KOTA TEGAL
Bab ini berisi tentang analisis–analisis yang dilakukan untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari
pertanyaan penelitian atau temuan hasil studi serta rekomendasi bagi
Pemerintah Daerah Kota Tegal untuk menangani masalah lalu lintas
jalan dalam rangka menghemat konsumsi BBM.
28
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG TATA GUNA LAHAN,
MANAJEMEN LALU LINTAS JALAN DAN KONSUMSI BBM
2.1 Definisi Tata Guna Lahan
Yang dimaksud tata guna tanah (land use) adalah pengaturan penggunaan
tanah. Dalam tata guna tanah dibicarakan bukan saja mengenai penggunaan
permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di
lautan (Jayadinata, 1986:10).
Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan
masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu
lingkungan pada masa yang akan datang. Dalam rencana itu ditentukan daerah–
daerah yang akan digunakan bagi berbagai jenis, kepadatan dan intensitas kategori
penggunaan, misalnya penggunaan untuk pemukiman, perdagangan, industri dan
berbagai kebutuhan umum (Roberts dalam Catanase, 1988:267).
Dalam rencana tata guna lahan suatu kota selain tercantum berbagai jenis
pemanfaatan lahan, juga membahas tentang berbagai sarana & prasarana yang
dibutuhkan oleh suatu kota seperti jaringan jalan, listrik, air dan lain–lain. Juga
membahas hal–hal khusus seperti pelestarian lingkungan yaitu dengan
ditetapkannya jalur hijau maupun kawasan yang dilindungi. Agar rencana tata
guna lahan berjalan sesuai rencana, maka perlu adanya sosialisasi kepada
masyarakat/swasta karena sebagian besar lahan yang ada merupakan milik
perorangan/swasta dan hanya sebagian kecil yang merupakan milik pemerintah.
29
2.2 Hubungan Antara Sistem Tata Guna Lahan dan Transportasi
Dalam melakukan aktivitas, manusia bergerak dari suatu tempat ke
tempat lain. Aktivitas manusia antara lain bekerja, sekolah, belanja, olahraga,
bertamu, dan lain–lain dilakukan diatas sebidang tanah (kantor, sekolah, pasar,
rumah, dan lain lain) yang disebut tata guna lahan. Dalam melakukan perjalanan
di antara tata guna lahan, manusia menggunakan sistem jaringan transportasi
(misalnya naik mobil, berjalan kaki, naik sepeda), yang menimbulkan pergerakan
arus manusia, kendaraan dan barang.
Dengan adanya pergerakan tersebut akan terjadi interaksi, misalnya
interaksi antara pegawai dan kantor, antara anak sekolah dengan sekolah, antara
buruh dengan pabrik, antara perkebunan dengan pasar, dan lain–lain. Jaringan
telekomunikasi yang semakin canggih memudahkan manusia saling berhubungan
melalui email/internet dan telepon, yang tidak memerlukan perjalanan. Akan
tetapi, sebagian besar interaksi tetap memerlukan perjalanan yang menghasilkan
pergerakan arus lalu lintas.
Menurut Tamin (2000:30), sasaran umum perencanaan transportasi
adalah membuat interaksi tersebut menjadi semudah dan seefisien mungkin. Cara
perencanaan transportasi untuk mencapai sasaran umum itu antara lain dengan
menetapkan kebijakan tentang hal berikut ini:
a. Sistem kegiatan Rencana tata guna lahan yang baik (lokasi toko, sekolah,
perumahan, pekerjaan, dan lain–lain yang benar) dapat mengurangi kebutuhan
akan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi menjadi lebih
mudah. Perencanaan tata guna lahan biasanya memerlukan waktu cukup lama
30
tergantung pada badan pengelola yang berwenang untuk melaksanakan tata
guna lahan tersebut.
b. Sistem Jaringan Hal yang dapat dilakukan misalnya meningkatkan kapasitas
pelayanan prasarana yang ada: melebarkan jalan, menambah jaringan jalan
baru dan lain–lain.
c. Sistem pergerakan Hal yang dapat dilakukan antara lain mengatur teknik
dan manajemen lalu lintas (jangka pendek), fasilitas angkutan umum yang
lebih baik (jangka pendek dan menengah), atau pembangunan jalan (jangka
panjang).
Sebaran geografis antara tata guna lahan (sistem kegiatan) serta kapasitas
dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabungkan untuk
mendapatkan arus dan pola pergerakan lalulintas di daerah perkotaan (sistem
pergerakan). Besarnya arus dan pola pergerakan lalu lintas sebuah kota dapat
memberikan umpan-balik untuk menetapkan lokasi tata guna lahan yang tentu
membutuhkan prasarana baru pula (Tamin, 2000:30).
2.3 Interaksi antara Tata Guna Lahan, Jaringan Transportasi, dan arus lalulintas
2.3.1 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Menurut Tamin (2000:40), pergerakan lalulintas merupakan fungsi tata
guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan lalulintas ini
mencakup:
- Lalulintas yang meninggalkan suatu lokasi
- Lalu lintas yang menuju lokasi
31
Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalulintas berupa
jumlah kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya
kendaraan/jam. Kita dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau
kendaraan yang masuk atau keluar dari suatu luas tanah tertentu dalam satu hari
(atau satu jam) untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan. Bangkitan
dan tarikan lalulintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan:
- jenis tata guna lahan dan
- jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.
(Tamin, 2000:40-41)
TABEL II.1. BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN DARI BEBERAPA
AKTIVITAS TATA GUNA LAHAN
Deskripsi aktivitas tata guna lahan
Rata-rata jumlah pergerakan kendaraan per 100 m2 Jumlah Kajian
Pasar Swalayan
Pertokoan lokal*
Pusat Pertokoan**
Restoran siap santap
Restoran
Gedung Perkantoran
Rumah sakit
Perpustakaan
Daerah industri
136
85
38
595
60
13
18
45
5
3
21
38
6
3
22
12
2
98
*4.645–9.290 (m2) **46.452-92.903 (m2) Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000:41).
Untuk menghitung bangkitan lalu lintas, terlebih dahulu dihitung luas
lantai masing–masing bangunan kemudian dikelompokkan menurut jenis
pemanfaatan lahannya, misalnya untuk perkantoran, hotel, perdagangan, dan lain
32
–lain. Luas pemanfaatan lahan kemudian dikalikan dengan tingkat bangkitan lalu
lintas berdasarkan hasil kajian BNI City, Pondok Indah Mal, dan Danayasa City
berikut ini:
TABEL II.2. TINGKAT BANGKITAN LALU LINTAS UNTUK PERKANTORAN
DARI KAJIAN BNI CITY
Perkantoran (smp/100m2) Pertokoan (smp/100m2) Waktu
Masuk Keluar Total Masuk Keluar Total 07.00 0,73 0,27 1,00 0,04 0,02 0,06 08.00 0,26 0,16 0,42 0,08 0,04 0,12 09.00 0,25 0,18 0,43 0,55 0,15 0,70 10.00 0,22 0,16 0,37 0,80 0,42 1,22 11.00 0,23 0,22 0,45 0,78 0,65 1,42 12.00 0,19 0,23 0,42 0,60 0,56 1,16 13.00 0,23 0,19 0,41 0,65 0,59 1,24 14.00 0,17 0,17 0,34 0,57 0,70 1,27 15.00 0,19 0,18 0,37 0,61 0,68 1,30 16.00 0,20 0,51 0,71 0,50 0,95 1,45 17.00 0,10 0,34 0,44 0,45 0,58 1,03
Sumber: LP-ITB (1994) dalam Tamin (2000:547)
TABEL II.3. TINGKAT BANGKITAN LALU LINTAS UNTUK HOTEL
HASIL GABUNGAN ANTARA TINGKAT BANGKITAN LALU LINTAS HASIL KAJIAN BNI CITY DAN PONDOK INDAH MAL
Hotel (smp/100m2) Hotel (smp/100m2) Waktu
Masuk Keluar Total Waktu
Masuk Keluar Total 8.00 0,41 0,23 0,64 14.00 0,32 0,37 0,69 9.00 0,46 0,35 0,81 15.00 0,31 0,45 0,77 10.00 0,41 0,26 0,67 16.00 0,29 0,32 0,61 11.00 0,3 0,27 0,58 17.00 0,29 0,31 0,6 12.00 0,24 0,27 0,51 18.00 0,39 0,32 0,71 13.00 0,34 0,33 0,68 19.00 0,36 0,32 0,68
Sumber: LP-ITB (1994) dalam Tamin (2000:547)
33
TABEL II.4. TINGKAT BANGKITAN LALU LINTAS UNTUK
LOKASI PERMUKIMAN HASIL KAJIAN DANAYASA CITY
perjalanan / keluarga Perumahan mewah Perumahan tidak mewah Bangkitan
07.00-08.00 16.00-17.00 07.00 - 08.00 16.00 - 17.00 Masuk 0,06 0,25 0,03 0,013 Keluar 0,25 0,12 0,013 0,06
Sumber: LP-ITB (1994) dalam Tamin (2000:548)
2.3.2 Sebaran Pergerakan
Pola spasial arus lalulintas adalah fungsi dari tata guna lahan dan sistem
jaringan transportasi. Pola sebaran arus lalulintas antara zona asal i ke zona tujuan
d adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan
intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan
ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan
pergerakan manusia dan/atau barang. Contohnya pergerakan dari rumah
(permukiman) ke tempat bekerja (kantor, industri) yang terjadi setiap hari (Tamin,
2000:43).
2.3.2.1 Pemisahan Ruang
Jarak antara dua buah tata guna lahan merupakan batas pergerakan. Jarak
yang jauh atau biaya yang besar akan membuat pergerakan antara dua buah tata
guna lahan menjadi lebih sulit (aksesibilitas rendah). Oleh karena itu, pergerakan
arus lalulintas cenderung meningkat jika jarak antara kedua zonanya semakin
dekat. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang lebih menyukai perjalanan pendek
daripada perjalanan panjang (Tamin, 2000:43).
34
2.3.2.2 Intensitas Tata Guna Lahan
Makin tinggi tingkat aktivitas suatu tata guna lahan, makin tinggi pula
tingkat kemampuannya dalam menarik lalulintas. Contohnya, pasar swalayan
menarik arus pergerakan lalulintas lebih banyak dibandingkan dengan rumah sakit
untuk luas lahan yang sama karena aktivitas di pasar swalayan lebih tinggi per
satuan luas lahan dibandingkan dengan di rumah sakit (Tamin, 2000:43).
2.3.2.3 Pemisahan Ruang dan Intensitas Tata Guna Lahan
Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya
jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan cenderung menarik pergerakan
lalulintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan dengan dari tempat yang
lebih jauh. Pergerakan lalulintas yang dihasilkan juga akan lebih banyak yang
berjarak pendek daripada yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai fungsi
dari intensitas setiap daerah dan jarak antara kedua daerah tersebut dapat dilihat
pada tabel II.3. di bawah ini (Tamin, 2000:43).
TABEL II.5. INTERAKSI ANTAR DAERAH
Jarak Jauh Interaksi dapat
diabaikan Interaksi Rendah
Interaksi Menengah
Dekat Interaksi
Rendah Interaksi Menengah
Interaksi Sangat Tinggi
Intensitas Tata Guna Lahan antara Dua Zona
Kecil – kecil Kecil - Besar Besar - Besar
Sumber: Tamin (2000:43)
35
2.4 Manajemen Lalu Lintas
Manajemen lalu lintas dapat menangani perubahan–perubahan pada tata
letak geometri, pembuatan petunjuk–petunjuk tambahan dan alat–alat pengaturan
seperti rambu–rambu, tanda–tanda jalan untuk pejalan kaki, penyeberangan dan
lampu untuk penerangan jalan. Kendaraan–kendaraan yang menunggu juga
memerlukan area perkerasan tambahan tempat kendaraan, seperti tempat bongkar
muat untuk kendaraan niaga, dan tempat untuk pemberhentian bus. Lalu lintas
dibantu oleh koordinasi rambu–rambu lalu lintas, penyesuaian pada alat–alat
pengaturan dan mengurangi konflik dengan cara pemakaian jalan satu arah, jalur
jalan yang dapat dibalik arahnya untuk jalan–jalan yang mengalami puncak–
puncak lalu lintas pada arah tertentu, dan pembatasan gerakan membelok pada
simpang–simpang jalan (Hobbs, 1995:270).
Menurut Tamin (2000:523-526) Rekayasa manajemen lalu lintas dapat
dilakukan dengan berbagai cara yang diuraikan berikut ini:
• Perbaikan sistem lampu lalu lintas dan sistem jaringan jalan, meliputi sebagai
berikut:
- Pemasangan dan perbaikan sistem lampu lalu lintas secara terisolasi
dimaksud untuk mengikuti fluktuasi lalu lintas yang berbeda–beda dalam
1 jam, 1 hari maupun 1 minggu. Selain itu juga secara terkoordinasi yaitu
dengan mengatur seluruh lampu lalu lintas secara terpusat. Pengaturan ini
dapat mengurangi tundaan dan kemacetan. Sistem ini dikenal dengan Area
Traffic Control System (ATCS). Beberapa kota di Indonesia telah
36
dilengkapi dengan sistem tersebut seperti DKI-Jakarta, Bandung dan
Surabaya,
- Perbaikan perencanaan sistem jaringan jalan yang ada, termasuk jaringan
jalan KA, jalan raya, bus, dilaksanakan untuk menunjang Sistem Angkutan
Umum Transportasi Perkotaan Terpadu (SAUPT).
- Penerapan manajemen transportasi, antara lain kebijakan perparkiran,
perbaikan fasilitas pejalan kaki, dan jalur khusus bus. Semua ini
memerlukan beberapa pertimbangan, yang lebih diutamakan pada
kemungkinan membatasi kebutuhan akan transportasi dengan beberapa
metode yang dikenal dengan pembatasan lalu lintas. Perlunya penerapan
pembatasan lalu lintas terhadap penggunaan kendaraan pribadi telah
diterima oleh para pakar transportasi sebagai hal yang penting dalam
menanggulangi masalah kemacetan di daerah perkotaan.
• Kebijakan perparkiran
Parkir didefinisikan tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi
keselamatan. Ruang lain dapat digunakan untuk tempat parkir. Parkir
mempunyai tujuan yang baik, akses yang mudah; jika seseorang tidak dapat
memarkir kendarannya, dia tidak bisa membuat perjalanan. Jika parkir terlalu
jauh dari tujuan, orang akan beralih pergi ke tempat lain. Sehingga tujuan
utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan.
Kebijakan parkir bukan di badan jalan seperti pembangunan bangunan tempat
parkir atau membatasi tempat parkir jelas merupakan jawaban yang sangat
tepat karena sejalan dengan usaha mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
37
ke angkutan umum. Pengalihan badan jalan yang pada mulanya digunakan
sebagai tempat parkir menjadi lajur khusus bus juga merupakan jawaban yang
sangat tepat. Kebijakan parkir juga menentukan metode pengontrolan dan
pengaturannya. Pelaksanaan pengaturan parkir telah sering dilakukan sejak
tahun 1960-an, yang biasanya meliputi:
- pembatasan tempat parkir di badan jalan;
- merencanakan fasilitas tempat parkir di luar daerah, seperti park and ride;
- pengaturan biaya parkir; dan
- denda yang tinggi terhadap pelanggar parkir.
• Prioritas angkutan umum
Angkutan umum menggunakan prasarana secara lebih efisien dibandingkan
dengan kendaraan pribadi, terutama pada waktu sibuk. Terdapat dua jenis
ukuran agar pelayanan angkutan umum lebih baik:
- perbaikan operasi pelayanan, frekuensi, kecepatan dan kenyamanan
(misalnya pelayanan bus sekolah).
- perbaikan sarana penunjang jalan, yaitu dengan penentuan lokasi dan
desain tempat pemberhentian dan terminal yang baik, terutama dengan
adanya moda transportasi yang berbeda–beda seperti jalan raya dan jalan
rel, atau antara transportasi perkotaan dan antarkota, serta pemberian
prioritas yang lebih tinggi pada angkutan umum.
2.5 Kapasitas Jalan (MKJI 1997)
38
2.5.1 Jalan Perkotaan
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di
jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan
dua-lajur dua-arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua
arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan
kapasitas ditentukan per lajur. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil
penumpang (smp), lihat di bawah.
Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut:
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS (smp/jam)
dimana:
C = Kapasitas
C0 = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FCSP = Faktor penyesuaian pemisahan arah
FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping
FCCS = Faktor penyesuaian ukuran kota
TABEL II.6.
KAPASITAS DASAR (C0) (SMP/JAM)
Tipe Jalan Kapasitas
Dasar (smp/jam)
Catatan
4 lajur terbagi atau jalan satu arah 1650 per lajur 4 lajur tak terbagi 1500 per lajur 2 lajur tak terbagi 2900 total 2 arah
Sumber: MKJI (1997:5-50)
39
TABEL II.7. FAKTOR PENYESUAIAN KAPASITAS
UNTUK LEBAR JALUR LALU LINTAS (FCW)
Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (Wc) (m) FCw
Empat-lajur terbagi Per lajur atau jalan satu arah 3,00 0,92 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,04 4,00 1,08 Empat-lajur Per lajur tak terbagi 3,00 0,91 3,25 0,95 3,50 1,00 3,75 1,05 4,00 1,09 Dua - lajur Total dua arah tak terbagi 5 0,56 6 0,87 7 1,00 8 1,14 9 1,25 10 1,29 11 1,34
Sumber: MKJI (1997:5-51)
TABEL II.8 FAKTOR PENYESUAIAN KAPASITAS
UNTUK PEMISAHAN ARAH (FCSP)
Pemisahan Arah SP % - % 50 – 50 55 - 45 60 - 40 65 - 35 70-30
Dua - Lajur 2/2 1 0,97 0,94 0,91 0,88FCSP Empat - Lajur 4/2 1 0,985 0,97 0,955 0,94Sumber: MKJI (1997:5-52)
40
TABEL II.9 FAKTOR PENYESUAIAN KAPASITAS
UNTUK HAMBATAN SAMPING (FCSF)
a. Jalan dengan Bahu
Faktor Penyesuaian untuk Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FCsf)
Lebar Bahu Efektif Ws Tipe Jalan
Kelas Hambatan Samping
< 0.5 1,0 1,5 > 2.0 VL 0,96 0,98 1,01 1,03 4/2 D L 0,94 0,97 1,00 1,02 M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,88 0,92 0,95 0,98 VH 0,84 0,88 0,92 0,96 VL 0,96 0,99 1,01 1,03 4/2 UD L 0,94 0,97 1,00 1,02 M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,87 0,91 0,94 0,98 VH 0,80 0,86 0,90 0,95 VL 0,94 0,96 0,99 1,01 2/2 UD L 0,92 0,94 0,97 1,00 atau jalan satu arah M 0,89 0,92 0,95 0,98 H 0,82 0,86 0,90 0,95 VH 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber: MKJI (1997:5-53)
b. Jalan dengan Kereb
Faktor Penyesuaian untuk Hambatan Samping dan Jarak Kereb-Penghalang
FCsf Jarak : Kereb-Penghalang Wk
Tipe Jalan Kelas
Hambatan Samping
< 0.5 1,0 1,5 > 2.0 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 4/2 D L 0,94 0,96 0,98 1,00 M 0,91 0,93 0,95 0,98 H 0,86 0,89 0,92 0,95 VH 0,81 0,85 0,88 0,92 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 4/2 UD L 0,93 0,95 0,97 1,00 M 0,90 0,92 0,95 0,97 H 0,84 0,87 0,90 0,93 VH 0,77 0,81 0,85 0,90 VL 0,93 0,95 0,97 0,99 2/2 UD L 0,90 0,92 0,95 0,97 Atau jalan satu arah M 0,86 0,88 0,91 0,94 H 0,78 0,81 0,84 0,88 VH 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber: MKJI (1997:5-54)
41
TABEL II.10. FAKTOR PENYESUAIAN KAPASITAS UNTUK UKURAN KOTA (FCCS)
Ukuran Kota
(Juta Penduduk) Faktor
Penyesuaian
< 0.1 0,86
0.1 - 0.5 0,90
0.5 - 1.0 0,94
1.0 - 3 1,00
> 3 1,04
Sumber: MKJI (1997:5-55)
2.5.2 Jalan Luar Kota
Rumus untuk menghitung kapasitas jalan luar kota adalah :
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF (smp/jam)
Dimana:
C = Kapasitas
C0 = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu - lintas
FCSP = Faktor penyesuaian akibat pemisahan arah
FCSF = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping
TABEL II.11 KAPASITAS DASAR (C0) (SMP/JAM)
Tipe Jalan / Tipe alinyemen Kapasitas Dasar Total kedua arah (smp/jam/lajur)
4 lajur tak terbagi
- Datar 1700
- Bukit 1650
- Gunung 1600 Sumber: MKJI (1997:6-65)
42
TABEL II.12 FAKTOR PENYESUAIAN AKIBAT LEBAR JALUR LALU LINTAS
(FCW)
Tipe Jalan Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas (Wc) (m) FCw
Empat-lajur terbagi Per lajur Enam-lajur terbagi 3,00 0,91 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03 Empat-lajur Per lajur tak terbagi 3,00 0,91 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03 Dua - lajur Total kedua arah tak terbagi 5 0,69 6 0,91 7 1,00 8 1,08 9 1,15 10 1,21 11 1,27
Sumber: MKJI (1997:6-66)
TABEL II.13 FAKTOR PENYESUAIAN AKIBAT PEMISAHAN ARAH (FCSP)
Pemisahan Arah SP % - % 50 – 50 55 - 45 60 - 40 65 - 35 70-30
Dua - Lajur 2/2 1 0,97 0,94 0,91 0,88FCSP Empat - Lajur 4/2 1 0,975 0,95 0,925 0,90
Sumber: MKJI (1997:6-67)
TABEL II.14 FAKTOR PENYESUAIAN AKIBAT HAMBATAN SAMPING (FCSF )
Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan
Samping (FCsf) Lebar Bahu Efektif Ws
Tipe Jalan Kelas
Hambatan Samping
< 0.5 1,0 1,5 > 2.0 4/2 D VL 0,99 1,00 1,01 1,03 L 0,96 0,97 0,99 1,01 M 0,93 0,95 0,96 0,99 H 0,90 0,92 0,95 0,97 VH 0,88 0,90 0,93 0,96
43
Lanjutan Tabel II.14 Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan
Samping (FCsf) Lebar Bahu Efektif Ws
Tipe Jalan Kelas
Hambatan Samping
< 0.5 1,0 1,5 > 2.0 4/2 UD L 0,93 0,95 0,97 1,00 M 0,88 0,91 0,94 0,98 H 0,84 0,87 0,91 0,95 VH 0,80 0,83 0,88 0,93
Sumber: MKJI (1997:6-68)
2.6 Kecepatan Arus Bebas
2.6.1 Jalan Perkotaan
Kecepatan arus bebas (FV) didefnisikan sebagai kecepatan pada tingkat
arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai
kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan.
Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas adalah sebagai berikut:
FV = ( FV0 + FVW ) x FFVSF x FFVCS
dimana:
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)
TABEL II.15 KECEPATAN ARUS BEBAS DASAR (FVO)
Kecepatan arus bebas dasar (FV0) ( km/jam)
Tipe Jalan Kendaraan Ringan
LV
Kendaraan Berat HV
Sepeda Motor MC
Semua Kendaraan (rata-rata)
6 lajur terbagi (6/2 D) 61 52 48 57 Atau 3 lajur 1 arah (3/1) 4 lajur terbagi (4/2 D) 57 50 47 55 Atau 2 lajur 1 arah (2/1) 4 lajur tak terbagi (4/2 UD) 53 46 43 51 2 lajur tak terbagi (2/2 UD) 44 40 40 42
Sumber: MKJI (1997:5-44)
44
TABEL II.16 PENYESUAIAN KECEPATAN UNTUK JALUR LALU LINTAS (FVW)
Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu
Lintas Efektif (Wc) (m)
FVw (km / jam)
4 lajur terbagi atau Per lajur Jalan 1 arah 3 -4 3,25 -2 3,5 0 3,75 2 4 4 4 lajur tak terbagi Per lajur 3 -4 3,25 -2 3,5 0 3,75 2 4 4 2 lajur tak terbagi Dua arah 5 -9,5 6 -3 7 0 8 3 9 4 10 6 11 7
Sumber: MKJI (1997:5-45)
TABEL II.17
FAKTOR PENYESUAIAN UNTUK HAMBATAN SAMPING (FFVSF) a. Jalan dengan bahu
Faktor Penyesuaian untuk Hambatan Samping dan Lebar Bahu
Lebar Bahu Efektif rata - rata Ws (m) Tipe Jalan
Kelas Hambatan
Samping (SFC) < 0.5 1,0 1,5 > 2.0
Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,044 lajur terbagi Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03(4/2 D) Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02 Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99 Sangat Tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96 Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,044 lajur tak terbagi Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03(4/2 UD) Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02 Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98 Sangat Tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95
45
Lanjutan Tabel II.17 Faktor Penyesuaian untuk Hambatan
Samping dan Lebar Bahu Lebar Bahu Efektif rata - rata Ws (m)
Tipe Jalan Kelas
Hambatan Samping (SFC)
< 0.5 1,0 1,5 > 2.0 2 lajur tak terbagi Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00(2/2 UD) atau jalan 1 arah Sedang 0,90 0,93 0,96 0,99 Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95 Sangat Tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber: MKJI (1997:5-46)
b. Jalan dengan kereb Faktor Penyesuaian untuk Hambatan
Samping dan Jarak-Kereb Penghalang
Jarak : kereb - penghalang WK (m) Tipe Jalan
Kelas Hambatan
Samping (SFC) < 0.5 1,0 1,5 > 2.0
Sangat rendah 1,02 1,01 1,01 1,024 lajur terbagi Rendah 0,97 0,98 0,99 1,00(4/2 D) Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99 Tinggi 0,87 0,90 0,93 0,96 Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92 Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,024 lajur tak terbagi Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00(4/2 UD) Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98 Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94 Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90 Sangat rendah 0,98 0,99 0,99 1,002 lajur tak terbagi Rendah 0,93 0,95 0,96 0,98(2/2 UD) atau jalan 1 arah Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95 Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88 Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber: MKJI (1997:5-47) BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Sebelum ditarik kesimpulan, terlebih dahulu disajikan temuan hasil
penelitian secara empiris yaitu sebagai berikut:
1. Arus lalu lintas pada ruas jalan yang bermasalah berasal dari bangkitan lalu
lintas akibat jenis pemanfaatan lahan dan arus lalu lintas menerus. Asal arus
lalu lintas dari masing–masing ruas jalan adalah sebagai berikut:
46
- Jl. Martoloyo merupakan kawasan perdagangan dan industri, kontribusi
pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas tidak terlalu besar (5,34%).
Sebagian besar arus lalu lintas berasal dari arus menerus luar kota.
- Jl. Mayjend Sutoyo kondisinya hampir sama dengan Jl. Martoloyo yang
membedakan adalah selain adanya kontribusi jenis pemanfaatan lahan
terhadap arus lalu lintas (7,02%), di jalan ini terjadi percampuran arus lalu
lintas dari dalam dan luar kota.
- Jl. Werkudoro kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas kecil
(5,12%). Adanya lalu lintas menerus yang berasal dari Mejasem (Kab.
Tegal), pasar tradisional dan sempitnya ruas jalan merupakan penyebab
kemacetan.
- Jl. Kapten Ismail, tarikan/bangkitan lalu lintas disebabkan karena adanya
Sekolah (15,20%).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan arus lalu lintas yang membebani suatu
ruas jalan disebabkan oleh arus lalu lintas akibat jenis pemanfaatan lahan dan
arus menerus. Untuk arus menerus yang melewati Jl. Martoloyo dan Jl. M.
Sutoyo merupakan arus menerus dari luar kota. Sedangkan arus menerus yang
melewati Jl. Werkudoro berasal dari Mejasem (Kabupaten Tegal). Banyaknya
penduduk Mejasen yang bekerja dan bersekolah di Kota Tegal disebabkan
karena tingginya harga lahan di dalam kota. Menurut Tamin (2000:3),
semakin mahalnya harga tanah di pusat perkotaan menyebabkan lahan
permukiman semakin bergeser ke pinggiran kota, sedangkan tempat pekerjaan
cenderung semakin terpusat di pusat perkotaan. Hal ini menyebabkan
47
seseorang akan bergerak lebih jauh dan lebih lama untuk mencapai tempat
kerja. Semakin jauh dan semakin lama seseorang membebani jaringan jalan,
semakin tinggi pula kontribusinya terhadap kemacetan.
2. Kemacetan lalu lintas di Kota Tegal disebabkan oleh tingginya hambatan
samping. Kelas hambatan samping dari keenam ruas jalan yang diteliti adalah
sebagai berikut:
- Jalan jalan luar kota: Jl. Martoloyo 353,40 (sangat tinggi), & Jl. Mayjend
Sutoyo 350,20 (sangat tinggi).
- Jalan perkotaan: Jl. A.Yani 755,80 (tinggi), Jl. Werkudoro 792 (tinggi), Jl.
Pancasila 1.611,30 (sangat tinggi) dan Jl. Kapten Ismail 904,10 (sangat
tinggi).
Hambatan samping timbul karena jenis pemanfaatan lahan seperti
perdagangan, sekolah dan area publik. Pengaruh hambatan samping yang
paling dominan adalah adanya kendaraan yang parkir pada badan jalan,
pedagang kaki lima yang berjualan pada badan jalan dan angkutan/bis yang
menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Walaupun
pengaruh hambatan samping tidak diperhitungkan dalam jumlah arus lalu
lintas tetapi sangat berpengaruh dalam perhitungan kapasitas jalan. Untuk
mengefektifkan fungsi jalan perlu diadakan manajemen lalu lintas, yang dalam
hal ini bertujuan untuk meminimumkan hambatan samping. Dengan hambatan
samping yang minimum, arus lalu lintas menjadi lancar sehingga konsumsi
BBM dapat dihemat.
48
3. Dengan penerapan manajemen lalu lintas terjadi selisih konsumsi BBM. Total
selisih konsumsi BBM pada keempat ruas jalan adalah 352,2 liter/hari dengan
asumsi dalam 1 hari terjadi 3 kali jam puncak dan semua kendaraan
menggunakan bahan bakar bensin yang harga per liternya Rp 4.500,-. Atau
nilai pemborosan BBM dalam satu hari adalah Rp 1.584.900,-
4. Dihubungkan dengan konsep transportasi yang hemat energi, pelaksanaan
manajemen lalu lintas di Kota Tegal belum terpadu dengan jenis pemanfaatan
lahan. Hal ini menjadi penyebab kemacetan lalu lintas pada Jl. Martoloyo, Jl.
M. Sutoyo, Jl. Werkudoro dan Jl. Kapten Ismail. Kepadatan penduduk Kota
Tegal yang cukup tinggi merupakan potensi/peluang di dalam pengadaan
infrastruktur dan transportasi publik yang efisien berdasarkan konsep compact
city yang dikemukakan Mike Jenks (1996).
5.1 Kesimpulan
Konsep dari sistem transportasi yang hemat energi adalah dengan
penerapan manajemen lalu lintas yang terpadu dengan rencana tata guna lahan.
Konsep ini diadopsi dari konsep kota hemat energi dan Kota Kompak (Compact
City), dimana dalam hal ini terdapat 2 aspek yang dikaji yaitu tata guna lahan dan
manajemen lalu lintas. Antara tata guna lahan dan manajemen lalu lintas saling
berkaitan apabila manajemen lalu lintas tertata dengan baik otomatis akan
berimbas terhadap tata guna lahan. Letak tata guna lahan yang baik/tepat
ditunjang dengan manajemen lalu lintas yang baik, akan membuat interaksi
menjadi mudah dan efisien sehingga konsumsi BBM dapat dihemat. Jadi dapat
disimpulkan bahwa jenis pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas
49
memberikan dampak terhadap konsumsi BBM. Apabila ditarik kebawah, konsep
dari sistem transportasi yang hemat energi adalah penerapan manajemen lalu
lintas yang terpadu dengan rencana tata guna lahan.
5.2 Rekomendasi
1. Perlu dibangun halte / shelter di ruas jalan berikut ini: Jl. Martoloyo (depan
SMP 9), Jl. Ahmad Yani (depan Pasar Pagi) dan Jl. Mayjend Sutoyo (sisi
selatan), untuk meminimumkan hambatan samping karena di ruas–ruas jalan
tersebut banyak angkutan umum yang menaikkan dan menurunkan
penumpang di sembarang tempat.
2. Perlu pembangunan jembatan penyeberangan di depan SMP 9 (Jl. Martoloyo)
untuk meminimumkan hambatan samping karena banyak anak sekolah yang
menyeberang jalan.
3. Perlu pembangunan jalur khusus sepeda dan becak sehingga tidak
menghambat jalur cepat, terutama di Jl. Ahmad Yani dan Jl. M. Sutoyo.
4. Perlu pengaturan parkir dan penataan pedagang kaki lima pada Jl. Martoloyo,
Jl. M. Sutoyo, Jl. Werkudoro dan Jl. Kapten Ismail agar kapasitas jalan
meningkat sehingga tidak terjadi kemacetan.
5. Perlu adanya sanksi yang tegas bagi para pelanggar lalu lintas.
6. Perlu pemisahan/pengalihan arus kendaraan dari luar kota di Jl. M. Sutoyo.
Rencana ini dapat terealisasi apabila Jalan Lingkar Utara selesai dibangun.
7. Pada Jl. Werkudoro, selain dengan pelebaran jalan untuk meningkatkan
kapasitas jalan, perlu diadakan renovasi Pasar Kejambon dan menyediakan
tempat parkir bagi becak, sepeda dan sepeda motor di dalam areal pasar.
50
8. Perlu adanya rencana tata guna lahan yang terpadu dengan rencana sistem
transportasi, terutama dalam menentukan posisi tata guna lahan untuk
permukiman agar jarak dari permukiman ke tempat aktivitas penduduk dibuat
seefisien dan seefektif mungkin.
TABEL II.18 FAKTOR PENYESUAIAN KECEPATAN
UNTUK UKURAN KOTA (FFVCS)
Ukuran Kota (Juta
Penduduk)
Faktor Penyesuaian
< 0.1 0,90 0.1 - 0.5 0,93 0.5 - 1.0 0,95
1.0 - 3 1,00 > 3 1,03
Sumber: MKJI (1997:5-48)
2.6.2 Jalan Luar Kota
Rumus untuk menghitung kecepatan arus bebas jalan luar kota adalah :
(smp/jam)
FV = ( FV0 + FVW ) x FFVSF x FFVRC
dimana:
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)
TABEL II.19 KECEPATAN ARUS BEBAS DASAR KENDARAAN RINGAN (FV0)
Kecepatan arus bebas dasar (FV0) ( km/jam)
Tipe Jalan / Tipe Alinyemen / Kelas Jarak
Pandang Kendaraan
Ringan (LV)
Kendaraan Berat
Menengah (MHV)
Bus Besar (LB)
Truk Besar (LT)
Sepeda Motor (MC)
Empat Lajur Tak Terbagi - Datar 74 63 78 60 60
51
- Bukit 66 54 65 50 56- Gunung 58 43 52 39 53
Sumber: MKJI (1997:6-55)
TABEL II.20 PENYESUAIAN UNTUK LEBAR JALUR LALU LINTAS (FVW)
FVw (km / jam) Tipe Jalan Lebar Efektif Jalur Lalu
Lintas (Wc) (m) Datar Bukit Gunung Empat-lajur dan Per lajur Enam-lajur 3 -3 -3 -2 terbagi 3,25 -1 -1 -1 3,5 0 0 0 3,75 2 -2 2 Empat-lajur Per lajur tak terbagi 3 -3 -3 -1 3,25 -1 -1 -1 3,5 0 0 0 3,75 2 2 2
Lanjutan Tabel II.20 FVw (km / jam) Tipe Jalan Lebar Efektif Jalur Lalu
Lintas (Wc) (m) Datar Bukit Gunung Dua-lajur Total tak terbagi 5 -11 -9 -7 6 -3 -2 -1 7 0 0 0 8 1 1 0 9 2 2 1 -10 3 3 2 -11 3 3 2
Sumber: MKJI (1997:6-57)
TABEL II.21 FAKTOR PENYESUAIAN AKIBAT HAMBATAN SAMPING (FFVSF )
Faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan lebar bahu
Lebar Bahu Efektif Ws (m) Tipe Jalan
Kelas Hambatan
Samping (SFC) < 0.5 1,0 1,5 > 2.0
Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00Empat-lajur terbagi Rendah 0,98 0,98 0,98 0,99(4/2 D) Sedang 0,95 0,95 0,96 0,98 Tinggi 0,91 0,92 0,93 0,97
52
Sangat Tinggi 0,86 0,87 0,89 0,96 Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00Empat-lajur tak terbagi Rendah 0,96 0,97 0,97 0,98(4/2 UD) Sedang 0,92 0,94 0,95 0,97 Tinggi 0,88 0,89 0,90 0,96 Sangat Tinggi 0,81 0,83 0,85 0,95 Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00Dua-lajur tak terbagi Rendah 0,96 0,97 0,97 0,98(2/2 UD) Sedang 0,91 0,92 0,93 0,97 Tinggi 0,85 0,87 0,88 0,95 Sangat Tinggi 0,76 0,79 0,82 0,93
Sumber: MKJI (1997:6-58)
TABEL II.22 FAKTOR PENYESUAIAN AKIBAT KELAS FUNGSIONAL JLN
Faktor Penyesuaian FFVRC
Pengembangan samping jalan (%) Tipe jalan 0 25 50 75 100
Empat-lajur terbagi - Arteri 1 0,99 0,98 0,96 0,95 - Kolektor 0,99 0,98 0,97 0,95 0,94 - Lokal 0,98 0,97 0,96 0,94 0,93
Lanjutan Tabel II.22 Faktor Penyesuaian FFVRC
Pengembangan samping jalan (%) Tipe jalan 0 25 50 75 100
Empat-lajur tak terbagi - Arteri 1 0,99 0,97 0,96 0,945 - Kolektor 0,97 0,96 0,94 0,93 0,915 - Lokal 0,95 0,94 0,92 0,91 0,895 Dua-lajur tak terbagi - Arteri 1 0,98 0,97 0,96 0,94 - Kolektor 0,94 0,93 0,91 0,9 0,88 - Lokal 0,9 0,88 0,87 0,86 0,84
Sumber: MKJI (1997:6-59)
2.7 Hambatan Samping
Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari
aktivitas samping segmen jalan, seperti pejalan kaki, kendaraan umum/kendaraan
53
lain berhenti, kendaraan masuk/keluar sisi jalan dan kendaraan lambat. Untuk
jalan perkotaan bobot untuk masing–masing jenis hambatan samping adalah
sebagai berikut: pejalan kaki (bobot = 0,5); kendaraan umum/kendaraan lain
berhenti (bobot = 1,0); kendaraan masuk/keluar sisi jalan (bobot = 0,7); dan
kendaraan lambat (bobot = 0,4). Untuk jalan luar kota bobot untuk masing–
masing jenis hambatan samping adalah sebagai berikut: pejalan kaki (bobot =
0,6); kendaraan berhenti (bobot = 0,8); kendaraan masuk/keluar sisi jalan (bobot
= 1); dan kendaraan lambat (bobot = 0,4).
TABEL II.23 KELAS HAMBATAN SAMPING UNTUK JALAN PERKOTAAN
Kelas hambatan samping (SFC) Kode
Frekuensi berbobot
dari kejadian
(kedua sisi)
Kondisi Khusus
Sangat rendah VL < 100 Daerah permukiman, jalan samping tersedia Rendah L 100 - 299 Daerah permukiman, beberapa angkutan umum Sedang M 300 - 499 Daerah industri; beberapa toko sisi jalan Tinggi H 500 - 899 Derah komersial, aktivitas sisi jalan tinggi Sangat Tinggi VH > 900 Daerah komersial; aktivitas pasar sisi jalan
Sumber: MKJI (1997:5-10)
TABEL II.24 KELAS HAMBATAN SAMPING UNTUK JALAN LUAR KOTA
Kelas hambatan samping (SFC) Kode
Frekuensi berbobot
dari kejadian
(kedua sisi)
Kondisi Khusus
Sangat rendah VL < 50 Pedesaan; pertanian atau belum berkembang
54
Rendah L 50 - 150 Pedesaan; beberapa bangunan & kegiatan samping jalan
Sedang M 150 - 250 Kampung; kegiatan permukiman Tinggi H 250 - 350 Kampung; beberapa kegiatan pasar Sangat Tinggi VH > 350 Hampir perkotaan; banyak pasar / kegiatan niaga
Sumber: MKJI (1997:6-10)
2.8 Ekivalensi Mobil Penumpang (emp)
Faktor yang menunjukkan berbagai tipe kendaraan dibandingkan
kendaraan ringan sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan
ringan dalam arus lalu-lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan yang
sasisnya mirip, emp = 1,0).
TABEL II.25
EKIVALENSI MOBIL PENUMPANG UNTUK JALAN PERKOTAAN TAK TERBAGI
emp
MC Lebar jalur lalu lintas
(m)
Tipe Jalan : Jalan tak terbagi
Arus lalu lintas total
2 arah (kend/jam)
HV
< 6 > 6 Dua lajur dua arah 0 1.3 0.5 0.4 (2/2 UD) > 1.800 1.2 0.35 0.25 Empat lajur dua arah 0 1.3 0.4 (4/2 UD) > 3.700 1.2 0.25
Sumber: MKJI (1997:5-38) Keterangan:
LV (Kendaraan Ringan) = Kendaraan bermotor dua as beroda 4 dengan jarak as
2,0–3,0 m (termasuk mobil penumpang, opelet, mikrobis, pick-up dan truk kecil
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
55
HV (Kendaraan Berat) = Kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,50m,
biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bis, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
MC (Sepeda Motor) = Kendaraan bermotor beroda dua atau tiga (termasuk sepeda
motor dan kendaraan beroda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
UM (Kendaraan Tak Bermotor) = Kendaraan beroda yang menggunakan tenaga
manusia atau hewan (termasuk sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
TABEL II.26 EKIVALENSI MOBIL PENUMPANG
UNTUK JALAN 4 LAJUR 2 ARAH TIPE ALINYEMEN DATAR
Arus total (kend/jam) emp
Jalan terbagi per
arah kend/jam
Jalan tak terbagi total
kend/jam MHV LB LT MC
0 0 1.2 1.2 1.6 0.5 1,000 1,700 1.4 1.4 2 0.6 1,800 3,250 1.6 1.7 2.5 0.8
>2,150 >3,950 1.3 1.5 2 0.5 Sumber: MKJI (1997:6-44) Keterangan:
MHV (Kendaraan Berat Menengah) = Kendaraan bermotor dengan dua gandar,
dengan jarak 3,5-5,0 m (termasuk bis kecil, truk dua as dengan enam roda, sesuai
sistem klasifikasi Bina Marga).
56
LT (Truk Besar) = Truk tiga gandar dan truk kombinasi dengan jarak gandar
(gandar pertama ke kedua) < 3,5 m (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
LB (Bis Besar) = Bis dengan dua atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 - 6,0 m.
2.9 Konsumsi Bahan Bakar Minyak pada Transpotasi Jalan
Faktor–faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar mencakup
jarak tempuh, geometrik jalan, kecepatan, perubahan kecepatan, kekasaran
permukaan jalan dan faktor–faktor lain yang berpengaruh pada kecepatan seperti:
lebar lajur, jumlah lajur, lebar bahu, dan kondisi lalu lintas.
Diperkirakan ada hubungan yang mendasar antara konsumsi bahan bakar
dan kecepatan, di luar dari pengaruh geometrik jalan, kekasaran permukaan dan
kondisi lalu lintas. Konsumsi seperti itu disebut sebagai konsumsi bahan bakar
dasar yang didefinisikan sebagai konsumsi bahan bakar pada kondisi lalu lintas
bebas, kelandaian yang relatif datar (0%), dan kekasaran permukaan relatif tidak
mempengaruhi konsumsi bahan bakar. Konsumsi tersebut selanjutnya disebut
sebagai basic fuel. Dengan demikian spesifikasi model konsumsi bahan bakar
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Konsumsi bahan bakar = basic fuel (1 + kk + kl + kr) .....................(1)
dimana:
basic fuel dalam liter / 1000 km
kk = koreksi akibat kelandaian
kl = koreksi akibat kondisi lalu lintas
kr = koreksi akibat kekasaran jalan (roughness)
Hubungan basic fuel dengan kecepatan (v) sebagai berikut :
57
Basic fuel = 0,0284 V2 – 3,0644 + 141,68 ..........................................(2)
Basic fuel bus = 2.2655 x Basic fuel Kijang
Basic fuel truk = 2.3004 x Basic fuel Kijang
2.10 Konsep Kota Hemat Energi dan Kota Kompak (Compact City)
Menurut Budi (2005), ada tiga persoalan kota yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam membangun kota hemat energi yakni pertama perencanaan
sistem transportasi dan manajemen lalu lintas (transport planning and traffic
management), kedua, perencanaan dan perancangan tata ruang kota dan tata guna
lahan (urban spaces and land-use planning and design), dan ketiga, erencanaan
dan perancangan tata lingkungan dan tata bangunan (lanscape and building
planning and design).
Dari studi kasus di Mesir dan Brazil dapat diringkas keuntungan dan
permasalahan dari Compact City. Keuntungan: Potensi interaksi sosial di Mesir
(Potential for social interaction di Mesir); Penggunaan sumberdaya lahan yang
optimal di Curitiba dan Sao Paulo (Optimal use of land resources in Curitiba dan
Sao Paulo); Kemudahan akses ke pelayanan dasar dan perdagangan kecil di Mesir
( Easier access to consumers in Curitiba and Egypt); Keanekaragaman dan
vitalitas kota di Mesir dan Curitiba (Urban vitality and diversity in Egypt and
Curitiba); Efisiensi penyediaan infrastruktur di Brazil (Eficiency in infrastructure
supply in Brazil); Efisiensi Transportasi publik di Brazil (Efficiency of public
transport in Curitiba). Sedangkan permasalahannya : Kelebihan beban
infrastruktur dan kemacetan di Kairo (Congestion and overload of infrastructure
in Cairo); Transportasi publik yang penuh di Kairo dan Giza (Crowded public
58
transport in Cairo and Giza); Keterbatasan kenyamanan dan ruang publik terbuka
di permukiman informal Giza (Lack of amenities and open public space in Giza’s
informal settlements); Keterbatasan ruang untuk sanitasi (Lack of space for
sanitations solutions) (Acioly dalam Mike Jenks, 1996:137).
2.11 Sintesa Kajian Teori
Dalam Rencana tata guna lahan ditentukan berbagai jenis penggunaan
lahan misalnya untuk permukiman, perdagangan, industri dan berbagai kebutuhan
umum lainnya. Di dalam uraiannya terdapat kebijaksanaan–kebijaksanaan,
sedangkan peta–peta menggambarkan penerapan rencana pada ruang yang
tersedia.
Sifat rencana tata guna lahan bisa berlainan karena jenis dan luas
lingkungan, struktur pemerintahan serta peraturan–peraturan negara bagian dan
kotamadya atau kabupaten yang mengatur masalah perlahanan (Roberts, 1988
dalam Catanase).
Sebaran geografis antara tata guna lahan (sistem kegiatan) serta kapasitas
dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabungkan untuk
mendapatkan arus dan pola pergerakan lalulintas di daerah perkotaan (sistem
pergerakan). Besarnya arus dan pola pergerakan lalu lintas sebuah kota dapat
memberikan umpan-balik untuk menetapkan lokasi tata guna lahan yang tentu
membutuhkan prasarana baru pula (Tamin, 2000).
Pergerakan lalulintas merupakan fungsi tata guna lahan yang
menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan lalulintas ini mencakup:
- Lalulintas yang meninggalkan suatu lokasi
59
- Lalu lintas yang menuju lokasi
Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalulintas berupa
jumlah kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya
kendaraan/jam. Kita dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau
kendaraan yang masuk atau keluar dari suatu luas tanah tertentu dalam satu hari
(atau satu jam) untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan. Bangkitan
dan tarikan lalulintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan:
- jenis tata guna lahan dan
- jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.
Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan
komersial) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda:
- jumlah arus lalulintas
- jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil)
- lalu lintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalulintas pada pagi
dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalulintas di sepanjang
hari) (Tamin, 2000:43).
Peningkatan volume lalu lintas yang tidak diimbangi dengan kapasitas
suatu jalan akan mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas akan
meningkatkan konsumsi bahan bakar. Ada hubungan yang mendasar antara
konsumsi bahan bakar dan kecepatan, di luar dari pengaruh geometrik jalan,
kekasaran permukaan dan kondisi lalu lintas. Untuk itu perlu diadakan
manajemen lalu lintas guna mempertahankan kecepatan rencana kendaraan agar
konsumsi bahan bakar dapat dihemat.
60
Rekayasa manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan berbagai cara:
perbaikan sistem lampu lalu lintas dan sistem jaringan jalan, kebijakan
perparkiran dan prioritas angkutan umum (Tamin, 2000:523).
Ada dua aspek yang akan dikaji dalam menemukan konsep sistem
transportasi yang hemat energi yaitu: tata guna lahan dan manajemen lalu lintas.
Konsep sistem transportasi yang hemat energi diadopsi dari konsep kota hemat
energi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan variabel–variabel yang akan
digunakan dalam penelitian ini, yaitu: pemanfaatan lahan di sekitar ruas jalan
yang diteliti, pola pergerakan, jumlah arus lalulintas, jenis lalulintas (pejalan
kaki, truk, mobil), lalu lintas pada waktu tertentu (jam puncak), jumlah aktivitas
(dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut, jarak tempuh, kecepatan kendaraan,
kondisi geometrik jalan dan manajemen lalu lintas di wilayah penelitian.
61
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PEMANFAATAN LAHAN
DAN KONDISI LALU LINTAS JALAN DI KOTA TEGAL
3.1 Struktur Tata Ruang Kota Tegal
Rencana strategis Kota Tegal tahun 2002–2005, menetapkan visi Kota
Tegal sebagai pusat industri, perdagangan, jasa dan maritim, yang mempunyai
keunggulan daya saing dan dapat menciptakan iklim kondusif bagi setiap kegiatan
pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan bagi warganya. Fungsi dan
peranan kota Tegal sesuai dengan RUTRK tahun 1994–2004 adalah sebagai
berikut : perdagangan dan jasa; industri; perikanan; perhubungan baik jalur utama
pantai utara jawa (pantura), simpul jalur kereta api Jakarta–Semarang dan Jakarta–
Yogyakarta; dan perhubungan laut. Berdasarkan fungsi tersebut Kota Tegal
62
memiliki hubungan fungsional yang memiliki daya tarik bagi wilayah
hinterlandnya, yaitu Brebes dan Slawi (Bappeda Kota Tegal, 2004:II-22).
Dalam arahan kebijakan struktur tata ruang kota Tegal telah ditetapkan 7
(tujuh) bagian wilayah kota (BWK), yaitu BWK A, B, C, D, E, F & G (Bappeda
Kota Tegal, 2004:II-23). Untuk ruas jalan–ruas jalan yang mempunyai DS > 0,75
terletak pada BWK B, D & F, dengan perincian sebagai berikut:
- Ruas jalan Letjend Suprapto, Kapten Ismail, Gajah Mada dan Kol. Sugiono
terletak di BWK B, dengan fungsi sebagai kawasan pengembangan industri
non polutip. Letaknya di bagian timur kota. Komponen kegiatan utama
tersebut didukung oleh lingkungan perumahan dengan kepadatan tinggi dan
sedang. BWK B meliputi wilayah sebagian kecamatan Tegal Barat meliputi
sebagian kelurahan Tegal Sari dan kelurahan Kraton.
- Ruas jalan Serayu, Setiabudhi, Cokroaminoto, Diponegoro, Pancasila dan
Martoloyo terletak di BWK D, dengan fungsi sebagai kawasan pengembangan
pusat baru. Di BWK ini akan dikembangkan sebuah pusat kota baru, dimana
di dalamnya diperuntukkan kegiatan sosial–budaya masyarakat (kawasan civic
centre). Komponen utama yang mengisi BWK ini adalah industri polutip,
kegiatan transportasi regional serta budidaya tambak. Dukungan terhadap
BWK ini adalah lingkungan perumahan dengan kepadatan tinggi dan sedang
serta pengembangan rekreasi pantai. BWK D meliputi wilayah sebagian
Kecamatan Tegal Timur meliputi sebagian wilayah kelurahan Slerok,
sebagian kelurahan Mangkukusuman, sebagian kelurahan Panggung dan
sebagian kelurahan Mintaragen.
63
- Ruas jalan Kartini dan Werkudoro terletak di BWK F, dengan fungsi kawasan
pengembangan perumahan pinggiran, dengan penduduk kepadatan rendah
yang dilengkapi fasilitas pelayanan setingkat BWK dan lingkungan. BWK F
meliputi wilayah sebagian kecamatan Tegal Selatan meliputi sebagian
kelurahan Randu Gunting dan sebagian kecamatan Tegal Timur meliputi
kelurahan Kejambon, sebagian kelurahan Slerok dan sebagian kelurahan
Mangkukusuman.
Rencana tata guna lahan di sebelah kiri dan kanan ruas jalan–ruas jalan
tersebut sebagaimana yang tercantum dalam RTRW kota Tegal tahun 2004–2014
adalah sebagai berikut:
TABEL III.1 RENCANA TATA GUNA LAHAN
DI SEKITAR RUAS JALAN YANG MEMPUNYAI NILAI DS > 0.75
No Nama Jalan BWK Fungsi Jalan Rencana Tata Guna Lahan
1 Gajah Mada B Arteri primer Jasa campuran 2 Kol. Sugiono B Arteri primer Jasa campuran & perda
gangan 3 Letjend Suprapto B Kolektor primer Permukiman 4 Kapten Ismail B Kolektor primer Permukiman & cagar
budaya 5 Martoloyo D Arteri Primer Utara : industri & perda
gangan, selatan : perda gangan
6 Diponegoro D Arteri sekunder Barat : perdagangan, timur : cagar budaya
7 Pancasila D Kolektor primer Jasa campuran & ruang publik
8 Serayu D Kolektor primer Utara : perdagangan, selatan : permukiman
9 Setiabudhi D Kolektor primer Perdagangan 10 Cokroaminoto D Kolektor primer Permukiman 11 Werkudoro F Arteri sekunder Perdagangan 12 Kartini F Kolektor primer Utara : pendidikan,
selatan : jasa campuran
64
Sumber: Hasil analisis berdasarkan RTRW kota Tegal tahun 2004–2014
3.2 Penggunaan Tanah/Lahan
Penggunaan lahan di kota Tegal yang terbesar adalah untuk perumahan
dan permukiman yaitu sebesar 42%, kemudian disusul oleh tanah sawah (27%),
tambak (23%), lainnya (7%) dan ladang/tegal (1%) (Executive Summary Kota
Tegal dalam Angka 2005:13).
Penggunaan Lahan
1%27%
7%
42%
23% Ladang / TegalTanah SawahlainnyaPerum & permkTambak
Sumber: Executive Summary Kota Tegal dalam Angka tahun 2005
GAMBAR 3.1
KOMPOSISI PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA TEGAL
3.3 Potensi Kota Tegal
3.3.1 Potensi Fisik
Kota Tegal sangat strategis karena terletak di pertigaan jalur kota besar
yaitu Yogyakarta–Tegal–Jakarta dan Surabaya-Semarang–Tegal–Jakarta. Jadi
dapat dikatakan bahwa Kota Tegal merupakan kota transit karena terletak di
pertigaan jalur kota besar. Selain itu, karena terletak pada jalur Pantai Utara
(Pantura) yang merupakan jalur perdagangan utama di Pulau Jawa, maka Kota
Tegal merupakan medan magnet bagi kawasan Bregas (Brebes, Tegal, Slawi)
65
yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan
perekonomian.
Kota Tegal mempunyai potensi perikanan berupa produksi hasil
tangkapan ikan di laut dan perairan umum serta budidaya tambak dengan
didukung oleh terbangunnya PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Jongor serta
potensi alam dan budaya yang dapat dikembangkan sebagai aset–aset wisata
seperti Pantai Alam Indah (PAI).
Persoalan pengembangan aspek fisik Kota Tegal meliputi: terdapatnya
wilayah khusus yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung sehingga tidak
dapat diperuntukkan sebagai fungsi lain, penyebaran penduduk yang belum
merata dan perlu mempertimbangkan daya dukung tanah, keterbatasan luas
wilayah (39,68 Km2) serta keterbatasan sarana dan prasarana infrastruktur yang
ada (Bappeda Kota Tegal, 2004:V-4).
3.3.2 Potensi Kependudukan
Jumlah penduduk Kota Tegal berdasarkan registrasi penduduk tahun
2005 tercatat sebesar 245.324 jiwa terdiri dari 122.969 jiwa penduduk laki–laki
dan 122.355 jiwa penduduk perempuan. Pertambahan penduduk dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2005 sebesar 4.472 jiwa, jadi rata–rata pertumbuhan
pertahun sebesar 0,36%. Jika dibandingkan dengan rata–rata pertumbuhan
penduduk nasional yang mencapai hampir 2% pertahun, pertumbuhan penduduk
Kota Tegal relatif rendah.
Distribusi penduduk Kota Tegal dapat dikatakan tidak merata karena
Kecamatan Tegal Timur yang merupakan Kecamatan dengan luas yang paling
66
kecil (6,36 km2) penduduknya mencapai 29,84% dari total jumlah penduduk Kota
Tegal, dengan kepadatan mencapai 13.813 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan rata–
rata penduduk Kota Tegal tahun 2005 mencapai 6.183 jiwa/km2.
Jumlah usia tenaga kerja pada tahun 2005 tercatat sebesar 211.213 jiwa,
dengan jumlah angkatan kerja sebesar 131.838 jiwa, terdiri dari 82.434 jiwa laki–
laki dan 49.404 jiwa perempuan. Dari jumlah angkatan kerja yang ada sebanyak
121.499 jiwa sudah bekerja dan 10.339 jiwa tidak bekerja.
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kota Tegal adalah sebagai
buruh industri yaitu sebesar 21.335 jiwa (17,29%) disusul kemudian sebagai
buruh bangunan sebesar 21.313 jiwa (17,28%) dan sebagai pedagang sebesar
19.994 jiwa (16,21%) (Ex. Sum. Kota Tegal dalam Angka 2005:28-29).
3.3.3 Potensi Ekonomi
Kegiatan perekonomian di Kota Tegal didominasi oleh sektor
perdagangan dan industri yang ditunjukkan dengan angka PDRB yang tinggi pada
kedua sektor tersebut.
Pertumbuhan PDRB pada sektor Perdagangan dalam satu tahun (2004–
2005) sebesar 7.314.606,25 (1,66%), sedangkan sektor industri sebesar
5.955.317,28 (1,35%). Total pertumbuhan PDRB dalam satu tahun sebesar
22.829.900,16 (5,17%). Sektor Pertanian merupakan satu–satunya sektor yang
pertumbuhannya mengalami penurunan yaitu sebesar -916.878,20 (-0,21%).
TABEL.III.2 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KOTA TEGAL
ATAS DASAR HARGA KONSTAN TAHUN 2004–2005 (RIBU RUPIAH) Sektor Usaha 2004 2005
1. Pertanian 36.383.716,40 35.466.838,20
67
2. Pertambangan 3. Industri 4. Listrik & air minum 5. Bangunan 6. Perdagangan 7. Angkutan 8. Keuangan 9. Jasa – jasa
-94.080.841,4012.740.758,7033.546.669,30
104.777.985,4062.782.177,4043.517.283,7053.812.748,20
-100.036.158,6813.388.958,5235.205.595,98
112.092.591,6566.189.993,9646.271.441,8055.820.501,87
Total PDRB 441.642.180,50 464.472.080,66Sumber: Executive Summary Kota Tegal dalam Angka Tahun 2005
Pembangunan Jalan Lingkar Utara yang sampai sekarang belum selesai,
nantinya akan mempengaruhi perkembangan ekonomi di Kota Tegal. Rencananya
Jalan Lingkar Utara akan melewati BWK B, C dan D yang dalam arahan
kebijakan struktur tata ruang kota Tegal merupakan kawasan pengembangan pusat
baru dan kawasan pengembangan industri non polutip maupun polutip (Bappeda
Kota Tegal, 2004:II-23).
3.4 Kondisi Sistem Transportasi
Jalan merupakan prasarana yang sangat vital di suatu kota dibandingkan
dengan prasarana–prasarana lain seperti drainase, air bersih, listrik, telpon dan
lain–lain. Kondisi prasarana jalan di KotaTegal secara garis besar cukup baik
dengan prosentase jumlah perkerasan jalan aspal lebih dari 98% (185,711 km)
dari total panjang jalan (188,288 km ).
Terminal Kota Tegal yang terletak di jalan dr. Wahidin dan jalan
Mataram merupakan terminal tipe A, kondisinya cukup baik dan sanggup
melayani pergerakan bus antar kota maupun antar propinsi baik dari arah Jakarta
maupun dari arah Surabaya. Terminal ini merupakan terminal yang sibuk dengan
potensi pendapatan retribusi yang cukup besar karena terletak di Jalur Pantura.
68
Tata letak terminal tersebut kurang dapat mengoptimalkan sistem pengelolaan
maupun pelayanan, karena selama ini banyak bis yang tidak masuk ke Terminal
sehingga mengurangi target penerimaan retribusi. Diharapkan setelah
pembangunan Jalan Lingkar Utara selesai, semua bis antar kota maupun propinsi
masuk ke Terminal sehingga retribusi yang masuk dapat dioptimalkan (Bappeda
Kota Tegal, 2004:III-30).
Moda angkutan umum yang beroperasi baik di dalam kota Tegal maupun
yang melewati kota Tegal dapat dibedakan menjadi 3 kategori:
• Angkutan Nasional
Angkutan umum dengan skala nasional yang melewati kota Tegal berupa bis
lintas Jakarta–Semarang dan Jakarta-Surabaya yang menggunakan jalur
Pantura sebagai lintasan atau trayek dari angkutan tersebut.
• Angkutan Regional
Angkutan umum dengan skala regional dilayani oleh kendaraan bis dan mini
bis. Angkutan bis meliputi lintas Semarang–Cirebon, Semarang–Tegal, Tegal–
Purwokerto dan lain–lain. Sedangkan angkutan mini bis meliputi lintas Tegal–
Pemalang, Tegal–Slawi, Tegal–Brebes dan lain–lain.
• Angkutan Kota
Jenis angkutan kota di kota Tegal adalah angkutan non bis (angkutan
kota/pedesaan) dan becak. Angkutan dengan kendaraan non bis melayani
lintas Tegal–Banjaran, Tegal–Slawi, Tegal–Kemantran, Tegal–Dukuhturi dan
lain–lain. Untuk becak saat ini masih bebas beroperasi khususnya di dalam
kota Tegal (Bappeda Kota Tegal, 2004:III-30).
69
Dari hasil survey Studi Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan yang
dilakukan oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat Balai Pendidikan dan Latihan
Transportasi Darat dan Jalan Raya (LPM Diklat Transjaya) pada Laporan Interim
menyebutkan bahwa sebagian besar perjalanan yang dilakukan oleh masyarakat di
kota Tegal adalah perjalanan dalam zona. Kondisi ini menunjukkan bahwa
sebagian besar perjalanan dilakukan dalam wilayah kecamatan. Untuk zona
eksternal, bangkitan/tarikan perjalanan yang besar terdapat pada zona
Brebes/Cirebon dan zona Kabupaten Tegal/Pekalongan. Untuk zona internal di
dalam kota Tegal, bangkitan/tarikan perjalanan yang besar terdapat pada zona
Kraton, Tegalsari, Randugunting, Kejambon, Panggung, Mangkukusuman dan
Mintaragen, sedangkan tarikan perjalanan terbesar terdapat pada zona
Mangkukusuman dan Panggung.
Berdasarkan hasil studi LPM Diklat Transjaya juga dapat diketahui
bahwa tingkat pemakaian moda transportasi di kota Tegal adalah 52% untuk
moda angkutan umum dan 48% untuk penggunan kendaraan pribadi (Bappeda
Kota Tegal, 2004:III-31).
3.5 Kondisi Lalu Lintas
Sejauh ini kondisi lalu lintas di kota Tegal belum menunjukkan
permasalahan yang serius. Namun demikian belum bisa dikatakan bahwa
manajemen lalu lintas yang ada sudah berjalan dengan efektif, hal ini ditunjukkan
dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas di kota Tegal khususnya pada ruas–
ruas jalan arteri.
70
Daerah rawan kecelakaan di kota Tegal meliputi ruas–ruas jalan arteri
yaitu jalan Kolonel Sugiono, Yos Sudarso, Karanganyar, Martoloyo dan Gajah
Mada. Angka kecelakaan di daerah tersebut mencapai 72% dari jumlah
kecelakaan lalu lintas di kota Tegal (LPM Transjayaa, 2002:II-7).
Permasalahan manajemen lalu lintas di kota Tegal yang perlu mendapat
perhatian berdasarakan Laporan Akhir Studi Manajemen Lalu Lintas oleh Diklat
Transjaya, adalah sebagai berikut:
- Lalu lintas kendaraan dengan berbagai kecepatan bercampur dengan arus
pejalan kaki pada beberapa ruas jalan utama;
- Badan jalan dipergunakan untuk aktivitas pedagang kaki lima
- Parkir belum tertata dengan baik dengan adanya parkir pada badan jalan
- Fasilitas parkir belum tersedia pada beberapa pusat kegiatan
- Setting lampu pengatur lalu lintas kurang efisien.
Ada beberapa ruas jalan di kota Tegal yang mempunyai kinerja buruk
berdasarkan identifikasi pola pergerakan orang, contohnya di ruas jalan
Abimanyu, Werkudoro, Sultan Agung dan Kartini. Hal ini disebabkan karena
tingginya jumlah perjalanan dari arah Mejasem dan selatan kota Tegal (Banjaran
dan Talang) yang tidak diimbangi dengan kapasitas jalan yang memadai sehingga
pada waktu sibuk terutama pada pagi hari terjadi kemacetan (LPM Transjayaa,
2002:II-4).
3.6 Volume Lalu Lintas
71
Volume lalu lintas di perbatasan kota Tegal dengan kabupaten Pemalang,
kabupaten Brebes dan kabupaten Tegal (Slawi) pada jam puncak pagi maupun
sore cukup padat (lihat tabel di bawah ini).
TABEL III.3 VOLUME LALU LINTAS DAN KOMPOSISI KENDARAAN
DI PERBATASAN KOTA TEGAL
Volume lalu lintas (kend/jam)
Komposisi Kendaraan (%)
No. Ruas Jalan Arah lalu lintas Jam puncak
pagi
Jam puncak
sore
Sepeda Motor
Mobil penumpang Bis Kend.
Barang
Kend. tdk
Bermotor
1 Pemalang ke Tegal
1,165
1,393 30.71 17.50 11.70 28.80 11.27
Martoloyo / Dampyak Tegal ke
Pemalang 868 1,203 31.20 17.26 12.23 28.95 10.36
2 Brebes ke Tegal
1,243
1,567 46.15 22.68 4.36 16.82 9.97
Mayjend Sutoyo
Tegal ke Brebes
1,784
1,502 48.19 22.30 5.73 13.87 9.90
3 Karanganyar Slawi ke Tegal
1,555
1,719 50.24 11.97 1.00 10.37 26.48
Tegal ke Slawi
1,829
1,231 47.13 7.00 4.46 15.79 25.60
Sumber: LPM Diklat Transjaya tahun 2002
• Pada ruas jalan Martoloyo/Dampyak,
Arus lalu lintas dari arah Timur ke Barat (dari arah Pemalang ke Tegal), pada
jam puncak pagi terjadi pada pukul 07.30–08.30 dengan volume lalu lintas
sebesar 1.165 kend/jam dan jam puncak terjadi pada sore hari 15.45–17.00
dengan volume lalu lintas sebesar 1.393 kendaraan/jam. Komposisi lalu lintas
72
yang diperoleh selama survey 24 jam adalah sebagai berikut 30,71% sepeda
motor; 17,5% mobil penumpang; 11,7% bis; 28,8% kendaraan barang dan
11,27 kendaraan tidak bermotor.
Arus lalu lintas dari arah barat ke timur (dari arah Tegal ke Pemalang),
jam puncak pagi terjadi pada pukul 07.30–08.30 dengan volume lalu lintas
sebesar 868 kendaraan/jam dan jam puncak sore pada pukul 16.00–17.00
dengan volume lalu lintas sebesar 1.203 kendaraan/jam. Komposisi lalu
lintas yang diperoleh selama survey 24 jam adalah sebagai berikut 31,2%
sepeda motor; 17,26% mobil penumpang; 12,23% bis; 28,95% kendaraan
barang dan 10,36% kendaraan tidak bermotor (LPM Transjayaa, 2004:II-8).
• Ruas Jalan Mayjend Sutoyo
Arus lalu lintas dari arah Brebes ke Tegal, jam puncak pagi terjadi pada pukul
07.15–08.15 dengan volume lalu lintas sebesar 1.243 kendaraan/jam dan jam
puncak sore terjadi pada pukul 15.45–16.45 dengan volume lalu lintas sebesar
1.567 kendaraan/jam. Komposisi lalu lintas yang diperoleh selama survey 12
jam adalah sebagai berikut 46,15% sepeda motor; 22,68% mobil penumpang;
4,36% bis; 16,82% kendaraan barang dan 9,97% kendaraan tidak bermotor.
Arus lalu lintas dari arah Tegal ke Brebes, jam puncak pagi terjadi pada pukul
06.30–07.45 dengan volume lalu lintas sebesar 1.784 kendaraan/jam dan jam
puncak sore terjadi pada pukul 16.45–17.45 dengan volume lalu lintas sebesar
1.502 kendaraan/jam. Komposisi lalu lintas yang diperoleh selama survey 12
jam adalah sebagai berikut 48,19% sepeda motor; 22,30% mobil penumpang;
73
5,73% bis; 13,87% kendaraan barang dan 9,9% kendaraan tidak bermotor
(LPM Transjayaa, 2004:II-9).
• Ruas Jalan Karanganyar
Arus lalu lintas dari arah Slawi ke Tegal, jam puncak pagi terjadi pada pukul
06.30–07.45 dengan volume lalu lintas sebesar 1.555 kendaraan/jam dan jam
puncak sore terjadi pada pukul 16.15–17.15 dengan volume lalu lintas
sebesar 1.719 kendaraan/jam. Komposisi lalu lintas yang diperoleh selama
survey 12 jam adalah sebagai berikut 50,24% sepeda motor; 11,97% mobil
penumpang; 1,00% bis; 10,37% kendaraan barang dan 26,48% kendaraan
tidak bermotor.
Arus lalu lintas dari arah Tegal ke Slawi, jam puncak pagi terjadi pada pukul
07.30–08.45 dengan volume lalu lintas sebesar 1.829 kendaraan/jam dan jam
puncak sore terjadi pada pukul 16.00–17.00 dengan volume lalu lintas sebesar
1.231 kendaraan/jam. Komposisi lalu lintas yang diperoleh selama survey 12
jam adalah sebagai berikut 47,13% sepeda motor; 7,00% mobil penumpang;
4,46% bis; 15,79% kendaraan barang dan 25,6% kendaraan tidak bermotor
(LPM Transjayaa, 2004:II-10).
• Ruas–Ruas Jalan di Dalam Kota Tegal
Ruas–ruas jalan yang memiliki DS di atas 0,8 adalah Jl. Pancasila, Jl.
Suprapto, Jl. Cokroaminoto, Jl Diponegoro, Jl. Setiabudhi, Jl. Kartini, Jl.
Werkudoro dan Jl. Abimanyu. Ruas–ruas jalan tersebut merupakan jalan
penarik lalu lintas karena disebabkan fungsi tata guna lahan yaitu sebagai
kawasan pergadangan/jasa dan kawasan pendidikan. Selain Alun–Alun, Jl.
74
Pancasila merupakan kawasan ruang publik, dimana pada kawasan tersebut
terdapat pasar tradisional, taman bermain, kampus Universitas Pancasila
(UPS) dan stasiun kereta api, sehingga pada jam sibuk akan terjadi
peningkatan volume lalu lintas yang besar, terutama pada malam minggu. Hal
ini diperburuk dengan tidak adanya tempat parkir yang memadai dan
banyaknya pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang tepi ruas jalan yang
memanfaatkan pedestrian sebagai tempat berjualan, sehingga mengurangi
lebar efektif jalan, yang mengakibatkan kemacetan.
Pada Jl. Letjen Suprapto titik rawan kemacetan terletak di depan toserba
Mitra, Jl. Cokroaminoto titik rawan kemacetan terletak di depan toserba
Dinasti, Jl. AR. Hakim titik rawan kemacetan di depan toserba Marina dan Jl.
Werkudoro titik rawan kemacetan di depan pasar Kejambon. Untuk Jl.
Setiabudhi, Jl. Kartini dan Jl. Abimanyu, kemacetan terjadi pada saat jam
masuk dan pulang sekolah karena ruas–ruas jalan tersebut terletak di kawasan
pendidikan.
Pada ruas–ruas jalan tersebut jam sibuk pagi terjadi pada pukul 06.00–07.00,
jam sibuk siang 10.00–11.00 dan jam sibuk sore 19.00–20.00 (LPM
Transjayaa, 2004:II-12).
75
BAB IV ANALISIS IMPLIKASI PEMANFAATAN LAHAN DAN
MANAJEMEN LALU LINTAS JALAN TERHADAP KONSUMSI BBM DI KOTA TEGAL
4.2. Analisis Kemacetan Lalu Lintas
4.1.1 Derajat Kejenuhan
Dari 6 (enam) ruas jalan yang diteliti, diadakan perhitungan jumlah arus
lalu lintas berdasarkan data survey arus lalu lintas dan perhitungan kapasitas jalan
berdasarkan data geometrik jalan. Untuk survey arus lalu lintas diadakan
perhitungan arus lalu lintas selama 3 jam di 1 titik pada tiap–tiap ruas jalan yang
diteliti. Waktu 3 jam mencakup jam puncak arus lalu lintas. Penentuan jam
puncak dilakukan berdasarkan wawancara di lapangan dengan Polisi Lalu Lintas
dan data dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Hasil survey arus lalu
lintas dapat dilihat pada lampiran A.
76
Data geometrik jalan yang diperlukan dalam perhitungan kapasitas jalan
mencakup panjang jalan, lebar badan jalan dan lebar bahu jalan. Disamping itu
tipe / sistem parkir kendaraan dimasukkan dalam perhitungan karena berpengaruh
terhadap lebar efektif jalan. Rumus yang dipakai untuk perhitungan kapasitas
jalan untuk jalan perkotaan berdasarkan MKJI 1997 adalah sebagai berikut:
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
CO = Kapasitas Dasar (smp/jam) (Tabel II.6)
FCW = Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (Tabel II.7)
FCSP = Faktor Penyesuaian Pemisahan Arah (Hanya Untuk Jalan Tak Terbagi)
( Tabel II.8)
FCSF = Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Dan Bahu Jalan Atau Kereb
Penghalang (Tabel II.9)
FCCS = Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Tabel II.10)
Sedangkan rumus yang dipakai untuk perhitungan kapasitas jalan untuk
jalan luar kota berdasarkan MKJI 1997 adalah sebagai berikut:
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF
C = Kapasitas (smp/jam)
CO = Kapasitas dasar (smp/jam) (Tabel II.11)
FCW = Faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalu lintas (Tabel II.12)
FCSP = Faktor penyesuaian kapasitas akibat pemisahan arah (hanya untuk jalan
tak terbagi) ( Tabel II.13)
77
FCSF = Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping (Tabel II.14)
Hasil perhitungan kapasitas jalan dapat dilihat pada lampiran D.
Berikut ini adalah contoh perhitungan kapasitas jalan untuk jalan
perkotaan dan jalan luar kota. Untuk perhitungan kapasitas jalan perkotaan
diwakili oleh Jl. Ahmad Yani, sedangkan Jl. Martoloyo mewakili jalan luar kota.
1. Jl. Ahmad Yani
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS (smp/jam)
Keterangan:
C0 = 4 x 1.500 smp / jam (tipe jalan empat lajur tak terbagi; 4/2 UD)
FCW = 0,87 (tipe jalan 4/2 UD dan lebar lajur 2,75 m)
FCSP = 0,97 (tipe jalan 4/2 UD dengan perbandingan 55% - 45%)
FCSF = 0,84 (kelas hambatan samping tinggi; jarak kereb–penghalang < 0,5)
FCCS = 0,90 (jumlah penduduk Kota Tegal 245.324 jiwa)
Jadi C = 3.827,93 smp/jam.
2. Jl. Martoloyo
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF (smp/jam)
Keterangan:
C0 = 4 x 1.700 smp / jam (tipe jalan 4/2 UD, tipe alinyemen datar)
FCW = 0,96 (tipe jalan 4/2 UD dan lebar lajur 3,25 m)
FCSP = 0,975 (tipe jalan 4/2 UD dengan perbandingan 55% - 45%)
FCSF = 0,80 (hambatan samping sangat tinggi; lebar bahu efektif < 0,5)
Jadi C = 5.091,84 smp/jam.
TABEL IV.1 PERHITUNGAN KAPASITAS JALAN PERKOTAAN
78
No. Nama Ruas Jalan
Lebar Efektif
(m)
Tipe Jalan
Kelas Hambatan Samping
Co FCw FCsp FCsf FCcs C
1. Jl. A. Yani 11 4/2 UD H 6000 0,87 0,97 0,84 0,90 3.827,93
2. Jl. Werkudoro 5,5 2/2 UD H 2900 0,715 0,91 0,82 0,90 1.392,52
3. Jl. Pancasila 16 4/2 UD VH 6000 1,09 0,99 0,77 0,90 4.464,24
4. Jl. Kapt. Ismail 7 2/2
UD VH 2900 1,00 0,94 0,73 0,90 1.790,98
Sumber: Hasil Analisis 2006
TABEL IV.2 PERHITUNGAN KAPASITAS JALAN LUAR KOTA
No. Nama Ruas Jalan Lebar Efektif
(m)
Tipe Jalan
Kelas Hambatan Samping
Co FCw FCsp FCsf C
1. Jl. Martoloyo 13 4/2 UD VH 6800 0,96 0,975 0,80 5.091,84
2. Jl. Mayjend Sutoyo 14 4/2
UD VH 6800 1,00 0,975 0,80 5.304,00
Sumber: Hasil Analisis 2006
Dalam perhitungan kapasitas menggunakan dua rumus yang berbeda
karena ruas jalan yang diteliti dapat digolongkan menjadi 2 bagian yaitu: sebagai
jalan perkotaan dan jalan luar kota. Jl. Martoloyo dan Jl. Mayjend Sutoyo
digolongkan jalan luar kota karena jalan ini dilalui lalu lintas yang menuju dan
dari luar kota yang dicirikan oleh adanya kendaraan berat yang melalui ruas jalan
ini. Jl. Ahmad Yani, Jl. Werkudoro, Jl. Kapten Ismail dan Jl. Pancasila merupakan
jalan perkotaan karena letaknya di dalam kota dan arus lalu lintas yang melaluinya
menghubungkan antar wilayah dalam kota.
79
Setelah diketahui kapasitas masing–masing ruas jalan, kemudian
diadakan perhitungan jumlah arus lalu lintas, yaitu dengan mengkonversikan
jumlah masing–masing jenis kendaraan kedalam satuan mobil penumpang/jam
(smp/jam). Nilai emp (ekivalen mobil penumpang) dalam perhitungan mengacu
pada MKJI dimana pengaruh kendaraan tak bermotor dimasukkan sebagai
kejadian terpisah dalam faktor penyesuaian hambatan samping (MKJI, 1997:5-
17), jadi kendaraan tidak bermotor tidak dimasukkan pada waktu perhitungan
jumlah arus lalu lintas yang dinyatakan dalam smp (satuan mobil penumpang).
Nilai derajat kejenuhan (DS) diperoleh dengan membagi jumlah arus lalu lintas
(Q) dengan kapasitas (C) masing–masing ruas jalan.
TABEL IV.3 PERBANDINGAN ARUS LALU LINTAS
DAN KAPASITAS JALAN
No. Nama Ruas Jalan Arus lalu Lintas (Q) (smp/jam)
Kapasitas Jalan (C) (smp/jam)
Derajat Kejenuhan
(Q/C)
1 Jl. Martoloyo 3.102,40 5.091,84
0,61
2 Jl. Mayjend Sutoyo 3.185,00 5.304,00
0,60
3 Jl. A. Yani 1.350,00 3.827,93
0,35
4 Jl. Werkudoro 1.093,80 1.392,52
0,79
5 Jl. Pancasila 1.955,80 4.464,24
0,44
6 Jl. Kapten Ismail 1.445,60 1.790,98
0,81 Sumber: Hasil Analisis 2006
Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa derajat kejenuhan (DS)
Jl. Werkudoro dan Jl. Kapten Ismail adalah > 0,75. Sedangkan Jl. Martoloyo, Jl.
M. Sutoyo, Jl. Pancasila, dan Jl. Ahmad Yani adalah DS < 0,75. Pada penelitian
80
oleh LPM Diklat Transjaya pada Studi Manajemen Lalu Lintas di Kota Tegal
(2002), Jl. Pancasila mempunyai DS = 0,89 sedangkan Jl. Ahmad Yani
mempunyai DS = 0,70. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena pada saat
penelitian ini Jl. Pancasila telah mengalami pelebaran badan jalan dari 10 m
menjadi 24 m, sedangkan kegiatan “Tegal Gubug” di Jl. Ahmad Yani sudah
dipindahkan ke lantai dua Blok B Pasar Pagi sehingga tidak menimbulkan
kemacetan lagi. Untuk Jl. Martoloyo dan Jl. M. Sutoyo, hasil penelitian di atas
berbeda menurut versi Bina Marga pada Manajemen Lalu Lintas Propinsi Jawa
Tengah, Jl. Martoloyo mempunyai DS = 1 dan Jl. M. Sutoyo mempunyai DS =
0,86. Tetapi menurut penelitian oleh LPM Diklat Transjaya, hasil penelitian di
atas hampir sama, DS Jl. Martoloyo = 0,64 dan DS Jl. M. Sutoyo = 0,70. Jadi jika
dibandingkan dengan hasil penelitian oleh LPM Diklat Transjaya tahun 2002 DS
Jl. Martoloyo dan Jl. M. Sutoyo tidak berubah dari tahun 2002–tahun 2006, hal ini
kemungkinan disebabkan karena perbedaan cara perhitungan dan perubahan
kondisi Geometrik jalan.
4.1.2 Hambatan Samping
Pada perhitungan hambatan samping dibedakan antara jalan perkotaan
dan jalan luar kota, karena masing–masing mempunyai bobot yang berbeda. Hasil
perhitungan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan Tabel II.23 & II.24. Hasil
survey hambatan samping dapat dilihat pada lampiran B.
TABEL IV.4 KELAS HAMBATAN SAMPING PER JAM PADA JAM PUNCAK
No. Nama Ruas Hambatan Samping Total Kelas
81
Jalan Pejalan
Kaki
Parkir, kendaraan
berhenti
Kendaraan keluar masuk
Kendaraan lambat
A Jalan Luar Kota
1 Jl. Martoloyo 187,20 7,20 3,00 156,00 353,40 Sangat Tinggi
2 Jl. Mayjend Sutoyo 54,00 26,40 183,00 86,80 350,20 Sangat Tinggi
B Jalan Perkotaan 3 Jl. A. Yani 95,00 215,00 1,40 444,40 755,80 Tinggi 4 Jl. Werkudoro 158,00 62,00 - 572,00 792,00 Tinggi 5 Jl. Pancasila 694,50 428,00 - 488,80 1.611,30 Sangat Tinggi 6 Jl. Kapten Ismail 40,50 328,00 98,00 437,60 904,10 Sangat Tinggi
Sumber: Hasil Analisis 2006
Arus lalu lintas yang melewati Jl. Martoloyo dan Jl. Mayjend Sutoyo
cukup padat hal ini ditunjukkan dengan nilai derajat kejenuhan yang mendekati
0,75 yaitu 0,61 untuk Jl. Martoloyo dan 0,60 untuk Jl. Mayjend Sutoyo. Kelas
hambatan samping keduanya termasuk dalam kategori sangat tinggi (353,40)
untuk Jl. Martoloyo dan 350,20 untuk Jl. Mayjend Sutoyo. Tingginya kelas
hambatan samping disebabkan oleh adanya aktivitas pedagang kaki lima, Pasar,
Sekolah, industri dan perdagangan.
Arus lalu lintas di Jl. Ahmad Yani cukup lancar yang ditunjukkan dengan
nilai derajat kejenuhan sebesar 0,35. Penurunan kecepatan terjadi pada saat
kendaraan melalui depan Pasar Pagi karena adanya hambatan samping. Kelas
hambatan samping termasuk dalam kategori tinggi yaitu 755,80. Sejak Pedagang
Tegal Gubug yang tadinya menempati area parkir blok A dipindah ke lantai atas
bangunan blok B, kemacetan lalu lintas tidak terjadi lagi. Pada area parkir blok A
saat ini berdiri bangunan tiga lantai berupa pasar modern. Walaupun volume lalu
lintas cukup tinggi yaitu 1.350 smp/jam, tetapi karena mempunyai kapasitas
jalan yang besar, maka Jl. Ahmad Yani dapat dikatakan mempunyai kinerja yang
baik.
82
Dari hasil pengamatan, arus lalu lintas di Jl. Werkudoro kurang lancar,
hal ini ditunjukkan dengan nilai derajat kejenuhan lebih dari 0,75 yaitu 0,79.
Selain itu adanya hambatan samping yang tinggi (792) dan kondisi geometrik
jalan yang kurang memadai (terlalu sempit) ikut memperburuk kinerja jalan.
Bahkan pada Traffic Light Pasar Kejambon lebar jalan mengecil dari 6 m menjadi
5,5 m. Adanya 2 pasar (Pasar Kejambon dan Pasar Langon) di ruas jalan tersebut
menunjang terjadinya tarikan lalu lintas. Karakteristik lalu lintas di ruas jalan
tersebut didominasi kendaraan tak bermotor dan sepeda motor. Kendaraan tak
bermotor seperti becak dan sepeda merupakan moda angkutan yang banyak
digunakan oleh anak–anak yang akan berangkat sekolah. Sedangkan sepeda motor
banyak digunakan oleh orang yang mengantarkan anak ke sekolah maupun
berangkat bekerja.
Dari tabel di IV.4. terlihat bahwa Jl. Pancasila mempunyai nilai
hambatan samping tertinggi (1611,30) yang menyebabkan waktu tempuh semakin
besar. Hambatan samping disebabkan karena kendaraan tak bermotor dan lalu
lalang orang di jalan karena Jl. Pancasila merupakan area publik, di sana terdapat
taman bermain, pasar dan dekat dengan stasiun kereta api. Di sepanjang jalan
banyak terdapat pedagang kaki lima. Saat diadakan penelitian, Jl. Pancasila telah
mengalami pelebaran karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnya Jl.
Pancasila mempunyai derajat kejenuhan yang paling tinggi yaitu 0,89
dibandingkan ruas jalan lain di Kota Tegal. Dengan adanya pelebaran ini, tidak
terjadi kemacetan lagi yang ditunjukkan dengan nilai derajat kejenuhan sebesar
0,44 (< 0,75). Tetapi waktu tempuh kendaraan tetap lambat terutama saat
83
melewati bundaraan taman bermain karena lebar jalan menyempit dan adanya
kereta mainan yang lewat. Selain itu banyak pedagang kaki lima yang berjualan di
trotoar. Sehingga banyak pejalan kaki yang berjalan di atas badan jalan. Selain
berbahaya, juga menyebabkan arus lalu lintas kurang lancar.
Pada Jl. Kapten Ismail, kepadatan arus lalu lintas terjadi pada saat jam
pulang sekolah yaitu antara jam 13.00–14.00 karena di sana terdapat Kompleks
Sekolah Pius. Banyaknya mobil pribadi pribadi untuk menjemput anak pulang
sekolah dan hambatan samping yang sangat tinggi (904,10) menyebabkan arus
lalu lintas terhambat. Selain itu banyak becak dan sepeda yang berhenti di
gerbang pintu masuk sekolah sehingga mengurangi lebar efektif jalan.
Dari nilai derajat kejenuhan semua ruas jalan yang diteliti menunjukkan
bahwa Jl. Werkudoro dan Jl. Kapten Ismail mempunyai nilai derajat kejenuhan
yang melebihi 0,75. Selain disebabkan oleh hambatan samping yang tinggi seperti
diuraikan di atas, hal ini disebabkan karena kapasitas jalan yang sudah tidak
memadai. Kenyataan di lapangan menunjukkan ada beberapa jenis pemanfaatan
lahan yang menyebabkan berkurangnya lebar efektif jalan karena pemakai jalan
tidak mematuhi peraturan lalu lintas, terutama di Jl. Kapten Ismail dan Jl.
Werkudoro.
Di Jl. Kapten Ismail, ada becak yang parkir tepat di depan gerbang
sekolah Pius. Parkir becak tersebut memakan 1/3 lebar badan jalan. Adanya becak
menyebabkan kendaraan pada jalur yang dipakai becak harus berhenti dan
menunggu giliran untuk lewat. Jadi jalan yang mempunyai 2 jalur, seolah–olah
hanya mempunyai satu jalur. Walaupun gangguan hanya terdapat pada satu titik,
84
ternyata cukup mengganggu pengguna jalan yang lain dan mengakibatkan waktu
tempuh kendaraan semakin lama. Hal ini sering terjadi pada sekitar ruas jalan
dengan jenis pemanfaatan lahan untuk sekolah dan pasar. Kasus ini juga terjadi di
Jl. Kartini, Jl. Veteran, dan Jl. KH. Dahlan.
GAMBAR 4.1 KONDISI LALU LINTAS DI JL. KAPTEN ISMAIL
PADA JAM PUNCAK (SIANG HARI)
Di Jl. Werkudoro, bahu jalan dekat traffic light Pasar Kejambon dipakai
untuk parkir becak, sepeda, dan sepeda motor, bahkan untuk berjualan. Padahal di
lokasi tersebut terdapat tanda dilarang berhenti. Lebar efektif jalan berkurang pada
saat becak melakukan manuver sehingga memakan sebagian badan jalan. Pada
saat becak bermanuver, mereka cenderung tidak peduli dengan kondisi lalu lintas
di sekitarnya. Sehingga kendaraan pada jalur yang dipakai untuk manuver
terpaksa berhenti dan mengakibatkan antrian kendaraan. Selain itu, pada saat
lampu merah, ada sebagian kendaraan yang tidak berhenti pada jalurnya sehingga
kendaraan dari arah yang berlawanan berjalan lambat karena lebar jalur
berkurang. Bahkan di traffic light Pasar Kejambon, arus lalu lintas yang menuju
85
ke Jl. Werkudoro, sering terpaksa berhenti karena di depannya ada sepeda motor
yang menghalangi jalan. Setelah sepeda motor mundur dan pindah ke jalurnya
sendiri, kendaraan di depannya bisa berjalan.
GAMBAR 4.2 KONDISI BAHU JALAN DI JL. WERKUDORO
(SAMPING PASAR KEJAMBON)
4.1.3 Jumlah Kendaraan
Selain hambatan samping, sepeda motor yang mendominasi sebagian
besar ruas jalan yang diteliti juga menyebabkan tundaan atau penurunan
kecepatan kendaraan. Hal ini disebabkan karena perilaku pengemudi sepeda
motor yang cenderung memakai jalur cepat, berjalan zig–zag dan berhenti pada
saat lampu merah di tempat yang bukan jalurnya atau pada jalur yang berlawanan
arah sehingga menghambat laju kendaraan lain. Pada Jl. Pancasila jumlah sepeda
motor paling besar diantara keenam ruas jalan yang diteliti yaitu 4.367 unit
(95,43% dari jumlah total kendaraan bermotor).
86
TABEL IV.5 JUMLAH KENDARAAN BERMOTOR (UNIT) PADA JAM PUNCAK
Jumlah Kendaraan (unit)
No. Nama Ruas Jalan Kendaraan Berat (HV)
Kendaraan Ringan
(LV)
Sepeda Motor (MC)
Total
1 Jl. Martoloyo 545 1,121 1,395 3,061 2 Jl. Mayjend Sutoyo 562 1,204 1,517 3,283 3 Jl. A. Yani - 626 1,810 2,436 4 Jl. Werkudoro - 201 2,232 2,433 5 Jl. Pancasila - 209 4,367 4,576 6 Jl. Kapten Ismail - 720 1,814 2,534
Sumber: Hasil Analisis 2006
4.3. Analisis Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Analisis bangkitan dan tarikan pergerakan dilakukan untuk mengetahui
jumlah bangkitan dan tarikan pergerakan yang disebabkan oleh jenis pemanfaatan
lahan di sekitar ruas–ruas jalan yang diteliti. Pada tahap ini dilakukan
perhitungan jumlah bangkitan dan tarikan pergerakan dihubungkan dengan jenis
pemanfaatan lahan existing kemudian dianalisis dampaknya terhadap volume lalu
lintas.
Menurut Godschalk (1988) dalam Kaiser (1995:207), klasifikasi tata
guna lahan/land use untuk daerah perkotaan terdiri dari residential (permukiman);
commercial and service (perdagangan dan jasa); industrial (industri);
transportation, communications, and utilities (Transportasi, komunikasi dan
87
prasarana); dan Public or institusional (fasilitas umum/ruang publik atau institusi
pemerintah).
Dari analisis bangkitan dan tarikan pergerakan kemudian dapat dihitung
kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas. Selain itu dengan
menggunakan data sekunder matriks OD diadakan analisis asal & tujuan
perjalanan untuk mengetahui besarnya pembebanan jaringan pada ruas–ruas jalan
yang diteliti.
4.2.1 Kontribusi Pemanfaatan Lahan terhadap Arus Lalu Lintas
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa sebagian besar ruas–ruas jalan
yang diteliti mempunyai pemanfaatan lahan campuran, kecuali Jl. Ahmad Yani
yang merupakan daerah khusus perdagangan dan jasa. Secara garis besar hasil
pengamatan pemanfaatan lahan (lihat lampiran C) di sekitar ruas jalan adalah
sebagai berikut:
- Jalan Martoloyo, merupakan jalan Arteri Primer. Pemanfaatan lahan di sekitar
ruas jalan dapat diklasifikasikan sebagai pemanfaatan lahan campuran yang
terdiri dari: industri, perdagangan (rumah makan, onderdil/spare part
kendaraan, pasar dan kios tembakau), jasa (bengkel kendaraan, tempat cuci
kendaraan), dan Sekolah (SMPN 9 Kota Tegal). Pemanfaatan lahan untuk
industri (44,42%) dan perdagangan (44,2%) mempunyai prosentase yang
besar.
- Jalan Mayjend Sutoyo, merupakan jalan Arteri Primer. Pemanfaatan lahan di
sekitar ruas jalan dapat diklasifikasikan sebagai pemanfaatan lahan campuran
yang terdiri dari: perdagangan dan jasa (supermarket, stasiun pengisian
88
bensin, hotel, rumah makan, praktek dokter, apotik, gedung pertemuan, toko
alat olah raga, bank, kantor swasta), sekolah (SMP Al-Irsyad), Institusi
(Pengadilan Negeri), dan permukiman. Lingkungan di sekitar ruas jalan
terlihat rapi dan teratur tetapi ada pemandangan yang sedikit mengganggu
karena di trotoar sebelah utara ruas jalan dekat halte bis terdapat pedagang
kaki lima. Kalau tidak diantisipasi dari sekarang, tidak menutup kemungkinan
jumlahnya akan bertambah. Keteraturan terlihat karena sebagian besar
bangunan mengikuti garis sempadan bangunan. Banyak bangunan rumah
tinggal yang merupakan bangunan kuno tetapi terlihat rapi dan terawat.
Pemanfaatan lahan untuk hotel (33,08%) dan perdagangan/supermarket
(30,81%) menduduki prosentase yang terbesar.
- Jalan Ahmad Yani, merupakan jalan arteri sekunder. Pemanfaatan lahan di
sekitar ruas jalan yaitu sebagai kawasan perdagangan (pertokoan, pasar, hotel
dan bank) yaitu sebesar 96,30%, walaupun masih ada sebagian kecil (3,7%)
yang berupa rumah tinggal (bangunan kuno). Pemanfaatan lahan ini sudah
sesuai dengan rencana tata guna lahan pada RTRW Kota Tegal.
- Jalan Werkudoro, merupakan jalan arteri sekunder. Pemanfaatan lahan di
sekitar ruas jalan dapat diklasifikasikan sebagai pemanfaatan lahan campuran
yang terdiri dari : perdagangan dan jasa (pasar, pertokoan, bengkel, warteg,
minimarket, salon, praktek dokter) dan permukiman. Pemanfaatan lahan di
sekitar ruas jalan belum tertata dengan rapi dan terkesan semrawut, upaya
penataan telah dilakukan dengan merenovasi Pasar Langon. Kesan kumuh
terlihat di Pasar Kejambon, sebagian rumah/permukiman dan pedagang kaki
89
lima. Jl. Werkudoro termasuk Kelurahan Kejambon yang mempunyai
kepadatan penduduk cukup tinggi. Pemanfaatan lahan untuk perdagangan
sebesar 48,65%, rumah tinggal sebesar 48,49% dan sekolah sebesar 2,86%
dari total luas lahan yang ada.
- Jalan Pancasila, merupakan jalan kolektor primer. Pemanfaatan lahan di
sekitar ruas jalan dapat diklasifikasikan sebagai pemanfaatan lahan campuran
yang terdiri dari: perdagangan/jasa (bank, gedung pertemuan, rumah makan,
kios, pasar); fasilitas umum (taman bermain); dan sekolah (kampus ups). Saat
ini tidak terjadi kemacetan di Jl. Pancasila, karena telah diadakan pelebaran
jalan dari 10 m menjadi 24 m. Areal yang sebelumnya merupakan tempat
berjualan pedagang kaki lima (sebelah selatan), sekarang terkena pelebaran
jalan, sehingga pkl berjualan pada trotoar. Trotoar sebagai tempat pejalan kaki
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pelebaran jalan memang meningkatkan
kapasitas jalan dan menjadikan jalan Pancasila tidak macet lagi, tetapi ternyata
tidak dilakukan upaya penataan pedagang kaki lima. Bahkan pedagang kaki
lima yang sebelum pelebaran menempati sebelah selatan ruas jalan, sekarang
menempati trotoar di sebelah utara dan selatan jalan. Kesan kumuh terlihat di
sekitar pasar dan pada bangunan kios yang semi permanen. Pemanfaatan lahan
untuk perdagangan sebesar 38,20%; sekolah 32,39%; kantor 25,32% dan
rumah tinggal 4,08%.
- Jalan Kapten Ismail merupakan jalan kolektor primer. Pemanfaatan lahan di
sekitar ruas jalan dapat diklasifikasikan sebagai pemanfaatan lahan campuran
yang terdiri dari : fasilitas umum (sekolah dan gereja); perdagangan dan jasa
90
(rumah/warung makan, bengkel, kios/toko, praktek dokter); permukiman. Di
sekitar Jl. Kapten Ismail terdapat banyak bangunan rumah yang mewah
karena termasuk kawasan elite. Kepadatan lalu lintas terjadi pada jam 13.00–
14.00 saat anak–anak pulang sekolah karena banyak anak sekolah yang
dijemput dengan mobil. Pemanfaatan lahan untuk rumah tinggal sebesar
53,20%; perdagangan 35,06%; sekolah 8,58%; gereja 8,58% dan kantor
1,38%.
Untuk perhitungan bangkitan dan tarikan pergerakan menggunakan
luasan lahan dikalikan dengan tingkat bangkitan pergerakan sesuai dengan hasil
kajian BNI City untuk Perkantoran dan Pertokoan, kajian Danayasa City untuk
pemukiman serta kajian BNI City dan Pondok Indah Mall untuk hotel (lihat
Tabel II.2–II.4). Luas lantai bangunan diperoleh dengan pengamatan di lapangan
untuk mengindentifikasi jenis bangunan serta peta photo udara pada program
Google Earth untuk mengetahui dimensi bangunan. Dari hasil perhitungan
diketahui bahwa pemanfaatan lahan pada sekitar ruas jalan yang mempunyai
kontribusi cukup besar terhadap arus lalu lintas adalah pemanfaatan lahan untuk
perdagangan dan jasa. Dari hasil perhitungan dapat dianalisis sebagai berikut:
- Pada Jl. Martoloyo kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas
sangat kecil yaitu 5,34%. Hal ini terjadi karena jam puncak lalu lintas terjadi
pada jam 08.15–09.15 dimana aktivitas perdagangan yang mempunyai
prosentase tinggi belum dimulai. Selain itu untuk tingkat bangkitan lalu lintas
untuk daerah industri, penulis mengambil referensi dari penelitian di Inggris
sehingga hasilnya kurang mendekati. Pada tabel. II.1 tingkat bangkitan lalu
91
lintas sebesar 5 kendaraan/100 m2 luas lantai industri, diasumsikan tingkat
bangkitan tersebut untuk satu hari kerja selama 8 jam.
- Pada Jl. Mayjend Sutoyo kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu
lintas adalah 7,02%. Pemanfaatan lahan untuk perdagangan memberikan
kontribusi yang paling besar yaitu 134,30 smp/jam (lihat lampiran 14) karena
terdapat Pacific Mall. Di Jl. Mayjend Sutoyo terdapat 2 pintu masuk dari 3
pintu masuk ke Pacific Mall, jadi jumlah bangkitan dikalikan 2/3.
- Pada Jl. Ahmad Yani kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas
merupakan yang paling besar diantara keenam ruas jalan yang diteliti yaitu
sebesar 37,11%. Karena di sepanjang jalan tersebut merupakan kawasan
pertokoan dan terletak Pasar Pagi. Pemanfaatan lahan sebesar 96,3%
merupakan pertokoan dan pasar yang menjual berbagai jenis barang.
- Pada Jl. Werkudoro kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas
hanya 5,12% karena pada saat jam puncak yaitu jam 07.00–08.00, aktivitas
perdagangan belum dimulai. Arus lalu lintas dipenuhi oleh anak–anak yang
berangkat sekolah dan orang berangkat kerja. Jadi pada saat jam puncak arus
lalu lintas berasal dari permukiman di sekitar ruas jalan yang merupakan
permukiman dengan tingkat kepadatan tinggi dan dari arah Mejasem
Kabupaten Tegal.
- Pada Jl. Pancasila kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas
hanya 1,68% karena jumlah bangkitan lalu lintas dihitung pada saat jam
puncak yaitu jam 19.30 dan 20.30 pada hari Sabtu. Yang memberikan tarikan
lalu lintas di jalan ini sebenarnya adalah adanya taman bermain dan aktivitas
92
pedagang kaki lima karena Jl. Pancasila merupakan kawasan publik. Selama
ini belum ada penelitian mengenai tingkat bangkitan kawasan publik terhadap
lalu lintas.
- Pada Jl. Kapten Ismail kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas
sebesar 15,20% (perdagangan, permukiman dan perkantoran). Yang membuat
ruas jalan ini macet adalah dengan adanya kompleks sekolah. Karena belum
ada penelitian mengenai tingkat bangkitan lalu lintas untuk sekolah, maka
kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas belum
memperhitungkan hal tersebut.
Tingkat bangkitan lalu lintas pada jenis pemanfaatan lahan untuk
perdagangan memberikan kontribusi yang paling besar dibandingkan jenis
pemanfaatan lahan yang lain. Untuk tingkat bangkitan lalu lintas pada jenis
pemanfaatan lahan sekolah dan area publik belum pernah diadakan penelitian.
Dari pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa tarikan lalu lintas pada area
publik cukup besar.
4.2.2 Asal dan Tujuan Perjalanan
Analisis asal dan tujuan perjalanan menggunakan input data sekunder
data matriks OD (Origin Destination) untuk perjalanan dengan menggunakan
mobil pribadi (smp/hari) yang dibuat oleh BPL Transjaya tahun 2002 (lihat
lampiran E). Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui besarnya
pembebanan jaringan jalan pada ruas jalan yang diteliti. Dari data matriks OD
tersebut, jumlah perjalanan asal dan tujuan dari ruas jalan yang diteliti adalah
sebagai berikut:
93
- Jalan Martoloyo termasuk dalam zona 16 (Mintaragen). Total tujuan
perjalanan ke zona ini adalah 5.166 smp/hari, sedangkan total asal perjalanan
dari zona ini adalah 5.205 smp/hari. Tujuan perjalanan terbesar ke zona 17
(Panggung) yaitu sebesar 775 smp/hari, sedangkan asal perjalanan terbesar
dari zona 17 (Panggung) yaitu sebesar 766 smp/hari.
- Jalan Mayjend Sutoyo termasuk dalam zona 1 (Kraton). Total tujuan
perjalanan ke zona ini adalah 4.776 smp/hari, sedangkan total asal perjalanan
dari zona ini adalah 4756 smp/hari. Tujuan perjalanan terbesar ke zona 8
(Tegalsari) yaitu sebesar 610 smp/hari, sedangkan asal perjalanan terbesar dari
zona 8 (Tegalsari) yaitu sebesar 613 smp/hari.
- Jalan Ahmad Yani termasuk dalam zona 9 ( Mangkukusuman). Total tujuan
perjalanan ke zona ini adalah 1.028 smp/hari, sedangkan total asal perjalanan
dari zona ini adalah 1.060 smp/hari. Tujuan perjalanan terbesar ke zona 17
(Panggung) yaitu sebesar 109 smp/hari, sedangkan asal perjalanan terbesar
dari zona 17 (Panggung) yaitu sebesar 108 smp/hari.
- Jalan Werkudoro termasuk dalam zona 11 (Kejambon). Total tujuan
perjalanan ke zona ini adalah 3.817 smp/hari, sedangkan total asal perjalanan
dari zona ini adalah 3.841 smp/hari. Tujuan perjalanan terbesar ke zona 17
(Panggung) yaitu sebesar 441 smp/hari, sedangkan asal perjalanan terbesar
dari zona 17 (Panggung) yaitu sebesar 439 smp/hari.
- Jalan Pancasila termasuk dalam zona 10 (Mangkukusuman). Total tujuan
perjalanan ke zona ini adalah 1.046 smp/hari, sedangkan total asal perjalanan
dari zona ini adalah 1.122 smp/hari. Tujuan perjalanan terbesar ke zona 17
94
(Panggung) yaitu sebesar 111 smp/hari, sedangkan asal perjalanan terbesar
dari zona 17 (Panggung) yaitu sebesar 111 smp/hari.
- Jalan Kapten Ismail termasuk dalam zona 1 (Kraton). Total tujuan perjalanan
ke zona ini adalah 4.776 smp/hari, sedangkan total asal perjalanan dari zona
ini adalah 4756 smp/hari. Tujuan perjalanan terbesar ke zona 8 (Tegalsari)
yaitu sebesar 610 smp/hari, sedangkan asal perjalanan terbesar dari zona 8
(Tegalsari) yaitu sebesar 613 smp/hari.
Secara keseluruhan asal tujuan perjalanan yang paling dominan berasal
dari zona asal 29 (Kabupaten Tegal/Pemalang) dan zona tujuan 28 (Kabupaten
Brebes) dengan jumlah perjalanan 6.836 smp/hari. Kemudian disusul dengan zona
asal 28 dan zona tujuan 29 dengan jumlah perjalanan 3.729 smp/hari.
Dihubungkan dengan ruas jalan yang diteliti, ruas jalan yang dilalui oleh zona 28
dan zona 29 adalah Jl. Mayjend Sutoyo dan Jl. Martoloyo yang merupakan jalan
arteri primer. Dari hasil analisis pemanfaatan lahan diketahui bahwa kontribusi
pemanfaatan lahan terhadap jumlah arus lalu lintas adalah 5,23% (Jl. Martoloyo)
dan 10,88% (Jl. Mayjend Sutoyo). Arus lalu lintas yang terbesar berasal dari luar
kota yang ditunjukkan oleh matriks asal tujuan. Jadi arus lalu lintas yang melalui
kedua ruas jalan tersebut merupakan arus lalu lintas menerus, hal ini sesuai
dengan fungsi kedua ruas jalan tersebut yang merupakan jalan arteri primer.
Adanya Pacific mall yang kedua pintu masuknya berhubungan dengan Jl.
Mayjend Sutoyo, ternyata tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap arus lalu
lintas. Apabila jalan lingkar utara telah dioperasikan, Jl. Mayjend Sutoyo akan
beralih fungsi sebagai jalan arteri sekunder.
95
Untuk perjalanan asal dan tujuan dalam kota, yang paling dominan
adalah perjalanan dari dan ke zona 8 (Tegalsari), dengan jumlah total asal
perjalanan dari zona ini ke seluruh zona sebesar 7.597 smp/hari dan jumlah total
tujuan perjalanan dari seluruh zona ke zona ini sebesar 7.640 smp/hari. Kemudian
disusul oleh perjalanan dari dan ke zona 17 (Panggung), dengan jumlah total asal
perjalanan dari zona ini ke seluruh zona sebesar 7.497 smp/hari dan jumlah total
tujuan perjalanan dari seluruh zona ke zona ini sebesar 7.649 smp/hari. Jumlah
perjalanan dari dan ke zona 8 serta 17 mendominasi perjalanan dengan
menggunakan kendaraan pribadi pada ruas – ruas jalan yang diteliti.
Kedua kelurahan/zona tersebut menempati urutan kesatu dan kedua
dalam hal jumlah penduduk yaitu 25.988 jiwa untuk Kelurahan Panggung dan
23.084 jiwa untuk Kelurahan Tegalsari. Kepadatan penduduk sebesar 11.654
jiwa/km2 dengan luas wilayah 2,23 km2 untuk Kelurahan Panggung dan 10.541
jiwa/km2 dengan luas wilayah 2,19 km2 untuk Kelurahan Tegalsari. Sedangkan
kelurahan yang paling padat penduduknya adalah Kelurahan Kejambon yaitu
13.858 jiwa/km2 dengan luas wilayah 0,86 km2 dan jumlah penduduk 11.918 jiwa.
Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Panggung sebagain besar adalah
sebagai buruh bangunan (6.407 orang), buruh industri (6.156 orang), PNS/ABRI
(2.437 jiwa) dan pedagang (1.014 orang). Sedangkan mata pencaharian penduduk
di Kelurahan Tegalsari yang terbesar adalah sebagai nelayan (5.295 orang) karena
kelurahan ini terletak di dekat pantai. Jumlah penduduk yang besar dan jenis mata
pencaharian yang membutuhkan perjalanan untuk menuju tempat bekerja
menyebabkan besarnya jumlah perjalanan di kedua kelurahan tersebut. Kecuali
96
untuk Kelurahan Tegalsari karena matapencaharian sebagai nelayan hanya
membutuhkan perjalanan yang tidak terlalu jauh yaitu ke kecamatan Muarareja.
Tetapi dari matriks OD diketahui bahwa jumlah perjalanan penduduk ke dan dari
Tegalsari menuju zona–zona lain cukup besar.
4.4. Analisis Manajemen Lalu Lintas Jalan
Penanganan masalah kemacetan dengan manajemen lalu lintas dapat
dilakukan pada ruas jalan yang mempunyai derajat kejenuhan antara 0,6 sampai
0,8 (Tamin, 2000:549). Dari keenam ruas jalan yang diteliti ada empat ruas jalan
yang perlu ditangani dengan manajemen lalu lintas yaitu Jl. Martoloyo (DS=0,61);
Jl. Mayjend Sutoyo (DS=0,60); Jl. Werkudoro (DS=0,79); dan Jl. Kapten Ismail
(DS=0,81). Tujuan penerapan manajemen lalu lintas jalan antara lain dengan
meningkatkan kapasitas jalan atau memperkecil volume lalu lintas sehingga nilai
derajat kejenuhan dapat diperkecil. Kondisi existing manajemen lalu lintas pada
keempat ruas jalan ini adalah sebagai berikut:
- Jalan Martoloyo merupakan jalan arteri primer, jadi sebagian besar arus lalu
lintas berasal dan menuju keluar kota. Rambu-rambu lalu lintas dalam kondisi
bagus. Terdiri dari rambu peringatan sebanyak 6 buah, dan rambu larangan
sebanyak 11 buah (Dinas Perhubungan Kota Tegal). Selain rambu lalu lintas,
juga dilengkapi dengan 2 alat pengatur lalu lintas yaitu pada simpang lima
Martoloyo–Serayu dan simpang tiga Martoloyo–Perintis Kemerdekaan.
Kondisi garis marka tidak jelas/agak kabur. Pada sebagian badan jalan
mengalami kerusakan yaitu berupa gelombang pada permukaan jalan yang
cukup mengganggu pengemudi. Halte/shelter hanya ada satu buah yaitu di
97
sebelah utara ruas jalan di dekat simpang lima Martoloyo-Serayu. Di ruas
jalan ini tidak terdapat jembatan penyeberangan, padahal terdapat sekolah
(SMPN 9), sehingga memerlukan perhatian dan tenaga ekstra bagi Polisi Lalu
Lintas untuk menyeberangkan anak sekolah. Sistem parkir paralel sejajar pada
sisi kiri dan kanan jalan, pada titik–titik tertentu (terutama di dekat Pasar
Martoloyo) memakan sebagian badan jalan karena lebar bahu jalan hanya 1 m.
- Jalan Mayjend Sutoyo merupakan jalan arteri primer. Karena terletak di dalam
kota, terjadi percampuran arus lalu lintas. Apabila jalan Lingkar Utara telah
selesai dibangun, Jl. Mayjend Sutoyo akan beralih fungsi menjadi jalan arteri
sekunder. Garis marka jalan dalam kondisi bagus/jelas. Rambu–rambu
lalulintas yang terdiri dari rambu peringatan (1 buah), rambu larangan (10
buah), rambu perintah (1 buah) dan rambu petunjuk (2 buah) dalam kondisi
bagus. Terdapat 3 buah halte yang kondisinya masih bagus, semuanya
terletak di sebelah utara ruas jalan. Terdapat 1 buah jembatan penyeberangan
di depan Pacific Mall. Selain itu terdapat 2 buah lampu pengatur lalu lintas
(traffic light), yaitu simpang empat Maya–Pacific Mall dan simpang tiga
Pramesti–Gajah Mada. Sistem parkir parallel sejajar pada sisi kanan & kiri
jalan, memakan sebagian badan jalan karena lebar bahu jalan hanya 1 m.
Semua bangunan baik rumah tinggal, kantor, toko, hotel dan mall mempunyai
halaman yang luas untuk parkir maupun parkir di dalam gedung, kecuali
Gedung Pertemuan Al ’Irsyad. Walaupun menyediakan tempat parkir di
halaman, tetapi kapasitasnya sangat terbatas (hanya 6-8 kendaraan) dan tidak
sebanding dengan jumlah kendaraan yang memerlukan tempat parkir pada
98
saat gedung tersebut disewa untuk suatu acara. Akhirnya sebagian kendaraan
parkir di gedung sebelah (Kantor Pengadilan Negeri), tetapi tetap ada yang
parkir di bahu jalan karena orang malas berjalan terlalu jauh. Di kawasan ini
terdapat sekolah Al’Irsyad. Polisi Lalu lintas berjaga–jaga pada jam masuk
dan pulang sekolah untuk membantu menyeberangkan anak sekolah.
- Jalan Werkudoro merupakan jalan arteri sekunder. Lebar jalan yang hanya 6
m dan menyempit pada Traffic Light Pasar Kejambon sehingga menjadi 5,5m
sebenarnya sudah tidak layak melayani arus lalu lintas yang melaluinya. Garis
marka jalan memudar/tidak jelas. Rambu–rambu lalu lintas dari rambu
peringatan (4 buah), rambu larangan (2 buah), rambu perintah (6 buah) dan
rambu petunjuk (1 buah) dalam kondisi baik. Pada jam sibuk yaitu jam
06.00–09.00 dan 13.00–18.00 truk dilarang masuk, rambu ini dipasang di
dekat Traffic Light Pasar Kejambon. Pada rambu dilarang berhenti di samping
Pasar Kejambon digunakan untuk parkir sepeda, sepeda motor dan becak.
Pada saat menuju dan meninggalkan tempat parkir, manuver becak dan sepeda
motor mengurangi lebar efektif jalan. Terdapat 2 buah alat pengatur lalu lintas
yaitu di simpang empat Kejambon dan simpang empat Langon.
- Jalan Kapten Ismail merupakan jalan kolektor primer. Tidak ada Polisi yang
berjaga pada saat lalu lintas padat (jam 13.00). Garis marka jalan dalam
kondisi bagus. Rambu–rambu lalu lintas dari rambu peringatan (3 buah),
rambu larangan (3 buah) dan rambu petunjuk (3 buah) dalam kondisi baik.
Sistem parkir paralel pada kedua sisi jalan. Terdapat 1 buah alat pengatur lalu
lintas yaitu pada simpang empat Kapt. Ismail–Brigjend. Katamso.
99
Pemecahan masalah dengan manajemen lalu lintas pada keempat ruas
jalan tersebut sebagian ada yang sudah dilaksanakan oleh Pemda Kota Tegal
seperti di Jl. Martoloyo. Penerapan manajemen lalu lintas berdasarkan kondisi
existing untuk keempat ruas jalan tadi adalah sebagai berikut:
1. Jalan Martoloyo
Dengan adanya pemindahan lokasi Pasar Martoloyo pada Jl. Perintis
Kemerdekaan akan menurunkan kelas hambatan samping yang semula masuk
kategori sangat tinggi (353,30) menjadi sedang karena kawasan tersebut
merupakan kawasan industri dengan aktivitas perdagangan yang tidak terlalu
ramai, kebanyakan berupa rumah makan dan toko spare part mobil/motor.
Berkurangnya hambatan samping mengakibatkan kapasitas jalan meningkat
dari 5.091,84 smp/jam menjadi 5.982,91 smp/jam (lihat lampiran 15) dan
derajat kejenuhan berkurang dari 0,61 menjadi 0,52.
2. Jalan M. Sutoyo
Pembangunan Jalan Lingkar Utara mulai dilaksanakan pada tahun 2004.
Setelah Jalan Lingkar Utara selesai dibangun, Jl. M. Sutoyo akan berubah
fungsi sebagai jalan arteri sekunder sehingga arus lalu lintas luar kota
terutama kendaraan berat akan dialihkan ke jalan lingkar utara. Apabila kita
asumsikan semua kendaraan berat berpindah melewati jalan lingkar utara,
jumlah arus lalu lintas yang semula 3.185 smp/jam menjadi 1.904,6 smp/jam
sehinga derajat kejenuhan yang semula 0,60 menjadi 0,36.
100
3. Jalan Werkudoro
Dengan lebar jalan yang sangat sempit upaya penanganan dapat dilakukan
dengan melebarkan badan jalan. Lebar jalan yang semula 5,5 m dibuat
menjadi 7 dengan bahu jalan 1,5 m. Dengan penanganan ini kapasitas jalan
bertambah dari 1.392,52 smp/jam menjadi 2.137,59 smp/jam (lihat lampiran
16), dan derajat kejenuhan berkurang dari 0,79 menjadi 0,51.
4. Jalan Kapten Ismail
Pengadaan bis sekolah dapat dilakukan untuk ruas jalan ini, karena banyak
murid yang diantar jemput dengan mobil. Dengan bis sekolah kelas hambatan
samping yang semula tinggi menjadi rendah karena berkurangnya kendaraan
parkir, becak dan sepeda. Dengan penanganan ini derajat kejenuhan berkurang
dari 0,81 menjadi 0,59.
TABEL IV.6 PERBANDINGAN KAPASITAS / VOLUME DAN DERAJAT KEJENUHAN EXISTING
SETELAH DILAKUKAN MANAJEMEN LALU LINTAS
Kapasitas, Volume (smp/jam) Derajat Kejenuhan (DS) No. Nama Ruas
Jalan existing Do Something
selisih (%) existing Do
Something selisih
(%)
1. Jl. Martoloyo 5,091.84 5,982.91 17.50% 0.61 0.52 -
14.89%
2. Jl. Mayjend Sutoyo
- kapasitas 5,304.00 5,304.00 - - -
- volume 3,370.40 1,904.60 -
43.49% 0.60 0.36 -
40.20%
3. Jl. Werkudoro 1,392.52 2,137.59 53.51% 0.79 0.51 -
34.86%
4. Jl. Kapten Ismail 1,790.98 2,453.40 36.99% 0.81 0.59 -
27.00% Sumber: Hasil Analisis 2006
Untuk perhitungan secara detail dapat dilihat pada lampiran D.
101
4.5. Analisis Konsumsi Bahan Bakar
Konsumsi bahan bakar mempunyai pengaruh yang terbesar dalam biaya
operasi kendaraan. Analisis konsumsi bahan bakar dilakukan dengan
membandingkan konsumsi bahan bakar pada kecepatan existing atau kecepatan
sesungguhnya dengan konsumsi bahan bakar pada kecepatan arus bebas setelah
diadakan manajemen lalu lintas. Yang dimaksud konsumsi bahan bakar di sini
adalah konsumsi bahan bakar dasar/basic fuel. Konsumsi bahan bakar dasar
adalah konsumsi bahan bakar pada kondisi lalu lintas bebas, kelandaian yang
relatif datar (0%), dan kekasaran permukaan relatif tidak mempengaruhi konsumsi
bahan bakar (LAPI ITB 1996:III-1).
Saat arus lalu lintas padat pada jam sibuk terjadi penurunan kecepatan
kendaraan yang mengakibatkan waktu tempuh semakin lama. Penurunan
kecepatan akan mengakibatkan konsumsi bahan bakar semakin besar,
bertambahnya waktu tempuh akan mengakibatkan pemborosan dari segi waktu
dan biaya.
Survey kecepatan kendaraan dilakukan dengan metode spot speed
(kecepatan setempat). Kecepatan setempat adalah kecepatan kendaraan pada suatu
saat diukur dari suatu tempat yang ditentukan (Hobbs, 1995:86). Pengukuran
kecepatan dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu dengan mengukur
kecepatan kendaraan pada saat jam puncak yang melewati sepanjang penggal
jalan tertentu. Panjang penggal jalan diambil 100 m dimana kecepatan kendaraan
tidak terhambat. Pengukuran dilakukan tiap lima menit sekali terhadap berbagai
jenis kendaraan yang melewati penggal jalan tersebut. Dengan menggunakan stop
102
watch waktu tempuh diukur. Kecepatan survey adalah jarak tempuh dibagi
dengan waktu tempuh (km/jam). Kecepatan arus bebas diperoleh dengan
menggunakan rumus kecepatan arus bebas sesuai dengan Manual Kapasitas Jalan
Indonesia 1997. Perhitungan kecepatan arus bebas dapat dilihat pada lampiran G.
Perhitungan konsumsi bahan bakar dasar menggunakan rumus:
Konsumsi bahan bakar dasar = 0,0284 V2-3,0644V+141,68 (kendaraan ringan)
Bis = 2,2655 x konsumsi bahan bakar dasar
Truk = 2,3004 x konsumsi bahan bakar dasar
Kemudian konsumsi bahan bakar dasar ditambah faktor koreksi akibat kondisi
arus lalu lintas (kl). Karena kondisi jalan datar dan mempunyai permukaan yang
tidak kasar, maka faktor koreksi akibat kelandaian dan kekasaran permukaan jalan
dianggap nol.
Untuk menghitung konsumsi bahan bakar sepeda motor menggunakan
perhitungan konsumsi bahan bakar dasar kemudian dikalikan dengan jumlah
sepeda motor yang telah dikalikan dengan nilai emp (ekivalen mobil penumpang)
sehingga satuannya menjadi smp (satuan mobil penumpang). Perhitungan
konsumsi bahan bakar untuk masing – masing jenis kendaraan dapat dilihat pada
lampiran H.
TABEL IV.7 KONSUMSI BBM PADA JAM PUNCAK
Derajat kejenuhan Faktor koreksi (Kl) Konsumsi BBM /jam + Kl (liter) No. Nama Ruas Jalan
existing do something existing do
something existing/ do
nothing do
something selisih
1. Jl. Martoloyo 0,61 0,52 0,064 0,044 272,10 268,30 3,80 2. Jl. M. Sutoyo 0,60 0,36 0,057 0,031 106,76 64,07 42,69 3. Jl. Werkudoro 0,79 0,51 0,185 0,043 135,12 102,61 32,52 4. Jl. Kapten Ismail 0,81 0,59 0,191 0,05 141,79 103,39 38,39
Sumber: Hasil Analisis 2006
103
Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa konsumsi bahan bakar
total pada kecepatan existing > konsumsi bahan bakar pada kecepatan teoritis
setelah diadakan manajemen lalu lintas. Selisih konsumsi bahan bakar pada
kecepatan existing dengan kecepatan teoritis adalah konsumsi bahan bakar yang
dapat dihemat seandainya arus lalu lintas berjalan lancar. Untuk kendaraan ringan
kecepatan existing didapat dari dari diagram kecepatan sebagai fungsi dari DS
(lihat lampiran J).
Dari hasil perhitungan menunjukkan pada keempat ruas jalan yang
mempunya derajat kejenuhan > 0,6 mempunyai potensi untuk diadakan
penghematan konsumsi BBM. Atau dapat dikatakan bahwa pada semua ruas jalan
tersebut terjadi pemborosan bahan bakar yaitu sebesar selisih konsumsi bahan
bakar pada kecepatan existing dengan konsumsi bahan bakar pada kecepatan
teoritis. Jumlah selisih tadi merupakan angka yang menunjukkan besarnya
pemborosan BBM atau jumlah bahan bakar yang dapat dihemat.
Penjelasan untuk Tabel IV.7 adalah sebagai berikut:
- Jalan Martoloyo, selisih konsumsi bahan bakar pada kecepatan existing
dengan kecepatan teoritis adalah 3,8 liter. Atau dapat dikatakan bahwa
pemborosan bahan bakar pada ruas jalan ini adalah sebesar 3,8 liter untuk
jumlah total arus lalu lintas pada jam puncak.
- Jalan Mayjend Sutoyo, selisih konsumsi bahan bakar pada kecepatan existing
dengan kecepatan teoritis adalah 42,69 liter.
104
- Jalan Werkudoro, selisih konsumsi BBM pada kecepatan existing dengan
kecepatan teoritis adalah 32,52 liter. Jadi besarnya pemborosan bahan bakar
adalah 32,52 liter pada jam puncak arus lalu lintas.
- Jalan Kapten Ismail, selisih konsumsi BBM pada kecepatan existing dengan
kecepatan teoritis adalah 38,39 liter. Jadi besarnya pemborosan bahan bakar
adalah 38,39 liter pada jam puncak arus lalu lintas.
Dari tabel IV.6 total selisih konsumsi BBM pada keempat ruas jalan
adalah 117,4 liter/jam. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2006
dimana harga bensin/premium adalah Rp 4.500,-. Untuk memudahkan
perhitungan diasumsikan bahwa semua kendaraan menggunakan bahan bakar
bensin, jadi nilai pemborosan BBM dalam satu jam adalah Rp 528.300,-
Diasumsikan dalam satu hari terjadi 3 kali jam puncak, jadi nilai pemborosan
BBM dalam satu hari adalah 352,20 liter atau Rp 1.584.900,-.
4.6. Analisis Implikasi Pemanfaatan Lahan dan Kondisi Lalu Lintas Jalan Terhadap Konsumsi BBM
Hubungan antara pemanfaatan lahan dan kondisi manajemen lalu lintas
jalan terhadap konsumsi BBM dapat diuraikan sebagai berikut:
- Jalan Martoloyo, kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas tidak
terlalu besar yaitu hanya 5,34%. Pemanfaatan lahan untuk perdagangan
sebesar 44,20% dan industri sebesar 44,42%. Sebagian besar arus lalu lintas
yang melalui ruas jalan ini adalah arus lalu lintas menerus, hal ini diperkuat
dengan besarnya jumlah perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi
yang melalui ruas jalan ini seperti terlihat pada matriks OD, yaitu sebesar
105
6.836 smp/hari dari arah Pemalang dan 3.729 dari arah Brebes. Hambatan
samping termasuk kategori sangat tinggi (353,40). Selisih konsumsi BBM
adalah sebesar 3,8 liter. Sudah ada upaya manajemen lalu lintas di ruas jalan
ini, yaitu dengan adanya rambu lalu lintas dan marka jalan. Penerapan
manajemen lalu lintas tidak dibarengi dengan penegakan disiplin bagi
pemakai jalan, contoh perilaku pengemudi kendaraan umum yang sering
berhenti seenaknya dan tidak merapat pada badan jalan, pengemudi kendaraan
berjalan zig–zag sehingga memakai jalur lambat, sepeda motor yang memakai
jalur cepat dan adanya pasar. Dengan pemindahan lokasi pasar, kelas
hambatan samping yang semula masuk kategori sangat tinggi (353,40)
menjadi sedang karena kawasan tersebut merupakan kawasan industri dan
perdagangan yang tidak terlalu ramai. Perubahan kelas hambatan samping
mengakibatkan kapasitas jalan Martoloyo meningkat dari 5.091,84 smp/jam
menjadi 5.982,91 smp/jam (lihat lampiran 15), sedangkan derajat kejenuhan
berkurang dari 0,61 menjadi 0,52.
- Jalan Mayjend Sutoyo, sama seperti jalan Martoloyo kebanyakan arus lalu
lintas yang melalui ruas jalan ini adalah lalu lintas menerus, karena kedua ruas
jalan tersebut merupakan jalan arteri primer. Jadi besarnya jumlah perjalanan
seperti yang ditunjukkan dalam matriks OD sama dengan jumlah perjalanan
pada Jl. Martoloyo, karena arus lalu lintas dari dan keluar kota yang melewati
Jl. Martoloyo diteruskan ke Jl. Mayjend Sutoyo. Kontribusi pemanfaatan
lahan terhadap arus lalu lintas sebesar 7,02% pada saat jam puncak.
Pemanfataan lahan untuk perdagangan sebesar 30,81%; perkantoran sebesar
106
12,83%; sekolah sebesar 8,30%; hotel sebesar 33,08% dan rumah tinggal
sebesar 14,97%. Pemborosan BBM sebesar 42,69 liter pada jam puncak.
Penurunan kecepatan disebabkan perilaku pengemudi yang menaikkan dan
menurunkan penumpang sembarangan, perilaku pengendara sepeda motor
yang memenuhi jalur cepat sehingga menghambat kecepatan kendaraan di
belakangnya dan banyak penyeberang jalan yang tidak menyeberang melalui
jembatan penyeberangan. Perilaku pengendara sepeda motor sangat
berpengaruh terhadap besarnya kecepatan existing karena arus lalu lintas pada
ruas jalan ini didominasi oleh sepeda motor yaitu sebesar 46,21% (1.517 unit).
Sudah ada penerapan manajemen lalu lintas di ruas jalan ini, tetapi tidak
ditunjang dengan tata tertib berlalu lintas. Dengan pengalihan arus lalu lintas
kendaraan berat ke Jalan Lingkar Utara, derajat kejenuhan berkurang dari 0,60
menjadi 0,36.
- Jalan Ahmad Yani, kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas
sebesar 37,11%. Pemanfaatan lahan untuk perdagangan dan jasa sebesar
96,30% dan sisanya untuk rumah tinggal sebesar 3,70%. Penurunan kecepatan
disebabkan karena perilaku kendaraan umum yang menaikkan dan
menurunkan penumpang sembarangan terutama di depan Pasar Pagi. Selain
itu pemakaian jalur lambat pada sisi barat jalan untuk parkir kendaraan dengan
sudut 600 membuat kendaraan tak bermotor seperti sepeda & becak memakai
jalur cepat pada saat melewati kendaraan yang sedang bermanuver untuk
keluar dari tempat parkir. Hal ini ditunjang dengan tingginya kelas hambatan
samping (755,80) di ruas jalan ini. Jumlah perjalanan penduduk yang terbesar
107
berasal dari Kelurahan Panggung. Aktivitas perdagangan menarik arus lalu
lintas yang cukup besar dihubungkan dengan pemanfaatan lahan. Jumlah
perjalanan penduduk dari Kelurahan Panggung dihubungkan dengan mata
pencaharian penduduknya yaitu sebagai pedagang dan PNS/ABRI karena ruas
jalan ini berdekatan dengan kompleks Kantor Pemerintah di Jl. Ki Gedhe
Sebayu.
- Jalan Werkudoro, kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas
hanya sebesar 5,12%; karena penelitian dilakukan pada pagi hari dimana
aktivitas perdagangan dan jasa belum dimulai. Pemanfaatan lahan untuk
perdagangan dan jasa sebesar 48,65%; untuk rumah tinggal sebesar 48,49%
dan untuk sekolah sebesar 2,86%. Selisih konsumsi BBM sebesar 32,52 liter
pada jam puncak. Kondisi lalu lintas yang mempengaruhi terjadinya
penurunan kecepatan lalu lintas di ruas jalan ini: parkir becak, sepeda motor &
sepeda pada tanda dilarang berhenti di samping Pasar Kejambon; ruas jalan
yang menyempit pada traffic light Pasar Kejambon; banyaknya kendaraan tak
bermotor yaitu sebesar 37,02% (1.430) dan sepeda motor 57,78% (2.232)
yang melewati ruas jalan ini; tidak adanya jalur khusus bagi sepeda motor
maupun kendaraan lambat serta kelas hambatan samping yang termasuk
kategori tinggi (792). Dengan memperlebar badan dan bahu jalan, kapasitas
jalan bertambah dari 1.392,52 smp/jam menjadi 2.137,50 smp/jam (lihat
lampiran D2), dan derajat kejenuhan berkurang dari 0,79 menjadi 0,51.
- Jalan Pancasila, kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas sangat
kecil yaitu hanya 1,68%. Tarikan lalu lintas terbesar disebabkan karena
108
kawasan ini merupakan ruang publik dengan adanya taman bermain, pedagang
kaki lima, pasar dan stasiun kereta api. Seberapa besar kontribusi pemanfaatan
lahan sebagai kawasan publik terhadap jumlah arus lalu lintas tidak dihitung
dalam penelitian ini karena tidak ada referensi mengenai tingkat tarikan/
bangkitan lalu lintas pada kawasan publik. Tetapi dari jumlah kendaraan yang
melewati ruas jalan ini pada jam puncak yaitu sebesar 1.955,80 smp/jam,
menunjukkan bahwa tarikan lalu lintas yang ditimbulkan oleh ruang publik
cukup besar. Sepeda motor dan kendaraan tak bermotor mendominasi jumlah
arus lalu lintas, yaitu sebesar 75,32% (4.367 unit) dan 21,08% (1.222 unit).
Pemanfaatan lahan untuk sekolah sebesar 32,39%; perdagangan sebesar
38,2%; Bank sebesar 25,32%; dan rumah 4,08%. Besarnya penurunan
kecepatan disebabkan oleh jumlah arus lalu lintas total yang besar, tingginya
hambatan samping (1.611,30), adanya kereta mainan yang lewat, dan aktivitas
pedagang kaki lima yang menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan.
- Jalan Kapten Ismail, kontribusi pemanfaatan lahan terhadap jumlah arus lintas
cukup besar yaitu 15,20%. Pemanfaatan lahan untuk sekolah sebesar 8,58%;
untuk gereja sebesar 1,78%; untuk perdagangan sebesar 35,06%; untuk rumah
sebesar 53,20%; dan untuk kantor sebesar 1,38%. Selisih konsumsi BBM
sebesar 38,39 liter pada jam puncak. Penurunan kecepatan kendaraan
disebabkan oleh adanya becak yang parkir tepat pada gerbang pintu masuk
sekolah yang memakan sebagian badan jalan atau menutup satu lajur jalan,
sehingga terjadi antrian kendaraan karena jalur kendaraan seolah–olah hanya
satu. Selain itu juga disebabkan oleh kelas hambatan samping yang termasuk
109
kategori sangat tinggi (904,10). Pengadaan bus sekolah akan meminimumkan
hambatan samping, sehingga kapasitas jalan yang semula 1.790,98 smp/jam
menjadi 2.453,40 smp/jam (lihat lampiran D2) dan derajat kejenuhan
berkurang dari 0,81 menjadi 0,59.
4.7. Menuju Konsep Sistem Transportasi Jalan yang Hemat Energi
Konsep transportasi jalan yang hemat energi diadopsi dari konsep kota
hemat energi dan kota kompak (compact city). Menurut Budi (2005) sedikitnya
ada tiga persoalan kota yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
membangun kota hemat energi yakni pertama perencanaan sistem transportasi dan
manajemen lalu lintas (transport planning and traffic management), kedua
perencanaan dan perancangan tata ruang kota dan tata guna lahan (urban spaces
and land-use planning and design), dan ketiga perencanaan dan perancangan tata
lingkungan dan tata bangunan (lanscape and building planning and design).
Dikaitkan dengan hal tersebut di atas ada 2 hal yang akan dikaji yaitu:
1. Manajemen lalu lintas
2. Tata guna lahan
Untuk best practice dapat mengacu dari studi kasus di Mesir dan Brazil.
Menurut Acioly dalam Mike Jenks (1996:137), keuntungan compact city: Potensi
interaksi sosial di Mesir (Potential for social interaction di Mesir); Penggunaan
sumberdaya lahan yang optimal di Curitiba dan Sao Paulo (Optimal use of land
resources in Curitiba dan Sao Paulo); Kemudahan akses ke pelayanan dasar dan
perdagangan kecil di Mesir ( Easier access to consumers in Curitiba and Egypt);
Keanekaragaman dan vitalitas kota di Mesir dan Curitiba (Urban vitality and
110
diversity in Egypt and Curitiba); Efisiensi penyediaan infrastruktur di Brazil
(Eficiency in infrastructure supply in Brazil); Efisiensi Transportasi publik di
Brazil (Efficiency of public transport in Curitiba). Sedangkan permasalahannya:
Kelebihan beban infrastruktur dan kemacetan di Kairo (Congestion and overload
of infrastructure in Cairo); Transportasi publik yang penuh di Kairo dan Giza
(Crowded public transport in Cairo and Giza); Keterbatasan kenyamanan dan
ruang publik terbuka di permukiman informal Giza (Lack of amenities and open
public space in Giza’s informal settlements); Keterbatasan ruang untuk sanitasi
(Lack of space for sanitations solutions).
4.6.1 Manajemen Lalu Lintas
Berdasarkan kondisi existing, manajemen lalu lintas di Kota Tegal belum
berjalan dengan baik. Adanya kemacetan yang berimbas terhadap penurunan
kendaraan disebabkan karena pada ruas–ruas jalan tersebut manajemen lalu lintas
belum berjalan dengan baik. Untuk sarana dan prasarana jalan dalam rangka
mendukung penerapan manajemen lalu lintas sudah tersedia, tetapi dalam
pelaksanaannya sering terjadi pelanggaran lalu lintas tanpa ada sanksi dari Polisi.
Pelanggaran lalu lintas ini seperti parkir pada tanda dilarang parkir, menaikkan
dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, kendaraan lambat berjalan di
jalur cepat, dan sebagainya berdampak pada penurunan kecepatan kendaraan. Jadi
disini yang mengurangi kapasitas jalan sebenarnya adalah perilaku pengemudi
kendaraan yang cenderung melanggar lalu lintas. Pelanggaran ini sering terjadi
karena tidak ada tindakan tegas dari Polisi terhadap para pelanggar.
111
Selain disiplin pemakai jalan yang rendah, tingginya hambatan samping
di ruas jalan yang diteliti merupakan penyebab terjadinya penurunan kecepatan
kendaraan. Hambatan samping tidak diperhitungkan dalam perhitungan arus lalu
lintas tetapi sangat berpengaruh terhadap kapasitas jalan.
Dengan kondisi existing yang demikian, sebenarnya penanganan masalah
dapat dilakukan dengan manajemen lalu lintas. Di Jl. Martoloyo dengan
pemindahan Pasar Martoloyo ke Jl. Perintis Kemerdekaan membuat hambatan
samping menjadi sedang sehingga kapasitas jalan meningkat dan derajat
kejenuhan berkurang. Di Jl. M. Sutoyo, pengalihan arus lalu lintas kendaraan
berat ke Jalan Lingkar Utara akan mengurangi jumlah arus lalu lintas sehingga
Derajat Kejenuhan menjadi berkurang. Di Jl. Werkudoro sudah terlalu sulit untuk
meningkatkan kapasitas jalan dengan mengefektifkan lebar jalan yang ada, karena
itu alternatif dengan pelebaran jalan dan bahu jalan ditawarkan. Kalau dengan
penanganan tersebut sulit untuk dilaksanakan, alternatif lain yaitu dengan
penyediaan parkir bagi becak dan sepeda di areal pasar dapat meminimumkan
hambatan samping. Di Jl. Kapten Ismail penerapan manajemen lalu lintas dengan
pengadaan bus sekolah dapat mengurangi jumlah arus lalu lintas dan kendaraan
parkir sehingga derajat kejenuhan jalan berkurang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab penurunan
kecepatan pada ruas jalan yang diteliti adalah adanya hambatan samping yang
tinggi yang berdampak pada menurunnya kapasitas jalan. Untuk meningkatkan
kapasitas jalan dapat dilakukan dengan penerapan manajemen lalu lintas baik
112
dengan meminimumkan hambatan samping, mengalihkan arus lalu lintas dan
peningkatan jalan.
4.6.2 Tata Guna Lahan
Pada ruas jalan yang diteliti mempunyai jenis pemanfaatan lahan yang
berbeda–beda. Menurut Tamin (2000:41), bangkitan dan tarikan lalulintas
tergantung pada dua aspek tata guna lahan yaitu: jenis tata guna lahan dan jumlah
aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut. Jenis pemanfaatan lahan
yang memberikan kontribusi besar terhadap arus lalu lintas adalah perdagangan &
jasa, sekolah dan area publik. Karena ketiga jenis pemanfaatan lahan tersebut
mempunyai aktivitas yang tinggi. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, jenis
pemanfaatan lahan juga mempengaruhi jumlah hambatan samping karena adanya
parkir kendaraan dan kendaraan tak bermotor.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa jenis pemanfaatan lahan
seperti sekolah, perdagangan dan area publik; selain menyebabkan bangkitan lalu
lintas yang memberikan kontribusi terhadap jumlah arus lalu lintas, ternyata juga
menjadi pemicu timbulnya hambatan samping seperti kendaraan parkir, pedagang
kaki lima, dan kendaraan tak bermotor (sepeda, becak). Pengendalian tata guna
lahan agar sesuai dengan rencana guna lahan merupakan pekerjaan yang sulit
dilakukan karena sebagian besar lahan tersebut merupakan milik perorangan/
swasta. Pengendalian tata guna lahan mungkin bisa dilakukan terhadap lahan yang
masih kosong, di sini diperlukan kerjasama antar instansi seperti Bappeda dan
Dinas Perkotaan.
113
Dihubungkan dengan konsep Kota Kompak (Compact City), kepadatan
penduduk Kota Tegal yang cukup tinggi sebenarnya cukup menguntungkan dalam
hal efisiensi penyediaan infrastruktur dan transportasi publik sebagaimana yang
terjadi di Brazil dan Mesir. Kenyataan di lapangan menunjukkan peluang adanya
potensi dari efisiensi penyediaan infrastruktur dan transportasi publik belum
dilirik oleh Pemerintah. Kondisi angkutan publik dan infrastruktur jalan belum
memadai.
Selain itu di Tegal ada fenomena terjadinya Urban Sprawl di Mejasem
(Kab. Tegal) karena mahalnya harga lahan di dalam kota. Banyaknya pegawai dan
anak sekolah yang bekerja dan bersekolah di Kota Tegal, menyebabkan terjadinya
perjalanan yang cukup jauh jaraknya. Apabila melihat matriks OD hasil studi dari
LPM Diklat Transjaya (2002), asal perjalanan dari Mejasem dengan tujuan ke
Kota Tegal sangat kecil. Hal ini tidak relevan dengan kondisi existing. Untuk
menuju Kota Tegal ada 2 akses jalan: Jl. Abimanyu dan Jl. Werkudoro, kedua
ruas jalan tersebut sangat ramai arus lalu lintas. Jadi disini terjadi ketidakefektifan
antara tata guna lahan untuk permukiman (di Mejasem) dan tata guna lahan untuk
sekolah dan kantor (di Kota Tegal). Pada saat ini Mejasem sangat berkembang
sebagai kawasan perumahan dengan adanya rumah sakit, minimarket, dan toko–
toko. Tetapi untuk bekerja dan bersekolah, penduduk Mejasem pergi ke Kota
Tegal. Hal ini sangat merugikan dari sisi ekonomi: jarak perjalanan yang cukup
jauh menyebabkan konsumsi BBM tinggi dan berkurangnya penduduk Mejasem
yang belanja di Kota Tegal.
114
Karena potensi tata guna lahan untuk membangkitkan lalu lintas,
berdasarkan konsep compact city, maka jarak antara permukiman dengan tata
guna lahan lain untuk tempat berinteraksi harus dibuat seefisien mungkin,
sehingga potensi adanya efisiensi dalam hal penyediaan infrastruktur dan
transportasi publik dapat dimaksimalkan. Berdasarkan pengamatan, penyediaan
fasilitas rumah murah oleh Pemerintah sangat kurang/tidak ada sehingga
mengakibatkan penduduk yang bekerja dan bersekolah di Kota Tegal tinggal di
Kabupaten Tegal. Hal ini jelas merugikan dari sisi ekonomi karena dalam
menjangkau tata guna lain untuk beraktivitas memerlukan konsumsi BBM yang
besar dan berkurangnya aktivitas perdagangan di Kota Tegal. Untuk perencanaan
di masa datang perlu adanya perencanaan yang matang untuk menentukan lokasi
suatu tata guna lahan sehingga interaksi antar tata guna lahan menjadi lebih efektif
dan efisien.
4.6.3 Kerangka Konsep Sistem Transportasi yang Hemat Energi
Dari uraian di atas rumusan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
semakin tinggi tingkat aktivitas suatu guna lahan akan semakin tinggi
kontribusinya terhadap arus lalu lintas. Untuk itu diperlukan ruas jalan dengan
kinerja yang baik, yaitu jumlah arus lalu lintas < kapasitas jalan. Kapasitas jalan
dipengaruhi oleh kondisi geometrik jalan dan hambatan samping. Hambatan
samping dapat diperkecil dengan manajemen lalu lintas sehingga kapasitas jalan
dapat ditingkatkan. Jadi untuk mengendalikan suatu tata guna lahan diperlukan
manajemen lalu lintas.
115
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Sebelum ditarik kesimpulan, terlebih dahulu disajikan temuan hasil
penelitian secara empiris yaitu sebagai berikut:
5. Arus lalu lintas pada ruas jalan yang bermasalah berasal dari bangkitan lalu
lintas akibat jenis pemanfaatan lahan dan arus lalu lintas menerus. Asal arus
lalu lintas dari masing–masing ruas jalan adalah sebagai berikut:
- Jl. Martoloyo merupakan kawasan perdagangan dan industri, kontribusi
pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas tidak terlalu besar (5,34%).
Sebagian besar arus lalu lintas berasal dari arus menerus luar kota.
- Jl. Mayjend Sutoyo kondisinya hampir sama dengan Jl. Martoloyo yang
membedakan adalah selain adanya kontribusi jenis pemanfaatan lahan
terhadap arus lalu lintas (7,02%), di jalan ini terjadi percampuran arus lalu
lintas dari dalam dan luar kota.
- Jl. Werkudoro kontribusi pemanfaatan lahan terhadap arus lalu lintas kecil
(5,12%). Adanya lalu lintas menerus yang berasal dari Mejasem (Kab.
Tegal), pasar tradisional dan sempitnya ruas jalan merupakan penyebab
kemacetan.
- Jl. Kapten Ismail, tarikan/bangkitan lalu lintas disebabkan karena adanya
Sekolah (15,20%).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan arus lalu lintas yang membebani suatu
ruas jalan disebabkan oleh arus lalu lintas akibat jenis pemanfaatan lahan dan
116
arus menerus. Untuk arus menerus yang melewati Jl. Martoloyo dan Jl. M.
Sutoyo merupakan arus menerus dari luar kota. Sedangkan arus menerus yang
melewati Jl. Werkudoro berasal dari Mejasem (Kabupaten Tegal). Banyaknya
penduduk Mejasen yang bekerja dan bersekolah di Kota Tegal disebabkan
karena tingginya harga lahan di dalam kota. Menurut Tamin (2000:3),
semakin mahalnya harga tanah di pusat perkotaan menyebabkan lahan
permukiman semakin bergeser ke pinggiran kota, sedangkan tempat pekerjaan
cenderung semakin terpusat di pusat perkotaan. Hal ini menyebabkan
seseorang akan bergerak lebih jauh dan lebih lama untuk mencapai tempat
kerja. Semakin jauh dan semakin lama seseorang membebani jaringan jalan,
semakin tinggi pula kontribusinya terhadap kemacetan.
6. Kemacetan lalu lintas di Kota Tegal disebabkan oleh tingginya hambatan
samping. Kelas hambatan samping dari keenam ruas jalan yang diteliti adalah
sebagai berikut:
- Jalan jalan luar kota: Jl. Martoloyo 353,40 (sangat tinggi), & Jl. Mayjend
Sutoyo 350,20 (sangat tinggi).
- Jalan perkotaan: Jl. A.Yani 755,80 (tinggi), Jl. Werkudoro 792 (tinggi), Jl.
Pancasila 1.611,30 (sangat tinggi) dan Jl. Kapten Ismail 904,10 (sangat
tinggi).
Hambatan samping timbul karena jenis pemanfaatan lahan seperti
perdagangan, sekolah dan area publik. Pengaruh hambatan samping yang
paling dominan adalah adanya kendaraan yang parkir pada badan jalan,
pedagang kaki lima yang berjualan pada badan jalan dan angkutan/bis yang
117
menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Walaupun
pengaruh hambatan samping tidak diperhitungkan dalam jumlah arus lalu
lintas tetapi sangat berpengaruh dalam perhitungan kapasitas jalan. Untuk
mengefektifkan fungsi jalan perlu diadakan manajemen lalu lintas, yang dalam
hal ini bertujuan untuk meminimumkan hambatan samping. Dengan hambatan
samping yang minimum, arus lalu lintas menjadi lancar sehingga konsumsi
BBM dapat dihemat.
7. Dengan penerapan manajemen lalu lintas terjadi selisih konsumsi BBM. Total
selisih konsumsi BBM pada keempat ruas jalan adalah 352,2 liter/hari dengan
asumsi dalam 1 hari terjadi 3 kali jam puncak dan semua kendaraan
menggunakan bahan bakar bensin yang harga per liternya Rp 4.500,-. Atau
nilai pemborosan BBM dalam satu hari adalah Rp 1.584.900,-
8. Dihubungkan dengan konsep transportasi yang hemat energi, pelaksanaan
manajemen lalu lintas di Kota Tegal belum terpadu dengan jenis pemanfaatan
lahan. Hal ini menjadi penyebab kemacetan lalu lintas pada Jl. Martoloyo, Jl.
M. Sutoyo, Jl. Werkudoro dan Jl. Kapten Ismail. Kepadatan penduduk Kota
Tegal yang cukup tinggi merupakan potensi/peluang di dalam pengadaan
infrastruktur dan transportasi publik yang efisien berdasarkan konsep compact
city yang dikemukakan Mike Jenks (1996).
5.3 Kesimpulan
Konsep dari sistem transportasi yang hemat energi adalah dengan
penerapan manajemen lalu lintas yang terpadu dengan rencana tata guna lahan.
Konsep ini diadopsi dari konsep kota hemat energi dan Kota Kompak (Compact
118
City), dimana dalam hal ini terdapat 2 aspek yang dikaji yaitu tata guna lahan dan
manajemen lalu lintas. Antara tata guna lahan dan manajemen lalu lintas saling
berkaitan apabila manajemen lalu lintas tertata dengan baik otomatis akan
berimbas terhadap tata guna lahan. Letak tata guna lahan yang baik/tepat
ditunjang dengan manajemen lalu lintas yang baik, akan membuat interaksi
menjadi mudah dan efisien sehingga konsumsi BBM dapat dihemat. Jadi dapat
disimpulkan bahwa jenis pemanfaatan lahan dan manajemen lalu lintas
memberikan dampak terhadap konsumsi BBM. Apabila ditarik kebawah, konsep
dari sistem transportasi yang hemat energi adalah penerapan manajemen lalu
lintas yang terpadu dengan rencana tata guna lahan.
5.4 Rekomendasi
9. Perlu dibangun halte / shelter di ruas jalan berikut ini: Jl. Martoloyo (depan
SMP 9), Jl. Ahmad Yani (depan Pasar Pagi) dan Jl. Mayjend Sutoyo (sisi
selatan), untuk meminimumkan hambatan samping karena di ruas–ruas jalan
tersebut banyak angkutan umum yang menaikkan dan menurunkan
penumpang di sembarang tempat.
10. Perlu pembangunan jembatan penyeberangan di depan SMP 9 (Jl. Martoloyo)
untuk meminimumkan hambatan samping karena banyak anak sekolah yang
menyeberang jalan.
11. Perlu pembangunan jalur khusus sepeda dan becak sehingga tidak
menghambat jalur cepat, terutama di Jl. Ahmad Yani dan Jl. M. Sutoyo.
119
12. Perlu pengaturan parkir dan penataan pedagang kaki lima pada Jl. Martoloyo,
Jl. M. Sutoyo, Jl. Werkudoro dan Jl. Kapten Ismail agar kapasitas jalan
meningkat sehingga tidak terjadi kemacetan.
13. Perlu adanya sanksi yang tegas bagi para pelanggar lalu lintas.
14. Perlu pemisahan/pengalihan arus kendaraan dari luar kota di Jl. M. Sutoyo.
Rencana ini dapat terealisasi apabila Jalan Lingkar Utara selesai dibangun.
15. Pada Jl. Werkudoro, selain dengan pelebaran jalan untuk meningkatkan
kapasitas jalan, perlu diadakan renovasi Pasar Kejambon dan menyediakan
tempat parkir bagi becak, sepeda dan sepeda motor di dalam areal pasar.
16. Perlu adanya rencana tata guna lahan yang terpadu dengan rencana sistem
transportasi, terutama dalam menentukan posisi tata guna lahan untuk
permukiman agar jarak dari permukiman ke tempat aktivitas penduduk dibuat
seefisien dan seefektif mungkin.