implementasi hak memperoleh second opinion...
TRANSCRIPT
TESIS
IMPLEMENTASI HAK MEMPEROLEH SECOND OPINION
PASIEN PESERTA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTATION RIGHT TO ATTAIN SECOND OPINION
PATIENT OF NATIONAL HEALTH INSURANCE PARTICIPANT
OLEH M. IKHSAN LUKMAN
P3600215057
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
i
IMPLEMENTASI HAK MEMPEROLEH SECOND OPINION PASIEN PESERTA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTATION RIGHT TO ATTAIN SECOND OPINION
PATIENT OF NATIONAL HEALTH INSURANCE PARTICIPANT
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Magister Kenotariatan
disusun dan diajukan oleh:
M. IKHSAN LUKMAN
P3600215057
kepada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Nama : M Ikhsan Lukman
N I M : P3600215057
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan tesis yang berjudul
“Implementasi Hak Memperoleh Pendapat Dokter Lain (Second
Opinion) Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional”, adalah benar-
benar karya saya sendiri. Hal yang bukan merupakan karya saya, dalam
penulisan tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Makassar, 18 Januari 2018
Yang membuat pernyataan,
M Ikhsan Lukman
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alaamiin puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula shalawat serta salam terhatur
kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan dalam
perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran di muka bumi ini.
Adapun judul tesis ini adalah “Implementasi Hak Memperoleh Pendapat
Dokter Lain (Second Opinion) Pasien Peserta Jaminan Kesehatan
Nasional” dalam penelitian tesis ini, penulis menyadari terdapat
kekurangan, untuk itu besar harapan semoga tesis ini memenuhi kriteria
sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada
Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Penelitian tesis tidak akan terwujud tanpa bantuan dari para pembimbing,
dosen-dosen serta berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor
Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.
2. Ibu Prof Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.
3. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
v
4. Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo,S.H. M.H. DFM dan
Bapak Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H. selaku penasihat dalam penulisan
tesis ini yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
memberikan bantuan dalam materi tesis serta memberikan banyak
pengetahuan bagi penulis selama penulisan tesis ini.
5. Bapak Prof Dr. A. Muh. Sofyan, S.H., M.H., Ibu Dr. Harustiati A.
Moein, S.H., S.U., Bapak Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H selaku
penguji penulis yang telah memberikan banyak masukan-masukan
dan arahan dalam penyusunan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan
ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama
perkuliahan berlangsung.
7. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Khususnya Staf Kenotariatan Ibu Eppy dan Pak Aksa
yang telah membantu dalam pengurusan administrasi.
8. Kedua orang tua Bapak Lukman dan Ibu Asmawati atas doa yang
tidak pernah putus dan dukungan serta segala kebaikan mereka
yang sampai kapanpun takkan pernah bisa untuk terbalaskan.
9. Wilanny NB,Amd.Kep yang telah membantu penulis dalam suka
dan duka dan senantiasa memberikan waktu bagi penulis serta
motivasi dan semangat yang luar biasa.
vi
10. Achmad Yasir sebagai sahabat penulis dan seluruh anak TOZE,
terima kasih atas kebersamaan selama ini .
11. Teman–teman Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin (KOMPAR15I), terima kasih atas
kebersamaan selama ini.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang
Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat yang bernilai jariyah. Aamiin
Yaa Rabbal’alaamiin. Terima kasih.
Makassar, 18 Januari 2018
M Ikhsan Lukman
vii
ABSTRAK M. IKHSAN LUKMAN. Implementasi Hak Memperoleh Second Opinion Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (dibimbing oleh Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo,S.H. M.H. DFM, Bapak Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji bentuk perlindungan hukum bagi pasien jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh second opinion di Rumah Sakit. dalam mewujudkan pelayanan kesehatan berdasarkan Pasal 32 huruf (h) Undang-undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit adalah Setiap pasien mempunyai hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris, bahan penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. data primer diperoleh dari subyek penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi dokumen, penelitian ini dianalisis dengan metode kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif.
Hasil penelitian diperoleh bahwa bentuk perlindungan hukum yang diberikan RSUD Haji Makassar dengan menetapkan standar prosedur operasional yang tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Utama No. Dokumen 29.02.08 yang diterbitkan pada tanggal 22 januari 2016 Tentang Hak Pasien dan Keluarga untuk berkonsultasi tentang masalah penyakit dari pasien kepada dokter lain yang merupakan bentuk perlindungan hukum secara preventif dan Surat Keputusan Direktur Nomor 155/TU/RSUD/I/2016 tentang tentang Standar Prosedur Operasional Menangani Keluhan/Pegaduan Pelanggan, SPO tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum refresif. Pelaksanaan hak memperoleh second opinion di RSUD Haji Makassar belum dapat dilaksanakan dengam maksimal, hal ini disebabkan oleh belum adanya regulasi BPJS kesehatan yang dapat mengakomodasi hak pasien untuk memperoleh second opinion Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Hak Pasien, Second Opinion, JKN
viii
ABSTRACT M.IKHSAN LUKMAN. Implementation Right To Attain Second Opinion Patient Of National Health Insurance Participant (Supervised Slamet Sampurno Soewondo and Amir Ilyas )
This research aims to understand and elaborate the law protection form to the patient of National Health Insurance, participant to obtain the second opinion in RSUD Haji Makassar
This research is empirical juridical research. The research material consists of the primary and secondary data. Primary Data are gained from research subject, whilst secondary data are obtained from document study, this research is analyzed with the qualitative method and explained descriptively.
The research result is attained that the law protection design is given by RSUD Haji Makassar with determining the operational procedure standard of patient right poured forth in the Director SK Number 29.02.08 About The Patient Right and Family to consult about disease matter from patient to another doctor is a law protection form preventively which the accusation service and sigh from patient poured forth the Director SK Number 155/TU/RSUD/I/2016 related to the operational procedure standard (SPO) Handling Sigh/Accusation Customer, that SPO is a repressive law protection form. Right implementation obtains the second opinion in RSUD Haji Makassar is not well-implemented maximumly, it is caused by no BPJS Kesehatan regulation accommodating patient right to gain the second opinion. Keywords: Law Protection, Patient Right, Second Opinion, National
Health Insurance
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................... vii
ABSTRACT ................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 7
C. Tujuan Penelitian …………… ............................................ 7
D. Manfaat Penelitian............................................................. 7
E. Keaslian Penelitian ........................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 11
A. Tinjauan Umum Jaminan Kesehatan Nasional ................. 11
1. Pengertian Jaminan Kesehatan Nasional ................. 11
2. Manfaat dan pelayanan program JKN ...................... 12
3. Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional ....................... 15
4. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional .............. 16
B. Tinjauan Umum Tentang Hak dan kewajiban Dalam
Pelayanan Kesehatan ...................................................... 17
1. Hukum dan Hak Asasi Manusia ................................. 17
2. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit .............................. 19
3. Hak dan kewajiban dokter .......................................... 23
4. Hak Dan Kewajiban Pasien ....................................... 25
5. Hak Pasien memperoleh pendapat dokter lain .......... 29
C. Landasan Teori ................................................................. 32
1. Teori Perlindungan Hukum ........................................ 32
x
2. Teori Kebijakan Publik ............................................... 34
D. Kerangka Pikir .................................................................. 41
E. Definisi Operasional ......................................................... 42
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................... 44
A. Jenis Penelitian .................................................................. 44
B. Bahan Penelitian ................................................................ 44
C. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ................................ 45
D. Lokasi Penelitian ................................................................ 46
E. Subyek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel ......... 46
F. Analisis Data ...................................................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 49
A. Hasil Penelitian ................................................................... 49
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian ........................... 49
2. Perlindungan Hukum Hak memperoleh Second Opinion
Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional .............. 56
3. Pelaksanaan Hak Memperoleh Second Opinion Pasien
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional .......................... 69
B. Pembahasan ....................................................................... 81
1. Perlindungan Hukum Hak Memperoleh Second Opinion
Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional .............. 81
2. Pelaksanaan Hak Memperoleh Second Opinion Pasien
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional .......................... 93
BAB V PENUTUP .......................................................................... 102
A. Kesimpulan ......................................................................... 102
B. Saran................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan adalah hak bagi semua warga negara dan merupakan
public goods, keadilan sosial yang bersifat egaliter mewajibkan
pemerintah mengambil tanggung jawab utama untuk
mengembangkan pendekatan yang paling efektif dan efisien untuk
memobilisasi dana yang diperlukan bagi setiap pelayanan kesehatan
warga negara. 1 Hal ini sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusian.
Undang-undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas
jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang
layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Pada tanggal
1 Januari 2014, pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Manfaat yang dijamin oleh program JKN berupa pelayanan
kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup pelayanan
1 Siyoto S, Supriyanto, 2015, Kebijakan Dan Manajemen Kesehatan, Penerbit Andi , Yogyakarta hlm. 36
2
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) termasuk obat dan
bahan medis. Pemberian manfaat tersebut dengan menggunakan
teknik layanan kendali mutu dan biaya (managed care).2
Pelayanan kesehatan bagi setiap peserta JKN dilaksanakan
dengan cara berjenjang yang dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat
pertama, dalam hal peserta membutuhkan pelayanan kesehatan
lanjutan dibuktikan dengan indikasi medis, maka akan dirujuk ke
fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, prosedur pelaksanaan
sistem rujukan lebih jelas diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan
No. 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak akan
menanggung biaya pengobatan peserta JKN jika tidak sesuai
prosedur.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan pemerintah Memiliki
kendali yang sangat kuat dalam proses peningkatan mutu layanan
dan efisiensi layanan. 3 Perkembangan JKN di awal pelaksanaan
mengalami banyak kendala, berbagai kepentingan belum dapat di
implementasikan secarah penuh serta pemenuhan hak-hak pasien
belum mampu dilaksanakan seutuhnya oleh penyelenggara layanan
kesehatan.
2 Putri A.E, 2014, Paham JKN Jaminan Kesehatan Nasional, Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia. hlm. 14 3 Thabrany H, 2015, Jaminan Kesehatan Nasional , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta hlm. 245
3
Rumah sakit sebagai poros utama pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang harus proaktif dalam mewujudkan pelayanan yang
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat, 4 aktor utama fungsi penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dirumah sakit terdiri dari dokter, dokter gigi, dokter
spesialis, dokter gigi spesialis. Mereka bertugas menjalankan praktik
kedokteran sebagai inti dari segala aspek upaya kesehatan. Setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat ijin praktik5. Selain itu didalam proses
pelaksanaan praktik kedokteran dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi,6serta menghormati dan
memenuhi hak hak pasien.
Salah satu hak pasien yang diatur dalam Undang-undang 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 huruf (b) adalah
“Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain”.
Demikian juga yang diatur di dalam Undang-undang No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah sakit pada Pasal (32) huruf (h) dinyatakan
bahwa : Setiap pasien mempunyai hak meminta konsultasi tentang
penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat
Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit”.
4 Pasal 1, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit 5 Pasal 36, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran 6 Pasal 44 , Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
4
Standar hak pasien dan keluarga yang dikeluarkan oleh komite
akreditasi rumah sakit (KARS) juga mengatur tentang hak pasien
memperoleh pendapat dari dokter lain., didalam elemen penilaian
standar hak pasien dan keluarga bagian 2 (dua) disebutkan bahwa
rumah sakit mendukung hak pasien dan keluarga berpartisipasi dalam
proses pelayanan, dan juga setiap rumah sakit diharuskan membuat
kebijakan/panduan/SPO cara memperoleh pendapat dari dokter lain di
dalam atau diluar rumah sakit.7
Pentingnya pendapat dari dokter lain menurut KARS disebabkan
oleh kesalahan diagnosis dan penatalaksanaan pengobatan dokter
sering terjadi dibelahan dunia manapun, dan perbedaan pendapat
dalam pengobatan merupakan hal yang biasa terjadi, selain hal
tersebut pendapat dari dokter lain dianjurkan bila menyangkut
ancaman nyawa, kerugian biaya atau dampak finansial yang besar.8
Keputusan dokter tidak semua dapat dimintakan pendapat dari
dokter lain Menurut KARS beberapa kasus yang dapat dimintakan
pendapat dari dokter lain adalah:
a. Tindakan operasi: appendictomi, tonsilektomi, caesar,dll b. Pemberian obat jangka panjang lebih dari 2 minggu, misalnya
pemberian obat TBC jangka panjang, antibiotika jangka panjang.
c. Meresepkan pemberian obat yang sangat mahal, susu mahal. imunisasi yang sangat mahal
7 Sutoto, 2012, Standar Hak Pasien Dan Keluarga, Komisi Akreditasi Rumah Sakit, hlm. 27 8 Ibid, hlm. 28
5
Perbedaan dalam penentuan diagnosis dan penatalaksanaan
mungkin tidak menjadi masalah serius bila tidak menimbulkan
konsekuensi yang berbahaya dan merugikan bagi penderita. Tetapi
bila hal itu menyangkut kerugian biaya yang besar dan ancaman
nyawa maka akan harus lebih dicermati. Sehingga, sangatlah penting
untuk mencari pendapat dari dokter lain tentang permasalahan
kesehatan tertentu yang belum pernah terselesaikan.9
Pelaksanaan second opinion merupakan hak pasien yang wajib
diberikan dan oleh rumah sakit dengan memberlakukan standar
prosedur operasional (SPO) sebagai kebijakan dalam melaksanakan
kegiatan yang berkaitan dengan pendapat dari dokter lain, sehingga
setiap permasalahan yang berkaitan dengan pendapat dari dokter lain
harus mengacu pada peraturan Perundang-undangan yang berlaku
serta peraturan teknis yang yang telah ditetapkan.
Hak pasien untuk memperoleh pendapat dari dokter lain tidak
hanya berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang diatur dengan standar prosedur operasional (SPO)
rumah sakit, tetapi pelaksanaan hak pasien tersebut akan
berhubungan langsung dengan fungsi pembiayaan kesehatan yang
merupakan tanggung jawab BPJS khususnya bagi peserta JKN. Hal
tersebut menjadi penting karna kesalahan diagnosis dan perbedaan
penatalaksanaan dalam praktik kedokteran selain dapat merugikan
9 Asep Candra, 2013, Pentingnya “pendapat dari dokter lain” http://health.kompas.com/read/2013/04/11/15573366/pentingnya.quotsecond.opinionquot.ke.dokter.lain diakses pada tanggal 18 Juli 2017
6
pasien juga dapat berakibat pada over utilisasi yang bisa
menimbulkan potensi semakin defisitnya keuangan pada BPJS.
Pemenuhan hak-hak pasien dalam memperoleh pendapat dari
dokter lain merupakan hal penting dalam tata kelola pelayanan
kesehatan, namun pada kenyataan dilapangan tidak semudah yang
dibayangkan masih banyak rumah sakit yang tidak mempunyai
standar prosedur operasional (SPO) tentang hak pasien dalam
memperoleh pendapat dari dokter lain, padahal semestinya jika
melihat petunjuk pelaksanaan akreditasi dari komite akreditasi rumah
sakit (KARS) mensyaratkan bahwa dalam rangka pemenuhan hak
pasien dan keluarga sebuah rumah sakit harus membuat kebijakan
serta melaksanakan prosedur pendapat dari dokter lain dirumah sakit,
begitupun dengan BPJS yang kurang memperhatikan hak pasien
dalam memperoleh pendapat dari dokter lain yang terkadang
dianggap diluar dari prosedur JKN.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka isu penelitian ini
adalah ada kecenderungan lemahnya pengaturan substansi hukum
tentang perlindungan serta terjaminnya hak pasien untuk memperoleh
pendapat medis dari dokter lain, sehingga jaminan keadilan bagi hak-
hak pasien pada umumnya belum dapat dirasakan secara
menyeluruh, oleh karna itu perlu dikaji lebih lanjut pengaturan
substansi hukum dan pelaksanaan jaminan kesehatan bagi pasien
7
peserta BPJS sehingga tercipta keadilan dan perlindungan bagi hak-
hak pasien
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka dapat
dirumuskan permasalahan yaitu :
a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pasien peserta
Jaminan kesehatan nasional (JKN) dalam memperoleh second
opinion di Rumah sakit ?
b. Bagaimana pelaksanaan hak memperoleh second opinion pasien
peserta Jaminan kesehatan nasional (JKN) Di Rumah Sakit ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan mengkaji bentuk perlindungan hukum bagi
pasien peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) dalam
memperoleh second opinion di Rumah Sakit
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan hak memperoleh
second opinion pasien peserta jaminan kesehatan nasional (JKN)
di Rumah Sakit
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapakan dapat menambah
pengetahuan dibidang ilmu hukum secara umum.
8
2. Praktis
a. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
dan saran atapun sumbangsi baik kepada dokter , tenaga
kesehatan, pasien, dan rumah sakit, terkait pelaksanaan
fungsi pelayanan kesehatan dalam pemenuhan hak-hak
pasien khususnya hak pasien dalam memperoleh pendapat
dari dokter lain,.
b. Melalui penelitian ini diharapakan dapat menjadi bahan
pertimbangan maupun bahan kajian bagi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam pengembangan
fungsi pembiayaan kesehatan, serta sebagai bahan
pertimbangan dalam merumuskan kebijakan yang dapat
mengakomodasi hak-hak pasien.
E. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian tesis ini didasarkan pada kebaharuan fokus,
objek, maupun tempat penelitian. Pemenuhan hak pasien dalam
memperoleh pendapat dari dokter lain jika dikaitkan dengan
kepesertaan pasien JKN masih relatif baru dan belum sepenuhnya
dilaksanakan baik itu oleh rumah sakit, tenaga kesehatan maupun
BPJS sebagai pelaksana program jaminan kesehatan, sehingga
menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan di perpustakaan fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, media internet dan sumber lainnya
9
belum pernah dilakukan namun ditemukan penelitian yang hampir
serupa dengan penelitian penulis, diantara lain:
1. Penelitian tesis dengan judul Hak Pasien Atas Informasi Dalam
Proses Persetujuan tindakan Medis Di Rumah Sakit Panti Wilasa
Citarum Semarang10, yang ditulis oleh Djoko Widyarto JS(2007)
Mahasiswa Program Pascasarjanan Unika Soegijapranata
Semarang, Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana ketentuan perUndang-undangan dipatuhi dan diterapkan
dirumah sakit serta fakto apa yang mempengaruhi kelengkapan
informasi yang diberikan oleh dokter sebelum melakukan tindakan
medis terdapat persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis yakni penelitian terkait hak pasien, namun penelitian yang
akan dilakukan oleh penulis saat ini juga terdapat perbedaan
mendasar yakni fokus dan objek penelitian, yakni penulis lebih
berfokus kepada hak pasien memperoleh pendapat dari dokter
lain dan dihubungkan dengan kebijakan Jaminan Kesehatan
Nasional.
2. Penelitian skripsi dengan judul hak pasien mendapatkan informasi
resiko pelayanan medic, 11 yang ditulis oleh Rocy Jacobus
(2014)mahasiswa fakultas hukum Universitas Sam ratulangi
Manado, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana
10 Djoko W.J.S,2007,Hak Pasien Atas Informasi Dalam Proses Persetujuan Tindakan
Medis Di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum” Pascasarjana Unika Soegijapranata,Semarang. 11 Rocy Jacobus,2014, Hak Pasien Mendapatkan Informasi Resiko Pelayanan
Medik,Universitas Sam Ratulangi,Manado.
10
hak pasien mendapatkan informasi resiko pelayanan medik dan
bagaiamana sanksi hukum terhadap dokter yang tidak
memberikan informasi resiko pelayanan medik kepada pasien,
terdapat persamaan secara umum mengenai fokus penelitian
yaitu hak pasien, namun penelitian yang akan dilakukan penulis
terdapat perbedaan secara spesifik terkait tujuan penelitian yaitu
untuk mengetahui implementasi hak Memperoleh Pendapat dari
dokter lain terkait dengan kepesertaan pasien dalam program
Jaminan Kesehatan Nasional.
Secara menyeluruh terdapat perbedaan mendasar pada fokus
penelitian yang dilakukan peneliti dengan dua peneliti diatas baik
pada subjek, objek penelitian maupun tempat dan waktu
penelitian. Penelitian yang khusus meneliti tentang Implementasi
hak memperoleh pendapat dari dokter lain peserta JKN, sejauh
yang penulis ketahui belum pernah ada dilakukan sebelumnya.
Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini memenuhi kaidah
keaslian penelitian. Diharapkan penelitian ini dapat memenuhi dan
memberi penguatan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Jaminan kesehatan Nasional
1. Pengertian Jaminan Kesehatan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 Tentang
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan Peraturan
Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan12
menetapkan bahwa yang dimaksud dengan:
“Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah”.
Sesuai dengan Undang-undang 40 tahun 2004 Bagian
Kedua tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 19 Ayat
(1) dan Ayat (2) disebutkan bahwa :
(1)Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. (2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Undang- Undang SJSN mengintegrasikan program bantuan
sosial dengan program jaminan sosial. 13 Kedua program
pemerintah tersebut diwujudkan dengan kewajiban pemerintah
12 Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 1 angka (1) 13 Putri A.E, Opcit hlm 14
12
untuk menyubsidi iuran bagi rakyat miskin dan orang tidak
mampu, kewajiban pemerintah dilaksanakan secara bertahap
dan dimulai dengan program JKN.
Dalam rangka mewujudkan sistem jaminan sosial nasional
yang bertujuan memberikan perlindungan dan kesejahtraan
sosial bagi seluruh rakyat maka lahirlah Undang-undang No. 24
tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).
2. Manfaat dan pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional
Manfaat JKN adalah pelayanan kesehatan perorangan
menyeluruh yang mencakup pelayanan peningkatan kesehatan
yang mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif),
pelayanan pencegahan penyakit, (preventif), pengobatan dan
perawatan (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif),
termasuk obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan medis yang diperlukan. 14 Terdapat dua manfaat
dalam pelayanan JKN yaitu Manfaat medis dan non medis yang
merupakan bagian dari pelayanan kesehatan perorangan.
Manfaat medis tidak terikat dengan besaran iuran, seluruh
peserta JKN berhak atas manfaat medis yang sama sesuai
dengan kebutuhan medisnya.15Manfaat medis yang diberikan
oleh JKN meliputi penyuluhan kesehatan, konsultasi,
14 Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 22 ayat (1), dan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan 20 15 Ibid Pasal 20 ayat 3
13
pemerikasaan penunjang diagnostik, tindakan medis dan
perawatan, transfusi, obat-obatan, bahan medis habis pakai,
rehabilitasi medis, pelayanan kedokteran forensik serta
pelayanan jenasah. 16 Manfaat medis diberikan secara
berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik
diberikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan pelayanan
kesehatan spesialistik dan sub-spesialistik diberikan di fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan.
Pelayanan kesehatan yang dijamin Oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terdiri atas17 :
1) Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama merupakan
pelayanan kesehatan non spesialistik yang meliputi:
a. administrasi pelayanan; b. pelayanan promotif dan preventif; c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non
operatif; e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; f. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis; g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat
pratama; dan h. Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis.
2) Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan meliputi18 :
a. administrasi pelayanan; b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan subspesialis; c. tindakan medis spesialistik baik bedah maupun non bedah
16 Putri A.E Opcit hlm 59 17 Peraturan Menteri kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Pelayanan Kesehatan Pada JKN , Pasal 16 18 Peraturan Menteri kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Pelayanan Kesehatan Pada JKN Pasal 20 ayat (1)
14
sesuai dengan indikasi medis; d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; e. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis; f. rehabilitasi medis; g. pelayanan darah; h. pelayanan kedokteran forensik klinik; i. pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas
Kesehatan; j. perawatan inap non intensif; dan k. perawatan inap di ruang intensif.
Administrasi terdiri atas biaya pendaftaran pasien dan biaya
administrasi lain yang terjadi selama proses perawatan atau
pelayanan kesehatan pasien. Pemeriksaan, pengobatan, dan
konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis
termasuk pelayanan kedaruratan. Jenis pelayanan kedokteran
forensik klinik meliputi pembuatan visum et repertum atau surat
keterangan medik berdasarkan pemeriksaan forensik orang
hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik.
Selain pelayanan yang dijamin Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Nasional juga menyebutkan pelayanan yang tidak dijamin atau
tidak dibayarkan, kategori pelayanan/manfaat yang yang tidak
dijamin oleh JKN yaitu19 :
1) Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku; 2) Pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan
yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat;
19 Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan Pasal 25, dan Peraturan Menteri kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Pelayanan Kesehatan Pada JKN
15
3) Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja;
4) Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas;
5) Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; 6) Pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik; 7) Pelayanan untuk mengatasi infertilitas; 8) Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi); 9) Pelayanan kesehatan untuk mengatasi gangguan
kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol;
10) Pelayanan kesehatan untuk mengatasi gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri;
11) Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);
12) Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen);
13) Kosmetik, makanan bayi, dan susu 14) Perbekalan kesehatan rumah tangga 15) Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap
darurat, kejadian luar biasa/wabah; 16) Biaya pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan
yang dapat dicegah (preventable adverse events), dan 17) Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan
manfaat jaminan kesehatan yang diberikan.
3. Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional
berdasarkan prinsip:20
1) kegotongroyongan; 2) nirlaba; 3) keterbukaan; 4) kehati-hatian; 5) akuntabilitas;
20 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
16
6) portabilitas; 7) kepesertaan bersifat wajib; 8) dana amanat; dan hasil pengelolaan Dana Jaminan
Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta
4. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional
Peserta JKN adalah setiap orang, termasuk orang asing
yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di
Indonesia, yang telah membayar iuran21. Peserta berhak atas
manfaat JKN. Untuk tetap memperoleh jaminan pelayanan
kesehatan, Peserta wajib membayar iuran JKN secara teratur
dan terus-menerus hingga akhir hayat
Kepesertaan bersifat wajib namun dilaksanan secara
bertahap, peserta terdiri dari Penerimah Upah (Pekerja dan
Pemberi Kerja), non Penerimah Upah (kelompok, keluarga,
Individu), dan Penerima Bantuan Iuran(PBI) yang iurannya
dibayarkan oleh pemerintah.
Kepesertaan berlaku selama peserta membayar iuran.
Bila Peserta tidak membayar atau meninggal dunia, maka
kepesertaan hilang. Bagi Peserta yang menunggak iuran,
pemulihan kepesertaan dilakukan dengan membayar iuran
bulan berjalan disertai seluruh tunggakan iuran beserta
seluruh denda.
21Ibid, Pasal 1
17
B. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban Dalam
Pelayanan Kesehatan
1. Hukum dan hak asasi manusia
Secara umum hukum dapat diartikan sebagai keseluruhan
kumpulan peraturan atau kaedah tentang tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dalam
pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan pemberian sanksi,
sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum mengatur hubungan
hukum, yang dimaksud hubungan hukum dalam hal ini terdiri
dari ikatan antara individu dengan masyarakat, dan antara
individu itu sendiri.22
Dalam melaksanan ikatan hukum tersebut diwujudkan
dalam hal memberikan hak dan kewajiban, hak memberi
kenikmatan dan keleluasaan kepada setiap individu dalam
pelaksanaannya, sementara kewajiban tidak bisa dipisahkan
selalu mengikuti subjek. Jadi dapat dikatakan hukum itu
sifatnya umum karena berlaku bagi setiap orang.
Hak dan kewajiban sifatnya individual karena melekat pada
individu, hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum,
sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan ataupun
kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi,23 dalam setiap hak
terdapat 4(empat) unsur yaitu subjek hukum, obyek hukum,
22 Sudikno mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, hal 40 23 ibid hlm 43
18
hubungan hukum, yang mengikat para pihak, serta kewajiban
dan perlindungan hukum.24
Hukum akan mempunyai arti yang pasif apabila tidak dapat
diterapkan terhadap peristiwa peristiwa konkrit. Konkritisasi
hukum menjadi hak dan keajiban dapat terjadi dengan adanya
peristia hukum, peristiwa hukum pada hakekatnya adalah
kejadian, keadaan atau perbuatan orang yang oleh hukum
dihubungkan dengan akibat hukum. 25 hak asasi adalah
fundamental rights atau hak yang sangat mendasar dan
inheren dengan jati diri manusia secara universal.26
Hak asasi manusia menyatakan bahwa pada dimensi
kemanusiaan, manusia memiliki hak yang sifatnya mendasar,
hak yang mendasar itu melekat kuat dengan jatidiri, siapapun
manusianya berhak memiliki hak tersebut.
Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa.27
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
24 Ibid hlm 48 25 ibid hlm 49 26 Majda Muhjtaj, 2005, Hak Asasi Manusia Dalam Kontitusi Indonesia, Kencana Prenada Grup, Jakarta Hal 47 27Undang-Undang republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1
19
Hak hukum merupakan hak seseorang dalam kapasitasnya
sebagai subjek hukum yang secara legal tercantum dalam
hukum yang berlaku, sedangkan hak alami merupakan hak
yang menekankan sisi alamiah manusia. Sekalipun keduanya
terlihat berbeda, tidak berarti keduanya terpisah, hak alami
membutuhkan legaitas formal untuk dapat berlaku dan
diberlakukan secara konkret dalam kehidupan. Hal serupa pada
hak hukum harus memiliki kerangka fundamental berupa nilai
nilai filosofis yang terdapat dalam hak alami. Korelasi antara
keduamya akan semakin menjadikan hak lebih tegas, baik
untuk melindungi atau melarang seseorang untuk melakukan
sesuatu.
Hak asasi manusia dengan negara hukum memiliki kaitan
yang tidak dapat dipisahkan, karena pengakuan dan
pengukuhan negara hukum salah satu ujuannya adala
melindungi hak asasi manusia. Hal tersebut mengandung
makna bahwa dalam negara hukum, hak dan sekaligus
kebebasan perseorangan diakui dihormati dan dijunjung tinggi.
2. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit
Menurut American Hospital Association Rumah sakit adalah
suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang
terorganisisr serta sarana kedokteran yang permanen
menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan
20
yang berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan penyakit
yang diderita oleh pasien. 28 Rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat.29
Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan
kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Setiap Rumah Sakit dalam memberikan pelayan
kesehatan mempunyai hak yang diatur didalam Pasal 30 ayat (1)
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit
yaitu :
a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;
b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan
remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan;
c. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan;
d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; f. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan; g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah
Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-
undangan; dan h. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan
Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.
28 Azwar A. 1996 , Pengantar Administrasi Kesehatan, Binarupa Aksara, Jakarta Hlm 82 29 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Bab I Pasal (1) ayat 1.
21
Rumah Sakit dalam menjalankan pelayanan kesehatan
memiliki kewajiban dalam melayani pasiennya. Kewajiban itu
dituangkan dalam Undang-undang Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit. Kewajiban rumah sakit itu sudah tentu
mengikat juga pada para tenaga kesehatan. Dalam Pasal 29
ayat (1) menyatakan kewajiban rumah sakit, diantaranya:
a. Informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat.
b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, tidak diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya.
e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin.
f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
h. Menyelenggarakan rekam medis. i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak
antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia.
j. Melaksanakan sistem rujukan. k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan
standar profesi dan etika serta peraturan perUndang-undangan.
l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien.
m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien. n. Melaksanakan etika rumah sakit. o. Memiliki system pencegahan kecelakaan dan
penanggulangan bencana.
22
p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional.
q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws).
s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas.
t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
Menurut Kode Etik Rumah Sakit Indonesia terdapat
beberapa kewajiban bagi tenaga medis. Kewajiban itu meliputi
kewajiban umum, kewajiban kepada masyarakat dan kewajiban
terhadap pasien. Kewajiban umum rumah sakit terdiri dari
menaati Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, mengawasi dan
bertanggungjawab terhadap semua kejadian di RS (corporate
liability), memberi pelayanan yang baik (duty of due care),
memberi pertolongan darurat tanpa meminta pembayaran uang
muka, memelihara rekam medis pasien, memelihara peralatan
dengan baik dan siap pakai, dan merujuk kepada RS lain bila
perlu.
Kewajiban rumah sakit kepada Masyarakat terdiri dari
berlaku jujur dan terbuka, peka terhadap saran dan kritik
masyarakat, berusaha menjangkau pasien di luar dinding RS
(extramural). Sedangkan Kewajiban rumah sakit kepada pasien
adalah mengindahkan hak-hak asasi pasien, memberikan
penjelasan kepada pasien tentang derita pasien dan tindakan
23
medis atasnya, meminta informed consent, mengindahkan hak
pribadi (privacy), menjaga rahasia pasien.
3. Hak Dan Kewajiban Dokter
Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam
melaksanakan upaya kesehatan. 30 Penyelenggaran praktik
kedokteran merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan, dengan berlandaskan nilai
nilai etik dan moral. Praktik kedokteran dilaksanakan
berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta
perlindungan dan keselamatan pasien.31
Pada penyelenggaraan praktik kedokteran, dokter atau
dokter gigi yang membuka praktik kedokteran atau layanan
kesehatan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan,
setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedoteran
di Indonesia wajib memiliki surat tanda regsitrasi dokter dan
surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkan oleh Konsil
kedokteran Indonesia.32
Dengan memiliki surat tanda registrasi (STR) atau telah
menyandang profesi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter
gigi spesialis. Setelah mempunyai STR seorang dokter yang
30 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 1 Angka 1 31 Ibid Pasal 3 32 Ibid Pasal 24
24
hendak menyelenggarakan praktik kedokteran wajib
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP). Didalam Pasal 36 Undang-
undang 29 tahun 2004 Tentang praktik kedokteran disebutkan
bahwa
“Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.”
Surat izin praktik dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dilaksanakan dan hanya diberikan untuk paling
banyak tiga (tiga) tempat. Hubungan antara dokter dan pasien
secara yuridis dapat dimasukkan kedalam golongan kontrak,
yang melahirkan hak dan kewajiban.33
Seorang Dokter yang membatinkan hidupnya untuk
perikemanusian tentulah akan selalu lebih mengutamakan
kewajiban diatas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya,
dalam menjalankan tugas bagi dokter berlaku “Aegroti Salus
Lex Suprema” yang berarti keselamatan pasien adalah hukum
yang tertinggi.34
Di dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, pada Pasal 50 disebutkan adanya hak-hak
dokter, yakni:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang sesuai standar profesi dan SOP.
33 Guwandi, 2002, Dokter Pasien Dan Hukum, Balai penerbit FKUI, Jakarta hlm.19 34 Hanafiah J, Amir A, Etika kedokteran & Hukum Kesehatan, penerbit Buku Kedokteran EGC
25
b. Memberikan layanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
c. Memperoleh info yang jujur & lengkap dari pasien atau keluarga pasien.
d. Menerima imbalan jasa. Adanya perlindungan hukum bagi dokter ini mengingat
bahwa pekerjaan dokter dianggap sah sepanjang memenuhi
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan bahwa dalam bekerja
seorang dokter harus bebas dari intervensi pihak lain, dan
bebas dari kekerasan. Jika pun terdapat dugaan malpraktik
harus melalui proses pembuktian hukum terlebih dahulu,
termasuk diantaranya tentu saja seorang dokter bebas
memperoleh pembelaan hukum.
Pada Pasal 52 Undang-undang yang sama diatur pula
mengenai kewajiban dokter, yang meliputi:
a. Memberi pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional, serta kebutuhan medis pasien.
b. Merujuk pasien bila tak mampu. c. Menjamin kerahasiaan pasien. d. Pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila yakin ada orang lain yg bertugas dan mampu. e. Menambah / ikuti perkembangan iptek kedokteran.
4. Hak Dan Kewajiban Pasien
UUD 1945 yang telah diamandemen, secara jelas dalam
Pasal 28H menyebutkan, bahwa setiap warga negara berhak
mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Dan terkait hak-
hak pasien sendiri sudah diatur diantaranya dalam, Undang-
undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
26
Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dan
Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Hak
Pasien memang harus diatur dalam rangka melindungi
kepentingan pasien yang seringkali tidak berdaya.
Hak dan Kewajiban Pasien Menurut Undang-undang,
Menurut ‘Declaration of Lisbon (1981) : The Rights of the
Patient” disebutkan beberapa hak pasien, diantaranya hak
memilih dokter, hak dirawat dokter yang bebas, hak menerima
atau menolak pengobatan setelah menerima informasi, hak
atas kerahasiaan, hak mati secara bermartabat, hak atas
dukungan moral atau spiritual. Menurut Undang-undang No.36
tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa setiap orang
berhak atas kesehatan, akses atas sumber daya, pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan, lingkungan yang
sehat, info dan edukasi kesehatan yg seimbang dan
bertanggungjawab, dan informasi tentang data kesehatan
dirinya.35
Sejak dimulainya hubungan dokter dan pasien, demi
melindungi kepentingan dan kepastian hukum untuk pasien
penerima layanan kesehatan maka hukum mengatur hak-hak
pasien yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan
35 Pasal 4-8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
27
kesehatan, pelanggaran terhadap hak pasien sama hanya
dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.36 Hak-hak
pasien dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 itu
diantaranya meliputi:
a. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
b. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah Undang-undang, pengadilan, ijin yang bersangkutan, kepentingan yang bersangkutan).
c. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan penyelamatan nyawa atau cegah cacat). Pada Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran khususnya pada Pasal 52 juga diatur hak-hak
pasien, yang meliputi:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3.
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain. c. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. d. Menolak tindakan medis. e. Mendapatkan isi rekam medis.
Terkait rekam medis, Peraturan Menteri kesehatan No.269
Tahun 2008 Tentang Rekam Medis Pasal 12 menyebutkan:
(1) Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan. (2) Isi rekam medis merupakan milik pasien. (3) Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dalam bentuk ringkasan rekam medis. (4) Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu.
36 Afandi D 2008, Hak atas kesehatan dalam Perspektif HAM, Bagian Ilmu kedokteran forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia
28
Hak Pasien dalam Undang-undang No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit pada Pasal 32 menyebutkan bahwa setiap
pasien mempunyai hak sebagai berikut:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan
tanpa diskriminasi; d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga
pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang
didapatkan; g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya
kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data-data medisnya; j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan
yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;
o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
q. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
29
r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan.
Kewajiban pasien diatur diantaranya dalam Undang-undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal
53 yang meliputi:
a. Memberi informasi yg lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya.
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi. c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di saryankes. d. Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Terkait kewajiban pasien seperti disebut di atas masing-
masing pihak, dalam hal ini pasien dan tenaga medis, harus
selalu memberi informasi yang tepat dan lengkap, baik sebelum
maupun sesudah tindakan (preventif / diagnostic / terapeutik /
rehabilitatif). Keputusan di tangan pasien, dokter mengadvokasi
prosesnya (kecuali keadaan darurat yang tak bisa ditunda).
Layanan medis harus sesuai kebutuhan medisnya.
5. Hak Pasien Memperoleh Pendapat dari dokter lain
Hak atas kesehatan bukanlah berarti hak agar setiap orang
untuk menjadi sehat, atau pemerintah harus menyediakan
sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan
pemerintah. Tetapi lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat
publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja
yang mengarah kepada tersedia dan terjangkaunya sarana
30
pelayanan kesehatan untuk semua dalam kemungkinan waktu
yang secepatnya.
Pendapat dari dokter lain atau mencari pendapat kedua
yang berbeda adalah merupakan hak seorang pasien dalam
memperoleh jasa pelayanan kesehatannya.37 Hak yang dimiliki
pasien ini adalah hak mendapatkan pendapat kedua (pendapat
dari dokter lain) dari dokter lainnya. Undang Undang No. 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bagian Empat Pasal 32
huruf (h) tentang hak pasien menyebutkan:
"Setiap pasien memiliki hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit"
Senada dengan hal tersebut didalam Pasal 52 huruf (b)
Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
menyebutkan bahwa :
“Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain”.
Pentingnya pendapat dari dokter lain menurut elemen
penilaian akreditasi Rumah sakit oleh Komisi Akreditasi Rumah
Sakit (KARS) adalah kesalahan diagnosis dan penatalaksaan
pengobatan dokter sering terjadi di belahan dunia manapun,
termasuk di Indonesia, dan adanya Perbedaan pendapat para
37 Arnold S. Relman “A pendapat dari dokter lain rescuing americas helath care” https://books.google.co.id/books?id=sT5TAhlhpWAC&printsec=frontcover&dq=second+opinion+health&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=second%20opinion%20health&f=false Diakses pada tanggal 30 Juli 2017
31
dokter dalam mengobati penderita adalah hal yang biasa
terjadi, dan hal ini mungkin tidak menjadi masalah serius bila
tidak menimbulkan konsekuensi yang berbahaya dan
merugikan bagi penderita pendapat dari dokter lain dianjurkan
bila menyangkut ancaman nyawa, kerugian biaya atau dampak
finansial yang besar. Tidak semua permasalahan dapat
dimintakan pendapat dari dokter lain, beberapa keputusan
dokter yang dapat dimintakan pendapat dari dokter lain yaitu :
a. Tindakan operasi: appendictomi, tonsilektomi, caesar,dan lain-lain.
b. Pemberian obat jangka panjang lebih dari dua minggu,
misalnya pemberian obat TBC jangka panjang, antibiotika
jangka panjang dan lain-lain. c. Meresepkan pemberian obat yang sangat mahal, susu
mahal, imunisasi yang sangat mahal. d. Kebiasaan dokter memberikan terlalu sering antibiotika
berlebihan pada kasus yang tidak seharusnya diberikan : seperti infeksi saluran napas, diare, muntah, demam virus, dan sebagainya. Biasanya dokter memberikan diagnosis infeksi virus tetapi selalu diberi antibiotika.
e. Meresepkan pemeriksaan laboratorium dengan biaya sangat besar
f. Diagnosis dokter yang meragukan : biasanya dokter tersebut menggunakan istilah “gejala” seperti gejala tifus, gejala demam berdarah, gejala usus buntu. Atau diagnosis autis ringan gangguan perilaku lainnya.
g. Pemeriksaan dan pengobatan yang tidak direkomendasikan oleh institusi kesehatan nasional atau internasional : seperti pengobatan dan terapi bioresonansi, dll
Meminta pendapat merupakan pendapat medis yang diberikan
oleh dokter lain terhadap suatu diagnosa atau terapi maupun
rekomendasi medis lain terhadap penyakit yang di derita pasien.
Mencari pendapat lain bisa dikatakan upaya penemuan sudut
32
pandag lain dari dokter kedua setelah pasien mengunjungi atau
berkonsultasi dengan dokter pertama. pendapat dari dokter lain
hanyalah istilah, karena dalam realitanya dilapangan, kadang
pasien bisa jadi menemui lebih dari dua dokter untuk dimintakan
pendapat.
Rumah Sakit didalam melaksanakan proses pelayanan
kesehatan wajib memberikan informasi terkait hak-hak pasien
serta didalam pelaksanaannya Rumah sakit dan seluruh tenaga
medis maupun tenaga kesehatan lainnya harus menghormati hak-
hak pasien.
C. Landasan Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yakni
perlindungan dan hukum, kata perlindungan menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia berarti tempat berlindung atau
merupakan perbuatan (hal) melindungi. 38 Pengertian hukum
menurut Mertokusumo39 adalah kumpulan peraturan atau kaedah
yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum
karena berlaku bagi setiap orang, normatif karena menentukan
apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan serta pelaksanaanya dapat dipaksakan dengan suatu
sanksi.
38 W.J.S. Poerwadarminta 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan IX, Balai Pustaka Jakarta hlm 600 39 Sudikno Mertokusumo ,OpCit hlm 40
33
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu bentuk
upaya berupa perbuatan dan hal lainnya yang dilakukan untuk
melindungi subyek-subyek hukum dengan peraturan perUndang-
undangan yang berlaku dan pelaksanaanya dapat dipaksakan
dengan suatu sanksi.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat
hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,
yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.40
Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum
kedalam dua macam perlindungan hukum. Perlindungan hukum
tersebut adalah perlindungan hukum preventif dan perlindungan
hukukum represif. Kedua jenis perlindungan hukum tersebut
yakni :
1) Teori Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum
yang diberikan untuk mencegah sengketa dikemudian hari
atau pada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan, opini sebelum suatu keputusan oleh pemerintah
40http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/12/jhptump-a-triharyant-581-2-babii.pdf, diakses pada
tanggal 13 Agustus 2017, pukul 13.30 WITA
34
mendapat bentuk defenitif. Berdasarkan pengertian tersebut
diatas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa perlindungan
hukum preventif memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa.
2) Teori Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum
represif adalah perlindungan setelah adanya sengketa yang
bertujuan untuk memulihkan hak-hak dari pihak yang dirugikan
atau menyelesaikan sengketa.41
2. Teori Kebijakan Publik
Kebijakan merupakan hasil dari berbagai kepentigan dan
harus dibuat satu keputusan, kebijakan merupakan produk dari
sistem politik, komponen sistem kebijakan terdiri dari pelaku
(actors), tindakan (actions), dan orientasi nilai (value orientation),
ketiga komponen tersebut saling berinteraksi yang membentuk
pola spesifik : input-proses-output dan umpan balik (feedback).42
Pengertian kebijakan publik menurut Harold D. Laswell yang
mengatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu program
pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.
David Easton juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah
sebuah proses pengalokasian nilai nilai secara pekasa kepada
seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang
41 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Nina Ilmu, Surabaya, hlm. 5 42 Siyoto S, Supriyanto ,Op cit hlm 47
35
berwenang seperti pemerintah 43 Kesamaan dari berbagai
defenisi kebijakan publik dapat disimpulkan bahwa adanya
sebuah proses atau serangkaian aktifitas maupun keputusan
yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah publik.
Kebijakan tersebut dibuat dalam bentuk tindakan-tindakan
pemerintah, kebijakan tersebut baik untuk melakukan atau tidak
melakukan yang mempunyai tujuan tertentu. Hubungan antara
hukum dan kebijakan publik adalah pemahaman bahwa pada
dasarnya kebijakan publik umumnya harus dilegislasikan dalam
bentuk hukum, pada dasarnya sebuah hukum adalah hasil
kebijakan publik. Dari pemahaman dasar ini kita dapat melihat
keterkaitan diantara keduanya dengan sangat jelas, bahwa
sesuangguhnya antara hukum dan kebijakan public.
Keduanya berjalan seiring sejalan dengan prinsip saling
mengisi, sebab logikanya sebuah produk hukum tanpa ada
proses kebijakan publik didalamnya maka produk hukum itu akan
kehilangan makna substansinya. Implementasi kebijakan
merupakan sebuah proses panjang dimulai dari perumusan
kebijakan, kemudian pelaksanaan kebijakan, penilaian kebijakan
dan perbaikan kebijakan.44 Implementasi kebijakan merupakan
tahap krusian dalam proses kebijakan publik, suatu program
43 Saiful Bahri, Hessel Nogi, Mitra Subandi, 2004 “Hukum dan kebijakan publik”,
Cipta Mandiri, Yogyakarta. 44 Siyoto S, Supriyanto op cit hlm 57
36
kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak
atau tujuan yang di inginkan,
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang
luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah
penetapan Undang-undang dimana sebagai aktor, organisasi,
prosedur dan teknik kerja bersama-sama untuk menjalankan
kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau
program.
Implementasi pada sisi lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses,
suatu keluaran(output) maupun sebagai dampak (outcome)
Implementasi adalah apa yang terjadi setelah Undang-undang
ditetapkan, memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan,
atau suatu jenis keluaran yang nyata.45
Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono) ada
tiga kelompok variable yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi sebuah kebijakan yakni : karakteristik dari
masalah(tracktability of the problems), karakteristik dari
kebijakan/undang-undang(ability of statue to structure
implementation), dan variable lingkungan ( nonstatutory variables
affecting implementation). 46
45 Budi Winarno, 2007, Kebijakan Publik, PT Buku Kita, Jakarta 46 Subarsono 2016 Analisis Kebijakan Publik’ Pustaka Pelajar Yogyakarta hlm 94
37
Variable yang pertama yaitu karakteristik masalah
)tracktability of the problems) terdiri dari tingkat kesulitan teknik
dari masalah yang bersangkutan, disuatu pihak ada beberapa
masalah sosial yang secara teknis muda dipecahkan, seperti
kekurangan air minum bagi penduduk atau harga beras yang tiba
tiba naik. Di lain pihak terdapat masalah-masalah yang relative
sulit untuk diselesaikan, seperti kemisikinan, pengangguran,
korupsi dan sebagainya, oleh karena itu sifat masalah itu sendiri
akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program di
implementasikan.47
Selanjutnya tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran .
hal ini berarti bahwa suatu program akan relatif mudah
diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah
homogeny. Sebaliknya apabila kelompok sasarannya heterogen
maka implementasi program akan relatif lebih sulit, karena tingkat
pemahaman setiap anggota kelompok sasarn terhadap program
relatif berbeda.
Selanjutnya proporsi kelompok sasaran terhadap populasi
artinya sebuah program akan sulit dilaksanakan apabila
sasarannya mencakup semua populasi, sebalikknya jika
kelompok sasaran tidak terlalu besar maka program akan lebih
muda dimplementasikan, selanjutnya adalah cakupan perubahan
47 Ibid Hlm 95
38
perilaku yang diharapkan, sebuah program yang bertujuan
memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif
mudah dimplementasikan daripada program yang bertujuan
untuk mengubah sikap serta perilaku masyarakat.
Variable yang kedua (ability of statue to structure
implementation), adalah Karakteristik kebijakan yang terdiri dari
kejelasan isi kebijakan, yang artinya bahwa, semakin jelas dan
semakin rinci isi sebuah keijakan akan mudah diimplementasikan
karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan
dalam tindakan nyata, sebaliknya ketidakjelasan dalam sebuah
rumusan kebijakan akan melahirkan sebuah potensi lahirnya
distorsi dalam proses implementasi sebuah kebijakan.
Selanjutnya dukungan teoritis terhadap sebuah kebijakan
sangat diperlukan, kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki
sifat yang lebih mantap dan sudah teruji, walaupun dengan
kemajemukan masyarakat khususnya di Indonesia beberapa
lingkungan sasial perlu ada modifikasi kebijakan untuk
menyesuaikan dengan karakter setempat.
Selanjutnya adalah dukungan finansial terhadap kebijakan
tersebut dalam artian bahwa bersarnya alokasi sumber daya
finansial memberikan pengaruh yang sangat besar dalam proses
pelaksanaan sebuah kebijakan, selain itu setiap program
memerlukan sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan
39
administratif dan teknis, serta adanya monitoring program yang
semunya pasti memerlukan dukungan finansial.
Selanjutnya adalah seberapa besar adanya keterpautan dan
dukungan antar berbagai institusi pelaksana, kegagalan sebuah
program biasanya sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi
baik vertikam maupun horizontal antar instansi yang terlibat
dalam implementasi sebuah program. Kemudian sebuah
kebijakan harus mmempunyai kejelasan dan konsistensi yang
ada pada badan pelaksanan serta tingkat komitmen aparat
pelaksana terhadap tujuan sebuah kebijakan. Rendahnya tingkat
komitmen aparat pelaksana didalam menjalankan tugas dan
pekerjaan atau proram-program.
Selanjutnya adalah akses kelompok luar untuk
berpartisispasi dalam implementasi kebijakan. Suatu kebijakan
yang memberikan peluang bagi masyarakat luas untuk
berpartisipasi dan terlibat langsung akan mendapatkan dukungan
daripada program yang tidak melibatkan masyarakat.
Varibale selanjutnya ( nonstatutory variables affecting
implementation). adalah lingkungan dari kebijakan tersebut,
kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan
teknologi, masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan
relatif mudah menerima program-program pembaruan disbanding
dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional,
40
demikian juga kemajuan teknologi akan membantu dalam proses
keberhasilan implementasi program,karena dengan adanya
teknologi yang modern maka sebuah program dapat
disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan
teknologi modern.
Selanjutnya dukungan publik terhadap sebuah kebijakan,
kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah
mendapatkan dukugan publik, sebaliknya kebijakan yang bersifat
disinsentif akan kurang mendapatkan dukungan publik.
Kemudian faktor sikap dari kelompok pemilih yang ada
didalam masyarakat dapat mempengerahi implementasi sebuah
kebijakan,yang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara
lain, kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap
keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai
komentar dengan maksud mengubah keputusan.
Kemudian kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak
langsung, melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja
badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang
ditujukan kepada badan legislatif.
Selanjutnya tingkat komitmen dan kterampilan dari aparat
dan implementor, pada akhirnya komitmen aparat pelaksana
untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan
41
adalah variable yang paling krusial. Aparat badan pelaksana
harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan
selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.48
D. Kerangka Pikir
48 Ibid Hlm 97
Implementasi Hak Memperoleh Second Opinion Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional
Perlindungan Hukum Bagi Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional
Pasal 52 Huruf (b) UU No. Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran
Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 32 Huruh (h) UU No.44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit
Pelaksanaan Hak Memperoleh Second Opinion Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional
Proses memperoleh Second Opinion
Kewajiban Dokter Terkait hak pasien
Kewenangan Rumah Sakit Terkait Hak
Pasien
Terjaminnya hak memperoleh second opinion pasien peserta jaminan kesehatan nasional di rumah sakit
42
E. Defenisi Operasional
1) Kesehatan adalah hak bagi semua warga negara dan
merupakan public goods, keadilan sosial yang bersifat
egaliter mewajibkan pemerintah mengambil tanggung
jawab utama untuk mengembangkan pendekatan yang
paling efektif dan efisien untuk memobilisasi dana yang
diperlukan bagi setiap pelayanan kesehatan warga negara.
2) Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan
kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh Pemerintah.
3) Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
4) Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara paripurna
43
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat.
5) Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien
dalam melaksanakan upaya kesehatan.
6) Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu bentuk
upaya berupa perbuatan dan hal lainnya yang dilakukan
untuk melindungi subyek-subyek hukum dengan
peraturan perUndang-undangan yang berlaku dan
pelaksanaanya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi.
7) Kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan,
nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.
8) Hak Pasien memperoleh pendapat dari dokter lain adalah
pendapat medis yang diberikan oleh dokter lain terhadap
suatu diagnosa atau terapi maupun rekomendasi medis lain
terhadap penyakit yang di derita pasien. Mencari pendapat
lain bisa dikatakan upaya penemuan sudut pandang lain
dari dokter kedua setelah pasien mengunjungi atau
berkonsultasi dengan dokter pertama.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analisis
yaitu menggambarkan realitas sosial dari fakta-fakta yang
diketemukan, untuk selanjutnya dilakukan upaya analisis dengan
mendasarkan pada teori-teori yang terdapat dalam disiplin ilmu
hukum, khususnya hukum kesehatan yang berkenaan dengan
persoalan implementasi hak memperoleh pendapat dari dokter
lain peserta jaminan kesehatan nasional.49
Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, dengan
mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku nyata dengan
turun langsung ke lapangan untuk memperoleh data primer dan
didukung dengan penelitian kepustakaan. 50 Penelitian ini
Mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian
terhadap efektifitas hukum.
B. Bahan Penelitian
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
bahan–bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder51.Data
primer diperoleh dengan turun langsung kelapangan untuk
memperoleh informasi dari subjek yang diteliti, sedangkan data
49 Bambang Sugono, 2015, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, hlm. 38 50Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta, cetakan 2014, hlm. 10. 51 Marzuki P.M, 2015” Penelitian Hukum”Prenamedia Grup, Jakarta hlm181
45
sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
mencakup dokumen dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian
yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya. Data
sekunder dibagi menjadi tiga jenis bahan hukum sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat
mengikat52 :
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri
dari antara lain : Buku-buku hukum, buku-buku tentang
kesehatan, tulisan-tulisan berupa jurnal, artikel, karya tulis ilmiah,
pendapat ahli hukum ataupun kesehatan, media berita, dokumen
dan literarur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu
Kamus bahasa, Kamus hukum, kamus ilmiah.
C. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini menggunakan data dari berbagai sumber yang
kemudian dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu data primer
dan sekunder. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara
studi dokumen, yakni mencari, menelaah dan menggabungkan
materi yang berasal dari data tertulis dalam buku dan peraturan
52 Bambang Sunggono 2015 ‘ Metode Penelitian Hukum” PT RajaGrafindo Persada, Jakarta hlm 113
46
perUndang-undangan yang bertujuan untuk memperoleh data
sekunder yang relevan dengan masalah yang diteliti.
b. Penelitian Lapangan
Alat pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara
dengan pedoman wawancara yang bersifat terbuka,
wawancara dilakukan untuk mendapatkan data dan keterangan
tentang tema yang sedang diteliti.
D. Lokasi Penelitan
Penelitian Ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah
Haji Makassar, alasan memilih tempat ini adalah :
a. Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar merupakan salah
satu rumah sakit rujukan diwilayah Kota Makassar
b. Rumah Sakit Umum Daerah Haji telah memperoleh akreditasi
paripurna Komisi Akreditasi Rumah Sakit yang dapat
merepresentasikan pemenuhan hak-hak pasien secara utuh.
E. Subyek penelitian dan teknik Pengambilan sampel
Subjek dalam penelitian ini merupakan pihak-pihak yang dapat
memberikan keterangan sesuai dengan tujuan dari penelitian
lapangan.
a. Responden
Responden adalah pihak-pihak yang berhubungan
langsung dengan permasalahan terkait penelitian ini. Pemilihan
responden melalui teknik purposive sampling yaitu menetapkan
47
syarat-syarat atau kriteria tertentu berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti sebagai dasar pengambilan
sampel. 53 Dalam penelitian ini yang ditentukan sebagai
responden adalah :
1) Dokter penanggung jawab pasien JKN
2) Pasien peserta JKN
3) Unit pengaduan pelayanan Rumah Sakit
4) Kabid. Pelayanan Medik
5) Petugas Verifikator BPJS Rumah Sakit
b. Narasumber
Narasumber adalah pihak yang tidak terlibat langsung
dalam penelitian namun memiliki informasi (data) mengenai
objek yang sedang diteliti, atau dimintai informasi mengenai
objek penelitian tersebut. Dalam penelitian ini ditentukan
sebagai narasumber antara lain:
1) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan
2) Pimpinan BPJS kesehatan Kantor Cabang Utama,
Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan
F. Analisis Data
Data yang dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun
penelitaian kepustakaan dianalisis secara kualitatif, yaitu prosedur
analisis tanpa menggunakan analisis statistik atau cara
53 Zainuddin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, jakarta, cetakan kelima, hlm. 98.
48
kuantifikasi lainnya54Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian
yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan
responden dan narasumber secara tertulis dan lisan dan juga
perilakunya yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh.55Hasil analisis tersebut dipaparkan secara deskriptif
sehingga diperoleh uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif-
kualitatif yang nantinya akan menjawab permasalahan penelitian.
Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dengan menggunakan Trianggulasi atau yang
dikenal dengan melakukan cek atau recek yaitu suatu kegiatan
yang dilakukan oleh peneliti guna melakukan pengecekan
terhadap keabsahan data yang diperoleh oleh peneliti trianggulasi
dilakukan melalui pengecekan terhadap sumber, teknik, dan
waktu.
54 Lexy Moleong, 2011, “Metodologi Penelitian Kualitatif,” PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 6. 55Ibid
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum tempat penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar berdiri dan
diresmikan pada tanggal 16 juli 1992 oleh Bapak Presiden Republik
Indonesia. Rumah Sakit ini dibangun diatas tanah seluas 0,6 hektar
milik pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang dulunya adalah
Rumah Sakit Kusta Jongaya. Pembangunan Rumah Sakit Umum
Daerah Haji Makassar Provinsi Sulawesi Selatan merupakan hibah
dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai kompensasi musibah
terowongan Mina yang menimpa jamaah haji asal Sulawesi Selatan.
Pengoperasian Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar
didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sulawesi
Selatan nomor 488/IV/1992 tentang pengelolaan Rumah Sakit oleh
Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dan Surat Keputusan
Gubernur nomor 802/VII/1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja (SOTK) Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan menetapkan Rumah Sakit Umum
Daerah Haji Makassar sebagai Rumah Sakit Umum milik Pemerintah
Daerah Sulawesi Selatan dengan klasifikasi C yang tertuang dalam
50
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
965/MENKES/SK/X/2008 tanggal 22 oktober 2008.
Jenis pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar
semakin berkembang dan pada tahun 2009 telah memiliki 9
spesialisasi, 4 subspesialisasi dan 4 spesialisasi penunjang medis.
Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2009 Rumah Sakit Umum
Daerah Haji Makassar bermohon ke Departemen Kesehatan untuk
peningkatan kelas menjadi tipe B dan pada tanggal 27 agustus 2010
terbit Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor
1226/MENKES/SK/VIII/2010 tentang penetapan status Rumah Sakit
Umum Daerah Haji Makassar dari tipe C menjadi tipe B Non
Pendidikan.
Pada tahun 2011 terbit Peraturan kedua atas Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Daerah,
Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Lain Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan.
VisiVisi Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar adalah
Menjadi Rumah Sakit Pendidikan Islami Terpercaya, Terbaik, dan
Pilihan Utama di Sulawesi Selatan 2018”, Adapun Misi Rumah Sakit
Umum Daerah Haji Makassar adalah menerapkan “ Hospital
Services to Win All “ yaitu : Menyelenggarakan pelayanan kesehatan
paripurna dan rujukan berkualitas yang terjangkau oleh masyarakat.
51
Menyelenggarakan pendidikan dan riset tenaga kesehatan
berkarakter islami. Menyelenggarakan pola tata kelola pelayanan
kesehatan yang baik, akuntabel, berbasis “The Ten Golden Habits”.
Meningkatkan kualitas pelayanan melalui pengembangan Sumber
Daya Manusia (SDM), serta mengembangkan dan meningkatkan
sarana dan prasarana Rumah Sakit. Meningkatkan kesejahteraan
karyawan sebagai asset berharga bagi Rumah Sakit.
Adapun makna dari misi tersebut adalah : Bahwa Rumah
Sakit memberikan pelayanan kesehatan paripurna dan profesional
secara efektif dan efisien kepada pasien / individu yang
membutuhkan pertolongan sesuai standar pelayanan minimal.
Profesionalisme bermakna kompeten dan bertanggung jawab dalam
menjalankan peran untuk memberikan yang terbaik berorientasi
kepada keselamatan. Bahwa Rumah Sakit melaksanakan
pembelajaran dan pendidikan yang berorientasi pembentukan
karakter islami yang penuh amanah. Bahwa Rumah Sakit
melaksanakan Tata Kelola Klinik dan non Klinik yang baik dan
akuntabel.
Sebagai Rumah Sakit milik Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan, maka tujuannya pun mengacu kepada tujuan dari RPJMD
Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan 2013-2018 khususnya di
bidang kesehatan yaitu “Meningkatkan akses dan kualitas layanan
kesehatan”. Adapun tujuan jangka menengah Rumah Sakit Umum
52
Daerah Haji Makassar adalah menciptakan rumah sakit yang bersih,
layanan prima dengan manajemen yang baik dan dilandasi spiritual
agar terwujud sebagai sarana pelayanan publik yang bermutu,
profesional, dan dapat dipercaya.
Adapun sasaran jangan menengah dari Rumah Sakit Umum
Daerah Haji Makassar adalah :
a) Perspektif Pelanggan
Meningkatnya kepuasan pelanggan.
Meningkatnya akuntabilitas publik kepada masyarakat dengan target kinerja laporan akuntabilitas Rumah Sakit yang telah dievaluasi oleh auditor eksternal dengan
kualifikasi terbaik. b) Perspektif Bisnis Internal
Meningkatkan mutu layanan rawat inap.
Meningkatnya akuntabilitas publik kepada masyarakat
dengan target kinerja laporan akuntabilitas Rumah Sakit
yang telah dievaluasi oleh auditor eksternal dengan
kualifikasi terbaik.
Terpenuhinya safety patient sesuai standar mutu
penanganan penyakit terbanyak di rawat jalan dan
instalasi gawat darurat.
Terpenuhinya safety patient sesuai standar mutu penunjang diagnose dan resep.
c) Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Meningkatnya komitmen pegawai melaksanakan tugas
dan fungsi pokok untuk mendukung proses pelayanan
kepada masyarakat
Meningkatnya kapabilitas SDM
Meningkatnya kecukupan tenaga pelayanan dengan
target kinerja penambahan tenaga di seluruh unit
pelayanan sebesar 100% dari standar nasional
Meningkatkan kualitas infrastruktur pelayanan dengan
target kinerja penambahan peralatan medis dan
peningkatan kelayakannya sesuai standar nasioanal, pembangunan gedung baru, penambahan luas bangunan ruang pelayanan.
53
Meningkatnya kapasitas system informasi dan penguatan kelembagaan
Meningkatkan kecukupan tenaga pelayanan
d) Perspektif Keuangan
Meningkatnya pendapatan operasional rumah sakit
Terwujudnya pengendalian biaya
Peningkatan kesejahteraan pegawai
Berdasarkan berlakunya peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Lambaga Lain Provinsi Sulawesi Selatan,
perlu diatur tugas pokok fungsi dan rincian tugas jabatan struktural
pada Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar Provinsi Sulawesi
Selatan.
Sarana dan Prasarana Pelayanan Sarana dan prasarana
pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Haji adalah sebagai berikut:
Pelayanan rawat jalan terdiri dari 11 poliklinik yang ditunjang dengan
tenaga medis spesialistik, poliklinik gigi mulut, gizi klinik dan farmasi
klinik Pelayanan gawat darurat memiliki kemampuan penanganan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa (live saving) dan
pencegahan kecacatan lebih lanjut dengan menyediakan fasilitas
one day care yang dibuka selama 24 jam. Pelayanan bedah
ditangani oleh tenaga medis professional yang berasal dari berbagai
disiplin ilmu spesialistik dan subspesialistik.
54
Pelayanan rawat inap memiliki kapasitas 329 TT dengan
perincian sebagai berikut: VVIP 8 Tempat Tidur, VIP 12 Tempat
Tidur, kelas I 15 Tempat Tidur, kelas II terdiri dari 46 Tempat Tidur
dan kelas III terdiri dari 136 Tempat Tidur serta perawatan intensif
terdiri dari 8 Tempat Tidur. Dari jumlah tersebut 225 sudah
termanfaatkan.
Disamping itu rumah sakit juga menyediakan fasilitas intensif
rawat intensif. Sebagai wing private, rumah sakit juga menyediakan
fasilitas rawat inap kelas VVIP dengan kapasitas 8 Tempat Tidur dan
VIP dengan kapasitas 12 Tempat Tidur yang diharapkan menjadi
unit bisnis strategis yang dapat menyangga kemampuan keuangan
rumah sakit. Pelayanan penunjang medis, yang meliputi fasilitas
laboratorium patologi klinik, patologi anatomi dan instalasi radiologi.
Sedangkan untuk penunjang medis terapi, rumah sakit memiliki
fasilitas penunjang berupa rehabilitasi medis dan farmasi.
RSUD Haji Makassar sebagai penyedia layanan kesehatan
didalam menjalankan tugasnya saat ini bekerjasama dengan BPJS
sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kerja
sama tersebut berlaku sejak 1 Januari 2014, dengan adanya kerja
sama tersebut maka RSUD Haji Makassar memiliki ikatan hukum
dengan BPJS sebagai penyelenggara jaminan kesehatan dan
penyedia layanan kesehatan.
55
BPJS dan Rumah Sakit merupakan dua elemen penting
dalam proses pencapaian derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
yan bekerjasama dalam melaksanakan program jaminan kesehatan
nasional, rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggrakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat dan BPJS merupakan badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial
berdasarkan prinsip asuransi sosial dengan membayar manfaat
dan/atau membiayai pelayanan kesehatan peserta sesuai dengan
ketentuan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Jalinan kerja sama antara RSUD Haji Makassar dan BPJS
dalam melaksanakan program jaminan kesehatan nasional bersifat
wajib, jalinan kerja sama yang bersifat wajib tersebut diatur dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Jaminan Kesehatan Pasal 36 ayat (2):
“Fasilitas Kesehatan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
memenuhi persyaratan wajib bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan”.
Peningkatan pelayanan merupakan prioritas utama RSUD
Haji Makassar, demi meningkatkan pelayanan rujukan pasien yang
sesuai dengan aturan BPJS, RSUD Haji Makassar didalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta BPJS rumah
56
sakit menerapkan sistem rujukan secara berjenjang, Hal tersebut
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 01 Tahun 2012
Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan dan
Pasal 14 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013
tentang Pelayanan Kesehatan
B. Perlindungan Hukum Hak Memperoleh Second opinion Pasien
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Di RSUD Haji Makassar.
Perlindungan hukum adalah untuk melindungi hak setiap orang
untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama di mata
hukum. Perlindungan hukum terhadap pasien dalam memperoleh
pelayanan kesehatan harus berpedoman dan didasarkan pada
instrument normatif yang berlaku terhadapnya.
Saat ini masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai
pasien, dalam proses pemenuhan pelayanan kesehatan khusunya
pasien peserta BPJS, hal ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya
kesadaran pasien tentang kebutuhan layanan kesehatan yang
berkualitas dan juga dipengaruhi oleh adanya kepesertaan mandiri
BPJS Kesehatan, yang diberikan kewajiban membayar iuran tiap
bulannya , hal tersebut membuat peserta akan menuntut setiap haknya
setelah melaksanakan setiap kewajiban dalam hal ini iuran BPJS,
sehingga seringkali peserta BPJS secara kritis mempertanyakan
tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan serta tindakan yang akan
diambil yang berkenaan dengan penyakit yang diderita.
57
Selain kritis, saat ini tidak jarang pasien mencari pendapat kedua
(second opinion), mencari pendapat dokter laih merupakan hal yang
sangat wajar dilakukan oleh seorang pasien saat ini, hal tersebut
merupakan hak pasien yang harus dihormati oleh setiap pemberi
pelayanan kesehatan, rumah sakit dan BPJS, begitupun dengan
pemerintah serta jajarannya wajib memberikan perlindungan hukum
terhadap hak pasien untuk memperoleh second opinion.
Semakin bertambahnya kesadaran pasien atas hak-haknya juga
membawa pengaruh tersendiri terhadap cara pandang pasien dalam
mencari penyelesaian sengketa jika terjadi masalah hukum dalam
proses pelayanan kesehatan yang diterima.
Pemerintah telah mencoba mengakomodasi kepentingan pasien
untuk memperoleh perlindungan hukum atas hak-haknya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dengan memakai instrument
peraturan Perundang-undangan yang ternyata tidak sepenuhnya
memberikan perlindungan kepada pasien. Undang-Undang No. 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit belum mampu sepenuhnya
mengakomodir dan memberikan perlindungan hukum terhadap hak
pasien untuk memperoleh second opinion.
Perlindungan hukum pasien dalam memperoleh second opinion
terdapat pada Pasal 52 huruf (b) Undang-Undang No 29 Tahun 2004
Tentang praktik kedokteran yang menyatakan bahwa :
“Pasien didalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain”
58
Hal yang sama di sebutkan didalam Pasal 32 huruf (h) Undang-
Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang menyatakan
bahwa :
“Setiap pasien mempunyai hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP)baik didalam maupun diluar rumah sakit”
Komisi Akreditas Rumah Sakit (KARS) menerapkan salah satu
standar penilaian hak pasien dan keluarga (HPK) mengatur mengenai
hak pasien dalam memperoleh second opinion yang disebutkan
bahwa rumah sakit mendukung hak pasien dan keluarga
berpartisipasi dalam proses pelayanan, dan juga setiap rumah sakit
diharuskan membuat kebijakan/panduan/SPO cara memperoleh
second opinion didalam atau diluar rumah sakit.
RSUD Haji Makassar sebagai rumah sakit yang terakreditasi oleh
KARS telah mempunyai regulasi untuk mengakomodir hak pasien
dalam memperoleh second opinion dengan menerbitkan SK Direktur
dengan Nomor Dokumen 155/TU/RSUD/I/2016 Tentang Hak Pasien
dan Keluarganya Selama Dalam Pelayanan di RSUD Haji
Makassar.dengan No. Dokumen 29.02.08 yang diterbitkan pada
tanggal 22 januari 2016 mengenai cara memperoleh second opinion di
lingkungan RSUD Haji Makassar. aturan tersebut merupakan jaminan
kepada setiap pasien untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap
tentang masalah kesehatan maupun pilihan pengobatan yang akan
dijalani oleh pasien.
59
Upaya pasien dalam memperoleh pendapat dari dokter lain baik
didalam maupun diluar rumah sakit, bukan hanya menjadi tanggung
jawab RSUD Haji Makassar untuk membuat dan melaksanakan
kebijakan tersebut, karena saat ini proses pemberian pelayanan
kesehatan bukan hanya berdasar kepada regulasi rumah sakit
semata, akan tetapi juga berdasarkan kepada regulasi yang diatur
oleh BPJS.
Berdasarkan hasil yang diperoleh peneliti, sampai saat ini BPJS
kesehatan menyatakan belum mampu mengakomodir hak pasien
untuk memperoleh second opinion, hal tersebut dinyatakan oleh
rersponden yang merupakan verifikator BPJS Kesehatan RSUD Haji
Makassar yang menyatakan bahwa :
“saat ini belum ada regulasi yang mengatur mengenai second opinion baik dari peraturan menteri kesehatan, peraturan presiden ataupun BPJS kesehatan. bahwa seorang pasien berhak memilih dokter yang akan merawat merupakan hak pasien, namun didalam permenkes mengenai jaminan kesehatan nasional juga dijelaskan bahwa hal yang tidak dijamin JKN apabila pelayanan kesehatan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan medis dan prosedur BPJS karena permintaan second opinion bisa saja bersifat subjektif. Hal senada juga dibenarkan oleh Kepala bidang Penjaminan Mutu
Rujukan BPJS Kesehatan Cabang Makassar, yang menjelaskan
bahwa regulasi tentang hak pasien dalam memperoleh second
opinion belum dimiliki BPJS, setiap pelayanan yang dijamin oleh BPJS
Kesehatan adalah pelayanan yang sesuai dengan alur rujukan
berjenjang.
60
Menurut narasumber, pentingnya pembuatan regulasi mengenai
second opinion harus disertai dengan ditingkatkannya profesionalitas
dan kompetensi seorang dokter dilapangan, karena didalam
menentukan klaim BPJS tidak pernah berandai-andai, melainkan
berdasarkan regulasi dan berdasarkan kepada diagnosa dokter, kajian
tentang hak pasien dalam memperoleh second opinion menurut
narasumber sangat perlu dilakukan, namun perlu dibarengi dengan
peningkatan kompetensi dokter didalam bertugas di rumah sakit.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Layanan Medik
RSUD Haji Makassar yang menyatakan bahwa, RSUD Haji Makassar
memberikan perlindungan terhadap hak pasien mengacu pada
regulasi yang terdapat pada Undang-Undang No. 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, serta Pedoman dari Komisi Akreditasi Rumah
Sakit (KARS) responden menyatakan bahwa :
“Rumah Sakit Haji tidak pernah membedakan antara pasien umum atau pasien jaminan, regulasi yang ada mengenai hak pasien diberlakukan secara merata,kalau ada perbedaan untuk pasien jaminan biasanya disebabkan oleh aturan BPJS yang berbeda dengan rumah sakit “ Selain memberikan kebijakan berupa Standar prosedur
operasional mengenai hak pasien untuk memperoleh second opinion,
saat ini RSUD Haji Makassar juga memberikan perlindungan hukum
terhadap pelanggaran hak maupun ketidakpuasan yang dialami oleh
pasien selama menjalani pengobatan di RSUD Haji Makassar, baik
untuk pasien rawat jalan, maupun pasien rawat inap dengan membuat
61
Standar prosedur operasional (SPO) layanan pengaduan, hal tersebut
di ungkapkan oleh Kepala Komite Akreditasi dan Mutu yang
menjelaskan bahwa :
“Perlindungan hukum untuk peserta JKN maupun pasien umum di RSUD Haji Makassar semuanya sama,tidak ada perbedaan, yang membedakan hanya sistem pembiayaan, pelaporan mengenai pelanggaran terhadap hak pasien kami layani customer service, begitu juga dengan komplain yang melalui media,sms center, serta kotak saran”. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama RSUD Haji
Makassar Makassar Nomor 155/TU/RSUD/I/2016 tentang Hak pasien
dan keluarga terkait penyelesaian keluhan pasien dan keluarga Di
RSUD Haji Makassar SPO ini merupakan suatu bentuk komitmen
manajemen RSUD Haji Makassar kepada pelanggan/pasien yang
menemukan ketidaksesuain antara harapan (yang menjadi
kebutuhan) pelanggan dengan layanan yang diperoleh.
Pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa penyelenggaran
pelayanan publik sekurang-kurangnya memiliki pengelolaan
pengaduan masyarakat, begitupula yang terdapat pada pasal 24 ayat
(3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2014 Tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien disebutkan bahwa:
“Dalam rangka memenuhi hak pasien untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j, setiap Rumah Sakit menyediakan unit pelayanan pengaduan.
62
Berdasarkan hal tersebut diatas maka unit pengaduan harus ada
pada setiap rumah sakit. Tugas dan fungsi unit pelayanan pengaduan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik yang pada intinya, adanya unit pelayanan
pengaduan di rumah sakit adalah untuk memenuhi hak masyarakat
atau hak pasien untuk mengadukan pelayanan yang diterimanya,
untuk menerima pengaduan dari masyarakat atau pasien sesuai
dengan mekanisme yang ada, untuk melakukan pembelaan terhadap
pengaduan dan tuntutan yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, dan menyelesaikan pengaduan
tersebut secara cepat, obyektif dan adil.
Berdasarkan SPO layanan pengaduan yang ada di RSUD Haji
Makassar tersebut bertujuan sebagai acuan penerapan langkah-
langkah untuk penyelesaian keluhan pasien dan keluarganya terkait
hak-hak pasien di rumah sakit.
Prosedur pengaduan yang dapat dilakukan oleh pasien di RSUD
Haji Makassar adalah Keluhan yang disampaikan secara langsung
baik lisan maupun tertulis, staf rumah sakit wajib melakukan :
1. Staf mendengarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien dan
keluarga dengan cara :
a. Tenang optimis b. Tidak melakukan adu argumentasi dengan pasien dan
keluarga c. Tidak memotong atau menyelah pembicaraan d. Upayakan tidak terlibat secara emosional yang dalam e. Tidak tertawa saat berbicara dengan pasien dan keluarga
63
f. Tidak membela diri dan menyudutkan pasien dan keluarga.
2. Empati kepada pasien dan keluarga
3. Memngklarifikasi keluhan yang disampaikan
4. Meminta maaf kepada pasien dan keluarga atas
ketidaknyamanannya dan berterimah kasih atas masukannya
5. Mencatat setiap keluhan pasien dan keluarga dan melaporkan
kepada bagian terkait
6. Keluhan yang disampaikan secara tidak langsung via elektronik
yang diterima petugas humas, maka petugas humas wajib
melakukan
a. Membaca keluhan yang disampaikan b. Mengklarifikasi keluhan pasien dan keluarga dengan unit
terkait c. Menindaklanjuti setiap keluhan pasien dan keluarga dan
melaporkan kepada bagian yang terkait
Setelah keluhan pasien dan keluarga ditanggapi dengan baik
oleh staf rumah sakit maka diperlukan prosedur penyelesaian keluhan
agar tercipta kepuasan pelyanan bagi pasien dan keluarga sebagai
berikut :
1. Laporan keluhan diterima di runag pasien mengeluh, ditindaklanjuti oleh penanggung jawab shift atau kepala ruang, bersama sama dengan pasien atau keluarga mencari solusi
2. Apabila keluhan disampaikan melalui media elektronik misal telephone, email SMS dan lain lain, maka akan ditindaklanjuti sesuai dengan media yang digunakan oleh petgas humas dengan mengklarifikasi masalah terlebih dahulu dengan ruangan terkait.
3. Jika keluhan tidak dapat diselesaikan diruangan tersebut, maka kepala ruanng/kepala jaga meneruskan laporan keluhan kepada petugas Duty Manager,bersama-sama dengan pasien dan keluarga mencari solusi dalam waktu 1 (satu) hari kerja.
64
4. Jika solusi tidak memuaskan, Duty Manager meneruskan ke coordinator ruangan/kepada instalasi
5. Jika solusi tidak memuaskann coordinator ruangan/kepala Instalasi meneruskan ke petugas humas.
6. Jika petugas humas tidak dapat menyelesaikan maka diteruskan ke Kabid Hukum, Humas dan Pemasaran untuk dilakukan investigasi dan koordinasi dengan unit terkait serta menetapkan rencana perbaikan.
7. Kabid hukum, Humas dan Pemasaran dan ruang terkait menetapkan rencana perbaikan
8. Kabid hukum, Humas dan Pemasaran dan ruang terkait menyampaikan hasil perbaikan kepada petugas humas untuk disampaikan kepada konsumen yang memberikan pengaduan, saran dan masukan melalui sms, email, ata surat resmi dalam waktu maksimal 3 hari kerja.
9. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Kabid Hukum, humas dan pemasaran melaporkan kepada wadir Umum dan keuangan.
10. Apabila tidak dapat diselesaikan maka Wadir Umum dan Keuangan meneruskan ke Direktur
11. Apabila tidak dapat diselesaikan Direktur dapat menyelesaikan melalui konsultan hukum
12. Jika tidak berhasil maka konsultan hukum dapat melakukan mediasi atau alternative depute resolution
13. Jika mediasi tidak berhasil maka keluhan pasien/keluarga diselesaikan melalui jalur hukum atau pengadilan.
Pasien dan atau keluarga pasien memiliki hak untuk melakukan
pengaduan terhadap layanan rumah sakit, hak tersebut dijamin oleh
peraturan Perundang-undangan. Pasien, keluarga pasien dan
masyarakat tidak perlu ragu untuk melakukan pengaduan apabila
merasa mendapatkan pelayanan yang kurang baik atau pelayanan
yang tidak sesuai dengan standar.
Hal ini diatur di dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa
Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik
kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan
65
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, hal tersebut juga terdapat
pada Pasal 32 huruf (r) Undang-undang No 44 Tahun 2009 tentang
Rumah sakit yang menyatakan bahwa :
“Pasien mempunyai hak mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Di dalam Pasal 48 dan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dalam hal ini rumah sakit
memiliki kewajiban untuk memproses, merespon dan kemudian
memberikan jawaban atas aduan yang diajukan oleh pengadu dalam
jangka waktu tertentu, sehingga apabila pengadu tidak mendapatkan
jawaban atas aduannya atau setelah adanya aduan dan jawaban
namun tidak ada perubahan mengenai hal yang diadukan, maka
pengadu dapat menyampaikan aduannya kepada pihak-pihak di luar
rumah sakit tersebut.
Proses pengaduan yang dilakukan harus dibedakan terlebih
dahulu antara pengaduan yang sifatnya biasa dengan pengaduan
yang sifatnya berkaitan dengan hukum, hal ini dianggap perlu kerena
nantinya akan berkaitan dengan tata cara melakukan pengaduan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala bidang Hukum Dan
Humas RSUD Haji Makassar menyatakan bahwa
“Pengaduan yang sifatnya biasa adalah pengaduan yang diajukan karena pasien atau keluarga pasien menerima pelayanan yang tidak baik dan sama sekali tidak ada kaitannya
66
dengan hukum. Misalnya, tenaga medis yang kurang senyum, lingkungan rumah sakit yang kotor sehingga mengganggu kenyamanan atau ac kamar tidak berfungsi. Sedangkan pengaduan yang sifatnya berkaitan dengan hukum adalah pengaduan yang diajukan karena pasien atau keluarga pasien menduga pihak rumah sakit atau tenaga medis telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau tindak pidana, misalnya saja malpraktek”. Untuk melakukan pengaduan yang sifatnya berkaitan dengan
hukum, pasien dan atau keluarga sebaiknya didampingi oleh
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) karena proses pengaduan yang
berkaitan dengan hukum memerlukan pengetahuan tentang hukum
yang cukup, khususnya hukum kesehatan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pembiayaan
dan Jaminan Kesehatan, Dinas Kesehatan (selanjutnya dinkes)
Provinsi Sulawesi Selatan mengungkapkan bahwa dinkes Provinsi
Sulawesi Selatan mempunyai kewenangan yang besar dalam
melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan dan upaya
kesehatan di rumah sakit yang ada diwilayah Provinsi Sulawesi
Selatan
Menurut narasumber, selama dua tahun ini dinkes Provinsi
Sulawesi Selatan lebih berfokus kepada peningkatan kepesertaan,
serta lebih meningkatkan fasilitas layanan kesehatan khusunya FKTP,
baik itu membuat yang baru atau memperbaiki yang telah ada, agar
pantas untuk bekerjasama dengan JKN, dengan kata lain fasilitas
layanan kesehatan tersebut dapat diakreditasi, sehigga tidak ada
satupun rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS yang tidak
67
terakreditasi, walaupun demikian terkait masalah perlindungan pasien
narasumber menyatakan bahwa :
“Sangat perlu ada regulasi atau perlindungan hukum bagi pasien karena pada kenyataanya saat ini pasien selalu berada pada posisi yang lemah didalam proses pelayanan kesehatan, jadi semua pihak harus bersinergi membangun JKN”. Menurut Narasumber, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan sebagai
bagian dalam proses pengawasan pelaksanaan pelayanan kesehatan
di RSUD Haji Makassar terkadang menerima laporan mengenai
pelayanan kesehatan RSUD Haji Makassar, hasil wawancara dengan
narasumber yang menyatakan bahwa :
“untuk pelaporan yang terjadi sampai saat ini biasanya disebabkan oleh adanya pungutan liar dirumah sakit yang dilakukan oleh oknum perorangan, yang biasanya diadukan oleh LSM. biasanya teguran dilakukan dengan melalui telepon ataupun datang langsung dan memberikan surat teguran langsung”. Laporan pengaduan kepada dinkes sampai saat ini masih sebatas
adanya pungutan liar oleh beberapa oknum, terkait hak pasien,
khususnya hak pasien yang sifatnya spesifik belum ada sampai saat
ini. oleh narasumber disampaikan hal ini didasari oleh responsifnya
layanan pengaduan di rumah sakit dalam menangani laporan
pengaduan, sehingga tidak harus diselesaikan oleh Dinas Kesehatan.
Pelaporan kepada Dinas Kesehatan biasanya diadukan oleh LSM
khusunya yang bergerak dalam bidang kesehatan, berdasarkan
penuturan narasumber walaupun tidak dapat memberikan angka yang
pasti namun pengaduan mengenai layanan rumah sakit memang
meningkat disaat semakin bertambahnya peserta BPJS Kesehatan.
68
BPJS Kesehatan sebagai pelaksana jaminan kesehatan nasional
juga memberikan aturan mengenai pengaduan masyarakat terhadap
keluhan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh BPJS, Undang-
Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, pada BAB XII Mengenai Penyelesaian sengketa, Pasal 48
dinyatakan bahwa : untuk penyelesaian pengaduan :
(1) BPJS wajib membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan peserta.
(2) BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pengaduan.
(3) Ketentuan mengenai unit pengendali mutu dan penanganan pengaduan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan BPJS.
Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi pada Pasal
49
(1) Pihak yang merasa dirugikan yang pengaduannya belum dapat diselesaikan oleh unit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), penyelesaian sengketanya dapat dilakukan melalui mekanisme mediasi.
(2) Mekanisme mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui bantuan mediator yang disepakati oleh kedua belah pihak secara tertulis.
(3) Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatangan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh kedua belah pihak.
(4) Penyelesaian sengketa melalui mekanisme mediasi, setelah ada kesepakatan kedua belah pihak secara tertulis, bersifat final dan mengikat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
pada Pasal 50 disebutkan bahwa : Dalam hal pengaduan tidak
dapat diselesaikan oleh unit pengendali mutu pelayanan dan
69
penanganan pengaduan Peserta melalui mekanisme mediasi tidak
dapat terlaksana, penyelesaiannya dapat diajukan ke pengadilan
negeri di wilayah tempat tinggal pemohon.
3. Pelaksanaan Hak Memperoleh Second opinion Pasien Peserta
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Di Rumah Sakit Umum
Daerah Haji Makassar
Setiap warga Negara tanpa terkecuali, sebagaimana yang dijamin
di dalam konvensi internasional maupun hukum positif di Indonesia
secara tegas menerangkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, Pelayanan kesehatan meliputi
banyak hal baik secara medis maupun secara administratif, namun
pada intinya hak mendapatkan pelayanan kesehatan harus dengan
kualitas yang baik.
Kualitas kesehatan yang baik diperlukan karena berdasarkan
fakta dilapangan menyatakan bahwa pasien yang menjalani
perawatan dirumah sakit atau di fasilitas kesehatan lainnya belum
memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal, indikator sebuah
rumah sakit telah memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal
bukan hanya tercermin dari angka kesembuhan pasien, namun
sebuah rumah sakit harus dapat mengakomodir setiap hak pasien.
RSUD Haji Makassar merupakan rumah sakit rujukan dan telah
memperoleh akreditasi dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
RSUD Haji Makassar diharapkan dapat memberikan pelayanan
70
kesehatan secara paripurna, serta dapat mengakomodir setiap hak
pasien. Salah satu hak pasien yang menjadi objek penelitian penulis
adalah hak pasien untuk meminta konsultasi tentang penyakit yang
dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik
(SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit (Second opinion)
Berdasarkan hasil penelitian terkait pelaksanaan hak pasien untuk
meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain, RSUD Haji Makassar telah mempunyai standar prosedur
operasional (SPO) yang tertuang dalam Surat Ketetapan Direktur
RSUD Haji Makassar No. Dokumen 29.02.08 yang diterbitkan pada
tanggal 22 januari 2016 mengenai cara memperoleh second opinion di
lingkungan RSUD Haji Makassar,
Kebijakan ini dibuat berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama
RSUD Haji Makassar Makassar No. 155/TU/RSUD/I/2016 Tentang
Hak Pasien dan Keluarganya Selama Dalam Pelayanan di RSUD Haji
Makassar, yang menjadi acuan untuk setiap instalasi dalam
memberikan pelayanan hak pasien meperoleh second opinion.
berdasarkan SPO tersebut second opinion merupakan pendapat
lain dalam hal ini merupakan pendapat medis yang diberikan oleh
dokter lain terhadap suatu diagnose atau terapi maupun rekomendasi
medis lain terhadap penyakit yang diderita pasien, dengan tujuan
untuk memberikan kepuasan pasien dalam hal meningkatkan mutu
pelayanan.
71
Prosedur untuk memperoleh second opinion di RSUD Haji
Makassar adalah sebagai berikut :
1. Carilah dokter yang sesuai kompetensinya atau keahliannya yang menurut anda lebih bisa dipercaya, minta juga rekomendasi dari keluarga, tetangga atau teman dekat dokter manaa yang merekomendasikan
2. Rekomendasikan pengalama keberhasilan pengobatan teman atau keluarga terhadap dokter tertentu dengan kasus yang sama sangatlah penting untuk dijadikan sumber referensi
3. Carilah sumber informasi sebanyak-banyaknya tentang permasalahan kesehatan tersebut, jangan mencari informasi sepotong-sepotong karena seringkali akurasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Carilah sumber informasi yang kredibel seperti WHO, CDC, IDI, atau organisasi resmi lainnya.
4. Bila keadaan emergensi ata kondisi tertentu maka keputusan second oipinion juga dilakukan dalam waktu singkat hari itu juga
5. Mencari second opinion terhadap dokter yang dapat menjelaskan dengan mudah, jelas, lengkap dan dapat diterima logika, Biasanya dokter tersebut menjelaskan dengan baik dan mudah diterima, Dokter yang cerdas dan bijaksana biasanya tidak akan pernah menyalahkan keputusan dokter sebelumnya atau tidak akan pernah menjelek-jelekkan dokter sebelumnya atau menganggap dirinya paling benar.
6. Bila melakukan second opinion sebaiknya awalnya jangan menceritakan dulu pendapat dokter sebelumnya atau mempertentangkan pendapat dokter sebelumnya, agar dokter terekhir dapat objektif dalam menangani kasusnya. Kecuali dokter tersebut menanyakan pengobatan yang sebelumnya pernah diberikan atau pemeriksaan yang telah dilakukan.
7. Bila sudah memperoleh informasi tentang kesehatan, jangan menggurui dokter yang anda dapat belum tentu benar, tetapi sebaliknya yang anda dapat kemudian mintakan pendapat dokter tersebut tentang hal itu
8. Bila pendapat kedua dokter tersebut berbeda maka biasanya penderita dapat memutuskan salah satu keputusan tersebut berdasarkan argument yang dapat diterima secara logika atau dalam keadaan tertentu ikut advis dari dokter tersebut bila terdapat perbaikan makna dan sesuai penjelasan dokter maka keputusan tersebut mungkin dapat dijadikan pilihan, bila hal itu masih membingunkan tidak ada salahnya melakukan pendapat ketiga, biasanya dengan berbagi pendapat tersebut masih sulit dipilih, biasanya kasus yang dihadapi adalah kasus yang sangat sulit
9. Keputusan second opinion terhadap terapi alternative sebaiknya tidak dilakukan karena pasti terjadi perbedaan pendapat dengan
72
pemahaman tentang kasus yang berbeda latarbelakang keilmuan yang berbeda,
10. Kebenaran ilmiah dbidang kedokteran tidak harus berdasarkan senioritas atau gelar professor yang disandang, tetapi berdasar kepakaran dan landasan pertimbangan kejadian ilmiah berbasis bukti penelitian dibidang kedokteran.
Pelaksanaan hak pasien dalam memperoleh second opinion di
RSUD Haji Makassar saat ini tidak dapat dilepaskan dari peran serta
BPJS, hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan regulasi
antara hak pasien sebagai pasien dirumah sakit yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
dengan hak pasien sebagai peserta JKN yang diatur oleh Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri Kesehatan dan BPJS.
Proses pelayanan kesehatan peserta JKN harus tunduk
terhadap alur pelayanan yang telah diatur oleh BPJS, dengan
adanya regulasi tersebut menjelaskan bahwa dalam proses
pelaksanaan hak pasien untuk memperoleh second opinion bukan
hanya menjadi tanggung jawab RSUD Haji Makassar sebagai
penyedia pelayanan kesehatan, tetapi juga BPJS sebagai pelaksana
jaminan kesehatan nasional.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dokter Penanggung
Jawab Pasien (DPJP) dari poliklinik Onkologi dan poliklinik obgyn
tentang pelaksanaan program JKN saat ini menyatakan bahwa:
“Saat ini program BPJS merupakan program yang sangat baik jika
dilaksanakan dengan maksimal, maksimal yang dimaksud adalah
BPJS diharapkan dapat melayani semua hak pasien khususnya
73
pasien yang tidak mampu, dan memberikan rujukan ke fasilitas yang
terbaik”.
Hasil wawancara dengan tiga (3) DPJP lain mengenai
pelaksanaan program JKN saat ini menyatakan bahwa pelayanan
kesehatan BPJS saat ini masih mengalami banyak kendala,
contohnya masih banyaknya rujukan pasien yang tidak jelas
diagnosisnya, serta pembayaran klaim BPJS yang mensyaratkan
adanya diagnosis tunggal
Menurut responden hal tersebut sangat memberatkan karena
dalam proses penentuan diagnosis tidak selalu sesuai dengan
sistem penetapan diagnosis yang telah ditentukan oleh BPJS.
Penyataan mengenai layanan JKN saat ini juga dikemukan oleh
narasumber yang merupakan Kepala Seksi Pembiayaan Dan
Jaminan Kesehatan bahwa :
“JKN saat ini sudah sangat berkembang, jauh berbeda dibandingkan dengan awal tahun 2014, namun kami dari dinas kesehatan masih terus pengawal perkembangan kedepannya, khususnya di daerah Sulawesi Selatan.” Hal Senada juga di kemukakan oleh Kepala Divisi Penjaminan
mutu rujukan BPJS Kesehatan Kantor cabang Makassar yang
menyatakan bahwa secara umum masyarakat sudah sangat
merespon dengan program JKN saat ini, terbukti dengan semakin
meningkatnya partisipasi masyarakat saat ini untuk menjadi peserta
JKN khususnya wilayah kota Makassar, namun masih ada beberapa
yang perlu dilakukan sosialisasi terkait dengan program JKN ini dan
74
sosialisasi mengenai JKN bukan hanya tanggung jawab BPJS, tetapi
menjadi tanggung jawab bersama semua instansi terkait.
Tujuan penyelenggaraan JKN adalah menjamin peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan dan agar semua
penduduk terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak,
dalam rangka.
1. Memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta di seluruh jaringan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan kepada peserta secara menyeluruh, terstandar, dengan sistem pengelolaan yang terkendali mutu dan biaya.
3. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Program JKN melalui BPJS diharapkan dapat memberikan
kemudahan dan akses dalam pelayanan kesehatan dan
mengakomodir setiap hak hak pasien peserta JKN, berdasarkan
hasil wawancara dengan pasien peserta JKN yang menyatakan
bahwa :
“Aturan BPJS saat ini sangat menghabiskan waktu hanya untuk menunggu antrian,bukan memberikan kemudahan dalam mengakses pelayanan kesehatan tetapi,proses administrasi yang sangat panjang membuat yang sakit bertambah sakit” Hal yang sama juga dikeluhkan oleh tiga (3) responden lain yang
mengeluhkan mengenai layanan BPJS yang terkesan lambat, serta
proses administrasi yang sulit, begitupun dengan aturan BPJS yang
75
terkadang berubah dengan cepat tanpa dibarengi dengan sosialisasi
yang maksimal.
Layanan BPJS telah banyak mengalami perkembangan sejak
pertama kali dilaksanakan, namun sampai saat ini BPJS disebut
belum sepenuhnya mampu untuk mengakomodasi hak pasien untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara
dengan DPJP mengenai proses pelayanan pasien di RSUD Haji
Makassar yang menyatakan bahwa :
“Pelayanan pasien serta pemenuhan hak pasien di RSUD haji makassar harus sesuai dengan SPO yang ada, karena rsud haji makassar telah terakreditasi paripurna sehingga setiap tindakan maupun alur pelayanan harus mengikuti SPO yang telah ditentukan, jadi dokter tidak melalukan pelayanan diluar dari alur yang telah ditentukan, akan tetapi di era JKN memang terkadang terdapat perbedaan antara rumah sakit dengan BPJS” Adanya perbedaan dalam menentukan diagnosis serta proses
pengklaiman BPJS yang terkesan kaku dianggap belum ideal,
bahkan terkadang dianggap tidak relevan dengan perkembangan
dilapangan. Lambatnya aturan BPJS diangap tidak sejalan dengan
perkembangan ilmu, khususnya ilmu kedokteran yang sangat cepat,
membuat aturan BPJS tertinggal. Hal itu dibenarkan oleh verifikator
BPJS Kesehatan RSUD Haji Makassar yang juga menyatakan
bahwa :
“Verifikator BPJS kesehatan disini melaksanakan tugas telah sesuai dengan aturan yang berlaku, adapun jika ada yang tidak sesuai dengan harapan BPJS memerima kritikan serta saran, karena BPJS masih dalam proses perkembangan”
76
Belum adanya persamaan persepsi terhadap peraturan dan
verifikasi klaim antara rumah sakit, DPJP dan BPJS menjadikan
pasien sebagai korban dalam proses pelayanan kesehatan. Terkait
dengan pelaksanaan hak pasien peserta JKN dalam memperoleh
second opinion, berdasarkan hasil wawancara dengan DPJP
menyatakan bahwa :
“Selama ini kita tidak mengetahui bahwa di rsud haji makassar terdapat spo mengenai second opinion, kita tidak pernah memberikan spo tersebut karena didalam proses pelayanan dilakukan dengan cara rawat bersama, yang prosesnya dilakukan dengan sistem konsutasi”. DPJP lain juga menyatakan tidak mengetahui mengenai SPO
tersebut, adapun salah seorang responden yang mengetahui
mengenai SPO hak pasien dalam memperoleh second opinion akan
tetapi tidak mengetahui bentuk SPO tersebut, Pernyataan dokter
DPJP mengenai ketidaktahuan mengenai keberadaan SPO second
opinion di RSUD Haji Makassar menunjukkan bahwa kurangnya
sosialisasi mengenai SPO hak pasien untuk memperoleh second
opinion. Hal ini membuktikan bahwa sosialisasi mengenai hak pasien
dalam memperoleh second opinon di RSUD Haji Makassar masih
sangat rendah.
Semua unit di RSUD Haji Makassar seharusnya mengetahui
akan adanya SPO tersebut dan formulir hak pasien dalam
memperoleh second opinion harus ada disetiap instalasi, akan tetapi
didalam proses penelitian ini SPO mengenai second opinion hanya
77
dapat diperoleh di Unit Akreditasi, Mutu serta di Unit Layanan
Medik.Pasien merupakan sasaran utama dari implementasi program
yang dibuat oleh manajemen RSUD Haji Makassar, Selain Rumah
Sakit, BPJS, dan Dokter Penanggung jawab Pasien, pelaksanaan
hak pasien untuk memperoleh second opinion sangat dipengaruhi
oleh pasien penerima layanan kesehatan (Health Reciever).
Hingga saat ini pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan
terkadang masih bersifat paternalistik, bahwa mereka menyerahkan
sepenuhnya proses pelayanan yang akan diterima kepada rumah
sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya, kurangnya rasa ingin
tahu dan berpasrah diri terkadang membuat pasien tidak dapat
memperoleh haknya dengan baik, hal tersebut sesuai dengan hasil
wawancara dengan pasien peserta JKN yang menyatakan bahwa :
”Pada saat pendaftaran kami diberi formulir yang berisikan tentang hak dan kewajiban pasien selama mereka memperoleh pelayanan kesehatan, tapi tidak dibaca dengan baik, karena tidak memperdulikan hal tersebut,kita hanya mengisi yang disuruh” Dari kutipan wawancara tersebut diatas menjelaskan bahwa
pasien sebagai pemangku hak di rumah sakit tidak memperhatikan
hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak nya dirumah
sakit, Hal senada juga diutarakan oleh responden yang lain bahwa :
“Kita datang kesini untuk berobat, untuk masalah hak, kami cuma menginginkan pelayanan yang cepat, karena pekerjaan kami juga banyak yang menunggu,kami melihat di sudut sudut rumah sakit banner tentang hak dan kewajiban pasien,tapi kami tidak perhatikan apa saja isinya.
78
“Saya sudah tidak sempat membaca formulir, saya fokus sama keluarga yang sakit, masalah hak pasien saya cuma tahu kalau saya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis,karena saya peserta BPJS yang sudah membayar iuran”
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut diatas, pasien yang
datang kerumah sakit telah menyerahkan sepenuhnya pengobatan
kepada petugas rumah sakit, pasien hanya mengharapkan adanya
pelayanan yang maksimal dan bermutu. mereka menyadari bahwa
mereka mempunyai hak dan kewajiban, akan tetapi hal tersebut tidak
menjadi lebih penting dari sebuah pelayanan yang cepat dan
memuaskan.
Pasien peserta JKN hanya menginginkan bahwa setelah
mereka membayar iuran BPJS, mereka berhak atas layanan
kesehatan gratis di rumah sakit. Kurangnya informasi mengenai hak
dan kewajiban pasien membuat pasien tidak menyadari hak yang
sebenarnya sebagai seorang pasien.
Hal yang berbeda diutarakan oleh satu (1) responden lain yang
menyadari pentingnya hak mereka sebagai pasien di rumah sakit,
mereka dengan cermat memperhatikan setiap detail layanan
kesehatan yang akan diterima, serta tidak sepenuhnya berpasrah diri
terhadap setiap tindakan yang akan dilakukan kepadanya, mereka
menyadari akan hak mereka untuk menentukan layanan apa yang
seharusnya mereka terima. Dalam proses pelaksanaan pelayanan
kesehatan, rumah sakit mempunyai kewajiban untuk memberikan
informasi kepada pasien mengenai hak dan kewajiban pasien
79
dirumah sakit, hal tersebut terdapat pada pasal 29 ayat (1) Huruf (l)
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
dinyatakan bahwa :
“Kewajiban Rumah Sakit Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Akreditasi
Mutu menyatakan bahwa :
“Saat ini RSUD haji makassar sangat mengutamakan kepentingan dan hak-hak pasien,pada setiap pendaftaran terdapat formulir yang didalamya menyebutkan tentang hak dan kewajiban pasien, begitupula dengan setiap ruang tunggu pendaftaran kami memasang banner yang juga menyebutkan mengenai hak dan kewajiban pasien.” Edukasi dan sosialisasi mengenai hak pasien di RSUD HAJI
MAKASSAR telah dilakukan, dengan adanya hak dan kewajiban
pasien di formulir pendaftaran pasien, serta ditempatkannya banner
di setiap ruang tunggu pelayanan merupakan sinergi dari rumah sakit
dalam memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pasien.
Berdasarkan hasil wawancara dengan verifikator BPJS RSUD
Haji Makassar mengenai hak pasien dalam memperoleh second
opinion yang menyatakan bahwa :
“BPJS kesehatan tidak dapat menfasilitasi permintaan pasien untuk memperoleh second opinion,karena hal tersebut termasuk kategori atas permintaan sendiri (APS) itu diluar prosedur BPJS”. Proses pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien peserta BPJS
saat ini tunduk dan patuh terhadap aturan BPJS Kesehatan, apabila
pasien tidak bersedia untuk mengikuti prosedur maka pasien akan
80
dikenakan biaya dalam proses pelayanan kesehatan selanjutnya. Hal
ini menunjukkan bahwa BPJS tidak dapat mengakomodasi hak
pasien dalam memperoleh second opinion karena tidak adanya
regulasi dari BPJS kesehatan mengenai prosedur permintaan pasien
untuk memperoleh second opinion.
Sehubungan dengan kurangnya informasi yang diperoleh oleh
pasien mengenai hak pasien dalam memperoleh second opinion,
wawancara dengan ke empat (4) pasien peserta JKN diperolah
bahwa pasien tidak pernah mengetahui bahwa mereka mempunyai
hak untuk meminta pendapat kedokter lain, menurut responden
mereka pernah melakukan hal tersebut tetapi mereka tidak
memahami bahwa ada prosedur yang dapat menjamin hak pasien
untuk menanyakan mengenai penyakitnya kepada dokter lain.
Kurangnya pengetahuan pasien mengenai hak dalam
memperoleh second opinion, membuat pasien ragu untuk
memperoleh second opinion dari dokter lain, kemudian faktor lamanya
proses pelayanan membuat pasien belum berpikir untuk
memeriksakan dirinya kedokter lain, bahwa hanya dengan
memperoleh pelayanan yang cepat saat ini bagi pasien merupakan
hal yang sangat memuaskan.
81
B. Pembahasan
1. Perlindungan Hukum Hak Memperoleh Second opinion Pasien
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Di RSUD Haji Makassar.
Hukum kesehatan mengenal dua hak dasar manusia yaitu : Hak
Dasar Sosial dan Hak Dasar Individu. Hal yang paling menonjol dalam
hak dasar sosial adalah The Right of Health Care (hak atas
pemeliharaan kesehatan), akibat adanya hak ini, maka timbulah salah
satu hak individu yaitu, The Right to Medical Care (hak atas pelayanan
medis). “Antara hak sosial dan hak individu tersebut, saling
mendukung, tidak saling bertentangan serta minimalnya berjalan
paralel.56
Dua asas hukum yang melandasi hukum kesehatan yaitu the right
to health care atau hak atas pelayanan kesehatan dan the right of self
determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak
dasar atau hak primer dalam bidang kesehatan khususnya hukum
kedokteran. The right to health care ini diakomodir oleh Pasal 4
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang
kemudian melahirkan hak-hak turunan yang lain, baik yang bersifat
individu maupun sosial57
56 Fred Ameln, 1991 Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya,
Jakarta, Hlm 28 57 Siregar E dan Budhiartie A 2011, Perlindungan Hukum Dan Hak Hak Pasien
Dalam Transaksi Terapeutik” Lembaga Penelitian Universitas Jambi
82
Disamping itu, didalam kehidupan bermasyarakat hak dapat
dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu hak khusus dan hak umum, hak
khusus merupakan hak yang timbul dalam suatu relasi khusus yang
tidak dimilki oleh semua orang, atau terkait dengan fungsi khusus
sesorang terhadap orang lain.seperi hak pasien terhadap dokter atau
sebaliknya hak dokter terhadap pasien.58
Selanjutnya ada yang disebut dengan hak umum yakni hak yang
dimiliki oleh seseorang karena ia manusia, bukan karena fungsi khusus,
atau dengan kata lain hak yang dimiliki oleh semua manusia
Pendekatan filosofis mengenai hak menentukan nasib sendiri bertolak
dari pemikiran bahwa manusia itu mempunyai kebebasan dan otonomi
untuk menentukan kehendaknya sendiri, dengan adanya hak
menentukan nasib sendiri maka manusia diberi pula tanggung jawab,
tanpa hak menentukan nasib sendiri tidak mungkin manusia dapat
menilai benar atau salah dalam tindakannya.59
Hak menentukan nasib sendiri adalah hak fundamental manusia,
sekalipun hak tersebut berbeda antara masyarakat yang satu dan
masyarakat yang lainnya, namun pada hakikatnya bahwa keinginan
manusia untuk mengatur keinginannya sendiri sesuai dengan
pandangan pribadinya, mengadakan pilihan pilihan sendiri, bahkan
58 Notoatmodjo 2010 “Etika Dan Hukum Kesehatan” PT Rineka Cipta , Jakarta
Hlm. 27 59 Freddy T, 2007 Hak Pasien “ CV Mandar Maju, Bandung Hlm 63
83
merencanakan sendiri pembentukan dan pengambilan keputusan untuk
dirinya sendiri merupakan sesuatu yang diakui secara umum.60
Hak menentukan nasib sendiri sebagai hak alas atas hak hak lain
dalam pelayanan kesehatan harus dilihat dari konteks sosial, dalam
hubungan ini kita tidak hanya melihat konteks hak manusia secara
individual, karena perlu diperhatikan bahwa syarat utama adalah bahwa
hukum harus memberikan kepada seluruh warna negara kedudukan
yang setara dan hak hak yang sama secara proporsional.61
Perlindungan hukum merupakan upaya untuk melindungi
kepentingan peserta jaminan kesehatan dalam mewujudkan
terjaminnya pemenuhan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan oleh karena hal tersebut kehadiran peraturan perundang-
undangan yang melindungi hak-hak seluruh warga Indonesia tanpa
terkecuali serta meghadirkan sistem keadilan sangat dibutuhkan, yang
dapat diakses oleh masyarakat, khususnya masyarakat peserta
jaminan kesehatan.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum
ada dua macam, yaitu Sarana Perlindungan Hukum Preventif, Pada
perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya
adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif
60 Ibid 61 Ibid Hlm 65
84
sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada
kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang
preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
Berdasarkan hasil penelitian, RSUD Haji Makassar telah
memberikan perlindungan terhadap hak pasien dapat tewujud,
perlindungan tersebut dalam bentuk Standar prosedur operasional hak
pasien dalam memperoleh second opinion yang didalam
pelaksanaannya melibatkan setiap unit di rumah sakit, khususnya
dokter penanggung jawab pasien sebagai implementor dan pasien
sebagai sasaran dari kebijakan tersebut, sehingga proses pelaksanaan
hak pasien untuk memperoleh second opinion bukan merupakan
paksaan dari salah satu pihak, tetapi merupakan kesepakatan kedua
belah pihak yang tertuang dalam kesepakatan yang ditanda tangani
oleh kedua belah pihak sehingga jika terjadi kesalahan dalam proses
second opinion, maka dokter maupun pasien mempunyai perlindungan
hukum yang pasti.
Standar prosedur operasional hak pasien untuk memperoleh
second opinion di RSUD Haji Makassar memberikan peluang kepada
pasien untuk berkonsultasi tentag masalah kesehatan yang dideritanya
kepada dokter lain, baik didalam RSUD Haji Makassar ataupun di
Rumah sakit lain, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan
85
Perundang-undangan yang memberikan hak kepada pasien untuk
menentukan layananan kesehatan apa yang terbaik untuk dirinya.
Selain itu SPO tersebut juga memberikan perlindungan
mengenai kerahasian rekam medis yang dimiliki oleh pasien, yang
diberikan apabila DPJP merupakan dokter yang berasal dari luar rumah
sakit. Pelaksanaanya dilakukan dengan menandatangani surat
pernyataan menjaga kerahasian pasien.
Perlindungan hukum juga akan diperoleh oleh dokter, dengan ada
formulir yang disepekati oleh dokter dan pasien maka dokter akan
terbebas dari tuntutan jika didalam proses pelaksanaan second opinion
kepada dokter lain terjadi hal yang merugikan pasien, begitupula
dengan kewajiban seorang dokter untuk memberikan pelayanan
kesehatan sampai pasien sembuh, dengan ditandatanganinya formulir
tersebut maka segala resiko yang terjadi bukan lagi menjadi
tanggungjawab dokter pertama.
Hubungan dokter dan pasien merupakan hubungan keperdataan
yang didasari oleh sebuah perjanjian. Seorang pasien memeriksakan
diri kepada seorang dokter untuk disembuhkan penyakitnya dan disis
lain seorang dokter berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan
kesembuhan kepada pasien.hubungan tersebut lazimnya disebut
dengan hubungan terapeutik. Selain itu peranan rumah sakit sangat
dalam menerapkan perlindungan hukum yang telah ada sangat
diperlukan, perkembangan dunia medis sangat menunjang kesehatan
86
masyarakat, sudah seharunya pihak rumah sakit memberikan
perlindungan hukum kepada pasien sebagaimana mestinya.
Selanjutnya adalah bentuk perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum
dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori
perlindungan hukum ini. RSUD Haji Makassar juga telah mempunyai
SPO mengenai penanganan masalah terkait keluhan maupun
pengaduan pasien, sehingga apabila terjadi sengketa, maka pasien
maupun dokter penanggungjawab pasien akan mendapatkan
pendampingan dalam proses penyelesaian masalah/keluhan yang
terjadi didalam proses pelayanan kesehatan di RSUD Haji Makassar.
Didalam proses pelayanan kesehatan, pasien harus dipandang
sebagai subyek yang memberikan pengaruh besar atas hasil akhir
layanan. Pemenuhan hak-hak pasien sudah menjadi keharusan sebuah
rumah sakit. Mengingat tingkat kepuasan pasien menjadi salah satu
tolak ukur mutu layanan dan barometer dalam rangka memberikan
perlindungan kepada pasien. Sedangkan ketidakpuasan pasien dapat
menjadi pangkal terjadinya sebuah tuntutan hukum.
Selain rumah sakit, peranan pemerintah dalam memberikan
perlindungan hukum kepada pasien sangat diperlukan. Pemerintah
bertanggung jawab memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang
baik kepada semua warga Negara tanpa terkecuali dengan prosedur
87
pelayanan yang jelas, pembiayaan yang terjangkau, dan perlindungan
hukum.
Negara memiliki kewajiban untuk menghormati (torespect)
melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya warga Negara. Negara diletakkan sebagai aktor
utama pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders)
mewujudkan hak hak ekonomi, sosial dan budaya, sementara warga
negara adalah pemegang hak (right holders)62
Tanggung jawab Negara diwujudkan dalam memberikan
perlindungan hukum kepada pasien peserta jaminan kesehatan
nasional yang didalamnya mencakup banyak hal, diantaranya
ketersediaan, keterjangkauan, penerimaan, serta kualitas layanan,
khususnya hak untuk memperoleh second opinion agar dihargai hak
asasinya dan dilindungi oleh Negara.63
Tolak ukur ketersediaan dapat dilihat dari aspek adanya peraturan
perundang-undangan , adanya Standar prosedur operasional yang
mengatur teknis pelaksanaan suatu kebijakan, dan kemampuan serta
profesionalitas seorang implementor, aspek tersebut sangat penting
dan saling terkait dalam proses pemberian hak pasien dalam
memperoleh second opinion secara keseluruhan, jika salah satu faktor
62 Rukmini M. et al, 2006 ,Pengantar Memahami Hak Ekosob, Penerbit Pattiro, Cetakan 1
Desember Jakarta selatan Hlm. 9 63 Nitro Galenso 2015, Perlindungan Hukum Bagi Peserta Jaminan Kesehatan Terhadap Layanan
Ambulans Oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Dalam Keadaan Gawat Darurat
Tesis Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada.
88
tidak ada atau kurang maka hak pasien dalam memperoleh second
opinion tidak akan berjalan dengan maksimal.
RSUD Haji Makassar sebagai salah satu rumah sakit rujukan
harus mempunyai Sumber Daya Manusia kesehatan yang profesional
dan bertanggung jawab, yang mengetahui dan menghargai setiap hak
pasien di rumah sakit, hal tersebut agar di dalam proses pelayanan
pasien dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal serta
dapat memperoleh hak sebagai pasien tanpa ada diskriminasi,
sinergitas antara manajemen rumah sakit didalam melakukan
sosialisasi tentang sebuah kebijakan harus selalu dilakukan agar setiap
unit didalam rumah sakit dapat melaksanakan setiap kebijakan dengan
baik.
Aspek selanjutnya adalah keterjangkauan yang dapat dilihat dari
aspek aksebilitas pasien yang artinya apakah pasien dapat
memperoleh hak tersebut tanpa adanya diskriminasi, proses pelayanan
kesehatan yang berdasar kepada penghormatan terhadap hak pasien
dan keluarga, khusunya pasien peserta BPJS, tidak adanya prosedur
pasien BPJS untuk memperoleh second opinion menunjukkan bahwa
BPJS tidak sepenuhnya memperhatikan setiap aspek hak-hak pasien,
RSUD Haji Makassar telah memberikan layanan yang dapat diakses
oleh setiap pasien tanpa membedakan kepesertaan, baik pasien
peserta BPJS maupun pasien umum. Namun disisi yang berbeda BPJS
tidak memberikan peluang kepada pasien untuk memperoleh second
89
opinion, yang semestinya kebijakan mengenai hak pasien untuk
memperoleh second opinion seharusnya oleh BPJS dilihat dari aspek
kemanfaatan bukan dari aspek keuntungan.
Aspek selanjutnya adalah acceptability, Penerimaan masyarakat
dilihat dari aspek etika medis dan norma didalam masyarakat,
berdasarkan konsep kemanusiaan hak atas tubuh harus dipandang
sebagai suatu kesatuan dari keberadaan yang manunggal dan
bertanggung jawab. Setiap pasien dirumah sakit mempunyai hak untuk
memperoleh informasi mengenai persoalan penyakit yang dideritanya
kepada dokter lain baik diluar maupun didalam rumah sakit selama
dokter tersebut mempunyai SIP.
Hal tersebut dilaksanakan bukan karena paksaan dan merupakan
hak pasien yang harus dihormati. Berdasarkan pada Pasal 5 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
menyebutkan bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya. Adanya batasan tentang prosedur layanan JKN
yang berjenjang jika tidak dikaji lebih dalam akan berdampak terhadap
pelangaran hak pasien untuk menentukan layanan apa yang diperlukan
bagi dirinya.64
Selanjutnya adalah Quality, Kualitas layanan dan kemampuan
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu,
64 Hwain Christianto, 2011 Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ
Berdasarkan Nilai Kemanusian “ Mimbar Hukum Volume 23 Nomor 1 Hlm 34-35
90
serta terjaminnya jaminan kesehatan harus disertai dengan
pelaksanaan pemenuhan hak-hak pasien di rumah sakit. Perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan harus diselenggarakan
sesuai dengan standar prosedur, standar etika dan profesi. Layanan
kesehatan yang bermutu adalah adanya kesesuaian antara pelayanan
yang diberikan oleh rumah sakit dan biaya yang menjadi tanggung
jawab BPJS kesehatan. Perlindungan hukum oleh BPJS kesehatan
terkait hak pasien dalam memperoleh second opinion tidak dapat
diberikan oleh BPJS, adanya pertentangan antara aturan rumah sakit
dan BPJS membuat kurangnya kualitas layanan. Layanan BPJS harus
dapat memberikan manfaat kesehatan yang setinggi-tingginya agar
kualitas hidup peserta BPJS kesehatan terjamin.
Terpenuhinya setiap aspek didalam proses pelayanan kesehatan
saat ini akan berdampak kepada meningkatnya kualitas layanan
kesehatan, ketersediaan layanan yang dapat diakses dan diterima oleh
setiap pasien akan menjamin sebuah pelayanan kesehatan yang
maksimal dan tepat guna, dan merupakan bentuk anggung jawab
Negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada pasien peserta
jaminan kesehatan nasional. Selain itu pemerintah harus dapat
menjamin perlindungan hukum yang diberikan tidak tumpang tindih,
artinya bahwa regulasi yang ada tidak bertentangan dengan aturan
yang lain.
91
Perbedaan aturan yang terjadi antara rumah sakit dan BPJS
Kesehatan tidak memcerminkan adanya sinkronisasi norma dalam
proses pembuatan regulasi oleh BPJS Kesehatan, padahal di Indonesia
terdapat aturan mengenai pembentukan peraturan perundang-
undangan, yang dibuat dalam rangka mewujudkan keberadaan hukum
dan tata tertib di Indonesia.
Undang Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 disebutkan bahwa :
“jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”
Pentingnya hirarki dalam proses penyusunan peraturan
Perundang-Undangan berdasarkan kepada teori stufenbau theory dari
Hans Kelsen. Yang menyatakan tentang karakter dinamis dari sistem
norma, yang dimana suatu norma hukum menentukan cara untuk
membuat norma hukum yang lain.dan untuk derajat tertentu
menentukan isi dari norma yang lain itu. 65
Hubungan antar norma-norma yang membentuk norma lain
digambarkan sebagai hubungan subordinasi dan subordinat, norma
yang lebih tinggi menentukan pembentukan norma lain sehingga
melahirkan tatanan hukum sebagai tingkatan-tingkatan dari norma-
65 R. Muttaqin, 2011,Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari buku HansKelsen,
General Theory of Law and State (New York : Russel and Russel, 1971), Nusa Media,Bandung:
hlm.179.
92
norma, namun jika melihat kenyataan dilapangan yang didasari oleh
hasil penelitian, menunjukkan bahwa Peraturan Menteri Kesehatan No
71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan
Kesehatan Nasional tidak sejalan dengan norma yang diatur oleh
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. khususnya
hak pasien untuk memperoleh second opinion.
Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan
menurut Bagir manan mengandung beberapa prinsip yakni Peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau
memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan
tingkat lebih tinggi, selanjutnya Isi atau materi muatan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh menyimpangi
atau bertentaangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat
lebih tinggi, kecuali apabila peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dibuat tanpa wewenang atau meliputi wewenang. Kemudian
harus diadakan mekanisme yang menjaga dan menjamin agari prisnsip
tersebut tidak disimpangi atau di langgar.66
66 Bagir Manan “Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia”, Penerbit IND-
HILL.CO, Jakarta, 1992, hal 57-58.
93
2. Pelaksanaan Hak Memperoleh Second opinion Pasien Peserta
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Di Rumah Sakit Umum Daerah
Haji Makassar
Hak asasi manusia sebagai gagasan, paradigma serta kerangka
konseptual tidak lahir secara mendadak sebagaimana kita lihat dalam
"Universal Declaration Of Human Right” 10 Desember 1948, namun
melalui suatu proses yang cukup panjang dalam peradaban sejarah
manusia. Dari perspektif sejarah deklarasi yang ditandatangani oleh
majelis umum PBB dihayati sebagai suatu pengakuan yuridis formal
dan merupakan titik khususnya yang tergabung dalam PBB. PBB
melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan
secara yuridis formal walaupun dalam realisasinya juga disesuaikan
dengan kondisi serta peraturan Perundang-undangan yang berlaku di
suatu Negara.
Hak Asasi Manusia adalah kebebasan seseorang untuk bertindak
sesuai dengan hati nuraninya berkenaan dengan hal-hal yang asasi
atau mendasar atau prinsipil. Hal-hal yang asasi itu adalah berbagai hal
yang memungkinkan manusia dapat hidup layak sebagai manusia.
Asas-asas dasar HAM adalah suatu asas dasar yang harus ada dalam
hak asasi manusia agar keadilan dan kesetaraan dirasakan oleh semua
orang tanpa terkecuali.
Didalam proses pelayanan kesehatan, rumah sakit diharapkan
dapat memberikan pelayanan yang maksimal dan menghargai hak hak
94
pasien, rumah sakit sebagai health provider harus dapat memberikan
pelayanan kesehatan secara paripurna, sesuai dengan Pasal 1 Huruf
(c) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit yang
menyatakan bahwa : Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah
pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Pelayanan kesehatan di rumah sakit harus sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 44 Tahun
2009 Tentang Rumah sakit menyebutkan bahwa : Pengaturan
penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit. Setiap rumah sakit diharapkan mempunyai kualitas layanan yang
dapat mengakomodasi hak-hak pasien, selain kualitas layanan, sumber
daya manusia (SDM) kesehatan didalam memberikan layanan
kesehatan juga memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas
layanan di rumah sakit, rumah sakit sebagai layanan kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS dituntut untuk dapat memberikan pelayanan
yang maksimal, hal itu ditandai dengan adanya kerjasama yang
dilakukan melalui perjanjian kerjasama antar rumah sakit dan BPJS, hal
95
tersebut diharapkan agar setiap pasien peserta JKN dapat memperoleh
manfaat pelayanan jaminan kesehatan.
Untuk dapat bekerjasama dengan BPJS rumah sakit harus memiliki
1)Surat Ijin Operasional; 2) Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit; 3)
Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 4) Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan; 5.) Perjanjian kerja sama dengan
jejaring, jika diperlukan; 6) Sertifikat akreditasi; dan 7. Surat pernyataan
kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
Akreditasi yang diterbitkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit
(KARS) sangat penting dimiliki oleh sebuah rumah sakit. Sebab dengan
adanya pengakuan mutu pelayanan standar rumah sakit oleh lembaga
yang berkompeten, masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang
baik dan memenuhi standar mutu. dengan adanya akreditasi ini,
sebagai syarat kerjasama dengan pihak lain, selain akreditasi adanya
SIP bagi dokter yang bepraktek di Rumah sakit jejaring menjadi acuan
dalam memberikan layanan yang berkualitas dan professional.
Rumah sakit harus memiliki sarana dan prasarana yang dapat
mengakomodasi hak pasien. RSUD Haji Makassar sebagai rumah sakit
yang telah memperoleh akreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit
seharusnya dapat mengakomodasi hak pasien dalam memperoleh
second opinion, Dengan adanya SPO tentang hak pasien dalam
memperoleh second opinion di RSUD Haji Makassar secara langsung
96
telah memberikan jaminan terwujudnya hak pasien dalam proses
pelayanan kesehatan, hal ini sudah sesuai dengan asas kepastian
hukum, yang merupakan asas yang bertujuan untuk menghormati hak-
hak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan keputusan badan atau
pejabat administrasi Negara.
Standar prosedur operasional tentang hak pasien untuk
memperoleh second opinion merupakan kebijakan yang harus di
transmisikan dengan mengimplementasikan secara maksimal agar
tujuan dari kebijakan dapat diwujudkan serta dapat melindungi
kepentingan pasien didalam memperoleh layanan kesehatan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono) ada tiga
kelompok variable yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
sebuah kebijakan yakni : Karakteristik dari masalah (tracktability of the
problems), karakteristik dari kebijakan/undang-undang (ability of statue
to structure implementation), dan variable lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation).
Variable yang pertama yaitu karakteristik masalah, (tracktability of
the problems), yakni tingkat kesulitan teknik dari masalah yang
bersangkutan,tingkat kesulitan pelaksanaan hak pasien untuk
memperoleh second opinion di RSUD Haji Makassar yang merupakan
masalah utama adalah tidak diakomodirnya hak pasien dalam
memperoleh second opinion oleh BPJS kesehatan yang berdampak
kepada tidak terlaksananya kebijakan yang telah diatur oleh rumah
97
sakit, sehingga BPJS kesehatan harus membuat terobosan baru
mengenai hak pasien tersebut, agar pasien dapat memperoleh hak
secara utuh, dan menjamin bahwa SPO yang dibuat oleh rumah sakit
dapat dilaksanakan dengan baik.
Selanjutnya tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. hal ini
berarti bahwa suatu program akan relatif mudah diimplementasikan
apabila kelompok sasarannya adalah homogen. dalam pelaksanaanya
hak pasien memperoleh second opinion melibatkan banyak kelompok,
baik itu pasien, dokter penanggung jawab pasien, serta BPJS sebagai
verifikator di rumah sakit, perbedaan persepsi tentang kebijakan hak
pasien untuk memperloh second opinion akan membuat program
tersebut sulit untuk dijalankan,begitupula dengan tingkat pendidikan
yang berbeda akan semakin membuat pelaksanaan dirumah sakit
semakin sulit.
Selanjutnya proporsi kelompok sasaran terhadap populasi artinya
sebuah program akan sulit dilaksanakan apabila sasarannya mencakup
semua populasi, sebaliknya jika kelompok sasaran tidak terlalu besar
maka program akan lebih muda dimplementasikan, semakin
meningkatnya kepesertaan pasien JKN belum diikuti dengan
peningkatan layanan. BPJS dituntut untuk lebih baik dalam peningkatan
kualitas dibanding dengan kuantitas.
Selanjutnya adalah cakupan perubahan perilaku yang diharapkan,
sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat
98
kognitif akan relatif mudah dimplementasikan daripada program yang
bertujuan untuk mengubah sikap serta perilaku masyarakat. Kebijakan
hak pasien untuk memperoleh second opinion sangat memberikan
persepsi baru tentang sebuah layanan kesehatan yang efektif, namun
disisi lain, profesionalitas seorang dokter didalam memberikan pelayan
perlu ditingkatkan, seorang dokter seharusnya lebih memperhatikan
kepentingan pasien bukan mendahulukan kepentingan pribadi.
Variable yang kedua adalah Karakteristik kebijakan (ability of statue
to structure implementation), yang terdiri dari kejelasan isi kebijakan,
yang artinya bahwa, semakin jelas dan semakin rinci isi sebuah
kebijakan akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah
memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata, sebaliknya
ketidakjelasan dalam sebuah rumusan kebijakan akan melahirkan
sebuah potensi lahirnya distorsi dalam proses implementasi sebuah
kebijakan.
SPO hak pasien memperoleh second opinion di RSUD Haji
Makassar sudah sangat jelas dan sesuai dengan apa yang menjadi
tujuan utama dari pelaksaanaan hak pasien untuk memperoleh second
opinion.hal tersebut tercermin dari cakupan proses pelaksanaan yang
memperhatikan setiap aspek kebutuhan serta keselamatan pasien.
Selanjutnya adalah dukungan teoritis, dukungan teori mengenai
hak pasien dalam memperoleh second opinion masih sangat kurang
sehingga berdampak pada ketidakpahaman dan perbedaan persepi
99
baik itu oleh implementor maupun kelompok sasaran.Dukungan teoritis
terhadap sebuah kebijakan sangat diperlukan, kebijakan yang memiliki
dasar teoritis memiliki sifat yang lebih mantap dan sudah teruji,
walaupun dengan kemajemukan masyarakat khususnya di Indonesia
beberapa lingkungan sasial perlu ada modifikasi kebijakan untuk
menyesuaikan dengan karakter setempat.
Selanjutnya adalah dukungan finansial terhadap kebijakan tersebut
dalam artian bahwa bersarnya alokasi sumber daya finansial
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam proses pelaksanaan
sebuah kebijakan, selain itu setiap program memerlukan sumber daya
manusia untuk melakukan pekerjaan administratif dan teknis, serta
adanya monitoring program yang semunya pasti memerlukan dukungan
finansial.sebagai pelaksanan jaminan kesehatan nasional BPJS belum
mampu memberikan alokasi baik sumber daya manusia maupun
finansial secara maksimal.belum tercovernya setiap hak-hak pasien
Selanjutnya adalah seberapa besar adanya keterpautan dan
dukungan antar berbagai institusi pelaksana, kegagalan sebuah
program biasanya sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi baik
vertikal maupun horizontal antar instansi yang terlibat dalam
implementasi sebuah program.
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kurangnya
koordinasi dan komunikasi antar unit, membuat program tidak berjalan
sebagaimana mestinya.koordinasi antara pemerintah, BPJS dan rumah
100
sakit perlu ditingkatkan demi tercapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya. Kemudian sebuah kebijakan harus mempunyai kejelasan dan
konsistensi yang ada pada badan pelaksanan serta tingkat komitmen
aparat pelaksana terhadap tujuan sebuah kebijakan. Rendahnya tingkat
komitmen aparat pelaksana didalam menjalankan tugas dan pekerjaan
atau proram-program. Dokter penaggung jawab pasien belum
menyadari hak pasien secara utuh, sehingga dalam proses pelayanan
kesehatan dokter cenderung mengabaikan hak pasien, khususnya
dalam hal ini hak pasien untuk memperoleh second opinion.
Variable selanjutnya adalah lingkungan dari kebijakan tersebut,
(nonstatutory variables affecting implementation). kondisi sosial
ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi, masyarakat yang
sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima program-
program pembaruan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup
dan tradisional, demikian juga kemajuan teknologi akan membantu
dalam proses keberhasilan implementasi program,karena dengan
adanya teknologi yang modern maka sebuah program dapat
disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan teknologi
modern. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hak memperoleh
second opinion yang tercermin dari hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa pasien belum mengetahui mengenai hak tersebut.
Selanjutnya tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan
implementor, pada akhirnya komitmen aparat pelaksana untuk
101
merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah
variable yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki
keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya
merealisasikan prioritas tujuan tersebut. implementor dalam hal ini
dokter tidak mempunyai komitmen yang tinggi dalam proses
pemenuhan hak pasien untuk memperoleh second opinion, hal tersebut
terlihat dari ketidaktahuan DPJP mengenai SPO second opinion yang
ada di RSUD Haji Makassar, bagaiaman mungkin seorang dokter akan
melaksanakan sebuah kebijakan ketika dokter tidak mengetahui bahwa
di institusi dia bekerja ada aturan yang mengatur kebijakan tersebut.
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Hak
Memperoleh Second opinion Pasien Peserta Jaminan Kesehatan
Nasional Di RSUD Haji Makassar maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan RSUD Haji
Makassar dengan menetapkan standar prosedur operasional
terhadap hak pasien untuk memperoleh second opinion
sebagaimana tertuang dalam SK direktur dengan No. Dokumen
29.02.08 yang diterbitkan pada tanggal 22 januari 2016
mengenai cara memperoleh second opinion di lingkungan
RSUD Haji Makassar,. Standar prosedur operasional tersebut
merupakan bentuk perlindungan hukum secara preventif yang
diterapkan di RSUD Haji Makassar, selanjutnya RSUD Haji
Makassar memberikan perlindungan dalam menangani
pelanggaran dan penyelesaian keluhan pasien yang tertuang
dalam SK Direktur RSUD Haji Makassar Nomor
155/TU/RSUD/I/2016 tentang Standar Prosedur Operasional
Menangani Keluhan/Pegaduan Pelanggan, Standar operasional
103
tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum refresif yang
diberlakukan di RSUD Haji Makassar.
2. Pelaksanaan hak memperoleh second opinion di RSUD Haji
Makassar belum dapat dilaksanakan dengam maksimal, hal ini
disebabkan oleh belum adanya regulasi BPJS kesehatan yang
dapat mengakomodasi hak pasien untuk memperoleh second
opinion, kemudian tingkat komitmen dokter dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien dirasakan belum
maksimal. kurangnya profesionalitas, komunikasi dan sosialisasi
khususnya dokter penanggung jawab pasien (DPJP), membuat
Standar Prosedur Operasional mengenai hak pasien dan
keluarga untuk memperoleh second opinion hanya sebatas
kebijakan yang tidak dapat dilaksanakan, bahkan hanya
sebatas formalitas didalam proses akreditasi rumah sakit
B. Saran
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan
diatas, maka dapat disarankan beberapa hal, anatara lain kepada :
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kementerian Kesehatan dan seluruh Dinas terkait perlu
melakukan pengkajian terkait hak pasien JKN untuk
memperoleh second opinion, agar pasien dapat memperoleh
hak-hak secara utuh tanpa diskriminasi.
104
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
a. BPJS kesehatan sebagai pelaksana dari program Jaminan
Kesehatan Nasional diharapkan dapat memperhatikan
setiap aspek hak pasien yang dijamin oleh Undang-Undang
didalam proses perumusan kebijakan, khususnya prosedur
pelayanan kesehatan pasien peserta JKN, serta
memperhatikan hirarki peraturan Perundang-undangan, hal
tersebut sangat penting demi menjamin kepastian hukum
kepada pasien peserta JKN dan akan berdampak terhadap
peningkatan pelayanan BPJS kesehatan khusunya dalam
kendali mutu dan biaya.
b. BPJS Kesehatan diharapkan dapat melakukan kajian
tentang hak pasien untuk memperoleh second opinion,
sehingga efisiensi bisa dilakukan terutama menghindari
layanan kesehatan yang tidak dibutuhkan.
3. RSUD Haji Makassar
RSUD Haji Makassar sebagai rumah sakit rujukan yang telah
terakreditasi oleh Komite akreditasi rumah sakit diharapkan
dapat meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya penerapan
second opinion untuk melindungi profesi kesehatan dan rumah
sakit dari kemungkinan kecurangan fraud, RSUD Haji Makassar
perlu segera melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan
terkait hak pasien dalam memperoleh second opinion
105
4. Dokter Penanggung Jawab Pasien diharapkan dapat
meningkatkan profesionalitas dan komunikasi antar DPJP,
serta setiap unit maupun instalasi di Rumah Sakit, DPJP
diharapkan dapat memperhatikan setiap aspek hak-hak pasien
dirumah sakit, serta mengedepankan kualitas layanan
dibandingkan dengan kuantitas didalam proses pelayanan
kesehatan.
5. Untuk Pasien diharapkan aktif dalam proses pelayanan
kesehatan, bertanya kepada petugas mengenai hak dan
kewajibannya maupun informasi jika pelayanan di rumah sakit
dirasakan kurang maksimal, pasien juga diharapkan ikut
memberikan kritik dan saran kepada rumah sakit demi
penigkatan kualitas pelayanan yang lebih baik.
106
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Zainuddin,2014, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan kelima.
Azwar A. 1996 “Pengantar Administrasi Kesehatan” Binarupa Aksara, Jakarta
Budi Winarno, 2007, Kebijakan Publik, PT Buku Kita, Jakarta
Fred Ameln, 1991 Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta
Guwandi, 2002 “ Dokter, Pasien, Dan Hukum “Balai penerbit FKUI, Jakarta
Hanafiah J, Amir A “ Etika kedokteran & Hukum Kesehatan “penerbit Buku Kedokteran EGC
Indiahono D , 2009 “ Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisis “ Gava Media Yogyakarta
Lubis S, Harry M, 2008, Konsumen Dan Pasien Dalam Hukum Indonesia“ Liberty, Yogyakarta
Majda Muhjtaj, 2005, Hak Asasi Manusia Dalam Kontitusi Indonesia, Kencana Prenada Grup, Jakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 2015, Penelitian Hukum Edisi Revisi“ Prenadamedia Grup, Jakarta
Mimin Rukmini dkk, 2006 Pengantar Memahami Hak Ekosob, Penerbit Pattiro, Cetakan 1 Desember Jakarta selatan
Moleong, Lexy, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Muchsin Dan Fadilla putra, 2002 Hukum Dan Kebijakan Publik , Penerbit Univ Sunan Giri Surabaya, Malang
Mukti, Ali Gufron 2010 Sistem Jaminan Kesehatan konsep desentralisasi terintegrasi“ PT karya husada Mukti,Yogyakarta
107
Nasution Bahder Johan, 2013 Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter“ Rineka Cipta, Jakarta
Notoatmodjo 2010 “Etika Dan Hukum Kesehatan” PT RIneka Cipta Anggota IKAPI Jakarta
Palan R. 2007 Competency Management,Gerai Manjemen PPM
Pitono Soeparto, dkk, 2008, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan,Airlangga University Press, Surabaya
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Nina Ilmu, Surabaya
Putri A.E, 2014 “ Paham JKN Jaminan Kesehatan Nasional” Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia.
Pratama, Oka, 2011, Akal-Akalan Di Dunia Kesehatan, Panduan Menjadi Pasien Yang Cerdas dan Tidak Tertipu Oleh Petugas Medis“ ,Octopus, Yogjakarta
R. Muttaqin, 2011,Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari buku Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York : Russel and Russel, 1971), Nusa Media, Bandung
Ridwan, 2002 , “ Administrasi Negara” “UII pres Indonesia, Yogyakarta
Saiful Bahri, Hessel Nogi, Mitra Subandi, 2004 “Hukum dan kebijakan publik”, Cipta Mandiri, Yogyakarta.
Satjipto Raharjo, 2013, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta
Siyoto S, Supriyanto, 2015 “Kebijakan Dan Manajemen Kesehatan “ Penerbit Andi , Yogyakarta
Soekanto, Soerjono, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta, cetakan 2014
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum” Penerbit Liberty, Yogyakarta
Sudikno Mertokusumo ,2007, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta
Sugono, Bambang, 2015, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers.
Suharjo. B, 2013 “ Menjadi Pasien Cerdas, Kiat Memperoleh Layanan Medis Terbaik dan Aman”, PT Gramedia, Jakarta
108
Tengker, Freddy, 2007, Hak Pasien, CV Mandar Maju, Bandung
Thabrany H, 2015 “Jaminan Kesehatan Nasional “ PT RajaGrafindo Persada Jakarta
Waluyo, Bambang,2008, “Penelitian hukum dalam praktek”, Sinar Grafika, Jakarta
W.J.S. Poerwadarminta 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan IX, Balai Pustaka Jakarta hlm 600
Peraturan Perundangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256)
Peraturan Presiden No.72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 193)
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 29)
109
Peraturan Presiden No 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 255)
Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 226)
Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 42)
Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia Nomor 1097/MENKES/PER/VI/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 394)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012, Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 122)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1400)
Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Informasi Indonesia Case Base Grups(INA-CBGs) ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 795)
Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia Nomor 28/MENKES/PER/VI/2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 874)
Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia Nomor 69 tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1609)
Jurnal, Karya Ilmiah Dan Makalah
Sutoto, “Standar Hak Pasien Dan Keluarga” Komisi Akreditasi Rumah Sakit
110
Hwain Christianto, 2011 Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ Berdasarkan Nilai Kemanusian “ Mimbar Hukum Volume 23 Nomor 1
Ghofur Hariyono 2015, “ Implementasi Prosedur Admisi pasien rawat inap peserta jaminan kesehatan nasional di RSUD Dr Soetomo Surabaya” Penelitian Tesis, Magister Hukum kesehatan Universitas Gadjah Mana.
Djoko Widyarto JS, 2007, Hak Pasien Atas Informasi Dalam Proses Persetujuan tindakan Medis Di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang, Penelitian tesis Mahasiswa Program Pascasarjanan Unika Soegijapranata Semarang
Rocy Jacobus 2014 “Hak Pasien Mendapatkan Informasi Resiko Pelayanan Medik, Penulisan Skripsi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado
Siregar E dan Budhiartie A 2011, Perlindungan Hukum Dan Hak Hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik” Lembaga Penelitian Universitas Jambi
Sumber Internet
Afandi D 2008 “ Hak atas kesehatan dalam Perspektif HAM” Bagian Ilmu kedokteran forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia
Arnold S. Relman “A second Opinion rescuing americas helath care” Diakses di https://books.google.co.id/books?id=sT5TAhlhpWAC&printsec=frontcover&dq=second+opinion+health&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=second%20opinion%20health&f=false
Diakses pada tanggal 30 September 2016
Asep Candra 2013 “ Pentingnya “second Opinion” Ke Dokter Lain” Health Kompas.Com http://health.kompas.com/read/2013/04/11/15573366/pentingnya.quotsecond.opinionquot.ke.dokter.lain diakses pada tanggal 18 september 2016
http://sinarkeadilan.com/2016/09/03/ditolak-pihak-rumah-sakit-diabaikan-pihak-bpjs-kesehatan-pasien-meninggal-dunia-kementerian-kesehatan-harus-lakukan-investigasi/ Diakses Pada tanggal 27 September 2016 pukul 10.00
http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/12/jhptump-a-triharyant-581-2-babii.pdf, diakses pada tanggal 20 November 2016, pukul 15.30 WIB