implementasi kebijakan pelaksanaan pajak...

50
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK RESTORAN KOTA TANJUNGPINANG (STUDI PADA DPPKAD KOTA TANJUNGPINANG ARTIKEL E-JOURNAL OLEH: SUGIYANTO NIM. 100565201 382 PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2014

Upload: lynhi

Post on 23-Mar-2018

223 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK RESTORAN

KOTA TANJUNGPINANG (STUDI PADA DPPKAD KOTA

TANJUNGPINANG

ARTIKEL E-JOURNAL

OLEH:

SUGIYANTO

NIM. 100565201 382

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2014

Page 2: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

1

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PELAKSANAAN PAJAK RESTORAN KOTA TANJUNGPINANG

(STUDI PADA DPPKAD KOTA TANJUNGPINANG)

S U G I Y A N T O

NIM : 100565201382

PEMBIMBING: AFRIZAL, S.IP, M.Si

IMAM YUDHI PRASTYA, S.IP, M.PA

Program Studi Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Maritim Raja Ali Haji

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan

pelaksanaan pajak restoran Kota Tanjungpinang sesuai Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun

2011 dan Peraturan Walikota Nomor 62 Tahun 2012 yang dilaksanakan oleh Dinas

Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjungpinang.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana pengumpulan data

dilakukan dengan observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan pelaksanaan pajak restoran telah diupayakan

sebaik mungkin oleh DPPKAD walaupun masih banyak kekurangan dan kelemahan di

dalamnya.

Berdasarkan temuan tersebut, maka implementasi kebijakan akan berhasil jika; (1)

adanya kejelasan standar dan tujuan kebijakan, (2) tersedianya sumber daya yang diperlukan

dalam pelaksanaan kebijakan, (3) komunikasi yang lancar, seimbang dan jelas antar

organisasi dan pelaksana, (4) karakteristik lembaga pelaksana yang mendukung kesuksesan

implementasi kebijakan, (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik, dan (6) adanya kesediaan

dan komitmen dari pelaksana untuk mensukseskan implementasi kebijakan di lapangan.

Sedangkan penghambat implementasi kebijakan pajak restoran yaitu: (1) kurangnya

sosialisasi kepada wajib pajak, (2) kurangnya koordinasi dengan instansi terkait, (3)

lemahnya sikap pelaksana, (4) lemahnya penegakan hukum, dan (6) rendahnya kesadaran

masyarakat tentang pajak.

Kata kunci: Implementasi kebijakan, pelaksanaan pajak restoran

POLICY IMPLEMENTATION THE IMPLEMENTATION OF TAXES ON

RESTAURANT CITY OF TANJUNG PINANG (STUDY ON DPPKAD CITY OF

TANJUNG PINANG)

S UG I Y A N T O

NIM: 100565201382

SUPERVISOR: AFRIZAL, S. IP, M.Si

IMAM YUDHI PRASTYA, S. IP, M.PA

Study Program of Government Political Science

Faculty of Social Sciences

University of Maritime Raja Ali Haji

Page 3: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

2

ABSTRACT

This study aims to find out how policy implementation the implementation of tax laws

Tanjungpinang City restaurant Area number 2 in 2011 and the Mayor's Ordinance number

62 in 2012, which was implemented by the Department of Revenue financial and Asset

Management Areas (DPPKAD) the city of Tanjung Pinang. The research method used is

descriptive qualitative where data collection is done by observation, interviews, and review

of the document. Results of the study concluded that the implementation of tax policy

implementation restaurant has strived its best possible by DPPKAD although there are still

many deficiencies and weaknesses in it.

Based on these findings, the implementation of the policy will be successful if; (1) the

clarity of the standards and the policy objectives, (2) the availability of the necessary

resources in the implementation of policies, (3) communication is clear, balanced and

smoothly between the implementing organization and, (4) the characteristics of the

implementing agencies that support the success of the implementation of the policy, (5)

conditions for social, economic and political, and (6) the willingness and commitment of

implementing the national program for the implementation of policies in the field. Whereas

the implementation of tax policies restricting restaurant namely: (1) lack of socialization to

the taxpayer, (2) lack of coordination with relevant agencies, (3) the weak attitude of the

executor, (4) weak law enforcement, and (6) the low level of public awareness about taxes

.

Keywords: Implementation of policy, the implementation of tax restaurant

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bergulirnya otonomi daerah menjadi landasan bagi setiap daerah untuk mengurus

dan mengatur daerahnya sendiri karena otonomi yang dicanangkan melalui Undang-

Undang No 32 Tahun 2004 tersebut lebih memberikan keleluasaan bagi daerah untuk

mengekspresikan dirinya menuju arah berkembang melalui pemberdayaan masyarakat

daerah itu sendiri. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangannya yang merupakan pelimpahan dari pemerintah pusat ke daerah.

Pendelegasian wewenang ini telah diatur sedemikian rupa di dalam Undang-Undang

yang telah tersebut di atas.

Perubahan ini melahirkan berbagai kebijakan daerah yang dibuat dan diambil

oleh kepala daerah sebagai salah satu pondasi jalannya pemerintahan dan pembangunan

di suatu daerah. Sebagaimana diungkapkan oleh Lijan Sinambela (2006) bahwa salah

Page 4: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

3

satu dari keinginan perubahan itu adalah pemihakan pemerintah kepada kepentingan

publik melalui pengelolaan kebijakan yang lebih menguntungkan.

Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan oleh dinas-dinas terkait

demi tercapainya tujuan dari pembangunan daerah. Menurut Erwan Agus Purwanto

(1997) dalam tesisnya bahwa kebijakan publik selalu berhubungan dengan keputusan-

keputusan pemerintah yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat melalui

instrumen-instrumen kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah berupa hukum, pelayanan,

transfer dana, pajak, dan anggaran-anggaran.

Pemerintah kota Tanjungpinang sebagai suatu organisasi yang dipimpin oleh

seorang walikota sebagai pimpinan eksekutif mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik

baru maupun revisi berupa Peraturan Daerah, Peraturan Walikota, Keputusan Walikota,

dan lain-lain yang dipandang perlu dalam menyelaraskan kinerja pemerintah dengan

kepentingan masyarakat. Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan

pemimpin dalam merumuskan program atau kebijakan untuk dilaksanakan oleh aparatur

pemerintah atas kebijakan yang telah diputuskan yang harusnya didukung dan ditunjang

oleh sarana dan prasarana yang ada.

Terlepas dari semua itu, sebagus dan sehebat apapun kebijakan yang dibuat hanya

akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

sebagaimana mestinya. Keberhasilan dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan

seringkali menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah pemerintahan.

Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Tanjungpinang

yang selanjutnya disebut DPPKAD merupakan salah satu unsur pelaksana teknis

kewenangan otonomi dalam jajaran Pemerintah Kota Tanjungpinang. DPPKAD Kota

Tanjungpinang adalah kantor instansi pelayanan yang berfungsi sebagai pelaksana

kebijakan teknis dalam mengelola sumber pendapatan daerah dan memantau penerimaan

pendapatan daerah berupa pajak dan retribusi. Hasil pemungutan pendapatan tersebut

Page 5: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

4

diserahkan kepada pemerintah daerah kota Tanjungpinang dan dijadikan Pendapatan Asli

Daerah (PAD).

Salah satu jenis pajak yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan

Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjungpinang adalah pajak restoran.

Pajak restoran merupakan salah satu jenis pajak yang dikelola oleh daerah sebagai

sumber pendapatan daerah dalam melaksanakan otonomi. Pemberlakuan UU No 32

tahun 2004 tentang otonomi daerah maka pemerintah daerah diberi kebebasan untuk

mengolah dan memberdayakan daerahnya sendiri, oleh karena itu maka pemerintah

daerah dengan kewenangan yang diberi oleh pemerintah pusat tersebut menggali dan

mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah diantaranya adalah lewat sektor

pajak restoran.

Pajak restoran adalah pajak atas setiap pelayanan yang disediakan restoran yang

dikenakan pada pelanggan restoran. Sedangkan restoran adalah fasilitas penyedia

makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah

makan, kedai kopi, kafetaria, kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan

sejenisnya. Peraturan perundangan yang menjadi landasan pelaksanaan pajak restoran

adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah

dan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 8 tahun 2012 tentang perubahan

atas Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah

3. Peraturan Walikota Nomor 62 tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak

Restoran Kota Tanjungpinang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah BAB II pasal 2 bahwa pajak restoran termasuk ke dalam jenis

pajak kota yang artinya pajak restoran diselenggarakan oleh pemerintah kota dan

perolehannya menjadi pendapatan daerah. Besaran pajak itu sendiri ditetapkan oleh

pemerintah daerah dengan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 paling tinggi sebesar 10% sebagaimana yang diatur dalam pasal 40.

Pemerintah kota Tanjungpinang mengatur penyelenggaraan pajak restoran

melalui Peraturan Daerah No 2 Tahun 2011 dan Peraturan Walikota Nomor 62 Tahun

2012. Besaran pajak restoran sebesar 10% yang ditetapkan oleh pemerintah kota

Tanjungpinang masih menjadi perdebatan. Sejumlah pengusaha restoran menolak

ketetapan ini karena dianggap memberatkan sementara berdasarkan pernyataan Wakil

Page 6: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

5

Ketua Komisi II DPRD kota Tanjungpinang Azhar pada Haluan Kepri (29 Januari 2014)

bahwa kebijakan pemungutan pajak restoran sebesar 10 persen tersebut pada tahun 2011

ditunda oleh DPRD Kota Tanjungpinang.

Masih menurut Koran ini, Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan,

dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjungpinang, Darmanto menyampaikan, dirinya

selaku kepala DPPKAD tidak mengetahui pasti penundaan kebijakan pemungutan pajak

oleh Dewan. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan menjadi masalah setelah sekian

tahun peraturan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan nyatanya tidak ada koordinasi

antara legislatif dan eksekutif sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat. Selain

itu Darmanto juga mengakui kebijakan tarif pajak restoran sebesar 10 persen tersebut

memang belum dilakukan sosialisasi secara maksimal. Sehingga membuat warga

menjadi bingung.

Tidak semua restoran, rumah makan, kedai kopi, toko bakery, katering, dan

warung tenda yang menjadi wajib pajak. Hanya pengusaha yang beromset 6,5 juta keatas

yang serta merta menjadi wajib pajak. Pemerintah kota sendiri memberlakukan

pemungutan dengan sistem self assessment pajak restoran yang artinya wajib pajak

diberi kepercayaan untuk melaporkan sekaligus menghitung, memperhitungkan dan

menetapkan besarnya pajak yang terutang dan dibayar dalam tahun pajak yang

bersangkutan.

Kelancaran penyelengaraan pajak restoran sangat bergantung dari disiplin

seluruh pelaku yang terlibat yaitu wajib pajak dan DPPKAD. Salah satu yang terpenting

adalah kelancaran pembayaran. Pemerintah kota sendiri melalui DPPKAD harus mau

menjemput bola yaitu langsung turun ke lokasi untuk melakukan pemungutan apabila

wajib pajak beralasan tidak sempat untuk menyetor . Kinerja DPPKAD beserta unsur-

unsur yang terkait di dalamnya merupakan faktor terpenting dalam implementasi

kebijakan ini. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Walikota No 62 Tahun 2012

Pasal 1 Ayat 18 bahwa aparat pelaksana pemungutan adalah Dinas Pendapatan,

Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Lebih tegasnya lagi dalam Peraturan Walikota

No 50 Tahun 2012 Pasal 9 ayat 1, berkaitan dengan pajak ini tugas DPPKAD tidak

hanya melakukan kegiatan pemungutan namun termasuk di dalamnya melakukan

pendataan dan pendaftaran, perhitungan dan penetapan serta melakukan penagihan,

pembukuan dan pemeriksaan menjadi tugas pokok bidang pendapatan.

Pajak restoran merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

yang sangat potensial dalam mendukung pembiayaan kegiatan pembangunan di wilayah

Pemerintah Kota Tanjungpinang. Sepanjang tahun 2013 pencapaian pajak restoran

Page 7: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

6

menempati urutan keempat dari 11 sektor pajak sebagai penyumbang Pendapatan Asli

Daerah yaitu sebesar Rp 6,9 miliar. Berdasarkan laporan realisasi pajak dari DPPKAD

diperoleh data perolehan urutan 5 teratas bahwa penyumbang pajak terbesar yakni

pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 16,7 miliar,

Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Rp 13,16 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 8,2

miliar. Sedangkan pajak restoran termasuk penyumbang terbesar keempat sebesar Rp 6,9

miliar dan pajak hotel sebesar Rp 4,2 miliar.

Potensi pajak restoran jika dilihat dari jumlah wajib pajak yang tidak menyetor

sebenarnya dapat lebih besar dari capaian yang diperoleh. Jumlah wajib pajak restoran

yang terdata secara resmi adalah sebanyak 678 wajib pajak, sementara masih terdapat

beberapa pengusaha restoran/ kafe/ kedai kopi/ katering yang belum terdaftar sebagai

wajib pajak restoran. Nyatanya dari 678 wajib pajak restoran, hanya sekitar 60% yang

memungut pajaknya berarti ada sekitar 40% wajib pajak yang tidak memungut pajaknya.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pelaksanaan pajak restoran Kota Tanjungpinang dengan judul:

“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK RESTORAN KOTA

TANJUNGPINANG (STUDI PADA DPPKAD KOTA TANJUNGPINANG)”.

2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu

“Bagaimana implementasi kebijakan pelaksanaan pajak restoran Kota Tanjungpinang?”

3. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana

implementasi kebijakan pajak restoran Kota Tanjungpinang yang dilaksanakan oleh

DPPKAD Kota Tanjungpinang.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Kegunaan teoritis, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, umumnya bagi pengembangan Ilmu

Pemerintahan khususnya dalam implementasi kebijakan pajak restoran Kota

Tanjungpinang.

b. Kegunaan praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan dapat dijadikan bahan masukan bagi Pemerintah Kota

Page 8: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

7

Tanjungpinang khususnya pada Kantor DPPKAD Kota Tanjungpinang di masa

mendatang.

4. Metode Penelitian

1. Dasar dan Jenis Penelitian

a. Dasar penelitian deskriptif. Peneliti akan melihat langsung realitas-realitas di

lapangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Realitas-realitas itu akan

dipilah berdasarkan kebutuhan penelitian lalu dikumpulkan untuk kemudian

dianalisis.

b. Jenis penelitian deskriptif kualitatif yakni suatu metode yang menggambarkan

atau melukiskan kenyataan serta keadaan objek yang diteliti secara sistematis,

faktual dan akurat untuk kemudian dianalisis secara mendalam.

B. KAJIAN TEORI

1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai, dan

praktek-praktek yang terarah. Kebijakan publik juga dapat diartikan sebagai susunan

rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program pemerintah

yang berhubungan erat dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat.

Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan, juga masalah kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Kebijakan publik harus mengabdi pada kepentingan masyarakat, dengan

demikian kebijakan publik (public policy) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan

dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan

masyarakat. Berikut definisi kebijakan publik menurut beberapa ahli:

Robert Eyestone dalam Winarno (2014:20), kebijakan publik dapat di didefinisikan

sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.

Carl J. Friedrich dalam Lubis (2014:82), Kebijakan Publik yaitu serangkaian tindakan

yang diusulkan oleh seseorang, sekelompok orang atau pemerintah di suatu lingkungan

tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan

usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

James E. Anderson Dalam Lubis (2014:82), kebijakan itu adalah serangkaian tindakan

yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau

sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Berdasarkan definisi di atas, penulis menganalisis bahwa, kebijakan

mengandung suatu unsur tindakan- tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan

Page 9: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

8

tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu

mempunyai hambatan- hambatan pada pelaksanaannya tetapi harus mencari peluang-

peluang untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.

Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan

umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah.

Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang

untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Hal tersebut berarti kebijakan

tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik- praktik sosial yang ada dalam

masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut akan mendapat kendala ketika

di implementasikan. Sebaliknya, untuk mencapai suatu tujuan dari sebuah kebijakan

hendaknya seseorang, kelompok ataupun pemerintah dalam mengimplementasikannya

harus dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan

suatu masalah tertentu.

Berdasarkan definisi-definisi kebijakan publik yang dipaparkan di atas, maka

kebijakan publik memiliki konsep-konsep sebagai berikut:

a. Kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktik/pelaksanaannya.

b. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta.

c. Kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan

oleh pemerintah.

Dari poin-poin di atas maka kita bisa menarik benang merah dari definisi

kebijakan publik dalam Lampiran I Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor PER/04/M PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum, Formulasi, Implementasi,

Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah

Pusat dan Daerah. Dalam peraturan menteri ini, kebijakan publik adalah “keputusan

yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan

tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang

berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak”.

Dalam peraturan menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 bentuk yaitu

peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di

depan publik. Menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik dapat berupa Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah

Kota/Kabupaten, dan Keputusan Walikota/Bupati. Ini merupakan contoh peraturan yang

terkodifikasi secara formal dan legal. Berdasarkan peraturan menteri yang telah dibahas

Page 10: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

9

tadi, pernyataan pejabat publik juga merupakan bagian dari kebijakan publik. Hal ini

dapat dipahami karena pejabat publik adalah salah satu aktor kebijakan yang turut

berperan dalam implementasi kebijakan itu sendiri.

Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang

sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya.

Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000:110) terdapat tiga elemen kebijakan yang

membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut

sebagai kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Ketiga elemen itu

saling memiliki andil dan saling mempengaruhi, sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat

mempunyai andil dalam kebijakan namun mereka juga dapat dipengaruhi oleh keputusan

pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat

kebijakan dan kebijakan itu sendiri.

Walaupun para ahli telah mendefinisikan kebijakan negara yang relatif berbeda-

beda, namun substansi dari masing-masing definisi kebijakan negara relatif tidak

berbeda. Pengertian kebijakan negara di atas mempunyai implikasi: (1) kebijakan negara

bentuknya berupa penetapan tindakan pemerintah; (2) kebijakan tidak cukup hanya

dinyatakan tetapi harus di laksanakan dalam bentuk yang nyata; (3) kebijakan negara

baik dilaksanakan atau tidak, hal ini mempunyai dan dilandasi dengan maksud tujuan

tertentu; dan (4) kebijakan negara harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh

anggota masyarakat. Kebijakan Negara dikategorikan sebagai berikut:

a. Substantive atau procedural policies

Substantive policies yaitu kebijakan-kebijakan tentang apa yang akan atau ingin

dilakukan oleh pemerintah.

b. Procedural policies

Procedural policies adalah kebijakan-kebijakan tentang siapa atau pihak-pihak

mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, serta bagaimana perumusan

kebijakan itu dilaksanakan.

c. Distributive policies

Distributive policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pemberian pelayanan-

pelayanan atau keuntungan-keuntungan bagi sejumlah khusus penduduk. Distributive

policies terbagi 3 yaitu:

1) Redistributive Policies, yaitu kebijakan-kebijakan yang sengaja dilakukan

pemeritah untuk meindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan, kepemilikan

atau hak-hak diantara kelas-kelas dan kelompok penduduk.

Page 11: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

10

2) Regulatori policies, yaitu kebijakan-kebijakan tentang pengenaan pembatasan

atau larangan-larangan perbuatan atau tindakan-tindakan perilaku bagi seseorang

atau sekelompok orang.

3) Self regulatory policies, adalah kebijakan-kebijakan tentang pembatasan-

pembatasan atau pengawasan perbuatan pada masalah-masalah tertentu bagi

sekelompok orang.

d. Material dan symbolic policies

Material policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pengalokasian atau penyediaan

sumber-sumber material yang nyata atau kekuasaan yang hakiki bagi para

penerimanya atau mengenakan beban-beban (kerugian) bagi yang mengalokasikan.

Symbolic policies adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak memaksa (non

enforcement), karena kebijakan itu apakah akan memberikan keuntungan atau hanya

memiliki dampak yang relatif kecil bagi masyarakat.

e. Collective goods dan Private goods

Collective good policies adalah kebijakan penyediaan barang-barang dan pelayanan-

pelayanan keperluan orang banyak (kolektif).

Private good policies adalah kebijakan-kebijakan tentang barang-barang atau

pelayanan-pelayanan hanya bagi kepentingan perseorangan (private) yang tersedia

di pasaran bebas, dan orang yang memerlukan harus membayar biaya tertentu.

f. Liberal policies dan conservative policies

Liberal policies adalah jenis kebijakan yang menganjurkan pemerintah untuk

mengadakan perubahan-perubahan sosial terutama yang diarahkan untuk

memperbesar hak-hak persamaan. Kebijakan liberal menghendaki agar pemerintah

mengadakan koreksi terhadap ketidakadilan dan kelemahan-kelemahan yang ada

pada aturan-aturan social, meningkatkan program-program ekonomi kesejahteraan.

g. Conservative policies

Conservative policies adalah lawan dari kebijakan liberal, menurut paham ini aturan

sosial yang ada cukup baik, jadi tidak perlu adanya perubahan sosial (bertahan

dengan status quo), atau kalaupun perubahan sosial diperlukan harus diperlambat

dan berjalan secara ilmiah.

Hakikat kebijakan publik sebagai jenis tindakan mengarah pada tujuan, dibagi

dalam berbagai kategori yaitu:

1. Tuntutan Kebijakan (Policy Demand) yaitu tuntutan atau desakan yang ditujukan

pada pejabat-pejabat pemerintah yang dilakukan oleh aktor lain, baik swasta ataupun

Page 12: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

11

kalangan pemerintah sendiri, dalam sistem politik untuk melakukan tindakan tertentu

atau sebaliknya untuk tidak berbuat sesuatu terhadap masalah tertentu.

2. Keputusan Kebijakan (Policy Decision) yaitu keputusan-keputusan yang dibuat oleh

para pejabat pemerintah yang bertujuan untuk memberikan keabsahan, kewenangan,

atau memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan Negara, termasuk di

dalamnya keputusan untuk menciptakan status atas keputusan dasar, mengeluarkan

perintah eksekutif (keputusan presiden). Ketetapan-ketetapan merencanakan

peraturan-peraturan adminstratif, misalnya peraturan tentang disiplin pegawai negeri,

atau mebuat penafsiran terhadap undang-undang.

3. Pernyataan Kebijakan (Policy Statement) adalah pernyataan resmi atau artikulasi

(penjelasan) mengenai kebijakan Negara tertentu termasuk ketetapan-ketetapan

MPR, Kepres atau Dekrit Presiden, Peraturan administrative, dan keputusan-

keputusan peradilan maupun pernyataan-pernyataan dan pidato-pidato para pejabat

pemerintah yang menunjukkan hasrat dan tujuan pemerintah serta apa yang

dilaksanakan untuk mewujudkan hasrat dan tujuan tersebut.

Kesimpulannya, kebijakan publik mengatur segala aspek dalam tatanan

kenegaraan, tidak hanya menyangkut pejabat publik, tetapi mengatur juga tatanan

masyarakat.

Rentetan dari bentuk kebijakan publik sangat banyak. Menurut Nugroho

(2011:104), secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau mendasar. Yakni peraturan

perundangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat

“Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat desa atau kelurahan dimana dalam setiap

peraturan tersebut dilakukan opleh aparat publik yang dibayar oleh uang publik

melalui pajak dan penerimaan Negara lainnya, dan secara hukum formal

bertanggung jawab kepada publik. Dalam Undang-Undang No. 10/2004 tentang

pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 7 mengatur jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.

2. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan.

Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan

Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Wali Kota.

Page 13: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

12

3. Kebijakan Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan

atau implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang

dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri, gubernur, bupati, dan wali kota.

2. Implementasi Kebijakan Publik

Sudah merupakan kemutlakan dalam sebuah proses pemerintahan apabila dalam

setiap aktivitasnya melahirkan, melaksanakan, dan mengevaluasi sebuah kebijakan.

Proses di atas bermula dari suatu isu yang menyentuh berbagai bidang kehidupan, yang

kemudian berkembang menjadi suatu permasalahan yang kompleks, sehingga

membutuhkan suatu langkah strategis dalam penyelesaiannya, yakni kebijakan.

Suatu kebijakan berawal dari suatu pernyataan kehendak, baik berupa tuntutan,

dukungan, ataupun pengharapan yang hanya dapat diimplementasikan apabila melekat

otoritas di dalamnya. Oleh karena pemerintah mempunyai otoritas yang bersumber dari

amanah rakyat, maka sudah sepantasnyalah pemerintah menjalankan kebijakan tersebut

sekalipun dengan pemaksaan yang bertumpu pada komitmen untuk mencapai tujuan

bersama.

Kebijakan pemerintah selalu mengandung paling tidak tiga komponen dasar

yaitu: tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut

(implementasi kebijakan). Implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan

oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang

dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan.

Dengan demikian implementasi mulai berlangsung pada tahap penyusunan program.

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang

dikutip oleh Solichin Abdul Wahab (2004:64) adalah “to provide themeans for carrying

out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu);dan to give practical effect to

(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”. Sementara Donald S. Van

Metter dan Carl E. Va dalam Widodo (2010:86) memberikan pengertian implementasi

dengan mengatakan:

Policy implementation encompasesses those action by public andprivate

individual (or group) that are directed at the achievement ofobjectives set forth

in prior policy decision. This include both one time efforts to transfrom

decisions into operational terms, as well acontinuing efforts to achieve the large

and small changes mandated by policyyy decision

Dan Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo (2010:87) menjelaskan makna

implementasi dengan mengatakan :

Page 14: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

13

To understand what actually happens after a program is enacted orformulated

is the subject of policy implementation. Those event andactivities that occur

after the isuing of outhoritative public policydirectives, wich included both the

effort to administer and thesubtantives, which impacts on the people and event

Sehingga Joko Widodo (2010:88) memberikan kesimpulan pengertian bahwa :

Implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang

termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh

pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses tersebut dilakukan

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat

kebijakan.

Sebuah implementasi kebijakan yang melibatkan banyak organisasi dan

tingkatan birokrasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Menurut Wahab (2005:63)

“implementasi kebijakan dapat dilihat dari sudut pandang (1) pembuat kebijakan, (2)

pejabat-pejabat pelaksana di lapangan,dan (3) sasaran kebijakan (target group)”.

Perhatian utama pembuat kebijakan menurut Wahab (2005:63) memfokuskan diri pada

“sejauh mana kebijakan tersebut telah tercapai dan apa alasan yang menyebabkan

keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut”. Dari sudut pandang implementor,

menurut Wahab (2005:64) implementasi akan terfokus pada“tindakan pejabat dan

instansi di lapangan untuk mencapai keberhasilan program”. Sementara dari sudut

pandang target groups, menurut Wahab (2005:64) implementasi akan lebih dipusatkan

pada “apakah implementasi kebijakan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya dan

berdampak positif panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka”.

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2014:148) berpendapat bahwa implementasi adalah

apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program,

kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output).

Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan

maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat

pemerintah. Implementasi juga mencakup tindakan-tindakan oleh berbagai aktor,

khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Lebih

jauh menurut Ripley dan Franklin, implementasi kebijakan mencakup banyak macam

kegiatan. Yaitu terdiri dari:

1. Badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan tanggungjawab

menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar

implementasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi personil, peralatan, lahan

tanah, bahan-bahan mentah dan uang .

Page 15: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

14

2. Badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-

arahan konkret, regulasi, serta rencana-rencana dan desain program.

3. Badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan mereka dengan

menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja.

4. Badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para

pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan pelayanan atau

pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan atau apapun lainnya yang bisa

dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu program.

Van Meter dan Van horn dalam Winarno (2014:149) membatasi implementasi

kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau

kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

Dari definisi-definisi di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan

menyangkut tiga hal:

a. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan.

b. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan.

c. Adanya hasil kegiatan.

Tahap-tahap dalam proses implementasi adalah sebagai berikut:

a) Output-output kebijakan (keputusan-keputusan) dari badan pelaksana

b) Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut

c) Dampak nyata keputusan-keputusan badan pelaksana

d) Persepsi terhadap dampak keputusan-keputusan tersebut

e) Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang, baik berupa perbaikan-perbaikan

mendasar (upaya untuk melaksanakan perbaikan) dalam muatan isinya.

Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan

merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksanaan kebijakan melakukan suatu

aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapat suatu hasil yang sesuai

dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

Perlu disadari bahwa dalam melaksanakan implementasi suatu kebijakan tidak

selalu berjalan mulus. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu

implementasi kebijakan. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor

yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna

penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi

kebijakan.

Page 16: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

15

3. Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan tentang adanya dua

pendekatan dalam rangka untuk memahami suatu implementasi kebijakan secara

sederhana, yakni pendekatan top down dan pendekatan bottom up Laster dan Stewart.

Agustino (2006:155) mengistilahkan pendekatan-pendekatan ini dengan sebutan the

command and the control approach (pendekatan control dan komando, yang mirip

dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar, yang mirip

dengan bottom up approach). Masing-masing kedua pendekatan tersebut memiliki

model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.

1. Pendekatan top-down

Dalam pendekatan top-down ini sebuah implementasi kebijakan dilakukan secara

tersentralisasi dan dimulai dari aktor tingkat pusat, serta keputusannya diambil pada

tingkat pusat, dimana pendekatan top-down ini bertitik tolak dari perspektif bahwa

keputusan-keputusan politik (kebijakan politik) yang telah ditetapkan oleh pembuat

kebijakan harus dilaksanakan administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada

tingkat bawahnya. Secara sederhana, inti dari pendekatan ini secara sederhana dapat

dimengerti sebagai sejauh mana tindakan para pelaksana (administrator dan birokrat)

sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat

kebijakan ditingkat pusat.

a. Pendekatan-pendekatan Prosedural dan manajerial (Procedural and Manajerial

Approach). Prosedurnya termasuk menyangkut penjadwalan (scheduling),

Perencanaan (Planning), dan Pengawasan (Control). Logikanya adalah sesudah

identifikasi masalah dan pemilihan kebijaksanaan yang dilihat dari sudut biaya

dan efektifitasnya paling memenuhi syarat, maka tahap implementasi itu akan

mencakup urutan sebagai berikut:

1. Merancang bangun (desain) program beserta peerincian tugas dan perumusan

tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi kerja, biaya dan waktu.

2. Melaksanakan program dengan mendayagunakan strukur-struktur dan

personalia, dana, sumber-sumber, prosedur-prosedur, dan metode-metode

yang tepat.

3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana pengawasan

yang tepat guna, menjamin bahwa tindakan-tindakan yang tepat dan benar

dapat segera dilaksanakan.

b. Pendekatan-pendekatan keperilakuan (Behavioral Approach)

Page 17: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

16

Penerapan analisis keperilakuan (behavioral analysis) yang paling terkenal

adalah:

1. Pengembangan Organisasi (Organizational Development)

Pengembangan organisasi adalah suatu proses untuk menimbulkan

perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui

penerapan-penerapan ilmu keperilakuan. Pengembangan organisasi adalah

lebih pada penganalisaan proses-proses pemecahan masalah, bukan hanya

sarana cara-cara tertentu atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

2. Management by Objectives (MBO)

MBO adalah suatu pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang

terdapat dalam pendekatan procedural/manajerial dengan unsur yang termuat

dalam analisis keperilakuan. MBO menjembatani antara tujuan-tujuan yang

telah dirumuskan secara spesifik dengan implementasinya.

3. Harus ada suatu sistem penilaian atas prestasi kerja (performance appraisal)

yang mencakup suatu kombinasi monitoring, kemampuan diri manajemen

dan pengawasan melekat, dan evaluasi bersama terhadap kemampuan-

kemampuan oleh tiap manajer dan atasan-atasan mereka.

c. Pendekatan-pendekatan Politik (Political Approach)

Keberhasilan sutau kebijaksanaan pada akhirnya akan tergantung pada kesediaan

dan kemampuan kelompok-kelompok yang dominan atau berpengaruh untuk

memaksakan kehendaknya. Apabila kelompok-kelompok yang dominan itu tidak

ada, implementasi kebijaksanaan yang dikehendaki mungkin hanya akan bisa

dicapai melalui suatu proses panjang yang bersifat inkramental dan saling

pengertian diantara yang terlibat (Partisan Mutual Adjusment).

2. Pendekatan Bottom-Up

Pendekatan bottom-up memandang bahwa implementasi kebijakan dirumuskan tidak

oleh lembaga yang tersentralisasi dari ppusat, tetapi pendekatan bottom-up

berpangkal dari keputusan-keputusan yang ditetapkan di level warga atau masyarakat

yang merasakan sendiri persoalan dan permasalahan yang mereka alami. Jadi pada

dasarnya pendekatan bottom-up adalah model implementasi kebijakan dimana

formulasi kebijakan berada di tingkat warga, sehingga mereka dapat lebih

memahami dan mampu menganalisis kebijakan-kebijakan apa yang cocok dengan

sumber daya yang tersedia di daerahnya, sistem sosio-kultur yang ada agar kebijakan

tersebut tidak kontraproduktif dan dapat menunjang keberhasilan kebijakan itu

sendiri.

Page 18: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

17

4. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik

1. Model Grindle

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Grindle

dalam Agustino (2006:167) dikenal dengan Implementation as A Political and

Administrative Process. Menurut Grindle ada dua variabel yang mempengaruhi

implementasi kebijakan publik, yakni bahwa keberhasilan implementasi suatu

kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu

tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih, dimana pengukuran keberhasilannya

dapat dilihat dari dua hal:

Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan

sesuain dengan apa yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi

kebijakannya.

Apakah tujuan kebijakan tercapai, yang mana dimensi ini diukur dengan dua faktor,

yaitu:

a. Efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok.

b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan

perubahan yang terjadi.

Keberhasilan sebuah implementasi publik juga menurut Grindle amat

ditentukan oleh tingkat implementasi kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content

of Policy dan Context of Policy:

1. Content of Policy (Isi Kebijakan)

a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)

b. Type of Benefits (tipe manfaat)

c. Extent of Change Envition (derajat perubahan yang ingin dicapai)

d. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)

e. Program Implementor (pelaksana program)

f. Resources Commited (sumber daya yang digunakan)

2. Context of Policy (lingkungan kebijakan)

a. Power, Interest and Strategy of Actor Involved (kekuasaan, kepentingan-

kepentingan dan srategi dari aktor yang terlibat)

b. Intuition and Regime Characteristic (karakteristik dan rezim yang berkuasa)

c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari

pelaksana)

Page 19: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

18

2. Model Edward III

Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C Edward

III. Menurut George Edward III dalam Winarno (2014:177) implementasi kebijakan

adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan

konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika

suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan

sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan

sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu

kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan

mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan

baik oleh para pelaksana kebijakan.

Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan

implementasi kebijakan antara lain yaitu faktor :

1. Komunikasi

2. Sumber-sumber

3. Kecenderungan-kecenderungan

4. Struktur birokrasi

Secara rinci faktor-faktor implementasi kebijakan model Edwards III

dijelaskan sebagai berikut:

1. Komunikasi

Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi

kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Menurut Edwards,

persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa

mereka melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan

kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu

dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus

dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Akan tetapi banyak hambatan-

hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan

hambatan-hambatan ini mungkin menghalangi pelaksanaan kebijakan.

Jika kebijakan-kebijakan ingin di implementasikan sebagaimana mestinya, maka

petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus dipahami, melainkan juga

petunjuk-petunjuk itu harus jelas. Jika petunjuk-petunjuk pelaksanaan itu tidak

jelas, maka para pelaksana (implementor) akan mengalami kebingungan tentang

apa yang harus mereka lakukan.

Page 20: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

19

a. Transmisi

Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah

transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia

harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk

pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang

langsung sebagaimana nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-

keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi

kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah-

perintah implementasi.

1. Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang

dikeluarkan oleh pengambil kebijakan.

2. Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi.

3. Pada akhirnya penangkapan komunikasi-komunikasi mungkin dihambat

oleh persepsi yang selektif dan ketidakmahuan para pelaksana untuk

mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.

b. Kejelasan

Faktor kedua yang dikemukakan Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-

kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-

petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana

kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.

c. Konsistensi

Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah

konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka

perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-

perintah yang disampai kepada para pelaksana kebijakan maka perintah

tersebut tidak akan memudahkan para pelaksanaan kebijakan menjalankan

tugasnya dengan baik.

2. Sumber-Sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan

konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan

untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi inipun cenderung

tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan faktor yang

penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting

meliputi:

Page 21: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

20

a. Staf

Ada satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai

efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf

yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Hal

ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai

pemerintah ataupun staf, namun disisi yang lain kekurangan staf juga akan

menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang

efektif.

Berdasarkan uraian diatas penulis menganalisis bahwa dengan memiliki jumlah

pelaksana atau staf yang memadai bukan berarti implementasi kebijakan dapat

dilaksanakan dengan baik. Artinya para pelaksana harus memiliki

keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan.

Dengan kurangnya personil yang terlatih dengan baik, juga akan dapat

menghambat dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan apalagi jika kekurangan

pelaksana atau staf maka akan semakin terhambatnya pelaksanaan kebijakan.

b. Wewenang

Winarno mengatakan, Sumber lain yang penting dalam pelaksanaan adalah

wewenang. Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program

yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda, seperti misalnya: hak

untuk mengeluarkan surat panggilan untuk datang ke pengadilan; mengajukan

masalah-masalah ke pengadilan; mengeluarkan perintah kepada para pejabat

lain; menarik dana dari suatu program; meyediakan dana atau memungut pajak.

Pemahaman terhadap wewenang barangkali akan menjadi lebih baik bila kita

mendiskusikan wewenang yang dikemukakan oleh Linblom. Linblom

menyatakan bahwa kewenangan dapat dipahami dengan sebaik-baiknya kalau

kita mengenal dua jalur dimana berbagai orang menggunakan metode kontrol.

Pada jalur pertama setiap kali bila seseorang ingin menggunakan berbagai

metode kontrol, ia menerapkan berbagai metode kontrol (antara lain persuasi,

ancaman, dan tawaran keuntungan) terhadap orang-orang yang akan

dikontrolnya. Pada jalur kedua pihak pengontrol hanya kadang-kadang saja

menggunakan metode-metode itu untuk membujuk orang-orang yang

dikontrolnya agar mentaati peraturan yang ada bahwa mereka harus tunduk

terhadapnya.

Page 22: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

21

c. Fasilitas

Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-sumber penting dalam

implementasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai,

mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai

wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor

untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, pembekalan, maka besar

kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.

Analisis penulis menyimpulkan bahwa, dengan memliki staf yang terampil

tetapi fasilitas penunjang tidak sesuai dengan apa yang dimiliki maka

kemungkinan besar implementasi kebijakan yang sudah direncanakan tidak

akan berjalan dengan baik jika dipaksakan untuk di implementasikan.

3. Kecenderungan-kecenderungan

` Kecenderungan-kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan

faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi

implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap

suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar

mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat

keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau

perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan,

maka proses pelaksanaan suatu kebijakan semakin menjadi sulit. Dalam beberapa

kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali

suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi lain. Hal ini berakibat pada semakin

sulitnya implementasi kebijakan, sebab intepretasi yang terlalu bebas terhadap

kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar

kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya.

Mengingat pentingnya kecenderungan-kecenderungan ini bagi implementasi

kebijakan yang efektif, maka perlu disini dibahas dampak dari kecenderungan-

kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara

keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak

sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka

memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Mereka tidak

hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga berada dalam organisasi-

organisasi swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan

Page 23: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

22

kadangkala suatu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu

kebijakan tertentu.

3. Model van Meter dan van Horn

Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan suatu implementasi Van Meter dan Van Horn dalam Winarno

(2012:158) juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi

keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

2. Sumber-sumber kebijakan

3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

4. Karakteristik badan-badan pelaksana

5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

6. Kecenderungan pelaksana (implementors).

Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Winarno dapat

dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu:

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

Ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan

kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah

direncanakan.

2. Sumberdaya

Sumber daya kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh

Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi

kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia,

biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142). Sumber- sumber

kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang

dibuat oleh pemerintah.

Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber

penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran

pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan

waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan,

karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu

merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan

kebijakan.

Keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi

pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi

Page 24: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

23

kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta

cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono

kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para

aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya,

pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7).

3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi

implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh

Wahab bahwa:

“Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan

mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur

administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang

lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan

Gunn dalam Wahab, 2004:77).

Berdasarkan teori diatas maka Semakin baik koordinasi komunikasi

diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi,

maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan

begitu pula sebaliknya.

4. Karakteristik badan-badan pelaksana

Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh karakteristik

para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma- norma, dan pola-

pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam

Subarsono, 2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan

tanggungjawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap

disiplin. Hal tersebut dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan

implementasi kebijakan, setiap badan/instansi pelaksana kebijakan harus

merasa memiliki terhadap tugasnya masing-masing berdasarkan rencana yang

telah ditetapkan sebelumnya.

5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

Dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan

menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh

mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik

yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi,

sosial, dan politik. Van Meter dan v a n Horn dalam Agustino (2006:144).

Page 25: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

24

Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang

menentukan keberhasilan suatu implementasi

6. Kecenderungan pelaksana (implementor)

Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2014:168) berpendapat bahwa setiap

komponen harus disaringi melalui persepsi-persepsi pelaksana dalam yurisdiksi

dimana keberhasilan tersebut dihasilkan.

4. Model Mazmanian

Model implementasi kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier.

Model implementasi kebijakan publik yang ditawarkan Mazmanian dan Sabatier,

dalam Wahab (2005:81) yang disebut A Framework for Policy Implementation

Analysis (kerangka analisis). Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran

penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuan dalam

mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan

formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud

dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori besar yaitu:

1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, yang meliputi:

a. Kesukaran-kesukaran teknis

b. Keberagaman perilaku yang diatur

c. Persentase kelompok sasaran dibandingkan jumlah penduduk

d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat, meliputi:

a. Kejelasan dan konsistensi tujuan

b. Digunakannya teori kausalitas yang memadai

c. Ketetapan alokasi sumber dana

d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau

instansi-instansi pelaksana

e. Aturan-aturan pembuat keputusan dan badan pelaksana

f. Rekrutmen pejabat pelaksana

g. Akses formal pihak luar

3. Variabel-variabel di luar Undang-Undang yang mempengaruhi implementasi

kebijakan.

a. Kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi

b. Dukungan politik

c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat

d. Dukungan dari pejabat atasan

Page 26: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

25

e. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana

5. Model Hogwood dan Gunn

Model implementasi yang dikembangkan oleh Hogwood dan Gunn dalam

Wahab (2005:71). Menurut Hogwood dan Gunn untuk dapat mengimplementasikan

kebijakan negara secara sempurna (perfect implementation, maka diperlukan

beberapa persyaratan tertentu. Syarat itu adalah sebagai berikut:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan

menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

2. Untuk pelaksana program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup

memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang andal.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnya.

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna

5. Pengertian Pajak

Pengertian pajak menurut beberapa para ahli dengan pengertian yang berbeda

mengenai pajak, yaitu:

Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2006:1), pajak adalah iuran

rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan

tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang

digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:

1. Iuran dari rakyat kepada Negara

Berarti yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang

bukan barang.

2. Berdasarkan Undang-Undang

Berarti pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta

aturan pelaksanaannya

Page 27: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

26

3. Tanpa jasa atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk.

Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual

oleh pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran

yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas

negara yang dapat dipaksakan yang terhutang oleh yang wajib membayarnya

menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung

dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengaluaran

umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak

Berdasarkan Azas Gotong Royong“, Universitas Padjajaran, Bandung, 1964, pajak

adalah iuran wajib, berupa uang/barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan

norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif

dalam mencapai kesejahteraan umum.

Latar belakang yuridis pemungutan pajak di Indonesia adalah berdasarkan

kepada amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23a yang menyatakan

bahwa segala pajak untuk negara berdasarkan Undang-Undang.

Di Indonesia, dewasa ini dikenal berbagai jenis pajak dan diberlakukan

meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Banyak ahli pajak yang

memberikan/membuat pembagian pajak, yang memiliki perbedaan antara satu ahli

dengan ahli lainnya. Pembagian pajak yang berbeda tersebut di kaitkan dengan

sudut pandang masing-masing ahli terhadap pajak tersebut. Salah satu pembagian

yang umumnya dilakukan adalah berdasarkan lembaga pemungut pajak.

Ditinjau dari lembaga pemungutnya, pajak dibedakan menjadi dua, yaitu

pajak pusat (disebut juga pajak negara) dan pajak daerah. Pembagian jenis pajak ini di

Indonesia terkait dengan hierarki pemerintahan yang berwenang menjalankan

pemerintahan dan memungut sumber pendapatan negara, khususnya pada masa

otonomi daerah dewasa ini. Secara garis besar, hi erarki pemerintahan di

Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kemudian, pemerintah daerah dibagi lagi menjadi dua, yaitu pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, pembagian jenis pajak menurut

lembaga pemungutnya di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu pajak pusat dan pajak

daerah (yang terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota).

Page 28: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

27

6. Pajak Daerah

Masalah pajak adalah masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam suatu

negara berurusan dengan pajak sehingga masalah pajak juga menjadi masalah

keseluruhan rakyat negara tersebut. Dengan demikian setiap orang sebagai anggota

masyarakat suatu negara harus mengetahui segala permasalahan yang berhubungan

dengan pajak, baik mengenai asas-asasnya, jenis-jenis pajak yang berlaku, tata cara

pembayaran pajak serta hak dan kewajiban sebagai wajib pajak.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dan UU Tahun 2008 Tentang Otonomi Daerah (Bab VIII pasal 157) , dan

mengalami perubahan yang sekarang menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009,

Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan daerah agar daerah dapat melaksanakan

otonominya yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, disamping

penerimaan yang berasal dari pemerintah berupa subsidi/ bantuan, bagi hasil pajak dan

bukan pajak. Sumber pendapatan daerah tersebut dapat diharapkan menjadi sumber

pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, dan juga

kegiatan kemasyarakatan didaerah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan

rakyat.

Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-

Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengertian

pajak yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang No. 2 Tahun 2011

tentang Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang No. 8 Tahun 2012

Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah

adalah sebagai berikut: Pajak Daerah, selanjutnya disebut Pajak, adalah Kontribusi

wajib kepada Daerah yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat

memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Dengan demikian, pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah dengan peraturan daerah (Perda), yang wewenang

pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk

membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan di daerah. Karena pemerintah daerah di Indonesia

terbagi menjadi dua, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yang

Page 29: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

28

diberi kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah, pajak daerah di Indonesia

dewasa ini juga dibagi menjadi dua, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

Beberapa pengertian atau istilah yang terkait dengan Pajak Daerah antara

lain :

1. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada

Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pemungutan pajak kabupaten/kota lainnya tersebut ditetapkan dengan

peraturan daerah sepanjang memenuhi kriteria di bawah ini.

1. Bersifat pajak dan bukan retribusi. Maksudnya adalah pajak yang ditetapkan

harus sesuai dengan pengertian yang ditentukan dalam definisi pajak daerah.

2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani

masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum,

maksudnya adalah bahwa pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan

bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan

memerhatikan aspek ketentraman, kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya,

pertahanan, dan keamanan.

4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan atau objek pajak pusat.

5. Potensinya memadai. Maksudnya adalah bahwa hasil pajak cukup besar

sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya,

diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.

6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, maksudnya adalah bahwa

pajak tersebut tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi efisien

dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antardaerah maupun kegiatan

ekspor impor.

7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Kriteria aspek

keadilan, antara lain objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi

Page 30: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

29

pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak yang

bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan dengan memerhatikan keadaan wajib pajak.

Selanjutnya, kriteria kemampuan masyarakat adalah kemampuan subjek pajak untuk

memikul tambahan beban pajak.

8. Menjaga kelestarian lingkungan maksudnya adalah bahwa pajak harus bersifat

netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan

peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan

yang akan menjadi beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat.

Sistem pemungutan pajak daerah. Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Indonesia dengan jelas menentukan bahwa

sistem perpajakan Indonesia adalah sistem Self Assessment. Hal ini telah diberlakukan

sejak reformasi perpajakan di Indonesia tahun 1983. Penetapan sistem Self

Assessment juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Karena

karateristik setiap jenis pajak daerah tidak sama, sistem ini tidak dapat diberlakukan

untuk semua jenis pajak daerah.

Adapun sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan pembangunan dan

penyelenggaraan pemerintahan juga kegiatan kemasyarakatan terdiri dari Pendapatan

Asli Daerah dan lain-lain yang sah. Pajak sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli

Daerah sangat diharapkan mendukung pelaksanaan otonomi daerah.

Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah Perlu dan harus

menyusun dan menata kembali Peraturan-Peraturan Daerah (perda) yang sesuai dengan

jiwa Undang-Undang tersebut dengan melihat situasi dan kondisi didaerah. Sedangkan

untuk memperjelas mengenai Pajak Daerah yang merupakan salah satu komponen paling

penting dalam memberikan kontribusi yang besar bagi PAD dikemukakan sebagai

berikut :

Jenis-jenis Pajak Daerah

a. Pajak Daerah Propinsi

1. Pajak Kendaran Bermotor

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4. Pajak Air Permukaan

5. Pajak Rokok

Page 31: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

30

b. Pajak Daerah Kabupaten/Kota

1. Pajak Hotel

2. Pajak Restoran

3. Pajak Hiburan

4. Pajak Reklame

5. Pajak Penerangan Jalan

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

7. Pajak Parkir

8. Pajak Air Tanah

9. Pajak Sarang Burung Walet

10. PBB Perkotaan dan Pedesaan

11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Teori-teori yang mendukung mengenai pajak daerah menurut Nick Devas

(1999:63) antara lain adalah teori yang menyatakan bahwa 3 (tiga) tujuan pokok yang

hendak dicapai dalam sistem pajak daerah yaitu sebagai berikut:

1. Menyederhanakan sistem pajak daerah untuk mewujudkan sistem pajak yang lebih

adil.

2. Menaikkan penerimaan pajak daerah, agar daerah tidak terlalu tergantung pada

bantuan dari pemerintah pusat dengan berusaha menggali potensi sumber-sumber

pajak dan daerah yang baru.

3. Wewenang pemerintah daerah yang sangat luas menetapkan tarif pada daerah agar

penerimaan dari hasil pajak lebih meningkat.

Adapun teori mengenai tolak ukur dalam menilai pajak daerah ada 5 (lima)

yaitu:

1. Hasil (Yield) dari suatu pajak daerah, apakah sudah memadai hasilnya, dalam

kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya juga dari perbandinagan hasil

pajak dengan biaya pungut yang dikeluarkan.

2. Keadilan (Equity) dalam arti harus benar beban dari tarif pajak dan kewajiban

membayar harus jelas dan adil.

3. Memiliki daya guna ekonomi (Economic Efficiency) pajak yang hendaknya bisa

mendorong penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan

ekonomi.

4. Kemampuan dalam melaksanakan suatu pajak (Ability to Implement) dimaksudkan

bahwa pajak haruslah dapat dilaksanakan dari sudut kemauan politik dan kemauan

tata usaha.

Page 32: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

31

5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah dalam mengumpulkan dana

(Suitability as a Loacal Revenue Source) yang berarti harus jelas kepada daerah

mana suatu pajak harus dibayarkan dan tempat memungut pajak harus sama dengan

tempat akhir beban pajak.

7. Pengertian Restoran

Ada beberapa definisi mengenai pengertian restoran menurut beberapa ahli yaitu :

Restoran Menurut Marsum

“suatu tempat atau bangunan yang diorganisasi secara komersial, yang

menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua tamunya baik berupa

makan maupun minum”.

Restoran Menurut Ir. Endar Sugiarto, MM & Sri Sulartiningrum, SE,

“Restoran adalah suatu tempat yang identik dengan jajaran meja -meja yang

tersusun rapi, dengan kehadiran orang, timbulnya aroma semerbak dari dapur

dan pelayanan para pramusaji, berdentingnya bunyi-bunyian kecil karena

persentuhan gelas-gelas kaca, porselin, menyebabkan suasana hidup di

dalamnya”

8. Pajak Restoran Daerah Kota Tanjungpinang

Pengertian pajak restoran menurut Peraturan Walikota Nomor 62 Tahun 2012:

Pajak restoran adalah pajak atas setiap pelayanan yang disediakan restoran.

Sedangkan restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman

dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kedai kopi,

kafetaria, kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan sejenisnya.

Adapun objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yaitu

penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi

di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Tidak termasuk objek pajak restoran adalah

pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai jualnya tidak melebihi Rp

6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu rupiah) per bulan. Sedangkan subjek pajak

restoran adalah orang pribadi/badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari

restoran.

Dengan kata lain, jika suatu restoran mencakup juga rumah makan, kedai kopi,

kafetaria, kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan sejenisnya. Memiliki

omset Rp 6.500.000,00 atau lebih maka usaha tersebut wajib dikenakan pajak restoran.

Wajib Pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan

restoran. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau

yang seharusnya diterima restoran.

Page 33: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

32

Dasar tarif pengenaan pajak restoran berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, yaitu:

1. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang

seharusnya diterima restoran.

2. Tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)

3. Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara

mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

9. Sistem Self Assessment

Sistem Self Assessment adalah sistem pengenaan dimana wajib pajak diberi

kepercayaan untuk melaporkan sekaligus menghitung, memperhitungkan dan

menetapkan besarnya pajak yang terutang dan dibayar dalam tahun pajak yang

bersangkutan.

Menurut Mardiasmo (2006:7) self assessment system adalah suatu sistem

pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menetukan

sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirnya:

1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak

sendiri,

2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak

yang terutang,

3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawas

J. Hambatan Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2006:8) hambatan terhadap pemungutan pajak dapat

dikelompokkan menjadi:

1. Perlawanan Pasif

Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:

a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat

b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat

c. Sistem control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik

2. Perlawanan aktif

Bentuknya antara lain:

a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-

undang

b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-

undang (menggelapkan pajak).

Page 34: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

33

C. ANALISA DATA

1. Deskripsi Data

Deskripsi data merupakan penjelasan mengenai data yang telah didapatkan

dari hasil penelitian lapangan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori model

implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn karena model implementasi

kebijakan ini ikut mempertimbangkan faktor eksternal yaitu variabel lingkungan. Hal ini

relevan dengan penelitian dalam skripsi ini karena melibatkan wajib pajak dan legislator.

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:158) variabel-variabel

yang mempengaruhi suatu implementasi yaitu:

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan

2. Sumber-sumber kebijakan

3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

4. Karakteristik badan-badan pelaksana

5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

6. Kecenderungan pelaksana (implementors)

Mengingat bahwa jenis dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian kualitatif, maka data yang diperoleh bersifat deskriptif berbentuk kata

dan kalimat hasil wawancara, hasil observasi lapangan serta data hasil dokumentasi

lainnya.

Dengan menggunakan teknik analisa data secara kualitatif dengan menggunakan

konsep implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn, maka data-data tersebut

akan dianalisis selama proses penelitian berlangsung. Data yang diperoleh dari hasil

penelitian lapangan melalui wawancara, dokumentasi, maupun observasi dilakukan

reduksi untuk dapat mencari tema dan polanya yang diberikan kode-kode pada aspek

tertentu berdasarkan jawaban yang sama dan berkaitan dengan pembahasan masalah

penelitian. Agar mempermudah dalam pembahasan dilakukan kategorisasi dalam

penyusunan jawaban penelitian dengan memberikan kode pada daftar informan dan

urutan pertanyaan yang diajukan saat wawancara yaitu:

1. Kode P1, P2, P3, …., menandakan daftar urutan pertanyaan

2. Kode I1, I2, …, I11 menandakan daftar urutan informan

Setelah peneliti memberikan kode pada kedua aspek di atas maka dilakukan

kategorisasi berdasarkan jawaban-jawaban yang ditemukan dari penelitian lapangan

untuk selanjutnya dibahas dan ditelaah dengan menggunakan konsep Van Meter dan

Van Horn. Semua jawaban yang diberikan oleh informan tidak akan digeneralisasikan

Page 35: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

34

tetapi hanya sebagai data penunjang untuk memperkuat pembahasan penelitian ini

berdasarkan konsep implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn.

2. Pembahasan Hasil Penelitian

Pajak restoran merupakan pajak atas setiap pelayanan yang disediakan restoran.

Restoran yang dimaksud disini adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman

dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kedai kopi, kafetaria,

kantin, warung, bar, termasuk jasa boga/catering dan sejenisnya. Kebijakan yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang tentang pelaksanaan pajak restoran dan

petunjuk pelaksanaannya dimaksudkan dalam rangka menciptakan kepastian hukum guna

ikut membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah, meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat dan kemandirian daerah.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai implementasi kebijakan

pelaksanaan pajak restoran di Kota Tanjungpinang penulis menggunakan teori model

implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn. Teori ini terdiri dari enam

variabel yang mebentuk kaitan antara kebijakan dan kinerja dimana setiap variabel terdiri

dari beberapa indikator yang diwakili oleh pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya

melalui wawancara kepada beberapa informan yang berkaitan langsung dengan

permasalahan ini dan berdasarkan hasil observasi langsung yang penulis lakukan selama

penelitian.

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan

a. Tercapainya target yang ditetapkan

Menurut P1 I1 (lampiran I), keberhasilan tujuan kebijakan adalah:

“Tingkat keberhasilan pajak restoran selama ini diukur dari setoran yang

diperoleh setiap tahunnya yang selalu melebihi target yang dicanangkan.

Pajak restoran merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang

cukup signifikan dalam kontribusi dari sektor pajak daerah.”

(wawancara dengan Kepala DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)

Menurut analisa penulis mengenai indikator ini, tujuan kebijakan dianggap

berhasil oleh DPPKAD salah satunya mengacu pada target yang diperoleh setiap

tahun walaupun sebenarnya masih ada beberapa program yang belum berjalan

optimal. Padahal jika realisasi wajib pajak benar-benar sudah sesuai dengan potensi

yang ada maka target yang dicanangkan oleh DPPKAD seharusnya dapat melebihi

yang selama ini ditetapkan disesuaikan dengan potensi yang ada.

Selama ini realisasi penerimaan selalu di atas target yang ditetapkan dari

tahun ke tahun. Sekilas kondisi ini menunjukkan semuanya telah berjalan dengan baik

Page 36: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

35

karena tujuan akhir telah tercapai. Tetapi disini penulis melihat ada yang kurang tepat

dari DPPKAD dalam menetapkan target yang realistis. Target untuk tahun depan

dipatok hanya berdasarkan dari perolehan pajak restoran pada tahun yang sedang

berjalan. Keadaan ini kurang memacu perolehan pajak yang seharusnya dapat sesuai

dengan potensi. Jika target juga mempertimbangkan potensi maka akan ada usaha

agar potensi ini segera terwujud menjadi realisasi jumlah wajib pajak. Dengan kata

lain bahwa target penerimaan pajak hotel dan restoran ”under estimate”, atau terdapat

indikasi bahwa target tersebut dibuat agar mudah dicapai jika dilihat dari penetapan

target tahunannya. b. Realisasi sesuai dengan potensi yang sebenarnya

Berkaitan dengan hal ini, menurut P2 I2 (Lampiran I):

“Realisasi pajak restoran di Kota Tanjungpinang masih belum sesuai dengan

potensi yang ada. Belum semua restoran, kedai kopi, kafe, bakery, catering,

dan sejenisnya sudah terdata sebagai wajib pajak. Bahkan dari wajib pajak

yang terdata hanya 60% yang melakukan pemungutan. Sementara itu,

permasalahan lain yang belum dapat dipungut pajak restoran yang berkenaan

dengan usaha yang bersifat non permanen seperti warung tenda dan usaha

yang berada di fasilitas publik disebabkan belum adanya legalitas atas izin

kegiatan yang dilakukan.”

(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD, M. Nazri, 5 Juli 2014)

Menurut analisa dan hasil observasi penulis belum ada tolak ukur penilaian

yang jelas di DPPKAD dalam memperhitungkan potensi pajak restoran kota

Tanjungpinang. Hanya dilihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar dibandingkan

dengan usaha yang belum mendaftar, dan dilihat dari jumlah wajib pajak terdaftar

yang belum menyetor maka dapat disimpulkan saat ini realisasi memang belum sesuai

dengan potensi yang ada.

c. Penerimaan tarif sebesar 10%

Berkenaan dengan hal ini, menurut P3I1 (Lampiran I):

“Memang masih ada masalah dalam hal mengoptimalkan penerimaan tarif

10% ini karena pengenaan tarif ini masih belum diterima dengan alasan

pertimbangan jika diterapkan akan membebani konsumen terutama pada

usaha-usaha rumah makan skala menengah kebawah dan kedai kopi serta

kegiatan usaha yang sejenis. Kami sudah mengusulkan penyesuaian tarif

melalui revisi Perda Pajak untuk tahun ini tapi sebelum hal itu diputuskan

kami tetap menjalankan ketentuan yang ada.”

Page 37: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

36

(wawancara dengan Kepala DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)

Terkait hal ini, menurut P2 I10 (Lampiran 2) bahwa:

“Saya tidak setuju dengan tarif sebesar 10% makanya saya belum melakukan

pemungutan. Jika harga saya naikkan konsumen pasti akan berkurang.

Selama ini jualan saya laris karena selain rasanya enak adalah harganya

yang murah disbanding bakso yang lain.”

(wawancara dengan pemilik restoran Bakso Gunung, 11 Juli 2014)

Memperkuat penolakan ini, menurut P2 I10 (Lampiran 2) bahwa:

“Konsumen komplain karena pembelian mereka dikenakan pajak restoran 10%.

Bahkan ada yang menyarankan harga roti langsung termasuk pajak saja, tidak

usah dihitung terpisah. Padahal kami melakukan ini agar mempermudah sistem

perhitungan.”

(wawancara dengan kasir restoran D’Flavours, 11 Juli 2014)

Menurut P2 I10 (Lampiran 2) bahwa:

“Awalnya saya tidak mau menaikkan harga yang sudah ada pajak di dalamnya

karena tidak mau dianggap pemahal. Saya mencoba untuk menghitung secara

terpisah antara harga beli konsumen dengan tarif pajak. Akibatnya saya pernah

bertengkar dengan konsumen karena mencoba memungut pajak darinya. Secara

pribadi saya tidak keberatan mau tarif 10%, 15%, bahkan 30% jika konsumennya

juga tidak keberatan membayar. Intinya kan pada konsumen mau membayar atau

tidak.”

(wawancara dengan pemilik rumah makan Siantanur, Joko Margono, 11 Juli

2014)

Menurut analisa penulis, salah satu cara agar realisasi dapat sesuai dengan

potensi yang ada adalah dengan penyesuaian tarif. Perlu ada pengklusteran tarif sesuai

dengan skala usaha. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi Perda Pajak seperti yang

telah dijanjikan diawal tahun oleh Pemko Tanjungpinang dan DPRD Kota

Tanjungpinang. Namun sampai saat ini sudah lebih dari pertengahan tahun dan

bahkan sebentar lagi akan ada pelantikan anggota DPRD baru hal ini belum terwujud.

d. Self assessment berjalan dengan lancar

Terkait dengan hal ini, P4 I4 (lampiran I )menyatakan bahwa:

“Pelaksanaan self assessment sebagian sudah berjalan dengan lancar

khususnya untuk usaha skala menengah ke atas. Namun untuk skala kecil

dirasa menyulitkan wajib pajak dalam menghitung besarnya pajak sesuai

Page 38: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

37

dengan omset yang diperoleh terutama berkaitan dengan nilai penjualan yang

diperoleh setiap bulannya yang tidak melebihi Rp 6.500.000,- ke atas

berdasarkan Perda No.8 Tahun 2012.”

(wawancara dengan Kasi Perhitungan dan Penetapan, 5 Juli 2014 )

Terkait dengan hal ini, penulis mewancarai salah satu wajib pajak dan

mendapatkan informasi, menurut P3 I10 (Lampiran 2) adalah:

“Usaha rumah makan saya sudah terdaftar menjadi wajib pajak sejak bulan

Februari 2014. Selama 4 bulan menjadi wajib pajak saya belum melakukan

self assessment melainkan hanya menyetor Rp 650.000,- per bulan sesuai

dengan omset minimal Rp 6.500.000,- perbulan.”

(wawancara dengan pemilik rumah makan Siantanur, Joko Margono, 11 Juli

2014)

Self assessment belum berjalan sepenuhnya karena kekurang pahaman

pemilik usaha. Perlu terus dilakukan sosialisasi agar sasaran yang diinginkan dapat

terwujud. Setelah Perwako No. 62 Tahun 2012 dikeluarkan praktis baru tiga kali

dilaksanakan sosialisasi yaitu pada tahun 2013. Kurangnya sosialisasi tentu sangat

berpengaruh terhadap kesediaan wajib pajak untuk melaksanakan sistem perhitungan

self assessment khususnya usaha menengah ke bawah karena dianggap merepotkan.

Sehingga ada pemilik usaha yang hanya memperkirakan berapa jumlah yang harus

mereka setorkan tanpa menggunakan sistem perhitungan yang seharusnya.

Selain itu, mekanisme perhitungan self assessment benar-benar

mengandalkan kejujuran dari wajib pajak. Kabid Pendapatan DPPKAD Kota

Tanjungpinang menyampaikan bahwa sudah ada mekanisme kontrol terhadap sistem

perhitungan ini jika wajib pajak dicurigai member keterangan palsu tentang omsetnya

yaitu penungguan, verifikasi, surat teguran pajak kurang bayar, dan penindakan

berupa penyitaan. Untuk penindakan berupa penyitaan masih belum dilakukan.

e. Ketaatan Wajib Pajak

Mengenai hal ini, menurut P5 I5 (lampiran I) bahwa:

“Belum seluruhnya bersikap kooperatif namun kami berusaha dengan

pendekatan persuasif untuk terus mengingatkan mereka agar taat dengan

ketentuan yang ada. Sejauh ini memang masih banyak yang belum menyetor

tepat waktu namun tetap menyetor walaupun terlambat. Sanksi atas

keterlambatan adalah denda sebesar 2% dan itu sudah diterapkan.”

(wawancara dengan Kasi Penagihan, Pembukuan, dan Pemeriksaan, 5 Juli

2014 )

Page 39: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

38

Terkait hal ini, menurut P5 I2 (lampiran I) bahwa:

“Sanksi atas penunggakan sejauh ini masih surat peringatan. Mekanisme

yang seharusnya adalah jika setelah 3 kali surat peringatan dilayangkan tetap

tidak diindahkan maka seksi penagihan berhak melakukan penyitaan. Namun

hal ini belum dapat dijalankan karena kami masih mengedepankan

pendekatan persuasif. Selain itu perangkat PPNS (juru sita) belum dimiliki

Pemko Tanjungpinang.”

(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M.

Nazri, 5 Juli 2014)

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Pajak Daerah BAB XV mengenai pembayaran dan penagihan pajak Pasal 95

bahwa apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka

waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Pejabat yang ditunjuk

segera menertibkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Namun hal ini belum

bisa dilaksanakan karena Pemko Tanjungpinang belum memiliki perangkat Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau juru sita. Sehingga yang terjadi selama ini surat

peringatan saja tidak menimbulkan efek jera bagi penunggak pajak.

Menurut analisa penulis berdasarkan keenam indikator dari variabel ukuran

dasar dan tujuan kebijakan pada dasarnya sudah diusahakan untuk dilaksanakan oleh

implementor. Namun sebenarnya tidak dapat dipungkiri masih banyak detil aturan

yang belum terlaksana akibat rendahnya kesadaran masyarakat akan pajak. Sehingga

yang penting tujuan berhasil dilaksanakan dan target telah tercapai yang bermuara

pada kontribusi pajak restoran pada PAD walaupun sebenarnya jika Peraturan Daerah

Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Peraturann

Walikota No 62 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Restoran benar-

benar dilaksanakan secara teknis maka tujuan kebijakan akan tercapai dengan lebih

sempurna.

2. Sumber-sumber kebijakan

Disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, yang perlu

mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber-sumber

yang tersedia. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang

keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana

atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi

yang efektif. Dalam praktik implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para

pejabat maupun pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana

untuk membiayai program-program yang telah direncanakan. Dengan demikian,

Page 40: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

39

dalam beberapa kasus besar kecilnya dana akan menjadi faktor yang menentukan

keberhasilan implementasi kebijakan.

a. Sumber daya

Mengenai hal ini, menurut P6 I1 (Lampiran I) :

“Menurut saya Bidang Pendapatan serta jajaran staf yang ada di dalamnya

sudah sangat siap untuk melaksanakan kebijakan ini. Jumlah staf sudah cukup

memadai. Memang belum semua sarjana tetapi diklat-diklat untuk sertifikasi

sudah dilaksanakan untuk memperdalam pengetahuan dan mempersiapkan

diri mereka. Sejauh ini mereka sudah bekerja dengan baik sesuai dengan

tupoksi masing-masing.”

(wawancara dengan Kepala Dinas DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)

Berkaitan dengan hal ini, menurut P6 I2 (Lampiran I) bahwa:

“Kami mencoba untuk mengoptimalisasi sumber daya yang sudah ada melalui

diklat-diklat untuk sertifikasi. Baru-baru ini kami sudah mengirimkan dua

orang staf untuk memperoleh sertifikat verifikasi. Namun kami memang masih

belum memiliki juru sita dan hal ini sedang diusahakan. Selain itu petugas

lapangan memang masih kurang.”

(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M.

Nazri, 5 Juli 2014)

b. Sumber dana

Mengenai hal ini diungkapkan oleh P8 I1 (Lampiran I) bahwa:

“Ada insentif untuk pegawai-pegawai yang melaksanakan pemungutan.

Semakin besar perolehan atas setoran wajib pajak yang didapat maka emakin

besar pula insentif untuk bidang pendapatan.”

(wawancara dengan Kepala DPPKAD, Darmanto, 6 Juli 2014)

Berkaitan dengan hal ini, menurut P7 I2 (Lampiran I) bahwa:

“Sumber dana yang tersedia untuk kegiatan ini sudah sangat memadai.

Fasilitas-fasilitas penunjang yang ada seperti mobil dinas sudah sangat

cukup.”

(wawancara dengan Kepala Bidang Pendapatan DPPKAD, M. Nazri, 5 Juli

2014)

Page 41: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

40

Menurut analisa jawaban disesuaikan dengan observasi yang penulis lakukan

maka untuk variabel yang kedua mengenai sumber-sumber kebijakan untuk sumber

daya manusia belum memuaskan namun dari segi sumber dana sudah sangat baik.

Jumlah staf memang sudah cukup memadai dengan jumlah 20 orang. Namun dari segi

pendidikan hanya 7 orang S1 dan 1 orang S2 selebihnya D3 dan SMA bahkan ada

yang SMP. Selain itu masih ada kekurangan tenaga yaitu petugas lapangan dan yang

belum dimiliki yaitu juru sita.

Untuk sebuah bidang kerja sebagai ujung tombak Pemko Tanjungpinang

dalam mengumpulkan Pendapatan Asli Daerah kondisi ini masih belum bisa

dikatakan mumpuni. Salah satu isu strategis DPPKAD adalah kualitas sumber daya

pengelolaan keuangan daerah yang masih lemah. Sekarang tinggal bagaimana agar

mereka mau untuk terus meningkatkan performa kinerja untuk meningkatkan kualitas

agar kebijakan berjalan benar-benar sebagaimana mestinya.

Sesuai dengan Perda No 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah pada BAB XXI

tentang insentif pemungutan dikatakan bahwa instansi yang melaksanakan

pemungutan pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.

Ketersediaan anggaran untuk pelaksanaan kebijakan ini memang sudah sangat baik.

Selain itu fasilitas yang tersedia sudah memadai dengan ruang kerja yang sudah

dilengkapi dengan peralatan yang dibutuhkan. Baru-baru ini DPPKAD menambah 5

unit mobil dinas yang salah satunya diperuntukkan untuk bidang pendapatan.

3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dipahami

oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam kinerja kebijakan. Prospek

implementasi Perda No 2 Tahun 2011 yang efektif ditentukan oleh ketepatan dan

konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran dan tujuan kebijakan.

a. Komunikasi Eksternal

Menurut analisa penulis berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara

yang penulis lakukan komunikasi eksternal dirasakan belum optimal. Para petugas

masih belum optimal dalam mengkomunikasikan kepada para wajib pajak

mengenai pentingnya membayar pajak tepat pada waktunya sehingga masih selalu

terjadi penunggakan terhadap pembayaran pajak sebesar 40% dari seluruh wajib

pajak yang terdaftar.

Salah satu penyebab dari rendahnya kesadaran pajak masyarakat, sistem

self assessment yang belum berjalan lancar, dan waktu penyetoran yang tidak

tepat waktu adalah sosialisasi yang dirasakan masih kurang. Sudah 3 tahun sejak

Page 42: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

41

diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan

2 tahun dikeluarkannya Peraturan Walikota Nomor 62 tahun 2012 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pajak Restoran praktis baru tiga kali kegiatan sosialisasi

pada wajib pajak dilaksanakan. Idealnya kegiatan seperti ini harus dilaksanakan

minimal dua kali dalam setahun sekaligus sebagai sarana evaluasi implementasi

yang selama ini dilaksanakan.

Terkait dengan hal ini, menurut P9 I2 (Lampiran I), menyatakan:

“Kami memang baru tiga kali melaksanakan sosialisasi dan ini memang

masih sangat kurang. Kami akan mencari kesempatan lagi untuk melakukan

sosialisasi kembali pada wajib pajak. Ini memang salah satu proram kami

yang masih terus tertunda pelaksanaannya. Selain itu permasalahan yang ada,

tidak semua wajib pajak mau ikut kegiatan ini. Makanya kami mencari

alternatif lain yaitu dengan membuka contact person, sms center, dan kotak

saran.”

(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M.

Nazri, S.Sos, 5 Juli 2014)

Salah satu staf juga menyatakan, menurut P10 I8 (Lampiran I):

“Selama ini wajib pajak masih banyak yang belum bersikap kooperatif.

Komunikasi yang terjadi tidak terlalu efektif mungkin disebabkan sosialisasi

yang masih kurang.”

(wawancara dengan Staf Seksi Penagihan, Pembukuan, dan Pemeriksaan, 5

Juli 2014)

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penulis menganalisis bahwa

komunikasi dan koordinasi belum terjalin baik dengan para wajib pajak padahal

komunikasi merupakan hal sangat penting antara petugas penagihan pajak dengan

para wajib pajak, dikarenakan sangat berpengaruh terhadap kelancaran dalam

pembayaran pajak.

Hal penting lainnya adalah komunikasi dan koordinasi antar DPPKAD dan

BP2T yang masih dirasakan kurang terkait pengawasan. BP2T tidak selalu

melaporkan SITU baru ke DPPKAD sehingga DPPKAD kesulitan untuk mendata

wajib pajak baru.

b. Komunikasi internal

Page 43: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

42

Bidang pendapatan DPPKAD terdiri dari tiga seksi yaitu seksi pendataan dan

pendaftaran, seksi perhitungan dan penetapan, serta seksi penagihan, pembukuan, dan

pemeriksaan. Terkait koordinasi ketiga seksi ini terlihat sudah efektif. Secara internal

komunikasi yang terjalin antara atasan dan bawahan sudah baik.

Berkaitan dengan hal ini, menurut P11 I2 (Lampiran I) bahwa:

“Untuk internal kami sama sekali tidak ada masalah. Umumnya staf sudah

paham dengan tupoksi masing-masing dan mengerti tentang apa yang diinginkan

oleh atasannya dan yang harus dilakukan. Ketiga seksi yang berada di bawah

bidang pendapatan terjalin komunikasi dan koordinasi yang efektif.”

(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M. Nazri,

5 Juli 2014)

4. Karakteristik badan-badan pelaksana

Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, seperti dinyatakan oleh

Van Meter dan Van Horn, maka pembahasan ini tidak bisa lepas dari struktur

birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-

norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan

eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang

mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.

Dari hasil analisa dokumen yang penulis lakukan permasalahan ada pada

salah satu unsur dari enam unsur yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn

yaitu sumber-sumber politik suatu organisasi yaitu dukungan diantar anggota-anggota

legislatif. Sempat beredar kabar bahwa dewan menunda implementasi tarif pajak

restoran sebesar 10% yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pajak Daerah.

Terkait hal ini, menurut P12 I1 (Lampiran I) bahwa:

“Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 adalah dasar hukum kami memungut

pajak restoran. Yang namanya Peraturan Daerah tentu sudah disetujui dewan.”

(wawancara dengan Kepala DPPKAD Kota Tanjungpinang, Darmanto, 6 Juli

2014)

Masih mengenai hal ini, menurut P12 I2 (Lampiran I) bahwa:

“Kami bekerja berdasarkan Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota yang

tentunya sebagai payung hukum implementasi kebijakan ini. Tidak mungkin kami

laksanakan jika belum disahkan. Kalau memang ada keberatan bisa kita kaji

kembali sesuai mekanisme yang seharusnya.”

Page 44: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

43

(wawancara dengan Kabid Pendapatan DPPKAD Kota Tanjungpinang, M. Nazri,

5 Juli 2014)

Menurut analisa penulis, penundaan tidak mungkin dilakukan karena

peraturan daerah yang sudah disahkan oleh DPRD Kota Tanjungpinang adalah dasar

hukum untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Jika mendapat penolakan

maka akan ditinjau dan bisa direvisi.

5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik merupakan variabel selanjutnya

yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Dampak kondisi-kondisi ekonomi,

sosial dan politik pada kebijakan publik merupakan pusat perhatian yang besar selama

dasawarsa yang lalu. Para peminat perbandingan politik dan kebijakan publik secara

khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan

pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi

keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van

Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam

terhadap pencapaian-pencapaian badan pelaksana.

Untuk tujuan ilustratif, van Meter dan van Horn mengusulkan agar kita

memberi pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi,

sosial dan politik yang mempengaruhi yuridiksi atau organisasi dimana implementasi

itu dilaksanakan.

1. Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana

cukup mendukung implementasi yang berhasil?

2. Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku

akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan?

3. Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang

berhubungan?

4. Apakah elite-elite mendukung atau menentang implementasi kebijakan?

Page 45: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

44

5. Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada

oposisi atau dukungan pengikut bagi kebijakan?

6. Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untk

mendukung atau menentang kebijakan?

(Winarno,2012:167)

Dari keenam pertanyaan di atas penulis menitikberatkan pada pertanyaan

nomor tiga tentang apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu

kebijakan yang berhubungan (segi social) dan pertanyaan nomor empat tentang

apakah elite-elite mendukung atau menentang implementasi kebijakan (segi politik).

Untuk itu penulis telah melakukan wawancara dengan beberapa wajib pajak dan

subjek pajak serta anggota komisi II DPRD Kota Tanjungpinang terkait pendapat

mereka sebagai masyarakat umum.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut P1 I10 (Lampiran II) bahwa:

“Belum semua usaha restoran yang menjadi wajib pajak. Hal ini menimbulkan

kecemburuan. Saya mau melaksanakan ini jika seluruhnya juga ikut

melaksanakan. Saya masih enggan melakukan self assessment jika masih banyak

usaha yang tidak menyetor dan dibiarkan begitu saja.”

(wawancara dengan wajib pajak pemilik rumah makan Siantanur, 11 Juli 2014)

“Sebagai pemilik usaha secara pribadi saya tidak keberatan, yang keberatan itu

konsumen. Untuk usaha skala menengah seperti milik saya dimana rata-rata

konsumen yang duduk ngopi berasal adalah dari ekonomi menengah yang daya

belinya rendah maka pajak dirasa memberatkan.”

(wawancara dengan wajib pajak, pemilik kedai kopi Aman Batu 10, 11 Juli 2014)

“Saya tidak setuju dengan pajak restoran. Kalau aturan itu saya terapkan maka

harga jual pasti naik dan saya takut konsumen berkurang. Masyarakat kita

sekarang sudah banyak yang mengeluh tentang harga yang terus naik.”

(wawancara dengan wajib pajak, pemilik rumah makan Bakso Gunung Batu 10,

11 Juli 2014)

“Konsumen komplain karena berfikir pajak restoran adalah pajak pelayanan.

Kenapa kalau bungkus juga harus bayar pajak.”

(wawancara dengan kasir Rumah Makan D’Flavours, 11 Juli 2014)

Masih terkait pendapat umum, menurut P1 I11 (Lampiran 2) bahwa:

Page 46: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

45

“Saya keberatan dengan pajak restoran sebesar 10%. Semua harga sudah naik

sekarang ditambah lagi dengan pajak. Ini tentu memberatkan. Kenapa tidak

untuk restoran besar saja atau untuk yang makan di tempat saja, yang bungkus

tidak usah.”

(wawancara dengan subjek pajak, Irma, ibu rumah tangga, 14 Juli 2014)

“Pajak adalah sumber pendapatan bagi penyelenggaraan pemerintah. Tidak

masalah jika sekarang ada pajak restoran namun pemerintah harus benar-benar

memanfaatkan dana pajak tersebut bagi kepentingan masyarakat.”

(wawancara dengan subjek pajak, Endang suhartati, PNS, 14 Juli 2014)

“kenapa pajak restoran dibebankan pada konsumen, bukannya seharusnya kan

dibayar oleh pemilik usaha. Harga sudah mahal sekarang ditambah pajak akan

lebih mahal lagi.”

(wawancara dengan subjek pajak, Muthia Ramadhani, mahasiswa, 14 Juli 2014)

Dari beberapa petikan wawancara di atas, dapat kita simpulkan bahwa

kesadaran masyarakat akan pajak masih sangat rendah. Hal ini merupakan hambatan

dalam pemungutan pajak yang termasuk dalam kategori perlawanan pasif dimana

masyarakat enggan membayar pajak. Dari analisa wawancara di atas penyebabnya

adalah perkembangan intelektual dan moral masyarakat. Ini adalah tugas berat bagi

DPPKAD untuk dapat mengimplmentasikan kebijakan ini dengan baik.

Dari segi politik, kebijakan pajak restoran ini sempat menjadi perdebatan

antara DPRD Tanjungpinang dengan Pemko Tanjungpinang seperti yang diberitakan

oleh media massa. Perdebatan ini ditimbulkan akibat masalah tarif pajak restoran

sebesar 10% yang ditolak oleh sejumlah pengusaha yang mengadu ke dewan. Untuk

itu penulis mencoba melakukan klarifikasi dengan melakukan wawancara dengan

yang bersangkutan.

Menurut P4 I9 (Lampiran II) bahwa:

“Perda sudah disahkan artinya memang menjadi landasan hukum bagi Pemko

untuk dilaksanakan. Jika sekarang ada penolakan maka akan kami kaji kembali

dan akan dilakukan revisi perda sesuai masukan dari DPPKAD yang berada di

lapangan langsung berkaitan dengan wajib pajak.”

(wawancara dengan anggota DPRD Kota Tanjungpinang, Azhar, 24 Juli 2014)

Mengenai tarif 10%, menurut P5 I9 (Lampiran II) bahwa:

Page 47: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

46

“Tarif memang menjadi alasan utama penolakan baik dari wajib pajak maupun

subjek pajak. Untuk itu sudah kami pelajari kembali jangan sampai tarif yang

10% tersebut membuat kebijakan ini tidak berjalan. Akan kita revisi,

kemungkinan akan ada pengkategorian di dalamnya. Intinya masyarakat jangan

sampai terasa terbebani, sebuah kebijakan tidak boleh memberatkan

masyarakat.”

(wawancara dengan anggota DPRD Kota Tanjungpinang, Azhar, 24 Juli 2014)

Dari jawaban hasil wawancara di atas penulis menganalisa bahwa tarif 10%

memang menjadi perhatian utama jika nanti dilakukan revisi perda. Kondisi-kondisi

ekonomi, sosial, dan politik ini akan mempunyai efek yang mendalam terhadap

pencapaian DPPKAD jika tidak diperhatikan. Seperti yang dikemukakan oleh

Winarno dalam bukunya Kebijakan Publik:Teori, Proses, dan Studi Kasus

(2012:167) bahwa sekalipun dampak dari factor-faktor ini pada implementasi

mendapat perhatian yang kecil, namun menurut van Meter dan van Horn, factor-faktor

ini mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

6. Kecenderungan pelaksana (implementors)

Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar

dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi

kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut

secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan

sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam

kondisi seperti inilah persepsi individu memegang peran. Dalam keadaan ketidak

sesuaian kognitif, individu mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang

tidak menyenangkan dengan persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan

keputusan kebijakan.

Berkaitan dengan hal ini, menurut P13 I6,7,8 bahwa:

“Masih mendapat penolakan dari wajib pajak karena tarifnya terlalu besar

tetapi jika melihat di lapangan sudah sesuai dengan berkembang pesatnya kota

Tanjungpinang.”

(wawancara dengan staf pendataan dan pendaftaran, 5 Juli 2014)

Page 48: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

47

“Yang dibebankan untuk membayar kan konsumen. Sekarang tinggal bagaimana

wajib pajak mau berusaha mencoba memungut dan bersikap kooperatif dengan

DPPKAD untuk mempermudah wajib pajak itu sendiri.”

(wawancara dengan staf perhitungan dan penetapan, 5 Juli 2014)

“Tarif sebesar 10% sudah tepat dalam rangka optimalisasi pajak daerah. Jika

sekarang ada penolakan bisa kita usulkan untuk melakukan pengklusteran.”

(wawancara dengan staf penagihan, pembukuan, dan pemeriksaan, 5 Juli 2014)

Menurut analisa penulis, para pelaksana sudah mempunyai pikiran positif

terhadap kebijakan ini walaupun pada dasarnya mereka juga menganggap bahwa tarif

sebesar 10% sebenarnya tidak cocok untuk semua wajib pajak. Sehingga mereka juga

ikut berfikir untuk menawarkan alternatif lain yang dapat mengakomodir seluruh

kepentingan.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Implementasi kebijakan pajak restoran dan petunjuk pelaksanaannya belum

berjalan optimal sesuai dengan peraturan yang ada. DPPKAD sebagai agen

pelaksana sudah berupaya semaksimal mungkin agar penegakan peraturan ini

dapat berjalan semestinya namun kondisi di lapangan khususnya karena kesadaran

masyarakat akan pajak masih rendah menjadi hambatan terbesar bagi

pengimplementasian ini.

2. Variabel-variabel pendukung implementasi kebijakan pajak restoran Kota

Tanjungpinang adalah:

a. Sumber-sumber kebijakan yang sudah baik yaitu sumber daya manusia dan

sumber dana

b. Komunikasi internal kegiatan-kegiatan pelaksanaan yaitu koordinasi dan

komunikasi yang terjalin di antara seksi-seksi bidang pendapatan sudah

berjalan efektif

c. Kecenderungan pelaksana yang memiliki pikiran positif terhadap kebijakan

yang diimplementasikannya

3. Variabel-variabel penghambat implementasi kebijakan pajak restoran Kota

Tanjungpinang adalah:

Page 49: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

48

a. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan yang masih belum direalisasikan

secara optimal mulai dari realisasi yang belum sesuai dengan potensi,

penolakan tarif 10% oleh wajib pajak, self assessment yang belum berjalan

dengan lancar, dan masih banyak wajib pajak yang belum taat dalam

menyetor. Dari variabel ini hanya indikator target perolehan pajak restoran

yang telah tercapai dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

b. Komunikasi eksternal dan koordinasi antara DPPKAD dan BP2T yang belum

berjalan maksimal.

c. Karakteristik badan pelaksana dimana kurangnya dukungan dari anggota

legislatif

d. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik terkait pendapat umum tentang

kebijakan ini yang umumnya menolak dengan cara enggan membayar.

4. Usaha-usaha yang dilakukan DPPKAD untuk mengatasi hambatan ini adalah

dengan pendekatan persuasif yaitu sosialisasi, gathering, contact person, sms

center, kupon undian berhadiah bagi wajib pajak. DPPKAD masih belum

melakukan penindakan tegas bagi wajib pajak yang menunggak.

2. Saran

1. Diharapkan kepada DPPKAD agar dapat lebih meningkatkan upaya lagi dan

mencari terobosan-terobosan baru agar implementasi kebijakan pajak restoran

dapat berjalan dengan baik.

2. Diharapkan kepada DPPKAD agar ke depannya implementasi kebijakan pajak

restoran kota Tanjungpinang berjalan benar-benar sesuai dengan aturan yang ada

khususnya masalah penindakan tegas bagi wajib pajak yang membandel.

3. Bagi wajib pajak agar mau bersikap kooperatif dan bekerja sama dengan

DPPKAD agar implementasi kebijakan pajak restoran ini dapat berjalan dengan

maksimal.

4. Bagi masyarakat agar mau membayar pajak, meningkatkan kesadaran tentang

pajak, dan bersam-sama memantau pemanfaatan dana pajak tersebut oleh

pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta.

Dunn, W. N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Fitriandi, Primandita dkk. 2007. Kompilasi Undang-Undang Perpajakan. Jakarta: Salemba.

Joko Widodo. 2010. Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Kebijakan

Publik. Malang: Bayu Media.

Lubis, Solly. 2014. Politik Hukum dan Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju.

Page 50: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN PAJAK …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · akan menjadi sebuah dokumen yang tiada artinya jika tidak diimplementasikan

49

Mardiasmo, 2011. Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2006. Yogyakarta:ANDI.

Moleong, L.J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nugroho, Riant. 2011. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Soemahamidjaja, Soeparman, 1964. Pajak Berdasarkan Azas Gotong

Royong. Bandung: Universitas Padjajaran.

Tim Penyusun. 2011. Pedoman Teknik Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi.

Tanjungpinang: FISIP UMRAH

Usman, Husaini& Akbar,Purnomo Setiady. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung:

Bumi Aksara.

Wahab, Solichin Abdul. 2005. Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Winarno, Budi. 2014. Kebijakan Publik: Teori, Proses dan Studi Kasus. Yogyakarta: Media

Pressindo.

Peraturan Perundangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.

Peraturan Walikota Tanjungpinang Nomor 62 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pajak Restoran.

Peraturan Walikota Nomor 50 Tahun 2012 tentang Uraian Tugas Pokok dan Fungsi

Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.

Data Online

http://www.017-implementasi-peraturan-daerah-kota.html