implementasi kebijakan pelaksanaan pajak...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK RESTORAN
KOTA TANJUNGPINANG (STUDI PADA DPPKAD KOTA
TANJUNGPINANG
ARTIKEL E-JOURNAL
OLEH:
SUGIYANTO
NIM. 100565201 382
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2014
1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PELAKSANAAN PAJAK RESTORAN KOTA TANJUNGPINANG
(STUDI PADA DPPKAD KOTA TANJUNGPINANG)
S U G I Y A N T O
NIM : 100565201382
PEMBIMBING: AFRIZAL, S.IP, M.Si
IMAM YUDHI PRASTYA, S.IP, M.PA
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan
pelaksanaan pajak restoran Kota Tanjungpinang sesuai Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2011 dan Peraturan Walikota Nomor 62 Tahun 2012 yang dilaksanakan oleh Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjungpinang.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana pengumpulan data
dilakukan dengan observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan pelaksanaan pajak restoran telah diupayakan
sebaik mungkin oleh DPPKAD walaupun masih banyak kekurangan dan kelemahan di
dalamnya.
Berdasarkan temuan tersebut, maka implementasi kebijakan akan berhasil jika; (1)
adanya kejelasan standar dan tujuan kebijakan, (2) tersedianya sumber daya yang diperlukan
dalam pelaksanaan kebijakan, (3) komunikasi yang lancar, seimbang dan jelas antar
organisasi dan pelaksana, (4) karakteristik lembaga pelaksana yang mendukung kesuksesan
implementasi kebijakan, (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik, dan (6) adanya kesediaan
dan komitmen dari pelaksana untuk mensukseskan implementasi kebijakan di lapangan.
Sedangkan penghambat implementasi kebijakan pajak restoran yaitu: (1) kurangnya
sosialisasi kepada wajib pajak, (2) kurangnya koordinasi dengan instansi terkait, (3)
lemahnya sikap pelaksana, (4) lemahnya penegakan hukum, dan (6) rendahnya kesadaran
masyarakat tentang pajak.
Kata kunci: Implementasi kebijakan, pelaksanaan pajak restoran
POLICY IMPLEMENTATION THE IMPLEMENTATION OF TAXES ON
RESTAURANT CITY OF TANJUNG PINANG (STUDY ON DPPKAD CITY OF
TANJUNG PINANG)
S UG I Y A N T O
NIM: 100565201382
SUPERVISOR: AFRIZAL, S. IP, M.Si
IMAM YUDHI PRASTYA, S. IP, M.PA
Study Program of Government Political Science
Faculty of Social Sciences
University of Maritime Raja Ali Haji
2
ABSTRACT
This study aims to find out how policy implementation the implementation of tax laws
Tanjungpinang City restaurant Area number 2 in 2011 and the Mayor's Ordinance number
62 in 2012, which was implemented by the Department of Revenue financial and Asset
Management Areas (DPPKAD) the city of Tanjung Pinang. The research method used is
descriptive qualitative where data collection is done by observation, interviews, and review
of the document. Results of the study concluded that the implementation of tax policy
implementation restaurant has strived its best possible by DPPKAD although there are still
many deficiencies and weaknesses in it.
Based on these findings, the implementation of the policy will be successful if; (1) the
clarity of the standards and the policy objectives, (2) the availability of the necessary
resources in the implementation of policies, (3) communication is clear, balanced and
smoothly between the implementing organization and, (4) the characteristics of the
implementing agencies that support the success of the implementation of the policy, (5)
conditions for social, economic and political, and (6) the willingness and commitment of
implementing the national program for the implementation of policies in the field. Whereas
the implementation of tax policies restricting restaurant namely: (1) lack of socialization to
the taxpayer, (2) lack of coordination with relevant agencies, (3) the weak attitude of the
executor, (4) weak law enforcement, and (6) the low level of public awareness about taxes
.
Keywords: Implementation of policy, the implementation of tax restaurant
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bergulirnya otonomi daerah menjadi landasan bagi setiap daerah untuk mengurus
dan mengatur daerahnya sendiri karena otonomi yang dicanangkan melalui Undang-
Undang No 32 Tahun 2004 tersebut lebih memberikan keleluasaan bagi daerah untuk
mengekspresikan dirinya menuju arah berkembang melalui pemberdayaan masyarakat
daerah itu sendiri. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya yang merupakan pelimpahan dari pemerintah pusat ke daerah.
Pendelegasian wewenang ini telah diatur sedemikian rupa di dalam Undang-Undang
yang telah tersebut di atas.
Perubahan ini melahirkan berbagai kebijakan daerah yang dibuat dan diambil
oleh kepala daerah sebagai salah satu pondasi jalannya pemerintahan dan pembangunan
di suatu daerah. Sebagaimana diungkapkan oleh Lijan Sinambela (2006) bahwa salah
3
satu dari keinginan perubahan itu adalah pemihakan pemerintah kepada kepentingan
publik melalui pengelolaan kebijakan yang lebih menguntungkan.
Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan oleh dinas-dinas terkait
demi tercapainya tujuan dari pembangunan daerah. Menurut Erwan Agus Purwanto
(1997) dalam tesisnya bahwa kebijakan publik selalu berhubungan dengan keputusan-
keputusan pemerintah yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat melalui
instrumen-instrumen kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah berupa hukum, pelayanan,
transfer dana, pajak, dan anggaran-anggaran.
Pemerintah kota Tanjungpinang sebagai suatu organisasi yang dipimpin oleh
seorang walikota sebagai pimpinan eksekutif mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik
baru maupun revisi berupa Peraturan Daerah, Peraturan Walikota, Keputusan Walikota,
dan lain-lain yang dipandang perlu dalam menyelaraskan kinerja pemerintah dengan
kepentingan masyarakat. Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan
pemimpin dalam merumuskan program atau kebijakan untuk dilaksanakan oleh aparatur
pemerintah atas kebijakan yang telah diputuskan yang harusnya didukung dan ditunjang
oleh sarana dan prasarana yang ada.
Terlepas dari semua itu, sebagus dan sehebat apapun kebijakan yang dibuat hanya
akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan
sebagaimana mestinya. Keberhasilan dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan
seringkali menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah pemerintahan.
Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Tanjungpinang
yang selanjutnya disebut DPPKAD merupakan salah satu unsur pelaksana teknis
kewenangan otonomi dalam jajaran Pemerintah Kota Tanjungpinang. DPPKAD Kota
Tanjungpinang adalah kantor instansi pelayanan yang berfungsi sebagai pelaksana
kebijakan teknis dalam mengelola sumber pendapatan daerah dan memantau penerimaan
pendapatan daerah berupa pajak dan retribusi. Hasil pemungutan pendapatan tersebut
4
diserahkan kepada pemerintah daerah kota Tanjungpinang dan dijadikan Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Salah satu jenis pajak yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjungpinang adalah pajak restoran.
Pajak restoran merupakan salah satu jenis pajak yang dikelola oleh daerah sebagai
sumber pendapatan daerah dalam melaksanakan otonomi. Pemberlakuan UU No 32
tahun 2004 tentang otonomi daerah maka pemerintah daerah diberi kebebasan untuk
mengolah dan memberdayakan daerahnya sendiri, oleh karena itu maka pemerintah
daerah dengan kewenangan yang diberi oleh pemerintah pusat tersebut menggali dan
mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah diantaranya adalah lewat sektor
pajak restoran.
Pajak restoran adalah pajak atas setiap pelayanan yang disediakan restoran yang
dikenakan pada pelanggan restoran. Sedangkan restoran adalah fasilitas penyedia
makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah
makan, kedai kopi, kafetaria, kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan
sejenisnya. Peraturan perundangan yang menjadi landasan pelaksanaan pajak restoran
adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah
dan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 8 tahun 2012 tentang perubahan
atas Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah
3. Peraturan Walikota Nomor 62 tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak
Restoran Kota Tanjungpinang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah BAB II pasal 2 bahwa pajak restoran termasuk ke dalam jenis
pajak kota yang artinya pajak restoran diselenggarakan oleh pemerintah kota dan
perolehannya menjadi pendapatan daerah. Besaran pajak itu sendiri ditetapkan oleh
pemerintah daerah dengan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 paling tinggi sebesar 10% sebagaimana yang diatur dalam pasal 40.
Pemerintah kota Tanjungpinang mengatur penyelenggaraan pajak restoran
melalui Peraturan Daerah No 2 Tahun 2011 dan Peraturan Walikota Nomor 62 Tahun
2012. Besaran pajak restoran sebesar 10% yang ditetapkan oleh pemerintah kota
Tanjungpinang masih menjadi perdebatan. Sejumlah pengusaha restoran menolak
ketetapan ini karena dianggap memberatkan sementara berdasarkan pernyataan Wakil
5
Ketua Komisi II DPRD kota Tanjungpinang Azhar pada Haluan Kepri (29 Januari 2014)
bahwa kebijakan pemungutan pajak restoran sebesar 10 persen tersebut pada tahun 2011
ditunda oleh DPRD Kota Tanjungpinang.
Masih menurut Koran ini, Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan,
dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjungpinang, Darmanto menyampaikan, dirinya
selaku kepala DPPKAD tidak mengetahui pasti penundaan kebijakan pemungutan pajak
oleh Dewan. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan menjadi masalah setelah sekian
tahun peraturan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan nyatanya tidak ada koordinasi
antara legislatif dan eksekutif sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat. Selain
itu Darmanto juga mengakui kebijakan tarif pajak restoran sebesar 10 persen tersebut
memang belum dilakukan sosialisasi secara maksimal. Sehingga membuat warga
menjadi bingung.
Tidak semua restoran, rumah makan, kedai kopi, toko bakery, katering, dan
warung tenda yang menjadi wajib pajak. Hanya pengusaha yang beromset 6,5 juta keatas
yang serta merta menjadi wajib pajak. Pemerintah kota sendiri memberlakukan
pemungutan dengan sistem self assessment pajak restoran yang artinya wajib pajak
diberi kepercayaan untuk melaporkan sekaligus menghitung, memperhitungkan dan
menetapkan besarnya pajak yang terutang dan dibayar dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Kelancaran penyelengaraan pajak restoran sangat bergantung dari disiplin
seluruh pelaku yang terlibat yaitu wajib pajak dan DPPKAD. Salah satu yang terpenting
adalah kelancaran pembayaran. Pemerintah kota sendiri melalui DPPKAD harus mau
menjemput bola yaitu langsung turun ke lokasi untuk melakukan pemungutan apabila
wajib pajak beralasan tidak sempat untuk menyetor . Kinerja DPPKAD beserta unsur-
unsur yang terkait di dalamnya merupakan faktor terpenting dalam implementasi
kebijakan ini. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Walikota No 62 Tahun 2012
Pasal 1 Ayat 18 bahwa aparat pelaksana pemungutan adalah Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Lebih tegasnya lagi dalam Peraturan Walikota
No 50 Tahun 2012 Pasal 9 ayat 1, berkaitan dengan pajak ini tugas DPPKAD tidak
hanya melakukan kegiatan pemungutan namun termasuk di dalamnya melakukan
pendataan dan pendaftaran, perhitungan dan penetapan serta melakukan penagihan,
pembukuan dan pemeriksaan menjadi tugas pokok bidang pendapatan.
Pajak restoran merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang sangat potensial dalam mendukung pembiayaan kegiatan pembangunan di wilayah
Pemerintah Kota Tanjungpinang. Sepanjang tahun 2013 pencapaian pajak restoran
6
menempati urutan keempat dari 11 sektor pajak sebagai penyumbang Pendapatan Asli
Daerah yaitu sebesar Rp 6,9 miliar. Berdasarkan laporan realisasi pajak dari DPPKAD
diperoleh data perolehan urutan 5 teratas bahwa penyumbang pajak terbesar yakni
pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 16,7 miliar,
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Rp 13,16 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 8,2
miliar. Sedangkan pajak restoran termasuk penyumbang terbesar keempat sebesar Rp 6,9
miliar dan pajak hotel sebesar Rp 4,2 miliar.
Potensi pajak restoran jika dilihat dari jumlah wajib pajak yang tidak menyetor
sebenarnya dapat lebih besar dari capaian yang diperoleh. Jumlah wajib pajak restoran
yang terdata secara resmi adalah sebanyak 678 wajib pajak, sementara masih terdapat
beberapa pengusaha restoran/ kafe/ kedai kopi/ katering yang belum terdaftar sebagai
wajib pajak restoran. Nyatanya dari 678 wajib pajak restoran, hanya sekitar 60% yang
memungut pajaknya berarti ada sekitar 40% wajib pajak yang tidak memungut pajaknya.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pelaksanaan pajak restoran Kota Tanjungpinang dengan judul:
“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK RESTORAN KOTA
TANJUNGPINANG (STUDI PADA DPPKAD KOTA TANJUNGPINANG)”.
2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu
“Bagaimana implementasi kebijakan pelaksanaan pajak restoran Kota Tanjungpinang?”
3. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana
implementasi kebijakan pajak restoran Kota Tanjungpinang yang dilaksanakan oleh
DPPKAD Kota Tanjungpinang.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Kegunaan teoritis, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, umumnya bagi pengembangan Ilmu
Pemerintahan khususnya dalam implementasi kebijakan pajak restoran Kota
Tanjungpinang.
b. Kegunaan praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan dapat dijadikan bahan masukan bagi Pemerintah Kota
7
Tanjungpinang khususnya pada Kantor DPPKAD Kota Tanjungpinang di masa
mendatang.
4. Metode Penelitian
1. Dasar dan Jenis Penelitian
a. Dasar penelitian deskriptif. Peneliti akan melihat langsung realitas-realitas di
lapangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Realitas-realitas itu akan
dipilah berdasarkan kebutuhan penelitian lalu dikumpulkan untuk kemudian
dianalisis.
b. Jenis penelitian deskriptif kualitatif yakni suatu metode yang menggambarkan
atau melukiskan kenyataan serta keadaan objek yang diteliti secara sistematis,
faktual dan akurat untuk kemudian dianalisis secara mendalam.
B. KAJIAN TEORI
1. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai, dan
praktek-praktek yang terarah. Kebijakan publik juga dapat diartikan sebagai susunan
rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program pemerintah
yang berhubungan erat dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat.
Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan, juga masalah kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Kebijakan publik harus mengabdi pada kepentingan masyarakat, dengan
demikian kebijakan publik (public policy) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan
masyarakat. Berikut definisi kebijakan publik menurut beberapa ahli:
Robert Eyestone dalam Winarno (2014:20), kebijakan publik dapat di didefinisikan
sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.
Carl J. Friedrich dalam Lubis (2014:82), Kebijakan Publik yaitu serangkaian tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, sekelompok orang atau pemerintah di suatu lingkungan
tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan
usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
James E. Anderson Dalam Lubis (2014:82), kebijakan itu adalah serangkaian tindakan
yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.
Berdasarkan definisi di atas, penulis menganalisis bahwa, kebijakan
mengandung suatu unsur tindakan- tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan
8
tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu
mempunyai hambatan- hambatan pada pelaksanaannya tetapi harus mencari peluang-
peluang untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.
Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan
umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah.
Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang
untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Hal tersebut berarti kebijakan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik- praktik sosial yang ada dalam
masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut akan mendapat kendala ketika
di implementasikan. Sebaliknya, untuk mencapai suatu tujuan dari sebuah kebijakan
hendaknya seseorang, kelompok ataupun pemerintah dalam mengimplementasikannya
harus dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu.
Berdasarkan definisi-definisi kebijakan publik yang dipaparkan di atas, maka
kebijakan publik memiliki konsep-konsep sebagai berikut:
a. Kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktik/pelaksanaannya.
b. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta.
c. Kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan
oleh pemerintah.
Dari poin-poin di atas maka kita bisa menarik benang merah dari definisi
kebijakan publik dalam Lampiran I Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor PER/04/M PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum, Formulasi, Implementasi,
Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dalam peraturan menteri ini, kebijakan publik adalah “keputusan
yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan
tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang
berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak”.
Dalam peraturan menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 bentuk yaitu
peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di
depan publik. Menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik dapat berupa Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah
Kota/Kabupaten, dan Keputusan Walikota/Bupati. Ini merupakan contoh peraturan yang
terkodifikasi secara formal dan legal. Berdasarkan peraturan menteri yang telah dibahas
9
tadi, pernyataan pejabat publik juga merupakan bagian dari kebijakan publik. Hal ini
dapat dipahami karena pejabat publik adalah salah satu aktor kebijakan yang turut
berperan dalam implementasi kebijakan itu sendiri.
Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang
sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya.
Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000:110) terdapat tiga elemen kebijakan yang
membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut
sebagai kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Ketiga elemen itu
saling memiliki andil dan saling mempengaruhi, sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat
mempunyai andil dalam kebijakan namun mereka juga dapat dipengaruhi oleh keputusan
pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat
kebijakan dan kebijakan itu sendiri.
Walaupun para ahli telah mendefinisikan kebijakan negara yang relatif berbeda-
beda, namun substansi dari masing-masing definisi kebijakan negara relatif tidak
berbeda. Pengertian kebijakan negara di atas mempunyai implikasi: (1) kebijakan negara
bentuknya berupa penetapan tindakan pemerintah; (2) kebijakan tidak cukup hanya
dinyatakan tetapi harus di laksanakan dalam bentuk yang nyata; (3) kebijakan negara
baik dilaksanakan atau tidak, hal ini mempunyai dan dilandasi dengan maksud tujuan
tertentu; dan (4) kebijakan negara harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh
anggota masyarakat. Kebijakan Negara dikategorikan sebagai berikut:
a. Substantive atau procedural policies
Substantive policies yaitu kebijakan-kebijakan tentang apa yang akan atau ingin
dilakukan oleh pemerintah.
b. Procedural policies
Procedural policies adalah kebijakan-kebijakan tentang siapa atau pihak-pihak
mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, serta bagaimana perumusan
kebijakan itu dilaksanakan.
c. Distributive policies
Distributive policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pemberian pelayanan-
pelayanan atau keuntungan-keuntungan bagi sejumlah khusus penduduk. Distributive
policies terbagi 3 yaitu:
1) Redistributive Policies, yaitu kebijakan-kebijakan yang sengaja dilakukan
pemeritah untuk meindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan, kepemilikan
atau hak-hak diantara kelas-kelas dan kelompok penduduk.
10
2) Regulatori policies, yaitu kebijakan-kebijakan tentang pengenaan pembatasan
atau larangan-larangan perbuatan atau tindakan-tindakan perilaku bagi seseorang
atau sekelompok orang.
3) Self regulatory policies, adalah kebijakan-kebijakan tentang pembatasan-
pembatasan atau pengawasan perbuatan pada masalah-masalah tertentu bagi
sekelompok orang.
d. Material dan symbolic policies
Material policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pengalokasian atau penyediaan
sumber-sumber material yang nyata atau kekuasaan yang hakiki bagi para
penerimanya atau mengenakan beban-beban (kerugian) bagi yang mengalokasikan.
Symbolic policies adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak memaksa (non
enforcement), karena kebijakan itu apakah akan memberikan keuntungan atau hanya
memiliki dampak yang relatif kecil bagi masyarakat.
e. Collective goods dan Private goods
Collective good policies adalah kebijakan penyediaan barang-barang dan pelayanan-
pelayanan keperluan orang banyak (kolektif).
Private good policies adalah kebijakan-kebijakan tentang barang-barang atau
pelayanan-pelayanan hanya bagi kepentingan perseorangan (private) yang tersedia
di pasaran bebas, dan orang yang memerlukan harus membayar biaya tertentu.
f. Liberal policies dan conservative policies
Liberal policies adalah jenis kebijakan yang menganjurkan pemerintah untuk
mengadakan perubahan-perubahan sosial terutama yang diarahkan untuk
memperbesar hak-hak persamaan. Kebijakan liberal menghendaki agar pemerintah
mengadakan koreksi terhadap ketidakadilan dan kelemahan-kelemahan yang ada
pada aturan-aturan social, meningkatkan program-program ekonomi kesejahteraan.
g. Conservative policies
Conservative policies adalah lawan dari kebijakan liberal, menurut paham ini aturan
sosial yang ada cukup baik, jadi tidak perlu adanya perubahan sosial (bertahan
dengan status quo), atau kalaupun perubahan sosial diperlukan harus diperlambat
dan berjalan secara ilmiah.
Hakikat kebijakan publik sebagai jenis tindakan mengarah pada tujuan, dibagi
dalam berbagai kategori yaitu:
1. Tuntutan Kebijakan (Policy Demand) yaitu tuntutan atau desakan yang ditujukan
pada pejabat-pejabat pemerintah yang dilakukan oleh aktor lain, baik swasta ataupun
11
kalangan pemerintah sendiri, dalam sistem politik untuk melakukan tindakan tertentu
atau sebaliknya untuk tidak berbuat sesuatu terhadap masalah tertentu.
2. Keputusan Kebijakan (Policy Decision) yaitu keputusan-keputusan yang dibuat oleh
para pejabat pemerintah yang bertujuan untuk memberikan keabsahan, kewenangan,
atau memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan Negara, termasuk di
dalamnya keputusan untuk menciptakan status atas keputusan dasar, mengeluarkan
perintah eksekutif (keputusan presiden). Ketetapan-ketetapan merencanakan
peraturan-peraturan adminstratif, misalnya peraturan tentang disiplin pegawai negeri,
atau mebuat penafsiran terhadap undang-undang.
3. Pernyataan Kebijakan (Policy Statement) adalah pernyataan resmi atau artikulasi
(penjelasan) mengenai kebijakan Negara tertentu termasuk ketetapan-ketetapan
MPR, Kepres atau Dekrit Presiden, Peraturan administrative, dan keputusan-
keputusan peradilan maupun pernyataan-pernyataan dan pidato-pidato para pejabat
pemerintah yang menunjukkan hasrat dan tujuan pemerintah serta apa yang
dilaksanakan untuk mewujudkan hasrat dan tujuan tersebut.
Kesimpulannya, kebijakan publik mengatur segala aspek dalam tatanan
kenegaraan, tidak hanya menyangkut pejabat publik, tetapi mengatur juga tatanan
masyarakat.
Rentetan dari bentuk kebijakan publik sangat banyak. Menurut Nugroho
(2011:104), secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau mendasar. Yakni peraturan
perundangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat
“Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat desa atau kelurahan dimana dalam setiap
peraturan tersebut dilakukan opleh aparat publik yang dibayar oleh uang publik
melalui pajak dan penerimaan Negara lainnya, dan secara hukum formal
bertanggung jawab kepada publik. Dalam Undang-Undang No. 10/2004 tentang
pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 7 mengatur jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.
2. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan.
Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan
Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Wali Kota.
12
3. Kebijakan Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan
atau implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri, gubernur, bupati, dan wali kota.
2. Implementasi Kebijakan Publik
Sudah merupakan kemutlakan dalam sebuah proses pemerintahan apabila dalam
setiap aktivitasnya melahirkan, melaksanakan, dan mengevaluasi sebuah kebijakan.
Proses di atas bermula dari suatu isu yang menyentuh berbagai bidang kehidupan, yang
kemudian berkembang menjadi suatu permasalahan yang kompleks, sehingga
membutuhkan suatu langkah strategis dalam penyelesaiannya, yakni kebijakan.
Suatu kebijakan berawal dari suatu pernyataan kehendak, baik berupa tuntutan,
dukungan, ataupun pengharapan yang hanya dapat diimplementasikan apabila melekat
otoritas di dalamnya. Oleh karena pemerintah mempunyai otoritas yang bersumber dari
amanah rakyat, maka sudah sepantasnyalah pemerintah menjalankan kebijakan tersebut
sekalipun dengan pemaksaan yang bertumpu pada komitmen untuk mencapai tujuan
bersama.
Kebijakan pemerintah selalu mengandung paling tidak tiga komponen dasar
yaitu: tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut
(implementasi kebijakan). Implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan.
Dengan demikian implementasi mulai berlangsung pada tahap penyusunan program.
Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang
dikutip oleh Solichin Abdul Wahab (2004:64) adalah “to provide themeans for carrying
out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu);dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”. Sementara Donald S. Van
Metter dan Carl E. Va dalam Widodo (2010:86) memberikan pengertian implementasi
dengan mengatakan:
Policy implementation encompasesses those action by public andprivate
individual (or group) that are directed at the achievement ofobjectives set forth
in prior policy decision. This include both one time efforts to transfrom
decisions into operational terms, as well acontinuing efforts to achieve the large
and small changes mandated by policyyy decision
Dan Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo (2010:87) menjelaskan makna
implementasi dengan mengatakan :
13
To understand what actually happens after a program is enacted orformulated
is the subject of policy implementation. Those event andactivities that occur
after the isuing of outhoritative public policydirectives, wich included both the
effort to administer and thesubtantives, which impacts on the people and event
Sehingga Joko Widodo (2010:88) memberikan kesimpulan pengertian bahwa :
Implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang
termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses tersebut dilakukan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat
kebijakan.
Sebuah implementasi kebijakan yang melibatkan banyak organisasi dan
tingkatan birokrasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Menurut Wahab (2005:63)
“implementasi kebijakan dapat dilihat dari sudut pandang (1) pembuat kebijakan, (2)
pejabat-pejabat pelaksana di lapangan,dan (3) sasaran kebijakan (target group)”.
Perhatian utama pembuat kebijakan menurut Wahab (2005:63) memfokuskan diri pada
“sejauh mana kebijakan tersebut telah tercapai dan apa alasan yang menyebabkan
keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut”. Dari sudut pandang implementor,
menurut Wahab (2005:64) implementasi akan terfokus pada“tindakan pejabat dan
instansi di lapangan untuk mencapai keberhasilan program”. Sementara dari sudut
pandang target groups, menurut Wahab (2005:64) implementasi akan lebih dipusatkan
pada “apakah implementasi kebijakan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya dan
berdampak positif panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka”.
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2014:148) berpendapat bahwa implementasi adalah
apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program,
kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output).
Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan
maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat
pemerintah. Implementasi juga mencakup tindakan-tindakan oleh berbagai aktor,
khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Lebih
jauh menurut Ripley dan Franklin, implementasi kebijakan mencakup banyak macam
kegiatan. Yaitu terdiri dari:
1. Badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan tanggungjawab
menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar
implementasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi personil, peralatan, lahan
tanah, bahan-bahan mentah dan uang .
14
2. Badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-
arahan konkret, regulasi, serta rencana-rencana dan desain program.
3. Badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan mereka dengan
menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja.
4. Badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para
pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan pelayanan atau
pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan atau apapun lainnya yang bisa
dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu program.
Van Meter dan Van horn dalam Winarno (2014:149) membatasi implementasi
kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau
kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Dari definisi-definisi di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan
menyangkut tiga hal:
a. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan.
b. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan.
c. Adanya hasil kegiatan.
Tahap-tahap dalam proses implementasi adalah sebagai berikut:
a) Output-output kebijakan (keputusan-keputusan) dari badan pelaksana
b) Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut
c) Dampak nyata keputusan-keputusan badan pelaksana
d) Persepsi terhadap dampak keputusan-keputusan tersebut
e) Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang, baik berupa perbaikan-perbaikan
mendasar (upaya untuk melaksanakan perbaikan) dalam muatan isinya.
Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan
merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksanaan kebijakan melakukan suatu
aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapat suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Perlu disadari bahwa dalam melaksanakan implementasi suatu kebijakan tidak
selalu berjalan mulus. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu
implementasi kebijakan. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor
yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna
penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi
kebijakan.
15
3. Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik
Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan tentang adanya dua
pendekatan dalam rangka untuk memahami suatu implementasi kebijakan secara
sederhana, yakni pendekatan top down dan pendekatan bottom up Laster dan Stewart.
Agustino (2006:155) mengistilahkan pendekatan-pendekatan ini dengan sebutan the
command and the control approach (pendekatan control dan komando, yang mirip
dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar, yang mirip
dengan bottom up approach). Masing-masing kedua pendekatan tersebut memiliki
model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.
1. Pendekatan top-down
Dalam pendekatan top-down ini sebuah implementasi kebijakan dilakukan secara
tersentralisasi dan dimulai dari aktor tingkat pusat, serta keputusannya diambil pada
tingkat pusat, dimana pendekatan top-down ini bertitik tolak dari perspektif bahwa
keputusan-keputusan politik (kebijakan politik) yang telah ditetapkan oleh pembuat
kebijakan harus dilaksanakan administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada
tingkat bawahnya. Secara sederhana, inti dari pendekatan ini secara sederhana dapat
dimengerti sebagai sejauh mana tindakan para pelaksana (administrator dan birokrat)
sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat
kebijakan ditingkat pusat.
a. Pendekatan-pendekatan Prosedural dan manajerial (Procedural and Manajerial
Approach). Prosedurnya termasuk menyangkut penjadwalan (scheduling),
Perencanaan (Planning), dan Pengawasan (Control). Logikanya adalah sesudah
identifikasi masalah dan pemilihan kebijaksanaan yang dilihat dari sudut biaya
dan efektifitasnya paling memenuhi syarat, maka tahap implementasi itu akan
mencakup urutan sebagai berikut:
1. Merancang bangun (desain) program beserta peerincian tugas dan perumusan
tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi kerja, biaya dan waktu.
2. Melaksanakan program dengan mendayagunakan strukur-struktur dan
personalia, dana, sumber-sumber, prosedur-prosedur, dan metode-metode
yang tepat.
3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana pengawasan
yang tepat guna, menjamin bahwa tindakan-tindakan yang tepat dan benar
dapat segera dilaksanakan.
b. Pendekatan-pendekatan keperilakuan (Behavioral Approach)
16
Penerapan analisis keperilakuan (behavioral analysis) yang paling terkenal
adalah:
1. Pengembangan Organisasi (Organizational Development)
Pengembangan organisasi adalah suatu proses untuk menimbulkan
perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui
penerapan-penerapan ilmu keperilakuan. Pengembangan organisasi adalah
lebih pada penganalisaan proses-proses pemecahan masalah, bukan hanya
sarana cara-cara tertentu atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
2. Management by Objectives (MBO)
MBO adalah suatu pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang
terdapat dalam pendekatan procedural/manajerial dengan unsur yang termuat
dalam analisis keperilakuan. MBO menjembatani antara tujuan-tujuan yang
telah dirumuskan secara spesifik dengan implementasinya.
3. Harus ada suatu sistem penilaian atas prestasi kerja (performance appraisal)
yang mencakup suatu kombinasi monitoring, kemampuan diri manajemen
dan pengawasan melekat, dan evaluasi bersama terhadap kemampuan-
kemampuan oleh tiap manajer dan atasan-atasan mereka.
c. Pendekatan-pendekatan Politik (Political Approach)
Keberhasilan sutau kebijaksanaan pada akhirnya akan tergantung pada kesediaan
dan kemampuan kelompok-kelompok yang dominan atau berpengaruh untuk
memaksakan kehendaknya. Apabila kelompok-kelompok yang dominan itu tidak
ada, implementasi kebijaksanaan yang dikehendaki mungkin hanya akan bisa
dicapai melalui suatu proses panjang yang bersifat inkramental dan saling
pengertian diantara yang terlibat (Partisan Mutual Adjusment).
2. Pendekatan Bottom-Up
Pendekatan bottom-up memandang bahwa implementasi kebijakan dirumuskan tidak
oleh lembaga yang tersentralisasi dari ppusat, tetapi pendekatan bottom-up
berpangkal dari keputusan-keputusan yang ditetapkan di level warga atau masyarakat
yang merasakan sendiri persoalan dan permasalahan yang mereka alami. Jadi pada
dasarnya pendekatan bottom-up adalah model implementasi kebijakan dimana
formulasi kebijakan berada di tingkat warga, sehingga mereka dapat lebih
memahami dan mampu menganalisis kebijakan-kebijakan apa yang cocok dengan
sumber daya yang tersedia di daerahnya, sistem sosio-kultur yang ada agar kebijakan
tersebut tidak kontraproduktif dan dapat menunjang keberhasilan kebijakan itu
sendiri.
17
4. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik
1. Model Grindle
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Grindle
dalam Agustino (2006:167) dikenal dengan Implementation as A Political and
Administrative Process. Menurut Grindle ada dua variabel yang mempengaruhi
implementasi kebijakan publik, yakni bahwa keberhasilan implementasi suatu
kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu
tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih, dimana pengukuran keberhasilannya
dapat dilihat dari dua hal:
Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan
sesuain dengan apa yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi
kebijakannya.
Apakah tujuan kebijakan tercapai, yang mana dimensi ini diukur dengan dua faktor,
yaitu:
a. Efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok.
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan
perubahan yang terjadi.
Keberhasilan sebuah implementasi publik juga menurut Grindle amat
ditentukan oleh tingkat implementasi kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content
of Policy dan Context of Policy:
1. Content of Policy (Isi Kebijakan)
a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)
b. Type of Benefits (tipe manfaat)
c. Extent of Change Envition (derajat perubahan yang ingin dicapai)
d. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)
e. Program Implementor (pelaksana program)
f. Resources Commited (sumber daya yang digunakan)
2. Context of Policy (lingkungan kebijakan)
a. Power, Interest and Strategy of Actor Involved (kekuasaan, kepentingan-
kepentingan dan srategi dari aktor yang terlibat)
b. Intuition and Regime Characteristic (karakteristik dan rezim yang berkuasa)
c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari
pelaksana)
18
2. Model Edward III
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C Edward
III. Menurut George Edward III dalam Winarno (2014:177) implementasi kebijakan
adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika
suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan
sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan
sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu
kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan
mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan.
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan antara lain yaitu faktor :
1. Komunikasi
2. Sumber-sumber
3. Kecenderungan-kecenderungan
4. Struktur birokrasi
Secara rinci faktor-faktor implementasi kebijakan model Edwards III
dijelaskan sebagai berikut:
1. Komunikasi
Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Menurut Edwards,
persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan
kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu
dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus
dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Akan tetapi banyak hambatan-
hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan
hambatan-hambatan ini mungkin menghalangi pelaksanaan kebijakan.
Jika kebijakan-kebijakan ingin di implementasikan sebagaimana mestinya, maka
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus dipahami, melainkan juga
petunjuk-petunjuk itu harus jelas. Jika petunjuk-petunjuk pelaksanaan itu tidak
jelas, maka para pelaksana (implementor) akan mengalami kebingungan tentang
apa yang harus mereka lakukan.
19
a. Transmisi
Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia
harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang
langsung sebagaimana nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-
keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi
kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah-
perintah implementasi.
1. Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang
dikeluarkan oleh pengambil kebijakan.
2. Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi.
3. Pada akhirnya penangkapan komunikasi-komunikasi mungkin dihambat
oleh persepsi yang selektif dan ketidakmahuan para pelaksana untuk
mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.
b. Kejelasan
Faktor kedua yang dikemukakan Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-
kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-
petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana
kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.
c. Konsistensi
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka
perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-
perintah yang disampai kepada para pelaksana kebijakan maka perintah
tersebut tidak akan memudahkan para pelaksanaan kebijakan menjalankan
tugasnya dengan baik.
2. Sumber-Sumber
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan
konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi inipun cenderung
tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan faktor yang
penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting
meliputi:
20
a. Staf
Ada satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai
efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf
yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai
pemerintah ataupun staf, namun disisi yang lain kekurangan staf juga akan
menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang
efektif.
Berdasarkan uraian diatas penulis menganalisis bahwa dengan memiliki jumlah
pelaksana atau staf yang memadai bukan berarti implementasi kebijakan dapat
dilaksanakan dengan baik. Artinya para pelaksana harus memiliki
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan.
Dengan kurangnya personil yang terlatih dengan baik, juga akan dapat
menghambat dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan apalagi jika kekurangan
pelaksana atau staf maka akan semakin terhambatnya pelaksanaan kebijakan.
b. Wewenang
Winarno mengatakan, Sumber lain yang penting dalam pelaksanaan adalah
wewenang. Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program
yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda, seperti misalnya: hak
untuk mengeluarkan surat panggilan untuk datang ke pengadilan; mengajukan
masalah-masalah ke pengadilan; mengeluarkan perintah kepada para pejabat
lain; menarik dana dari suatu program; meyediakan dana atau memungut pajak.
Pemahaman terhadap wewenang barangkali akan menjadi lebih baik bila kita
mendiskusikan wewenang yang dikemukakan oleh Linblom. Linblom
menyatakan bahwa kewenangan dapat dipahami dengan sebaik-baiknya kalau
kita mengenal dua jalur dimana berbagai orang menggunakan metode kontrol.
Pada jalur pertama setiap kali bila seseorang ingin menggunakan berbagai
metode kontrol, ia menerapkan berbagai metode kontrol (antara lain persuasi,
ancaman, dan tawaran keuntungan) terhadap orang-orang yang akan
dikontrolnya. Pada jalur kedua pihak pengontrol hanya kadang-kadang saja
menggunakan metode-metode itu untuk membujuk orang-orang yang
dikontrolnya agar mentaati peraturan yang ada bahwa mereka harus tunduk
terhadapnya.
21
c. Fasilitas
Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-sumber penting dalam
implementasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai
wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor
untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, pembekalan, maka besar
kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.
Analisis penulis menyimpulkan bahwa, dengan memliki staf yang terampil
tetapi fasilitas penunjang tidak sesuai dengan apa yang dimiliki maka
kemungkinan besar implementasi kebijakan yang sudah direncanakan tidak
akan berjalan dengan baik jika dipaksakan untuk di implementasikan.
3. Kecenderungan-kecenderungan
` Kecenderungan-kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan
faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi
implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap
suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar
mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat
keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau
perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan,
maka proses pelaksanaan suatu kebijakan semakin menjadi sulit. Dalam beberapa
kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali
suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi lain. Hal ini berakibat pada semakin
sulitnya implementasi kebijakan, sebab intepretasi yang terlalu bebas terhadap
kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar
kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya.
Mengingat pentingnya kecenderungan-kecenderungan ini bagi implementasi
kebijakan yang efektif, maka perlu disini dibahas dampak dari kecenderungan-
kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan.
4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak
sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka
memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Mereka tidak
hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga berada dalam organisasi-
organisasi swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan
22
kadangkala suatu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu
kebijakan tertentu.
3. Model van Meter dan van Horn
Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan suatu implementasi Van Meter dan Van Horn dalam Winarno
(2012:158) juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi
keberhasilan suatu implementasi, yaitu:
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan
2. Sumber-sumber kebijakan
3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
4. Karakteristik badan-badan pelaksana
5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik
6. Kecenderungan pelaksana (implementors).
Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Winarno dapat
dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu:
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan
Ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan
kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah
direncanakan.
2. Sumberdaya
Sumber daya kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh
Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi
kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia,
biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142). Sumber- sumber
kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah.
Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber
penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran
pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan
waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan,
karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu
merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan
kebijakan.
Keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi
pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi
23
kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta
cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono
kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para
aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya,
pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7).
3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi
implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh
Wahab bahwa:
“Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan
mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur
administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang
lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan
Gunn dalam Wahab, 2004:77).
Berdasarkan teori diatas maka Semakin baik koordinasi komunikasi
diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi,
maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan
begitu pula sebaliknya.
4. Karakteristik badan-badan pelaksana
Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh karakteristik
para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma- norma, dan pola-
pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam
Subarsono, 2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan
tanggungjawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap
disiplin. Hal tersebut dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan, setiap badan/instansi pelaksana kebijakan harus
merasa memiliki terhadap tugasnya masing-masing berdasarkan rencana yang
telah ditetapkan sebelumnya.
5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik
Dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan
menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh
mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik
yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi,
sosial, dan politik. Van Meter dan v a n Horn dalam Agustino (2006:144).
24
Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang
menentukan keberhasilan suatu implementasi
6. Kecenderungan pelaksana (implementor)
Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2014:168) berpendapat bahwa setiap
komponen harus disaringi melalui persepsi-persepsi pelaksana dalam yurisdiksi
dimana keberhasilan tersebut dihasilkan.
4. Model Mazmanian
Model implementasi kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier.
Model implementasi kebijakan publik yang ditawarkan Mazmanian dan Sabatier,
dalam Wahab (2005:81) yang disebut A Framework for Policy Implementation
Analysis (kerangka analisis). Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran
penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuan dalam
mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan
formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud
dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori besar yaitu:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, yang meliputi:
a. Kesukaran-kesukaran teknis
b. Keberagaman perilaku yang diatur
c. Persentase kelompok sasaran dibandingkan jumlah penduduk
d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan
2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat, meliputi:
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan
b. Digunakannya teori kausalitas yang memadai
c. Ketetapan alokasi sumber dana
d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau
instansi-instansi pelaksana
e. Aturan-aturan pembuat keputusan dan badan pelaksana
f. Rekrutmen pejabat pelaksana
g. Akses formal pihak luar
3. Variabel-variabel di luar Undang-Undang yang mempengaruhi implementasi
kebijakan.
a. Kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi
b. Dukungan politik
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat
d. Dukungan dari pejabat atasan
25
e. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana
5. Model Hogwood dan Gunn
Model implementasi yang dikembangkan oleh Hogwood dan Gunn dalam
Wahab (2005:71). Menurut Hogwood dan Gunn untuk dapat mengimplementasikan
kebijakan negara secara sempurna (perfect implementation, maka diperlukan
beberapa persyaratan tertentu. Syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
2. Untuk pelaksana program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang andal.
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya.
6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna
5. Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut beberapa para ahli dengan pengertian yang berbeda
mengenai pajak, yaitu:
Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2006:1), pajak adalah iuran
rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara
Berarti yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang
bukan barang.
2. Berdasarkan Undang-Undang
Berarti pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta
aturan pelaksanaannya
26
3. Tanpa jasa atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran
yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara yang dapat dipaksakan yang terhutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengaluaran
umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak
Berdasarkan Azas Gotong Royong“, Universitas Padjajaran, Bandung, 1964, pajak
adalah iuran wajib, berupa uang/barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum.
Latar belakang yuridis pemungutan pajak di Indonesia adalah berdasarkan
kepada amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23a yang menyatakan
bahwa segala pajak untuk negara berdasarkan Undang-Undang.
Di Indonesia, dewasa ini dikenal berbagai jenis pajak dan diberlakukan
meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Banyak ahli pajak yang
memberikan/membuat pembagian pajak, yang memiliki perbedaan antara satu ahli
dengan ahli lainnya. Pembagian pajak yang berbeda tersebut di kaitkan dengan
sudut pandang masing-masing ahli terhadap pajak tersebut. Salah satu pembagian
yang umumnya dilakukan adalah berdasarkan lembaga pemungut pajak.
Ditinjau dari lembaga pemungutnya, pajak dibedakan menjadi dua, yaitu
pajak pusat (disebut juga pajak negara) dan pajak daerah. Pembagian jenis pajak ini di
Indonesia terkait dengan hierarki pemerintahan yang berwenang menjalankan
pemerintahan dan memungut sumber pendapatan negara, khususnya pada masa
otonomi daerah dewasa ini. Secara garis besar, hi erarki pemerintahan di
Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kemudian, pemerintah daerah dibagi lagi menjadi dua, yaitu pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, pembagian jenis pajak menurut
lembaga pemungutnya di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu pajak pusat dan pajak
daerah (yang terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota).
27
6. Pajak Daerah
Masalah pajak adalah masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam suatu
negara berurusan dengan pajak sehingga masalah pajak juga menjadi masalah
keseluruhan rakyat negara tersebut. Dengan demikian setiap orang sebagai anggota
masyarakat suatu negara harus mengetahui segala permasalahan yang berhubungan
dengan pajak, baik mengenai asas-asasnya, jenis-jenis pajak yang berlaku, tata cara
pembayaran pajak serta hak dan kewajiban sebagai wajib pajak.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU Tahun 2008 Tentang Otonomi Daerah (Bab VIII pasal 157) , dan
mengalami perubahan yang sekarang menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009,
Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan daerah agar daerah dapat melaksanakan
otonominya yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, disamping
penerimaan yang berasal dari pemerintah berupa subsidi/ bantuan, bagi hasil pajak dan
bukan pajak. Sumber pendapatan daerah tersebut dapat diharapkan menjadi sumber
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, dan juga
kegiatan kemasyarakatan didaerah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan
rakyat.
Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-
Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengertian
pajak yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang No. 2 Tahun 2011
tentang Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang No. 8 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah
adalah sebagai berikut: Pajak Daerah, selanjutnya disebut Pajak, adalah Kontribusi
wajib kepada Daerah yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Dengan demikian, pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah dengan peraturan daerah (Perda), yang wewenang
pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk
membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah. Karena pemerintah daerah di Indonesia
terbagi menjadi dua, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yang
28
diberi kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah, pajak daerah di Indonesia
dewasa ini juga dibagi menjadi dua, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.
Beberapa pengertian atau istilah yang terkait dengan Pajak Daerah antara
lain :
1. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemungutan pajak kabupaten/kota lainnya tersebut ditetapkan dengan
peraturan daerah sepanjang memenuhi kriteria di bawah ini.
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi. Maksudnya adalah pajak yang ditetapkan
harus sesuai dengan pengertian yang ditentukan dalam definisi pajak daerah.
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani
masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum,
maksudnya adalah bahwa pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan
bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan
memerhatikan aspek ketentraman, kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan.
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan atau objek pajak pusat.
5. Potensinya memadai. Maksudnya adalah bahwa hasil pajak cukup besar
sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya,
diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, maksudnya adalah bahwa
pajak tersebut tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi efisien
dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antardaerah maupun kegiatan
ekspor impor.
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Kriteria aspek
keadilan, antara lain objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi
29
pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak yang
bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan dengan memerhatikan keadaan wajib pajak.
Selanjutnya, kriteria kemampuan masyarakat adalah kemampuan subjek pajak untuk
memikul tambahan beban pajak.
8. Menjaga kelestarian lingkungan maksudnya adalah bahwa pajak harus bersifat
netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan
peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan
yang akan menjadi beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
Sistem pemungutan pajak daerah. Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Indonesia dengan jelas menentukan bahwa
sistem perpajakan Indonesia adalah sistem Self Assessment. Hal ini telah diberlakukan
sejak reformasi perpajakan di Indonesia tahun 1983. Penetapan sistem Self
Assessment juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Karena
karateristik setiap jenis pajak daerah tidak sama, sistem ini tidak dapat diberlakukan
untuk semua jenis pajak daerah.
Adapun sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan juga kegiatan kemasyarakatan terdiri dari Pendapatan
Asli Daerah dan lain-lain yang sah. Pajak sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli
Daerah sangat diharapkan mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah Perlu dan harus
menyusun dan menata kembali Peraturan-Peraturan Daerah (perda) yang sesuai dengan
jiwa Undang-Undang tersebut dengan melihat situasi dan kondisi didaerah. Sedangkan
untuk memperjelas mengenai Pajak Daerah yang merupakan salah satu komponen paling
penting dalam memberikan kontribusi yang besar bagi PAD dikemukakan sebagai
berikut :
Jenis-jenis Pajak Daerah
a. Pajak Daerah Propinsi
1. Pajak Kendaran Bermotor
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Air Permukaan
5. Pajak Rokok
30
b. Pajak Daerah Kabupaten/Kota
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. PBB Perkotaan dan Pedesaan
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Teori-teori yang mendukung mengenai pajak daerah menurut Nick Devas
(1999:63) antara lain adalah teori yang menyatakan bahwa 3 (tiga) tujuan pokok yang
hendak dicapai dalam sistem pajak daerah yaitu sebagai berikut:
1. Menyederhanakan sistem pajak daerah untuk mewujudkan sistem pajak yang lebih
adil.
2. Menaikkan penerimaan pajak daerah, agar daerah tidak terlalu tergantung pada
bantuan dari pemerintah pusat dengan berusaha menggali potensi sumber-sumber
pajak dan daerah yang baru.
3. Wewenang pemerintah daerah yang sangat luas menetapkan tarif pada daerah agar
penerimaan dari hasil pajak lebih meningkat.
Adapun teori mengenai tolak ukur dalam menilai pajak daerah ada 5 (lima)
yaitu:
1. Hasil (Yield) dari suatu pajak daerah, apakah sudah memadai hasilnya, dalam
kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya juga dari perbandinagan hasil
pajak dengan biaya pungut yang dikeluarkan.
2. Keadilan (Equity) dalam arti harus benar beban dari tarif pajak dan kewajiban
membayar harus jelas dan adil.
3. Memiliki daya guna ekonomi (Economic Efficiency) pajak yang hendaknya bisa
mendorong penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan
ekonomi.
4. Kemampuan dalam melaksanakan suatu pajak (Ability to Implement) dimaksudkan
bahwa pajak haruslah dapat dilaksanakan dari sudut kemauan politik dan kemauan
tata usaha.
31
5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah dalam mengumpulkan dana
(Suitability as a Loacal Revenue Source) yang berarti harus jelas kepada daerah
mana suatu pajak harus dibayarkan dan tempat memungut pajak harus sama dengan
tempat akhir beban pajak.
7. Pengertian Restoran
Ada beberapa definisi mengenai pengertian restoran menurut beberapa ahli yaitu :
Restoran Menurut Marsum
“suatu tempat atau bangunan yang diorganisasi secara komersial, yang
menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua tamunya baik berupa
makan maupun minum”.
Restoran Menurut Ir. Endar Sugiarto, MM & Sri Sulartiningrum, SE,
“Restoran adalah suatu tempat yang identik dengan jajaran meja -meja yang
tersusun rapi, dengan kehadiran orang, timbulnya aroma semerbak dari dapur
dan pelayanan para pramusaji, berdentingnya bunyi-bunyian kecil karena
persentuhan gelas-gelas kaca, porselin, menyebabkan suasana hidup di
dalamnya”
8. Pajak Restoran Daerah Kota Tanjungpinang
Pengertian pajak restoran menurut Peraturan Walikota Nomor 62 Tahun 2012:
Pajak restoran adalah pajak atas setiap pelayanan yang disediakan restoran.
Sedangkan restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman
dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kedai kopi,
kafetaria, kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan sejenisnya.
Adapun objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yaitu
penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi
di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Tidak termasuk objek pajak restoran adalah
pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai jualnya tidak melebihi Rp
6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu rupiah) per bulan. Sedangkan subjek pajak
restoran adalah orang pribadi/badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari
restoran.
Dengan kata lain, jika suatu restoran mencakup juga rumah makan, kedai kopi,
kafetaria, kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan sejenisnya. Memiliki
omset Rp 6.500.000,00 atau lebih maka usaha tersebut wajib dikenakan pajak restoran.
Wajib Pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
restoran. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau
yang seharusnya diterima restoran.
32
Dasar tarif pengenaan pajak restoran berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, yaitu:
1. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima restoran.
2. Tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
3. Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
9. Sistem Self Assessment
Sistem Self Assessment adalah sistem pengenaan dimana wajib pajak diberi
kepercayaan untuk melaporkan sekaligus menghitung, memperhitungkan dan
menetapkan besarnya pajak yang terutang dan dibayar dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Menurut Mardiasmo (2006:7) self assessment system adalah suatu sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menetukan
sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirnya:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak
sendiri,
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang,
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawas
J. Hambatan Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2006:8) hambatan terhadap pemungutan pajak dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
c. Sistem control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2. Perlawanan aktif
Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-
undang
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-
undang (menggelapkan pajak).
33
C. ANALISA DATA
1. Deskripsi Data
Deskripsi data merupakan penjelasan mengenai data yang telah didapatkan
dari hasil penelitian lapangan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori model
implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn karena model implementasi
kebijakan ini ikut mempertimbangkan faktor eksternal yaitu variabel lingkungan. Hal ini
relevan dengan penelitian dalam skripsi ini karena melibatkan wajib pajak dan legislator.
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:158) variabel-variabel
yang mempengaruhi suatu implementasi yaitu:
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan
2. Sumber-sumber kebijakan
3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
4. Karakteristik badan-badan pelaksana
5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik
6. Kecenderungan pelaksana (implementors)
Mengingat bahwa jenis dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian kualitatif, maka data yang diperoleh bersifat deskriptif berbentuk kata
dan kalimat hasil wawancara, hasil observasi lapangan serta data hasil dokumentasi
lainnya.
Dengan menggunakan teknik analisa data secara kualitatif dengan menggunakan
konsep implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn, maka data-data tersebut
akan dianalisis selama proses penelitian berlangsung. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian lapangan melalui wawancara, dokumentasi, maupun observasi dilakukan
reduksi untuk dapat mencari tema dan polanya yang diberikan kode-kode pada aspek
tertentu berdasarkan jawaban yang sama dan berkaitan dengan pembahasan masalah
penelitian. Agar mempermudah dalam pembahasan dilakukan kategorisasi dalam
penyusunan jawaban penelitian dengan memberikan kode pada daftar informan dan
urutan pertanyaan yang diajukan saat wawancara yaitu:
1. Kode P1, P2, P3, …., menandakan daftar urutan pertanyaan
2. Kode I1, I2, …, I11 menandakan daftar urutan informan
Setelah peneliti memberikan kode pada kedua aspek di atas maka dilakukan
kategorisasi berdasarkan jawaban-jawaban yang ditemukan dari penelitian lapangan
untuk selanjutnya dibahas dan ditelaah dengan menggunakan konsep Van Meter dan
Van Horn. Semua jawaban yang diberikan oleh informan tidak akan digeneralisasikan
34
tetapi hanya sebagai data penunjang untuk memperkuat pembahasan penelitian ini
berdasarkan konsep implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn.
2. Pembahasan Hasil Penelitian
Pajak restoran merupakan pajak atas setiap pelayanan yang disediakan restoran.
Restoran yang dimaksud disini adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman
dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kedai kopi, kafetaria,
kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan sejenisnya. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang tentang pelaksanaan pajak restoran dan
petunjuk pelaksanaannya dimaksudkan dalam rangka menciptakan kepastian hukum guna
ikut membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah, meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai implementasi kebijakan
pelaksanaan pajak restoran di Kota Tanjungpinang penulis menggunakan teori model
implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn. Teori ini terdiri dari enam
variabel yang mebentuk kaitan antara kebijakan dan kinerja dimana setiap variabel terdiri
dari beberapa indikator yang diwakili oleh pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya
melalui wawancara kepada beberapa informan yang berkaitan langsung dengan
permasalahan ini dan berdasarkan hasil observasi langsung yang penulis lakukan selama
penelitian.
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan
a. Tercapainya target yang ditetapkan
Menurut P1 I1 (lampiran I), keberhasilan tujuan kebijakan adalah:
“Tingkat keberhasilan pajak restoran selama ini diukur dari setoran yang
diperoleh setiap tahunnya yang selalu melebihi target yang dicanangkan.
Pajak restoran merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang
cukup signifikan dalam kontribusi dari sektor pajak daerah.”
(wawancara dengan Kepala DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)
Menurut analisa penulis mengenai indikator ini, tujuan kebijakan dianggap
berhasil oleh DPPKAD salah satunya mengacu pada target yang diperoleh setiap
tahun walaupun sebenarnya masih ada beberapa program yang belum berjalan
optimal. Padahal jika realisasi wajib pajak benar-benar sudah sesuai dengan potensi
yang ada maka target yang dicanangkan oleh DPPKAD seharusnya dapat melebihi
yang selama ini ditetapkan disesuaikan dengan potensi yang ada.
Selama ini realisasi penerimaan selalu di atas target yang ditetapkan dari
tahun ke tahun. Sekilas kondisi ini menunjukkan semuanya telah berjalan dengan baik
35
karena tujuan akhir telah tercapai. Tetapi disini penulis melihat ada yang kurang tepat
dari DPPKAD dalam menetapkan target yang realistis. Target untuk tahun depan
dipatok hanya berdasarkan dari perolehan pajak restoran pada tahun yang sedang
berjalan. Keadaan ini kurang memacu perolehan pajak yang seharusnya dapat sesuai
dengan potensi. Jika target juga mempertimbangkan potensi maka akan ada usaha
agar potensi ini segera terwujud menjadi realisasi jumlah wajib pajak. Dengan kata
lain bahwa target penerimaan pajak hotel dan restoran ”under estimate”, atau terdapat
indikasi bahwa target tersebut dibuat agar mudah dicapai jika dilihat dari penetapan
target tahunannya. b. Realisasi sesuai dengan potensi yang sebenarnya
Berkaitan dengan hal ini, menurut P2 I2 (Lampiran I):
“Realisasi pajak restoran di Kota Tanjungpinang masih belum sesuai dengan
potensi yang ada. Belum semua restoran, kedai kopi, kafe, bakery, catering,
dan sejenisnya sudah terdata sebagai wajib pajak. Bahkan dari wajib pajak
yang terdata hanya 60% yang melakukan pemungutan. Sementara itu,
permasalahan lain yang belum dapat dipungut pajak restoran yang berkenaan
dengan usaha yang bersifat non permanen seperti warung tenda dan usaha
yang berada di fasilitas publik disebabkan belum adanya legalitas atas izin
kegiatan yang dilakukan.”
(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD, M. Nazri, 5 Juli 2014)
Menurut analisa dan hasil observasi penulis belum ada tolak ukur penilaian
yang jelas di DPPKAD dalam memperhitungkan potensi pajak restoran kota
Tanjungpinang. Hanya dilihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar dibandingkan
dengan usaha yang belum mendaftar, dan dilihat dari jumlah wajib pajak terdaftar
yang belum menyetor maka dapat disimpulkan saat ini realisasi memang belum sesuai
dengan potensi yang ada.
c. Penerimaan tarif sebesar 10%
Berkenaan dengan hal ini, menurut P3I1 (Lampiran I):
“Memang masih ada masalah dalam hal mengoptimalkan penerimaan tarif
10% ini karena pengenaan tarif ini masih belum diterima dengan alasan
pertimbangan jika diterapkan akan membebani konsumen terutama pada
usaha-usaha rumah makan skala menengah kebawah dan kedai kopi serta
kegiatan usaha yang sejenis. Kami sudah mengusulkan penyesuaian tarif
melalui revisi Perda Pajak untuk tahun ini tapi sebelum hal itu diputuskan
kami tetap menjalankan ketentuan yang ada.”
36
(wawancara dengan Kepala DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)
Terkait hal ini, menurut P2 I10 (Lampiran 2) bahwa:
“Saya tidak setuju dengan tarif sebesar 10% makanya saya belum melakukan
pemungutan. Jika harga saya naikkan konsumen pasti akan berkurang.
Selama ini jualan saya laris karena selain rasanya enak adalah harganya
yang murah disbanding bakso yang lain.”
(wawancara dengan pemilik restoran Bakso Gunung, 11 Juli 2014)
Memperkuat penolakan ini, menurut P2 I10 (Lampiran 2) bahwa:
“Konsumen komplain karena pembelian mereka dikenakan pajak restoran 10%.
Bahkan ada yang menyarankan harga roti langsung termasuk pajak saja, tidak
usah dihitung terpisah. Padahal kami melakukan ini agar mempermudah sistem
perhitungan.”
(wawancara dengan kasir restoran D’Flavours, 11 Juli 2014)
Menurut P2 I10 (Lampiran 2) bahwa:
“Awalnya saya tidak mau menaikkan harga yang sudah ada pajak di dalamnya
karena tidak mau dianggap pemahal. Saya mencoba untuk menghitung secara
terpisah antara harga beli konsumen dengan tarif pajak. Akibatnya saya pernah
bertengkar dengan konsumen karena mencoba memungut pajak darinya. Secara
pribadi saya tidak keberatan mau tarif 10%, 15%, bahkan 30% jika konsumennya
juga tidak keberatan membayar. Intinya kan pada konsumen mau membayar atau
tidak.”
(wawancara dengan pemilik rumah makan Siantanur, Joko Margono, 11 Juli
2014)
Menurut analisa penulis, salah satu cara agar realisasi dapat sesuai dengan
potensi yang ada adalah dengan penyesuaian tarif. Perlu ada pengklusteran tarif sesuai
dengan skala usaha. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi Perda Pajak seperti yang
telah dijanjikan diawal tahun oleh Pemko Tanjungpinang dan DPRD Kota
Tanjungpinang. Namun sampai saat ini sudah lebih dari pertengahan tahun dan
bahkan sebentar lagi akan ada pelantikan anggota DPRD baru hal ini belum terwujud.
d. Self assessment berjalan dengan lancar
Terkait dengan hal ini, P4 I4 (lampiran I )menyatakan bahwa:
“Pelaksanaan self assessment sebagian sudah berjalan dengan lancar
khususnya untuk usaha skala menengah ke atas. Namun untuk skala kecil
dirasa menyulitkan wajib pajak dalam menghitung besarnya pajak sesuai
37
dengan omset yang diperoleh terutama berkaitan dengan nilai penjualan yang
diperoleh setiap bulannya yang tidak melebihi Rp 6.500.000,- ke atas
berdasarkan Perda No.8 Tahun 2012.”
(wawancara dengan Kasi Perhitungan dan Penetapan, 5 Juli 2014 )
Terkait dengan hal ini, penulis mewancarai salah satu wajib pajak dan
mendapatkan informasi, menurut P3 I10 (Lampiran 2) adalah:
“Usaha rumah makan saya sudah terdaftar menjadi wajib pajak sejak bulan
Februari 2014. Selama 4 bulan menjadi wajib pajak saya belum melakukan
self assessment melainkan hanya menyetor Rp 650.000,- per bulan sesuai
dengan omset minimal Rp 6.500.000,- perbulan.”
(wawancara dengan pemilik rumah makan Siantanur, Joko Margono, 11 Juli
2014)
Self assessment belum berjalan sepenuhnya karena kekurang pahaman
pemilik usaha. Perlu terus dilakukan sosialisasi agar sasaran yang diinginkan dapat
terwujud. Setelah Perwako No. 62 Tahun 2012 dikeluarkan praktis baru tiga kali
dilaksanakan sosialisasi yaitu pada tahun 2013. Kurangnya sosialisasi tentu sangat
berpengaruh terhadap kesediaan wajib pajak untuk melaksanakan sistem perhitungan
self assessment khususnya usaha menengah ke bawah karena dianggap merepotkan.
Sehingga ada pemilik usaha yang hanya memperkirakan berapa jumlah yang harus
mereka setorkan tanpa menggunakan sistem perhitungan yang seharusnya.
Selain itu, mekanisme perhitungan self assessment benar-benar
mengandalkan kejujuran dari wajib pajak. Kabid Pendapatan DPPKAD Kota
Tanjungpinang menyampaikan bahwa sudah ada mekanisme kontrol terhadap sistem
perhitungan ini jika wajib pajak dicurigai member keterangan palsu tentang omsetnya
yaitu penungguan, verifikasi, surat teguran pajak kurang bayar, dan penindakan
berupa penyitaan. Untuk penindakan berupa penyitaan masih belum dilakukan.
e. Ketaatan Wajib Pajak
Mengenai hal ini, menurut P5 I5 (lampiran I) bahwa:
“Belum seluruhnya bersikap kooperatif namun kami berusaha dengan
pendekatan persuasif untuk terus mengingatkan mereka agar taat dengan
ketentuan yang ada. Sejauh ini memang masih banyak yang belum menyetor
tepat waktu namun tetap menyetor walaupun terlambat. Sanksi atas
keterlambatan adalah denda sebesar 2% dan itu sudah diterapkan.”
(wawancara dengan Kasi Penagihan, Pembukuan, dan Pemeriksaan, 5 Juli
2014 )
38
Terkait hal ini, menurut P5 I2 (lampiran I) bahwa:
“Sanksi atas penunggakan sejauh ini masih surat peringatan. Mekanisme
yang seharusnya adalah jika setelah 3 kali surat peringatan dilayangkan tetap
tidak diindahkan maka seksi penagihan berhak melakukan penyitaan. Namun
hal ini belum dapat dijalankan karena kami masih mengedepankan
pendekatan persuasif. Selain itu perangkat PPNS (juru sita) belum dimiliki
Pemko Tanjungpinang.”
(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M.
Nazri, 5 Juli 2014)
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Pajak Daerah BAB XV mengenai pembayaran dan penagihan pajak Pasal 95
bahwa apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka
waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Pejabat yang ditunjuk
segera menertibkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Namun hal ini belum
bisa dilaksanakan karena Pemko Tanjungpinang belum memiliki perangkat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau juru sita. Sehingga yang terjadi selama ini surat
peringatan saja tidak menimbulkan efek jera bagi penunggak pajak.
Menurut analisa penulis berdasarkan keenam indikator dari variabel ukuran
dasar dan tujuan kebijakan pada dasarnya sudah diusahakan untuk dilaksanakan oleh
implementor. Namun sebenarnya tidak dapat dipungkiri masih banyak detil aturan
yang belum terlaksana akibat rendahnya kesadaran masyarakat akan pajak. Sehingga
yang penting tujuan berhasil dilaksanakan dan target telah tercapai yang bermuara
pada kontribusi pajak restoran pada PAD walaupun sebenarnya jika Peraturan Daerah
Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Peraturann
Walikota No 62 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Restoran benar-
benar dilaksanakan secara teknis maka tujuan kebijakan akan tercapai dengan lebih
sempurna.
2. Sumber-sumber kebijakan
Disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, yang perlu
mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber-sumber
yang tersedia. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang
keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana
atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi
yang efektif. Dalam praktik implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para
pejabat maupun pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana
untuk membiayai program-program yang telah direncanakan. Dengan demikian,
39
dalam beberapa kasus besar kecilnya dana akan menjadi faktor yang menentukan
keberhasilan implementasi kebijakan.
a. Sumber daya
Mengenai hal ini, menurut P6 I1 (Lampiran I) :
“Menurut saya Bidang Pendapatan serta jajaran staf yang ada di dalamnya
sudah sangat siap untuk melaksanakan kebijakan ini. Jumlah staf sudah cukup
memadai. Memang belum semua sarjana tetapi diklat-diklat untuk sertifikasi
sudah dilaksanakan untuk memperdalam pengetahuan dan mempersiapkan
diri mereka. Sejauh ini mereka sudah bekerja dengan baik sesuai dengan
tupoksi masing-masing.”
(wawancara dengan Kepala Dinas DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)
Berkaitan dengan hal ini, menurut P6 I2 (Lampiran I) bahwa:
“Kami mencoba untuk mengoptimalisasi sumber daya yang sudah ada melalui
diklat-diklat untuk sertifikasi. Baru-baru ini kami sudah mengirimkan dua
orang staf untuk memperoleh sertifikat verifikasi. Namun kami memang masih
belum memiliki juru sita dan hal ini sedang diusahakan. Selain itu petugas
lapangan memang masih kurang.”
(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M.
Nazri, 5 Juli 2014)
b. Sumber dana
Mengenai hal ini diungkapkan oleh P8 I1 (Lampiran I) bahwa:
“Ada insentif untuk pegawai-pegawai yang melaksanakan pemungutan.
Semakin besar perolehan atas setoran wajib pajak yang didapat maka emakin
besar pula insentif untuk bidang pendapatan.”
(wawancara dengan Kepala DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)
Berkaitan dengan hal ini, menurut P7 I2 (Lampiran I) bahwa:
“Sumber dana yang tersedia untuk kegiatan ini sudah sangat memadai.
Fasilitas-fasilitas penunjang yang ada seperti mobil dinas sudah sangat
cukup.”
(wawancara dengan Kepala Bidang Pendapatan DPPKAD, M. Nazri, 5 Juli
2014)
40
Menurut analisa jawaban disesuaikan dengan observasi yang penulis lakukan
maka untuk variabel yang kedua mengenai sumber-sumber kebijakan untuk sumber
daya manusia belum memuaskan namun dari segi sumber dana sudah sangat baik.
Jumlah staf memang sudah cukup memadai dengan jumlah 20 orang. Namun dari segi
pendidikan hanya 7 orang S1 dan 1 orang S2 selebihnya D3 dan SMA bahkan ada
yang SMP. Selain itu masih ada kekurangan tenaga yaitu petugas lapangan dan yang
belum dimiliki yaitu juru sita.
Untuk sebuah bidang kerja sebagai ujung tombak Pemko Tanjungpinang
dalam mengumpulkan Pendapatan Asli Daerah kondisi ini masih belum bisa
dikatakan mumpuni. Salah satu isu strategis DPPKAD adalah kualitas sumber daya
pengelolaan keuangan daerah yang masih lemah. Sekarang tinggal bagaimana agar
mereka mau untuk terus meningkatkan performa kinerja untuk meningkatkan kualitas
agar kebijakan berjalan benar-benar sebagaimana mestinya.
Sesuai dengan Perda No 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah pada BAB XXI
tentang insentif pemungutan dikatakan bahwa instansi yang melaksanakan
pemungutan pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
Ketersediaan anggaran untuk pelaksanaan kebijakan ini memang sudah sangat baik.
Selain itu fasilitas yang tersedia sudah memadai dengan ruang kerja yang sudah
dilengkapi dengan peralatan yang dibutuhkan. Baru-baru ini DPPKAD menambah 5
unit mobil dinas yang salah satunya diperuntukkan untuk bidang pendapatan.
3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dipahami
oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam kinerja kebijakan. Prospek
implementasi Perda No 2 Tahun 2011 yang efektif ditentukan oleh ketepatan dan
konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran dan tujuan kebijakan.
a. Komunikasi Eksternal
Menurut analisa penulis berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
yang penulis lakukan komunikasi eksternal dirasakan belum optimal. Para petugas
masih belum optimal dalam mengkomunikasikan kepada para wajib pajak
mengenai pentingnya membayar pajak tepat pada waktunya sehingga masih selalu
terjadi penunggakan terhadap pembayaran pajak sebesar 40% dari seluruh wajib
pajak yang terdaftar.
Salah satu penyebab dari rendahnya kesadaran pajak masyarakat, sistem
self assessment yang belum berjalan lancar, dan waktu penyetoran yang tidak
tepat waktu adalah sosialisasi yang dirasakan masih kurang. Sudah 3 tahun sejak
41
diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan
2 tahun dikeluarkannya Peraturan Walikota Nomor 62 tahun 2012 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pajak Restoran praktis baru tiga kali kegiatan sosialisasi
pada wajib pajak dilaksanakan. Idealnya kegiatan seperti ini harus dilaksanakan
minimal dua kali dalam setahun sekaligus sebagai sarana evaluasi implementasi
yang selama ini dilaksanakan.
Terkait dengan hal ini, menurut P9 I2 (Lampiran I), menyatakan:
“Kami memang baru tiga kali melaksanakan sosialisasi dan ini memang
masih sangat kurang. Kami akan mencari kesempatan lagi untuk melakukan
sosialisasi kembali pada wajib pajak. Ini memang salah satu proram kami
yang masih terus tertunda pelaksanaannya. Selain itu permasalahan yang ada,
tidak semua wajib pajak mau ikut kegiatan ini. Makanya kami mencari
alternatif lain yaitu dengan membuka contact person, sms center, dan kotak
saran.”
(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M.
Nazri, S.Sos, 5 Juli 2014)
Salah satu staf juga menyatakan, menurut P10 I8 (Lampiran I):
“Selama ini wajib pajak masih banyak yang belum bersikap kooperatif.
Komunikasi yang terjadi tidak terlalu efektif mungkin disebabkan sosialisasi
yang masih kurang.”
(wawancara dengan Staf Seksi Penagihan, Pembukuan, dan Pemeriksaan, 5
Juli 2014)
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penulis menganalisis bahwa
komunikasi dan koordinasi belum terjalin baik dengan para wajib pajak padahal
komunikasi merupakan hal sangat penting antara petugas penagihan pajak dengan
para wajib pajak, dikarenakan sangat berpengaruh terhadap kelancaran dalam
pembayaran pajak.
Hal penting lainnya adalah komunikasi dan koordinasi antar DPPKAD dan
BP2T yang masih dirasakan kurang terkait pengawasan. BP2T tidak selalu
melaporkan SITU baru ke DPPKAD sehingga DPPKAD kesulitan untuk mendata
wajib pajak baru.
b. Komunikasi internal
42
Bidang pendapatan DPPKAD terdiri dari tiga seksi yaitu seksi pendataan dan
pendaftaran, seksi perhitungan dan penetapan, serta seksi penagihan, pembukuan, dan
pemeriksaan. Terkait koordinasi ketiga seksi ini terlihat sudah efektif. Secara internal
komunikasi yang terjalin antara atasan dan bawahan sudah baik.
Berkaitan dengan hal ini, menurut P11 I2 (Lampiran I) bahwa:
“Untuk internal kami sama sekali tidak ada masalah. Umumnya staf sudah
paham dengan tupoksi masing-masing dan mengerti tentang apa yang diinginkan
oleh atasannya dan yang harus dilakukan. Ketiga seksi yang berada di bawah
bidang pendapatan terjalin komunikasi dan koordinasi yang efektif.”
(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M. Nazri,
5 Juli 2014)
4. Karakteristik badan-badan pelaksana
Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, seperti dinyatakan oleh
Van Meter dan Van Horn, maka pembahasan ini tidak bisa lepas dari struktur
birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-
norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan
eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang
mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.
Dari hasil analisa dokumen yang penulis lakukan permasalahan ada pada
salah satu unsur dari enam unsur yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn
yaitu sumber-sumber politik suatu organisasi yaitu dukungan diantar anggota-anggota
legislatif. Sempat beredar kabar bahwa dewan menunda implementasi tarif pajak
restoran sebesar 10% yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pajak Daerah.
Terkait hal ini, menurut P12 I1 (Lampiran I) bahwa:
“Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 adalah dasar hukum kami memungut
pajak restoran. Yang namanya Peraturan Daerah tentu sudah disetujui dewan.”
(wawancara dengan Kepala DPPKAD Kota Tanjungpinang, Darmanto, 6 Juli
2014)
Masih mengenai hal ini, menurut P12 I2 (Lampiran I) bahwa:
“Kami bekerja berdasarkan Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota yang
tentunya sebagai payung hukum implementasi kebijakan ini. Tidak mungkin kami
laksanakan jika belum disahkan. Kalau memang ada keberatan bisa kita kaji
kembali sesuai mekanisme yang seharusnya.”
43
(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M. Nazri,
5 Juli 2014)
Menurut analisa penulis, penundaan tidak mungkin dilakukan karena
peraturan daerah yang sudah disahkan oleh DPRD Kota Tanjungpinang adalah dasar
hukum untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Jika mendapat penolakan
maka akan ditinjau dan bisa direvisi.
5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik
Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik merupakan variabel selanjutnya
yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Dampak kondisi-kondisi ekonomi,
sosial dan politik pada kebijakan publik merupakan pusat perhatian yang besar selama
dasawarsa yang lalu. Para peminat perbandingan politik dan kebijakan publik secara
khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan
pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi
keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van
Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam
terhadap pencapaian-pencapaian badan pelaksana.
Untuk tujuan ilustratif, van Meter dan van Horn mengusulkan agar kita
memberi pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi,
sosial dan politik yang mempengaruhi yuridiksi atau organisasi dimana implementasi
itu dilaksanakan.
1. Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana
cukup mendukung implementasi yang berhasil?
2. Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku
akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan?
3. Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang
berhubungan?
4. Apakah elite-elite mendukung atau menentang implementasi kebijakan?
44
5. Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada
oposisi atau dukungan pengikut bagi kebijakan?
6. Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untk
mendukung atau menentang kebijakan?
(Winarno,2012:167)
Dari keenam pertanyaan di atas penulis menitikberatkan pada pertanyaan
nomor tiga tentang apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu
kebijakan yang berhubungan (segi social) dan pertanyaan nomor empat tentang
apakah elite-elite mendukung atau menentang implementasi kebijakan (segi politik).
Untuk itu penulis telah melakukan wawancara dengan beberapa wajib pajak dan
subjek pajak serta anggota komisi II DPRD Kota Tanjungpinang terkait pendapat
mereka sebagai masyarakat umum.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut P1 I10 (Lampiran II) bahwa:
“Belum semua usaha restoran yang menjadi wajib pajak. Hal ini menimbulkan
kecemburuan. Saya mau melaksanakan ini jika seluruhnya juga ikut
melaksanakan. Saya masih enggan melakukan self assessment jika masih banyak
usaha yang tidak menyetor dan dibiarkan begitu saja.”
(wawancara dengan wajib pajak pemilik rumah makan Siantanur, 11 Juli 2014)
“Sebagai pemilik usaha secara pribadi saya tidak keberatan, yang keberatan itu
konsumen. Untuk usaha skala menengah seperti milik saya dimana rata-rata
konsumen yang duduk ngopi berasal adalah dari ekonomi menengah yang daya
belinya rendah maka pajak dirasa memberatkan.”
(wawancara dengan wajib pajak, pemilik kedai kopi Aman Batu 10, 11 Juli 2014)
“Saya tidak setuju dengan pajak restoran. Kalau aturan itu saya terapkan maka
harga jual pasti naik dan saya takut konsumen berkurang. Masyarakat kita
sekarang sudah banyak yang mengeluh tentang harga yang terus naik.”
(wawancara dengan wajib pajak, pemilik rumah makan Bakso Gunung Batu 10,
11 Juli 2014)
“Konsumen komplain karena berfikir pajak restoran adalah pajak pelayanan.
Kenapa kalau bungkus juga harus bayar pajak.”
(wawancara dengan kasir Rumah Makan D’Flavours, 11 Juli 2014)
Masih terkait pendapat umum, menurut P1 I11 (Lampiran 2) bahwa:
45
“Saya keberatan dengan pajak restoran sebesar 10%. Semua harga sudah naik
sekarang ditambah lagi dengan pajak. Ini tentu memberatkan. Kenapa tidak
untuk restoran besar saja atau untuk yang makan di tempat saja, yang bungkus
tidak usah.”
(wawancara dengan subjek pajak, Irma, ibu rumah tangga, 14 Juli 2014)
“Pajak adalah sumber pendapatan bagi penyelenggaraan pemerintah. Tidak
masalah jika sekarang ada pajak restoran namun pemerintah harus benar-benar
memanfaatkan dana pajak tersebut bagi kepentingan masyarakat.”
(wawancara dengan subjek pajak, Endang suhartati, PNS, 14 Juli 2014)
“kenapa pajak restoran dibebankan pada konsumen, bukannya seharusnya kan
dibayar oleh pemilik usaha. Harga sudah mahal sekarang ditambah pajak akan
lebih mahal lagi.”
(wawancara dengan subjek pajak, Muthia Ramadhani, mahasiswa, 14 Juli 2014)
Dari beberapa petikan wawancara di atas, dapat kita simpulkan bahwa
kesadaran masyarakat akan pajak masih sangat rendah. Hal ini merupakan hambatan
dalam pemungutan pajak yang termasuk dalam kategori perlawanan pasif dimana
masyarakat enggan membayar pajak. Dari analisa wawancara di atas penyebabnya
adalah perkembangan intelektual dan moral masyarakat. Ini adalah tugas berat bagi
DPPKAD untuk dapat mengimplmentasikan kebijakan ini dengan baik.
Dari segi politik, kebijakan pajak restoran ini sempat menjadi perdebatan
antara DPRD Tanjungpinang dengan Pemko Tanjungpinang seperti yang diberitakan
oleh media massa. Perdebatan ini ditimbulkan akibat masalah tarif pajak restoran
sebesar 10% yang ditolak oleh sejumlah pengusaha yang mengadu ke dewan. Untuk
itu penulis mencoba melakukan klarifikasi dengan melakukan wawancara dengan
yang bersangkutan.
Menurut P4 I9 (Lampiran II) bahwa:
“Perda sudah disahkan artinya memang menjadi landasan hukum bagi Pemko
untuk dilaksanakan. Jika sekarang ada penolakan maka akan kami kaji kembali
dan akan dilakukan revisi perda sesuai masukan dari DPPKAD yang berada di
lapangan langsung berkaitan dengan wajib pajak.”
(wawancara dengan anggota DPRD Kota Tanjungpinang, Azhar, 24 Juli 2014)
Mengenai tarif 10%, menurut P5 I9 (Lampiran II) bahwa:
46
“Tarif memang menjadi alasan utama penolakan baik dari wajib pajak maupun
subjek pajak. Untuk itu sudah kami pelajari kembali jangan sampai tarif yang
10% tersebut membuat kebijakan ini tidak berjalan. Akan kita revisi,
kemungkinan akan ada pengkategorian di dalamnya. Intinya masyarakat jangan
sampai terasa terbebani, sebuah kebijakan tidak boleh memberatkan
masyarakat.”
(wawancara dengan anggota DPRD Kota Tanjungpinang, Azhar, 24 Juli 2014)
Dari jawaban hasil wawancara di atas penulis menganalisa bahwa tarif 10%
memang menjadi perhatian utama jika nanti dilakukan revisi perda. Kondisi-kondisi
ekonomi, sosial, dan politik ini akan mempunyai efek yang mendalam terhadap
pencapaian DPPKAD jika tidak diperhatikan. Seperti yang dikemukakan oleh
Winarno dalam bukunya Kebijakan Publik:Teori, Proses, dan Studi Kasus
(2012:167) bahwa sekalipun dampak dari factor-faktor ini pada implementasi
mendapat perhatian yang kecil, namun menurut van Meter dan van Horn, factor-faktor
ini mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.
6. Kecenderungan pelaksana (implementors)
Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar
dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi
kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut
secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan
sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam
kondisi seperti inilah persepsi individu memegang peran. Dalam keadaan ketidak
sesuaian kognitif, individu mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang
tidak menyenangkan dengan persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan
keputusan kebijakan.
Berkaitan dengan hal ini, menurut P13 I6,7,8 bahwa:
“Masih mendapat penolakan dari wajib pajak karena tarifnya terlalu besar
tetapi jika melihat di lapangan sudah sesuai dengan berkembang pesatnya kota
Tanjungpinang.”
(wawancara dengan staf pendataan dan pendaftaran, 5 Juli 2014)
47
“Yang dibebankan untuk membayar kan konsumen. Sekarang tinggal bagaimana
wajib pajak mau berusaha mencoba memungut dan bersikap kooperatif dengan
DPPKAD untuk mempermudah wajib pajak itu sendiri.”
(wawancara dengan staf perhitungan dan penetapan, 5 Juli 2014)
“Tarif sebesar 10% sudah tepat dalam rangka optimalisasi pajak daerah. Jika
sekarang ada penolakan bisa kita usulkan untuk melakukan pengklusteran.”
(wawancara dengan staf penagihan, pembukuan, dan pemeriksaan, 5 Juli 2014)
Menurut analisa penulis, para pelaksana sudah mempunyai pikiran positif
terhadap kebijakan ini walaupun pada dasarnya mereka juga menganggap bahwa tarif
sebesar 10% sebenarnya tidak cocok untuk semua wajib pajak. Sehingga mereka juga
ikut berfikir untuk menawarkan alternatif lain yang dapat mengakomodir seluruh
kepentingan.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Implementasi kebijakan pajak restoran dan petunjuk pelaksanaannya belum
berjalan optimal sesuai dengan peraturan yang ada. DPPKAD sebagai agen
pelaksana sudah berupaya semaksimal mungkin agar penegakan peraturan ini
dapat berjalan semestinya namun kondisi di lapangan khususnya karena kesadaran
masyarakat akan pajak masih rendah menjadi hambatan terbesar bagi
pengimplementasian ini.
2. Variabel-variabel pendukung implementasi kebijakan pajak restoran Kota
Tanjungpinang adalah:
a. Sumber-sumber kebijakan yang sudah baik yaitu sumber daya manusia dan
sumber dana
b. Komunikasi internal kegiatan-kegiatan pelaksanaan yaitu koordinasi dan
komunikasi yang terjalin di antara seksi-seksi bidang pendapatan sudah
berjalan efektif
c. Kecenderungan pelaksana yang memiliki pikiran positif terhadap kebijakan
yang diimplementasikannya
3. Variabel-variabel penghambat implementasi kebijakan pajak restoran Kota
Tanjungpinang adalah:
48
a. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan yang masih belum direalisasikan
secara optimal mulai dari realisasi yang belum sesuai dengan potensi,
penolakan tarif 10% oleh wajib pajak, self assessment yang belum berjalan
dengan lancar, dan masih banyak wajib pajak yang belum taat dalam
menyetor. Dari variabel ini hanya indikator target perolehan pajak restoran
yang telah tercapai dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
b. Komunikasi eksternal dan koordinasi antara DPPKAD dan BP2T yang belum
berjalan maksimal.
c. Karakteristik badan pelaksana dimana kurangnya dukungan dari anggota
legislatif
d. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik terkait pendapat umum tentang
kebijakan ini yang umumnya menolak dengan cara enggan membayar.
4. Usaha-usaha yang dilakukan DPPKAD untuk mengatasi hambatan ini adalah
dengan pendekatan persuasif yaitu sosialisasi, gathering, contact person, sms
center, kupon undian berhadiah bagi wajib pajak. DPPKAD masih belum
melakukan penindakan tegas bagi wajib pajak yang menunggak.
2. Saran
1. Diharapkan kepada DPPKAD agar dapat lebih meningkatkan upaya lagi dan
mencari terobosan-terobosan baru agar implementasi kebijakan pajak restoran
dapat berjalan dengan baik.
2. Diharapkan kepada DPPKAD agar ke depannya implementasi kebijakan pajak
restoran kota Tanjungpinang berjalan benar-benar sesuai dengan aturan yang ada
khususnya masalah penindakan tegas bagi wajib pajak yang membandel.
3. Bagi wajib pajak agar mau bersikap kooperatif dan bekerja sama dengan
DPPKAD agar implementasi kebijakan pajak restoran ini dapat berjalan dengan
maksimal.
4. Bagi masyarakat agar mau membayar pajak, meningkatkan kesadaran tentang
pajak, dan bersam-sama memantau pemanfaatan dana pajak tersebut oleh
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta.
Dunn, W. N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Fitriandi, Primandita dkk. 2007. Kompilasi Undang-Undang Perpajakan. Jakarta: Salemba.
Joko Widodo. 2010. Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Kebijakan
Publik. Malang: Bayu Media.
Lubis, Solly. 2014. Politik Hukum dan Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju.
49
Mardiasmo, 2011. Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2006. Yogyakarta:ANDI.
Moleong, L.J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nugroho, Riant. 2011. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Soemahamidjaja, Soeparman, 1964. Pajak Berdasarkan Azas Gotong
Royong. Bandung: Universitas Padjajaran.
Tim Penyusun. 2011. Pedoman Teknik Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi.
Tanjungpinang: FISIP UMRAH
Usman, Husaini& Akbar,Purnomo Setiady. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung:
Bumi Aksara.
Wahab, Solichin Abdul. 2005. Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Winarno, Budi. 2014. Kebijakan Publik: Teori, Proses dan Studi Kasus. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Peraturan Perundangan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Peraturan Walikota Tanjungpinang Nomor 62 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pajak Restoran.
Peraturan Walikota Nomor 50 Tahun 2012 tentang Uraian Tugas Pokok dan Fungsi
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.
Data Online
http://www.017-implementasi-peraturan-daerah-kota.html