ilmu dan kritik terhadap ilmu
TRANSCRIPT
Ilmu dan Kritik Terhadap Ilmu
A. Pendahuluan (Panorama Rasionalitas dan Pengetahuan)
Apa itu pengetahuan (Science)? Ruang lingkup pengetahuan tidaklah terbatas pada
bidang-bidang tertentu. Pengetahuan lahir dan muncul karena pengembaraan akal budi
manusia yang berusaha memahami hidupnya sendiri maupun bersama orang lain. Secara
ringkas, dapat dikatakan bahwa pengetahuan lahir karena keinginantahuan manusia akan
dunianya. Dalam konteks filsafat, hal ini dapat dilihat dari kemunculan filsafat awali yang
dipelopori oleh Thales.
Thales mendobrak cara berpikir mitologis yang begitu
melekat pada masyarakat Yunani Kuno saat itu. Cara
berpikir mitologis dapat dicontohkan sebagai berikut. Bagi
masyarakat Yunani saat itu, hujan dianggap sebagai tangisan
dewa-dewi. Apakah pemikiran ini salah? Atau bagaimana?
Pemikiran mitologis bukanlah berkaitan dengan salah-benar
melainkan keterbatasan (akal budi) dalam menjelaskan
mengenai hal-nya (hujan). Sekarang, dari penyelidikan
empiris, dapat diketahui bahwa hujan terjadi karena uap air
yang berada di udara pada titik kenisbian tertentu akan jatuh
sebagai tetes-tetes air. Apa yang dapat dikatakan dari sini?
Keinginantahuan manusia dan kebebasan yang melekat padanya merupakan syarat mutlak
bagi kelahiran dan kemunculan pengehuan baru.
Semenjak Thales, filsafat (kalau itu berurusan dengan keilmiahan rasionalitas) menjadi
sumber bagi segala pengetahuan. Jika Thales dan kawan-kawan masih member focus pada
penjelasan alam semesta ini, lain lagi dengan Sokrates. Ia berusaha mendaratkan sebuah
penjelasan pada realitas manusia dan dimensi-dimensinya (keadilan, kebahagiaan, kebenaran,
kesetiaan, dan lain-lain). Pertanyaan utama Sokrates adalah ‘Apakah’. Misal, Apakah
keadilan itu? Apakah yang disebut dengan kesetiakawanan? Pertanyaan ‘Apakah’ bukan
sekedar meminta definisi atas apa yang ditanyakan. Contoh: Apakah keadilan? Keadilan
berarti memberikan apa yang menjadi hak seseorang. Tidak hanya itu. Pertanyaan
‘apakah’ mengajak manusia untuk merefleksikan lebih jauh, lebih mendalam, lebih mendasar
hakikat atau esensi dari yang kita sebut keadilan itu sendiri. Itulah sebabnya, Sokrates
terkenal karena ia menyatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan berarti hidup yang tidak
pantas untuk dijalani. Dan sebagaimana yang dicatat sejarah, Sokrates pun mati – dengan
minum racun – demi mempertahankan keyakinannya tersebut.
Pada diri Sokrates-lah dapat dimengerti dengan lebih seksama dengan apa yang dimaksud
filsafat itu sendiri. Filsafat dalam diri Sokrates berarti mencintai kebijaksanaan. Orang yang
mencintai kebijaksanaan berarti orang yang mau rendah hati sebagai dikatakan Sokrates
bahwa ‘Pada akhirnya, aku sendiri pun tidak tahu apa-apa’. Bukan karena memang tidak tahu
apa-apa sama sekali. Melainkan saking luasnya dan dalamnya kebijaksanaan itu
(pengetahuan), manusia tidak sanggup untuk memahaminya secara tuntas, sempurna.
Manusia hanya bisa terus berusaha mengejar dan mengejar.
Setelah kematian Sokrates, filsafat tidaklah
menghilang. Justru kerja filsafat semakin menghebat di
tangan salah seorang murid Sokrates, yakni Plato.
Sebagian besar karya Plato berbentuk dialog. Mengapa
dialog? Bukan hanya karena Plato menggunakan
metode gurunya Sokrates melainkan dialog
menyingkapkan kebenaran melalui orang lain atau
sesuatu yang lain (seperti perawat yang membantu
persalinan seorang ibu). Di tangan Plato, apa yang
disebut pengetahuan berarti aktivitas jiwa. Jiwa
menjadi kunci pemahaman untuk masuk ke alam
pikiran Plato. Atau dapat dikatakan bahwa jiwa
merupakan fondasi utama filsafat Platonis.
Menurut Plato, seluruh keberadaan diri manusia (pengetahuan, pengejaran kebahagiaan,
dll) ditentukan oleh gerak jiwa. Gerak jiwa, bagi Plato, adalah berusaha melepaskan diri dari
tubuh dan kembali ke Dunia Idea. Pada poin ini, harus diakui bahwa Plato memahami tubuh
sebagai yang lebih rendah daripada jiwa. Kata Plato, “Tubuh adalah Penjara Jiwa”. Lalu,
bagaimana dengan Dunia Idea itu sendiri? Dunia Idea merupakan dasar bagi apa yang
sekarang kita sebut Surga atau Neraka atau Nirwana atau yang lainnya. Bagi Plato, sebelum
jiwa masuk ke dalam tubuh, jiwa sudah berada terlebih dahulu di dalam Dunia Idea. Pada
tahap ini, jiwa itu suci, murni, bersih dan tak bernoda. Nah, ketika jiwa itu masuk ke dalam
tubuh, jiwa itu terkontaminasi dengan nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan bawaan kodrat
tubuh. Di sini, jiwa berusaha untuk melepaskan diri dari tubuh supaya jiwa dapat kembali
lagi ke keadaan asalnya. Salah satu cara yang diajarkan Plato adalah dengan askese, mati
raga. Intinya, karena tubuh dipandang negatif, maka puasa merupakan reaksi (negatif)
terhadap tubuh.
Berkaitan dengan pengetahuan, Plato mengajarkan bahwa
apa yang disebut pengetahuan pada dasarnya adalah
aktivitas jiwa yang mengingat kembali hal-hal seperti
waktu di dalam Dunia Idea. Misal, pengertian manusia
tentang meja, kursi, kuda, kucing pada dasarnya merupakan
aktivitas mengingat kembali Ide-ide tentang meja, kursi,
kuda, kucing yang dijumpai jiwa ketika ia masih berada
dalam Dunia Idea. Jika demikian, apa yang dilihat manusia
dalam kehidupan sehari-hari ini pada dasarnya hanya
merupakan penampakan saja dari apa yang dipancarkan
oleh Ide-ide meja kursi, kuda dan kucing dari Dunia Idea.
Plato sendiri menggambarkan pemikirannya ini dalam
sebuah alegori tentang gua (The Cave).
Aristoteles merupakan salah satu dari murid Plato. Tapi, tidak seperti Plato yang
mengajarkan pengetahuan sejati berasal dari Dunia Idea, Aristoteles justru berangkat dari
realitas sehari-hari. Ini berarti bahwa Aristoteles bukan semata menolak ajaran Plato tentang
universalitas melainkan pula mendasarkan ajarannya pada realitas sehari-hari itu sendiri.
Pertanyaannya, mengapa Aristoteles mendasarkan pemikirannya pada realitas?
Untuk masuk ke dalam pemikiran Aristoteles ini, perlulah pertama-tama memahami apa
yang dimaksud Aristoteles dengan filsafat itu sendiri? Bagi Aristoteles, filsafat berarti
mencintai kebijaksanaan (dalam bukunya Metaphysics). Definisi ini sama seperti yang
dinyatakan Plato. Jika Plato memaksudkan pencarian kebijaksanaan itu pada aktivitas jiwa
yang berusaha menghadirkan kembali apa yang dipahaminya selama jiwa itu berada di Dunia
Idea, Aristoteles justru berpendapat bahwa pencarian kebahagiaan berarti manusia mencari
‘Sebab dan Prinsip Pertama’ dari realitas yang ada ini. Untuk kita sekarang, apa yang
diungkapkan oleh Aristoteles tentang ‘Sebab dan Prinsip’ itu pada dasarnya mengungkapkan
apa yang sering kita katakan sebagai pertanyaan mendasar “Mengapa?.”
Aristoteles melihat ada 4 Sebab yang mendasari realitas.
Pertama, SEBAB MATERIAL yakni sebab (atau mengapa-nya) yang memberi atau
menyusun sesuatu. Kayu, misalnya, merupakan sebab dari adanya patung kayu.
Kedua, SEBAB FORMAL yakni sebab yang memberi bentuk pada kayu itu. Misal, kayu
itu menjadi PATUNG, MEJA, KURSI, dan sebagainya. Patung, meja, kursi ini merupakan
BENTUK dari kayu.
Ketiga, SEBAB EFESIEN yakni sebab yang membuat sesuatu itu berada sebagai
demikian. Misal, pahatan patung manusia dari kayu dibuat oleh seorang pemahat kayu. Yang
kita katakana sebagai Sebab Efesien ini adalah si Pemahat Kayu itu.
Keempat, SEBAB FINAL yakni sebab yang bertujuan. Pahatan patung laki-laki dengan
otot-ototnya yang kekar ditambah lagi wajah rupawan merupakan tujuan pembuatan patung
tersebut. Inilah tujuan akhir bagi kegiatan pemahatan patung kayu tersebut.
Dari dasar berpikir demikian, lantas dapat
dipahami pemikiran Aristoteles tentang pengetahuan.
Pengetahuan berarti relasi kesesuaian antara apa yang
dipikirkan dengan realitas sehari-hari. Apa yang
disebut sebagai pengetahuan objektif berdasar cara
kerja induktif demikian yang diasalkan dari
Aristoteles. Dan dari cara kerja demikian, Aristoteles
juga membuka pintu bagi pemikiran tentang Tuhan.
Memang, Aristoteles sendiri tidak menyebut Tuhan
untuk menggambarkan Sebab dan Prinsip
fundamental. Ia justru menyebutnya sebagai Sebab
Yang Tidak Disebabkan atau Penggerak Yang Tidak
Digerakkan atau Aktus Purus (Aktus Murni). Cara berpikir Aristoteles ini menjadi dasar
pembuktian Tuhan pada abad pertengahan dengan tokohnya Thomas Aquinas.
Setelah abad pertengahan bergulir (Mediovalle) disertai dengan pengajaran sistematis di
sekolah-sekolah (sehingga kerap disebut pula zaman Skolastik), pemikiran abad pertengahan
mulai kehilangan fondasinya pada Tuhan yang terungkap dalam dogma-dogma agama.
Kemacetan – kalau dikatakan demikian – pertama-
tama disebabkan karena pemikiran abad
pertengahan justru membungkam pemikiran
manusia sebagai yang khas manusiawi. Khas
manusiawi berarti bahwa manusia berusaha
memahatkan dirinya pada alam semesta ini.
Gerakan humanisme, yakni usaha manusia untuk
melukiskan keindahan kodrat manusia dalam alam,
yang dikenal dengan nama Renaisans lahir dalam masa ini (demikian terminology sekular).
Terminologi Renaisans dapat diuraikan demikian, yakni Re = Kembali & Nascere = Lahir.
Secara harafiah, renaisans berarti kelahiran kembali. Kembali ke mana? Kembali ke
semangat humanisme sebagaimana yang ditunjukkan dalam filsafat Yunani (terutama seni
dan budaya Yunani itu sendiri).
Renaisans pertama-tama harus dikatakan bukanlah sebuah
sistem pemikiran filosofis tertentu, melainkan sebuah gerakan
kebudayaan yang mengarahkan diri pada pemuliaan
manusia. Dalam bidang seni, kita mengenal pelukis terkenal
sepanjang masa, yakni Michael Angelo, Leonardo Da Vinci. Di
bidang politik, terdapat tokoh Nicollo Machiaveli, Thomas
Hobbes. Di bidang ilmu pengetahuan, terdapat tokoh seperti
Giordano Bruno, Galileo Galilei, Copernicus.
Gerakan Renaisans menjadi pintu gerbang era modern di mana nantinya pusat realitas
tidak diasalkan lagi pada Tuhan, melainkan pada kesadaran manusia itu sendiri.
Era Modern mempertajam apa yang menjadi gerakan renaisans. Di era ini, yang menjadi
tokoh utama adalah Rene Descartes dan patut pula disebutkan di sini Francis Bacon.
Gagasan utama pemikiran Rene Descartes adalah ‘Aku Berpikir, Maka Aku Ada’ (Cogito
Ergo Sum). Gagasan ini kelihatan biasa-biasa saja. Tapi, pengaruhnya sangat luar biasa bagi
perkembangan filsafat selanjutnya. Mengapa gagasan ini begitu sangat krusial? Gagasan
Cogito menandaskan suatu pondasi bagi pengetahuan yang pasti, jelas, dan terpilah-pilah.
Dikatakan ‘pasti’ lantaran pikiran tidak mungkin menipu dirinya sendiri sekalipun jika
setan mengatakan demikian. Pun bila jika seseorang menyangkal bahwa ia berpikir justru
menunjukkan dengan telak bahwa ia sedang berpikir. Inilah kepastian yang tak terbantahkan
lagi, yakni ‘Aku Berpikir’. Dari pondasi inilah, seluruh hal dijelaskan oleh Descartes.
Lantaran era modernisme berkaitan dengan pusat kesadaran demikian (Cogito), kerap filsafat
modern disebut juga filsafat Subjek. Bagaimana dengan Francis Bacon?
Bacon memperkenalkan apa yang disebut sebagai
penarikan kesimpulan berdasarkan prosedur induktif.
Prosedur induktif mengatakan bahwa kesimpulan dapat
ditarik jika terdapat premis-premis yang benar. Misal: Budi
dapat mati, Anton dapat mati, Rosa dapat mati…. Maka
kesimpulannya adalah semua manusia dapat mati. Apa
yang penting dari cara kerja demikian? Yang penting dari
kerja demikian adalah fungsi dan makna rasionalitas
sebagai sumber pengetahuan pertama dan utama (meskipun
kerap Francis Bacon digolongkan dalam aliran
empirisme). Karena peran utama rasionalitas inilah (akal
budi, pikiran) baik Rene Descartes dan Francis Bacon kerap digolongkan ke dalam aliran
rasionalisme. Rasionalisme (jika itu berkenaan dengan paham) berarti sistem yang
mendasarkan diri pada rasio (akal budi) dalam memperoleh pengetahuan. Lawan dari paham
ini adalah empirisme.
Tokoh utama empirisme adalah David Hume dan di bidang politik dikenal John Locke.
Sementara rasionalisme berdasar pada rasio (akal budi), empirisme justru mendasarkan diri
pada pengalaman (realitas sehari-hari). Dengan kata lain, tanpa pengalaman, rasio justru
tidak berguna sama sekali. Karena itulah, pengalaman
merupakan sumber pengetahuan yang pertama dan utama.
Saking konsekuen dengan pandangan ini, David Hume menarik
kesimpulan secara radikal yakni apa yang disebut sebagai relasi
kausalitas di dalam alam (peristiwa sehari-hari) pada dasarnya
merupakan buatan akal budi belaka. Itu, kata Hume, hanya
perasaan manusia
Bagi Hume, tidak ada kaitan kausalitas sama sekali seperti
air mendidih pada suhu 100 C atau daun itu bergoyang karena
ditiup angin sepoi-sepoi. Yang disebut kausalitas itu pada dasarnya merupakan setelah
peristiwa A berlanjut peristiwa B. Daun bergoyang karena itu merupakan peristiwa B
sesudah perisiwa A, yakni angin berhembus sepoi-sepoi. Lalu, yang disebut pengetahuan itu
apa? Bagi Hume, pengetahuan yang dimaksud pada dasarnya adalah pengetahuan subjektif.
Pengetahuan subjektif di sini jangan disalahartikan seperti pada Descartes. Hume
mengatakan bahwa pengetahuan subjektif di sini adalah soal perasaan, yakni senang-tidak
senang, suka-tidak suka, dan seterusnya. Dengan demikian, dalam pemikiran David Hume,
yang disebut pengetahuan objektif itu tidak ada. Semuanya soal perasaan. Bahwa air
mendidih pada suhu 100 C merupakan perasaan kita saja. Tidak lebih daripada itu.
Bagaimana Anda menyikapi pendirian kedua paham ini, yakni Rasionalisme dan
Empirisme?
Abad Pencerahan, yang biasa disebut juga sebagai Aufklarung, merupakan lanjutan dari
refleksi filosofis soal pengetahuan yang terjadi di dalam pergerakan modernisme. Sudah
dipaparkan di atas bahwa pemikiran filosofis mengenai pengetahuan (sumber dan prosedur
pengetahuan) telah menciptakan perdebatan di kalangan intelektual waktu itu. Seorang filsuf
Jerman (Prusia kala itu) berusaha untuk memecahkan kesulitan ini. Nama filsuf itu adalah
Immanuel Kant.
Immanuel Kant mengajukan tesis sintetis apriori. Apa itu sintetis apriori? Sebelum
menjawab pertanyaan ini, harus diingat bahwa sebelum Kant terjadi perdebatan antara paham
Rasionalisme dan Empirisme. Menurut Kant, pernyataan bahwa ‘lingkaran itu bulat’
sesungguhnya tidak menambah apa pun mengenai
sesuatu yang baru. Pernyataan ini di dalam pikiran kita
pada dasarnya sudah benar dan tidak terbantahkan.
Dan hal ini tidak perlu kita buktikan melalui dan
dalam pengalaman sehari-hari. Bagi Kant, argumen
semacam ini pada dasarnya dipegang oleh kaum
rasionalis. Ini disebut sebagai putusan analitis
apriori.
Sementara itu, di lain pihak, Kant menyatakan sebuah
putusan/pernyataan bahwa ‘semua logam dapat
mengalirkan arus listrik’ pada dasarnya
mengungkapkan putusan sintetis aposteriori. Artinya, putusan ini hanya dapat dibenarkan
(diverifikasi) melalui pengalaman (observasi). Putusan demikian tampak dari pemikiran
kaum empiris. Benar bahwa putusan demikian menambah sesuatu yang baru. Akan tetapi,
harus dingat bahwa ‘penambahan sesuatu yang baru’ itu hanya dapat dilakukan jika terdapat
relasi antara ‘semua logam’ dan ‘arus listrik’. Dan relasi ini justru dapat dinyatakan lantaran
akal budi-lah yang berperan terhadap putusan tersebut. Padahal di lain pihak, kaum empiris
seperti David Hume menolak dengan tegas fungsi akal budi sebagai demikian. Nah, karena
itulah, Kant berupaya mencari solusinya dengan mengajukan tesis sintetis apriori yang
berarti putusan tersebut sudah ada dalam akal budi dan sekaligus memverikasinya
(menyatakan) benar dalam realitas sehari-hari (pengalaman). Contoh: 2+2= 4 merupakan
putusan sintetis apriori lantaran akal budi menerimanya sebagai benar tanpa menyelidiki
kebenaran tersebut dalam pengalaman sehari-hari.
Apakah Kant berhasil membuktikan tesisnya tersebut? Harus diakui bahwa Kant dengan
sangat gemilang berhasil membuktikannya dan bahkan sekaligus menyatukan paham
rasionalisme dan empirisme di dalam pemikiran filsafatnya. Akan tetapi, kejayaan pemikiran
Kant harus dibayar mahal sebab pengalaman sehari-hari pada dasarnya merupakan
penampakan-penampakan saja. Lho, memangnya kenapa?
Pada tataran epistemologis (cabang filsafat yang berbicara tentang bagaimana manusia
dapat memperoleh pengetahuan), logika Kantian rupanya membalikkan pemikiran metafisika
sebelumnya. Pertanyaan, mengenai keberadaan Tuhan, kebebasan, kejahatan, etika, dan
sebagainya akhirnya bertumpu pada kemampuan akal budi itu sendiri. Itulah sebabnya
mengapa Kant menyebut bukunya sebagai kritik (bukunya yang terkenal adalah Critique of
Pure Reason & Critique of Practical Reason). Mengapa dikatakan kritik? Karena, bagi
Kant, akal budi perlu didisiplinkan (dikritik, red) sedemikian rupa sehingga kesahihan
pengetahuan mengenai sesuatu menjadi jelas. Lantaran akal budi perlu didisplinkan, maka
Kant menyebutkan adanya 12 kategori yang terdapat dalam pikiran. 12 kategori ini
merupakan sifat bawaan akal budi. 12 kategori inilah yang memungkinkan putusan atau
pernyataan ini menjadi sah dan benar.
Bagaimana terjadinya pengetahuan itu? Menurut Kant, terdapat 3 cara bagaimana
pengetahuan itu terjadi. Pertama, objek-objek fenomena masuk ke dalam diri kita melalui
panca indera kita. Misal, kita mengamati gejalan angin berhembus, daun bergoyang, dan
seterusnya. Kedua, pada saat yang bersamaan, objek-objek tersebut dimengerti melalui
kategori-kategori yang sudah ada secara a priori dalam akal budi kita (Kant menyebut adanya
12 kategori). Pada tahap ini, menurut Kant, akal budi atau pikiran manusia mengkaitkan
gejala-gejala tersebut sehingga menjadi satu kesatuan pernyataan. Dan pada tahap ketiga,
pernyataan atau proposisi dibentuk dari tahap kedua tersebut atas apa yang sudah dimengerti
secara kategori. Pada tahap terakhir inilah, pengetahuan bahwa “Adanya angin yang
berhembus menyebabkan dauh pepohonan itu bergoyang” dibentuk. Di pihak lain, proses ini
sendiri mengandaikan dua bentuk intuisi internal manusia yang bersifat a priori, yakni ruang
dan waktu.1 Lalu, bagaimana misalnya pengetahuan tentang keberadaan Tuhan?
Bagi Kant, keberadaan Tuhan tidak dapat
dibuktikan keberadaanNya. Tapi, ini bukan
berarti bahwa Tuhan tidak ada. Tuhan tetap ada
walaupun tidak dapat dibuktikan. Menurut Kant,
apa yang ada dalam dirinya sendiri (das ding an
sich) tidak dapat kita ketahui. Dan ini disebut
Noumena. Sementara itu, yang dapat kita ketahui
disebut Kant Fenomena. Fenomena berarti segala
sesuatu yang tampak kepada kita. Lantas, bukankah
ini berarti bahwa realitas sehari-hari justru hanya
bersifat penampakan saja dan bukan realitas sebagai
ada-dalam-dirinya-sendiri? Benar. Ini merupakan
salah satu kesulitan utama Kant. Di atas, sudah
disinggung kesulitan metafisis yang dimunculkan
melalui logika Kantian ini. Apa maksudnya?
Sebelum Kant, pembuktian keberadaan Tuhan diasalkan dari realitas sehari-hari. Sebagai
contoh, 5 jalan pembuktian keberadaan Tuhan oleh Thomas Aquinas yang didasarkan dari
pemikiran Aristoteles. Nah, jika realitas sehari-hari itu hanya penampakan saja, maka
bagaimana bisa membuktikan keberadaan Tuhan berangkat dari realitas demikian? Meskipun
Kant sadar akan hal ini, tapi ia tetap konsekwen dengan pendiriannya. Maka bagi Kant
keberadaan Tuhan bukan lagi dibuktikan tapi DIANDAIKAN ada oleh AKAL BUDI. Sekali
1 Immanuel Kant. The Critique of Pure Reason. Bab.VI bagian 1-2
lagi, harus diingat bahwa akal budi itu sendiri tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan.
Akal budi, bagi Kant, hanya MENGANDAIKAN keberadaan Tuhan untuk memberi jaminan
bagi makna/arti dari perbuatan manusia dalam hidup sehari-hari. Mengapa? Jelas bahwa
perbuatan manusia supaya dikatakan baik harus ada ukuran atau patokannya. Nah, patokan
atau ukuran ini memang dibuat oleh akal budi. Apa yang dibuat akal budi inilah yang Kant
sebut perintah. Jadi, kalau kamu menolong seorang nenek menyeberangi jalan, kamu
melakukannya karena perbuatan itu memang baik dan merupakan perintah akal budi.
PENGANDAIAN keberadaan Tuhan, bagi Kant, hanya untuk memastikan bahwa akal budi
kita tidak berbohong atau menipu. Karena itu pula, di dalam pemikiran Kant, agama berada
di bahwa payung moral, yakni baik-buruk yang ditetapkan oleh akal budi dan sekaligus
kewajibannya dalam tindakan sehari-hari. Bukan Tuhan atau pun agama yang menetapkan
nilai moral, melainkan akal budi itu sendiri.
Berdasarkan hal inilah, semboyan filsafat Kant adalah Sapere Aude yang berarti Berani
Untuk Menggunakan Akal Budi Secara Mandiri (Berani Berpikir Sendiri).
Pemikiran Kant mulai mendapat kritik terutama dari filsafat Hegel. Hegel adalah seorang
filsuf idealisme. Mengapa dikatakan idealisme? Hal ini dalam perjalanan akan kita pelan-
pelan dijelaskan. Saat ini, pertanyaan utamanya adalah, apa kritik Hegel terhadap Kant?
Rupanya Hegel tidak puas dengan penjelasan Kant mengenai Noumena, yakni ada-
dalam-dirinya-sendiri. Sebagaimana diketahui, Kant menyatakan bahwa Noumena tidak
dapat dipahami. Nah, bagi Hegel, Noumena ini justru dapat kita pahami. Dengan kata lain,
Hegel menyatakan bahwa Noumena dapat dipahami secara rasional. Bagaimana pemikiran
Hegel tentang hal ini?
Gaya berpikir Hegelian adalah gaya berpikir yang
berakar dalam pemikiran Baruch Spinoza. Spinoza
mengajarkan bahwa Allah atau Alam (beserta isinya) itu
Sama. Wuiihhh…, bukankah pemikiran ini justru seperti
menyamakan manusia dengan Allah? Benar dan karena hal
inilah ia dituduh sebagai ateis. Tapi, kita harus mengerti apa
yang dimaksud Spinoza dengan pernyataannya tersebut.
Untuk membangun sebuah sistem filsafat yang benar-
benar a priori, Spinoza menggunakan metode deduktif.
Metode ini menyatakan bahwa dari prinsip pertama dapat diturunkan segala sesuatu yang
lain. Metode deduktif-apriori ini mensyaratkan keniscayaan mutlak. Artinya, apa pun yang
diturunkan dari prinsip itu pasti benar, tidak mungkin salah. Itulah alasan mengapa Spinoza
mengambil bentuk geometri dalam pemikirannya.
Pemilihan metode geometri dikarenakan kepastian yang diberikan dalam kesimpulan
yang ditarik dari pernyataan atau proposisi sebelumnya. Contoh, A = B, B = C, maka C = A.
Untuk tujuan itu, Spinoza pertama-tama mulai dengan sebuah argumen ontologis yang
diperlukan sebagai pondasi kokoh bagi semua tahapan-tahapan kesimpulan selanjutnya,
yakni pemahaman mengenai substansi. Apa yang dimaksud Spinoza dengan Substansi?
Dalam karyanya Ethics, Spinoza memberikan
rumusan substansi sebagai berikut, “By substance,
I mean that which is in itself, and is conceived
through itself : in other words, that of which a
conception can be formed independently of any
other conception.”2 Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa substansi adalah apa yang dapat
dipahami tanpa perlu memahami sesuatu yang
lain3. Dengan kata lain, pengertian Substansi
dapat dicontohkan sebagai berikut: buah apel
muncul karena pohon apel tumbuh dengan baik,
pohon itu bisa tumbuh dengan baik karena
tanahnya subur, tanah yang subur itu dapat terjadi
karena cuaca dan musim mendukung demikian,
cuaca dan musim itu dapat terjadi karena perputaran bumi pada porosnya, perputaran bumi
ini terjadi karena ada gerak, nah gerak ini tidak mungkin bergerak tanpa sebab, karena itu
pasti ada yang menggerakkanya.
Sampai pada poin ini, bagaimana menjelaskan ‘sesuatu yang menggerakkan’ ini’? Akal
Budi manusia pasti mau tidak mau menerima bahwa Sang Penggerak ini adalah Tuhan Allah.
Tuhan jelas tidak perlu menjelaskan keberadaanNya sendiri berdasar sesuatu yang lain lagi.
2 Lih. Spinoza, Ethics, Bagian I, definisi 3.3 Substansi berasal dari kata Latin, sub dan stare yang artinya berdiri di bawah.
Jika ia (tuhan) dapat dijelaskan dengan sesuatu yang lain lagi, ia (tuhan) itu pastilah bukan
Tuhan yang Mutlak. Inilah yang dimaksudkan dengan Substansi, yakni halnya tidak perlu
dijelaskan dengan sesuatu yang lain lagi, melainkan halnya itu (contoh: Tuhan) adalah Dasar
bagi penjelasannya sendiri.4
Substansi dengan sifat-sifat yang tidak terbatas ini diidentikkan Spinoza dengan Allah.
Jalan pikiran Spinoza adalah sebagai berikut. Spinoza pertama-tama merumuskan atribut atau
sifat sebagai “that which the intellect perceives as constituting the essence of substance.”5
Jika Allah diakui keberadaanNya, Ia pasti memiliki sifat-sifat yang dapat ditangkap oleh akal
budi. Faktanya, akal budi dapat menangkap sifat-sifat ini. Dengan kata lain, atribut atau sifat
ini merupakan pengungkapan dari ketakterbatasan Allah. Apakah manusia dapat memahami
eksistensi Allah? Menurut Spinoza, manusia bisa memahami esensi Allah. Mengapa?
Karena esensi dan eksistensi Allah adalah satu dan sama6. Dalam pemahaman Spinoza,
keberadaan Allah ini tidak sama dengan pemikiran Kristiani atau pun Yahudi, yakni Allah
yang personal serta yang imanen sekaligus transenden.
Personalitas, bagi Spinoza, menunjukkan adanya suatu substansi yang berbeda dengan
substansi yang lain. Padahal, jika ada dua hal memiliki dua substansi yang berbeda, kedua
hal tersebut tidak dapat dipahami melalui substansi yang lain itu. Dengan kata lain, kedua hal
tersebut dapat dipahami dalam dirinya sendiri dan ini tidak mungkin7. Alam atau dunia, yang
dalam pandangan Yahudi dan Kristiani dilihat berbeda dari Allah, ditolak oleh Spinoza. Bagi
Spinoza, jika ada substansi lain selain Allah, Allah lantas tidaklah tak terbatas. Sebaliknya,
jika Allah tak terbatas, tidak mungkin ada substansi lain (menurut pengertian Spinoza tentang
rumusan substansi). Karena itu, Allah dan Alam atau Dunia adalah sama. Apapun yang
ada, berada dalam Allah dan tidak satu pun dapat dipahami tanpa Allah. Demikianlah kita
mengenal pernyataan Spinoza yang terkenal itu, Natura Naturata (dilihat dari segi alam) dan
Natura Naturans (dilihat dari sudut Allah)8. Jadi, Allah tidak bersifat pribadi.
Pemahaman ini masih dapat diterima jika yang dimaksudkan adalah bahwa segala
sesuatu yang terbatas pada dasarnya tergantung pada Allah. Tapi, dalam pikiran Spinoza,
segala sesuatu yang terbatas ini sesungguhnya merupakan cara berada Allah (modification of
4 Lih. Spinoza. Op Cit. Bagian I, definisi 1-2.5 Idem, Bagian I, definisi 4.6 Idem, Bagian I, pernyataan 20.7 Idem, Bagian I, pernyataan 2-6. 8 Magnis Suseno. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1997. Hal. 99.
God). Bagi Spinoza, ada dua sifat yang tak terbatas ini yang dapat dikenal oleh manusia
yakni keluasan (extension) dan pikiran (thought). Dengan kata lain, pikiran manusia adalah
cara berada Allah dalam sifat pikiran dan tubuh manusia adalah cara berada Allah dalam
bentuk keluasan9. Secara ontologis, Alam tidak berbeda dari Allah. Dan karena itu juga,
Allah tidak berbeda dari manusia. Manusia berada dalam Allah, tidak berhadapan
denganNya. Mengapa? Karena Allah masuk dalam semua realitas. Seluruh alam semesta ini
adalah Allah sendiri dalam modus atau cara beradaNya.
Tampak bahwa pandangan Spinoza menunjukkan sebuah pandangan yang panteistik.
Namun, menurut beberapa ahli, pandangan Spinoza lebih tepat dikatakan sebagai panteisme
yang monistik. Implikasi dari pemikiran Spinoza adalah bahwa transendensi Allah tidak ada.
Demikian juga dalam pengalaman sehari-hari, pluralitas itu tidak ada. Pluralitas hanyalah
modus, cara Allah atau Alam ini menyatakan diri. Melalui pemikiran ini, Spinoza sekaligus
mengatasi dualisme Descartes yang menyatakan bahwa adanya dua substansi yang tidak bisa
didamaikan yakni res extensa (realitas yang berkeluasan) dan res cogitans (realitas yang
berpikir).10
Setelah melihat pemaparan pemikiran Spinoza, tidak akan sulit pula dipahami gagasan
Hegel. Gagasan utama Hegel adalah apa yang disebut dengan Roh (Geist). Apa yang
dimaksud Roh di dalam pemikiran Hegel? Roh dalam pemikiran Hegel berarti Rasio (Akal
Budi) beserta seluruh kegiatannya. Inilah dasar pendirian Hegel. Dan inilah satu-satunya
realitas bagi Hegel, i.e: Roh dan Aktivitasnya. Di atas, sudah
diperlihatkan asumsi dasar Hegel bahwa Noumena dapat
dimengerti secara rasional. Bagaimana Hegel
membuktikannya? Hegel membuktikannya dengan apa yang
disebut sebagai DIALEKTIKA.
Dialektika adalah proses relasional yang mengandaikan adanya
dua hal yang saling bertentangan. Proses dialektis ini kemudian
menghasilkan sesuatu yang baru dalam tingkat yang lebih
tinggi. Kira-kira prosesnya berjalan seperti ini:11 sebagai
9 Spinoza. Op Cit. Bagian II, pernyataan 1-210 Frederick Copleston, SJ. Modern Philosophy: Descartes to Leibniz. Hal.228-229.11 Sermada Donatus. Filsafat Ketuhanan.
tesisnya adalah Yang Ada. Antitesisnya adalah Ketiadaan. Dan sintesisnya adalah Menjadi.
Dalam gerak selanjutnya, sistesis tersebut menjadi tesis. Demikianlah seterusnya proses ini
sehingga mencapai puncaknya dalam Roh Absolut. Alam dan sejarah termasuk dalam proses
dialektis ini. Bagaimana dengan manusia?
Mahkluk organis merupakan bagian dari alam. Proses dialektika dalam diri mahluk
organis mencapai puncaknya dalam diri manusia. Hegel memikirkan posisi manusia ini
dalam teori roh subjektif, roh objektif dan roh mutlak. Dalam tahap roh subjektif, manusia
masih terbungkus oleh alam. Roh menjelma dalam kodrat manusia yang berwujud kesadaran.
Kesadaran ini berusaha untuk keluar dari belenggu alam melalui proses dalam dirinya
sendiri. Menurut Hegel, terdapat dua bidang kesadaran yang ada dalam diri manusia yakni
teoritis dan praktis. Perpaduan antara kedua hal itu menghasilkan roh yang bebas, yakni roh
yang mengenal dirinya bebas dan dapat menghendaki dirinya untuk berada.
Ketika Roh ini keluar dari diri manusia, ia lantas mewujudkan dirinya dalam tata tertib
masyarakat, yakni tata tertib yang mengatur relasi manusia yang satu dengan yang lain.
Berhadapan dengan manusia yang lain, maka diperlukan adanya kesepakatan untuk hidup
bersama. Negara karena itu merupakan perkembangan roh objektif dalam pengertian
mengatasi individual namun tetap menjamin hak individu untuk menghayati kebebasannya
dalam membangun kesejahteraan bersama.12 Tapi, puncak tahap perkembangan roh objektif
ini merupakan sejarah dunia di mana roh subjektif dan objektif bersatu dengan menggunakan
waktu sebagai sarananya. Tahap puncak perkembangan Roh ini adalah Roh mutlak di mana
Roh ini kembali kepada dirinya secara penuh. Inilah tahap dimana Noumena dapat
dimengerti secara rasional. Bahasa teologis, menyebut Roh Mutlak ini adalah Tuhan.
Menurut Hegel, tiga bentuk proses dari kegiatan ini dihasilkan dalam kesenian, agama dan
filsafat.
Untuk menggambarkan sistem besar filsafatnya ini, Hegel menyatakannya dengan sebuah
kalimat terkenal, yakni “Apa yang Nyata (Real) itu Rasional dan Apa yang Rasional itu
Nyata (Real)”. Sering dikatakan bahwa sesudah Hegel, para filsuf selanjutnya hanya
menjadi pengikut pemikiran Hegel. Seolah-olah di tangan Hegel, Filsafat telah berakhir.
12 “Justice, however, is neither an alien principle….On the contrary, being justice in human law, it brings back to the whole, to the universal life of society, what has broken away separately from the harmony and equilibrium, of the whole : the independent classes and individuals. In this way justice is the government of the nation, and is its all-pervading essential life in a consciously present individual form, and is the personal self-conscious will of all”. Hegel. Phenomenology of Mind dalam bagian Objective Spirit: The Ethical Order.
Tapi, apa benar demikian? Tidak. Contoh, sebuah peristiwa Perang Dunia Kedua. Bahwa
pembunuhan berjuta-juta orang Yahudi oleh NAZI merupakan suatu fakta. Tapi, apakah
pembunuhan massal demikian dapat diterima akal (rasionalitas)? Rasio manusia justru
menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Adalah Nietzsche yang mengkritik dengan tajam
pemikiran raksasa Hegel ini.
Bagi Nietzsche, yang namanya kesadaran itu tidak ada.
Kesadaran (Rasionalitas) itu pada dasarnya hanya
merupakan bentuk kepercayaan manusia yang lemah.
Misal, apa itu kebenaran? Kebenaran berarti kesesuaian
antara pikiran dengan apa yang dikatakan. Bagi Nietzsche,
definisi kebenaran bukanlah itu. Kebenaran, bagi
Nietzsche, adalah siapa yang berkuasa, dialah yang benar.
Karena itu, kebenaran sama dengan kekuasaan. Tapi, apa
yang dimaksud dengan kekuasaan seperti ini?
Dalam pemikiran Nietzsche, apa yang disebut kesadaran (rasionalitas) sudah tidak
berlaku lagi. Bagi Nietzsche, seluruh hal hanya dapat dijelaskan dengan apa yang disebut
sebagai Kehendak. Kehendak adalah awal keberadaan manusia. Kehendak merupakan cara
manusia memanusiakan hidupnya sendiri. Konsekuensi pemikiran Nietzsche ini menghantar
dia untuk menyatakan bahwa “God is Dead” (Tuhan telah mati). Dalam sejarah filsafat,
belum pernah ada orang yang seberani dia menyatakan hal ini.
Ketika Tuhan ‘dibunuh’ oleh manusia dengan sikap, perilaku dan tindakannya, maka
yang tertinggal adalah manusia itu sendiri. Lalu, apa yang menjadi dasar perbuatan manusia?
Jelaslah bahwa yang menjadi dasarnya adalah manusia itu sendiri. Ukuran kebenaran, ukuran
moralitas, hukum, baik-buruk, benar-salah tidak lagi diasalkan pada Tuhan. Semua ini
sekarang ditentukan oleh manusia itu sendiri. Maka, kata Nietzsche, orang yang masih
mengakui adanya Tuhan dalam kehidupan mereka pada dasarnya adalah manusia-manusia
yang lemah. Manusia-manusia ini bermental budak, lemah. Sedangkan, manusia-manusia
yang menentukan sendiri ukuran moralitas, kebenaran dan sebagainya itu merupakan
manusia-manusia yang kuat, bermental tuan. Oleh karena itulah, Nietzsche menyatakan
bahwa manusia-manusia yang kuat ini sebagai Super Man (manusia super).
Bagaiamana di bidang ilmu-ilmu sosial?
Mari bicara tentang August Comte.
August Comte merupakan seorang tokoh sosiologi yang
sangat terkenal. Ia mencetuskan gagasannya di bidang
sosiologi dengan nama Positivisme Sosiologis. Apa artinya
ini? Terminologi positivisme sebenarnya berawal dari akhir
abad 18 dan merujuk pada ilmu-ilmu alam seperti fisika,
kimia, matematika (dan kemudian semakin berkembang ke
bidang geografi dan filsafat). Oleh Comte, pendekatan ini
justru diaplikasikan ke dalam ilmu sosial. Mengapa? Dalam
beberapa hal, aplikasi gagasan Comte ini merupakan
reaksinya terhadap hasil revolusi Perancis dan pemikiran
Abad Pencerahan. Apa kaitannya?
Comte melihat bahwa penekanan yang berlebihan pada rasionalitas justru menyebabkan
kehancuran institusi tradisional seperti agama. Bagi Comte, cara berpikir demikian – yang
terlalu menekankan rasio – merupakan cara berpikir ‘negatif’. Karena itulah, Comte
mencetuskan cara berpikir yang mengedepankan ilmu dan fakta, bukan lagi tentang spekulasi
dan metafisika. Akibatnya apa? Akibatnya adalah penggunaan analisa statistik untuk mencari
dan menemukan penjelasan kausalitas terhadap fenomena sosial dan hukum-hukum yang
mendasari perubahan dinamika masyarakat. Maka, tidak heran jika gagasan seperti Kehendak
Bebas, Intensionalitas, Motivasi disingkirkan dari situ. Lantas, bagaiamana cara kerja Comte
dalam menarik hukum-hukum yang mendasari perubahan masyarakat dan setidaknya
mewaspadai perkembangan ke depan (dengan hukum yang telah ditemukan itu)?
Bagi Comte, seluruh perkembangan disiplin ilmu pasti melewati 3 tahap besar, yakni
tahap teologi, metafisika, dan terakhir positivisme. Dari masing-masing ketiga tahap itu,
terdapat sub bagian yang menjelaskan tiga tahap tersebut. (bisa dilihat di sini
www.marxists.org/reference/archive/comte/1856/general-view.htm). Selain menjelaskan
ketiga tahap itu, Comte berpendapat bahwa terdapat pula hierarki ilmu-ilmu. Nah, bagi
Comte, sosiologi itu pada dasarnya mengalir dari biologi. Kok bisa?
Menurut Comte, kajian biologi pada dasarnya berkarakter holistik yang mulai dari
keseluruhan organisme dan sistem yang menatanya. Bukan dari unsur-unsurnya. Misal,
kajian tentang peredaran darah justru hanya dapat dipahami dalam sistem tubuh itu sendiri
dan bagian-bagian yang bersangkutpaut dengan itu. Jadi, menurut cara pandang demikian,
bagi Comte sosiologi mengkaji dan melihat masyarakat sebagai keseluruhan. Atau dengan
kata lain, Comte melihat masyarakat ini sebagai suatu sistem sosial. Sosiologi dengan
demikian berurusan dengan aksi dan reaksi dari aneka bagian dalam sistem sosial itu sendiri.
Tingkah laku individu harus dianalisa dalam kaitannya dengan keseluruhan.
Menurut Comte, cara berpikir ini tidak dapat dibalik, yakni analisa atas masyarakat
dilihat dari unsur-unsur pembentuknya, individu. Apa akibatnya jika sebuah karakter
positivistik digunakan untuk sebuah pengetahuan tentang prilaku masyarakat? Akibatnya
adalah seluruh penjelasan tentang fenomena sosial justru mirip penjelasan sebuah gejala-
gejala alam di mana ketika seorang ahli mengetahui hukum-hukum dasar tersebut, realitas
sosial (dan seluruh dinamika perkembangannya) dapat dijelaskan secara tuntas berdasar
hukum-hukum tersebut. Tapi, apakah benar dan bisa bahwa perilaku dan tindakan masyarkat
dapat diukur dari hukum (pola-pola relasi) yang ada (it is what it is)? Atau dengan kata lain,
apakah tindakan dan perilaku masyarakat dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang dapat
dijelaskan secara mekanis-ilmiah (seperti bagaimana seseorang menguraikan elemen-elemen
pembentuk sebuah jam dan menunjukkan hukum-hukum yang berlaku bagi kinerja sebuah
jam tersebut secara keseluruhan)? Seperti dijelaskan di atas, jawabannya jelas tidak dapat.
B. Kritik Fenomenologis – Ontologis terhadap Positivisme dan Psikologisme
Jika Comte di sosiologi, Wilhem Wundt berada di bidang psikologi. Di bidang psikologi
(dimulai oleh Wilhem Wundt itu sendiri yang mendirikan laboratoriun untuk penelitian
psikologi yang kemudian dikenal sebagai psikologi eksperimental), model-model
eksperimentasi dengan hitungan-hitungan prediktif kalkulatif juga sangat dominan. Dalam
ilmu psikologi, gaya berpikir yang semacam itu lantas pada awal abad keduapuluhan disebut
sebagai psikologisme. Positivisme dalam psikologi menjadi puncak kejayaan perkembangan
ilmu-ilmu humanistik
Hingga saat itu, metodologi matematis (termasuk di dalamnya kalkulatif, observasi
empiris) yang dipakai untuk menjelaskan sah dan benarnya sebuah pengetahuan seakan
tampak sempurna dan tak ada cacatnya sama sekali. Tapi justru di sinilah letak kelemahan
mendasar dari metode demikian ketika ilmu-ilmu humanistik berusaha dijelaskan dengan
cara yang sama seperti angka-angka.
Masih ingatkah ketika RUU Terorisme (sesudah bom Bali) yang merumuskan sebuah
tindakan untuk dikatakan perbuatan teroris atau pembunuhan biasa didasarkan semata pada
jumlah korban (HANYA pada angka). Saya lupa detailnya, tapi kira-kira logika
positivistiknya demikian: di atas 500 dikatakan perbuatan teroris dan karena itu dihukum
sebagai penjahat teroris (yang jelas lebih berat daripada pembunuhan biasa). Cuma yang
menjadi kritik tajam atas hal ini adalah apakah bukan suatu pemikiran naïf ketika sekelomok
orang membunuh 400 orang dan dihukum sebagai penjahat biasa. Belum lagi soal
pereduksian nilai kemanusiaan ke dalam angka-angka sedemikian rupa bukankah justru
menggambarkan sebuah paradox dari pembuatan UU itu sendiri (di mana UU justru
memaksudkan supaya manusia lebih hidup secara manusiawi, damai, tenteram).
Perkembangan metode matematis ini justru membuat salah seorang ahli matematika yang
tersohor menjadi gelisah. Ia adalah Edmund Husserl. Ia sangat gelisah karena pertanyaan-
pertanyaan: Benarkah sebuah ilmu pengetahuan itu baru meyakinkan kalau sudah
menunjukkan hitungan matematis yang sahih dan valid? Tidakkah, bila demikian halnya,
kebenaran itu seakan lantas hanya menjadi hak paten dari satu dua orang yang bernama
ilmuwan belaka? Benarkah kebenaran itu hanya milik dari segelintir orang yang tahu
statistik, hitungan aritmatika, geometri?
Edmund Husserl adalah pencetus fenomenologi dalam
arti ia hendak menjadikan fenomenologi sebagai ilmu
yang berdiri sendiri. Secara ringkas, fenomenologi
dapat diartikan sebagai ilmu tentang fenomena.
Fenomena apa? Ya semua fenomena. Nah, menurut
Husserl, dari fenomena-fenomena inilah kemudian
manusia dapat masuk lebih jauh ke dalam sumber atau
dasar yang menyebabkan fenomena itu terjadi. “Back
to the things (kembali kepada benda-benda itu
sendiri)” merupakan semboyan dari fenomenologi
Husserl. Upaya Husserl ini merupakan reaksi
penolakan atas psikologisme dan ilmu posivistik yang berkembang saat itu13.
Menurut Husserl, kita tidak perlu memaksakan kategori-kategori pemikiran kita atas
realitas. Sebaliknya, biarlah realitas menampakkan diri apa adanya.14 Apa yang ditampakkan
oleh realitas sejauh ia ada, dapat ditangkap oleh kesadaran. Kesadaran karena itu tidaklah
pasif. Pada poin ini, Husserl dapat berkata bahwa kesadaran adalah kesadaran yang
bertujuan. Struktur kesadaran sebagai intensionalitas ini memang masih menempatkan
manusia tetap sebagai pusat makna. Karena itu, yang dicari dalam fenomenologi ini adalah
apa makna hidup manusia. Maka, dalam fenomenologi Husserl, tema sentral diletakkan pada
lebenswelt, yakni dunia hidup kita sehari-hari. Bagaimana Husserl memulai analisa
fenomenologisnya untuk sampai kepada benda-benda itu sendiri (esensi benda itu)?
Husserl memperkenalkan sebuah metode yang disebut reduksi fenomenologis. Reduksi
fenomenologis adalah sebuah penundaan (epoche, bracketing) terhadap pandangan sehari-
hari untuk sampai kepada halnya. Ada tiga tahap reduksi.15 Pertama, reduksi fenomenologis
yang memaksudkan penyingkiran segala sesuatu yang bersifat subjektif. Kedua, reduksi
eidetik yang memaksudkan penyingkiran sementara objektivitas yang menyelubungi esensi
benda tersebut. Reduksi pada tahap kedua ini sesungguhnya merupakan penundaan anggapan
terhadap struktur-struktur yang mendasari adanya benda tersebut. Dan ketiga, reduksi
transendental yang memaksudkan penyingkiran terhadap kesadaran yang bukan kesadaran
murni. Ketika kita sampai pada kesadaran murni berarti kita sampai kepada apa (esensi) yang
menampakkan diri apa adanya kepada kita.
13 Lih. Dermot Moran. An Introduction to Phenomenology. London: Routledge, 2000. Hal. 9. Bdk. Edmund Husserl. Ideas I. bag. Introduction di mana ia berkata, “Kritikku terhadap metode psikologi tidaklah bermaksud untuk menolak sama sekali nilai psikologi itu sendiri….Yang aku kritik adalah bahwa metode psikologi memberikan kepastian hampa dalam arti metodenya sendiri itu cacat sehingga cara kerja ini perlu diangkat ke taraf yang lebih tinggi. Taraf yang lebih tinggi inilah yang dinamakan Fenomenologi Murni atau Transendental di mana disiplin ilmu ini berurusan dengan Science of Essence (as an ‘eidetic’ science).” (Terjemahan dari penulis sendiri)14 Sebagai Contoh, jika Anda ditanya, “Apakah matahari itu?” Anda mungkin menjawab bahwa matahari adalah pusat tata surya. Jawaban ini memang tidak salah. Tapi, secara fenomenologis, jawaban ini belum dapat dikatakan benar. Seorang fenomenolog adalah seorang pemula dalam arti pemula dalam segala pengetahuan. Seorang fenomenolog justru mempertanyakan segala hal (pendapat orang, ide, gagasan dan sebagainya). Seorang fenomenolog tidak mengikuti begitu saja apa yang dikatakan atau apa yang telah ditetapkan sebagai demikian. Jadi, bagi seorang fenomenolog, matahari itu pertama-tama adalah panas. Panas karena fenomena atau gejala pertama yang kita rasakan dari matahari adalah panas.15 Mudji Sutrisno & F Hardiman (eds.). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal. 90-91.
Struktur kesadaran yang bersifat intensionalitas membuat Husserl mampu untuk
membuka kembali Cogito tertutupnya Descartes. Ini terjadi karena pengalaman akan dunia
mendahului semua pengetahuan.16 Dunia, karena itu, dalam kerangka fenomenologi tidak
berada atau terlepas dari manusia. Dunia dan manusia adalah satu. Tanpa dunia, segala
pemahaman dan pengetahuan tidaklah mungkin terjadi. Salah satu murid Husserl, Heidegger,
akan melengkapi tapi sekaligus mendobrak pendirian
gurunya ini. Bagi Heidegger, dalam perjalanan selanjutnya,
ego transendental Husserl justru identik dengan realitas
murni. Dengan kata lain, ego transendental tidak menambah
sesuatu yang baru.17 Mengapa? Bagi Heidegger, pemikiran
Husserl masih berorientasi pada kesadaran itu sendiri.
Heidegger melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari
persoalan relasi kesadaran dengan realitas, yakni keber-
ada-an. Dengan bantuan fenomenologi18, Heidegger
berupaya menggarap permasalahan ini. Dalam Being and
Time (buku utama Heidegger), penggunanan fenomenologi
justru menjadikan karyanya tersebut bersifat hermeneutis19. Dengan kata lain, Heidegger
berupaya melihat seluruh perkembangan sejarah pemikiran filosofis dalam kerangka
hermeneutis. Hal ini terutama menyangkut tema Ada yang merupakan persoalan utama
Heidegger. Karena itu, ontologi harus menjadi fenomenologi tentang Ada. Selanjutnya,
fenomenologi harus menjadi hermeneutika mengenai eksistensi. Eksistensi di sini merujuk
pada eksistensi manusia lantaran hanya manusia yang dapat mempertanyakan adanya
sehingga dapat membuka ruang (kemungkinan) untuk memahami Ada. Pada poin ini,
eksistensi manusia diistilahkan Heidegger dengan Dasein yang artinya ada (Sein) di sana
(Da).
16 Dalam perjalanan selanjutnya, Ricoeur akan mengatakan bahwa karena kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu, maka bahasa adalah bahasa mengenai sesuatu. Pemahaman ini menghantar Ricoeur pada analisanya mengenai diskursus di mana peristiwa dan makna terkandung di dalamnya dan bersamaan dengan itu siapa subjek dari diskursus akan diulas olehnya juga. Lih. Ricoeur. The Hermeneutical Function of Distanciation dalam majalah Philosophy Today (1973). 17 Dalam kata pengantarnya terhadap fenomenologi Husserl. Lih. Merleau-Ponty. Phenomenology of Perception. Colin Smuth (terj.). London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1962.18 Lih. Richard E Palmer. Hermeneutics. Hal. 128-132.19 Secara khusus dapat dilihat pada Being & Time, bag. 8 yang berbicara mengenai metode investigasi fenomenologis. Hal. 49-63.
Tidak digunakannya konsep manusia (human being, man), menurut Heidegger, lantaran
konsep tersebut kerap dipahami sebagai yang sudah jadi, selesai, statis dan dalam arti tertentu
cenderung dilihat sebagai objek (dalam relasinya dengan subjek). Karena itu, terminologi ‘di
sana’ hendak menunjukkan suatu proses menjadi, dinamis yang hanya selesai ketika Dasein
mati. Tapi, bagaimana Dasein dapat mengenal dirinya sebagai demikian? Untuk menjawab
ini perlulah memahami apa yang dimaksud Heidegger dengan dunia. Bagi Heidegger, Dasein
haruslah dipahami sebagai berada-dalam-dunia. Dunia dalam pemahaman Heidegger
bukanlah berada dalam pengertian objek. Artinya, dengan meneliti dunia, kita dapat
menghasilkan pemahaman mengenai diri kita sendiri. Misal, seorang ilmuwan yang mencari
data bagi kepentingannya. Ilmuwan ini dalam usahanya mencari data justru memisahkan diri
dengan apa yang hendak dicari itu. Bahkan tanpa disadari juga kerap ilmuwan menetapkan
kategori-kategori pemikiran atas apa yang diteliti. Karena itu, hasilnya justru tanpa disadari
sudah berada dalam kerangka kesadaran si ilmuwan. Inilah yang kemudian menjadi kritik
terhadap nilai kesahihan dari pengetahuan yang dihasilkan. Dengan kata lain, dapat
ditanyakan, apakah ilmu sungguh-sungguh bebas nilai (nilai kepentingan, kekuasaan, subjek
si peneliti, dan sebagainya).
Dunia adalah tempat Dasein mengada, tempat penyingkapan Dasein (pengungkapan Ada
itu sendiri). Dasein tanpa dunia adalah tidak mungkin sebab Dasein tidak akan pernah dapat
melihat dan memahami entias-entitas lainnya (seperti benda-benda, manusia lainnya) juga
dirinya lepas dari dunia ini. Lebih lanjut, penggunaan tanda hubung (-), menegaskan
ketakterpisahan Dasein dengan dunia. Dari poin tersebut dapat dimengerti bahwa bagi
Heidegger kesadaran bukanlah semata kesadaran akan sesuatu, melainkan kesadaran pada
dasarnya adalah kesadaran dalam atau sebagai sesuatu. Maksudnya, kita tidak sekedar
menyadari sesuatu melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita.
Bersambung…