ii tinjauan pustaka 2.1. itik 2.1.1. definisi dan...
TRANSCRIPT
10
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Itik
2.1.1. Definisi dan Taksonomi Itik
Itik adalah jenis unggas air yang tergolong dalam ordo Anseriformes,
family Anatidae, genus Anas dan termasuk spesies Anas javanica. Proses
domestikasi membentuk beberapa variasi dalam besar tubuh, konformasi, dan
warna bulu. Perubahan ini diperkirakan akibat campur tangan manusia untuk
mengembangkan ternak itik dengan tujuan khusus dan juga karena jauhnya jarak
waktu domestikasi dengan waktu pengembangan (Chaves dan Lasmini, 1978).
Taksonomi Itik Lokal
Kingdom : Animalia
Phylum : Veterbrata
Class : Aves
Ordo : Anseriformes
Familia : Anatidae
Genus : Anas
Species : Anas Platyhyncos
2.1.2. Jenis Itik
Itik asli Indonesia termasuk jenis Indian Runner (Anas plathyryncos).
Secara morfologis Indonesia memiliki beberapa jenis itik lokal berdasarkan
tempat berkembangnya (Simanjuntak, 2002). Bangsa itik domestikasi dibedakan
6 menjadi tiga yaitu: pedaging, petelur dan hiasan. Itik-itik yang ada sekarang
11
merupakan keturunan dari Mallard berkepala hijau (Anas plathyrhynchos
plathyrhynchos).
2.1.2.1. Karakteristik Itik Cihateup
Itik Cihateup berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, hidup dan beradaptasi pada daerah
ketinggian 378 mdpl (Wulandari dkk., 2005; Matitaputty, 2012) dan sering
disebut dengan itik gunung. Itik Cihateup penyebarannya sudah sampai di
daerah Kabupaten Garut.
Itik Cihateup memiliki kemiripan dengan itik-itik lainnya yang ada di
Jawa, seperti itik Kerawang, itik Cirebon, maupun itik Tegal. Walaupun
demikian, secara genetik terdapat keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani,
2005). Lebih dekatnya kesamaan sifat antara itik Cihateup dengan beberapa itik
disekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah dibandingkan dengan itik Alabio, sebab
dalam denogram jarak genetika antara itik Cihateup dengan itik-itik lokal yang
berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih dekat dibandingkan dengan itik
Alabio (Hetzel, 1985). Menurut (Brahmantiyo dkk., 2003) itik Cihateup asal
Jawa Barat memiliki hubungan kekerabatan agak jauh dengan itik Bali, itik
Alabio dan Khaki Campbell.
Itik Cihateup memiliki beberapa ukuran tubuh seperti ukuran lingkar dada
yang lebih besar dibandingkan itik Cirebon dan Mojosari dan itu dapat dijadikan
indikasi bahwa itik Cihateup memiliki potensi sebagai penghasil daging (Muzani,
2005). Itik Cihateup jantan umur potong 8 minggu sudah dapat menghasilkan
12
bobot potong 1323,87 g dengan bobot karkas 812,13 g (61,36%). Bagian yang
berdaging (paha dan dada) itik Cihateup dapat mencapai 27,14% dan 24,97%,
bagian paha itik Cihateup lebih besar dibandingkan dengan itik Alabio (25,22%)
(Matitaputty, 2011).
Panjang leher dan panjang tulang sayap merupakan penciri utama untuk
ukuran tubuh pada itik Cihateup jantan maupun betina, dengan adanya korelasi
positif antara panjang leher, panjang tulang sayap dan ukuran tubuh (Wulandari,
2005). Potensi dan pengembangan itik Cihateup masih terbuka luas untuk dikaji
lebih jauh, dan sangat diharapkan bagi Pemerintah Daerah Jawa Barat untuk dapat
mengembangan unggas air ini, karena memiliki potensi sebagai itik petelur
unggul bagi itik betina dan itik potong bagi itik jantan, supaya itik Cihateup lebih
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Oleh karenanya diperlukan informasi yang
lebih mendalam dan akurat tentang itik Cihateup itu sendiri baik dari segi bibit,
pakan dan manajemen, serta penyakit dan pemasaran. Selain itu untuk
menjadikan itik Cihateup sebagai galur baru sama seperti Alabio asal Kalimantan
Selatan, diperlukan data-data pendukung seperti populasi itik Ciahteup itu sendiri
jumlahnya ada berapa banyak, ketersediaan bibit yang berkualitas dan kontinyu,
berapa banyak kelompok peternak yang membudidaya itik ini, dan harus tahu
karakteristik itik seperti warna bulu untuk jantan dan betina, ukuran tubuh jantan
dan betina, produksi dan reproduksi, serta manajemen pemeliharaan bahkan yang
mencirikan itik Cihateup secara spesifik dari itik yang lain dengan melakukan
secara genetik seperti polimorfisme protein darah, DNA dll. Informasi ini sangat
13
berguna bagi pengembangan itik Cihateup ke depan dalam upaya untuk
menjadikan itik Cihateup sebagai sumberdaya genetik unggas air asli Jawa Barat
yang perlu dilestarikan dan dikembangkan secara berkelanjutan.
Ciri-Ciri Itik Cihateup Adalah :
Warna kombinasi dari coklat, hitam, dan putih
Tubuh terlihat besar, dan tegak
Leher panjang
Paruh dan Kaki berwarna hitam
Telur berwarna putih kehijauan
Menghasilkan telur sekitar 200 – 290 butir per tahun
Bobot telur rata-rata sekitar 70 gram
Bobot dewasa baik jantan dan betina berkisar 1,5 – 1,7 Kg.
2.2. Penyesuaian Fisiologis
Kondisi fisiologis ternak salah satunya proses pembentukan darah
(hemopoeisis) memerlukan zat seperti besi, mangan, kobalt, vitamin, asam amino
dan hormon sehingga mempengaruhi nilai status darah. Pakan mempengaruhi
kondisi fisiologis ternak. (North dan Bell, 1990) menyatakan nutrisi dalam pakan
digunakan tubuh unggas untuk menjaga keberlangsungan proses fisiologis yang
secara umum berupa kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi telur dan
deposit lemak. Penggunaan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan daya
cerna sehingga zat-zat pakan lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertumbuhan
14
maupun produksi dan menunjang proses-proses fisiologis dalam tubuh (Barrow,
1992). Pemeriksaan profil darah sangat penting dilakukan, karena profil darah
yang merupakan gambaran kondisi fisiologis tubuh yang berkaitan dengan
kesehatan. Profil darah yang baik akan dapat menunjang proses fisiologis yang
menjadi lebih baik.
Ilmu fisiologi, suatu ilmu yang mempelajari fungsi alat-alat tubuh dalam
mempertahankan kesehatan/kenormalan tubuh dan kelangsungan hidup (Survival
of life). Fisiologi sebagai analisis fungsi di dalam tubuh makhluk hidup adalah
untuk mempertahankan eksistensinya, meliputi studi tentang darah, sirkulasi
kardiovaskular, respirasi, aktivitas otot/pertumbuhan, sistem syaraf, endokrin,
pencernaan, metabolisme, pengaturan suhu tubuh, keseimbangan air dan
elektrolit, serta ekskresi.
Lingkungan berpengaruh besar terhadap sifat genetik ternak. Penerapan
ternak di daerah yang iklimnya sesuai akan menunjang dihasilkannya produksi
secara optimal. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi dapat
menyebabkan stres terhadap ternak sehingga fisiologis ternak tersebut meningkat
dan konsumsi pakan menurun, sehingga produktivitasnya menurun.
Suhu tubuh dengan suhu rektal dan suhu kulit saling berpengaruh karena
suhu tubuh di dapat dari kedua suhu tersebut. Frekuensi pernapasan berpengaruh
kepada lingkungan, apabila suhu dan kelembaban naik maka frekuensi respirasi
dan denyut jantung akan meningkat. Daya tahan terhadap panas dapat dihitung
dengan melihat jumlah keringat yang diekskresikan oleh hewan atau ternak.
15
Beberapa komponen kompleks yang berperan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup normal adalah homoiostasis dan metabolisme.
2.2.1. Homoiostasis
Sel-sel makhluk hidup memerlukan lingkungan yang favourable dan
stabil untuk dapat bertahan hidup dengan normal. Adanya pergeseran graduasi
lingkungan baik ke arah defisiensi maupun ekses, akan mengganggu berfungsinya
sel-sel secara optimal dan bahkan dapat mengancam kehidupannya (Amakiri dan
Heath, 1985)
Mekanisme dasar proses adaptasi dimulai dengan mekanisme
homoiostasis melalui pengaturan cairan tubuh, pengaturan suhu tubuh, pengaturan
kardiovaskular, dan ritme biologis. Terdapatnya empat mekanisme pengaturan ini
disebabkan oleh hewan selalu dihadapkan kepada dua tipe lingkungan, yakni
lingkungan di luar tubuh atau external environment dan lingkungan di dalam
tubuh atau internal environment. Perubahan lingkungan eksternal akan mengubah
lingkungan interna, namun perubahan ini akan dikembalikan ke normal melalui
proses homoiostasis. Homoiostasis ialah proses pengaturan kondisi lingkungan
interna dalam keadaan relatif stabil. Lingkungan internal yang dimaksud adalah
suhu tubuh, kandungan air, pH cairan tubuh, tekanan osmose, konsentrasi
elektrolit, komposisi kimiawi, enzim, dan hormon. Semuanya harus stabil karena
fungsi sel hanya akan berjalan lancar bila cairan di sekitarnya optimum untuk
fungsi sel. Cairan yang merendam sel tersebut harus merupakan medium untuk
16
terjadinya pertukaran nutrien dan limbah serta untuk distribusi berbagai pengantar
kimia (Amakiri dan Heath, 1985).
Tubuh hewan haruslah relatif berada dalam keadaan seimbang
(homoiostasis) dari zat-zat kimia dan prosesnya untuk dapat tetap hidup. Daya
tahan hidup dan kesehatan sangat tergantung kepada daya tahan tubuh organisme
untuk mempertahankan atau kecepatan dalam mempertahankan ataupun kembali
kepada tingkat homoiostasis semula.
Dalam proses adaptasi, terlibat sistem susunan syaraf pusat terdiri atas
otak dan sumsum tulang belakang serta berbagai serabut syaraf afferent dan
efferent yang melangsungkan rangsangan sensoris dan motoris dari dan ke kulit,
otot, serta organ. Dalam susunan syaraf pusat yang memegang peranan penting
ialah hipothalamus yang merupakan organ yang mengintegrasikan setiap organ
untuk mekanisme homoiostasis. Hipothalamus juga merupakan pusat yang
mengontrol suhu tubuh, konsumsi air dan pakan, pengatur tekanan osmose, dan
pengatur kegiatan kardiovaskular. Hipothalamus bertindak sebagai penghubung
antara syaraf dengan kelenjar endokrin melalui serabut neurosekretori yang
menuju kelenjar pituitari. Mekanisme homoiostasis secara operasional diatur
dengan kontrol umpan balik yang cukup kompleks (feedback system).
Dalam proses homoiostasis, kelenjar pituitari ini diaktifkan secara
langsung sedangkan kelenjar target seperti tiroid dan adrenal diaktifkan secara
tidak langsung. Hubungan antara kondisi lingkungan dengan metabolisme basal
diatur oleh syaraf dan kelenjar endokrin. Selain itu, terlibat syaraf otonom yang
17
merupakan motor untuk jeroan yang berasal dari sel intermediolateral dari kolom
sumsum tulang yang nukleusnya terdapat pada batang otak. Secara morfologis
dan fisiologis, syaraf otonom terdiri atas syaraf simpathis dan parasimphatis.
Parasimpathis umumnya merangsang atau mendorong dan mengatur kegiatan
pencernaan, aliran darah, dan lain-lain. Sebaliknya simpathis biasanya kerjanya
mengerem kegiatan sehingga sering diberi nama fight system terhadap
parasimpathis. Ternak yang ketakutan, kepanasan, panik, dan lain-lain akan
melibatkan syaraf otonom yang dapat menimbulkan meningkatnya denyut nadi,
produksi kelenjar keringat, tidak mau makan, lari tanpa kesadaran, dan lain-lain
yang berkaitan dengan kerja syaraf otonom.
2.2.2. Metabolisme
Metabolisme merupakan bagian fungsi tubuh yang penting guna
mempertahankan dan memelihara kelangsungan hidup. Metabolisme adalah suatu
proses komplek perubahan makanan menjadi energi dan panas melalui proses
fisika dan kimia, berupa proses pembentukan dan penguraian zat didalam tubuh
organisme untuk kelangsungan hidupnya. Metabolisme merupakan rangkaian
reaksi kimia yang diawali oleh substrat awal dan diakhiri dengan produk akhir,
yang terjadi dalam sel.
Metabolisme merupakan proses yang berlangsung dalam organisme, baik
secara mekanis maupun kimiawi. Metabolisme itu sendiri terdiri dari 2 proses
yaitu anabolisme (proses pembentakan molekul yang kompleks dengan
menggunakan energi tinggi) dan Katabolisme (proses penguraian zat untuk
18
membebaskan energi kimia yang tersimpan dalam senyawa organik tersebut).
Pada proses pencernaan makanan, karbohidrat mengalami proses hidrolisis
(penguraian dengan menggunakan molekul air). Proses pencernaan karbohidrat
terjadi dengan menguraikan polisakarida menjadi monosakarida.
2.2.3. Adaptasi Sistem Cairan Tubuh Terhadap Cekaman Panas
Cairan tubuh ialah air dan zat-zat terlarut didalamnya, seperti elektrolit,
protein, glukosa, urea dan sebagainya (Houpt, 1970). Cairan tubuh dapat
dibedakan menjadi dua yaitu CES (cairan ekstraseluler) sel (terdapat di luar sel)
dan CIS (cairan intraseluler) sel (terdapat di dalam sel).
Konsentrasi osmotik cairan ekstra sel terutama ditentukan oleh
kehadiran ion Na+, Cl
-, dan HCO3
-, sementara konsentrasi osmotik cairan intra
sel terutama ditentukan oleh kehadiran ion K+, Mg
++, dan substansi-substansi
organik, termasuk protein. Adanya kekuatan tarik-menarik antar-molekul dan
antar ion, pengaruh osmotik dari substansi-substansi tersebut dalam cairan
tubuh adalah kurang dari 100%. Nilai tekanan osmotik telah dikoreksi
menjadi 93%.
Aktivitas osmotik dari semua cairan tubuh dalam kompartemen yang
berbeda adalah hampir sama, kecuali sedikit perbedaan kandungan protein antara
plasma dan cairan intestitial. Protein plasma yang lebih tinggi dalam plasma
menyebabkan perbedaan tekanan osmotik menyeberangi dinding kapiler darah.
Perbedaan ini juga memberikan arti penting untuk mempertahankan volume dan
tekanan darah.
19
CES terdapat sebagai cairan interstitial (± 15% berat badan), cairan
intra vaskuler atau plasma (± 5% berat badan), dan cairan transeluler (± 2-3%
berat badan) yang mencakup cairan serebrospinal, cairan intraokuler, cairan
persendian, cairan dalam saluran-saluran kelenjar alat pencernaan dan alat
reproduksi. Cairan dalam saluran pencernaan, sekalipun tidak termasuk dalam
cairan transeluler, akan tetapi memiliki peran yang penting dalam homeostasis
cairan tubuh.
Volume dan komposisi CES yang terdistribusi ke dalam kompartemen
intravaskuler (±25%) dan interstitial (±75%) adalah secara normal dipertahankan
relatif tetap atau perubahannya terjadi dalam batas-batas yang sempit sekalipun
terdapat guncangan input air dan garam dari luar tubuh. Kemantapan ini
menunjukkan keseimbangan yang dinamis antara kedua kompartemen CES.
Sesuai dengan fungsi dasar sirkulasi darah sebagai medium transportasi zat-zat
gizi, proses-proses yang dinamis antara kedua kompartemen tersebut berlangsung
terutama dalam sirkulasi mikro pada tingkat kapiler darah (Guyton, 1991).
Struktur ultra dinding kapiler seperti yang terdapat pada kebanyakan
organ adalah tersusun dari selapis sel-sel endothelium yang sangat tipis yang
dibungkus oleh satu lapis membran dasar pada bagian luarnya. Membran dasar ini
hanya merupakan suatu pembatas bagi pergerakan sel-sel dan benda-benda darah
lain keluar dari buluh kapiler darah.
Pada keadaan normal, diketahui bahwa cairan interstitial (Cist) dan
cairan intra sel (CIS) terdapat dalam keseimbangan tekanan osmotik yang
20
dipisahkan oleh dinding sel. Keadaan ini mengandung arti bahwa jika
osmolaritas satu kompartemen berubah, air akan mengalir secara osmosis
menyebrangi dinding sel yang semipermiabel sampai tercapai kembali
keseimbangan osmotik cairan antara ke dua kompartemen tersebut. Sebagai
contoh, ketika osmolaritas Cist meningkat, air mengalir secara osmosis dari CIS
sampai dicapai kembali keseimbangan osmotik antara kedua komaprtemen
tersebut.
Di samping itu terdapat pula bukti yang menunjukkan bahwa pengaturan
permeabilitas air pada sel-sel epithel pada tubulus kolektus ginjal yang responsif
terhadap hormon vasopressin adalah hasil transport air dengan proses exositosis
dan endositosis pada membran sel-sel apical tubulus (Lancer dkk., 1990;
Kuwahara dkk., 1991).
Berdasarkan uraian pada ke dua bagian terakhir di atas, secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa air dapat dengan bebas bergerak antara semua
kompartemen cairan tubuh. Pergerakan antara komaprtemen intravaskuler
dan Cist ditentukan oleh perbedaan tekanan hidrostatik (yang dihasilkan oleh
kerja pemompaan jantung) dan tekanan osmotik koloid antara ke dua
kompartemen tersebut. Pergerakan air antara kompartemen Cist dan
kompartemen CIS menyebrangi dinding sel-sel adalah ditentukan hanya oleh
perbedaan tekanan osmotik di samping kehadiran mekanisme transport khusus
pada sel-sel dari organ tertentu, seperti ginjal. Berbeda dengan pergerakan air
yang bebas, pergerakan ion-ion menyeberangi dinding sel-sel menunjukkan
21
variasi yang luas, dan kebanyakan tergantung pada kehadiran mekanisme
transport tertentu.
2.1.3.2. Adaptasi Sistem Kardiovaskular Terhadap Cekaman Panas
Pengaturan sistem kardiovaskular menghadapi perubahan lingkungan
merupakan bagian integral dari mekanisme pengaturan suhu dan cairan tubuh.
Sekalipun hewan homeotermis dikenal memiliki berbagai kharakteristik struktur
dan fungsi bahkan pola hidup yang berbeda, akan tetapi banyak mekanisme
pengaturan sistem sirkulasi memiliki kesamaan. Jantung, sistem sirkulasi
sistemik dan sirkulasi pulmonari merupakan sirkuit tertutup yang
menyelenggarakan fungsi sirkulasi di dalam tubuh.
Melalui fungsi kontraksi otot jantung dalam pemompaan, sistem
kardiovaskular terlibat dalam mekanisme homeostasis sesuai dengan fungsinya
sebagai media transportasi yang bersirkulasi di dalam tubuh. Fungsi transport
ini berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan-sel tubuh, pertukaran gas, dan
neraca asam basa. Sistem kardiovaskular merupakan efektor yang efektif
mengontrol kemantapan pengaturan suhu tubuh dengan cara pengaliran panas
dari pusat tubuh ke perifer. Pada keadaan suhu lingkungan netral (thermoneutral),
terdapat keseimbangan antara vasodilatasi dan vasokontriksi buluh perifer dan
pusat tubuh, sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan relatif tetap.
Tinggi rendahnya perbedaan suhu dan kelembaban antara permukaan
tubuh dan lingkungan sekitar, menentukan kemudahan perpindahan panas dari
tubuh yang memiliki suhu dan kelembaban yang lebih tinggi ke yang lebih
22
rendah, dari tubuh ke lingkungan sekitar. Secara umum, tubuh memiliki suhu
dan kejenuhan uap air (kelembaban) yang lebih tinggi di bandingkan udara
sekitar. Kecuali di daerah gurun pasir, suhu udara umumnya tidak pernah
melebih suhu tubuh normal (37 °C pada mamalia dan 41°C pada unggas).
Pada suhu lingkungan yang tinggi, perbedaan antara suhu lingkungan
sekitar dengan suhu tubuh menjadi sedikit atau berkurang. Tanpa suatu
mekanisme, sebagai konsekuensi yang dihadapi adalah pengeluarkan panas
menjadi semakin sulit, dan akan terakumulasi menjadi beban panas yang
harus dikeluarkan atau dicerminkan oleh meningkatnya suhu tubuh. Maka
ketika itik mengalami cekaman panas yang tinggi mengakibatkan terjadinya
gangguan metabolisme. Sebagai suatu sistem yang terintegrasi dengan
mekanisme pengaturan lain, pengaliran darah ke perifer (kulit, jaringan,
nasobuccal, dan otot-otot pernafasan) menunjukkan peningkatan secara
exponensial (Hales, 1983).
2.3. Fructooligosaccharide (FOS)
FOS adalah unit beta fruktosa yang yang merupakan bagian dari sukrosa.
Struktur kimia dari FOS tidak dapat dicerna oleh asam lambung maupun enzim
yang dihasilkan dari pankreas (Cummings dkk., 2001). Frukto-oligosakarida
(FOS) merupakan prebiotik yang diperoleh degan cara menghidrolisis inulin.
FOS biasa dikenal dengan nama frukto oligomers dan merupakan inulin-type
oligosaccaharides. FOS terbentuk dari beberapa oligosakarida homolog dari
derivat sukrosa yang digambarkan dengan formula GFn yang penyusun utamanya
23
GF2, GF3 dan GF4 dan terikat pada ikatan -2,1. Struktur kimia GF2, GF3 dan
GF4 dapat dilihat pada gambar 1 (Yun 1996; Lee dkk., 1999).
Gambar 1. Struktur 1-kestose (GF2, kiri), nystose (GF3, tengah), dan
fructofuranosyl nystose (GF4, kanan)
FOS adalah salah satu prebiotik yang menguntungkan bagi perkembangan
populasi mikroba di dalam saluran pencernaan dan dapat mencegah perpindahan
bakteri patogen ke dalam saluran pencernaan sehingga bakteri baik yang tumbuh
didalam saluran pencernaan. FOS secara selektif dapat memacu pertumbuhan
bakteri seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus. Selain dapat memacu
pertumbuhan bakteri, prebiotik juga dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen
seperti E.coli, Clostridia, dan Enterobacter.
Penelitian kandungan dan produksi FOS di Indonesia masih berfokus pada
penggunaan beberapa bahan yang memiliki kandungan inulin sebagai sumber
fruktosa (Rukmana, 2000; Widjanarko dkk., 2013), sementara penggunaan bahan
pangan kaya karbohidrat belum dilakukan. Sulawesi Utara memiliki beberapa
jenis bahan pangan kaya karbohidrat yang bisa digunakan sebagai media tumbuh
24
mikroorganisme untuk produksi FOS. Bahan pangan seperti ubi jalar (Ipomoea
batatas), pisang goroho (Musa acuminate) dan gula merah secara tradisional
banyak digunakan karena memiliki nilai kesehatan. Pisang goroho merupakan
jenis pisang asal Sulawesi Utara, secara tradisional digunakan sebagai sumber
karbohidrat bagi penderita DM karena indeks glikemiknya yang rendah.
Penelitian (Suryanto, 2011) menunjukkan bahwa pisang goroho juga mengandung
senyawa fenolik, flavonoid dan tannin, serta memiliki aktifitas antioksidan. Ubi
jalar selain kaya karbohidrat, merupakan bahan pangan kaya komponen
penunjang kesehatan seperti β‐carotene dan antosianin. Selanjutnya gula merah
yang kaya sukrosa menjadikannya sebagai media yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme.
2.4. Stres
Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang
menyebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar
ataupun dari dalam tubuh ternak (Ewing dkk., 1999), sedangkan (Moberg, 2000)
mendefinisikan stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan
ancaman dan mengganggu homeostasis pada hewan, bahkan setiap stresor yang
menyebabkan dampak negatif pada kesejahteraan binatang dapat dikategorikan
sebagai stres. Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona fisiologis yang disebut
zona homeostasis (Noor & Seminar, 2009). Apabila terjadi stres, maka zona
homeostasis ini akan terganggu dan tubuh akan berusaha mengembalikan ke
kondisi sebelum terjadi stres. Ternak unggas yang menderita stres akan
25
memperlihatkan ciri-ciri gelisah, banyak minum, nafsu makan menurun dan
mengepak-ngepakan sayap di lantai kandang. Disamping itu, ternak yang
menderita stres akan mengalami panting dengan frekuensi yang berbanding lurus
dengan tingkat stres, suhu rektal meningkat yang disertai dengan peningkatan
kadar hormon kortikosteron dan ekspresi HSP 70 (Tamzil dkk., 2013b)
Stres merupakan kondisi dimana kesehatan ternak terganggu yang
disebabkan oleh adanya lingkungan yang terjadi secara terus-menerus pada hewan
dan mengganggu proses homeostasis (Leeson dan Summers, 2001). Stres panas
terjadi ketika ternak tidak mampu menyeimbangkan panas di dalam tubuhnya
dengan panas yang ada di lingkungan sehingga memicu terjadinya perubahan
fisiologis dan metabolisme dalam tubuh ternak.
Peningkatan temperatur tubuh akibat kenaikan temperatur udara akan
meningkatkan aktivitas penguapan melalui keringat dan peningkatan jumlah panas
yang dilepas per satuan luas permukaan tubuh. Demikian juga dengan naiknya
frekuensi napas akan meningkatkan jumlah panas per satuan waktu yang
dilepaskan melalui saluran pernapasan (Mc Lean dan Calvert, 1972), oleh sebab
itu ternak harus mengadakan penyesuaian fisiologis agar suhu tubuhnya tetap
konstan. Ternak memerlukan keseimbangan antara produksi panas dengan panas
yang dilepaskan tubuhnya melalui pengembangan sistem homeostasis yang ada
untuk menyeimbangkan suhu tubuhnya (Yusuf, 2007).
Ternak yang mengalami cekaman akan mengalami perubahan pada
kondisi cairan tubuh dan status hematologisnya. Pada saat kekurangan cairan
26
tubuh yang disebabkan oleh kekurangan air minum, terlalu banyak mengeluarkan
keringat, dan lain-lain maka akan terjadi peningkatan pada kadar hemoglobin dan
nilai hematokrit.
Ternak yang mengalami stres akan membangun pertahanan diri dengan
berbagai macam bentuk pertahanan. Untuk mengurangi stres, ternak akan
memperkecil produksi energi dengan mengurangi konsumsi ransum terutama
ransum penghasil energi, memperbanyak konsumsi air minum, dan melakukan
aklimatisasi. Bentuk adaptasi terhadap cekaman panas lingkungan selain
perubahan status hematologis juga perubahan pada kadar hormon pertumbuhan,
katekolamin, dan jumlah urin (Folk, 1995).
2.5. Hematologi
Hematologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang darah serta jaringan
yang membentuk darah. Darah merupakan bagian penting dari system transport.
Darah merupakan jaringan yang berbentuk cairan yang terdiri dari 2 bagian besar
yaitu plasma darah dan bagian korpuskuli.
Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 6 – 8 % dari berat
badan total. Darah berbentuk cairan yang berwarna merah dan agak kental.
Darah merupakan bagian penting dari sistem transport karena darah mengalir ke
seluruh tubuh kita dan berhubungan langsung dengan sel-sel dalam tubuh kita.
Darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan
karena darah merupakan komponen yang mempunyai fungsi penting dalam
pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi darah secara umum berkaitan dengan
27
transportasi komponen di dalam tubuh seperti nutrisi, oksigen, karbondioksida,
metabolisme, hormon dan kelenjar endokrin, panas dan imun tubuh. Nutrisi yang
diserap pada saluran pencernaan yang kemudian dibawa ke dalam darah guna
memenuhi kebutuhan akan jaringan tubuh. Proses pembentukan sel-sel darah
yang diproduksi setiap hari di dalam sumsum tulang memerlukan prekusor antara
lain besi, mangan, kobalt, vitamin, asam amino dan hormon untuk mensintesis
pembentukan sel darah (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Darah memiliki peranan
yang sangat kompleks untuk terjadinya proses fisiologis yang berjalan dengan
baik, sehingga produktifitas ternak dapat optimal. Profil darah pada hewan juga
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, bangsa,
penyakit, temperatur lingkungan, keadaan geografis, dan kegiatan fisik. Berbagai
itik lokal yang pakannya disuplementasi probiotik diharapkan mampu
meningkatkan status fisiologisnya ditinjau dari jumlah eritrosit, jumlah leukosit,
kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit.
Darah pada ternak berfungsi mengirimkan zat-zat nutrien dan oksigen
yang dibutuhkan oleh tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme,
dan mengambil limbah dari sel kembali ke jantung untuk dibuang melalui paru-
paru dan ginjal. Darah juga membantu regulasi suhu tubuh, menjaga
keseimbangan konsentrasi air dan elektrolit di dalam sel, mengatur konsentrasi
ion hidrogen tubuh, dan menjaga tubuh dari mikroorganisme (Swenson, 1984).
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa darah berfungsi sebagai sarana
transportasi, alat homeostasis, dan alat pertahanan (Sadikin, 2002). Kondisi
28
hematologis ternak dapat dilakukan dengan cara mengetahui jumlah eritrosit, nilai
hematokrit, dan kadar hemoglobin dari ternak tersebut (Swenson, 1977).
2.5.1. Hemoglobin
Hemoglobin merupakan bagian utama dari sel darah. Berbentuk bikonkaf,
warna merah disebabkan oleh adanya Hemoglobin. Dihasilkan oleh limpa, hati
dan sum-sum tulang pada tulang pipih. Berusia sekitar 120 hari, sel yang telah tua
dihancurkan di hati dan dirombak menjadi pigmen bilirubin (Pigmen empedu).
Fungsi primernya adalah mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan dan CO2 dari
jaringan ke paru-paru.
Hemoglobin merupakan protein pengangkut oksigen paling efektif dan
terdapat pada semua ternak. Biasanya warna merah darah berubah-ubah
tergantung kepada kandungan oksigennya. Hemoglobin di dalam eritrosit
memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengikat oksigen, hal tersebut
dikarenakan hemoglobin merupakan protein yang kaya akan zat besi.
Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblas kemudian dilanjutkan
sedikit di stadium retikulosit dalam sumsum tulang kemudian diteruskan sampai
eritrosit matang. Jika eritrosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam
aliran darah maka akan tetap melanjutkan pembentukan sedikit hemoglobin
selama beberapa hari atau sesudahnya (Schalm, 2010).
Kadar hemoglobin dalam darah biasanya dinyatakan dalam 100 mL darah
(Frandson, 1992). Kadar hemoglobin antara lain dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, pakan, dan lingkungan (Sturkie, 1986). Selain itu ketinggian tempat
29
dimana ternak hidup dapat mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah
(Atmadilaga, 1979). Pada berbagai jenis unggas yang normal, hemoglobin
menempati sepertiga dari volume eritrosit (Campbell, 1995). Pada umumnya
unggas memiliki hemoglobin antara 7,0 g/dL – 10,9 g% (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988).
2.5.2. Eritrosit
Eritrosit hanya terdapat dalam pembuluh darah. Eritrosit pada mamalia
tidak berinti, sedangkan pada unggas, ikan, reptilia, dan amphibi memiliki inti.
Pada unggas inti tersebut terus dipertahankan sampai terbentuk eritrosit. Eritrosit
pada unggas berbentuk oval, berinti, dan berukuran lebih besar daripada mamalia
(Smith dkk., 2000). Bentuk eritrosit dipertahankan oleh jenis protein kontraktil,
dekat plasmalema, dan terkait membentuk inti selaput utuh yang disebut spektin
(Brown, 1989).
Eritrosit merupakan sel darah yang paling besar volumenya yaitu sekitar
99% dari keseluruhan darah. Eritrosit mengandung pigmen hemoglobin yang
berfungsi mengangkut oksigen di paru-paru dan akan dilepas di dalam jaringan
untuk dibawa ke organ ekskresi (Frandson, 1996). Bila pigmen hemoglobin ini
mengambil oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, maka eritrosit kelihatan
berwarna merah terang namun bila kekurangan oksigen, kelihatan agak kebiru-
biruan. Terdapat 180 juta molekul hemoglobin dalam setiap eritrosit, setiap
molekul hemoglobin siap menerima 4 molekul oksigen. Bila hemoglobin kurang
30
atau tidak ada, maka untuk membawa oksigen ini dibutuhkan plasma 70 kali lebih
banyak untuk melarutkan oksigen dengan cukup.
Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, jenis kelamin,
umur, kondisi tubuh, variasi harian, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, temperatur
lingkungan dan keadaan stres (Swenson, 1977). Jumlah eritrosit akan konstan
pada lingkungan yang relatif normal. Banyaknya jumlah eritrosit juga disebabkan
oleh ukuran eritrosit itu sendiri (Schmidt dan Nelson, 1990). Jumlah eritrosit dan
kadar hemoglobin akan bertambah bila kandungan oksigen dalam darah rendah.
Kandungan oksigen dapat menstimulir penambahan jumlah eritrosit dan kadar
hemoglobin. Ternak yang banyak melakukan aktivitas akan memiliki jumlah
eritrosit yang banyak pula, karena ternak akan mengonsumsi banyak oksigen.
Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoiesis, eritropoiesis pada
masa embrional unggas terjadi dalam kantung kuning telur. Setelah
perkembangan embrio pembentukan eritrosit terjadi di hati, pembuluh limfa, dan
sumsum tulang (Guyton dan Hall, 1997). Limfa bertindak sebagai tempat
penyimpanan untuk eritrosit, yang dikeluarkan ke sistem sirkulasi sebagaimana
yang dibutuhkan (Bell, 2002). Pembentukan eritrosit ini dirangsang oleh hormon
glikoprotein dan eritroprotein yang terdapat pada ginjal (Baldy, 1995).
Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain
hormon eritroprotein yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu
produksi proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang. Vitamin
B12 dan asam folat mempengaruhi eritropoiesis pada tahap pematangan akhir dari
31
erirosit sedangkan hemolisis dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yang berada
dalam sirkulasi (Meyer dan Harvey, 2004).
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin yang selanjutnya
hemoglobin ini mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton dan Hall,
1997). Jadi eritrosit bertugas/berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh. Ternak yang berada di dataran tinggi umumnya mempunyai lebih
banyak eritrosit. Ini merupakan upaya tubuh mengatasi kekurangan oksigen.
Jumlah eritrosit pada ayam adalah 127 cc × 1012
(The Merck Veterinary Manual).
2.5.3. Leukosit
Potensi Itik di Indonesia cukup besar, terbukti dari terdapatnya jenis itik
lokal yang sangat bervariasi baik karena pengaruh faktor genetik maupun faktor
lingkungan. Itik Tegal, Mojosari dan Magelang adalah tiga jenis itik yang cukup
dikenal dan banyak dipelihara masyarakat. Karena itik tersebut sudah begitu
akrab dengan kehidupan masyarakat dan banyak dipelihara, itik tersebut disebut
itik rakyat atau itik lokal. Itik Lokal memiliki daya tahan tubuh lebih tinggi
dibandingkan dengan unggas lainnya, dan memiliki perbedaan faktor genetik pada
fisiologi tubuh itik, salah satunya adalah leukosit (Dewantari, 2002).
Probiotik diharapkan dapat meningkatkan sistem imun dengan
mempertahankan jumlah leukosit dan diferensial leukosit untuk melindungi tubuh
dari mikroba penyebab penyakit.
Faktor genetik akan menentukan jumlah leukosit, oleh karena itu jumlah
leukosit antar jenis itik berbeda. Lamount dan Dietert (1990) menyatakan bahwa
32
pada unggas leukosit mempunyai allel yang berbeda yaitu B-L (Class II); Fc
receptor (FcR); CLA (Commont Leukocyt Antigen), selain itu faktor lingkungan
mempunyai peranan sangat penting dalam sistem imun ternak, faktor lingkungan
diantaranya adanya infeksi dan pakan. (Sturkie, 1976) menyatakan terdapat
perbedaan jumlah leukosit pada itik indian asli dan itik peking, hal ini
menunjukkan bahwa antar jenis itik terdapat perbedaan jumlah leukosit.
2.5.4. Hematokrit
Hematokrit adalah persentase (%) kandungan sel-sel dalam darah.
Menurut (Sturkie, 2000) kadar hematokrit sangat tergantung kepada jumlah sel
eritrosit, karena eritrosit merupakan masa sel terbesar dalam darah.
Hematokrit merupakan pengukuran persentase eritrosit dalam seluruh
volume darah. Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah fraksi eritrosit
yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan darah (Soeharsono, 2010).
Hematokrit atau PVC adalah suatu ukuran yang mewakili eritrosit di dalam 100
mL darah, sehingga dilaporkan dalam bentuk persentase (Piliang dkk., 2006).
Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan proses pembentukan eritrosit,
dimana nilai hematokrit dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit (Schalm, 2010).
Nilai hematokrit menunjukkan viskositas darah yang sebanding dengan
jumlah oksigen yang dibawanya. Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan
viskositas darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan
viskositas darah (Wilson, 1981). Persentase hematokrit yang rendah, juga
33
merupakan pertanda anemia. Nilai hematokrit standar adalah sekitar 45%, namun
nilai ini dapat berbeda-beda tergantung spesies ternak. Nilai hematokrit biasanya
dianggap sama manfaatnya dengan hitungan eritrosit total (Frandson, 1992).
Besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, umur dan
fase produksi, jenis kelamin ternak, penyakit, serta iklim setempat (Sujono, 1991).
Secara normal, jumlah eritrosit berkorelasi positif dengan nilai
hematokrit. Selain itu peningkatan kadar hemoglobin, juga akan diikuti oleh
peningkatan nilai hematokrit (Soetrisno, 1987). Naik turunnya nilai hematokrit
tergantung pada volume sel-sel darah yang dibandingkan dengan volume darah
keseluruhan (Swenson, 1977).
Perubahan volume eritrosit dan plasma darah yang tidak proporsional
dalam sirkulasi darah akan mengubah nilai PCV (Swenson, 1984). Peningkatan
jumlah eritrosit pada temperatur lingkungan yang rendah akan meningkatkan nilai
hematokrit bila volume darah tetap, sebaliknya bila pada temperatur lingkungan
yang tinggi akan menurunkan nilai hematokrit sebagai akibat dari berkurangnya
jumlah eritrosit (Swenson, 1970). Nilai hematokrit berubah sejalan dengan
perubahan erirosit. Pada ayam mempunyai nilai hematokrit yaitu 36% (The
Merck Veterinary Manual)