ii - kumpulan pikiran – dengan berpikir kita … · web viewnamun, kuman penyebab kusta kali...

79
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Penyakit Kusta 1. Tinjauan Penyakit Kusta a. Definisi Penyakit Kusta Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala- gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, 6

Upload: lydiep

Post on 17-Apr-2018

214 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Penyakit Kusta

1. Tinjauan Penyakit Kusta

a. Definisi Penyakit Kusta

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti

kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga

Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.

Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut

Morbus Hansen.

Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe

penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran

pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari

luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan

kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti

mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan

anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang

digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Daili, 1998).

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi,

kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan

sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana

6

7

mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu

inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya

kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak.

Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit

mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa

kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa

karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak.

Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka

tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan

dengan jari tidak terasa sakit.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal

di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang

tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya

penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.

Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita (Daili,

1998).

Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah

bilamana ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang

merasa, permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak

tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan

saraf tepi pada satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-),

Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau

8

disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang

tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan

pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat,

kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+).

Tipe seperti ini sangat mudah menular (Hasibuan, 1990).

b. Sejarah

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah

dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.. Pada 1995,

Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga

kini awet bertahan di dunia. Dari catatan yang ditemukan di India,

penderita kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam

buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter

untuk sejumlah penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-

an, kusta menjadi penyakit yang 'populer' dan menjadi bagian dari

kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali

pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di

Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit Hansen.

Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika

Tengah, dan Amerika Selatan.

Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita

bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan

zaman moderen. Pada zaman purbakala karena belum ditemukan obat yang

9

sesuai untuk pengobatan penderita kusta, maka penderita tersebut telah

terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan

malu, disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik.

Pada zaman pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa

tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur hidup.

1) Zaman Purbakala

Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat

diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM,

istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok 600

SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah

terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan

malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik

dan takut.

2) Zaman Pertengahan

Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan

ketatanegaraan dan sistem feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan

masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak azasi

manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada

penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu

penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita

kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di

Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.

10

3) Zaman Modern.

Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada

tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat

anti kusta dan usaha penanggulangannya. Pengobatan yang efektif

terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan

diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri

penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan

menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya

pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu

ditangani kembali. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah

mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan

secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan.

Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :

a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita

kusta.

b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai

diintegrasikan di puskesmas.

c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi

Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi World

Health Organisation (Depkes RI, 2005).

11

c. Epidemiologi Penyakit Kusta

1) Epidemiologi Secara Global

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar

kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya

perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.

2) Epidemiologi Kusta di Indonesia

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang

kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini

disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan

pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di

Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria

secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada

abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang

ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.

Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar

di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar

ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat

mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World

Health Organisation yaitu tahun 2000.

d. Prevalensi Penderita Kusta

Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus

yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137

12

kasus pada desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun

2002 menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk

menurun dari 0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi

menjadi 0,92.

Pada tahun 2001, Prevalensi Rate di tingkat propinsi mempunyai

variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi

Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 Prevalensi Rate terendah di

propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari

gambaran prevalensi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang

belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan

daerah yang sering terjadi konflik.

e. Angka Penemuan Penderita Baru

Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya

11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun

2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus

ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan

jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan

1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.

Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per

100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan

naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat provinsi

pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Provinsi Papua

13

(49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun

2002 tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi Bengkulu

(0,250). Cakupan penderita dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas

yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka

kesembuhan lebih dari 90%

Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan

penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun

2002. Provinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah Provinsi

Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.

Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta.

Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban

sebagai daerah rawan bersama Irian Jaya bagian Barat, Papua, Jawa

Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,

Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Yakarta (Depkes RI,

2005).

2. Bentuk-bentuk dan Gejala Penyakit Kusta

a. Klasifikasi Penyakit Kusta

1) Jenis klasifikasi yang umum

a. Klasifikasi Internasional (1953)

1. Indeterminate (I)

2. Tuberkuloid (T)

14

3. Borderline-Dimorphous (B)

4. Lepromatosa (L)

b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling

(1962).

1. Tuberkoloid (TT)

2. Boderline tubercoloid (BT)

3. Mid-berderline (BB)

4. Borderline lepromatous (BL)

5. Lepromatosa (LL)

c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO

(1981) dan modifikasi WHO (1988)

1. Pausibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan

BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan

T menurut klasifikasi Madrid.

2. Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT

menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut

Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

15

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan

sebagai berikut :

1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB

apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.

2. Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru

berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB MB

1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)

2. kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang jelas

Hanya satu cabang saraf

> 5 lesi Distribusi

lebih simetris

Hilangnya sensasi kurang jelas

Banyak cabang saraf

Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta

Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang

akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi

Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum

penyakit kusta.

16

Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB

Karakteristik Tuberkuloid (TT)

Borderline tuberculoid

(BT)

Indeterminate (I)

LesiTipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTAPada lesi kulitTes lepromin

Makula dibatasi infiltrat

Satu atau beberapa

Terlokalisasi & asimetris

Kering, skuama

Hilang

NegatifPositif kuat (3+)

Makula dibatasi infiltrat saja

Satu dengan lesi satelit

Asimetris

Kering, skuama

Hilang

Negatif atau 1 +Positif (2 +)

Makula

Satu atau beberapa

Bervariasi

Dapat halus agak berkilat

Agak terganggu

Biasanya negatif

Meragukan (1 +)

Sumber : Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta

17

Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB

Karakteristik Lepromatosa (LL)

Borderline lepromatosa (BL)

Mid-borderline

(BB)

LesiTipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTAPada lesi kulit

Pada hembusan

hidungTes lepromin

Makula, infiltrat difus, papul, nodus

Banyak, distribusi luas, praktis tidak ada kulit sehat

simetrisKering, skuama

Halus dan berkilap

Todak terganggu

Banyak (globi)Banyak (globi)

Negative

Makula, plak, papul

Banyak, tapi kulit sehat masih ada

Cenderung simetris

Halus dan berkilap

Sedikit berkurang

BanyakBiasanya tidak ada

Negatif

Plak, lesi berbntuk kubah, lesi punched-outBeberapa, kulit sehat (+)

asimetris

sedikit berkilap, beberapa lesi kering

berkurang

agak banyaktidak ada

biasanya negatif, dapat juga (±)

Sumber: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit.Jen P2 dan PL. Jakarta

Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan

tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak

dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan

Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok

berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis.

18

Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk

pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :

1. Tipe tuberkoloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu

atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada

bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing.

Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat

menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai

penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit

rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman

merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat

terhadap kuman kusta.

2. Tipe borderline tubercoloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau

plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau

beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama

tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe

tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak

dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe mid borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam

spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan

19

bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif.

Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi

yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi,

baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi

punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4. Tipe borderline lepromatosa

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam

jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula

lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul

dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan

beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian

tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas

dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti

punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,

hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat

muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada

tempat predileksi.

5. Tipe lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak

ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah

mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai

20

bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan

ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit

yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan

cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis

dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat

dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat

menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala

stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif,

muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan

nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami

degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan

otot tangan dan kaki.

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam

klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli

kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula

hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal.

Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka,

kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan

saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan

histopatologik.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari

tingkat atau tipe dari penyakit tersebut yaitu:

21

1) Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.

2) Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama

semakin melebar dan banyak.

3) Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,

aulicularis magnus serta peroneus.

4) Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan

mengkilat.

5) Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada

kulit

6) Alis rambut rontok

7) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka

singa).

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :

1) Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.

2) Noreksia

3) Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.

4) Cephalgia

5) Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis

6) Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan

hepatospleenomegali.

7) Neuritis

22

Gambar 1. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary

Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakaerta.

Jenis Multibacillary

a. Tompok putih-kemerahan yang merebak di seluruh kulit badan

b. Tanda-tanda awal dari jenis ini sering terjadi pada cuping telinga dan

muka.

c. Kusta jenis ini boleh berjangkit

Gambar 2. Kusta Tipe Multibacilary

Sumber:Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta.

23

3. Transmisi Penularan Penyakit Kusta

a. Organisme Penyebab Penyakit Kusta

Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana

microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk

batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies

Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro

biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan

bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun

jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol

sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain

banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen

(misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang

menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis

granuloma infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada

laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia

melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan,

kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa

inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda

seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit

mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh

hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).

24

b. Patogenesis

Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh

masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah

memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian

tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh

Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas

seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang

rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan

nontoksis (Hasibuan, 1990).

Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler

yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah

superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman

Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi

mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear,

histiosit) untuk memfagositnya (Hasibuan, 1990)

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular,

dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga

kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak

jaringan (Depkes RI, 2002)

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular

tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya

setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel

25

epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk

sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi

berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan

jaringan disekitarnya (Hasibuan, 1990)

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan

Mycobacterium lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai

demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila

terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi

dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi

kerusakan saraf yang progresif (Depkes RI, 2000)

c. Reservoir

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui

berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar

diketahui secara alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta

seperti pada percobaan yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara

alamiah dapat terjadi penularan dari Armadilo kepada manusia. Penularan

kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang

ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.

d. Cara Penularan

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan

jelas penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam

waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta

26

basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe

lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7

hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta

lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme

kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit

yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,

penularannya diduga melalui plasenta (Daili, 1998).

Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia

diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa

kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis

kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme

tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan

bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit,

Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan

asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya

sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin

superfisialkulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah

pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar

keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada

1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa,

menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley

melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan

27

adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi

bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi

10.000.000 organisme per hari.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih

merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta

dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang

mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

1) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita

yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

2) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur

15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun

makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi

basiler kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang

pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa

penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu

ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :

1) Faktor Kuman kusta

Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih

utuh (solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan

penularan dari pada orang yang tidak utuh lagi Mycobacterium leprae

28

bersifat tahan asam, bermentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan

lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-

satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman

kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari

tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh

(solid) saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002).

2) Faktor Imunitas

Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari

hasil penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95

0rang yang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2

orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh

pengobatan (Depkes RI, 2002).

3) Keadaan Lingkungan

Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan

kemiskinan, merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta.

Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas

merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.

4) Faktor Umur

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate

penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10

sampai 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat

29

sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan

kemudian secara perlahan-lahan menurun (Hasibuan, 1990).

5) Faktor Jenis Kelamin

Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada

wanita, kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki.

Faktor fisiologis seperti pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan

malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta

(Hasibuan, 1990).

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil

penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang

terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat,

2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh

pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman

Mycobacterium leprae menderita kusta (Depkes RI, 2005).

e. Masa inkubasi

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.

Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi

minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus

kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30

tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang

pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah

30

non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan

dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.

Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia

3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak

dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara

umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5

tahun (Nadesul, 1995).

4. Upaya Pencegahan Penyakit Kusta

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil

penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih

besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak

utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat

dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu

peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada

penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta

adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman

kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat

sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia

tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal

ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya

tempat-tempat yang lembab.

31

Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi

kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat

mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas

untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta

memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta

kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :

a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta

b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta

c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain

d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan

secara teratur (Depkes RI, 2005).

5. Penanggulangan Penyakit Kusta

Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana

dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang

berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini

terdiri dari metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi

sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan

akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga

tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu

sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan

program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi

32

penyakit kusta menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang

dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :

a) Penemuan penderita secara dini.

b) Pengobatan penderita.

c) Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.

d) Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.

e) Rehabilitasi penderita kusta.

a) Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi

1) Rehabilitasi Medik

Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada

penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti.

Dari hasil penelitian pada bulan Maret 1996 di Rumah Sakit Kusta

Sitanala, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien yang datang

berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta. Walaupun dengan

pengobatan yang benar dan teratur penyakit kusta dapat disembuhkan,

akan tetapi cacat yang telah timbul atau mungkin yang akan timbul

merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani

secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal.

Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan

memburuk.

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai

pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan

33

rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi,

fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik,

pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi

okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu

rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta

dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun

negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu

pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.

Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan

kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.

Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program

rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan

pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal.

Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota

gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat

untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai

secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah

pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi lepra

mempunyai 4 tujuan, yaitu :

a) Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan

sensorik, paralisis, dan kontraktur.

b) Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.

34

c) Kontrol nyeri.

d) Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan

keadaan penyakit.

Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat

pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan

pada pencegahan handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi

yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :

a) Pemeliharaan kulit harian

1) cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit

sabun (jangan detergen)

2) Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin

3) kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit

kering terlepas.

4) kulit digosok dengan minyak.

5) secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri,

luka dan lain-lain)

b) Proteksi tangan dan kaki

1) Tangan :

a) pakai sarung tangan waktu bekerja

b) stop merokok

c) jangan sentuh gelas/barang panas secara

langsung

35

d) lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan

bahan lembut

2) Kaki

a) selalu pakai alas kaki

b) batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan

c) meninggikan kaki bila berbaring

c) Latihan fisioterapi

Tujuan latihan adalah :

1) Cegah kontraktur

2) Peningkatan fungsi gerak

3) Peningkatan kekuatan otot

4) Peningkatan daya tahan (endurance)

a) Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari

menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang

lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 – 10 kali per hari untuk

mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk

mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga

dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.

b) Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot

sendiri

36

c) Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian

belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan

tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.

d) Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk

mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan

daya tahan.

d) Bidai

Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan

tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai dipasang pada anggiota

gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi

nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang

ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan

lingkup gerak sendi.

e) Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi.

f) Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting

untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong

diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk

melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat

bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan

deformitas pasien.

1) latihan redukasi motorik

37

a) diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan

peregangan.

b) Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik

tangan dan jari-jari, sekaligus melatih koordinasi gerak dengan

bagian ekstremitas yang sehat.

c) Gerak terampil tangan dan jari

d) Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.

2) Latihan redukasi sensorik

a) Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien,

dan menolong pasien untuk mencari alternatif lain untuk

meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional juga

meningkat

b) Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar,

sampai halus, dingin dan hangat.

c) Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.

3) Latihan aktivitas menolong diri

4) Latihan aktivitas rumah tangga

5) Latihan aktivitas kerja

6. latihan daya tahan kerja

g) Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal

yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan

38

evaluasi kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi

psikososial.

2) Rehabilitasi Nonmedik

Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun

penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia.

Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat

kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan

cacat fisik.

Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk yang

menimbukan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan

terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas,

meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara

medis, akan tetapi bila fisinya cacat, maka predikat kusta akan tetap

melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya

akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.

Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tida

dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya aka

nada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku penderita.

Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai

seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan

39

dan kesembuhan, sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya caca

bagi penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus

diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah

diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan

dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya

dapat dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap

keluargannya.

Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih

menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini

disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak

dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang

keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang

negative terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita

kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat

lingkungannya.

Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus

segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu

dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara paripurna sampai ia

dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala.

Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita

itu sendiri.

40

Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan

mata rantai penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila

pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan

sulit dicapai partisipasi aktif dari penderita agar berobat teratur dan

menyelesaikan secara tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan.

Cacat psikososial ini mulai dirasakan oleh penderita sejak saat ia

dinyatakan menderita penyakit kusta dan bila hal tersebut mulai

diketahui oleh keluarganya maupun oleh masyarakar di sekitarnya. Hal

ini akan bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber

nafkah bagi keluarganya. Dalam banyak hal ia dapat kehilangan sumber

penghasilannya dan memperburuk keadaannya beserta keluarga.

Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka bila ada

keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya segera merujuk

penderita kepada mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Setelah

diagnosis kusta ditegakkan, maka pengobatan harus segera dimulai,

disertai upaya rehabilitasi mental terhadap penderita, keluarganya, dan

masyarakat sekitarnya.

Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila seseorang

belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnya

masih diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus

ditangani sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya

41

cacat kusta. Andaikata cacat kusta te lah terjadi, maka upaya rehabilitasi

untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.

Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil

pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa

penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan

lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus

ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat

fisik yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar

ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen Kesehatan.

Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau

tanpa cacat kusta.

3) Rehabilitasi Mental

Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang dinyatakan

menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan jiwa dan

masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi terhadap

keadaan ini. Ada yang segera dapat menerima keadaan ini dan segera

mancari pertolongan medis, ada pula yang berusaha menolak kenyataan

dengan mencari pertolongan alternative termasuk berobat pada dukun,

tabib dan sebagainya. Dan adapula yang merasa rendah diri mengalami

depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena malu, dan ada

pula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh diri.

42

Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang

sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu

hal yang perlu kita sadari bahwa tidak seorang sehatpun ingin

mendapatkan cacat dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi

setiap petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan

menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati secara dini

dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya cacat semaksimal

mungkin.

Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus

diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan

masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar

mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita

dapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar

sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu

disampaikan antara lain sebagai berikut:

a) Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi

b) Masalah psikososial kusta

c) Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul

selama proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai.

d) Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut.

e) Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.

f) Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.

43

g) Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai

upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.

Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada

penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara

sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka. Hanya dengan demikian

kita dapat mengharapkan keberhasilan penanggulangan penyakit kusta

secara paripurna.

Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedis harus

dibekali dengan pengatahuan kusta yang memadai supaya terampil

dalam memberikan penyuluhan kusta dengan baik dan bermanfaat.

Bimbingan mental ini harus didukung juga oleh partisipasi aktif dari

pemuka masyarakat dan pemuka agama pada setiap kesempatan yang

ada.

Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal tersebut,

maka penderita cenderung menjadi bosan menghadapi masa pengobatan

yang panjang dan itu-itu saja, sehingga ia akan berobat semaunya secara

tidak teratur. Lebih celaka lagi bila selama masa pengobatan timbul

komplikasi berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi

tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative untuk menghentikan saja

pengobatan yang telah berjalan dengan baik dan mencari pertolongan

pengobatan secara alternatif.

44

Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita tanpa

melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak masalah dalam

keberhasilan upaya penanggulangan penyakit kusta. Hal ini akan

memperbesar risiko kecacatan dan resistensi terhadap obat kusta.

Dengan timbulnya cacat kusta, upaya penanggulangan penyakit kusta

akan menjadi bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan

nonmedis yang lebih komleks dan biaya yang lebih besar. Hal ini akan

menjadi beban bagi negara dan bangsa.

Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi ini

berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan

timbul banyak kendala dalam memasyarakatkan kembali penderita dan

bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar

tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka

stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan hingga seminimal

mungkin.

Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama seperti

penyakit menular lainnya dan penderita kusta dapat diterima dan

diperlakukan secara wajar oleh masyarakat dengan hak yang sama

seperti orang sehat yang lain.

4) Rehabilitasi Karya

Tidak semua penderita kusta bila sembuh datang kembali

bekerja pada pekerjaan semula, apalagi bila pekerja terlanjur mengalam

45

cacat fisik. Walaupun telah diupayakan rehabilitasi medis dan

dinyatakan sembuh dari penyakitnya, mantan penderita tidak dapat

melakukan pekerjaan yang sama seperti sediakala. Dalam banyak hal

adanya stigma atau leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan)

kerap kali menghadapi kendala sosial, sehungga perlu mengganti jenis

pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan

keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau plantar

menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.

Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang

sudah terlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama,

atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat

cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disampng itu

penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi

risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.

5) Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social

ekonomi pernderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri

tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi social

bukanlah bantuan social yang harus diberikan secara terus menerus,

melaikan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian

penderita. Upaya ini dapat berupa :

a) Memberikan bimbingan sosial.

46

b) Memberikan peralatan kerja.

c) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.

d) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan

keadaan cacatnya.

e) Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka

f) Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.

g) Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang,

papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.

h) Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.

i) Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.

j) Memberikan bimbingan mental/spiritual.

k) Memberikan pelatihan ketrampilan/magang kerja dan sebagainya.

Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan peran serta

masyarakat dalam menunjang keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua

akan dapat terlaksana dengan baik apabila stigma dan leprofobi dapat

ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan demikian kehadiran mereka

dapat diterima oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka mau

dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala

usaha tersebut tidak akan berhasil (Depkes RI, 2005).

B. Tinjauan Umum Tentang Skrining

1. Pengertian Skrining

47

Penyaringan (skrining) adalah suatu usaha untuk mendeteksi mencari

penderita penyakit tertentu yang tampak gejala (tidak tampak) dalam suatu

masyarakat atau kelompok tertentu melalui suatu tes/pemeriksaan, yang

singkat dan sederhana dapat memisahkan mereka yang sehat terhadap mereka

yang kemungkinan besar menderita, yang selanjutnya diproses melalui

diagnosis dan pengobatan. Penyaringan bukan diagnosis, sehingga hasil yang

didapat betul-betul didasarkan pada hasil pemerikasaan tes tertentu sedangkan

kepastian diagnosis klinik yang dilakukan kemudian (Nasri, 1997).

2. Tujuan dan Sasaran Skrining

a) Mendapatkan mereka yang menderita sedini mungkin sehingga dapat

segera memperoleh pengobatan.

b) Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.

c) Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini

mungkin.

d) Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang

sifat penyakit dan untuk selalu waspada/melakukan pengamatan terhadap

setiap gejala dini.

e) Mendapat keterangan epidemiologis yang berguna bagi peneliti.

3. Berbagai Bentuk Pelaksanan Penyaringan (skrining)

a) Dapat dilakukan secara massal pada suatu penduduk tertentu.

b) Dapat dilakukan secara selektif maupun random terutama mereka dengan

risko yang lebih besar.

48

c) Dapat dilakukan untuk suatu penyakit atau serentak lebih dari satu

penyakit.

4. Keuntungan Skrining

a) Biaya dapat dilaksanakan sangat efektif.

b) Lebih cepat mendapatkan keterangan tentang penyakit dalam masyarakat.

c) Mempunyai fleksibilitas dalam pelaksanaannya.

d) Pelaksanaannya cukup sederhana dan mudah.

e) Hasilnya dapat dipercaya selama tetap memperhatikan nilai:

1) Rehabilitas

2) Validasi

3) Kekuataan tes berdasrkan sensivitas dan spesivitas

5. Kriteria Dalam Menyusun Program Skrining

a) Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti

b) Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi

mereka yang dinyatakan menderita.Tersedianya fasilitas dan biaya untuk

diagnosis pasti dan pengobatan.

c) Pemeriksaan skrining memenuhi syarat untuk tingkat sensivitas dan

spesivitas.

d) Teknik dan cara pemeriksaan harus dapat diterima masyarakat secara

umum.

e) Sifat perjalanan penyakit diketahui dengan pasti.

f) Ada standar yang disepakati tentang mereka yang menderita.

49

g) Biaya yang digunakan harus seimbang dengan resiko biaya tanpa skrining.

h) Harus dimungkinkan untuk diadakan follow up, dan kemungkinan

pencarian penderita secara berkesinambungan.

6. Bentuk- Bentuk Skrining/Penyaringan

Penyaringan dapat dilakukan dalam bentuk seri maupun parallel.

Bentuk seri yakni pad dua penyaringan, mereka dinyatakan positif bila

menghasilkan hasil positif pada kedua tes penyaringan yang dilakukan, untuk

selanjutnya diadakan pemeriksaan untuk diagnosis. Pada bentuk seri, positif

palsu akan lebih rendah, sedangkan negatif palsu meningkat.

Bentuk paralel yakni pada dua penyaringan, mereka yang positif

pada satu tes dinyatakan positif dan dilanjutkan pemeriksaan untuk diagnosis.

Pada bentuk bentuk paralel, jumlah positif palsu akan lebih besar dan negatif

palsu akan lebih kecil. Cara ini dapat digunakan tergantung tujuan

penyaringan, bentuk penyakit serta keadaan dana dan fasilitas yang tersedia.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kusta

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

mengindera terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan dapat terjadi melalui

indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang terhadap obyek diperoleh melalui

indra penglihatan. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan :

50

a) Tahu (know) diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya.

b) Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, yang dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c) Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi real (sebenarnya).

d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu

struktur organisasi tersebut atau masih ada kaitannya satu sama lain.

e) Sintesis (synthesis) menunjuk kepada sesuatu kemampuan untuk

meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam bentuk

keseluruhan yang baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f) Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian suatu materi atau obyek (Notoatmojo, 1989).

2. Sikap

Sikap adalah bentuk evaluasi atau perasaan seseorang terhadap suatu

obyek yaitu perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak

mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu (Azwar,

2003).

3. Tindakan

51

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud didalam suatu tindakan

(over behavior), karena untuk mewujudkan sikap menjadi perubahan nyata

diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Adapun

tahapan-tahapan tindakan adalah :

a) Persepsi, artinya mengenal atau memilih berbagai obyek dengan tindakan

yang akan di ambil adalah praktek tingkat pertama.

b) Respon terpimpin adalah melalui sesuatu dengan urutan yang besar sesuai

dengan contoh atau merupakan indikator tingkat kedua.

c) Mekanisme, apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar

maka secara otomatis akan menjadi kebiasaan dan pencapaian praktek

tingkat ketiga.

d) Adaptasi adalah suatu praktek atau tundakan yang sudah berkembang

dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi.

Sebelum seseorang mengadopsi suatu inovasi baru didalam diri

orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :

a) Kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui stimulus/obyek terlebih dahulu.

b) Ketertarikan (interest), ketika orang mulai tertarik terhadap stimulus yang

diberikan oleh subyek.

c) Penilaian (evaluation), sebelum aktifitas mental untuk menimbang-

nimbang baik tidaknya sebuah stimulus bagi dirinya.

52

d) Mencoba (trial), dimana orang telah mulai untuk mencoba sebuah perilaku

yang baru dan merasakan dampaknya.

e) Penerimaan (adaptasi), dimana subyek telah menerima inovasi sebagai

bagian dari perilakunya sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan

sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 1993).

D. Kerangka Konsep

Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang menyerang

manusia pada semua kelompok umur dan dapat menyebabkan kerusakan saraf

tepi serta menimbulkan kecacatan yang permanen pada manusia.

Di Wilayah Puskesmas Kulisusu pada tahun 2008 angka penemuan kasus

baru (CDR) sebesar 26 per 100.000 penduduk, sehingga tingkat penularan masih

tergolong tinggi bila dibandingkan dengan target program Penanggulangan

Penyakit Kusta CDR < 10 per 100.000 penduduk.

Kejadian penyakit kusta tersebut terkait dengan berbagai faktor dan

diantaranya termasuk kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan responden

yang kurang sehat, seperti kerangka acuan penelitian.

53

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

Pengetahuan

Sikap

Tindakan

Pendidikan

RespondenKejadian

Penyalit Kusta

Sakit Kusta(Penderit)

Sehat(Bukan Penderita)

Skrining

Lingkungan

54

Keterangan : Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Gambar 3. Bagan Kerangka Konseptual