implementasi tanggung jawab moral dalam profesi akuntansi

31
RESPONS volume 20 no. 01 (2015): 41 – 54 © 2015 PPE-UNIKA ATMA JAYA, Jakarta ISSN: 0853-8689 Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi Oleh Kasdin Sihotang ABSTRACT: Moral responsibility is one of the ethical principles of profession. It means one’s ability to do the job best and to respons the question on problems that appear in his job according to the ethical principles. ere are two aspects of the moral responsibility of profession. First, it includes of doing job freely, being aware of job procedures and having good knowledge. Second, he dare to takes risk on job. Accountance needs this aspects as well. It means, accountant does best the job by doing it freely and being aware of what he will do, and having good knowledges. In addition, accountance is responsible for the consequences of his opinion or decision. In short, moral responsibility counts on two things, that are to do the job best and dare to take the risk on job. KEY WORDS: Moral responsibility, freedom, counsiousness, good knowledge, technical competences, moral competences, accountant, auditor and auditee, subject. ABSTRAK: Tanggung jawab moral merupakan salah satu dari prinsip etis profesi. Tanggung jawab moral adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan tugasnya serta memberikan tanggapan terhadapnya berdasarkan prinsip-prinsip etis. Dari pengertian ini, ada dua aspek tanggung jawab moral, yakni menunjukkan diri sebagai seorang profesional yang bermutu dan berani menjawab persoalan-persoalan yang muncul di dalamnya. Aspek pertama meliputi pengakuan diri sebagai pribadi yang bebas, sadar dan tahu apa yang akan dilakukan serta kecintaan pada pekerjaannya. Apek kedua, seorang profesional berani menanggung risiko dari perbuatannya. Esensi tanggung jawab ini juga berlaku bagi profesi akuntansi. Ini berarti, seorang akuntan menyadari diri sebagai orang bebas. Ia juga secara sadar akan prosedur-prosedur pekerjaannya dan memiliki pengetahuan yang memadai dalam menjalankan pekerjaannya. Selain itu seorang akuntan berani menanggung resiko dari perbuatannya. Singkatnya, tanggung jawab moral adalah kemampuan kaum profesional menggunakan kompetensi teknis dan kompetensi etis dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

KASDIN SIHOTANG – IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM PROFESI AKUNTANSI

41 Respons 20 (2015) 01RESPONS volume 20 no. 01 (2015): 41 – 54© 2015 PPE-UNIKA ATMA JAYA, Jakarta ISSN: 0853-8689

Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

Oleh Kasdin Sihotang

AbstrAct: Moral responsibility is one of the ethical principles of profession. It means one’s ability to do the job best and to respons the question on problems that appear in his job according to the ethical principles. There are two aspects of the moral responsibility of profession. First, it includes of doing job freely, being aware of job procedures and having good knowledge. Second, he dare to takes risk on job. Accountance needs this aspects as well. It means, accountant does best the job by doing it freely and being aware of what he will do, and having good knowledges. In addition, accountance is responsible for the consequences of his opinion or decision. In short, moral responsibility counts on two things, that are to do the job best and dare to take the risk on job.

Key Words: Moral responsibility, freedom, counsiousness, good knowledge, technical competences, moral competences, accountant, auditor and auditee, subject.

AbstrAk: Tanggung jawab moral merupakan salah satu dari prinsip etis profesi. Tanggung jawab moral adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan tugasnya serta memberikan tanggapan terhadapnya berdasarkan prinsip-prinsip etis. Dari pengertian ini, ada dua aspek tanggung jawab moral, yakni menunjukkan diri sebagai seorang profesional yang bermutu dan berani menjawab persoalan-persoalan yang muncul di dalamnya. Aspek pertama meliputi pengakuan diri sebagai pribadi yang bebas, sadar dan tahu apa yang akan dilakukan serta kecintaan pada pekerjaannya. Apek kedua, seorang profesional berani menanggung risiko dari perbuatannya. Esensi tanggung jawab ini juga berlaku bagi profesi akuntansi. Ini berarti, seorang akuntan menyadari diri sebagai orang bebas. Ia juga secara sadar akan prosedur-prosedur pekerjaannya dan memiliki pengetahuan yang memadai dalam menjalankan pekerjaannya. Selain itu seorang akuntan berani menanggung resiko dari perbuatannya. Singkatnya, tanggung jawab moral adalah kemampuan kaum profesional menggunakan kompetensi teknis dan kompetensi etis dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Page 2: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 42

kAtA kunci: tanggung jawab etis, kebebasan, kesadaran, pengetahuan yang luas, kompetensi teknis, kompetensi etis, akuntan, auditor dan watch dog function, dan unsur-unsur tanggung jawab moral.

1. PENDAHULUAN

Kualitas sebuah profesi dapat diukur dari sejauh mana tanggung jawab

moral diperlihatkan oleh kaum profesional di dalamnya. Semakin orang

memperlihatkan tanggung jawab moral dalam profesinya, semakin orang itu

menunjukkan diri sebagai kaum profesional yang bertanggung jawab. Kualitas

demikian juga berlaku dalam profesi akuntansi.

Akuntan memiliki peran yang sangat penting demi keberlangsungan

perusahaan, institusi keuangan, lembaga dan pasar. Manakala dianalogikan

dengan tubuh manusia, akuntan merupakan jantung. Jantung memiliki peran

yang sangat vital bagi hidup manusia, karena ia memacu peredaran darah

sehingga tubuh dapat hidup. Detak jantung adalah tanda-tanda kehidupan

bagi manusia. Kalau jantung berhenti maka manusia sudah mati. Sebagaimana

jantung bertugas untuk mengedarkan darah yang berarti membuat tubuh

hidup, demikian halnya seorang akuntan menjaga agar perusahaan tetap hidup

melalui pengawasan yang melekat dilakukan dan pengelolaan dan penjagaan

arus finansial yang sesuai dengan prinsip-prinsip formal akuntansi dan prinsip-

prinsip etis1 dalam pengelolaannya demi keberlangsungan dari institusi. Ketika

terjadi kesalahan dalam pengaturan atau aliran finansial tidak berjalan sesuai

dengan yang sebenarnya, maka di situ terlihat tanda-tanda kehancuran. Inilah

yang terjadi dalam kasus Enron yang melibatkan Arthur Andersen pada tahun

20012.

Page 3: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

KASDIN SIHOTANG – IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM PROFESI AKUNTANSI

43 Respons 20 (2015) 01

Peran sentral dan vital di atas mengisyaratkan bahwa seorang akuntan

mengemban tanggung jawab moral yang besar dalam menjalankan tugasnya.

Karena itulah dalam Kode Etika Akuntan Indonesia, tanggung jawab (moral)

menjadi bagian prinsip etis profesi akuntansi3. Pertanyaan kita, apa esensi

tanggung jawab moral seorang akuntan? Dan bentuk seperti apa tanggung jawab

moral yang harus diemban oleh seorang akuntan? Dua pertanyaan dasar ini

menjadi titik berangkat pembahasan dalam artikel ini. Sebelum membicarakan

jawaban dua pertanyaan di atas, kita lebih dulu membicarakan esensi tanggung

jawab moral secara umum.

Artikel ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama akan membicarakan

hakikat tanggung jawab moral yang meliputi arti dari tanggung jawab

moral, unsur-unsur tanggung jawab moral, faktor penentu tingkat tanggung

jawab moral, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang segi-

segi tanggung jawab moral. Pada bagian kedua pokok bahasan menyangkut

penerapan tanggung jawab moral dalam profesi akuntansi secara umum dan

auditor secara khusus. Artikel ini akan diakhiri dengan penutup di bagian

ketiga.

2. HAKIKAT TANGGUNG JAWAB MORAL

a. Pengertian Tanggung Jawab Moral

Tanggung jawab moral merupakan perpaduan dari dua frase, yakni

tanggung jawab dan moral. Kita akan mengawalinya dengan menelusuri arti

kata “tanggung jawab”. Kata “tanggung jawab” merupakan terjemahan dari kata

Inggris, yakni responsibility. Dari etimologinya, kata responsibility merupakan

Page 4: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 44

paduan dua response, artinya jawaban, dan ability berarti kemampuan. Kalau

arti kedua kata ini digabungkan, maka arti sederhana tanggung jawab adalah

kemampuan seseorang untuk memberikan jawaban (atas suatu pertanyaan)4.

Sedangkan kata “moral”, berasal dari bahasa Latin, yakni mos-mores,

yang artinya adalah adat istiadat5. Dalam pengertian selanjutnya, menurut J

Sudarminta6, moralitas dikaitkan dengan inti kepribadian seseorang. Dengan

kata lain, moral dihubungkan dengan kualitas etis seseorang. Di sini moralitas

dibedakan dengan tata krama dan aturan-aturan. Tata krama dan aturan lebih

menekankan dimensi lahiriah, sedangkan moralitas mengacu pada dimensi

batiniah manusia. Selain itu moralitas memuat kewajiban dasariah manusia

dalam bentuk perintah atau larangan yang berfungsi imperatif kategoris,

karena mewajibkan seseorang untuk melakukannya, sementara tata krama dan

aturan bersifat imperatif hipotetis, karena pelaksanaannya tergantung pada

pemenuhan syarat-syarat tertentu.

Selain tiga perbedaan di atas, moralitas juga berlaku umum, berlaku bagi

siapa saja, kapan saja dan di mana saja serta dalam situasi apapun, sementara

tata krama dan aturan bersifat parsial atau relatif, karena dapat saja berlaku

di satu tempat, tetapi belum tentu berlaku di tempat lain secara sama. Dasar

dari universalitas moralitas adalah objektivitas dan rasionalitas. Moralitas juga

melebihi lembaga apapun, karena melekat dalam diri manusia. Pelaksanaannya

tergantung pada kesadaran pribadi. Kalau ada institusi memaksa seseorang

untuk bertindak tidak etis, misalnya menipu, orang itu akan menolaknya, karena

tindakan ini bertentangan dengan batinnya, sementara tata krama dan aturan

sangat tergantung pada institusi atau lembaga tertentu yang memaksakannya

untuk dijalankan.

Page 5: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

KASDIN SIHOTANG – IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM PROFESI AKUNTANSI

45 Respons 20 (2015) 01

Secara literal Thomas Lickona mengartikan tanggung jawab dalam

tiga hal7. Pertama, kemampuan untuk merespons atau menjawab. Ini berarti

tanggung jawab berkaitan dengan potensi seseorang untuk memberikan

tanggapan terhadap situasi sekitar atau mampu memberikan jawaban atas

persoalan yang dihadapinya. Dalam pengertian ini tanggung jawab dilihat

sebagai sesuatu yang melekat dalam diri seseorang.

Kedua, terkait dengan butir pertama, tanggung jawab berarti sikap saling

membutuhkan, tidak mengabaikan orang lain yang sedang kesulitan, melainkan

memberikan bimbingan. Bagi Lickona, orang yang bertanggungjawab

mempunyai kepedulian dan komitmen pada orang lain. Jadi, dalam pengertian

ini, tanggung jawab memuat kewajiban moral yang dilaksanakan dengan

sepenuh hati. Pengertian Lickona ini sejalan dengan arti kata tanggung jawab

dalam bahasa Latin, yakni respondere, yang artinya memberikan bimbingan

atau nasehat kepada orang yang membutuhkan8.

Ketiga, tanggung jawab berkaitan dengan nilai prioritas dan mendesak.

Ini berarti orang yang bertanggungjawab mengutamakan hal-hal yang sangat

penting dalam situasi aktual. Yang menarik menurut Lickona, apa yang

dilakukan atau diputuskan oleh orang bertanggung jawab menjadi dasar

untuk kebaikan di masa yang akan datang. Dalam hal ini, tanggung jawab

mengisyaratkan kecekatan dan kecermatan dalam mengambil keputusan.

Dari penelusuran etimologis dan sudut pandang literasi Thomas

Lickona di atas, kita dapat mendefinisikan bahwa tanggung jawab moral adalah

kemampuan seseorang untuk menunjukkan mutu pribadi dalam menjalankan

pekerjaannya, dan mutu itu terkait dengan hasil pekerjaan dan sikap dalam

menjalankannya yang didasari oleh nilai-nilai etis. Menurut John B Boatrigh

Page 6: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 46

mutu pribadi dengan kemampuan dan sikap tanggap merupakan hakikat dari

tanggung jawab moral9. Ini berarti, tanggung jawab bagi kaum profesional

mengisyaratkan adanya kemampuan untuk memberikan perhatian pada hasil

pekerjaan dan dampaknya bagi diri sendiri dan orang lain. Dan maksimalisasi

hasil pekerjaan didorong oleh peningkatan dan pengembangan kemampuan

diri terus menerus dan komitmen untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip

etis. Dengan demikian, dalam profesi tanggung jawab berkaitan dengan kualitas

pribadi dalam melakukan sesuatu dan berhadapan dengan akibat perbuatan.

b. Unsur­unsur Tanggung Jawab Moral

Tanggung jawab moral melekat dalam diri setiap orang. Dari pengertian

di atas sifat melekat itu sudah terlihat. Secara lain dapat dikatakan, sumber

tanggung jawab moral adalah hakikat manusia sebagai makluk sadar, cinta akan

pekerjaan dan mampu menunjukkan keberaniannya dalam melakukan hal-

hal yang benar. Dengan demikian tanggung jawab moral memiliki tiga unsur

utama.

Pertama, kesadaran. Sadar berarti tahu, mengerti dan melibatkan

pertimbangan dalam menjalankan pekerjaan. Dari perspektif moral kesadaran

merupakan unsur penting dalam pertanggungjawaban moral, termasuk dalam

bisnis seperti ditegaskan oleh John Mackey dan Raj Sisodia.10 Secara negatif

dapat dikatakan, orang yang tidak sadar atau belum memiliki tanggung jawab

moral, seperti anak kecil, tidak bisa dimintai pertanggungjawaban moral.

Kedua, kecintaan. Cinta merupakan dorongan untuk melakukan

sesuatu yang luhur11. Cinta adalah daya gerak batin yang paling fundamental

bagi manusia. Menurut Agustinus, sebagaimana dikutip oleh Jaques Vegeer,

Page 7: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

KASDIN SIHOTANG – IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM PROFESI AKUNTANSI

47 Respons 20 (2015) 01

cinta menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban.

Dalam tanggung jawab moral tiga hal ini sangat mendasar. Kecintaan terkait

dengan kehendak bebas seseorang untuk melakukan sesuatu.12 Orang yang

mencintai pekerjaan akan melakukan tugasnya sebaik mungkin. Dengan ini

ia menunjukkan tanggung jawab yang besar dalam profesinya. Cinta dalam

pekerjaan juga membawa kesenangan bagi kaum profesional. Dengan cinta

ia bisa mengembangkan diri dalam pekerjaannya secara maksimal. Karena

kecintaan ini pula ia tidak saja mengabdikan pekerjaannya pada sesama, tetapi

juga pada Yang Ilahi, yang menurut Jansen Sinamo, keduanya merupakan

pendorong seseorang untuk bekerja lebih bertanggung jawab13.

Ketiga, keberanian. Dalam tanggung jawab moral keberanin juga

merupakan unsur penting. Berani didorong oleh rasa keiklasan, tidak ragu atau

takut pada rintangan yang timbul, apalagi atas resiko suatu perbuatan demi nilai

yang tertinggi. Orang yang bertanggungjawab berani mengambil keputusan

yang benar, kendati mungkin keputusan itu tidak menyenangkan semua

pihak, bahkan kadang mendapat perlawanan yang sengit. Sebaliknya, orang

yang kurang menunjukkan tanggung jawab memiliki rasa takut. Ketakutan

itu bersumber dari berbagai faktor, antara lain kehilangan kepentingan pribadi

atau kelompok.

c. Kadar Tanggung Jawab Moral

Setiap tindakan kaum profesional menuntut tanggung jawab. Namun

bobot setiap tindakan itu berbeda-beda. Dengan kata lain, ada tindakan yang

menuntut tanggung jawab yang tinggi, ada tindakan yang memiliki kualitas

tanggung jawab yang rendah. Secara umum, tinggi rendahnya tanggung

Page 8: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 48

jawab moral ditentukan oleh empat faktor berikut. Pertama, kebebasan.

Menurut Franz Magnis Suseno, kebebasan merupakan syarat penting dalam

sebuah tanggung jawab14. Perbuatan yang dilakukan secara bebas memiliki

bobot tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan perbuatan yang

dilakukan secara terpaksa.

Karena itu hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan dalam

situasi pertama lebih berat daripada orang yang secara terpaksa melakukan hal

yang sama dalam situasi kedua. Ini tidak berarti bahwa orang yang melakukan

tindak kejahatan tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kesalahan tetap merupakan sebuah kesalahan. Artinya, secara moral seorang

pelaku tindak kejahatan harus menanggung akibat dari perbuatan yang secara

terpaksa dilakukan. Yang membedakan adalah kadar tanggung jawab. Tindakan

kejahatan yang dipaksa/terpaksia memiliki tanggung jawab moral yang lebih

rendah dibandingkan dengan tindakan sama yang dilakukan secara bebas.

Kedua, kehendak. Selain kebebasan, kehendak mempunyai peran

sentral. Artinya, pertanggungjawaban moral juga diukur dari apakah suatu

perbuatan dikehendaki atau tidak. Perbuatan yang dikehendaki menuntut

tanggung jawab yang lebih besar, dibandingkan dengan perbuatan yang tidak

dikehendaki, misalnya karena emosi yang tidak terkontrol, situasi psikologis

atau situasi lingkungan yang ketiga ini diistilahkan Michael Pakaluk sebagai

mitigasi15.

Ketiga, pengetahuan. Pengetahuan merupakan ukuran lain penentu

tingkat pertanggungjawaban moral. Perhatikan ilustrasi berikut. Pimpinan secara

diam-diam membuat aturan sendiri dan aturan ini tidak pernah disosialisasikan

kepada bawahan, namun aturan itu sudah diberlakukan, termasuk sanksinya

Page 9: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

KASDIN SIHOTANG – IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM PROFESI AKUNTANSI

49 Respons 20 (2015) 01

bagi para pelanggar. Ketika bawahan melanggar dan diberikan hukuman oleh

atasan, maka hukuman ini tidak bisa dikaitkan dengan tanggung jawab moral,

sebab karyawan belum tahu informasi tentang aturan tersebut. Tindakan

atasan memberi hukuman justru tidak etis. Lain halnya kalau aturan sudah

disosisalisasikan kepada karyawan. Artinya, karyawan sudah tahu aturan itu

dan sanksinya ketika dilanggar. Kalau dia melanggar, maka secara sadar pula ia

harus menanggung risiko pelanggaran. Dan di sini jelas tanggung jawab moral

berlaku. Dengan demikian jelaslah tanggung jawab moral mengandaikan

pengetahuan awal.

Selain pengetahuan awal, pengetahuan resiko suatu pekerjaan juga

memberi bobot pada tanggung jawab moral. Orang mengetahui risiko

tindakan sejak awal, misalnya mengakibatkan nyawa orang melayang kalau

dilakukan, namun tindakan itu tetap dilakukannya, maka pelaku memikul

tanggungjawab yang lebih besar daripada orang yang tidak mengetahui resiko

itu sebelumnya. Misalnya anak kecil yang melemparkan batu mengenai kepala

temannya belum bisa dimintai tanggung jawab moral, sebab dia belum tahu

risiko tindakannya. Hal ini berbeda dengan orang dewasa. Bobot tanggung

jawab orang dewasa lebih besar daripada tanggung jawab anak kecil, karena

cakupan pengetahuannya lebih luas dibandingkan dengan anak kecil.

Keempat, perencanaan. Seorang yang merencanakan tindak kejahatan

memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dibandingkan dengan seseorang

yang melakukannya tanpa sengaja. Misalnya, seorang pengendara menabrak

pejalan kaki karena terburu-buru ke kantor. Bobot tanggung jawab orang

ini lebih ringan dibandingkan dengan orang yang melakukan hal yang sama

dengan rencana matang, misalnya karena ingin balas dendam. Jadi, tindakan

Page 10: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 50

yang disertai dengan perencanaan yang matang mengisyaratkan tanggung

jawab moral yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa sengaja.

c. Segi­segi Tanggung Jawab Moral

Setelah kita melihat pengertian, dan unsur-unsur, serta tingkat tanggung

jawab, sekarang kita membicarakan jenis-jenis tanggung jawab dari beberapa

segi. Di sini tiga segi tanggung jawab moral akan dibicarakan, yakni waktu,

akibat dan subjek.

Pertama adalah segi waktu. Martin Heidegger menyatakan bahwa

manusia hidup dalam horizon waktu16. Horizon itu meliputi tiga momen,

yakni masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Karena manusia terikat

dengan horizon waktu, maka tanggung jawab moralpun tidak bisa dipisahkan

darinya. Menurut horizon waktu, tanggung jawab moral dapat dibagi dua,

yakni tanggung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospektif17. Yang

pertama merupakan tanggung jawab terhadap suatu perbuatan yang dilakukan

di masa lalu. Artinya, perbuatan sudah terjadi, namun akibatnya baru dirasakan

sekarang. Dan akibat itu harus dipertanggungjawabkan. Di sini tanggung

jawab dinyatakan dengan kesiapan dan keberanian menanggung risiko suatu

perbuatan atau keputusan di masa lalu. Jadi, tanggung jawab retrospektif

bersifat regressif karena selalu menoleh ke belakang.

Sedangkan tanggung jawab prospektif berhubungan dengan perbuatan

yang akan dilakukan. Tanggung jawab ini berkaitan dengan masa yang

akan datang. Artinya, kejadiannya belum berlangsung, namun orang harus

mempersiapkan diri untuk itu. Persiapan itu memiliki dua tujuan, yakni

mendapatkan hasil yang maksimal dan menghindari resiko atau akibat negatif

yang tidak diharapkan di kemudian hari.

Page 11: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

KASDIN SIHOTANG – IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM PROFESI AKUNTANSI

51 Respons 20 (2015) 01

Kedua, akibat. Selain dari sisi waktu, tanggung jawab juga bisa dilihat

dari akibat, yakni akibat langsung dan tidak langsung. Yang pertama kita

sebut tanggung jawab langsung, yang kedua kita sebut tanggung jawab tidak

langsung. Tanggung jawab langsung maksudnya orang menanggung akibat

perbuatannya sendiri. Kalau seorang auditor melakukan kesalahan pada saat

melakukan tugasnya, ia sendiri harus menanggung akibatnya. Kalau dia

menyalahkan orang lain, padahal sudah jelas ia sendiri yang salah, maka orang

tersebut menghindar dari tanggung jawab moral langsung. Kualitas etis orang

ini jelas sangat rendah.

Sebaliknya tanggung jawab tidak langsung berkaitan dengan akibat

yang harus ditanggung seseorang, karena perbuatan sesuatu yang dimiliki atau

yang dibawahinya, atau karena meneruskan pekerjaan sebelumnya. Misalnya

jika seorang akuntan publik melakukan kesalahan dalam pekerjaannya dan

ia membawa nama lembaga jasa akuntan di dalam pekerjaannya, maka yang

bertanggungjawab atas kesalahannya bukan hanya sang akuntan, melainkan

juga lembaga tempatnya bekerja. Lembaga tidak boleh cuci tangan. Lembaga

memang harus memberi sanksi ke pelaku sebagai wujud tanggung jawab

langsung pelaku, namun tidak cukup berhenti sampai di situ. Lembaga harus

melakukan sesuatu pada kliennya untuk menjaga nama baiknya, misalnya

minta maaf dan mengganti auditor dengan mengikuti aturan perkaitan. Di

sinilah tanggung jawab tidak langsung diperlihatkan oleh lembaga.

Ketiga, pelaku tanggung jawab. Tanggung jawab moral juga bisa

dibagi dari sisi subjek tindakan, yakni individu dan sosial. Dengan demikian

ada tanggung jawab individual dan ada tanggung jawab kelompok. Yang

dimaksudkan dengan tanggung jawab individual, seseorang bertanggung

Page 12: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 52

jawab terhadap perbuatannya sendiri. Tanggung jawab ini mencakup baik dari

segi akibat dan waktu. Artinya, setiap pribadi harus memperhatikan kualitas

dan dampak perbuatannya serta berani menerima resiko atasnya. Memelihara

kepercayaan masyarakat dan menjalankan tugas sesuai standar formal akuntansi

dan prinsip-prinsip etis profesi adalah bagian dari tanggung jawab individu.

Tanggung jawab sosial memang agak bermasalah. Menurut K Bertens,

tanggung jawab sosial tidak dimaksudkan dengan penjumlahan tanggung jawab

beberapa individu, bukan pula dalam suatu kelompok ada beberapa orang

bertanggung jawab untuk sebagian, serta bukan pula dimengerti sebagai tindakan

pribadi yang mempunyai dampak sosial18. Sementara tanggung jawab sosial

berkaitan dengan kebijakan institusi terhadap masyarakat. Menurut Maurice

L Friedman dalam perusahaan tanggung jawab sosial adalah mengupayakan

keuntungan sebesar-besarnya. Jadi, esensi tanggung jawab sosial perusahaan

berkaitan dengan aspek ekonomis. Tanggung jawab ini tidak berhubungan

dengan moral, karena perusahaan bukan pribadi yang sebenarnya. Tanggung

jawab moral hanya bisa dituntut pada pribadi manusia, sementara perusahaan

bukan pribadi yang sebenarnya, melainkan pribadi artifisial. Implikasinya,

perusahaan tidak mempunyai tanggung jawab moral19.

Hal bertolak belakang dinyatakan oleh John Mackey dan Raj Sisodia.

Kedua penulis ini menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan berhubungan

dengan moral, bukan hanya ekonomi. Dasar argumen keduanya adalah subjek

yang bekerja di perusahaan, yakni manusia dan semua pihak yang terkait

dengan perusahaan yang juga adalah manusia. Karena itulah perusahaan harus

dituntut untuk memperhatikan tanggung jawab moral, yakni mempedulikan

nilai-nilai kemanusiaan20.

Page 13: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

KASDIN SIHOTANG – IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM PROFESI AKUNTANSI

53 Respons 20 (2015) 01

Melihat hal inilah Mackey dan Sisodia melihat bahwa pandangan

Friedman adalah keliru21. Kekeliruan itu disebabkan oleh dua hal, yakni

kurangnya pemahaman tentang hakikat manusia dan salah kaprahnya

pandangan tentang sumber kesuksesan. Dalam mengatasi kekeliruan itulah,

keduanya mengangkat satu sisi eksistensi manusia dalam lembaga secara umum

dan bisnis secara khusus, yakni kesadaran (consciousness), yang menyentuh tiga

ranah bisnis, yakni kepemimpinan, manajemen dan budaya korporasi. Dalam

ketiga bidang ini tanggung jawab moral hadir. Dengan menghadirkan kesadaran

dalam ketiga bidang sentral bisnis tersebut, keduanya ingin mengatakan bahwa

bisnis bertujuan untuk mengangkat harkat manusia22. Dengan demikian bisnis

tidak hanya memperhatikan tanggung jawab ekonomis, tetapi juga tanggung

jawab moral.

3. ESENSI TANGGUNG JAWAB MORAL PROFESI AKUNTANSI

Sebagaimana sudah disinggung di depan, seorang akuntan memilki

peran yang sangat penting dalam mempertahankan eksistensi institusi. Ia

merupakan pusat sekaligus penjaga keberlangsungan perusahaan baik dari sisi

finansial, pengelolaan keuangan maupun pelaksanaan tata kelola organisasi.

Dengan kata lain akuntan mengemban tanggung jawab moral yang besar.

Pertanyaan kita, bagaimana seorang akuntan mengimplementasikan

tanggung jawab moral dalam pekerjaannya? Terkait dengan itu John Martin

Fisher dan Mark Revizza23 menunjukkan dua hal sebagai implementasi

tanggung jawab moral seorang akuntan, yakni kualitas pekerjaan dan sikap

dalam menanggung risiko dari keputusan atau opini yang diberikan.

Page 14: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 54

a. Kualitas Pekerjaan

Tanggung jawab moral seorang akuntan pertama-tama terlihat dalam

kualitas pekerjaannya. Semakin orang menunjukkan hasil yang maksimal

dan bermutu dalam pekerjaannya, semakin terlihat tanggung jawab orang

bersangkutan. Dan kualitas mutu pekerjaan seseorang tidak bisa terlepas dari

kualitas pribadinya. Secara lain dapat dikatakan, orang yang bertanggungjawab

melibatkan diri secara total dalam pekerjaannya. Justru pelibatan diri secara

total itulah yang memberi hasil yang maksimal dalam pekerjaan. Sebaliknya

orang yang bekerja setengah-setengah tidak akan mampu menghasilkan karya

yang maksimal. Dengan demikian kualitas pribadi menjadi faktor utama dalam

mewujudkan kualitas pekerjaan.

Bagaimana seorang akuntan menunjukkan profesionalitasnya? Dengan

narasi di atas jelaslah jawaban pertanyaan ini ada pada komitmen dalam

pekerjaan. Dari segi etika kriteria kualitas pribadi itu dapat dilihat dari sejauh

mana kaum profesional menghayati unsur-unsur tanggung jawab moral, yakni

kebebasan, kesadaran, kemauan dan pengetahuan. Dengan demikian demi

memberi mutu pada pekerjaan seorang akuntan memenuhi empat hal berikut

ini.

i. Menjadi subjek yang bebas

Akuntan adalah orang bebas. Dalam menjalankan profesinya, antara

lain memberikan evaluasi dan opini terhadap situasi keuangan perusahaan

atau lembaga yang diauditnya, akuntan tidak tergantung pada kepentingan

apapun atau membela pihak manapun. Mengutip the Cohen Comission, John

R Boatrigh bahkan menegaskan, akuntan tidak bertanggung jawab kepada

Page 15: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

55 Respons 20 (2015) 01

klien, selain pada pengguna pernyataan finansial.24 Ini berarti, akuntan tidak

memiliki ketergantungan pada siapapun di luar dirinya dan pada kepentingan

dirinya. Dengan kata lain, seorang akuntan harus bebas dari kepentingan.

Dengan menjalankan kebebasan inilah seorang akuntan menunjukkan diri

yang bermutu, yang implikasinya adalah mampu menghasilkan karya yang

bermutu pula.

ii. Menjadi subjek yang sadar

Selain mengakui diri sebagai orang bebas, akuntan juga harus melibatkan

kesadaran secara penuh dalam pekerjaannya. Pelibatan kesadaran ini diperlukan

untuk dua hal, yakni menempatkan pekerjaan sebagai aktualisasi diri dan

meminimalkan kesalahan dalam memberikan opini atau penilaian terhadap

objek material pekerjaan. Kesadaran bahwa pekerjaan menjadi wadah aktualisasi

diri membuat akuntan tidak lagi memikirkan kebutuhan fisik semata, melainkan

bagaimana agar memberi herhatian pada nilai-nilai humanistic mendasari

seluruh pekerjaannya. Dengan demikian kaum profesional memenuhi apa yang

diistilahkan Abraham Maslow dengan metamotivasi.25 Dengan ini, akuntan

mencapai kesehatan psikologis dan pengalaman puncak.

Selain perlunya mengembangkan diri, kesadaran penting untuk

menghindarkan akuntan dari penilaian atau opini yang keliru. Dalam kaitan

dengan itu, seorang akuntan perlu menerapkan prinsip kehati-hatian (due

care), yakni ketelitian untuk melihat data apakah lengkap atau tidak, apakah

sesuai dengan prosedur yang sebenarnya atau tidak. Sikap ini diperlukan

untuk membuat opini atau evaluasi yang bermutu sekaligus menunjukkan

pemahaman yang baik tentang batasan-batasan normatif pekerjaan.

Page 16: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 56

iii. Menjadi subjek yang berkehendak dan mencintai pekerjaan

Selain kebebasan dan kesadaran, kemauan dan kecintaan merupakan

dua hal lain yang memberi bobot bagi profesi akuntan. Kehendak baik

menurut Immanuel Kant26 merupakan nilai moral tertinggi, karena dengan

kehendak baik seseorang menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang otonom.

Bagi akuntan pandangan Kant ini juga penting dihayati. Ini berarti, menjadi

akuntan seyogianya dikehendaki dan seluruh pekerjaannya dilakukan secara

bebas. Bagi seorang pelayan publik kualitas demikian merupakan syarat yang

mendasar, karena pelayanan publik yang maksimal hanya bisa terwujud kalau

itu dilakukan dengan kehendak baik.

Untuk memaksimalkan pelayanannya, akuntan harus mencintai peker-

jaannya. Rasa cinta ini ditunjukkan dengan melibatkan diri secara total dalam

mengemban profesinya. Dengan kecintaan pada profesi, akuntan menunjukkan

pada publik bahwa profesi merupakan tempat pengembangan bagi dirinya seka-

ligus mendorong untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dalam pekerjaan27.

iv. Menjadi Subjek yang berpengetahuan luas

Hal lain yang memberi bobot pada tanggung jawab profesi akuntansi

adalah pengetahuan. Menyadari diri sebagai pribadi yang bebas, yang sadar

akan apa yang dikerjakan, berkehendak baik dan mencintai pekerjaannya belum

cukup dalam memberi bobot tanggung jawab etis bagi seorang akuntan. Kualitas

personal ini bersifat sufficient. Namun akuntan juga memerlukan sesuatu yang

sifatnya necessary. Artinya, kompetensi etis perlu dibarengi dengan kompetensi

teknis. Ken McPhail dan Diane Walter bahkan menekankan pentingnya kedua

kompetensi ini berjalan seiring untuk menunjang profesionalitas.28

Page 17: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

57 Respons 20 (2015) 01

Apa yang dikatakan oleh Ken McPhail dan Diane Walter diamini pula

oleh Ronald F Duska. Khusus kepada auditor Duska mengatakan, auditor harus

menggunakan pengetahuan, keahlian dan kemampuannya dalam memberikan

evaluasi objektif tentang bukti-bukti dengan keyakinan yang teguh dan

integritas agar disebut profesional. Untuk itu akuntan perlu membekali diri

dengan sikap profesional skepticism untuk semakin menunjukkan tanggung

jawab moral yang lebih besar.29

Demi peningkatan kompetensi teknis, akuntan juga harus mempunyai

wawasan luas dan pemahaman yang memadai. Untuk itu akuntan perlu

mengikuti perkembangan jaman, termasuk perkembangan ilmu akuntansi dan

persoalan-persoalan akuntansi termutahir, karena menurut Peter F Drucker,

ahli manejemen modern, kepekaan ini merupakan kekuatan paling besar

dan menjadi tuntutan utama bagi kaum profesional di tengah masyarakat

berpengetahuan (knowledged society)30. Ini berari seorang profesional harus

memiliki pengetahuan yang memadai. Tanpa pengetahuan yang memadai

tidak mungkin kaum profesional bisa menghasilkan kualitas pekerjaan yang

memadai.

b. Risiko Pekerjaan

Selain menunjukkan kualitas pekerjaan, akuntan juga perlu memper-

hati kan konsekuensi pekerjaan. John Martin Fischer dan Mark Revizza

menyatakan bahwa kualitas tanggung jawab seseorang tidak hanya dilihat

dari tindakannya, melainkan juga bagaimana ia mempertanggungjawabkan

konsekuensinya31. Secara lain dapat dikatakan, kualitas seseorang bisa dilihat

juga dari segi keberaniannya menanggung risiko dari perbuatan atau keputusan

Page 18: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 58

yang dibuat. Orang yang menghindar dari konsekuensi perbuatan bukan orang

yang bertanggung jawab32.

Apa yang dikatakan oleh John Martin dan Mark Revizza ini sangat

tepat dihayati oleh akuntan. Artinya, seorang akuntan harus berani memper-

tanggungjawabkan konsekuensi dari tindakan dan keputusannya. Terkait dengan

ini, esensi momen sebelum mengambil keputusan, yakni perlunya pengetahuan

yang memadai, keterbukaan serta pencarian informasi yang lengkap33 harus

dimiliki oleh akuntan. Semua ini bertujuan untuk menghasilkan keputusan

yang baik dan berbobot. Karena itulah akuntan perlu menyiapkan diri secara

sungguh-sungguh dengan menyertakan sikap hati-hati dan ketelitian serta

perencanaan yang matang dalam pekerjaannya. Sikap ini menurut Emmanuel

Levinas merupakan wujud tanggung jawab moral34.

Berhadapan dengan dampak negatif, akuntan juga harus memperli-

hatkan tanggung jawab moral. Tak satupun akuntan mengharapkan hal yang

buruk terjadi dalam pekerjaannya. Namun hal ini sering tidak bisa dihindari,

karena berbagai faktor antara lain, kurangnya pengetahuan dan ketelitian se-

belum mengambil keputusan. Dalam hal ini tanggung jawab retrospektif ber-

laku. Sebagaimana dikatakan oleh Ronald F Duska, seorang akuntan tidak

bisa menghindar dari kekeliruan yang dilakukannya dalam tugas, sebaliknya

ia harus bertanggungjawab atas risiko tindakan dan keputusan yang diam-

bil. Memang tugas-tugas seorang akuntan secara umum adalah mengevaluasi

catatan-catatan keuangan, tindakan perusahaan atau institusi yang berhubun-

gan dengan pengelolaan atau arus keuangan yang sudah berjalan di masa lalu.

Dalam menjalankan tugas itu idealnya, seorang akuntan tidak boleh melaku-

kan kekeliruan. Namun demikian sering terjadi karena kelalaian, ia melaku-

Page 19: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

59 Respons 20 (2015) 01

kan kesalahan dalam mengevaluasi atau memberi opini. Di sini akuntan harus

menunjukkan tanggung jawab moral.

Terhadap kekeliruan keputusan akuntan perlu menghindari tiga hal

yang menurut oleh Michael Pakaluk dan Mark Cheffers menjadi upaya untuk

mengurangi, bahkan menghindari tanggung jawab moral, yakni emosi yang

tidak bisa dikontrol, kondisi-kondisi psikologis yang sulit diatasi dan dislokasi

eksternal35. Bisa saja seorang akuntan mencari alasan emosi berlebihan untuk

mengurangi tanggungjawabnya. Menurut Pakaluk dan Cheffers, ini merupakan

sebuah kekeliruan, sebab akuntan tidak membutuhkan emosi ekstrim dalam

melakukan tugasnya, termasuk membentuk opininya. Juga merupakan suatu

kekeliruan bagi seorang akuntan, kalau dia bersembunyi di belakang alasan

psikologis untuk tidak memperlihatkan tanggung jawab profesi, karena sebagai

seorang profesional ia harus menyadari kondisi-kondisi psikologis yang dapat

mempengaruhi profesionalitasnya. Juga merupakan suatu kekeliruan, kalau

seorang akuntan mengklaim kesalahannya karena dislokasi eksternal, sebab

dia diharapkan mempunyai penilaian yang objektif dalam segala waktu dan

keadaan.

c. Tanggung Jawab Moral Auditor

Setelah kita membiarakan esensi tanggung jawab moral akuntan se-

cara umum, sekarang kita secara khusus membicarakan tanggung jawab

moral auditor. Di sini tanggung jawab moral terkait dengan dua hal, yakni

menyangkut kompetensi teknis dan kompetensi etis. Artinya, bidang tanggung

jawab moral auditor menyangkut kemampuan teknis dalam mengaudit dan

sikap moral yang harus ditunjukkan dalam melakukan audit.

Page 20: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 60

i. Kemampuan Teknis yang memadai

Kemampuan teknis merupakan satu sisi objek dari tanggung jawab

moral auditor. Sebagaimana diketahui tugas utama auditor adalah melakukan

audit dengan mengikuti alur konsep PSCDA (Plan – D0 -Check – Action).

Demi menunjukkan tanggung jawab moral dalam tugas ini, seorang auditor

harus menunjukkan kompetensinya dalam delapan hal berikut. Pertama,

mencari informasi awal terkait bagian yang akan diaudit (auditee). Salah satu hal

penting yang harus dikuasai auditor adalah pengetahuan yang cukup tentang

auditee. Pengetahuan yang dimaksud di sini mencakup cara kerja, prosedural,

hierarki jabatan, dan catatan mutu atau laporan yang selama ini digunakan

dalam kegiatan sehari-hari. Tanpa menguasai hal ini, maka auditor tidak bisa

melakukan banyak hal saat mengaudit.

Kedua, melakukan tinjauan dokumen dan persyaratan lain yang

berkaitan dengan auditee. Auditor harus memeriksa dokumen dan persyaratan

lain untuk kemudian dicatat hal-hal yang bersifat critical di dalamnya. Dalam

hal ini ketelitian sangat diperlukan. Kemampuan ini merupakan faktor penting

dalam kesuksesaan audit. Dengan meninjau dokumen auditee, auditor akan

mengetahui proses-proses penting yang perlu ditelusuri lebih jauh.

Ketiga, mempersiapkan program audit tahunan dan jadwal pelaksanaan

audit secara terperinci. Menurut ISO 9001, semua kegiatan audit harus

direncanakan dari awal dan diinformasikan kepada seluruh auditee. Mengapa?

Karena, tujuan audit pertama-tama bukan untuk mencari-cari kesalahan, akan

tetapi untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan.

Keempat, membuat daftar pertanyaan audit (audit checklist). Audit

checklist dibuat untuk mempermudah auditor mengingat hal-hal penting yang

Page 21: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

61 Respons 20 (2015) 01

perlu ditanyakan. Selain itu, audit checklist juga dapat dijadikan sebagai

pedoman oleh auditee untuk mempersiapkan diri sebelum diaudit.

Kelima, melaksanakan pemeriksaan sistem secara menyeluruh. Dalam

pelaksanaan audit, seorang auditor harus jeli dan telaten dalam memeriksa area

auditee. Auditor tidak boleh hanya berpaku pada audit checklist dan standar, tapi

lebih dari itu, auditor dapat memeriksa lingkungan kerja auditee, komitmen

dan kesungguhan mereka dalam memperbaiki sistem. Dengan mengabaikan

komitmen, kegiatan audit hanya akan terlihat seperti audit administratif belaka

yang hanya berkutat pada ini belum lengkap, itu kurang bagus, dan ini itu

belum ditandatangani!

Keenam, mengumpulkan dan menganalisis bukti audit yang cukup

dan relevan. Semua masalah atau temuan yang ditemukan selama proses audit

harus didukung dengan bukti yang cukup. Artinya, auditor tidak boleh gegabah

dalam melaporkan temuan. Harus ada bukti kuat bahwa auditee melakukan

kesalahan. Satu hal yang perlu dicatat, audit tidak hanya mengumpulkan

temuan melainkan juga mengumpulkan bukti-bukti prestasi yang sudah

dicapai!

Ketujuh, melaporkan temuan audit atau masalah-masalah yang ditemu-

kan selama audit. Auditor harus menerbitkan laporan temuan audit untuk

ditin daklanjuti oleh auditee. Auditee harus diberi tenggat waktu tertentu agar

proses perbaikan tidak dibiarkan berlarut-larut.

Kedelapan, memantau tindak lanjut hasil audit sampai dinyatakan

selesai. Untuk memastikan seluruh temuan telah diperbaiki, maka auditor

harus memeriksa tindakan yang sudah dilakukan setelah melewati tenggat

waktu perbaikan yang diberikan.

Page 22: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 62

ii. Kompetensi Etis

Kualitas auditor tentu tidak cukup hanya diperlihatkan dari sisi

kompetensi teknis, tetapi juga harus didukung oleh kompetensi etis. Dalam

hal ini kompetensi etis itu diperlihatkan dengan tanggung jawab moral dalam

menjalankan pekerjaan. Kualitas tanggung jawab ini meliputi kesadaran akan

posisi auditor sebagai manusia yang tidak boleh memihak kepentingan klien.

Auditor merupakan pelayan publik. Ini berarti, arah tanggungjawab auditor

bukan pada kliennya, bukan pula bagi perusahaan, apalagi pada dirinya sendiri,

melainkan pada kepentingan umum. Dengan kata “kepentingan publik”,

terlihat dengan jelas bahwa sasaran pelayanan auditor tidak tertuju pada orang

tertentu. Dengan ciri ini, hubungan auditor dengan klien bersifat impersonal.

Karena sifat impersonal itu, maka seorang auditor tidak berhubungan dengan

kepentingan pribadi dan kepentingan klien.

Dalam kaitan dengan itu auditor sesungguhnya tidak mempunyai hu-

bungan langsung dengan klien atau pengguna jasa, lebih-lebih tidak membela

kepentingan mereka. Hubungan dengan klien atau pengguna jasanya hanya

terjadi melalui pernyataan finansial yang kesimpulannya mengacu pada fakta

yang sebenarnya. Sebaliknya auditor harus mengemban apa yang diistilahkan

Justice Burger “public watchdog function”.36 Dalam fungsi ini, auditor hanya

menjadi mediator antara kepentingan publik dengan pihak-pihak yang meng-

gunakan jasanya.

Melihat hubungan di atas, John R Boatrigh menyampaikan dua per-

nyataan negatif bagi auditor; yakni (1) auditor tidak bertanggung jawab demi

persiapan pernyataan finansial aktual dan konsekuensinya, (2) tidak bertugas

untuk melayani kepentingan bisnis. Dua pandangan ini keliru. Auditor tidak

Page 23: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

63 Respons 20 (2015) 01

bertanggungjawab mempertahankan bisnis. Tanggung jawab ini adalah tugas

manajemen. Bahwa hasil auditor dapat mempengaruhi eksistensi bisnis, ya. Tapi

pengaruh itu merupakan ekses dari tugasnya, bukan jadi tujuannya. Tanggung

jawab moral auditor adalah membentuk opini mengenai apakah pernyataan fi-

nansial dihadirkan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang tepat atau ti-

dak.37 Dalam hal ini, tanggung jawab moral auditor bukan hanya terkait dengan

ketepan pencatatan, tetapi juga kualitas evaluasi audit dan mendeteksi serta me-

laporkan kesalahan-kesalahan dan ketidakberaturan dalam suatu perusahaan38.

Dari paparan di atas sangat terlihat dengan jelas bahwa dasar tanggung

jawab moral auditor adalah kepentingan publik. Kepentingan publik bukan

bersifat personal, melainkan impersonal. Namun itu bukan berarti tujuan

pekerjaan auditor tidak memerlukan tuntutan etis. Justru kepentingan publik

yang impersonal itulah menuntut tanggung jawab yang lebih besar lagi bagi

seorang auditor. Dalam hal ini terlihat dengan jelas perbedaan profesi seorang

dokter dan psikolog serta rohaniwan, yakni kalau relasi ketiga profesi ini dengan

klien bersifat personal, relasi auditor ke klien bersifat impersonal. Ketika

sifat relasi itu impersonal, sementara auditor harus memberikan pelayanan

maksimal, maka di situlah tanggung jawab moral semakin dituntut demi

menjaga kepercayaan publik.

Dalam relasi personal-impersonal ini auditor harus menunjukkan

kepercayaan. Eksistensi profesionalisme sebagai auditor justru terletak pada

penghayatan kualitas etis itu. Robert F Duka menyatakan bahwa kepercayaan

merupakan syarat paling penting. Karena itu kepercayaan bersifat imperatif

kategoris, karena mempertahankannya merupakan keharusan bagi akuntan.

Dua argumentasi mengapa kepercayaan bersifat kategoris. Pertama, akuntan

Page 24: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 64

memberikan informasi yang sebenarnya mengenai gambaran finansial per-

usahaan atau institusi. Kedua, kepercayaan akan menghilangkan kebohongan

dalam memberikan informasi oleh akuntan39.

Dalam The American Institute of Certified Public Accountants (The

AICPA) sebagaimana ditunjukkan oleh Ronald F Duska dan Brenda Shay

Duska, tanggung jawab auditor menyangkut tiga hal, yakni patuh pada

standar-standar umum, mengikuti standar khusus ketika kerja di lapangan, dan

setia pada aturan-aturan pelaporan40. Standar umum meliputi tiga hal, yakni

(1) profisiensi atas laporan, (2) independensi dalam fakta dan penampilan, (3)

peduli pada profesionalisme, termasuk memiliki rasa skeptisisme profesional.

Sedangkan standar kerja lapangan meliputi (4) kerja lapangan yang

direncanakan secara tepat dan disupervisi secara pasti, (5) pemahaman yang

memadai tentang struktur kontrol internal dan entitas yang diaudit, (6)

inspeksi, observasi dan syarat syarat yang cukup untuk memberikan opini

yang rasional. Kesetiaan pada pelaporan ditunjukkan dengan (7) laporan

yang menyatakan apakah pernyataan finansial sesuai dengan prinsip-prinsip

akuntansi yang berlaku umum atau tidak, (8) identifikasi lingkungan di dalam

mana prinsip-prinsip tidak dilakukan secara konsisten, (9) kesimpulan dalam

pernyataan finansial dapat dianggap tepat dan bisa dipartanggungjawabkan

jika hal lain tidak dinyatakan, (10) sebuah laporan akan mengandung entah

opini pernyataan diambil sebagai keseluruhan atau sebuah asertasi bagi akibat

bahwa sebuah pendapat tidak dapat diungkapkan.41

4. PENUTUP

Tanggung jawab moral mempunyai makna yang luas. Dari sisi literasi,

tanggung jawab moral diartikan sebagai kemampuan untuk memberikan

Page 25: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

65 Respons 20 (2015) 01

jawaban atau tanggapan atas suatu hal dan bertindak berdasarkan nilai-nilai

etis. Tanggung jawab moral memiliki tiga unsur, yakni kecintaan, pengetahuan

dan kesadaran. Dengan unsur-unsur ini bobot tanggung jawab moral

perbuatan setiap orang berbeda satu sama lain. Perbedaan kadar ini ditentukan

oleh sejumlah faktor seperti kebebasan, kehendak, kesadaran dan pengetahuan,

serta kesengajaan. Sorotan terhadapnya pun bisa dilihat dari berbagai segi,

seperti pelaku, dampak dan waktu. Dari unsur, kadar dan segi-seginya, hakikat

tanggung jawab pada intinya menyangkut dua hal utama, yakni hasil kerja

yang maksimal dan tanggap terhadap akibat pekerjaan.

Dalam profesi akuntan, tanggung jawab moral merupakan bagian

dari prinsip penting. Hal ini lebih-lebih dituntut karena akuntan melayani

kepentingan umum. Ini berarti dalam menjalankan tugasnya para akuntan

harus memperlihatkan diri sebagai pribadi yang bertanggung jawab dengan

menghayati nilai-nilai etis profesi dan memenuhi unsur-unsur tanggung jawab.

Tangggung jawab profesi akuntan diwujudkan dalam upaya menghasilkan

karya yang terbaik dan tanggap terhadap akibat pekerjaannya. Terkait dengan

yang pertama, akuntan harus menunjukkan diri sebagai pribadian bermutu

yang diwujudkan dengan menggunakan kebebasannya secara sadar, mencintai

pekerjaannya dan bersikap berani. Selain itu ia menghayati keutamaan yang

dinyatakan dengan pertimbangan dan kompetensi teknis yang memadai dalam

mengerjakan tugas-tugasnya. Selain kualitas pribadi, tanggung jawab akuntan

juga terlihat dalam keberanian untuk menanggung risiko atau akibat dari

perbuatannya. Ia tidak boleh menghindari tanggung jawab dengan alasan-

alasan emosional psikologis yang tidak diperlukan dalam mengemban profesi.

Page 26: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 66

CATATAN AKHIR

1 Yosephus, L Sinuor (2012), Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer, Jakarta: Obor Indonesia, hal. 78.

2 Bdk. Leonard J Brooks & Paul Dunn, (2012), Etika Bisnis dan Profesi, Buku 1, Jakarta: Penerbit Salemba, hal. 82 – 150.

3 Bdk Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana (2009), Etik Bisnis & Profesi, Jakarta: Salemba Empat, hal. 200.

4 Bdk. Kasdin Sihotang (2014), Kerja Bermartabat, Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.

5 Bdk. J Sudarminta (2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius, hal. 3.

6 Ibid., hal. 15-17.7 Bdk. Thomas Lickona (2012), Education for Character: Mendidik Unutuk

Membentuk Karakter, terjemahan Juma Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 72.8 Bdk. Drs. K Prent, C.M, dkk, (1969), Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta:

Kanisius, hal. 744.9 Bdk. John B R Boatright, “Individual Responsibility in the American Corporate

System: Does Sarbanes-Oxley Strike the Right Ballance” dalam Tom L Beauchamp, Norman E Bowie dan Denis G Arnold, ed. (2009), Ethical Theory and Business, eighth edition, USA: Prentice Hall, hal. 373.

10 Bdk. John Mackey dan Raj Sisoda (2014), Conscious Capitalism, USA: Harvard Business Scholl Publishing Corporation, hal. 24.

11 Beberapa penulis menyatakan bahwa cinta tidak saja penting dalam pekerjaan, tetapi juga mendasari kehidupan seluruh umat manusia. Tulisan-tulisan yang membahas tentang cinta oleh berbagai penulis tenar dapat dibaca dalam AM Krick ,ed.[2009], Anatomi Cinta: Risalah Cinta, Arti Cinta & Kekuatan Cinta, terjemahan Nosa Normanda dan Dewi Anggraeni, Jakarta: Komunitas Bambu.

12 Bdk. Jaques Vegeer (2005), Hubungan Jiwa-Badan menurut Agustinus, Yogyakarta: Kanisius, hal. 50.

13 Bdk. Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja, Bogor: Darma Mahardika, hal. 123.

Page 27: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

67 Respons 20 (2015) 01

14 Bdk. Franz Magnis Suseno (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, hal.40-41.

15 Bdk. Mickael Pakaluk dan Mark Cheffers (2011), Accounting Ethics, USA: Allen Davis Press, hal. 302.

16 Bdk. Martin Heidegger (1973), Being and Time, translated by John Macquarrie & EdwardRobinson, London: Oxford Basil Blackwell, hal. 384.

17 Istilah prospektif dan retrospektif diambil dari K Bertens (2013), Etika, edisi revisi, Kanisius, hal. 42. Bertens membicarakan dua istilah ini dalam kaitan dengan hati nurani. Makna yang sama dapat digunakan dalam bagian ini.

18 Bdk. K Bertensi (2013), Etika, edisi revisi, Yogyakarta: Kanisius, hal 107.

19 Ada dua alasan mengapa Friedman menolak adanya tanggung jawab moral dari perusahaan. Pertama, moral hanya berhubungan dengan subjek, yakni manusia, sementara perusahaan bukan subjek yang nyata, melainkan hanya pribadi buatan, yang diistilahkan Friedman dengan artificial person. Karena itu menuntut tanggung jawab moral dari perusahaan tidak logis. Kedua, tujuan perusahaan adalah untuk mencari keuntungan, bukan untuk mengerjakan pekerjaan karitatif atau hal-hal bersifat sosial. Karena itu orang-orang yang direkrut untuk bekerja di perusahaan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu kalau mereka diberi tugas untuk pekerjaan karitatif, hal itu tidak mungkin. Mereka hanya dibekali dengan tanggung jawab ekonomis (Bdk. Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profit?” dalam Tom L Beauchamp, op.cit., hal. 52).

20 Bdk. John Mackey dan Raj Sosida, op.cit., hal. 124.

21 Ibid.

22 Tentang hal ini John Mackey dan Raj Sosida menulis, “Business creates tremendous values for all of its stakeholdes and therefore also for society and human values as final end. Collectively, business is the greatest creator of values in the world, much more than the nonprofit and government sectors combined.” ( Bdk. John Mackey dan Raj Sisoda, op.cit., hal. 136-137. Lihat juga Kasdin Sihotang, “Peranan Tanggung Jawab Korporasi demi Keberlangsungan Bisnis” dalam Respons Jurnal Etika Sosial, Vol. 16, edisi Juli 2012.

23 Bdk. John Martin Fischeer dan Mark Ravizza, “Responsibility for

Page 28: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 68

Consequences” dalam John Martin Fischer and Mark Racizza ( 2008), Perspective on Moral Responsibility, London: Cornel University Press, hal. 324.

24 Bdk, John R Boatright, “Ethical Issues in Financial Services” dalam Tom L Beauchamp, et al., op.cit., hal. 356

25 Bdk. Frank G Gobel (1977), Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius, hal. 47. Lihat juga Hendro Setiawan (2014), Manusia Utuh: Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius, hal. 43.

26 Bdk. Immanuel Kant (1987), Critique of Judgment, translated with an Introduction by Werbner S Pluhar, Cambridge: Hackett Publishing Company, hal. xxxix. Dalam bahasa Indonesia lihat juga pendapat Immanuel Kant ini dikutip dalam Franz Magnis Suseno (1997), 13 Pendekatan Model Etika, Yogyakarta: Kanisius, hal. 156.

27 Bdk. Jansen Sinamo, op.cit., hal. 113.28 Bdk. Ken McPhail dan Diane Walters ( 2009), Accounting & Business Ethics,

USA: Routledge, hal. 29.29 Menurut Ronald F Duska dan Brenda Shay Duska, professionalism sceptism

adalah sikap tidak menerima begitu saja apa yang dihadapi di lapangan, melainkan berusaha mencermatinya (Bdk. Ronald F Duska dan Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 361).

30 Bdk. Peter F Drucker (2007), The Effective Executive, Jakarta: Elexmedia Komputindo, hal. 76.

31 Bdk. John Martin Fischeer dan Mark Ravizza, “Responsibility for Consequences” dalam John Martin Fischer and Mark Racizza ( 2008), Perspective on Moral Responsibility, London: Cornel University Press, hal. 324.

32 Bdk. John Martin Fischeer dan Mark Ravizza,( 2008), op.cit., hal. 324.33 Bdk. Franz Magnis Suseno (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat

Moral, Yogyakarta: Kanisius, Yogyakarta, hal. 120. 34 Uraian pandangan Emmanuel Levinas ini lihat dalam Felix Baghi (2012),

Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (Etika Politik dan Posmodernisme), Maumere: Penerbit Ledalero, hal. 40-44.

35 Bdk. Michael Pakaluk dan Mark Cheffers, op.cit., hal. 11-13.

Page 29: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

69 Respons 20 (2015) 01

36 Pandangan Justice Burger ini dikutip oleh John R Boatrigh dalam artikelnya, “Ethical Issues in Financial Services” dalam Tom L Beauchamp, et al. op.cit., hal. 356.

37 Ibid., hal. 359.38 Bdk. Robert F Duska dan Brenda Shay Duska, op.cit. hal. 116. 39 Bdk. Tom L Beauchamp, et al. op.cit., hal. 356.40 Bdk. Robert F Duska dan Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 116-117.41 Ibid., hal. 358.

KEPUSTAKAAN

Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana , 2009. Etika Bisnis & Profesi, Jakarta: Salemba Empat.

Baghi, Felix, 2012. Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (Etika Politik dan Posmodernisme), Maumere: Penerbit Ledalero.

Beauchamp, Tom L, et al., 2009. Ethical Theory and Business, eighth edition, USA: Prentice Hall.

Bertens, Kees, 2013. Etika, edisi revisi, Yogyakarta: Kanisius,

Brooks, Leonard J, 2012. Etika Bisnis dan Profesi untuk Direktur, Eksekutif dan Akuntan, terj. Kanti Pertiwi, Jakarta: Salemba Empat.

Bryon, William J, 2010. The Power of Principles: Etika Bisnis Budaya Baru Perusahaan, terjemahan Hadi Hardono, Yogyjakarta: Kanisius.

Cheffers, Marks dan Michael Pakaluk (2007), Accounting Ethics, 2nd edition, USA: Allen Davis Press.

Cheffers, Mark dan Mikhael Pakaluk, 2007. Understanding Accounting Ethics, revised edition, Massachusettgs: Allen David Press.

Cloud, Henry, 2007. Integritas: Keberanian Memenuhi Tuntutan Kenyataan, Jakarta: Gramedia.

Code of Professional Ethics yang disusun oleh The Assosiation of Accounting Technicians, versi 2.0 Januari 2014, butir 1.4.

Page 30: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

RESPONS – JULI 2015

Respons 20 (2015) 01 70

Drucker, Peter F, 2007. The Effective Executive, Jakarta: Elexmedia Komputindo.

Duska, Ronald F & Brenda Shay Duska, 2006. Accounting Ethics, USA: Blackwell Publishing.

Fahmi, Irham, 2014. Etika Bisnis: Teori, Kasus dan Solusi, Jakarta: Alfabeta.

Fischer, Martin John and Mark Racizza, 2008. Perspective on Moral Responsibility, London: Cornel University Press.

Gobel, Frank G, 1977. Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius.

Heidegger, Martin, 1973. Being and Time, translated by John Maquarrie & Edward Robinson, Oxford: Basil Blacwell.

Kant, Immanuel, 1949. Fundamental Principles of Methaphysics of Moral, trlanslated by Thomas K Abbott with an introduction by Marvin Fox, New York: The Bobbs-Merill Company, Inc.

Kant, Immanuel, 1987. Critique of Judgment, translated with an Introduction by Werbner S Pluhar, Cambridge: Hackett Publishing Company.

Krick, AM ed., 2009. Anatomi Cinta: Risalah Cinta, Arti Cinta & Kekuatan Cinta, terjemahan Nosa Normanda dan Dewi Anggraeni, Jakarta: Komunitas Bambu.

Lickona, Thomas, 2012. Education for Character: Mendidik Unutuk Membentuk Karakter, terjemahan Juma Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara.

Ludigdo, Unti, 2007. Paradoks Etika Akuntan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mackey, John dan Raj Sisoda, 2014. Conscious Capitalism, USA: Harvard Business School Publishing Corporation.

McPhail, Ken dan Diane Walters, 2009. Accounting & Business Ethics, USA: Routledge.

Pakaluk, Michael dan Mark Cheffers, 2011. Accounting Ethics, USA: Allen Davis Press.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomo 25/PMK.01/2014 tentang Akuntan Beregister Negara Pasal 3.

Prent, K, et al., 1969. Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, hal. 173.

Rae, Scott B dan Kenman L Wong, 2004. Beyond Integrity : A Judeo-Christian Approach to Business Ethics, 2nd edition, Michigan: Zandervan.

Page 31: Implementasi Tanggung Jawab Moral dalam Profesi Akuntansi

YEREMIAS JENA – MENYOAL PERASAAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

71 Respons 20 (2015) 01

Setiawan, Hendro, 2014. Manusia Utuh: Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius.

Sihotang, Kasdin, “Urgensi Etika Profesi Akuntan”, Suara Pembaruan, 26 November 2014.

Sihotang, Kasdin, 2014. Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses, Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.

Sihotang, Kasdin, “Peranan Tanggung Jawab Korporasi demi Keberlangsungan Bisnis” dalam Respons Jurnal Etika Sosial, Vol. 16, edisi Juli 2012.

Sihotang, Kasdin, “Bisnis dalam Bingkai Eksistensi Manusia” dalam Andre Ata Ujan, ed (2010), Moralitas Lentera Kehidupan, Yogyakarta: Kanisius.

Sinamo, Jansen, 2005. 8 Etos Kerja, Bogor: Darma Mahardika.

Sinamo, Jansen & Eben Ezer Siadari, 2013. The Chinese Ethos: Memahami Adidaya China Abad 21 dari Perspektif Budaya dan Sejarah, Jakarta: Institut Darma Mahardika.

Sudarminta, J., 2013. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Franz Magnis, 1985. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, Yogyakarta.

Vegeer, Jaques, 2005. Hubungan Jiwa-Badan menurut Agustinus, Yogyakarta: Kanisius.

Weinsten, Bruce, 2011. Ethic Intelligence, California: New World Library.

***