repository.unpas.ac.idrepository.unpas.ac.id/27208/5/7bab ii.doc · web viewkesopanan berkaitan...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada intinya mengandung makna aktivitas peneliti untuk
berdialog secara kritis dengan pendapat pihak lain atau dengan teori-teori mengenai
variabel yang dipergunakan dalam penelitian. Adapun teori tersebut ditelusuri
sehingga dapat menjelaskan semua variabel yang dipergunakan dalam penelitian dan
dapat menjelaskan serta mengukur permasalahan yang timbul atau yang didapat.
Selanjutnya untuk memperkuat penelitian ini diperlukan penelitian yang sebelumnya
yang dapat berkaitan atau yang dapat dilanjutkan seterusnya.
2.1.1. Penelitian Yang Relevan
a. Penelitian Firmansyah (2006) dengan judul disertasi “Pengaruh Implementasi
Kebijakan Tata Ruang Terhadap Pemanfaatan Ruang Kabupaten dan Kota di Provinsi
Jawa Barat”. Masalah yang terjadi tidak sesuainya pemanfaatan ruang dengan
rencana tata ruang. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan
pendekatan kuantitatif, metode analisis yang digunakan adalah analisis jalur. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa implementasi kebijakan tata ruang secara signifikan
berpengaruh terhadap efektifitas pemanfaatan ruang dan juga terdapat faktor lain
yang mempengaruhi (residu). Dengan demikian hasil penelitian diatas ada keterkaitan
dengan yang diteliti oleh peneliti yaitu implementasi kebijakan.
12
13
b. Penelitian Haryoso Sumo Prawiro (2003) dengan judul disertasi “Pengaruh
Kemampuan Sumber Daya Aparat Birokrasi dan Formulasi Kebijakan terhadap
keberhasilan implementasinya”. Lokasi penelitian di Kabupaten Pati Provinsi Jawa
Tengah. Masalah yang diteliti adalah hubungan antara kemampuan sumber daya
aparat birokrasi dan formulasi kebijakan terhadap keberhasilan implementasinya.
Metode yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan kuantitatif dan
metode analisis yang digunakan adalah analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemampuan sumber daya aparatur berpengaruh terhadap keberhasilan
implementasinya dan formulasi kebijakan berpengaruh terhadap keberhasilan
implementasinya, juga ada pengaruh dari variabel lain yang tidak diteliti. Dengan
demikian penelitian ini ada kaitan dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu
kemampuan sumber daya dapat identik dengan pengembangan sumber daya.
c. Penelitian Dirk J. Van Wasbeek (2004), dalam program doktor Robert Kennedy
College Delemont Switzerland, dengan judul “Human Resource Management
Practices in Selected Ethiopian Private Companies (A Study to Increase Employee
Productivity in Ethiopia).” Yang menyatakan :
This dissertation examines how human resources are managed at selected Ethiopian private companies, how Ethiopian human resource management practice is evolving and how it can be improved. The examination is qualitative and exploratory, since no comparative research on human resource management has yet been conducted at Ethiopian profit or non-profit organizations. An understanding of Ethiopian human resource management practice makes it possible to improve Ethiopian human resource management practice, and thus to increase employee productivity. The study took place at four manufacturing and four service companies in Addis Ababa, all representative of their sector. The research claim is that
14
Ethiopian human resource management practices differ from human resource management practices in the West, due to differences in cultural factors, economic systems, political systems, and legal and industrial relations. For this reason, Ethiopia’s culture, politics, economy and legal and industrial relations have been analyzed. The main finding of this study is that the importance of human resource management is not uniformly understood at all the case-study companies. Although the multinational companies based in Ethiopia see their human resources as the companies’ most important asset, as human capital, the local companies generally do not. The fact that respondents claim that Ethiopia has limited experience in industrialization might explain why human resource management in Ethiopia is rudimentary and still has a long way to go. With this dissertation the researcher wants to contribute to improving Ethiopian human resource management practice. Moreover, this dissertation may be used as a framework for similar research in other sectors or for more specific in-depth research. This dissertation may also serve as a knowledge basefor company managers, business consultants, academics and government officials of countries with a national culture similar to Ethiopia’s (for example Kenya, Tanzania and Zambia), countries undergoing (or which have undergone) a recent transition to a free market economy, and countries facing similar macro-economic developments.
Disertasi di atas menguji bagaimana Manajemen Sumber daya Manusia
diimplementasikan di beberapa perusahaan swasta Ethiopia, dalam disertasi ini juga
diperbandingkan antara organisasi baik profit maupun tidak, dalam penelitian ini
Manajemen Sumber Daya Manusia dapat dipakai sebagai variabel dan dapat
mempengaruhi atau sebagai penyebab.
d. Penelitian Rebecca Nthogo Lekoko (2002) dalam program doktor The
Pennsylvania State University The Graduate School College of Education, yaitu:
A hermeneutic-phenomenological interviewing was conducted to explore CBEWs’ previous work and training experiences and how such experiences contributed to their present working relationships as
15
partners in community development. CBEWs’ responses foreshadowed challenges and problems of coordination that could have otherwise been addressed had they been considered integral elements of previous training curricula. The findings further throw light on how government policies, though explicitly formulated to enhance conditions of service coordination, can be in variance with realities of coordination at the village level. Awareness of the fissure of policies and actual coordination does not refute the importance of government intervention in community development, given CBEWs’ status as government employees. Rather, it is only with understanding of and familiarity with CBEWs’ circumstances that such policies would truly address the challenges, problems, and possibilities of effective coordination. CBEWs’ comments reflected both awareness and learned understanding of social and political complexities surrounding their work as partners in community development. Authority and interventions such as political interference, illiterate communities, enlightened communities, passive, and negative attitudes complicate their working together, resulting into problems of resistance, rejection, and other tensions that defeat the spirit of working together. Meaningful acceptance of community development as a collective undertaking needs to be backed by a deliberate unification of CBEWs through a centrally organized training. Such training programs must not only illuminate the lived experiences of CBEWs as they work among themselves and with other community-based groups in the villages, but also provide opportunities for CBEWs to take active roles by engaging in activities such as placements in authentic work settings, mini-interdisciplinary groupings of CBEWs with local communities, and other team activities. There will be no end to the reservoir of learning if intentional efforts are made to incorporate local knowledge and needs, that is, immediate challenges, problems, and needs of CBEWs as they work with the local communities. Beside, effective coordination requires basic skills of communication, leadership and management, personal and human relations, technical skills and relevant attitudinal orientations. The features describes here are not exhaustive, but have in common the intent of making training programs truly sensitive to CBEWs’ needs as partners in community development.
Disertasi ini mencari lebih lanjut penjelasan tentang bagaimana kebijakan-
kebijakan pemerintah diformulasikan secara tegas untuk mengembangkan berbagai
kondisi bagi koordinasi pelayanan, yang bisa direalisasikan serta dikoordinasikan
16
hingga pada tingkat daerah. Pelaksanaan kebijakan publik dalam penelitian ini
terbukti dapat dipergunakan sebagai variabel dan dapat mempengaruhi atau dapat
menyebabkan, serta berdampak bagi pelayanan.
Tabel dibawah ini menampilkan persamaan dan perbedaan penelitian
terdahulu dengan penelitian penulis sebagai berikut :
Tabel 2.IPersamaan dan Perbedaan PenelitianTerdahulu dengan Penelitian Penulis
NO PENELITI JUDUL PERSAMAAN PERBEDAAN1 Firmansyah
(2006) “Pengaruh Implementasi Kebijakan Tata Ruang Terhadap Pemanfaatan Ruang Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat”
-Metode yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan kuantitatif.-Sama-sama implementasi kebijakan
-metode analisis yang digunakan penilitian terdahulu adalah analisis jalur, sedangkan penelitian saya menggunakan Analisis SEM.-Bedanya kebijakan tata ruang sedangkan penelitian penulis kebijakan pelayanan publik.
2 Haryoso Sumo Prawiro (2003)
“Pengaruh Kemampuan Sumber Daya Aparat Birokrasi dan Formulasi Kebijakan terhadap keberhasilan implementasinya DI Kab. Pati Prov. JawaTengah.
-Kemampuan sumber daya aparat birokrasi= Pengembangan SDM-Formulasi kebijakan terhadap keberha- silan implementa-sinya= Implemen-tasi kebijakan.-Sama-sama Pendekatan kuantitatif.
-Metode analisis yang digunakan adalah analisis jalur ≠ Penelitian saya SEM.-Metode yang digunakan adalah metode survey ≠ Penelitian saya Survey ekspalanatory.
17
3 Dirk J. Van Wasbeek (2004)
“Human Resource Management Practices in Selected Ethiopian Private Companies (A Study to Increase Employee Productivity in Ethiopia).”
-MSDM = Pengembangan SDM
-Organisasi baik profit maupun tidak ≠ Penelitian penulis organisasi publik.
4 Rebecca Nthogo Lekoko (2002)
An Appraisal of Batswana extension Agents’ Work an training experience: Towards enhanced service coordina-tion
-Pelaksanaan kebijakan public= Penelitian penulis Implementasi kebijakan.-Koordinasi pelayanan= penelitian penulis pelayanan publik.
Pelayanan yang dilakukan dari pusat ke daerah ≠ sedangkan penelitian penulis hanya ditingkat daerah saja.
Sumber: Olahan disertasi, tahun 2011
2.1.2. Administrasi Publik
Menurut Handayaningrat (1990 : 2) “administrasi dalam arti sempit yaitu dari
kata administratie (bahasa Belanda) yang meliputi kegiatan : catat mencatat, surat
menyurat, pembukuan ringan, ketik mengetik, agenda dan sebagainya yang bersifat
teknis ketatausahaan (clerical work)”.
Tata usaha adalah bagian kecil kegiatan daripada administrasi yang akan
dipelajari. Administrasi dapat juga diartikan pekerjaan-pekerjaan mempunyai tujuan
seperti memindahkan suatu barang dari satu tempat ke tempat lain, tujuannya ke
lokasi yang diinginkan.
Administrasi dalam arti luas dari kata “administration” (bahasa Inggris).
Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli antara lain :
18
a. Menurut White, Leonard D. (1958 : 1) “Administration is a process common to all group effort, public or private, covol or military, large scale or small scale….etc” (Administrasi adalah suatu proses yang pada umumnya terdapat pada semua usaha kelompok, Negara atau swasta, sipil atau militer, usaha besar atau kecil…. dan sebagainya).
b. Simon, H.A. Dkk (1958 : 1) “administration as the activities of groups cooperating to accomplish common goals”. (Administrasi sebagai kegiatan daripada kelompok yang mengadakan kerjasama untuk menyelesaikan pekerjaan bersama).
c. Newman, William H (1963 : 4) “Administration has been defined as the guidance, leadership and control of the effort of a group of individuals toward some goal” (administrasi didefinisikan sebagai bimbingan, kepemimpinan dan pengawasan daripada usaha-usaha kelompok individu-individu terhadap tujuan bersama).
Setelah mengetahui beberapa definisi administrasi, maka Handayaningrat
(1990 : 3) ciri-ciri administrasi dapat digolongkan atas :
a. Adanya kelompok manusia yaitu kelompok yang terdiri atas 2 orang atau lebih.b. Adanya kerjasama dari kelompok tersebut.c. Adanya kegiatan/proses/usaha.d. Adanya bimbingan, kepemimpinan dan pengawasan.e. Adanya tujuan.
Administrasi Negara menurut Pfiffner, J.M. and Robert Presthus (1960 : 6) :
“Public administration is a process concerned with carrying out public policies”
artinya administrasi Negara adalah suatu proses yang berhubungan dengan pelaksan
kebijakan Negara. Selanjutnya Dimock (1960 : 11) mengatakan : “public
administration is the activity of the state in the exercise of its political power”
(administrasi Negara adalah kegiatan Negara dalam melaksanakan
kekuasaan/kewenangan politiknya).
Pengertian dari kedua para ahli diatas menunjukan bahwa administrasi Negara
19
merupakan kegiatan eksekutif dan legislatif didalam menjalankan tugas-tugas
kenegaraan sehingga bisa mencapai keadaan yang diinginkan sesuai kewenangan
yang didapatnya melaksanakan kekuasaaan dalam kegiatan Negara.
2.1.3. Kebijakan Publik
Latar belakang yang mendasari kata “kebijakan publik”, ada beberapa
pemahaman pakar yang telah menyumbangkan keilmuanya. Agar tidak terjadi
kesalahan tafsir ( mis-interpretation) atas konsep tersebut maka dibawah ini beberapa
pendapat yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
Kebijakan negara menurut Jenkins (1978:15) adalah sebagai berikut:
A set of interelated decisions taken by a political aktor or group of aktors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these aktors to achieve.
Rumusan tersebut mempunyai pemahaman serangkaian keputusan yang saling
berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik
berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya
dalam suatu situasi dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada
dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.
Kebijakan publik dalam proses penyelenggaraan pemerintah mempunyai
peranan yang sangat penting terutama untuk menentukan hal-hal prinsip yang
menyangkut kepentingan umum, sebagaimana dinyatakan Thoha (1997 : 58)
20
menyatakan kebijakan (policy) sebagai berikut :
Disatu pihak dapat dibentuk suatu usaha yang kompleks dari masyarakat untuk kepentingan masyarakat, dilain pihak policy merupakan suatu teknik atau cara untuk mengatasi konflik dan insentif.
Pernyataan Thoha tentang kebijakan bahwa kebijakan dipergunakan untuk mengatasi
masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Agar masyarakat dapat hidup
sejahtera dibuatlah regulasi sehingga persoalan yang dihadapi terselesaikan dengan
adanya kebijakan.
Lasswel dan Kaplan dalam Thoha (1997:58) menyatakan bahwa : “ policy as
projected program of goods, value, and practices”. pernyataan diatas mengandung
arti bahwa kebijakan adalah suatu pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek
yang terarah. Menurut Thoha (1997:54) adalah :
Sebagai orang pertama yang menggambarkan “public policy”, memberikan perhatian terhadap sifat eksperimen dari cara mengukur kebijakan (policy), yang menggambarkan pula bagaimana rencana-rencana tindakan harus dipilih dari alternatif-alternatif dan bagaimana mengamati akibat-akibat yang dapat dipergunakan sebagai uji coba yang tepat.
Lebih lanjut dikatakan Thoha (1997:55), banyak orang memberikan
penafsiran bahwa :
Publik policy adalah hasil dari suatu pemerintahan, sedangkan administrasi publik adalah sarana untuk mempengaruhi terjadinya hasil-hasil tersebut, sehingga publik policy lebih diartikan sebagai apa yang dikerjakan oleh pemerintah dibandingkan daripada bagaimana proses hasil-hasil itu dibuat.
21
Pendapat Thoha dapat diartikan bahwa kebijakan dibuat oleh pemerintahan
dalam hal ini legislatif, sedangkan yang menjalankannya adalah pemerintah, dalam
hal ini eksekutif. Waktu kebijakan digulirkan pemerintah harus siap
mengimplementasikan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (1997:4), mendefinisikan kebijakan
negara sebagai : “an sanctioned course of action addressed to a particular problem
or group of related that affect society at large”. Rumusan tersebut mempunyai
pengertian, suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang
diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling
berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Kebijakan negara diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan atau
dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah. Dalam kaitan ini
aktor-aktor swasta tertentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan
kebijakan negara. Hakikat kebijakan negara menurut Wahab (1997 : 7) adalah :
Sebagai jenis tindakan yang mengarah pada tujuan akan dapat dipahami lebih baik lagi apabila itu diperinci lebih lanjut ke dalam beberapa kategori , yakni ”policy demands” (tuntutan kebijakan), policy decisions (keputusan kebijakan), policy statement (pernyataan kebijakan), policy outputs (keluaran kebijakan), policy outcomes (hasil akhir kebijakan).
Kebijakan publik dalam proses penyelenggaran pemerintah mempunyai
peranan yang sangat dominan terutama untuk menentukan hal-hal prinsip yang
menyangkut kepentingan umum, termasuk oleh swasta sekalipun. Kebijakan
dilahirkan melalui input berupa tuntutan, diproses melalui keputusan kebijakan
22
melalui berbagai alternatif terbaik yang dipilih. Selanjutnya keluaran kebijakan akan
berdampak positif atau sebaliknya. Kemudian sebagai tahapan proses kebijakan
negara menurut Suradinata (1992 : 2) meliputi :
1. IdentifikasiIdentifikasi masalah tentang kebijakan melalui pemerintah publik terhadap aksi-aksi pemerintah.
2. FormulasiFormulasi masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, itu kemudian diformulasikan dalam bentuk proposal dan dalam hal ini ditangani oleh organisasi perencanaan kebijaksanaan, birokrasi pemerintahaan, presiden, beserta kongres (dewan).
3. LegitimasiSetelah proposal itu diolah diformulasikan, kemudian dilegitimasikan (disyahkan) oleh partai-partai, kelompok kepentingan, presiden dan kongres.
4. ImplementasiSetelah proposal itu disyahkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, kemudian oleh birokrasi yang berkepentingan, kemudian dilaksanakan oleh birokrasi yang terorganisasi, pengeluaran publik, dan aktivitas agen-agen eksekutif.
5. EvaluasiEvaluasi dari kebijakan yang dilakukan oleh agen-agen pemerintah sendiri pengawas atau konsultan dari luar, wartawan dan masyarakat.
Pernyataan Suradinata dapat diartikan bahwa proses kebijakan dimulai dari
identifikasi masalah, dirumuskan secara komprehensif lalu disyahkan oleh kongres
atau Dewan Perwakilan Pusat atau daerah, dilaksanakan oleh pemerintah lalu
dicarikan feedback guna perbaikan. Apakah kebijakan tersebut akan dilaksanakan
oleh lagi dengan penyempurnaan atau malah dicarikan kebijakan lain yang sama
sekali tidak sama dengan kebijakan terdahulu.
Implementasi menurut Grindle (1980: 6) menyatakan tentang implementasi
adalah sebagai, “In general, the task of implementation is to establish a link that
23
allows the goals of publik policies to be realized as outcomes of governmental
activity.” Implementasi dapat dikatakan sebagai “general process” atau proses yang
dilaksanakan atau diterapkan untuk mencapai suatu tujuan, dengan kata lain bahwa
implementasi kebijakan berada diantara perumusan kebijakan dengan evaluasi
kebijakan dalam proses kebijakan. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut
Van Horn dan Van Meter (1975: 61) mengemukakan “Those action by public or
private, individuals (or groups) that are directed at the achievement of objective set
path in pior policy decisions.” Maksudnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang
diperbuat oleh pribadi-pribadi atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok
pemerintah maupun swasta ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sebagai tindak lanjut kegiatan termaksud di atas, Mustopadidjaja (1998: 10)
mengemukakan bahwa :
Proses implementasi program kebijakan ialah rangkaian kegiatan tindak lanjut (setelah sebuah program atau kebijakan ditetapkan), yang terdiri dari pengambilan keputusan, langkah-langkah yang strategis maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran dan program (kebijakan) yang ditetapkan semula.
Pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih
penting dari pada pembuat kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya merupakan impian
atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.
Namun demikian proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya
perbedaan antara apa yang diharapkan atau direncanakan oleh pembuat kebijakan
24
dengan apa yang senyatanya dicapai, sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan
kebijakan.
Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung pada implementation capacity
dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk
mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation
capacity tidak lain ialah kemampuan suatu organisasi atau aktor untuk melaksanakan
kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau
sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Kebijakan dalam arti luas, tidak hanya meliputi keinginan nyata tetapi juga
tidak nyata. Walaupun Thomas R. Dye mengemukakan bahwa sesuatu tidak
dilakukan oleh pemerintah, namun kenyataannya sangat sulit untuk menentukan
kebijakan pemerintah yang nyata dan tidak nyata. Penggunaan istilah antara
kebijakan dengan keputusan pemerintah, telah mendapatkan penerimaan dari banyak
guru besar tata negara, karena keputusan atau kebijakan pemerintah memiliki
kesamaan yaitu mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan
masyarakat, serta bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Singadilaga
(2000: 7) mengemukakan bahwa :
Keputusan yang diambil didalam proses administrasi publik adalah kebijakan publik, akan tetapi keputusan yang menjadi kebijakan publik hanyalah keputusan-keputusan yang mengandung nilai-nilai demi kepentingan masyarakat (publik interest) dan merupakan keputusan yang baik. Kebijakan publik sebagai suatu keputusan harus mengandung dua hal, yaitu merupakan “ethical proposition” dan kedua, merupakan “factual proposition”.
25
Kebijakan negara apapun sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.
Hogwood dan Gunn dalam Wahab (1997: 61) telah membagi pengertian kegagalan
kebijakan (policy failure) ini dalam 2 (dua) kategori, yaitu non implementation (tidak
terimplementasikan) dan unsuccessfull implementation (implementasi yang tidak
berhasil). Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak
dilaksanakan sesuai dengan rencana, hal ini disebabkan karena pihak-pihak yang
terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, cara bekerja tidak efisien
atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya.
Sehingga betapapun gigihnya usaha mereka hambatan-hambatan yang ada tidak
sanggup untuk ditanggulangi, akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk
dipenuhi. Oleh karena itu, maka implementasi akan terfokus pada tindakan atau
perilaku para pejabat dan instansi-instansi di lapangan dalam upaya untuk
menanggulangi gangguan-gangguan yang terjadi di wilayah kerjanya yang
disebabkan oleh usaha-usaha dari pejabat-pejabat lain di luar instansinya demi
berhasilnya suatu kebijakan baru.
Kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintah mempunyai peran yang
sangat besar terutama untuk menentukan hal yang prinsip yang menyangkut
kepentingan umum, menurut Dunn (1999: 109) menyatakan :
Kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan-badan dan pejabat pemerintah, diformulasikan dalam bidang-bidang isu sejak pertahanan, energi dan kesehatan sampai ke pendidikan, kesejahteraan, pada salah satu bidang tersebut terdapat banyak isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan pemerintah yang aktual ataupun yang potensial yang mengandung
26
konflik diantara segmen-segmen yang ada dalam masyarakat. Isu kebijakan yang ada biasanya merupakan hasil konflik definisi mengenai masalah kebijakan.
Pendapat Dunn menyatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan untuk
pelayanan publik saling berhubungan diantara segmen-segmen yang ada
dimasyarakat dan mempunyai dampak antara pelayanan yang dikeluarkan dengan
pelayanan lain. Kebijakan pelayanan kesehatan berkaitan dengan kebijakan
pendidikan, kebijakan di bidang pendidikan berkaitan dengan kebijakan dibidang
kesejahteraan.
Edwards dan Sharkansy dalam Islamy (1998 : 24) mengemukakan bahwa :
“public policy is what government say to do or to. It is the goals of purpose of
government program”. Dari kedua hal pernyataan di atas, dapat diartikan bahwa
kebijakan merupakan segala perbuatan yang dikehendaki pemerintah yang sejalan
dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui program-program pemerintah. Hal
ini berarti bahwa kebijakan publik juga meliputi perumusan kebijakan dan evaluasi
kebijakan yang selanjutnya dirumuskan kembali. Oleh karena itu, maka pendekatan
yang pada umumnya dipergunakan adalah pendekatan sistem, yang berupaya
menjelaskan saling keterpaduan antar lingkungan, sistem politik dan kebijakan
publik.
Jones dalam An Introduction to the Study of Publik Policy (1984: 26), “Policy
is defined as a “standing decision” characteraized by behavioral consistency and
repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it.”
27
Lebih lanjut Jones memberikan beberapa komponen-komponen kebijakan sebagai
berikut :
1. Goals, atau tujuan, yang diinginkan untuk dicapai.2. Plans atau proposal, pengertian yang spesifik untuk mencapai
tujuan.3. Programs, upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk
menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi progam.
5. Effects, atau akibat-akibat dari progam, baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder.
Kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok
dan juga pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi maupun
kecenderungan yang mengarah pada suatu kondisi tidak tercapainya tujuan atau juga
kebijakan adalah suatu progam kegiatan yang dipilih oleh seorang atau sekelompok
orang dan dapat dilaksanakan serta berpengaruh terdapat sejumlah besar orang dalam
rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Variabel kebijakan yang dikemukakan Nugroho (2003 : 198) berupa standar
dan tujuan serta sumber daya. Standard dan tujuan akan tercapai bila aktivitas
implementasi dan komunikasi antar organisasi berjalan seiring dan sejalan. Dilihat
juga dari aktifitas para pelaksana (implementor) tergantung pada sumber daya
sehingga akibat akhirnya adalah kinerja kebijakan akan cendrung baik. Faktor yang
mempengaruhi karakteristik implementor antara lain kondisi ekonomi, sosial dan
politik, selanjutnya mempengaruhi para pelaksana (implementor) seperti tergambar
berikut ini :
28
Sumber: Nugroho (2003: 168)
Gambar 2.1Variabel Kebijakan
Pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar dan ahli di atas,
maka dapat disimak bahwa kebijakan berisi suatu program kegiatan yang
mengandung nilai-nilai tertentu dan kegiatannya diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu, atau singkatnya kebijakan identik dengan suatu program yang berorientasi
pada tujuan tertentu, dari mana usulan kebijakan itu berasal, kebijakan sebagai
kemantapan program dan pengaruh kebijakan terhadap sejumlah besar orang, atau
kebijakan itu punya kekuatan yang besar untuk mempengaruhi banyak orang.
KEBIJAKA
N
PUBLIK
Standar dan
tujuan
Sumber daya
Aktivitas implementasi
dan komunikasi antar organisasi
Karakteristik dari agen
pelaksana/implementor
kondisi ekonomi, sosial
dan politik
kecenderungan(disposition) dari
pelaksana/ implementor
KINERJA
KEBIJAKA
N
PUBLIK
29
2.1.4. Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan suatu fenomena yang komplek serta
dipahami sebagai suatu proses, keluaran maupun sebagai hasilnya, seperti yang
ditegaskan Winarno (2002: 103) menyatakan bahwa :
Implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya.
Pernyataan di atas mengandung arti melaksanakan kebijakan dilakukan
individu pimpinan termasuk kelompok kerja dalam organisasi dengan maksud untuk
seluruh program kerja organisasi diselenggarakan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Melaksanakan kebijakan dalam organisasi itu suatu cara atau metode
bahkan strategi, artinya bagaimana caranya melaksanakan suatu kebijakan itu yang
sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya organisasi tidak dirugikan dengan
program yang telah ditetapkan. Organisasi berkeinginan mencapai hasil yang baik,
seluruh program yang dilaksanakan dapat diselesaikan oleh para individu pegawai
maupun kelompok dalam organisasi, maka digunakan cara melaksanakannya dari
semua komponen kebijakan organisasi, mulai dari mensosialisasikan program kerja
organisasi, mengatur sistem operasional prosedurnya, serta berusaha menyiapkan
sumber daya manusia maupun dukungan biaya, serta memelihara nilai-nilai yang
diperankan oleh masing-masing individu maupun kelompok dalam melaksanakan
program kerjanya.
30
Nugroho (2003: 158) menegaskan bahwa “Implementasi kebijakan itu adalah
cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.” Ini berarti untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, dapat diterapkan pilihannya yakni langsung
mengimplementasi dalam bentuk-bentuk progam-program atau pilihan melalui
formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan program, tujuan dan sasaran yang
harus dicapainya sehingga membutuhkan kemampuan dari pelaksana kebijakan atau
aktor atau kelompok orang antara lain; kemampuan menyampaikan seluruh isi
kebijaksanaan secara cermat dan tepat, kemampuan sumber daya manusianya yang
harus diperhitungkan secara sistematis, kemampuan membangun dan memelihara
nilai-nilai dari tindakan yang dilakukan para pelaku pelaksana kebijakan secara
terpadu dan terarah sesuai dengan tujuannya, kemampuan menerapkan sistem
operasional prosedur yang akan digunakan dalam melaksanakan berbagai
kebijakannya.
Kebijakan publik memiliki jenis-jenis kebijakan publik yang memerlukan
penjelas dengan peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang langsung operasional
terdiri dari : Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan
Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain. Implementasi kebijakan yang
digambarkan diatas menjabarkan pula program, proyek dan kegiatan secara terus
menerus. Rangkaian implementasi kebijakan publik pada berbagai bentuk
kegiatannya tidak terlepas dari formulasi sampai implementasi mengikuti kaidah-
kaidah yang ditetapkan sesuai tujuan. Dalam penetapan tujuan kebijakan tersebut
31
pada prinsipnya adalah melakukan intervensi, hal ini sejalan dengan penegasan
Mazmanian dan Sabatier dalam Nugroho (2004: 161) bahwa :
Implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri, dimana dalam melakukan intervensi atau implementasi kebijakan memfokuskan pada langkah berurutan berikut ini : identifikasi masalah yang harus diintervensi, menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan merancang struktur proses implementasi.
Pernyataan Mazmania dan Sabatier diatas bisa diartikan bahwa implementasi
merupakan kegiatan campur tangan pemerintah baik pra implementasi sampai
dengan pasca implementasi dalam proses mendesign struktur yang efisien yang
membutuhkan tindakan nyata dari pemerintah.
Mustopadidjaja (2003: 32) menyatakan :
Sebagian besar dari fungsi pimpinan aparatur dalam proses kebijakan pada umumnya terletak pada perannya dalam pengelolaan pelaksanaan kebijakan, hal ini mengandung makna bahwa terdapat kompetensi-kompetensi tertentu dalam pelaksanaan kebijakan yang harus diperhatikan pimpinan aparatur dan masyarakat. Kompetensi pelaksanaan kebijakan tersebut adalah pemahaman mengenai desain kebijakan secara utuh, pengetahuan aspek sistem dan proses pelaksanaan secara menyeluruh, dan mengenai kondisi lingkungan actual dimana yang bersangkutan berperan, informasi dini perkembangan pelaksanaan, serta pengetahuan, keahlian dan keterampilan untuk mengembangkan berbagai kemungkinan langkah tindak lanjut.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa seorang pimpinan aparatur harus
membayangkan kemungkinan berkembangnya suatu momentum dan pelaksanaan
kebijakan yang mendorongnya untuk memikirkan berbagai alternatif langkah
pelaksanaan suatu kebijakan, agar kebijakan tersebut terselenggara secara baik dan
memenuhi sasaran yang ditetapkan, secara mendasar memperhatikan konsep dan
32
aktualisasi berbagai ketentuan pelaksanaan yang mungkin telah dikembangkan.
Dalam berbagai keadaan sikap pimpinan aparatur dituntut untuk memahami apa yang
harus dilakukan atau tidak dilakukannya dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan
memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikannya di tengah dinamika kehidupan
masyarakat secara baik dan efektif. Untuk itu diperlukan paling tidak pengetahuan,
keahlian, dan keterampilan untuk mengelola proses pelaksaan kebijakan secara baik
dan efektif. Pemahaman mengenai desain kebijakan secara utuh, pengetahuan
mengenai keseluruhan aspek sistem dan proses pelaksanaan kebijakan, peta dan
kondisi lingkungan eksternal dimana yang bersangkutan berperan sebagai pelaksana
kebijakan, informasi mengenai perkembangan pelaksanaan kebijakan, kemampuan
untuk melakukan penilaian atas perkembangan pelaksanaan dan langkah tindak
lanjutnya. Keseluruhan aspek kemampuan para pelaksana kebijakan tersebut harus
menjadi bagian dari penentuan berhasil tidaknya implementasi kebijakan, hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Adiwisastra dalam Tachyan (2006: xiv) bahwa,
“Keberhasilan implementasi kebijakan publik kadangkala tidak hanya memerlukan
rasionalitas, tapi juga kemampuan pelaksana untuk memahami dan merespon
harapan-harapan yang berkembang di masyarakat, dimana kebijakan publik tersebut
akan dilaksanakan.”
Pelaksanaan kebijakan pada hakekatnya membutuhkan kemampuan para
pelaksananya terutama memahami tugas dan tanggungjawabnya serta mengetahui
seluruh prosesnya, hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Mazmanian dan Sabatier
dalam Wahab (1997:53) bahwa :
33
Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses implementasinya.
Pernyataan Mazmanian tersebut mengungkapkan bahwa undang-undang dan
keputusan lainya bisa terimplementasi apabila metode yang dipakai jelas tujuannya
sehingga sasaran yang ingin dicapai dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
Bahkan dalam melaksanakan kebijakan harus menilai kemampuan kinerja
para pelaksananya, hal ini sejalan dengan pemikiran Van Metter dan Van Horn dalam
Wahab (1994 : 19) menyatakan :
Implementasi kebijakan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang sengaja dilakukan untuk meraih kinerja. Mereka merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan antara berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat standard dan sasaran. Menurutnya, sebagai suatu kebijakan tentulah mempunyai standard dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan.
Implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu atau kelompok pemerintah maupun swasta diarahkan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam keputusan sebelumnya. Tindakan ini mencakup usaha
mengubah keputusan menjadi tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun melanjutkan usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang telah
ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Penekanannya adalah tahap
implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan
atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan, ini berarti tahap implementasi
34
terjadi setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai
implementasi kebijakan tersebut. Oleh karena itu sebagai pertimbangan awal dalam
pra kondisi implementasi kebijakan dapat mencermati pendapatnya Wahab dalam
Rusli (2000: 50-51) bahwa :
Kebijakan harus dibedakan dengan keputusan, kebijakan tidak serta-merta dapat dibedakan dari administrasi, kebijakan mencakup perilaku dan harapan, kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan, kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai yang mungkin dapat diantisipasi sebelumnya atau mungkin belum diantisipasi, kebijakan kebanyakan didefinisikan dengan memasukan perlunya setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu baik secara eksplisit maupun implisit, kebijakan mncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu, kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar organisasi ataupun yang bersifat intra-organisasi, kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga-lembaga pemerintah walaupun tidak secara eksklusif, dan kebijakan itu dirumuskan atau diidentifikasikan secara subyektif.
Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa kebijakan publik yang
diimplementasikan merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-
menerus oleh pemerintah demi kepentingan publik, sehingga ada upaya untuk
memahami implementasi kebijakan antara lain apa yang patut dan layak dilakukan
serta apa yang tidak perlu dilakukan oleh pemerintah dan implementator dalam
tahapan implementasi kebijakan serta apa penyebab atau yang mempengaruhinya dan
apa dampak dari kebijakan publik tersebut jika dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Oleh karena itu Dunn (2003 : 115) menyatakan bahwa :
Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan. Kebijakan pada umumnya dirumuskan dengan strategi tersendiri yang menyangkut pengambilan keputusan bagi kegiatan penyelenggaraan pemerintah atau negara dalam menjalankan misi pemerintah. Kebijakan biasanya
35
dilakukan dengan bentuk kegiatan formal. Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya financial dan manusia.
Pelaksanaan kebijakan berlangsung melalui suatu sistem yang terdiri atas
institusi-institusi publik maupun privat dengan peran tertentu dalam pelaksanaan
kebijakan, yang pada umumnya berkisar dalam posisinya apakah sebagai perumus,
pelaksana atau pengawas. Mustopadidjaja (2003: 39) menjelaskannya bahwa :
Institusi publik yang berperan dalam pelaksanaan adalah parlemen, pejabat politik, birokrasi, dan peradilan. Sedangkan institusi privat antara lain partai politik, organisasi kemasyarakatan, asosiasi profesi, media masa, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok sasaran. Masing-masing mempunyai peran yang berbeda, yang intensitas keterlibatannya dipengaruhi pula oleh stratifikasi, jenis dan sifat kebijakan yang dilaksanakan. Peran dan keterlibatan masing-masing dapat dituangkan dalam suatu sistem pelaksanaan, yang pada dasarnya memberikan acuan mengenai apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, persyaratan dan tata cara pelaksanaan yang harus diikuti, dan penalty apabila tidak dipenuhi. Dalam mengembangkan sistem pelaksanaan dapat dipergunakan beberapa model seperti : model pengembangan implementasi menurut tingkat efisiensi pelayanan dan kepuasan individu yang dilayani, mempelajari aturan institusional dalam memenuhi kebutuhan kolektif masyarakat berdasarkan preferensi individual, model kesesuaian tugas dan fungsi yang harus diemban suatu organisasi dengan tantangan lingkungan strategiknya, model analisis rasional dalam penetapan tujuan dan pengembangan pedoman pelaksanaan yang jelas, model individu dan organisasi cenderung untuk berlanjut dengan aturan yang ada atau penyesuaian yang tidak terlalu besar secara terencana, dan model upaya menumbuhkan kemampuan seluruh warga masyarakat untuk melakukan pilihan mengenai masa depannya untuk merubah nasibnya dan memperbaiki tingkat hidupnya serta kebutuhan hidupnya.
Sistem implementasi kebijakan tersebut merupakan perangkat kelembagaan
yang mengakomodasikan nilai, prinsip dan proses ataupun ketentuan dan aturan yang
memberikan acuan tentang bagaimana sesuatu kebijakan dikelola dan dilaksanakan
36
oleh berbagai stakeholder baik yang berada dalam tataran institusi publik dan privat
ataupun kelompok sasaran, sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing dalam
tahapan pelaksanaan kebijakan. Yang juga perlu didalami lebih jauh adalah apa
peran pimpinan aparatur dalam pelaksanaan kebijakan, dan bagaimana
membawakannya apakah suatu instansi sudah memiliki sistem implementasi
mengenai kebijakan yang merupakan tugas dan tanggung jawab institusinya. Bahkan
lebih ditegaskan lagi oleh Saefullah (2006: 143) bahwa :
Pemahaman tentang pelaksanaan kebijakan bukan hanya dimiliki oleh aparat lembaga dan aparat pelaksana, tetapi juga oleh masyarakat atau pihak-pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Oleh karena itu langkah awal dalam pelaksanaan kebijakan adalah melakukan sosialisasi agar kebijakan yang bersangkutan diketahui, dimengerti, dan diterima oleh semua pihak yang bersangkutan. Kegiatan ini harus dilakukan melalui komunikasi yang sifatnya persuasif dengan pemilihan media yang terjangkau dan mudah dipahami komunikan. Fasilitas sumber daya sendiri, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Sedangkan struktur birokrasi berperan dalam mempercepat proses pelaksanaan suatu kebijakan. Aspek lain yang harus dihadapi dalam pelaksanaan adalah masalah di lapangan dan prospek yang bisa diperhitungkan.
Pernyataan Saefullah bahwa sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh
lembaga yang syah harus dipatuhi oleh setiap warga Negara, sebelum dilaksanakan
harus disosialisasikan kepada masyarakat lalu biasanya dimintai masukan, kritikan
yang bersifat membangun selanjutnya sebagai masukan kepada lembaga pembuat
kebijakan dan lembaga yang mengesyahkan kebijakan.
Naihasy (2006: 128) menjelaskan konsep implementasi kebijakan publik
sebagai berikut :
37
Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah berikut ini; (1) langsung mengimplementasikan ke dalam bentuk program-program, atau (2) melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik alam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan penjelasan atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaannya. Sedangkan kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain adalah dalam bentuk Kepres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa tujuan kebijakan pada prinsipnya
adalah melakukan intervensi, karena itu implementasi kebijakan sebenarnya adalah
pada action intervention itu sendiri. Kebijakan ada yang langsung bisa dilaksanakan
atau diimplementasikan tetapi ada kebijakan yang harus dibuat dulu petunjuk teknis
dan atau petunjuk pelaksana berupa aturan yang lebih rendah tingkatan misalnya
kebijakan berupa undang-undang maka aturan dibawahnya bisa peraturan
pemerintah, Keputusan presiden, Keputusan menteri, keputusan kepala daerah dan
seterusnya.
Sebuah kebijakan publik diuraikan menjadikan kebijakan publik penjelas
dengan adanya program intervensi, proyek intervensi, kegiatan intervensi yang
ditujukan langsung kepada masyarakat. Rangkaian implementasi kebijakan ini
dilaksanakan melalui tahapan-tahapan seperti gambar berikut :
38
Sumber: Nugroho (2003: 159)
Gambar 2.2Rangkai Implementasi Kebijakan
Dalam melakukan intervensi atau implementasi kebijakan pada langkah yang
berurutan yakni identifikasi masalah yang harus diintervensi, menegaskan tujuan
yang hendak dicapai, dan merancang struktur proses implementasi. Inti pemahaman
dalam implementasi kebijakan adalah bagaimana kebijakan yang dibuat disesuaikan
dengan sumber daya yang tersedia, juga tampak adanya keharusan implementasi
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik Penjelas Program Intervensi
Proyek Intervensi
Kegiatan Intervensi
Publik / Masyarakat /
Beneficiaries
39
pemerintahan yang baik, khususnya pada elemen penyesuaian prosedur implementasi
dengan sumber daya yang digunakan.
Implementasi kebijakan publik berkaitan pula dengan kepentingan untuk
memberikan pelayanan, hal ini ditegaskan Subarsono (2005 : 88) berikut ini :
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang disebut street level bureaucrats untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementator, sedangkan untuk kebijakan makro maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyak aktor maupun unit organisasi yang terlibat, namun juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.
Sesuai dengan pendapat Subarsono bahwa implementasi tidak terlepas dari
pelayanan publik, sesederhana apapun kebijakan pasti melibatkan aktor politik baik
secara mikro maupun makro, baik untuk kepentingan private (individual) maupun
kepentingan bersama (organisasional).
Implementasi kebijakan berkaitan pula dengan proses yang sangat kompleks,
hal ini dijelaskan oleh Bardach dalam Agustino (2006 : 138) menyatakan :
Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan. Dalam prakteknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan.
40
Demikian pula Goggin, Bowman, Lester dan O’Toole, Jr., (1990 : 46)
mengarahkan pengertian implementasi kepada setiap kasus yang dikategorisasikan
berdasarkan pada jawaban-jawaban dari tiga pertanyaan :
1. Has the state carried out the intent of the policy?2. If the intent has been carried out, at what point in time did the state
put the federal policy into effect?3. Has the state modified the policy in the course of implementation,
and, if it has, have the modifications helped or hurt the state’s chances of echieving programmatic goals or the chances of satisfying client’s demands?
Pernyataan Goggin dkk, tidak begitu jauh pendapatnya dengan pernyataan
Mazmanian tentang implementasi kebijakan mengarahkan kepada pelayanan ataupun
mengarahkan kepada kepuasan pelanggan/masyarakat. Implementasi kebijakan harus
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga arah dan tujuannya jelas.
Hal ini seperti dipertegas oleh Odoji dalam Agustino (2006 : 140) bahwa :
”Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang paling penting bahkan mungkin jauh
lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan hanya sekedar berupa
impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan”.
Kebijakan publik mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah untuk
mencapai tujuan tertentu dan memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan, oleh
karena itu kebijakan publik merupakan tindakan atau keputusan yang di buat
pemerintah bukan oleh pribadi atau kelompok walaupun mempunyai akibat bagi
publik secara keseluruhan.
41
Sebagaimana dikatakan oleh Thomas R Dye (1979 : 1) “public policy is
whatever government choose to do or not to do”. Kebijakan publik adalah apa saja
yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan. Artinya
pemerintah melakukan sesuatu memang seharusnya, tetapi untuk tidak melakukan
tentu dengan pertimbangan bahwa sudah bisa dilaksanakan oleh pihak lain dan atau
memang pemerintah tidak cukup dana untuk mengatasinya.
Edward III dan Sharkansy dalam Islamy, (2000 : 18) memberikan pengertian
yang hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Dye yaitu :” publik policy is what
government say and do. It is the goals or purposes of governments programs”.
Kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan
oleh pemerintah. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan dari program-
program pemerintah.
Dunn (2000 : 109) menyatakan, “kebijakan publik (public policy) merupakan
rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-
keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan-badan dan pejabat
pemerintah, diformulasikan dalam bidang isu sejak pertahanan, energi, dan kesehatan
sampai kependidikan, dan kesejahteraan”. Pada salah satu bidang tersebut terdapat
banyak isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan pemerintah yang aktual
maupun yang potensial yang mengandung konflik diantara segmen-segmen yang ada
dalam masyarakat. Isu kebijakan yang ada biasanya merupakan hasil konflik definisi
mengenai masalah kebijakan. Anderson (1979 : 3) memberikan pengertian bagi
42
kebijakan publik sebagai : “publik policies are those policies developend by
governmental bodies and afficial”.
Edward III (1980 : 1) mengungkapkan, “If a policy is inappropriate, if it
cannot alleviate the problem for which it was designed, it will probably be a failure
no matter how well it is implemented. Bahwa jika sebuah kebijakan tidak tepat atau
tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka
kebijakan itu mungkinkan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu
diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang
cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang
diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
Aspek penting dari suatu kebijakan adalah implementasinya, menurut Dunn
(2000 : 80) ”Implementasi kebijakan berarti : pelaksanaan dan pengendalian arah
tindakan dalam jangka waktu tertentu sampai tercapainya hasil kebijakan”.
Implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis yang dibedakan
dari formulasi kebijaksanan yang pada dasarnya bersifat teoritis.
Implementasi kebijakan merupakan suatu tahapan yang sangat penting dari
keseluruhan proses kebijakan. Udoji dalam Wahab, (2004 : 59) menyatakan bahwa :
”implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih
penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan publik hanya akan sekadar berupa
impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan”. Implementasi kebijakan terlihat bahwa tidak ada faktor tunggal
yang mempengaruhinya, namun kecendrungan dipengaruhi oleh banyak faktor,
43
dimana setiap ahli mengembangkan pendapat dan variabel yang berbeda dalam
memahami proses implementasi kebijakan.
Kebijakan publik dapat disimpulkan sebagai arah tindakan nyata yang
dilakukan pemerintah baik tertulis maupun tidak tertulis yang bertujuan untuk
mengatasi permasalaahan yang ada di masnyarakat. Sementara implementasi
kebijakan diartikan sebagai pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan untuk
pencapaian tujuan yang merupakan tahapan penting dari suatu kebijakan yang
pelaksanaannya dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Implementasi kebijakan disisi lain juga merupakan suatu upaya untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sasaran-sasaran tertentu dan dalam urutan
waktu tertentu pula. Untuk itulah diperlukan aspek teknik atau manajemen dalam
organisasi yang merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan sebelum kebijakan tersebut diimplentasikan. Bertitik tolak dari gambaran
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa proses implementasi kebijakan tidak hanya
menyangkut instansi yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya melainkan
menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, sosial yang langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi prilaku dari semua pihak yang terlibat.
Proses implementasi kebijakan baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan
kebijakan tersebut telah ditetapkan, program-program pelaksanaan telah dibuat dan
dana telah dialokasikan untuk tercapainya tujuan kebijakan tersebut. Berpijak pada
sudut pandang demikian, studi tentang implementasi kebijakan publik semakin
mendapat perhatian dengan mendasarkan pada satu asumsi bahwa kegagalan
44
program yang dilancarkan dengan hemat adalah akibat langsung dari masalah-
masalah yang timbul dari masa implementasi program-program tersebut.
Kondisi ini mungkin terjadi karena proses implementasi kebijakan itu sendiri
selalu melibatkan lingkungan dan kondisi berbeda disetiap organisasi, dimana setiap
organisasi merupakan bagian dari sistem sosial sehingga memungkinkan terjadinya
hubungan timbal balik atau interaksi yang saling mempengaruhi diantaranya.
Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga
pemerintah dalam berbagai jenjang hingga pemerintah yang terendah. Suatu proses
implementasi kebijakan merupakan kebijakan publik. Kegiatan-kegiatan dari suatu
aksi yang ditujukan untuk mempercepat atau memperlambat pelaksanaan suatu
kebijakan tertentu menjadi bagian dari proses implementasi dan bukan implementasi
itu sendiri.
Proses implentasi kebijakan publik biasanya terpaut sejumlah aktor
pelaksanaan dalam berbagai kedudukan. Para pelaksanaan kebijakan mulai dari
pejabat tingkat atas sampai pejabat dilapangan mempunyai peranan yang berlainan.
Dalam hal ini Islamy (2000 : 107) mengemukakan bahwa “tingkat dan kewajiban
pejabat serta badan-badan pemerintah bukan hanya dalam perumusan kebijakan
melainkan juga dalam mengimplementasikan kebijakan publik”.
Pelaksanaan atau implementasi suatu kebijakan sesungguhnya sudah
dipertimbangkan sejak kebijakan tersebut dalam perumusan dan proses penetapan
oleh Soenarko (1998 : 2001). Setiap kebijakan baru mempunyai arti bila
45
pelaksanaan kebijakan itu dilakukan melalui jalan yang sesuai dan sebagaimana
harusnya untuk kepentingan masyarakat.
2.1.5. Pengertian Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia paling menentukan dibandingkan dengan perangkat
apapun yang ada dalam suatu lembaga atau organisasi. Belum terbayangkan apabila
suatu kegiatan organisasi bisa berjalan dengan lancar tanpa ada Sumber Daya
Manusia ikut serta di dalamnya. Suatu organisasi dapat lumpuh dan tidak dapat
berbuat apa-apa bila tidak ditunjang oleh adanya Sumber Daya Manusia yang
berkemampuan untuk melakukan tugasnya atau pekerjaannya.
Saydam (2005 : 5) menyatakan bahwa, “Sumber Daya Manusia merupakan
terjemahan dari human recources, yang berarti sama dengan manpower yang tidak
lain dari pengertian personnel = personalia/pegawai.”
Sedangkan Gomes berpendapat bahwa :
Sumber Daya Manusia adalah sumber daya yang terdapat dalam organisasi yang meliputi manusia yang bekerja (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan) dan sebagai potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya.
Pendapat di atas dapat dipahami bahwa Sumber Daya Manusia merupakan
potensi yang merupakan asset serta berfungsi sebagai modal (non material/non
finansial) di dalam organisasi, yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata secara
fisik dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi. Sedangkan menurut
Ensiklopedia Bahasa Indonesia (2004 : 475) menjelaskan bahwa :
46
Sumber Daya Manusia adalah potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan.
Manusia merupakan suatu faktor penting dalam organisasi, baik organisasi
usaha, sosial maupun pemerintahan. Bahkan tidak sedikit perusahaan yang
menempatkan manusia sebagai asset utama dalam filosofi dasarnya. Kegiatan usaha
tersebut bukan sekedar faktor ekonomi atau faktor produksi semata. Manusia justru
merupakan unsur penting yang menentukan kelangsungan hidup kegiatan usaha
sekaligus merupakan makhluk hidup yang mempunyai kebutuhan serta keinginan
untuk berkembang. Sebagaimana yang diungkapkan Siagian (2005 : 31) bahwa :
Sumber Daya Manusia adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi.
Pengelolaan Sumber Daya Manusia yang ideal dalam organisasi diupayakan
dengan menciptakan kesempatan kepada manusia dalam organisasi tersebut untuk
berkembang sesuai dengan kebutuhan serta keinginan sebagai manusia kerja.
Pemenuhan kebutuhan untuk perkembangan ini akan memberikan kesempatan yang
lebih luas kepada personil untuk berprestasi atau menunjukkan produktivitas yang
tinggi, sejalan dengan tujuan organisasi atau perusahaan.
Sumber Daya Manusia menurut Sedarmayanti (2000 : 99) adalah :
Potensi tingkah laku dan kualitas yang berkaitan dengan keprofesionalan yang berperan terhadap perwujudan produktivitas individu, kelompok,
47
dan organisasi. Selanjutnya pembinaan Sumber Daya Manusia perlu dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan kebutuhan organisasi, tuntutan perkembangan lingkungan, serta kemampuan prestasi pegawai. Untuk memelihara pegawai perlu dilakukan dengan mengacu pada sistem, prosedur, metode yang mampu menjamin terciptanya suasana kerja yang kondusif, sehingga dapat memberikan prestasi kerja secara optimal.
Upaya meningkatkan mutu tenaga kerja untuk memenuhi tantangan
peningkatan peran serta efisiensi dan produktivitas dan menjadikan Sumber Daya
Manusia sebagai sumber pertumbuhan yang efektif. Semuanya berhubungan dengan
pemberian bantuan dan para pegawai tersebut dapat berkembang ke tingkat
kecerdasan dan pengetahuan serta kemampuan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan
hal tersebut, maka hanya di negara yang memiliki Sumber Daya Manusia yang
berkualitas yang mampu memenangkan persaingan tersebut, karena kunci
kemampuan Sumber Daya Manusia adalah manusia yang berkualitas sehingga
menciptakan keunggulan kompetitif.
2.1.6. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Penelusuran Manajemen Sumber Daya Manusia tidak terlepas dari pengertian
atau makna manajemen dimana menurut Terry (1979 : 4 alih bahasa Winardi)
mendefinisikan bahwa :
Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lainnya.
48
Pendapat Gerry tersebut mengarahkan kepada fungsi-fungsi manajemen yang
lebih popular disingkat menjadi POAC (Planning, organizing, actuating and
controlling) dengan harapan tujuan-tujuan yang telah digariskan dapat tercapai
melalui ketersedian sumber daya yang ada. Sebelum melakukan sesuatu harus
direncanakan terlebih dahulu disesuaikan dengan diorganisasikan menjadi legal,
kemudian dilaksanakan sesuai dengan rencana lalu diadakan evaluasi guna
memperoleh masukan untuk perencanaan tahun berikutnya.
Sejalan dengan pendapat Terry, Siagian (2005 : 7) mengatakan bahwa
”Manajemen sebagai proses kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemberian
motivasi dan pengawasan yang dilakukan suatu organisasi dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya.” Menurut Follet dalam Silalahi (2002 : 29)
mengungkapkan bahwa :
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah suatu seni untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi melalui pengaturan orang-orang lain untuk melaksanakan berbagai pekerjaan yang diperlukan, atau dengan kata lain tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.
Faktor-faktor perkembangan budaya manusia, ilmu dan teknologi telah
mendorong perlunya Manajemen Sumber Daya Manusia dalam mengelola organisasi
atau perusahaan. Sistem manajemen sumber daya manusia.
49
Sumber-sumber lain
Sumber-sumber lain
Sumber: Notoatmodjo (2003 : 120)
Gambar 2.3Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia
Sistem manajemen sumber daya manusia menurut Notoatmodjo dimulai
kegiatan manajemen, selanjutnya tujuan Manajemen sumber daya manusia, yang
harus diisi oleh sumber daya yang profesionalitas guna meningkatkan kinerja guna
mencapai tujuan organisasi.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari perubahan pandangan dan sikap
manajemen terhadap Sumber Daya Manusia itu sendiri, sebagaimana yang
diungkapkan Stoner (1994 : 31) bahwa :
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah suatu prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.
Pernyataan Stoner menyebutkan betapa penting sumber daya, semakin tinggi
jabatan seseorang memerlukan sumber daya yang ahli, professional sesuai dengan
Kegiatan
manajemen
sdm
Tujuan
manajemen
sdm:
- Sosial
- Organisasi
- Fungsi
Sumber
Daya
Manusia
Tujuan
Organisasi
50
kompetensi yang dimiliki. Organisasi private dalam merekrut tenaga ahli
mengeluarkan gaji, insentif, tunjangan dalam jumlah yang sesuai dengan
kemampuannya.
Selanjutnya, menurut Siagian (2005 : 23), bahwa :
Manajemen Sumber Daya Manusia berarti mengacu, mengurus Sumber Daya Manusia berdasarkan visi perusahaan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara optimum. Karenanya, Manajemen Sumber Daya Manusia juga menjadi bagian dari Ilmu Manajemen (Management Science) yang mengacu kepada fungsi manajemen dalam pelaksanaan proses-proses perencanaan, pengorganisasian, staffing, memimpin dan mengendalikan.
Kerangka hukum yang mendasari mengenai fungsi-fungsi pelaksanaan
Manajemen Sumber Daya Manusia dalam desentralisasi administrasi termuat dalam
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang salah satu
isinya adalah :
Penyelenggarakan manajemen PNS yang mencakup perencanaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS dan administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian, penyelenggaraan dan pemeliharaan informasi kepegawaian, mendukung perumusan kebijaksanaan kesejahteraan PNS, serta memberikan bimbingan teknis kepada unit organisasi yang menangani manajemen kepegawaian pada instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah suatu proses menangani berbagai
masalah pada ruang lingkup karyawan/pegawai, manajer dan tenaga kerja lainnya
untuk dapat menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Bagian atau unit yang biasanya mengurusi Sumber Daya
51
Manusia adalah Departemen Sumber Daya Manusia atau dalam bahasa Inggris
Human Resources Development (HRD).
Flippo (1979 : 54) mengungkapkan bahwa :
Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Management) adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan pelaksanaan pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan Sumber Daya Manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.
Pengertian Manajemen sumber daya manusia menurut Flippo dimulai dari
dari perencanaan untuk merekrut sumber daya manusia melalui sejumlah uji
kompetensi baik secara administratif, ujian tertulis dan psikotes. Pengorganisasian
dimulai dari penempatan, pengembangan, pemberian kompensasi. Pengarahan
meliputi pengintegrasian, pemeliharaan sedangkan pengawasan berupa pelepasan
sumberdaya manusia dalam mencapai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.
Heidirachman (2001 : 22) mengungkapkan bahwa pencapaian tujuan
organisasi atau perusahaan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia umumnya
meliputi :
1. Memaksimalkan pendaya gunaan sumber daya organisasi/perusahaan dengan cara yang efisien dan efektif.
2. Mempersatukan dan menyeleraskan tujuan organisasi perusahaan dengan tujuan pribadi para pegawai/karyawan.
3. Memenuhi dan melayani kebutuhan masyarakat.
Manajemen Sumber Daya Manusia harus mampu mengarahkan Sumber Daya
Manusia untuk pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sehingga
fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia mempunyai tujuan menunjang tugas
52
manajemen (perusahaan) menjalankan roda organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditentukan sebelumnya, sebagaimana yang diungkapkan
Siagian (2005 : 47) mengemukakan bahwa fungsi Manajemen Sumber Daya
Manusia itu meliputi :
1. Perencanaan Sumber Daya Manusia2. Analisis dan Rancang Bangun Pekerjaan3. Rekruitmen Tenaga Kerja4. Seleksi Pegawai5. Penempatan Pegawai6. Pengembangan Sumber Daya Manusia7. Perencanaan Karier8. Penilaian Prestasi Kerja9. Sistem imbalan10. Pemeliharaan hubungan dengan karyawan11. Pemeliharaan hubungan industrial12. Audit kepergawaian
Pendapat Siagian diatas menyatakan fungsi manajemen sumber daya manusia
yang dimulai dari adanya perencanaan sumberdaya manusia yang dibutuhkan bagi
suatu organisasi melalui rekruitmen tenaga kerja, seleksi pegawai kemudian
ditempatkan sesuai dengan prinsip “the right man on the right place”; untuk
pengembangan pegawai melalui pendidikan dan latihan, system penggajian/imbalan
yang diterima, pengembangan karier, pemeliharaan kesehatan, tunjangan bagi
keluarganya; hubungan industrial berkaitan pemecahan masalah bagi pemutusan
hubungan kerja baik sementara maupun tetap di arbitrasi dan terakhir audit
kepegawaian berkaitan dengan perencanaan tenaga kerja masa yang akan datang.
53
2.1.7. Pengertian Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan Sumber Daya Manusia di segala bidang merupakan salah satu
upaya wajib dilakukan bagi terciptanya sumber daya yang berkualitas, memiliki
kemampuan memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan serta
teknologi. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia untuk memenuhi tantangan
peningkatan perkembangan yang semakin cepat, perlu dilakukan secara terus
menerus, sehingga menjadikan Sumber Daya Manusia tetap merupakan sumber daya
yang produktif.
Siagian (2005 : 5) mengungkapkan bahwa : “Pengembangan Sumber Daya
Manusia merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi sesuai dengan
tuntutan pekerjaan. Dengan kegiatan pengembangan ini, maka diharapkan dapat
memperbaiki dan mengatasi kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan dengan
lebih baik, sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang dipergunakan oleh
instansi yang berkaitan, sehingga pengembangan Sumber Daya Manusia tiada lain
adalah salah satu fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia”.
Pemikiran tersebut di atas menjadi falsafah dasar dalam menjalankan usaha
pengembangan Sumber Daya Manusia, sehingga dalam bidang manajemen dan
pengembangan Sumber Daya Manusia haruslah berpegang pada “to get the right and
actualized man in the right place”. Siagian (2005 : 107) mengungkapkan bahwa
fungsi-fungsi pengembangan Sumber Daya Manusia meliputi :
1. Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui pelatihan.Pelatihan dalam tugas dilakukan dilakukan bagi para karyawan/pegawai yang sedang bertugas atau berdinas dalam
54
perusahaan, yang bertujuan mempertinggi kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan.
2. Pengembangan Sumber daya manusia melalui Built in Training (BIT).Pelatihan yang berkesinambungan dan melekat dalam tugas dari atasan, untuk meningkatkan kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar uraian pekerjaan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pelatihan ini diselenggarakan di tempat kerja, dalam waktu pendek dan pengajarnya adalah atasan langsung.
3. Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui penugasan.Tugas-tugas yang diberikan yang menghendaki pengembangan potensi diri para pegawai. Pemberian tugas merupakan kegiatan yang baik, diberikan oleh seorang atasan kepada bawahannya, sehingga dengan pelaksanaan tugas itu yang bersangkutan akan tertantang untuk mengerahkan segala kemampuan yang ada pada dirinya.
4. Pengembangan Sumber daya manusia melalui mutasi dan promosi.Proses kegiatan yang dapat mengembangkan posisi atau status seorang karyawan/pegawai dalam suatu organisasi, karena mutasi dan promosi merupakan kekuatan yang sanggup mengubah posisi karyawan, maka dikatakan bahwa mutasi dan promosi merupakan salah satu cara yang paling ampuh dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia dalam lingkungan organisasi.
5. Pengembangan Sumber daya manusia melalui pengembangan karier.Merupakan proses dan kegiatan mempersiapkan seorang karyawan untuk menduduki jabatan dalam organisasi, yang akan dilakukan di masa datang. Dengan pengembangan tersebut tercakup pengertian bahwa organisasi tersebut telah menyusun perencanaan sebelumnya tentang cara-cara yang perlu dilakukan untuk mengembangkan karier.
6. Pengembangan Sumber daya manusia melalui Gugus Kendali Mutu (GKM).Mendayagunakan seluruh kemampuan, pikiran, ide kreatifnya, dan sebagainya untuk melakukan berbagai perbaikan di tempat kerjanya. Sehingga pengembangan ini tidak sekedar faktor produksi dan bekerja saja, tetapi diberi kesempatan untuk berfikir tentang pekerjaannya.
55
7. Pengembangan Sumber daya manusia melalui pengawasan dan pengendalian.Kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan pekerjaan yang dilakukan, agar proses pekerjaan itu sesuai dengan hasil yang diinginkan, dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam melaksanakan. Para bawahan selalu mendapat pengarahan dan bimbingan dari atasan, cenderung melakukan kesalahan dibandingkan dengan pegawai yang tidak selalu mendapat pengarahan dan bimbingan.
Kemampuan pegawai sebagai Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi
sangat penting dan keberadaannya bagi peningkatan produktivitas kerja di
lingkungan organisasi. Manusia merupakan salah satu unsur terpenting yang
menentukan berhasil tidaknya perusahaan mencapai tujuan dan mengembangkan
misinya. Oleh karena itu Sumber Daya Manusia yang berkualitas sangat menunjang
organisasi untuk dapat lebih maju dan berkembang.
Gambar 2.4 human resources developer administrator terdiri personel
yang menjalankan program, kalau ada kendala dilapangan harus di maintenance yang
harus didukung oleh fasilitas dan sejumlah dana. Kalau sumber daya terbatas
pergunakan konsultan untuk mendapat nasehat dari keahlian yang dimilikinya
dengan membuat perubahan yang besifat kreatif dengan cara-cara yang inovatif.
Suatu organisasi yang ingin maju dan tumbuh harus selalu melaksanakan
pengembangan sumber daya manusia secara terus menerus.
56
Sumber: Notoatmodjo (2003: 113)
Gambar 2.4Human Resources Developer
Hal ini disebabkan perubahan yang terjadi dalam ilmu dan teknologi selalu
berkembang terus dan perlu dicermati oleh suatu organisasi. Agar organisasi tersebut
tidak ketinggalan atau ditinggalkan dalam perkembangan keadaan yang bergulir terus
itu, maka organisasi tersebut harus mengikuti perubahan keadaan tersebut.
Learning Specialist:- Instructor
- Curriculum Builder- Materiil & Methode Developer
Administrator Consultant:- Developer: Personel - Advocate- Supervisor: On going - Expert
program - Stimulator- Maintainer: Community - Change Agent
relation- Arranger: facilities
finance
57
2.1.8. Faktor-faktor Pengembangan Sumber Daya Manusia
Telah banyak kebijakan publik yang telah disampaikan kepada
masyarakat, diantaranya pengembangan Sumber Daya Manusia. Pengembangan
Sumber Daya Manusia merupakan peningkatan ilmu pengetahuan atau peningkatan
sikap dan perilaku pegawai dalam suatu proses pemahaman dan mempunyai
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja.
Kemampuan pegawai sebagai Sumber Daya Manusia dalam suatu
organisasi sangat penting dan keberadaannya bagi peningkatan produktivitas kerja di
lingkungan organisasi. Manusia merupakan salah satu unsur terpenting yang berhasil
tidaknya perusahaan mencapai tujuan dan mengembangkan misinya. Seperti yang
diungkapkan Mondy dan Noe (1989 : 87) bahwa : pengembangan Sumber Daya
Manusia sebagai upaya manajemen yang terencana dan dilakukan secara terencana
berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi pekerja dan untuk kerja
organisasi melalui program :
1. Pelatihan.Meliputi aktivitas-aktivitas yang berfungsi meningkatkan untuk kerja seseorang dalam pekerjaan yang sedang dijalani.
2. Pendidikan.Mencakup kegitan-kegiatan yang diselenggarakan untuk meningkatkan kompetensi menyeluruh seseorang (Overallcerupetence) dalam arah tertentu dan berada di luarlingkup pekerjaan yang ditanganinya saat ini.
3. Pengembangan.Meliputi pemberian kesempatan belajar yang bertujuan untuk mengembangkan individu, tetapi tidak dibatasi pekerjaan tertentu pada saat ini atau masa yang akan datang.
58
Pengembangan sumber daya manusia meliputi pelatihan, pendidikan dan
pengembangan. Pelatihan dilakukan dalam jangka waktu pendek dan bersifat teknis
pekerjaan yang dilakukan pegawai untk meningkatkan kompetensinya, pendidikan
dalam jangka waktu agak panjang dan diluar pekerjaan teknis dilakukan sehari-har
tapi mendukung pekerjaan jangka panjang juga bisa meningkatkan pangkat/golongan
sesuai dengan jenjang pendidikan formal yang diikuti, sedangkan pengembangan
bertujuan mengembangkan karier individu, organisasi dan selanjutnya bisa
meningkat harkat dan martabat bangsa.
Mondy dan Noe (1998 : 92) bahwa tujuan pengembangan Sumber Daya
Manusia adalah:
1. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan pada semua tingkat organisasi.
2. Mencegah keusangan keterampilan pada semua tingkat organisasi.3. Mempersiapkan pekerja agar dapat menjalankan tugas atau pekerjaan
yang lebih tinggi jenjangnya.
Pendapat Mondy dan Noe bahwa meningkatkan produktivitas, mencegah
keusangan keterampilan dan mempersiapkan pekerja kejenjang yang lebih tinggi
merupakan tujuan pengembangan sumberdaya manusia, artinya sumberdaya harus
mempersiapkan segala sesuatu guna menyesuaikan diri dengan perkembangan
teknologi yang makin lama semakin modern.
Faktor-faktor pengembangan Sumber Daya Manusia di atas dapat diartikan
sebagai penyiapan individu-individu dalam memikul tanggung jawab yang berbeda
atau yang lebih tinggi di dalam lembaga/organisasi. Pengembangan biasanya
59
berkaitan dengan peningkatan kemampuan intelektual atau emosional yang
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih optimal.
2.1.9. Pengertian Kualitas
Pelayanan publik dapat diartikan juga sebagai pelayanan umum. Suatu
kebijakan dapat dipakai sebagai dasar atau acuan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Pengertian pelayanan publik tidak terlepas dari kepentingan
umum. Dalam perkembangannya pelayanan publik timbul karena adanya kewajiban
sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan organisasi yang berorientasi kepada
kepentingan umum. Luthans dalam Monier (1995 : 17) menyatakan bahwa
“pelayanan sebagai suatu proses penunjukan kepada segala usaha yang dilakukan
oleh salah satu pihak kepada pihak lain dalam rangka pencapaian tujuan tertentu”.
Kegiatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat meliputi banyak hal
yang menyangkut semua kebutuhan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Pamuji (1994 : 22) yang mengatakan bahwa jasa pelayanan pemerintah, yaitu :
Berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa jenis pelayanan publik dalam arti jasa-jasa, yaitu seperti pelayanan kesehatan, pelayanan keluarga, pelayanan pendidikan, pelayanan haji, pelayanan pencarian keadilan dan lain-lain.
Pernyataan Pamuji menjelaskan berbagai produk pelayanan publik yang
terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pelayanan yang diberikan tidak bersifat
diskriminasi dan harus merata diberikan apabila masyarakat memerlukan pelayanan
diberbagai aspek kehidupan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup.
60
Hubungan dengan aparat pemerintah, maka kegiatan pelayanan menurut
Rasyid (1997 : 76) bahwa, “upaya yang dapat dilakukan oleh para pegawai negeri
untuk memperoleh respek yang tinggi dari masyarakat mandiri yang dibinanya
adalah optimalisasi pelayanan publik yang efisien dan adil”. Yang bertugas
memberikan pelayanan adalah pegawai negeri sipil. Untuk itu PNS harus diberikan
pelatihan bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Istilah jasa (service) sering diidentikkan dengan pelayanan. Berkaitan
dengan itu, Kotler (1994 : 464) mengemukakan bahwa : ”A service is any act or
ferformance that one party can offer to another that is essentially intangible and
does not result in the ownership of anything its production may or may not ned to
phsycal product”.
Adapun pelayanan menurut Ndraha dalam Djaenuri (1997 : 14)
dikemukakan sebagai berikut :
Pelayanan (service) meliputi jasa dan pelayanan. Jasa adalah kondisi sedangkan layanan pemerintah kepada masyarakat terkait dengan hak dasar dan lepas dari persoalan apakah pemegang hak itu dapat dibebani suatu kewajiban atau tidak. Dalam hubungan ini dikenal adanya hak bawaan dan hak pemberian. Hak bawaan selalu bersifat individual dan pribadi, sedangkan hak pemberian meliputi hak sosial politik dan hak individual. Lembaga yang berkewajiban memenuhi hak-hak pemberian, sebagian dipenuhi oleh pemerintah dan sebagian lagi dapat dipenuhi oleh pihak swasta. Kegiatan pemerintah untuk memenuhi hak bawaan dan hak pemberian inilah yang disebut layanan publik.
Pada prinsipnya misi utama birokrasi pemerintah itu diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, termasuk pelayanan masyarakat,
hendaknya tanpa keinginan untuk mendapatkan keuntungan namun lebih didasarkan
61
pada pertimbangan sosial. Lebih lanjut Ndraha (1997 : 73) mengemukakan
bahwa,”Pemerintah adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi, atau
menjual atau alat pemenuhan kebutuhan rakyat berbentuk jasa publik dan layanan
civil.” Dari sinilah dapat dipahami bahwa pelayanan publik merupakan salah satu
tugas yang harus dikerjakan dengan lebih efektif oleh aparatur pemerintah untuk
meningkatkan kepuasan publik. Hal ini sesuai dengan pendapat Thoha (1998 : 75)
yang menyatakan bahwa :
Peranan birokrasi selama ini mengatur dan minta dilayani harus diubah menjadi suka melayani, suka mendengarkan tuntutan, kebutuhan dan harapan-harapan masyarakat, dari yang suka menekankan kekuasaan dan menolong, mau tidak mau harus diubah menjadi fleksibel, kolaborasi, aliansi dan dialogis, dengan cara yang sloganistis diubah menjadi cara kerja yang realistis, programis dan pragmatis. Lebih dari itu semua perilaku birokratis kita mulai dari pimpinan sampai ke aparat yang paling bawah harus menunjukkan sikap yang jujur, bersih, berkarakter profesional, tidak mudah marah, mempunyai rasa malu, dan mendahulukan pelayanan publik dengan sikap yang marah.
Pernyataan Thoha sejalan dengan pendapat David Osborn dan Peter Plastik
(1997 : 322-324) mengisyaratkan harus ada perubahan dalam mewirausahakan
birokrasi pemerintah yaitu pemerintahan katalis yang berfungsi sebagai pengarah;
pemerintahan milik masyarakat yang mengalihkan wewenang control ke tangan
masyarakat; pemerintahan kompetitif mengisyaratkan persaingan diantara penyampai
jasa; pemerintahan berorientasi misi melakukan deregulasi internal; pemerintahan
berorientasi pada hasil yang mengubah dari input dan membelanjakan menjadi
akuntabilitas pada hasil; pemerintahan berorientasi pelanggan memperlakukan
masyarakat yang dilayani; pemerintahan wirausaha memfokuskan energinya bukan
62
sekedar untuk menghabiskan anggaran; pemerintahan antisipatif yang berpikir
kedepan; pemerintahan desentralisasi adalah pemerintahan yang mendorong
wewenang dari pusat pemerintahan melalui organisasi; pemerintahan berorientasi
pasar yang sering memanfaatkan struktur pasar swasta.
Pentingnya pelayanan dilaksanakan dengan sebaik mungkin terhadap
masyarakat adalah karena berbagai alasan sebagaimana yang dijelaskan oleh
De Vrye (1994 : 5) sebagai berikut :
Service is often the first thing that is mentioned and the last thing that is alone. There is better time to start than now. If business is booming you can increase yaour competitive edge. And, even in tough economic times, quality services free. Few business make a deliverate decision to offer poor or mediocre service but the succesful ones activelly focus on continous improvement. They never succumb to the “she’ll be rght” approach. They recognize that courtesy means business. Business means jobs.
Pernyataan De Veyre menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan
berawal dari menyebutkan sesuatu dan berakhir dengan berjalan sendirinya. Waktu
yang tepat untuk memulai pada saat peningkatan kompetitif, dan ketika waktu
pembelajaran secara ekonomi dengan pelayanan yang gratis. Sedikit bisnis yang
peduli dengan masyarakat miskin tetapi sukses dan aktif dalam penampilan yang
berkelanjutan. Pelayanan mempunyai arti bisnis dan bisnis berarti pekerjaan.
Pengertian publik yaitu masyarakat, dimana menurut Davis dalam Ngadiono
(1984 : 16) adalah :
Masyarakat merupakan kelompok sosial terkecil yang bertempat tinggal di daerah tertentu yang didalamnya mengandung seluruh kehidupan sosial. Menyadari bahwa peningkatan pelayanan kepada publik atau
63
masyarakat hendaklah diketahui bahwa peningkatan itu dapat diukur melalui sejumlah kualitas yang dicapai.
Pemahaman kekuasaan pemerintah sebagai amanat dari sarana dan wahana
untuk melayani masyarakat tampaknya pemikiran itu semakin penting untuk
dipahami dan disadari oleh segenap jajaran pemerintah. Dalam upaya meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, hendaknya disadari bersama bahwa kualitas
pelayanan publik yang efektif tidaklah bersifat statis namun bersifat dinamik dan
terus berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebenarnya
tidak mudah mendefinisikan kualitas dengan tepat, yang menurut konsep Tjiptono
(1996 : 51) diberi pengertian sebagai berikut :
Konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifik dari suatu produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang ditetapkan, pada kenyataannya aspek ini bukanlah satu-satunya aspek kualitas.
Pernyataan Tjiptono konsep kualitas diasumsikankan ukuran relative bagi
seseorang atau sekelompok orang berkenaan dengan desain produk dan kualitas
kesesuaian spesifikasi barang yang diharapkan sesuai kenyataannya. Kualitas
berkenaan dengan persyaratan yang memenuhi syarat tertentu.
Selanjutnya menurut Goetsh dan Davis dalam Tjiptono (1996 : 51)
menyatakan bahwa, ”Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan
64
dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan memenuhi atau melebihi
harapan”.
Pendapat Tjiptono menggambarkan kualitas pelayanan bisa berbentuk
barang atau produk dan atau jasa dimana manusia dan lingkungan menentukan sekali
apakah bisa memenuhi harapan atau malah mengecewakan masyarakat sebagai
konsumen. Memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat merupakan
tanggungjawab pemerintah yang harus dipenuhi tuntutan.
Parasuraman, Zeithaml dan Berry dalam Supranto, (1997 : 230)
mengemukakan bahwa :
Kualitas pelayanan (jasa) merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik, dan suatu cara perusahaan jasa untuk tetap dapat unggul bersaing memberikan jasa dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaingnya secara konsisten, sehingga pelanggan mendapatkan kualitas jasa yang diharapkan.
Ketetapan strategi pemasaran jasa dari suatu organisasi publik ditentukan
oleh kualitas jasa yang ditawarkan dan diukur oleh service performance/perceived
service (jasa yang diharapkan pelanggan). Kualitas jasa keseluruhan merupakan
totalitas dari setiap unsur bauran jasa. Pelayanan dikatakan berkualitas apabila ada
perbandingan terbaik antara pelayanan SKPD satu dengan pelayanan SKPD lainnya.
Untuk memenuhi pelayanan berkualitas harus diatas standar pelayanan minimal yang
diberikan pemerintah.
Banyak para ahli yang memberikan pengertian tentang kualitas. Menurut
Gaspersz (1997: 4), kualitas adalah totalitas dari karakteristik suatu produk (barang /
65
jasa) yang menunjang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang di
spesifikan. Kualitas seringkali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan
pelanggan.
Pengertian lain kualitas disampaikan oleh Kotler (1994 : 56) sebagai berikut
”Quality is totality of features and characteristics of product or service that bear on
its ability to satisfy stated or implied needs.” Maksudnya, kualitas adalah totalitas
sifat dan ciri-ciri barang atau jasa yang memiliki pengaruh kuat terhadap kepuasan.
Sementara itu Sutjipto (1995 : 6-7 ) menyatakan pengertian kualitas dapat
pula dilihat dari pendapat empat pakar berikut ini :
1. Deming (1991) menyatakan : Quality should be needs of the consumers, present and future. (Kualitas merupakan kebutuhan konsumen pada masa sekarang dan masa akan datang).
2. Feigenbaum (1991) menyatakan :Product and service quality can be defined as the total composite product and service characteristic of marketing, engineering, manufacture, and maintenance through which the product and service in use will meet the expectations of customer. (Kualitas produk dan jasa dapat didefinisikan sebagai total percampuran karakteristik produk dan jasa dari pada pemasaran, rekayasa, manufaktur, dan pemeliharaan melalui produk dan jasa yang penggunaannya akan memenuhi harapan konsumen)
3. Garvin (1998) mendefinisikan kualitas dari lima sudut pandang, yaitu :a. Dari sudut pandang transedent, ia menyatakan bahwa, “Quality is
synonimous with innate excellence”b. Dari sudut pandang produk, “Quality is precise and measurable
variable” (Kualitas adalah merupakan variabel yang tepat dan terukur).
c. Dari sudut pengguna, “the goods that having the highest quality are the goods that best satisfy the preference of consumers”
66
(Barang-barang yang memberikan kepuasan tertinggi terhadap pilihan konsumen).
d. Dari sudut pandang produsen, “Quality means conformance to requirement” (Kualitas berarti kesesuaian dengan persyaratan).
e. Dari sudut pandang nilai, “A quality product is one that provides performance or conformance at an acceptable price or cost” (Sebuah produk yang berkualitas adalah sesuatu yang memberikan kinerja atau kesesuaian pada tingkat harga atau biaya yang dapat diterima)
Bila pendapat tentang pengertian kualitas dari para ahli di atas diambil
esensinya maka berarti terdapat tiga pengertian dasar kualitas, yaitu : pemenuhan
atau pemuasan keinginan konsumen, kesesuaian terhadap standar atau spesifikasi
yang telah ditetapkan, dan harga atau biaya yang terjangkau.
Zaithaml, Parasuraman, dan Berry (1990 : 26) memberikan pengertian
kualitas pelayanan sebagai berikut, ”Service quality, as perceived by customers, can
be defined as the extent of discrepancy between customers expectations or desires
and their perceptions.”
Pengertian di atas kualitas pelayanan sebagaimana yang dipersepsikan oleh
konsumen, dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara harapan atau
keinginan konsumen dengan persepsi yang dirasakannya. Dengan kata lain, menurut
Lewis and Booms (1983: 44), “Kualitas pelayanan adalah mengukur bagaimana
sebaiknya memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan-harapan konsumen.”
Dengan demikian, memberikan pelayanan yang berkualitas berarti menyesuaikan diri
dengan harapan-harapan konsumen pada basis yang konsisten.”
67
Sedangkan Berman (1995 : 35) mengatakan :
The many faktors that comprise a firm’s customer service strategy or its store hours, parking access, the shopper friendliness of the store layout, the acceptance of credit, the level and caliber of sales people, such amenities as gift wrapping, the availability of rest rooms, employee politeness, the handling of special customes order, delivery policies, the amount of time customers spend on checkout lines, and customers follow up.
Pernyataan Berman berbagai faktor pelayanan yang strategi atau waktu yang
tepat, akses pelayanan parkir, pelayanan bersifat kekeluargaan, pelayanan kredit,
pelayanan penjualan misalnya memberikan amnesty, toilet, politisi, permintaan
khusus masyarakat, waktu cekout dan kelanjutan pelayanan.
2.1.10. Konsep Kualitas Pelayanan Publik
Dalam melaksanakan misinya, seringkali organisasi publik hanya berfokus
pada pencapaian produktifitas dan profitabilitas dengan mengabaikan aspek kualitas.
Menurut Goetsh dalam Tjiptono (1996 : 51) kualitas merupakan “suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Triguno (1997 : 76) mengartikan kualitas sebagai berikut, yaitu :
Standar yang harus dicapai oleh seorang/ kelompok/ lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/ persyaratan pelanggan/ masyarakat.
68
Tjiptono (1996 : 58) secara garis besar ada empat unsur pokok yang
terkandung di dalam pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu :
1. Kecepatan2. Ketepatan3. Keramahan4. Kenyamanan
Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi,
artinya pelayanan menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang kualitas
atau pelayanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang
pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi ( institusi)
yang bersangkutan.
Wyckof dalam Tjiptono (1996 : 59) mengartikan kualitas jasa atau layanan,
yaitu : “tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Ini berarti, bila jasa
atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, sebaliknya bila jasa atau pelayanan
yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa
atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, sebaliknya bila jasa atau layanan
yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan
akan dipersepsikan buruk.
Istilah jasa (service) sering diidentikkan dengan istilah pelayanan. Berkaitan
dengan itu, Kotler (1994 : 464) mengemukakan bahwa : “ a service is any act or
performance that one party can offer to another that is essentialiy intangible and
69
does not result in the ownership of anything. It’s production may or may not betied it
physical product”.
Pamuji (1994 : 21-22) mengartikan tentang pelayanan publik yaitu :
Berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa. Dalam bahasa asing kita mengenal “publik service” dan “ publiv utilities” yang secara populer istilah pertama diterjemahkan sebagai pelayanan publik, yang didalam juga mencakup kegiatan publik utilities, seperti misalnya penerangan (PLN dan lain-lain).
Pernyataan pamuji bahwa pelayanan publik harus dipenuhi oleh pemerintah
baik itu barang atau jasa dengan memberikan pelayanan yang terbaik yang berupa
software-nya atau hardware-nya berupa gedung tempat pelayanan ataupun fasilitas
lain untuk memenuhi hidup orang banyak.
Kybernan No 5 (1998 : 2) dinyatakan bahwa komoditi pelayanan publik
adalah jasa publik yaitu : ”jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang
pengelolaan, produksi dan jual belinya diletakan dibawah kontrol pemerintah”.
Dalam hal ini sangat sesuai dengan UUD 1945 bahwa barang atau jasa yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat disuatu Negara harus dipenuhi oleh
pemerintah.
Ndraha (1997:62) mengemukakan pengertian tentang jasa publik sebagai
berikut yaitu :
Produk yang dimaksud pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yaitu Produk yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Produk ini dapat dijual-beli tetapi proses, produk, harga, penjualan distribusinya dikendalikan oleh pemerintah, agar dapat dinikmati oleh rakyat lapisan
70
bawah dan agar prinsip keadilan sosial yang dimaksud alenia keempat pembukaan UUD 1945 dapat diwujud-nyatakan.
Pernyataan Ndraha menyebutkan produk yang dihasilkan oleh pemerintah
diberikan bersama-sama dengan perusahaan swasta yang menyediakan produk
barang keperluan bagi kehidupan sehari-hari. Tidak semua pemerintah bisa
memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat vital
misalnya listrik, air, jalan, pelabuhan wajib disediakan pemerintah. Kalaupun swasta
yang menyediakan pemerintah sebagai regulator harus mengaturnya, guna
perlindungan terhadap konsumen.
Berkaitan dengan produk atau barang publik (publik goods), Stigliz dalam
Sjahrir (1986 : 4) mengemukakan bahwa terdapat dua elemen yang menjadi dasar
dari setiap barang publik, yaitu :
1. Adalah tidak mungkin untuk menjatah (ration) barang-barang itu untuk setiap individu.
2. Bila itu bisa, amat sulit dan tak diinginkan untuk menjatah dan membagi-bagikan barang-barang tersebut.
Berbagai pendapat di atas, terkandung makna bahwa produk pelayanan publik
termasuk air minum pada dasarnya adalah tanggung jawab unit kerja publik
(pemerintah, eksekutif, policy implementor) untuk menyediakan atau memenuhinya.
Dasar pelayanannya adalah kebijakan publik ( publik policy). Hal ini ditegaskan oleh
Sjahrir ( 1986:4) bahwa “bila barang privat sektor persediaan (supply) ditentukan
oleh produsen yang bertujuan mencari untung (profit motive), maka persediaan
barang-barang publik ditetapkan melalui proses politik”.
71
2.1.10.1. Manfaat Kualitas Pelayanan Publik
Mengingat arti pentingnya kualitas pelayanan, banyak para pakar yang
berpendapat bahwa manfaat yang dapat diraih dari menciptakan dan
mempertahankan kualitas pelayanan jauh lebih besar dari pada biaya yang
dikeluarkan untuk meraihnya atau biaya akibat dari kualitas pelayanan yang buruk.
Bahkan kualitas pelayanan yang unggul saat ini, dipandang sebagai sarana untuk
meraih keunggulan dalam persaingan.
Tjiptono (1996 : 54) mengemukakan bahwa “kualitas memiliki hubungan
yang erat dengan kepuasan pelanggan, selanjutnya kepuasan pelanggan dapat
menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada perusahaan yang
memberikan kualitas yang memuaskan”. Lebih lanjut Tjiptono (1996 : 79)
mengemukakan manfaat kualitas jasa atau pelayanan yang unggul, yaitu :
1. Hubungan perusahaan dan para pelanggannya menjadi harmonis;2. Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang;3. Dapat mendorong terjadinya loyalitas pelanggan;4. Membentuk rekomondasi dari mulut ke mulut (word of mouth)
yang menguntungkan bagi perusahaan;5. Laba yang diperoleh dapat meningkat.
Pendapat Tjiptono mengemukakan kualitas pelayanan berarti konsuen erasa
puas atas pelayanan yang diberikan, kalau konsumen merasa puas mereka cendrung
untuk kembali membeli produk barang atau jasa yang dihasilkan, lalu dipromosikan
dari mulut ke mulut sehingga laba perusahaan akan meningkat.
72
Kaitannya dengan pelayanan yang dilakukan oleh aparat pemerintah, Rasyid
(1997 : 3-4) mengemukakan manfaat yang diperoleh dari optimalisasi pelayanan
yang efisien dan adil, yaitu :
Secara langsung dapat merangsang lahirnya respek masyarakat atas sikap profesional para birokrat sebagai abdi masyarakat (servant leaders). Pada tingkat tertentu kehadiran birokrat yang melayani masyarakat secara tulus akan mendorong terpeliharanya iklim kerja keras, disiplin dan kompetitif.
Pendapat Rasyid dapat diterjemahkan dengan optimalisasi pelayanan
masyarakat sangat menghargai usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan
selanjutnya mendorng terpeliharanya kerja keras, disiplin dan kompetitip yang harus
diiringi pula dengan pemberian reward oleh pemerintah bagi para pegawainya yang
memberikan pelayanan yang baik dan optimal.
Melalui pelayanan yang baik selain manfaat bagi masyarakat juga bermanfaat
terhadap citra aparat pemerintah itu sendiri. Mengingat akan semakin pentingnya
kualitas pelayanan, untuk itu organisasi publik perlu melakukan identifikasi terhadap
produk atau jenis-jenis pelayanan, serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan. Menurut MENPAN Selayang Pandang (1990 : 35) bahwa :
Kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan tingkat efisiensi, efektifitas dan produktifitas dari sistem kemampuan kelembagaan, pegawai dan ketatalaksanaan dalam mendorong, menumbuhkan serta memberikan pengayoman terhadap prakarsa dan pemenuhan kebutuhan pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Nomor 81 tahun 1995 yang
disempurnakan dengan kepmenpan Nomor 63/Kep/M.PAN/7/2003, tentang pedoman
73
umum penyelenggaraan pelayanan publik menyatakan bahwa kinerja organisasi
pemerintah dalam memberikan pelayanan publik dapat diukur dengan menggunakan
indikator sebagai berikut :
1. Kesederhanaan : prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan: (a) persyaratan teknis dan adminstratif pelayanan publik; (b) unit kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik dan (c) rincian biaya pelayaan publik dan tata cara pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian waktu : pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4. Akurasi : produk pelayanan yang diterima dengan benar, tepat dan sah.5. Keamanan : proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman
dan kepastian hukum.6. Tanggung jawab : pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau
pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan / persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana : tersedianya sarana dan prasarana, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).
8. Kemudahan akses : tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masayarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan : pemberi layanan harus bersikap disiplin, sopan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
10. Kenyamanan : lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pelayanan seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan
dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Oleh
karena itu dikeluarkan kepmenpan nomor Kep/25/M.PAN/2/2004. Tanggan 24
74
Pebruari 2004 tentang pedoman umum penyusunan Index Kepuasan Masyarakat Unit
Pelayanan Instansi Pemerintah, menyebutkan sejumlah unsur indeks kepuasan
masyarakat yaitu :
1. Prosedur pelayanan; yaitu kemudahan, tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2. Persyaratan pelayanan yaitu persaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3. Kejelasan petugas pelayanan yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan tanggung jawabnya) .
4. Kedisiplinan petugas pelayanan yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Tanggung jawab petugas pelayanan yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/ menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kecepatan pelayanan yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8. Keadilan mendapatkan pelayanan yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/ status masyarakat yang dilayani.
9. Kesopanan dan keramahan petugas yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
10. Kewajaran biaya pelayanan yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
11. Kepastian biaya pelayanan yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
12. Kepastian jadwal pelayanan yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
13. Kenyamanan lingkungan yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih rapih dan teratur sehingga dapat memberikan rasa kenyamanan kepada penerima pelayanan.
14. Keamanan pelayanan yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga
75
masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Sejalan dengan fungsi pelayanan yang dilakukan oleh aparat pemerintah,
Kristiadi (1998 : 135) menyatakan bahwa “profesionalisme aparatur mutlak
diperlukan seiring dengan pendayagunaan kelembagaan dan ketatalaksanaannya”.
Lebih lanjut Albrecht dan Zemke dalam simbolon (1998 : 9) menyebutkan ciri
pelayanan yang baik, yaitu harus memiliki; (1) susunan strategi pelayanan yang baik;
(2) orang-orang dilevel operasional yang memiliki orientasi yang tinggi kepada
pelanggan; (3) sistem yang tidak menyulitkan para pelanggannya.
Pendapat Albrecht dan Zemke bahwa orang-orang yang berada di level
pelayanan harus diberikan pelatiha tertentu untuk mewujudkan visi misi dari pada
instansi ditempat ia bekerja dengan menciptakan suatu sistem yang memudahkan
konsumen didalam melakukan transaksi atas sistem yang diciptakan menguntungkan
kedua belah pihak.
Berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik, faktor
manusia dan sistem merupakan faktor yang sangat menentukan. Hal ini dinyatakan
oleh Thoha (1995:181) bahwa “kualitas pelayanan kepada masyarakat sangat
tergantung kepada individual aktor dan sistem yang dipakai”. Dengan demikian,
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka pemberdayaan
terhadap para pelaku birokrasi ke arah penciptaan profesionalisme pegawai menjadi
sangat menentukan dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang dilayani
oleh pemerintah atau birokrasi yang profesional.
76
Sumber: Ratminto dan Winarsih (2008: 54)
Gambar 2.5Model Manajemen Pelayanan
Model manajemen pelayanan pendapat Ratminto dan Winarsih (2008
mengemukakan : 54) bahwa sistem pelayanan dibangun dari adanya SDM
Mekanisme ‘Voice’
● Media ● LSM ● Organisasi Profesi ● Ombudsmen
Mekanisme ‘Voice’
● Media ● LSM ● Organisasi Profesi ● Ombudsman
KulturOrganisasi
Pengguna Jasa
Pelayanan
SistemPelayanan
SDMPelayanan
77
pelayanan dan budaya organisasi sesuai dengan cita rasa pengguna jasa pelayanan.
Untuk meningkatkan pelayanan pemerintah membuat rambu-rambu yang
mengaturnya ombudsman, mekanisme voice bisa melalui media, LSM ataupun
organisasi profesi yang ikut mewarnai pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Sejalan dengan itu, Pamudji (1994 : 20) mengemukakan bahwa
“profesionalisme aparatur bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan pelayanan
publik, karena masih ada alternatif lain, misalnya dengan menciptakan sistem dan
prosedur kerja yang efisien tetapi adanya aparatur yang profesional tidak dapat
dihindari oleh pemerintah yang bertanggung jawab”.
2.1.10.2 Peran Pemerintah Dalam Pelayanan Publik
Keterlibatan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan semakin
berkembang seiring dengan munculnya paham atau pandangan tentang filsafat
negara. Hal ini diungkapkan oleh Prawirohardjo (1993 : 8) bahwa :
Semenjak dilaksanakanya cita-cita negara kesejahteraan, maka pemerintah semakin intensif melakukan campur tangan terhadap sinteraksi kekuatan-kekuatan kemasyarakatan, dengan tujuan agar setiap warga dapat terjamin kepastian hidup minimalnya. Oleh karena itu secara berangsur-angsur, fungsi awal dari pemerintah yang bersifat refrensif (polisi dan peradilan), kemudian bertambah dengan fungsi-fungsi yang lain bersifat melayani.
Fungsi pelayanan yang dijalankan oleh pemerintah modern saat ini, dapat
pula dikaitkan dengan tujuan pembentukan pemerintah itu sendiri, seperti yang
dikemukakan oleh Rasyid (1997 : 11) bahwa :
78
Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya dalam pencapai kemajuan bersama.
Rasyid (1997 : 48) mengemukakan bahwa pelayanan pada hakekatnya
adalah, “Salah satu dari tiga fungsi hakiki pemerintahan, di samping fungsi
pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan (development).” Keberhasilan
seseorang dalam menjalankan misi pemerintahan dapat dilihat dari kemampuannya
mengemban ketiga tugas hakiki tersebut. Oleh karena itu, aparat pemerintah pada
tingkat tertentu haruslah menjadikan semangat melayani kepentingan masyarakat
sebagai dasar dari motivasi mereka bekerja di bidang pemerintahan.
Keterlibatan pemerintah selaku penyedia jasa publik termasuk layanan
umum, dimaksudkan untuk melindungi dan memenuhi kepentingan masyarakat. Hal
ini sejalan dengan konsep ilmu pemerintah modern (Kybernan N0. 3, 1998 : 6) yang
menyatakan bahwa :
Ilmu pemerintahan modern adalah ilmu yang mempelajari bagaimana struktur puncak unit kerja publik/pemerintahan (eksekutif) bekerja dalam rangka memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai shareholder dan konsumer, akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.
Keterlibatan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik masih sangat
diperlukan, selain untuk melindungi kepentingan orang banyak, juga karena berbagai
79
keterbatasan yang dimiliki oleh badan-badan swasta. Menurut Iver (1981: 106-108)
ada kondisi-kondisi tertentu dimana beberapa bentuk pelayanan masyarakat
dikehendaki hanya pemerintah yang dapat memberikannya, misalnya :
1. Dimana proses-proses yang terkandung dalam operasi organisasi swasta melibatkan jiwa manusia yang sebenarnya dapat dihindarkan atau kerugian-kerugian sosial yang oleh organisasi swasta itu sendiri, tidak dapat dihindarkan ketika menjalankan operasinya itu.
2. Dimana badan-badan lain terbatas sekali dalam scope atau rentang dalam pemberian pelayanan yang untungnya non-controversial, walaupun terdapat perbedaan paham mengenai peranan pemerintah dalam melakukannya, atau dimana badan-badan itu meminta imbalan untuk pelayanan yang diberikannya yang menghalangi si miskin untuk dapat menerima pelayanan tersebut.
3. Dimana tidak ada terdapat badan-badan lain yang mempunyai kekuasaan yang diperlukan atau sumber-sumber untuk mengadakan pelayanan yang diperlukan atau yang disetujui masyarakat.
Selain itu adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat agar tidak
dirugikan oleh para pelaku bisnis yang kepentingannya seringkali berbenturan
dengan kepentingan publik. Berikut ini akan dijelaskan konseptual model kualitas
pelayanan : adanya kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan dengan
spesifikasi kualitas pelayanan berbanding persepsi manajemen tentang keinginan
konsumen dan pelayanan yang diberikan dengan komunikasi ekternal; adanya
pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima.
80
Gap 5
Gap 4
Gap 1 Gap 3
Gap 2
Sumber : Zeitaml, Parasuraman & Berry (1990 : 46) dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2008: 83)
Gambar 2.6The Conceptual Model of Service Quality(Konseptual Model Kualitas Pelayanan)
Personal Needs(Kebutuhan Individu)
World-of-mouth Communications
(Komunikasi)
Expected Service(Pelayanan yang diharapkan)
Past Experience(Pengalaman Masa Lalu)
Perceived Service(Pelayanan yang diterima)
External communication to customers
(Komunikasi eksternal)
Service delivery(Pelayanan yang diberikan)
Service quality specifications(Spesifikasi kualitas
pelayanan)
Management perception of customer expection
(Persepsi manajemen tentang keinginan konsumen
81
Penjelasan Gap Model
Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990) mengemukakan bahwa manajemen pelayanan
yang baik tidak bisa diwujudkan karena adanya lima gap yaitu:
Gap 1 (gap persepsi manajemen). Ini terjadi apabila terdapat perbedaan antara
harapan-harapan konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan-harapan
konsumen. Misalnya harapan konsumen adalah mendapatkan pelayanan yang terbaik,
tidak menjadi soal meskipun harganya mahal. Sebaliknya manajemen mempunyai
persepsi bahwa konsumen mengharapkan harga yang murah meskipun kualitasnya
agak rendah.
Gap 2 (gap persepsi kualitas). Gap persepsi kualitas akan terjadi apabila terdapat
perbedaan antara persepsi manajemen tentang harapan-harapan konsumen dengan
spesifikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan.
Gap 3 (gap penyelenggaraan pelayanan). Gap ini lahir jika pelayanan yang diberikan
berbeda dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang telah dirumuskan. Misalnya
spesifikasi pelayanan menyatakan bahwa jam keberangkatan kereta api maksimal
terlambat tiga menit. Akan tetapi yang senyatanya terjadi, kereta api terlambat
setengah jam.
Gap 4 (gap komunikasi pasar). Gap 4 lahir sebagai akibat dari adanya perbedaan
antara pelayanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal terhadap konsumen.
Misalnya jadual perjalanan kereta api.
Gap 5 (gap kualitas pelayanan). Gap kualitas pelayanan ini terjadi karena pelayanan
yang diharapkan oleh konsumen tidak sama dengan pelayanan yang senyatanya
82
diterima atau dirasakan oleh konsumen. Misalnya konsumen atau pelanggan berharap
dapat menyelesaikan urusan perpanjangan KTP atau SIM dalam waktu satu hari, tapi
ketika dia benar-benar mengurus perpanjangan KTP atau SIM, waktu yang
diperlukan adalah satu minggu. Gap ini terjadi sebagai akibat dari terjadinya
akumulasi dari gap-gap sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Dwiyanto (1995 : 3-4) yang menyatakan
bahwa :
.....mekanisme pasar tidak dapat dipakai untuk memberi pelayanan kepada masyarakat secara efisien, kalau pelayanan tersebut termasuk dalam kategori publik goods. Bila satu pelayanan bisa dinikmati oleh semua orang tanpa kecuali, tentunya tidak ada pelaku ekonomi dalam mekanisme pasar yang tertarik untuk menyelenggarakan pelayanan itu. Dalam situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah untuk mewujudkan pelayanan itu melalui birokrasinya.
Pernyataan Dwiyanto bahwa pelayanan yang diberikan oleh tidak boleh
berdasarkan mekanisme pasar tetapi harus disediakan oleh pemerintah terutama yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu pelayanan harus
seoptimal mungkin oleh pemerintah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33.
Syahrir (1986 : 6) mengaitkan hubungan antara pelayanan publik yang
dikelola pemerintah atau negara dengan sistem ekonomi yang berlaku di suatu
negara, dengan menyatakan bahwa :
Kendati banyak negara menganut sistem campuran, namun bila negara-negara tersebut menyatakan diri sebagai negara sosialis maka klaim pengelolaan jasa-jasa publik lebih besar dari pada di negara-negara bersistem campuran. Sayangnya, lebih luas lingkup pelayanan jasa-jasa publik tidak identik dengan lebih baiknya kualitas pelayanan.
83
Fenomena di atas telah menggambarkan terjadinya proses pergeseran dari
barang/jasa privat menjadi barang atau jasa publik, yang membawa konsekuensi
semakin besarnya beban pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus secara efektif
mengindentifikasikan barang atau jasa apa yang dikategorikan publik dan apa yang
dikategorikan swasta (privat), kerena bila tidak dilakukan maka beban pemerintah
akan semakin tidak terkendali. Seiring dengan munculnya beban tambahan
pemerintah yang tidak dapat dihindari, maka efisiensi, efektivitas dan accountability
penyelenggarakan pemerintahan semakin menjadi kebutuhan. Sebelum disusun
kerangka pemikiran perlu digambarkan sbb :
84
GRAND THEORY
MIDDLE RANGE THEORY
APPLIED THEORY
Administrasi Publik -Dimock and Dimock (1960)-Pfiffner & Robert Presthus (1960)-White Leonard (1958)- William H Newman (1958)
ORGANISASI DAN MANAJEMEN-Miftah Thoha (1997)-Sondang P. Siagian (2000)-Suwarno Handayaningrat (1985)-Mc. Farland DE (1959)-GR Terry (1960)
KEBIJAKAN PUBLIK-W.I. Jenkin (1978)-Thomas R. Dye (1978)-David Easton (1953)-William Dun (2004)
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK-Tangkilisan (2007)-Kotler (1994)-Parasuraman dkk (1997)-Lewis & Booms (1983)-Gasper Vinceent
Gambar 2.7Implementasi Kebijakan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia serta Kualitas
Pelayanan Publik
PENGEMBANGAN SDM-Fathoni (2006)-Soekijo Notoatmojo (2003)-Mondy & Noe (1998)-Buchari Zainun (2001)-Prabu Mangkunegara (2001)
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK-Edwards III (1980)-Grindle (1980)-Winarno (2002)-Riant Nugroho (2003)-Wahab (2008)
85
2.2. Kerangka Pemikiran
Sebelum peneliti menguraikan kerangka pemikiran sebagai landasan
berpijak perlu dikemukakan beberapa teori yang menyatakan keterhubungan antara
implementasi kebijakan dan pengembangan sumberdaya manusia terhadap kualitas
pelayanan publik. Untuk memahami keterkaitan teori Implementasi Kebijakan Publik
dengan pengembangan sumberdaya manusia dinyatakan oleh Dunn (2003 : 115) :
Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan. Kebijakan pada umumnya dirumuskan dengan strategi tersendiri yang menyangkut pengambilan keputusan bagi kegiatan penyelenggaraan pemerintah atau negara dalam menjalankan misi pemerintah. Kebijakan biasanya dilakukan dengan bentuk kegiatan formal. Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya, financial dan manusia.
Pernyataan Dunn tentang keterkaitan Implementasi kebijakan publik dengan
pengembangan sumberdaya manusia bahwa pemimpin sebagai pelaksana kebijakan
harus mampu menterjemahkan dan dilaksanakan sesuai dengan yang telah
digariskan, oleh karena itu untuk menggerakkan sumber daya baik manusia dan
memotivasi para pelaksana kebijakan dalam kegiatan-kegiatan formal.
Implementasi kebijakan publik berkaitan pula dengan kepentingan untuk
memberikan pelayanan, hal ini ditegaskan Subarsono (2005: 88) berikut ini :
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang disebut street level bureaucrats untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementator, sedangkan untuk kebijakan makro maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyak aktor maupun unit
86
organisasi yang terlibat, namun juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.
Pernyataan Subarsono mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan
langsung terhubung dengan kualitas pelayanan karena masing-masing variabel
mempunyai keterkaitan yag sangat erat baik untuk kepentingan private (pribadi),
organisasi maupun kepentingan Negara yang menentukan ke kalangan yang luas
yaitu masyarakat umum.
Selanjutnya keterhubungan Pengembangan Sumber Daya Manusia dengan
Kualitas Pelayanan Publik yang dapat disimak pendapat Notoatmodjo (2003: 4)
sebagai berikut, “Suatu proses perencanaan, pendidikan dan latihan dan pengelolaan
tenaga atau karyawan, untuk mencapai suatu hasil yang optimal, hasil ini dapat
berupa jasa maupun benda atau uang.” Dari pendapat tersebut di atas mengenai
Pengembangan Sumber Daya Manusia secara mikro diharapkan untuk dapat
menghasilkan secara optimal dan hasil tersebut diantaranya jasa. Sedangkan yang
dimaksud jasa adalah pelayanan.
Keterhubungan variabel Implementasi kebijakan publik dan pengembangan
terhadap kualitas pelayanan publik menurut Jones (1984: 166) yaitu:
Tiga kegiatan yang perlu dilakukan dalam bentuk implementasi yaitu: organization, interpretation and application. Organisasi berkaitan dengan pembentukan atau penataan kembali Sumber Daya, unit serta metode yang diperlukan untuk menjalankan program, interpretasi adalah agar penafsiran program menjadi jelas dan dapat diterima serta dapat dilaksanakan, sedangkan aplikasi artinya ketentuan rutin dari pelayanan atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau instrumen program.
87
Teori Jones diatas menyatakan bahwa organisasi berkenaan dengan
pengembangan sumber daya, interprestasi bagaimana mengimplementasikan
program yang telah di sahkan sedangkan aplikasi berkaitan dengan pelayanan yang
diberikan oleh para pemerintah.
Implementasi Kebijakan publik menurut Edward III (1980 : 2) :
Implementing a publik policy may include a wide variety of action : issuing and enforcing directives, disbursing funds, making loans, awarding grants, signing contract, collecting data, disseminating information, analyzing problems, assigning and hiring personnel, creating organizational units, proposing alternative, planning for the future, and negotiating with private citizens, business, interest groups, legislative committees, bureaucratic unit, and even other countries. (artinya implementasi kebijakan publik mencakup berbagai tindakan: menyelenggarakan persoalan-persoalan hukum, pemberian bantuan, memberikan pinjaman, memberikan hibah, menandatangani kontrak, mengumpulkan data, mengumpulkan dan menganalisa informasi, menganalisa masalah-masalah, dengar pendapat secara pribadi, membangun unit-unit organisasi, mengusulkan alternatif, merencanakan masa depan, berunding bersama masyarakatnya, pebisnis, kelompok-kelompok kepentingan, lembaga-lembaga legislatif, unit birokrasi, dan dengan beberapa negara yang terkait.)
Pernyataan Edward III mengungkapkan begitu luasnya implementasi
kebijakan yang meliputi seluruh aspek kehidupan menyelenggarakan kegiatan
mengumpulkan dan mengolah data, dianalisa kemudian direncanakan, dilaksanakan
dengan bargaining position melalui legislatif, ekskutif maupun yudikatif pada suatu
Negara.
Dimensi Implementasi Kebijakan Publik. adalah faktor-faktor dari kebijakan
publik yang mempengaruhi keberhasilan Implementasi Kebijakan menurut Edwards
III (1980 : 10) :
88
1. CommunicationFor implementation to be effective, those whose responsibility it is to implement a decision must know what they are supposed to do orders to implement policies must be transmitted to the approviate personnel, and they must be clear, accurate, and consistent. If the policies decisions makers wish to see implemented are not clearly specified, they may be mist understood by those at whom they are directed. obiviusly, confusion by implementors about what to do increases the chances that they will not implement a policy as those who passed or ordered intended.
Inadequate communications also provide implementers with discretion as they attempt to turn general policies into specific actions. This discretion will not necessarily be exercised to further the aims of the original decision makers. Thus, implementation instruction that are not transmitted, that are distorted in transmission, or that are vague or consistent present serious obstacles to policy implementation. Conversely, directives that are too precise may hinder implementation by stifling creatifity and adaptability. The causes and consequences of communication failures are analysed in chapter 2.2. Resources No matter how clear and consistent implementation orders are and no matter how accurately they are transmitted, if the personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an affective job, implementation will not be effective. Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and on the compliance of others involved in implementation; the authority to ensure that policies are arried out a they are intended; and facilities (including buildings, equipment, land, and supplies) in which or with which to provide services. Insufficient resources will mean that laws will not be developed. Chapter 3 analyzed the role of resources in policy implementation.3. DispositionThe dispositions or attitudes of implementors is the third critical faktor in our approach to the study of publik policy implementation. If implementation is to proceed effectively, not only must implementers know what to do and have the capability to do it, but they must also desire to carry out a policy. Most implementors can exercise considerable discretion in the implementation of policies. One of the reasons for this is their independence from their nominal superiors who formulate the policies. Another reason is the complexity of the policies themselves. The way in which implementors exercise their
89
discretion, however, dependens in large part upon their dispositions toward the policies. Their attitudes, in turn, will be influenced by their views toward the policies per se and by how they see the policies affecting their organizational and personal interests.Implementors are not always disposed to implement policies as those who originally made them would like. Consequently, decisionmakers are often faced with the task of trying to manipulate or work around implementors dispositions or to reduce their discretion. In chapter 4 we exmine both the problems that dispositions of implementors pose for implementation and the efforts of their superiors to implement policies in spite of these dispositions.
4. Even if sufficient resources to implement a policy exist and implementers know what to do it, implementation may still be thwarted because o deficiencies in bureaucratic structure. Organizational fragmentation may hinder coordination necessary to implement successfully a complex policy requiring the cooperation of many people, and it may also waste scarce resoures, inhibit change, create confusion, lead to policies working at cross-purpoes, and result in important fuctions being overloocked.As organizational units aminister policies they develop standard operating procedures (SOPs) to handle the routine situations with which they regularly deal. Unfortunately, SOPs designed for on going policies are often inappropriate for new policies and may cause resistance to change, delay, waste,or unwanted actions. SOPs sometimes hinder rather than help policy implementation. Both organizational fragmentation and standard operating procedures are discussed in chapter 5.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
menurut Edward III tersebut di atas terjemahannya oleh peneliti sebagai berikut:
1. Komunikasi.
Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat keputusan
(decision maker) sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan
atas apa yang akan mereka kerjakan baru akan dapat berjalan manakala komunikasi
berlangung dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan
implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia
90
yang tepat. Selain itu kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan
konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para
pembuat keputusan dan para implementor semakin konsisten dalam melaksanakan
setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.
2. Sumber Daya
Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan
dengan baik indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumber
daya berjalan dengan baik, yaitu :
a. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf / pegawai atau
lebih tepatnya street level bureaucrats.
b. Informasi, implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan di saat
mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Implementor harus
mengetahui apakah orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut
patuh pada hukum.
c. Wewenang, kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana
dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
d. Fasilitas, tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam
pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan
kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus
91
mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Sebaliknya, bila
tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat
keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi sulit.
4. Struktur Birokrasi
Sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para
pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai
keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, tetapi kemungkinan kebijakan
tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi masih tetap ada karena terdapatnya
kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut
adanya kerja sama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada
kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber-sumber daya
menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai
pelaksanaan sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah
diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Dua
karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi / organisasi ke arah
yang lebih baik, adalah melakukan Standard Operating Prosedures (SOP) dan
Fragmentasi.
Menurut Notoatmodjo (2003: 4) pengembangan sumber daya manusia
secara mikro adalah suatu proses perencanaan pendidikan, pelatihan dan pengelolaan
tenaga atau karyawan untuk mencapai suatu hasil optimal. Pernyataan Notoatmodjo
92
memperlihatkan bahwa pengembangan sumber daya manusia terbagi atas tiga garis
besar pendidikan, pelatihan dan pengelolaan tenaga.
Diungkapkan Mondy dan Noe dalam Simamora (1998: 288) bahwa faktor-
faktor pengembangan Sumber Daya Manusia, yaitu:
1. Dukungan Manajemen Puncak.Pimpinan mempunyai komitmen terhadap upaya peningkatan dan pembinaan pegawai baik melalui pelatihan dan pengembangan yang merupakan bagian dari kultur organisasi, serta dapat mensosialisasikannya terhadap seluruh pegawai.
2. Perkembangan teknologi.Penggunaan metode kerja terbaru dalam meningkatkan hasil kerja pegawai sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi, yang didukung oleh adanya sarana dan prasarana yang memadai.
3. Kompleksitas organisasi.Adanya pengaruh perubahan organisasi dari luar maupun dari dalam organisasi yang mempengaruhi perkembangannya baik persaingan institusi, kebijakan, maupun pengaruh budaya kerja pegawai.
4. Perilaku pegawai.Berkaitan dengan memahami konflik organisasi antar pegawai sebagai tindakan alternatif tujuan organisasi dengan cara memahami sifat sesama rekan kerja.
5. Prinsip-prinsip belajar.Adanya kemampuan belajar mandiri setiap pegawai untuk meningkatkan kualitas kerjanya, serta adanya kegiatan belajar bersama rekan kerja untuk mensapai tujuan organisasi secara berkesinambungan.
6. Unjuk kerja.Membantu karyawan/pegawai dalam peningkatan dan pengembangan pribadi mereka yang merupakan bagian dari kompetensi dan kemam-puan kerja terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Mondy dan Noe menyatakan bahwa faktor-faktor pengembangan sumber
daya manusia terdiri dari dukungan manajemen puncak sangat dibutuhkan didalam
pengembangan sumber daya manusia; perkembangan teknologi harus menyesuaikan
dengan kondisi kekinian kalau mau dapat bersaing didunia global; kompleksitas
93
organisasi tergantung besar kecilnya organisasi; prilaku pegawai akan berpengaruh
dalam hal pelayanan kepada masyarakat; prinsip-prinsip belajar diperlukan agar
organisasi tetap dinamis untuk mencapai kesinambungan dan unjuk kerja dalam
rangka persaingan sehat antar rekan kerja maupun organisasi ekternal.
Adapun mengenai pengembangan Sumber Daya Manusia menurut Fathoni
(2006: 194) yaitu:
Bagi organisasi terdapat paling sedikit tujuh manfaat yang dapat dipetik melalui penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan.Pertama : peningkatan produktivitas kerja organisasi sebagai keseluruhan antara lain karena tidak terjadinya pemborosan, karena kecermatan melaksanakan tugas, tumbuh suburnya antara berbagai satuan kerja yang melaksanakan kegiatan yang berbeda dan bahkan yang spesialistik, meningkatkan tekad mencapai sasaran yang telah ditetapkan serta lancarnya koordinasi sehingga organisasi bergerak sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh.
Kedua : terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan antara lain karena adanya pendelegasian wewenang interaksi yang didasarkan pada sikap dewasa baik secara teknikal maupun maupun intelektual, saling menghargai dan adanya kesempatan bagi bawahan untuk berpikir dan bertindak secara inovatif.
Ketiga : terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat karena melibatkan para pegawai yang bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan-kegiatan operasional dan tidak sekedar diperintah oleh para manajer.
Keempat : meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam organisasi dengan komitmen organisasional yang lebih tinggi.
Kelima : mendorong sikap penerapan manajemen melalui penerapan gaya manajerial yang partisipatif.
Keenam : memperlancar jalannya komunikasi yang efektif yang pada gilirannya memperlancar proses perumusan kebijaksanaan organisasi dan operasionalnya.
94
Ketujuh : penyelesaian konflik secara fungsional yang dampaknya adalah tumbuh suburnya rasa persatuan dan suasana kekeluargaan di kalangan anggota organisasi.Di samping manfaat bagi organisasi, pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan yang baik sudah barang tentu bermanfaat pula bagi para anggota organisasi.
Pendapat Fathoni tentang manfaat dari pengembangan sumber daya manusia
bisa meningkatkan produktifitas kerja organisasi; terwujudnya hubungan yang serasi
antara atasan dan bawahan; terjadinya proses pengambilan keputusan sesuai dengan
alternatif yang terbaik; bisa meningkatkan semangat kerja serta mendorong sikap
penerapan manajemen secara partisipatif.
Kualitas pelayanan public menurut Zaitham, Parasuraman, dan Berry
(1990:26) memberikan pengertian kualitas pelayanan sebagai berikut: “service
quality, as perceived by customers, can be defined as the extent of discrepancy
between customers expectations or desired and their perception”.
Pengertian di atas kualitas pelayanan sebagaimana yang dipersepsikan oleh
konsumen, dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara harapan atau
keinginan konsumen dengan persepsi yang dirasakannya.
Selanjutnya dimensi mengenai Kualitas Pelayanan Publik merujuk pada apa
yang telah dipaparkan oleh Tangkilisan (2007: 222), sebagai berikut :
.....ukuran atau indikator yang digunakan meliputi responsivitas, kesopanan, akses, dan komunikasi, dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Responsivitas (responsivenes)Responsivitas berkaitan dengan kecepatan tanggapan yang dilakukan oleh aparatur atau petugas terhadap kebutuhan pengguna jasa, yang dalam hal ini adalah masyarakat yang membutuhkan pelayanan
95
sebagimana diatur dalam perundangan yang berlaku. Jika kecepatan tanggap yang diberikan oleh petugas tidak optimal, maka akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat, karena akan timbul persepsi negatif terhadap kelambatan, yang berakibat pada keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan birokrasi publik. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, maka akan sulit bagi birokrasi publik untuk merealisasi visi dan misinya dalam mewujudkan tertib pelayanan.
2. Kesopanan (courtesy)Kesopanan berkaitan dengan keramahan yang ditampilkan oleh aparatur dalam proses pemberian pelayanan publik, di mana faktor ini secara tidak langsung memberikan iklim organisasi yang sejuk dan kondusif ketika proses pemberian pelayanan berlangsung. Kesopanan juga mencerminkan bahwa para petugas siap melayani para pengguna jasa (masyarakat), baik secara mental maupun teknis, dan berdampak pada tingkat kualitas layanan yang prima.
3. Akses (acces)Akses berkaitan dengan kesediaan aparatur (para petugas) untuk memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara merata tanpa adanya sikap diskriminatif, karena jika kondisi ini berlangsung, maka akan ada kesenjangan atau gap dalam pemberian pelayanan, sehingga pemerataan pelayanan tidak akan tercapai dan berdampak pada rendahnya kualitas layanan. Dampak lain yang akan dirasakan adalah target layanan yang bisa meningkatkan PAD melalui retribusi pelayanan akan sulit dicapai, karena ada kelompok masyarakat yang enggan berhubungan dengan birokrasi publik.
4. Komunikasi (communication)Komunikasi berkaitan dengan kelancaran hubungan verbal maupun fisik antara aparatur (petugas) dan pengguna jasa dalam proses pemberian pelayanan. Kelancaran hubungan ini secara otomatis memberikan kesempatan bagi kecepatan pemberian layanan secara berkualitas, sesuai dengan harapan para pengguna jasa maupun misi dari birokrasi publik.
Dimensi-dimensi tersebut di atas dari ketiga variabel itu dipergunakan
dalam penelitian ini.
96
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti dapat menggambarkan
pendekatan sistem yaitu antara input, proses, dan output serta umpan baliknya.
Berdasarkan pendekatan sistem diatas tentang inplementasi kebijakan publik
dan pengembangan sumber daya manusia dapat digambarkan pula alur kerangka
pemikiran implementasi kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia
terhadap kualitas pelayanan publik.
KebijakanManusiaTeknologiPelatihanPengembngan
INPUT
ResponsibilitasKesopananAksesKomunikasi
OUTPUT
KomunikasiSumber DayaDisposisiStruktur Birokrasi
Dukungan manajemen puncak
Perkembangan teknologiKompleksitas organisasiPrilaku pegawaiPrinsip-prinsip belajarUnjuk kerja
PROSES
Feedback
Gambar: Rekayasa Peneliti
Gambar 2.8Pendekatan Sistem
KEBIJAKAN PUBLIK
STANDAR PELAYANAN MINIMAL DAN INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT
KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK BERBAGAI SEKTOR
SUDAH OPTIMALNYA
KUALITAS PELAYANAN
PUBLIK
BELUM OPTIMALNYA
KUALITAS PELAYANAN
PUBLIK
MENINGKATKAN
KUALITAS PELAYANAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK
- Komunikasi- Sumber Daya- Disposisi- Struktur birokrasi
Implementasi Kebijakan Publik
Edwards III (1980)
- Dukungan manajemen puncak- Perkembangan teknologi- Kompleksitas organisasi- Prilaku pegawai- Prinsip-prinsip belajar- Unjuk kerja
Pengembangan SDM
Mondy and Noe dalam Simamora (1998 : 288)
- Responsibilitas- Kesopanan- Akses- Komunikasi
Kualitas Pelayanan
Tangkilisan (2007 : 222)
97
keterangan : Arah kebijakan Ruang lingkup penelitian
Gambar 2.9Alur kerangka Pemikiran Implementasi Kebijakan dan Pengembangan
SDM terhadap kualitas pelayanan publik
98
2.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, peneliti dapat merumuskan
hipotesis sebagai berikut :
1. Apabila implementasi kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia
dilaksanakan secara optimal maka kualitas pelayanan publik di Pemko
Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau Meningkat.
2. Implementasi Kebijakan Publik melalui komunikasi, sumber daya, disposisi,
struktur birokrasi besar pengaruhnya terhadap kualitas pelayanan publik.
3. Pengembangan manajemen sumber daya melalui dukungan manajemen
puncak, perkembangan teknologi, kompleksitas organisasi, perilaku pegawai,
prinsip-prinsip belajar, unjuk kerja besar pengaruhnya terhadap kualitas
pelayanan publik Pemerintah Kota Tanjungpinang.
4. Implementasi Kebijakan Publik dan pengembangan Sumber Daya Manusia
secara simultan besar pengaruhnya terhadap kualitas pelayanan publik.