implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

126
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat dewasa ini mempunyai peranan yang sangat penting karena lembaga perbankan merupakan inti sari dari sistem keuangan setiap negara. Dalam konsideran UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) dituliskan bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Keberadaan bank sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang hidup di perkotaan atau kota-kota besar, bahkan sekarang ini masyarakat pedesaan pun sudah terbiasa mendengar kata bank, dan memanfaatkan layanan jasa keuangan ini, terlebih lagi pada saat terjadi krisis ekonomi global yang diikuti dengan dibubarkannya beberapa bank pada masa itu. Perkembangan dunia perbankan di Indonesia kini sudah semakin membaik, berbagai pelayanan jasa keuangan telah dikembangkan untuk memberikan kenyamanan bagi para nasabah. Berbagai program perluasan usaha telah dilakukan dalam industri perbankan seperti pemberian kredit perumahan,

Upload: dangdan

Post on 31-Dec-2016

287 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat dewasa ini

mempunyai peranan yang sangat penting karena lembaga perbankan

merupakan inti sari dari sistem keuangan setiap negara. Dalam konsideran

UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU

Perbankan) dituliskan bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi

ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana

masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan

pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan

pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas

nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Keberadaan bank sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang hidup

di perkotaan atau kota-kota besar, bahkan sekarang ini masyarakat pedesaan

pun sudah terbiasa mendengar kata bank, dan memanfaatkan layanan jasa

keuangan ini, terlebih lagi pada saat terjadi krisis ekonomi global yang

diikuti dengan dibubarkannya beberapa bank pada masa itu. Perkembangan

dunia perbankan di Indonesia kini sudah semakin membaik, berbagai

pelayanan jasa keuangan telah dikembangkan untuk memberikan

kenyamanan bagi para nasabah. Berbagai program perluasan usaha telah

dilakukan dalam industri perbankan seperti pemberian kredit perumahan,

Page 2: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

2

penyediaan jasa asuransi, penawaran jasa kartu kredit hingga program

pensiun.

Secara umum fungsi utama bank adalah untuk menghimpun dana dari

masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai

tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat

berfungsi sebagai agent of trust (lembaga yang landasannya adalah

kepercayaan), agent of development (lembaga yang memobilisasi dana

untuk pembangunan ekonomi) dan agent of services (lembaga yang

memberikan penawaran jasa perbankan).1 Pelaksanaan fungsi-fungsi

tersebut akan menciptakan sistem keuangan negara yang kuat.

Definisi perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998

Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan perubahan) adalah

segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan,

kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan

usahanya. Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang

kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-

jasa lainya.2 Salah satu bentuk penyaluran dana bank kepada masyarakat,

yaitu dalam bentuk kredit.

Menurut Noan Webster 1972 yang dikutip Munir Fuady mengatakan

bahwa kredit berasal dari kata “creditus” yang berarti kepercayaan,

1 Sigit Traindaru dan Totok Budisantoso, 2007, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,

Salemba Empat, Jakarta, h. 8.

2Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 2.

Page 3: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

3

merupakan bentuk past principle dari kata credere yang berarti “to trust”

(kepercayaan)3. Dalam bahasa Latin, kredit disebut “credere” yang artinya

percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit,

bahwa kredit yang akan disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai

dengan perjanjian sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima

kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali

pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu4. Unsur utama dari kredit

adalah kepercayaan. Kepercayaan mengandung arti bahwa pihak yang

memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan

sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.5 Unsur

kepercayaan ini juga menjadi dasar dalam pelaksanaan bisnis perbankan.

Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan perubahan

yakni “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan

dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

antara bank dengan pihak lain yang menjanjikan pihak peminjam untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga” Pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dari suatu

bank. Beberapa pakar mengatakan bahwa fungsi tradisional bank adalah

menghimpun dana-dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada

3 Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.

5 (selanjutnya disebut Munir Fuady I)

4 Kasmir, op.cit., h. 101

5 Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti,

Bandung, h. 217 (Selanjutnya disebut Muhamad Djumhana I)

Page 4: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

4

masyarakat.6 Dengan demikian penyaluran kredit dipandang sebagai fungsi

tradisional atau fungsi utama dari kegiatan perbankan.

Penyaluran dana kepada masyarakat yang dimaksudkan di atas pada

umumnya dilakukan dalam bentuk pemberian kredit, baik itu berupa kredit

modal kerja maupun kredit investasi. Di samping kegiatan pengerahan dana

kepada masyarakat, kredit juga merupakan kegiatan utama dari bank-bank

umum di Indonesia karena dua alasan yaitu sebagai berikut :

1. Bunga kredit merupakan sumber-sumber pendapatan utama;

2. Dalam kegiatan penyaluran kredit sumber dana dari kredit itu berasal

terutama dari dana-dana yang dikerahkan oleh bank dari masyarakat

berupa simpanan. Kredit bank merupakan lembaga yang peranannya

sangat strategis bagi pembangunan perekonomian dan bagi

perkembangan usaha bank itu sendiri serta syarat dengan berbagai

pengaturan (memiliki aspek yuridis).7

Walaupun kegiatan penyaluran kredit merupakan kegiatan perbankan

yang sangat mendasar dan bunga kredit merupakan sumber pendapatan bank

yang utama tetapi pada dasarnya kegiatan penyaluran kredit ini memiliki

risiko yang sangat besar dan dampak yang signifikan bagi kelangsungan

usaha bank tersebut apabila kredit yang disalurkan tersebut tidak tepat.

Sesuai dengan penjelasan UU Perbankan (yang telah diganti menjadi UU

6 Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, h. 139 (selanjutnya disebut Neni Sri Imaniyati I).

7 Sutan Remy Syahdaeni, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum

Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 2 (selanjutnya disebut Sutan Remy

Syahdeini I).

Page 5: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

5

Perbankan perubahan) ditegaskan bahwa “Kredit yang diberikan oleh bank

mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus dapat

memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.” Agar pemberian kredit

dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas perkreditan yang

sehat, maka setiap bank diwajibkan membuat suatu kebijakan perkreditan

secara tertulis yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pemberian

kredit sehari-hari.

Nasabah dalam hal ini mudah memberikan data-data fiktif, sehingga

mungkin saja kredit yang diberikan sebenarnya tidak layak. Kemudian jika

salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan yang sebenarnya

tidak layak menjadi layak sehingga akibatnya akan sulit untuk ditagih atau

dengan kata lain kredit bermasalah. Selain hal tersebut, kredit bermasalah

juga sering terjadi karena debitur tidak memenuhi kewajibannya seperti

yang tertuang dalam perjanjian kredit yang sudah disepakati bersama antara

pihak bank sebagai kreditur dan debitur sebagai pengguna kredit. Dalam hal

ini debitur disebut wanprestasi.

Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti

yang ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur

disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi

kewajiban maupun karena kelalaian.

Page 6: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

6

2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeur, jadi diluar

kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.8

Maka dari itu penting bagi bank untuk melakukan analisis kredit

terlebih dahulu. Pemberian kredit tanpa dianalisis terlebih dahulu akan

sangat membahayakan bank. Analisis kredit adalah kegiatan untuk

memeriksa semua keterangan dari suatu permohonan kredit seorang calon

debitur agar diperoleh kepastian bahwa apabila kredit diberikan debitur mau

dan mampu membayar kembali sesuai perjanjian.9 Apabila debitur banyak

yang tidak melakukan kewajibannya dalam hal ini melakukan wanprestasi

tentu saja akan berdampak serius yaitu krisis terhadap sektor perkreditan

yang ditunjukan dengan besarnya rasio non-performance loan (NPL) pada

bank tersebut.

Tingginya rasio non-performance loan (NPL) tentunya akan sangat

membahayakan kesehatan dari bank tersebut. Sebagai upaya mengatasinya

Bank Indonesia (BI) menetapkan arah kebijakan agar setiap bank secara

bertahap dapat menurunkan NPL sampai dengan tingkat tidak lebih dari 5%.

Dalam hal ini bank-bank dibebaskan menentukan atau memilih cara untuk

menurunkan rasio NPL tersebut, apakah melalui penagihan langsung,

melalui jalur hukum (gugatan pengadilan), atau melalui restrukturisasi

kredit. Dari beberapa alternatif tersebut tampaknya restrukturisasi

merupakan alternatif yang banyak ditempuh bank.

8Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,

h. 203

9Modul Diklat Penaksir Muda, 2011, Dasar-Dasar Analisa Kredit, Perusahaan Umum

Pegadaian Divisi Pendidikan dan Pelatihan, Balai Diklat Surabaya, h. 5

Page 7: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

7

Restrukturisasi kredit merupakan suatu terminologi keuangan yang

banyak digunakan dalam bidang perbankan untuk menyelamatkan kredit

bermasalah. Restrukturisasi adalah program bank sebagai suatu upaya

perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang

mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibanya. Kebijakan mengenai

restrukturisasi kredit pertama kali diatur dalam SK Direksi Bank Indonesia

No. 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi

Kredit yang kemudian diubah menjadi Peraturan Bank Indonesia No.

2/15/PBI/ 2000 tentang Restrukturisasi Kredit. Pada mulanya restrukturisasi

kredit dapat dilakukan dengan 7 (tujuh) cara yakni melalui :

a) penurunan suku bunga;

b) pengurangan tunggakan bunga kredit;

c) pengurangan tunggakan pokok kredit;

d) perpanjangan jangka waktu kredit;

e) penambahan fasilitas kredit;

f) pengambilalihan aset debitur sesuai ketentuan yang berlaku;

g) konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan

debitur.

Dalam perjalanan sejarah yuridis teknis mengenai restrukturisasi

kredit, ketentuan mengenai restrukturisasi kredit tidak lagi diatur melalui

Surat Keputusan namun dipertegas melalui Peraturan Bank Indonesia yakni

Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas

Aktiva Bank Umum. Restrukturisasi kredit dalam ketentuan tersebut

Page 8: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

8

dipandang sebagai upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan

perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi

kewajibanya, yang dilakukan antara lain melalui :

a) penurunan suku bunga kredit;

b) perpanjangan jangka waktu kredit;

c) pengurangan tunggakan bunga kredit;

d) pengurangan tunggakan pokok kredit;

e) penambahan fasilitas kredit; dan atau

f) konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Ketentuan mengenai restrukturisasi kredit mengalami beberapa kali

perubahan sesuai dengan kondisi perbankan di Indonesia. Seiring dengan

berkembangnya industri perbankan Syariah, maka ketentuan mengenai

restrukturisasi kredit diatur secara terpisah dalam 2 (dua) Peraturan Bank

Indonesia yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang

Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah jo

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/9/PBI/2011 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi

Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (selanjutnya

disebut Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah) dan Peraturan Bank Indonesia

Nomor 14/ 15 /PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum

selanjutnya disebut Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas

Aset Bank Umum).

Page 9: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

9

Restrukturisasi kredit dilakukan terhadap portofolio kredit bermasalah

(non-performing loan) terutama pada kredit diragukan dan kredit macet.

Portofolio kredit bermasalah yang dapat dimasukkan kedalam program

restrukturisasi kredit harus memenuhi persyaratan tertentu. Bank hanya

dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang memenuhi

kriteria sebagai berikut:

a. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga

kredit; dan

b. debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi

kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.

Program restrukturisasi kredit umumnya telah lazim dilakukan di

dunia perbankan. Bank yang bergerak pada penyaluran kredit memiliki

program restrukturisasi telah diatur pada kebijakan perkreditan masing-

masing bank, namun masih ada bank yang mengabaikan dan tidak

melakukan restruturisasi kredit ini sesuai dengan prosedur, misalnya

melakukan write-off bersamaan dengan restrukturisasi kredit dimana

restrukturisasi kredit ini hanya merupakan formalitas agar write-off bisa

dilakukan dan bank bisa mendapatkan bunga tunggakan yang besar dari

debitur dengan kategori kredit bermasalah.

Hal-hal seperti diatas tentunya akan mematikan usaha debitur.

Debitur yang masih memiliki prospek usaha yang bagus dan seharusnya

dapat berkembang apabila dilakukan restrukturisasi kredit menjadi

Page 10: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

10

kehilangan kesempatan dan gulung tikar bahkan agunan kredit tersebut

dieksekusi. Bila kondisi seperti itu dibiarkan maka kepercayaan masyarakat

terhadap lembaga perbankan akan merosot. Dimana perlu diingat bahwa

lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan

masyarakat.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, kiranya cukup

alasan untuk diadakan suatu penelitian dan pembahasan mengenai hal-hal

yang berhubungan dengan masalah ”Implementasi Ketentuan

Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit

Perbankan”

2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1) Bagaimanakah implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam

penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit

perbankan?

2) Apa hambatan yang dihadapi dalam implementasi ketentuan

restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit

bermasalah pada kredit perbankan?

3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah

mengenai ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap

Page 11: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

11

Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” yang meliputi implementasi

dketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan-hambatan pelaksanaan

restrukturisasi dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah

pada kredit perbankan. Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang

dilakukan pada bank yang memiliki kredit bermasalah di Bali. Analisis akan

dikaji dari segi aspek hukumnya.

Dalam sub-sub bab akan dibahas mengenai jawaban atas rumusanan

masalah pertama dan rumusan masalah kedua. Dalam pembahasan pertama

akan dibahas mengenai wanprestasi yang dilakukan pihak debitur sebagai

awal penyebab terjadinya kredit bermasalah, analisis kredit sebagai

kebijakan untuk menghindari default risk serta pelaksanaan dan

penyimpangan dalam pelaksanaan restrukturisasi.

Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai faktor-faktor yang

berpengaruh dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit bermasalah, hambatan

dalam pelaksanannya dan tanggung jawab kreditur pada pelaksanaan

restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit

bermasalah pada kredit perbankan.

4. Tujuan Penelitian

a. Tujuan umum (het doel van het onderzoek).

Tujuan umum dalam penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui

permasalahan hukum dan isu-isu aktual mengenai perbankan, yakni

Page 12: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

12

mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap

debitur wanprestasi pada kredit perbankan.

b. Tujuan khusus (het doel in het onderzoek).

Tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah:

1) Untuk menganalisis implementasi ketentuan restrukturisasi kredit

dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada

kredit perbankan.

2) Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi dalam implementasi

ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan

penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan.

5. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis.

Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

dan wawasan berpikir bagi para pembaca mengenai implementasi

ketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan yang dihadapi dalam

implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan

penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan. Penelitian ini

diharapkan dapat mengembangkan pemahaman mengenai hukum

perbankan.

Page 13: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

13

b. Manfaat praktis.

Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yakni:

1) Bagi para pelaku perbankan dalam menjalankan kegiatan

perkreditan dilakukan sesuai dengan kebijakan perkreditan

masing-masing bank dan ketentuan yang berlaku.

2) Bagi nasabah agar lebih kooperatif dalam menjalankan

kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kredit apabila

sekiranyya mengalami kesulitan membayar aka debitur

diharapkan untuk memohon kepada kreditur untuk melakukan

analisis kelayakan ulang sehingga kredit tersebut dapat

direstruktur.

3) Bagi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan agar lebih fokus

mengawasi kegiatan perbankan dalam pemberian kredit dan

memberi sanksi bagi pihak yang melanggar sehingga dapat

memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada

para pihak.

6. Orisinalitas Penelitian

Pembahasan dalam tesis ini belum pernah ditulis sebelumnya. Melalui

penelurusan mengenai topik ini, terdapat beberapa tesis yang dapat

digunakan sebagai pembanding yakni:

a) Restrukturisasi Kredit Macet Debitor di PT. Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) Terabina Seraya Mulia Selatpanjang oleh Aprisal, tesis pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penelitian

Page 14: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

14

terebut dibahas mengenai analisis terhadap pengaturan materi hukum

atas restrukturisasi kredit macet dan kendala yang dihadapi. Studi kasus

dalam penelitian ini dilakukan di Bank Perkreditan Rakyat Terabina

Seraya Mulia Selatpanjang. Hasil penelitian berupa analisis terhadap

faktor-faktor penyebab kredit macet dan kendala yang dihadapi dalam

penyelesaian kredit macet pada Bank Perkreditan Rakyat Terabina

Seraya Mulia Selatpanjang.10

Penelitian ini menyoroti kendala

restrukturisasi kredit dari itikad baik debitur sedangkan dalam

penelitian ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap

Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” menyoroti hambatan

restrukturisasi kredit dari faktor hukum, penegak hukum (bank), sarana

dan fasilitas, masyarakat dan budaya (debitur). Lokasi penelitian juga

berbeda dimana dalam penelitian tesis ini dilakukan di beberapa bank

yang memiliki tingkat kolektabilitas di Bali.

b) Penyelesaian Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi

Utang dalam tesis yang ditulis oleh Palomes. Dalam penelitian tersebut

dibahas mengenai alternatif penyelesaian hutang melalui perdamaian

dan restrukturisasi hutang, kredit macet yang merupakan piutang negara

dapat diselesaikan melalui mekanisme perdamaian sekaligus melalui

alternatif restrukturisasi piutang negara dan analisis mengenai perlunya

instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan yang lebih

10

Aprisal, 2010, “Restrukturisasi Kredit Macet Debitor di PT. Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) Terabina Seraya Mulia Selatpanjang”, (tesis) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Page 15: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

15

memadai yang dapat memberikan opsi yang lebih cepat, komprehensif

serta memberi kepastian dan jaminan hukum dalam restrukturisasi

kredit macet/piutang negara.11

Kajian dalam penelitian Penyelesaian

Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi Utang adalah

mengenai restrukturisasi sebagai bentuk perdamaian dalam

penyelesaian kredit/ piutang negara sedangkan dalam penelitian

”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur

Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” dibahas mengenai implementasi

restrukturisasi kredit dan hambatan-hambatannya dalam

menyelamatkan dan menyelesaikan kredit bermasalah.

c) Pelaksanaan Restrukturisasi Dalam Bentuk Pinjaman Investasi Dengan

Opsi Penyertaan Saham (P.I.D.O.P.S) oleh M.Th. Endang Suhartati,

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro

Semarang pada tahun 2008. Dalam penelitian ini dibahas mengenai

pelaksanaan restrukturisasi kredit, hambatan-hambatan yang dihadapi

dalam restrukturisasi kredit yang dilaksanakan PT. Bank Niaga

terhadap Debitur PT. Bukit Payangan dengan struktur PIDOPS dan cara

mengatasinya. Penelitian ini khusus menganalisis mengenai cara

restrukturisasi kredit melalui penyertaan modal sementara dalam

perusahaan debitur khususnya dengan struktur fasilitas pinjaman yang

berbentuk Pinjaman Investasi dengan opsi penyertaan saham

11

Palomes, 2006, ”Penyelesaian Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi

Utang” (tesis), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 16: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

16

(PIDOPS).12

Dalam penelitian ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi

Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan”, bentuk

restrukturisasi tidak terbatas pada penyertaan modal sementara saja dan

dilakukan di beberapa bank di Bali yang melaksanakan restrukturisasi

kredit.

Berdasarkan perbandingan terhadap beberapa tulisan di atas maka

dapat diketahui bahwa penelitian mengenai ”Implementasi Ketentuan

Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit

Perbankan” memiliki pembahasan yang berbeda dan memang belum pernah

ditulis oleh peneliti lain.

7. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

a. Landasan teoritis.

Landasan teoritis merupakan bagian penting dalam suatu

penelitian ilmiah. Landasan teori adalah landasan berfikir yang

bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan

untuk memecahkan masalah dalam sebuah penelitian. Terkait dengan

penelitian ini dikemukakan teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep,

asas-asas hukum yang relevan yang selanjutnya dijustifikasikan dengan

peraturan yang ada.

Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan teori adalah suatu

konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud

12

M.Th. Endang Suhartati, 2008, “Pelaksanaan Restrukturisasi Dalam Bentuk Pinjaman

Investasi Dengan Opsi Penyertaan Saham (P.I.D.O.P.S), (tesis), Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.

Page 17: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

17

untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam

pengalaman (ialah alam yang tersimak berdasarkan indera manusia)13

.

Terdapat pemahaman bahwa istilah teori bukanlah merupakan sesuatu

yang harus dijelaskan, tetapi segala sesuatu yang seolah-olah sudah

dipahami maknanya, bahkan teori sering ditafsirkan sebagai istilah

tanpa makna apabila tidak berkait dengan kata yang menjadi

padanannya14

. Kerlinger mendefinisikan teori sebagai :

“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions,

and propositions that present a systematic view of phenomena by

specifying relations among variables, with the purpose of

explaning and predicting the phenomena.”15

Berbicara mengenai restrukturisasi kredit sudah barang tentu awal

mula karena adanya dampak serius dari krisis sektor perkreditan yaitu

tingginya rasio non-performance loan (NPL) pada bank tersebut.

Sebagai upaya mengatasi tingginya rasio NPL pada bank maka BI

menetapkan arah kebijaksanaan agar setiap bank umum secara bertahap

dapat menurunkan NPL sampai pada tingkat tidak lebih dari 5%. Dalam

hal ini bank-bank dibebaskan menentukan atau memilih cara untuk

menurunkan NPL tersebut, apakah melalui penagihan langsung, atau

melalui jalur hukum (gugatan pengadilan), atau melakukan

restrukturisasi kredit. Dari beberapa alternatif tersebut tampaknya

13

Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya, ELSAM-HUMA, Jakarta, h. 184.

14 H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto,2008, Teori Hukum ; Mengingat,

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 19.

15 Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,

h. 140

Page 18: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

18

restrukturisasi kredit merupakan alternatif yang banyak ditempuh

bank.16

Secara historis, ketentuan restrukturisasi kredit sebenarnya telah

diatur secara khusus dalam SK Direksi Bank Indonesia No.

31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi

Kredit yang kemudian diubah menjadi Peraturan Bank Indonesia No.

2/15/PBI/ 2000 tentang Restrukturisasi Kredit, Peraturan Bank

Indonesia No. 7/2/PBI/ 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank

Umum, dan dikuatkan dengan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun

2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah.

Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai

restrukturisasi kredit. Oleh karena itu setiap bank baik bank umum,

bank perkreditan rakyat (BPR) maupun Lembaga Keuangan Mikro

(LKM) wajib memiliki kebijakan perkreditan yang dapat dipergunakan

sebagai pedoman dalam pemberian kredit sehari-hari.

Dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal

31 Maret 1995 ditetapkan bahwa dalam pemberian kredit tersebut

sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai

berikut:

1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan

2. Organisasi dan manajemen perkreditan

3. Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit

16

Wahyu Santoso, 2008, Restrukturisasi Kredit Sebagai Bagian Integral Restrukturisasi

Perbankan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 6, No. 1, April 2008, h. 18

Page 19: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

19

4. Dokumentasi dan administrasi kredit

5. Pengawasan kredit

6. Penyelesaian kredit bermasalah

Jadi mengenai penyelesaian kredit bermasalah wajib diatur dalam

kebijakan perkreditan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan

prosedur yang berlaku. Menurut Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia

No. 7/2/PBI/ 2005 menyatakan bahwa kualitas kredit setelah dilakukan

restrukturisasi adalah sebagai berikut :

a) setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum

dilakukan restrukturisasi tergolong diragukan atau macet;

b) kualitas tidak berubah untuk kredit yang sebelum deilakukan

restrukturisasi tergolong lancer, dalam perhatian kusus, atau

kurang lancar.

Berdasarkan Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/

2005 tersebut, dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi kredit dapat

diterapkan untuk semua kategori kualitas kredit, dari mulai kredit lancar

(kategori 1) hingga kredit macet (kategori 5). Walaupun mengenai

restrukturisasi kredit ini sudah diatur jelas dalam berbagai peraturan

namun masih ada bank yang tidak melaksanakannya dan menyimpang

dari aturan yang ada.

Untuk menganalisis masalah hukum mengenai implementasi

ketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan yang dihadapi dalam

implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan

Page 20: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

20

penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan diperlukan

beberapa landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang

akan dibahas. Adapun beberapa landasan teoritis yang digunakan dalam

tesis ini adalah :

1) Teori kesadaran hukum

2) Teori kepastian hukum

3) Teori itikad baik

4) Teori efektivitas hukum

Mengenai teori-teori tersebut maka dapat dijelaskan masing-

masing sebagai berikut :

a. Teori kesadaran hukum

Teori kesadaran hukum digunakan untuk menganalisis

permasalahan pertama yakni implementasi dalam pelaksanaan

restrukturisasi. Kesadaran hukum digunakan untuk mengukur

perilaku nasabah dalam melakukan pembayaran kredit dan kesadaran

pihak bank untuk melakukan penyelamatan terhadap kredit

bermasalah kepada nasabah tanpa diskriminasi.

Kesadaran hukum menunjuk pada aspek kejiwaan manusia

yang sekaligus juga menunjuk pada kesamaan persepsi, pandangan

dan pemahaman dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa

hukum itu, tentang apa yang dapat dilakukan atau perbuatan dalam

menegakan hukum atau apa yang sebaiknya dilakukan untuk

terhindar dari perbuatan melawan hukum. Ewick dan Silbey

Page 21: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

21

memandang bahwa, “the term „legal consciousness‟ is used

scientists to refer to the ways in which people make sense of law and

legal institutions, that is, the understanding which give meaning to

people‟s experiences and action”17

. Kesadaran hukum merupakan

suatu proses psikis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin

timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas

kesadaran hukum ada pada setiap manusia, oleh karena setiap

manusia mempunyai rasa keadilan.

Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai “justitia est

constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan

adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada

masing-masing apa yang menjadi haknya) atau “tribuere cuique

suum” – “to give everybody his own”, memberikan kepada setiap

orang yang menjadi haknya.18

Di dalam ilmu hukum ada banyak pendapat mengenai

kesadaran hukum sebagaimana telah dikemukakan diatas. Diantara

sekian banyak pengertian-pengertian itu, terdapat suatu rumusan

17 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, h. 298

18Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak

Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta bekerjasama dengan Kantor Advokat “Hufron &

Hans Simaela”, Surabaya, h. 36

Page 22: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

22

bahwa sumber satu-satunya hukum dan kekuatan mengikatnya

adalah kesadaran hukum.19

Kesadaran hukum akan menentukan apakah suatu subjek

hukum taat terhadap hukum atau tidak. Weber mengatakan mengapa

orang menaati hukum yaitu sebagai berikut :

The motive for obedience may be of many different kinds. They

are predominantly utilitarian, ethical or subjectively

conventional. Tracing the habit of obeying, Weber finds that it is

a primary psychological fact though it is not possible to know the

experiences of the first homo sapiens. He says:

it is not due to the assumed binding force of some rule or norm

that the conduct of primitive man manifests certain factual

regularities, especially in his relation to his fellows. On the

contrary, those organically conditioned regularities which we

have to accept as psychological reality are primary. It is from

them that the concept of “natural norms” arises.20

Dengan demikian ketaatan hukum merupakan suatu kewajiban

moral dan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan dalam

kerangka penegakan hukum.

b. Teori kepastian hukum

Teori kepastian hukum digunakan untuk menganalisis

permasalahan pertama yakni implementasi dalam pelaksanaan

restrukturisasi kredit. Teori kepastian hukum dipandangan oleh

Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman sebagai salah satu

dari tiga ide dasar hukum. Sebagian besar pakar teori hukum dan

filsafat hukum, juga mengidentikkan ide dasar tersebut sebagai

19

Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 167 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I)

20Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala

Lumpur, h. 176

Page 23: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

23

tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan

(zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherkeit).

Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas

dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama

adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah

kepastian hukum.21

Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang

baru yaitu sejak hukum dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik.

Kepastian hukum adalah sicherkeit des scherts selbst (kepastian

tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan

kepastian hukum yakni pertama, bahwa hukum itu positif, artinya

bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht). Kedua,

bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu

rumusan tentang penilaian yang nantinya akan dilakukan oleh hakim

seperti “kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus

dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan

dalam pemaknaan, di samping juga dijalankan. Keempat, hukum

positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.22

c. Teori itikad baik

Teori itikad baik digunakan dalam menganalisis rumusan

masalah pertama yakni dalam mengkaji implementasi restrukturisasi

21

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, h. 288. 22

Ibid. hal. 292-293.

Page 24: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

24

kredit perbankan. James Gordley, memandang bahwa kenyataannya

sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.23

Black’s Law

Dictionary memberikan rumusan untuk pengertian ”itikad baik”

adalah sebagai berikut :24

good faith is an intangible and abstract quality with no technical

meaning or statutory definition, and it compasses, among other

things, an honest belief, the absence of malice and the absence of

design to defraud or to seek an unconscionable advantage, and

individual‟s personal good faith is concept of his own mind and

inner spirit and, therefore, may not conclusively be determinded

by his protestations alone .... in common usage this term is

ordinarily used to describe that state of mind denoting honesty of

purpose, freedom from intention to defraud, and, generally

speaking, means being faithful to one‟s duty or obligation.

Hofmann dan Vollmar berpandangan bahwa disamping adanya

pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang

bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah

kepatutan (billikheid, redelijkheid).25

Prinsip itikad baik (good faith)

harus ada sejak negosiasi, pelaksanaan kontrak hingga penyelesaian

sengketa. Prinsip resiprositas mensyaratkan bahwa para pihak dalam

perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya masing-

masing secara timbal balik.26

Seseorang tidak dapat diminta

pertanggungjawabannya, apabila ia telah berusaha dengan sekuat

23

Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 129-130.

24Henry Campbell Black, 1990, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul-

Minnessota, h. 693.

25 Riduan Syahrani, 2000,Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, h.

212.

26 Huala Adolf, 2007, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama,

Bandung, h. 25-27.

Page 25: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

25

tenaga untuk melaksanakan kontrak dan menghindarkan diri dari

segala malapetaka, tetapi tetap tidak membawa hasil apa-apa,

walaupun kontrak itu telah di buat secara sah dan mengikat orang

tersebut.27

Prinsip-prinsip itikad baik diatur dalam Pasal 1338 KUH

Perdata yang menetapkan bahwa:

a. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para

pembuatnya.

b. Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan

persetujuan atau karena undang-undang menyatakan berakhir.

c. Pacta sunt servanda: perjanjian harus ditaati oleh para

pembuat.28

Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, pada

dasarnya setiap kontrak adalah mengikat sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya, tidak boleh diubah dengan jalan dan

cara apapun, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Kekuatan

mengikat kontrak ini dimulai sejak saat dipenuhinya syarat sahnya

kontrak berarti sejak saat itu pihak-pihak harus memenuhi apa yang

diperjanjikan. Mengikat sebagai undang-undang berarti pelanggaran

terhadap kontrak tersebut berakibat hukum sama dengan melanggar

undang-undang 29

27

Riduan Syahrani., op.cit, h. 248.

28 Budiono Kusumohamidjojo, 1998, Dasar-dasar merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta,

h. 15.

29 Juaji Sumardi, 1995, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 42

Page 26: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

26

Teori itikad baik sesungguhnya lahir dari asas-asas dalam

perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi

yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai

dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu

hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu.

Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan

(beperkende en derogerende werking vande geode trouw).30

d. Teori efektivitas hukum

Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di

dalam kaidah-kaidah yang mantap serta sikap tindakan sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Soerjono Soekanto mengemukakan ada 5 faktor yang dapat

digunakan untuk mengukur efektivitas hukum yaitu :

1) Faktor hukumnya sendiri;

2) Faktor penegak hukum;

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum;

4) Faktor masyarakat;

5) Faktor kebudayaan.31

30

Ridwan Khairandy, op.cit. h. 33. 31

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II)

Page 27: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

27

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok

ukur daripada efektivitas penegakan hukum.32

Efektivitas hukum ini dapat pula dikaji melalui pemikiran

Friedman melalui tiga elemen dalam sistem hukum yakni substansi

hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Struktur hukum, yaitu

keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya,

substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan

asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk

putusan pengadilan dan kultur hukum, yaitu opini-opini,

kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-

kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak

hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai

fenomena yang berkaitan dengan hukum.33

Teori mengenai

efektivitas hukum ini digunakan untuk menganalisis permasalahan

kedua yakni hambatan dalam pelaksanaan retrukturisasi yang

ditelaah dari berbagai aspek.

Prinsip-prinsip Perbankan

Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu

prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati-hatian

(prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan

32

Ibid, h. 8

33

Achmad Ali, op.cit., h. 204.

Page 28: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

28

prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle). Prinsip

perbankan ini ada yang dituangkan dalam pasal-pasal UU Perbankan, ada

pula yang tidak.34

Adapun prinsip-prinsip tersebut dijabarkan sebagai

berikut :

1. Prinsip Kepercayaan ( Fiduciary Relation Principle )

Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi

hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana

masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap

bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan

mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan

diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan perubahan.

2. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)

Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan

bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam

menghimpun terutama dalam menyalurkan kepada masyarakat harus

sangat berhati-hati. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan

Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan perubahan.

3. Prinsip Kerahasiaan ( Secrecy Principle)35

Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan

Pasal 47 A UU Perbankan. Menurut Pasal 40, bank wajib

34

Neni Sri Imaniyati, 2005, Pencucian Uang ( Money Laundering ) dalam Perspektif

Hukum Perbankan dan Hukum Islam, UNISBA, Bandung, h. 104-105 selanjutnya disebut Neni Sri

Imaniyati II).

35Pengertian rahasia bank menurut Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 adalah :

“segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan

simpanannya.”

Page 29: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

29

merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan

simpanannya. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam

hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank

yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan

Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk

kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata

antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar

informasi antarbank.

4. Prinsip Mengenal Nasabah (Know How Costumer Principle)

Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh

bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau

kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi

yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah diatur dalam

Peraturan Bank Indonesia No. 31/10/PBI/2001 tentang Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah.

b. Kerangka pemikiran.

Bank memiliki fungsi untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat.

Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka akan mengakibatkan

kredit bermasalah. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah

dapat dilakukan melalui restrukturisasi kredit. Berdasarkan latar belakang

masalah dan landasan teoritis, maka dapat disusun kerangka berpikir

sebagai berikut:

`

Page 30: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

30

Bagan 1. Oleh Penulis

Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur

Wanprestasi Pada Kredit Perbankan

Fasilitas Pemberian

Kredit Bank

Penyaluran Kredit

Kepada Masyarakat.

Perjanjian Kredit

Wanprestasi

Oleh Debitur

Rasio Non

Performance Loan

Tinggi

Restrukturisasi Kredit

Implementasi Ketentuan

Restrukturisasi Kredit

Sebagai Upaya

Penyelamatan Kredit

Bermasalah

Hambatan-hambatan dalam

Restrukturisasi Kredit

Teori

efetivitas

hukum

Prinsip-

prinsip

perbankan

Teori teori

kesadaran

hukum

Teori

kepastian

hukum

Teori itikad

baik

Dilakukan Sesuai

Dengan Ketentuan Yang

Berlaku

Kualitas Kredit

Membaik

Perbankan yang

sehat

Page 31: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

31

8. Metode Penelitian

a. Jenis penelitian.

Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum empiris.

Penelitian hukum empiris adalah suatu penelitian yang beranjak dari

adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan

antara teori dengan dunia realita, kesenjangan antara keadaan teoritis

dengan fakta hukum, dan atau situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk

pemenuhan kepuasan akademik.

Dalam penelitian hukum dengan aspek empiris, hukum dikonsepkan

sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan

nyata. Penelitian ini mengkaji mengenai implementasi mengenai

ketentuan restrukturisasi terhadap debitur wanprestasi pada kredit

perbankan serta hambatan-hambatan dalam melaksanakan restrukturisasi

kredit tersebut.

b. Sifat penelitian.

Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi

3 (tiga) yaitu penelitian hukum yang bersifat eksploratif (penjajakan atau

penjelajahan), Penelitian hukum yang bersifat deskriptif, dan penelitian

hukum yang sifatnya eksplanatoris (menguji hipotesis). Terkait dengan

tesis ini maka digunakan penelitian hukum yang sifatnya deskriptif.

Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang umumnya bertujuan untuk

mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu

populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-

Page 32: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

32

karakteristik atau faktor-faktor tertentu.36

Jadi dalam penelitian ini akan

dideskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai

pelaksanaan ketentuan restrukturisasi dalam penyelamatan kredit

bermasalah dan perlindungan hukum terhadap nasabah yang tergolong

dalam kredit bermasalah dalam restrukturisasi perbankan.

c. Data dan sumber data.

Dalam penelitian hukum empiris digunakan dua jenis data yaitu data

primer yang bersumber dari penelitian lapangan dan data skunder yang

bersumber dari penelitian kepustakaan. Untuk lebih jelas maka akan

dijabarkan sebagai berikut :

1) Data primer.

Data primer adalah data yang diperoleh dan bersumber dari

penelitian lapangan. Jadi terkait dengan penulisan ini, data primer

bersumber dari hasil penelitian di Bank Tabungan Pensiunan

Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna Nirmaladuta.

Untuk memperoleh data primer yang bersumber dari penelitian

lapangan maka akan dilakukan observasi pada bank dalam

pemberlakukan restrukturisasi kredit dan wawancara langsung dalam

pengumpulan fakta sosial sebagai bahan kajian ilmu hukum empiris,

wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung

dimana semua pertanyaan disusun secara sistematik, jelas dan

36

Bambang Sunggono, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 35.

Page 33: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

33

terarah sesuai dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian.37

Wawancara dilakukan kepada komisaris utama dan bagian kredit

yang memiliki deskripsi kerja dalam menangani restrukturisasi kredit

bermasalah.

2) Data sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dan bersumber dari

penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk

memperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data sekunder terdiri

dari:

a) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat.38

Bahan hukum primer yang digunakan sebagai

berikut :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan

jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang

Perbankan.

37

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung ,

h. 167

38Bambang Sunggono, op.cit, h. 113.

Page 34: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

34

3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia.

4) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/9/PBI/2011

Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi

Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 15 /PBI/2012

Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang

Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank

Umum Konvensional.

7) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

31/177/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian

Kredit Bank Umum.

8) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

7/190/DPNP/IDPnP tanggal 26 April 2005, dan Surat

Edaran Bank Indonesia Nomor 7/319/ DPNP/IDPnP

tanggal 27 Juni 2005 tentang Kebijakan Restrukturisasi

Kredit.

9) Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank

Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara

Konvensional di Indonesia.

Page 35: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

35

b) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum skunder yakni bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.39

Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-

literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur

hukum (buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang

berpengaruh (de herseende leer) ), hasil penelitian, pendapat

para pakar hukum, jurnal hukum dan artikel ilmiah yang

membahas mengenai perbankan, aspek hukum perbankan,

kredit macet dan restrukturisasi kredit.

c) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberi

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder.40

Bahan hukum tertier yang digunakan dalam

tesis ini adalah kamus-kamus dan ensiklopedia.

d. Teknik pengumpulan data.

Dalam penelitian hukum empiris ini digunakan 3 (tiga) teknik

untuk mengumpulkan data yaitu studi dokumen untuk pengumpulan data

sekunder, dan wawancara untuk pengumpulan data primer. Untuk lebih

jelas maka akan dijabarkan sebagai berikut:

1) Studi dokumen, merupakan teknik yang digunakan dalam rangka

pengumpulan data sekunder, studi dokumen merupakan teknik awal

39

Bambang Sunggono, op.cit, h.114

40 Bambang Sunggono, op.cit, h.114

Page 36: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

36

yang digunakan dalam setiap penelitan hukum. Metode

pengumpulan data ini sangat bermanfaat karena dapat dilakukan

tanpa mengganggu obyek atau suasana penelitian.41

Studi dokumen

ini dilakukan dalam mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier.

2) Observasi dilakukan terhadap bank dalam pemberlakukan

restrukturisasi kredit sejak pengajuan kredit, perilaku marketing,

respon bank dalam menghadapi nasabah wanprestasi dan

penyelesaian kredit bermasalah.

3) Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

berlangsung secara lisan dengan mana dua orang atau lebih bertatap

muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau

keterangan-keterangan.42

Wawancara dilakukan di Bank Tabungan

Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna

Nirmaladuta.

e. Teknik penentuan sampel penelitian.

Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.43

Sampel merupakan bagian yang menjadi objek penelitian. Adapun teknik

penentuan sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

41

Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu,

Yogyakarta, h. 225.

42 Cholid Narbuko, dan H. Abu Achmadi, , 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara,

Jakarta, h. 83.

43 Bambang Sunggono, op.cit., h. 119.

Page 37: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

37

1) Purposive sampling adalah penarikan sampel berdasarkan tujuan

tertentu yang dipilih sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan

berdasarkan kriteria dan karakteristik tertentu. Teknik penentuan

sampel ini digunakan untuk memilih Bank Tabungan Pensiunan

Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna Nirmaladuta

sebagai lokasi penelitian. Adapun penentuan lokasi penelitian ini

didasarkan pada kriteria bahwa di bank-bank tersebut terdapat

kredit macet dan restrukturisasi terhadap kredit macet.

2) Snowball Sampling adalah teknik penarikan sampel yang

didasarkan pada rekomendasi dari sampel sebelumnya. Teknik

penarikan sampel ini digunakan untuk mencari keberadaan

kebijakan restrukturisasi kredit perbankan.

f. Teknik pengolahan dan analisis data.

Teknik pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil dari

pengumpulan data sehingga siap dipakai untuk dianalisis secara

kwalitatif. Tujuan mempergunakan metode kualitatif adalah agar seorang

peneliti dapat mengerti atau memahami gejala yang diteliti.44

Metode

kualitatif dapat menggambarkan fenomena yang terjadi di masyarakat

dapat diteliti melalui penggalian kasus-kasus konkrit dan keadaan hukum

di lapangan yang mana terfokus pada pengkajian terhadap pemikiran,

makna dan cara pandang baik masyarakat, ahli hukum maupun penulis

44

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press), Jakarta, h. 32 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III).

Page 38: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

38

sendiri mengenai gejala-gejala yang menjadi objek penelitian.45

Kasus-

kasus yang ditelaah meliputi penentuan kredit bermasalah oleh bank

akibat adanya debitur wanprestasi dan kebijakan restrukturisasi di

masing-masing bank .

Setelah melalui proses pengolahan yang selektif, kemudian data

tersebut disajikan secara deskriptif analisis, yaitu dijabarkan dalam

bentuk uraian–uraian yang nantinya dapat menjawab permasalahan

mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

wanprestasi pada kredit perbankan.

45

Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 57.

Page 39: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

39

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP RESTRUKTURISASI KREDIT

PERBANKAN

1. Perbankan dan Dasar Hukum Perbankan

Pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit dan

berkesinambungan. Dalam hal pengerahan dana masyarakat tidak dapat

dikesampingkan peran lembaga perbankan. Bank merupakan salah satu

lembaga pembiayaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bank

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Perbankan perubahan

adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan

atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak.

Bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan

masyarakat, memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam

pembangunan nasional. Fungsi utama bank adalah menghimpun dan

menyalurkan dana kepada masyarakat, sehingga bank sebenarnya adalah

lembaga perantara. Sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat

(financial intermediary), bank menjadi media perantara pihak-pihak yang

kelebihan dana (surplus of fouds) dengan pihak-pihak yang

kekurangan/memerlukan dana (lack of fouds).46

46

Muhamad Djumhana I, op.cit., h. 67

Page 40: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

40

Pasal 2 UU Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi UU

Perbankan perubahan menetapkan bahwa Perbankan Indonesia dalam

melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan

prinsip kehati-hatian. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Demokrasi ekonomi ini tersimpul dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu

perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.

Dasar hukum berlakunya lembaga jika diurutkan sesuai dengan hierarki

peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33)

2. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan

3. KUH Perdata

4. KUH Dagang

5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia

6. Peraturan Pemerintah

7. Peraturan Presiden

8. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan perbankan

Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang

mengatur tentang perbankan, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967

tentang Pokok-pokok Perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang

Page 41: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

41

perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain

peraturan dalam bentuk undang-undang juga telah dikeluarkan berbagai

kebijakan dibidang perbankan dalam bentuk Surat Keputusan, Peraturan

Bank Indonesia, maupun Surat Edaran Bank Indonesia.

Pengaturan perbankan di Indonesia memiliki beberapa fungsi utama

yaitu sebagai berikut :

1) Untuk tujuan moneter

Pengaturan perbankan diarahkan untuk tujuan moneter, ditujukan untuk

mendrong stabilitas moneter di Indonesia. Hal ini mengingat masih

dominannya perbankan sebagai sumber pembiayaan investasi.

2) Untuk tujuan pengawasan terhadap industri perbankan

Pengaturan perbankan untuk tujuan pengawasan adalah dalam rangka

menjaga keamanan dan kesehatan bank maupun kesehatan sistem

keuangan secara keseluruhan, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas

pasar uang serta mendorong sistem perbankan yang efisien dan kompetitif.

3) Untuk tujuan pembangunan

Pengaturan perbankan untuk tujuan pencapaian program pembangunan

diarahkan agar perbankan nasional dapat mengatasi masalah-masalah

ekonomi pada masa pembangunan.47

Menurut jenisnya, bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

47

Heri Supraptomo, 1996, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Makalah pada

Pertemuan Ilmiah tentang Analisis Ekonomi terhadap Hukum dalam Menyongsong Era

Globalisasi, BPHN-Departemen Kehakiman, Jakarta, h. 7

Page 42: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

42

konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 6 UU Perbankan

perubahan, menyatakan bahwa:

Usaha Bank Umum meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau

bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;

b. memberikan kredit ;

c. menerbitkan surat pengakuan hutang ;

d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk

kepentingan dan atas perintah nasabahnya:

1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang

masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam

perdagangan surat-surat dimaksud ;

2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa

berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan

surat-surat dimaksud ;

3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;

4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;

5. obligasi ;

6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;

7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai

dengan 1 (satu) tahun ;

e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk

kepentingan nasabah ;

f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan

dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana

telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya ;

g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan

perhitungan dengan antar pihak ketiga ;

h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;

i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak ;

j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya

dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;

k. dihapus ;

l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan

wali amanat ;

m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain

berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan

oleh Bank Indonesia ;

Page 43: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

43

n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang

tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Selain melakukan kegiatan usaha tersebut, dalam Pasal 7 UU

Perbankan perubahan ditentukan juga bahwa Bank Umum dapat pula :

a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;

b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di

bidang keuangan, seperti sewamguna usaha, modal ventura, perusahaan

efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan,

dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat

kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan

memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; dan

d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus pensiun sesuai

dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun

yang berlaku.

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 13

UU Perbankan perubahan menentukan bahwa:

Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu ;

Page 44: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

44

b. memberikan kredit ;

c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip

Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia ;

d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank

lain.

Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas,.

Koperasi ; atau Perusahaan Daerah sedangkan bentuk hukum suatu Bank

Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari Perusahaan Daerah,

Koperasi, Perseroan Terbatas atau bentuk lain yang ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa bank merupakan

financial intermediary (lembaga perantara keuangan), dengan demikian

memiliki tugas utama dalam menghimpun dan menyalurkan kembali dana

kepada masyarakat. Untuk kesinambungan usaha perbankan maka diperlukan

pengawasan untuk menghindari kredit bermasalah.

2. Kredit dalam Kegiatan Usaha Perbankan

Lembaga perbankan merupakan suatu lembaga keuangan yang

menjembatani antara pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang

memerlukan dana, atau merupakan lembaga yang berperan sebagai perantara

keuangan masyarakat (financial intermediary). Sifat lembaga perbankan di

Indonesia secara umum mempunyai sifat yang sama dengan sifat lembaga

perbankan yang ada di seluruh dunia, yaitu bahwa lembaga perbankan

mempunyai sifat sebagaimana disampaikan para ahli hukum perbankan, yaitu

sebagai berikut:48

48

Muhamad Djumhana, 2008, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya

Bhakti, Bandung, h. 15 (Selanjutnya disebut Muhamad Djumhana II)

Page 45: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

45

a. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang menjadi penggerak roda

perekonomian modern dan menjadi penentu tingkat kestabilan

perekonomian suatu Negara karena apabila lembaga perbankan tidak

berjalan dengan baik, perekonomian menjadi tidak efisien, dan

pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Kondisi

seperti hal itu akan terlihat bahwa kebijakan moneter untuk mencapai

dan mempertahankan kestabilan moneter ataupun pengelola ekonomi

makro untuk pertumbuhan ekonomi dan penyediaan kesempatan kerja

dapat tidak berjalan secara berkelanjutan apabila tidak adanya

perbankan yang sehat.

b. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang bertumpu pada

kepercayaan masyarakat sehingga dikenal adanya kerahasiaan bank.

Konsekwensinya apabila masyarakat sudah tidak mempercayai lagi

suatu bank, bank tersebut akan rentan terhadap serbuan masyarakat

yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berponsi

merugikan deposan dan kreditor bank. Selanjutnya, dampaknya tidak

menutup kemungkinan bank tersebt akan ambruk, bahkan menyebar ke

bank-bank lainya dengan cepat.

Dua sifat diatas merupakan sifat yang umum dari suatu lembaga

perbankan dan kekhususan sifat lembaga perbankan di Indonesia ditetapkan

dalam regulasinya, yaitu harus berperan sebagai agen pembangunan.

Page 46: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

46

Dengan merujuk pendapatnya Nicholas A. Lash, Nindyo Pramono,

menguraikan tujuan dari pada perbankan. Adapun tujuan tersebut adalah

sebagai berikut :49

1. Menjaga keamanan bank;

2. Memungkinkan terciptanya iklim kompetisi yang sehat;

3. Pemberian kredit untuk tujuan khusus;

4. Perlindungan terhadap nasabah;

5. Terciptanya suasana yang kondusif bagi pengambilan kebijakan moneter.

Terkait dengan pemberian kredit, selain merupakan salah satu tujuan

dari perbankan, pemberian kredit merupakan salah satu layanan jasa

perbankan yang cukup klasik. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila ada

yang berpendapat bahwa bank adalah sebagai tempat meminjam uang. Selain

itu pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dan sangat

konvensional dari perbankan.

Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu Credere yang artinya

“percaya.” Apabila hal tersebut dihubungkan dengan tugas bank, maka

terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditur percaya untuk

meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah (debitur) karena debitur dapat

dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka

49

Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Cetakan Pertama, Citra

Aditya Bhakti, Bandung, h. 30.

Page 47: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

47

waktu yang ditentukan.50

Jual beli dengan cara kredit ini sudah biasa ditemui

dalam kegiatan sehari-hari.

Kredit adalah penyerahan barang, jasa atau utang dari satu pihak

(kreditur atau pemberi pinjaman) atas dasar kepercayaan kepada pihak lain

(debitur atau penerima pinjaman atau penghutang) dengan janji membayar

dari debitur kepada kreditur pada tanggal yang telah disepakati kedua belah

pihak. Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara bank/ kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

penerima pinjaman (debitur) untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu

dengan imbalan atau bagi hasil.51

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat

dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia yaitu “Kredit

adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang, suatu

50

Gatot Suparmono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit; Suatu Tinjauan di Bidang

Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, h. 152.

51 Bendi Linggau dan Hamidah, 2010, Bisnis Kredit Mikro; Panduan Praktis Bankir Mikro

dan Mahasiswa, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h. 19.

Page 48: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

48

pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan

sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :52

1) Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang;

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak

penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang

kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafond kredit.

2) Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank

dengan pihak lain;

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dari

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam

dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk

perjanjian kredit.

3) Adanya kewajiban melunasi utang;

Pinjam meminjam uang adalah suatu utang bagi peminjam. Peminjam

wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit

oleh bank kepada debitur adalah suatu pinjaman uang dan debitur wajib

melakukan pembayaran penulasan kredit sesuai dengan jadwal

pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam

ketentuan perjanjian kredit.

52

M. Bahsan, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 76-78

Page 49: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

49

4) Adanya jangka waktu tertentu;

Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka tertentu. Jangka waktu

tersebut ditetapkan pada perjanjian kredit yang dibuat bank dengan

debitur. Jangka waktu yang ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban

bank untuk menyediakan dana pinjaman dan menunjukan kesempatan

dilunasinya kredit.

5) Adanya pemberian bunga kredit;

Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan

adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman

uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang

dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun sering pula disebut

sebagai balas jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur.

Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang

disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat

disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak

pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya

untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan

pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan

Indonesia.

Mengenai unsur-unsur kredit, Thomas Suyatno mengemukakan sebagai

berikut:

a) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi

yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan

Page 50: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

50

benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di

masa yang akan datang.

b) Tenggang waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian

prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang

akan datang. Dalam unsur waktu itu, terkandung pengertian nilai

agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya

dari uang yang akan diterima di masa mendatang.

c) Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai

akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antar pemberian

prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari.

Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya,

karena sejauh-jauhnya kemampuan manusia untuk menerobos masa

depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang

akan dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya

unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah, maka timbullah

jaminan dalam pemberian kredit.

d) Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang

tetapi juga dapat berbentuk jasa atau barang. Namun karena

kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang,

maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang

setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.53

53

Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media,

Jakarta, h. 58-59.

Page 51: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

51

Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan

utang piutang pada umumnya. Namun senyatanya dalam kaidah hukum

perdata, antara utang dan kredit merupakan dua perbuatan hukum yang

berbeda dan memiliki konsekwensi yuridis yang berbeda pula. Sebagaimana

dimuat dalam Pasal 1757 KUH Perdata menyatakan bahwa apabila sang

debitur tidak membayar bunga atas pinjamanya maka kreditor tidak dapat

menuntut kebatalan atas perjanjian utang piutangnya apabila bunga atas utang

tidak diperjanjikan sebelumnya. Dengan kata lain, tidak ada bunga dalam

utang piutang bila tidak diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya.54

Jadi berdasarkan hal tersebut di atas utang piutang pada umumnya ini

berbeda dengan ketentuan dalam kredit perbankan yang memiliki kekhasan

tersendiri. Secara lebih jelas perbedan antara kredit dan utang dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :55

PERBEDAAN ANTARA KREDIT DAN UTANG

54

Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum ( Legal

Action ) dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta, h. 1

55Feby M. Sukantendel, 2007, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman Anda

memahami dan Menyelesaikan Masalah Kredit Melalui Kelembagaan Hukum dan Masalah

Hukum, YLBHI, Jakarta, h. 132.

NO. KREDIT UTANG

1. Pembayaran kredit dilakukan

dengan cara mengangsur;

Pembayaran dapat dilakukan

dengan cara mengangsur ataupun

secara tunai;

2. Ditentukan tujuan penggunaan

uang yang akan dipinjam yang

dimasukan ke dalam perjanjian

kredit;

Tidak ditentukan tujuan

penggunaan uang dan tidak perlu

dibuat perjanjian yang mengatur

tentang penentuan tujuan

penggunaan dana;

Page 52: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

52

Dalam pemberian kredit, berlaku asas bahwa siapa yang berutang maka

dialah yang wajib membayarnya. Orang yang berutang pada umumnya karena

ada sesuatu kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sehingga harus mencari

dana untuk menutupi dengan cara meminjam. Pihak yang diberikan pinjaman

dana sebagai penolong sewaktu si berutang membutuhkannya. Ketika waktu

yang dijanjikan tiba, maka utang wajib dikembalikan. Sebuah utang bukan

pemberian uang. Orang yang tidak mengembalikan utang merupakan

keahatan penggelapan.56

Untuk memberikan kepastian hukum dalam

pemberian kredit maka hak dan kewajiban kreditur dan debitur harus

dituangkan dalam suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kredit.

Perjanjian merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak

secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan serta

berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban.57

Dasar

hukum dari perjanjian kredit diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian

kredit memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank

sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang

mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah

56

Gatot Suparmono, op.cit., h. 157.

57 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia

Modern, Refika Aditama, Bandung, h. 43.

3. Ditentukan bunga, imbalan, atau

bagi hasil atas pinjaman yang

ditentukan;

Bunga tidak ditentukan bila tidak

diperjanjikan.bahkan kadang kala

utang piutang dapat terjadi tanpa

bunga;

Page 53: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

53

jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil

keuntungan.58

Perjanjian tersebut memuat hak dan kewajiban dari kreditur

dan debitur.

Dokumen-dokumen dalam pemberian kredit memiliki peranan penting

dalam bidang hukum. Peter Gillies dan Gabriël Moens menuliskan sebagai

berikut:

The security aspect of a documentary credit rests upon the fact that it

represents an undertaking by the bank issuing the documentary credit at

the request of its customer (usually the buyer of goods), to pay the

beneficiary (usually the seller of goods), a specified amount on condition

that the beneficiary presents to the bank stipulated documents.59

Aspek keamanan dari sebuah dokumen kredit berstandar pada fakta

bahwa dokumen tersebut merupakan suatu usaha dari bank yang menerbitkan

dokumen kredit atas permintaan pelanggan (biasanya pembeli barang), untuk

membayar penerima (biasanya penjual barang), seorang jumlah yang

ditentukan dengan syarat bahwa penerima dan bank telah menetapkan

hubungan hukum tersebut dalam perjanjian kredit.

Perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat

sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata

yakni adanya kesepakatan, para pihak yang cakap melakukan perbuatan

hukum, mengenai hal tertentu dan causa yang halal. Menurut Gatot Wardoyo,

perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yakni:

58

Sutan Remmy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang

Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal.

34. (selanjutnya disebut Sutan Remy Syahdeini II).

59 Peter Gillies dan Gabriël Moens, 2000, International Trade And Business: Law, Policy

and Ethics, Cavendish Publishing, Sidney Australia, h. 387.

Page 54: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

54

1. Perjanjian kredit berfungi sebagai perjanjian pokok, artinya

perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau

tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya

perjanjian pengikatan jaminan;

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-

batasan hak dan kewajiban diantara debitur dan kreditur.

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring

kredit. 60

Pembuat Undang-undang menegaskan bahwa hubungan kredit bank

adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk

pinjam-meminjam.61

Hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam

pemberian kredit ini wajib dituangkan dalam perjanjian kredit yang berbentuk

tertulis. Perjanjian ini menjadi bukti dari adanya hubungan hukum dan

perbuatan hukum para pihak.

3. Jaminan dalam Pemberian Kredit

Jaminan menurut Hartono Hadisoeprapto adalah “sesuatu yang

diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan

memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan.”62

Remy Sjahdeini menilai bahwa jaminan kredit adalah segala

sesuatu yang mempunyai nilai, mudah untuk diuangkan yang diikat dengan

60

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,Cet.ke-1, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 321.

61 Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 148.

62 Hartono Hadisoeprapto, 2004, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,

Liberty, Yogyakarta, h.50.

Page 55: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

55

janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur berdasarkan

perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur.63

Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai

dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum

jaminan erat sekali hubungannya dengan hukum benda-benda.64

Jaminan

pada dasarnya dibedakan menjadi dua yakni jaminan perorangan dan jaminan

kebendaan. Jaminan perorangan atau pribadi adalah jaminan seorang pihak

ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari

debitur. Jaminan kebendaan merupakan tindakan berupa suatu penjaminan

yang dilakukan oleh kreditur terhadap debiturnya, atau antara kreditur dengan

seorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari

debitur.65

Jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan yang berupa hak mutlak

atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri dan mempunyai hubungan

langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu

mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan immateriil (perorangan)

adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan

tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap harta kekayaan debitur pada

63

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Azas-azas, Ketentuan-Ketentuan Pokok

dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, h. 132. (selanjutnya disebut

Sutan Remy Sjahdeini III).

64 Mariam Darus Badrulzaman, 1987, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai, dan

Fidusia, Alumni, Bandung, h. 265

65 Hermansyah, op.cit., h. 74.

Page 56: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

56

umumnya.66

Dilihat dari kedua jenis jaminan ini, maka dalam pemberian

kredit perbankan, jaminan yang digunakan adalah jaminan materiil atau

jaminan yang bersifat kebendaan.

Benda atau barang yang dijadikan sebagai objek jaminan hutang, akan

dapat diketahui apakah benda tersebut milik si debitur atau pihak lain.

Apabila benda atau barang yang dijadikan sebagai obyek jaminan hutang

milik si pemohon (debitur). Menurut M. Bahsan sebagai obyek jaminan

kredit merupakan milik pihak (orang) lain maka bank perlu meneliti

keabsahan pengunaannya sebagai jaminan kredit kepada bank oleh pemohon

kredit.67

Pembuktian ini sangat penting untuk memberikan keyakinan bagi

bank untuk mencairkan kredit kepada nasabah.

Kewajiban untuk menyerahkan jaminan utang oleh pihak peminjam

dalam rangka pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara

pihak-pihak yang melakukan pinjam-meminjam uang.68

Fungsi jaminan

dalam pemberian kredit bank merupakan source of the last resort bagi

pelunasan kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur artinya,

bila ternyata sumber utama pelunasan nasabah debitur yang berupa hasil

keuangan yang diperoleh dari usaha debitur (first way out) tidak memadai,

sebagaimana yang diharapkan, maka hasil eksekusi dari jaminan itu (second

66

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata, Hak Jaminan Atas Tanah ,

Liberty, Yogyakarta, h.46-47

67 Ibid., h. 114

68 M. Bahsan, op.cit., h. 2.

Page 57: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

57

way out) diharapkan menjadi sumber pelunasan alternatif terakhir yang dapat

diharapkan oleh bank dari debitur tersebut. 69

Dalam pelaksanaan penilaian jaminan utang dari segi hukum, pihak

pemberi pinjaman seharusnya melakukannya menurut (berdasarkan)

ketentuan hukum yang berkaitan dengan objek jaminan utang dan ketentuan

hukum tentang penjaminan utang yang disebut sebagai hukum jaminan.70

Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga

perbankan atau lembaga keuangan non-bank, namun benda yang dapat

dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat benda jaminan yang

baik adalah:

a. dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukan.

b. tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk

melakukan atau meneruskan usahanya.

c. memberikan kepastian pada si kreditur, dalam arti bahwa barang

jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat

dengan mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima

(pengambil) kredit.71

Dalam menilai kelayakan benda obyek jaminan, ada beberapa aspek

yang perlu diperhatikan tentang obyek jaminan tersebut yakni mempunyai

69

Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 153.

70 Bahsan, op.cit., h. 3.

71 Salim, 2012, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada.

Jakarta, h. 27-28.

Page 58: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

58

nilai atau harga secara ekonomis bila dijadikan jaminan hutang. Adapun

ukuran yang perlu diperhatikan adalah:

a. Jenis dan bentuk jaminan, apakah merupakan barang yang bergerak dan

apa jenisnya, barang tidak bergerak dan apa jenisnya, penanggungan

hutang dan apa jenisnya.

b. Kondisi obyek jaminan, akan sangat berpengaruh terhadap nilai

ekonomisnya, karena kondisi obyek jaminan sering berkaitan dengan

keadaan fisiknya, persyaratan teknisnya dan kelengkapan lainnya.

c. Kemudahan pengalihan kepemilikan obyek jaminan, hal ini sangat

berpengaruh pada suatu obyek jaminan yang mudah dapat dialihkan

atau dipindahtangankan kepada pihak lain akan mempunyai nilai

ekonomi yang relatif baik.

d. Tingkat harga yang jelas dan prospek pemasaran, suatu barang yang

dijadikan sebagai obyek jaminan, tingkat harga tidak hanya didasarkan

kepada permintaan dan penawaran, tetapi juga kepada kestabilan dan

prospek perkembangan harganya, tingkat harga ini merujuk kepada

harga pasar yang berlaku.

e. Penggunaan obyek jaminan, dapat mempengaruhi tingkat harga atau

nilai ekonominya dari pemanfaatan obyek jaminan tersebut.72

Penilaian terhadap jaminan sangat penting untuk menentukan apakah

calon nasabah layak atau tidak diberikan kredit dan berapa besaran kredit

yan dapat diberikan.

72

Bahsan, op.cit., h. 124-126

Page 59: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

59

4. Terminologi Restrukturisasi Kredit Dalam Penyelamatan dan

Penyelesaian Kredit Bermasalah

Penetapan kualitas Kredit dilakukan dengan melakukan analisis

terhadap faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) debitur; dan

kemampuan membayar, dengan mempertimbangkan komponen-komponen

dari masing-masing faktor penilai tersebut. Penetapan kualitas kredit

dilakukan dengan mempertimbangkan signifikansi dan materialitas dari setiap

faktor penilaian dan komponen; serta relevansi dari faktor penilaian dan

komponen terhadap debitur yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian

tersebut, kualitas Kredit ditetapkan menjadi:

a. Lancar;

b. Dalam Perhatian Khusus;

d. Kurang Lancar;

e. Diragukan; atau

f. Macet.

Istilah kredit bermasalah telah digunakan Perbankan Indonesia sebagai

terjemahan problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim

digunakan di dunia internasional. Istilah lain dalam Bahasa Inggris yang biasa

dipakai bagi istilah kredit bermasalah adalah non-performing loan.73

Kredit

bermasalah atau non-performing loan merupakan resiko yang terkandung

dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Risiko tersebut berupa keadaan

dimana kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya. Kredit bermasalah

73

Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet; Kenapa Perbankan

Memanjakan Debitur Besar sedangkan Usaha/ Debitur Kecil Dipaksa, Gramedia, Jakarta., h. 35.

Page 60: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

60

atau nonperforming loan di perbankan itu dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, misalnya ada kesengajaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses

kredit, kesalahan prosedur pemberian kredit, atau disebabkan oleh faktor lain

seperti faktor makroekonomi.74

Kredit dikategorikan sebagai kredit bermasalah (nonperforming loan)

adalah apabila kualitas kredit tersebut tergolong pada tingkat kolektabilitas

kurang lancar, diragukan, atau macet. Untuk kredit bermasalah yang bersifat

nonstruktural, pada umumnya dapat diatasi dengan langkah-langkah

restrukturisasi berupa penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka

waktu, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok

kredit, penambahan fasilitas kredit, dan/atau konversi kredit menjadi

penyertaan sementara. Adapun untuk kredit bermasalah yang bersifat

struktural pada umumnya tidak dapat diselesaikan dengan restrukturisasi

sebagaimana kredit bermasalah yang bersifat nonstruktural, melainkan harus

diberi pengurangan pokok kredit (haircut) sebagaimana yang diatur oleh

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 agar usahanya dapat berjalan

kembali dan pendapatannya mampu untuk memenuhi kewajiban-

kewajibannya.75

Untuk menyelesaikan kredit bermasalah itu dapat ditempuh dua acara

atau strategi, yaitu penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Yang

dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu langkah penyelesaian

74

Hermansyah, op.cit., h. 75.

75 Hermansyah, op.cit., h. 75.

Page 61: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

61

kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditur

dan nasabah pemimjam sebagai debitur, sedangkan penyelesaian kredit

adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga

hukum. Yang dimaksud dengan lembaga hukum dalam hal ini adalah Panitia

Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang

Negara (DJPLN), melalui badan peradilan, dan melalui arbitrase atau badan

alternatif penyelesaian sengketa. 76

Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan

berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/ BPPP tanggal 29

Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah

sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternatif

penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali

(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam surat edaran

tersebut yang dimaksudkan dengan penyelamatan kredit bermasalah melalui

penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning),

dan penataan kembali (restructuring) adalah: 77

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu upaya hukum untuk melakukan

perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan

dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk

tenggang (grace period), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu

penambahan kredit.

76

Hermansyah, op.cit., h. 75-76.

77 Hermansyah, op.cit., h. 76-77.

Page 62: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

62

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu melakukan perubahan atas

sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya

kepada perubahan jadwal angsuran, dan/ atau jangka waktu kredit saja.

Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau

tanpa melakukan konversi atas atau seluruh atau sebagian dari kredit

menjadi equity perusahaan.

3. Penataan kembali (restructuring), yaitu upaya berupa melakukan

perubahan-perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian

tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian

kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa

rescheduling dan/ atau reconditioning.

Pengertian restrukturisasi secara normatif dapat dilihat Peraturan Bank

Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Dalam ketentuan

umum Peraturan Bank Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa:

Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam

kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk

memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui:

a. penurunan suku bunga Kredit;

b. perpanjangan jangka waktu Kredit;

c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;

g. pengurangan tunggakan pokok Kredit;

h. penambahan fasilitas Kredit; dan/atau

i. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.

Istilah restrukturisasi juga dapat ditemukan pada Peraturan Bank

Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit

Usaha Syariah. Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank tersebut menyatakan bahwa:

Page 63: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

63

Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam

rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya,

antara lain melalui:

a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal

pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;

b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau

seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok

kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain

meliputi:

1) perubahan jadwal pembayaran;

2) perubahan jumlah angsuran;

3) perubahan jangka waktu;

4) perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau

musyarakah;

5) perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah

atau musyarakah; dan/atau

6) pemberian potongan.

c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan

Pembiayaan yang antara lain meliputi:

1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;

2) konversi akad Pembiayaan;

3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka

waktu menengah; dan/atau

4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada

perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling

atau reconditioning.

Menurut Kasmir, restructuring adalah tindakan bank kepada nasabah

dengan cara menambah modal nasabah dengan mempertimbangkan nasabah

memang membutuhkan tambahan dana dan usaha yang dibiayai memang

masih layak. Tindakan ini meliputi penambahan jumlah kredit dan

penambahan equity (dengan menyetor uang tunai dan tambahan dari

pemilik).78

Restrukturisasi merupakan salah satu upaya untuk

meminimalkan potensi kerugian dari debitur bermasalah sepanjang debitur

masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar.

78

Kasmir, op.cit., h. 131.

Page 64: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

64

Kesepakatan mengenai restrukturisasi dituangkan dalam perjanjian

baru dengan demikian perjanjian yang sebelumnya telah dihapuskan. Pasal

1381 KUHPer menyebutkan 10 (sepuluh) cara hapusnya suatu perikatan,

yaitu:

1. Pembayaran;

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan;

3. Pembaharuan utang;

4. Perjumpaan utang atau kompensasi;

5. Pencampuran utang;

6. Pembebasan utang;

7. Musnahnya barang yang terutang;

8. Batal/pembatalan;

9. Berlakunya suatu syarat batal dan

10. Lewatnya waktu (Daluawarsa).

Hapusnya perikatan karena restrukturisasi kredit dilakukan dengan

cara pembaharuan utang atau Novasi.

Page 65: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

65

BAB III

IMPLEMENTASI KETENTUAN RESTRUKTURISASI KREDIT

1. Wanprestasi sebagai Awal Penyebab Kredit Bermasalah

Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis

terhadap faktor penilai (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan

membayar) dengan mempertimbangkan komponen-komponen lainnya.

Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan mempertimbangkan

signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen

serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen serta relevansi dari

faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan.

Berdasarkan penilaian tersebut, kualitas kredit dibedakan menjadi lancar,

dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet.79

Dari kelima

jenis penilaian ini maka dapat digolongkan bahwa kredit tidak bermasalah

adalah dengan kualitas kredit lancar dan dalam perhatian khusus, sedangkan

kredit bermasalah adalah kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan

macet.

Kredit tidak bermasalah ditandai dengan pemenuhan prestasi dari

debitur kepada kreditur. Prestasi dalam hukum perjanjian diartikan sebagai

pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu perjanjian oleh para pihak

yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan

79

Badriyah Harun, op.cit., h. 114.

Page 66: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

66

“term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam perjanjian yang

bersangkutan.80

Pasal 1234 KUH Perdata menentukan bahwa yang

dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu,

tidak melakukan sesuatu. Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat:

a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban,

kesusilaan, dan Undang-undang.

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan.

c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.81

Prestasi debitur kepada kreditur berupa pembayaran angsuran dengan

besar pembayaran, waktu pembayaran dan jangka waktu pelunasan kredit

sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kredit yang telah dibuat

sebelumnya oleh para pihak.

Berbicara mengenai prestasi maka perlu diketahui hak dan kewajiban

bagi para pihak sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kredit.

Kreditur pada umumnya memiliki kewajiban untuk memberikan fasilitas

kredit dan informasi yang sesuai kepada nasabah debitur serta memiliki hak

untuk menerima pembayaran yang terdiri dari akumulasi angsuran pokok,

bunga atau denda jika lewat waktu jatuh tempo. Nasabah selaku debitur

wajib melakukan pembayaran minimal (tergantung jenis yang dipilih) dan

menyerahkan jaminan kepada kreditur. Nasabah memiliki hak untuk

80 Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT.Citra Aditya

Bakti, Bandung, h. 87 (selanjutnya disebut Munir Fuady II).

81 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.

79.

Page 67: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

67

mendapatkan fasilitas kredit yang sesuai dan informasi-informasi tentang

fasilitas kredit yang diterimanya, misalnya metode pembayaran, lembar

penagihan dan lain-lain.

Pada BTPN, pihak bank berhak melakukan pemotongan secara sistem

pada gaji pensiun nasabah dan menyimpan SK pensiun sebagai jaminan

kredit sampai jangka waktu kredit berakhir. Pihak nasabah wajib

menyerahkan SK pensiun dan persyaratan yang diperlukan pihak bank

untuk proses administrasi. Selanjutnya nasabah wajib melaksanakan

pembayaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan.82

BTPN merupakan

bank yang memberikan pelayanan khususnya bagi nasabah pensiunan,

sehingga fasilitas kredit yang diberikan oleh BTPN tergantung dari dana

pensiunan nasabah.

Kredit bermasalah terjadi apabila para pihak tidak melakukan

kewajibannya yang terdiri dari kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan

macet. Kredit macet dapat dikatakan sebagai kredit bermasalah yang

memerlukan penyelesaian secara khusus. Kredit macet dapat disebabkan

oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal penyebab kredit

macet yaitu kebijakan perkreditan yang ekspansif, penyimpangan dalam

pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad kurang baik dari pemilik, pengurus

dan pegawai bank, lemahnya sistem informasi kredit macet. Faktor

eksternal yang menjadi penyebab kredit macet adalah kegagalan usaha

debitur, pemanfaatan iklim persaingan usaha perbankan yang tidak sehat

82

Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara

(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.

Page 68: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

68

oleh debitur, serta menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga

kredit.83

Budi Untung berpendapat, meskipun perbankan merupakan sektor yang

strictly well regulated, tetapi kredit macet masih dapat terjadi diantaranya

dapat disebabkan karena:84

a. Kesalahan appraisal

b. Membiayai proyek dari pemilik/ terafiliasi

c. Membiayai proyek yang direkomendasi oleh kekuatan tertentu

d. Dampak makro ekonomi/ unforecasted variable

e. Kenakalan nasabah

Menurut Krisna Wijaya dalam bukunya yang berjudul “Analisis

Kebijakan Perbankan Nasional”, dari pengalaman praktik apabila terjadi

kredit macet pada sebuah bank, penyebabnya hanya ada dua, yaitu karena

error ommission dan error commission. Error omission adalah timbulnya

kredit macet yang diakibatkan oleh adanya unsur kesengajaan manusia

untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang ditetapkan sedangkan error

commission adalah timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya

peraturan-peraturan atau ketentuan yang memang belum ada atau sudah

ada, tetapi tidak jelas.85

Dengan demikian kredit macet tersebut dapat

disebabkan karena keadaan ekonomi debitur yang menurun atau karena

kesengajaan dari debitur untuk tidak melaksanakan prestasinya.

Pelaksanaan prestasi oleh debitur kepada kreditur dalam bentuk

pembayaran kewajiban atas kredit yang diberikan kreditur (bank) akan

83

Iswi Hariyani, op.cit., h. 38.

84 H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, h. 121

85 Krisna Wijaya, 2010, Analisis Kebijakan Perbankan Nasional, Kompas Gramedia,

Jakarta, h. 206.

Page 69: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

69

menyebabkan kredit lancar dan dalam perhatian khusus, sedangkan apabila

terjadi waprestasi maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya kredit

bermasalah, khususnya kredit macet. Wanprestasi (default atau non

fulfilment ataupun yang disebut dengan istilah breach of contract) adalah

tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang

dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang

disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.86

Tindakan wanprestasi ini

dapat terjadi karena:

1. Kesengajaan.

2. Kelalaian.

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yang berarti

tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan bersama dalam perjanjian.

Wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak

berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat

dipersalahkan.87

Wanprestasi merupakan salah satu sebab sehingga

berjalannya perjanjian menjadi terhenti. Pada situasi normal antara prestasi

dan kontraprestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu

pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul

peristiwa yang dinamakan wanprestasi. Jadi yang dimaksud dengan

86 Ibid

87 Ibid.

Page 70: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

70

wanprestasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan

prestasinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.88

Pada umumnya jenis-jenis wanprestasi dapat berupa tidak memenuhi

prestasi, terlambat melakukan prestasi atau melakukan namun tidak

sebagaimana mestinya. Kategori kredit bermasalah di bank, salah satunya

disebabkan karena wanprestasi dari debitur. Adanya wanprestasi menjadi

indikator dari adanya kredit bermasalah. Suatu kredit dikatakan bermasalah

apabila ada keterlambatan pembayaran dari jadwal angsuran yang telah

disepakati, atau kurangnya dana untuk melakukan pembayaran (terutama

bila pembayaran dilakukan dengan sistem autodebet) dan tidak membayar

sama sekali. 89

Debitur yang melakukan wanprestasi dapat disebabkan oleh dua

faktor, yang pertama karena memang debitur tidak dapat melaksanakan

kewajibannya karena tidak memiliki penghasilan atau usahanya bermasalah,

kedua karena debitur tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan

prestasi.90

Ni Wayan Parmini, nasabah BTPN tergolong nasabah yang tidak

memiliki kemampuan membayar karena dana pensiunannya tidak cukup

untuk biaya hidup sehari-hari dan angsuran kredit konsumtif yang pernah

88 Munir Fuady II, op.cit., h .87 (selanjutnya disebut dengan Munir Fuady II).

89 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara

(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan wawancara dengan Ketut Gede

Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember

2014.

90 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara

(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.

Page 71: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

71

diajukan. 91

Akibat hukum akibat wanprestasi dapat dituntut apabila sudah

dapat ditentukan apakah debitur wanprestasi dan sejak kapan telah

melakukan wanprestasi.

Dalam praktik hukum di masyarakat untuk menentukan sejak kapan

seorang debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah. Pada

umumnya wanprestasi baru terjadi setelah ada pernyataan lalai dari pihak

yang dirugikan. Pada tahap awal pihak bank biasanya mengirimkan surat

teguran atau somasi kepada debitur agar kembali memenuhi prestasi yang

telah dijanjikannya. Dalam surat teguran tersebut pihak bank menetapkan

batas waktu kepada debitur untuk memenuhi janji prestasi. Apabila batas

waktu tersebut terlewati maka debitur sudah dapat dikategorikan

wanprestasi. Penetapan debitur sebagai pihak yang telah melakukan

wanprestasi dapat menyebabkan akibat hukum yang lebih lanjut.92

Undang-undang sesungguhnya telah memberikan pemecahan dalam

menentukan saat terjadinya ingkar janji/wanprestasi, yaitu dengan lembaga

“penetapan lalai” (ingebrekesstelling). Penetapan lalai adalah pesan kreditur

kepada debitur, dengan mana kreditur memberitahukan pada saat kapankah

selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.93

Sejak saat itu

pulalah debitur harus menanggung akibat-akibat yang merugikan yang

disebabkan tidak dipenuhinya prestasi. Jadi penetapan lalai adalah syarat

91

Wawancara dengan Ni Wayan Parmini, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada

tanggal 4 Januari 2015. 92

Iswi Hariyani, op.cit., h. 29.

93 Munir Faudy II, op cit, h. 88-89.

Page 72: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

72

untuk menetapkan terjadinya ingkar janji.94

Dengan demikian penetapan

lalai ini menjadi pedoman dalam menentukan penetapan terjadinya

wanprestasi.

Wanprestasi debitur membawa akibat hukum berupa timbulnya hak

kreditur sebagai pihak yang dirugikan untuk menuntut debitur yang

melakukan wanprestasi untuk memberikan pembayaran ganti rugi. Akibat

hukum tersebut diatur pada Pasal 1243-Pasal 1252 KUH Perdata. Pasal

1236 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Si berutang adalah wajib

memberikan ganti rugi, bunga, kepada si berpiutang, apabila ia telah

membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan

kebendaannya, atau telah tidak merawat sepenuhnya guna

menyelamatkannya.”

Dalam Pasal 1239 KUH Perdata menentukan bahwa ketika salah satu

pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut

memberikan ganti rugi berupa biaya, rugi, dan bunga. Dasar hukum dari

akibat wanprestasi dapat dilihat dari Pasal 1243 KUH Perdata yang

menyatakan bahwa :

”Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu

perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah

dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika

sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan

atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”

Dalam hal terjadi wanprestasi maka, pihak yang dirugikan yang dalam

hal ini adalah bank sebagai kreditur dapat menegakkan hak-haknya

94

Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Perikatan, Binacipta, Bandung, h. 19.

Page 73: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

73

sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata. Pasal 1267 KUH

Perdata menyatakan bahwa ”Pihak yang terhadapnya perikatan tidak

dipenuhi, dapat memilih,memaksa pihak lain untuk memenuhi Perjanjian,

jika hal itu masih dapat dilakukan atau menuntut pembatalan

persetujuan,dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.” Akibat dari

wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi,

pembatalan kontrak, pengalihan resiko, maupun membayar biaya perkara.95

Dalam perjanjian kredit selalu diatur mengenai kondisi wanprestasi

yang dilakukan oleh debitur. Akibat hukum dari wanprestasi debitur adalah

pengenaan denda hingga pelelangan agunan. Apabila debitur tidak

melakukan pembayaran maka tindakan utama yang dilakukan oleh pihak

bank adalah memberikan peringatan bagi debitur untuk melaksanakan

kewajibannya dan melakukan penelusuran terhadap debitur mengenai

alasannya tidak melakukan pembayaran. Negosiasi menjadi hal yang

diupayakan sebelum membawa masalah tersebut ke pengadilan.

Wanprestasi adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa

kerugian pada seorang lain. Oleh sebab itu sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 1365 KUH Perdata mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Wanprestasi dari

debitur dalam melaksanakan pembayaran akan menyebabkan kredit

bermasalah kredit bermasalah akan berdampak bagi banyak pihak. Kredit

95 Abdul R.Saliman, 2010, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Edisi

kedua, Cetakan kesepuluh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 50

Page 74: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

74

bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak

menguntungkan bagi bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya,

dan juga terhadap kehidupan ekonomi dan moneter suatu negara.96

Dampak

tersebut kemudian dirinci oleh Badriyah Harun sebagai berikut:

Bagi bank pemberi kredit akan membuat menurunnya keuntungan bank

yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelayakan bank untuk

beroperasi. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap perputaran dana bank

di masyarakat. Dana segar yang seharusnya berputar di masyarakat akan

terhenti akibat masyarakat tidak mendapatkan dana yang tersedia.

Dampak secara langsungnya, masyarakat tidak dapat mendapatkan dana

segar sehigga segala kegiatan usaha masyarakat yang membutuhkan dana

perbankan akan terhenti. Dengan demikian, kelumpuhan usaha

menyebabkan tingkat pengangguran dan kemiskinan akan menjadi

semakin meningkat.97

Wanprestasi menimbulkan kerugian bagi pihak lawan. Oleh sebab itu

pihak yang melakukan wanprestasi harus menanggung kerugian akibat dari

tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan pembatalan kontrak

(disertai atau tidak disertai ganti rugi) dan pemenuhan kontrak (disertai atau

tidak disertai ganti rugi).98

Terjadinya wanprestasi sebenarnya tidak semata-

mata karena itikad yang tidak baik dari nasabah. Nasabah seringkali terjebak

dengan perjanjian baku dari pihak kreditur yang membuat debitur yang pada

dasarnya memerlukan dana menerima hal tersebut. Debitur bahkan tidak

diberikan kesempatan untuk membaca perjanjian kredit dan diminta untuk

segera menandatangani perjanjian pada saat itu pula.

96

Siswanto Sutojo, 2008, Menangani Kredit Bermasalah, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, h.

25.

97 Badriyah Harun, op.cit., h. 117.

98 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada,

Jakart., h. 75.

Page 75: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

75

Dalam kebijakan restrukturisasi kredit bermasalah sebagaimana yang

diamanatkan Bank Indonesia, akibat wanprestasi tersebut menimbulkan hak

bagi kreditur (bank) untuk mengajukan tuntutan pemenuhan perjanjian

kredit terhadap debitur yang tidak mampu membayar dengan cara

memberikan keringanan bagi debitur penurunan suku bunga kredit,

perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit,

pengurangan, tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit;

dan/atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Kebijakan restrukturisasi secara normatif hanya diberikan kepada

debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya bukan

kepada debitur yang dengan sengaja tidak membayar karena itikad yang

tidak baik. Dalam Pasal 1244 KUHPerdata diatur sebagai berikut:

“Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti

biaya, rugi dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal

tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya

perjanjian itu, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya,

kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”

Tingginya kredit bermasalah harus diantisipasi dengan mencadangkan

resiko kredit. Menurut A.P. Faure dalam bukunya yang berjudul Banking:

An Introduction menyatakan “credit risk is the risk that the borrower from a

bank will default on the loan and/or the interest payable.”99

Risiko kredit

adalah risiko dimana peminjam dari bank akan gagal membayar atas

pinjaman dan / atau bunga yang harus dibayar

99

A.P. Faure, 2013, Banking: An Introduction, Quoin Institute, h. 93.

Page 76: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

76

Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31 / 147 / KEP

/ DIR Tentang Kualitas Aktiva Produktif tanggal 12 November 1998, risiko

kredit untuk transaksi derivatif adalah nilai pasar (the mark to market value)

dari seluruh perjanjian/ kontrak yang menjanjikan keuntungan yang belum

dapat terealisir namun secara potensial dapat menjadi kerugian Bank apabila

pihak lawan melakukan wanprestasi. Penetapan risiko kredit merupakan

upaya antisipasi bank atas kerugian yang diakibatkan oleh kredit

bermasalah, bankan dalam kredit lancar pun resiko kredit masih tetap ada.

2. Analisis Kredit Sebagai Kebijakan untuk Menghindari Default Risk

Penentuan kualitas kredit sangat penting dalam rangka mengelola

risiko kredit. Keputusan menyalurkan kredit ke berbagai sektor bisnis tidak

selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai bentuk

risiko yang akan dialami di sana baik risiko jangka panjang dan risiko

jangka pendek. Adapun pengertian keduanya adalah sebagai berikut:

a) Risiko yang bersifat jangka pendek (short term risk) adalah risiko yang

disebabkan karena ketidakmampuan suatu perusahaan yang memenuhi

dan menyelesaikan kewajibannya yang bersifat jangka pendek terutama

kewajian likuiditas.

b) Risiko yang bersifat jangka panjang (long term risk) adalah

ketidakmampuan suatu perusahaan menyelesaikan berbagai

kewajibannya yang bersifat jangka panjang, seperti kegagalan untuk

Page 77: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

77

menyelesaikan utang perusahaan yang bersifat jangka panjang dan juga

kemampuan untuk menyelesaikan proyek hingga tuntas.100

Analisis kredit merupakan pintu utama dalam menentukan pemberian

kredit oleh kreditur kepada debitur. Menurut Sutan Remy Syahdaeni,

penyaluran kredit bank dilaksanakan dengan melalui empat tahapan.

Tahapan-tahapan tersebut meliputi tahap analisis kredit pemutusan

pemberiannya, tahap pembuatan perjanjian kredit, tahap pemantauan kredit

dan tahap penyelamatan dan penagihan/ penyesaian kredit. 101

Tahapan demi

tahapan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prosedur perbankan. Secara

umum tahapan dan pintu-pintu yang harus dilalui oleh nasabah di bank

swasta lebih mudah daripada bank pemerintah.

Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan

debitur (borrower), ada tiga macam cara bagi seorang debitur dalam

memperoleh kredit untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit.

Cara pertama, debitur memperoleh kredit dari hanya satu lembaga pemberi

kredit bagi seluruh kebutuhan kreditnya. Cara kedua, debitur menerima

kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna

memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya dan ketiga dengan kredit

sindikasi.102

100

Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, 2010, Pengantar Manajemen Perkreditan,

Alfabeta, Bandung, h. 80.

101 Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 148.

102 Sutan Remy Sjahdeini, 2008, Kredit Sindikasi, Proses, Teknik Pemberian dan Aspek

Hukumnya, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 1-2. (selanjutnya disebut Sutan Remy Syahdeini

IV).

Page 78: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

78

Analisis pengajuan kredit pada dasarnya hampir sama di setiap bank.

Pengajuan kredit di BPR Aruna Nirmaladuta didahului dengan pengisian

dan penandatanganan Form Pengajuan Kredit (FPK), melengkapi syarat

pengajuan kredit (KTP suami istri, kartu keluarga, akta nikah, NPWP,

rekening tabungan 3 bulan terakhir, data agunan, PBB terakhir). FPK dan

syarat kredit diserahkan oleh Marketing Officer ke bagian prosesing untuk

dilakukan BI Checking. Selanjutnya baru dilakukan kunjungan oleh bagian

Credit Review untuk melakukan verifikasi data dilapangan dan kelayakan

debitur. Hasil kunjungan dituangkan dalam Memorandum Analisa Kredit

(MAK) untuk mendapatkan persetujuan kredit oleh komite kredit.103

Dalam pengajuan kredit di BTPN, nasabah meminta analisis kredit

dari credit acceptance mengenai jumlah pinjaman yang dapat diajukan

sesuai dengan nominal gaji pensiun nasabah. Dengan persyaratan kartu

identitas, kartu keluarga, bukti nominal gaji terakhir/buku tabungan

nasabah, NPWP untuk pinjaman di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) dan SK pensiun asli. 104

Analisis kredit merupakan implementasi dari prinsip kehati-hatian

dalam bisnis perbankan. Prinsip kehati-hatian ini dapat dikatakan sebagai

prinsip utama dalam pelaksanaan kegiatan perbankan Dalam Pasal 2 UU

Perbankan perubahan dinyatakan “Perbankan Indonesia dalam melakukan

103

Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta,

wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.

104 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara

(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.

Page 79: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

79

usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip

kehati-hatian.” Dalam Pasal 8 selanjutnya ditentukan:

1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis

yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan

Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan

pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Prinsip kehatian-hatian wajib dilaksanakan sejak awal pengajuan

kredit guna menghindari default risk. Default Risk merupakan risiko gagal

bayar terhadap sejumlah pinjaman kredit yang telah dipinjam secara tepat

waktu. Persoalan default risk sering dialami oleh para debitur pada saat

debitur tersebut tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut secara

tepat waktu yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti:

a. Kondisi makro ekonomi yang tidak stabil. Contohnya krisis moneter

tahun 1997/1998, krisis subrime morgage di Amerika Serikat, kondisi

perang di suatu negara yang mempengaruhi negara di kawasan

tersebut dan lain-lain.

b. Kerugian perusahaan yag terjadi karena faktor menurunnya angka

penjualan secara sistematis.

c. Terjadinya korupsi secara besar-besaran yang disebabkan menurunnya

nilai perusahaan di mata publik.

d. Kudeta yang tersebut baik di tingkat direksi maupun manajer serta

karyawan yang meluas pada terhentinya produk dan berpengaruh pada

penurunan penjualan perusahaan.105

105

Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, op.cit., h. 83.

Page 80: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

80

e. Kondisi terjadinya default risk telah menyebabkan terjadi di negara

bersangkutan.

f. Kekisruhan yang terjadi di perusahaan

timbulnya permasalahan baik di pihak debitur maupun kreditur. Maka

untuk menghindari dari timbulnya default risk ini ada beberapa tindakan

yang harus dilakukan yaitu:

1. Bagi kreditur akan menaikkan angka jaminan pada tingkat yang benar-

benar aman.

2. Menghindari jaminan yang memiliki tingkat risiko, sehingga dengan

menerima benda tersebut sebagai suatu jaminan malah akan

menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dikemudian hari.

3. Menghindari benda jaminan yang memiliki nilai fluktuasi di pasaran.106

Pada bagian yang a dimana kreditor melakukan kebijakan dengan

menaikkan angka jaminan, telah banyak penelitian yang dilakukan oleh

banyak pihak yang memberikan pembuktian tentang ini. Sebagaimana yang

dikemukan oleh Utoro dan Perry Warjiyo yang menyatakan konsekuensinya

pada saat terjadi fluktuasi nilai aset, maka kredit dengan nilai agunan yang

besar akan menghasilkan default risk yang rendah demikian sebaliknya

terhadap kredit yang tidak didukung dengan agunan maka akan menghadapi

default risk yang lebih tinggi. Bank sebagai kreditor berusaha menghindari

timbulnya kredit macet (bad debt), karena semakin kecil bad debt maka

semakin lancar arus kas yang berasal dari kredit yang masuk ke perbankan

tersebut. Begitu juga sebaliknya bagi debitur sebagai peminjam, semakin

106

Ibid., h. 83-84.

Page 81: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

81

baik dan tepat waktu ia mengembalikan pinjaman maka semakin baik pula

reputasinya di mata perbankan.107

Ketentuan pelaksanaan mengenai penilaian kualitas aset bank umum

diatur dalam Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum

yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia.

Adapun alasan perlunya ketentuan pelaksanaan penilaian kualitas kredit

sebagaimana diatur dalam ketentuan umum adalah sebagai berikut:

A. Dengan meningkatnya kompleksitas usaha dan profil risiko serta

dalam rangka mengantisipasi pengaruh perekonomian global, Bank

perlu meningkatkan kemampuan dan efektivitas dalam mengelola

risiko Kredit, meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana,

dan mensyaratkan peringkat yang lebih tinggi terhadap prime bank

penerbit standby letter of credit (SBLC) yang diperlakukan sebagai

agunan tunai.

B. Dalam rangka mengelola risiko kredit, bank menetapkan kualitas

Kredit yang merupakan hasil penilaian atas faktor yang berpengaruh

terhadap kondisi dan kinerja debitur yang terdiri dari prospek usaha,

kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar debitur.

C. Selanjutnya, untuk meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan

dana, bank dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur

yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar

dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan standar

akuntansi keuangan yang berlaku.

D. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, pemenuhan

kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang

dilakukan debitur mempengaruhi secara bertahap perbaikan kualitas

Kredit atas Kredit yang direstrukturisasi.

E. Bank harus menyajikan laporan keuangan yang akurat,

komprehensif, dan mencerminkan kinerja Bank secara utuh sesuai

dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, khususnya dalam

pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai. Selain

memenuhi Standar Akuntasi Keuangan, Bank harus tetap

menghitung Penyisihan Penghapusan Aset yang akan mempengaruhi

rasio permodalan Bank.

Dalam pemberian kredit kepada masyarakat, pihak bank memiliki

risiko terjadinya kredit bermasalah, khususnya kredit macet. Dalam

107

Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, op.cit., h. 83-84.

Page 82: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

82

menghadap risiko ini maka Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan

mengenai restrukturisasi. Restrukturisasi dapat dilakukan dengan atau tanpa

rescheduling dan/ atau reconditioning. Restrukturisasi kredit pada

prinsipnya adalah pemberian syarat yang lebih lunak atau lebih ringan

dibandingkan dengan syarat pembayaran sebelum karena adanya konsesi

khusus yang diberikan kreditur kepada debitur sebagai pelaksanan dari

peraturan kebijakan yang secara teknis dibuat oleh Bank Indonesia.

Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia

menyatakan bahwa dalam rangka meminimalkan potensi kerugian akibat

debitur bermasalah, Bank dapat melakukan Restrukturisasi kredit atas

debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga

sepanjang debitur yang bersangkutan masih memiliki prospek usaha yang

baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah Kredit

direstrukturisasi. Restrukturisasi kredit dimaksud dilaksanakan sesuai

dengan prinsip kehati-hatian dan Standar Akuntansi Keuangan yang

berlaku.

Restrukturisasi merupakan suatu langkah yang sedianya harus

dilakukan bersama oleh kreditur dan debitur apabila terjadi kredit yang

bermasalah (non-performing loan). Namun tidak semua kredit bermasalah

dapat direstrukturisasi. Dapat atau tidaknya restrukturisasi atas suatu kredit

bermasalah ditentukan oleh beberapa hal. Pasal 52 Peraturan Bank

Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menentukan bahwa:

Page 83: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

83

Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi kredit terhadap debitur

yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga

Kredit; dan

b. debitur masih memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu

memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi.

Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan

Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah menentukan bahwa:

(1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah

yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan

b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu

memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.

(2) Restrukturisasi untuk Pembiayaan konsumtif hanya dapat

dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan

b. terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari

nasabah dan mampu memenuhi kewajiban setelah

restrukturisasi.

(3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan

bukti-bukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas

Aset Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi

Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah maka

restrukturisasi kredit dapat dilakukan terhadap kredit produktif dan kredit

konsumtif.

Pada dasarnya, restrukturisasi dapat dilakukan terhadap setiap kredit

macet tanpa memandang apakah debitur adalah pengusaha besar atau

pengusaha kecil. Restrukturisasi dapat dilakukan sepanjang dapat

dibuktikan bahwa debitur memang mengalami penurunan kemampuan

untuk membayar dan masih sanggup untuk membayar, bukan disebabkan

karena itikad yang tidak baik. Bank dapat melakukan restrukturisasi kredit

Page 84: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

84

terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan

membayar dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan standar

akuntansi keuangan yang berlaku untuk meminimalkan potensi kerugian

dari penyediaan dana.

Kebijakan restrukturisasi kredit berguna untuk menjamin kesehatan

perbankan. Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Peraturan Bank

Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dilarang melakukan

Restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk:

a. memperbaiki kualitas Kredit; atau

b. menghindari peningkatan pembentukan PPA, tanpa memperhatikan

kriteria debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.

Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi kredit

sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Perlakuan

akuntansi untuk Restrukturisasi kredit antara lain diterapkan untuk

pengakuan kerugian yang timbul dan pengakuan pendapatan bunga dan

penerimaan lain. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, pemenuhan

kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang dilakukan

debitur mempengaruhi secara bertahap perbaikan kualitas kredit atas kredit

yang direstrukturisasi.

3. Pelaksanaan dan Penyimpangan Restrukturisasi Kredit Perbankan

Kualitas kredit ditetapkan berdasarkan analisis terhadap 3 (tiga) faktor

penilaian yaitu prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan

kemampuan membayar. Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor

Page 85: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

85

15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan

Bank Umum Konvensional menentukan bahwa Bank Indonesia menetapkan

Bank dalam pengawasan intensif jika dinilai memiliki potensi kesulitan

yang membahayakan kelangsungan usahanya. Bank dinilai memiliki

potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika

memenuhi rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih

dari 5% (lima persen) dari total kredit.

Menurut Iswi Hariyani, salah satu risiko utama perbankan adalah

kredit bermasalah. Namun apabila jumlah kredit bermasalah sudah

melampaui batas kemampuan bank, ia dapat berubah menjadi bencana,

sebab tidak saja profitabilitas bank yang akan terkena, likuiditasnya pun

terancam.108

Dalam menangani kredit bermasalah tersebut, maka salah satu

upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan restrukturisasi kredit.

Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara

tertulis dari nasabah dengan kategori kualitas kredit kurang lancar,

diragukan dan macet.

Kredit bermasalah menjadi suatu risiko dalam bisnis perbankan.

Kolektibilitas kredit macet di BPR Aruna Nirmaladuta sebesar Rp

125.000.000 dengan jumlah debitur sebanyak 4 orang.109

Kolektabilitas

kredit bermasalah di BTPN terjadi dengan persentase 0,1% dari kredit yang

108

Iswi Hariyani, op.cit., h. 39.

109 Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta,

wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.

Page 86: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

86

ada.110

Penyebab kredit bermasalah ini adalah ketika tidak ada kecukupan

dana untuk membayar angsuran. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh

penurunan kemampuan bayar debitur, penyampaian informasi keuangan

yang kurang detail pada saat pengajuan kredit sehingga menambah beban

angsuran yang tidak bisa diantisipasi oleh debitur dan masalah di keluarga

seperti cekcok rumah tangga, anggota keluarga sakit dan lain-lain.111

Ketentuan restrukturisasi kredit mengacu pada ketentuan antara lain

Undang-undang di bidang perbankan, Peraturan Bank Indonesia dan

Ketentuan internal masing-masing bank. Dalam Pasal 55 ayat (1) Peraturan

Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum ditentukan

bahwa bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai

restrukturisasi kredit. Sesuai dengan amanat Pasal 55 ayat (1) tersebut maka

pihak bank wajib memiliki pedoman dalam melaksanakan restrukturisasi.

Menurut Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum

yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia,

dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian, Bank harus memiliki

pedoman Restrukturisasi Kredit yang memuat prosedur dan tata cara dalam

melaksanakan Restrukturisasi Kredit yang paling kurang memuat bagian

Analisis dan Dokumentasi. Dalam melakukan analisis terhadap Kredit yang

akan direstrukturisasi, Bank paling kurang memperhatikan analisis,

110

Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara

(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.

111 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara

(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan dawancara dengan Ketut Gede

Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember

2014.

Page 87: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

87

kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan

kredit serta prosedur pemantauan.

Analisis terhadap kredit dimulai dengan evaluasi terhadap

permasalahan debitur, yang meliputi evaluasi terhadap penyebab terjadinya

tunggakan pokok dan/atau bunga yang didasarkan atas laporan keuangan,

arus kas (cash flow), proyeksi keuangan, kondisi pasar, dan faktor lain yang

berkaitan dengan usaha debitur. Perkiraan pengembalian seluruh pokok

dan/atau bunga berdasarkan perjanjian Kredit sebelum dan setelah

Restrukturisasi Kredit. Perkiraan tersebut hendaknya didasarkan pada rasio

keuangan, termasuk proyeksi rasio keuangan, yang mencerminkan kondisi

keuangan dan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya.

Evaluasi terhadap kinerja manajemen debitur untuk menentukan

diperlukannya restrukturisasi organisasi perusahaan debitur, antara lain

dapat dilakukan dengan cara penggantian pemegang saham, direksi, dan

perubahan manajerial lainnya. Apabila diperlukan, Bank dapat

menggunakan bantuan tenaga ahli eksternal untuk melakukan restrukturisasi

organisasi tersebut.

Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan proyeksi

arus kas (projected cash flows) dan nilai tunai (present value) dari angsuran

pokok dan/atau bunga yang akan diterima. Analisis, kesimpulan, dan

rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan Kredit seperti

penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan pokok dan/atau bunga,

perubahan jangka waktu, dan/atau penambahan fasilitas. Penyesuaian

Page 88: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

88

tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan

membayar debitur sehingga debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran

angsuran pokok dan/atau bunga hingga jatuh tempo.

Restrukturisasi kredit yang dilakukan dengan cara pemberian

tambahan kredit wajib memuat tujuan dan penggunaan tambahan kredit

secara jelas. Tambahan kredit tidak diperkenankan untuk melunasi

tunggakan pokok dan/atau bunga. Dalam hal restrukturisasi kredit

mengakibatkan kewajiban debitur menjadi lebih besar, maka bank dapat

mensyaratkan adanya agunan baru. Penyesuaian atas jadwal pembayaran

kembali telah mencerminkan kemampuan membayar debitur. Rincian yang

terkait dengan transparansi persyaratan kredit termasuk kesepakatan

keuangan dalam perjanjian kredit, seperti rencana rekapitalisasi perusahaan

debitur atau adanya klausul bahwa bank dapat meningkatkan suku bunga

sejalan dengan kemampuan membayar debitur. Persyaratan bahwa

perjanjian kredit dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan

restrukturisasi kredit harus mempunyai kekuatan hukum. Kelengkapan

dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Restrukturisasi Kredit.

Prosedur pemantauan merupakan bagian penting dari pelaksanaan

restrukturisasi. Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk memantau

kredit yang telah direstrukturisasi guna memastikan kesanggupan debitur

untuk melakukan pembayaran sesuai persyaratan dalam perjanjian kredit

baru. Beberapa langkah yang harus dilakukan bank dalam rangka

Page 89: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

89

pemantauan pelaksanaan restrukturisasi kredit sebagaimana yang diatur

dalam Surat Edaran No. 15/28/DPNP antara lain:

a. meminta debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang

dilengkapi dengan rasio keuangan pokok, perkembangan usaha,

pelaksanaan rencana tindak (action plan), yang diperlukan Bank

dalam rangka memantau kondisi usaha dan keuangan debitur secara

terus menerus. Debitur juga melaporkan dampak dari berbagai

tindakan yang ditempuh sebagai bagian dari Restrukturisasi Kredit,

seperti rekapitalisasi perusahaan debitur dan kebijakan untuk tidak

membagikan dividen;

b. mengevaluasi kredit yang telah direstrukturisasi setiap triwulan,

termasuk apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara proyeksi

dan realisasi, terutama dari angsuran pokok dan bunga, jangka

waktu, arus kas, tingkat bunga, dan/atau nilai taksasi agunan; dan

c. menyusun langkah yang akan diambil jika debitur ternyata kembali

mengalami kesulitan membayar setelah Restrukturisasi Kredit.

BTPN dan BPR Aruna Nirmaladuta adalah termasuk bank yang

memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit. 112

Dalam praktik, belum semua bank memiliki pedoman atau ketentuan

internal mengenai restrukturisasi kredit secara tertulis atau hanya diatur

sedikit di dalam standar operasional prosedur bank bersangkutan. Kebijakan

restrukturisasi hanya didasarkan pada analisis kredit bermasalah dan

kebijakan dari masing-masing bank bersangkutan.

Ketentuan mengenai restrukturisasi tidak hanya diatur melalui

Peraturan Bank Indonesia saja. Setiap bank juga diwajibkan memiliki

pedoman tertulis tentang restrukturisasi kredit. Dalam Bagian Ketiga

Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum

112

Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara

(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan wawancara dengan Ketut Gede

Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember

2014.

Page 90: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

90

diatur mengenai “Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit.” Pasal 55

menyebutkan:

(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai

Restrukturisasi Kredit.

(2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.

(3) Prosedur Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) wajib disetujui paling rendah oleh Direksi.

(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif

terhadap pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Kredit

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan

manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank

Indonesia yang berlaku.

Keputusan restrukturisasi kredit harus dilakukan oleh pihak yang lebih

tinggi dari pihak yang memutuskan pemberian kredit. Dalam hal keputusan

pemberian kredit dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan tertinggi

sesuai anggaran dasar bank maka keputusan restrukturisasi kredit dilakukan

oleh pihak yang setingkat dengan pihak yang memutuskan pemberian

kredit. Dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit, pembentukan satuan kerja

khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank dengan tetap

mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.

Untuk menjaga obyektivitas, restrukturisasi kredit wajib dilakukan

oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian kredit yang

direstrukturisasi, namun dalam praktik, pengajuan kredit dan keputusan

restrukturisasi dilakukan oleh bidang yang sama komite kredit yang terdiri

dari kepala bagian kredit dan direksi. Restruktur diajukan oleh marketing

officer dan credit review disetujui oleh komite kredit. Kebijakan dalam

Page 91: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

91

memutuskan restrukturisasi kredit disesuaikan dengan kebijakan internal

masing-masing bank. Adapula bank yang menunjuk petugas khusus yang

memiliki batas wewenang memutus kredit sesuai dengan ketentuan bank.

Dalam praktik, apabila terjadi kredit bermasalah maka pihak bank

memiliki cara masing-masing dalam menangani kredit bermasalah tersebut.

Prosedur yang dilakukan oleh BPR Aruna Nirmaladuta misalnya

menetapkan dalam jangka waktu keterlambatan 1-30 hari maka yang utama

dilakukan adalah indentifikasi penyebab penurunan kemampuan bayar

debitur dan melakukan komunikasi yang intens untuk mencari solusinya

dengan pihak debitur. Dalam jangka waktu keterlambatan 30 – 60 hari,

maka pihak bank akan melayangkan surat peringatan 1,2,3 dibarengi dengan

penagihan yang intens dan jika keterlambatan > 90 hari maka bank akan

melakukan penyelesaian kredit melalui eksekusi jaminan. Restrukturisasi

dilakukan pada saat keterlambatan 30 – 90 hari. 113

Apabila ada kredit bermasalah maka pihak BTPN akan melakukan

follow up seperti menghubungi nasabah yang bersangkutan melalui telepon

atau mengirimkan surat peringatan. Jika tidak diindahkan juga maka pihak

bank akan melaksanakan layanan kunjungan nasabah untuk melakukan

penagihan langsung ke alamat nasabah yang bersangkutan. Jika nasabah

tidak bisa menyetorkan kekurangan dana angsuran, dilakukan follow up ke

pihak bank terkait untuk dipertimbangkan adanya pembaharuan kredit yang

berfungsi menutup kolektibilitas dengan menambah jumlah plafon pinjaman

113

Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta,

wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.

Page 92: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

92

dan perpanjangan jangka waktu pinjamanan. Jika nasabah setuju untuk

menambah jumlah plafon yang akan digunakan untuk menutup kekurangan

angsuran yang tertunggak dan persyaratan lainnya terpenuhi, maka dapat

dilakukan proses tersebut. 114

Dalam praktik, restrukturisasi tidak dilakukan terhadap setiap kredit

bermasalah. Restrukturisasi dilakukan sepanjang masih ada kemampuan

membayar dan itikad yang baik dari debitur restrukturisasi kredit dapat

dilakukan. Penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi adalah sebagai

berikut:

1. paling tinggi sama dengan kualitas kredit sebelum dilakukan

restrukturisasi kredit, sepanjang debitur belum memenuhi kewajiban

pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut-turut

selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang diperjanjikan;

2. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas kredit

sebelum dilakukan restrukturisasi kredit, apabila debitur telah

memenuhi kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam

angka 1; dan

3. kualitas kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian prospek

usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar:

a. setelah penetapan kualitas kredit sebagaimana dimaksud dalam

angka 2; atau

114

Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin BTPN, wawancara dilakukan pada 22

Desember 2014.

Page 93: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

93

b. dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau

kewajiban pembayaran dalam perjanjian restrukturisasi kredit,

baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode kewajiban

pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan.

Proses awal pengajuan restrukturisasi sama seperti pengajuan kredit

baru, jika sudah sepakat mengenai jumlah pinjaman, jangka waktu dan total

dana bersih yang diterima nasabah, maka selanjutnya akan dilakukan

penginputan melalui sistem bank untuk diteruskan ke pejabat bank terkait.

Jika kredit telah disetujui dan proses penandatanganan perjanjian kredit

dilakukan oleh kedua belah pihak, akan diteruskan proses ke credit admin

untuk dilakukan posting pada sistem dan dicairkan dananya ke rekening

nasabah yang bersangkutan. Perjanjian ini berfungsi untuk menjamin

kepastian hukum para pihak dalam pemberian kredi baik dalam konteks

preventif maupun represif. Perjanjian kredit disatu sisi berfungsi untuk

mencegah terjadinya wanprestasi dan disisi lain akan berguna sebagai alat

bukti dalam penyelesaian kredit bermasalah.

Sebagaimana halnya pengajuan kredit maka pengajuan restrukturisasi

harus atas inisiatif dari debitur. Analisis untuk memutuskan persetujuan

terhadap restrukturisasi ini perlu dilakukan. Team leader kredit dan

Marketing officer melakukan negosiasi untuk mencari solusi yang

memungkinkan untuk dilakukan restrukturisasi kredit. Debitur membuat

surat permohonan ke manajemen agar dapat dilakukan restruktur kredit.

Analisis terhadap proses restrukturisasi ini dilakukan lebih detail untuk

Page 94: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

94

menyelamatkan kredit bermasalah. Penyelamatan kredit bermasalah dengan

restrukturisasi kredit ini dilakukan melalui beberapa cara yakni penurunan

suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan

tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan

fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Penurunan suku bunga kredit merupakan salah satu bentuk

restrukturisasi yang bertujuan memberikan keringanan kepada debitur

sehingga dengan penurunan bunga kredit besarnya bunga yang harus

dibayar debitur setiap tanggal pembayaran menjadi lebih kecil dibanding

suku bunga yang ditetapkan sebelumnya. Dengan adanya keringanan suku

bunga maka pembayaran bunga setiap bulannya menjadi lebih kecil

sehingga pendataan dari hasil usaha debitur dapat dialokasikan untuk

membayar sebagian pokok dan sebagian lainnya untuk melanjutkan dan

mengembangkan usaha.115

Dalam perhitungan yang demikian maka dapat

diprediksikan bahwa dalam jangka waktu tertentu kredit dapat dilunasi dan

usaha dapat berjalan kembali, bahkan menjadi lebih besar. Penurunan suku

bunga kredit ini pernah dilakukan oleh BTPN Pernah yakni maksimal 1%

dari bunga kredit sebenarnya. 116

Perpanjangan jangka waktu kredit dilakukan untuk memperingan

debitur dalam mengembalikan utangnya. Dengan memberikan perpanjangan

jangka waktu kredit maka debitur dapat memiliki waktu yang lebih banyak

115

Sutarno, 2009, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 267.

116 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin BTPN, wawancara dilakukan pada 22

Desember 2014.

Page 95: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

95

dengan angsuran yang tentunya lebih kecil dalam melunasi kredit.

Perpanjangan jangka waktu kredit akan meningkatkan kualitas kredit

menjadi performing loan atau kredit tidak bermasalah. Perpanjangan jangka

waktu kredit ini merupakan cara restrukturisasi yang paling mudah dan

paling lazim digunakan oleh bank dalam penyelamatan kredit bermasalah.

Salah satu tanda kredit bermasalah adalah adanya tunggakan bunga

kredit lebih dari tiga kali pembayaran. Bunga kredit yang seharusnya

dibayar setiap bulan atau dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan

perjanjian kredit, tidak dibayar sehingga tunggakan bunga kredit lama

kelamaan menjadi menumpuk yang jumlahnya menyamai hutang pokok.

Pengurangan tunggakan bunga tidak mengakibatkan perubahan akta

perjanjian kredit karena yang dikurangi adalah besarnya tunggakan bunga

yang seharusnya dibayar debitur.117

Pengurangan tunggakan bunga kredit

dilakukan untuk menyelamatkan kredit bermasalah.

Pengurangan tunggakan pokok kredit bertujuan untuk meningkatkan

kualitas kredit. Pengurangan tunggakan pokok ini merupakan pengorbanan

bank yang sangat besar karena aset bank merupakan hutang pokok ini tidak

kembali dan merupakan kerugian yang menjadi beban bank. Besarnya

hutang pokok kredit tercantum dalam perjanjian kredit sehingga dengan

adanya pengurangan pokok kredit yang harus dibayar, perlu dibuat akta

117

Sutarno, op.cit., h. 268.

Page 96: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

96

addendum perjanjian kredit yang menegaskan besarnya pengurangan pokok

kredit dan besarnya pokok kredit yang harus dibayar setelah dikurangi. 118

Dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah, bank seringkali

menggunakan strategi penambahan fasilitas kredit. Penambahan fasilitas

kredit diharapkan usaha debitur akan berjalan kembali dan berkembang

yang akan menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk

mengembalikan utang lama dan tambahan kredit baru. Untuk memberikan

tambahan fasilitas kredit harus dilakukan analisis yang cermat, akurat dan

dengan perhitungan yang tepat mengenai prospek usaha debitur karena

debitur menanggung utang lama dan utang baru. 119

Restrukturisasi kredit dapat dilakukan melalui penyertaan modal

sementara. Mengenai penyertaan modal sementara ini Pasal 62 Peraturan

Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menyatakan:

(1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Kredit dalam bentuk

Penyertaan Modal Sementara.

(2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hanya dapat dilakukan untuk Kredit yang memiliki kualitas Kurang

Lancar, Diragukan, atau Macet.

Penyertaan Modal Sementara wajib ditarik kembali apabila telah

melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau perusahaan

debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif. Penyertaan

Modal Sementara wajib dihapusbukukan dari neraca Bank apabila telah

melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.

118

Sutarno, op.cit., h. 267.

119 Sutarno, op.cit., h. 267.

Page 97: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

97

Secara normatif sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya cara

yang dapat digunakan dalam restrukturasi dapat berupa penurunan suku

bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan

bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas

kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara, namun

dalam praktik yang paling sering digunakan hanyalah perpanjangan jangka

waktu kredit. Hal ini disebabkan karena cara tersebut merupakan cara yang

paling praktik dan tidak berisiko bagi bank sedangkan cara lain dipandang

lebih sulit, misalnya pengurangan tunggakan bunga kredit tidak pernah

dilakukan karena perhitungan bunga telah ditentukan melalui sistem.

Penyelamatan kredit bermasalah sedianya diberikan kepada semua

debitur sepanjang masing memiliki kesanggupan membayar dan dapat

membuktikan memang ada penurunan pemasukan. Dalam kenyataannya,

bank cenderung memberikan kebijakan diskriminatif dimana kebijakan

restrukturisasi hanya diberikan kepada debibur besar. Bank cenderung

enggan untuk memberikan fasilitas restrukturisasi terhadap portofolio kredit

macet milik debitur UMKM, khususnya debitur mikro dan debitur kecil.

Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa terhadap debitur mikro dan

debitur kecil, pihak bank biasanya cenderung ketat sehingga nilai agunan

kredit debitur UMKM pada umumnya jauh lebih besar dibandingkan dengan

nilai kreditnya. 120

120

Iswi Hariyani, op.cit., h. 138.

Page 98: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

98

Besarnya nilai agunan milik debitur UMKM tersebut justru tidak

mendorong pihak bank untuk melakukan restrukturisasi kredit, tetapi

malahan lebih bersemangat untuk segera melelang agunan tersebut. Di sisi

lain, pihak bank pada umumnya lebih banyak memberikan fasilitas

restrukturisasi kredit kepada debitur besar yang memiliki banyak lobi-lobi

khusus. Kenyataan ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat kecil,

khususnya pengusaha mikro dan kecil. 121

Jika restrukturisasi kredit

dilakukan, maka hanya sebatas formalitas saja sambil menunggu jatuh

tempo dan selanjutnya melakukan lelang terhadap agunan. Penjualan juga

dilakukan di bawah tangan dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan

yang besar. Hal ini merupakan bentuk itikad yang buruk dari oknum

pegawai bank yang menangani masalah restrukturisasi kredit.

Dengan nilai agunan yang jauh lebih besar dibandingkan nilai

kreditnya, maka sudah sepantasnya pihak bank memprioritaskan

restrukturisasi kredit macet debitur UMKM karena posisi bank dalam

keadaan aman. Hal ini berbeda dengan kredit macet milik debitur yang pada

umumnya tidak didukung oleh nilai agunan yang memadai, sehingga dapat

berpotensi merugikan bahkan dapat membangkrutkan usaha bank. 122

Itikad baik (good faith) harus ada sejak terjadinya negosiasi,

pelaksanaan perjanjian hingga penyelesaian sengketa, namun dalam praktik

tidak demikian. Marketing atau sales officer seringkali menyamarkan

tentang suku bunga sehingga debitur yang kurang paham tentang perbankan

121

Iswi Hariyani, op.cit., h. 139.

122 Iswi Hariyani, op.cit., h. 139.

Page 99: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

99

kerap terkecoh. Hal ini menjadi awal dari kredit bermasalah. Pada awal

terjadi wanprestasi kerap kali kreditur tidak melakukan restrukturisasi tetapi

melakukan pembayaran yang dipaksakan dengan bunga tinggi, dengan

penjualan aset atau jaminan debitur.

Restrukturisasi dapat dilakukan pada semua kategori kredit, namun

dalam praktiknya restrukturisasi hanya dilakukan pada kredit tersebut sudah

masuk dalam kategori macet. Bank seringkali kurang perhatian atas

tindakan nasabah setelah kredit itu cair. Kreditur hanya melakukan

konfirmasi pada saat sebelum kredit cair saja. Jika kreditur melakukan

manajemen pengelolaan nasabah secara baik maka kualitas kredit yang baik

akan dapat dipertahankan.

Page 100: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

100

BAB IV

HAMBATAN DALAM RESTRUKTURISASI KREDIT

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Restrukturisasi Kredit

Pemberian kredit dari kreditur terhadap debitur dilindungi dalam

suatu perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan perjanjian jaminan

sebagai perjanjian tambahan. Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah

berlaku mengikat bagaikan undang-undang.123

Hal ini menimbulkan

konsekuensi hukum bahwa para pihak wajib melaksanakan kewajiban

sebagaimana tertuang dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut

membawa akibat hukum bagi kedua belah pihak. Pemenuhan hak dan

kewajiban merupakan salah satu bentuk dari akibat hukum suatu perjanjian.

Akibat hukum di sini tidak lain adalah pelaksanaan dari suatu kontrak itu

sendiri.124

Jika perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit maka debitur

wajib melaksanakan pembayaran yang dilakukan secara berkala dengan

besaran dan bunga yang sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Pemberian fasilitas kredit oleh bank idealnya mendasarkan pada

faktor finansial, yang tercakup pada tiga pilar, yaitu prospek usaha, kinerja

dan kemampuan calon debitur. Namun demikian, dengan memperhatikan

adanya prudential banking principles, maka faktor finansial saja belum

123

Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 8.

124 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

h. 71.

Page 101: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

101

cukup untuk memberikan keyakinan bahwa fasilitas kredit tersebut akan

kembali dengan aman dan menguntungkan. Sekalipun pada dasarnya

agunan merupakan second way out, tetapi arah perkembangan kredit

perbankan akhir-akhir ini di luar kredit konsumtif telah mengarah pada

faktor agunan sebagai variable dominan yang dapat memberikan keyakinan

kepada bank.125

Keyakinan ini merupakan pelaksanaan dari prinsip kehati-

hatian dalam pemberian kredit kepada debitur.

Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap

komponen-komponen sebagai berikut potensi pertumbuhan usaha, kondisi

pasar dan posisi debitur dalam persaingan, kualitas manajemen dan

permasalahan tenaga kerja, dukungan dari grup atau afiliasi; dan upaya yang

dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Penilaian

terhadap kinerja debitur meliputi penilaian terhadap komponen-komponen

perolehan laba, struktur permodalan, arus kas, dan sensitivitas terhadap

risiko pasar. Penilaian terhadap kemampuan meliputi penilaian terhadap

komponen-komponen antara lain ketepatan pembayaran pokok dan bunga,

ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur, kelengkapan

dokumentasi kredit, kepatuhan terhadap perjanjian kredit, kesesuaian

penggunaan dana dan kewajaran sumber pembayaran kewajiban.

Dalam menjalankan usaha perbankan, terkadang terjadinya kredit

bermasalah sulit untuk dihindari, walaupun pada saat pengajuan kredit telah

dilakukan analisis kredit secara mendalam. Menurut Burhanuddin Abdullah,

125

Try Widiyono, 2009, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia,

Bogor, h.. 2.

Page 102: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

102

kredit bermasalah atau non-performing loan dapat disebabkan oleh bencana

alam atau keadaaan darurat di luar kemampuan manusia, usaha debitur yang

memburuk, sulit berkembang, banyak pesaing, kesulitan manajerial, praktik

KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) antara debitur dan pihak perbankan

dan debitur tidak mempunyai niat baik untuk melaksanakan tanggung

jawabnya.126

Sebagian besar kredit bermasalah timbul karena hal-hal yang terjadi

pada pihak debitur, antara lain:

1) Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan yang disebabkan

merosotnya kondisi ekonomi umum dan/ atau bidang usaha dimana

mereka beroperasi.

2) Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan,

atau karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang

mereka tangani.

3) Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang

berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau

beberapa orang anggota keluarga debitur.

4) Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang

lain.

5) Kesulitan likuiditas keuangan yang serius.

6) Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang

dan bencana alam.

7) Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah

merencanakan untuk tidak akan mengembalikan kredit).127

Kredit bermasalah harus segera ditangani, sebab tingginya persentase

kredit bermasalah akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank.

Restrukturisasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian kredit

126

Iswi Hariyani, op.cit., h. 35.

127 Iswanto Sutojo, 2007, The Management of Commercial Bank, Damar Mulia Pustaka,

Jakarta, h.. 171-172

Page 103: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

103

bermasalah. Menurut Badriyah Harun ada hal-hal yang perlu diperhatikan

dalam penanganan kredit bermasalah yakni: 128

a. Keinginan debitur untuk menyelesaikan kewajiban.

b. Tingkat kerjasama dan keterbukaan debitur.

c. Kemampuan finansial debitur.

d. Sumber pengembalian pinjaman.

e. Prospek usaha debitur.

f. Mudah tidaknya menjual jaminan.

g. Kelengkapan dokumentasi jaminan.

h. Ada tidaknya tambahan jaminan baru.

i. Sengketa tidaknya jaminan.

j. Ada tidaknya sumber pembayaran dari usaha lain.

Ditinjau dari efektivitas kebijakan restrukturisasi ada beberapa hal

yang mempengaruhi kebijakan ini yakni faktor hukumnya. Kebijakan

restrukturisasi diatur dalam Undang-undang di bidang perbankan, Peraturan

Bank Indonesia serta ketentuan internal bank sebagaimana yang telah

diuraikan sebelumnya. Substansi hukum yang mengatur mengenai kebijakan

restrukturisasi telah tertuang baik dalam bentuk pengaturan maupun dalam

bentuk teknis yuridis. Ketentuan mengenai restrukturisasi telah diatur secara

lengkap dalam peraturan kebijakan, namun peraturan tersebut seringkali

berganti dan tersebar di beberapa peraturan kebijakan. Hal ini menimbulkan

kesulitan dalam pelaksanaan restrukturisasi yang sesuai dengan amanat

Bank Indonesia.

Analisis mengenai apakah suatu kredit bermasalah dapat

direstrukturisasi atau tidak perlu dilakukan dengan cermat dan

mempertimbangkan beberapa hal. Dalam Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia

tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum ditentukan bahwa:

128

Badriyah Harun, op.cit., hal 117.

Page 104: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

104

(1) Kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan

prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi

arus kas.

(2) Kredit kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib

dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin

usaha dan reputasi yang baik.

(3) Setiap tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Kredit dan hasil

analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen

terhadap Kredit yang direstrukturisasi wajib didokumentasikan secara

lengkap dan jelas.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

berlaku juga untuk Restrukturisasi ulang atas Kredit.

Kebijakan restrukturisasi perlu mendapatkan dukungan secara holistik

oleh pemegang kebijakan. Faktor yang juga mempengaruhi pelaksanaan

restrukturisasi kredit adalah faktor penegak hukum serta sarana dan fasilitas

dalam penegakan hukum. Penegak hukum disini adalah pihak bank itu

sendiri. Pihak bank sedianya memiliki pengetahuan dalam kemampuan

dalam mengenal nasabah, menentukan kualitas kredit, menganalisis

kemampuan membayar dari debitur, dan menentukan cara restrukturisasi

yang mana yang tepat bagi nasabah yang memiliki kredit bermasalah

tersebut.

Pihak bank wajib menyediakan fasilitas dalam upaya restrukturisasi

kredit, yakni dengan melibatkan konsultan keuangan independen untuk

menganalisis setiap tahapan dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit. Dalam

Pasal 58 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank

Umum selanjutnya ditentukan bahwa:

(1) Kualitas Kredit setelah restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:

a. paling tinggi sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan

Restrukturisasi Kredit, sepanjang debitur belum memenuhi

kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara

Page 105: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

105

berturut turut selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang

diperjanjikan;

b. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas

Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi, setelah debitur

memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau

bunga secara berturut turut selama 3 (tiga) kali periode

sebagaimana dimaksud huruf a; dan berdasarkan faktor

penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10:

1) setelah penetapan kualitas kredit sebagaimana dimaksud

pada huruf b; atau

2) dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau

kewajiban pembayaran dalam perjanjian Restrukturisasi

Kredit, baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode

kewajiban pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan.

(2) Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan

jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dilakukan sebagai

berikut:

a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum

dilakukan restrukturisasi kredit tergolong Diragukan dan Macet

dan tetap sama untuk Kredit yang tergolong Kurang Lancar dan

Dalam Perhatian Khusus, sampai dengan 3 (tiga) kali periode

kewajiban pembayaran;

b. selanjutnya ditetapkan berdasarkan faktor penilaian atas

ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.

(3) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dapat ditetapkan berdasarkan

faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dalam hal

pelaksanaan Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan analisis

dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal

57.

(4) Dalam hal periode pemenuhan kewajiban angsuran pokok dan/atau

bunga kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan paling cepat dalam

waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat

(4) berlaku juga untuk restrukturisasi ulang atas Kredit.

(6) Kualitas tambahan Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi

Kredit ditetapkan sama dengan kualitas Kredit yang direstrukturisasi.

(7) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebelum ketentuan ini berlaku

tidak perlu disesuaikan dengan Pasal 58 ayat (1) huruf a dan b.

(8) Selanjutnya penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada

ayat (7) dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak PBI ini

berlaku.

Page 106: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

106

Dalam Penjelasan Pasal 58 dijelaskan misalnya Bank X melakukan

restrukturisasi Kredit kepada debitur A yang kualitasnya diragukan. Setelah

direstrukturisasi penetapan kualitas Kredit debitur A adalah sebagai berikut:

a. Sebelum debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran

pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali berturut turut sesuai waktu

yang diperjanjikan, penetapan kualitas kredit paling tinggi Diragukan.

b. Setelah debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran

pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai waktu

yang diperjanjikan, ditetapkan kualitas Kredit 1 (satu) tingkat lebih

tinggi menjadi Kurang Lancar.

c. Selanjutnya penetapan kualitas Kredit dilakukan berdasarkan faktor

penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Dalam melakukan Restrukturisasi Kredit, Bank dapat memberikan

fasilitas kemudahan berupa pemberian tenggang waktu pembayaran (grace

period). Kualitas Kredit setelah direstrukturisasi dengan pemberian tenggang

waktu pembayaran diatur secara berbeda, yaitu selama tenggang waktu

pembayaran kualitasnya ditetapkan sama dengan kualitas kredit sebelum

dilakukan restrukturisasi. Pada umumnya, tenggang waktu pembayaran dapat

diberikan Bank kepada debitur, dalam bentuk penundaan pembayaran pokok

pinjaman, bunga pinjaman, atau kombinasi dari keduanya.

Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian

tenggang waktu pembayaran (grace period) pokok dan bunga ditetapkan

bahwa selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum

Page 107: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

107

dilakukan restrukturisasi; dan setelah grace period berakhir, kualitas Kredit

mengikuti penetapan kualitas. Penetapan kualitas aset produktif berlaku pula

bagi Kredit yang direstrukturisasi. Dalam hal kredit yang direstrukturisasi

berjumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), penetapan

kualitas kreditnya tidak dipengaruhi oleh kualitas Kredit yang diberikan oleh

Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari

atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

Dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah, hal-hal yang

diperhatikan, diantaranya administrasi kredit, kredit yang perlu mendapat

perhatian khusus, perlakuan terhadap kredit yang tunggakan bunganya

dikapitalisasi (kredit plafondering), prosedur penyelesaian kredit

bermasalah, dan prosedur penghapusbukuan kredit macet; serta tata cara

pelaporan kredit macet dan tata cara penyelesaian barang agunan kredit

yang teah dikuasai bank yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Dari

kebijakan di atas, yang paling penting pula, yaitu pelaksana dan institusinya

itu sendiri. Dari institusinya diharapkan bahwa:129

a. Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit

bermasalah.

b. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau

diduga akan menjadi kredit bermasalah.

c. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit

bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin.

129

Muhamad Djumbana II, op.cit., h. 55-552.

Page 108: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

108

d. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara

menambah plafond kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan

mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau lazim dikenal dengan

praktik plafondering kredit.

e. Bank tidak oleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit

bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak

yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.

Sumber daya bank sangat menentukan pelaksanaan kebijakan

restrukturisasi kredit dalam rangka penyelamatan terhadap kredit

bermasalah. Bagian analis wajib memiliki kemampuan untuk mendeteksi

secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit

bermasalah guna melakukan upaya optimal dalam melaksanakan

penyelamatan terhadap kredit bermasalah. Gejala-gejala yang muncul

sebagai tanda akan terjadinya kredit bermasalah adalah sebagai berikut:130

a. Penyimpangan dari berbagai ketentuan dalam perjanjian kredit,

b. Penurunan kondisi keuangan perusahaan,

c. Frekuensi pergantian pimpinan dan tenaga inti,

d. Penyajian bahan masukan secara tidak benar,

e. Menurunnya sikap kooperatif debitur,

f. Penurunan nilai jaminan yang disediakan,

g. Problem keuangan atau pribadi.

130

Siswanto Sutojo, op. cit. h. 173.

Page 109: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

109

Cara bank menangani kredit bermasalah juga dipengaruhi oleh jumlah

dana milik debitur yang diharapkan dapat dipergunakan untuk

mengembalikan kredit, jumlah kredit yang dipinjam debitur dari kreditur

lain, status dan nilai jaminan yang telah terikat, maupun sikap debitur dalam

menghadapi bank.131

Sikap debitur ini memiliki peranan penting dalam

pelaksanaan restrukturisasi kredit bermasalah dalam penyelematan dan

penyelesaian kredit perbankan.

Faktor masyarakat dan budaya juga mempengaruhi pelaksanaan

restrukturisasi kredit bermasalah. Masyarakat dan budaya disini adalah cara

pandang dari nasabah selaku debitur untuk memiliki itikad baik dalam

melaksanakan prestasi. Menurut I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada

Mitra Usaha, pihaknya telah berupaya untuk melaksanakan pembayaran,

namun karena usahanya yang semakin menurun maka ia tidak mampu lagi

melakukan pembayaran tepat pada waktunya. Peminat kerajinan kayu

menurutnya menurun dari tahun ke tahun, akibatnya omzet usahanya pun

semakin menurun.132

Begitu pula yang terjadi dengan Dickin Alyansyah,

nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta yang mengalami keterlambatan

membayar karena penurunan omzet usaha.133

Utar Sutar mengajukan restrukturisasi kredit karena

ketidakmampuannya membayar kredit sesuai dengan jumlah yang

131

Siswanto Sutojo, op. cit., h. 178

132 Wawancara dengan I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada

tanggal 3 Januari 2015.

133 Wawancara dengan dengan Dickin Alyansyah, nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta

pada tanggal 4 Januari 2015.

Page 110: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

110

ditentukan lebih dari empat kali secara berturut-turut. Kondisi tersebut

disebabkan karena kredit yang telah dicairkan pertama kali digunakan untuk

membiayai usahanya yang lain yaitu warung klontong di rumah yang

dikelola istrinya. Namun, warung klontong tersebut tidak berjalan baik.134

Inisiatif dari nasabah sangat menentukan persetujuan restrukturisasi

kredit, karena restrukturisasi kredit hanya dapat diajukan atas permintaan

debitur. Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha,

mengajukan permohonan restrukturisasi perpanjangan jangka waktu dan

penambahan fasilitas kredit, walaupun yang disetujui hanyalah

perpanjangan jangka waktu kredit saja.135

Hal itu disebabkan karena usaha

debitur yang mengalami penurunan, sehingga penambahan fasilitas tidak

dapat diberikan agar tidak memberatkan debitur dikemudian hari. Oleh

sebab itu, nasabah harus memiliki pengetahuan dan informasi mengenai hak

untuk mengajukan restrukturisasi kredit apabila mengalami kesulitan

membayar.

2. Hambatan dalam Restrukturisasi Kredit Perbankan

Kredit adalah sebuah kepercayaan (trust). Dengan demikian,

pemberian fasilitas kredit haruslah berdasarkan suatu kepercayaan, yaitu

fasilitas yang diberikan tersebut digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan

134

Wawancara dengan Utar Sutar, nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta pada tanggal 4

Januari 2015.

135 Wawancara dengan I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada

tanggal 3 Januari 2015.

Page 111: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

111

permohonan calon debitur.136

Dalam praktiknya kemacetan suatu kredit

disebabkan oleh dua unsur yaitu:137

a. Dari pihak perbankan. Artinya dalam melakukan analisisnya, pihak

analisis kurang teliti, sehingga apa yang seharusnya terjadi, tidak

diprediksi sebelumnya atau mungkin salah dalam melakukan

perhitungan. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak analis kredit

dengan pihak debitur sehingga dalam analisisnya dilakukan secara

subjektif dan akal-akalan.

b. Dari pihak nasabah. Dari pihak nasabah, kemacetan kredit dapat

dilakukan akibat dua hal yakni:

1) Adanya unsur kesengajaan. Dalam hal ini nasabah sengaja untuk

tidak bermaksud membayar kewajibannya kepada bank

sehingga kredit yang diberikan macet. Dapat dikatakan tidak

adanya unsur kemauan untuk membayar, walaupun sebenarnya

nasabah mampu.

2) Adanya unsur tidak sengaja. Artinya si debitur mau membayar

akan tetapi tidak mampu. Sebagai contoh kredit yang dibiayai

mengalami musibah seperti kebakaran, hama, kebanjiran dan

sebagainya, sehingga kemampuan untuk membayar kredit tidak

ada.

Dalam dunia perbankan penyelesaian kredit bermasalah dalam

lingkungan administrasi perkreditan merupakan suatu kelaziman. Hal

136

Try Widiyono, loc.cit.

137 Kasmir, 2006, Dasar-dasar Perbankan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h, 128-129.

Page 112: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

112

tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kualitas kredit.

Menuju langkah-langkah alternatif demikian, secara nyata para pihak pasti

mendapatkan perbedaan-perbedaan yang dengan sendirinya pula apabila

difungsikan lembaga alternatif penyelesaian sengketa karena melalui

lembaga tersebut dimungkinkan perbedaan pendapat bisa direduksi

sedemikian rupa sehingga mendapatkan jalan keluar yang saling

menguntungkan (win win solution).138

Restrukturisasi ini dijalankan

berdasarkan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi dan penilaian ahli

antara pihak kreditur dan debitur serta pihak ketiga yang netral seperti

akuntan publik dan sebagainya.

Restrukturisasi kredit dalam penyelamatan kredit bermasalah

merupakan suatu upaya yang ditawarkan dan menguntungkan baik dari

pihak kreditur maupun dari pihak debitur, namun menurut Wahyudi

Santoso, dalam proses restrukturisasi kredit, ada beberapa kendala yang

dihadapi, antara lain:139

b. Tidak adanya keterbukaan antara kreditur dengan debitur. Hal

demikian tidak lepas dari sifat hubungan yang antagonistik antara

keduanya. Pihak kreditur, dalam hal ini bank, dalam praktiknya

menetapkan persyaratan yang lebih mencerminkan besarnya

kerugian yang dapat ditolerirnya serta kepastian pembayaran

sesegera mungkin tanpa memperhatikan kondisi bisnis dan keuangan

138

Muhamad Djumbana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 560.

139 Wahyudi Santoso, 2008, h. 21.

Page 113: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

113

debiturnya. Pada sisi lain pihak debitur selalu berupaya memperoleh

keringanan yang maksimal dengan menyerahkan agunan seminimal

mungkin.

c. Adanya keterbatasan baik finansial maupun tenaga staf yang ahli di

bidang restrukturisasi pada lembaga-lembaga fasilitas seperti Satgas

maupun Prakarsa Jakarta, sementara pada sisi yang lain nasabah

debitur maupun bank kreditur terlalu berharap banyak pada lembaga

tersebut secara fakta sebenarnya juga tidak mempunyai kekuatan

memaksa.

d. Kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat sebagai

fasilitator dalam restrukturisasi, karena masing-masing lembaga

tersebut mempunyai agenda atau prioritas yang berbeda satu dengan

yang lain.

Dari faktor hukum, kebijakan restrukturisasi tertuang dalam aturan

yang tersebar. Sampai saat ini belum ada ketentuan khusus yang mengatur

mengenai restrukturisasi kredit. Peraturan kebijakan mengenai

restrukturisasi kredit juga sering berubah-ubah. Misalnya SK Direksi Bank

Indonesia No. 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang

Restrukturisasi Kredit merupakan perubahan dari SK Direksi Bank

Indonesia tertanggal 27 Februari 1998 dan diubah kembali melalui

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 Peraturan Bank

Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 Tentang Perubahan Surat Keputusan

Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR Tanggal 12 November

Page 114: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

114

1998 Tentang Restrukturisasi Kredit. Perubahan yang terjadi secara terus-

menerus ini bukanlah merupakan indikator hukum yang baik.

Dalam ketentuan mengenai perbankan tidak ditegaskan apakah

restrukturisasi kredit merupakan hal yang wajib atau hanya merupakan

upaya penyelamatan kredit. Dalam ketentuan Pasal 54 Peraturan Bank

Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum hanya ditentukan

bahwa “Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit

sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.” Perlakuan

akuntansi untuk Restrukturisasi Kredit antara lain diterapkan untuk

pengakuan kerugian yang timbul; dan pengakuan pendapatan bunga dan

penerimaan lain. Hal ini dapat menjadi celah hukum dari bank untuk tidak

melaksanakan restrukturisasi terhadap kredit bermasalah.

Dalam pelaksanaannya, program restrukturisasi kredit dan

restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan selama ini mengalami

berbagai kendala dan salah satunya adalah berupa adanya ketentuan yang

berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Bank.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut serta dengan

mempertimbangkan bahwa restrukturisasi kredit dan restrukturisasi

perusahaan pada gilirannya dapat memperbaiki sisi aktiva perbankan dan

mendorong pergerakan sektor riil maka perlu dilakukan penyesuaian

ketentuan kehati-hatian khususnya mengenai batas waktu penarikan

Penyertaan Bank dalam rangka restrukturisasi kredit.

Page 115: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

115

Peraturan Bank Indonesia sangat mempengaruhi operasional bank,

tidak hanya dalam akuntansi, tetapi mencakup struktur organisasi, teknologi

informasi, dan pola pikir sumber daya manusia bank. Oleh karena itu

dibutuhkan strategi-strategi untuk menghadapi permasalahan-permasalahan

yang akan timbul sehubungan dengan kebijakan restrukturisasi dalam

penyelamatan kredit bermasalah seperti perhitungan present value cash flow

ketika terjadi restrukturisasi kredit.

Faktor penegak hukum serta sarana dan fasilitas dalam penegakan

hukum juga mejadi faktor penghambat dalam pelaksanaan restrukturisasi

kredit manakala terjadi keterbatasan baik finansial maupun tenaga staf yang

ahli di bidang restrukturisasi serta koordinasi antar lembaga. Pemahaman

mengenai peraturan tentang restruktukrisasi perlu dilakukan. Penentuan

kebijakan mengenai restrukturisasi dalam praktik dilakukan oleh bidang

yang sama dengan yang menentukan pemberian kredit. Hal ini dapat

menimbulkan subjektivitas dalam memberikan persetujuan restrukturisasi.

Kebijakan restrukturisasi seringkali diabaikan karena pelaksanaan

kebijakan ini justru mengurangi margin keuntungan. Restrukturisasi

memerlukan proses yang panjang. Kredit yang bermasalah harus dianalisis

ulang dan bahkan melibatkan kantor pusat. Jika kredit bermasalah dibiarkan

saja dan pihak bank tidak mengkonfirmasi nasabah wanprestasi untuk

membayar, maka pihak bank akan mendapat keuntungan dari penumpukan

bunga dan denda. Apabila debitur masih tidak sanggup membayar maka

akan dilakukan lelang yang biasanya dilakukan di bawah tangan. Kondisi ini

Page 116: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

116

tentu sangat menguntungkan pihak kreditur yang dapat mempermainkan

harga lelang jaminan.

Oknum pihak bank melaksanakan restrukturisasi kredit hanya untuk

kepentingan formalitas saja, debitur juga kurang mendapatkan informasi

mengenai restrukturisasi ini. Memang dalam hal ini pihak bank tidak

memiliki kewajiban untuk menyamakan pemahaman dari para debitur

sebagaimana pula yang dinyatakan Alix Adams sebagai berikut:

Bank does not even have a duty to ensure that a customer takes

independent advice prior to entering into a transaction with it. However,

failure to do so may prevent the bank from enforcing a contract in its

favour, if it is perceived as having constructive notice of undue influence

or misrepresentation which led the customer into the transaction. Such

notice may be given by the nature and substance of the agreement and

the relationship between the customer and any other party involved in or

benefiting from the transaction140

.

Dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya ditentukan bahwa kredit kepada Pihak Terkait yang akan

direstrukturisasi wajib dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang

memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. Keterlibatan konsultan

keuangan independen seringkali diabaikan karena melibatkan konsultan

keuangan independen berarti menambah biaya yang dikeluarkan untuk

mengatasi kredit bermasalah. Biaya ini akan memberatkan pihak debitur

yang dalam kondisi tersebut memang memiliki kesulitan untuk membayar,

dan jika dibebankan kepada kreditur, kreditur pun akan dirugikan lebih

banyak lagi.

140

Alix Adams, 2008, Law for Business Students Fifth Edition, Pearson Education,

England, h. 146.

Page 117: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

117

Restrukturisasi kredit sangat mudah dilakukan sepanjang ada itikad

baik dari nasabah selaku debitur. Hambatan yang selama ini sering terjadi

pelaksanaan restrukturisasi kredit adalah nasabah yang tidak kooperatif.

Penggilan via telepon dan kunjungan ke rumah nasabah seringkali

diabaikan. Negosiasi dalam restrukturisasi kredit juga seringkali tidak

menemukan kesepakatan. Setelah ada kesepakatan, hasil kesepakatan tidak

pula dilaksanakan dengan alasan bahwa pihaknya merasa dirugikan. Dalam

kondisi tersebut biasanya penyelesaian masalah dilakukan melalui

pengadilan. 141

Pelaksanaan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan kredit

bermasalah merupakan pelaksanaan dari aturan yang mengatur tentang

restrukturisasi. Menurut Munir Fuady, salah satu cara untuk memberikan

perlindungan kepada nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang

ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter,

khususnya peraturan yang bertujuan melindungi nasabah sehingga dapat

dijamin law enforcement yang baik. Peraturan Perbankan tersebut harus

ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau

pemegang saham dari bank yang bersangkutan. 142

Peraturan mengenai

retrukturisasi merupakan upaya untuk melindungi nasabah dari hak

eksekutorial kreditur untuk melelang langsung objek jaminan.

141

Wawancara dengan Ketut Enda Raharja, Head Office Mayapada Mitra Usaha,

wawancara dilakukan pada 27 Desember 2015.

142 Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 104.

(selanjutnya disebut Munir Fuady III)

Page 118: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

118

3. Tanggung Jawab Hukum Pihak Kreditur dalam Restrukturisasi Kredit

Risiko yang sering terjadi dalam usaha perbankan pada umumnya

adalah risiko kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). Faktor

penyebab risiko kredit macet antara lain karena kesalahan penggunaan

kredit, manajemen penggunaan kredit yang buruk, serta kondisi

perekonomian yang mempengaruhi iklim usaha dalam negeri.143

Kredit

bermasalah akan berdampak pada kelancaran operasi bank pemberi kredit

dimana aktiva produktif bank diragukan kolektibilitasnya serta menurunkan

profitabilitas bank bersangkutan.

Tingginya jumlah kredit bermasalah akan mengakibatkan turunnya

pemasukan dan mengurangi modal bank. Kondisi ini menimbulkan turunnya

likuiditas yang berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada

bank. Dalam hal kepercayaan masyarakat menurun, maka peranan bank

sebagai lembaga intermediasi tidak dapat berfungsi optimal, yang artinya

akan memperkecil kesempatan peluang bisnis, proyek baru, lapangan kerja

baru dan sebagainya. Secara sistemik, kondisi tersebut akan berpengaruh

terhadap kehidupan ekonomi dan moneter negara.

Pelaksanaan program pemulihan perekonomian nasional dimulai

dengan penerapan berbagai langkah-langkah dalam rangka restrukturisasi

perbankan nasional yang antara lain dilaksanakan melalui program

penjaminan pemerintah, program rekapitalisasi perbankan dan pelaksanaan

restrukturisasi kredit perbankan. Langkah selanjutnya dalam program

143

Badriyah Harun, op.cit., hal 11.

Page 119: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

119

pemulihan perekonomian nasional tersebut adalah melalui restrukturisasi

perusahaan. Program restrukturisasi perusahaan sangat erat kaitannya untuk

mendukung perbaikan sisi aktiva perbankan melalui program restrukturisasi

kredit.

Pelaksanaan restrukturisasi kredit menimbulkan tanggung jawab bank

selaku kreditur. Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia seluruh

restrukturisasi kredit yang dilakukannya. Restrukturisasi kredit yang telah

dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur

mengenai Laporan Berkala Bank Umum. Bank memiliki kewajiban

sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Perbankan perubahan yakni sebagai

berikut:

1. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala

keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

2. Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan

kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang

ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan

dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,

dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang

bersangkutan.

3. Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan

dan bersifat rahasia.

Tanggung jawab pelaporan kepada Bank Indonesia ini terkait dengan

tanggung jawab Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan

pembinaan. Bank Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melakukan

pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan restrukturisasi kredit.

Kebijakan restrukturisasi merupakan kebijakan yang dituangkan dalam

Peraturan Bank Indonesia. Peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk

Page 120: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

120

pembinaan dan pengawasan terhadap bank oleh Bank Indonesia. Dalam

Pasal 29 UU Perbankan perubahan ditentukan bahwa:

1. Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.

2. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan

ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,

likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan

dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai

dengan prinsip kehati-hatian.

3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib

menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan

nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

4. Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi

mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan

dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

5. Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank

Indonesia.

Dalam Pasal 65 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas

Aset Bank Umum ditentukan bahwa:

Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan

kualitas Kredit dan perhitungan PPA, apabila:

a. menurut penilaian Bank Indonesia, Restrukturisasi Kredit dilakukan

dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53;

b. Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan dokumen yang

lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan

membayar dan prospek usaha debitur;

c. debitur tidak melaksanakan perjanjian Restrukturisasi Kredit (cidera

janji/wanprestasi);

d. Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan

hanya untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan

prospek usaha debitur; dan/atau

e. Restrukturisasi Kredit tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

Restrukturisasi kredit merupakan upaya penyelamatan kredit

bermasalah. Apabila penyelamatan kredit bermasalah ini tidak berhasil

maka bank melakukan tindakan lanjutan berupa penghapusan kredit macet

Page 121: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

121

(write-off). Penghapusan kredit macet tersebut dilakukan dengan dua tahap

yakni hapus buku dan hapus tagih. Hapus buku dan hapus tagih ini dianggap

sebagai kerugian bank.

Hapus buku adalah tindakan administratif Bank antara lain untuk

menghapus buku kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa

menghapus hak tagih Bank kepada debitur. Hapus tagih adalah tindakan

Bank menghapus semua kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan.

Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat

kriteria, persyaratan, limit, kewenangan, dan tanggung jawab serta tata cara

hapus buku dan hapus tagih. Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap

seluruh penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.

Hapus tagih dalam rangka restrukturisasi kredit dan penyelesaian

kredit dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada debitur. Upaya

yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada debitur,

restrukturisasi kredit, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan

garansi atas aset produktif dimaksud, dan penyelesaian kredit melalui

pengambilalihan agunan.

Hapus buku adalah penghapusan secara bersyarat atau conditional

write-off dan hapus tagih adalah penghapusan secara mutlak absolute write-

off. Hapus buku dilakukan dengan cara mengeluarkan semua portofolio

kredit macet dari pembukuan bank, namun bank tetap melakukan tagihan

kepada debitur sedangkan dalam program hapus tagih, bank tidak lagi

Page 122: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

122

melakukan penagihan kepada debitur.144

Program hapus buku dan hapus

tagih merupakan upaya untuk mengurangi rasio kredit bermasalah dan

berarti meningkatkan kesehatan bank.

Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus

buku dan hapus tagih. Kebijakan tersebut wajib disetujui oleh Dewan

Komisaris. Prosedur mengenai hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui

paling rendah oleh Direksi. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan

secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan hapus buku dan hapus tagih.

Kebijakan dan prosedur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari kebijakan manajemen risiko bank sebagaimana diatur dalam ketentuan

Bank Indonesia yang berlaku.

Pasal 67 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset

Bank Umum menentukan bahwa:

(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap

penyediaan dana yang telah didukung perhitungan CKPN sebesar

100% dan kualitasnya telah ditetapkan Macet.

(2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan

dana (partial write off).

(3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh

penyediaan dana.

(4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka

Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit.

Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan setelah Bank

melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aset Produktif yang

diberikan. Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan serta

144

Iswi Hariyani, op.cit. h. 41.

Page 123: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

123

dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus tagih. Bank

wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aset Produktif

yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. Apabila program hapus

buku dan hapus tagih ini tidak berhasil maka bank selaku kreditur dapat

menyelesaikan permasalahan kredit macet ini melalui jalur litigasi maupun

non litigasi (alternatif penyelesaian sengketa).

Page 124: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

124

BAB V

PENUTUP

1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1) Implementasi ketentuan restrukturisasi kredit belum optimal

diterapkan dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah

pada kredit perbankan. Hal tersebut dapat dilihat dari penyimpangan-

penyimpangan yang dilakukan dalam pelaksanaan restrukturisasi

kredit. Faktor internal yang menyebabkan belum optimalnya

ketentuan restrukturisasi adalah analisis kredit yang kurang teliti dari

pihak bank, indikasi itikad buruk dari pihak bank untuk mengabaikan

proses restrukturisasi serta ketidaktahuan nasabah bahwa jika

mengalami ketidaksanggupan membayar dapat mengajukan

restrukturisasi. Faktor eksternal yang menyebabkan belum optimalnya

ketentuan restrukturisasi yakni kebijakan restrukturisasi sebagaimana

yang diuangkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang sering

berubah-ubah.

2) Hambatan yang dihadapi dalam implementasi ketentuan

restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit

bermasalah pada kredit perbankan dapat ditinjau dari faktor hukum,

penegak hukum, sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum,

Page 125: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

125

masyarakat serta kebudayaan. Faktor hukum yang menghambat yakni

pengaturan eksternal dalam Peraturan Bank Indonesia yang tersebar

dan sering berubah serta pengaturan internal di bank bersangkutan

mengenai restrukturisasi yang belum ada atau belum sesuai dengan

substansi sebagaimana yang diamanatkan dalam Surat Edaran Bank

Indonesia. Faktor penegak hukum dan sarana penegakan hukum yang

dalam hal ini adalah bank dan sarananya adalah belum adanya

pemahaman yang komprehensif dan prosedur yang benar mengenai

proses restrukturisasi serta pengabaian keterlibatan konsultan

keuangan independen dalam restrukturisasi kredit. Faktor masyarakat

dan budaya yang menghambat restrukturisasi kredit adalah adanya

itikad buruk debitur, kurangnya informasi dan inisiatif debitur dalam

mengajukan restrukturisasi kredit.

2. Saran

Rekomendasi yang dapat disampaikan mengenai implementasi

ketentuan restrukturisasi kredit bermasalah pada kredit perbankan adalah:

1) Bank Indonesia hendaknya tidak terlalu sering mengganti kebijakan

mengenai restrukturisasi kredit dalam penyelamatan kredit

bermasalah. Masing-masing bank hendaknya memiliki kebijakan dan

prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit, memiliki divisi

khusus yang menentukan restrukturisasi dan membedakannya dengan

divisi pengajuan kredit. Bank hendaknya memberikan pelatihan bagi

Page 126: implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur

126

pegawainya dalam meningkatkan pengetahuan mengenai kebijakan

restrukturisasi dan prediksi dalam mengukur kesanggupan dan

kemampuan membayar melalui prospek usaha debitur yang menjadi

sumber pendapatan untuk melaksanakan pembayaran. Pihak kreditur

hendaknya memberikan informasi yang benar mengenai pengajuan

kredit dan suku bunga serta melakukan upaya antisipasi sebelum

terjadinya kredit bermasalah dengan selalu memonitor pembayaran

debitur.

2) Debitur hendaknya mempelajari perjanjian kredit antara dirinya dan

kreditur dan memiliki pemahaman yang cukup di bidang perbankan

yang meliputi syarat pengajuan kredit, perihal pembayaran, suku

bunga, model perhitungan pembayaran dan ketentuan apabila nantinya

tidak sanggup membayar. Debitur yang dalam hal ini adalah nasabah

bank hendaknya memiliki itikad baik untuk melaksanakan prestasi,

mau kooperatif dalam setiap tahapan pengajuan restrukturisasi,

memberikan informasi dan data yang benar guna mencapai

kesepakatan dalam restrukturisasi. Jika debitur telah kooperatif dalam

hal ketidaksanggupan membayar, maka pihak bank hendaknya

memberikan kesempatan dalam memberikan kesempatan

restrukturisasi kredit kepada nasabah sebelum mengambil keputusan

untuk menjual agunan guna menutupi pembayaran kredit.