ii usul nama kelurahan... · jam perjalanan dari ... pada saat pulau jawa dikuasai oleh inggris...
TRANSCRIPT
i
ii
iii
iv
MengungkapAsalUsulNamaKelurahan di Kota Pekalongan
All right reserved @ 2017
Pengarah :
WalikotaPekalongan
PenanggungJawab :
ErliNufiati, S.E - KepalaDinasKearsipandanPerpustakaan
GufronFaza, S.E, M.Ec.Dev - KepalaBidangKearsipan
Tim Penulis/Pendukung :
Milono
Sri Utami
Alfiyah
Mujiyo
Nara Sumber
M. Dirhamsyah
ZainalMuhibin
RibutAchwandi
AgungTjahjana
Editor
AgungTjahjana
RibutAchwandi
Tata LetakdanPewajahan
Jumarno
Harry Febriatmoko
FotoGrafer
WisnuRizaSanjaya
Diterbitkanoleh :
DinasKearsipandanPerpustakaan Kota Pekalongan
Jl. Jetayu No. 2 Kota Pekalongan
HakCiptadilindungiundang – undang Dilarangmengutipataumemperbanyaksebagianatauseluruhisibukuinit
anpaijintertulisdari DinasKearsipandanPerpustakaan Kota Pekalongan
v
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karuniaNya, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota
Pekalongan dapat menerbitkan buku dengan judul “Mengungkap Asal Usul
Nama Kelurahan di Kota Pekalongan”, sebuah buku yang disusun
berdasarkan cerita tutur dan khazanah arsip yang dimiliki oleh Dinas
Kearsipan dan Perpustakaan, sebagai salah satu upaya menyelamatkan
sejarah lisan dan kearifan lokal yang menceritakan tentang kisah asal usul
nama kelurahan di Kota Pekalongan.
Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelusuran Tim Penyusun yang di
susundarilombapenulisanasalusulnamakelurahan di Kota Pekalonganth
2016 termasukwawancaradenganbeberapa narasumber dan tokoh
masyarakat setempat yang dianggap mempunyai data dan informasi yang
memadai. Dengan buku ini masyarakat dapat mengetahui kisah asalusul
nama kelurahan di Kota Pekalongan. Nama Kelurahan yang ditulis adalah
nama kelurahan sebelum terbitnya Peraturan Daerah Kota Pekalongan
Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Penggabungan Kelurahan di Lingkungan
Pemerintah Kota Pekalongan.
Pada edisi ini baru memuat kisah asal usul nama kelurahan di 17
Kelurahan di Kota Pekalongan. Belum semua nama kelurahan dapat
dimuat karena keterbatasan data dan informasi yang dihimpun oleh Dinas
Kearsipan dan Perpustakaan Kota Pekalongan.
Dengan diterbitkannya buku ini dimaksudkan selain sebagai upaya
melestarikan sejarah tentang asal usul nama kelurahan juga agar
masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kota Pekalongan
pada khususnya dapat mengetahui kisah yang menjadi latar belakang serta
dapat mengambil hikmah dari peristiwatersebut.
Semoga bermanfaat.
Pekalongan, 6 November 2017
Kepala dinas kearsipandan perpustakaan
Kota pekalongan
Erli Nufiati, SE
vi
vii
Daftar Isi
Kata Pengantar
Sambutan Walikota Pekalongan
Daftar Isi
I. Panjang
II. KandangPanjang
III. PanjangnWetan
IV. PanjangBaru
V. Bandengan
VI. Krapyak
VII. KrapyakKidul
VIII. KrapyakLor
IX. SugihWaras
X. Sampangan
XI. Kauman
XII. Keputran
XIII. Poncol
XIV. Dekoro
XV. Landungsari
XVI. Noyontaan
XVII. Kebulen
XVIII. Podosugih
XIX. Pringlangu
XX. Bumirejo
XXI. Pasirsari
PetaPekalongandaritahum 1892
Sekapur Sirih
Kontributor
Kepustakaan
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
v
vi
v
1
11
19
26
29
36
44
49
55
67
79
87
94
100
107
117
123
129
139
144
153
xiii
vi
ix
xiv
viii
PetaPekalonganTahun 1892
ix
PetaPekalonganTahun 1912
x
PetaKota PekalonganTahun 2009
xi
Sekapur Sirih
Tinjauan Sejarah Asal-Usul Pekalongan
Sampai dengan saat ini, masih muncul banyak pertanyaan, kapan
sebenarnya asal-usul dari wilayah Pekalongan mulai terbentuk?Apakah
pada era kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung?Ataukah pada saat
garis pantai Pekalongan berada 20 – 30 km dari garis pantai yang sekarang
ini? Atau pula saat kondisi wilayah dan pemukiman penduduknya mulai
terbentuk atau pada saat masih berupa kawasan hutan belantara yang
dihuni banyak binatang liar?
Pada masa awal dari peradaban Hindu-Budha, wilayah Pekalongan
diduga kuat pernah menjadi wilayah karakryan/kerakaian atau setingkat
kerajaan vasal di bawah kekuasaan kerajaan Mataram Hindu. Beberapa
situs purbakala yang ditemukan di wilayah selatan Pekalongan, di
antaranya di Kecamatan Petungkriyono, Lebak barang, Talun, Doro,
Kajen, Karanganyar, Wonopringgo dan Kedungwuni menjadi bukti
keberadaan pemukiman masyarakat yang teratur dan terstruktur. Dari hasil
penelitian Reinout Willem Van Bemmelen dan Ir. Sutoto, perkembangan
geomorfologi Pekalongan Kuno berada di daerah pegunungan Selatan,
dimana wilayah Petungkriono dulunya sebagai pusat pemerintahan
Pekalongan kuno. Menurut Reinout Willem Van Bemmelen garis pantai
Pekalongan sejajar dengan Semarang dan Brebes, dengan kedalaman
pantai mencapai mencapai sekitar 150 meter.
Di wilayah Batang, ditemukan prasasti di desa Sojomerto,
Kecamatan Reban, yang disebut dengan Dapunta Saelendra oleh Prof.
Boechori disebut sebagai tokoh yang merupakan cikal-bakal dari raja-raja
Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Hingga masa Kerajaan Demak, wilayah yang sekarang disebut
Pekalongan belum ada namanya. Pada saat itu, Tome Pires seorang ahli
obat-obatan, dari Lisabon, Pertugal, melakukan perjalanan ke sejumlah
pelabuhan di Pesisir Pulau Jawa tahun 1511 – 1515. Dalam bukunya Suma
Oriental, Pires selamaperjalanan antara Teteguall (Tegal) dan Camaram
(Semarang) tidak menyebutkan nama Pekalongan. Kemungkinan pada
waktu itu memang menjadi daerah yang belum memiliki nama, hingga
xii
dilakukannya babat Alas Gambiran oleh Joko Bahu atas perintah Raja
Mataram ke III.
Pires hanya menyebut bahwa wilayah Pesisir Barat, dari Demaa
hingga Locacry (Losari) sudah dikuasai oleh Pate Rodim atau Raden Patah
putra dari Arya Damar yang menikahi putri dari Champa. Arya Damar
sendiri merupakan anak dari Brawijaya V dari Majapahit. Pires juga
menyebut antara Teteguall dan Camaram merupakan daerah penghasil
beras, sedangkan wilayah Pekalongan dan Batang sebagian besar masih
berupa hutan yaitu Alas Gambiran dan Alas Roban. Tome
Piresmewartakan bahwa antara pedagang dan perkampungan di Demak
telah memiliki hubungan satu sama lainnya dengan Cirebon. Sehingga
berdirinya Kerajaan Cirebon dan peng-Islamannyatak lepas dari pengaruh
Kerajaan Demak. (Tome Pires , Suma Oriental, hal 256 - 260)
Pada Abad XVI, wilayah Pekalongan dan sekitarnya merupakan
daerah yang masih sedikit jumlah penduduknya, sebab sebagian besar
wilayahnya masih tertutup hutan belantara. Sementara di wilayah lainnya
seperti Demak, Jepara, Kudus, Pati telah berkembang menjadi daerah
penting. Wilayah Pantai Pekalongan berkembang setelah wilayah
pedalaman yang terletak di daerah perbukitan yang tumbuh menjadi
pedesaan yang makmur.
Pada awal era Mataram, Panembahan Senopati telah membangun
sebuah jalur Pantai Utara dari Plered ke arah Cirebon, melaui
Temanggung, Subah, Alas Roban, Alas Gambiran, Pemalang, Tegal hingga
Cirebon. Sementara W.Fruin Mees,dalam bukunya yang berjudul De
Geschiedenis van Java jilid II, sudah menyebut adanya rute perjalanan
yang ditempuh oleh para utusan VOC untuk bertemu dan beraudiensi
dengan Sultan Agung di Kerto yang merupakan pusat dari Ibukota kerajaan
Mataram. Dari Batavia para utusan VOC itu naik perahu dengan tujuan
pelabuhan Tegal dengan melewati Cirebon. Dari sana lalu mereka naik
kuda ke timur lewat Sumber, Tegal, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan,
Batang, Subah. Kemudian masuk ke pedalaman Jawa Tengah, dengan
mendaki lereng Gunung Pakiswiring, Larangan, Tajem yang kemudian
turun menyusuri pinggir Kali Progo lewat Jumo, Pakis, Payaman, Tidar ,
Sukerwe, Turen, Ariapati, Minggir dan Pingit yang letaknya sekitar dua
jam perjalanan dari Kerto, Ibukota Mataram.
Pada abad XVII, saat Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
berkuasa hingga pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sistem
Pemerintahan yang dilaksanakan oleh orang pribumi tetap dipertahankan.
xiii
Dalam hal ini VOC menentukan segala kebijakan dan prioritas, sedangkan
untuk penguasa pribumi ini oleh Belanda diberi gelar Regent (Bupati).
Berdasarkan arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia, menyebutkan
pada 23 Juli 1669, Regent Pekalongan R.M. Ngabehi Kartasura telah
berkirim surat pada Gubernur VOC Joan Maetsuycker. Hal ini
menunjukkan bahwa di Pekalongan telah ada pemerintahan.
Pada tahun 1789, Kota-kota dipesisir pulau Jawa masih merupakan
padang belantara, yang menurut catatan Residen Pekalongan F.
Rothenbuhler, jumlah populasi harimau dan badak lebih banyak dari pada
manusia (Bergsma, 1798). Penduduknya tinggal di kampung-kampung
kecil yang tersebar luas. Mereka mencari makan sebagai petani ladang dan
memanfaatkan hasil-hasil hutan maupun menangkap ikan di pesisir. Petani
ladang tersebutsecara politis berada dibawah kekuasaan bupati Pekalongan.
Mereka juga diwajibkan membayar pajak, wajib kerja dan menjadi militer
dibawah perintahBupati. (Boogaard, 1987, Nagtegaal, 1996, dan Pujo
Sumedi Hargo Yuwono 2002).
Keberhasilan VOC dalam menjalankan perdagangan
membutuhkan ekspedisi yang cepat untuk pengiriman surat dan barang.
Dokumen sejarah menyebutkan bahwa Gubernur Willem Baron Van
Imhof, 26 Agustus 1746 membangun rute pos pertama di Jawadengan
membangun Kantor Pos di Batavia dan Semarang. Rutenya melalui
Kerawang, Cirebon, dan Pekalongan. Ketiga daerah ini menjadi pos tunda,
sebagai tempat ganti kuda dari kereta yang membawa kiriman pesan
melalui pos.
Kata Pekalongan juga sudah disebut dalam dua lukisan Johannes
Rach, seorang anggota pasukan alteleri VOC asal Denmark yang datang ke
Pekalongan sekitar tahun 1770. Rach menyebutkan dalam lukisannya Fort
Pekalongan atau benteng Pekalongan.
Nama Pekalongan pernah tercatat dalam catatan perjalanan
Gubernur Pasisir UtaraWillem Hendrik van Ossenberg tahun 1764, dalam
laporannya ditulis kata Paccalongan in Tegal. Menurut Boombgaard,
Residen Ossenberg mengadakan perjalanan dari Semarang menuju ke
Tegal. Setelah berkunjung ke Kaliwunggu, Kendal dan Weleri. Ia lalu
datang ke Batang untuk mengunjungi pabrik gula milik Kapiten Cina dari
Semarang, Tan Janko. Setelah itu Ia pergi ke Pekalongan, Wiradesa dan
Ulujami. (ANRI, Pekalongan 40.3).
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Harmen Wiliam
Deandles dibangun Jalan Raya Pos atau Grote Post Weeg yang
xiv
menghubungkan antara Anyer hingga Panarukan. Sesampainya di wilayah
Pekalongan pada tahun 1808, Deandles kehabisan dana. Untuk tetap bisa
melanjutkan pembangunan jalan hingga ke Panarukan. Daendels meminta
bantuan secara paksa pada para Bupati di Pesisir Pulau Jawa.
Para Bupati atau penguasa daerah dikumpulkan di Semarang dan
meminta supaya para Bupati membantu pembuatan jalan ini dan apabila
tidak bersedia maka akan diperangi. Dengan adanya jalan yang dibuat oleh
Deandles jarak tempuh dari arah Pekalongan menuju ke Semarang mejadi
lebih cepat dengan melalui Alas Roban.
Pada saat Pulau Jawa dikuasai oleh Inggris pada tahun 1811 –
1819, Karesidenan Pekalongan dijadikan satu dengan Kedu. Salah satu
informasi yang jarang diketahui adalah Kadipaten Wiradesa yang pada
waktu itu berdiri sendiridi hapuskan dan berada di bawah Bupati
Pekalongan.
Berdasarkan arsip ditemukan informasi bahwa sejak tahun 1846
Residensi Pekalongan telah dibagi per desa. Pada tahun 1869 telah
diterbitkan data stasistik tentang kependudukan yang dimaksudkan untuk
mengetahui peningkatan jumlah penduduk dari setiap desa. Dalam
perkembangannya pada tahun 1892, Residensi Pekalongan dibagi menjadi
beberapa distrik dan onderdistrik.
Desa-desa di Pekalongan sebagian besar telah muncul secara
alamiah sebelum adanya pemerintah Kabupaten Pekalongan. Desa-desa
tersebut memiliki nama dengan asal-usulnya masing-masing. Hampir
semua desa di Pekalongan memiliki latar belakang cerita yang sama yaitu
tokoh Bahurekso dan perjuangan Mataram dalam mengusir penjajah
Belanda. Legenda Pekalongan ini sangat membekas di hati masyarakat dari
semua sisi hidupnya sehingga memang sangat layak apabila menjadi pusat
dari cerita tutur yang mengisahkan awal dari perkembangan Pekalongan.
Selain dari masa Mataram awal, masa perang Jawa yang dipimpin
oleh Pangeran Diponegoro juga menjadi cerita yang menjadi asal usul dari
nama-nama desa. Keadaan alam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
suatu wilayah turut pula menjadi penyumbang nama bagi suatu desa.
Dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor
8 Tahun 2013 Tentang Penggabungan Kelurahan di Lingkungan
Pemerintah Kota Pekalongan, membuat kelurahan yang tadinya berdiri
sendiri berubah menjadi sebuah dusun bagi Kelurahan yang baru. Untuk
menjaga keberadaan cerita atau sejarah dari kelurahan sebelum terbitnya
Perda tersebut maka ditempuhi nisiatif untuk menuliskannya dalam bentuk
xv
buku yang menggabungkan antara cerita tutur dengan sejarah yang
dibuktikan dalam arsip yang tersimpan di Lembaga Kearsipan Daerah Kota
Pekalongan.
Perjalanan sejarah yang panjang membuat tiada seorang pun yang
memahami pasti mengapa dan bagaimana suatu desa mendapatkan nama.
Kebenaran informasi yang tersaji dalam buku ini tidaklah mutlak.
Kebenaran hakiki adapada Allah swt.
Dari berbagai informasi yang tersaji selalua dan ilai-nilai luhur
kearifan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
zaman. Kearifan masyarakat itulah mutiara kehidupan yang tersembunyi
dari kisah dibalik asal-usul nama kelurahan yang perlu untuk diketahui
oleh semua orang sebagai cermin kehidupan masyarakat Pekalongan dari
generasi kegenerasi.
1
PANDJANG (Antara keramik lonjong, kandang dan perahu)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 2
Gambar Wilayah Panjang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 3
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 4
Panjang adalah wilayah yang paling terkenal di
Pekalongan. Keberadaannya hampir identik dengan Pekalongan
itu sendiri. Tak banyak memahami mengapa hal yang sedemikian
itu dapat terjadi. Beberapa sesepuh yang asli dari Panjang kini
sangat sulit ditemukan. Yang lebih memprihatinkan, putra-putra
mereka pun tidak begitu mempedulikan cerita dari orang tua
mereka sehingga ketika ditanyakan tentang daerahnya, sebagian
besar angkat bahu. Tidak tahu dan tidak paham.
Membaca buku Citra Pekalongan Dalam Arsip yang
diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia tahun 2016,
pada pertengahan masa kolonial ditemukan beberapa informasi
menarik tentang Panjang. Pada pembagian wilayah administrasi,
di Pekalongan dibagi menjadi beberapa distrik dan onder distrik.
Distrik dipimpin oleh seorang Wedono dan onder distrik dipimpin
oleh seorang Asisten Wedono. Seorang Asisten Wedono sangat
dikenal dengan sebutan “NDORO SETEN” dalam bahasa Jawa.
Seten adalah penyebutan mudah dari kata asisten.
Pekalongan sendiri adalah sebuah distrik yang
membawahi empat onder distrik yaitu Pekalongan, Pandjang,
Tirto dan Boewaran. Onder distrik membawahi beberapa desa
sehingga dapat disetarakan dengan sebuah kecamatan di masa
kini. Dari peta administrasi wilayah Pandjang meliputi sungai
Pekalongan disebelah timur, Sapuro dan Bendan disebelah
selatan, Bremi ke utara menyusur aliran sungai kemudian kearah
barat laut sampai dengan sungai Pencongan. Merujuk dari
informasi diatas, dapat disimpulkan bahwa dulu Panjang adalah
sebuah ibukota onder distrik sehingga sangat layak apabila telah
memiliki kelengkapan sebagai unit pemerintahan yang cukup
memadai. Sampai dengan awal tahun 1990-an, orang-orang tua di
Panjang ini bila ke wilayah timur sungai baik ke pasar maupun ke
kabupaten tidak menyebut nama desa atau tempat tetapi lebih
sering menyebut ke Pekalongan.
Panjang menjadi makin ramai setelah adanya
desentralisasi dengan adanya rumah yang sekaligus menjadi
kantor Residen Pekalongan di bangun di wilayah ini. Sebagai
pusat pemerintahan kolonial maka Panjang dibuat semakin rapi
dan semakin lengkap. Dalam filosofi Jawa pusat pemerintahan
atau rumah penguasa memiliki halaman berupa lapangan rumput
yang luas yang disebut dengan alun-alun yang dikelilingi dengan
pengadilan atau jekso negoro, penjara, rumah ibadah, dan pasar.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 5
Kantor Residen Pekalongan
Pemerintah gouvernment van Pekalongan membangun
alun-alun berupa taman dengan tanaman besar, palem, dan
hamparan rumput yang luas di depan dan sebelah utara rumah
residen yang disebut dengan Plein te Pekalongan/Square of
Pekalongan. Lapangan tersebut kini tinggal sedikit yang disebut
dengan taman Jetayu. Untuk mendekatkan dengan kebudayaan
masyarakat setempat maka diberikan pula kelengkapan
administrasi pemerintah berupa Landraat (Pengadilan) yang
dipimpin oleh seorang hoofdjaksa (hakim).
Plein te Pekalongan/Square of Pekalongan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 6
Markas tentara yang tadinya berada di sebelah timur alun-
alun diubah menjadi gevangenis (penjara) sebagai tempat
menghukum penjahat maupun pemberontak. Pemerintah kolonial
memindahkan benteng di timur lapangan dengan membangun
tangsi atau barak militer di sebelah timur Wilheminaspark (kebun
rojo atau taman monumen 3 Oktober) yang kini digunakan
sebagai kantor Bakorwil III Jawa Tengah. Adapun pasar tidak
dibangun karena berdekatan dengan pasar Banjarsari yang hanya
dipisahkan oleh sungai Pekalongan.
Markas tentara Belanda
Sebagai rumah ibadah, dibangun gereja di sebelah utara
yang kini digunakan sebagai Gereja Kristen Indonesia. Disebelah
timur dibangun gedung pertemuan yang dipergunakan untuk
berkumpul dan berdansa dansi para warga eropa di Pekalongan
dengan nama Societet Huis/gedung sositet (rumah berkumpul) dan
gedung catatan sipil (department van binenlad bestuur). Hal ini
meneguhkan bahwa kekuasaan bupati pribumi sebenarnya sudah
tidak berarti lagi karena secara administrasi hampir seluruhnya
telah dilaksanakan oleh gouvernment van Pekalongan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 7
Gereja Kristen Indonesia
Selain pusat pemerintahan Panjang juga merupakan pusat
pendidikan. Diawali dari kinder garten (taman kanak-kanak), 1e
European School (Sekolah setingkat SD untuk orang Eropa) dan
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (sekolah setingkat
SMP) berada di Panjang.
Sketsa dan Surat Keterangan pembangunan taman kanak-
kanak
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 8
Informasi merupakan hal penting yang tak bisa
dipisahkan dari kehidupan. Sebagai penyampai informasi pada
masa tersebut surat merupakan sarana komunikasi yang dianggap
paling efektif dan efisien. Awal abad XX pos mencapai puncak
kejayaan karena belum ada sarana komunikasi yang lebih efektif.
Pada tahun 1918 Kantor Pos dibangun dengan megah dan indah
yang menunjukkan kejayaannya sekaligus untuk menambah
keindahan sekitar taman kota.
Gedung Kantor Pos
Salah satu hal yang menunjukkan bahwa di depan
karesidenan adalah pusat kota adalah adanya miylpall (penanda
titik nol). Titik nol inilah sebagai pengukur berapa kilo meter
jarak tempuh antar kota yang dipergunakan untuk menentukan
berapa besar biaya yang harus dibayar oleh pengguna jasa
angkutan antar kota maupun berapa besar harga perangkoo yang
harus dikeluarkan oleh pengirim surat. Sampai saat ini penanda ini
masih utuh dipertahankan sebagai salah satu benda pusaka
bersama-sama dengan bangunan sekitarnya yang menjadi
kawasan cagar budaya.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 9
Gamabar miylpall (penanda titik nol)
Pada tahun 1923 ketika komoditas gula mencapai
puncaknya, Pekalongan merupakan pusat administrasi gula. Oleh
karena itu dibangunlah gedung administrasi gula (suiker huist)
yang sering disebut dengan gedung gula atau kamar gula.
Masyarakat banyak yang menyebutnya dengan kamar bola. Ada
pula yang menyebutkan bahwa kamar bola adalah nama sejenis
tanaman bunga. Bangunan ini di masa kemerdekaan dipergunakan
sebagai balai kota praja dan kini dipergunakan sebagai musem
batik.
Mengupas keberadaan Panjang memang sepanjang
namanya. Banyak informasi yang menyebutkan asal-usul kata
panjang tersebut. Beberapa cerita yang sempat terkumpul antara
lain sebagai berikut :
Keramik lonjong nan panjang.
Pada masa lalu di wilayah Panjang pernah ditemukan
barang-barang pecah belah berupa piring keramik dalam berbagai
ukuran. Salah satunya ada yang berbentuk lonjong dan ukurannya
cukup panjang. Piring yang panjang ini ditemukan cukup banyak
bahkan salah satunya kini ada yang disimpan di Museum
Nasional. Banyaknya piring panjang ini mengundang banyak
orang sehingga banyak menyebut dengan kata daerah tempat
piring panjang. Lambat laun hanya disebut dengan kata panjang.
Hal ini disebabkan tidak lengkapnya informasi yang diterima
karena adanya keterbatasan sarana komunikasi pada waktu itu.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 10
Perahu panjang.
Sebagai kota pelabuhan Pekalongan tentu disinggahi oleh
banyak perahu. Mengingat perahu yang singgah sebagian besar
adalah perahu niaga skala besar maka bentuk perahunya pun
cukup panjang maka disebutlah sebagai panjang. Berkaitan
dengan perahu yang panjang ini ada pula kisah yang menceritakan
bahwa dulu pada masa Bahurekso akan menyerang Batavia
kapalnya sangat besar dan panjang. Disamping itu sebagai
panglima Bahurekso membawahi pasukan laut dari berbagai
daerah di nusantara hingga rangkaian perahu besar dan kecil
tersebut sangat panjang dari hilir sungai sampai dengan laut.
Kandang yang panjang
Letak Panjang yang berada pesisir pantai dengan tanah
yang subur menjamin suburnya rumput sebagai pakan ternak.
Banyak ternak ruminansia seperti kambing dan kerbau yang
dibudidayakan oleh masyarakat. Pemerintah Kolonial Belanda
pun menempatkan kandang-kandang kuda baik sebagai sarana
transportasi maupun pendukung pasukan kavaleri di sekitar ini.
Kandang-kandang tersebut berurutan hingga jarak yang sangat
panjang. Cerita ini pula yang menjadi salah satu dari asal usul
nama kelurahan Kandang Panjang.
Kini Panjang tidak lagi tunggal seperti dulu. Secara
administrasi Panjang dibagi menjadi tiga kelurahan yaitu
kelurahan Panjang Wetan, Kandang Panjang dan Panjang Baru.
(Kontributor : Agung Tjahjana)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 11
KANDANG PANJANG
Kandang-kandang di Panjang sebelah barat
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 12
Gambar Peta Kelurahan Kandang Panjang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 13
CERITA DI BALIK NAMA KANDANG PANJANG
Kandang panjang merupakan kelurahan yang padat penduduknya
dengan luas 150.150 Ha. Menurut data statistik monografi
Kelurahan Kandang Panjang memiliki jumlah penduduk sekitar
12.164 penduduk, dengan jumlah RW : 11 dan RT : 59 Sehingga
pada waktu Pekalongan ada Peraturan Daerah tentang marger
kelurahan, Kandang Panjang tidak mengalami penggabungan
karena sudah memiliki kepadatan penduduk, alhasil nama
kelurahan tersebut tetap “Kandang Panjang” tidak berubah seperti
kelurahan-kelurahan lain yang mengalami penggabungan.
“Ada ungkapan dari William Shakespeare, apalah arti sebuah
nama?”
Jika benar nama tidak mempunyai makna dan arti apa-
apa, mungkin di dunia ini akan banyak sesuatu yang tidak
mempunyai nama, tidak ada nama tempat, orang, hewan dsb. atau
bahkan Allah Swt tidak akan mengajarkan nama-nama kepada
manusia. tetapi tidak seperti itu, begitu pentingnya arti sebuah
nama sehingga Allah Swt sendirilah yang pertama kali
mengajarkan kepada manusia untuk mengenali nama, seperti
firman Allah s.w.t, dalam surah al-Baqarah ayat 31 yang artinya
“Dan telah diajarkan-Nya kepada Adam a.s. nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat lalu Dia berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang
benar”.
Menurut penulis makna dari ayat ini menjelaskan bahwa
manusia dianugerahi Allah s.w.t. dengan kemampuan untuk
mengenali nama dan makna dari nama tersebut. Karena Allah
memberikan suatu keistimewan kepada Nabi Adam as sebagai
manusia pertama, berupa akal dan daya pikir sehingga sejak dulu
sampai sekarang banyak nama-nama tempat yang mempunyai arti
bagi sejarah peradaban
Pemberian nama merupakan perihal yang sangat sakral,
apalagi hal ini mengenai pemberian nama suatu kelurahan,
biasanya nama pada suatu kelurahan menghubungkan dengan
sejarah di mana tempat tersebut pernah mengalami histori yang
perlu dikenang.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 14
Asal-usul Nama Kelurahan Kandang Panjang
Gambar Kantor Kelurahan Kandang Panjang
Seperti Kelurahan Kandang Panjang, menurut penuturan
dari bapak Supa’at (Rt 09 Rw 05) sekarang masih menjabat
menjadi Kepala Kelurahan (lurah) Kandang Panjang, nama
Kelurahan Kandang Panjang diambil berdasarkan pengalaman
dari suatu sejarah pada waktu pemerintahan kolonial belanda.
“Kandang Panjang” diadopsi sebagai nama kelurahan karena pada
waktu itu tempat ini dijadikan lokasi kandang kuda oleh kolonial
Belanda yang kandangnya sangat panjang membentang ke utara,
lebih tepatnya saat ini berada dilokasi DKP sampai ke Gg celana
pasar krempyeng,
Menurut penuturan dari bapak Supardi (umur 78 tahun)
warga Rt 04 Rw 03 kelurahan Kandang Panjang yang sejak kecil
sampai sekarang tetap setia bermukim di Kelurahan Kandang
Panjang, menjelaskan dahulu karesidenan merupakan rumah dinas
Residen atau pejabat Belanda pada waktu itu dan Kantor pos
merupakan tempat yang dianggap sangat penting karena
merupakan pusat komunikasi yang dianggap paling baik pada
masa tersebut.
Kemudian dia menuturkan disebelah timur karesidenan
terdapat kandang kuda milik Belanda sehingga sampai sekarang
tempat tersebut dinamakan padukuhan gedokan yang mempunyai
arti kandang kuda. Kandang kuda pasukan belanda begitu banyak
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 15
sehingga kuda-kuda pemeliharaan belanda tersebut ada yang
ditempatkan di wilayah Kandang Panjang pada waktu itu
Selain kandang kuda milik belanda, menurut Bapak
Supardi, kelurahan Kandang Panjang dahulu terdapat banyak
kandang kerbau yang membentang ke utara, dari batas Gg. Celana
sampai ke pesisir pantai, lokasi tersebut dahulu merupakan
persawahan sehingga cocok dijadikan kandang kebo, selain itu
alasan utama memelihara kebo karena mayoritas warga
menjadikannya sebagai mata pencaharian.
Ada pula masyarakat yang berpendapat bahwa karena ada
dua lokasi yang memiliki jumlah penduduk besar yakni kampung
Kandang Ayam dan kampung Panjang Kulon, maka
digabungkanlah kedua unsur nama kampung menjadi desa
Kandang Panjang.
Menurutnya nama padukuhan di Kandang Panjang juga
banyak yang memiliki cerita tersendiri. Beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut :
1) Padukuhan Salam manis (RW06),
Dahulu terdapat sebuah pohon salam yang buahnya sangat
manis sehingga banyak masyarakat terutama anak-anak yang
mencari untuk mencicipinya;
2) Padukuhan Sejimat (RW05-04),
Dahulu ada sebuah pohon besar yang dijadikan warga sekitar
sebagai tempat ritual untuk mendapat keberkahan atau bisa
disebut jimat hidup;
3) Padukuhan Cangakan,
Dahulu terdapat Pohon Randu yang sangat besar, tinggi dan
rimbun yang dijadikan tempat bersarang burung cangak
(kuntul/camar);
4) Padukuhan Kandang ayam,
Dahulu di sekitar lokasi tersebut di jadikan tempat pasar
ayam atau tempat berkumpulnya para pedagang ayam untuk
menjajakan dagangannya.
Menurut Abu Al Mafachir (2008;72) Dalam Buku “
Pekalongan Inspirasi Indonesia” menjelaskan bahwa Pekalongan
memiliki banyak peninggalan sejarah yang berharga. Berdasarkan
keterangan diatas, penulis menyimpulkan bahwa salah satu
peninggalan sejarah berharga yang dimaksud tersebut salah
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 16
satunya adalah nama kelurahan Kandang Panjang dan
padukuhannya, karena hal tersebut termasuk mutiara sejarah
berharga yang terpendam di kelurahan Kandang Panjang.
Kearifan local
Hampir setiap budaya lokal di Nusantara dikenal dengan
kearifan lokalnya. kelurahan kandang panjang juga mempunyai
banyak kearifan lokal antara lain yang mengajarkan tentang nilai
seperti gotong royong dan toleransi antar umat beragama.
Dengan kearifan tradisi gotong royong, warga kandang
panjang dapat mengatasi permasalahan Rob dengan cara swadaya
untuk merapikan lingkungannya, tidak hanya sepenuhnya
bergantung dengan bantuan pemerintah.
Demikian juga dengan kearifan Toleransi antar umat
beragama, diketahui bahwa warga kandang panjang dihuni
berbagai agama seperti Islam, Katolik, dan Kong Hu Cu. Tetapi
warga tetap bisa hidup rukun dan saling gotong royong, itulah
salah satu mutiara dari kandang panjang. Selain itu, kelurahan
kandang panjang juga mempunyai budaya atau tradisi kearifan
lokal yang berhubungan dengan kesenian tari bernuansa magis
yang disebut sintren,
Sintren, merupakan kesenian tari bernuansa magis yang
dipopulerkan oleh warga kandang panjang, karena menurut
penuturan salah satu warga yang dulu ikut dalam grup sintren
bernama Bapak Muhadi warga padukuhan sejimat kandang
panjang menyatakan bahwa grup sintren pertama kali yang ada
dipekalongan berada di Kandang Panjang.
Menurut M. Dirhamsyah (2014), menjelaskan dalam
sejarah masyarakat pekalongan, kesenian sintren merupakan cerita
tragedi romantik layaknya cerita Romeo dan Juliet di Italia, yang
dipopulerkan oleh sastrawan legendaries Inggris, William
Shakespeare.
Kisah Sulasih dan Sulandono berlangsung pada abad 16.
Sulasih adalah anak petani miskin di sebuah wilayah di desa
Kalisalak yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Batang,
sedangkan Sulandono anak penguasa Pekalongan, Raden
Temenggung Bahurekso. Kisah keduanya tidak direstui oleh ayah
Sulandono. Karena ayah tidak setuju, Sulandono kemudian
mengadu kepada ibunya, Dewi Rantamsari; sang ibu kemudia
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 17
mencari tahu siapa sebenernya Sulasih, dan membantu
meyakinkan Tumenggung Bahurekso.
Namun, Bahurekso tetap tak bergeming sehingga
akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi
Penari. Meskipun demikian, pertemuan diantara keduanya masih
terus berlangsung melalui alam gaib. Pertemuan tersebut diatur
oleh Dewi Rantamsari yang memasukan roh bidadari ke tubuh
Sulasih, pada saat yang sama R. Sulandono yang sedang betapa
dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah
pertemuan antara Sulasih dan R. Sulandono.
Sejak saat itulah, setiap diadakan pertunjukan sintren sang
penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan
catatan sang penari masih dalam keadaan suci (masih perawan).
Sintren juga mempunyai keunikan tersendiri, bisa dilihat dari
panggung dan alat-alat musiknya
yang terbuat dari Tembikar atau
gembyung dan kipas dari bambu
yang ketika ditabuh dengan cara
tertentu menimbulkan suara yang
sangat khas.
Menurut Muhadi warga
Kandang Panjang yang juga
pemain sintren dibagian penabuh,
sekitar 30 tahun yang lalu sintren
sangat laris dijadikan tontonan
masyarakat, sehingga waktu
sehari-harinya dipenuhi dengan aktivitas pertunjukan sintren,
berdasarkan cerita dia sintren merupakan tradisi Pekalongan yang
dipelopori dan dipopulerkan oleh grup sintren miliknya bersama
alm. Ratiyem atau biasa dipanggil Mak Yem warga Kandang
Panjang padukuhan Sejimat RW 05 Rt 04, sebagai penggagas atau
perancang berdirinya Sintren di Kandang panjang.
Berdasarkan penuturan narasumber, Penulis mempunyai
hipotesa ada kemungkinan Sintren bernuansa magis yang menjadi
budaya sekaligus tradisi kesenian kota pekalongan dipelopori dan
di populerkan oleh kelompok Sintren asli Kelurahan Kandang
Panjang. Hipotesa ini dikuatkan juga oleh penulis terkenal kota
Pekalongan M. Dirhamsyah dalam bukunya (Pekalongan yang tak
Terlupakan, 2014, hlm. 90), menuliskan “Sintrenku sayang
sintrenku malang, begitulah nasib sintren, setidaknya itulah yang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 18
dialami grup sintren kelurahan Kandang Panjang. Sintren yang
diakui sebagai kesenian asli masyarakat pesisiran itu kini
terancam punah, jika tidak ada perhatian serius dari pemerintah
setempat untuk melestarikannya”.
Dengan sudut pandang kacamata budaya, kesenian sintren
merupakan suatu budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya,
karena menurut Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A menjelaskan,
Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan,
yaitu sebagai 1) penganut kebudayaan; 2) pembawa kebudayaan;
3) manipulator kebudayaan; dan 4) pencipta kebudayaan. Dari
penjelasan sejarah diatas, penulis menyimpulkan bahwa kesenian
tari sintren perlu dibangkitkan kembali sebagai kearifan lokal
Kota Pekalongan pada umumnya dan kelurahan Kandang Panjang
pada khususnya dan kedudukan asal-usul nama kelurahan dan
kearifan lokalnya ada diantara ke empat faktor diatas, sehingga
inilah yang disebut mutiara sejarah Kelurahan Kandang Panjang.
(Kontributor : Miftahudin Al Azam, Ribut Achwandi)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 19
PANJANG WETAN
Cerita di Panjang sebelah wetan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 20
Gambar Peta Kelurahan Panjang Wetan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 21
Panjang Wetan merupakan nama kelurahan di kecamatan
Pekalongan dengan luas wilayahnya 235,05 ha dan penduduk
21.379 jiwa (5.163 keluarga). Wilayah Panjang Wetan dimulai
dari jembatan sungai Loji sampai perbatasan pantai Pasir Kencana
atau biasa disebut dengan laut “Ngeboum”. Kata “Ngeboum”
sendiri sebenarnya merupakan kata serapan dari bahasa Belanda
“Boom” yang berarti Pelabuhan. Sedangkan kata “wetan” diambil
karena terletak di sebelah timur dari akhir daratan sungai Loji
yang membatasi dengan kelurahan Krapyak. Sehingga, kelurahan
yang berada di sebelah barat sungai Loji ini dinamakan kelurahan
“Panjang Wetan”.
Gambar Gedung Kelurahan Pajang Wetan
Kata wetan juga menjadi penanda bahwa dimungkinkan
pernah ada lawan katanya yakni kulon. Di sebelah kulon/barat
terdapat desa dengan Panjang pula sebagai namanya, namun kali
ini namanya adalah Panjang Kulon. Sebetulnya desa ini masih
wilayah Panjang Wetan. Namun, karena desa Panjang Kulon
banyak penduduk pendatang, maka perolehan voting nama desa
tersebut dimenangkan oleh pendatang. Sehingga, sekarang desa
itu dinamakan Panjang Kulon, yang akhirnya menjadi Kandang
Panjang. Mengapa disebut dengan Kandang Panjang? Konon
katanya, dahulu kala masyarakat setempat banyak yang menjual
kandang ayam dan wilayahnya panjang.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 22
Kembali pada kelurahan Panjang Wetan, lalu bagaimana
dengan sejarah gang – gangnya? Tentunya penamaan gang di
kelurahan Panjang Wetan ini memiliki asal usul yang berbeda-
beda. Entah diambil dari keadaan alam yang tumbuh sebagai
pesona daerah tersebut ataupun dari masyarakat yang
mendudukinya. Ada 15 gang di kelurahan Panjang Wetan, dimulai
dari gang 1 yang menghubungkan Kandang Panjang, tepatnya di
jalan raya depan makam ”Beji” sampai menuju ke selatan. Dari
gang 1 semakin ke selatan maka semakin tua pula angkanya.
Berakhir di gang 15 sebelum gudang uyah/garam yang sekarang
sudah dibongkar oleh para arsitek dan disulap menjadi perumahan
elit “Jetayu Residen”.
Panjang Wetan memiliki kampung-kampung lawas yang
telah ada sejak dulu. Dimulai dari Bugisan, kampung kecil yang
tersembunyi dari mata lalu lalang kendaraan di jalan raya.
Kampung ini terletak di sudut timur wilayah komplek rumah
tahanan. Hanya berdiri satu gang saja dan tidak tembus ke gang-
gang yang lain kecuali dengan menggunakan getek(perahu
tambang untuk menyeberangi sungai) karena wilayah ini
dikelilingi oleh sungai. Kampung Bugisan ini ternyata memiliki
kehidupan besar didalamnya. Ada pabrik tekstil yang cukup
besar, pabrik roti “ TUTI” yang telah ada sejak masa kolonial dan
masih hidup hingga kini, Yang terakhir adalah perusahaan limun
oriental yang menjadi legenda karena telah ada sejak masa
kolonial. Di tepi sungai Pekalongan sebelah selatan di masa dulu
terdapat rumah hoofdjaksa Pekalongan.
Dinamakan kampung Bugisan, sejarahnya adalah bermula
dari hutan yang belum terdapat kehidupan. Setelah itu datanglah
orang-orang dari suku Bugis Makassar ke hutan tersebut. Orang-
orang Bugis itu kemudian tinggal dan menetap sampai dikaruniai
anak hingga keturunanya tinggal di desa tersebut. Tambah tahun
kampung itu penghunianya kian banyak, maka muncullah sedikit
demi sedikit penduduk baru. Hingga kini, kampung Bugisan
sudah padat penduduknya. Nama Bugisan sendiri diambil dari
penghuni pertama hutan tersebut, yakni orang-orang Bugis
Makassar, maka disebutlah kampung “Bugisan”
Di dalam kampung Bugisan sendiri dibagi menjadi tiga
bagian RT(Rukun Tetangga), yakni RT bagian kulon (barat), RT
bagian lor (utara), dan RT bagian wetan(timur) yang sering di
juluki RT “Kebonan” karena dahulunya hanya wilayah kebon
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 23
yang luas dan belum dihuni oleh penduduk. Kampung Bugisan ini
dari arah selatan berbatasan langsung dengan pabrik tekstil
Karmatek dan Lojitek, serta dari sebelah utara berbatasan dengan
sungai yang memisahkan kampung Bugisan dengan kelurahan
Krapyak.
Berangkat dari sungai Loji ke kampung Bugisan, setelah
penempatan gang-gang kelurahan Panjang Wetan dari 1 sampai
15, muncul gang-gang baru karena semakin bertambahnya
penduduk yang disebut dengan Kampung Baru. Di sebelah utara
Kampung Baru terdapat gang Awal. Mulanya, gang Awal ini
adalah bekas lontrong (semacam lorong jalan kecil). Semakin ke
selatan dari kampung Baru terdapat gang yang bernama Umbul,
nama ini diambil dari sumur Umbul yang berada di wilayah
tersebut.
Berlanjut ke arah utara kelurahan Panjang Wetan, terdapat
wilayah yang bernama Cikal Sari. Nama Cikal Sari tentunya tidak
asing lagi di telinga masyarakat Pekalongan, karena kini Cikal
Sari dijadikan nama dari rumah sakit paru-paru satu-satunya di
kelurahan Panjang Wetan ini. Nama Cikal Sari sendiri terdiri dari
dua kata, yakni kata “cikal” yang berarti pohon kelapa, dan “sari”
yang berarti asri, sejuk, nan indah pemandanganya. Selain Cikal
Sari, ada juga kampung yang bernama Boyong Sari, Pisang Sari,
dan Wonosari. “Boyong” berarti orang yang datang berbondong-
bondong, ”Pisang” berarti pohon pisang yang merajalela, dan
“Wono” yang berarti daerah sepi. Sedangkan nama “Sari”
dibelakangnya merupakan gambaran bahwa daerah tersebut asri
penuh kehijauan dan tampak indah dipandang mata. Entah
kenapa, masyarakat kelurahan Panjang Wetan suka dengan yang
sari-sari.
“Penamaan wilayah pada kelurahan Panjang Wetan ini
kebanyakan diambil dari keadaan alam ataupun masyarakat yang
mendudukinya pada saat pertama kali wilayah itu diberi nama”.
Ada nama Blandong karena berada di sekitar tempat
penyembelihan binatang. Kampung kerkop, nama ini jelas
merujuk dari bahasa belanda Kierk Hoff yang berarti kuburan bagi
orang yang beragama kristen. Ada pula nama kampung Jayengan,
dari namanya menunjukkan bahwa kampung ini merupakan
wilayah kekuasaan seseorang yang mungkin bergelar jaya
(menang) atau pula tempat yang berisi tentara yang sering menang
perang. Dimungkinkan pula kampung ini dulu merupakan tanah
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 24
milik sesorang yang memiliki nama “JAYA” atau bahkan
mungkin milik Adipati Djayadiningrat.
Ujar pak Lebe, salah satu pegawai kantor kelurahan
Panjang Wetan mengungkapkan bahwa di kelurahan ini terdapat
banyak pula tradisi-tradisi yang unik. Jika Krapyak memiliki
tradisi sywalan, kelurahan Panjang Wetan tidak kalah hebat
dengan memiliki tradisi sedekah laut. Tradisi ini sudah
berlangsung sejak jaman
dahulu. Letak kelurahan
Panjang Wetan yang
berbatasan langsung
dengan laut, menjadikan
mayoritas penduduknya
bermatapencaharian
nelayan sehingga hasil
panen ikan setiap harinya
menentukan nasib hidup mereka. Hal inilah yang menjadikan
masyarakat sadar akan rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha
Esa. Sehingga, dengan tradisi ini mereka berharap agar laut diberi
keberkahan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tradisi ini dilakukan
setahun sekali dengan melepaskan makanan dan hasil bumi ke
laut “Ngeboum”.
Selain itu, masyarakat kelurahan Panjang Wetan memiliki
tradisi unik yang lain, yakni membuat balon udara raksasa setiap
tahunya. Pembuatan balon biasanya di lakukan di pertengahan
bulan Ramadhan yang mana akan dilepaskan pada saat hari raya
idul fitri, idul adha, dan syawalan tiba. Masyarakat kelurahan
Panjang Wetan memang dikenal ahli dalam membuat balon udara
raksasa.
Letak geografis kelurahan Panjang Wetan ini juga
membawa banyak kearifan yang muncul. Seperti adanya
pelabuhan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang menjadi salah satu
maskotnya Kota Pekalongan. Dari tempat inilah orang-orang dari
luar jawa maupun luar negeri berdatangan di Pekalongan. Dari
segi ekonomi pelabuhan di kelurahan Panjang Wetan ini menjadi
salah satu pendorong terbesar dalam pembangunan ekonomi di
Pekalongan. Semakin berkembanganya ekonomi di Pekalongan,
terutama di kelurahan Panjang Wetan, muncullah berbagai macam
pabrik industri yang dibangun di kelurahan ini. Seperti pabrik teh,
Gambar Pesta Laut di
Kelurahan Panjang Wetan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 25
pabrik es Along Jaya, pabrik Lojitek, pabrik Kismatek pabrik ikan
TRM, dan masih banyak lagi.
Selain dari potensi ekonomi yang dimiliki, kelurahan
Panjang Wetan juga memiliki seorang ulama atau sesepuh yang
mahsyur di kelurahan ini. Jika kelurahan Landungsari (sekarang
Noyontaansari) memiliki sosok mbah Landung yang begitu
terkenal, maka kelurahan Panjang Wetan juga memiliki sosok
yang begitu mahsyur di kalangan masyarakat, beliau bernama
mbah Singkil, makamnya terletak di belakang SDI 07 dan di
sebelah barat masjid Umi Solechah Junaid, Panjang Wetan
Pekalongan.
Tidak hanya soal tokoh, pendidikan pun sudah mulai
gencar di kelurahan Panjang Wetan, terbukti dengan banyaknya
sekolah-sekolah yang berdiri mulai dari sekolah dasar, sekolah
menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai sekolah
tinggi. Selain itu, pondok-pondok pesantren juga sudah banyak
yang didirikan. Tentunya hal ini menjadi kebanggan tersendiri
bagi masyarakat kelurahan Panjang Wetan pada umumya.
(Kontributor : Mukhamad Bustomi Fajari, Ribut Achwandi)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 26
PANJANG
BARU Yang baru diantara dua Panjang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 27
Gambar Peta Panjang Baru
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 28
Seiring dengan perkembangan waktu, Kelurahan Panjang
Wetan terus berkembang hingga menjadikannya semakin padat.
Kebutuhan akan tempat tinggal memaksa untuk membuka
daerah-daerah yang selama ini hanya berupa sawah, tambak dan
belukar menjadi daerah pemukiman. Hal ini mengakibatkan
munculnya kampung-kampung yang relatif baru. Bahkan adanya
pengembang yang membuka daerah-daerah ini menjadikannya
semakin ramai dan terkonsentrasi di daerah baru.
Wilayah tersebut adalah kawasan perumahan Panjang
Indah yang dibangun antara tahun 1984. Perumahan Rumah
Sangat Sederhana (RSS) Korpri yang dibangun antara tahun 1990.
Perumahan Nelayan yang dikenal dengan nama Pantai Sari.
Disebut demikian karena terletak persis di tepi pantai dan
diharapkan menjadi tempat yang nyaman, damai dan tenteram.
Ada beberapa istilah nama kampung lain seperti nama Cangkring
dan Kesambi.
Munculnya kampung-kampung baru tersebut membuat
wilayah yang sepi menjadi ramai. Jumlah penduduk yang besar
membuat pelayanan administrasi publik menjadi kurang efektif
dan efisien. Pada tahun 2007 jumlah penduduk telah mencapai
21.223 jiwa sehingga melebihi jumlah maksimum efektivitas
pelayanan administrasi kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu
untuk mengoptimalkan pelayanan dengan membentuk kelurahan
baru sebagai hasil pemekaran Kelurahan Panjang Wetan.
Setelah melalui berbagai diskusi yang melibatkan
berbagai elemen baik dari eksekutif, legislative maupun
masyarakat terkait maka ditetapkan bahwa Kelurahan Panjang
Wetan dimekarkan dengan nama kelurahan hasil pemekaran
adalah Kelurahan Panjang Baru. Secara yuridis formal Kelurahan
Panjang Baru ditetapkan melalui Keputusan Walikota Pekalongan
Nomor 136/313 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan
Baru Hasil Pemekaran Kelurahan Panjang Wetan Kecamatan
Pekalongan Utara Kota Pekalongan tanggal 13 Agustus 2007.
(Kontributor : Agung Tjahjana)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 29
Bandengan Hadiah dari melati, padi, dan tambak
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 30
Gambar Peta Bandengan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 31
Gambar Kelurahan Bandengan
Kelurahan Bandengan adalah salah satu kelurahan di
Kecamatan Pekalongan Utara. Pada awalnya Bandengan adalah
sebuah desa yang menjadi Wilayah Kabupaten Pekalongan.
Menjadi bagian dari Kota Pekalongan sejak tahun 1988
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1988 Tentang
Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
Pekalongan, Kabupaten Daerah Tingkat II Pekalongan, dan
Kabupaten Daerah Tingkat II Batang.
Wilayah Kelurahan Bandengan berbatasan dengan desa
Jeruksari Kabupaten Pekalongan di sebelah barat, di sebelah
selatan berbatasan dengan Kelurahan Dukuh dan Kelurahan
Kandang Panjang. Di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan
Kandang Panjang dan Kelurahan Panjang Baru, sedangkan di
sebelah utara berbatasan langsung dengan laut Jawa.
Wilayah pesisir menjadikan tanahnya cukup subur untuk
pertanian, dan sangat produktif untuk perikanan. Hal ini
menyebabkan sebagian besar wilayahnya adalah lahan pertanian
dan perikanan pantai berupa tambak. Wilayah permukiman
terkonsentrasi di sebelah selatan yang terbagi dalam dua dukuh
yaitu Dukuh Seturi di bagian Timur dan Dukuh Bandengan di
bagian Barat.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 32
Bandengan
Keberadaan Bandengan dimasa lalu cukup
membanggakan. Masyarakatnya sebagian besar hidup
berkecukupan dari mata pencaharian sebagai petani padi, petani
tambak dan nelayan yang setiap hari berangkat melaut. Orang-
orang kaya banyak yang memiliki sawah, tambak dan binatang
ternak terutama kerbau. Hal ini menyebabkan mereka mampu
bekerja bahkan mempekerjakan masyarakat sekitarnya untuk
secara terus menerus. Setelah bertanam padi, mereka mengurus
tambak, mengurus ternak dan bagi yang tidak memiliki ternak
dapat berangkat melaut.
Dipinggir laut terdapat lahan hutan bakau yang cukup
lebat diantara tambak. Keberadaannya menjadi tempat pemijahan
yang baik untuk perkembangbiakan bandeng. Perkembangan
selanjtunya masyarakat memelihara bandeng dalam tambak.
Panen bandeng hampir selalu berlimpah dan mutu serta rasa
bandengnya enak sehingga disukai banyak orang
Terkenalnya bandeng tersebut mengakibatkan konsumen bandeng
Pekalongan dan daerah yang mendapatkan suplai berusaha
menanyakan dari daerah mana bandeng tersebut berasal.
Konsumen mendapatkan jawaban bahwa bahwa bandeng tersebut
berasal dari daerah yang memiliki banyak bandeng di sebelah
barat Panjang. Daerah bandeng itulah yang akhirnya disebut
dengan bandengan. Secara tata bahasa Jawa, bandengan berarti
nggon (tempat) bandeng, atau nggon sing akeh (Tempat yang
banyak) bandeng.
Seturi
Secara bahasa terutama bahasa Jawa sebagai bahasa ibu
masyarakat setempat kata seturi tidak memiliki arti. Apabila di
runut dalam tata bahasa jawa kata yang paling dekat dengan seturi
adalah kata TURI. Turi (Sesbania grandiflora) adalah nama
tumbuhan yang berdaun kecil sejenis alba yang termasuk keluarga
leguminocaae. Diceritakan oleh Bapak Slamet Abidin dan Bapak
Karibkin bahwa di masa lalu sepanjang pematang, jalan dan
kebun yang tidak termanfaatkan di wilayah tersebut banyak
ditumbuhi pohon turi.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 33
Masyarakat setempat meyakini bahwa menanam pohon
turi dapat menjaga kesuburan tanah. Secara teori tumbuhan yang
kacang-kacangan atau berbunga kupu-kupu, memiliki akar yang
berbintil-bintil serta mampu menambat nitrogen dari udara. Hal
inilah yang menyebabkan tanah menjadi subur. Selain itu bunga
turi dapat dimanfaatkan untuk sayuran, dan daunnya dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Tak jarang turi dipergunakan
pula untuk pengobatan.
Lambang Sari.
Lambang sari adalah nama resmi Kelurahan sebelum
diubah menjadi Bandengan. Pada masa kolonial maupun awal
kemerdekaan nama desa masih Lambang Sari. Bapak Karibkin
menuturkan bahwa Lambang Sari bermakna tanda atau simbol
atau penanda dari inti, indah atau hakikat sebuah kesempurnaan.
Hal ini disebabkan kesejahteraan masyarakat setempat yang
mendapatkan karunia tanah yang subur sehingga panen padi selalu
melimpah, hasil tambak yang senantiasa bagus dan bandengnya
pun sangat enak masih ditambah di tanah Lambang Sari hasil
bunga melatinya berkualitas sangat bagus dan dipesan oleh pabrik
teh terbesar di Pekalongan dengan harga yang lebih tinggi
dibanding daerah lain. Kemasyhuran melati dari desa ini
menjadikan masyarakatnya menamai desa mereka dengan kata
sari bermakna tenteram, indah atau sempurna.
Dinamika pemerintahan dan perekonomian yang
senantiasa berubah akhirnya mempengaruhi pola pikir dan pola
hidup masyarakat. Usaha bandeng yang sangat dominan dan
menjadikan tetenger (ikon) dirasa lebih “menjual” dibandingkan
dengan Lambang Sari sebagai nama desanya maka diubah
menjadi Bandengan.
Kali Betingan
Kali Betingan adalah sebuah saluran irigasi yang melintas
di Bandengan. Dituturkan oleh Bapak Slamet Abidin bahwa
saluran ini dimasa lalu banyak hidup ikan keting (sejenis ikan lele
yang hidup di air payau). Ikan keting ini banyak diambil oleh
masyarakat setempat untuk dikonsumsi. Dari kata Keting inilah
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 34
masyarakat menamakan sungai tersebut dengan nama kali
betingan.
Kali Segrabyag
Hampir sama dengan kali Betingan, Segrabyag adalah
nama saluran irigasi besar yang melintasi wilayah utara
Bandengan. Saluran ini banyak dihuni oleh ikan-ikan sehingga
banyak orang yang mencari ikan. Disamping itu banyak pula
masyarakat petani mengalirkan air ke sawah mereka. Di masa lalu
masyarakat bergotong royong bersama-sama memelihara irigasi,
bertanam padi, maupun memanen ikan. Ketika melewati sungai
mereka mendengar suara grabyag-grubyug kaki melewati sungai.
Disamping itu istilah grabyag-grubyug juga menggambarkan
adanya rasa susah dan senang dipikul secara bersama-sama.
Identik dengan seturi, kata grabyak mendapatkan tambahan kata
“se” sehingga menjadi segrabyag.
Kisah Mbah Saringin.
Salah satu cerita yang berkembang di Bandengan adalah
Mbah Saringin yang merupakan Lurah Desa Setempat pada masa
pemerintahan Belanda. Diceritakan bahwa beliau adalah seorang
preman yang sakti, kejam, namun disegani pihak Belanda
sehingga diangkat menjadi pimpinan desa. Dia suka mengambil
wanita cantik untuk diperistri walaupun sudah menjadi istri orang.
Namun demikian terhadap setiap wanita yang dinikahinya selalu
diberikan nafkah dan rumah sebagai wujud tanggung jawabnya.
Walaupun sebagai seorang bandit, akan tetapi Mbah
Saringin sangat hormat pada ulama. Salah satu ulama yang
disegani adalah Kyai Yusuf. Dituturkan oleh Bapak Karibkin
bahwa Kyai Yusuf Sirodj pernah berujar kalau jadi bandit jangan
tanggung, jadilah seperti Saringin, bandit besar tetapi tetap hormat
pada ulama.
Bandengan yang dulu dikenal sangat asri dan subur kini
sedang menghadapi masalah sebagai akibat dari fenomena alam
yang sangat sulit untuk ditangani. Sebagian besar wilayahnya
digenangi oleh rob atau air pasang yang masuk ke daratan
sehingga kehidupan masyarakatnya menjadi tidak sesejahtera
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 35
dulu. Namun semua kearifan diharapkan untuk tetap hidup dan
terus menjadi karakter masyarakatnya.
(Kontributor : Agung Tjahjana)
Disarikan dari cerita nara sumber :
1. Bapak Slamet Abidin (Kepala Kelurahan Bandengan
Tahun 2015)
2. Bapak Drs. Karibkin Syarif (Tokoh Masyarakat, Kepala
Desa Tahun 1980 s/d 1990 dan tahun 1998 s/d 2002)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 36
KRAPYAK Cirita diantara 2 Krapyak
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 37
Gambar Peta Krapyak
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 38
Krapyak adalah salah satu wilayah paling utara dari Kota
Pekalongan. Wilayahnya sangat luas hampir seluas wilayah
Panjang. Krapyak merupakan kawasan yang unik dan menarik
apabila dipelajari. Struktur masyarakatnya lengkap mulai dari
nelayan, petani, pengusaha, buruh dan pegawai, dan ulama ada di
sini. Kebudayaan masyarakatnya pun unik karena khas hingga
membedakannya dengan wilayah lain walaupun berdekatan.
Seperti biasanya daerah sekitar pantai dan pelabuhan
biasanya diselimuti dengan budaya minum-minuman keras atau
mabuk-mabukan. Akan tetapi di wilayah Krapyak justru
sebaliknya. Wilayah ini dikenal sangat kuat menjalankan ajaran
Islam.
Asal usul pemberian nama “Krapyak” ada beberapa versi.
Secara etimologi krapyak memiliki arti kandang menjangan atau
apabila pengertiannya lebih luas dapat diartikan sebagai tempat
yang banyak menjangan atau kijang. Hal ini sangat
memungkinkan karena ada banyak cerita yang menyebutkan
bahwadi masa lalu daerah ini merupakan hutan yang lebat.
Krapyak tidak hanya ada di Pekalongan. Di Semarang
desa Krapyak dulu adalah daerah sabana yang banyak dengan
menjangan. Wilayah ini pun dimasa lalu langsung berbatasan
dengan laut. Di Yogyakarta juga ada kampung yang bernama
sama. Diceritakan bahwa dulu di Krapyak inilah Sultan
Hanyokrowati, ayah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo tewas
pada waktu berbutu karena tertusuk oleh tanduk menjangan yang
terkena panahnya.
Di era Kasultanan setelah Mataram dipecah menjadi dua
melalui perjanjian Giyanti, Krapyak dikaitkan dengan wilayah
garis lurus atau sumbu spiritual yaitu gunung merapi, tugu putih,
keraton, panggung krapyak dan laut selatan. Di wilayah Krapyak
di Yogyakarta lingkungan masyarakatnya sangat agamis di masa
lalu karena ada pondok pesantren yang besar. Oleh keraton
dibangun panggung Krapyak yang merupakan tempat sarana
bertemunya antara penguasa keraton dengan laut penguasa laut
selatan, Sangat tidak menutup kemungkinan bahwa pemberian
istilah Krapyak di Pekalongan adalah upaya menyamai unsur
spiritual tersebut dengan garis lurus laut utara, Krapyak,
kabupaten dan ke selatan di Petung Kriyono atau gunung Prau
sebagai daerah mata air sungai Kupang. Salah satu yang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 39
menguatkan adalah adanya kampung Setembok yang menjadi
perujuk adanya bangunan tembok dimasa yang lalu.
Versi lain menyebutkan bahwa “Krapyak” berasal dari
suara deru ombak air laut di pesisir laut utara. Bunyi “Krupyak-
krupyak” air laut sehingga daerah di dekat laut tersebut
dinamakan Desa Krapyak.
Gambar Kantor Kelurahan Krapyak
Menurut cerita seorang sesepuh desa Krapyak yang
berusia 60 tahun, Ibu Alifah (Tammimsyafii, 2014) mengisahkan
bahwa nama “Krapyak” asal muasalnya dari air hujan yang turun
begitu deras dan membanjiri daerah tersebut. Saat itu belum ada
lantai atau keramik seperti sekarang, yang ada hanyalah alas
rumah dari tanah. Ketika warga berjalan di genangan air banjir,
timbullah bunyi “Krupyuk-Krupyuk”. Sebab itulah kemudian
daerah itu dinamakan “Krapyak”.
Sumber lain menyebutkan bahwa desa “Krapyak” berasal
dari kata “Krap” atau dalam bahasa Jawa “Kerep” artinya sering
dan “Pyak” yang diartikan sebagian warga “bersatu”. Apabila
digabungkan secara harfiah berarti “sering bersatu”. Penamaan ini
bersumber dari cerita setempat yang mengkisahkan tentang awal
daerah desa Krapyak ini dibuka.
Konon dahulu kala Raja Mataram memerintahkan seorang
ulama sakti untuk membuka daerah di pesisir pantai utara. Ulama
sakti tersebut bernama Mbah Abdul Filis. Terdapat kerajaan jin di
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 40
daerah pesisir tersebut sehingga sulit bagi Mbah Abdul Filis untuk
membuka daerah tersebut sendirian. Mbah Abdul Filis lalu
meminta mengumpulkan bantuan dari beberapa ulama sakti
lainnya yaitu Mbah Losari, Mbah Jatruno, Mbah Rachmadi, dan
Mbah Banyu Tawa guna membuka daerah tersebut.
Gambar Makam Mbah Abdul Filis
Kelima orang tersebut bersama-sama berdoa dan meminta
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mereka dapat membuka
daerah pesisir utara itu. Atas usaha doa mereka, raja jin dan jin-jin
lainnya menyerah sehingga daerah tersebutberhasil dibuka.
Keberhasilan bersama kelima ulama
inilah yang menjadi dasar penamaan Krapyak yaitu
“Krap” dan “Pyak” yaitu “sering bersatu” karena berkat persatuan
dan kebersamaan merekalah daerah pesisir utara tersebut berhasil
dibuka dan dihuni manusia.
Raja Mataram memberikan hadiah berupa sebidang tanah
perdikan (bebas pajak) atas keberhasilan Mbah Abdul Filis
membuka daerah tersebut. Tanah tersebut kini dikenal dengan
daerah “Sembawan”. Mbah Abdul Filis juga dipercaya Raja untuk
memimpin desa Krapyak. Kepemimpinan Mbah Abdul Filis yang
cerdas, adil, dan bijaksana membuahkan hasil. Wilayah desa
Krapyak bertambah luas sehingga beliau memutuskan bahwa
sebaiknya desa Krapyak dibagi menjadi dua Krapyak Lor (utara)
dan Krapyak Kidul (selatan). Desa Krapyak Lor merupakan
daerah yang cenderung lebih dekat ke lautan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 41
Krapyak memiliki tradisi unik yaitu syawalan. Sekitar
tahun 1885, Kyai Haji Abdullah Sirodj pertama kali mengadakan
tradisi Krapyakan atau disebut juga Syawalan. Tradisi ini
dilakukan dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam, di
mana dalam agama Islam disunahkan melaksanakan puasa Syawal
yaitu 6 hari pada bulan Syawal yang biasanya dimulai pada
tanggal 2 sampai 7 Syawal. Lalu pada tanggal 8 Syawal itulah
tradisi Syawalan ini dilakukan. Tradisi Syawalan merupakan
bentuk penghormatan kepada orang-orang yang menjalankan
puasa Syawal. Di desa Krapyak, Syawalan dianggap sebagai
“Lebarannya orang yang puasa Syawal”. Pada saat syawalan ini
pulalah keluarga besar masyarakat yang berasal dari Krapyak
berkumpul dan bertemu dari berbagai generasi.
Pada tradisi Krapyakan ini dibuat makanan khas yaitu
lopis. Lopis merupakan semacam kudapan yang terbuat dari ketan
(M.Dirhamsyah, 2014). Salah satu keunikan dalam tradisi
Syawalan di Krapyak yaitu adanya lopis raksasa. Pembuatan lopis
dengan ukuran yang lebih besar oleh penduduk Krapyak Kidul
dimulai sejak tahun 1955 dan upacara pemotongan lopis baru
dilaksanakan pada tahun 1956 oleh Bapak Rohmat, yang saat itu
menjabat sebagai kepala desa.1 Menurut penuturan sesepuh
berusia 80 tahun, Muhammad Zein (Tammimsyafii, 2014), lopis
besar pertama kali dibuat tahun 1980 di Desa Krapyak Lor.
Semenjak saat itu pembuatan lopis besar selalu dilestarikan
walaupun sempat terhenti pada tahun 1997 dan 1998.
Pembuatan lopis raksasa bertujuan untuk diberikan
kepada tamu atau pengunjung yang datang ke Krapyak, guna
mempererat tali silahturahmi antarwarga Krapyak dan sekitarnya.
Menurut penduduk Krapyak, tradisi Syawalan dan pembuatan
lopis raksasa melambangkan keberkahan untuk masyarakat
sekitar. Tradisi Syawalan ini sejatinya juga merupakan bentuk
penghormatan dan keramahtamahan warga desa Krapyak kepada
para tamu atau keluarga yang tinggal diluar Krapyak. Selain itu
1Syafi’i Tammim, “Rehabilitasi Sungai Pekalongan untuk Kehidupan”
(Pekalongan, 2014), http://tammimsyafii.blogspot.com, Diakses 1
januari 2014
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 42
juga menjadi perekat tali silaturahmi
kepada para tamu dari desa lainnya.
Terkandung makna filosofi
dari makanan lopis ini. Lopis ini
dibuat dari bahan dasar ketan yang
mana setelah matang makanan ini
meskipun awalnya berupa butiran-
butiran ketan setelah dimasak sampai
matang akan saling rekat satu sama
lain. Hal ini menggambarkan harapan
akan persatuan dan kesatuan dari
warga desa Krapyak. Lopis dibungkus
dengan menggunakan daun pisang.
Pohon pisang tidak akan mati sebelum
meninggalkan buah dan tunas. Dapat diartikan bahwa para
sesepuh tidak akan pergi sebelum meninggalkan jasa atau
memiliki generasi yang mampu menjadi penerus para sesepuh.
Garis benang nilai filosofi dari lopis adalah harapan akan
kesatuan, persatuan, kebersamaan, dan keberlangsungan warga
desa Krapyak yang tidak dapat dinilai dengan materi.
Krapyak memiliki suatu legenda unik yang mengajarkan
akan nilai luhur sebuah kejujuran yakni lebenda Mbah Wayah.
Legenda ini sebenarnya merupakan suatu tradisi yang terjadi di
sebuah makam yang diyakini merupakan makam dari seorang
ulama yang perilakunya sangat baik sehingga sangat dihromati di
masa hidupnya. Berbagai cerita mengatakan bahwa beliau adalah
orang yang sering menolong sak wayah-wayah (sewaktu-waktu)
pada saat ada orang yang meminta pertolongan. Kebaikan dan
kerendahan hatinya sesuai dengan perilaku dan ucapannya. Beliau
dikenal sangat jujur.
Setelah meninggal makamnya sering dipergunakan untuk
mengucapkan sumpah. Apabila orang yang bersumpah adalah
orang yang benar, maka tidak akan terjadi apa-apa, akan tetapi
apabila yang bersumpah adalah penipu atau orang mengada-ada
maka akan terjadi malapetaka baginya. Malapetaka yang dialami
tersebut adalah sesuai yang diucapkan dalam sumpahnya.
Krapyak juga dikenal sebagai sentra produksi Batik. Salah
satu motif yang sangat terkenal adalah Batik Jlamprang. Motif
Batik Jlamprang diyakini sebagai motif batik asli Pekalongan.
Motif ini lahir dari pengrajin batik keturunan Arab yang beragama
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 43
Islam. Adanya larangan dalam Islam menggambar binatang
maupun manusia, mendorong pengrajin Batik Pekalongan
menciptakan motif hias geometris. Motif Jlamprang menurut
peneliti ini termasuk motif nitik dan tergolong sebagai ragam hias
geometris. Oleh karena itulah jalan utama di wilayah Krapyak
diberi nama Batik Jlamprang.
Kini secara administrasi tidak ada lagi kelurahan Krapyak Lor dan
Krapyak Kidul karena telah dilebur menjadi kelurahan Krapyak
namun tidak ada salahnya bila kita mengulik kisah keberadaannya
sebagai pengetahuan.
(Kontributor : Amiroh, SE, Bagus Rachman, Karto Susilo, Agung
Tjahjana)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 44
KRAPYAK KIDUL
Cerita dari selatan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 45
Gambar Peta Krapyak KIdul
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 46
Sebagaimana telah disebutkan dalam Al Qur’an surat
Ar Rum ayat 21, sudah menjadi kodrati bahwa di dunia ini
diciptakan berpasangan. Manusia sering kali memberikan
penanda untuk membedakan sesuatu yang sejenis adalah
dengan nama atau istilah dari pasangannya. Begitu pula
dengan masyarakat Jawa yang suka tinggal secara
berkelompok atau bergerombol seringkali menyebut nama
kelompok lainnya dengan secara berpasangan. Begitu pula
dengan wilayah di Krapyak ada dua kelompok masyarakat
yang cukup besar berada di utara dan selatan maka
disebutlah dengan nama Krapyak Lor dan Krapyak Kidul.
Tidak ada yang tahu pasti kapan Krapyak Kidul
secara pasti terbentuk. Berdasar peta tahun 1800-an sudah
disebutkan adanya Krapyak Lor dan Krapyak Kidul. Yang
pasti Krapyak Kidul berada di sebelah selatan dari pada
Krapyak Lor dengan lingkungan yang lebih padat.
Krapyak Kidul memiliki beberapa kampung yang
memiliki kisah sebagai latar belakang namanya.
Sembawan
Kampung Sembawan adalah wilayah yang meliputi
Krapyak Kidul RT 1 – 6 / Rw 15. Kampung ini merupakan
kampung yang padat penduduknya. Terletak di tepi timur
sungai Pekalongan dan dilalui jalan yang menghubungkan
antara kota dengan wilayah pesisir. Penataan di wilayah ini
masih berkesan semrawut sehingga menunjukkan bahwa
wilayah ini tumbuh tanpa pengaturan sebagai wilayah
modern yang biasanya dibangun oleh pihak kolonial.
Nampak bahwa wilayah ini berkembang pesat secara
kekerabatan.
Berdasarkan keterangan nara sumber istilah sembawan
bisa muncul disebabkan pada awalnya di daerah ini banyak
orang-orang dari Sumbawa yang tinggal atau sekedar
singgah di daerah ini. Pada masa lalu kuda merupakan alat
pengangkutan dan perhubungan yang paling efektif. Baik
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 47
kaum bangsawan pribumi, maupun orang kaya berusaha
untuk memilikinya. Dengan munculnya jalur pos yang
dibangun oleh pihak kolonial maka pertumbuhan
penggunaan kuda sebagai sarana transportasi semakin besar.
Di pulau Jawa pada masa itu ada kuda lokal yang oleh
penduduknya disebut dengan kapal. Mengingat populasi
kuda tidak terlalu pesat dan kebutuhan meningkat maka
didatangkan kuda dari pulau Sumbawa yang memang
terkenal sebagai penghasil kuda. Sebagian besar perahu
pembawa kuda bersandar di sekitar Sembawan dan kuda
diturunkan di seberang Sembawan di tempat yang kini
dikenal dengan nama Gudang Garam/Gudang Uyah wilayah
Panjang Wetan. Kuda-kuda tersebut selanjuntya dipelihara
di kampung Gedogan dan Kandang Panjang untuk
dijinakkan dan dilatih sebagai kuda tunggang maupun
sebagai penarik gerobak sebelum dijual kepada peminatnya.
Datangnya kuda-kuda tersebut tentu diiringi pula oleh
orang Sumbawa yang tinggal atau beraktivitas bongkar
muat barang. Komunitas Sumbawa ini jumlahnya cukup
besar dan mendominasi wilayah tersebut, sehingga
penduduk pribumi menyebutnya dengan Sumbawan yang
berarti daerah yang banyak dihuni orang Sumbawa. Kata
sembawan merupakan perubahan dialek lidah yang
mengubah lafal um menjadi em seperti kata sumrambah
menjadi semrambah dan sebagainya.
Cokrah
Dalam bahasa Jawa lama cokrah (congkrah) memiliki
makna bertengkar/berselisih/ bersengketa. Biasanya
masyarakat yang tinggal didaerah yang bernama cokrah
merupakan pemukim baru yang memisahkan diri dari
kelompoknya karena adanya perselisihan/sengketa.
Masyarakat ini berpindah karena kalah dalam perselisihan
atau sengaja berpindah untuk menghindari perselisihan.
Cokrah juga memiliki makna sebagai sulit diatur. Sikap
melawan aturan inilah yang sering mengakibatkan cokrah.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 48
Sehingga tidak menutup kemungkinan pengasingan tersebut
sengaja dilakukan oleh penguasa untuk menempatkan orang-
orang yang sulit diatur agar dapat tindakan yang tidak
diinginkan dapat dilokalisasi karena secara teknis mudah
didalam pengawasan dan penanganan karena lingkupnya
terbatas.
Salah satu hal yang menarik dari beberapa kampung
cokrah di desa atau daerah lain adalah letaknya yang hampr
selalu berada di pinggir sawah sehingga cokrah pun
diartikan sebagai kampung yang paling dekat dengan sawah.
Kampung cokrah ini biasanya terpencil atau terpinggirkan.
Struktur ekonominya pun lebih rendah dari kampung
lainnya. Namun kini keberadaan masyarakatnya tidak ada
lagi perbedaan dengan warga lainnya sekarang berada di
wilayah Rt / Rw 15.
(Kontributor : Amiroh, SE, Bagus Rachman, Karto Susilo)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 49
KRAPYAK LOR Cerita dari Utara
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 50
Gambar Peta Krapyak Lor
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 51
Krapyak Lor memiliki wilayah yang lebih luas dari Kidul.
Kampungnya pun lebih banyak dan dimasa lalu berbentuk
grumbul atau kampung yang berpencaran. Ada beberapa kisah
maupun makna yang menjadi nama dari kampung antara lain :
Pagirikan
Secara etimologi, kata pagirikan dapat diperoleh dari
beberapa kata. Girik adalah kata dari bahasa sansekerta yang
berarti kupon, karcis atau tanda yang dipergunakan untuk masuk
ke suatu tempat atau untuk mendapatkan jatah barang, uang atau
hasil jasa lainnya. Penambahan awalan dan akhiran pa-an
menunjukkan bahwa kata pagirikan berarti tempat pembagian,
penyerahan atau dapat pula berarti penukaran girik tersebut
dengan hal-hal yang mereka butuhkan.
Penamaan ini mungkin disebabkan pada masa lalu
Pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan samudra yang
berada diujung muara sungai dan menggunakan tempat di
seberang sungai sebagai tempat tinggal atau peristirahatan dari
para pekerja yang sebagian besar adalah kaum pribumi. Apabila
dipelajari dari penataan wilayah oleh pemerintah kolonial hampir
selalu a menempatkan penguasa berseberangan dengan kaum
pribumi. Para pekerja ini mendapatkan bayaran dengan kupon
untuk ditukarkan dengan uang sebagai penghasilan mereka.
Hal yang mungkin pula terjadi adalah bahwa wilayah
Slamaran kini dulu adalah perkebunan kelapa milik pemodal
asing. Para pekerja atau buruh pribumi bekerja untuk pemodal dan
mendapatkan girik sebagai identitas pekerja sehingga mereka
dapat memasuki perkebunan atau pada saat tertentu girik tersebut
digunakan untuk ditukarkan dengan uang atau bentuk penghasilan
lainnya di tempat berkumpul di sekitar pintu masuk wilayah
perkebunan.
Wilayah disekitar tempat pembagian/penerimaan girik ini
pula yang akhirnya menjadi tempat tinggal bagi para pekerja yang
akhirnya diberi nama sebagai Pagirikan.
Pagirikan dapat pula berasal dari kata igir yang dalam bahasa
jawa lama/kuno berarti pinggiran/tebing. Apabila kita amati,
wilayah ini memang berada di sekitar sungai sehingga pagirikan
dapat diartikan sebagai tempat di pinggiran sungai.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 52
Informasi tentang Pagirikan ini sangat sedikit. Hampir tidak
ada informasi yang menyebut tentang tokoh ataupun kegiatan
yang signifikan tentang Pagirikan. Namun tempat ini telah disebut
dalam peta perkebunan Hindia Belanda sejak akhir tahun 1800 an
wilayah ini sekarang berada di Rt 3/ Rw 1.
Slamaran
Nama slamaran ini telah disebut dalam peta awal tahun 1900
an dengan sebutan Sela-maran (sampang tiga). Informasi yang
didapat hanyalah bahwa slamaran adalah perkebunan kelapa.
Hampir tak ada yang mengetahui mengapa disebut nama
slamaran.
Bapak Ahmad Ilyas, seorang penduduk asli Krapyak, dalam
wawancara pribadi mengungkapkan bahwa Slamaran dulu adalah
hutan pantai yang sangat rapat, angker atau sulit untuk dilewati.
Hutan ini dikenal sebagai Alas Rondho (hutan janda). Disebut
demikian karena bila ada seorang laki-laki yang beristri masuk ke
dalamnya sering kali tidak kembali lagi sehingga istrinya menjadi
janda. Cerita ini menguatkan betapa angker dan berbahayanya
hutan tersebut. Begitu pula dengan orang Belanda yang masuk
daerah tersebut banyak yang tersesat atau bahkan hilang.
Tidak menutup kemungkinan untuk membuka daerah
tersebut menjadi perkebunan pemilik modal yang orang eropa
menggunakan tenaga kasar dari pribumi. Mereka khawatir jika
mengalami kesulitan, keruwetan atau kesusahan karena ditinggal
pergi kerabatnya. Dalam kamus bahasa Belanda ada kata slameur
berarti keruwetan, kesusahan atau pekerjaan kasar. Karena sering
mengalami kesulitan atau harus menggunakan tenaga kasar inilah
maka orang Belanda sering menyebutnya setiap membicarakan
wilayah ini.
Dialek kata bahasa Belanda tersebut sulit diucapkan oleh
lidah pribumi sehingga disebut dengan slamar. Karena menyebut
suatu wilayah maka ditambahkan akhiran -an menjadi Slamaran
sebagai penunjuk suatu tempat (daerah slamar). Sekarang berrada
di wilayah Rt 5 / Rw 2
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 53
Tembok atau Setembok
Kata tembok dalam bahasa sansekerta memiliki arti dinding
yang dibuat dari batu atau bata yang disusun dengan cara
direkatkan. Kesimpulannya pengertian ini sama dengan
pengertian masyarakat saat ini.
Berdasarkan penuturan Bapak Ahmad Ilyas, apabila
pengertian Krapyak adalah penduplikasian dari wilayah keraton di
pusat Negara (Yogyakarta) maka sangat mungkin di Krapyak
Pekalongan pernah ada bangunan yang menyerupai panggung
atau benteng dengan tembok yang kuat dan tebal. Akan tetapi
karena wilayahnya yang telah dekat dengan lautan maka struktur
bangunannya tidak sekuat dengan di wilayah pedalaman hingga
akhirnya bangunan ini mudah roboh sehingga tiada lagi
peninggalannya.
Mungkin pula dapat diartikan karena wilayah kampung ini
masyarakatnya sudah banyak yang membangun dengan rumah
tembok. Informasi tentang nama tembok ini telah ditunjukkan
oleh peta Hindia Belanda akhir tahun 1800 an sekarang berada di
Rt 4/ Rw I.
Ampel Gading
Istilah ampel gading ini adalah nama sejenis bambu yang
berwarna kuning dengan struktur bambu tebal. Di daerah
Semarang, Ungaran dan Demak bambu ini memiliki potensi yang
ekonomi yang besar karena rebung bambunya menjadi bahan
lumpia, makanan khas yang terkenal dari Semarang. Akan tetapi
pada umumnya ampel gading atau yang dikenal sebagai bambu
kuning ini lebih banyak menyimpan mistis sebagai sarana untuk
menolak balak, atau sebaliknya sering menjadi tempat tinggal
mahluk halus.
Di kampung Ampel Gading pada awalnya adalah sebuah
jembatan yang di dekatnya terdapat banyak rumpun bambu
kuning. Di sekelilingnya masih terdapat tanah lapang dengan
rumput yang lebat sehingga digunakan sebagai tempat
menggembala kerbau. Penduduk yang bermukim didekat tempat
tersebut pada waktu itu belum begitu banyak karena rata-rata
hanya petani atau penggembala. Karena keberadaan bambu ampel
gading itulah maka disebut sebagai jembatan ampel gading.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 54
Setelah ramai oleh pemukim mereka menyebutnya wilayah
tersebut dengan ampel gading, letak ini sebenarnya berada di
perbatasan/nama jembatan antara setembok dengan slamaran .
Jatrunan
Salah satu tokoh awal yang turut babat alas hingga muncul
Desa Krapyak adalah Mbah Jatruno. Tokoh ini sama seperti tokoh
pendiri lainnya mendapatkan wilayah tempat tinggal bersama
dengan pengiringnya. Dan sebagai penanda wilayah kepemilikan
disebut dengan nama pemiliknya dengan pemberian akhiran –an
menjadi Jatrunan yang berarti wilayah mbah Jatruno sekarang
berada di wilayah RT 5 / Rw 2.
(Kontributor : Amiroh, SE)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 55
Sugihwaras Makna dari semua orang kaya
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 56
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 57
Gambar Peta Sugihwaras
Gambar Kelurahan Sugihwaras
Sugih Waras adalah nama salah satu Kelurahan yang
berada di wilayah Kecamatan Pekalongan Timur Kota Pekalongan
sebelum adanya penggabungan tahun 2014. Kini Sugih Waras
menjadi bagian dari Kelurahan Kauman Kecamatan Pekalongan
Timur. Wilayah Sugih Waras sebelah barat dan utara dibatasi
oleh Sungai Kupang. Sebelah timur dibatasi oleh Kelurahan
Klego dan Kelurahan Poncol. Sedangkan sebelah selatan dibatasi
oleh Kelurahan Sampangan.
Sugihwaras merupakan pusat wilayah bisnis atau
perniagaan di Pekalongan. Di seberang barat wilayah ini terdapat
pasar Banjarsari yang merupakan pasar induk Pekalongan dan
pasar Pati Unus yang merupakan pusat perdagangan buah.
Banyak orang-orang tua yang bertutur bahwa di sekitar
jembatan Kali Loji di masa lalu banyak kapal-kapal yang
bersandar di tepinya. Dapat dipastikan bahwa kawasan pasar Pati
Unus ini adalah bagian dari Pelabuhan Pekalongan yang
dikuatkan dengan adanya peta yang menerangkan adanya tempat
bongkar muat barang.
Mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah
pedagang, sedikit pegawai dan buruh dari perniagaan. Wilayah ini
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 58
merupakan kawasan multi etnis yang kompleks. Ada etnis
pribumi Jawa, Cina dan Arab yang mendiaminya. Bahkan di
wilayah ini terdapat banyak warga yang merupakan asimilasi dari
ketiga etnis tersebut.
Penamaan Sugihwaras sebagai nama wilayah sudah pasti
bukan tanpa makna. Sugih dalam bahasa Jawa memiliki arti kaya
atau berkecukupan. Sedangkan Waras berarti sehat, tidak sakit
atau tidak gila. Pemberian nama Sugihwaras memiliki
pengharapan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut
menjadi orang yang sugih dan waras. Berdasarkan penelusuran
dalam peta Belanda, sampai dengan tahun 1923 belum
menyebutkan nama Sugihwaras. Yang disebut dengan jelas adalah
Banjarsih.
Bersama dengan Kelurahan Sampangan, sebagian Poncol
dan Klego, kawasan ini merupakan wilayah yang mendapat
sentuhan penataan dari Pemerintah Kolonial. Oleh karenanya
penduduk yang tinggal di kawasan tersebut adalah orang-orang
tertentu. Masyarakat di lingkungan Sugihwaras pada masa awal
terbentukanya desa ini diperkirakan memiliki status yang lebih
bila dibandingkan dengan pribumi biasa baik yang disebabkan
oleh kekayaan maupun karena politik Belanda. Oleh karenanya
kehidupan mereka terlihat lebih sejahtera dan lebih sehat. Pribumi
yang berasal dari luar dari kawasan ini pun mengungkapkan
sebagai daerah tempat wong sugih dan waras dalam dialek
Pekalongan disebut sebagai nggon wong sing sugih lan waras, wis
sugih waras pisan (tempat orang yang kaya sehat pula).
Sugih Waras memiliki beberapa kampung yang memiliki
cerita tersendiri diantaranya adalah sebagai berikut :
Banjarsih
Menyebut kata banjar maka yang terbersit dalam benak
kita adalah suku Banjar yang berada di Kalimantan. Hal ini bisa
saja terjadi karena perdagangan yang terjadi di Pekalongan tidak
hanya bersifat lokal namun juga bersifat nasional bahkan
internasional. Hal ini ini dibuktikan adanya unsur etnis Tionghwa,
Arab, Bugis, Madura, Sumbawa dan lainnya. Oleh karenanya
salah satu penyebab keberadaan orang Banjar yang tinggal di
Pekalongan adalah akibat hubungan perniagaan dan cerita sejarah
klasih panglima perang Mataram Tumengguna Bahurekso yang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 59
prajuritnya berasal dari seluruh penjuru nusantara dan salah
satunya adalah kelompok pasukan dari Banjar.
Dari pengertian bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai jajar atau deret. Dalam pengertian lain banjar
dapat diartikan sebagai kelompok, barisan atau dikumpulkan
menjadi satu dengan diikat (bouquette). Orang jawa lebih sering
menyebutnya dengan banjaran. Kata-kata ini masih sering
digunakan oleh para petani di pedalaman.
Sebutan kata banjar dimungkinkan karena pada waktu itu
wilayah Banjarsih dan Banjarsari (wilayah Kelurahan
Sampangan) ini memiliki keteraturan dalam lingkungan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat bagaimana struktur
perkampungan di wilayah ini lebih teratur dan lebih rapi bila
dibandingkan dengan kampung pribumi lainnya. Peran
pemerintah kolonial sangat terasa dalam mengatur lingkungan
disini.
Rumah orang Arab ditata bederet dengan wilayah
tertentu. Begitu pula dengan penduduk etnis Cina dan pribumi
pendatang yang melaksanakan perniagaan. Penduduk pribumi asli
justru sedikit yang bertempat di daerah ini dan penempatannya
berada ditengah dengan dikelilingi deretan penduduk timur asing.
Pengaturan penduduk berdasarkan ras ini adalah karakteristik
pemerintah Belanda yang menerapkan politik apartheid yaitu
memberikan perbedaan kasta berdasarkan ras. Penempatan ras
asing disekitar tempat ini adalah dengan pertimbangan adanya
benteng diseberang kali Pekalongan sehingga pengawasan
terhadap mereka menjadi mudah.
Disamping itu kedua ras ini mendapatkan prioritas dari
pemerintah kolonial sehingga apabila mereka melawan maka
dengan mudah diusir dari wilayah tersebut dan berhadapan
langsung dengan pribumi. Disamping itu pihak pemerintah
kolonial juga mendapatkan manfaat karena mereka dapat
digunakan sebagai “pertahanan” jika sewaktu-waktu ada
perlawanan dari pihak pribumi yang dipimpin oleh penguasa
pribumi dalam hal ini adalah Bupati Pekalongan.
Kita ketahui bersama bahwa bangsa Arab dan Cina adalah
bangsa ulet dan tekun dalam berniaga. Kehidupan mereka sebagai
pedagang mengakibatkan struktur ekonomi mereka lebih tinggi
bila dibandingkan dengan pribumi yang bermatapencaharian
sebagai petani ataupun nelayan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 60
Wilayah inilah yang dikenal sengan sebutan kampung
Banjarsih. Kata Banjarsih memiliki makna yang hampir sama
dengan Banjarsari. Imbuhan sih menunjukkan bahwa
tempat/banjar ini mendapatkan kasih atau perhatian. Artinya
banjar yang dapat menarik perhatian. Wilayah Banjarsih berada
didepan pasar Banjarsari.
Cowekan/Pecowekan
Kampung ini terletak disebelah timur dari wilayah Sugih
Waras tepatnya dibelakang kantor Eks Kelurahan Sugihwaras.
Pecowekan berasal dari kata Cowek yang mendapatkan imbuhan
pe-an. Cowek adalah alat yang dipergunakan untuk menghaluskan
bumbu ataupun membuat sambal yang berbahan batu ataupun
tanah liat yang
dibakar seperti
gerabah. Cowek
yang dibuat di
wilayah ini
sebagian besar
terbuat dari tanah
liat.
Sebenarny
a yang dijual tidak
hanya cowek tetapi
juga periuk dan
bahan gerabah lainnya. Hal ini mungkin dihubungkan dengan
permintaan para pedagang di pasar karena pada masa itu
kebutuhan memasak masih menggunakan peralatan tradisional.
Tidak menutup kemungkinan pula para nelayan yang pada waktu
itu berlabuh di pelabuhan hilir membutuhkannya tuntuk dibawa
berlayar.
Derpowangsan
Menyebut kata derpowangsan seperti pada umumnya
daerah di Jawa menunjukkan bahwa tempat tersebut merupakan
wilayah yang dikuasai seseorang yang bernama Derpowongso.
Nama Derpowongso adalah nama tua atau nama gelar yang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 61
diberikan oleh penguasa. Derpowangsan memang suatu wilayah
yang berada di sekitar makam mbah Derpowongso. Beliau
diperkirakan adalah seorang prajurit dari Pangeran Diponegoro
yang tidak kembali lagi ke daerah asal namun menetap di
Pekalongan.
Kampung Arab
Sebagaimana namanya, Kampung Arab dihuni oleh
masyarakat keturunan Arab. Kesuksesan perniagaan dan
berkembangnya syiar Islam pada masa itu membuat banyak warga
Arab yang memilih
tinggal di
Pekalongan. Mereka
dapat diterima
dengan baik oleh
penguasa baik oleh
penguasa pribumi
maupun penguasa
kolonial.
Hampir
disetiap kota besar
ataupun kota-kota di daerah pesisir memiliki kampung Arab.
Salah satu yang unik adalah mereka senantiasa tinggal disekitar
masjid besar, karena sebagian besar mereka muslim dan taat
beribadah sehingga menempatkan masjid sebagai unsur utama
dalam kehidupan mereka. Hal ini agak berbeda dengan di
Pekalongan. Kampung Arab terletak agak jauh dari masjid besar.
Nampak bahwa pemilihan lokasi ini disebabkan oleh karena
lokasi pasar sebagai tempat perniagaan cukup jauh dari masjid
besar atau memang sengaja ditempatkan disana oleh penguasa
dengan maksud tertentu.
Di sini juga terdapat masjid yang besar yang dibuat oleh
masyarakat Arab yang diberi nama masjid Wakaf. Sekilas hampir
tak nampak perbedaan dengan masjid masjid di kota-kota lainnya.
Namun terdapat keunikan dari masjid ini yaitu tidak dipergunakan
untuk sholat Jumat. Menurut informasi kebijakan tidak
menggunakan masjid ini untuk sholat Jumat adalah sebagai wujud
penghargaan kepada masjid Jami Kauman Pekalongan yang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 62
merupakan masjid resmi milik penguasa pribumi. Hal ini
menunjukkan adanya sikap yang sangat bijaksana antara
pemerintah pribumi dengan masyarakat arab walaupun mereka
memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi dibanding
pribumi.
Gambar Masjid Wakaf
Kampung Abraham
Menilik dari kata Abraham ini menunjukkan sedikit
keanehan karena di daerah yang rata-rata penduduknya muslim
tentu sangat tidak lazim mengucap kata tersebut. Abraham adalah
sebutan orang-orang Eropa untuk menyebut kata Ibrahim.
Perbedaan dialek ini menjadi menarik apabila dapat kita telusuri
asal muasalnya.
Dari beberapa informasi, kata Abraham berasal dari nama
seorang penjual roti beragama Yahudi yang berjualan di mulut
gang. Roti jualannya sangat laris hingga pembelinya dari banyak
kalangan, baik pribumi maupun orang asing. Karena berjualan di
mulut gang, maka penduduk kampung yang berada didalamnya
menjadikan nama abraham sebagai penanda (ancer-ancer (jawa)).
Lambat laun orang mengenal kampung di gang tersebut dengan
sebutan kampung Abraham.
Pedalangan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 63
Menyebut kata pedalangan dapat disimpulkan bahwa kata
dasarnya adalah dalang yang berarti orang yang menjalankan
wayang kulit atau orang yang mengatur jalannya suatu cerita
pewayangan ataupun ketoprak. Dalang dalam bahasa jawa juga
merupakan akronim (jarwo dosok (singkatan bebas)) dari kata
ngudal pawulang yang berarti memberi pengajaran. Sehingga
yang diberikan oleh adalang berupa petuah, petunjuk atau contoh-
contoh akan perilaku. Kini orang lebih sering menyamakan
dalang dengan sutradara karena sama sama mengatur laku dalam
setiap adegan drama. Pedalangan menunjukkan suatu lokasi yang
menjadi tempat tinggal atau keberadaan dalang.
Dari beberapa narasumber maupun literasi, diceritakan
bahwa di kampung ini dulu pernah ada seorang dalang yang
sangat masyhur di wilayah Pekalongan. Dalam setiap tempilannya
selalu mendapatkan banyak penonton. Diceritakan pula bahwa
dalang tersebut memiliki kemampun linuwih untuk dimintai
pertolongan.
Kepatihan
Patih merupakan julukan kepada pejabat yang menangani
administrasi dalam suatu pemerintahan pada masa kerajaan. Kini
jabatan patih dapat disejajarkan dengan wakil bupati ataupun
seorang sekretaris daerah. Sampai dengan tahun 1950 an, jabatan
sekretaris daerah masih disebut dengan patih.
Kepatihan merupakan tempat patih tersebut tinggal
ataupun tempatnya menjalankan tugas. Terakhir rumah patih atau
kepatihan terletak disebelah timur alun-alun Pekalongan. Ada
yang menyebutkan bahwa dulu rumah patih berada disebelah
utara alun-alun didekat rumah gadai. Bahkan jalan Hayam Wuruk
disebelah timur jembatan sampai dengan berbelok di sekitar jalan
Wahid Hasyim dulu bernama jalan Kepatihan.
Sebagai sebuah jabatan yang tinggi, maka masyarakat
menjadikannya sebagai ikon penanda suatu wilayah. Oleh
karenanya masyarakat yang tinggal di sekitar rumah patih disebut
dengan masyarakat kepatihan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 64
Penawangan
Penawangan dalam bahasa Jawa berasal dari kata dasar
tawang atau sering juga dikatakan dengan trawang. Kata tawang
bermakna langit, memandang pada jarak yang jauh atau
memandang dengan sungguh-sungguh. Adapun trawang lebih
difokuskan untuk mencari lubang atau perbedaan dengan bantuan
sinar atau cahaya. Perubahan fonetik dari tawang menjadi nawang
adalah untuk menyangatkan atau lebih menekankan terhadap
suatu tindakan sehingga membedakannya dari kata tawang
sebagai kata benda dengan kata tawang sebagai kata kerja.
Kampung ini terletak di dekat Kepatihan dan Pedalangan
yang kemungkinan sering terdapat tanggapan wayang. Cerita
wayang yang sarat dengan pitutur atau petuah luhur yang
menggambarkan kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik.
Untuk mendapatkan manfaat dari cerita wayang tersebut
diperlukan penawangan, atau perhatian yang sungguh-sungguh
agar dapat memahami benar nilai-nilai yang disampaikan oleh
dalang untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ngabangan
Ngabangan berasal dari kata abang dalam bahasa Jawa
yang berarti merah. Sebutan kata abang ini ada berbagai pendapat.
Ada yang mengungkapkan bahwa abangan merupakan masyarakat
Jawa yang telah memeluk agama Islam namun masih sangat
kental dalam menjalankan ritual ajaran leluhurnya yang dikenal
dengan kejawen. Banyak yang menyebut bahwa ajaran seperti ini
adalah pengikut dari Syeh Siti Jenar (Syeh Lemah Abang) yang
pada masa kerajaan Demak berselisih faham dengan Wali Songo.
Keberadaan kampung ini berada didekat diantara
masyarakat Arab yang sudah dipastikan tidak bersentuhan dengan
budaya Jawa. Dimasa lalu di beberapa daerah diluar Pekalongan
ada yang menyebut dengan Islam Putihan karena dianggap
menjalankan ajaran dengan murni tidak ada sinkretisme dengan
kejawen. Oleh karenanya masyarakat yang masih melaksanakan
ajaran kejawen disebut dengan abangan atau baru sekedar
mengikuti karena pengetahuannya masih terbatas. Untuk
memudahkan penyebutan kata sekaligus sebagai penanda tempat
maka lebih dikenal dengan Ngabangan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 65
Dombenggalan
Merunut kata dombenggalan dari bahasa aslinya memang
agak susah. Ada beberapa kata dasar dalam bahasa Jawa yang
memungkinkan munculnya kata tersebut diantaranya menggolo
(manggala), begal/benggal dan benggol. Menggolo berasal dari
kata manggolo yang berarti komandan. Disekitar jalan
Hasanuddin sekarang, di masa yang lampau ada perwira
berpangkat kapiten sehingga rumahnya disebut dengan kapitenan.
Dapat dimengerti bahwa bila dengan pangkat tersebut maka
mereka adalah menggolo atau komandan. Keberadaan para
komandan inilah yang akhirnya menjadi ungkapan “podo
menggolo” (para komandan). Sesuai kebiasaan maka dipersingkat
menjadi do menggolo. Adapun wilayahnya disebut dengan
domenggalan.
Jalan Hasanuddin adalah jalan utama menuju ke pasar.
Setiap pedagang dapat dipastikan membawa dagangannya
melewati jalan ini. Pada masa lalu pedagang yang membawa
barang untuk dijual sering bertemu dengan begal/benggal. Begal
ini tidak berkonotasi sepenuhnya negatif. Pengertian begal adalah
orang yang mengalihkan arah utama menuju ke arah yang ia
inginkan. Membegal dapat diartikan sebagai membajak contohnya
membajak pesawat terbang. Mbegal banyu (membegal air) adalah
tindakan mengalihkan air dari saluran yang sebenarnya untuk
diambil sebagian atau seluruhnya sebelum sampai ke tempat yang
semestinya dan sebagainya.
Membegal disini adalah mbegal adol artinya mengalihkan
penjualan. Seorang pedagang dicegat untuk bertransaksi sebelum
sampai di pasar. Kedua pihak dapat bertransaksi tanpa tekanan
dan tanpa merugikan salah satu pihak. Pihak pembegal berharap
atas harga yang lebih murah dari harga didalam pasar sehingga
mereka dapat menjual barang yang dibelinya didalam pasar
dengan harga yang sedikit lebih tinggi, sedangkan pedagang yang
dibeli barangnya tidak terlalu kesulitan menawarkan barang yang
akan dijualnya.
Benggol dapat diartikan sebagai jagoan atau tukang
pukul. Mengingat wilayah ini dekat dengan keplekan (daerah
tempat berjudi) maka tidak menutup kemungkinan banyak jagoan
yang berada di sekitar tempat tersebut.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 66
Ada pendapat yang mengungkapkan bahwa
Dombenggalan berasal dari kata domino sebagai sarana untuk
berjudi dan dugal (jengkel), karena masyarakat disekitarnya
merasa jengkel akibat perjudian.
Salah satu Rumah Kapitenann Jalan Hasanuddin
(Kontributor : Agung Tjahjana)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 67
SAMPANGAN Arti nama kelurahan sampangan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 68
Gambar Peta Keputran
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 69
Gambar Kelurahan Sampangan
Kelurahan Sampangan berada di wilayah Kecamatan
Pekalongan Timur Kota Pekalongan sebelum adanya
penggabungan tahun 2014. Kini Sampangan menjadi bagian dari
Kelurahan Kauman Kecamatan Pekalongan Timur. Wilayah
Sampangan sebelah barat dan utara dibatasi oleh Sungai Kupang.
Sebelah timur dibatasi oleh Sugihwaras. Sedangkan sebelah
selatan dibatasi oleh Kelurahan Kauman.
Seperti Sugihwaras wilayah ini merupakan pusat bisnis
atau perniagaan di Pekalongan. Di wilayah ini terdapat pasar
Banjarsari yang merupakan pasar induk Pekalongan.
Mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah
pedagang, pegawai dan buruh dari perniagaan. Wilayah ini
merupakan kawasan multi etnis yang kompleks. Ada etnis
pribumi Jawa, Cina dan Arab yang mendiaminya.
Tidak diketahui persis mengapa disebut dengan
Sampangan. Merujuk dari kata sampangan, dapat diuraikan
menjadi kata sampang dan akhiran an. Beberapa narasumber
mengungkapkan bahwa Sampangan berasal dari kata Sampang
yang merupakan suatu daerah di Madura. Di masa lalu masyarakat
asal Sampang banyak bermukim di sekitar tempat ini sehingga
masyarakat pribumi menyebutnya dengan “nggon wong sampang
(tempat orang Sampang)” yang dipersingkat dengan kata
Sampangan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 70
Lalu bagaimana masyarakat Sampang bisa berada di
Pekalongan? Hampir semua orang mengerti bahwa orang Madura
adalah pelaut ulung dan pedagang yang ulet. Ketekunan dan kerja
kerasnya dibuktikan dengan keberadaannya hampir di semua
tempat di Nusantara. Mereka berniaga hingga tempat-tempat yang
jauh dari kampung halamannya walaupun harus menyeberang
lautan. Sebagian dari mereka bermukim di Pekalongan mengingat
daerah ini dianggap memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan.
Selain dari perdagangan, di masa lalu Madura juga
memiliki ulama-ulama dengan tingkat keilmuan maupun
kesalihan yang tinggi. Banyak ulama-ulama besar dari daerah
Arab yang menjadi penyebar agama Islam berdatangan bahkan
berdiam di sana. Salah satu ulama besar tersebut ada yang
berpindah dari Madura ke Pekalongan dan berdiam di
Sampangan.
Berdasarkan cerita dari orang tua, di masa lalu ada
seorang tokoh penyebar agama Islam yang disebut dengan Wali
atau Waliyullah dengan sebutan Syeh Wali Sampang. Seperti
nama Sunan Kudus yang berasal dari Kudus atau Sunan
Gunungjati dari Gunungjati Cirebon, sebelum bermukim di
Pekalongan beliau lebih dulu lama bermukim di Sampang
Madura. Nama beliau adalah
Habib Abdullah Syamsuddin
keturunan dari Hadramaut
Yaman. Tidak diketahui dengan
jelas tahun berapa beliau
bermukim dan berdakwah di
Pekalongan namun namun
nama sampang itu sangat
terkenal hingga diabadikan
menjadi nama tempat dimana beliau bermukim. Makamnya
diperkirakan berada di halaman rumah seorang keturunan Cina di
Sampangan gang V. Namun ada pula yang berpendapat bahwa
makam wali tersebut berada di daerah Jaratan.
Selain kedua cerita tersebut, keberadaan orang Sampang
di Pekalongan juga dikaitkan dengan legenda utama Pekalongan
yaitu Tumenggung Baurekso yang dikenal sebagai panglima
perang Mataram yang mampu memimpin tentara dengan pasukan
dari berbagai daerah di nusantara. Salah satu brigade yang
dimiliki oleh Bahurekso adalah padukan dari Sampang Madura
Makam Wali
Sampang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 71
yang dikenal sangat gagah berani dan tidak takut mati. Sebelum
berangkat ke Batavia seluruh pasukan berkumpul di Pekalongan
untuk menyusun strategi dalam penyerangan. Pasukan dibagi
menjadi dua pasukan darat dan pasukan laut. Ketika perkumpul di
Pekalongan di daerah Samapangan itulah pasukan dari Sampang
makuwon atau bermarkas sebelum bersama-sama berangkat ke
Batavia.
Selain menjadi nama kelurahan, Sampangan juga menjadi
nama kampung yang pada masa lalu paling banyak dihuni oleh
penduduk di wilayah tersebut. Kampung Sampangan terletak
disebelah selatan Jalan Krimunan (Jl Salak) sampai dengan
kampung Medelan, tepatnya pada Sampangan Gang 7, 6, 5.
Selain kampung Sampangan ada beberapa kampung yang dulu
sering disebut sebagai berikut :
Medelan
Kampung ini terletak di bagian paling selatan disebelah
utara Jalan Kepatihan (sekarang Jalan Hayam Wuruk sebelah
timur sungai) meliputi Sampangan Gang 10, 9, 8. Medelan (huruf
e dibaca seperti ketika membaca kedelai) berasal dari kata medel
yang berarti memberi warna pada batik. Istilah medel kini sudah
jarang dipakai. Medel menjadi mata pencaharian masyarakat di
kampung tersebut pada masa lalu. Banyaknya masyarakat yang
melakukan pekerjaan medel mengakibatkan kampung tersebut
mendapatkan julukan Medelan.
Kampung Medelan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 72
Pecinan
Menilik dari kata dasarnya, Pecinan dapat diartikan
sebagai tempat bermukimnya orang-orang Cina. Kawasan ini
cukup luas karena meliputi wilayah Sampangan sampai sebagian
Sugihwaras. Dimulai dari sebelah timur dan utara sungai Kupang
sampai dengan Jalan Salak (Jalan Krimunan) dan sepanjang jalan
Sultan Agung sampai dengan Jalan Hasanudin sampai jalan
Kepatihan. Ada beberapa kampung dikawasan ini antara lain
Keplekan, Ketandan, Banjarsari dan Pintu Dalam.
Dalam Staatblad Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
disebutkan bahwa kawasan ini memang diperuntukkan bagi kaum
timur asing. Disebelah barat untuk masyarakat Cina dan sebelah
timur untuk masyarakat Arab. Rumah-rumah ditata berbanjar rapi
seperti pada umumnya kawasan pecinan diberbagai kota lainnya
Keplekan
Keplekan adalah daerah disekitar Jalan Krimunan
(sekarang Jalan Salak). Keplek dalam bahasa Jawa berarti judi,
sehingga dapat keplekan
dapat diartikan sebagai
senang berjudi atau
tempat berjudi. Dalam
konteks ini dapat kita
amati bahwa kawasan
ini berada di daerah
pecinan dimana
masyarakatnya memiliki
budaya berjudi yang
kuat. Berbagai macam media judi digunakan, salah satunya adalah
domino.
Imbas dari adanya kawasan perjudian ini adalah
banyaknya orang - orang yang berkerumun (krimum / krumun) di
sepanjang jalan tersebut. Oleh karena itu jalan tersebut diberi
nama jalan krimunan yang berarti berkerumun. Rumah-rumah
disekitar jalan disebut dengan kampung krimunan.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada setiap perjudian
sering terjadi keributan. Pada waktu itu aparat keamanan
bertindak untuk menangkap orang-orang yang membuat
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 73
keributan. Orang-orang yang dicari menyamar menjadi bagian
dari kerumunan orang yang ke pasar agar tidak mudah dikenali.
Pintu dalam/pintu dalem
Kawasan pintu dalam/dalem adalah disepanjang Jalan
Belimbing setelah melewati pertigaan dengan Jalan Jeruk.
Sebutan sebagai pintu
dalem disebabkan dialek
melayu yang bercampur
dengan dialek Belanda
menyebutnya dengan
dalem untuk
mengucapkan kata dalam.
Pada masa itu kawasan
ini adalah paling
eksklusif. Sampai kini kita dapat melihat bangunan yang ada di
situ sebagian besar adalah rumah yang bagus dan kokoh. Jalan
blimbing di depan perumahan tersebut diberi pintu selebar
dengan jalan. Pada waktu-waktu tertentu pintu dibuka dan ditutup.
Dapat kita bayangkan betapa ekslusifnya kawasan tersebut.
Pada sekitar akhir abad XVIII di Belanda dilanda wabah
penyakit yang disebabkan oleh air sungai di Amterdam yang kotor
dan tercemar. Kerajaan Belanda membuat peraturan melarang
rumah membelakangi sungai. Hal ini diikuti oleh pemerintah
kolonial. Di Pekalongan rumah-rumah di sepanjang kali Kupang
membuat pintu rumah menghadap ke sungai namun untuk akses
jalan darat tetap melalui Jalan Pintu Dalam ini.
Ketandan
Kawasan ini terletak
disebelah selatan kali
Kupang tepatnya di sekitar
gereja Khatolik Santo Petrus.
Tidak ada keterangan pasti
mengapa mendapat nama
ketandan. Namun apabila
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 74
menilik dari makna katanya, ketandan berarti mendapatkan atau
menjadi tanda atau secara luas dapat diartikan mendapatkan
fasilitas yang lebih. Keberadaan kawasan ini memang menjadi ciri
spesifik didaerah setempat yaitu adanya kelenteng, adanya gapura
pecinan, gaya bangunan yang khas cina dan yang terakhir adalah
adanya gereja tempat peribadatan orang Belanda yang beragama
Khatolik. Kawasan ini sekarang menjadi daerah cagar budaya
Kota Pekalongan
Banjarsari
Mirip dengan Banjarsih di seberangnya, Banjarsari
memiliki makna banjar yang indah, permai atau damai. Ulasan
mengenai pemberian nama banjar diungkap lebih lengkap pada
Banjarsih di wilayah kelurahan Sugihwaras.
Yang menarik dari kawasan ini adalah pemberian nama
yang sangat Jawa walaupun berada di kawasan pecinan. Hal ini
mungkin disebabkan karena kawasan ini sudah ada sebelum
penataan oleh pemerintah kolonial, atau mungkin karena adanya
rasa toleransi yang tinggi antara masyarakat pecinan dengan
masyarakat pribumi. Keberadaan pasar Banjarsari sebagai pusat
ekonomi yang didalamnya melibatkan berbagai kalangan terutama
kaum pribumi memungkinkan sebagai pendorong adanya toleransi
tersebut sehingga kawasan ini benar-benar menjadi kawasan yang
sari/damai dari berbagai etnis yang bertemu.
Kawasan ini seringkali disebut dengan kawasan Sentiling.
Pasar Banjarsari pun disebut dengan Pasar Sentiling. Beberapa
narasumber menyebutkan istilah sentiling ini muncul sekitar tahun
1920-an. Berdasarkan beberapa arsip kolonial yang menyebut
adanya kegiatan pasar malam yang dipusatkan di sekitar pasar
Banjarsari. Kegiatan ini bertepatan dengan adanya peringatan 25
tahun Wilhelmina menjadi raja tahun 1923. Dalam bahasa
Belanda pasar malam disebut dengan Teentoonsteeling. Istilah
tersebut mudah disebutkan oleh orang Belanda akan tetapi sulit
bagi pribumi sehingga berubah istilah menjadi sentiling. Istilah
sentiling ini muncul juga di beberapa daerah lain seperti Jakarta,
Semarang dan Magelang yang dulu pernah menjadi tempat pasar
malam.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 75
Pasar Sentiling/Pasar Banjarsari
Kebon Klapa
Kebon klapa terletak didaerah pinggiran sungai kupang
sebelah barat kawasan Sampangan dan Medelan. Dapat dikatakan
bahwa kawasan ini sebenarnya adalah bantaran sungai kupang.
Karena kawasan ini banyak ditumbuhi pohon kelapa maka
masyarakat menamainya dengan kebon klapa.
Jaratan/Pejaratan
Kawasan ini berada ditengah kampung Sampangan.
Sesuai dengan namanya Jaratan berasal dari kata Pejaratan berarti
tempat peristirahatan atau kuburan. Pada masa lalu di kawasan ini
merupakan kuburan masyarakat kuno. Kini kuburan ini telah
beralih menjadi kawasan pemukiman, Madrasah Salafiyah
Islamiyah Sampangan
dan kantor eks
Kelurahan Sampangan.
Tidak diketahui pasti
apakah kuburan ini
dipindahkan (tulang
belulang jasad) ke
kuburan yang resmi
atau langsung
dijadikan pemukiman.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 76
Dengan diterbitkannya Besluit van den Resident van
Pekalongan tanggal 25 Maret 1892 yang mengatur tentang
Penguburan Pribumi dan Arab di Wilayah Pekalongan, disebutkan
bahwa kuburan untuk muslim di kawasan perkotaan adalah
kuburan Beji di Panjang dan kuburan di Sapuro. Sejak saat itu
dimungkinkan banyak kuburan desa yang tidak dipergunakan lagi
dan dialih fungsikan.
Bioskop Irama
Kini masih banyak orang membicarakan tentang bioskop
Irama namun tidak banyak orang yang memahami di mana
bioskop ini berada. Bioskop ini
merupakan salah satu ikon Kota
Pekalongan di masa lalu.
Terletak di pinggir sebelah
timur Kali Kupang disebelah
utara Jalan Kepatihan. Kini
bioskop ini tiada lagi dan
menjadi rumah tinggal pribadi.
Bioskop Gloria
Bioskop ini terletak di sekitar jembatan gambaran
tepatnya didepan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Distribusi
Pekalongan. Entah mengapa gedung ini tidak pernah memberikan
manfaat yang sempurna. Bioskop pada masa lalu sering disebut
dengan gambar sorot. Keterangan ini pula salah satu yang
mengakibatkan jembatan sungai Kupang di dekatnya disebut
dengan jembatan gambaran. Bioskop ini hanya beroperasi
sebentar dan kemudian tutup lalu dipergunakan sebagai sekolah
Cina. Kini gedung ini telah rusak parah dan pemanfaatannya juga
berkesan semrawut.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 77
ANIEM
Aniem adalah sebuah singkatan dari Algemene
Netherlands Indische Elektriciteit Maskapij yaitu perusahaan
listrik Hindia Belanda. Bangunan Aniem kini telah berubah
menjadi PLN. Dulu setiap kali waktu berbuka, aniem turut serta
memberikan tanda dengan membunyikan sirine yang suaranya
dapat didengar hingga hamper seluruh kota.
Yayasan Pendidikan Satya Wiguna
Sebagai daerah yang multi etnis, setiap etnis memiliki
peran tersendiri dalam keikutsertaannya membangun Pekalongan.
Pada tahun 1924 etnis Tiong Hwa mendirikan yayasan pendidikan
Satya Wiguna. Yayasan ini memiliki bangunan sekolah sendiri
yang masih eksis sampai sekarang.
Klenteng Po An Tiang
Klenteng ini adalah satu-satunya di Pekalongan.
Merupakan salah satu bangunan tua yang menjadi cagar budaya.
Klenteng ini walaupun menjadi tempat beribadah Tri dharma
namun dalam pengelolaannya tidak terbatas pada agama yang
hidup dan berkembang di lingkungan Tiong Hwa. Pengurus
menyampaikan bahwa pernah ada beberapa pengurusnya adalah
muslim. Ada cerita bahwa air dari sumur klenteng ini bertuah
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 78
sehingga banyak orang dari berbagai etnis dan agama yang
memanfaatkannya untuk pengobatan.
Demikianlah keadaan Sampangan, walaupun kecil
merupakan daerah yang kompleks dengan berbagai kelebihan
dalam membangun kebersamaan. Kerukunan dan kebersamaan
masyarakatnya dapat dijaga dan diteruskan hingga kini.
Gambar Klenteng Po An Tiang
(Kontributor : Drs. Abdul Fatah bin Yasran, Agung Tjahjana)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 79
Kauman Lingkungan Kaum Sekitar Masjid
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 80
Gambar Peta Kauman
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 81
Gambar Kelurahan Kauman
Kelurahan Kauman berada di wilayah Kecamatan
Pekalongan Timur Kota Pekalongan sebelum adanya
penggabungan tahun 2014. Kini Kelurahan Kauman menjadi lebih
luas karena merupakan gabungan dengan Kelurahan Sugihwaras,
Sampangan dan Keputran. Wilayah Kauman sebelah barat
dibatasi oleh Sungai Kupang, sebelah utara dibatasi oleh Jalan
Hayam Wuruk dan Kelurahan Sampangan. Sebelah timur dan
Selatan dibatasi oleh Kelurahan Keputran.
Seperti di daerah lainnya, Kauman merupakan daerah
pusat muslim atau kawasan beragama Islam yang taat. Kawasan
Kauman biasanya memiliki point of interest berupa sebuah masjid
besar yang menjadi pusat aktivitas dakwah dan keagamaan
lainnya.
Kauman memiliki kata dasar kaum adalah kata-kata
umum yang diserap dari bahasa Arab “Qoum” yang berarti
kelompok, golongan atau umat. Dialek Jawa mengubahnya
menjadi kaum. Masyarakat Jawa memberikan julukan kaum
kepada orang-orang yang memiliki ilmu agama Islam atau orang-
orang yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Orang kaum
mendapatkan tempat yang sedikit istimewa dibanding dengan
masyarakat biasa. Dari sisi religi mereka memiliki kewajiban
untuk menegakkan dan menyebarkan agama. Disisi lain
masyarakat disekitarnya menganggap mereka merupakan orang-
orang terpilih yang memiliki kelebihan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 82
Di lingkungan masyarakat umum, kawasan kaum
terbentuk sebagai karena adanya seorang ulama atau tokoh
masyarakat yang menuntut ilmu agama Islam kemudian
mengajarkannya kepada lingkungannya. Dari hal inilah maka ada
istilah Kyai bagi sang guru dan santri bagi murid-muridnya.
Biasanya mereka mendirikan masjid sebagai tempat sholat
berjamaah sekaligus tempat untuk menyiarkan agama
Salah satu ciri spesifik pusat permerintahan Jawa adalah
adanya filosofi Sedulur papat lima pancer dimana terdapat unsur
berupa bangunan pusat pemerintahan (kraton/kabupaten yang
ditandai dengan siti hinggil untuk kraton dan pendopo untuk
kabupaten) dan kantor administrasi yang disebut dengan
kepatihan, pusat peribadatan berupa masjid, pusat perekonomian
berupa pasar dan lembaga peradilan yang dilengkapi dengan
penjara. Sebagai pusatnya adalah sebuah lapangan yang luas yang
disebut dengan alun-alun.
Filosofi ini dimaksudkan untuk mengingatkan kepada
penguasa untuk senantiasa menjadi pemimpin yang bertakwa, adil
dalam menerapkan hukum serta berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya. Sebagai pemimpin maka ada istilah
bagi seorang raja adalah Kalifatollah Sayidin Panotogomo, yang
berarti wakil Tuhan pemimpin dan penata/penegak agama. Oleh
karena itulah masjid menjadi unsur yang sangat penting dalam
lingkaran kehidupan pemerintahan.
Masyarakat berkewajiban untuk melaksanakan agama,
bertindak sesuai dengan aturan hukum baik hukum agama
maupun pemerintah dengan konsekuensi apabila mereka
melanggar maka ada sanksi berupa hukuman penjara, serta
masyarakat memiliki kesempatan berusaha dibidang
perekonomian dengan melaksanakan perniagaan di pasar. Pada
intinya terdapat keseimbangan antara hubungan manusia dengan
Tuhan dan manusia dengan manusia, antara rakyat dengan
pemerintah.
Kewajiban menegakkan agama inilah maka penguasa
menempatkan aparatur penata agama seperti imam, khotib,
penghulu dan lainnya disekitar masjid. Mengingat Islam di Jawa
menganut mahzab Syafii dimana untuk sholat Jumat hendaknya
diikuti oleh 40 orang jamaah, maka setiap masjid yang dibangun
sedikitnya harus diikuti oleh 40 orang muslimin. Orang-orang
inilah yang disebut dengan kaum. Adapun wilayah tersebut
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 83
akhirnya disebut dengan kauman. Di masa lalu di zaman kerajaan,
pimpinan kaum disebut dengan lurah kaum karena mereka
merupakan aparatur negara. Sedangkan untuk pemimimpin
spiritualnya disebut dengan ulama negara.
Kelurahan Kauman di Pekalongan diperkirakan ada
seiring dengan dibangunnya masjid Jami Pekalongan antara tahun
1852. Masjid ini dibangun oleh arsitek Jawa yang sekaligus
Bupati Pekalongan bernama Raden Tumenggung Wiryo
Adinegoro yang memerintah antara tahun 1850 s/d 1878. Beliau
merancang bangunan masjid tanpa meninggalkan bentuk asli dari
masjid kuno Sapuro. Pembangunan ini merupakan pertimbangan
untuk mendekatkan antara masjid dan kaum dengan kabupaten
karena sebelumnya masjid kuno Sapuro berada di sebelah barat
sungai sehingga setiap kali sholat berjamaah harus menyeberangi
sungai lebih dahulu.
Masjid Jami’ Kauman
Kelurahan Kauman memiliki beberapa dukuh atau
kampung antara lain sebagai berikut :
Kampung Kajen
Kampung ini sekarang menjadi RW 6 kelurahan kauman.
Merunut dari makna katanya Kajen berarti terhormat atau
dihormati. Kajen berasal dari kata aji yang berarti
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 84
berharga/bernilai. Apabila didasari dari kata ini dapatlah
dikatakan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah ini pada
masa lalu ada orang-orang yang dihormati atau dianggap lebih
tinggi statusnya dibanding sekitarnya. Bisa para penghulu, imam,
kyai atau pemuka agama lainnya.
Kajen bisa pula berasal dari kata kaji yang berarti haji.
Runtutan katanya adalah ka-haji-an dan orang Jawa
menjingkatnya dengan kajen Bila mengambil dari kata ini dapat
diartikan bahwa di kampung ini pernah tinggal seorang atau
beberapa orang yang telah menunaikan ibadah haji. Pada masa itu
begitu sulit untuk menjadi seorang haji maka penghormatan
terhadap seorang haji sangatlah besar. Adanya haji inilah akhirnya
menjadi penunjuk wilayah yang disebut dengan kajen yang berarti
tempat dimana ada haji.
Kampung Godang/Gudang
Lokasi yang berdekatan dengan pasar dan pemerintahan
menjadikan daerah Kauman sebagai kawasan ekslusif pribumi
pada masa itu. Selain sebagai daerah alim ulama, Kauman juga
merupakan tempat hunian bagi para pengusaha pribumi. Mata
pencaharian mereka rata-rata adalah pengusaha atau juragan kain
dan batik, mengingat pada masa tersebut sandang adalah
kebutuhan pokok yang untuk memenuhinya harus ada produksi
dengan tenaga khusus dibidangnya. Dibutuhkan modal besar
untuk setiap prosesnya.
Keberhasilan pengusaha kain di Kauman menjadikan
perekonomian masyarakatnya berjalan dengan baik sehingga
secara rata-rata diatas kaum pribumi yang menjadi petani.
Pengusaha yang berhasil menginspirasi masyarakat lainnya untuk
turut mengembangkan perniagaan mereka sehingga perusahaan
kain dan batik menjadi makin besar. Pada masa tersebut banyak
pengusaha yang menimbun bahan dan hasil produksinya di
gudang.
Ada salah satu pengusaha yang berhasil dan sangat kaya.
Orang kaya tersebut memiliki gudang yang besar yang digunakan
untuk menyimpan kapuk (kapas), benang dan kain. Gudang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 85
tersebut merupakan bangunan paling besar di gang tempatnya
berada. Akhirnya masyarakat menyebut gang tersebut dengan
gang gudang atau kampung Gudang. Dialek masyarakat setempat
menyebutnya dengan Nggodang.
Disekitar gudang tersebut pada masa lalu banyak tumbuh
pohon sawo. Akibatnya banyak masyarakat yang menyebutnya
dengan Nggodang sawo. Kampung ini sekarang menjadi RT 3
RW 6 kelurahan Kauman.
Gang/kampung Madura
Kampung ini terletak diujung barat dan utara Kelurahan
Kauman lama. Berada di sebelah selatan Jembatan Hayam Wuruk
yang sekarang menjadi RT 1 dan 2 Cerita tentang gang/kampung
Madura ini tentu ada kaitannya dengan keberadaan orang Madura
di wilayah tersebut. Tidak banyak informasi yang menyampaikan
tentang kapan asal muasal komunitas tersebut. Beberapa
narasumber menyebutkan bahwa komunitas tersebut telah ada
sejak dulu. Apabila merunut dari pendapat ini maka
keberadaannya dimungkinkan sudah ada sejak zaman Bahurekso
atau bersamaan dengan Sampangan, Bugisan dan lainnya.
Adapula pendapat yang menyampaikan bahwa masyarakat
Madura tersebut ada karena perniagaan terutama sate. Semua
orang sudah memahami bahwa sate ayam adalah makanan khas
Madura yang disukai oleh semua orang. Penjualan sate ada
hampir di semua tempat di nusantara tak terkecuali di Pekalongan.
Pada masa lalu sekitar awal abad ke XX banyak penjual sate yang
datng ke Pekalongan. Mereka menjajakannya dengan cara dipikul.
Mereka berkeliling ke seluruh penjuru kota. Di kampung inilah
hampir seluruh penjual sate di Pekalongan pada masa itu tinggal.
Yang pasti keberadaan komunitas orang Madura inilah yang
membuat kampung ini disebut dengan kampung Madura.
Cerita Nyah Getuk
Getuk adalah makanan khas Jawa yang terbuat dari singkong.
Pada masa lalu makanan ini menjadi kesukaan hampir tiap orang
pribumi. Di jalan Kepatihan (kini di sebelah RM Wong Solo) ada
seorang pedagang getuk yang sangat terkenal dengan pembelinya
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 86
yang cukup banyak. Bahkan diceritakan bahwa banyak orang dari
jauh yang meluangkan waktu untuk membeli secara langsung ke
warung tersebut.
Satu hal yang menjadi keunikan adalah getuk tersebut dibuat
oleh orang Tiong Hwa. Tidak diketahui pasti siapa nama aslinya
akan tetapi sebagaimana lazimnya orang memanggil perempuan
Cina atau Eropa yang sudah berumur dengan sebutan nyonya atau
yang dipersingkat dengan nyah. Nah karena berjualan getuk maka
dipanggil dengan sebutan “Nyah Getuk”. Bahkan gang I Kauman
tersebut dikenal dengan sebutan gang Nyah Getuk.
Kelurahan Kauman kini adalah gabungan dari empat
kelurahan, akan tetapi perlu diketahui bahwa dari luas wilayah,
Kelurahan Kauman lama adalah yang memiliki luas wilayah
terkecil. Penggunaan nama kauman merupakan salah satu kearifan
yang mengindikasikan adanya harapan sekaligus untuk
menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah dengan
pendu.
(Kontributor : Agung Tjahjana)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 87
KEPUTRAN Di balik nama kelurahan keputran
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 88
Gambar Peta Keputran
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 89
Keputran adalah salah satu Kelurahan yang berada di
wilayah Kecamatan Pekalongan Timur Kota Pekalongan sebelum
adanya penggabungan tahun 2014 dan menjadi bagian dari
Kelurahan Kauman Kecamatan Pekalongan Timur. Wilayah
Keputran sebelah barat dan utara dibatasi oleh Sungai Kupang dan
Kelurahan Kauman. Sebelah timur dibatasi oleh Poncol dan
Kelurahan Noyontaan, sebelah selatan dibatasi oleh Kelurahan
Landungsari. Sedangkan sebelah Utara dibatasi oleh Kelurahan
Sugihwaras.
Pada masa lalu kawasan Keputran merupakan pusat dari
Pemerintahan Kabupaten Pekalongan, karena di sinilah tempat
bupati Pekalongan tinggal dan melaksanakan tugasnya. Mata
pencaharian penduduknya sebagian besar adalah pedagang,
pegawai dan buruh dari perniagaan.
Secara etimologi, Keputran berasal dari kata putra yang
mendapatkan awalan ke dan akhiran an. Putra dalam bahasa Jawa
berarti anak, terutama anak laki-laki karena untuk anak
perempuan disebut dengan putri. Keberadaan imbuhan ke-an
menerangkan bahwa keputran merupakan tempat. Sehingga dapat
diartikan sebagai tempat dimana putra atau anak laki-laki tinggal
dan bermain. Pemberian nama Keputran ini sebenarnya adalah
untuk lingkungan keraton.
Berdasarkan dari pakem budaya keraton Jawa baik
Surakarta maupun Yogyakarta, Keputran terletak disebelah kanan
rumah tinggal raja. Para pangeran baik putra dari permaisuri
maupun selir berkumpul dan bermain di tempat ini. Sedangkan
bagi para anak perempuan raja dan saudaranya berada di sebelah
kiri yang disebut dengan keputren. Adanya pakem inilah akhirnya
para bupati andahan atau bawahan raja yang biasanya juga berasal
dari keluarga istana membawanya ke tempat dimana mereka
berkuasa.
Begitu pula dengan di Pekalongan Keputran berada
disebelah kanan dari rumah tinggal bupati. Namun secara
administrasi meluas hingga disebelah selatan kabupaten.
Keberadaannya yang dekat dengan Kabupaten menjadikannya
sebagai tempat yang eksklusif. Pada masa lalu sentono atau
keluarga bupati, pejabat-pejabat kabupaten dan para nayaka praja
(pegawai administrasi) dan abdi dalem tinggal di wilayah ini.
Lingkungannya teratur dan terdapat rumah-rumah besar
kuno yang merupakan sisa dari masa lalu. Dapat dikatakan kini
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 90
tidak lagi seteratur dulu karena rumah-rumah tersebut telah
beralih tangan dari pemilik aslinya. Ada yang telah diwariskan
kepada anak keturunannya kemudian dijual kepada pendatang,
atau dibongkar dan dibagi-bagi kepada ahli waris lainnya.
Kemudian mereka membangun kembali rumah sesuai dengan
kebutuhan mereka. Pertambahan penduduk inilah yang membuat
lingkungan Keputran tidak serapi yang dulu.
Merujuk dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa
keberadaan nama Keputran adalah seiring dengan adanya
Kabupaten Pekalongan. Namun resmi sebagai sebuah desa dengan
administrasi tersendiri belum dapat diungkap secara pasti.
Kelurahan Keputran memiliki beberapa kampung antara lain
Kampung Kwijan, Kanjengan, Magersaren, Grogolan, Ledok dan
Keputran.
Kampung Kwijan
Menyebut kata Kwijan, sebagian besar informasi
menyampaikan bahwa kata ini berasal dari nama bupati
Pekalongan pertama yang bernama Tan Kwi Djan. Beliau adalah
seorang pendekar Cina Muslim yang memiliki pencaharian
sebagai pedagang dan mendapatkan penghargaan dari Mataram
karena jasanya. Tan Kwi Djan dianggap sangat berjasa karena
dialah orang yang mampu menghancurkan kelompok-kelompok
perampok di wilayah pesisiran.
Jasa yang besar lainnya adalah kemampuannya
menjalankan tugas dari Raja Mataram untuk membangunkan
Bahurekso, seorang pemuda sakti yang sedang bertapa di hutan
gambiran di wilayah Pekalongan. Bahurekso dibangunkan karena
sangat dibutuhkan Mataram untuk menjadi panglima dalam
pengusiran VOC di Batavia.
Cerita antara Tan Kwi Djan dengan Bahurekso ini telah
tumbuh dan mengakar di masyarakat Pekalongan. Namun
nampaknya kita masih membutuhkan banyak kajian untuk
mendapatkan kebenarannya. Salah satu hal yang menjadi
perdebatan adalah adanya kurun waktu yang berbeda antara masa
hidup dan kiprah dari Bahurekso dengan Adipati Tan Kwi Djan.
Setelah menyelesaikan tugasnya tersebut Tan Kwi Djan
mendapatkan izin untuk berdagang di wilayah pesisiran bahkan
diangkat menjadi Adipati Pekalongan dengan gelar Raden
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 91
Tumenggung Djayadiningrat I. Walaupun menjadi bupati
penguasa wilayah, Tan Kwi Djan tidak menggantungkan diri pada
jabatannya dan berambisi untuk menyerahkan kepada
keturunannya. Dapat dikatakan bahwa Tan Kwi Djan adalah
enterpreneur yang kemudian menjadi bupati sehingga
kekayaannya berasal dari usahanya berniaga bukan dari gajinya
sebagai bupati. Dirinya menyadari bahwa bukan merupakan
sentana raja sehingga perlu untuk mempersiapkan masa depannya.
Oleh karena itu dia membeli tanah yang luas disebelah timur
kadipaten yang dipergunakan untuk masa tuanya sekaligus untuk
diwariskan kepada keturunannya. Tanah luas yang menjadi tempat
tinggal pribadi Tan Kwi Djan tersebut lambat laun menjadi
perkampungan dan dikenal dengan nama Kampung Kwijan. Kini
kampung ini menjadi RT 5 RW 1.
Kanjengan
Secara etimologi kanjengan berasal dari kata kanjeng atau
yang lebih tepat lagi kang jeng yang berarti yang mulia atau yang
terhormat. Merujuk dari kata dasar tersebut dapat dimaknai bahwa
yang disebut dengan kanjeng adalah orang yang paling
dimuliakan. Mendapatkan akhiran an menjadikannya bermakna
tempat sehingga kanjengan dapat diartikan sebagai tempat dimana
sang kanjeng berada. Status tertinggi pada lingkup kabupaten
tentu saja adalah bupati, dengan demikian kanjengan adalah
tempat dimana bupati tinggal.
Kanjengan ini terletak didalam kawasan pagar kabupaten
Pekalongan. Kini kawasan ini menjadi aset kabupaten
Pekalongan.
Magersaren
Kampung Magersaren ini terletak di dalam lingkungan
kadipaten, sehingga masyarakat umum diluar lingkungan
kadipaten jarang mendengarnya. Hanya masyarakat di dekat
lingkungan kadipaten saja yang mengetahui karena masyarakat
umum lebih mengenal kanjengan dari pada istilah ini.
Magersaren berasal dari kata magersari, sedangkan kata
aslinya adalah pager dan sari yang berarti pagar yang indah.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia magersari berarti
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 92
orang-orang yang tinggal diatas tanah orang lain atau orang-orang
yang tinggal diatas tanah Negara. Pada waktu dulu penguasa
wilayah diberikan tanah yang luas untuk tempat tinggal. Sudah
pasti sebagai penguasa mereka membutuhkan orang-orang untuk
membantu kehidupannya. Orang-orang ini diberikan izin
menggunakan tanah untuk dibangun rumah dan dijadikan tempat
tinggal. Lingkungan ini seringkali dikelilingi dan dibatasi oleh
benteng atau tembok yang tinggi. Orang-orang yang tinggal di
kawasan inilah yang diistilahkan dengan magersari. Biasanya
mereka ini adalah hamba sahaya atau abdi yang setia di
lingkungan raja ataupun adipati. Sehingga magersaren merupakan
kawasan tempat dimana abdi dalem tersebut tinggal.
Kawasan ini berada di dalam lingkungan kadipaten
sehingga masyarakat umum kurang mengenalnya. Masyarakat
umum lebih mengenal kanjengan karena memang tempat
keberadaan adipati sekaligus merupakan pusat dari pemerintahan.
Grogolan
Grogolan adalah wilayah paling selatan dari Kelurahan
Keputran. Tidak banyak informasi yang didapat tentang asal usul
kata grogolan. Beberapa narasumber menyebutkan bahwa
Grogolan berasal dari kata grogol yang berarti tidak rata atau tidak
halus. Kemungkinan munculnya istilah Grogolan ini adalah jalan
Kartini sekarang atau jalan Setiabudi pada waktu itu jalannya
masih pating grogol, banyak lubang, makadam atau tidak rata
sehinga tidak nyaman bila dilalui.
Wilayah Grogolan ini dilewati jalan kuno yang memiliki
perempatan utama jalan dari arah Semarang ke barat ke arah
Ponolawen, ke utara arah kabupaten dan pasar serta ke arah
selatan yang menuju ke wilayah Kuripan dan Bandar Sedayu di
Batang. Jalan ini merupakan jalur perekonomian sehingga sangat
ramai pada waktu itu. Kondisi tempat yang tak rata inilah yang
membuat orang menjadikannya sebagai penanda dengan nama
grogolan yang berarti wilayah yang jalannya pating grogol.
Kampung Ledok
Kampung ini merupakan kawasan paling barat dari
wilayah Keputran yang meliputi RT 3 s/d RT 6 RW 3. Dari
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 93
berbagai narasumber hampir semuanya memberikan informasi
yang sama. Ledok dalam bahasa Jawa adalah tanah yang landai
atau berada lebih rendah dari pada tanah disekitarnya.
Kemungkinan penyebabnya adalah tanah ini merupakan bantaran
sungai Kupang sehingga karena pasang surut maka kondisinya
tidak stabil dan lebih rendah dari tanah disekelilingnya.
Mengingat kebutuhan akan tanah untuk tempat tinggal, maka
masyarakat memberanikan diri untuk tinggal di tempat ini.
Mereka akhirnya mendirikan kampung yang dikenal dengan
sebutan kampung Ledok.
Keputran juga memiliki kawasan pecinan yaitu di sekitar
Grogolan. Tidak terlalu banyak memang namun sangat mewarnai
keragaman penduduk mengingat kawasan ini dulu diperuntukkan
bagi bumiputra. Dari dulu hingga kini Keputran dikenal sebagai
kawasan pendidikan selain Panjang, hal ini disebabkan adanya
sekolah Hollands inlandsh school ( SD untuk bumi putra yang
memiliki keturunan bangsawan atau orang kaya) dan 2e inlandsh
school (sekolah setingkat SMP untuk bumi putra). Kini terkenal
karena adanya sekolah favorit yaitu SMAN 1 dan SMPN 6 serta
Dinas Pendidikan Kota Pekalongan.
(Kontributor : Agung Tjahjana)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 94
Poncol Cerita dar tanah yang menjorok
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 95
Peta Kelurahan Poncol
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 96
Dari hutan belantara yang terkenal angker, Desa Poncol
menjelma menjadi suatu kawasan strategis di Kota Pekalongan
dengan luas daerah mencapai 62,2 hektar dan total penduduk
sebanyak 12.900 jiwa pada tahun 2014.
Desa Poncol sudah dikenal sejak abad ke-16 pada masa
Kerajaan Mataram. Ketika itu, para pasukan di bawah pimpinan
Senopati Bahureksa tengah gencar mengejar para perompak
hingga memasuki hutan belantara. Ketika para perompak berhasil
terkejar, terjadilah pertempuran sengit antar kedua belah pihak.
Dalam peristiwa itu, beberapa prajurit gugur di atas tanah moncol.
Tanah moncol yaitu semacam tanah yang menjulang lebih tinggi
dari dataran lain. Peristiwa gugurnya para prajurit kontan
membuat Senopati Bahureksa semakin murka, beliau lantas
memerintahkan pasukan yang tersisa untuk menangkap para
perompak yang berhasil melarikan diri. Senopati Bahureksa lantas
berseru, “Kelak, jika keadaan sudah aman tentram, tanah moncol
ini akan menjadi Desa Poncol.”
Gambar Kelurahan Poncol
Saat sinar sang fajar mulai redup dan menghilang di ufuk
barat, Senopati Bahureksa dan pasukannya memutuskan untuk
beristirahat sejenak, menghentikan pengejaran. Saat tengah
melepas lelah, Senopati Bahureksa bertemu dengan seorang kakek
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 97
yang masih genen atau menghangatkan tubuh dengan api unggun
sambil makan jagung bakar. Senopati Bahureksa lalu bertanya
pada kakek, “Apa nama dukuh ini?” Kakek itu menjawab bahwa
ia tidak tahu, karena di sekitar tanah itu masih tertutupi hutan
lebat. Akhirnya Senopati Bahureksa kembali berujar, “Kelak,
apabila tanah ini menjadi dukuh, berilah nama dukuh Sorogenen.”
Konon, pada waktu itu Poncol dibagi menjadi beberapa
dukuh, antara lain : Dukuh Sorogenen, Poncol, Kuroijo,
Pesantren, Kolekturan dan Bonjongan. Namun, seiring
berjalannya waktu, dukuh-dukuh itu lalu digabungkan menjadi
satu dengan nama Desa Poncol. Lurah Desa Poncol yang pertama
adalah Tirtoatmojo. Di sekeliling area tanah moncol akhirnya
dikenal sebagai daerah angker dan membuat warga sekitar enggan
untuk datang ke area itu. Namun, setelah puluhan tahun berlalu,
area tanah moncol tersebut berubah menjadi pemukiman padat
penduduk yang dikenal dengan nama Gang Gumuk. Di tempat itu
juga terdapat pohon jati tua yang tidak pernah mati, sementara di
bawah pohonnya banyak batu nisan berserakan. Untuk Sorogenen
sendiri, dulunya pernah dijadikan sebagai makam orang-orang
China sehingga warga sekitar sering menyebutnya dengan Bong.
Gang Gumuk
Berbagai peristiwa tak terlupakan pernah menorehkan
sejarah tersendiri bagi Desa Poncol, diantaranya seperti kejadian
kebakaran besar yang nyaris menghanguskan separuh desa pada
siang hari tanggal 27 September 1961. Dalam waktu beberapa
jam, sekitar 500 rumah warga ludes dilahap si jago merah. Para
korban kebakaran akhirnya diungsikan ke dekat kompleks
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 98
perkantoran Kecamatan Pekalongan Timur. Mereka mendapat
bantuan berupa rumah sederhana dari pemerintah setempat.
Tempat pengungsian tersebut diberi nama Poncol Baru.
Sementara itu, kehidupan masyarakat Poncol di tengah
hingar bingar modernisasi seperti sekarang ini sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan masyarakat Pekalongan pada umumnya.
Kesederhanaan, keramahan dan semangat gotong royong masih
terasa kental mewarnai setiap sendi kehidupan masyarakat Poncol.
Beragam tradisi adat Jawa juga masih terjaga
kelestariannya hingga sekarang. Tradisi tersebut dimulai dari
tradisi mempersiapkan kelahiran sang bayi yang disebut dengan
tradisi tingkeban atau mitoni, di mana tradisi ini dilakukan saat
seorang wanita mencapai usia kehamilan tujuh bulan, dalam ritual
ini biasanya juga dibagikan bubur lolos dan rujak. Bubur lolos
bermakna agar proses kelahiran diberi kelancaran, sedangkan
untuk rujak, masyarakat percaya bahwa apabila rujaknya terasa
pedas maka yang akan terlahir adalah bayi laki-laki, sebaliknya
kalau rujak tidak terasa pedas, yang akan terlahir adalah bayi
perempuan. Setelah itu, ada pula tradisi puputan yang dilakukan
ketika tali pusar sang bayi telah lepas atau puput. Orang tua sang
bayi juga sekalian memberi nama untuk bayi tercinta dalam tradisi
ini. Kemudian, setelah bayi berusia sekitar 7 bulan atau bayi
pertama kali menginjak tanah diadakan tradisi lagi bernama
tedhak siten. Dalam tradisi tersebut juga dibagikan makanan
srintil, agar sang bayi jalannya bisa semrintil atau lincah.
Kemudian, tradisi yang paling digemari oleh anak-anak
Poncol adalah tradisi udik-udikan. Tradisi ini merupakan tradisi
membagi-bagikan uang receh dengan cara dilempar, yang
kemudian akan diperebutkan oleh para warga dari anak-anak dari
orang tua. Semua bergembira ria menyambut acara semacam ini.
Masyarakat Poncol senang sekali mengadakan udik-udikan
sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta. Tradisi ini
biasa dilakukan pada acara sunatan, rabu pungkasan, menyambut
kedatangan sang bayi dari klinik bersalin atau rumah sakit serta
pada acara puputan.
Tradisi lain yang masih bisa dijumpai di kelurahan Poncol
adalah tradisi dalam proses pembangunan rumah atau biasa
disebut dengan munggah molo. Munggah molo berarti menaikkan
molo atau memasang bagian rumah yang paling tinggi. Tradisi ini
dilakukan dengan memasang bendera merah putih ukuran sedang
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 99
di bagian tengah blandar. Lalu, ditambahkan juga dengan
berbagai sesajen seperti sesisir pisang ambon, seonggok padi yang
telah menguning dan seikat tebu, semua itu diikat dan
digantungkan pada blandar. Sebelum proses munggah molo
dilaksanakan, digelar acara selamatan terlebih dahulu dengan
mengundang tetangga sekitar rumah. Tradisi semacam ini
bertujuan agar rumah serta para penghuninya senantiasa diberi
perlindungan dari sang kuasa.
Sedangkan, pada setiap malam 17 Agustus dalam rangka
memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, kampung-
kampung di Kelurahan Poncol akan semarak dengan tradisi
tirakatan yang digelar di jalanan dengan dihadiri seluruh warga
kampung. Pada awal acara, terdengar kumandang merdu lagu
Indonesia Raya. Setelah itu, dilanjutkan dengan pidato dari ketua
RT setempat, memutar berbagai video perjuangan bangsa
Indonesia melawan para penjajah dan diakhiri dengan makan
bersama.
Berbagai tradisi yang masih terjaga eksistensinya di
tengah masyarakat Poncol memiliki filosofi tersendiri
menyangkut tahapan kehidupan manusia. Sebagian besar
mengajarkan tentang rasa syukur kepada sang pencipta dan
pentingnya mempertahankan kerukunan antar warga agar tidak
tergerus oleh terjangan gelombang teknologi dan sikap
individualisme.
(Kontributor : Husna Karimah, Moh. Riza Rahmat Syah)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 100
Dekoro Kisah antara Madukoro dan Mandek Perkoro
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 101
Gambar Peta Dekoro
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 102
Gambar Peta Kelurahan Dekoro
Kelurahan Dekoro terletak di Kecamatan Pekalongan
Timur, terdiri dari dua dukuh yaitu Dukuh Dekoro dan Dukuh
Setono, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan
Kelurahan Degayu, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan
Gamer, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Karang
Malang dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Poncol
Baru yang dibatasi dengan Kali Banger. Sebelumnya wilayah
Kelurahan Dekoro yang meliputi Dekoro dan Setono masih
merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Batang, kemudian
sekitar tahun 1991 Kelurahan Dekoro masuk dalam wilayah Kota
Pekalongan tepatnya masuk dalam Kecamatan Pekalongan Timur.
Sejarah atau history Kelurahan Dekoro tidak bisa lepas
dari dua kelurahan yaitu Kelurahan Karang Malang dan
Kelurahan Dekoro serta Dukuh Setono itu sendiri. Kelurahan
Dekoro merupakan kelurahan tertua di Kota Pekalongan bahkan
jauh sebelum adanya babat Kota Pekalongan atau bisa dikatakan
Dekoro lebih tua dari Pekalongan.
Babat Kota Pekalongan bermula ketika sebelum Mataram
menyerang VOC di Batavia pada sekitar tahun 1610 an. Dalam
rangka menyerang VOC di Batavia tersebut armada laut Mataram
membutuhkan dukungan logistik dipesisir utara jawa. Sehingga
Ki Ageng Cempaluk mendapat tugas dari kesultanan Mataram
untuk membuka kawasan dipesisir utara Jawa tersebut. Kemudian
Ki Ageng Cempaluk memerintahkan anaknya yaitu Joko Bahu
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 103
atau yang lebih dikenal dengan Ki Bahu Rekso untuk membuka
kawasan hutan gambiran di pesisir utara Jawa yang sekarang
menjadi wilayah Kota Pekalongan.
Sebelum Mataram menyerang VOC di Batavia tersebut atau
sebelum adanya babat Kota Pekalongan, Dekoro sudah
mempunyai wilayah lebih dulu yang di kuasai oleh Ki Madukoro.
Ki Madukoro adalah seorang penguasa yang sakti dan mempunyai
ilmu beladiri hebat. Namun kesaktiannya sering digunakan untuk
hal kejahatan seperti penjarahan dan perampasan. Sedangkan
Karang Malang dikuasai oleh Ki Ageng Karang Malang. Ki
Ageng Karang Malang juga seorang penguasa yang sakti dan
kejam serta senang menjarah harta benda warga seperti layaknya
Ki Madukoro.
Suatu ketika terjadi perselisihan antara Ki Madukoro dan Ki
Ageng Karang Malang dalam merebutkan luas dan batas wilayah
kekuasaan masing masing. Dalam perselisihan tersebut yang
tidak kunjung usai, datanglah seorang pendakwah yang bernama
Mbah Duk. Mbah Duk adalah seorang pendakwah yang bijaksana
dan sering memberikan arahan/ nasihat kepada masyarakat
sehingga mendapat julukan Mbah Dakwah. Dengan usahanya
beliau berhasil menghentikan perselisihan antara Ki Madukoro
dan Ki Ageng Karang Malang.
Setelah perselisihan antara Ki Madukoro dan Ki Ageng
Karang Malang usai, ternyata keributan tidak berhenti sampai
disitu. Kebijaksanaan Mbah Duk dalam berdakwah dan memberi
nasihat membuat masyarakat tertarik untuk menjadi murid beliau
termasuk anak buah Ki Madukoro juga ikut berpindah menjadi
murid Mbah Duk. Hal ini membuat Ki Madukoro sangat murka
terhadap Mbah Duk sehingga terjadi pertikaian antara Mbah Duk
dengan Ki Madukoro.
Tatkala pertikaian antara Mbah Duk dengan Ki Madukoro
yang tak kunjung usai, datanglah seorang wali yang dikenal
dengan Syekh Maulana Maghribi. Wali tersebut dapat memahami
pertikaian yang terjadi antara Mbah Duk dengan Ki Madukoro
dan menyelesaikan pertikaian mereka berdua, kemudian beliau
berkata :
“Ngger.. mandekko anggonmu luru perkoro, aku reti opo
seng siro loron karepke. Siro loron bakal tak dadekake penguasa
ing wilayah mriki”
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 104
(Nak., berhentilah mencari masalah, saya tau apa yang kalian
berdua inginkan. Kalian berdua akan saya jadikan penguasa di
wilayah ini)
Sehingga pertikaian dapat dihentikan dengan pembagian
wilayah sebelah selatan dikuasai Ki Madukoro dan wilayah
sebelah utara dikuasai Mbah Duk/Dakwah.
Dari kata-kata “mandekko anngonmu luru perkoro” tersebut
kemudian dimaknai dalam dua suku kata yaitu Dek dan Koro.
Dek dari asal kata jawa Mandek yang artinya Berhenti, sedangkan
Koro dari asal kata Jawa Perkoro yang artinya Masalah. Sehingga
digabung menjadi DEKORO (mandek perkoro/ berhenti
bermasalah).
Sedikit yang mungkin terlupakan bahwa dalam dialek Jawa
huruf u yang berada diantara dua konsonan sering berubah
menjadi e. Sebagai contoh kata Sumbawan berubah menjadi
sembawan, gumampang menjadi gemampang. Tidak menutup
kemungkinan kata Dekoro sebenarnya berasal dari nama Ki Gede
Madukoro atau Ki Dukoro itu sendiri.
Pemberian Nama Setono (dukuh dikelurahan dekoro)
Setelah pertikaian antara Ki Madukoro dengan Mbah Duk
usai dengan pembagian wilayah masing-masing, kemudian Mbah
Duk kembali berdakwah sambil meluaskan wilayahnya yang
masih terkenal angker dengan dibantu teman-temannya antara lain
Mbah Taman, Mbah Tabah dan Mbah Salas. Di wilayah kekuasan
Mbah Duk tersebut ternyata ada sebuah wilayah berbentuk seperti
Pulau Kecil yang bernama Pulau Seto. Pulau Seto tersebut dihuni
oleh pendakwah yang bernama Syekh Seto. Dari nama tersebut
kemudian wilayah kekuasaan Mbah Duk/Mbah Dakwah
dinamakan Setono.
Sampai sekarang pulau Seto tersebut masih ada dan dijadikan
sebagai salah satu tempat pemakaman tokoh dan warga kelurahan
dekoro. Pulau Seto berlokasi ditengah Sawah tepatnya dibelakang
Kantor Kelurahan Dekoro.
Kalibanger
Sejarah kali banger bermula ketika terjadi pertarungan
Berdarah antara Ki Surantoko, putra Ki Ageng Dukoro atau Ki
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 105
Madukoro, penguasa wilayah santri Dekoro melawan kawanan
perampok yang dipimpin Joko Bondan putra penguasa wilayah
Karangmalang Ki Ageng Karang Malang. Keangkaramurkaan
Joko Bondan dan kawanannya membuat warga kelaparan dan
kehilangan harta benda mereka. Suatu ketika Ki Surontoko
bertarung melawan Joko Bondan untuk menghentikan
kejahatannya kepada warga sekitar. Namun Ki Surontoko terluka
parah oleh Joko Bondan. Ayahnya yang pandai mengobati
penyakit kemudian menyembuhkannya dan atas perintah sang
ayah (Ki Ageng Dukoro) Ki Surontoko melawan lagi kekejaman
Joko Bondan dan akhirnya menang. Joko Bondan dan prajuritnya
berhasil dikalahkan. Ki Ageng Karangmalang (ayah Joko Bondan)
mengetahui putranya tewas di tangan Ki Surontoko, Ki Ageng
Karang Malang mendatangi Ki Ageng Dukoro dan Ki Surantoko
untuk membalas dendan atas kematian putranya. Namun Ki
Ageng Karang Malang dihadapan Ki Ageng Dukoro takluk dan
ingin menjadi pengikut, permintaan itupun dikabulkan oleh Ki
Ageng Dukoro. sedangkan Joko Bondan yang telah tewas
mayatnya dibuang ke sungai sambil mengatakan: "suro diro jaya
ningrat lebur dening pangastuti sing becik ketitik sing ala ketara,
yen ono ramening jaman kali iki sinebut kali banger"
Sejak saat itu sungai tersebut dikenal dengan Kali banger.
Gambar Kali Banger
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 106
Surontakan
Telah diceritakan sebelumnya tentang kiprah Ki
Surantoko yang telah berhasil mengalahkan Joko Bondan. Setelah
peristiwa tersebut maka Ki Surantoko hidup dan tinggal di suatu
wilayah yang terletak antara Dekoro dan Karang Malang.
Dimungkinkan Ki Surantoko hidup sebagai seorang penyebar
agama Islam dan hidup sebagai petani. Sudah menjadi kelaziman
bahwa disekitar tempat yang dikuasai oleh tokoh tersebut maka
diberikan tanda sesuai namanya. Begitu pula dengan wilayah
kekuasaan Ki Surantoko ini setelah beliau mangkat maka daerah
disekitarnya disebut dengan Surontakan atau Srontakan.
Dekoro sebagai suatu Kelurahan justru tidak begitu
terkenal. Hal ini disebabkan adanya koperasi yang berkembang
pesat di kisaran tahun 1950 hingga tahun 1970 yang
menggunakan nama Koperasi Batik Setono. Kini Kelurahan
Dekoro telah tiada lagi dan digabung dengan Kelurahan Karang
Malang dengan nama Kelurahan Setono.
Koperasi Batik Setono
(Kontributor : Ribut Achwandi, Rusanti)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 107
Landungsari Dari Karomah Mbah Landung
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 108
Gambar Peta Kelurahan Landungsari
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 109
Gambar Kelurahan Landungsari ( Sekarang Noyontaansari)
Noktah wilayah itu bernama Landungsari. Sebuah nama
perdukuhan masa silam. Muasalnya, dinisbahkan dari asma tokoh
manikam lokal. Yaitu seorang penghuni pusara bernisan delapan.
Dia adalah Mbah Landung. Siapakah sebenarnya Mbah Landung?
Pada akhir abad ke-17, terdapatlah seorang kyai perantau
dari daerah Demak yang bernama Ki Jajarsari bin Hasan bin
Malik yang sedang melakukan perjalanan ke arah barat yang
masih berupa hutan belantara. Singgah di daerah yang masih
dipenuhi pepohonan, disitulah beliau membabat alas (membuka
hutan), membuat gubuk sebagai tempat peristirahatannya,
bercocok tanam, dan menata lingkungannya hingga menjadi asri,
kini pemukiman tersebut dikenal dengan nama Landungsari.
Beliau pulalah yang mengajarkan kepada masyarakat untuk
bercocok tanam secara berjajar rapi hingga hasilnya dirasakan
lebih baik dari pola tanam yang asal tebar. Pola tanam berjajar
tersebut membuatnya dikenal dengan nama Jajarsari.
Adapun sosok Mbah Landung menurut penuturan warga
sekitar dan tokoh masyarakat lainnya yang sering ditemui secara
gaib, diketemukanlah cerita yang senada, yaitu Mbah Landung
merupakan seorang Jawa dengan tinggi sedang, berpakaian khas
Jawa (seringnya wulung ), dan memakai ikat berwarna wulung.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 110
Warna wulung ini adalah sebutan untuk menyebut warna gelap
antara biru, hijau dan ungu yang mengarah mendekati hitam.
Menurut penuturan mbah Azam (alm) pemilik tanah
lingkungan Mbah Landung, bahwa Mbah Landung seorang kyai
mumpuni, keturunan wali yang memiliki wilayah dari Gringsing
sampai Petarukan Pemalang, sering memberikan wangsit kepada
orang yang dikehendakinya. Beliau berikat wulung dan sering
berbusana adat Jawa.
Cerita tersebut diperkuat oleh penuturan sesepuh warga
bernama Mbah Warmat yang lahir tahun 1942, warga
Landungsari Rt 03 Rw 01, yang sering ditemui Mbah Landung
secara gaib maupun di alam mimpi. Gambaran Mbah Landung
sama yaitu khas ikat wulung bercorak maupun polos berwarna
hitam yang tak pernah ketinggalan. Dari pertemuan secara gaib
itulah sesepuh Warmat diwariskan tiga barang peninggalan Mbah
Landung yang berupa ikat dari kain, Al Quran Istanbul yang
berukuran supermini, dan sebuah batu akik berwarna perak.
Barang-barang tersebut dapat disaksikan hingga sekarang,
meskipun terkadang salah satu barang tersebut sering hilang dan
kembali dengan sendirinya.
Ki Jajarsari/Mbah Landung yang berilmu tinggi
mempunyai nama sandang Ki Ageng Nugroho. Jejak yang dapat
disaksikan hingga sekarang di Landungsari adalah sebuah
kompleks pemakaman/petilasan yang berada di gang 1 C
Landungsari (letaknya di dalam kompleks rumah warga). Di
komplek tersebut ada empat pasang batu nisan yang berjajar.
Ada dua versi yang beredar mengenai isi makam tersebut.
Dari arah timur, makam pertama berisi pusaka (gaman), makam
kedua adalah tempat petilasan Mbah Landung, makam ketiga
berisi kitab-kitab, dan makam keempat atau makam paling barat
berisi pakaian/ageman beliau. Hal inilah yang dituturkan oleh
seorang sesepuh warga Mbah Warmat yang mengaku titisan Kaki
Cengis.
Menurut penuturan Mbah Warmat, jasad Mbah Landung /
Ki Jajarsari bin Hasan bin Malik sebenarnya dimakamkan di
Demak. Sedangkan makam nomor dua dari timur tersebut adalah
petilasan. Namun ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa
dari arah timur yaitu makam istri Mbah Landung, makam kedua
adalah makam jasad Mbah Landung, dan yang ketiga dan keempat
adalah makam pengikutnya.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 111
Gambar Makam Mbah Landung
Ada kisah menarik yang muncul dari makam Mbah
Landung ini. Peristiwa pembunuhan masal yang dilakukan
pasukan Jepang di depan gedung Kompetai tanggal 3 Oktober
1945 menjadikan warga kota Pekalongan kalang kabut, berlarian
meninggalkan kota ke arah selatan. Selang beberapa hari mereka
kembali menyaksikan gemuruh suara tank-tank Jepang menuju
arah Semarang. Kendaraan-kendaraan tersebut berhenti di tugu
perbatasan Pekalongan-Batang, tepatnya di wilayah Cerme
(sebelah barat Kalibanger sampai tikungan Posis). Dentuman
tank-tank pasukan Jepang meluluhlantakkan pepohonan wilayah
utara jalan. Beberapa kali moncong kendaraan itu di arahkan ke
selatan namun tidak terjadi apa-apa, padahal di wilayah selatan
terdapat beberapa rumah penduduk yang dipadati oleh para
pengungsi. Dari peristiwa tersebut muncul rumor atas keramatnya
Kyai Landung menyelamatkan wilayahnya dari gempuran tank
pasukan Jepang, karena di situlah terdapat makam Kyai Landung /
Mbah Landung.
Cerita di atas merupakan salah satu pengalaman sejarah
yang dituturkan beberapa warga sekitar makam yang hidup
semasa itu dan diwariskan turun temurun kepada anak cucunya.
Masih terdapat beberapa cerita lain dari sumber-sumber yang
berbeda namun relevan mengenai keramatnya wilayah
Landungsari, terutama kawasan sekitar makam Mbah Landung
yang dulu terkenal angker.
Lingkungan makam dahulu dikelilingi tambak ikan yang
airnya tak pernah kering walau musim kemarau. Namun di akhir
tahun 1970, lingkungan telah berubah. Sebelah utara kini telah
berdiri bangunan toko-toko sehingga tidak nampak lagi dari jalan
raya, kanan kirinya telah berdiri bangunan-bangunan, hingga
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 112
apabila peziarah ingin menuju komplek makam, maka harus
melewati lorong kecil. Kini kompleks pemakaman tersebuthanya
tersisa tanah 15m x 10m dengan bangunan 4m x 8m dengan
empat makam yang sudah dipaving.
Konon menurut penuturan warga sekitar komplek makam,
yang membuat tempat itu angker dan keramat adalah berbagai
pengalaman gaib yang sering terjadi. Sebelum makam tersebut
dipugar pada masa lurah Saminto, masih sering terjadi hal-hal
gaib.
Dikatakan oleh mbah Azam yang merupakan pensiunan
baret hijau Siliwangi tersebut bahwa sekitar tahun 1965-1971
seorang Pastur ahli pengobatan dari Solo, setiap melewati
Pekalongan sering bermalam di makam mbah Landung, padahal
waktu itu menurut kesaksian warga kondiisi makam kurang
terurus. Bangunan makam terdiri bari batu merah setinggi 1 meter
dan pagar bambu setinggi 1 ½ meter, semi terbuka dan beratap
genteng, dengan kondisi lantai yang rusak berukuran 4 x 6 m,
sementara disebelah utara dan selatan makam terdapat tambak
yang tak pernah kering walau dimusim kemarau. Sebelah timur
berupa semak belukar, hanya ada jalan setapak menuju makam
dan disebelah barat 5m dari makam terdapat tembok tua, pagar
rumah warga keturunan Tiong Hoa. Meski kondisinya demikian
sang pastur sering menziarahi makam tesebut.
Warga lingkungan menuturkan bahwa Mbah Landung
memiliki pusaka tongkat. Tongkat tersebut sering menampakkan
diri dan berjalan. Bahkan ada beberapa warga tahun 1970-an yang
sering menyaksikan.
Selain itu, sebelum kompleks pemakaman tersebut diberi
atap, burung yang terbang di atasnya akan terjatuh. Riwayat
lainnya mengatakan bahwa wilayahnya dijaga oleh ular buntung.
Kalau ada orang yang mengganggu makamnya, ular tersebut
menampakkan diri.
Muncul pula beberapa pantangan yang dianut oleh warga
pada saat itu. Diantaranya adalah warga Landungsari dilarang
mengadakan pertunjukan wayang. Tatkala ada beberapa orang
yang melanggarnya maka orang tersebut mendapat celaka.
Wallohu a’lam.
Landungsari memiliki beberapa dukuh yang kini sudah jarang
disebut oleh masyarakat. Beberapa diantaranya adalah :
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 113
Panempen/Penempen
Kampung ini terletak di gang 1 Landungsari tepatnya di
depan Super Market Ramayana kini. Dikisahkan oleh Bapak
Isnaini, bahwa di masa lalu ada seorang pengusaha tempe yang
usahanya begitu besar dan terkenal. Tempenya disukai oleh
masyarakat sehingga sangat laris. Walaupun hanya seorang
namun membuat orang dari luar maupun masyarakat Landungsari
menandainya dengan sebutan penempen ang berarti tempat
pembuatan tempe.
Klandungan
Terletak di gang 2 Landungsari dan sekarang menjadi Jl.
Ki hajar Dewantoro. Di masa lalu sebelum menjadi
perkampungan, sebelah kiri dan kanan gang ini merupakan kebun
milik masyarakat. Di sebelah barat melewati kebun, terletak
makam Mbah Landung. Karena setiap melewati jalan ini dapat
melihat makam maka kampung di sekitar gang ini disebut dengan
klandungan.
Pulo
Menyebut kata kata ini mengingatkan kita pada kata baku
pulau yaitu sebuah daratan yang dikelilingi oleh perairan. Gang 4
terletak di sebelah utara jalan raya Jend Sudirman disebelah barat
jalan RA. Kartini sampai ke pinggir sungai Kupang. Kampung ini
adalah satu-satunya wilayah Landungsari yang berada di sebelah
utara Jalan Jendral Sudirman. Hal ini terjadi karena dulu jalan
raya tersebut hanya sebuah jalan kecil. Setelah menjadi jalan raya
maka kampung ini menjadi terpisah seperti tepencil dari wilayah
Landungsari lainnya. Letaknya yang terpencil itulah akhirnya
diidentikan dengan sebuah pulau sehingga disebut dengan
kampung pulo.
Grogolan Pasar.
Disebelah selatan perempatan grogolan, di sebelah barat
Jl HOS Cokroaminoto sampai dengan tahun 1995 ada pasar
Grogolan yang ramai pengunjung. Walaupun kecil, pasar ini
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 114
cukup lengkap. Kini pasar tersebut telah dipindahkan ke selatan
dan sekarang hanya menjadi lorong kecil dengan beberapa ruko.
Disebelah selatan pasar grogolan ini ada Gang 5 Landungsari
yang kampungnya disebut dengan Pasar Grogolan.
Rao
Pada tahun 1965 dengan dipelopori oleh lurah Abdul
Rahman yang menjabat lebih dari 20 tahun, gang 6 Landungsari
menjadi markas dari sebuah kelompok sepak bola dengan nama
Rukun Agawe Oetomo yang disingkat dengan RAO. Pemain-
pemain intinya tinggal di gang ini sehingga akhirnya disebut
dengan kampung Rao.
Penderesan
Tidak banyak yang memahami mengapa gang 7
Landungsari ini diberi nama Kampung Penderesan (diucapkan pe
seperti mengucapkan kata seperti, deres diucapkan seperti waktu
mengucapkan e pada huruf N). Informasi yang ada adalah sampai
dengan akhir tahun 1970 an di wilayah ini banyak pohon kelapa,
dan tanah yang lapang yang digunakan untuk menjemur kain.
Dalam bahasa Jawa, Nderes memiliki dua makna yaitu menyadap
legen/nira kelapa atau atau nira dari kolang-kaling dan memberi
warna. Pewarna pada masa lalu disebut dengan teres/deres/sumba.
Dimungkinkan di daerah ini dulu banyak masyarakat
yang biasa menyadap nira jika dikaitkan dengan pohon kelapa.
Tidak menutup kemungkinan pula banyak masyarakat yang mahir
mengolah warna sehingga wilayahnya disebut dengan penderesan.
Pondok
Kata pondok dapat diartikan sebagai sebuah gubug atau
tempat untuk beristirahat. Di masa lalu pondok menjadi tempat
berkumpul untuk berbagai ilmu atau pengetahuan. Lambat laun
pondok menjadi tempat menetap seseorang yang memiliki ilmu
lebih atau dituakan disebut dengan guru atau kyai untuk
mengajarkan ilmu kepada muridnya yang disebut dengan Cantrik
atau santri. Pendidikan melalui pondok ini adalah pendidikan khas
Indonesia terutama untuk memperdalam pengetahuan agama
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 115
Islam yang disebut dengan Pondok Pesantren. Ciri spesifik sebuah
pondok pesantren adalah adanya masjid yang menjadi pusat
kegiatan.
Di gang 9 dan 10 wilayah Landungsari terdapat beberapa
Pondok Pesantren tradisional dan yang cukup besar yaitu Pondok
Pesantren Ribatul Muta’alimin. Masyarakat yang tinggal di
sekeliling masjid tempat tersebut akhirnya menyebut wilayahnya
dengan Kampung Pondok.
Pandean
Berada di gang 12 pada awal tahun 1900 an ada seorang
pande besi yan terkenal. Banyak masyarakat yang membeli
peralatan berupa pisau, sabit, cangkul dan golok disini.
Keberadaannya akhirnya diabadikan menjadi nama kampung
bernama Pandean.
Brajang Ayam
Kampung yang terletak di gang 19 tengah dan 20 A timur
ini pada masa lalu terkenal karena masyarakatnya suka
memelihara ayam dan menyabung ayam istilah Mbrajang berarti
mengadu atau menyabung.
Gubugan
Pada pertengahan tahun 1900-an gang 15 ini masih
merupakan kebun dan ilalang dengan wilayah yang luas.
Penduduknya sebagian besar adalah pendatang. Mereka
membangun gubuk untuk tempat tinggal. Gubuk yang dibangun
cukup banyak sehingga akhirnya disebut dengan gubugan.
Gang Canting
Batik yang menjadi mata pencaharian sebagian besar
penduduk Pekalongan tentu membutuhkan berbagai peralatan.
Peralatan utama pembuatan batik adalah canting. Di masa lalu
gang 18 ini ditinggali oleh para ahli membuat canting baik
konvensional maupun canting cap.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 116
Punden
Kampung yang kini menjadi gang 20 ini asal usul
namanya belum diketahui. Dulu masyarakatnya dikenal kurang
agamis namun kini masyarakat yang tinggal di wilayah ini dikenal
sangat agamis.
(Kontributor : Naela Khikmiah, Slamet Riyadi, Sumali Sudarja,
Ust. Isnaini)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 117
Noyontaan Babat Alas Sang Prajurit Mataram Hingga Akhir Hayat
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 118
Gambar Peta Noyontaan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 119
Menurut letak geografisnya, daerah pedesaan pekalongan
pada masa pemerintahan jawa kuno, desa di pekalongan kuno
sudah mulai berkembang sejak masa neolithik hingga masa hindu
klasik, kurang lebih pada abad VII masehi. Dalam pemerintahan
Jawa, eranya di bagi menjadi dua yaitu pemerintahan Jawa kuno
(Pekalongan kuno) pada masa hindu budha sedangkan
pemerintahan Jawa baru (Pekalongan baru) yaitu pada masa
islam.
Pekalongan bukan mrupakan kota baru, Pekalongan
adalah kota tua. Dapat dikatakan Pekalongan termasuk kota tertua
di Jawa karena sudah ada sejak pemerintahan Jawa kuno. Di Jawa
ada tiga kota tua; Jeporo, Pekalongan dahulu lebih dikenal Plelen
atau Alasroban dan Lasem. Plelen itu mulai dari pantai utara
Pekalongan sampai Weleri disebut Alasroban. Alasroban itu
bukan berarti hanya Waleri Banyu Putih dari Subah sampai pantai
utara itu disebut Alasroban. Dijaman sebelum wali 9, Pekalongan
sudah ada. Bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa Pekalongan itu
kota tua bisa dilihat dari bukti-bukti peninggalan sejarah terutama
makam-makam tua yang ada di Pekalongan, Batang dan
sekitarnya.
Diceritakan bahwa di Pekalongan ini masih terpengaruh
sebagian budaya Jawa Barat dan sebagian budaya Jawa Timur.
Karena perbatasan Mangkang itu wilayah Majapahit terus kebarat
ikut Pajajaran kuno. Pekalongan sendiri terpengaruh bahasa-
bahasa sunda seperti ada nama tempat, Cikoneng Cibeo di daerah
sragi.
Sebelum wali 9 yang masyhur itu, seperti Sunan Ampel,
Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dll, itu sudah ada wali 7 seperti
lembaga wali 9 jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali 7 itu
seperti Wali Abdal, Wali Abdal itu ada 7. Wafat satu akan ada
yang menggantikannya, wafat satu ganti, wafat satu ganti dan
seterusnya. Jumlahnya tidak lepas dari 7. Nah wali 9 pun
demikian. Pada waktu di pimpin oleh seorang Bupati yang
namanya Adipati Tanja Ningrat beliau meninggal pada tahun
1127 H, yang mana dimakamkan di Sapuro juga sejaman dengan
Kiyai Gede Noyontoko. Pada waktu itu ada seorang kiyai yang
menyebarkan dakwahnya di sebuah desa tertentu, beliau adalah
seorang kiyai yang sangat terkenal dan berilmu tinggi pada waktu
pemerintahan Bupati Adipati Tanja Ningrat. Desa temapat ki
Kede Noyontoko berdakwah ini akhirnya dikenal dengan Desa
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 120
Noyontaan sebagai penanda wilayah kekuasaan maupun sebagai
penghargaan jasa beliau yang membuka hutan atau “babad
Alas”(istilah orang Jawa).
Kiyai Gede Noyontoko meninggal pada tahun 1660 M.2
Akan tetapi, hingga saat ini belum diketahui secara pasti di mana
makam Kiyai Gede Noyontoko. Menurut keterangan Sekretaris
Kelurahan Noyontaansari, terdapat dua versi makam Kiyai Gede
Noyontoko. Versi pertama, menurut Bapak Zili, makam Kiyai
Gede Noyontoko berada di Jl. Dr. Wahidin yang saat ini
digunakan sebagai “Toko Diana”. Versi kedua, menurut Syaikh
Al Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya (Habib
Lutfi) dan Bapak Moelyoredjo makam Kiyai Gede Noyontoko
berada di Noyontaan Gang VII. Tepatnya berada di Eks-kediaman
Bapak Soetekwo yang sudah dibeli oleh Habib Lutfi.3
Terlepas dari benar dan salah mengenai sejarah maupun
letak makam Kiyai Gede Noyontoko, pada akhirnya Desa
Noyontaan telah berkembang dengan baik. Sampai Desember
2013 tercatat 7.994 orang bermukim di Desa Noyontaan, yang
tersebar dalam 7 Rukun Warga.4 Penduduk Desa Noyontaan
cukup beragam. Berbagai etnis seperti Jawa, Arab dan Cina hidup
berdampingan tanpa ada batasan yang menghalangi kehidupan
sosial mereka.
Serta Noyontaan sendiri menurut artinya adalah tanah
yang tinggi (gumuk). Seperti yang di ungkapkan bapak Zyli yang
telah menjadi ketua RT sejak tahun 1982 dan ketua RW sejak
tahun 1996 sampai sekarang, beliau mengungkapkan bahwa
“makam yang ada di belakang mushola gang 16 Noyontaan
adalah makam Ki Gede Noyontoko” karena makam itu sudah ada
sejak buyut beliau, yang menjadi lurah pertama kali di desa
Noyontaan. Yang jadi pertanyaan adalah “Siapakah ki Gede
Noyontoko itu ?”, beliau adalah seorang salah satu komandan dari
prajurit dari kerajaan Mataram yang di tugaskan untuk melawan
2http://gus-umam.blogspot.com/2010/07/profil-singkat-habib-
abu-bakar-bin.html, diakses pada 27 Maret 2015. 3Wawancara dengan Sekretaris Kelurahan Noyontaansari Arif
Sudiarto, pada 27 Maret 2015. 4http://pekalongankota.or.id/kelnoyontaan/template/page/1268/pr
ofil-kecamatan, diakses pada 27 Maret 2015
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 121
belanda di Batavia yang invansinya di pimpin oleh senopati
kerajaan Mataram yang bernama Bahurekso.
Karena kelicikan tentara Belanda, yang bukannya
melawan pasukan perang kerajaan Mataram mereka malah
menghancurkan dan membakar habis persediaan makanan
pasukan kerajaan Mataram dan oleh sebab itu semua pasukan dari
kerajaan Mataram menjadi “kocar – kacir” dan akhirnya kerajaan
mataram menyuruh pasukannya untuk mundur, sedangkan Ki
Gede Noyontoko sendiri berhenti di sebuah hutan dan kemudian
mendirikan gubug di situ, yang sekarang ini menjadi desa
Noyontaan.
Gambar Kelurahan Noyontaan
Dalam sumber versi lain ada yang mengatakan bahwa
desa Noyontaan bukan berasal dari nama kiyai yang waktu itu
menyebarkan dakwahnya yaitu Ki Gede Noyontoko. Melainkan di
ambil dari peperangan antara Senopati Baurekso, yang di pihak
pasukan kerajaan mataram melawan para perompak yang di
pimpin oleh Raja Tunjung Maya, saat itu pada tahun 1613 – 1645
peperangan tersebut di menangkan oleh pasukan kerajaan
Mataram kemudian tempat peperangan tersebut di namakan
Noyontaan yang artinya “Ulat mati”. Selanjutnya dengan
perkembangan zaman maka jadilah sebuah Desa Noyontaan yang
terdiri dari beberapa kampung seperti dukuh Sipelem karena di
wilayah ini banyak ditumbuhi pohon pelem/mangga, Cokrah
karena lokasinya yang terpencil di pinggir sawah.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 122
Mipitan, kampung ini memiliki beberapa cerita menarik
salah satunya adalah diambil dari terdesaknya Ki Noyontoko dan
Ki Surantoko yang terdesak (kepepet/terjepit) dalam tugasnya
menjaga lumbung pangan waktu penyerangan kedua Mataram ke
Batavia, mereka lari ke daerah Pekalongan dan memberikan
tetenger (tanda) dengan nama Mipitan yang berarti terdesak. Ada
pula kampung Cerme yang berlokasi di sekitar Terminal lama
atau yang kini telah menjadi mall Ramayana. Dikisahkan bahwa
kampung ini dulu banyak tumbuh pohon cerme.
Di sekitar Puskesmas Noyontaan kearah utara sampai
mendekati rel kereta api dulu dinamai dengan Kampung Bon
Sayur (Kebun Sayur). Di lokasi tersebut terdapat tanah kosong
yang ditanami dengan sayur-sayuran. Ada pula beberapa nama
kampung yang tidak diketahui mengapa diberikan nama
sedemikian rupa. Beberapa kampung tersebut seperti Pambaan,
Regiman, Karang Guga dan Kemrisen. Pada akhirnya menjadi
Desa Noyontaan dipimpin oleh Lurah pertama ialah Bapak Usman
sedang Sekretaris desa dipegang oleh Bapak Noyojoyo.
Sebagaimana masih sama dengan adat istiadat masyarakat
Jawa, adapun adat istiadat yang telah di tinggalkan masyarakat
setempat seperti Sedekah Bumi. Kegitan Sedekah Bumi adalah
kegiatan semacam upacara atau ritual yang di adopsi pada masa
kejayaan hindhu budha yang bertujuan sebagai rasa syukur
terhadap apa yang telah di berikan oleh sang pencipta. Seperti
yang di ungkapkan oleh warga setempat yang asli pribumi
Noyontaan “bahwa jaman dulu setiap berapa tahun sekali ada
upacara sedekah bumi”, entah sekarang kegiatan semacam itu
telah tiada. Banyak di desa Nonyotaan yang berbeda suku dan
agama, akan tetapi itu bukan menjadi permasalahan akan tetapi
sebagai kelebihan. Masyarakat Noyontaan hidup dengan sejahtera
dan tenggang rasa yang tinggi mulai dari gotong royong, dan
saling membantu satu sama lain tidak membedakan mana itu
Cina, Jawa, Arab, Islam, Kristen dan lain – lain.
(Kontributor : Dain Santoso, Setyaningsih)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 123
Kebulen Dari Kebul – Kebul Pinggir Kalen ?
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 124
Gambar Peta Kebulen
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 125
Menyebut nama Kelurahan Kebulen mungkin sudah tidak
asing lagi ditelinga masyarakat Pekalongan dan sekitarnya.
Karena memang Kelurahan Kebulen merupakan salah satu
kelurahan yang ada di Kecamatan Pekalongan Barat. Berdasarkan
data dari Kelurahan Kebulen, wilayah ini memiliki luas 33,50
kilometer persegi. Dimana sebelah Timur berbatasan dengan
Landungsari, sisi utara berbatasan dengan Sapuro, dan sebelah
Selatan berbatasan dengan Kelurahan Jenggot. Sementara sebelah
Barat berbatasan dengan Kelurahan Medono.
Biasanya dalam penamaan sebuah kelurahan, diambil dari
para tokoh setempat atau aktivitas yang menjadi ciri khas dari
wilayah itu sendiri, termasuk juga penamaan untuk Kelurahan
Kebulen ini.
Gambar 2. Kantor Kelurahan Kebulen
Menurut cerita dari orang orang yang tinggal dikelurahan
tersebut, bahwa dulu banyak warga setempat yang bermata
pencaharian sebagai pembuat batu bata. Dimana dalam pembuatan
batu bata ini ada proses pembakaran, yang menyebabkan asap
mengepul kemana kemana. Dan lokasi pembuatan batu bata itu
berdekatan dengan sungai yang ada di wilayah itu.
“Yang saya tahu dari orang tua dulu itu, karena disini
tempatnya orang bikin boto (batu bata) dipinggir kali, kebul kebul
ning jejer kalen (banyak asap didekat sungai), sehingga
dinamakan KEBULEN ”, kata warga dan sekaligus kyai di
Kelurahan Kebulen yang bernama Zamruddin.
Sementara itu,warga asli Kebulen mbah Maghfud atau
masyarakat sekitar memanggilnya Maghpul juga membenarkan,
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 126
bahwa dulu mata pencaharian warga Kebulen adalah membuat
batu bata. Bahkan kesohoran batu bata asal Kebulen cukup
terkenal. Pembelinya juga datang sendiri untuk mengambilnya.
‘‘Lha kae pabrik es, kota kabeh, omah cino cino kae
njuguke boto dek kene kabeh, Kebulen kabeh sing nggawe awit
simbahe aku’’(Artinya pabrik pabrik yang ada di Kota Pekalongan
rumah rumah orang Cina di Kota semua membelinya dari
Kebulen, karena memang dulu pembuatan batu bata sudah ada
sejak kakek saya)
Mbah Maghfud atau Maghpul yang kini usianya sudah 73
tahun itu juga menjelaskan, bahwa dirinya dulu juga mempunyai
lahan untuk membuat batu bata sendiri. Namun tempat pembuatan
batu bata atau linggan yang dimilikinya kini digunakan untuk
berkebun namun linggannya saat ini juga masih ada, yaitu di
dekat tempat tinggalnya.
Sampai dengan saat ini lokasi pembuatan batu bata atau
masyarakat sekitar menyebutnya ‘linggan’ masih bisa dijumpai di
kelurahan tersebut, tepatnya berada di Kebulen Gang 12 dekat
Pondok Pesantren Al Iman.
Kini meskipun sudah tidak banyak aktifitas pembuatan
batu bata, karena masyarakatnya sudah beralih profesi di
meubeler dan pembuatan kain dengan alat tenun bukan mesin
(ATBM), tetapi setidaknya lokasi ini menguatkan asal usul
penamaan Kelurahan Kebulen.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 127
Masih berkaitan dengan cerita diatas, ada cerita yang
menyebutkan bahwa pada intinya di wilayah ini dulu tertutup
dengan kebul (asap) sehingga disebut dengan kekebulan yang
akhirnya dipersingkat dengan kata kebulan. Nah dari kata kebulan
inilah dialek masyarakat Pekalongan sering mengucapkan huruf a
dengan sedikit mendekati huruf e akhirnya berubah menjadi
Kebulen.
Selain dengan kedua cerita diatas ada nara sumber yang
menyebutkan bahwa Kebulen sebenarnya adalah untuk
mengenang kepala desa pertama yang berasal dari wilayah
kampung Kebulen yang kini menjadi wilayah Kertoharjo.
Diceritakan bahwa tidak ada warga yang mampu atau cakap untuk
menjadi kepala desa kecuali jika orang tersebut adalah warga dari
Desa Kebulen Watujoyo. Akhirnya diangkatlah seorang
pemberani dari Kebulen Watujoyo untuk menjadi lurah pertama
desa Kebulen.
Kebulen memiliki cerita lain yang cukup menarik untuk
diungkap yakni cerita tentang kampung Sogaten. Kampung ini
terletak di sebelah utara Jalan Jendral Sudirman berhadapan
dengan kantor Kelurahan. Nama Sogaten berasal dari Kyai Sogati,
seorang tokoh yang diperkirakan adalah pengikut dari Pangeran
Diponegoro. Beliau terpaksa lari hingga Pekalongan untuk
menghindari kejaran dari tentara Belanda. Di Pekalongan beliau
tetap berjuang namun tidak seperti ketika bersama Diponegoro
hingga akhirnya oleh pihak Belanda tidak dianggap
membahayakan sampai akhirnya meninggal dan di kuburkan di
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 128
Kebulen. Wilayah sekitar tempat tinggalnya disebut dengan
Sogaten.
Namun kini mana kelurahan Kebulen sudah tidak ada
lagi, karena awal tahun 2015 ada kebijakan Pemerintah Kota
Pekalongan melakukan penggabungan kelurahan. Yang mana
Kebulen digabung dengan Sapuro , sehingga kini namanya
menjadi kelurahan Sapuro Kebulen.
Berdasarkan data dari Kelurahan setempat, jumlah warga Kebulen
yang tercatat ada 5.840 jiwa. Dan kini, sejak digabung dengan
Kelurahan Sapuro, data hingga April 2015, jumlahnya bertambah
menjadi 11.836 jiwa.
( Kontributor : Laela)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 129
Podosugih Suri Tauladan Dari Orang Kaya Sejati
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 130
Gambar Peta Podosugih
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 131
Gambar Kelurahan Podosugih
Diceritakan secara turun temurun dan kakek buyut ke
anak cucu bahwa sebelum menjadi Desa Podosugih dulunya
adalah Desa Sengon. Mengingat desa ini akhirnya menjadi dukuh
dari Desa Podosugih menjadi Dukuh Sengon. Disebut Dukuh
Sengon karena pada waktu itu terdapat dua pohon sengon kecil
yang dulu terletak di Makam Sikembang dan sengon yang besar di
sebelah kiri Gang Haji Palal. Di sekitar Dukuh Sengon juga
terdapat beberapa dukuh, di antaranya Dukuh Ponolawen, dan
Kebon Terong. Warga yang hidup di luar Dukuh Sengon dalam
kehidupan sehari-harinya biasa-biasa saja, bahkan banyak yang
miskin serba kekurangan. Namun begitu mereka hidup senang
karena berdampingan dengan warga Dukuh Sengon.
Kebetulan di Dukuh Sengon terdapat dua orang kaya yang
sangat dermawan yaitu Bapak Haji Palal, Bapak Haji Syukur, dan
beberapa orang kaya lain. Mereka adalah orang kaya yang sudah
menunaikan ibadah baji. Di sekitar Dukuh Sengon juga ada
beberapa orang kaya, seperti Haji Asikin, Haji Bawon, Haji
Chamin, Haji Nuh dan Hajjah Sum. Adapun profesinya
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 132
kebanyakan juragan batik. Selain bidang batik, mereka juga
mempunyai lahan pertanian yang ketika panen sawah (sabin/pari)
atau padi mampu memberikan Pajak Hasil Bumi yang cukup
besar ke Pemerintah Daerah pada waktu itu.
Kebanyakan juragan batik di Dukuh Sengon ini terkenal
baik hati, suka menolong, dan tidak sombong. Hal ini dapat dilihat
dari hubungan antara juragan dengan pengopeng/buruh sangat
harmonis. Keharmonisan ini dapat dilihat dari tidak ada gap/jarak
di antara mereka. Tidak ada masalah upah kurang bagi para buruh.
Para buruh merasa hidup cukup dalam kesehariannya. Terlebih
bila mendekati hari raya, pasti ada persenan atau tunjangan
tambahan penghasilan dalam menyambut hari raya yang diberikan
sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.
Kekayaan dan kedermawanan Haji Palal dan Haji Syukur
ditambah haji-haji lainnya terkenal jauh sampai ke luar Dukuh
Sengon. Selain dermawan juga gampangan (mudah) dalam
memberikan bantuan pada orang lain yang rnembutuhkan.
Sehingga banyak orang terutama dari dukuh tetangga sering
meminta bantuan kepada mereka. Bentuk bantuan yang sering
dilakukan kepada masyarakat adalah bantuan meminjamkan
gerobak sapi/kerbau yang dimiliki kedua haji ini dan haji lainnya.
Bantuan gerobak inidi masa lalu memang sangat
dibutuhkan warga sekitar karena merupakan alat transportasi yang
sering dipakai dan tidak semua orang mampu memilikinya. Pada
waktu itu, gerobak diperlukan sebagai sarana transportasi untuk
membawa kayu dan bambu, barang dagangan, basil panen, punya
gawe atau hajatan, bahkan pindahan rumah. Selain gerobak
sapi/kerbau, juga memberikan bantuan meminjamkan dokar bagi
warga yang sedang membutuhkan.
Kedekatan antara juragan dengan buruhnya ternyata
bukan hanya bidang ekonomi saja. Namun mereka juga kompak
dalam mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika
Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno
memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, orang-orang Dukuh
Sengon sepakat membuat Bendera Sang Saka Merah Putih
sebagai Lambang Kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan
dipelopori juragan batik bernama Haji Palal dan Haji Sultan
Makruf / SM, mereka membuat Bendera Merah Putih yang
pertama di Pekalongan. Salah satu bukti peran serta juragan batik
di sini terdapat pada Bendera Merah Putih yang proses
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 133
pembuatannya sama sekali tanpa jahitan. Karena proses
pembuatannya dengan mencelup sebagian bahan kain putih
dengan warna merah. Ukuran Bendera Merah Putih tersebut
adalahpanjang 2,4 cm dan lebar 1,2 cm.
Bendera Merah Putih ini diarak ke pusat keramaian
(sekarang Monumen Perjuangan - Masjid Syuhada). Ternyata
penjajah Belanda pun tak tinggal diam memburu orang-orang
yang membawa Bendera
Merah Putib ini. Bendera
ini beberapa kali pindah
tangan dan pindah tempat
agar tidak tertangkap
penjajah Belanda karena
kalau sampai tertangkap,
penjajah Belanda tidak
segan-segan menembak
orang-orang yang
membawanya.
Padamasa Presiden RI pertama Ir. Soekarno, Dukuh
Sengon masih dipimpin Lurab Pak Gimin sekitar tahun 1945.
Dilanjutkan sekitar tahun 1950 dijabat Lurah Pak Rambat.
Kemudian pada masa kepemimpinan Lurah Pak Rambat, Dukuh
Sengon mendapat bantuan dari Pemenintah Daerah. Bantuan itu
berupa danauntuk kebutuhan masyarakat yang kurang mampu.
Pada waktu itu dukuh-dukuh di Pekalongan semua mendapat
bantuan dana karena hampir semua dukuh mengalami kekurangan
akibat stabilitas negara yang terganggu sehingga berdampak pada
masalah ekonomi yang diderita rakyat Indonesia.
Ketika Pemerintah Daerah akan memberikan bantuan
dana ke Dukuh Sengon. Para juragan batik mengajak Pemerintah
Daerah dan warga untuk berkumpul bermusyawarah
membicarakan dana itu. Akhirnya para juragan dan warga sepakat
untuk menolak bantuan dana itu dengan cara halus. Mereka
mengatakan kepada wakil Pemerintah Daerah bahwa sebenarnya
mereka tidak menolak aliran dana ini. Namun karena banyak
orang di luar Dukuh Sengon yang masih sangat membutuhkan
dana itu maka lebih balk diberikan kepada yang lebih berhak
menerima. Mendengar penuturan dari orang Dukuh Sengon yang
menolak halus bantuan dana itu, Pemerintah Daerah dan orang-
orang di luar Dukuh Sengon pun berdecak kagum. Urusan
Bendera Merah Putih
tanpa Jahitan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 134
Pemerintah Daerah mengatakan, “Berarti orang-orang sini ajib,
wonge podo sugih-sugih, sugih donya Ian sugih ati, jadi tidak
memerlukan bantuan Pemerintah, bahkan menyarankan untuk
memberikan bantuan danaini ke dukuh-dukuh lain yang lebih
membutuhkan”. Orang-orang Dukuh Sengon pun hanya
tersenyum saja sambil mengamini.
Setelah acara kumpul musyawarah warga dengan
Pemerintah Daerah, entah awalnya dan siapa yang memulai, ada
yang mengusulkan agar Dukuh Sengondiganti saja menjadi Desa
Podosugih. Karena arti Podosugih lebih bermakna daripada
Sengon. Secara etimologi Podo berasal dari bahasa Jawa berarti
sama atau ketika menjelaskan kata ikutannya berarti semua. Sugih
berarti kaya sehingga Podosudih dapat diartikan sebagai
semuanya kaya atau tempat orang-orang kaya. Kalau Podosugih
berarti orang-orangnya kaya tapi kalau Sengon artinya hanya
sekedar pohon sengon. Lama-lama usulan ini meluas dan
diketahui semua warga Dukuh Sengondan sekitarnya.
Dulu sebelum menjadi Podosugih, Ponolawen adalah
sebuah desa yang wilayahnya ada di sekitar perempatan
Ponolawen Jalan Wilis. Demikian pula dengan Kebon Terong
yang berada di sekitar MasjidMusholin. Hingga pada akhirnya
masyarakat Dukuh Ponolawen dan Dukuh Kebon Terong
dengansenang hati setuju bergabung dengan desa yang banyak
juragan batiknya yakni DesaPodosugih sampai sekarang ini.
Dulu masyarakat Dukuh Ponolawen dan Dukuh Kebon
Terong butuh bantuan apapun selalu diberi bantuan dengan
senang hati oleh para juragan terutama Bapak Haji Palal dan
Bapak Haji Syukur dari Dukuh Sengon. Ketika Desa Sengon
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 135
mengganti nama menjadi Podosugih maka merupakan kesempatan
yang baik untuk bergabung menjadi satu. Mereka berharap
dengan bergabung dan menganti namadesanya menjadi Desa
Podosugih akan ikut menjadi sugih/kaya. Satu keinginan luhur
adalah jika nanti sudahsugih/kaya masih tetap ringan tangan
seperti yang telah dilakukan parajuragan batik dari Desa
Podosugih an warganya.
Mereka meneladani Bapak Haji Palal, Bapak Haji Syukur
dan haji-haji lain yang Podo-podo/sama-sama Sugih/kaya.
Walaupun berlimpah harta mereka tidak lupa diri hingga menjadi
sombong dan pelit tetapi justru baik hati dan suka menolong orang
lain yang membutuhkan bantuan. Kebaikan-kebaikan ini bahkan
ditiru warganya dengan menolak bantuan dana dari Pemerintah
Daerah. Warga Dukuh Ponolawen dan Dukuh Kebon Terong
merasa segan terutama dengan kebaikan para haji ini dan
warganya.
Pada periode sekitar tahun 1960-1975 Podo sugih
dipimpin oleh Kepala Desa yang bernama Bapak Tasjid Rono.
Pada tahun 1975-1980 dilanjutkan Kepala Desa Abdul Salam
hingga terjadi pergantian Desa Otonom Podosugih menjadi
Kelurahan Administrasi yakni Kelurahan Podosugih.
Adapun peninggalan sejarah Desa Podosugih dari sang
tokoh Bapak Haji Palal antara lain:
1. Adanya makam Sikembang dulunya diawali
penanamantanah wakaf oleh Bapak Haji PaIal yang
kemudian diikuti oleh orang-orang di sekitar area
pemakaman hingga akhirnya Makam Sikembang menjadi
seperti sekarang ini. Perlu diketahui, Bapak Haji Palal
meninggal tahun 1949 dan dikebumikan di tengah-tengah
Makam Sikembang.
Di area Makam Sikembang dulunya disebut dengan
Sengon Cilik (terletak di Pedukuhan Sengon) karena
karena di area tersebut memang terdapat Sengon cilik
yang tumbuh di situ. Sedangkan dinamakan Makam
Sikembang karena di area makam terdapat pohon kenanga
yang sangat besar dikelilingi banyak pohon kamboja.
Sering pohon-pohon ini bunganya berkembang bersamaan
makanya dinamakan makam Sikembang (bunga yang
berkembang).
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 136
2. Adanya gang/jalan yang diberi nama Gang/Jalan Haji
Palal yang terletak di dekat Jalan Urip Sumoharjo.
Sebutan gang/Jalan Haji Palal dimulai tahun 1970 sebagai
balasan warga Desa Podosugih untuk mengenang jasa-
jasa kebaikan Bapak Haji Palal.
Sedangkan hal-hal lain yang menarik dan Desa Podosugih
antara lain:
1. Konon katanya sebelurn ada Balai Kelurahan Podosugih,
Pasar, Lapangan, dan bangunan lain temyata sudah ada
Jalan Kurinci. Tapi masyarakat sekitar sangat takut
melewati jalan tersebut walaupun masih Asyar karena
terkenal angker. Namun sekarang karena Islam sudah
berkembang pesat dan banyak orang yang berdomisili di
sekitarnya, nuansa angkernya berkurang bahkan tidak
terasa.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 137
2. Dari dulu sampai sekarang masyarakat Kelurahan
Podosugih terkenal hidup guyub, rukun, dan damai.
Jarang terjadi masalah yang terjadi pada masyarakat
Kelurahan Podosugih. Konon katanya hal ini terkait
adanya Petilasan Makom Mbah Kumpul (pria). Adapun
letak Petilasan Makom Mbah Kumpul berada di sebelah
selatan Jalan Wilis tepatnya dekat WC umum. Namanya
juga Mbah Kumpul, kata orang dulu beliau mempunyai
kemampuan untuk mengumpulkan orang-orang agar tidak
terjadi permusuhan/permasalahan di sekitamya. Ada yang
berpendapat Petilasan Makom Mbah Kumpul membawa
aura positif. Konon dulu pernah ada orang mau kencing di
sekitar petilasan, orangnya dilempar di luar petilasan oleh
sosok yang tak kasat mata. Pernah juga ada orang yang
mau minta togel/nomor buntut, orangnyajuga dilempar ke
luar petilasan. Waaliahu’alain.Keterangan ini berasal
cerita turun temurun bersumber dari almarhum Mbah
Marsyad yang dulunya diperoleh ketika selesai shulat
istiharoh (Mbah Marsyad adalah Bapak dari Slamet
Hanianto sesepuh Desa Podosugih)
Dari kisah Sejarah Desa Podosugih terkandung nilai-nilai
kehidupan yang patut kita teladani berupa nilai agama/religi,
budaya/kebiasaan, sosial/kemanusian, perjuangan, dan kerukunan
serta kebersamaan. Sehingga dapat kita petik hikmah dari sejarah
Kelurahan Podosugih bahwa kepentingan umum lebih utama
daripada kepentingan pribadi atau golongan. Hidup bermasyarakat
jangan mengantungkan pada bantuan pemerintah, tapi
bekerjasama dan tolong menolong akan memberikan jalan yang
lebih baik. Seperti menolak bantuan dana yang dirasa bukan pada
tempatnya tapi berikanlah kepada yang lebih berhak. Menjadi
orang hendaknya mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap
sesama.
Dari tokoh Pak haji Palal kita belajar keteladanan bahwa
tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Sebagaimana
diajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalab orang yang
berguna bagi orang lain. Kita tidak boleh menyombongkan
kekayaan yang kita miliki. Kekayaan akan memberi manfaat
ketika kita menggunkannya untuk membantu orang lain yang
membutuhkan. Apapun yang kita miliki termasuk kekayaan hanya
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 138
sekedar titipan Allah yang sewaktu-waktu akan dimintai tanggung
jawab, darimana asalnya dan digunakan untuk apa saja.
Dari warga Desa Podosugih, kita mendapat pelajaran tengang
bagaimana hidup rukun, damai, sejahtera dengan tetangga atau
orang lain dengan saling hormat-menghormati dan
tolongmenolong. Walaupun orang biasa tapi ikhlas mengalah
dengan memberikan hak kita kepada yang lebih membutuhkan
karena berpedoman bahwa memberi lebih baik daripada
menerima. Akhirnya, semua mengajarkan kepada kita untuk
menjadi orang yang Podosugih yaitu kaya semuanya, kaya harta
dan kaya hati yang dipenuhi dengan kepedulian terhadap
masyarakat dan lingkungannya. Semoga kita menjadi orang yang
kaya harta dan kaya hail agar mendapatkan kehidupan yang lebih
baik di dunia dan akhirat. Amiiin.
(Kontributor : Muh. Agus Arifuddin, S. Pd)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 139
Pringlangu Buaya Dan Rumpun Bambu
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 140
Gambar Peta Pringlangu
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 141
Gambar Kelurahan Pringlangu
Pringlangu adalah salah satu kelurahan yang menjadi
wilayah dari Kota Pekalongan sejak adanya pemekaran tahun
1987. Wilayahnya tidak terlalu luas, di selatan berbatasan dengan
Kelurahan Kradenan dan Kelurahan Buaran. Di sebelah timur dan
utara berbatasan dengan kelurahan Medono, di sebelah barat
berbatasan dengan kelurahan Tegalrejo dan Bumi Rejo. Kini
ketiga kelurahan ini telah menjadi satu dengan nama Pringrejo.
Pringlangu memiliki dua dusun yang cukup besar yaitu
dusun Papringan dan dusun Boyolangu. Wilayah Papringan
wilayahnya meliputi sebelah masjid besar ke selatan sampai
dengan Pringlangu Gang 8 kearah barat sampai dengan Perbatasan
Bumirejo dan ke timur sampai dengan Kradenan. Adapun dusun
Boyolangu berada di sebelah utara masjid dari gang 1 ke arah
barat sampai dengan Bumirejo dan Tegalrejo serta ke arah timur
sampai dengan perbatasan Medono.
Boyolangu berasal dari dua kata boyo yang berarti buaya
dan langu yang berarti anyir atau berbau busuk. Sehingga apabila
dipersatukan dapat diartikan dengan buaya yang berbau langu atau
anyir. Beberapa narasumber yang rata-rata usianya telah sepuh
menceritakan bahwa di masa lalu di sebelah selatan pabrik
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 142
Pringgading (sekarang pabrik Perban), ada tanah cekungan seperti
rawa yang cukup luas. Rawa tersebut ditinggali oleh buaya.
Sebagai hewan pemakan daging, setiap kali memakan mangsanya
seringkali tidak sampai habis. Akibatnya rawa dan sekitarnya
timbul bau langu, seperti busuk bangkai yang tak kunjung hilang.
Dikisahkan bahwa dulu masyarakat sekitar pada awalnya
tidak mengetahui bahwa dalam rawa tersebut ada buayanya. Suatu
saat ada penggembala binatang yang setiap pulang binatangnya
hilang namun tidak ada yang mencuri. Lama kelamaan semakin
jarang orang menggembala di sekitar rawa tersebut. Ada yang
bercerita bahwa karena tidak ada lagi makanan, maka buaya
tersebut pergi ke darat dan memangsa seorang anak yang sedang
bermain sehingga akhirnya diketahui adanya buaya ganas didalam
rawa.
Seiring dengan berjalannya waktu ada beberapa versi
tentang hilangnya buaya tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa
buaya yang ada di rawa adalah buaya siluman yang bermaksud
untuk menyerang masjid di dekatnya. Masjid ini mungkin adalah
Masjid Jami Pringlangu tetapi karena ketaatan dan ketulusan para
santri dan kyai dalam beribadah maka buaya tersebut akhirnya
hilang dengan sendirinya karena tidak kuat melawan kekhusyukan
orang beribadah. Versi lain menyebut bahwa setelah memangsa
manusia maka diadakan perburuan untuk membunuh buaya. Ada
pula yang menyebut tidak ada yang tahu mengapa rawa tersebut
mengering dan kemana perginya buaya-buaya yang tinggal di
dalamnya.
Di sebelah selatan dari
rawa berbuaya, ada
perkampungan yang dikelilingi
dengan rumpun bambu yang
lebat. Bahkan di waktu itu
rumpun bambu yang ada
membuat tempat dibawahnya
gelap seperti di dalam ruangan.
Banyaknya rumpun bambu yang
hampir satu kampung luasnya
itulah yang akhirnya menjadi
penanda. Setiap orang
menyebutnya dengan papringan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 143
atau tempat yang ditumbuhi banyak bambu. Oleh karena itulah
maka desa itu disebut dengan Papringan.
Pada tahun 1920 sampai dengan 1930 pemerintah
kolonial menyederhanakan pemerintahan desa. Antara tahun
tersebut desa Papringan dilebur dengan desa Boyolangu menjadi
Pringlangu yang merupakan distrik Buaran.
Di Desa Pringlangu ada sebuah Masjid Jami yang sangat
dikenal oleh masyarakat Pekalongan. Masjid ini didirikan oleh
K.H. Abdul Majid yang merupakan orang tua dari Bapak K.H.
Syafii. Dulu masjid ini hanya berukuran 11 x 11 meter. Para
keturunannya memberi nama masjid tersebut dengan nama
masjid Asy Syafii katena banyak yang tidak mengenal K.H.
Abdul Majid, akan tetapi lebih mengenal K.H. Syafii walaupun
keduanya adalah pengasuh masjid Tersebut.
Masjid Asy Syafii
Keduanya pula yang memberi nama Pabrik Pringgading
karena letaknya di Pringlangu dan didepannya ditanami bambu
ampil gading atau yang disebut pring gading. Pada waktu itu
pabrik tersebut miliki Koperasi Pembatikan Buaran (KPB) kini
setelah usahanya menurun telah beralih tangan menjadi milik
perorangan.
(Kontributor : )
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 144
Bumirejo Dari Rowoyoso, Kanyaran, dan Bumirejo
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 145
Gambar Peta Bumirejo
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 146
MISTERI DESA BUMIREJO
( dibalik cerita asal-usul nama Kelurahan Bumirejo)
Gambar Kelurahan Bumirejo
Pada pertengahan abad XIX di perbatasan distrik Tirto dan
Buaran terdapat suatu kawasan yang berbentuk genangan air
(rawa) dan ditumbuhi tumbuhan liar yang bernama bulung
(nipah), kawasan ini disebut Rowoyoso. Kawasan ini tidak bisa
diolah sebab tergenang air setinggi pusar orang dewasa dimusim
hujan dan menyusut setinggi lutut dimusim kemarau.
Tersebutlah seorang bernama Klidin yang berasal dari desa
Wonoyoso memilih tanah yang agak tinggi, membersihkan dan
mendirikan tempat tinggal dalam beberapa tahun hal ini diikuti
oleh banyak orang sehingga membentuk suatu perkampungan.
Dikarenakan dalam membuat tempat tinggal ini tidak ada
yang mengatur maka tata letak rumah-rumah ini sembarangan saja
seperti biji yang jatuh dari pohonnya. Keadaan ini menjadikan
perkampungan ini disebut Mijen (berasal dari kata me-wiji-an).
Klidin selaku orang pertama yang datang pertama kali diangkat
sebagai pimpinan disitu dan disebut Ki Klidin. Kawasan ini masih
menjadi wilayah Buaran dan Banyurip Alit.
Disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda mengadakan
sayembara bagi siapa saja yang bisa mengeringkan Rowoyoso
hingga bisa diolah akan dijadikan asisten-wedono (ndoro Asten).
Sayembara ini diterima oleh Warijah putera Ki Klidin. Dalam
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 147
melaksanakan sayembara ini Ki Warijah membuat saluran air dari
Desa Coprayan, Desa Paweden, Desa Banyuurip-ageng, Desa
Banyuurip-alit, Desa Buaran, Rowoyoso dan Desa Samborejo
sepanjang kurang lebih 5 km dan kemudian bergabung dengan
kali Sambo (Kali meduri).
Setelah pembuatan saluran selesai Ki Warijah menghadap
ke guverment (Karasidenan) untuk menagih janji. Karena Ki
Warijah pendidikannya tidak mencukupi permintaannya ditolak.
Dirinya hanya akan diberi kedudukan sebagai demang yang
membawahi desa-desa yang terkait dengan saluran yang sudah
dibuatnya dan Rowoyoso akan dibentuk desa baru Ki Warijah
sebagai kepala desanya.
Tawaran ini diterima oleh Ki Warijah dan diadakan
pemberkasan untuk diajukan ke tingkat lebih tinggi. Namun
setelah Ki Warijah pulang istrinya bernama Nini Kayi tidak mau
menerima kesepakatan itu Ki Warijah diumpat (dipaido (jawa))
dengan kata-katanya antara lain “wong lanang kecing karo londo
bekok wedi podo-podo anak menungso kok ora wani” (Laki-laki
lawan belanda kok takut, sama-sama manusia kok tidak berani)
Mendengar ucapan itu Ki Warijah panas hatinya dan
kembali menghadap guverment membatalkan kesepakatan dan
menuntut janji semula. Dengan kelicikannya pemerintah hindia
Belanda menguji kesaktian Ki Warijah apabila kuat menjalani
ujian bisa menjadi ndoro Asten.
Ki Warijah siap menjalani ujian apa saja yang diberikan
pemerintah hindia belanda. Pelaksanaannya Ki Warijah
dimasukan kedalam tong bundar seperti drum yang diberi banyak
paku dari luar menembus kedalam. Tong ditutup lalu digulingkan
dari halaman kantor guverment sampai pantai diharapkan supaya
terbunuh. Sesampainya dipantai ternyata Ki Warijah masih hidup.
Lalu tong tersebut dibawa keterangan laut Jawa dan dibuang
disana.
Menurut kata orang Ki Warijah ditemukan oleh nelayan di
pantai sebuah pulau di kepulauan Karimun Jawa selanjutnya
hidup disana dan mendirikan perkampungan yang disebut
kampung Pekalongan.
Sementara itu di Rowoyoso pembentukan desa baru tetap
dilaksanakan. Ketika diminta untuk memberi nama untuk desa
yang akan dibentuk Ki Klidin memberi nama KENYARAN yang
berarti sengsara, berasal dari kesengsaraan yang dialami Ki
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 148
Warijah (putranya). Pengajuan nama ini ditolak dan ubah menjadi
KANYARAN yang bisa diartikan sesuatu yang baru. Selanjutnya
nama Kanyaran yang dipakai.
Desa kanyaran diberi wilayah seluas 52,048 Ha yang
berasal dari perkampungan Mijen dan rawa yang sudah
dikeringkan dan masuk wilayah distrik Tirto. Ki CARMAT (putra
Ki Warijah) diangkat menjadi lurahnya. Warga yang bertempat
tinggal diakui sebagai warga Kanyaran. Tanah darat yang
ditempati disahkan sebagai tanah yasan masing-masing dan setiap
keluarga diberi tanah garapan berupa sawah seluas 2 iring (1 iring
seluas kira-kira 1.600 m2) sebagai tanah yasan (dalam buku
catatan leter C diberi tanda Ys) seluas kurang lebih 6,75 Ha
digunakan untuk bengkok 0,55 ha untuk cadangan (grantungan).
Sisa sawah lainnya dicetak dengan satuan begenan (dalam catatan
leter C diberi tanda PI). Semua tanah sawah disewakan oleh
semacam BUMN milik pemerintah Belanda untuk ditanami tebu.
Ki Klidin meninggal dunia dimakamkan di dekat bekas
perbatasan distrik Tirto dan Buaran lalu makam ini dijadikan
pemakaman umum Kanyaran seluas lebih kurang 2.770 m2.
Makam Ki Klidin dibangun pada tahun 1962 dan diberi nama
makam Kyai Klidin.
Tanah playangan akan diberikan kepada warga dengan
syarat harus ditebus dengan kerja bakti pada pemerintah Hindia
Belanda selama dua tahun. Kerjaan itu diantaranya menggali batu
di Wonopringgo untuk dibawa ke kota guna membangun kantor-
kantor dan fasilitas pemerintah.
Dalam pelaksanaan kerja bakti ini semua warga kanyaran
tidak punya dana untuk biaya hidup hingga terpaksa harus
berhutang. Mereka banyak berhutang pada orang-orang
Banyuurip ageng, Banyuurip alit, Paweden, dan sekitarnya. Saat
kerja bakti selesai mereka tidak bisa mengembalikan hutangnya
lalu sawah yang baru didapat digunakan untuk membayar hutang
tersebut. Maka dalam buku leter C tahun 1939 terdapat nama-
nama orang Banyuurip Alit, Banyuurip Ageng, Paweden dan
sekitarnya sebagai pemilik sawah playangan.
Lurah Ki Carmat meninggal dunia lalu diganti oleh
RATIBAN sebagai lurah sementara. Kemudian diadakan
pemilihan kepala desa yang dimenangkan oleh calon Dorahman
(Putra Ki Carmat) setelah mengalahkan Suryadi.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 149
Setelah dorahman meninggal diganti oleh Suryadi sebagai
lurah sementara. Pada tahun 1941 diadakan pilihan kepala desa
dengan calon Tasripin (putra Dorahman), Rahmadi, Datram.
Dalam pemilihan ini dimenangkan oleh Tasripin.
Pada waktu Jepang berkuasa (tahun 1941) penanaman tebu
dihentikan. Sawah dikembalikan pada pemilik. Semua peralatan
penanaman tebu diambil oleh Jepang. Warga diwajibkan tanam
padi dan hasilnya sebagian besar harus disetor ke pemerintah
Jepang, sehingga masyarakat kurang pangan dan kelaparan terjadi
di semua desa.
Pada tahun 1945 Jepang kalah perang dan digantikan
pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1946 belanda datang
kembali. Rakyat Kanyaran menolak pemerintah Belanda Lurah
Tasripin mau ditangkap lalu melarikan diri ke daerah Dieng.
Disana bergabung dengan TRI (tentara rakyat Indonesia) dan
dikemudian hari karena kejadian ini bapak Tasripin termasuk
dalam daftar veteran.
Karena ada kekosongan kepemimpinan pemerintah Belanda
menunjuk seorang bernama Carmun untuk menjadi lurah. Setelah
3 tahun berada di pengungsian Bapak Tasripin kembali ke
Kanyaran dan menjabat kembali menjadi lurah pada tahun 1949.
Beliau mulai membenahi Desa Kanyaran bersama dengan warga
diantaranya adalah mendirikan mushola dihalaman rumah Bapak
Carban dan menunjuk Bapak Carban selaku imam mushola
tersebut dan dipanggil Kyai Carban (dikemudian hari tanah itu
diwakafkan dan Mushola tersebut direnovasi, kemudian diberi
nama Mushola Al Hikmah yang berlokasi di Rt 05 Rw 19).
Melihat kehidupan masyarakat Kanyaran yang serba
kekurangan, maka lurah Tasripin bermaksud meminta kembali
tanah Playangan yang dimiliki oleh orang-orang Banyuurip dan
sekitarnya. Kemudian bersama dengan warga Kanyaran
mengajukan gugatan perdata ke pengadilan Negeri Pekalongan
dengan alasan pembeliannya dahulu tidak sah karena hanya
diambil sebagai pembayaran hutang. Untuk mendukung gugatan,
maka nama Kanyaran diganti menjadi BUMIREJO (bumi artinya
betah/cumbu, rejo artinya sejahtera). Penggantian nama ini terjadi
pada tahun 1955. Namun pihak banyuurip mengadakan
perlawanan yang diwakili oleh Lurah Ratif (Lurah Banyuurp
Alit).
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 150
Setelah melalui berkali-kali sidang, masalah sengketa ini
dimenangkan oleh pihak Bumirejo pada tahun 1956 namun
dengan syarat harus membeli (mengganti kepada pihak
Banyuurip) dan bisa dicicil selama 2 tahun dengan 4 kali cicilan.
Tanah tersebut oleh bapak Tasripin dicetak ulang dengan
satuan iringan dan didaftarkan ke Agraria tegal kemudian terbitlah
buku catatan leter C tahun 1960.
Setelah menyelesaikan dua kali cicilan pihak Banyuurip
berubah pikiran, Lurah Ratif diberhentikan dari ketua kelompok
tersebut dan diganti oleh bapak H. Machali yang kemudian
menolak cicilan berikutnya. Bapak H. Machali mengajukan
gugatan kembali ke Pengadilan Negeri Pekalongan tapi ditolak
dengan jawaban perkara perdata itu sudah diselesaikan pada tahun
1956. Pengajuan ini dilakukan oleh Hj. Machali secara berkala
setiap 4 tahun dan mendapat jawaban yang sama.
Pada tahun 1962 Bapak Rachmadi dan warga sekitarnya
mendirikan mushola di halaman rumahnya. Kemudian beliau
menjadi imamnya dengan panggilan Bapak Kyai Rachmadi.
Selanjutnya tanah itu diwakafkan, mushola tersebut direnovasi
dan diberi nama Mushola Nurul Yaqin. Sehingga di Desa
Bumirejo sudah memiliki 2 bangunan Mushola.
Mengingat di Desa Bumirejo belum ada sarana pendidikan,
maka bapak Tasripin bersama warga bermaksud mendirikan
sekolah dimulai dari mengumpulkan anak didik dan meminta
bantuan tenaga pengajar (guru) dari Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan (P&K) hingga kemudian diberi guru Bapak
Muhammad Nuh. Dikarenakan belum ada gedung sekolah, maka
kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di pranggok (semacam
rumah yang biasa dipergunakan seperti bengkel atau tempat kerja)
milik Bapak Nitiharjo.
Pembangunan sekolah dilaksanakan pada tahun 1965 diatas
tanah milik Tasripin, Wastri, Raidah dan 2 bidang lainnya yang
dibeli dengan menggunakan uang iuran warga. Pada tahun 1967
sekolah tersebut mulai bisa digunakan, namun hanya miliki 2
ruang kelas. Tahun 1969 tanah dan bangunan tersebut dihibahkan
ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) supaya menjadi
sekolah dasar negeri kemudian diberi nama SDN Bumirejo.
Selanjutnya pengelolaan dan pengembangan dilakukan oleh Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 151
Tahun 1985 Lurah Tasripin meminta tanah grantungan
untuk didirikan masjid. Permintaan tersebut dipenuhi dan setelah
dilakukan tukar menukar dengan warga maka tanah itu dibangun
masjid dengan nama Nurul Huda sebagai pengurusnya diangkat
Bapak H. N. Eddy Yusuf sebagai ketua yayasan Al Warijah.
Dengan adanya perda tentang peremajaan aparatur desa,
maka lurah Tasripin mundur dari jabatannya dan diadakan
pilkades pada tahun 1989. Ada 3 calon yaitu: Bpk. Suripto, Ibu
Urifah, dan Ibu Muktiati dan dimenangkan oleh Bapak Suripto.
Dengan adanya perluasan wilayah kota madya Pekalongan,maka
pada tahun 1990 Desa Bumirejo masuk wilayah kota madya
(Kodya) Pekalongan. Pada tahun 1994 Bapak Suripto
mengundurkan diri dan digantikan Bapak Sri Kuncoro S.p,B.A
selaku pejabat sementara. Diadakan pemilihan lurah lagi pada
tahun 1995 dengan calon Mohammad Danu dan Roghibah yang
dimenangkan Bapak Mohammad Danu.
Bersamaan dengan itu pihak banyuurip yang diwakili oleh
H. Ikhsan menggugat tanah playanan ke pengadilan tinggi di
Semarang. Pada tahun 1996 dikeluarkan putusan tanah tersebut
harus dikembalikan kepada pemilik yang terdaftar pada buku leter
C tahun 1939 dan bapak Tasripin harus mengembalikan hasil
panen dari sawah tersebut selama 40 tahun.
Bapak Tasripin tidak terima dengan keputusan tersebut,
kemudian beliau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung di
Jakarta. Permasalahan tersebut selesai pada tahun 1999 dengan
keputusan tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik sesuai
dengan buku leter C namun tidak ada pengembalian hasil panen.
Dengan adanya penghapusan desa menjadi kelurahan maka
bapak Muhammad Danu diberhentikan dari jabatannya sebagai
kepada desa dan diangkat menjadi PLT Lurah Bumirejo pada
tahun 2003 sampai masa kerjanya habis pada tahun 2005.
Kemudian diganti oleh bapak Amaryadi,S.H.
Keputusan Mahkamah Agung eksekusinya dilaksanakan
tahun 2006 terjadilah ketegangan antara para pemilik terdaftar di
buku leter C tahun 1960 dan pemilik terdaftar buku leter C tahun
1939. Setelah terjadi berulangkali peretemuan musyawarah, maka
disepakati tanah tersebut menjadi milik bersama, dijual bersama-
sama hasil penjualannya dibagi masing-masing 50% setelah
dikurangi biaya operasional. Tanah tersebut ditawarkan ke banyak
pengembang, hingga akhirnya dibeli oleh PT.Aji Saka untuk
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 152
dibuat perumahan dan akan diberi nama Perumahan Bumirejo
Damai. Setelah diurug dan dibangun diresmikan dengan nama
BRD Residence.
Salah satu petuah dari orang bijak menyebutkan bahwa
keberhasilan tidak datang dengan sendirinya. Keberhasilan harus
diupayakan dengan segala cara meskipun harus dengan
pengorbanan yang besar. Para pendiri desa Bumirejo telah
mengajarkan betapa kerja keras, kebijaksanaan dan kesabaran
telah membawanya kepada keberhasilan tersebut.
(Kontributor : Kharisma Putri, Suripto, Alimil Ghoib)
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 153
Pasirsari Berubah Citra Dengan Ahlussunah Waljama’ah
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 154
Gambar Peta Pasirsari
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 155
Gambar Kelurahan Pasirsari
Sebuah desa pasti memiliki kenangan tersendiri dihati
penduduknya, entah itu kenangan terindah maupun kenangan
terburuk sekalipun. Tempat tinggal merupakan sebuah cikal bakal
dimana seseorang terus tumbuh berkembang dan mampu
menentukan arah hidupnya. Sebagai tempat dimana seseorang
pertama kali terlahir didunia, tempat tinggal atau desa pasti
memiliki daya tarik tersendiri untuk sesekali dikunjungi ketika
sesorang sudah sekian lama meninggalkan desanya untuk
berbagai kepentingan. Terus mengingat tempat tinggalnya
merupakan hal yang baik dalam rangka mensyukuri keadaan
hidupnya kini.
Karakter dari sebuah desa terwujuddalamgaya dan ciri
khasmasing-masing. Baik itu yang terlihat maupun yang tak
terlihat, biasanya orang bisa menebak asal tempat tinggal
seseorang hanya dengan dari gaya logat bicaranya danatau apapun
yang menurutnya itu khas membedakannyadari yang lain. Tatanan
kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah yang menjadi
dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka, sehingga dapat
membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri
kehidupan yang khas.5
5Drs. H. M. Arifin Noor, 1999, Ilmu Sosial Dasar, Pustaka Setia,
Bandung, hlm 85.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 156
Kebudayaan pun tak akan pernah lepas dari suatu tatanan
masyarakat tersebut. Karena telah kita ketahui bahwa masyarakat
dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Kita akan sulit bicara tentang masyarakat tanpa
kebudayaan, begitupun sebaliknya. Dengan demikian dapat
dikatakan suatu kebudayaan tidak akan lahir tanpa adanya
masyarakat.
Demikian pula dengan Pasirsari, sebuah nama kelurahan
sebelum dimerger bersama dengan Kelurahan Kraton Kidul dan
Kelurahan Kramatsari menjadi Pasir Kraton Kramat. Pasirsari
adalah sebuah kelurahan kecil dipojok kota Pekalongan yang
memiliki segudang masa lalu, nostalgia dan kenangan-kenangan
zaman dahulu yang tak bisa dilupakan begitu saja dibenak para
orang tua. Pasirsari, sebuah kelurahan kecil dengan luas 107,9865
Ha yang terdiri dari 8 Rukun Warga dan 42 Rukun Tetangga ini
sebelah barat berbatasan langsung dengan Desa Karangjompo,
kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan
Kelurahan Kramatsari, sebelah utara berbatasan langsung dengan
Desa Tegaldowo, kabupaten Pekalongan dan sebelah selatan
berbatasan langsung dengan kelurahan Tirto.
Kelurahan dengan jumlah Kepala Keluarga 2.129, kini
tumbuh berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Segala
bentuk pembangunan terus dilaksanakan disetiap sudutnya. Baik
itu berstatus milik pribadi maupun umum. Hal ini dapat dilihat
dari 1 buah masjid yang berdiri kokoh, 23 mushola, 657 rumah
permanen, 1.033 rumah semi permanen, 52 rumah non permanen,
2 lapangan bulu tangkis, 4 lapangan tenis meja, dan 2 lapangan
tenis.
Tatanan masyarakat yang rukun dan satu kesatuan yang
kuat, sikap gotong royong dan saling peduli satu sama lain
menjadi nafas sehari-hari dalam menjalani kehidupan. Kesesuaian
segala aspek berjalan beriringan dengan indah tanpa adanya
perselisihan yang nyata. Aman dan nyaman bagi para
penduduknya. Tempat bermain dan berkeluh kesah bagi mereka
yang lelah dan anak-anak yang tak berdosa. Hal tersebut sangat
jauh berbeda dengan keadaan puluhan tahun yang lalu. Menurut
cerita dari Bapak Mathlub (77)6, dahulu Pasirsari ini terkenal
6Sesepuh dan tokoh masyarakat setempat, warga asli kelurahan Pasirsari
RT. 03 RW. 04 kelahiran tahun 1938. Masa kecil beliau pernah melihat
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 157
sebagai desa yang memiliki citra tidak baik, banyak orang yang
saling membunuh untuk alasan apapun. Sehingga mayoritas
penduduknya pun juga tidak dikenal baik oleh tetangga-tetangga
desa sekitar. Padahal agama Islam sudah berkembang pesat dan
banyak pula yang sudah fanatik terhadap satu paham tertentu.
Nahdlatul Ulama’sebagai salah satu organisasi terbesar di
Indonesia saat itu sudah berkembang begitu pesat di tanah
Pasirsari. Paham Ahlussunnah wal Jama’ah inilah yang
menjadikan banyak budaya dan tradisi ada di Pasirsari,
diantaranya tradisi pembacaan kitab maulid Albarzanji, Yasinan,
tahlilan dan masih banyak lagi. Bersamaan dengan itulah sekitar
tahun 1955 dan 1960-an peran ulama terasasangat kuat. Ulama
Pasirsari dahulu yang terkenal diantaranya Alm. H. Hanafi, Alm.
Ma’sum, Alm. Sijan, Alm. Abdul Salam. Alm. Mbah Shaleh dan
Alm. H. Mashuri.
Kemudian dalam aspek ekonomi, sejak dahulu penduduk
Pasirsari sudah memiliki jiwa berwirausaha, diantara usahanya
adalah berdagang batik dan terasi. Sehingga sangat sedikit sekali
warganya yang merantau ke luar kota. Hal ini sudah bisa dilihat
dari warganya yang sekarang banyak yang sudah menjadi
pengusaha batik, terbukti dengan adanya 136 industri kecil dan 20
industri Rumah Tangga menurut Laporan Monografi per Juli s/d
Desember 2014.7
Sistem Pemerintahan dari dulu pun sudah tertata
sedemikian rapinya. Bapak Mathlub ingat betul bagaimana dahulu
lurah-lurah memimpin Pasirsari ini, diantaranya adalah Lurah
Samin yang berjaya sekitar tahun 1930-an dan Lurah Duryani
yang berjaya sekitar tahun 1935an. Namun konon dahulu
namanya bukan Kelurahan Pasirsari, melainkan Kelurahan
“Geblak” yang masyarakat biasa menyebutnya dengan Desa
“Ngablak-ablak”. Dikatakan demikian karena dahulu kondisinya
bengisnya kekejaman para PKI tahun 1965 di tanah Pasirsari. Beliau
terkadang aktif menjadi Imam di Mushala Karomatul Amin. Kini diusia
senjanya, beliau sering sakit-sakitan dan hanya berdiam diri dirumah,
aktivitasnya hanya beribadah demi untuk mendekatkan diri pada sang
pencipta. 7Laporan Monografi adalah himpunan data yang dilaksanakan oleh
Lurah Desa / Pemerintah yang tersusun secara sistematis, lengkap,
akurat dan terpadu dalam rangka penyelenggaraan pemerintah terkait
dengan pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 158
masih sangat jarang ada rumah penduduk dan masih banyak tanah
yang kosong, sehingga sesuatu yang berada jauh dalam radius
berapa kilometer pun masih bisa terlihat tanpa adanya penghalang
mata apapun. Kemudian nama tersebut perlahan-lahan berubah
menjadi “Pasirsari”, asal usul yang melatarbelakangi pemberian
nama tersebut adalah keadaan topografinya yang berbentuk pantai
sehingga banyak pasirnya, makna “sari” sendiri berarti patisari
yang merupakan sebuah cikal bakal. Bapak Mathlub juga
menyakini bahwa nama “Pasirsari” ini lebih dulu ada dibanding
dengan nama “Pekalongan”.
Berikut ini nama-nama tempat di kelurahan Pasirsari yang
memiliki nilai-nilai sejarah dan masih ada hingga sekarang.
1. Pohon Kepuh
Pohon kepuh atau yang masyarakat Pasirsari biasa
menyebutnya dengan “wit kepuh” ini merupakan pohon
terbesar di Kelurahan Pasirsari. Batang pohon ini berukuran
kurang lebih 10 meter dengan akar yang menjalar kemana-
mana. Pohon kepuh ini erat kaitannya dengan cerita
waliyullah Syekh Syamsidin yang makamnya tepat berada di
bawah pohon tersebut. Pohon kepuh ini bisa dijumpai di jalan
Sutan Syahrir Gang 13 atau yang biasa disebut dengan Gang
Kepuh.
2. Makam Mbah Demung
Mbah Demung merupakan salah satu tokoh wali
penyebar agama Islam di tanah Pasirsari. Makamnya terdapat
di Kelurahan Pasirsari jalan KH Samanhudi Gang 6 dan
khaulnya selalu diperingati setiap bulan Sya’ban.
3. Makam Syekh Syamsidin
Seperti yang sudah diuraikan diatas, makam dari Syekh
Syamsidin ini berada tepat dibawah pohon kepuh. Setiap
tahun selalu diadakan Khaulatau peringatan hari wafatnya
Syekh Syamsidin tepatnya pada bulan Asyuro. Syekh
Syamsidin ini juga salah satu tokoh wali penyebar agama
Islam di tanah Pasirsari. Konon dahulu Syekh Syamsidin ikut
berjuang dalam peperangan yang dipimpin oleh Pangeran
Diponegoro. Beliau istirahat di tanah Pasirsari dan akhirnya
menetap sekaligus mensyiarkan agama Islam sampai beliau
wafat. Subhanallah.
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 159
4. Brug Sabrang (Jembatan Sabrang)
Kata “sabrang” maksudnya adalah “seberang”, artinya
suatu tempat yang dipisahkan oleh sesuatu, misalnya sungai,
laut jalan dan sebagainya. Adapun Brugadalah kata serapan
dari bahasa Belanda yang berarti jembatan atau dengan
pengertian tempat atau alat untuk membawa seseorang
menuju tempat lainnya. Brug Sabrang ini berada di ujung
utara jalan Sutan Syahrir yang langsung berbatasan dengan
Desa Tegaldowo Kabupaten Pekalongan. Masyarakat
Pasirsari Utara sudah sangat akrab dan paham betul dengan
sebutan “sabrang”. Pada malam hari sabrang biasanya
digunakan anak muda sekitar sebagai tempat untuk
berkumpul. Asal muasal penamaan “sabrang” sudah muncul
sejak dahulu oleh para pendahulu. Konon dahulu diujung
utara jalan Sutan Syahrir tersebut ada sawah dan sungai yang
mengalir, ditengah-tengah sawah tersebut ada jembatan
untuk menyebrang ke sungai, sehingga jembatan tersebut
disebut “jembatan/brug sabrang”.
5. Kali/ Sungai Bremi
Kali Bremi adalah sebuah kali yang mengalir di sebelah
timur Kelurahan Pasirsari dengan 3 buah jembatan besar
yang membentang. Yaitu jembatan di jalan Angkatan 66,
jalan Teuku Umar dan jalan Pramuka.Alirannya cukup jauh,
yakni dari Jalan Gajah Mada sampai ujung utara Pasirsari.
Kata Bremi sendiri berasal dari Bahasa Jawa kuno yaitu
“Bermi” yang menurut sesepuh setempat artinya “saling
menyangkut satu sama lain dan saling berhubungan”. Melihat
keadaan dan kondisi Kali Bremi sekarang sangat
memprihatinkan, banyak tumbuhan enceng gondok dan
sampah. Warna airnya pun tak pernah jernih. Berubah-
berubah warna sesuai dengan warna limbah batik yang
dibuang pada hari itu juga. Dahulu apapun musimnya, baik
itu musim kemarau maupun musim panas, tidak pernah
terjadi banjir, namun sekarang banjir sepertinya tidak
mengenal musim, Kali Bremi sering meluap apabila debit air
penuh, sehingga musim panas saja pun terkadang banjir.
Padahal curah hujan setiap tahunnya tidak terlalu banyak,
hanya 2,5 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata 32° C/ 33°
C. Mungkin karena bentuk topografinya pantai jadi sering
banjir. Sungguh mengkhawatirkan. Tentunya dahulu keadaan
Mengungkap Asal - Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan 160
kali ini tidak demikian. Inilah perbuatan dari tangan-tangan
manusia yang tidak bisa menjaga kejernihan alam yang ada.
Demikianlah semua yang tertulis tentang Pasirsari,
sekarang sudah tiada lagi karena adanya merger atau
penggabungan kelurahan dari Pemerintah Kota. Kini hanya
tinggalah sebuah nama. Segala kenangan tak akan pernah
mudah terlupakan begitu saja, jati diri yang utuh dan tak
terganti akan senantiasa tetap ada dihati penduduknya.
( Kontributor : Vienna Viergo, Nur Daningsih, Ribut Achwandi)
i
Kontributor
Kharisma Putri, Asal Usul Bumi Rejo
Suripto, AlimilGhoib, Kronologi Desa Bumirejo
SaifulBahri,Dekoro Kelurahan Tertua Di Kota Pekalongan
Miftahudin al azam,Menggali Mutiara Sejarah Yang Tenggelam di
Kelurahan Kandang Panjang
Laela , Sejarah Kelurahan Kebulen
Amiroh, SE,asal usul dan tradisi Desa krapyak lor
Bagus Rachman, Asal-usul dan keaneka ragaman kelurahan Krapyak
Karto Susilo, Asal Usul Krapyak Pekalongan Dan Tradisi Islam
Naela Khikmiah,Mengungkap Keramat Wilayah Landungsari
Slamet Riyadidi Balik Nama Landungsari
Sumali Sudarja,Mbah Landung Namaku
Dain Santoso, Jati Diri Desa Noyontaan
Setya Ningsih, Noyontaan: Dulu Dan Kini
Mukhamad Bustomi Fajari, Ketika Kelurahan Panjang Wetan Berbicara
Nur Daningsih, Asal Usul Nama Desa Pasirsari
Vienna Viergo, Mengenal Jati Diri Kelurahan
Husna Karimah, Jejak Sejarah Kelurahan Poncol
Moh. Riza Rahmat Syah,Poncol
Abdul Fatah, Napak TilasMasa Leluhur Kami
Dyan Shinta, Sorogenen
Muh. Agus Arifuddin, S. Pd,Sejarah Desa Podosugih
ii
Kepustakaan
Alang – Alang Kumintir “Mulat Satria Tansah Elinglan Waspada” Kamus
Sansekerta – Indonesia Oleh : Dr. Purwadi, M. Humdan Eko Priyo
Purnomo, SIP
Babad Tanah Jawi, Sudibjo Z.H, Penerbit Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Jakrta, 1980
Batik Belanda 1840 – 1940, Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa
Sejarah dan Kisah – kisah di sekitarnya, Harmen C. Veldhuisen
Batik Pekalongan Dalam Lintas Sejarah, KusninAsa, Paguyuban Pencinta
Batik Pekalongan, 2006
Citra Kota Pekalongan dalam Arsip, Arsip Nasional Republik Indonesia,
2016
Fabric of Enchantment Batik from the North Coast of Java, RensHeringa,
Harmen C. Veldhuisen, January 1997
Ilmu Sosial Dasar, Aripin Noor, H, M, Drs, PustakaSetia, Bandung, 1999
Kamus PraktisB elanda – Indonesia, Sugeng Riyanto – Dini Saraswati,
GrahaI lmu 2011
Menelusuri berdirinya Kota Pekalongan Rasa Swarga Gapuraning Bumi,
Oethomo, Ms, Bambang Adiwahyu Danu saputra, 1986
Pekalongan Yang (tak) Terlupakan Sebuah Catalog Warisan Budaya
Pekalongan, Dirhamsyah, M, Penerbit; Kantor Perpustakaan dan Arsip
Daerah Kota Pekalongan , 2014
Verzameling Van Reglementen, Keuren Van Politie En Verschillende
Andere Politiebepalingen Vorr De Residentie Pekalongan, W.F.
ENGELBERT VAN BEVERVOORDE, 1905
http://alangalangkumitir.wordpress.com/kamus-sansekerta-indonesia
http://kamuslengkap.com
http://kamuslengkap.com/kamus/kawi-indonesia
http://globe.com
http://id.wikipedia.org/wiki/wiktionary:Kamus_bahsa_jawa
https://id.wiktionary.org/wiki/Wiktionary:Kamus_bahasa_Jawa_%E2%80
%93_bahasa_Indonesia
http://kbbi.web.id
http://kamusbesar.com
http://sansekerta.org/kamus-sansekerta/
Membicarakan cerita tentang asal usul nama suatu daerah atau
wilayah adalah hal yang menarik. Kita sering mendengar dari para
pendahulu tentang dongeng yang menceritakan terbentuknya suatu daerah
atau pemberian nama suatu wilayah. Uniknya seringkali kita justru
mendapatkan cerita yang diluar logika .
Dibalik pemberian nama suatu wilayah, tak jarang terselip kisah
kisah yang sesungguhnya mampu memberikan inspirasi atau motivasi bagi
pendengarnya. Bagi generasi muda cerita tentang asal-usul dapat menjadi
pel~aran tentang kerja keras dan kearifan masyarakatnya. Bagi generasi
tua dapat menjadi nostalgia yang dulu pernah mendapatkan ceerita ketika
masih kanak-kanak.
Kini budaya bertutur semakin luntur tergerus oleh kemajuan
teknologi yang membuat orang lebih individualis dan apatis terhadap
lingkungan. Alih-alih memahami sejarah daerah sendiri, masyarakat kini
justru lebi h memahami sejarah tentang luar negeri yang dianggap lebih
baik, melupakan sejarah daerahnya, melupakan sejarah bangsanya yang
sesungguhnya memil iki nilai-nilai luhur sebagai karakter yang
membedakannya dengan bangsa lain.
Asal-usul nama Kelurahan di Kota Pekalongan temyata sangat
menarik untuk dikenalkan kepada semua khalayak . Oleh karen any a sebagai
wuj ud kepedulian untuk membangkitkan kembali semangat cinta terhadap
sejarah daerah, Pemerintah Kota Pekalongan melalui Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan menerbitkan buku "Mengungkap Asal Usul Nama Kelurahan
di Kota Pekalongan".
Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Pekalongan ISBN m - b02-701'6 - 3-b
JIIIJl!J~JIIIIII!!Il~JJIIII