ii. tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/52959/3/bab ii.pdf · keringat, dan menghangatkan tubuh...
TRANSCRIPT
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Spirulina platensis
S. platensis merupakan makhluk hidup autotrof berbentuk menyerupai
benang yang terdiri dari rangkaian sel berbentuk silindris dengan dinding sel yang
tipis, berdiameter 1-12 mikrometer. S. platensis memiliki warna hijau biru dengan
sel berkolom membentuk filamen terpilin menyerupai spiral (helix) sehingga
disebut juga alga hijau biru berfilamen (cyanobacterium). Filamen S. platensis
tersebut hidup berdiri sendiri dan dapat bergerak bebas (Hariyati, 2008).
Gambar 1. Spirulina platensis (Sixabela et, al., 2011)
S. platensis dapat dimakan dan secara alamiah dapat dikultivasi di air tawar
sampai alkalin (payau) di danau-danau atau kolam. S. platensis umumnya tumbuh
subur di iklim tropis dan subtropis dengan pH 9,4-11. Penyebaran S. platensis
sebagian besar dapat ditemukan di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan (Sixabela
et, al., 2011). Kandungan nutrisi sangat mempengeruhi pertumbuhan S. platensis
dan juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di dalam media pemeliharaan. Suhu
air, suhu ruangan, salinitas dan pH merupakan faktor lingkungan yang turut
mendukung pertumbuhan S. plantesis (Vonshak et, al., 2004). Nitrogen
merupakan nutrien yang dibutuhkan paling banyak untuk pertumbuhan
fitoplankton (Wijaya, 2006).
6
2.1.1. Kandungan Gizi Spirulina platensis
S. platensis kaya akan nutrien diantaranya protein, vitamin, asam amino,
asam γ-linolenat (GLA), fikosianin, tokoferol, klorofil, dan β-karoten (Khan et,
al., 2005). Kandungan gizi ekstrak S. platensis secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Gizi Ekstrak S. platensis (per 100 gram Bahan Kering)
Kandungan Jumlah Kandungan Jumlah
Komposisi Umum
Protein
Karbohidrat
Lemak
Mineral
Vitamin
Pigmen
Air
Vitamin
Thiamin, B1
Riboflavin, B2
Niacin, B3
Pirydoxin, B6
Cyanocobalamin, B12
Folat
Inositol
Vitamin K
Pigmen Fikosianin (biru)
Klorofil (hijau)
Karotenoid (orange)
Beta-Karoten
Xanthophyll
Zeazanthin
Asam Lemak
Myristic acid
Palmatic acid
Stearic acid
Oleic acid
Linoleic acid
Gamma-linoleic acid
(%)
56-69
16-20
4-6
3-9
2-4
6-7
7-10
mg/100g
0,15-0,30
4,00-7,00
10,0-25,0
0,50-1,50
0,10-0,30
0,05-0,30
70,0-90,0
0,90-1,05
mg/100g
15000-19000
1300-1700
400-650
150-250
250-470
125-200
g/100g
0,01-0,03
2,00-2,50
0,01-0,05
0,10-0,20
0,75-1,20
1,00-1,50
Asam Amino
Isoleusin
Leusin
Lysin
Metionin
Fenilalanin
Thereonin
Triptopan
Valin
Alanin
Arginin
Asam aspartat
Systin
Asam glutamate
Glysin
Histidin
Prolin
Serin
Tirosin
Mineral
Kalsium
Besi
Magnesium
Sodium
Potasium
Fosfor
Seng
Mangan
Tembaga
Chromium
Selenium
g/100g
3,0-4,0
3,0-5,0
3,0-6,0
1,0-6,0
2,5-3,5
1,5-3,0
1,0-2,0
1,0-3,5
4,0-5,0
3,0-5,0
1,5-3,0
0,5-0,75
6,0-9,0
2,0-4,0
0,5-1,5
2,0-3,0
3,0-4,5
1,0-3,0
mg/100g 60-110
25-40
200-300
700-1000
1000-1500
700-1000
1,0-3,0
01,0-3,0
0,2-0,4
0,1-0,3
0,003-0,010
Sumber: Thomas (2010)
Fikosianin atau pigmen biru merupakan pigmen dominan pada S. platensis
yang digunakan sebagai zat warna alami dalam makanan. Selain itu, fikosianin
7
juga berfungsi sebagai zat pewarna pada berbagai macam produk kosmetik karena
pigmen tersebut larut dalam air (Hirata et, al., 2004). S. platensis juga
mengandung berbagai vitamin, mineral, pigmen, asam lemak dan asam amino
(Prasetyo dan Kusumaningrum, 2010). Komposisi lemak S. platensis 0,8%-1%
Gamma Linolenic Acid (GLA) yaitu sejenis asam lemak tak jenuh rantai panjang
yang berfungsi menurunkan kadar kolesterol dalam darah. GLA sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan, tetapi tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia.
Jenis asam lemak lainnya yang terdapat dalam S. platensis adalah Eicose Pentanic
Acid (EPA) yang juga mampu menurunkan kadar kolesterol dalam darah
(Prasetyo dan Kusumaningrum, 2010).
(a)
(b)
Gambar 2. Struktur Senyawa Geosmin (a) dan 2-methylisoborneol (b)
(Zhou et, al., 2005)
Aroma pada S. platensis berasal dari kandungan protein, terdapat dua jenis
protein, yaitu true protein atau protein yang benar-benar bisa dimanfaatkan dan
non-protein nitrogen (NPN). Salah satu komponen yang termasuk non nitrogen
protein ialah amonia (Kianandari, 2013). Amonia tersebut yang diduga
menyebabkan aroma S. platensis yang tidak disukai. Selain itu, menurut Arsyad
(2004) aroma S. platensis diduga berasal dari senyawa geosmin dan methyl iso-
borneol yaitu senyawa penyebab cita rasa lumpur yang dihasilkan oleh ganggang
hijau biru. Senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
8
2.1.2. Manfaat Spirulina platensis
S. platensis memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga saat ini
terdapat beragam jenis pemanfaatannya mulai dari obat-obatan, kosmetik sampai
pangan manusia. Karakteristik serta kandungan nutrisi yang dimiliki S. platensis
sesuai untuk dijadikan bahan makanan fungsional. S. platensis berfungsi sebagai
sumber nutrisi untuk immunostimulan dan Super Oxyde Dismutase (SOD).
Beberapa rumah sakit di negara modern menggunakan S. platensis untuk
mendapatkan immunoglobin A (LGA) dan immunoglobin B (lgM) yang lebih
tinggi. Sementara itu, kandungan fikosianin dalam S. platensis berpotensi untuk
menghambat pertumbuhan sel leukimia pada manusia (Liu et, al., 2000).
Pada tahun 1976, S. platensis dipilih sebagai sumber makanan masa depan
oleh International Association of Applied Microbiology (Christwardana dan
Hadiyanto, 2012). Di negara Thailand, 70% produk S. platensis digunakan untuk
pembuatan bahan makanan dan sisanya diperuntukkan sebagai bahan dasar
pembuatan pakan ikan dan udang. S. platensis memiliki kandungan mineral yang
rendah sehingga tidak berbau amis dan aman untuk digunakan sebagai makanan
manusia. Menurut Susanna dkk. (2007), S. platensis dapat dimanfaatkan sebagai
suplemen bahan pakan, makanan dan pengobatan.
S. platensis adalah makanan yang mengandung semua nutrien makanan
dalam konsentrasi yang tinggi, dan telah diterima sebagai makanan yang
mempunyai banyak fungsi. Keistimewaan yang dimiliki S. platensis diantaranya
adalah sebagai sumber protein nabati 100% bersifat alkali, dengan dinding sel
yang lunak sehingga sangat mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. S. platensis
merupakan makanan paling alkali dibandingkan sayuran dan buah lain sehingga
9
dapat mencegah dan mengatasi gangguan pencernaan terutama masalah lambung
(Riyono, 2008).
2.2. Jahe Merah (Zingiber officinale var. rubrum)
Jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum) merupakan tanaman berbatang
semu yang tumbuh tegak dan tidak bercabang dengan tinggi tanaman mencapai
1,25 meter. Batangnya berbentuk bulat, berwarna hijau kemerahan, dan agak
keras karena diselubungi oleh pelepah daun. Daun tersusun berselang-seling
secara teratur dan memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan kedua
jenis jahe lainnya. Luas daun berkisar antara 32,55 – 51,18 cm2 dengan panjang
24,30 – 24,79 cm dan lebar 2,79 – 31,18 cm2 (Syukur, 2002; Hamiudin, 2007).
Ukuran rimpang jahe merah lebih kecil jika dibandingkan dengan kedua jenis jahe
lainnya, yaitu panjang rimpang 12,33 – 12,60 cm, tinggi 5,86 – 7,03 cm, dan berat
rata-rata 0,29 – 1,17 kg. Akarnya berserat agak kasar dengan panjang akar 17,03 –
24,06 cm dan diameter akar 5,36 – 5,46 mm (Herlina et, al., 2002). Rimpang jahe
berwarna merah hingga jingga muda, seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rimpang Jahe Merah (Rahayu, 2010)
Rimpang jahe digunakan secara luas sebagai bumbu dapur dan obat herbal
untuk beberapa penyakit. Rimpang jahe mengandung beberapa komponen kimia
yang berkhasiat bagi kesehatan. Jahe segar digunakan sebagai anti muntah
(antiematic), anti batuk (antitussive/expectorant), merangsang pengeluaran
10
keringat, dan menghangatkan tubuh (Kimura et, al., 2005). Di Indonesia, jahe
digunakan sebagai bahan pembuat jamu. Jahe yang masih muda dimakan sebagai
lalap, acar, dan manisan baik basah maupun kering. Dalam bentuk tepung atau
oleoresin-nya, digunakan sebagai bahan flavor pada industri makanan (Koswara
dkk., 2012).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan. Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air
sampai batas yang terbaik sekitar 8-10% karena pada tingkat kadar air tersebut
bahan cukup aman terhadap pencemaran, baik yang disebabkan oleh jamur
maupun insektisida. Ada berbagai macam pengeringan, yaitu dengan penjemuran
langsung, dianginkan ataupun dengan udara panas yang mengalir (Mulyono dan
Hernani, 2001). Proses pengeringan jahe akan mementukan kadar air, daya
simpan serta rendemen yang diperoleh. Pengeringan menggunakan suhu yang
tinggi dengan waktu yang singkat umumnya memiliki nilai rendemen dan kadar
air yang masih tinggi, sehingga menyebabkan masa simpannya lebih rendah.
Tabel 2. Kandungan Gizi Jahe Merah
Komponen Jahe Merah
Kering/100 gram*
Jahe Merah
Segar/100gram**
Kadar air (%) 7,03 70,00-85,50
Mineral (%) 7,46 1,00-2,00
Lemak (g) 6,00 1,00
Minyak atsiri (%) 2,58-3,72 0,50-5,60
Protein (%) 2,30 1,50
Karbohidrat (%) 70,80 10,10
Serat kasar (g) 5,9 7,53
Karotenoid *** 1,70mg/0,5g -
Sumber: *Fathona (2011), **Rahingtyas (2008), dan ***Sayuti dan Rina (2015)
Kandungan minyak atsiri jahe antara lain zingiberen, kurkumin, borneol,
geraniol, dan linalool. Komponen utama minyak atsiri dalam jahe yang membuat
11
harum adalah zingiberen dan zingiberol. Zingiberen merupakan seskuiterpen
hidrokarbon, sedangkan zingiberol adalah seskuiterpen alkohol (Fathona, 2011).
Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2,58 – 3,72% dari bobot
kering. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan minyak atsiri jahe
gajah, yaitu sebesar 0,82 – 1,68% dari bobot kering dan kandungan minyak atsiri
jahe emprit, yaitu sebesar 1,5 – 3,3% dari bobot kering. Selain itu, kandungan
oleoresinnya juga lebih tinggi dibandingkan jenis jahe lainnya, yaitu mencapai 3%
dari bobot kering (Herlina dkk., 2002). Kandungan zat gizi jahe merah terdapat
pada Tabel 2.
Tabel 3. Kandungan Mineral Jahe per Berat Kering
Elemen Jumlah g.g
-1
Berat Kering Elemen
Jumlah g.g-1
Berat Kering
Cr 0,89 g.g-1
Br 2,1g.g-1
Ma 358 g.g-1
Sb 39g.g-1
Fe 145g.g-1
Cl 579g.g-1
Rb 2,7g.g-1
Co 18 g. g-1
Zn 28,2g.g-1
Hg 6,0 g. g-1
Na 443g.g-1
As 12 g. g-1
K 12.900g.g-1
Cs 24 g. g-1
F 0,07g.g-1
Sc 42 g. g-1
Se 0,31g.g-1
Eu 44 g. g-1
Sumber : Ravindran dan Babun (2005)
Menurut Ali et, al. (2007), komponen oleoresin jahe segar yang bersifat
sebagai pembawa rasa pedas didominasi oleh gingerol dan senyawa-senyawa
homolognya. Sedangkan kepedasan pada jahe yang telah mengalami pengeringan
disebabkan oleh dominasi keberadaan senyawa [6]-shogaol, yang merupakan
bentuk komponen gingerol yang terdehidrasi. Senyawa (6)-gingerol diketahui
dapat menghambat aktivitas motorik, mengurangi rasa sakit (analgesic effect),
efek antibatuk, dan dapat memperpanjang waktu tidur pada tikus percobaan.
Selain itu, komponen oleoresinnya juga mempunyai efek farmakologis seperti
12
immunomodulator, anti-tumor, antiinflamasi, anti-apoptotik, anti-hiperglikemik,
dan anti-lipidemik (Ali et, al., 2007). Kandungan mineral pada jahe merah dapat
dilihat pada Tabel 3.
Gambar 4. Struktur Kimia Molekul (a) [6]-gingerol, (b) [6]-paradol, (c) [6]-
shogaol, (d) zingerone (Wei et, al., 2005)
Komponen-komponen fenolik pada jahe dapat berkontribusi terhadap flavor
jahe. Salah satu karakteristik turunan fenolik ialah menyebabkan karakteristik
tajam, panas, dan sensasi menyengat dalam mulut yang disebut pungensi
(kepedasan). Karakteristik pugensi pada jahe merah terdapat pada oleoresin yang
disebabkan oleh fenilalkulketon yang merupakan turunan dari vanilin dan dikenal
dengan senyawa gingerol. Rantai samping senyawa gingerol yang telah
diidentifikasi memiliki karbon atom berturut-turut 7, 8, 9, 10, 12, 14, dan 16.
13
Pengolahan jahe seperti pengeringan dapat mengubah gingerol menjadi shogaol.
Shogaol juga memiliki sifat pungent yang diketahui dapat menghambat biosintesis
prostaglandin dan leukotriena. Kepedasan jahe dapat berkurang selama
penyimpanan karena transformasi gingerol menjadi shogaol (Fathona, 2011).
Kedua senyawa tersebut juga mempunyai efek penghambatan terhadap viabilitas
sel leukemia HL-60 disebabkan oleh gugus keton pada rantai samping dan gugus
orto-diphenoxyl dari rantai aromatik (Wei et, al., 2005). Adapun struktur kimia
senyawa gingerol, paradol, shogaol, dan zingerone dalam jahe dapat dilihat pada
Gambar 4.
2.3. Marshmallow
Marshmallow berasal dari tanaman marshmallow (Althea officinalis) yang
merupakan produk dari ekstrak akar tanaman marshmallow. Ekstrak akar
marshmallow mempunyai sifat liat dan lengket serta membentuk gel bila
dicampur dengan air. Saat ini penggunaan dari ekstrak ini telah digantikan oleh
gelatin yang mempunyai sifat hampir sama. (Sartika, 2009).
Dokter di Romawi menggunakan marshmallow untuk mengobati sakit gigi,
gigitan serangga, bengkak karena kedinginan, dan kulit yang teriritasi.
Marshmallow dahulu juga digunakan untuk meredakan sakit gigi, gigitan
serangga, gangguan pencernaan, dan diare di Eropa. Saat bayi tumbuh gigipun
diberikan marshmallow. Pada tahun 1948, manisan kenyal mulai dibuat di pabrik
dengan mesin ekstrusi. Hasilnya berupa manisan kenyal berbentuk silinder yang
dipotong-potong dan diguling-gulingkan dalam campuran tepung jagung dan gula
halus (Kinandari, 2013).
14
Tabel 4. Syarat Mutu Kembang Gula Lunak (SNI 3547.2-2008)
Kriteria Uji Satuan Persyaratan Mutu
Keadaan
Bau
Rasa
-
-
Normal
Normal (sesuai label)
Kadar air % fraksi massa Maks. 20,0
Kadar abu % fraksi massa Maks. 3,0
Gula reduksi (dihitung sebagai
gula invert) % fraksi massa Maks. 25,0
Sakarosa % fraksi massa Min. 27,0
Cemaran logam
Kadar Timbal (Pb)
Kadar Tembaga (Cu)
Kadar Timah (Sn)
Kadar Raksa (Hg)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks. 2,0
Maks. 2,0
Maks. 40,0
Maks. 0,03
Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
Cemaran Mikroba
Angka lempeng total
Bakteri coliform
E. coli
Staphylococcus aureus
Salmonella
Kapang/khamir
koloni/g
APM/g
APM/g
koloni/g
koloni/g
Maks. 5x104
Maks 20
<3
Maks. 1x102
Negatif / 25g
Maks. 1x102
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2008)
Persyaratan mutu marshmallow diatur dalam Standar Nasional Indonesia
kembang gula lunak (Tabel 4), berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa
kadar air marshmallow maksimal ialah 20% dikarenakan kadar air yang semakin
tinggi akan menyebabkan daya simpan marshmallow menjadi singkat.
Marshmallow memiliki tekstur seperti busa yang lembut dalam berbagai bentuk,
aroma dan warna. Marshmallow bila dimakan meleleh di dalam mulut karena
merupakan hasil dari campuran gula atau sirup jagung, putih telur, gelatin, gom
arab, dan bahan perasa yang dikocok hingga mengembang dan dicampur dengan
tepung gula. Marshmallow pada skala pabrik dibuat dengan mesin ekstrusi.
Marshmallow sering dimakan setelah dipanggang di atas api sehingga bagian luar
marshmallow mengalami karamelisasi sedangkan bagian dalam sedikit mencair
(Kimmerle, 2003).
15
Marshmallow dapat disusun dari tipe extruded atau deposited, busa
meringues yang lembut atau nougat. Marshmallow grained dan non grained
berbeda dalam hal perbandingan gula atau sirup jagung. Tekstur dari
marshmallow grained benar-benar pendek, kering dan keras. Ada beberapa
macam gelling agent yang berbeda yang dapat digunakan untuk pembuatan
marshmallow, tergantung dari tekstur akhir yang diinginkan. Kekuatan gel yang
dihasilkan tergantung dari jumlah gelling agent yang ditambahkan dan bahan lain
yang digunakan. Tekstur marshmallow akan berubah tergantung pada formulasi,
densitas yang diinginkan dan metode pembuatan termasuk peralatan yang
digunakan (Edwards, 2000)
2.4. Bahan Pembuatan Marshmallow
Pada prinsipnya, pembuatan marshmallow adalah menghasilkan gelembung
udara secara cepat dan memerangkapnya sehingga terbentuk busa yang stabil.
Marshmallow dihasilkan dari sistem koloid yang terdiri dari dua fase, yakni fase
terdispersi (fase dalam) dan fase pendispersi (fase luar). Sistem koloid terbagi atas
delapan jenis, yaitu sol padat, sol, aerosol padat, gel, emulsi, aerosol cair, buih
padat, dan buih. Sol merupakan koloid dengan zat terdispersinya fase padat.
Emulsi adalah koloid dengan zat terdispersinya fase cair. Buih adalah koloid
dengan zat terdispersinya fase gas (Edwards, 2000).
Marshmallow dari gelatin memiliki tekstur lembut dan elastis atau kenyal,
tetapi massanya lebih berat dari yang menggunakan putih telur. Gelling agent
yang lain ialah pektin, agar, dan pati. Semuanya memberi tekstur yang halus dan
kenyal seperti gel. Metode batch dengan mendidihkan gula, sirup glukosa, dan
gula invert lainnya sampai suhu ± 100°C. Kemudian campuran didinginkan dan
16
larutan gelling agent ditambahkan. Campuran dari keduanya dikocok seperlunya
sampai agak mengental dan kemudian dicetak dalam bubuk pati. Metode
continious manufacture mendidihkan campuran gula, sirup glukosa, dan gula
invert sebelum didinginkan (66°C), gelling dan whipping agent ditambahkan
dan campuran tersebut kemudian dimasukkan ke mesin continious whipping
dimana produk akan diaerasi, diwarnai, dan ditambah flavor (Kinandari, 2013).
Komposisi utama dalam marshmallow adalah udara dan kandungan air
(kelembapan). Fungsi kelembaban dan udara ini adalah untuk mengontrol
kekentalan produk. Udara yang tercampur digunakan untuk meningkatkan volume
dan memperbaiki tekstur. Kandungan air yang tinggi memungkinkan banyak
volume udara yang tercampur dan juga mengendalikan kekentalan produk. Karena
kandungan airnya yang tinggi, marshmallow rentan terhadap pertumbuhan jamur.
Karena proses pemasakan yang tidak cukup untuk mensterilkan bahan, maka
diperlukan perhatian khusus pada kebersihan peralatan (Kimmerle, 2003)
1.4.1. Gelatin
Gelatin digunakan dalam berbagai sektor industri dan pengolahan produk
pangan. Dalam produk pangan, gelatin banyak dimanfaatkan sebagai penstabil
(stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat (binder), pengental
(thickener), pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive) dan pembungkus
makanan yang bersifat dapat dimakan (edible coating). Gelatin jika direndam
dalam air akan mengembang dan menjadi lunak, berangsur-angsur menyerap air
5-10 kali bobotnya. Gelatin larut dalam air panas dan jika didinginkan akan
membentuk gel. Gelatin merupakan produk utama dari pemecahan kolagen
17
dengan pemanasan yang dikombinasikan dengan perlakuan asam atau alkali
(Sartika, 2009).
Gelatin digunakan untuk memberikan fase cair dengan stabilitas yang cukup
pada produk. Hal ini memungkinkan untuk mengubahnya menjadi busa dengan
memasukkan gelembung udara. Pengocokan atau aerasi, keuntungan produk
antara lain sifatnya dalam meningkatkan volume (menurunkan densitas),
meningkatkan sifat viskositas (kekentalan), perubahan karakteristik sensori,
tekstur yang halus, rasa manis dalam mulut dan sedikit lengket. Gelatin pada
marshmallow berfungsi sebagai whipping dan gelling agent sehingga
marshmallow memiliki tekstur lembut dan elastis atau kenyal. Rata-rata
kandungan kelembaban pada produk grained sebesar 5-10% dan produk
nongrained sebesar 15-18% (Jaswir, 2007).
Gambar 5. Struktur Gelatin (Saleh, 2004).
Karakteristik yang paling diinginkan dari gelatin ialah tekstur mencair di
dalam mulut (melt in the mouth) dan kemampuan membentuk thermoreversible
gel. Sifat fisik gelatin yang menentukan mutunya adalah kemampuannya untuk
membentuk gel atau kekuatan gel. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH, adanya
komponen elektrolit dan non elektrolit serta bahan tambahan lainnya. Gelatin sapi
merupakan gelatin tipe B yang mempunyai titik isoelektrik pada pH antara 4,7
18
hingga 5. Sifat fisik lainnya adalah titik pembuatan gel, warna, kapasitas emulsi
dan stabilitas emulsi. Gelatin banyak digunakan dalam berbagai produk aplikasi
karena sifat jernih dan tak berbaunya. Penggunaan gelatin pada berbagai jenis
industri memiliki berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan terhadap fungsi
gelatin yang harus diperhatikan, yaitu konsentrasi, berat molekul, suhu, pH dan
penambahan-penambahan senyawa lain (Saleh, 2004). Struktur kimia gelatin
dapat dilihat pada Gambar 5.
1.4.2. Sukrosa (Gula)
Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang
digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan
untuk menyatakan sukrosa. Sukrosa (gula tebu) merupakan salah satu jenis
disakarida yang terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa. Penggunaan sukrosa
dalam pengolahan pangan dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme,
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Sukrosa merupakan polimer
dari molekul glukosa dan fruktosa melalui ikatan glikosidik yang mempunyai
peranan penting dalam pengolahan makanan. Biasanya gula ini digunakan dalam
bentuk kristal halus atau kasar (Winarno, 2008).
Sukrosa yang digunakan dalam pembuatan permen sebaiknya memiliki
kemurnian yang tinggi dan rendah kadar abunya. Garam-garam mineral dapat
mempengaruhi proses pembuatan permen sehingga menentukan kualitas dan umur
simpan permen yang dihasilkan. Kadar abu sukrosa umumnya berkisar 0,013%.
Semakin tinggi suhu pemanasan sukrosa dalam air, maka semakin tinggi pula
persentase gula invert yang dapat dibentuk. Pada suhu 20°C misalnya dapat
dibentuk 72% gula invert dan pada suhu 30°C terbentuk hampir 80% gula invert.
19
Gula invert dengan jumlah yang terlalu banyak mengakibatkan terjadinya extra
heating sehingga dapat merusak flavor dan warna. Selain itu gula invert yang
berlebihan menghasilkan tekstur lengket atau bahkan produk tidak dapat mengeras
(Sartika, 2009).
Pembuatan marshmallow menggunakan sukrosa sebagai salah satu bahan
baku, karena selain dapat memberi rasa manis juga memberikan peranan dalam
pembentukan gel permen. Proses kristalisasi dapat dicegah dengan
mengkombinasi sukrosa dengan monosakarida seperti glukosa atau fruktosa.
Konsentrasi sukrosa dalam formula harus diatur secara tepat. Konsentrasi sukrosa
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proses kristalisasi yang terlalu rendah
(<75%) sehingga kapang dan khamir akan tumbuh (Ramadhan, 2012).
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan sukrosa sebagai bahan
utama pembuatan permen adalah kelarutannya. Permen yang menggunakan
sukrosa murni mudah mengalami kristalisasi. Pada suhu 20°C hanya 66,7%
sukrosa murni yang dapat larut. Bila larutan sukrosa 80% dimasak hingga
109,6°C dan kemudian didinginkan hingga 20°C, maka 66,7% sukrosa akan
terlarut dan 13,3% terdispersi. Bagian sukrosa yang terdispersi ini akan
menyebabkan kristalisasi pada produk akhir. Oleh karena itu perlu digunakan
bahan lain untuk meningkatkan kelarutan dan menghambat kristalisasi, misalnya
sirup glukosa dan gula invert (Buckle et, al., 2012).
1.4.3. Sirup Glukosa
Sirup glukosa yang mempunyai nama lain dectrose adalah salah satu produk
bahan pemanis makanan dan minuman yang berbentuk cairan, tidak berbau dan
tidak berwarna tetapi memiliki rasa manis yang tinggi. Sirup glukosa merupakan
20
bahan yang sering digunakan dalam berbagai industri konfeksioneri, pengawet,
frozen dessert dan minuman. Sirup glukosa dapat juga digunakan sebagai pemanis
bersama-sama dengan sukrosa. Perbedaannya dengan gula pasir yaitu, gula pasir
(sukrosa) merupakan gula disakarida, sedangkan sirup glukosa adalah
monosakarida, terdiri atas satu monomer yaitu glukosa. Sirup glukosa dapat
dibuat dengan cara hidrolisis asam atau dengan cara enzimatis yang umumnya
dibuat dari bahan baku tepung jagung atau tepung singkong. Bahan lain yang
diperlukan adalah enzim amilase (Faridah dkk., 2008).
Perbandingan jumlah sirup glukosa dan sukrosa yang digunakan dalam
pembuatan permen sangat menentukan tekstur yang terbentuk. Campuran glukosa
dan sukrosa dapat membuat tekstur yang dihasilkan lebih liat, tetapi kekerasannya
cenderung menurun. Mengatur perbandingan antara gula dan sirup glukosa
merupakan perpaduan ilmiah dan seni yang sangat menarik, untuk mendapatkan
tekstur akhir yang diinginkan. Perlu perbandingan yang khas dan tepat untuk
kedua bahan utama ini. Jika terlalu banyak gula dan sedikit glukosa akan
menjadikan adonan kurang elastis dan mudah putus (short dough) sehingga
menyulitkan dalam proses “cut & wrap”, sebaliknya jika terlalu banyak glukosa
juga akan menyebabkan adonan terlalu liat (Faridah dkk., 2008).
1.4.4. Air
Air sangat diperlukan dalam pembentukan kembang gula jelly, air
dipergunakan sebagai bahan bantu untuk memperoleh sari buah, melarutkan
pengental atau pengenyal sebelum dicampurkan ke dalam adonan kembang gula
jelly. Air yang digunakan dalam proses pembuatan kembang gula jelly adalah air
sehat (Maharani, 2016).
21
Air dikatakan sehat apabila memenuhi syarat-syarat fisika, kimia,
mikrobiologi, dan radioaktif, sebagai berikut :
a) Syarat fisik, yaitu tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.
b) Syarat kimia, yaitu tidak mengandung bahan kimia tertentu dalam rentang
yang dapat membahayakan kesehatan contohnya Ca, F, Cu, Mg, dan lainlain.
c) Syarat mikrobiologi yaitu tidak mengandung mikroba yang berbahaya
misalnya bakteri coli.
d) Syarat radioaktif yaitu tidak mengandung bahan-bahan radioaktif misalnya
sinar Alfa, dan sinar Beta.
1.4.5. Bahan Pelapis
Umumnya permen marshmallow dilapisi dengan tepung pati kering untuk
membentuk lapisan luar yang tahan lama dan mempertahankan bentuk gel yang
baik. Pelapisan pada permen marshmallow dapat menggunakan tepung kanji dan
tepung gula. Marshmallow biasanya memiliki sifat kecenderungan menjadi
lengket karena sifat higrokopis dari gula pereduksi yang membentuk permen
hingga perlu ditambahkan bahan pelapis seperti tepung gula. Selain berfungsi
sebagai pelapis, tepung gula tersebut berfungsi untuk memberikan rasa manis
(Sartika, 2009).
2.5. Antioksidan
Antioksidan merupakan suatu zat yang mampu menetralisir atau meredam
dampak negatif dari adanya radikal bebas. Radikal bebas sendiri merupakan suatu
molekul yang mempunyai kumpulan elektron yang tidak berpasangan pada suatu
lingkaran luarnya. Antioksidan merupakan suatu inhibitor dari proses oksidasi
22
bahkan pada konsentrasi yang relatif kecil, dan memiliki peran fisiologis yang
beragam dalam tubuh (Kumar, 2011). Antioksidan adalah substansi yang dapat
menunda, mencegah, menghilangkan kerusakan oksidatif pada molekul target,
seperti lemak, protein, dan DNA (Halliwell dan Gutteridge, 2000).
Antioksidan berdasarkan asalnya dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan alam
dan antioksidan sintetik, yang termasuk antioksidan alam antara lain turunan
fenol, koumarin, hidroksi sinamat, tokoferol, difenol, nonfenol, kathekin, dan
asam askorbat. Antioksidan sintetik antara lain butil hidroksi anisol (BHA), butil
hidroksi toluen (BHT), propil gallat dan etoksiquin. Berdasarkan PERMENKES
No.722 tahun 1988, antioksidan yang diizinkan penggunaannya adalah asam
askorbat, asam eritorbat, askorbil palmitat, askorbil stereat, butil hidroksi anisol
(BHA), butil hidroksi toluen (BHT), butil hidrokinon tersier, dilauril
tiodipropionat, propil gallat, timah (II) klorida, alpha tokoferol, dan tokoferol
campuran pekat (Cahyadi, 2006).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibagi menjadi antioksidan
primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer bekerja untuk mencegah
pembentukan senyawa radikal baru dengan mendonorkan atom hiderogen secara
cepat pada suatu lipid yang radikal, produk yang dihasilkan lebih stabil dari
produk awal. Contoh antioksidan primer adalah Supeoksida Distimutase (SOD),
Glutation Peroxidase (GPx), katalase dan protein pengikat logam. Antioksidan
sekunder bekerja dengan cara mengikat logam yang bertindak sebagai pro-
oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Antioksidan
sekunder berperan sebagai pengikat ion-ion logam, penangkap oksigen, pengurai
hidroperoksida menjadi senyawa non radikal, penyerap radiasi UV atau deaktivasi
23
singlet oksigen. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, beta-
karoten, isoflavon, bilirubin dan albumin. Antioksidan tersier bekerja
memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas, contohnya
enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan metionin silfida reduktase (Sayuti dan
Rina, 2015)
Prakash et, al. (2000) menyatakan bahwa metode yang cepat, mudah, dan
murah untuk mengukur kapasitas antioksidan pada makanan menggunakan radikal
bebas yaitu 2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH). DPPH dikenal digunakan
untuk menguji kemampuan suatu senyawa atau bahan yang bertindak sebagai
radikal bebas atau donor hidrogen, dan untuk menilai aktivitas antioksidan pada
suatu makanan. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang berbentuk
padat atau cairan dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan khusus, tetapi
digunakan untuk semua jenis antioksidan dari sampel. Suatu senyawa dikatakan
memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan
atom hidrogennya pada radikal bebas DPPH yang ditandai dengan terjadinya
perubahan warna ungu menjadi kuning pucat.
Gambar 6. Reaksi DPPH dengan Antioksidan (Sayuti dan Rina, 2015)
24
Radikal DPPH merupakan senyawa organik yang mengandung nitrogen
tidak stabil dengan absorbansi kuat pada panjang gelombang 517 nm dan
berwarna ungu gelap. Setelah bereaksi dengan senyawa antioksidan, DPPH
tersebut akan tereduksi dan warnanya berubah menjadi kuning. Perubahan
tersebut dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer, dan diplotkan
terhadap konsentrasi penurunan intensitas warna akibat berkurangnya ikatan
rangkap terkonjugasi pada DPPH. Hal ini terjadi apabila terdapat penangkapan
satu elektron oleh zat antioksidan, menyebabkan tidak adanya kesempatan
elektron tersebut untuk beresonansi dan senyawa DPPH tereduksi menjadi DPPH-
H (Sayuti dan Rina, 2015). Reaksi DPPH dengan Antosianin terdapat pada
Gambar 6.
2.6. Fikosianin
Fikosianin merupakan pigmen yang berasosiasi dengan protein dan bersifat
polar serta larut air, sehingga dapat diekstrak dengan menggunakan pelarut air
atau buffer (Masojidek et, al., 2004). Kandungan fikosianin pada S. platensis.
berkisar 1-10% berat kering (Sedjati, 2012). Sumber lain menurut Thomas (2010)
menyebutkan kandungan fikosianin dalam 100 g S. platensis kering sebesar
15000-19000mg. Berdasarkan penelitian oleh Romay et, al. (2003), fikosianin
dapat menangkap radikal bebas oksigen dan dapat bereaksi dengan antioksidan
lain seperti HOCl- dan ONOO- . Menurut Hirata et, al. (2004), walaupun telah
melalui proses pengeringan dengan metode spray dry-pun, aktivitas antioksidan
fikosianin tetap sama seperti halnya ekstrak fikosianin dari S. platensis segar.
25
Gambar 7. Struktur Kimia Fikosianin (Zheng dkk., 2011
dalam Cahyaningrum, 2019)
Menurut Hirata et, al., (2004) pigmen fikobiliprotein pada S. platensis
terdiri dari pigmen fikosianin dan allofikosianin. S. platensis lebih dominan akan
pigmen fikosianin sehingga digolongkan sebagai mikroalga biru-hijau. Fikosianin
terdiri dari protein dan bilin (tetrapirol terbuka) dan memiliki rumus molekul
C33H40N4O6 dan bobot molekul 587 kDa serta serapan maksimum pada 620 nm.
Gambar 7 merupakan struktur kimia dari fikosianin.
Produksi pigmen fikosianin juga dipengaruhi oleh adanya kemampuan
mikroalga dalam menghadapi light stress. Menurut Lee (2001) alga yang hidup
pada habitat dengan radiasi matahari tinggi memiliki aksesori berupa pigmen yang
melindunginya dari kerusakan radiasi dan oksidasi. Menurut Gualtieri dan
Barsanti (2006) ketergantungan pada cahaya merupakan aspek penting dalam
fotosintesis, namun di sisi lain adanya light stress dapat mengakibatkan
photoinhibition atau pertumbuhan yang terbatas. Alga memiliki sistem yang
memungkinkan untuk mengubah karakteristik penyerapan cahaya untuk mengatur
jalannya proses fotosistensis berdasarkan ketersediaan cahaya pada lingkungan
26
yang berbeda. Sebagai konsekuensi dari fenomena ini, pigmen yang menyerap
panjang gelombang paling kuat menjadi dominan.
1.7. Batas Aman Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.722/Menkes/Per/IX/88 didefinisikan sebagai bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan bukan merupakan ingredient khas makanan,
mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan
dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk menghasilkan suatu
komponen atau mempengaruhi sifat khas dan meningkatkan mutu makanan
tersebut. Termasuk di dalamnya pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap,
antioksidan, pengawet, pengemulsi, anti kempal, pematang, pemucat dan
pengental.
Bahan tambahan pangan harus memenuhi beberapa persyaratan untuk
menjaga keamanan penggunaannya, yaitu tidak menunjukkan sifat-sifat bereaksi
dengan bahan, mengganggu kesehatan konsumen, menimbulkan keracunan,
merangsang atau menghilangkan rasa dan menghambat kerja enzim (Yuliarti,
2007). Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis dibawah
ambang batas yang telah ditentukan. Jenis bahan tambahan pangan ada 2 yaitu
GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik
misalnya gula (glukosa). Sedangakan jenis lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily
Intake), jenis ini selalu ditetapkan batas penggunan hariannya (daily intake) demi
menjaga/melindungi kesehatan konsumen (Cahyadi, 2006)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/Menkes/Per/IX/88 telah dicantumkan bahan tambahan pangan yang diizinkan
27
ditambahkan dalam makanan diantaranya antioksidan, pewarna, serta penyedap
rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer). S. platensis dapat
memberikan warna akibat adanya kandungan antioksidan pada produk pangan
sehingga termasuk jenis bahan tambahan pangan yang sengaja di tambahkan,
sedangkan jahe merah memiliki kandungan oleoresin yang merupakan senyawa
aromatik sehingga dapat memperkuat rasa dan aroma pada bahan pangan.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Persyaratan Penggunaan
Bahan Tambahan Pangan Perisa, batas penambahan maksimum BTP perisa alami
ialah 1000 mg/kg produk pangan pada kategori kembang gula/permen dan coklat
tergantung pada jenis perisa yang digunakan. Sedangkan Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999 batas aman penggunaan bahan
pewarna yaitu 30- 300 mg/kg berat badan/hari tergantung jenis bahan tambahan
makanan yang digunakan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kinandari
(2013), menunjukkan bahwa konsentrasi S. platensis dan flavor yang baik pada
produk marshmallow ialah 2,5% dari total bahan yang digunakan.