bamuisbni.or.id · ii iii kata sambutan badan pelaksana harian yayasan baitulmal ummat islam bank...
TRANSCRIPT
Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM
BA
MU
IS BN
I Laz-N
as M
od
erN
PertaM
a d
i iNd
oN
esia (1967 - 2018)
Infak /Sedekah Infak /Sedekahin aja!
NowZamanNowZaman
YAYASAN BAITULMAL UMMAT ISLAM BANK NEGARA INDONESIA (BAMUIS BNI)Alamat: Jalan Percetakan Negara VII No. 3C Rawasari Jakarta Pusat 10570, Telp. (021) 4210201, 42885932 email: [email protected] - [email protected]. Website: www.bamuisbni.or.id
Bamuis BNI
bamuis_bni
Digitalized by
ii iii
KATA SAmbuTAn
BADAN PELAKSANA HARIAN YAYASAN BAITULMAL UMMAT ISLAMBANK NEGARA INDONESIA (BAMUIS BNI)
Assalamulaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, Prof. DR. Drs. H. Muhammad Amin
Suma, SH, MA, MM melalui penelitian ilmiahnya telah melahirkan buku
berjudul “BAMUIS BNI LAZ-NAS MoDeRN PeRtAMA DI INDoNeSIA”. Buku
ini menjelaskan dengan sangat rinci mengenai perjalanan Lembaga Amil
Zakat BAMUIS sejak didirikan pada tanggal 5 oktober 1967 hingga kondisi
terkini awal tahun 2018. Perjalanan panjang keberadaan BAMUIS yang
telah melalui beberapa era orde kepemimpinan dan perubahan peraturan
yang berlaku dijelaskan dengan sangat gamblang dan mampu menjelaskan
perjalanan sejarah sebuah Lembaga Amil Zakat yang tentunya sedikit
banyak telah turut mewarnai perkembangan perzakatan di Indonesia.
Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWt, di usia emas 50
tahun, BAMUIS BNI mendapat kehormatan melalui adanya sebuah kajian
ilmiah oleh ahlinya yang diberikan predikat sebagai sebuah Lembaga Amil
Zakat Modern Pertama di Indonesia. Sebutan atau predikat ini tentunya
tidak saja menggambarkan sebuah perjuangan panjang akan tetapi juga
memperlihatkan kesinambungan kegigihan dalam upaya pelaksanaan
syariat beragama khususnya kegiatan ibadah zakat yang juga merupakan
ibadah sosial yang dilakukan secara berjamaah demi tegaknya kalimatullah,
keimanan dan kemaslahatan ummat.
Peran serta para ulama ternama, para negarawan serta tokoh
masyarakat Indonesia pada awal-awal pendirian BAMUIS BNI di lukiskan
dengan sangat rinci dan mampu memberikan pencerahan kepada kita
bahwa niat luhur untuk melaksanakan perintah Agama adalah wajib dan
memudahkan sesama ummat Islam untuk menjalankan ibadah secara
berjamaah adalah perbuatan mulia yang harus terus di berikan dukungan
dan di tumbuh kembangkan oleh semua pihak, tidak saja terbatas di
lingkungan masjid dan musholla, karena kesadaran beragama sudah
seharusnya ada disetiap langkah usaha kita.
Perihal Amil dan keamilan dengan sangat indah di jelaskan dalam
buku ini, baik dari sisi keilmuan seperti definisi, dasar hukum dan urgensi
pengangkatannya, maupun dari sudut pandang sejarahnya secara ilmiah
dipaparkan, sehingga kita dapat memahami secara detail tugas dan peran
serta sebuah lembaga Amil, serta seberapa besar amanah dan tanggung
jawab yang diembannya, dan Alhamdulillah dari penelitian dan kajian
ilmiah ini BAMUIS BNI yang lahir dan tumbuh atas inisiatif ummat
khususnya dilingkungan Bank Negara Indonesia dapat dinyatakan memiliki
posisi dan peranan tersendiri dalam perjalanan perzakatan di Indonesia.
Peran strategis BAMUIS BNI sebagai lembaga amil zakat nasional
yang telah mendapat apresiasi dari berbagai pihak ini adalah hasil dari
pelaksanaan program-program yang konsisten, taat azaz dan melalui
pemenuhan sistem administrasi yang baik serta berkesinambungan, oleh
karena itu keberadaan buku ini diharapkan ini akan semakin membuka
cakrawala kita dalam pengelolaan lembaga Zakat, sekaligus dapat
iv v
menginspirasi para pegiat zakat di Indonesia dalam menumbuh kembangkan
aktifitasnya guna menjawab tantangan di era selanjutnya, khususnya pasca
diberlakukannya undang-undang zakat No. 23 tahun 2011 secara utuh serta
mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis dan
digital.
Kemajuan dan cita-cita yang hendak diraih oleh BAMUIS BNI sendiri
masih memerlukan kerja keras dan perjuangan yang panjang, maka besar
harapan untuk tetap selalu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak
dan terus mengajak segenap insan muslim baik dilingkungan BNI maupun
masyarakat umum untuk menyalurkan zakat sebagai sebuah kewajiban dan
infak/sedekah sebagai tambahan sikap kedermawanannya dalam rangka
untuk membersih-sucikan harta yang kita peroleh, karena dengan semakin
banyak dana terhimpun akan semakin kuat dan banyak program-program
yang dapat dilaksanakan dan pada akhirnya akan semakin banyak ummat
muslim yang semula lemah akan mampu bangkit dan berubah menjadi
pemberi (Muzaki).
Melalui buku ini diharapkan pemahaman masyarakat tentang
lembaga zakat akan lebih mendalam serta lebih merasakan keberadaan
BAMUIS BNI dan bagi para pegiat zakat dapat menjadikan BAMUIS BNI
sebagai salah satu rujukan atau model percontohan dalam pelaksanaan
pengelolaan dana zakat dan infak/sedekah secara modern.
Akhirnya, semoga buku ini menjadi amal saleh yang langgeng,
terutama bagi peneliti/pengkajinya sekaligus penulis, dan penggiat
aktifis-aktifis zakat yang telah memberikan sumbangsih pemikiran,
serta kedermawanannya dalam turut serta memberikan warna dalam
perkembangan lembaga perzakatan di Indonesia. Pada kesempatan inipun
kami mewakili Yayasan Baitulmal Ummat Islam Bank Negara Indonesia
(BAMUIS BNI) mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada Bapak Prof. DR. Drs. H Muhammad Amin Suma, SH.,
MA, MM yang telah bersedia untuk melakukan penelitian ilmiah hingga
lahirnya buku dengan judul BAMUIS BNI LAZ-NAS MoDeRN PeRtAMA DI
INDoNeSIA.
Wabilahit taufik walhidayah.
Wassalamulaikum Wr.Wb.
YAYASAN BAItULMAL UMMAt ISLAM
BANK NeGARA INDoNeSIA
BADAN PELAKSANA
Drs. H. Sudirman, MBADirektur eksekutif
vi vii
KATA PEnGAnTAR
Dengan (menyebut) nama Allah yang Maha Pemurah - Maha Penyayang
Untuk mengawali kata pengantar ini, tidak ada kata yang paling
tepat selain menuliskan kalimat al-hamdulilláh wa-al-syukru lilláh. Segala
puji-pujian, hanyalah milik Allah ‘Azza wa-Jalla, Dzat Yang Maha Pengasih
tak pilih kasih dan Maha Penyayang tak pandang sayang. Sebab, hanya
berkat rahmat, hidayah dan ma’unah Nya-lah penulis bisa menyelesaikan
buku mini yang kini berada dalam “dekapan” para pembaca yang terpelajar
dan budiman.
Salawat dan salam, kita mohonkan kepada Allah Yang Maha
Kuasa, untuk selalu dan selamanya dialir-deraskan kepada bintang dan
penutup para nabi dan rasul Allah (khátam al-nabiyyín wal-mursalín),
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya. In sya
Allah mudah-mudahan kita semua (penulis dan pembaca) termasuk dalam
deretan panjang para pengikut setianya. Amin !!!
Wabakdu, sungguh pada tempatnya mana kala dalam pengantar
buku ini penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terkira dan tidak
berhingga kepada banyak orang/pihak, terutama jajaran BAMUIS khususnya
dan keluarga besar Bank Negara Indonesia 1946 serta umat Islam dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Lebih khusus lagi kepada para muzaki,
munfik dan mutasadik serta para mustahik yang secara langsung maupun
tidak langsung, moril maupun material telah memberikan kehormatan dan
kepercayaan kepada penulis untuk bersama-sama dengan dewan pembina
maupun pengawas dan badan pengurus harian lainnya, turut aktif dalam
YAYASAN BAItUL MAL UMMAt ISLAM (BAMUIS) dengan kurun waktu
yang terbilang cukup lama (1998 – sekarang). Khususnya dalam bidang
pembinaan dan/atau pengawasan syariah dan kesyariahan sesuai dengan
kedudukan resmi (formal) penulis yang ditempatkan sebagai Pembina dan/
atau Pengawas Syariah BAMUIS.
Kurun waktu 19 tahun, boleh jadi masih belum tepat untuk
dikatakan terlalu lama; namun rasa-rasanya kurang pas pula jika dinyatakan
sebagai waktu yang masih pendek apatah lagi terlalu singkat. Yang jelas,
selama menjalani tugas-tugas ke-DPS-an pada YAYASAN BAItUL MAL
UMAt ISLAM (BAMUIS), penulis yang sejak masih di bangku perkuliahan
S-1 atau bahkan jauh sebelumnya (semasa masih duduk di Madrasah
Ibtidaiyah, tsanawiyah dan Aliyah) telah mendengar, mengenali, mempelajari
dan kemudian mengajarkan serta menggeluti dan mengamalkan ilmu-ilmu
agama Islam -- khususnya bidang syariah dan kesyariahan (fikih Islam/
hukum Islam/undang-undang Islam/Qanun Islam) – di dalamnya termasuk
bidang zakat -- yang bersifat tekstualis - teoretis atau konseptual – idealis
selama masih berstatus sebagai siswa/mahasiswa/dosen/guru besar; berkat
viii ix
aktif pada Yayasan BAMUIS BANK BNI pada akhirnya bisa terlibat langsung
dengan praktek nyata (pengamalan) tentang perzakatan di lapangan dalam
mengimplementasikan (sebagian sub kecil ilmu syariah dan kesyariahan)
dari pohon besar dan rindang ilmu-ilmu syariah dan kesyariahan yang
sangat luas dan amat dalam bahkan dapat dikatakan tidak bertepi itu.
Dengan keterlibatan praktik langsung dan nyata penerapan syariat
Islam (tathbíq al-syarí’ah al-Islámiyyah) khususnya dalam bidang ‘ibádah
máliyah wajtimá’iyyah (ibadah yang berdimensikan sosial - ekonomi dan
keuangan) dalam hal ini pengelolaan zakat, infak, dan sedekah; di samping
terus masih berteori selama belasan hingga puluhan tahun tentang syariah
dan kesyariahan – termasuk dalam bidang ZIS --, maka sedikit banyak
alhamdulillah penulis bisa lebih mengenali, memahami, mengamalkan,
menghayati (menjiwai) dan “menikmati” keindahan syariah kapan dan di
manapun (di darat, laut dan udara). Semoga kelak di alam baqa (akhirat)
sana, masih juga tetap bisa menikmati keindahan amaliah syariah dan
kesyariahan ini di syurga Nya, untuk selama-lamanya (khálidína fíhá
abadan>) atas ridha Allah SWt tentunya (radhiyalláhu ‘anhum) manakala
kita juga ridha kepada Nya (waradhú ‘anhu).
Berkat turut aktif berpraktek bersama BAMUIS pula maka penulis
dapat mengenali karakteristik muzaki, munfik dan mutasadik pada satu sisi,
serta karakter para mustahik (penerima manfaat zakat) dan lain sebagainya
pada sisi yang lain. termasuk oknum-oknum yang sejatinya tidak ada
urusan langsung dengan mekanisme pengelolaan maupun penyaluran dana
ZIS. Setetes ilmu pengetahuan dan selangkah pengalaman lapangan penulis
tentang ZIS dan penerapannya dalam kurun waktu belasan hingga seperlima
abad (20-an) tahun di BAMUIS, alhamdulillah telah mengantarkan penulis
untuk sampai pada sebuah kesimpulan yang mengatakan bahwa di balik
kemudahan, kesederhanaan dan peluang serta potensi baik dan indah atas
teori pensyariatan ZIS, ini ternyata banyak pula tantangan yang dihadapi
dalam melakukan pengelolaan ZIS ini. terutama dari sudut pandang ilmu-
ilmu syariah dan kesyariahan.
Pasalnya ? Pengurusan dan kepengurusan ZIS dewasa ini kian waktu
semakin dinamis dan bahkan kompleks. Dinamika pengurusan zakat antara
lain ditandai dengan perubahan dan penggantian peraturan perundang-
undangan zakat pada satu sisi; sementara kompleksitas kepengurusannya
antara lain diwarnai dengan keterbatasan sumber daya insani (SDI) baik
secara kuantitas maupun terutama kualitas. Belum terpikirkan regulasi
dan kebijakan (sebagian) pejabatnya yang terasa kaku. Sehingga, potensi
zakat yang demikian besar dan banyak, masih tetap jauh dari kenyataan
yang diharapkan banyak pihak. Kehadiran regulasi zakat tidak serta merta
membuat pengelolaan dana ZIS menjadi lebih mudah dan cepat bertambah;
mengingat pada saat-saat yang bersamaan, juga menimbulkan persoalan
tersendiri yang belum tentu mudah untuk diatasi. tidak terkecuali arah
pentasarrufan dana ZIS yang masih belum sepenuhnya tepat guna dan
berhasil guna.
Berbarengan dengan itu, komunitas pegiat zakat tentu saja harus
tetap optimistis untuk terus mendorong laju pertumbuhan zakat dan
mengawal perkembangan ilmu maupun praktik perzakatannya. termasuk
di dalamnya dengan melakukan penelitian dan penulisan buku-buku zakat
dalam teks maupun konteksnya yang lebih bermanfaat. Dalam rangka
itulah penelitian dan penulisan buku ini dilakukan.
x xi
Dengan terselesaikannya penelitian dan penyusunan buku
berjudul “BAMUIS BNI LAZ-NAS MoDeRN PeRtAMA DI INDoNeSIA,” ini
sungguh pada tempatnya manakala dari lubuk hati yang terdalam, penulis
menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua orang/pihak yang telah maupun belum disebutkan di dalam tulisan
ini. Di antara mereka adalah keluarga MAS (Muhammad Ami Suma) yang
selalu dan selamanya mendukung penuh aktivitas penulis di BAMUIS.
Kepada semua mereka, untuk ke sekian kalinya menyampaikan ucapan
terima kasih yang tidak terkira dan tidak berhingga.
Harapan penulis, semoga buku yang tidak terbilang tebal meski
tidak tepat dikatakan tipis, ini tetap tergolong ke dalam salah satu dari
tiga bentuk amalan anak Adam yang pahalanya tidak akan pernah terputus
dan akan terus mengalir sebagaimana diingatkan rasul Allah SAW dalam
sabdanya: “Begitu anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka seketika itu
pula terputus amal-perbuatannya; kecuali amal (yang terlahir) dari tiga hal
berikut: (1) sedekah jariah (2) ilmu yang bermanfaat (3) anak salih/salihah
yang mendoakan” (hadis riwayat imam Muslim).
Akhirnya, Allahumma - ya Allah - Dzat yang Maha tahu dan
Maha Penentu segala sesuatu, “Hanya kepada engkau -- ya Allah -- kami
bersembah-sujud, dan hanya kepada engkaulah pula -- ya Allah -- kami
memohon pertolongan.” “Berilah kami hidayah – berupa jalan lurus, yaitu
jalannya orang-orang yang telah engkau berikan nikmat kepada mereka;
bukan jalannya orang-orang yang engkau benci, dan bukan pula jalannya
orang-orang yang sesat dan apalagi menyesatkan. “Iyyáka na’budu wa-
iyyáka nasta’ín. Ihdinás-shiráthal-mustaqíma - shiráthal-ladzína an’amta
‘alaihim ghairil-maghdhúbi ‘alaihim waladh-dhállín.” Ámín, ámín, ámín, yá
Mujíb al-sá’ilín, wal-hamdu lillahi rabbil-‘álamín !
Ciputat, Januari 2017 M/Jumadil Awal 1439 H.
Penulis
Muhammad Amin Suma = MAS
xii 13
bAmuIS bnI LAZ-nAS mODERn PERTAmA DI InDOnESIA
Diterbitkan oleh: Yayasan baitul mal ummat Islam
bank negara Indonesia (bAmuIS bnI)
Penulis: Prof. Dr. Drs. H. muhammad Amin Suma, SH., mA., mm
Desain Cover & Tata Letak: Gema Kreatif Desain, Jakarta
APriL 2018
DAFTAR ISI
KATA SAmbuTAn ii
KATA PEnGAnTAR vi
DAFTAR ISI 13
bAb I 17
MUKADiMAH 17
A. Landasan Pemikiran 18
B. Dasar Hukum 22
C. Hipotesa 22
D. Review Terdahulu 23
E. ruang-Lingkup Penelitian 42
F. Tujuan Penelitian dan Manfaat yang Diharapkan 43
G. Metode Penelitian dan Pembahasan 44
H. Sistematikan Penulisan 49
bAb II 51
SEKiTAr AMiL DAN KEAMiLAN 51
A. ikhtisar Sejarah Keamilan 52
B. Pengertian Amil/Amilin 66
C. Dasar Hukum Pengangkatan Amil 75
D. Urgensi Keberadaan Amil 80
E. Syarat-syarat Amil 87
F. Kewajiban dan Hak Amil 93
14 15bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
bAb III 111
PENGELoLAAN DANA ziS 111
A. Sekilas Sejarah Pengelolaan Dana ziS 112
B. Jabatan Amilin, Amanat Berat Namun Terhormat 127
C. Mengenali Kriteria Mustahik dengan Baik dan Benar 132
D. Etika Amilin 145
bAb IV 147
LAziS-NAS BAMUiS DALAM BiNGKAi UNDANG-UNDANG PENGELoLAAN zAKAT 147
A. Sejarah Singkat Pengelolaan zakat di indonesia 148
B. ringkasan Sejarah Yayasan BAMUiS 154
C. BAMUiS, Modal Dasar dan Model ideal Badan/Lembaga Amil zakat
Nasional yang Modern. 167
D. respons Positif Umat dan Masyarakat Luas Kepada BAMUiS 183
E. Perubahan Nama JAJASAN BAMUiS menjadi BAMUiS BANK BNi 200
bAb V 213
MoDErNiSASi PENGELoLAAN zAKAT MoDEL BAMUiS 213
A. Visi, Misi dan Value 214
B. orientasi Program Kerja 215
C. Success Story BAMUiS 220
D. Tokoh Pendiri, Penggerak dan Pengelola BAMUiS dari Masa ke Masa 236
E. Dewan Pembina - Pengawas Syariah BAMUiS 244
F. ibrah Berharga dari BAMUiS. 255
G. Kekurangan/Kelemahan BAMUiS 259
H. Tantangan Terkini BAMUiS dan Kemungkinan Solusinya 262
bAb VI 283
PENUTUP 283
A. Kesimpulan 284
B. Saran/rekomendasi 286
KEPuSTAKAAn 288
LAmPIRAn 298
bIOGRAFI SInGKAT PEnuLIS 317
01 Mukadimah
muKADImAH18 19
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
“Setiap penulis pasti pembaca; belum tentu pembaca itu penulis.
Tanpa tulisan, bacaan belum tentu ada; namun tulisan akan tetap ada
meskipun tidak dibaca”
muhammad Amin Suma (mAS)
A. Landasan Pemikiran
Islam adalah agama (dín) yang diturunkan Allah ‘Azza wa-
Jalla kepada para nabi dan rasul Nya dengan secara bertahap dan
berkesinambungan (continue) dari waktu ke waktu, mulai dari nabi pertama
(Adam ‘alaihis-salám), sampai nabi dan rasul Nya yang terakhir (Muhammad
SAW). Menurut Nabi Muhammad shallalláhu ‘alaihi wa-sallama (SAW), yang
berjuluk sebagai Permata/Bintang para nabi dan sekaligus sebagai Penghulu
para rasul (khátam al-nibiyyín/wasayyidwa-al-mursalín), Islam adalah agama
yang dibangun di atas lima rukun (unsur/pilar), yakni: (1) ikrar dua kalimah
syahadat (2) menegakkan shalat (3) membayarkan zakat (4) menunaikan
puasa, dan (5) naik haji.25
Semua arkánul Islám, termasuk zakat tentunya, pada dasarnya
dan dalam kenyataannya telah disyariatkan sejak para nabi dan terutama
rasul-rasul Allah yang terdahulu; jauh sebelum kenabian dan kerasulan
25 Buniyal-Islámu ‘alá khmasin: syahádati an-lá-iláha illá Alláh, wa-anna Muhammadar-rasúlulláh, wa-iqámis-shaláti wa-íta’>iz--zakáti wa-shaumi ramadhána, wa-hijj al-baiti (al-Hadis).
Muhammad SAW.26 Hanya saja, karena satu dan lain hal, lima arkán al-
Islám di atas pelaksanaannya mengalami pasang surut dari nabi yang
satu kepada nabi yang lain. Bahkan dapat dikatakan sempat terhenti atau
terputus dalam kurun – waktu yang terbilang lama, terutama pada masa-
masa fatrah (transisi-pergantian) dari nabi yang terdahulu kepada nabi
yang menggantikan berikutnya; khususnya selama masa fatrah dari Nabi
Isa ‘alaihis-salám (as) kepada Nabi Muhammad SAW yang memakan waktu
sekitar 569-570-an tahun. Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah pada
hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah (‘ám al-Fíl ), bertepatan
dengan tanggal 20 April 571 M; dibi’tsah sebagai Nabi dan Rasul Allah
pada 17 Ramadhan pada tahun ke 40 dari kelahirannya yang bertepatan
dengan tanggal 6 Agustus 610 M; dan wafat di Madinah tanggal 8 Juni 632
M/12 Rabiul Awal 11 H.
Pasca masa fatrah (kekosongan Nabi) yang cukup lama sepeninggal
Nabi Isa ‘alaihis-salam (lebih dari lima setengah abad) itulah kemudian
Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan Rasul pamungkas sesuai
dengan julukannya sebagai khátam al-anbiyá’ wa-al-mursalín.27 Perlahan
namun pasti, sesuai dengan tugasnya sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad
SAW terhitung sejak tahun kedua atau ketiga Hijrah, ia “menghidupkan
kembali” syariat Islam dan menyempurnakannya melalui penerimaan
wahyu Al-Qur’an yang memakan waktu lebih dari 22 tahun lamanya
(610 – 632). Karenanya, tidaklah mengherankan manakala agama Islam
lazim diidentikkan dengan agama Nabi Muhammad SAW.28 Demikian pula
26 Baca dan renungkan kalam Allah antara lain dalam surah al-Taubah (9): 34.
27 Q.S. al-Ahzáb (33): 40.
28 Banyak ahli-ahli agama yang mendefinisikan agama Islam dengan agama Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sungguhpun definisi agama Islam seperti ini tidaklah salah, namun terkesan seolah-olah Islam itu adalah agama yang melulu disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW semata. Padahal, semua nabi dan rasul Allah yang sebelumnya, pada hakikatnya juga
muKADImAH20 21
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
halnya dengan kewajiban zakat yang terkesan atau dikesankan hanya
menjadi ajaran Nabi Muhammad SAW dan karenanya maka kini seakan-
akan hanya menjadi “milik” (kewajiban) orang-orang yang mengaku diri
min al-muslimín (dari kalangan Muslimin-Muslimat). Padahal, berdasarkan
penelusuran sejarah sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, kewajiban
zakat sejatinya sudah disyariatkan kepada para nabi dan rasul-rasul Alah
terdahulu, jauh sebelum masa-masa kenabian Nabi Muhammad SAW.29
Akibatnya, ajaran tentang zakat sekarang ini hanya menjadi
“milik” (kewajiban) orang-orang yang mengaku diri min al-muslimín
wal-muslimát (dari kalangan Muslimin-Muslimat). termasuk Muslimin-
Muslimat yang berdiam diri di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang dari waktu ke waktu alhamdulillah lebih percaya
diri untuk menampilkan identitas diniah (keagamaan) atau keislamannya
dalam mengimplementasikan keyakinan Islam (aqidah islamiah) yang
dipeganginya; tidak terkecuai dalam hal pembayaran zakat, infak dan
sedekah (ZIS). Lebih dari sekedar itu, umat Islam Indonesia juga sejak
beberapa tahun yang lalu telah pula “berhasil” mendirikan lembaga-
lembaga zakat yang jumlahnya kini telah mencapai (minimal) belasan
hingga puluhan atau bahkan ratusan badan/lembaga amil zakat (BAZ/LAZ)
nasional, propinsi maupun kabupaten/kota yang tersebar dan terpencar di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kehadiran semua badan/lembaga Zakat ini dimungkinkan setelah
pengesahan dan pengundangan Undang–Undang nomor 38 tahun 1999
menyampaikan agama Islam itu secara berangsur-angsur dan disempurnakan secara kontinue oleh nabi dan terutama rasul yang satu kemudian oleh nabi dan rasul berikutnya mulai dari Nabi Adamálaihis-salám sampai nabi dan rasul terakhir yakni Nabi Muhammad shallalláhu ‘alaihi wa-sallam.
29 Q.S. al-Taubah (9): 34 & 35.
yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan kemudian diikuti oleh sekian banyak
peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikatakan telah cukup memadai.
termasuk dengan kehadiran sekian banyak buku dan tulisan-tulisan
lain yang berhubungan dengan soal zakat dalam konteksnya yang lebih
komprehensif. Sungguhpun demikian, tentu masih tetap menyisakan
beberapa catatan pertanyaan yang terkait dengan perkembangan dunia
zakat itu sendiri maupun lembaga pengelolanya.
Di antara pertanyaan yang dimaksudkan ialah: “Apakah sebelum
lahir Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat
itu di Indonesia belum pernah ada badan atau lembaga amil zakat yang
bersekala nasional dengan sistem pengelolaan yang modern ? Kalau sudah
ada, apa nama badan/lembaga itu ? Kalau belum ada, apa alasan/buktinya ?
Inilah permasalahan dasar dan utama yang ingin dijawab melalui penelitian
dan penulisan sederhana ini dengan melakukan telusur dan observasi
seperlunya terhadap badan/lembaga pengelola amil zakat umumnya dan
sosok LAZ atau LAZIS-NAS BAMUIS pada khususnya.30
b. Dasar Hukum
Penelitian dan penulisan buku ini didasarkan pada Surat tugas
dari Direktur eksekutif Yayasan Baitul Mal Umat Islam (BAMUIS), Nomor
30 Sejatinya, dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat, hanya dikenal istilah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat), tanpa imbuhan kata Nasional sehingga menjadi Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZ-NAS) apalagi Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nasional (LAZIS-NAS). Namun, penulis “terpaksa” menggunakan istilah LAZ-NAS atau lengkapnya LAZIS-NAS khususnya pada LAZIS-NAS BAMUIS, ini lebih didasarkan pada kepentingan historis, filosofis dan praktis, daripada semata-mata dalam teks maupun konteks administratif apalagi politis meskipun hal ini boleh jadi tidak bisa dilepaskan sama sekali dari keterkaitannya dengan hal-hal yang bersifat politis dan administratif.
muKADImAH22 23
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
BMU/1/2477 tanggal 17 oktober 2017 (terlampir). Guna mendapatkan
pengakuan secara ilmiah - akademik, penulisan buku hasil penelitian, ini
juga dikukuhkan dengan Surat tugas Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor B-3723/FSH/
KP.01.4/10/2017, tertanggal 30 oktober 2017 (terlampir) tahun Akademik
2017/2018; dan diketahui serta diakui oleh Kepala Pusat Penelitian dan
Penerbitan (PUSLItPeN) P-2 M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
C. Hipotesa
Berdasarkan penelusuran awal terhadap data yang ada (tersedia),
terutama terkait dengan sejarah pembentukan YAYASAN BAMUIS berikut
kiprah perjalanan panjang (separoh abad) serta program kerja dan kinerjanya,
sampailah pada kesimpulan sementara (hipotesa) bahwa “YAYASAN BAItUL
MAL UMAt ISLAM” yang semula ditulis dengan “Jajasan Baitulmal Ummat
Islam“ (ejaan lama) disingkat BAMUIS, adalah Badan/ Lembaga Amil
Zakat Nasional modern pertama di Indonesia. terutama dalam lingkungan
LAZIS-NAS kelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan malahan
dalam lingkungan semua Badan/Lembaga Amil Zakat Nasional yang ada
di Indonesia pada umumnya.
Hipotesa di atas didasarkan atas telusur informasi dan observasi
terhadap sumber data primer maupun sekunder apalagi tersier. Sumber
primer diperoleh melalui wawancara interaktif dengan para pihak, sementara
sumber sekunder terutama didasarkan pada beberapa dokumen (naskah
otentik) yang ada terutama buku kecil-tipis berjudul “apakah baitulmal
(?)” yang diterbitkan oleh Jajasan Baitulmal Ummat Islam Djakarta pada
awal-awal tahun 1970-an dan tambahan Lembaran Negara R.I. tanggal
11/11 – 2005 No. 90 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Administrasi
Hukum Umum; di samping juga peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan zakat dalam hal ini Undang-Undang nomor 38 tahun 1999
yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan Pemerintah nomor 14
tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU RI nomor 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat.
Guna memperkuat dan memperkaya data sekunder di atas, diteliti
pula data tersier berbentuk tulisan khususnya buku dan/atau peraturan-
peraturan lain yang terkait dengan Pengelolaan Zakat berikut lembaga
pengelolanya. Di antaranya Peraturan Menteri, Peraturan Badan Amil Zakat
Nasional dan lain-lain.
D. Review Terdahulu
Studi tentang zakat berikut lembaga pengelolanya dalam hal ini
Amil/Amilin, telah banyak ditulis orang/pihak terutama para ahli dan telah
banyak diteliti oleh para sarjana dalam berbagai bidang dan dari berbagai
sudut pandang/aspek kajian. Mulai dari kitab-kitab klasik yang besifat makro
dalam pengertian meliputi hampir semua bidang fikih termasuk fikih zakat
dalam konteksnya yang umum dan luas, sampai kepada kitab/buku yang
secara spesifik hanya membahas tentang persoalan perzakatan semata,
dan mulai dari yang bersifat umum dan luas sampai yang meneropong
secara spesifik, mendalam dan terperinci. Kitab-kitab fikih makro yang di
dalamnya membahas juga tentang hal-ehwal zakat, terlalu banyak untuk
disebutkan apalagi diuraikan satu persatu. Pendeknya, hampir atau bahkan
semua kitab fikih yang bersifat umum dan luas dalam bentuk naskah yang
muKADImAH24 25
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
terbilang tebal (banyak jumlah halamannya), dapat dipastikan di dalamnya
ditemukan kitab/bab yang membahas tentang zakat, infak dan sedekah.
Sebagai contoh, sebut saja misalnya karya-karya fikih makro
(general) yang dihasilkan para ilmuwan dalam setiap lingkaran mazhab
fikih utamanya mazhab-mazhab fikih yang empat (al-madzáhib al-arba’ah):
Hanafiah, Malikiah, Syafiiah dan Hanabilah. Antara lain dan masing-masing
bisa dipelajari dalam karya-karya besar dan mendasar yang ditulis oleh
masing-masing mazhab fikih tersebut. Sebagian kecil daripadanya ialah:
a. Mazhab Hanafi, dalam:
1. Kitáb al-Kharráj (Buku tentang Pajak), buah pena al-Qadhi Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim (113 – 181/182 H/731 – 798 M), salah seorang
sahabat dan murid terdekat yang menjadi kebanggaan Imam Besar
(al-Imám al-A’zham) Abu Hanifah bin al-Nu’man (80 - 150 H/699 –
767 M). Buku yang ditahkik oleh thaha Abd al-Rauf Sa’d dan Sa’ad
Hasan Muhammad, keduanya adalah ulama besar dan staf pengajar
pada al-Azhar al-Syarif Kairo – Mesir, ini ditulis oleh Abu Yusuf atas
permintaan Khalifah Harun al-Rasyid yang memerintah antara tahun
786 sampai tahun 803 M. Meskipun judulnya tentang pajak, namun
isi dari buku yang sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
daan Arab antara lain ke dalam bahasa turki dan Prancis, ini memuat
juga perihal zakat di dalamnya. Di antara isinya yang menarik ialah
pendapatnya yang mengatakan bahwa untuk setiap yang diperoleh
dari pengelolaan pertambangan, harus dikutip seperlima (khumus)
tanpa memperhitungkan sedikit atau banyaknya barang-barang
tambang (emas dan perak) yang dihasilkan. Maknanya, sekiranya
seseorang berhasil memperoleh barang tambang yang jumlahnya
kurang dari kisaran 200 dirham (nisab) perak atau tidak 20 mitsqal
(timbangan) emas, maka terhadap emas dan/atau perak sebagai hasil
dari penambangan itu tetap saja wajib dikenai pungutan seperlima
(khumus). Alasannya, menurut Abu Yusuf, karena barang tambang ini
lebih tepat dikategorikan semacam harta ghanimah (harta rampasan
perang) daripada diposisikan sebagai harta/obyek zakat, dan tidak ada
pembebanan lain di dalam tanah yang demikian.
Abu Yusuf menambahkan, khumus (pembebanan pembayaran
sebesar 5 %) ini sesungguhnya hanya dikenakan kepada hasil tambang
berbentuk emas murni, perak murni, besi (al-hadíd), timah (al-rashásh),
dan tembaga (al-nahhás); dan tidak boleh diperhitungkan beban biaya
yang dikeluarkan seseorang untuk memperoleh barang-barang tambang
itu sendiri; sebab terkadang bisa terjadi hasil penjualan tambang
yang diperoleh justru terhitung habis untuk menutup pembiayaan
(modal) yang sudah dikelurkannya. Dalam kondisi demikian, tidak ada
kewajiban khumus. Khumus baru dikenakan terhadap perolehan neto
(hasil bersih) tambang setelah dikurangi modal kerja. Masih kata Abu
Yusuf, benda-benda lain yang dikeluarkan dari area pertambangan
selain dari emas dan perak (al-dzahab wa-al-fidhdhah) tepatnya dari
bebatuan semisal jenis batu mulia (al-yáqút), batu Piruz (al-fairúzj),
celak (al-kahl), belerang (al-kibrít), dan lumpur merah (al-maghrah),
ini semua tidak ada pengenaan beban khumus mengingat posisi batu-
batu tersebut layaknya posisi tanah dan debu (al-thín wa-al-turáb)
biasa yang dianggap bukan berharga mahal.31
31 Thaha Abd al-Ra’uf Sa’d dan Sa’d Hasan Muhammad, Kitáb al-Kharráj li-Abí Yúsuf Ya’qúb bin Ibráhím, hlm, 32.
muKADImAH26 27
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
2. Buah pena Ibn al-Humam al-Hanafi (al-Imam Kamal al-Din Muhammad
bin Abd al-Wahid) Syarh Fath al-Qadír ‘alá al-Hidáyah Syarh Bidáyah
al-Mubtadí’ li-Syaykh al-Islam Burhanuddin Ali bin Abi Bakr al-
Marginani, sebagaimana Ayat dan Hadisnya ditakhrij oleh Syeikh Abd al-
Razzaq Ghalib al-Mahdi. Dalam kitab yang terdiri atas 10 jilid dengan
ketebalan halaman rerata perjilid sekitar 500 – 550-an halaman yang
berarti mencapai sekitar 5500-an halaman secara keseluruhan, ini
porsi pembahasan Zakat dimuat dalam jilid 2 sebanyak 142 halaman
tepatnya pada halaman 163 – 305 halaman. Di antara bahasan yang
ditemukan di dalam kitab ini ialah pendapat Imam Hanafi dan para
pengikutnya yang membolehkan hukum mengganti pembayaran zakat
mal dengan harga uang (qímah). Berbeda dari mazhab lain khususnya
al-Imam al-Syafi’i (150 - 203 H/767 – 820 M) yang tidak membolehkan
mengonversi pembayaran zakat – terutama zakat fitrah – dengan uang
atas alasan karena mengandung unsur jual-beli padahal zakat itu bukan
jual-beli; dan atas pertimbangan pengikutan kepada teks (ittibá’an li-
al-manshúsh) sama halnya dengan hadiah dan hewan qurban. Imam
Abu Hanifah dan umumnya mazhab Hanafi membolehkan konversi
pembayaran zakat fitrah dengan uang. Demikian juga dalam hal
pembayaran kafarat, nadzar dan bahkan zakat fitrah sekalipun atas
dasar bukan termasuk jual-beli melainkan tetap murni pemberian
(yang diubah sesuaikan) dengan harga.32
b. MazhabMaliki, dalam:
3. Ibn Rusyd (520 – 595 H/1126 - 1198 M), yang bernama lengkap al-
Imam Abi al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
32 Ibn al-Humam al-Hanafi, Syarh Fath al-Qadír ...., jil. 2, hlm. 199-200.
Ibn Rusyd al-Qurthubi, menulis kitab Bidáyah al-Mujtahid wa-Niháyah
al-Muqtashid yang terdiri atas 2 juz dalam 1 jilid dengan ketebalan
halaman sebanyak 992 halaman. Dalam bukunya yang sangat masyhur,
ini Ibn Rusyd di dalamnya membahas permasalahan zakat dengan
melibatkan pendapat beberapa mazhab dan analisa penulis seperlunya.
Meskipun tidak tergolong terlalu panjang lebar mengingat persoalan
zakat yang meliputi banyak persoalan zakat namun hanya dibahas
dalam 38 halaman tepatnya dalam halaman 244 – 282 pada juz
pertama.
Antara lain dibahas tentang: pembebanan pembiayaan pengurusan
zakat kepada muzaki, perbedaan pendapat tentang nisab zakat emas,
kemungkinan penggabungan harta emas dan perak, ketentuan batas
nisab atas harta pertambangan, hukum menyegerakan pembayaran
dan distribusi zakat, dan lain-lain. Di antara pembahasan yang menarik
salah satunya ialah pembahasan tentang boleh-tidaknya pembatasan
distribusi dana zakat kepada satu shinf (kelompok) saja dari delapan
ashnaf zakat yang ada. Masalah lain yang juga dibahas ialah topik zakat
fitrah dengan bagian-bagian tertentu berikut beberapa permasalahannya.
Di antara kelebihan faqih yang juga filosof, atau filosof yang sekaligus
sebagai faqih, ini juga menyinggung soal zakat fitrah di dalam salah
satu karya monumentalnya yang sudah disayarah ini.
4. Fath al-Rahím ‘alá Fiqh al-Imám Málik bi-al-Adillah, karya Muhammad
bin Ahmad yang bejuluk al-Dah al-Syanqithi al-Muritani, salah satu
dari sedikit atau bahkan langka kitab fikih yang penulisannya diawali
dengan báb al-Tauhíd. Sebagaimana kita tahu, bahwa umumnya kitab-
kitab fikih makro – bahkan juga kitab-kitab hadis hukum (ahádits
al-ahkám) klasik hampir selalu dimulai dengan kitáb/báb al-Thahárah
muKADImAH28 29
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
(kitab/buku tentang bersuci). Berbeda dengan kebiasaan kitab-kitab
fikih kebanyakan, Al-Muritani memulai kitab fikihnya di atas dengan
pembahasan kitab al-Tauhid (Kemahaesaan Allah) tepatnya tentang
penjenalan atas sifat 20 yang wajib (diketahui) yakni wujúd, wahdániyah,
qudrah, irádah, al-mukhálafah li-al-hawádits, al-qiyám bi-al-nafs dan
seterusnya. Ia menyebutkan sifat-sifat al-nafsiyyah dan salbiyyah mulai
dari sifat-sifat al-qudrah, al-irádah, al-‘ilm, al-hayáh, al-sam’u, al-bashar,
al-kalám dan seterusnya sampai al-mutakallim.
Usai menguraikan bab tauhid dalam ketebalan 30-an halaman pada
juz 1, al-Muritani barulah meneruskannya dengan uraian báb Thahárah
dimulai dengan membahas ihwal hukum air (al-miyáh) dan seterusnya
sebagaimana lazimnya kitab-kitab fikih yang membahas persoalan
shalat, al-jana’iz (jenazah), dan zakat masih dalam juz pertama juga.
Bab al-zakáh (bab zakat), yang hanya terdiri atas 11 halaman (119 –
130 dalam juz 1) dari karyanya setebal 589 halaman, ini tentu tidak
memberikan informasi yang banyak apalagi luas zakat. Al-Muritani
hanya mengupas zakat biji-bijian dan buah-buahan (al-hubb wa-al-
tsimár), zakat emas (al-dzahab), dan distribusi zakat (mashraf al-zakáh),
Itupun dengan pembahasan yang seperlunya.
Sungguhpun demikian tetap ada hal yang menarik di dalamnya. Di
antaranya ia sebutkan di dalam kitab ini bahwa emas dan perak yang
dihasilkan dari pertambangan begitu selesai (proses penambangannya)
wajib segera dikeluarkan zakatnya (seketika) manakala telah mencapai
nisab tanpa harus menungu haul secara penuh. Informasi penting
lainnya ialah bahwa penimbun barang dagangan (al-muhtakir), wajib
membayar zakat harga barang-barang dagangan timbunannya itu
manakala terjual dan begitu pula dengan utang-piutangnya manakala
telah dibayar.33 Padahal, kita tahu bahwa menimbun barang dagangan
(ihtikár) khususnya penimbunan makanan (sembako) itu kategori
hukumnya adalah haram.
c. Mazhab Syafi’i, antara lain dalam:
4. Abdur-Rahman al-Juzairi (751 – 833 H), Kitáb al-Fiqh ‘alá al-Madzáhib
al-Arba’ah. Dalam kitab yang terdiri atas 5 jilid dengan jumlah ketebalan
sebanyak 2532 halaman, ini di dalamnya dibahas Kitáb al-Zakáh yang
pembahasannya meliputi: takrif zakat, hukum dan dalil zakat hukmuhá
wa-dalíluhá), syarat-syarat wajib zakat (syurúth wujúb al-zakáh), adakah
wajib zakat dikenakan kepada orang kafir (?), hukum zakat atas mahar
perempuan, nisab dan haul zakat, kewajiban atas zakat orang merdeka
(al-hurriyyah), adakah zakat diwajibkan atas tempat tinggal, pakaian,
dan perhiasan (?), macam-macam harta yang wajib dizakati, syarat-
syarat zakat binatang ternak berikut kadar kewajiban pembayaran
zakatnya (miqdár alzakáh) masing-masing, zakat utang-piutang, zakat
uang kertas, zakat barang-barang dagangan (‘arúdh al-tijárah), zakat
emas dan perak berikut benda-benda campuran dengan emas dan/atau
perak, zakat pertambangan dan barang temuan/harta karun (al-ma’ádin
wa-al-rikáz), zakat pertanian dan buah-buahan (al-zurú’ wa-al-tsimár),
distribusi zakat (mashraf al-zakáh), dan zakat fitrah (shadaqah al-fithr)
yang dimuat dalam jilid pertama sebanyak 40 halaman (590 – 630).
5. Al-Fiqh al-Manhají ‘alá Mazhab al-Imám al-Syáfi’í, yang disusun oleh
tiga serangkai Mushthafa al-Khinn, Mushthafa al-Bugha, dan Ali al-
Syarbaji, ini terdiri atas tiga jilid (1, 2 dan 3) yang ditorehkan dalam
33 Al-Múritání (Muhammad bin Ahmad), Fath al-Rahmán ‘alá Fiqh al-Imám Málik bi al-Adillah, juz 1, hlm 125.
muKADImAH30 31
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
1655 halaman. Khusus tentang zakat, dibahas dalam jilid 1 dengan
jumlah halaman sebanyak 167, tepatnya pada halaman 281 - 328. Di
antara spesifikasi permasalahan zakat yang dibahas dalam kitab ini
ialah perihal tatacara atau teknik penyaluran zakat. Menurut ketiga
pengarangnya: manakala harta seseorang sudah mencapai nisab dan
genap haulnya, maka seketika itu pula wajib dikeluarkan zakatnya
secara tunai/kontan (seketika) manakala dua syarat berikut terpenuhi,
yaitu (1) ada kemungkinan untuk mengeluarkannya dan (2) ada
mustahiknya, atau ada pihak yang mewakili mustahik dalam hal ini
pemerintah atau badan/lembaga zakat yang sah.
d. Mazhab Hanbali, sebagiannya adalah:
6. Al-Mughní, karya Ibn Qudámah al-Maqdisí (541 – 620 H)
Dalam karyanya yang terdiri atas 2 jilid dengan jumlah halaman
sebanyak 4244, ini membahas perihal zakat dalam ketebalan 100
halaman (491 – 591 dalam jilid 1). Dalam kitáb al-zakáh, ini Ibn
Qudamah memaparkan fasal-fasal tentang berbagai persoalan zakat
dengan uaian yang terbilang panjang lebar serta luas dan mendalam,
disertai analisa yang terbilang tajam. Antara lain fasal-fasal tentang
hukum orang yang mengingkari zakat, hukuman takzir atas penentang
zakat, pembaruan (fluktuasi) harta zakat dan cara pembayaran zakatnya,
distribusi zakat kepada keluarga, Amilin yang (berhak) diberi bagian
dari harta zakat, dan lain-lain yang terlalu banyak untuk disebutkan
apalagi diuraikan secara rinci satu persatu.
7. Mausúa’ah al-Akmál al-Kámilah li-al-Imám Ibn Qayyim al-Jauziyyah.
Kitab yang dihimpun oleh Yusri al-Sayyid Muhammad, setebal 7 jilid
dengan jumlah halaman sebanyak 4016 halaman, ini di dalamnya
berisikan tentang konsep pemikiran Islam Ibn Qayyim al-Jauziyyah
dalam berbagai bidang khususnya bidang hukum. Selain membahas
panjang lebar tentang hukum Islam secara luas, di dalamnya dijumpai
pula pembahasan tentang kitab zakat yang terbilang cukup luas dan
mendalam setebal 71 halaman (halaman 7 – 78) dalam jilid 1. Kitab ini
antara lain mengupas tentang keistimewaan sedekah, (kemungkinan
penerimaan) zakat dari orang non muslim, zakat ternak yang tidak
dikaryakan, zakat keledai (himar), dan zakat madu. Pembahasan lainnya
meliputi banyak hal, di antaranya termasuk percepatan/penyegeraan
pembayaran zakat (ta’jíl al-zakáh), di samping terutama upah amil
yang sungguh relevan dengan pembahasan buku ini.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691 – 751 H/1292/3 – 1349 M) yang
bernama lengkap Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad al-Zar’i
al-Dimasyqi bergelar Abu Abdillah Syamsuddin, telah meninggalkan
ratusan karya ilmiah yang beredar secara luas di hampir semua wilayah
Islam sampai sekarang. Karya-karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah lainnya
ialah I’lám al-Muwáqi’ín ‘an Rabb al-‘Álamín, al-thuruq al-Hukmiyyah,
Zád al-Ma’ád, Madárij al-Sálikín, dan lain-lain yang jumlahnya mencapai
puluhan hingga ratusan. Pada sebagian karya-karyanya itu, di dalamnya
ada juga yang membahas hal-ehwal perzakatan yang atas satu dan lain
alasan, tidak bisa diuraikan di dalam tulisan ini.
Selain sejumlah kitab fikih klasik mazhab empat (al-madzáhib al-arba’ah)
yang disebutkan di atas, yang pada umumnya terbilang kitab-kitab lama
(klasik), cukup banyak pula kitab-kitab fikih makro kontemporer –
modern yang di dalamnya dibahas pula tentang zakat pada era modern
sekarang ini. Salah satunya yang terbilang besar dan luas ialah:
muKADImAH32 33
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
8. Karya Dr. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islámí wa-Adillatuh. Dalam
karya monumentalnya yang terdiri atas 8 juz dengan ketebalan 6565
halaman, ini penulisnya membahas bab khusus tentang zakat mal, zakat
fitrah dan shadaqah tathawwu’ (sedekah sunah) dengan uraian yang
terbilang luas dan mendalam yang ditempatkan dalam jilid 3 halaman
727 – 922 (195 halaman). Berbeda dengan umumnya kitab-kitab fikih
kebanyakan yang lebih fokus pada pembahasan zakat mal dan zakat
fitrah, kitab ini membahas pula panjang lebar tentang sedekah sunah
(shadaqah al-tathawwu’) dengan pembahasan yang cukup panjang lebar
(dalam jilid 2 halaman 915 – 922). Dalam kitabnya yang beredar secara
luas (menginternasional), ini Wahbah mengupas luas perkara zakat
mulai dari zaman klasik sampai zaman kontemporer sekarang ini.
9. Al-Mausú’ah Al-Fiqhiyyah al-Muyassarah fi-Fiqh al-Kitáb wa-al-Sunah
al-Muthahharah, merupakan salah satu ensiklopedi fikih kontemporer
yang sangat berharga bagi para pembacanya. Di dalamnya dibahas
perihal zakat dengan pembahasan yang juga panjang lebar. tidak
kurang dari 187 halaman dalam jilid 1-nya dibahas persoalan zakat
yang meliputi banyak topik menarik. Di antara persoalan yang dibahas
di dalamnya ialah tentang kemungkinan penggunaan dana zakat untuk
pembangunan rumah sakit bagi kepentingan umum (orang banyak),
penyiapan da’i/da’iah, gaji para guru madrasah dan lain-lain dengan
menggunakan dana zakat khususnya alokasi atau tupoksi shinf “fí-
sabílilláh.”
Selain sejumlah kitab/buku yang sudah disebutkan di atas,
sesungguhnya masih lebih banyak lagi kitab-kitab fikih makro yang
juga membahas tentang zakat, yang tidak mungkin disebutkan secara
keseluruhan di dalam tulisan ini. Kecuali itu, terdapat pula beberapa
atau sejumlah kitab fikih yang secara khusus membahas perihal zakat
sehingga bisa disebutkan sebagai kitab fikih zakat (fiqh al-zakáh). Yang
utama dan pertama ialah:
10. Fiqh al-zakáh, salah satu karya besar dan monumental Yusuf al-
Qaradhawi. Kitab yang terdiri atas 2 jilid dengan ketebalan 1813
halaman, ini fokus membahas persoalan zakat yang dapat dikatakan
komprehensif, ibaratnya dari a sampai z-nya zakat ada di dalam kitab
ini. Karenanya, mudah dimengerti jika Kitab Zakat-nya yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (oleh Didin Hafiduddin dan
Salman Harun), ini menjadi rujukan utama di berbagai belahan benua
dan di sejumlah negara. termasuk Indonesia. Kitab ini membahas
hal-ehwal perzakatan dari zaman-zaman awal Islam (klasik) sampai
masa-masa modern sekarang (kontemporer). Dalam kitab ini tidak saja
dibahas tentang sejumlah persoalan zakat yang umum dibahas dalam
kitab-kitab fikih makro maupun mikro, misalnya tentang pengertian
zakat, dasar hukum zakat, macam-macam harta (obyek) zakat, mustahik
zakat, haul, nisab, kadar pembayaran zakat, dan lain-lain; akan tetapi
juga dibahas dengan panjang lebar tentang harta-harta zakat di zaman
kontemporer sekarang ini misalnya zakat profesi/penghasilan (al-amwál
al-mustafád), zakat saham dan obligasi (al-sahm wa-al-sanadát) dan
lain-lain yang memberikan andil besar bagi para pembacanya untuk
memberikan jawaban terhadap sejumlah harta zakat yang kerap masih
dipersoalkan oleh sebagian ilmuwan/ahli.
11. Iqtishádiyyát al-Zakáh wa-I’tibárát al-Siyásah al-Máliyyah wa-al-
Naqdiyyah, karya Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, antara lain
menyatakan bahwa dalam zakat al-amwal paling sedikit memiliki tiga
dimensi yakni (1) dimensi ta’bbudí, dari sinilah maka pengeluaran zakat
muKADImAH34 35
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
itu wajib diniatkan oleh muzakinya, paling sedikit menurut sebagian
pendapat ulama (2) dimensi sosial—kemasyarakatan, mengingat dari
zakatlah maka tercermin para pemiliknya di tengah-tengah masyarakat
luas terutama di kalangan para mustahik zakat (3) dimensi ekonomi
yang dengan zakat ekonomi bisa mengalami pertumbuhan sedemikian
rupa.34
terkait dengan buku-buku zakat, di samping kita banyak belajar
kepada para ilmuwan manca negara khususnya karya-karya fikih
zakat berbahasa Arab, dewasa ini kita harus pula bersyukur karena
telah bisa menikmati karya-karya para sarjana Muslim-Muslimah
Indonesia yang kurang-lebih sejak setengah abad yang lalu terutama
dalam dua dasawarsa terakhir (akhir-kahir tahun 1990-an hingga
tahun-tahun 2000-an), ini telah cukup banyak buku-buku zakat dari
berbagai aspeknya yang ditulis oleh sejumlah ahli dan/atau para pegiat
perzakatan di Indonesia. Baik yang ditulis oleh perseorangan maupun
tim. Di antaranya:
12. Dr. Nana Masduki, “Zakat Profesi dan Hasil Pertanian non Makanan
Pokok di Cianjur” (Disertasi, 1999). Nana menyimpulkan bahwa “Bagi
harta benda, uang hasil jasa dan profesi seperti dokter, pengacara,
pemborong, pengarang, kuasa hukum, dan lain-lain wajib dikenakan
zakatnya dengan ketentuan: untuk jasa dan profesi 5 % dari penghasilan
bersih sebelum dipotong beberapa pembiayaan. Jika tidak memerlukan
biaya, zakatnya 10 %. Untuk zakat hasil pertanian non makanan pokok,
34 Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Iqtishádiyyát al-Zakáh wa-al-I’tibárát al-Siyásah al-Máliyyah wa-al-Naqdiyyah, hlm. 10-11.
sebesar 5 % dari hasil penerimaan bersih setelah dipotong biaya
penggarapan; dan 10 % jika tidak ada biaya.35
13. Dail Hikam (almaruhum), “Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif,”
disertasi Doktor (2004). Menurut Dail, dalam perkembangan modern/
kontemporer, pertautan zakat tidak hanya sebatas urusan nisab,
yakni hal harta yang wajib dizakati (al-amwál al-zakawát), bagaimana
menghimpun dan memungut zakat, tetapi juga telah merambah kepada
persoalan pendayagunaan. termasuk yang produktif. Dalam bagian
kesimpulannya, Dail katakan bahwa: “para ulama klasik tidak banyak
membicarakan ihwal pendayagunaan zakat untuk usaha produktif, sebab
pembicaraan zakat produktif baru dilakukan oleh ulama kontemporer
[tanpa menyebutkan tahun persisnya]. Mayoritas ulama kontemporer
membolehkan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif.36
14. Dr. Dahlia Syuaib, berjudul: “Wanita dan Pelaksanaan Zakat (Studi
tentang Pemberdayaan Wanita di Sulawesi Tengah).” Menurut Dahlia, ada
beberapa keuntungan manakala zakat ditangani oleh Amil. termasuk
Amil Wanita. Kata Dahlia, ada tiga peran wanita dalam pelaksanaan
zakat, yaitu wanita sebagai motivator zakat, wanita selaku muzaki atau
munfik/musdik dan wanita sebagai amil zakat. Dahlia menambahkan,
ada dua hal yang memengaruhi rendahnya kepercayaan masyarakat
terhadap tingkat partisipasi wanita dalam pelaksanaan zakat khususnya
di Sulawesi tengah di mana keterlibatan wanita dalam pengelolaan
zakat berkisar pada 0 % sampai 8,57 % saja. Dan itupun dalam posisi
35 Nana Masduki, Zakat Provesi dan Hasil Pertanian non Makanan Pokok di Cianjur, Disertasi Doktor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999, hlm. 262.
36 Dail Hikam, Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif, Disertasi Doktor: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, hlm. 369.
muKADImAH36 37
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
yang marginal. Penyebabnya, pertama karena pengaruh penafsiran
hadis yang tidak proporsional, dan kedua faktor budaya. Wanita selaku
amil zakat, diartikan sebagai kemampuan wanita untuk memerankan
potensi publiknya dalam bidang pengelolaan (amil) zakat.37
15. Masdar Farid Mas’udi, menulis buku berjudul “Pajak itu Zakat.” Dalam
bukunya ini, Masdar antara lain menyimpulkan “Kalau Allah disebut
sebagai pemilik hakiki atas pajak yang ada di tangan negara, maka
delapan kelompok (ashnáf) inilah pemilik obyektif atas uang negara
itu. Jika kita perhatikan, tambah Masdar, maka dari delapan kelompok
(sektor) untuk siapa uang Allah di tangan negara diperuntukkan, lima di
antaranya adalah untuk lapisan rakyat kebanyakan yang terpinggirkan.
Yakni kaum faqír, kaum miskín, riqáb (kelompok tertindas), ghárimín
(rakyat terbelit utang), dan ibn al-sabíl (tuna wisma dan pengungsi),
bahkan juga mu’allaf qulúbuhum (penghuni lembaga pemasyarakatan dan
suku terasing). Hanya dua sektor yang secara jelas mewakili kepentingan
umum, termasuk di dalamnya kepentingan kelompok warga yang sudah
mampu. Yakni, sektor ‘ámilín (biaya rutin pemerintahan) dan sabíliláh
(keamanan, ketertiban dan penegakan hukum, serta pengadaan sarana
dan prasarana publik). Dengan demikian, jika wacana zakat ini disebut
kepentingan “rakyat,” maka yang dimaksud adalah segenap warga
dengan prioritas lapisan masyarakat yang paling kurang berdaya.38
16. Asep Saepudin Jahar, Towards Reforming Islamic Philontropy Case Study
on Waqf and Zakát in Contemporary Indonesia (2005), disertasi Doktor
37 Dahlia Syuaib, Wanita Dalam Pelaksanaan Zakat (Studi Tentang Pemberdayaan Wanita di Sulawesi Tengah), Disertasi Doktor: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001 M/1422 H., hlm. 254 – 257.
38 Masdar Farid Mas’udi, Pajak itu Zakat, hlm. 91-92.
pada Der Fakultat fur Geschichte, Kunst – und Orientwissenschaften der
Universitat Leipzig. Sesuai dengan judulnya di atas, Asep Jahar dalam
disertasinya setebal 256 halaman, ini antara lain memaparkan kasus
wakaf dan zakat pada Pondok Modern Gontor dan Darut-tauhid.
terutama terkait dengan sistem pengadministrasiannya. Mengapa Asep
menjadikan Pondok Modern Gontor dan Darut-tauhid sebagai obyek
dalam penelitian disertasinya ? Menurutnya, paling sedikit ada dua
alasan yang melatarinya. Pertama, keduanya dapat dikatakan tepat
untuk dijadikan contoh kasus terkait sistem pengelolaan administrasi
zakat dan wakaf yang dikelola oleh masyarakat Muslim (They both
provide solid examples of waqf and zakat administration systems organized
by Muslim communities). Kedua, dua lembaga ini bisa dijadikan contoh
model untuk menafsirkan isu-isu hukum wakaf dan zakat (the mode
of legal interpraetation af waqf and zakat issues) di antara perbedaan
kultur dan tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia.39
17. Asep Syarifudin Hidayat, menulis disertasi (2016) berjudul “Hukum
Pengelolaan Zakat di Indonesia Tinjauan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.” Asep menegaskan beberapa
point penting baik terkait dengan sejarah proses (perkembangan)
regulasi zakat di Indonesia maupun sebagian problem penerapan zakat
yang dialami institusi amil zakat sekarang. Menurutnya, secara juridis,
terdapat beberapa permasalahan hukum terkait pelaksanaan zakat di
Indonesia pada umumnya dan di Aceh pada khususnya meskipun Aceh
sudah memiliki otonomi khusus dalam hal penerapan syariah. Di antara
permasalahan utama yang muncul di Aceh ialah upaya pemerintah
setempat [Dinas Syariah Aceh] untuk mencarikan titik temu antara
39 Asep Saepudin Jahar, Towards Reforming Islamic Philonthropy Case Study on Waqf and Zakát in Contemporary Indonesia, hlm., 215.
muKADImAH38 39
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
zakat yang dimasukkan sebagai Pendapatan Anggaran Daerah (PAD)
dengan keharusan mengkuti prosedur tata kelola keuangan daerah.40
18. Problematika Zakat Kontemporer Aplikasi Sosial Politik Bangsa, terbitan
FoZ pada intinya menghimpun tulisan sejumlah ahli, antara lain: Didin
Hafiduddin, Tulus, Taufik Erman, Abdul Ghani Abdullah, Djailani, Eri
Sudewo, Muhammad Amin Suma, Masdar F. Mas’udi, Seman Widjoyo,
Ahmad Sukardja, Arsekal Salim, Iskandar Zulkarnain, dan Ismail
Yusanto. Buku yang menghimpun sejumlah artikel berupa perpaduan
antara ilmuwan (akademisi) dan pengalaman para praktisi dan birokrasi,
ini memberikan gambaran yang cukup luas dan saling melengkapi
tentang kemungkinan pengelolaan zakat berikut pengembangannya di
masa-masa yang akan datang.
19. Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, karya M. Djamil Doa,
membahas banyak permasalahan zakat. Yang terpenting di antaranya
ialah urgensi pengelolaan zakat oleh pemerintah di Indonesia dan
problem empiris pengelolaan zakat di Indonesia di samping pengelolaan
zakat oleh negara. Sebagai politisi yang begitu conceren dengan
gerakan zakat, Djamil menyayangkan dengan kultur pengelolaan
zakat yang masih tradisional selama ini, seraya ia begitu percaya diri
dengan kemajuan dan kedigdayaan lembaga zakat manakala dikelola
oleh negara. tentu dengan menampilkan sekian banyak alasan yang ia
bangun berdasarkan analisa dan fakta yang ada.
20. Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah Sebuah Kajian Historis
dan Kontemporer, yang di dalamnya ia kemukakan antara lain
40 Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Pengelolaan Zakat di Indonesia Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Disertasi Doktor, hlm. 349-350.
bahwa: pemahaman manusia terhadap alam dan kehidupan ini akan
berpengaruh terhadap hubungan sosio – ekonomi dalam kehidupan.
Masyarakat yang mengingkari kehadiran Allah dalam proses kehidupan,
mereka hanya akan berorientasi materi. Lebih lanjut faktor utama
yang mendorong mereka hidup adalah ikon materi dan kapital serta
memiliki sebanyak mungkin materi dan faktor produksi. Padahal, jika
kita melihat kebutuhan dasar manusia hanyalah kebutuhan jasad akan
makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan sejenisnya. Untuk hal ini
saja, manusia tidak memiliki kebebasan.
21. erie Sudewo, yang menulis beberapa zakat, salah satunya berjudul
“Manajemen ZIS” berbicara banyak tentang seluk-belum manajemen
zakat pada umumnya di samping soal Amil dan keamilan pada
khususnya. Sebagai salah seorang perintis dan aktifis handal lembaga
zakat terutama dalam lingkungan Dompet Dhuafa Republika, erie dalam
bukunya ini maupun buku-bukunya yang lain banyak mengurai perihal
manajemen zakat secara teori maupun praktik. termasuk tentang peran
penting Amil Zakat yang menurutnya sebagai sesuatu hal yang wajib
adanya. Sebagai wartawan dan sekaligus pegiat zakat, atau pegiat zakat
yang memiliki pengalaman jurnalistik, eri kerap menampilkan analisis
manajemen zakat berdasarkan impian dan sekaligus pengalaman yang
telah ditapakinya.
22. Gustian Djuanda dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan,
yang antara lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan organisasi
pengelola zakat adalah institusi yang bergerak di bidang pengelolaan
dana zakat, infak, dan sedekah. Lebih lanjut dikatakan bahwa sesuai
dengan undang-undang pengelolaan zakat, di Indonesia diakui ada
dua organisasi pengelola zakat, yakni Badan Amil Zakat (BAZ) dan
muKADImAH40 41
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat adalah organisasi
pengelolaan zakat yang dibentuk oleh pemerintah; sementara (LAZ)
adalah organisasi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh
masyarakat, dan dikukuhkan oleh pemerintah.41 Dalam buku ini juga
disebutkan 6 prinsip zakat yaitu (1) prinsip keyakinan keagamaan (faith),
(2) prinsip pemerataan (equity) dan keadilan (3) prinsip produktivitas
(productivity) dan kematangan (4) prinsip penalaran (reason) (5) prinsip
kebebasan (freedom), dan (6) prinsip etik (ethic) dan kewajaran.42
23. teten Kustiawan, dkk., Pedoman Akuntansi Amil Zakat (PAAZ), yang
antara lain menuliskan bahwa sesuai dengan karakteristiknya, laporan
keuangan Amil Zakat mencerminkan kegiatan Amil Zakat sebagai
penerima dan penyalur zakat dan ibadah maliah lainnya beserta hak dan
kewajibannya, yang dilaporkan dalam (a) laporan posisi keuangan (b)
laporan perubahan dana (c) laporan perubahan aset kelolaan (d) laporan
arus kas; dan (e) catatan atas laporan keuangan. Lebih jauh dikatakan
bahwa tujuan laporan keuangan terutama untuk menyediakan informasi
yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (pengguna
laporan keuangan) dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sosial
yang rasional. tujuan lain-lainnya adalah untuk (a) meningkatkan
kepatuhan Amil zakat terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi
dan kegiatan usahanya (b) menyediakan informasi kepatuhan Amil
zakat terhadap prinsip syariah, serta informasi penerimaan dana yang
tidak sesuai dengan prinsip syariah, bila ada; dan (c) menyediakan
informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggungjawab
Amil zakat terhadap amanah dalam penarikan/pengumpulan dana
41 Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, hlm. 3-4.
42 Gustian Djuanda, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, hlm. 14.
serta pemeliharaan dan pendistribusiannya. Sedangkan penggunaan
laporan keuangan Amil zakat meliputi (1) muzaki (2) pihak lain yang
memberikan sumber daya selain zakat, seperti donasi pengawasan dan
pemeriksa (3) otoritas pengawasan dan pemeriksa (4) pemerintah (5)
lembaga mitra dan (6) masyarakat.
24. Last but not least adalah Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan
Pengelolaan Zakat yang dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional
yang memuat sekian banyak peraturan perundang-undangan tentang
Pengelolaan Zakat di Indonesia. Mulai dari Undang-Undang tentang
Pengelolaan Zakat, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Menteri,
dan Peraturan BAZNAS bahkan juga Putusan Mahkamah Konstitusi,
ada dalam Buku Himpunan ini.
25. Lain-lain, sebagaimana yang disinggung sebelum ini, jumlahnya terlalu
banyak untuk disebutkan di dalam tulisan ini.
Dari hasil studi terdahulu yang sebagian (kecil) daripadanya telah
disebutkan di atas, lebih banyak lagi yang tidak disebutkan, penulis
hendak menyampaikan sebagian kesimpulannya bahwa pembahasan
tentang zakat dari berbagai aspeknya, tidak pernah mengalami
penurunan apalagi kebuntuan. Persoalan zakat sebagai salah satu rukun
Islam sejak di masa-masa awal Islam sampai sekarang dan in sya Allah
sampai di masa-masa yang akan datang terus mendapatkan perhatian
serius dan khusus oleh kalangan Muslimin-Muslimin di berbagai belahan
benua dan hampir semua negara, baik secara teoretis maupun empiris
(praktik). tidak terkecuali di Indonesia – negara yang jumlah umat
Islamnnya sampai saat ini -- masih dinobatkan sebagai Negera Muslim
terbesar di seluruh dunia (the largest of Muslim in the world). Seperti
muKADImAH42 43
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
disinggung sebelum ini, dunia perzakatan di Indonesia terutama dalam
dua dasawarsa terakhir, ini semakin menunjukkan gebyar kemajuannya
yang signifikan. Termasuk dengan lembaga pengelolanya yang sudah
tampak berjalan dengan berpangkal pada pengelolaan (manajemen)
zakat yang mengedepankan semangat profesional, prosedural dan
proporsional (tiga pro). Salah satu lembaga pengelola zakat yang
dimaksudkan dalam tulisan ini ialah Yayasan Baitul Mal Umat Islam
yang menjadi pionir dan pelopor pengelolaan zakat secara modern.
E. Ruang-Lingkup Penelitian
Atas suatu alasan dan lain hal, utamanya karena keterbatasan
waktu dan kesulitan teknis di samping alasan-alasan tertentu antara lain
karena sudah banyak dibahas/ditulis oleh orang/pihak lain; maka obyek
kajian yang hendak diteliti (diobservasi) dalam penelitian dan penulisan
buku (sederhana) ini, pada aspek-aspek tertentu. tepatnya, penelitian dan
kajiannya lebih fokus dan khusus pada LAZIS-NAS - YAYASAN BAMUIS
dan itupun terbatas terutama pada aspek kesejarahan, manajemen dan
administrasi BAMUIS. Bahwa di dalamnya disinggung pula seperlunya
tentang Badan/Lembaga Amil Zakat (Nasional) yang lain-lain pada
umumnya dan sejarah institusi keamilan di samping amil/amilinnya itu
sendiri yang bertugas utama sebagai penghimpun, pengelola dan penyalur
dana ZIS, maka itu lebih dimaksudkan untuk melakukan studi banding
dan/atau pengayaan informasi.
Alasan lain terkait dengan pembatasan obyek penelitian, juga
terinspirasi oleh kenyataan bahwa buku-buku yang membahas materi
zakat dan perzakatan dapat dikatakan sudah cukup banyak jumlahnya
yang sebagian (kecil) daripadanya sudah disebutkan sebelum ini. termasuk
buku-buku yang ditulis oleh sarjana-sarjana Muslim Indonesia dan/atau
para pegiat zakat di Indonesia dan dunia pada umumnya. Namun berbeda
dengan buku-buku tersebut, sampai saat ini relatif belum banyak buku-
buku yang secara khusus membahas tentang keamilan termasuk institusinya
dalam hal ini Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
dapat dikatakan masih terbatas jumlahnya. Lebih sedikit lagi untuk tidak
mengatakan langka sama sekali adalah buku atau tulisan sekalipun yang
secara spesifik mengungkap sejarah panjang Yayasan Baitul Mal Umat Islam
(BAMUIS) sebagai institusi zakat modern pertama di Indonesia. Khususnya
dalam lingkungan karyawan/karyawati dan/atau pejabat serta pegawai
Muslim yang ada pada lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Padahal, sebagaimana terbaca dalam hipotesa di atas, BAZIS/ LAZIS yang
dikelola BAMUIS pada dasarnya dan dalam kenyataannya adalah Badan/
Lembaga Amil Zakat yang modern (‘ashriyyah) dan menasional atau bahkan
mendunia. Maksudnya, BAMUIS adalah lembaga pengelola zakat pertama
yang memiliki sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan
zaman sebelum lahir Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat.
F. Tujuan Penelitian dan manfaat yang Diharapkan
tujuan utama dan pertama yang ingin dicapai melalui penelitian
dan penulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan dasar di atas,
yang sekaligus hendak membuktikan kebenaran (menguji) hipotesa
yang diajukan; dengan cara melakukan penggalian dan pengelohan dan
pengolahan data sampai menghasilkan jawaban (kesimpulan). Maksudnya,
melalui penelitian ini hipotesa di atas bisa diuji kesahihan (validitasnya)
sehingga bisa diperoleh jawaban yang tepat atas pertanyaan dasar (pokok)
muKADImAH44 45
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
yang dikemukakan. Atau sebaliknya, hipotesis di atas dapat dibatalkan
berdasarkan argumentasi yang ada manakala ada pembuktian lain yang
menunjukkan sebaliknya.
Manfaat yang diharapkan dari hasil kajian ini bisa dibedakan ke
dalam dua lingkungan, yakni manfaat internal (BAMUIS) dan manfaat
eksternal (non BAMUIS) baik untuk jangka pendek – menengah maupun
jangka menengah - panjang. Manfaat internal yang diharapkan bagi BAMUIS
untuk jangka pendek sampai menengah dan syukur-syukur sampai jangka
panjang adalah untuk menggairahkan kembali spirit kerja dan kinerja BAMUIS
pada khususnya dan keluarga besar Bank BNI atau bahkan umat Islam pada
umumnya. Terutama para muzaki, munfik dan mutasadik yang menyalurkan
dana ZIS-nya melalui LAZIS BAMUIS. Adapun manfaat eksternal jangka
pendek – menengah dan panjangnya ialah umat dan masyarakat luas secara
keseluruhan, terutama para pembaca dan/atau pihak lain (non BAMUIS) bisa
memanfaatkan buku ini kapan saja diwaktu-waktu sekarang maupun di masa-
masa yang akan datang. terutama terkait dengan temuan (kesimpulan) akhir
yang menyatakan bahwa BAMUIS adalah yayasan pertama di Indonesia yang
memeraktekkan pengelolaan zakat dengan sistem modern. Khususnya dalam
lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
G. metode Penelitian dan Pembahasan
Metode memiliki beberapa arti. Salah satunya seperti dikemukakan
Soerjono Soekanto adalah “cara tertentu untuk melaksanakan suatu
prosedur,”43 dalam hal ini prosedur penelitian dan penulisan. Penelitian
43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm, 5.
sendiri atau riset, berasal dari kata Inggris, research yang berarti re = kembali,
dan to search = untuk mencari. Artinya, penelitian adalah mencari kembali
(sesuatu); atau kembali mencari (sesuatu). Penelitian, demikian dikatakan
Bambang Sunggono, “adalah suatu upaya pencarian,” bukannya sekedar
mengamati dengan teliti terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang,
di tangan;44 meskipun kita tahu bahwa pengamatan (observasi) itu sendiri
sesungguhnya adalah merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses
penelitian secara keseluruhan. Dengan kalimat lain, penelitian adalah suatu
upaya pencarian tentang kebenaran sesuatu yang (seyogyanya) dilakukan
dengan serius dan fokus. Yang dimaksud dengan sesuatu dalam penelitian
ini ialah mencari tahu tentang badan atau lembaga zakat modern yang
pertama kali di Indonesia, khususnya dalam lingkungan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Metode penelitian, dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan “al-
bahts,” lengkapnya “bahtsun ‘ilmiyyun” yang lebih kurang sama maksudnya
dengan “pembahasan/kajian ilmiah” yaitu “cara atau metode rasional
(ilmiah) yang dilakukan dengan serius dan fokus, terstruktur, cermat dan
mendalam guna mencari jawaban yang tepat tentang sesuatu persoalan
yang ada di alam,45 dalam tulisan ini YAYASAN BAMUIS yang dibentuk
pada tahun 1967. Khususnya terkait dengan fungsinya sebagai lembaga yang
melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai Lembaga Amil Zakat, Infak
dan Sedekah yang bersekala Nasional (LAZIS-NAS) dalam teks maupun
konteksnya yang modern dengan menjunjung tinggi asas pengelolaan dana
ZIS yang profesional, prosedural dan proporsional.
44 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian, hlm. 27.
45 Abd al-Rahman Sayyid Sulaiman, al-Bahts al-‘Ilmiy Khuthuwát wa-Mahárát, hlm. 18.
muKADImAH46 47
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Dilihat dari sisi bentuk atau tipologinya, penelitian ini pada satu
sisi tergolong ke dalam bentuk penelitian historis (sejarah); sementara pada
sisi yang lain berbentuk penelitian hukum. Atau, lengkapnya penelitian
sejarah hukum tepatnya penelitian sejarah BAMUIS terutama dari aspek
hukum (juridis). Sebagai penelitian sejarah, penelitian dilakukan dengan
cara membuat rekonstruksi yang sistematis dan obyektif dalam hal ini
peroses pembentukan YAYASAN BAMUIS yang terjadi pada setengah abad
yang lalu, dengan melalui wawancara langusung di samping berdasarkan
dokumen resmi (otentik) yang ada untuk kemudian melakukan observasi,
verisfikasi serta mensintetiskan data yang ada itu untuk menegakkan
fakta dalam kesimpulan yang sahih (valid). Namun pada sisi yang lain,
penelitian ini juga tergolong ke dalam jenis penelitian hukum, tepatnya
penelitian hukum normatif dalam bentuk penyelidikan terhadap sejarah
hukum dalam hal ini sejarah hukum pembentukan dan perkembangan
Yayasan Baitul Mal Umat Islam (BAMUIS).
Penelitian berdimensikan pendekatan sejarah (historical approach)
termasuk sejarah hukum atau legislasi (táríkh al-tasyrí’) tentunya, tergolong
ke dalam jenis penelitian yang cukup penting; paling sedikit guna
mengetahui keberadaan sejarah masa lalu dalam hal ini sejarah BAMUIS
di masa-masa silam sampai di masa-masa sekarang ini. Begitu penting
eksistensi dan posisi sejarah – termasuk kerja penelitian terhadap sejarah
--, sampai-sampai Al-Qur’an Al-Karim menamai salah satu dari 114 surah
yang ada di dalamnya dengan nama surah al-Qahshash (surah berbagai
kisah) yang kurang-lebih maksudnya sama dengan surah sejarah meskipun
di sana-sini ada perbedaan antara keduanya (sejarah dan kisah).
Dalam surah al-Qashash, tepatnya surah ke-28 yang terdiri atas 88
ayat, 1441 kata dan 5800 huruf, ini bagian terbesar isinya adalah kisah-
kisah sejarah sejarah masa lalu. terutama kisah Nabi Musa ‘alaihis-salám
yang menyebabkan surah ini juga lazim disebut dengan surah Músá.
Informasi sejarah masa lalu itu seperti halnya kisah Nabi Musa ‘alaihis-
salám, bagaimanapun penting diketahui oleh umat atau generasi yang
berikutnya; sebagaimana Al-Qur’an mengisahkan perjalanan para nabi dan
rasul khususnya Nabi Musa ‘alaihis-salám kepada Nabi Muhammad SAW
bersama umatnya. Lebih dari itu, Al-Qur’an juga bahkan memerintahkan
Nabi Muhammad SAW supaya mengisahkan (sebagian) kisah guna
mendapatkan pelajaran berharga.46
Alasannya, paling sedikit ada beberapa karakteristik hukum sejarah
– termasuk di dalamnya sejarah hukum tentunya -- yang penting disadari
--, yaitu:
Pertama, sejarah itu obyektif dan konsisten (dalam arti tidak mengalami
perubahan);
Kedua, keberlakuannya bersifat menyeluruh (universalitas dan
kolektifitas);
Ketiga, obyektif, dalam pengertian berpihak pada kebenaran;
Keempat, tidak bersifat independen.47
Guna memperoleh data primer, penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara langsung (interaktif) dengan beberapa
orang responden yang secara langsung maupun tidak langsung turut
aktif atau mengetahui pengelolaan dana ZIS yang dilakukan oleh Yayasan
BAMUIS di masa-masa lalu sampai di masa-masa sekarang ini.48 Dengan
46 Perhatikan antara lain Q.S. al-A’ráf (7): 176.
47 A. Husnul Hakim, Konsep Al-Qur’an Tentnag Dinamika Gerak Sejarah Manusia (Kajian Tematik Terhadap Sunnatullah dan Hukum Sejarah), Tesis, 2000 M, hlm. 52 - 69 & 73 – 80.
48 Responden yang dimaksudkan terutama adalah para pengelola BAMUIS itu sendiri dari beberapa
muKADImAH48 49
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
kalimat lain, wawancara dilakukan mulai dengan (sebagian) orang/pihak
pengelola yang masih aktif sampai sekarang, hingga beberapa orang yang
sekarang sudah tidak aktif namun dahulu pernah ikut serta aktif di masa-
masa awal Yayasan BAMUIS didirikan. Yang dimaksud dengan terlibat
langsung adalah para pengelola BAMUIS yang masih berjalan sekarang;
sedangkan yang tidak langsung maksudnya adalah semisal pengurus
BAMUIS di luar Pengurus Harian dan/atau perwakilan mustahik (penerima
manfaat) dana ZIS BAMUIS.
Guna memperkuat dan memperkaya data primer (wawancara) yang
relatif terbatas, penelitian juga dilakukan dengan melakukan studi dan
mengolah data sekunder maupun tersier (pelengkap). Yang dijadikan data
sekunder dalam penelitian ini ialah dokumen otentik (resmi) terutama
buku “apakah baitulmal” yang di dalamnya dimuat Anggaran Dasar dan
Peraturan Rumah tangga BAMUIS, serta dokumen lain yang berisikan
Perubahan Yayasan BAMUIS – dalam hal ini Lembaran Negara Nomor
11 bulan 11 tahun 2005. Di samping itu, juga menggunakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terutama Undang-Undang Nomor 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan lain-lain.
Buku-buku yang relevan dengan obyek penelitian khususnya
generasi, di antara mereka terutama ialah: (1) Drs. H. Saefuddin Hasan – Pegawai/Pejabat BNI (1979 – 2004) dengan jabatan tertinggi Direktur Utama/Pembina BAMUIS (2) Drs. H. Mukhlis Harun, pensiunan dan mantan pejabat Bank BNI (1963-1998), jabatan tertinggi Pembina Divisi Perencanaan Strategis (REN) dan Direktur Dana Pensiun BNI (3) Fathimah Ahmad, S.H. – pegawai Bank BNI (1965 – 1991), jabatan terakhir Sub Divisi Manajemen Kelompok II/Sekretaris BAMUIS (4) Drs. Sudirman, kini Direktur Eksekutif BAMUIS yang sebelumnya pegawai Bank BNI (1980 - 2010) dengan jabatan terakhir sebagai Direktur BNI Life (5) Drs. Yaman Bafiroes – Direktur Operasional BAMUIS, sebelumnya karyawan/pejabat BNI (1977 – 2012) dengan jabatan terakhir/tertinggi Pimpinan Wilayah 04 Bandung dan Direktur Dana Pensiun (6) Drs. H. Suhendy Hafni, M.M, Direktur Pelayanan BAMUIS, sebelumnya pegawai Bank BNI (1979 – 2014) dengan jabatan tertinggi dan terakhir Pemimpin Divisi Kepatuhan dan Komisaris BNI Scuritas (7) lain-lain yang tidak dijadikan responden resmi, namun turut memberikan informasi yang menunjang wawancara.
pembahasan tentang keamilan dan/atau institusinya, juga digunakan sebagai
rujukan tambahan (pelengkap). termasuk sebagian laporan rutin tahunan
Yayasan Baitul Mal Umat Islam (BAMUIS) sendiri yang secara berkala dan
kontinue disampaikan dan dipertanggung-jawabkan dalam Forum Rapat
tahunan pengurus lengkap Yayasan Bamuis yang dihadiri oleh Dewan
Pembina (termasuk Pembina Syariah), Dewan Pengawas, Pelaksana Harian,
Perwakilan Badan/Lembaga Amil Zakat non BAMUIS, dan lain-lain hadirin
yang diundang terutama mitra kerja dan jaringan kerjasama BAMUIS.
H. Sistematikan Penulisan
Buku laporan penelitian ini sistematikanya terdiri atas 6 bab, dan
masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab dengan isi lengkap dan
rinciannya sebagai berikut.
BAB I MUKADIMAHBerisikan tentang: Landasan Pemikiran, Dasar Hukum, Hipotesa,
Review terdahulu, Ruang-Lingkup Penelitian, tujuan Penelitian
dan Manfaat yang Diharapkan, Metode Penelitian dan Pembahasan,
serta Sistematika Penulisan.
BAB II SEKITAR AMIL DAN KEAMILAN Memuat tentang: Ikhtisar Sejarah Keamilan, Pengertian Amil,
Dasar Hukum Pengangkatan Amil, Urgensi Keberadaan Amil,
Syarat-syarat Amil, Kewajiban dan Hak Amil.
BAB III PENGELOLAAN DANA ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH
muKADImAH50
Membahas tentang: Sekilas Sejarah Pengelolaan Zakat, Jabatan
Amil, Amanat Berat namun terhormat, Mengenali Kriteria
Mustahik dengan Baik dan Benar, serta etika Amil.
BAB IV LAZ BAMUIS DALAM BINGKAI UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN ZAKATSalah satu bab inti dari penelitian dan penulisan buku ini
pembahasannya meliputi: Sekilas Sejarah Pengelolaan dana Zakat
di Indonesia, Sejarah Singkat BAMUIS, BAMUIS, Modal Dasar dan
Model Ideal Badan/Lembaga Amil Zakat Nasional yang Modern,
dan Respons Positif Umat dan Masyarakat terhadap BAMUIS,
Perubahan Nama dari Yayasan Bamuis Menjadi BAMUIS BNI
1946.
BAB V MODERNISASI PENGELOLAAN DANA ZIS ALA BAMUIS Bab Kelima yang masih tergolong ke dalam bab inti lainnya
dari penulisan hasil penelitian ini mengurai tentang Visi, Misi
dan Value, Administrasi dan Manajemen yang Diterapkan,
orientasi Program Kerja, Success Story BAMUIS, tokoh Pendiri,
Penggerak, Pengelola dan Pengawal BAMUIS, Sekelumit Dewan
Pembina Syariah, Ibrah yang Dapat Dipetik dari BAMUIS,
Kekurangan/Kelemahan BAMUIS, serta tantangan terkini BAMUIS
dan Kemungkinan Solusinya.
BAB VI PENUTUPBab keenam yang diposisikan sebagai bab penutup, ini hanya
memuat kesimpulan dan saran/rekomendasi.
02 Sekitar Amil & Keamilan
SEKITAR AmIL & KEAmILAn52 53
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
“Sejarah itu ibarat kaca spion yang tidak harus selalu apalagi selamanya dilihat dengan fokus; namun sesekali
penting juga ditoleh demi tujuan jangka panjang ke depan”
(mAS)
A. Ikhtisar Sejarah Keamilan
Zakat, yang implementasinya kerap atau selalu disertai dengan
derma-derma lain khususnya infak dan sedekah -- sehingga lazim
diistilahkan dengan sebutan ZIS (kependekan dari Zakat, Infak, dan Sedekah)
-- pengelolaannya sudah tentu memerlukan tata kelola yang benar-benar
profesional, prosedural dan proporsional demi tercapainya visi - ideal
dari pensyariatan ZIS itu sendiri, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial
ekonomi dan keuangan yang adil dan merata sebagaimana dicanangkan
Al-Qur’an.
Apa saja - harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah kepada Rasul
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka
[pembagiannya] adalah untuk Allah, rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta
itu tidak hanya (jangan sampai cuma) beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka
terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kamu, maka kamu tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah itu amat keras
hukumannya
(al-Hasyr (59): 7).
Sejak di masa-masa awal pensyariatan zakat, lebih dari 1435/1436
tahun yang silam,25 kedua sumber agama Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadis)
telah memperkenalkan institusi pengelolaan zakat berikut “pejabatnya”
yang bernama “AMIL/AMILIN;” sehingga lahirlah apa yang kemudian kini
populer dengan sebutan Badan/Lembaga Amil Zakat, lengkapnya Badan Amil
Zakat atau Lembaga Amil Zakat. Nabi Muhammad SAW sendiri (569/571 -
632 M)26 adalah Amil zakat pertama dan utama dalam sejarah perzakatan
Islam di samping seabreg jabatan-jabatan lain tentunya yakni sebagai mufti
(pemberi fatwa), hakam/arbitrer, qadhi (hakim pengadilan), kepala negara
dan pemerintahan (imam dan amir); dan, tentu saja terutama ialah selaku
Nabi dan Rasul Allah yang berjuluk sebagai bintang dan sekaligus penutup
para nabi dan rasul (khátam al-anbiyá’ wa-al-mursalín).27
Badan/Lembaga Amil Zakat, apapun istilah atau sebutan yang
digunakan untuk itu, pertama kali pembentukannya diinisiasi oleh Nabi
25 Menurut catatan sejarah, pensyariatan zakat (fitrah maupun mal) terjadi pada tahun kedua atau ketiga hijrah, sesuai dengan perbedaan pendapat para ulama tentang kepastian tahun pensyaratan zakat karena sebagian mengatakan pada tahun ke-2 hijrah; sementara sebagian yang lain berpendapat pada tahun ke-3 hijrah. Bisa juga dikatakan antara tahun ke-2 dan ke-3 Hijrah.
26 Yang sangat populer, Nabi Muhammad SAW lahir dan bahkan juga wafat pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal. Tahun kelahirannya sangat populer dengan sebutan Tahun Gajah; sekitar 40 tahun sebelum kenabiannya. Namun, untuk kepastian tanggal, bulan dan bahkan tahun Masehi tentang kelahiran maupun kewafatannya, terdapat perbedaan dan perdebatan pendapat di kalangan para ahli. Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah umum disebut-sebut pada sekitar tahun 569 -571 M, dan wafat pada tahun 567 M.
27 Q.S. al-Ahzáb (33): 40.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn54 55
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Muhammad SAW sendiri; misalnya ketika Nabi mengangkat dan/atau
mengutus beberapa orang sahabat kenamaan dan kepercayaannya untuk
diamanati sebagai amil/amilin. Sebut saja misalnya Ali bin Abi thalib (23
pra Hijrah - 40 H/599 – 661 M), Anas bin Malik (10 pra Hijrah - 612 H
– 709/712 M) dan terutama Mu’adz bin Jabal (15 pra Hijrah - 18 H) yang
secara khusus diutus ke wilayah Yaman untuk melaksanakan tugas-tugas
keamilan di samping tugas-tugas lain yang dirangkapnya, terutama sebagai
hakim (qadhi) di negeri Yaman.
Lembaga keamilan yang dicetuskan Rasul Allah SAW inilah yang
kemudian diwariskan kepada/diwarisi oleh para penggantinya dalam hal ini
terutama al-khulafá’ ar-rásyidún yakni masa-masa kekhalifahan Abu Bakar
as-Shiddiq (632 - 634 M/11 - 13 H.), Umar bin al-Khaththab (634 – 644
M/13 – 23 H.), Usman bin Affan (644 - 656 M/23 – 35 H), dan Ali bin Abi
thalib (656 – 661 M/35 - 40 H.) radhiyallahu ‘anhum kurang-lebih selama
29 tahun (632 – 661 M/11 – 40 H). Kemudian dilanjutkan oleh Dinasti
Bani Ummayah/Amawiyah dalam kurun waktu 89 - 90 tahun (661 - 750
M/41 – 132 H),28 Dinasti Bani Abbas/Abbasiyah yang berkuasa selama 524
tahun (132 – 656 H/750 - 1258 M).29 Dinasti Bani Buwaihi (945 – 1055
28 Para khalifah zaman Dinasti Bani Umayyah secara berturut-turut adalah: (1) Muawiyah bin Abu Sufyan, 40 – 64 H/661 – 680 M (2) Yazid bin Muawiyah atau Yazid I, 61 – 64 H/680 – 683 M (3) Muawiyah bin Yazid/Yazid II, 664 – 665 H/683 – 684 M (4) Marwan bin Hakam, 65 – 66 H/684 – 685 M (5) Abdul Malik bin Marwan, 66 – 86 H/685 – 705 M (6) Walid bin Abdul Malik/Al-Walid I, 86 – 97 H/705 – 715 M (7) Sulaiman bin Abdul Malik, 97 – 99 H/715 – 717 M (8) Umar bin Abdul Aziz, 99 – 102 H/717 – 720 M (9) Yazid bin Abdul Malik/II, 102 -106 H/720 – 724 M (10) Hisyam bin Abdul Malik, 106 – 126 H/720 – 724 M (11) Hisyam bin Abdul Malik, 106 – 126 H/724 – 743 M (11) Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik/al-Walid II, 126 H/743-743 (12) Yazid bin Walid/Yazid III, 125 H/743 M (13) Ibrahim bin Walid, 127 H/744 M (13) Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam, 127 – 133 H/744 – 750 M.
29 Silsilah kekhalifahan Dinasti Bani Abbas atau Abbasiyah ialah (1) Abu Abbas as-Saffah, 750 – 754 M/132 - (2) Abu Ja’far al-Mansur, 754 – 775 M (3) Al-Mahdi, 775 – 785 M/158 - 169 H. (4) Al-Hadi, 775 – 776 M/170 – 193 H (5) Harun al-Rasyid, 776 – 809 M/170 – 193 H (6) Al-Amin, 809 M/198 H. (7) Al-Ma’mun, 813 - 833 M/198 – 218 H. (8) Al-Mu’tashim, 833 – 842 /218 - 227 H (9) Al-Watsiq, 842 – 847 M/232 – 247 H. (10) Al-Mutawakkil, 847 – 861 M/232 – 247 H. (11) Al-Muntasir, 861 – 862 M/247 – 248 H. (12) Al-Musta’in, 862 – 866 M/248 - 252 H
M)30 dan Dinasti Bani Saljuk/Salajikah (1055 – 1194 M/447 - 590 H),31
Kekhalifahan Bani Umayyah II di Andalusia (300 – 897 H/921 – 1492 M
), dan lain-lain (Kerajaan-Kerajaan Islam di Afrika, India, Afghanistan, dan
lain sebagainya) yang karena satu dan lain hal terutama alasan teknis tidak
terlalu mendesak untuk dimuatkan di dalam tulisan ini yang berlangsung
secara berkesinambungan meskipun silih-berganti.
(13) Al-Mu’taz, 869 M/255 H (14) Al-Muhtadi, 869 – M/255 H (15) Al-Mu’tamid, 870 M/256 H (16) Al-Mu’tadhid, 870 – 902 M/256 - 289 H (16) Al-Muktafif, 902 – 908 M/289 – 320 H (17) Al-Muqtadir, 908 – 932 M/295 -320 (18) Al-Qahir, 932- 934 M/320 – 322 H (19) Al-Muttaqi, 940 – 944 M//329 – 333 H, dan seterusnya yang sesungguhnya kehalifahannya sudah keropos atau bahkan ompong karena yang berperan bukan lagi Khalifah akan tetapi digantikan oleh Sultan Ahmad Ibn Buwaihi, dengan pergiliran Khalifah sebagai berikut: (i) al-Muthi’, 334 H/946 M (ii) ath-Tha’i, 363 H/974 M (3) Al-Qadir, 381 H/992 M (4) Al-Qa’im, 422 H/1031 M (5) Al-Muqtadi, 467 H/1075 (6) Al-Mustazhir, 487 H/1094 M (7) Al-Mustarsyid, 512 H/1118 (8) Al-Rasyid, 529 H/1135 M (9) Al-Muktafif, 530 H/1136 M (10) Al-Mustanjid, 555 H/1160 M (11) Al-Mustadhi’, 566 H/1117 M (12) An-Nashir, 575 H/1180 M (13) Az-Zhahir, 622 H/1225 M (14) Al-Mustanshir, 623 H/1226 M (14) Al-Mu’tashim, 640 H/1242 M.
30 Dinasti Bani Buwaihi para khalifahnya secara berturut-turut adalah (1) Al-Kahir, 932 – 934 M (2) al-Radhi, 934 – 940 M (3) Al-Mustaqi, 943 – 944 M/.(4) al-Muktafi, 944 – 946 M (5) Al-Mufi, 946 – 974 M.
31 Secara politik, pemerintahahn Bani Umayyah II di Andalusia dibedakan kepada enam periode. Seara politik, pemerintahan di Indalusia khususnhya pada periode 1 dan 2 pada dasarnya dikendalikan oleh pejabat-pejabat tertentu yang berdomisili di Damaskus. Untuk pemerintahan di Andalusia, periode 1 (711 – 755) dipimpin oleh para Wali Allah yang diangkat Khalifah di Damaskus. Periode kedua (755 – 912 M) barulah dibawah kepemimpinan seorang Amir, meskipun tetap tunduk pada pemerintahan “pusat” yang ada di Damaskus – Siria, Baru pada periode ketiga (912 – 1013 M), Andalusia dipegang oleh seorang Khalifah. Pertama, Abdurrahman III (912 – 961 M), Hakam II (961 – 976 M) dan Hisyam II (976 – 1013 M). Periode keempat (1013 – 1086 M), Andalusia lalu terpecah ke dalam 20 kerajan-kerajaan kecil yang belakangan kerap disebut dengan AL-Muluk al-Thawa’if (Raja-Raja Golongan) yang mendirikan kerajaan berdasarkan etnik Bar-Bar. Periode kelima (1086 – 1248 M) yang didominasi oleh dua kekuatan besar masing-masing Dinasti Murabutun (1086 – 1143 M) dan Dinasti Muwahidun (1146 – 1235 M). Kedua dinasti ini tidak bertahan lama karena pada akhirnya jatuh ke tangan kekuasaan Kristen. Periode keenam (1248 – 1492 M), Islam hanya berkuasa di wilayah Granada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Ahmar yang sejatinya sudah berkuasa sejak tahun 1232 – 1492. (1) Al-Muqtadi, 1075 – 1048 (2) Al-Mustdzhir, 1074 – 1118 M (3) al-Mustasid, 1018 – 1135 M
dan seterusnya.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn56 57
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Yang jelas, dalam situasi politik yang tidak menentu atau bahkan
berkecamuk sekalipun dan pemerintahan Islam senantiasa berubah dengan
sejumlah khalifah/sultan/raja-rajanya yang silih-berganti, namun amilin
zakat secara resmi-maupun tidak resmi atau bahkan “sembunyi-sembunyi”
tetap saja eksis dan dilaksanakan oleh (minimal sebagian) kaum muslimin
karena zakat merupakan rukun Islam yang sama halnya dengan rukun-
rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa dan haji) yang juga selalu
dilaksanakan oleh orang-orang beriman dengan cara apa, bagaimana dan
di manapun. termasuk pada masa-masa Kekhalifahan (khilafah) Bani
Usmaniyah/turki Usmani yang berkuasa selama 442 tahun (1481 – 1923 M
= 886 – 1329 H),32 meskipun dunia kekhilafahan Islam dalam satu wadah
kekhalifahan (dualah al-khiláfah al-Islámiyyah) pada akhirnya harus berhenti
(mati) dengan “pembubaran sepihak” oleh Kemal Attaturk (1881 – 1938
M). Secara sendiri-sendiri dan mandiri, negara atau pemerintahan Islam
terutama (minimal sebagian) umat Islamnya di berbagai belahan dunia
tetap saja bersitiqamah (konsisten) menunaikan amalan zakat dengan
berbagai macam cara.
32 Khilafah Bani Usmaniyyah tercatat memiliki 30 orag khalifah, yang berlangsung dari abad 10 H/abad ke 16 Masehi. Nama-nama khalifahnya adalah: (1) Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M) (2) Sulaiman al-Qanuni (tahun 926-974 H/1520-1566 M) (3)Salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M) (4) Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M) (5) Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M) (6) Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M) (7) Mushthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M) (8) ‘Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M) (9) Mushthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M) (10) Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M) (11) Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)(12) Muhammad IV (tahun 1058-1099 H/1648-1687 M)(13) Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691 M)(14) Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M) (15) Mushthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M) (16) Ahmad III (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M) (17) Mahmud I (tahun 1143-1168 H/1730-1754 M) (18) ‘Utsman III (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M) (19) Musthafa III (tahun 1171-1187 H/1757-1774 M) (20) ‘Abdul Hamid I (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M) (21) Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M) (22) Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M) (23) Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M) (24) ‘Abdul Majid I (tahun 1255 H-1277 H/1839-1861 M) (25) ‘Abdul ‘Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M) (26) Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M) (27) ‘Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M) (28) Muhammad Risyad V (tahun 1328-1338 H/1909-1918 M) (29) Muhammad Wahiddin (II) (th. 1338-1340 H/1918-1922 M) (30) ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M).
Dengan kalimat lain, setelah turki menyatakan diri sebagai negara
Nasional turki dan “tidak mau tau” tentang kedudukan serta nasib dan
urusan kekhilafahan negara-negara Islam/Muslim lainnya, maka di mana-
mana tetap tumbuh dan berkembang sejumlah kesultanan/kerajaan Islam
secara mandiri yang tersebar dan terpencar secara luas di berbagai
belahan benua. termasuk di Afrika dan Asia, tidak terkecuali di wilayah
Nusantara atau negara-negara Melayu terutama Indonesia. Di wilayah
Nusantara – Indonesia tercatat beberapa Kesultanan/Kerajaan Islam baik
di Pulau Sumatera maupun Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-
lain. Sebut saja misalnya terutama Kerajaaan Islam Samudera Pasai sebagai
Kerajaan Islam pertama dan tertua (Abad XIII – XIV). Raja-rajanya adalah
Raja Samudera Pasai I (Al-MalikushShaleh) yang juga disebut dengan Al-
Malikuzh-Zhahir I (1297 - 1326 M), Al-Malikuzh-Zhahir II (1326 – 1348
M), dan Zainal Abidin (1350 - ?). Setelah mengalami masa keruntuhan,
kemudian bangkit kembali Kerajaan Islam di Aceh sejak Abad XVI, dengan
raja-raja sebagai berikut: Raja Ibrahim atau Sultan Ali Al-Mughayyat Syah
(1507 – 1522 M), Sultan Shalahuddin (1522 – 1537 M), Sultan Alauddin
Ri’ayat Syah atau Al-Qahhar (1537 – 1568 M), Sultan Husin (1568 – 1575
M), Alauddin Mansur Syah (1577 – 1586 M), Sultan Alauddin Ri’ayat Syah
atau Said al-Mukammil (1588 – 1604 M).
Pada Abad XVI – XVII, di wilayah pulau Jawa tumbuh pula
beberapa Kesultanan/Kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Giri Demak dengan
raja pertamanya - Raden Fatah atau Pangeran Jinbun (1518), kemudian
Pangeran Sebrang Lor atau Sultan Demak II (1518 – 1521 M), Sultan
trenggono atau Sultan Demak III (1521 – 1546 M); Kesultanan Pajang
(1586 - ? ); Kerajaan Mataram, zaman Senopati Pembangunan Mataram
Islam (1586 – 1601 M); Kerajaan Cirebon (1530 - ?), Kerajaan Banten, yakni
Sultan Banten I/Sultan Hasanuddin (1552 – 1570 M), Sultan Banten II/
SEKITAR AmIL & KEAmILAn58 59
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Pangeran Yusuf (1570 – 1580), dan Sultan Banten III/Maulana Muhammad
(1580 – 1596 M), sampai akhirnya kemudian dirusak dan dihancurkan
oleh penjajah Belanda yang untuk pertama kalinya mendarat di Kepulauan
Banten pada tahun 1596 (abad ke 16 M).
Di Maluku, berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam ternama lainnya,
di antara nama-nama sultannya yang terkemuka ialah Qolano Nuruddin
(1334 – 1372 M), Qolano Hasan Syah (1372 – 1405 M), Sultan Chiriliyati/
Djamaluddin (1495 – 1512 M), Sultan Al-Mansur (1512 – 1526 M), Sultan
Amirudin Iskandar Zulkarnain (1526 – 1535 M), Sultan Kiyai Mansur (1535
– 1569), Sultan Iskandar tsani (1569 – 1586 M), Sultan Gapi Baguna (1586
– 1600 M), dan seterusnya yang secara “simbolik” masih tetap eksis hingga
zaman Sultan Zainal Abidin Syah (1947 – 1967 M) yang lalu diiringi dengan
kefakuman kekuasaan sampai akhirnya pada masa Sultan Ja’far Syah (1999
– 2012) dan sekarang adalah Sultan Husein (2012 – sekarang).
Sebagaimana disinggung sebelum ini, bahwa meskipun dunia
Islam dalam satu wadah kekhilafahan (dualah Islamiyyah) telah berakhir
dengan pembubaran “sepihak” oleh Kemal Attaturk (1881 – 1938); namun
secara sendiri-sendiri dan mandiri, negara atau semua pemerintahan/umat
Islam di berbagai belahan dunia dan negara dalam hal ini terutama umatan
muslimatannya terus bersitiqamah dengan penunaian zakat. Mulai dari
Kerajaan Saudi Arabia dan turki – dua negara Islam/berpenduduk Muslim
-- yang dapat dikatakan belum/tidak pernah dijajah, sampai negara-negara
(nasional) Muslim lain-lainnya yang semuanya dapat dikatakan pernah
dijajah dalam waktu yang terbilang lama/panjang, pengamalan zakat tetap
berjalan meskipun tidak terukur dan apalagi terstruktur.
Dewasa ini, telah berdiri tegak negara-negara nasional Islam dan/
atau negara-negara nasional berpenduduk mayoritas Muslim sebagaimana
tergabung dalam organisasi Kerjasama Negara-Negara Islam (oKI) yang
beranggotakan 57 – 61 negara. Selengkapnya adalah (1) Afghanistan (2)
Al-Jazair (3) Chad (4) Guinea (5) Indonesia (6) Iran (7) Kuwait (8) Lebanon
(9) Libiya (10) Malaysia (11) Mali (12) Maroko (13) Mauritania (14) Mesir
(15) Nigeria (16) Pakistan (17) Palestina (18) Saudi Arabia (19) Sinegal
(20) Sudan Utara (22) Sudan Selatan (23) Somalia (24) tunisia (25) turki
(26) Yaman Utara (27) Yaman Selatan (28) Yordania (29) Bahrain (30)
omman (31) Qatar (32) Suriah (33) Uni emirat Arab (34) Siera Lione
(35) Banglades (36) Gabon (37) Gambia (38) Guinea Bissau (39) Uganda
(40) Burkinavaso (41) Kamerun (42) Komoro (43) Irak (44) Maladewa (45)
Gibouti (46) Benin (47) Brunei Darussalam (49) Nigeria (50) Azerbaijan (51)
Albania (52) Kirgistan (53) tajikistan (54) turkmenistan (55) Mozambik
(56) Kazkhstan (57) Uzbekistan (58) Suriname (59) togo (60) Guyana (61)
Pantai Gading.33
Penyebutan sejarah pemerintahan Islam yang agak panjang dan
rinci, ini tidak bermaksud hendak membahas kehidupan negara dan atau
pemerintahannya itu sendiri dalam hal-hal yang bersifat kenegaraan dan/
atau pemerintahan dalam konteksnya yang luas apalagi menyeluruh; akan
tetapi sekedar untuk membuktikan kontinuitas penunaian zakat dan lembaga
keamilannya di dunia Islam sepanjang zaman meskipun bentuk negara dan/
atau sistem pemerintahannya berubah-ubah dan rezimnya bahkan gonta-
ganti. Intinya, pembayaran zakat berikut lembaga keamilannya yang telah
berusia sepanjang 1437 tahun terhitung sejak disayariatkan zakat sampai
33 Beberapa negara ada yang sempat kena skor (Afghanistan, Mesir), dan/atau malahan ada yang mengundurkan diri (Zanjibar). Di sampingnya, ada pula negara yang menjadi pengamat seperti Bosnia dan Herzegovina (1994) dan Afrika Tengah (1997); Thailand (1998), Rusia (2005), dan Cyprus Turki (1979).
SEKITAR AmIL & KEAmILAn60 61
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
sekarang (2/3 – 1439 H/622 - 2017 M), masih tetap eksis dan berfungsi
dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. termasuk di Indonesia
meskipun pernah dijajah selama tiga setengah abad atau 350-an tahun
((1595 – 1945 M).
Sebagaimana bangsa-bangsa Islam/Muslim lain di berbagai belahan
dunia yang tetap konsisten dengan urusan perzakatannya, perhelatan
zakat, infak dan sedekah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
mulai dari zaman-zaman Kesultanan/Kerajaan Islam yang telah diungkap
sebelum ini sampai di masa-masa penjajahan juga pada hakikatnya
tidak pernah mengalami “kematian.” Indonesia, yang jumlah ummatan
muslimatannya sampai sekarang masih dinobatkan sebagai negara Muslim
terbesar di seluruh dunia (the largest of Muslim in the world), masih tetap
setia dalam menunaikan kelima arkanul Islam yang disebutkan di atas;
termasuk dalam hal penunaian zakat sebagai rukun Islam ketiga meskipun
karena satu dan lain hal tugas-tugas keamilannya selama itu banyak yang
dilaksanakan secara perseorangan dan/atau panitia musiman.
Satu hal penting yang layak dicatatkan di sini ialah bahwa di
balik kenyataan sejarah seperti itu, sejatinya spirit untuk memiliki institusi
zakat yang bersifat legal-formal dalam hal pengurusan zakat sebagaimana
dirintis oleh generasi Muslim terdahulu sampai generasi Muslim kita
sekarang tetap eksis dan hidup. Perjuangan umat Islam Indonesia untuk
memiliki perundang-undangan zakat sejak di masa-masa awal kemerdekaan
Republik Indonesia sejatinya tidak pernah berhenti. Sejumlah pertemuan
dalam berbagai bentuknya (mudzakarah, diskusi, seminar dan lain-lain).34
34 Di antara bentuk konkritnya ialah seminar zakat yang digelar di Sukabumi pada tahun 19952 tentang kemungkinan pengelolaan zakat dan wakaf dikelola oleh Departeen Agama. Bukti lainnya, pada tahun 1964, Departemen Agama sempat menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Zakat dan (sekaligus) Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Meskipun pada mulanya (sebagian) petinggi negara termasuk kepala
negara (Presiden) baik pada masa pemerintahan orde Lama (orla) maupun
masa-masa orde Baru (orba) tidak “merestui” kehadiran undang-undang
perzakatan, namun berkat keuletan dan kegigihan ummatan Islam pada
akhirnya membuahkan hasil gemilang di masa pemerintahan reformasi
(1998) hingga sekarang.
Buktinya ? Sejak 19 tahun (1999 – 2017) yang lalu, di Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah terbentuk institusi keamilan dan lembaga
pengelolaan zakat oleh negara/pemerintah dalam rangka pembaruan dan
penataan-ulang (restorasi) institusi zakat dari pengelolaan zakat model
masa silam yang tradisional dan perseorangan, menuju ke arah pengelolaan
zakat yang modern kolektif - kolegial. Atau, pinjam istilah Djamil Doa, dari
pengurusan zakat yang bersifat perseorangan – dan swasta, “menggagas
[menuju] pengelolaan zakat oleh negara.” Menurutnya, paling sedikit ada
delapan (8) manfaat zakat dikelola oleh negara, yaitu:35
1. Kelompok masyarakat yang lemah dan kekurangan tidak merasa hidup
di belantara, tempat berlakunya hukum rimba, di mana yang kuat
menggilas yang lemah. Sebaliknya, mereka merasa hidup di tengah
manusia yang beradab, memiliki nurani, kepedulian, dan tradisi saling
menolong (al-ta’áwun). Dengan pengelolaan zakat yang baik oleh
pemerintah (negara), kelompok papa dan kekurangan tidak lagi merasa
khawatir akan kelangsungan hidupnya, karena setidaknya mereka akan
Undang (RPP-PUU) tentang pelaksanaan pengumpulan dan pembagian serta pembentukan Baitul Mal. Sayangnya, pada waktu itu RUU dimaksud belum sempat diajukan kepada DPR dan RPP-PUU juga tidak disampaikan kepada Presiden (Asep Syarifudin Hidayat, Hukum Pengelolaan Zakat di Indonesia Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, disertasi, 2016, hlm. 129 – 130).
35 M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, hlm. 16.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn62 63
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
dapat menikmati hasil pengumpulan zakat yang dilakukan oleh negara
itu untuk menopang kehidupannya.
2. Para muzakki lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya dan kaum
fakir miskin lebih terjamin haknya. Pengelolaan zakat oleh pemerintah
akan menjamin ketaatan pembayaran zakat karena pemerintah memiliki
kekuasaan untuk itu. Adanya petugas resmi yang memungut zakat dari
para wajib zakat setiap tahunnya akan menjadikan para muzaki lebih
disiplin membayar zakat sesuai dengan ketentuan syariat. Apalagi bila
pemerintah, selaku pengelola zakat, melengkapi diri dengan peraturan-
peraturan yang berisi ketentuan-ketentuan tertentu, misalnya sanksi
dan hukuman, bagi muzakki yang tidak mau mengeluarkan zakat.
3. Perasaan fakir miskin lebih terjaga, karena dia tidak lagi (merasa)
seperti peminta-minta. Pendistribusian zakat kepada fakir miskin
yang sangat membutuhkan uluran tangan itu, dalam jangka pendek,
akan menjadikan perasaan dan kehormatan kaum fakir miskin lebih
terpelihara, karena mereka akan terhindar dari kelaparan dan meminta-
minta saat itu. Karenanya, pendistribusian zakat oleh pemerintah
kepada para mustahik akan lebih bermakna dan terasa, manakala
dalam pendistribusian itu pemerintah memiliki sasaran, fokus, program,
dan tujuan jangka panjang yang diikuti dengan pelaksanaan yang
berkesinambungan.
4. Distribusinya akan lebih tertib dan teratur. Pengelolaan dan
pendistribusian zakat oleh negara akan menjadikan pelaksanaannya lebih
tertib dan teratur, karena di samping ada petugas-petugas resmi yang
bertugas untuk itu, pemerintah biasanya juga memiliki data tentang
sasaran (mustahiq) secara dini dan konkrit, sehingga kemungkinan
sampainya zakat ke sasaran akan lebih besar, dan manfaat zakat itu
akan benar-benar terasa.
5. Peruntukan bagi kepentingan umum, seperti fí sabililláh, dapat
disalurkan dengan baik, karena pemerintah lebih mengetahui sasaran
dan pemanfaatannya. tidak bisa disangkal lagi bahwa pemerintah
adalah pihak yang memiliki data yang lebih lengkap tentang warga
negara yang layak mendapat bantuan zakat. Dengan dikelolanya zakat
oleh negara (pemerintah), maka pemanfaatan zakat tersebut untuk
kemaslahatan dan kepentingan umum zakat lebih tepat sasaran. Karena
bagaimanapun kepentingan umum (mashlahah ‘ámmah) adalah masuk
ke dala kategori fi-sabílilláh, yang juga berhak untuk menerima harta
zakat. Para ulama memang mulai mengembangkan pengertian atau
ruang lingkup fi-sabilillah tidak khusus pada jihad – apalagi spesifik
perang – dan yang berhubungan dengannya, akan tetapi sabílillah
ini diperluas jangkauannya dalam pengertian melampaui segala hal
yang mencakup kemaslahatan umum di samping taqarrub ilá Allah.
Sebagian ulama – klasik maupun kontemporer – ada yang setuju untuk
memperluas makna kata dan/atau ruang-lingkup sablillah. Maknanya,
tidak terbatas apalagi dibatasi hanya pada pengertian jihad dan yang
terkait dengannya seperti dikemukakan sebelum ini; akan tetapi, bisa
diperluas penafsirannya yakni meliputi: semua hal-hal yang maslahat,
untuk mendekatkan diri (kepada Allah), berkaitan dengan amalan-
amalan yang baik dan kebajikan, sesuai dengan yang ditunjukkan oleh
makna kata aslinya. Satu hal yang perlu dicatatkan di sini ialah bahwa
untuk kepastian semua itu, sejatinya adalah pihak ulil amri (pemangku
urusan/pemerintahan) yang memiliki kewenangan memberikan panduan
yang konkrit tentang kriteria fi-sabíliláh khususnya dan para mustahik
yang lain pada umumnya.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn64 65
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
6. Zakat bisa mengisi (kas) perbendaharaan negara. Dengan dikelolanya
zakat oleh negara, maka negara akan mendapatkan tambahan pemasukan
dari sektor non pajak, di samping juga membantu mengembangkan
sistem manajerial dan pengelolaan zakat secara profesional. Di
Indonesia sendiri keberadaan organisasi zakat sekarang ini sejatinya
semakin prosprektif. Paling sedikit ada dua undang-undang dan satu
peraturan pemerintah yang menyangganya, yaitu Undang-Undang No.
23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang No. 17
tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, serta Peraturan Pemerintah
No. 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat.
7. Dana zakat yang dikelola pemerintah dapat digunakan untuk mengelola
dan mengembangkan potensi-potensi ekonomi rakyat yang bersifat
produktif, seperti membuka lapangan kerja dari uasaha yang diambil
dari dana zakat atau memberikan bantuan modal untuk membuka
usaha mandiri. Menurut Hidayat Syarif, ada beberapa manfaat yang
dapat dipetik dari pendayagunaan zakat oleh pemerintah untuk
pemberdayaan ekonomi rakyat, antara lain:
Pertama, dana yang disalurkan tidak akan habis sesaat, tetapi akan
terus mengalir dan bergulir sehingga mempunyai dampak rambatan
yang luas (multiplier effect) terhadap kehidupan ekonomi masyarakat.
Kedua, banyak kalangan yang tergolong ekonomi lemah
terbantu, sehingga lambat laun taraf dan harkat kehidupannya akan
meningkat. Dengan demikian maka beban sosial masyarakat akan
menjadi berkurang.
Ketiga, karena didasarkan manfaatnya yang lebih besar, maka
umat Islam akan saling berlomba mengeluarkan zakat dengan tepat
(fastabiqul khairát), sehingga dana yang terkumpul semakin bertambah
banyak.
Keempat, melalui institusi zakat (negara) harta dan kekayaan
didistribusikan secara adil dan meluas kepada kelompok masyarakat
yang membutuhkan bantuan secara ekonomis.
8. Menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh
mustahiq ketika berhubungan dengan muzakki. Bagaimanapun juga,
secara fitrah setiap orang tidak ingin menjadi orang yang lemah dan
hanya menjadi obyek pemberian. Setiap orang akan mendambakan
dirinya mampu memberikan manfaat kepada orang lain, yang diantara
wujud kemanfaatnya ialah mampu memberikan sesuatu kepada orang
lain. Dengan dikelolanya zakat oleh pemerintah, maka rasa rikuh
dan canggung yang dirasakan oleh para mutahiq zakat akan dapat
dihilangkan, atau paling tidak dapat diminimalisir.
Inti dari pemaparan panjang di atas tentang pengelolaan zakat
oleh pemerintah (negara), pada hakikatnya adalah merupakan upaya
pembaruan pengelolaan zakat di Indonesia dari yang semula bersifat
tradisional – statis, menuju pengelolaan zakat yang profesional,
prosedural dan proporsional. tentu dalam teks maupun konteksnya
yang luas dan luwes. Pembaruan pengelolaan zakat secara modern ini
antara lain terutama ditandai dengan pengesahan Undang–Undang
nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang kemudian
diamandemen dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Ditambah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 14
SEKITAR AmIL & KEAmILAn66 67
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Sejak Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat ini diundangkan
dan dinyatakan berlaku, dunia perzakatan dan lembaga keamilan di
Indonesia terbilang tumbuh subur meskipun secara umum dan garis
besar pada akhirnya kini terpolarisasikan ke dalam dua grup besar
yakni “grup” Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Negeri” yang
kerap diistilahkan dengan “Badan Amil Zakat Pelat Merah,” dan grup
Lembaga Amil Zakat Nasional “Swasta”; layaknya perusahaan dan/
atau terutama perguruan tinggi yang mengenal “dikotomi” antara
Perguruan tinggi Negeri (PtN) pada satu sisi dengan Perguruan
tinggi Swasta (PtS). Dengan kalimat lain, institusi zakat di Indonesia
secara umum dan garis besar terbedakan ke dalam dua macam, yakni:
“Institusi Zakat Negeri” bernama Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
yang “sepenuhnya” berada di bawah naungan atau tepatnya kepunyaan
pemerinah (negara);36 dan Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZIS-
NAS) Swasta yakni “Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZ-NAS) yang
pengelolaannya berada di bawah bendera organisasi sosial keagamaan/
kemasyarakatan. termasuk oleh yayasan-yayasan. Salah satunya adalah
LAZIS – NAS BAMUIS yang secara khusus akan dibahas pada BAB IV
di dalam buku ini.
b. Pengertian Amil/Amilin
Amil (Arab, ‘ámil), jamaknya Amilin (‘ámilín) adalah salah satu dari sekian
36 BAZNAS dibentuk mulai dari tingkat Pusat (di Ibukota Negara) sampai tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota Madya.
banyak kata Arab Qur’an dan Hadis (Islam) yang penggunaan maupun
pengamalannya benar-benar telah membumi dan mendunia. Baik kata
amil (tunggal/mufrad) maupun amilin (jamak/plural), keduanya diambil
dari bahasa Arab –Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perhatikan ayat Qur’an dan
matan Hadis di bawah ini, yang di dalamnya terdapat kata ‘ámil/’ámilín,
lengkapnya “al-‘ámilína ‘alaihá.”
Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berkalam):
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
(‘ámil) di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian
kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang
(terpaksa) hijrah, yang diusir dari kampung-halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Aku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam
surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah.
Dan Allah, pada sisi-Nya adalah pahala yang baik.”
(Áli ‘Imrán (3): 195).
SEKITAR AmIL & KEAmILAn68 69
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir (lil-
fuqará’i), orang-orang miskin (wal-masákín), pengurus-pengurus zakat (wal-
‘ámilín ‘alaihá), orang yang dibujuk hatinya supaya simpati kepada Islam
(mu’allafah qulúbuhum), untuk memerdekakan budak (riqáb), orang-orang
yang berhutang (ghárimín), untuk jalan Allah (sabílilláh), dan untuk mereka
yang sedang dalam perjalanan (ibnus-sabíl); sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(At-Taubah (9): 60).
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra, dia berkata: bersabda rasul Allah SAW,
“tidaklah halal bagi orang kaya untuk menerima zakat, kecuali bagi yang
menyandang salah satu dari lima status sebagai berikut: (1) menjadi amil
yangmengurusi zakat itu sendiri (2) seseorang yang membeli benda zakat
dengan hartanya sendiri (3) orang yang punya utang (4) orang yang ikut
bertempur di jalan Allah (5) orang miskin yang menerima zakat kemudian
zakatnya itu dihadiahkan kepada si kaya (hadis riwayat Imam Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah yang disahihkan oleh al-Hakim ; diilalkan dengan
alasan irsal).37
Pada kedua ayat dan satu matan hadis di atas (perhatikan
dengan cermat teks Arabnya), masing-masing di dalamnya ditemukan
kata “’ámilin-minkum”38 dan “wal-‘ámilína ‘alaihá”39 dalam Al-Qur’an; serta
kata “li’ámilin ‘alaihá” dalam Al-Hadis. ‘Ámil/’ámilín, berasal-usul dari kata
kerja ‘amila – ya’malu – ‘amalan, artinya: membuat atau berbuat (shana’a),
mengerjakan/ melakukan/menjalankan (fa’ala wa-addá) – suatu pekerjaan
--, bekerja – dengan fokus (isytaghala), atau bertindak (tasharrafa) misalnya
dalam ungkapan: “tasharrafa ‘alás-shadaqati,” maksudnya: bertindak atau
bekerja (dengan serius dan fokus) untuk mengerjakan sesuatu dalam hal
ini mengumpulkan zakat/sedekah. Kata ‘ámil/’ámilín adalah isim fá’il (nama/
sebutan bagi pelaku/subjek) dari kata ‘amila-ya’malu-‘amalan, yang artinya
sudah dijelaskan lebih dulu sebelum ini, yakni pada intinya adalah pekerja,
pegawai dan/atau pelaksana suatu pekerjaan dalam hal ini pengelolaan dana
zakat, infak dan sedekah.
Kata “wal-‘ámilína ‘alaihá” dalam surah at-taubah (9): 60, oleh
sebagian ahli tafsir diartikan dengan “hum al-mutawallúna ‘alá al-
shadaqati” (mereka yang oleh orang/pihak berwenang diserahi tugas/
amanat untuk mengurus sedekah – zakat). Kata al-’amal, demikian urai
37 Ibn Hajar al-‘Asqalani¸ Bulúgh al-Marám min Adillah al-Ahkám, hadis no. 662.
38 Periksa juga Q.S. al-An’ám (6): 135, Húd (11): 93, dan al-Zumar (39): 39.
39 Periksa juga Q.S. Húd (11): 121, Fushshilat (41): 5 dan beberapa lainnya.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn70 71
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
al-Ashfahání (w. 350 H/961 M) lebih jauh, adalah menunjuk kepada semua
jenis pekerjaan yang [semula] melekat pada hewan yang dikaryakan dengan
unsur kesengajaan; yakni lebih spesifik sifatnya daripada kata “al-fi’l”
yang terkadang dinisbahkan kepada segala jenis hewan yang dipekerjakan
dengan tidak sengaja (sekedar iseng/sambilan). Bahkan, kata al-fi’l tempo-
tempo juga dinisbahkan kepada benda-benda mati (al-jamádát) sekalipun;
sedangkan kata “al-‘amal” nyaris tidak pernah digunakan untuk pekerjaan
yang berhubungan dengan al-jamádát. Malahan juga tidak igunakan untuk
hewan sekalipun, kecuali hanya sesekali saja misalnya dalam ungkapan
“al-baqar al-‘awámil” = kerbau yang dikaryakan.40 Adapun kata “al-‘amal,”
justru umumnya digunakan dalam konteks segala perbuatan/tindakan
manusia baik amal-perbuatan yang saleh-saleh (al-a’mál al-shálihát)
maupun perbuatan/tindakan yang buruk-buruk (al-a’mál al-sayyi’át).41
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli-ahli tafsir
(mufassirín), para ahli hadis (muhadditsin), dan terutama ahli-ahli fikih
(fuqahá’) dalam memahami dan terutama menafsirkan kata amil/amilin
lengkapnya “al-‘ámilína ‘alaihá.” Di antaranya yang agak umum ialah “al-
jubáh wa-al-su’áh (para pengolek zakat dan petugas zakat);42 semisal juru
tulis/sekretaris (al-katabah), penjaga (al-harás), distributor (al-shiyárafah),
para pengawas penghimpunan (al-musyrifín ‘alá al-jam’i), dan lan-lain.43
Kata “al-‘ámilína ‘alaihá, demikian simpulan al-Imam al-Qurthubi (1214 –
40 Baca antara lain dalam hadis yang terjemahannya demikian: “Dari Ali r.a., ia berkata: “tidak ada (kewajiban) zakat pada sapi yang dikaryakan (al-baqar al-‘awámil) (hadis riwayat Abú Dáwúd dan al-Dár Quthní).
41 Perhatikan Al-Qur’an, antara lain surah Tháhá (20): 112, an-Niá’ (4); 132, dan lain-lain yang cukup banyak jumlahnya.
42 Husein bin Audah al-‘Awáyusyah, al-Mausú’ah al-Fiqhiyyah fí-Fiqh al-Kitáb wa-al-Sunnah al-Muthahharah, jil. 3, hlm. 109.
43 Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsír al-Wádhih, juz 10, hlm. 896.
1273 M/612 - 671 H), merujuk kepada segala sesuatu hal yang bersifat
kewajiban kolektif – kolegial (furúdh al-kifáyah) seperti petugas zakat
(al-sá’í), pencatat/sekretaris/juru tulis (al-kátib), juru bagi (al-qassám), dan
lain-lain.44
“Yang dimaksud dengan amil atau amilin, lengkapnya “al-‘ámilína
‘alayhá,” ialah orang atau sekelompok orang yang secara aktif bertugas
melakukan upaya pengelolaan zakat dalam konteksnya yang mendasar,
umum dan luas. Meskipun secara redaksional para ahli tafsir, hadis dan
fikih memformulasikannya berbeda-beda, namun secara substantif mereka
sepemikiran bahwa yang dimaksud dengan al-ámilína ‘alayhá adalah “orang
atau sekelompok orang yang melaksanakan tugas dan tanggung-jawab
dalam pengelolaan zakat. Ada yang memaknainya dengan para penghimpun
dan/atau pengelola zakat (al-jubáh wa-al-su’áh);45 layaknya juru tulis (al-
katabah), penjaga (al-harás), yang distributor (al-shiyárafah), dan tokoh/
pimpinan kelompok/suku (al-musyrifín ‘alá al-jam’i), dan lain-lain.46
Ketiga pengarang kitab al-Fiqh al-Manhají ‘alá al-Imám as-Syáfi’í
(Mushthafa al-Khinn, Mushthafa al-Bugha dan Ali as-Syarbaji) misalnya,
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan “al-‘ámilina ‘alayhá,” mereka
adalah orang-orang yang dipekerjakan/dikaryakan, dan para pengelola zakat
yang membantu pemerintah untuk menghimpun dana zakat dan melakukan
pengelolaannya. 47 Dengan kalimat lain, mereka adalah para pegawai yang
44 Abi Abdillah al-Qurthubi, Tafsír al-Qurthubí, jil. 8, hlm. 178.
45 Husein bin Audah al-‘Awáyusyah, al-Mausú’ah al-Fiqhiyyah fí-Fiqh al-Kitáb wa-al-Sunnah al-Muthahharah, jil. 3, hlm. 109;
46 Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsír al-Wádhih, juz 10, hlm. 896.
47 Mushthafa al-Khinn, Mushthafa al-Bugha’ dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhají ‘alá Madzhab al-Imám al-Syáfi’í, jil. 1, hlm. 321.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn72 73
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
dipekerjakan dan/atau karyawan yang secara khusus diperbantukan untuk
menghimpun dana zakat dan mendistribusikannya kepada yang berhak
(mustahik).48
Dalam khazanah Indonesia, sebagaimana akan diurai nanti, Amilin
memiliki tugas dan kewenangan yang cukup luas; terutama di masa-masa
silam sebelum pengertian amil dipersempit atau tepatnya dikhususkan
dalam hal-ihwal pengurusan zakat sebagaimana yang kita kenali sekarang
ini. Dahulu, Amil digunakan sebagai nama/sebutan bagi “pembantu tidak
tetap pada kantor urusan agama dalam hal pernikahan dan hal-hal
yang berkenaan dengan urusan agama [Islam].49 Maknanya, kata Amil di
Indonesia semula atau paling sedikit pernah memiliki pengertian/ruang-
lingkup yang lebih luas cakupannya daripada hanya sekedar pengelola
zakat; mengingat tugas-tugas dan/kewenangan Amil dahulu meliputi juga
urusan pernikahan yang sejatinya kini menjadi tugas dan wewenang naib
atau pejabat Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia, “ karya Badudu – Zain,
dikatakan bahwa: “Amil adalah orang yang mengumpulkan zakat dan boleh
pula menerimanya.”50 Definisi serupa dijumpai dalam Kamus Dewan yang
menyatakan “Amil adalah orang yang diberi tauiliah (kuasa) untuk memungut
zakat (dan berhak menerima zakat).51 Dalam Kamus Bahasa Melayu Nusantara
juga dikemukakan bahwa “Amil adalah orang yang diberi tauliah untuk
48 Husein bin Audah al-Awayusyi, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah fi-Fiqh al-Kitáb wa-al-Sunnah al-Muthahharah, jil. 1, hlm. 321.
49 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 52.
50 Badudu – Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 43.
51 Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Kamus Dewan, hlmn. 46.
mengurus soal-soal pengutipan harta zakat dan fitrah.”52 Ringkasnya, “Amil
adalah petugas yang bewenang untuk mengambil/menerima zakat dan berhak
mengambil sebahagian daripadanya.”
Singkatnya, makna dan tafsir kata “al’ámilína ‘alayhá” dalam surah
al-taubah (9): 60, itu dalam konteks zaman modern sekarang lebih-kurang
maksudnya sama dengan panitia zakat dan/atau terutama badan/lembaga
amil zakat dalam konteks Indonesia modern sekarang ini.53 Adapun
yang dimaksud dengan “Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat kepada para mustahik/para penerima manfaat zakat.54
Dengan kalimat lain, amilin pada dasarnya adalah orang atau institusi
yang bertugas melakukan pengelolaan dana zakat dan sedekah-sedekah
lainnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal ini Komisi Fatwanya, merumuskan
Amil zakat adalah:
a. Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah
untuk mengelola pelaksanan ibadah zakat; atau
52 Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, hlm. 82.
53 Satu hal yang bermanfaat untuk dicatatkan di sini ialah bahwa kata Amil di Indonesia dahulu atau bahkan sampai sekarang masih ada yang memiliki pengertian lebih luas dari sekedar penghimpun dan penyalur zakat. Sebab, kata amil juga kerap diartikan dengan pejabat/ahli agama yang mengurusi hal-hal yang bersifat keagamaan misalnya pernikahan dan pengurusan kematian.
54 UU RI No. 23 tahun 2011, Pasal 1 nomor 1; PP RI No. 14 tahun 2014, Pasal 1 nomor 1. buku tafsir pada satu sisi dan undang-undang tentang Pengelolaan Zakat pada sisi yang lain.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn74 75
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
b. Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat
dan disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah
zakat.55
Rumusan fatwa MUI tentang pengertian Amil zakat baik dalam
huruf b maupun terutama huruf a, ini jelas menyesuaikan dengan Undang-
Undang tentang Pengelolaan Zakat setelah Negara (Pemerintah) mengakui,
menerima dan membenarkan atau mengesahkan pemberlakuan hukum
zakat di negara hukum Indonesia. Sebelum kehadiran Undang-Undang
tentang Pengelolaan Zakat, persyaratan yang “diangkat” oleh Pemerintah
maupun “yang disahkan oleh Pemerintah,” ini tidak dikenal. Pasalnya ? Jauh
sebelum kehadiran Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat disahkan,
eksistensi Amil Zakat dibentuk oleh masyarakat tanpa ada pengesahan
dari pemerintah, apalagi yang dibentuk oleh Pemerintah. Salah satu
contoh konkritnya yang terkait dengan penelitian ini ialah Amil Yayasan
BAMUIS yang didirikan sejak tahun 1967 di mana pengangkatan Amilnya
dilakukan (ditunjuk) oleh Pimpinan Bank BNI. Meskipun pimpinan BNI
diangkat oleh pemerintah, namun tindakan hukum Direksi mengangkat
Amil Zakat BAMUIS, jelas tidak mengatas-namakan Pemerintah, mengingat
pembentukan Badan/Lembaga Amil Zakat BAMUIS tidak mengatas-
namakan lembaga, akan tetapi lebih merepresentasikan individu-individu
sebagai insan Muslim-Muslimah.
Demikian pula dengan beberapa Amil yang ada pada lembaga-
lembaga zakat lainnya semisal Dompet Dhuafa Republika, yang dapat
dikatakan sepenuhnya diangkat oleh masyarakat tertentu dalam hal ini
masyaralat pegiat zakat lebih khusus lagi dewan pengurus – khususnya
55 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Fatwa MUI, No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat), hlm. 271.
Pembina – Yayasan Dompet Dhuafa. Setelah kehadiran Undang-Undang
Pengelolaan Zakat, maka keberadaan Amil pada lembaga-lembaga zakat
yang ada sudah tentu mengacu kepada Peraturan Peundang-undangan
yang berlaku, yakni yang disahkan oleh Pemerintah dan terutama yang
diangkat oleh Pemerintah. tepatnya, rumusan Amil pada huruf a dalam
Fatwa MUI berlaku bagi Amil zakat dalam lingkungan BAZNAS, sedangkan
rumusan Amil pada huruf b berlaku untuk lembaga amil zakat (LAZ) –
Non BAZNAS.
C. Dasar Hukum Pengangkatan Amil
Keberadaan amil/amilah jamaknya ámilát yang merupakan
kebutuhan mutlak dalam hal pengelolaan zakat, sejatinya memiliki dasar
hukum yang kuat; baik dari sudut pandang keagamaan (nash Al-Qur’an
dan Al-Hadis) maupun dalam sudut pandang perundang-undangan.
Demikian pula halnya dengan pengakuan umat dan masyarakat luas akan
keberadaan amilin/amilat untuk memenuhi pelayanan kebutuhan mereka
dalam menyalurkan dana zakat, infak dan sedekah.
Dasar hukum keberadaan Amilin/Amilat adalah Al-Qur’an, paling
sedikit adalah surah at-taubah (9): 60 sebagaimana dikutibkan di atas.
Dasar hukum lainnya adalah Al-Hadis, di antaranya adalah Hadis riwayat
Imam Ahmad, Abu Dáwúd, dan Ibn Májah, yang disahihkan oleh al-
Hákim; namun di’ilalkan dengan sebab mursal (terputus), yang juga sudah
dikutibkan sebelum ini.
Dalil lain terkait dengan amil adalah ayat 103 surah al-taubah (9)
yang terjemahannya: “Ambillah oleh-mu (Muhammad) zakat dari sebagian
harta mereka, dengan (sebab) zakat itu kamu [bisa] membersihkan dan
SEKITAR AmIL & KEAmILAn76 77
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
menyucikan mereka, dan mendoalah kamu untuk mereka; sesungguhnya doa
kamu itu (akan menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah itu Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui (at-Taubah (9): 103).
Meskipun dalam ayat di atas tidak ada kata tersirat tentang amil,
namun perintah Allah kepada Nabi Nya - Muhammad SAW yang disuruh
mengambil (mengutip, mengolek, menarik atau memungut) zakat secara
langsung, itu menunjukkan pensyariatan adanya amil yang memediasi
antara pihak muzaki dan mustahik. Nabi sendiri sebagaimana disinggung
di tempat lain dalam tulisan ini adalah orang (Amil) pertama yang
melaksanakan tugas-tugas keamilan.
Beralih kepada hadis lain yang terkait dengan ihwal keamilan
ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
(muttafaq ‘alaih) yang pada intinya menyatakan “bahwasanya Nabi
Muhammad SAW. pernah mengutus Mu’adz bin Jabal r.a. (w. 18 H/639
M) ke Negeri Yaman, kemudian ia sebutkan hadis nya yang panjang itu,
dan dalam Hadis yang panjang itu terdapat ungkapan yang menyatakan
bahwa: “…. Sesungguhnya Allah Ta’álá telah fardukan atas mereka (penduduk
Yaman) supaya membayar zakat yang berada dalam harta-harta mereka,
untuk diambilkan/dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka, supaya
kemudian diserahkan (didistribusikan) kepada orang-orang fakir yang ada di
antara mereka (hadis riwayat muttafaq ‘alaih).56
Lengkapnya: Dari Abi Ma’íd dari Ibn Abba ra, sesungguhnya
Nabi SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ra ke (Negeri) Yaman. Lalu Nabi
bersabda: “Ajaklah mereka (penduduk Yaman) itu untuk bersyahadat bahwa
56 Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulúghul-Marám min Adillah-Ahkám, hadis nomor 621.
sesungguhnya tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, dan
sesungguhnya Muhammad adalah rasul Allah. Manakala mereka mentaati
itu, maka beri tahu/ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan
atas mereka semua agar shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan
manakala mereka mentaatinya, maka (ajarkanlah) sesungguhnya Allah telah
mewajibkan (memfardukan) atas mereka sedekah (zakat) terhadap harta-
harta mereka yang diambil (ditarik) dari kalangan mereka yang kaya, dan
kemudian diserahkan kepada kaum fakir yang ada di tengah-tengah mereka”
(hadis riwayat al-Imam al-Khari).57
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan matan-matan Hadis di atas, dapatlah
dipahami dan disimpulkan bahwa Allah SWt menyuruh Nabi Muhammad
SAW supaya bertindak aktif dalam mengambil/memungut/menarik zakat
dari orang-orang beriman. Dengan kalimat lain, Allah SWt mengangkat
Nabi Muhammad SAW sebagai “Amil Zakat” pertama di masanya. Sebagai
Amil, Nabi Muhammad SAW telah mengamalkan perintah ayat di atas
dengan memungut dana zakat dari kaum Muslimin-Muslimat kala
itu. termasuk dengan mengangkat beberapa orang lain sebagai Amil
yang bertugas menghimpun dan menyalurkan zakat. Ibn Sa’ad pernah
menyebutkan nama-nama petugas zakat itu berikut nama-nama suku yang
didatanginya. Yaitu:
1. Uyainah bin Hisn diutus ke Bani tamim;
2. Buraidah bin Hasib dan/atau Ka’ab bin Malik diutus ke Banu Aslam
dan Banu Ghifar;
3. Abbad bin Bisyr Asyhali diutus Banu Sulaim dan Banu Muzainah;
4. Rafi’bin Maqis diutus ke Bani Juhainah;
57 Al-Bukhari (Abi Abdillah bi Isma’il), Shahíh al-Bukhárí bi-Hásyiyah al-Kindí. Juz 1, hlm. 242.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn78 79
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
5. Amr bin Ash diutus ke Banu Fazarah;
6. Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi diutus ke Banu Kilab;
7. Burs bin Sufyan al-Ka’bi diutus ke Banu Ka’ab;
8. Ibnu Lutaybah Azdi diutus ke Banu Zibyan;
9. Salah seorang dari Bani Sa’ad Huzaim juga diutus untuk memungut
zakat di kalangan Bani Sa’ad Huzaim.
Jelasnya, penarikan zakat tidak hanya dikenakan kepada penduduk
Muslim-Muslimah yang tinggal di Madinah dan sekitarnya; akan tetapi
juga dilakukan hingga ke berbagai penjuru jazirah Arabia yang terjangkau
waktu itu. Juga tidak hanya dilakukan oleh rasul seorang diri (secara
individu) sebagai Amil; akan tetapi juga dilakukan dengan melibatkan
beberapa orang sahabat yang bisa dipercaya dan mumpuni pengetahuan
(ilmunya) tentang urusan fikih zakat (fiqh al-zakáh) pada khususnya dan
perihal fikih dalam konteksnya yang laus pada umumnya.
Selain yang disebutkan di atas (Mu’adz bin Jabal), Nabi Muhammad
SAW juga mengangkat beberapa orang sahabat yang lain sebagai Amilin.
Sebut saja di antaranya Ali bin Abi thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Anas
bin Malik dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhum. Yang disebutkan
terakhir, Mu’adz bin Jabal, berjuluk sebagai pelita ilmu dan amal di
samping dinyatakan sebagai sahabat Nabi yang paling mahir dalam urusan
hukum halal – haram (fikih). Lebih dari itu, Mu’adz bin Jabal oleh Nabi
Muhammad SAW juga diberi tugas sebagai Qadi (Hakim), yang berarti
merangkap juga sebagai Amil zakat di negeri Yaman. Sebagai Amil, Mu’adz
diberi tugas dan kewenangan untuk mengambil/menghimpun dana ZIS
(zakat, infak dan sedekah) dari penduduk Yaman yang kaya (tu’khadzu min
aghniyá’ihim), untuk kemudian dana ZIS yang ia himpun itu didistribusikan
kepada penduduk Yaman yang fakir (fa-turaddu fí-fuqará’ihim).
Dari hadis riwayat Mu’adz bin Jabal ini bisa diperoleh penemuan
(istibath) hukum tentang distribusi zakat yang berasaskan otonomi daerah/
wilayah masing-masing negeri sebagaimana halnya petunjuk rasul Allah
SAW kepada Mu’adz bin Jabal yang diperintahkan supaya menghimpun
dana ZIS dari penduduk Yaman yang kaya, untuk kemudian didistribusikan
kepada penduduk Yaman juga dalam hal ini yang fakir-miskin.
Peristiwa pengutusan Mu’adz ke Negeri Yaman ini terjadi antara
tahun 8 – 10 Hijrah, karena ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
(sejarawan). Ada yang mengatakan tahun 8 Hijrah tepatnya pasca
pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) tahun 8 Hijrah, dan ada pula yang
berpendapat pada akhir tahun 9 Hijrah usai keberlangsungan peperangan
tabuk yang terjadi pada tahun 9 Hijah. Bahkan ada sebagian lagi yang
mengatakan pada tahun 10 Hijrah, sebelum rasul Allah SAW melakukan
haji Wadá’, yang waktu Haji Wada’-nya sendri juga diperdebatkan antara
tahun ke-9 atau tahun ke-10 Hijrah.
Ringkasnya, dasar hukum pengangkatan Amilin menurut sumber
hukum agama (Islam) dan undang-undang negara adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an, terutama surah al-taubah (9): 60 dan 103;
2. Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain riwayat Imam Ahmad bin
Hanbal, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abi Sa’id al-Khudri di samping
Hadis riwayat al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaq ‘alaih),
dan lain-lain;
3. Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pembukaan Alinea Keempat dan
Pasal 29 ayat (1) dan (2);
4. Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
sebagaimana diubah dan ditambah dengan:
SEKITAR AmIL & KEAmILAn80 81
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
5. Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat;
6. Peraturan Pemerintah RI No. 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Selain undang-undang yang baru disebutkan, sesungguhnya masih
ada beberapa peraturan perundang-undangan lain yang secara langsung
maupun tidak langsung, serta secara tersurah maupun tersirat beririsan
benar dengan pengaturan zakat dan lembaga pengelolanya. Undang-
Undang yang dimaksudkan ialah:
7. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2009 tentang Bantuan atau
Sumbangan termasuk Zakat Atau Sumbangan Keagamaan yang sifatnya
Wajib yang Dikecualikan Dari objek Pajak Penghasilan.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2010 tentang Zakat atau
Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan
Dari Penghasilan Bruto.
D. urgensi Keberadaan Amil
Kita sering mendengar, membaca atau bahkan menjelaskan istilah
ibadah mahdhah, di samping fardu ain. Ibadah mahdhah ialah ibadah yang
pelaksanaannya murni berbentuk penghambaan (peribadatan) kepada Allah
SWt; sedangkan fardu ain adalah suatu kewajiban yang sifatnya melulu
personal-individual. Ibadah mahdhah yang hukumnya wajib ain adalah
shalat, puasa, haji dan bahkan zakat. Bisa dikatakan jarang atau sedikit
untuk tidak mengatakannya langka sama sekali orang yang secara tegas
mengatakan bahwa zakat dalam kasus tertentu misalnya badan usaha
yang dimiliki oleh orang-orang Islam hukumnya wajib. Alasannya, karena
zakat adalah ibadah perorangan atau bahkan ibadah mahdhah (murni)
yang hanya dibebankan kepada orang-orang mukalaf secara individual
(fardu ain), tidak kepada badan usaha yang dinyatakan bukan orang-orang
mukalaf.58
Sejujurnya, jika kita renungkan dengan sesksama dan lebih realistis,
ada perbedaan antara ibadah zakat dengan ibadah-ibadah mahdhah yang
lain-lain. Di antara perbedaannya, manakala ibadah-ibadah lain (shalat,
puasa, haji, umrah) lebih fokus atau tepatnya melekat dengan pelibatan
aktif anggota badan, fikiran dan perasaan (hati) yang semuanya selalu
menyatu dalam pengertian bermuara kepada fisik – akal fikiran dan hati;
ibadah zakat yang wujudnya adalah benda ekonomi dan/atau keuangan
yang terpisah dari kesatuan fisik-akal-fikiran dan hati, itu pada dasarnya
memiliki perbedaan yang cukup mendasar dari ibadah-ibadah lain yang
bersifat ritual. Sesuai dengan julukannya (‘ibádah máliyah wa-ijtimá’iyah),
zakat bukan lagi ibadah ritual melainkan ibadah material – sosial yang
orientasinya tidak lagi internal – personal (mushalli, sha’im, hájj) itu
sendiri; akan tetapi adalah justru kesejahteraan orang lain (orang banyak)
di luar abid yang beribadah itu sendiri.
Maknanya, beda dengan ibadah shalat dan puasa atau bahkan
haji sekalipun yang orientasinya lebih besar ke dalam diri peribadi
(internal-individual pelakunya); maka orientasi amaliah zakat justru lebih
berpihak pada kepentingan eksternal dalam hal ini umat/masyarakat
banyak (para mustahik) khususnya kaum fakir dan miskin. Masih dalam
58 Terkait dengan hukum wajib zakat bagi bada usaha, in sya Allah akan dibahas di dalam buku lain.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn82 83
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
konteks perbedaan antara zakat dengan ibadah-ibadah ritual lainnya, zakat
memerlukan keterlibatan orang/pihak lain di luar muzaki sendiri. Manakala
dalam kasus-kasus tertentu pelaksanaan ibadah lain katakanlah shalat
berjamaah baik maktubah maupun sunah-sunnah tertentu yang tetap
memerlukan pelibatan orang lain mulai dari muadzin dan makmum, maka
zakat sudah tentu lebih memerlukan lagi orang lain layaknya muadzin dan
jamaah (mustahik/penerima manfaat).
Keberadaan muadzin, imam dan makmum dalam shalat berjamaah
(shalat-shalat maktubah/fardu maupun shalat-shalat sunah tertentu) di
samping memerlukan sarana dan prasana peribadatan semisal pembangunan
masjid, mushalla, langgar, surau, tajuk dan lain-lain. Bahkan dalam berbuka
puasa maupun sahur kian membudaya keberadaan buka puasa bersama
dan/atau sahur bersama ini59 yang boleh jadi pembebanannya justru bisa
dipikul bersama. Jika demikian keadaannya maka dalam hal wajib zakat
bagi badan usaha yang dimiliki sejumlah orang Islam tentu merupakan hal
yang layak untuk bisa diterima zakatnya.
Ungkapan di atas hendak menyatakan bahwa untuk sekedar
melaksanakan rukun Islam yang lain saja (shalat, puasa, dan haji bahkan
ikrar dua kalimah syahadatain sekalipun)60 yang digolongkan ke dalam
ibadah mahdhah yang fardhu ain, faktanya nyaris tidak ada yang tidak
melibatkan orang/pihak lain apapun itu namanya misalnya panitia,
59 Menurut catatan sejarah, Nabi Muhammad SAW dalam bulan Ramadhan terbilang sering melakukan makan sahur bersama; bukan buka bersama.
60 Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para muallaf yang hendak memeluk agama Islam, jelas memerlukan bantuan pihak lain misalnya penuntun bacaan dua kalimah syahadat berikut saksi-saksi, Terutama bagi kepentingan administratif semacam pembuatan akte/piagam yang menyatakan bahwa si Fulan bin Fulan telah pindah agama dari agama lain ke dalam agama Islam. Bimbingan masuk Islam secara formal ini telah berlaku di hampir semua dan setiap negara. Tidak kecuali di Indonesia. Penulis sensidri alhamdullah telah sering – minimal belasan kali membimbing muallaf bersyahadatain.
pengurus, event organization (Io) dan lain sebagainya. Logikanya, apalagi
zakat yang baik orientasi maupun dampaknya diarahkan bagi pihak lain
dan memiliki akibat langsung (dampak) terhadap umat dan masyarakat
luas di luar pelaku zakat (muzaki) sendiri. Karena, penyaluran dana ZIS
pada dasarnya dan dalam kenyataannya memerlukan keterlibatan orang/
pihak lain dalam hal ini Amilin/Amilat yang ber atau terhimpun dalam
badan/lembaga amil zakat.
Penulis mengapresiasi pendapat beberapa orang pegiat zakat --
antara lain Ahmad Juwaeni dan eri Sudewo -- yang berdasarkan pengalaman
di lapangan keduanya berkesimpulan bahwa “Berbeda dengan shalat atau
puasa, zakat ternyata tidak bisa dikerjakan oleh tiap pribadi Muslim seorang
diri. Zakat harus dikelola dengan melibatkan pihak lain. Karena zakat dari
muzaki, dikelola oleh amil dan ditujukan untuk mustahik.61 Kenapa sampai
ada pendapat ulama yang menyatakan “zakat tidak boleh dikelola sendiri
dan harus dikelola oleh Amil ?” Jawabannya:
1. Agar tidak subyektif;
2. Untuk memelihara harkat dan martabat mustahik;
3. obyektif profesional;
4. Pemberdayaan [dana zakat lebih optimal]62
5. Dana zakat yang terhimpun lebih besar jumlahnya;
6. Asas keadilan dan pemerataan lebih mungkin/mudah diwujudkan
7. Zakat memiliki banyak aspek (ibadah, hukum, ekonomi, sosial dan
lain-lain).
61 Ahmad Juwaeni, dalam Eri Sudewo, Manajemen Zakat, hlm. xxxiv.
62 Ahmad Juwaeni dalam Eri Sudewo, Manajemen Zakat, hlm. xxxvii-xxxvii.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn84 85
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
terdapat rasionalisasi yang kuat mengapa Islam lebih mendorong
pengelolaan zakat secara kolektif melalui Amil zakat, dan bukan pengelolaan
secara individual,63 meskipun pengelolaan zakat secara individual tidak
berarti diharamkan apalagi secara mutlak. Yaitu:
Pertama, Amil berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara para
pembayar zakat (muzakki) dan masyarakat penerima zakat (mustahik). Hal
ini penting mengingat Islam sangat menganjurkan menjaga martabat dan
harga diri para mustahik selain tentunya mendorong para muzaki untuk
lebih ikhlas dan beramal. Rasullah SAW bersabda: “ Penduduk surga ada
tiga : Penguasa adil yang memberi derma dengan tepat, penyayang berhati
lembut terhadap kerabatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari minta-
minta kepada orang lain” (HR. Muslim)
Kedua, Amil membantu secara proaktif mengingatkan muzaki
untuk menunaikan kewajiban zakatnya sekaligus membantu menghitung
berapa jumlah kewajiban zakat para muzakki.
Ketiga, Amil akan bisa lebih dalam, cermat, lengkap dan teliti
dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi mustahik agar penyaluran dan
pendayagunaan zakat direalisasikan secara baik dan efektif.
Keempat, dibutuhkan amil agar muzakki tak merasa masih memiliki
zakatnya.
Kelima, muzakki memang bukan amil. Muzakki yang menempatkan
dirinya sebagai amil cenderung menempatkan mustahik sebagai obyek
63 Indonesia Maginificence of Zakat dan Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, hlm. 14.
sehingga mustahik lah yang kemudian ‘dipaksa’ mengantri pembagian zakat,
bukan sang muzakki yang menyambangi para mustahik. Dan kelemahan
dari muzakki yang menyalurkan sendiri zakatnya adalah bahwa tidak semua
ashnaf bisa dibantu, padahal ketika Allah SWt menetapkan 8 golongan,
maka tetap 8 golongan bukan menjadi 2 golongan (fakir dan miskin saja).
tentunya amil yang dipilih haruslah amil yang profesional, amanah dan
kredibel dalam kinerjanya mengelola zakat. Dengan demikian zakat bisa
berperan sesuai dengan yang seharusnya di kehendaki oleh Islam. Kinerja
dan kapasitas organisasi pengelola zakat (oPZ) di Indonesia.
Sejarah telah membuktikan eksistensi dan fungsi amilin
dalam pengelolaan dana Zakat. Mula-mula diprakarsai langsung oleh
Nabi Muhammad SAW sendiri ditambah dengan beberapa orang yang
membantunya sebagaimana telah diungkapkan pada bagian lain di dalam
tulisan ini. tradisi pengangkatan amilin zakat yang dipelopori Nabi
Muhammad SAW, ini kemudian dilestarikan oleh para khalifah yang
menggantikannya mulai dari masa-masa kekhalifahan Abu Bakar as-
Sihiddiq, Umar bin al-Khaththab, Usman Affan dan Ali bin Abi thalib
(khulafá’ al-rasyidín) radhiyallahu ‘anhum dan seterusnya. Sejarah mencatat
bahwa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq r.a. (573 - 634 M/ (?) 13 H) pernah
“mengangkat” Umar bin al-Khaththab (579 – 644 M/ (?) 23 H) sebagai
amilin zakat; demikian pula halnya dengan Anas bin Malik dan Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma yang sebelumnya pernah diangkat sebagai
amilin zakat oleh Nabi Muhammad SAW dan sebagian mereka diteruskan
atau diangkat lagi jabatannya pada zaman “al-khulafá’ ar-rasyidún.
Akan halnya Khalifah Abu Bakar ra yang selain pernah menulis surah
kepada Anas bin Malik ra terkait dengan ihwal pewajiban pungutan zakat
berikut penyebutan (sebagian) objek zakat dan bahkan pernah mengambil
SEKITAR AmIL & KEAmILAn86 87
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
kebijakan berupa keputusan untuk memerangi para pembangkang zakat
di masa-masa kekhalifahannya, Umar bin al-Khaththab ra yang pernah
dipercaya sebagai “Amil” zakat oleh Abu Bakar, ketika Umar menjadi Khalifah,
juga pernah berkirim surah kepada salah seorang Gubernurnya, yakni|
Abu Musa al-Asy’ari ra. Di antara isi surahnya menyatakan demikian:
Amma ba’du, maka sesungguhnya di antara ciri kekuatan (kecerdasan) para
pelayan umat – termasuk AMILIN ZAKAT tentunya – ialah bekerja dengan
tidak menunda-nunda pekerjaan untuk hari esok yang bisa diselesaikan pada
hari ini.”64
Keberadaan Amilin yang bertugas mengelola dana ZIS, ini secara
terus-menerus dilestarikan oleh umumnya pemerintahan Islam di negara-
negara Muslim sampai sekarang sebagaimana dapat ditelusuri dalam
sejarah panjang perzakatan itu sendiri dari waktu ke waktu. tentu dengan
mengalami pasang-surut dan naik turun karena perbedaan situasi, kondisi
dan kemauan serta kebijakan masing-masing khalifah yang memegang
tampuk kepemimpinan. Sayangnya, karena satu dan lain hal terutama atas
alasan teknis, ihwal sejarah panjang keamilan ini tidak dimuat secara
utuh apalagi menyeluruh di dalam buku yang terbatas ini.
Yang jelas, eksistensi Amilin dan lembaga keamilan sudah dikenal
dan diperkenalkan secara jelas sejak di masa-masa awal pensyariatan zakat
itu sendiri dan masih terus eksis kiprahnya hingga sekarang dan in sya
Allah sampai di masa-masa yang akan datang. Sampai sekarang ini, usia
pensyariatan zakat telah berumur antara 1435 -1436 tahun sejak disyariatkan
pada tahun ke-2 atau tahun ke-3 Hijrah karena ada perbedaan pendapat
64 Abí> al-Qásim bin Salá>m, Kitáb al-Amwál, hadis/atsar no. 10.
sungguhpun tidak signifikan. Tentu dengan mengalami perkembangan yang
pasang-surut berikut variasi dan keragaman masing-masing sebagaimana
disinggung sebelum ini.
Lepas dari perbedaan dan keragaman yang ada pada masing-
masing negara (Islam/berpenduduk Muslim) dalam hal penanganan ZIS,
yang jelas eksistensi amilin dan kelembagaannya bisa dijumpai di hampir
atau bahkan di semua negara-negara Muslim. Malahan, di negara-negara
non Muslim yang penduduk Muslimnya terbilang cuma minoritas, lembaga
keamilan atau minimal amilin zakat perorangan tetap ada meskipun dalam
bentuknya yang sangat sederhana atau bahkan bersahaja.
Sebagaimana disinggung sebelum ini, sepanjang penelusuran
sejarah Islam, eksistensi amilin kapan dan di mana pun pada dasarnya
adalah sama, dalam pengertian eksistensinya diakui oleh para ulama lepas
dari pertanyaan apakah keberadaan amil/amilin itu bersifat formal atau
informal, dan apakah itu bersifat perorangan atau tim (kelembagaan).
Itu semua sangat bergantung pada kondisi ummatan muslimatan yang
bersangkutan. Yang jelas, di semua wilayah atau negara ada amil/amilin
yang “bertugas” menerima, menghimpun, mengelola, mendistribusikan
kepada para mustahik dan/atau memanfaatkannya demi kesejahteraan
umat dan kepentingan umum; terutama orang-orang fakir dan orang-
orang miskin.
E. Syarat-syarat Amil
Seperti disinggung pada bagian lain dalam tulisan ini, keberadaan
amilin dan lembaga keamailan sangatlah penting bagi pengelolaan dana
zakat, infak dan sedekah. Sayangnya, dalam waktu yang cukup lama belum
SEKITAR AmIL & KEAmILAn88 89
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur perihal
persyaratan seseorang bisa diangkat sebagai amilin zakat. Apalagi yang
berhubungan dengan hak-hak amilin, baik secara kelembagaan maupun
terutama untuk hak-hak para pegawai/pekerjanya yang bersifat personal
sebagaimana akan disinggung setelah ini.
Sebagaimana disinggung sebelum ini bahwa undang-undang
tentang pengelolaan zakat tidak mengatur syarat-syarat untuk bisa diangkat
sebagai amilin zakat sebagaimana halnya syarat-syarat seseorang untuk
bisa diangkat menjadi qadhi/hakim dan/atau panitera. Memperhatikan
Amilin yang diangkat di zaman Nabi Muhammad SAW dan masa Khalifah
Abu Bakar – paling tidak sebagian daripadanya -- ada yang merangkap
sebagai kadi/hakim, maka sungguh pada tempatnya manakala untuk
syarat-syarat amil ini penulis merujuk kepada persyaratan-persyaratan
yang harus dimiliki seseorang untuk bisa diangkat sebagai hakim, atau
minimal sebagai panitera. Jelasnya, syarat-syarat ideal untuk seseorang
bisa diangkat sebagai Amil di masa-masa silam ialah agak mirip untuk
tidak mengatakan sama dengan syarat-syarat seseorang yang bisa diangkat
sebagai hakim. tepatnya:
1. Beriman dan bertakwa kepada Allah Yang Maha Kuasa/tuhan Yang
Maha esa;
2. Baligh dan berakal;
3. Sehat jasmani dan rohani;
4. Minimal mengenali hukum syariah khususnya zakat, infak dan
sedekah;
5. Mendapatkan tauliyah (pengangkatan) dari umat dan/atau terutama
pejabat yang berwenang (Pemerintah).
Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 8 tahun 2011
tetang Amil Zakat menyebutkan: Amil Zakat harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. beragama Islam;
b. mukalaf (berakal dan balig);
c. amanah;
d. memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum zakat dan hal lain
yang terkait dengan tugas amil zakat.65
Syarat-syarat Amil di atas adalah syarat-syarat yang umum dikenal
atau bahkan disepakati oleh semua ulama dan berlaku di berbagai belahan
negara/wilayah Islam dari dahulu sampai sekarang. Di samping itu, masih
ada beberapa persyaratan Amil yang mengacu pada kebijakan lokal atau
nasional misalnya syarat kebangsaan sebagaimana yang akan disebutkan
nanti sesudah ini. Menarik juga apa yang dikemukakan eri Sudewo, ketika
mengatakan bahwa dalam lembaga zakat sekurang-kurangnya ada empat
(4) prinsip yang harus difahami Amilin, yaitu:
1) Prinsip rukun Islam;
2) Prinsip moral;
3) Prinsip lembaga; dan
4) Prinsip manajemen.66
Abdul Hamid Mahmud al-Ba’li, Doktor Fikih Perbandingan dan
ekonomi Islam pada Fakultas Syariah dan Undang-Undang Universitas Al-
65 Majelis Ulama Indonesia (Himpunan Fatwa MUI, No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat), hlm. 271.
66 Eri Sudewo, Manajemen Zakat, hlm. 30.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn90 91
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Azhar Kairo – Mesir,67 menyebutkan syarat-syarat umum Amilin, yaitu:
(1) Amanah (al-amánah);
(2) Adil (al-‘adl);
(3) Pandai menghitung/menaksir zakat (al-taqdír al-salím);
(4) Berakhlak baik (husn al-khuluq);
(5) Memiliki pemahaman mendalam (al-fahm al-daqíq) tentang zakat;
(6) tidak aniaya (‘adam al-zhulm);
(7) tidak menerima hadiah apalagi rasywah (suap).
Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat dan Peraturan Pemerintah RI No. 14 th. 2014 disebutkan
bahwa “Untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS paling sedikit harus
memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Allah SWt;
d. berakhlak mulia;
e. berusia paling sedikit 40 (empat puluh) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. tidak menjadi anggota partai politik;
h. memiliki kompetensi di bidang Pengelolaan Zakat; dan
i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.68
67 Abdul Hamid Mahmud al-Ba’li, Iqtishádiyyát al-Zakáh wa-I’tibárát al-Siyásiyyah al-Máliyyah wa-al-Naqdiyyah, hlm. 99.
68 UU No. 23 Th. 2011, Pasal 11 dan PP No. 14 Th. 2014, Pasal 7.
Memerhatikan syarat-syarat Amil Zakat di atas, secara umum dan
keseluruhan tampak mirip untuk tidak mengatakan sama dengan syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon hakim pengadilan agama
sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang nomor 50 tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dalam Undang-Undang ini dikatakan: “Untuk
dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama, seseorang harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada tuhan Yang Maha esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia;
e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. bukan bekas anggota organsisasi terlarang Partai Komunis Indonesia
termasuk organisasi masanya, atau bukan orang yang terlibat langsung
dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang
berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan berumur
paling rendah 25 (dua puluh lima tahun).69
69 UU RI No. 50 tahun 2009, Pasal 13 ayat (1) dan (2).
SEKITAR AmIL & KEAmILAn92 93
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Patut juga dicatatakan di sini bahwa pengelolaan zakat pada prinsipnya
bersifat kelembagaan (institusional), tidak dalam bentuk perseorangan.
Namun demikian dalam kondisi tertentu, undang-undang apalagi syariat
Islam memberikan kemungkinan (boleh) jabatan Amil dipegang oleh
perseorangan. Dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 14 tahun 2014
tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat, posisi “Amil Zakat Perseorangan atau Perkumpulan
orang dalam Masyarakat,” ini diatur demikian.
Pasal 66
(1) Dalam hal di suatu komunitas dan wilayah tertentu belum terjangkau
oleh BAZNAS dan LAZ kegiatan pengelolaan zakat dapat dlakukan
oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim-ulama),
atau pengurus/takmir masjid/mushalla sebagai amil zakat;
(2) Kegiatan pengelolaan zakat oleh amil zakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memberitahukan secara tertulis kepada
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Peraturan Pemerintah tidak mengatur lebih lanjut tentang syarat-
syarat formal atau kriteria lengkap Amil perseorangan sebagaimana yang
dikemukakan di atas. Namun, secara umum lebih-kurang tentu sama
persyaratannya dengan persyaratan seseorang yang bisa diangkat menjadi
anggota Badan Amil Zakat Nasional yang sudah disebutkan lebih dulu
sebelum ini.
F. Kewajiban dan Hak Amil
a. Urgensi keseimbangan antara kewajiban dan hak Amil
Sejatinya, syariat Islam tidak hanya memberikan beban kewajiban
kepada umat manusia tanpa memperhatikan hak-haknya yang sah,
halal dan layak diterima. Baik itu dalam hal peribadatan yang dibalik
pensyariatan kewajiban – termasuk zakat -- yang berbentuk pembebanan,
selalu saja diiringi dengan janji imbalan baik berupa pahala (ajrun) yang
bahkan berlipat ganda;70 sungguhpun ancaman terhadap para pembangkang
zakat juga tetap dikemukakan dalam Al-Qur’an.71 Demikian pula halnya
dengan urusan pembebanan kewajiban yang berbentuk beban kerja sebagai
kewajiban dalam muamalah yang harus juga disertai dengan pemenuhan
hak-haknya semisal pembayaran gaji (ujrah; fee)72 atau apapun namanya,
dan beberapa hak lainnya sebagaimana dikenal dalam dunia kerja/usaha
dan/atau jasa di zaman modern sekarang ini. Nyaris tidak ada kewajiban
tanpa hak; sebagaimana juga nyaris tidak ada hak tanpa ada kewajiban.
Satu hal yang penting dikemukakan di sini ialah bahwa yang
dimaksud dengan hukum, dalam perspektif hukum Islam sebagaimana
diformulasikan oleh para juris Islam (al-ushuliyyún), “hukum ialah doktrin
tuhan (khitháb Alláh) yang berhubungan dengan tindakan orang-orang
dewasa (af’ál al-mukallafín) baik dalam bentuk tuntutan (iqtidhá’), maupun
70 Perhatikan Al-Qur’an misalnya surah al-An’am (6) 160 dan al-Baqarah (2): 261.
71 Perhatikan, antara lain Q.S. at-Taubah (9): 34.
72 Perhatikan misalnya ungkapan atau bahkan ada yang meyakininya sebagai hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan: “u’thúl ajíra ujrahú qabla an-yajiffa ‘uruqahú = bayarkanlah upah para pekerja sebelum kering keringatnya (hadis).
SEKITAR AmIL & KEAmILAn94 95
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
pilihan (takhyír) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau
dalam bentuk ketetapan (wadha’).73
Definisi hukum di atas tampak lebih mengarus-utamakan kewajiban
atas orang-orang dewasa (mukalaf) daripada lebih mementingkan hak atau
hak-hak. Logikanya, manakala semua dan setiap kewajiban (dalam konteks
ini distribusi dana zakat) dilaksanakan dengan baik (penuh tanggung jawab)
oleh Amilin, maka hampir dapat dipastikan bahwa hak-hak mustahik dengan
sendirinya akan diserah-terimakan. Sebaliknya, manakala kewajiban tidak
dilaksanakan dengan secara sadar oleh Amilin, maka dengan sendirinya
pelanggaran atas hak-hak orang lain (dalam hal ini mustahik) akan terjadi.
Sayangnya antara kewajiban dan hak Amilin ini terutama di masa-masa
lalu, sering tidak berjalan seiring atau tidak bersesuaian antara keduanya.
Salah satu akibatnya, terkadang untuk tidak mengatakannya
sering apalagi selalu terjadi hal-hal yang menyebabkan distribusi dan/atau
pemanfaatan dana ZIS kurang tepat sasaran. Pengalaman di lapangan
-- meskipun karena satu dan lain hal tidak terlalu mendesak untuk
dikemukakan di dalam tulisan ini – namun cukup membuktikan ada beberapa
kasus yang mengakibatkan distribusi dana ZIS kurang tepat sasaran itu.
Hal-hal ini bisa terjadi, antara lain disebabkan kekurang-cermatan (Amilin)
dalam mengenali kriteria atau apalagi megedukasi mustahik dengan baik
dan benar. Penyebab lainnya adalah karena kurang/lemahnya pengawasan
dalam teks maupun konteksnya yang luas, mulai dari hal-hal yang bersifat
administratif misalnya dalam melakukan verifikasi surat-surat keterangan
diri mustahik atau lainnya, jumlah dana atau daftar nama fikitif hingga
yang bersifat “percaloan” mustahik, “pencatutan” nama tokoh dan/atau
73 Abdul Wahhab Khallaf, Ushúl al-Fiqh, hlm.21.
lembaga tertentu. Hal-hal yang seperti ini bisa terjadi – terutama di masa-
masa lalu – antara lain karena:
Pertama, kurang/lemhanya pengetahuan (sebagian) Amilin terkait
dengan kriteria mustahik dalam teks maupun konteksnya yang bersifat
teoretis dan kenyataan – empiris di lapangan;
Kedua, ada oknum yang memanfaatkan keadaan/kesempatan untuk
memperoleh keuntungan/kepentingan diri pribadi dan/atau lainnya, baik
material maupun non material;
Ketiga, tertib administrasi yang belum memadai, termasuk
pengarsipan;
Keempat, kurang/lemahnya pembinaan dan/atau pengawasan
internal maupun eksternal, termasuk pembinaan dan/atau pengawasan dari
sisi syariah compliance;
Kelima, tentu saja masih ada faktor-faktor lain baik teknis
maupun non teknis yang memengaruhi atau berakibat pada kekurang-
tepatan sasaran penyaluran dana ZIS dimaksud kepada mustahikkin yang
sesungguhnya.
Keenam, kurang atau lemahnya koordinasi internal maupun
eksternal institusi BAZ atau LAZ yang bersangkutan;
Ketujuh, rendahnya kontrol sosial dalam hal ini terutama umat dan
masyarakat Muslim sendiri terhadap lembaga-lembaga pengelola zakat.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn96 97
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Untuk itu, diperlukan peningkatan sumber daya manusia dalam hal
ini Amil/Amilin yang memahami benar tentang seluk-beluk perzakatan dan
memiliki rasa tanggung-jawab yang tinggi akan kewajiban-kewajibannya
sebagai Amilin.
b. Kewajiban Amilin
Di atas telah dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
“pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat kepada para mustahik/para penerima manfaat zakat.” Dari definisi ini,
dapatlah dikemukakan bahwa kewajiban dasar dan umum amilin adalah:
1. Mengordinasikan perumusan perencanaan penghimpunan dana ZIS,
katakanlah semacam pembuatan rencana anggaran pendapatan/
perolehan berikut rencana pendistribusiannya dengan baik dan benar;
2. Melaksanakan kegiatan penghimpunan dana ZIS (dari muzaki, mmunfik
dan mutasadik) yang telah direncanakan;
3. Melakukan pengelolaan sedemikian rupa perolehan penghimpunan
dana ZIS;
4. Mendistribusikan (mentasharrufkan) dana ZIS yang telah dihimpun itu
kepada para penerima mustahik (penerima manfaat);
5. Penyusunan pelaporan kegiatan lembaga amilin kepada pihak
berwenang di samping secara internal memberi tahukan kepada para
muzaki, munfik dan mutasadik (donatur ZIS), atau bahkan kepada
masyarakat luas/umum.
tugas utama dan kewajiban Amilin sudah seharusnya benar-
benar difahami dan dihayati oleh setiap badan/lembaga amil zakat. Selain
guna memudahkan tugas dan kewajiban Amilin yang bersangkutan, juga
dimaksudkan untuk lebih bisa dipertanggung-jawabkan kepada publik
khususnya kepada pihak yang berwenang sebagaimana diamanatkan
undang-undang. Dengan pengelolaan dana ZIS yang dilakukan secara
profesional, prosedural dan proporsional, maka badan/lembaga keamilan
akan mendapatkan kepercayaan lebih dari umat dan masyarakat pada
umumnya di samping para donatur dana ZIS itu sendiri pada khususnya.
Dengan sendirinya maka harkat dan martabat BAZ maupun LAZ akan
tetap terpelihara dengan baik.
Guna menopang keterampilan pelaksanaan tugas/kewenangan dan
terutama kewajibannya, Amilin harus ditambah/menambah dirinya dengan
pengetahuan yang diperlukan baik tentang syariah dan kesyariahan maupun
yang bersifat skill (keterampilan). Dengan kalimat lain, Amilin harus
menjadi insan-insan pegiat zakat yang cerdas dan profesional. termasuk
dalam membuat terobosan penyaluran dan/atau pemanfaatan dana Zakat
itu sendiri dari yang semula terbatas dalam hal-hal yang “melulu” bersifat
konsumtif, ditingkan kepada hal-hal yang memiliki nilai tambah dan
produktif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan mustahikkin dalam
konteksnya yang luas dan luwes.
Di antara contoh kasusnya, sungguh menarik untuk dikutibkan
dialog singkat antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan salah seorang
Gubernur yang merangkap sebagai Amil bernama Abdul Hamid. Dialog
yang dimaksudkan ialah:
Khalifah: Gubernur, harap segera bagikan dana ZIS itu
kepada mereka yang berhak menerimanya !
SEKITAR AmIL & KEAmILAn98 99
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Gubernur: Sudah aku bagikan kepada mereka ya Amir al-
Mu’minin !
Khalifah: Masih adakah uang kas di Baitul Mal ? Coba
Anda perhatikan setiap orang yang memiliki utang-piutang
bukan karena kebodohan dan keborosannya. Bayarlah
utang-utangnya itu.
Gubernur: Alhamdulillah telah kami lunasi semua utang-
utang mereka itu ya Amir al-Mu’minin !
Khalifah: Baik ! Masih adakah uang kas yang tersisa pada
Baitul Mal ? Coba Anda telusuri (turun ke bawah) kalau-
kalau masih ada perawan-perawan yang belum menikah
(jomblo) semata-semata karena tidak ada uang. Kalau
Anda mampu menikahkan mereka (dengan menggunakan
dana ZIS), maka segera nikahkan mereka; dan berilah
(bayarkanlah) uang maharnya.74
Dari kisah singkat dialog Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan
Gubernur Abdul Hamid, ini bisa kita fahami bahwa distribusi dana ZIS pada
dasarnya harus dilakukan dengan terus-menerus demi kesejahteraan sosial
umat dan masyarakat khususnya para mustahik zakat. Kesejahteraan sosial
umat dan masyarakat yang dimaksudkan tidak sebatas apalagi dibatasi hanya
sampai kepada urusan pendidikan (beasiswa) dan kesehatan, akan tetapi
bisa juga merambah ke arah pelaksanakan khitanan massal, nikah – jika
diperlukan malahan nikah massal – dan bahkan pembebasan utang-piutang
74 Abi al-Qasim, Kitáb al-Amwál, hadis/atsar no (?).
sekalipun selama masih dalam koridor yang dibenarkan syariat. Maknanya,
kesejahteraan sosial harus difahami dalam teks maupun konteksnya yang
luas dan luwes selama masih dalam koridor yang dibenarkan syariat. tentu
dengan terobosan-terobosan yang tepat sebagaimana tergambar dalam
dialog singkat Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan Gubernur Abdul
Hamid di atas.
Di antara terobosan yang layak dipertimbangkan dewasa ini adalah
pelaksanaan pernikahan massal bagi (calon) pasangan penganten yang
karena satu dan lain hal benar-benar tidak mampu untuk melaksanakan
pernikahan secara legal-formal sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Misalnya, pernikahan massal hendaknya tidak lebih
berorientasikan pada – maaf – pasangan-pasangan yang sudah “teranjur
kumpul kebo” (pasangan yang sudah hidup layaknya suami-istri tanpa
pernikahan legal dan formal) di muka pejabat yang berwenang (Kantor
Urusan Agama/KUA); akan tetapi sebaiknya justru lebih kepada pernikahan
massal yang bersifat antisipatif. Maksudnya, pernikahan massal digelar
untuk calon-calon pasangan muda-mudi yang belum menikah disebabkan
kesulitan ekonomi dan bisa diatasi dengan menggunakan dana ZIS sampai
mereka pada akhirnya bisa mandiri.
Pimpinan BAMUIS terutama dalam beberapa tahun terakhir, ini
tampak berusaha maksimal dan optimal untuk meningkatkan disiplin
kerja para pegawai (Amilinnya) dalam konteksnya yang luas namun tetap
luwes demi mengatasi beberapa kekurangan/kelemahan yang ada di masa-
masa lalu; minimal guna mengurangi manakala dalam waktu yang singkat
belum bisa menghapuskannya sama sekali. Di antara wujud konkrit dari
upaya BAMUIS peningkatan kualitas (kinerja) para pegawai/karyawannya
ialah melaksanakan beberapa kursus/transing di samping pembekalan
SEKITAR AmIL & KEAmILAn100 101
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
keterampilan administrasi, fundraising (peningkatan dana) dan tentu saja
terutama pendayagunaannya. Yang terbilang mendasar dan signifikan ialah
bersama-sama dengan Forum Zakat (FoZ), BAMUIS berkemauan untuk
mengambil inisiatif menyelenggarakan Sekolah Amil Indonesia (SAI) yang
perdana dalam sejarah Sekolah Amil Indonesia.75 Demikian pula dengan
pelaksanaan kursus/ keterampilan lainnya, termasuk pencerahan fundraising
yang dilaksanakan baru-baru ini.76
c. Hak Amilin
Sejatinya, di mana ada kewajiban, maka di situ ada hak atau hak-
hak. Hak dan kewajiban atau kewajiban dan hak adalah merupakan dua
hal yang secara yuridis formal maupun tradisi faktual ibarat dua sisi mata
uang yang selalu menyatu meskipun satu sama lain berbeda bentuk dan
sifatnya. termasuk dari sudut pandang hukum syariah yang selalu konsisten
dalam menempatkan kesejajaran kewajiban dan hak atau kewajiban
dan hak. Baik Al-Qur’an maupun Al-Hadis, dalam hampir setiap yang
berhubungan dengan kewajiban atau beban serta pertanggung-jawaban,
selalu menyertakan “imbalannya.” termasuk dalam hal-ihwal keamilan di
mana sejatinya pada satu sisi Amil dibebani kewajiban (tugas dan tanggung-
jawab) sebagaimana yang sudah disebutkan dan diuraikan secara rinci
sebelum ini, maka di pihak lain hukum syariah juga memperhatikan pula
hak atau hak-hak Amilin di samping pelekatan tugas dan kewajibannya.
75 Singkatan SAI (Sekolah Amil Indonesia), penulis usulkan saat-saat penulis menjadi salah seorang nara sumber pada pendidikan dan pelatihan Sekolah Amil Pertama (SAI) yang diselenggarakan oleh FOZ dan BAMUIS di kantor BAMUIS dilakukan pada tanggal 7 Maret sampai 4 April 2017. Penulis sendiri alhamdulillah turut aktif menjadi salah seorang instruktur dalam Sekolah Amil Indonesia ini.
76 BAMUIS melaksanakan pelatihan fundsraising pada bulan Agustus 2017 di kantor BAMUIS, jalan percetakan negara VII Salemba – Jakrta Pusat.
Penempatan kata “wa-al-‘ámilína ‘alayhá “ dalam Al-Qur’an (al-
taubah (9): 60) pada urutan ketiga – setelah penyebutan “li-al-fuqará’
wa-al-masákín” dan sebelum kelompok lima kelompok mustahk lainnya
(mu’allafah qulúbuhum, riqab, sabíliláh ghárimín dan ibnu sabil), jelas dan
tegas menunjukkan peduli wahyu (Al-Qur’an) akan eksistensi, fungsi dan
peran Amilin dalam memaksimalkan/mengoptimalkan pengelolaan dana
zakat. Demikian pula dengan beberapa matan Al-Hadis yang secara tersirat
maupun tersurah mengisyaratkan keberadaan hak atau hak-hak Amilin itu
di balik kewajiban (pelaksanaan tugas dan tanggung-jawabanya) sebagai
“pekerja.”
Sebagian kecil di antaranya ialah hadis yang diriwayatkan Abdullah
bin al-Sa’di yang mengisahkan bahwa suatu ketika, al-Sa’di “menghadap”
(melapor) kepada Umar bin al-Khaththab terkait dengan hal yang berurusan
dengan kedudukan Umar sebagai Khalifah. Umar bertanya kepada al-Sa’di:
“Bukankah sudah aku katakan bahwa Anda (al-Sa’di) termasuk ke dalam
salah seorang Amil (pegawai) yang sebagaimana layaknya pegawai-pegawai
yang lain, Anda juga berhak memperoleh imbalan (ujrah/fee) ? Karenanya,
apabila kamu diberi upah kerja (al-‘ummalah), apakah kamu bermaksud
hendak menolaknya ? Al-Sa’di menjawab: “Ya Khalifah.” Umar bertanya:
“Kenapa al-Sa’di ?“ Apa yang engkau kehendaki tentang penggajian/
penghonoran itu ? Al-Sa’di menjawab: “Di lingkungan saya sendiri sejatinya
masih ada beberapa pelayan/relawan (al-farrásy) dan/atau bahkan para
budak (al-a’búd) yang lebih membutuhkan daripada saya sendiri; karena
saya pribadi [secara ekonomi] sesungguhnya masih lebih baik keadaannya
daripada mereka. Untuk itu, aku (al-Sa’di) bermaksud hendak mengusulkan
kepada-Mu – wahai Khalifah -- agar honor itu disedekahkan saja kepada
kaum muslimin.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn102 103
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Umar berujar: “Jangan kamu lakukan itu al-Sa’di ! Aku sendiri
(Umar) pernah memiliki kehendak yang persis sama seperti kehendakmu
itu tatkala Rasul Allah SAW (suatu ketika) bermaksud memberi sesuatu
(upah) kepada-ku. Aku katakan kepada Nabi: “tidaklah ya Rasul ! Silakan
engkau berikan pemberian itu kepada orang lain yang lebih membutuhkan
daripada aku; sampai suatu kali Rasul memberi-ku (lagi) harta. Lagi-lagi
aku katakan kepadanya: “berikanlah ya Rasul kepada orang lain yang
lebih butuh daripada aku (afqaru ilaihi minní). tiba-tiba Rasul Allah SAW
bersabda: “Ayo, ambillah uang ini Umar, silakan kamu kelola dengan baik
dan kamu bisa bersedekah dengan uang ini sekehendakmu. Harta yang
mendatangi kamu itu boleh Anda gunakan untuk apa saja sekehendak
kamu asalkan kamu tidak berboros-boros dan tidak pula meminta-minta.
Kalau tidak, janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu.”77
Dari dialog singkat al-Sa’di dan Umar, yang pernah dialami juga
oleh Umar dengan Nabi Muhammad SAW, dapat disimpulkan bahwa setiap
Amil pada dasarnya berhak (halal) menerima imbalan, dan sewajarnya
harus dia terima sebab imbalan dari keamilan itu diserah-terimakan
kepada Amil atas kerjanya; bukan karena kefakiran atau kemiskinannya,
atau apalagi karena “kutipan” non halal lainnya. Bahwa kemudian Amil
yang bersangkutan itu bermaksud hendak mensedekahkan/menginfakkan
hak (imbalan) kehamilannya secara suka rela kepada orang/pihak lain, itu
menjadi soal lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kedudukan atau
kapasitas yang bersangkutan sebagai amilin. Apalagi untuk mencampur
adukkan penggajiannya itu kepada orang/pihak lain melalui lembaga -
tempat Amil itu bekerja.
77 Al-Bukhari, hadis no. 7163 dan Muslim, no. 1045.
Para ulama fikih, paling tidak sebagian atau bahkan secara
keseluruhan, membolehkan pemberian upah/imbalan, ujrah, fee, atau
apapun namanya kepada “Amilin” yang benar-benar melaksanakan tugas
dan tanggung jawab keamilannya. Menurut mereka, para ahli fikih,
Amilin perlu diberikan gaji/upah yang pantas kepada mereka, layaknya
para pegawai/pekerja sebagaimana layaknya para pegawai/pekerja dalam
lingkungan kesultanan/pemerintahan. Semacam Pegawai Negeri Sipil
(PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam istilah kekinian kita dalam
lingkungan pemerintahan Indonesia. Intinya, semua orang (Amilin) yang
terlibat dengan pengelolaan zakat, maka baginya boleh (berhak) untuk
menerima upah (fa-al-qá’im bihí yajúzu lahú akhdz al-ujrah).78
Sayangnya, sampai awal-awal dasawarsa 2010-an, ihwal hak atau
hak-hak Amilin ini secara umum dan garis besar saja belum diatur secara
jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang keberadaan
dan keberlakuannya sudah terbilang cukup lama. Bayangkan, baik Undang-
Undang Nomor 38 tahun 1999 yang terdiri atas X BAB dan 25 Pasal itu,
maupun Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 yang terdiri atas XI BAB
dengan 47 Pasal, ini keduanya tidak menyebutkan dengan jelas tentang hak
atau hak-hak Amil. Dalam Undang-Undang No. 38 tahun 1999 misalnya,
hanya dikatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengelola
zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga.” 79 “Hak Amil
adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya
operasional dalam pengelolaan zakat sesuai dengan syariat Islam.”80
78 Abi Abdillah, Tafsír al-Qurthubí, jil. 8, hlm. 178; Mushthafa al-Khinn, Mushthafa al-Bughá’, dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhají ‘alá Mazhab al-Imám al-Syafi’í, juz 1, 321.
79 UU. No. 38 Th. 1999, Penjelasan Pasal 3.
80 UU No. 23 Th. 2011, Pasal 1 angka 11 dan Peraturan Pemerintah No. 14 Th. 2014, Pasal 1 angka 5.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn104 105
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Sayangnya, yang dimaksud dengan bagian tertentu dari zakat
untuk Amil itu tidak ada penjelasan lebih lanjut. Karenanya, tidaklah
mengherankan manakala umumnya atau paling tidak sebagian lembaga
zakat tertentu (terutama yang non BAZNAS) menetapkan hak amilin
berdasarkan “ijtihad” yang umum dan terbiasa berlaku yakni maksimal
1/8 atau 12,5 % dari hasil penghimpunan dana ZIS. Pemikirannya, jumlah
hasil penghimpunan dana ZIS dibagi habis (rata) untuk delapan kelompok
(ashnaf) mustahik zakat yang salah satunya adalah amilin. Namun
demikian, secara pribadi penulis sendiri selama ini memberikan masukan
kepada lembaga pengelola ZIS untuk mengambil hak amil maksimal 10 %
saja.
Di antara dasar pertimbangannya, selain untuk memelihara wibawa
(martabat) Amilin dari kemungkinan menimbulkan pertanyaan atau
bahkan permasalahan; juga terutama dilandasi oleh nash Al-Qur’an yang
membolehkan kita mengarus-utamaan asas al-ihsán (kebajikan) daripada
lebih mengedepankan asas keadilan (al-‘adl) walaupun hal itu dibolehkan.81
Meski demikian, tampak lebih umum pendapat yang memandang bagian
maksimal Amilin sebesar 12,5 % (1/8) berdasarkan merata bagian dari
delapan kelompok sosial penerima zakat (tsamániyatu ashnáf) sebagaimana
telah disinggung sebelum ini.
Menarik adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menegaskan
bahwa “Pada dasarnya (1) biaya operasional pengelolaan zakat disediakan
oleh Pemerintah (ulil amri) (2) Dalam hal biaya operasional tidak dibiayai
oleh {Pemerintah, atau disediakan Pemerintah tetapi tidak mencukupi,
81 Perhatikan Al-Qur’an yang terjemahannya demikian: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) supaya berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsan), dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (An-Nahl (16): 90).
maka biaya operasional pengelolaan zakat yang menjadi tugas amil diambil
dari dana zakat yangmerupakan bagian amil atau bagian fi-sabilillah dalam
batas kewajaran, atau diambil dari dana di luar zakat (3) Kegiatan untuk
membangun kesadaran berzakat – seperti iklan – dapat dibiayai dari dana
zakat ang menjadi bagian amil atau fí-sabíliláh dalam batas kewajaran,
proporsional dan sesuai dengan kaidah syariat Islam (4) Amil zakat yang
telah memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta dalam tugasnya
sebagai amil tidak berhak menerima bagian dari dana zakat yang menjadi
bagian amil. Sementara amil zakat yang tidak memperoleh gaji dari negara
atau lembaga swasta berhak menerima bagian dari dana zakat yang menjadi
bagian amil sebagai imbalan atas dasar prinsip kewajaran (5) Amil tidak
boleh menerima hadiah dari muzaki dalam kaitan tugasnya sebagai amil
(6) Amil tidak boleh memberi hadiah kepada muzaki yang berasal dari
harta zakat.82 Dalam PP nomor 14 tahun 2014 disebutkan.
Pasal 67
(1) Biaya operasional BAZNAS dibebankan pada anggaran pendapatan dan
belanja negara dan Hak Amil.
(2) Besaran Hak Amil yang dapat digunakan untuk biaya operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan syariat
Islam dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, efektivitas, dan
efisiensi dalam Pengelolaan Zakat.
82 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Fatwa No. 13 Tahun 2011), hlm. 272.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn106 107
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
(3) Besaran Hak Amil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan
dalam rencana kerja dan anggaran tahunan yang disusun oleh BAZNAS
dan disahkan oleh Menteri.
Pengaturan tentang Hak Amil di atas lebih jauh dicantumkan juga
dalam Pasal 68, 69 dan 70 sebagai berikut:
Pasal 68
(1) Anggota BAZNAS, pimpinan BAZNAS propinsi, dan Pimpinan BAZNAS
kabupaten/kota diberikan hak keuangan sesuai dengan tugas dan
fungsinya;
(2) Anggota BAZNAS, pimpinan BAZNAS propinsi, dan Pimpinan BAZNAS
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan
uang pensiun dan/atau pesangon setelah berhenti atau berakhir masa
jabatannya;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak keuangan anggota BAZNAS diatur
dengan Peraturan Presiden;
(4) Ketentuan mengenai hak keuangan pimpinan BAZNAS propinsi,
dan Pimpinan BAZNAS kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
(1) Biaya operasional BAZNAS propinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibeban-
kan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan Hak Amil;
(2) Biaya operasional BAZNAS propinsi dan BAZNAS kabupaten/kota yang
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah meliputi:
a. hak keuangan pimpinan BAZNAS propinsi dan BAZNAS kabupaten/
kota;
b. biaya administrasi umum;
c. biaya sosialisasi dan koordinasi BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ
propinsi; dan
d. biaya sosialisasi dan koordinasi BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ
Kabupaten/kota.
(3) Biaya operasional selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibebankan kepada Hak Amil;
(4) Besaran Hak Amil yang dapat digunakan untuk biaya operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan syariat
Islam dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, efektivitas, dan
efisiensi dalam Pengelolaan Zakat.
(5) Penggunaan besaran Hak Amil sebagaimana dimaksud pada ayat 93)
dicantumkan dala rencana kerja dan anggaran tahunan yang disusun
oleh BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota dan disahkan
oleh BAZNAS.
Pasal 70
Pembiayaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dapat diberikan kepada BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota apabila pembiayaan operasional yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah tidak mencukupi.
SEKITAR AmIL & KEAmILAn108 109
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Penulis tidak ingin menduga, atau menduga-duga apalagi
berspekulasi tentang besaran kisaran atau kisaran besaran gaji/imbalan/
honorarium (atau apapun sebutannya) Amilin. Pasalnya ? Sependek
pengetahuan penulis, selain karena belum/tidak ada aturan yang jelas
apalagi tegas tentang hak-hak Amilin zakat, juga disebabkan masih
terbilang sulit untuk memperoleh informasi konkrit tentang kisaran hak
Amilin pada umumnya. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan hak Amilin
itu bervariasi tentang jumlah – besaran maupun bentuk-bentuk atau
komponen-komponennya. Yang jelas, terbuka kemungkinan berbeda antara
lembaga amil yang satu dan lembaga amil yang lain. Perihal perbedaan
hak keuangan (gaji, fee. ujrah, honorarium, uang kehormatan atau apapun
namanya) sejatinya tidak hanya terjadi di kalangan para amilin, mengingat
pada saat yang bersamaan urusan ketidak-samaan kebijakan dan kebajikan
honor-menghonor atau gaji – menggaji ini juga terjadi di lembaga-lembaga
keuangan non zakat sekalipun.
Pastinya, dalam menghimpun dana ZIS, setiap organisasi Pengelola
Zakat (oPZ) harus memiliki sistem kinerja yang terukur. Untuk meningkatkan
kinerja penghimpunan dana ZIS, oPZ perlu memiliki standardisasi layanan
yang prima. Kinerja oPZ terutama dalam penghimpunan dana ZIS harus
dimulai dari kinerja internal (Amil dan manajemen) sehingga menghasilkan
layanan yang berkualitas. Yang pertama-tama harus diperhatikan adalah
kepuasan Amil dalam menjalankan aktivitasnya sehingga keikhlasan dalam
bekerja bukan hanya tuntutan semata. oleh karena itu Amil yang full time
perlu dihargai jasanya secara profesional.83
83 Indonesia Magnificence of Zakat dan Pusat Ekonomi Bisnis Syariah FE-UI, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, hlm. 113.
Di antara pertanyaan yang agak sering penulis terima di lapangan
ialah tentang hukum boleh-tidaknya memberikan bonus tersendiri bagi
Amil zakat yang dalam jangka waktu tertentu mampu menghimpun dana
ZIS dalam kisaran jumlah tertentu atas dasar kerja keras Amil. Pertanyaan
ini timbul agaknya “terinspirasi” oleh kebijakan dan kebajikan lembaga jasa
keuangan yang terbiasa memberikan bonus khusus bagi sub-sub lembaga
dan/atau pegagawai tertentu yang mampu mencapai penghimpunan dana
dalam jumlah tertentu sebagaimana yang telah ditargetkan sebelumnya.
03 Pengelolaan Dana zis
PEnGELOLAAn DAnA ZIS112 113
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Keadilan yang merata, dan pemerataan yang adil, merupakan
dua hal esensial dalam prinsip pengelolaan ekonomi dan keuangan
Syariah
(mAS)
A. Sekilas Sejarah Pengelolaan Dana ZIS
Sejatinya penulis sedikit – banyak merasa kesulitan untuk
membedakan apalagi memisahkan antara amilin dengan lembaga pengelola
dana ZIS, sebab Amilin itu adalah para pengelola zakat, dan pengelola
zakat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Amilin itu sendiri. Penggunaan
kata “al-‘ámilina ‘alaihá” dalam Al-Qur’an (surah al-taubah (9): 60) yang
menggunakan kata jamak (plural) sejatinya mengisyaratkan koletifitas
pengelolaan dana zakat yang berarti berbentuk/bersifat kelembagaan
(institusi) itu; meskipun pada saat yang bersamaan digunakan pula kata
Amil (tunggal) yang memungkinkan ada Amil yang bersifat personal
sebagaimana tercermin dalam Al-Hadis yang menggunakan kata tunggal
(‘ámil). Sebagaimana juga disinggung di tempat lain dalam buku ini, bahwa
lembaga keamilan – apapun nama atau sebutannya -- memiliki fungsi
penting dan strategis dalam pengelolaan dana zakat secara profesional,
prosedural dan proporsional, yang itu semua hanya akan terlaksana
manakala ada Amilin yang bersifat institusional.
Begitu urgen eksistensi Amil/Amilin zakat berikut kelembagaannya
itu, sampai-sampai Al-Qur’an menempatkan kedudukan “wal-‘ámilína
‘alaihá” pada urutan ketiga (setelah fukara dan masakin) dan sebelum ashnaf
yang lain-lain (mu’allafah qulúbuhum, riqáb, ghárimín,sabílillah dan ibnus-
sabíl) dalam tertib urut-urutan pengelompokan mustahiqqín zakat.84 Bukti
lain dari keberadaan Amil, Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang
Amil resmi pertama yang “ditunjuk” Allah SWt, dibantu oleh beberapa
orang atau sejumlah sahabat yang kemudian pada gilirannya melahirkan
institusi keamilan. Institusi keamilan inilah yang kemudian diwariskan
kepada/diwarisi oleh generasi-generasi umat yang berikutnya mulai dari
generasi sahabat, tabi’in, tabiut-tabi’in, dan seterusnya sampai kini dengan
segala penyesuaian, perubahan, dan bila perlu bahkan pembaruan atau
modernisasi.
Lepas dari keyakinan bangsa Arab pra Islam yang kebanyakan tergolong
ke dalam kaum kafir musyrikin dan sedikit kafir Ahli Kitab,85 yang jelas dalam
banyak hal bangsa Arab telah pula mengenal tatanan sosial dalam urusan
sosial kemasyarakatan atau bahkan pemerintahan. termasuk dalam urusan
sosial ekonomi dan keuangan di samping sosial kemasyarakatan lain pada
umumnya meskipun belum mengenal institusi zakat secara khusus. Bangsa
Arab di Makkah terutama tatkala kaum Quraish – sebuah klan (kabilah) dari
mana Nabi Muhammad SAW berasal-usul – di bawah kepemimpinan Qushai
mengambil-alih kepemimpinan politik dari suku Khuza’ah. Setidaknya, kala
itu sudah ada 10 macam jabatan tinggi “pemerintahan” yang dibagi-bagikan
kepada kabilah-kabilah suku Quraish, yaitu:
84 Periksa Al-Qur’an surah al-Taubah (9): 60.
85 Al-Qur’an menyebutkan 2 macam kelompok kafir yakni kafir ahli Kitab dan kafir musyrik dan sekaligus membedakan antara keduanya (Q.S. al-Bayyinah (98): 1.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS114 115
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
a. Hijabah, yang bertugas sebagai penjaga kunci Kakbah;
b. Siqayah, penjaga air mata sumur Zam-Zam;
c. Diyat, yang membidangi kekuasaan kehakiman sipil maupun pidana;
d. Sifarah, kuasa negara atau Duta Besar;
e. Liwa’, jabatan kemiliteran/ketentaraan;
f. Rifadah, pengelola pajak bagi fakir – miskin;
g. Nadwah, jabatan ketua dewan;
h. Khaimman, pengurus balai permusyawaratan;
i. Azlim, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendawat para
dewa;86
Jika demikian halnya, maka tidaklah mengherankan manakala di
zaman Rasul Allah SAW telah dikenal pula beberapa nama jabatan dalam
hal pengelolaan dana Zakat. Di antara jabatan-jabatan yang dimaksudkan
ialah:
Katabah, semacam bagian yang diserahi tugas utama untuk
mencatat daftar nama muzaki, munfik dan mutasadik;
Hasabah, dengan tugas utama sebagai juru taksir (hitung) nishab
(batas minimal kena zakat) dan miqdár al-zakáh (besaran nilai kena wajib
zakat);
Jubah, bagian yang diserahi tugas untuk mengutip atau menarik
zakat dari muzaki, menerima infak dari munfik dan/atau sedekah dari
mutasadik;
86 Abdurrahman bin Abdul Karim, Kitab Sejarah Nabi Muhammad SAW, hlm. 33.
Khazanah, bagian yang diberikan kepercayaan untuk memelihara
(sementara) harta zakat, infak dan sedekah yang diterima dari muzaki,
munfik dan mutasadik sebelum diserah-terimakan kepada para penerima
manfaat;
Qassamah, bagian yang diamanati untuk menyerah-terimakan dana
ZIS secara langsung kepada para mustahik (dahulu belum ada rekening
perbankan sebagaimana dikenal di zaman modern sekarang);
Pembantu umum, yang bertugas membantu semua bagian yang
disebutkan di atas, misalnya pelaksana juru timbang, pembawa hewan/
benda zakat, dan lain-lain.
terkait dengan lembaga keamilan dan para pejabat amilin di
zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafá’ al-Rasyidín (Abu Bakar al-
Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhum), penulis sudah pernah membahasnya dalam tulisan
lain. Ringkasannya:
Pertama, untuk menangani persoalan zakat, di samping Nabi
Muhammad SAW sendiri menempatkan dirinya sebagai Amil, Nabi juga
mengangkat beberapa orang sebagai pejabat Amilin yang membantu
Nabi.
Kedua, pengangkatan pejabat Amilin tidak hanya dilakukan untuk
kepentingan pemerintah pusat, akan tetapi juga untuk Amilin tingkat
daerah. Manakala Nabi memosisikan dirinya sebagai Amil di tingkat
pemerintahan pusat (Madinah), maka Mu’adz bin Jabal dan Anas bin Malik
keduanya diangkat sebagai pejabat Amil asing-masing untuk di wilayah
PEnGELOLAAn DAnA ZIS116 117
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Yaman dan wilayah Bahrain. Demikian pula halnya dengan masa-masa
kekhalifahan Abu Bakar as-Shidiq yang menempatkan dirinya sebagai
Amil Pusat di Madinah yang lalu kemudian diserahkan kepada Umar bin
Al-Khaththab untuk menanganinya; sedangkan pada saat yang bersamaan
Abu Bakar juga memperpanjang jabatan Anas bin Malik di Bahrain yang
sebelumnya diangkat oleh Nabi dan telah berakhir masa jabatannya.
Ketiga, dalam hal pengangkatan pejabat Amil, baik Nabi Muhammad
SAW maupun Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra, keduanya tampak memilih
Amilin yang benar-benar terpercaya/jujur (amanah) di samping pejabat
yang memiliki pengetahuan syariah yang mumpuni. Baik Anas bin Malik
maupun Mu’adz bin Jabal, bahkan juga Ali bin Abi thalib dan Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu ‘anhum, adalah sahabat-sahabat terkemuka yang
sifat amanahnya sudah teruji dan terbukti, serta kealimannya dalam bidang
syariah dan kesyariahan yang sangat mumpuni.
Keempat, Amilin zakat pada dasarnya harus bertindak pro aktif
dalam melakukan penarikan zakat sebagaimana diamanatkan Al-Qur’an
antara lain dalam surah al-taubah (9): 103 dan instruksi Nabi Muhammad
SAW kepada Mu’adza bin Jabal ra, Amil yang bertugas di Yaman yang
diwanti-wanti untuk memungut zakat dari kaum kaya (aghniyá; the have),
untuk kemudian didistribusikan kepada kaum dhuafa (fakir – miskin; the
have not/poor). Demikian pula halnya dengan instruksi Abu Bakar kepada
Anas bin Malik.
Kelima, distribusi hasil penghimpunan dana zakat wilayah, pada
dasarnya harus dialokasikan/didistribusikan kepada mustahik atau para
penerima manfaat yang ada di wilayah/daerah setempat; meski tidak
berarti sama sekali tidak boleh untuk mengalihkannya ke wilayah/daerah
lain yang lebih membutuhkan sejauh tidak mengurangi hak-hak mustahik
setempat. Instruksi Nabi Muhammad SAW kepada Amil Yaman – Mu’adz
bin Jabal yang namanya pernah disebut sebelum ini, mengisyaratkan
kebijakan alokasi dana zakat dari dan untuk wilayah/daerah setempat.
Keenam, baik Nabi Muhammad SAW maupun Abu Bakar al-Shiddiq
ra, keduanya memberikan instruksi dan informasi yang tegas dan jelas
tentang bagaimana seharusnya pengelolaan dana Zakat itu dilaksakan oleh
Amilin yag ditugasi. Abu Bakar al-Shiddiq bahkan pernah mengirimkan
surah resmi kepada Amil bernama Anas bin Malik terkait dengan obyek
zakat berikut nishab dan miqdarnya dalam tulisan yang cukup panjang
dan rinci. Begitu pula dengan kepercayaan Abu Bakar kepada Umar bin
Khaththab yang diserahi tugas dan kepercayaan untuk “mengelola” dana
zakat di mana Abu Bakar tidak mencampuri kewenangan yang telah
diberikannya kepada Umar bin al-Khaththab. Meskipun suatu waktu Umar
pernah merobek “secercik surah” – semacam katebelece dalam istilah
sekarang – yang disodorkan salah seorang oknum sahabat yang karena
kelihaiannya berhasil “memperdaya” Khalifah Abu Bakar dan dengan
sehelai kertas itu bermaksud memperdayakan Umar pula, namun Umar
tetap bergeming pada pendiriannya untuk tidak memberikan dana ZIS
kepada oknum sahabat yang mau memanipulasi dana zakat dimaksud.
Ketujuh, baik Nabi Muhammad SAW maupun Abu Bakar al-Shiddiq
ra, dan bahkan pula Umar bin al-Khaththab, ketiganya menekankan disiplin
yang tinggi kepada Amilin supaya benar-benar melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya secara profesional, prosedural dan proporsional. Di
PEnGELOLAAn DAnA ZIS118 119
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
antara pesannya ialah tidak boleh menunda-nunda pekerjaan yang bisa
diselesaikan pada hari ini lalu ditunda untuk hari esok.87
Hal yang sama juga dilakukan oleh penggantinya, Khalifah Umar
bin al-Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abi thalib, dan pada masa-
masa Bani Umayyah terutama Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 - 97/98
H/682 – 720/721 M) yang bergelar Khalifah Umar II yang menjadi Khalifah
Cuma dua sampai 3 tahun saja (717 – 719/720 M), selama lain-lainnya.
Dari pemaparan jabatan Amilin dan lembaga Pengelolaan zakat di
atas, dapatlah disimpulkan bahwa secara substantif, jabatan pengelolaan
dana ZIS dan wakaf (ZIS-WAF), terus dipertahankan oleh para khalifah
pengganti Nabi Muhammad SAW, dengan mengalami perubahan dan
modivikasi sesuai dengan kebutuhan dan keadaan. Meskipun sistem ketata-
negaraan dan pemerintahan Islam telah berubah dari zaman kekhilafahan
yang menyatu dan lalu menjadi negara-negara nasional sebagaimana yang
berlanjut hingga sekarang, institusi zakat tetap eksis meski harus mengalami
pasang surut dalam pertumbuhan dan perkembangannya. termasuk dengan
pengelolaan zakat dan kelembagaannya di Indonesia yang dari waktu ke
waktu mengalami perubahan dan perkebangan secara pasang dan surut.
Kecuali satu dua lembaga pada satu dua atau di beberapa tempat
yang sifatnya lokal, pengelolaan zakat di Indonesia pada masa-masa lalu
(terutama pada masa-masa penjajahan hingga setengah abad setelah
proklamasi kemerdekaan), secara umum dan garis besar dapat dikemukakan
sebagai berikut:
87 Muhammad Amin Suma, Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif Sejarah (Masa Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafá’ al-Rásyidún) dalam Problematika Zakat Kontemporer, hlm. 55 – 71.
Pertama, pengelolaan zakat dilakukan oleh “Amil” yang bersifat
perorangan semisal melalui tokoh agama (Kiyai, Ustadz, tuan Guru, Ajengan,
Guru Ngaji, Guru Madrasah), dukun anak, dan/atau perseorangan lainnya.
Hal ini disebabkan kebanyakan umat waktu itu masih belum memahami
benar tentang potensi apalagi fungsi zakat bagi kesejahteraan sosial umat
secara adil dan merata khususnya bagi kaum fukara dan masakin;
Kedua, pengelolaan zakat – mulai dari penghimpunan/pembayaran,
hingga pendistribusiannya dilakukan secara tradisional dan lokal sifatnya.
Kalaupun dibentuk kepanitiaan zakat, selain sumber daya insaninya yang
sangat terbatas (kuantitas maupun terutama kualitasnya); umumnya Amilin
juga bersikap pasif dalam mensosialisasikan zakat maupun penerimaan
dan bahkan pendistribusiannya. Dengan kalimat lain, pengelolaan zakat
dilakukan seadanya dan sejalan-jalannya. Panitia zakat yang bisa disebut
dengan panitia zakat musiman (tahunan), umumnya – maaf -- cuma duduk-
duduk manis di serambi masjid atau mushalla setelah mengumumkan
nama-nama panitia penerima dan/atau penyalur zakat melalui pengeras
suara (corong speker) mushalla atau masjid. Itupun waktunya sangat
terbatas misalnya bakda asar sampai maghrib, dan/atau bakda shalat isya
dan tarawih yang tidak tergolong lama.
Ketiga, umumnya panitia tidak memiliki laporan utuh apalagi
menyeluruh tentang pengelolaan dana ZIS. Apalagi pelaporan kepada
publik (khususnya para muzaki) tentang pengelolaan dana zakat itu
sendiri mulai dari penghimunan (berapa jumlah dana ZIS yang terhimpun
?), pendayagunaan (kepada siapa saja didistribusikan atau siapa-siapa saja
mustahiknya ?). Apakah masih tersisa atau sudah habis terbagi secara
keseluruhan ? Intinya, tidak ada dokumentasi pengelolaan dana ZIS yang
memadai sebagaimana yang kini dituangkan di dalam undang-undang.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS120 121
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Keempat, umumnya Amilin dan muzaki kala itu, lebih berorientasi
kepada zakat fitrah dan sedikit zakat mal; belum ada Amilin dan/atau
muzaki yang lebih berorientasi kepada zakat mal apalagi zakat profesi/
zakat penghasilan (al-amwál al-mustafádah). Zakat profesi/penghasilan di
Indonesia memang belum lama dikenal oleh masyarakat luas. termasuk
di kalangan para ulamanya sendiri. Bahkan, sampai sekarang ini masih
terdengar sayup-sayup suara-suara yang “menggugat” keabsahan hukum
zakat profesi dengan menagih dalil-dalil an-nushúsh-nya (Al-Qur’an dan
Al-Hadis).
Kelima, belum/tidak ada peduli Negara (Pemerintah) terhadap
urusan pengelolaan zakat; dengan alasan utama karena negara ini bukan
negara agama atau lebih tepatnya bukan negara Islam sehingga pemerintah
tidak memiliki kewenangan atau tepatnya tidak memiliki kemauan untuk
mengurusi secara langsung (formal) hal-hal yang berhubungan dengan
urusan (pengamalan) agama.
Walaupun hal-hal yang dikemukakan di atas dapat dikatakan
sebagai keadaan yang dipandang salah dari sudut pandang pengelolaan
zakat sekarang, namun tentu saja kesalahan-kesalahan ini tidak bisa
ditimpakan kepada siapapun, baik kepada para muzaki dan mustahikkin,
maupun kepada Amilinnya. termasuk Amilin perseorangan yang disebutkan
sebelum ini. Pasalnya ? Di antara penyebabnya, dahulu umumnya tokoh/
guru agama yang disebutkan sebelum ini kebanyakan tidak memperoleh
gaji atau bayaran pasti dari siapapun, baik pemerintah maupun umat dan
masyarakat. Para guru ngaji di kampung-kampung88 atau para ulama/
88 Alhamdulilah kedua orang tua penulis (Ibu dan terutama ayah) adalah guru ngaji (Al-Qur’an) di kampung kelahiran penulis, yaitu Kampung Cilurah, Desa Kepuh Kecamatan Ciwandan (dulu Kecamatan Anyar) – Kota Cilegon (dulu Kabupaten Serang) yang dalam kurun waktu yang cukup panjang. Setiap bulan Ramadhan, keduanya diberi dan menerima zakat fitrah (nyaris tidak ada
kiyai/ajengan yang mengasuh pondok-pondok pesantren, dapat dikatakan
sepenuhnya mandiri dalam hal pembiayaan pengajian Al-Qur’an dan/
atau pendidikan dan pengajaan agama. Kalaupun ada income semacam
pemberian seikhlasnya dari (sebagian) santri atau keluarganya kepada ahli-
ahli agama; selain jumlahnya yang tidak seberapa nilainya juga lantaran
penghasilannya yang tidak pernah menentu. Pada saat yang bersamaan,
Negara (Pemerintah) juga dapat dikatakan acuh tak acuh dengan urusan
pengelolaan zakat pada waktu itu.
Intinya, kelemahan pengelolaan zakat di masa lalu terjadi
karena dua faktor utama, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah kekurang fahaman atau rendahnya pengetahuan
dan keasadaran internal umat Islam tentang kewajiban zakat itu sendiri
berikut pengelolaannya; faktor eksternalnya adalah karena pemerintah
sendiri tidak menaruh perhatian apapun terhadap potensi zakat yang ada,
apalagi untuk memprakarsai pengelolaan zakat secara legal dan formal
sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Meskipun di sana sini terdapat
perbedaan tentang pengamalan zakat pada zaman pemerintahan jajahan
dengan pemerintahan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan; namun
nuansanya sama-sama dibiarkan dalam pengertian “tidak diatur” alagi
“diurus” oleh Negara. Apalagi di zaman penjajahan yang dengan sengaja
pemerintahnya menghambat pengelolaan zakat disebabkan ketakutan yang
berlebihan kalau-kalau dana zakat digunakan untuk “melawan” pemerintah
jajahan.
penerimaan zakat mal apalagi zakat profesi) dari penduduk kampung setempat terutama yang anak/anak-anaknya mengaji Al-Qur’an kepada Ayah dan/atau Ibu penulis. Jumlahnya dapat dikatakan tidak terlalu banyak meskipun tidak pula berarti sedikit dengan jumlah muridnya yang mencapai puluhan dan semuanya dalam bentuk beras. Jumlah beras yang bebera karung, itu alhamdulillah sebagian daripadanya dibagikan juga kepada fakir – miskin terutama anak-anak yatim.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS122 123
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Keadaan demikian sesungguhnya disadari benar oleh banyak
tokoh tokoh Islam maupun sebagian (kecil) tokoh bangsa dan negara dan
bahkan pengusaha dan pemegang otoritas lain-lainnya. Di antara buktinya,
Yayasan BAMUIS sebagaimana akan diuraikan nanti adalah salah satu dari
sedikit Badan/Lembaga Amil Zakat yang telah memelopori pengelolaan
zakat secara nasional dan profesional meskipun di sana-sini – kala itu
– tetap menghadapi/ dihadapkan pada beberapa permasalahan dalam
merealisasikan visi dan misinya. Berkat kesungguhan banyak orang/pihak
terutama tokoh-tokoh pergerakan dan para pejuang yang tidak pernah
mengenal lelah dan apalagi menyerah walaupun harus melalui perjuangan
berat dan bersabar sehingga memakan waktu yang cukup lama (lebih dari
setengah abad, 1945 - 1999), umat Islam Indonesia dan bangsa Indonesia
umumnya pada akhirnya bisa memiliki regulasi yang mengatur perihal zakat
dengan pengesahan dan pengundangan Undang-Undang Nomor 38 tahun
1999 sebagaimana yang kemudian diubah dan ditambah (diamandemen)
dengan UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolalan Zakat yang di
dalamnya diatur tentang organisasi pengelola zakat terutama Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) dan sedikit tentang Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Pengelolaan Zakat yang
baru disebutkan, maka dasar hukum keberadaan Amil/Amilin zakat berikut
pengangkatannya di Indonesia tidak lagi semata-mata berdasarkan pada
perintah agama (Al-Qur’an dan Al-Hadis); akan tetapi juga berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kalimat lain,
keberadaan Amilin zakat tidak semata-mata atas pengakuan wahyu dan
perintah hukum agama Islam (Syariah) dalam hal ini Al-Qur’an dan Al-
Hadis; akan tetapi juga sekaligus merupakan perintah atau amar peraturan
perundang-undangan dalam hal ini UU No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014
tentang Pelaksanaan UU No. 23. th. 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Kini, telah lahir pula beberapa peraturan lainnya yang bersifat teknis
operasional mulai dari Peraturan/Instruksi Presiden, Peraturan/Instruksi
Menteri, edaran Direktur Jenderal, Peraturan BAZNAS dan lain-lain
yang karena satu dan lain hal – terutama alasan teknis -- tidak sempat
disebutkan apalagi dibahas satu persatu di dalam tulisan ini.
Yang pasti, pengelolaan zakat pasca pemberlakuan Undang-
Undang Pengelolaan Zakat secara sumum dan keseluruhan dapat dikatakan
jauh lebih baik, lebih tertib, dan lebih terbuka (transparan) dibandingkan
dengan pengelolaan zakat sebelum kehadiran Undang-Undang Pengelolaan
Zakat. Baik dalam hal penghimpunan dan pendayagunaan, maupun dalam
hal pendistribusian dan terutama dalam hal pembukuan dan pelaporannya
kepada publik maupun terutama pemerintah dan pihak terkait lainnya.
Beda dengan keadaan sekarang di mana pengelolaan zakat diwajibkan oleh
undang-undang. Perhatikan Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat yang antara lain mengatur tentang Pelaporan sebagai
berikut.
Pasal 29
(1) BAZNAS kabupaten/kota wajib melaksanakan laporan pelaksanaan
pengelolaan Zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya
kepada BAZNAS propinsi dan pemerintah daerah secara berkala.
(2) BAZNAS propinsi wajib melaksanakan laporan pelaksanaan pengelolaan
Zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada
BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS124 125
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
(3) LAZ wajib melaksanakan laporan pelaksanaan pengelolaan Zakat,
infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS
dan pemerintah daerah secara berkala.
(4) BAZNAS wajib melaksanakan laporan pelaksanaan pengelolaan Zakat,
infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri
secara berkala.
(5) Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak
atau media elektronik.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan BAZNAS kabupaten/
kota, BAZNAS propinsi, LAZ, dan BAZNAS diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 tahun 2014 diatur
dengan lebih rinci lagi tentang KeDUDUKAN, tUGAS DAN WeWeNANG
BAZNAS dalam BAB II Pasal 2, dan terutama tentang PeLAPoRAN DAN
PeRtANGGUNG JAWABAN BAZNAS DAN LAZ tepatnya dalam BAB IX
Pasal 71 – Pasal 76 sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Pemerintah membentuk BAZNAS untuk melaksanakan pengelolaan
zakat;
(2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu
kota negara;
(3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
pemerintah nonstructural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab
kepada Presiden melalui Menteri.
Pasal 71
(1) BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas pelaksanaan
zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada
BAZNAS propinsi dan bupati/walikota setiap 6 (enam) bulan dan akhir
tahun.
(2) BAZNAS propinsi wajib menyampaikan laporan atas pelaksanaan zakat,
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS
dan gubernur setiap 6 (enam) bulan dan akhir tahun.
Pasal 72
(1) BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat,
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri
setiap 6 (enam) bulan dan akhir tahun.
(2) Selain laporan akhir tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
BAZNAS juga wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya
secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia paling sedikit satu 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
Pasal 73
LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat,
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan
Pemerintah daerah setiap 6 (enam) bulan dan akhir tahun.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS126 127
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Pasal 74
Perwakilan LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
Pengelolaan Zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya
kepada LAZ dengan menyampaikan tembusan kepada pemerintah daerah
dan kepala kantor wilayah kementerian agama propvinsi dan kepala kantor
kementerian agama kabupaten/kota.
Pasal 75
(1) Laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah dan dana sosial
keagamaan lainnyasebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 harus diaudit
syariat dan keuangan;
(2) Audit syariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.
(3) Audit syariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
akuntan publik.
(4) Laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah dan dana
sosial keagamaan lainnya yang telah diaudit syariat dan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada
BAZNAS.
Pasal 76
Laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal
73 memuat akuntabilitas dan kinerja pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak,
sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya.
b. Jabatan Amilin, Amanat berat namun Terhormat
tidak diragukan lagi bahwa tugas keamilan adalah amanat yang
wajib dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kita tahu dan sadar dengan
sesadar-sadarnya bahwa tugas atau “profesi” amilin adalah amanat yang
berat terutama dalam memberikan kepuasan kepada muzaki, munfik dan
mutasadik; di samping memberikan kepuasan layanan kepada para Mustahik.
Belum lagi terkait dengan tanggung jawab lain-lain termasuk dari control
sosial yang secara langsung maupun tidak langsung serta sengaja atau
tidak sengaja juga turut memantau dan/atau peduli akan kinerja lembaga
atau badan amil zakat. Lepas dari semua hal-hal yang berat itu, dipastikan
bahwa tugas keamilan adalah tetap mulia selama kita jalankan dengan
rasa tanggung-jawab dan tulus ikhlas. terutama sebagai amanat Allah dan
rasul Nya yang harus kita laksanakan, dan tidak boleh disia-siakan, apalagi
disalah-gunakan. Mari kita renungkan kalam Allah SWt di bawah ini.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu (umat Islam) supaya menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (juga menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada
kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(Al-Nisá’ (4): 58).
PEnGELOLAAn DAnA ZIS128 129
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Di antara kata kunci yang terdapat dalam ayat di atas ialah
kata “al-amánát.” Al-amánát adalah jamak dari kata tunggal “amánatun.“
Artinya segala sesuatu yang mutlak-harus dijaga/pelihara (al-syay’ al-latí
tuhfazh). Dalam beberapa kamus Indonesia, amanat diartikan dengan: (1)
sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain (2) keamanan;
ketenteraman (3) dapat dipercaya (boleh dipercaya).
Sesuai dengan pengertian harfiahnya di atas, maka amanat
sejatinya meliputi semua dan setiap hal yang harus kita jaga dengan sebaik-
baiknya. termasuk amanat keamilan yang mutlak harus dilaksanakan oleh
para amil zakat. Penggunaan kata jamak (al-amánát) dalam ayat di atas,
mengisyaratkan jenis/bentuk amanat yang demikian banyak macam dan
jenisnya. Mulai dari amanat individu yang ada dalam diri (semua anggota
badan) dan keluarga kita, sampai kepada amanat yang berhubungan dengan
kehidupan sosial kemasyarakatan serta kehidupan beragama, berbangsa
dan bernegara Indonesia. Bahkan dalam konteks kehidupan yang berskala
dunia (internasional) Sebagaimana diamanatkan kitab suci agama maupun
konstitusi bangsa.
Khusus bagi pengurus Lembaga/Badan Amil Zakat, Infak dan
Sedekah – dalam teks dan konteks tulisan ini – Lembaga Zakat, Infak, dan
Sedekah Yayasan Baitul Mal Umat Islam Bank Negara Indonesia (LAZIS –
BAMUIS BANK BNI), dipastikan termasuk ke dalam kata “al-amánát” ini.
Pasalnya ? tugas dan kewajiban amilin sebagai penghimpun, pengelola,
pengatur dan pendayaguna dana ZIS untuk disampaikan kepada para
mustahik (delapan ashnaf) yang berhak menerimanya. Dengan demikian
maka yang dimaksud dengan kalimat “an tu’addú al-amánáti ilá ahlihá
ialah supaya amanat pengelolaan dana ZIS itu benar-benar sampai kepada
yang berhak menerima (para mustahik). Allah memberikan pembelajaran
yang sangat baik tentang segala hal, termasuk terkait dengan tugas,
tanggung jawab dan wewenang yang dipercayakan kepada amilin, yang
tugas dan kewajiban utamanya sebagaimana termaktub dalam Undang-
Undang adalah:
a. Menghimpun;
b. Mengadminstrasikan;
c. Mengelola;
d. Mendistribusikan;
e. Mendayagunakan;
f. Melaporkan;
Dana ZIS yang diterima dari/diterima kan oleh para muzaki, munfik,
dan mutasadik terutama mereka yang ter atau bergabung dalam lingkungan
pejabat, pegawai, karyawan-karyawati Bank Negara Indonesia (BNI) yang
beragama Islam dan/atau umat lainnya yang ada dalam lingkungan Bank
Negara Indonesia seperti para pensiunan BNI dan/atau bahkan sebagian
nasabah Bank BNI 46.
Ad. a, Menghimpun maksudnya ialah mengumpulkan dana ZIS dalam
hal ini oleh BAMUIS dari karyawan Bank BNI khususnya dan/atau
masyarakat umum (umat Islam) pada umumnya melalui mekanisme
yang telah dijalankan selama ini.
Ad. b, Mengadministrasikan, maksudnya ialah menjalankan kegiatan usaha
dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-
cara penyelenggaraan pembinaan organisasi dalam hal ini BAMUIS;
melakukan usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pembinaan organisasi untuk mencapai tujuan BAMUIS, menjalankan
PEnGELOLAAn DAnA ZIS130 131
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
kegiatan kantor dan sekretariat atau tata usaha BAMUIS. termasuk
ke dalam pengadministrasian ialah kegiatan catat-mencatat dan
mengarsipkan segala sesuatu yang tertulis oleh BAMUIS;
Ad. c, Pengelolaan, ialah proses yang membantu perumusan tujuan BAMUIS
berikut melakukan pengawasan terhadap semua hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas utama dan pencapaian tujuan BAMUIS.
Ad. d, Mendistribusikan, maksudnya adalah menyalurkan dana ZIS BAMUIS
kepada para mustahik;
Ad. e, Pendayagunaan dan/atau pemanfaatan dana ZIS adalah pengusahaan
agar dana ZIS BAMUIS benar-benar mendatangkan manfaat bagi para
Mustahik yang delapan ashnaf sebagaimana dipatok Al-Qur’an dalam
surah al-taubah (9) ayat 60 yang diperkuat oleh beberapa ayat lain
dan hadis. Yang dimaksud dengan pendayagunaan dana ZIS adalah juga
pemanfaatan dana ZIS sesuai dengan rancangan anggaran pendapatan
dan pengeluaran dana ZIS yang disusun berdasarkan Rapat Anggaran
tahunan Amil Zakat.
Ad. f, Pelaporan dana ZIS oleh BAMUIS sekurang-kurangnya disampaikan
kepada (1) BAZNAS (2) Kementerian Agama RI (3) para muzaki
BNI khususnya dan kepada semua muzaki pada umumnya dan (4)
mengarsipkan pelaporan dimaksud sebagaimana mestinya.
Amanat sebagaimana dikemukakan di atas, tentu saja tidak
boleh disalah-gunakan apalagi dikhianati; sebab mengkhianati tugas dan
kewenangan keamilan dalam BAMUIS atau di mana pun, termasuk ke dalam
larangan perilaku khianat yang diharamkan Allah dan/atau mengkhianati
Rasul Nya. Perhatikan kalam Allah dan sunah Rasul Nya sebagaimana
termaktub dalam ayat bawah ini:
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
(mengkhianati) Rasul Nya (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu, sedangkan
kamu mengetahui
(Al-Anfál (8): 27).
Ayat ini pada intinya melarang orang-orang beriman dari
kemungkinan menciderai amanat yang dipercayakan kepadanya; termasuk
di dalamnya amanat keamilan yang diemban oleh para Amil/Amilin zakat.
Sebab, bahasa Al-Qur’an pada dasarnya menganut asas satu untuk semua
orang dan semua urusan (one book for all). Maksudnya, satu Qur’an, satu
surah, satu ayat, satu kalimat dan/atau bahkan satu huruf untuk semua
orang dan untuk semua/setiap urusan selama tidak ada pengkhususan
(takhshísh/lex spesialis) yang membatasi/ mengecualikan. termasuk larangan
pengkhianatan terhadap profesi – dalam hal ini profesi Amil -- sebagaimana
tersirat maupun tersurah pada kata-kata “la-takhúnúlláha wa-al-rasúla”
dan “wa-takhúnú” ay “wa-lá takhúnú amánátikum” = dan janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu.
Berdasarkan ayat di atas, dan beberapa ayat lain yang senada
dengannya meskipun karena satu dan lain hal tidak sempat dikutipkan
PEnGELOLAAn DAnA ZIS132 133
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
di sini,89 dapat diketahui bahwa penyalah-gunaan dana ZIS dari yang
semestinya (menyimpang dari tuntunan syariat Islam) termasuk ke dalam
tindakan pengkhianatan terhadap Allah, pengkhianatan terhadap Rasul,
dan bahkan pengkhianatan terhadap diri Amil sendiri berikut lembaga
keamilannya dalam hal ini Badan/Lembaga Amil Zakat. Kita harus berusaha
dan memohon perlindungan kepada Allah SWt dari kemungkinan berlaku
khianat sebagaimana dilarang tegas oleh ayat di atas.
C. mengenali Kriteria mustahik dengan baik dan benar
Berdasarkan pengalaman yang ada selama ini, penulis akhirnya
sampai pada kesimpulan bahwa di antara hal penting yang mutlak harus
diketahui Amil dengan baik dan benar serta cermat ialah mengenali para
mustahik dan/atau bahkan orang/pihak lain di luar mustahik sendiri –
termasuk muzaki dan bahkan Amilin -- sebagaimana termaktub dalam Al-
Qur’an yang dikutibkan di bawah ini.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang
89 Perhatikan misalnya surah al-Nisá’ (4): 105 dan al-Anfál (8): 58.
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
(At-Taubah (9): 60).
Hampir dapat dipastikan bahwa semua Amilin pada dasarnya
berkewajiban untuk minimal secara umum dan keseluruhan mengetahui
dan mengenali secara baik dan benar delapan kelompok sosial (tsamaniyatu
ashnáf) penerima zakat sebagaimana diamanatkan Al-Qur’an terutama
dalam surah al-taubah (9): 60, yakni (1) fuqará’ = orang-orang fakir (2)
masákín = orang-orang miskin (3) al-‘ámilina ‘alaihá = amilin yang bertugas
dan berkewajiabn sebagai pengelola zakat (4) al-mu’allafati qulúbuhum =
orang yang (diduga kuat) hatinya bisa terketuk untuk memeluk agama
Islam (5) riqab = pemerdekaan budak dan/atau pemberdayaan orang-orang
yang diperbudak oleh oknum-oknum tertentu (6) al-ghárimín = orang-orang
yang terlilit utang (al-madínín; para debitur) demi memenuhi kebutuhan
hidupnya yang primer (dharúrí) atau untuk kepentingan umat dan
masyarakat umum (7) sabilillah = untuk kepentingan di jalan Allah seperti
di bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, pertahanan dan keamanan,
dakwah Islamiah dan lain-lain (8) ibnu sabil = orang dan/atau orang yang
terlantar di perjalanan (dalam maupun luar negeri), termasuk anak-anak
yang terlantar (anak-anak jalanan), gelandangan, pengemis, orang-orang
lansia dan lain sebagainya yang benar-benar layak mendapatkan untuk
diterimakan hak-hak ZIS-nya bagi mereka.
Ayat di atas sudah menyebutkan secara pasti dan lengkap delapan
kelompok sosial penerima manfaat dana ZIS dan dana-dana kesejahteraan
PEnGELOLAAn DAnA ZIS134 135
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
lain-lainnya, yang dengan pemilahan ke dalam delapan ashnaf para
mustahik zakat, itu dipastikan tidak akan ada kelompok sosial – utamanya
fukara dan masakin -- yang tidak tertampung dalam salah satu dari delapan
macam mustahikin di atas. Hanya saja, dalam praktiknya akan tetap timbul
atau “salah-salah” bisa memicu perbedaan dan perdebatan pendapat di
kalangan Amilin bahkan para ulama terkait dengan penetapan kepastian
para mustahik ini dalam kriteria riilnya bagi masing-masing mustahik yang
disebutkan.
Ambil contoh misalnya perbedaan pendapat para ulama tentang
pemaknaan kelompok “al-mu’allafah qulúbuhum.”90 Di antaranya ada yang
memahaminya dengan kelompok orang yang dengan pembagian dana
zakat itu mereka diharapkan bisa (tertarik) masuk Islam sebagaimana
Nabi pernah memberikan sebagian harta ghanimah (rampasan perang)
dalam perang Hunain91 kepada Shafwan bin Umayyah, padahal Shafwan itu
sendiri adalah seorang kafir musyrik. Sebagian mereka bisa juga difahami
atau memahaminya dengan orang-orang yang sudah Muslim namun belum
baik keislamannya. Dengan pemberian dana zakat, orang-orang Muslim
semacam ini diharapkan lebih bergairah lagi keislamannya sehingga lebih
berkualitas lagi untuk dirinya maupun untuk agama Islam sendiri.
Bisa juga kata “al-mu’allafah qulúbuhum” diartikan dengan
pemberian dana zakat kepada oknum-oknum non Muslim tertentu yang
dengan pemberian itu diharapkan para tetua atau kepala-kepala suku
-- misalnya -- masuk Islam; atau minimal tidak memusuhi Islam apalagi
sampai membahayakan umat Muslimin. Ibn taymiyyah (1263 – 1328 M/661
90 Husein bin ‘Audah al-wayusyah, al-Mausú’ah al-Fiqhiyyah fí-Fiqh al-Kitáb wa-al-Sunnah al-Muthahharah, jil. 3, hlm. 112 – 114.
91 Perang Hunain terjadi pada 630 M/8 H.
– 728 H.) sambil mengutip pendapat mufasir kenamaan Ibn Jarir al-thabari
(224 – 310 H), mengatakan bahwa yang tepat, Allah SWt memfungsikan
shadaqah (zakat) itu dalam dua konteks, yakni: untuk mengokoh-kuatkan
persaudaraan kaum muslimin (sadd khullah al-muslimín) pada satu sisi, serta
mewujudkan pertolongan Islam dan menguatkannya (ma’únah al-Islám wa-
qawiyyatuh).92
Hal lain yang perlu diingatkan juga di sini ialah bahwa kecuali
kelompok amilin yang status “kemustahikkannya” lebih disebabkan
penghormatan atas keilmuan, keahlian, tenaga dan/atau jasanya sebagai
pengelola yang memiliki tanggung-jawab; tujuh kelompok sosial mustahik
lainnya (di luar Amilin yakni: fuqará’, masákín, mu’allafah qulúbuhum, riqáb,
ghárimín, sabíliláh dan ibnu sabil) keberhakannya lebih didasarkan pada
faktor kefakiran dan/atau kemiskinan di samping kebutuhan mendesak
yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa dalam strata klasifikasi
tsamániyatu ashnáf ini tidak terdapat kelompok anak-anak yatim (yatámá),
para janda dan lansia. Status kemustahikan anak yatim, begitu pula dengan
janda dan lansia, lebih didasarkan pada illat hukum (alasan logis) kefakiran
atau kemiskinan serta kebutuhannya yang mendesak daripada keyatiman
atau kedhuafaannya. Logikanya, jangankan anak yatim yang fakir atau
miskin yang karenanya maka harus diberikan haknya; sedangkan orang
dewasa saja berhak menjadi mustahik zakat manakala dia benar-benar fakir
atau miskin. Sebaliknya, jangankan orang-orang kaya dewasa, anak-anak
sekalipun (termasuk anak yatim tentunya) paling tidak menurut sebagian
ulama tetap dikenai wajib zakat manakala yang bersangkutan (yatim, janda
dan lansia) itu memiliki harta kekayaan yang sudah mencapai nishab.
92 Husein bin Audah al-‘Awayusyah, al-Mausú’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah fí Fiqh al-Kitáb wa-al-Sunnah al-Muthahharah, jil. 3, hlm. 112-114.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS136 137
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Masih terkait dengan anak yatim yang tidak serta-merta menjadi
mustahik, alasannya karena belum tentu semua apalagi setiap anak yatim
itu fakir – miskin; meskipun sudah dipastikan bahwa dalam kategori fakir
– miskin, di dalamnya sudah pasti termasuk anak-anak yatim yang fakir
dan miskin. Sebagaimana kita tahu, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadis -
keduanya sangat peduli akan jaminan kesejahteraan sosial ekonomi anak-
anak yatim dan kaum duafa lainnya. termasuk para janda dan lansia
yang dikelompokkan ke dalam deretan al-mustadh’afín (orang-orang yang
lemah). Di sinilah terletak arti penting dari keberadaan surah al-Má’ún
(107) sebagaimana dikutibkan di bawah ini.
1. Tahukah kamu – Muhammad, (orang) yang mendustakan agama ?
2. Itulah (dia) orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang-orang miskin;
4. Maka, celakalah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya,
7. Dan enggan (menolong dengan) barang-barang (bekas yang masih)
berguna atau layak pakai;
(al-Má’ún (107): 1 – 7).
Surah Al-Qur’an ke-107 yang terdiri atas 7 ayat, 25 kata dan 123
huruf, ini dinamakan dengan surah al-Má’ún (barang-barang bekas yang
masih layak guna-pakai), di samping juga dijuluki dengan surah al-Dín
(surah Agama), dan/atau surah ara’aita (surah tahukah kamu ?). Menurut
catatan sejarah, surah ini penurunannya terkait dengan perilaku oknum-
oknum tokoh kafirin dan/atau munafikin di antaranya Abi Sufyan, al-‘Ásh
bin Wá’il a-Sahmi, dan Abu Jahal. Kata Ibn Juraij, Abu Sufyan dikenal
sebagai seorang yang gemar menggelar acara pesta-pora mingguan, yang
suatu ketika ada anak yatim yang ikut menghadiri pestanya Abu Sufyan
seraya sang yatim meminta daging kepada Abu Sufyan, namun alih-alih
Abu Sufyan memberinya daging akan tetapi malahan dia menghardiknya
sambil mengangkat-angkat tongkatnya ke hadapan si yatim tadi.
Menurut Muqatil, penurunan surah ini dialamatkan kepada al-‘Ash
yang tipikalnya mengingkari hari kiamat di samping berperilaku buruk;
sementara al-Mawardi menyebutkan bahwa surah ini penyebab turunnya
adalah karena tindakan Abu Jahal yang kedatangan seorang anak yatim
tanpa mengenakan baju, lalu yatim meminta baju bekas yang sudah
tidak dipakai oleh keluarga Abu jahal; namun Abu Jahal bergeming tidak
memberikan pakaian bekasnya sehingga si yatim menjadi putus asa dan
kembali pulang dalam keadaan hati yang terluka. Celakanya, beberapa orang
pembesar suku Quraisy dan munafik seperti al-Walid bin al-Mughirah, ‘Amr
bin ‘A’idz al-Makhzumi, justru memanfaatkan keterlantaran anak yatim ini
sebagai bahan olok-olokan dengan ungkapan mereka “kenapa kamu (hai
yatim) tidak memintanya kepada Muhammad” yang kalian biasa puji-puji
itu (membaca shalawat) ?93
93 Nawawi al-Bantani, Maráh Labíd – Tafsír an-Nawawí, juz 2, hlm. 466.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS138 139
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Sungguhpun demikian, keberpihakan Al-Qur’an terhadap fakir
– miskin termasuk yatama, teramat banyak dijumpai dalam Al-Qur’an.
Perhatikan misalnya surah al-Háqqah (69): 34 dan surah al-Fajr (89): 18
yang keduanya mengecam keras orang-orang yang tidak peduli kepada
orang-orang miskin (wa-lá tahádhdhúna ‘alá tha’ám al-miskín). Apalagi
dengan sederet ayat-ayat yang mengimbau para pembacanya supaya
memperhatikan (peduli) betul akan keberadaan anak-anak yatim yang
tidak berdaya.
Sebagaimana diingatkan Al-Qur’an, bahwa dalam setiap diri
manusia terdapat potensi fujur (berbuat dosa) dan sekaligus potensi taqwa.
Meski kita semua berkeinginan untuk memenangkan pertarungan taqwa
di atas fujur, namun sangat mungkin sesekali atau beberapa kali potensi
taqwa kita yang membawa bahagia itu justru dikalahkan oleh potensi
fujur yang membuat hancur. Keadaan ini bisa mengghinggapi semua
komponen yang terlibat dengan penanganan atau pengelolaan dana ZIS
itu kapan dan di manapun. Mulai dari oknum muslim-muslimah tertentu
yang masih enggan untuk menjadi muzaki andal yang istiqamah dengan
kemuzakiannya sepanjang tahun; hingga oknum-oknum Amilin yang
kurang amanah; bahkan juga dimungkinkan terjadi karena campur tangan
orang/pihak lain yang memanfaatkan oknum-oknum Amilin dan/atau
oknum-oknum mustahik yang kurang/tidak pandai bersyukur. Juga tidak
tertutup kemungkinan ada oknum-oknum lain di luar -- muzaki – amilin –
mustahik – itu sendiri -- maaf misalnya oknum-oknum di luar yang sudah
disebutkan. Atau, bisa disebut pihak keempat (di luar muzaki, Amilin dan
mustahik) yang karena kedudukan atau kepintarannya bisa “mencatut” atau
memanipulasi oknum tertentu, bahkan juga “percaloan’ dan/atau lainnya.
termasuk kenakalan oknum-oknum mustahik tertentu misalnya yang
berpindah-pindah alamat dan/atau tempat tinggal, mencantumkan daftar
nama “fiktif,” “percaloan,” dan/atau lainnya yang bisa merusak nama baik
lembaga keamilan maupun para amilnya sendiri di samping sudah tentu
mengecewakan para muzaki, munfik dan mutashadik.
Suatu ketika, untuk tidak mengatakannya sering kali, pernah
ada kasus atau kasus-kasus yang melibatkan oknum-oknum tertentu
yang mengaku-ngaku kehilangan dompet, kehabisan ongkos atau bahkan
mengaku baru memeluk agama Islam (muallaf) dan lain-lain alasan yang
kemudian menyambangi kantor Badan/Lembaga Amil Zakat, Infak dan
Sedekah (BAZIS-LAZIS) atau bahkan Masjid dengan maksud meminta
bantuan dana zakat untuk ongkos pulang ke kampung halamannya.
Namun, berkah kewaspadaan Amilin BAZIS/LAZIS yang bersangkutan,
orang itu-pun – akhirnya tidak diberikan karena diketahui bahwa yang
bersangkutan hanya sekedar mengaku-ngaku ini dan itu. Sejatinya ia
memang tidak dalam posisi sebagaimana yang di- katakannya. Ini tentu
tidak semua apalagi selalunya orang-orang yang datang ke kantor BAZ/
LAZ atau bahkan masjid hanya untuk memanfaatkan badan/lembaga itu
sendiri; akan tetapi banyak juga yang kondisi maupun kasusnya memang
benar-benar terjadi (dialami) oleh yang bersangkutan sehingga memang
benar-benar memerlukan bantuan seperlunya. Singkatnya, Amil perlu
memiliki pengetahuan tentang sikap dan kejiwaan orang yang mengaku-
aku sebagai mustahik/penerima manfaat zakat.
Contoh kasus sungguhan ini sengaja dituliskan – mengingat
bukan kasus fiktif apalagi mengada-ada -- meskipun atas pertimbangan
tertentu kejadian dan apalagi nama pelakunya tentu tidak bisa disebutkan
di sini --, memerlukan pertimbangan yang matang untuk memastikan
status seseorang dinyatakan sebagai mu’allaf, sebagai ibnus-sabíl , sebagai
ghárimín, bahkan sebagai fakir dan miskin sekalipun. Apalagi yang di luar
PEnGELOLAAn DAnA ZIS140 141
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
kategori itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam dana zakat tetap
terdapat kerawanan yang bisa datang dari mana saja, kapan saja dan
dalam bentuk apa saja yang bisa merusak harkat dan martabat Amilin yang
pada akhirnya merendahkan institusi keamilan itu sendiri. Satu hal yang
tetap wajib disyukuri dan dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh BAMUIS
khususnya dan yang lain-lain tentunya ialah bahwa secara umum dan
keseluruhan, badan/lembaga amil zakat yang ada di Indonesia dewasa ini
mampu melaksanakan tugas-tugas keamilannya dengan secara baik dan
wajar. termasuk di dalamnya Yayasan BAMUIS yang telah banyak memakan
asam-garam (pengalaman) dalam hal pengelolaan zakat. termasuk dalam
hal mengenali lika-liku mustahik atau oknum-oknum yang sengaja
memanfaatkan (sebagian) mustahik.
Masih dalam konteks mengenali lebih jauh kultur (sebagian)
mustahik di samping muzaki dan sudah tentu Amilin atau bahkan di luar
ketiga serangkai muzaki – amilin – mustahik, ini kenyataan di lapangan
sebagaimana pernah disinggung sebelum ini terkadang ditemukan oknum-
oknum nakal tertentu yang memanfaatkan kelemahan para pengelola
zakat. Hal ini bisa terjadi antara lain disebabkan minimnya pengetahuan
mustahik di samping kelalaian atau kealpaan Amilin yang kurang cermat
dalam melakukan verifikasi terhadap para mustahik zakat. Lebih dari itu,
sebagaimana ada kemungkinan mustahik atau bahkan oknum lain yang
nakal, tetap juga terbuka kemungkinan ada Amil dan/atau bahkan muzaki
yang nakal. Akibatnya, distribusi (sebagian) dana ZIS ada yang belum
sepenuhnya sesuai apalagi tepat benar dengan sasaran yang dituju oleh
pensyariatan zakat itu sendiri.
Pengalaman di lapangan menujukkan ada satu dua atau beberapa
kasus tertentu yang karena satu dan lain hal cenderung menunjukkan
kekurang-tepatan sasaran distribusi/pemanfaatan dana ZIS jika tidak tepat
dikatakan sebagai “penyimpangan” apalagi penyalah-gunaan dana ZIS.
Intinya, penulis hendak menyimpulkan bahwa betapa penting para Amil
memiliki pengetahuan yang memadai tentang tugas-tugas keamilannya,
termasuk dalam mengenali para mustahik, muzaki, dan bahkan orang/pihak
lain yang berurusan dengan badan/lembaga amil zakat yang dipercayakan
kepadanya.
Meskipun Indonesia telah memiliki 2 (dua) kali Undang-Undang
tentang Pengelolaan Zakat (UU No. 38 tahun 1999 an UU No. 23 tahun
2011) dan beberapa peraturan lainnya, namun perihal syarat-syarat muzaki,
amilin dan apalagi kriteria serta jumlah mustahik sesungguhnya sampai
kini belum diatur secara rinci. Misalnya kita belum memiliki database
(pangkalan data) mustahik yang sesungguhnya. Sampai sekarang ini,
BAZNAS belum mempunyai database tentang mustahik zakat khususnya
fakir dan miskin. Begitu pula dengan jumlah kelompok sosial yang
layak apalagi tepat untuk dinyatakan sebagai mustahik terutama karena
kefakiran dan kemiskinannya yang secara umum dan keseluruhan masih
belum bisa diakses secara mudah apalagi dengan lengkap. Akibatnya,
kriteria (standard) baku tentang mustahikkin zakat juga boleh jadi masih
beraneka ragam mengingat masing-masing badan atau lembaga amil
zakat memiliki kriteria yang berbeda-beda atau bahkan sendiri-sendiri.
Dengan kalimat lain, secara umum apalagi menyeluruh, kita belum mampu
melakukan koordinasi yang padu tentang kepastian jumlah muzaki, amilin
dan terutama jumlah mustahik yang ada di masing-masing wilayah apalagi
yang bersifat nasional di seluruh Indonesia.
Lepas dari berbagai keterbatasan dan/atau kekurangan yang ada,
yang jelas agama Islam memerintahkan para pemeluknya supaya bekerja
PEnGELOLAAn DAnA ZIS142 143
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
secara profesional dengan berasaskan nilai-nilai shiddiq (benar), amanah
(bisa dipercaya), tabligh (dilaksanakan) dan fathanah (cerdas). Perhatikan
misalnya kalam Allah yang terjemahannya dikutibkan di bawah ini:
Dan katakanlah (Muhammad): “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-
Nya serta orang-orang mukmin akan melihat (hasil) pekerjaan kamu itu,
dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Maha Mengetahui akan
(hal-hal) yang gaib dan yang nyata; lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
saja yang telah kamu kerjakan
(at-Taubah (9): 105).
Mencermati mustahik, memandu muzaki, introspeksi internal
Amilin, dan menghargai saran/usulan/masukan/nasehat para pihak yang
bersifat persuasif dan konstruktif, sudah tentu merupakan hal yang sungguh
penting dan positif bagi Amil/Amilah yang bertugas pada badan/lembaga
zakat. Apakah itu saran/nasehat/masukan yang berasal dari Dewan Pembina
dan Dewan Pengawas, termasuk untuk tidak mengatakan terutama Dewan
Pembina dan/atau Dewan Pengawas Syariah dan Kesyarahan di samping
yang lain-lain. Bahkan dari muzaki, munfik dan mutasadik serta umat dan
masyarakat pada umumnya selama itu memperkuat kinerja badan/lembaga
keamilan itu sendiri sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan maupun terutama oleh agama (syariat Islam) itu sendiri.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat misalnya diatur tentang PeRAN SeRtA MASYARAKAt.
Pasal 35
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap BAZNAS dan LAZ.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
rangka:
a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat
melalui BAZNAS dan LAZ; dan
b. memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk:
a. akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh BAZNAS dan LAZ; dan
b. penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
tidak terkecuali kontrol sosial dari perwakilan umat yang juga
tetap diperlukan demi perjalanan lurus atau lurusnya perjalanan Amilin
sebagai personal maupun kelembagaan. Yang pasti, baik muzaki maupun
terutama amilin, oleh Al-Qur’an keduanya diingatkan untuk selalu
memelihara amanat dalam teks maupun konteksnya yang luas. termasuk
amanat dalam hal keamilan. Di sinilah terletak arti penting dari pesan
yuridis maupun moral Al-Qur’an yang mewanti-wanti para muzaki, amilin
dan mustahikin jangan sampai menodai kesucian dan “sakralitas” ajaran
zakat yang secara harfiah berarti bersih dan suci yang kebersih-suciaanya
harus dijaga dan dilestarikan melalui keluaran zakat muzaki, dikelola
PEnGELOLAAn DAnA ZIS144 145
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Amilin secara professional, prosedural dan proporsional; dan dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh mustahikin zakat sebagai penerima manfaat.
Allah SWt. berkalam:
Perkataan (penolakan) yang baik dan pemberian maaf [atas tingkah
laku kurang sopan sebagian mustahik], itu lebih baik dari pada (pemberian)
sedekah yang diiringi dengan sesuatu (ucapan/tindakan) yang menyakitkan
(perasaan mustahik). Allah itu Maha Kaya lagi Maha Penyantun (al-Baqarah
(2); 263).
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan (sebab) menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
mustahik), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka,
perumpamaan orang (yang riya) itu bagaikan batu licin yang di atasnya ada
tanah (debu), kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak berdebu lagi). Mereka tidak menguasai sesuatu apapun dari
apa yang telah mereka usahakan (sia-sia); dan Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (al-Baqarah (2): 264).
Hadis dari Abi Hurairah ra.
“Pelayanan Imam (baca, Amilin) yang adil terhadap rakyatnya (baca,
mustahiqqín) zakat dalam sehari, lebih istimewa daripada penghambaan
seorang budak terhadap keluarga tuannya selama 50-100 tahun.”94
94 Abi al-Qasim bin Salam, Kitáb al-Amwál, hadis/atsar no. 14.
Itulah sebabnya mengapa selain harus mencukupi syarat-syarat formal
administratif, para Amil juga mutlak dituntut harus memiliki etika yang
patut diteladani.
D. Etika Amilin
Hampir dapat dipastikan bahwa ke depan (insya Allah) Amilin zakat
akan menjadi salah satu profesi sebagaimana profesi-profesi lain dalam
bidang ekonomi dan keuangan. Selain memiliki latar belakang pendidikan
yang memadai – bisa jadi ke depan rerata pendidikan formalnya minimal
sarjana (S-1), S-2 dan/atau bahkan S-3, para profesional zakat harus
juga memiliki keahlian (skill) dan pada akhirnya juga harus memperoleh
imbalan – upah (ujrah) yang memadai bagi pemenuhan kebutuhan hidup
dan kehidupannya dalam pengertian yang sesungguhnya.
tujuan profesi Amilin zakat adalah untuk memenuhi tugas dan
tanggung-jawab utamanya sebagai pemegang amanah muzaki, munfik
dan/atau mutasadik di satu sisi; dengan pemenuhan harapan utama
publik khususnya para mustahik/penerima manfaat dana zakat pada sisi
yang lain. Guna mencapai tujuan dimaksud, paling sedikit Amilin mutlak
membutuhkan empat pilar integritas keperibadian yang bersifat kenabian
sebagaimana pernah ditegaskan sebelum ini yakni (1) shiddiq/integritas (2)
amanah/kredibilitas (3) tabligh/sosialisasi dan (4) fathanah/profesionalitas.
Lebih dari sekedar itu, profesi Amilin juga memerlukan etika profesi
keamilan yang mengacu kepada beberapa prinsip dasar sebagaimana
pernah dirumuskan Forum Zakat (FoZ) sebagai berikut:95
95 Bandingkan dengan Noor Aflah, Arsitektur Zakat Indonesia, hlm. 256 – 260.
PEnGELOLAAn DAnA ZIS146
Pertama, prinsip tanggung jawab profesi;
Kedua, prinsip kepentingan publik;
Ketiga, prinsip integritas;
Keempat, prinsip netral – obyektif;
Kelima, prinsip kompetensi;
Keenam, prinsip kehati-hatian (ihtiyath);
Ketujuh, prinsip kerahasiaan dalam batas-batas tertentu;
Kedelapan, prinsip perilaku profesional.
Demikianlah pembahasan Bab III tentang Pengelolaan Dana ZIS ini
disampaikan, dengan harapan dapat memberikan tambahan pengetahuan
dan informasi tentang keamilan. 04Lazis-Nas BAMUiS
Dalam Bingkai Undang-undang
Pengelolaan zakat
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT148 149
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Di antara penyebab kesalahan ilmiah-akademik, orang lebih dulu berasumsi
dan baru kemudian mencari argumentasi; sebaiknya, menelitilah
dahulu dan baru kemudian berasumsi berdasarkan argumentasi
(mAS)
A. Sejarah Singkat Pengelolaan Zakat di Indonesia
Cukup banyak catatan sejarah – meskipun kebenarannya masih
tetap harus dibuktikan lebih lanjut – bahwa jauh sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dibentuk, di wilayah Nusantara – Indonesia
ini dahulu telah eksis – berdiri beberapa atau bahkan sejumlah negara -
kerajaan, termasuk “negara-negara” yang berbentuk Kesultanan/Kerajaan
Islam. Pada zaman-zaman kesultanan Islam, zakat diyakini telah diamalkan
oleh penduduk Muslim, walaupun -- lagi-lagi untuk kepastiannya -- apakah
dilakukan secara personal atau kelembagaan masih mengundang perbedaan
dan perdebatan pendapat (debatable).
Secara umum dan garis besar, sejarah perzakatan di Indonesia bisa
dibedakan ke dalam dua periodesasi yakni periode sebelum proklamasi
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan periode
sesudah proklamasi kemerdekaan NKRI. Periode sebelum proklamasi
kemerdekaan, bisa dibedakan ke dalam dua periode besar yakni periode
Kesultanan/Kerajaan Islam dan periode pemerintah penjajahan yang karena
satu dan lain hal tidak dibahas di dalam buku ini. Periode pasca proklamasi
kemerdekaan NKRI, juga bisa dibedakan ke dalam dua fase yakni fase
sebelum pengundangan Undang-Undang Pengelolaan Zakat (1945 – 1999)
dan fase sesudah pengundangan Undang-Undang Pengelolaan Zakat (1999 –
sekarang). Pemilahan periodesasi ini didasarkan atas tenggang waktu antara
sebelum dan sesudah pengundangan undang-undang tentang pengelolaan
zakat, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Atas pertimbangan satu dan lain hal, sejarah pengelolaan zakat ini
tidak diuraikan secara rinci di dalam buku ini. Yang jelas banyak orang/pihak
yang meyakini dan menyatakan bahwa kesultanan-kesultanan Islam dahulu
yang ada di berbagai wilayah Nusantara – Indonesia telah memeraktekkan
syariat Islam dalam teks dan konteksnya yang lebih utuh dan menyeluruh
(kaffah; perfect), termasuk dalam hal perekonomian Islam khususnya zakat
dan wakaf. Sayangnya, seiring dengan kehadiran pemerintah jajahan yang
memorak-porandakan sejumlah kesultanan/kerajaan Islam dan kemudian
menguasai (paling tidak sebagian) wilayah Indonesia lebih dari 3,5 abad
(1595 - 1945) lamanya; maka tatanan syariat Islam yang sudah mengadat-
istiadat di Nusantara – Indonesia pada akhirnya menjadi porak-poranda.
termasuk pranata sosial dalam bidang perzakatan.
Ketika kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Ir. H.
Soekarno (1901 - 1970) dan Drs. H. Mohammad Hatta (1902 - 1980) atas
nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang bertepatan
dengan tanggal 09 Ramadhan 1367 H, dan diiringi dengan pembentukan
negara dan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT150 151
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
pada tanggal 18 Agustus 1945/10 Ramadhan 1367 H, bangsa Indonesia
terutama umatan muslimatannya menaruh harapan besar untuk bisa
mengamalkan syariat agamanya dalam teks maupun konteksnya yang
bersifat utuh dan menyeluruh (káffah; perfect). Namun, peristiwa detik-
detik proklamasi kemerdekaan itu ternyata tidak serta merta memberikan
jaminan dan perlindungan akan pengamalan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Alih-alih syariat Islam memperoleh dukungan penuh untuk
diamalkan, tujuh anak kalimat (dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya) justru dicoret dari naskah Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan kalimat lain, alih-alih penerapan syariat Islam secara murni
dan konsekuen mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang kuat pada
masa pemerintahan Republik Indonesia; dengan sebab pencoretan tujuh kata
yang amat sangat bersejarah itu, syariat Islam justru malahan dipisahkan
dari kata “Ketuhanan” yang menjadi pangkal kalimatnya, yakni semula
“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya;” dan setelah dicoret lalu diubah dan diganti dengan “Ketuhanan
Yang Maha Esa.” “Barter antara tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dengan tiga kata (Yang Maha Esa)
setelah kata “Ketuhanan,” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
tampak masih belum sepadan benar. Sebab, kata Yang Maha esa bagaimana
pun oleh umumnya umat dan masyarakat lebih difahami dengan bidang
akidah (tauhidullah), belum termasuk syariah dalam pengertian hukum
Islam sebagaimana yang kemudian berkembang dikemudian hari. Pemilahan
(bukan pemisahan) syariah dengan akidah, memang dikenal dalam doktrin
ajaran/tiga bidang ilmu Islam/keislaman, yakni tauhid (kalam), syariah
(hukum), dan akhlak (etika) yang dalam istilah al-Hadis masing-masing
diistilahkan dengan sebutan “al-ímán,” “al-Islám,” dan “al-ihsán.”
Pencoretan/penghapusan tujuh kata “sakral” dengan “imbalan” tiga
kata, ini untuk sementara waktu dan minimal dalam kasus-kasus tertentu
ternyata memiliki “akibat kurang bijak dan kurang baik” bagi penerapan
syariat Islam di kemudian hari (1945 – 1970). termasuk dalam hal
pembentukan undang-undang pengelolaan zakat yang prosesnya memakan
waktu terbilang panjang yakni lebih dari separoh abad (54 tahun) terhitung
sejak proklamasi kemerdekaan RI di tahun 1945 sampai pengundangan
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, atau
sekitar 44 tahun (1955 – 1999) terhitung sejak pengusulan Rancangan
Undang-Undang Pengelolaan Zakat oleh Menteri Agama pada tahun 1955.
Akibatnya, roda perjalanan pengamalan lima arkán al-Islám-pun
dalam waktu yang cukup panjang terasa pincang atau malahan tersendat
untuk tidak membahasakannya menjadi “terganjal” lantaran pengelolaan
zakat tidak berjalan seperti yang diharapkan sebagaimana halnya
pelaksanaan empat (4) rukun Islam yang lainnya yakni syahadat, shalat,
puasa dan haji yang sedikit banyak dan langsung maupun tidak langsung
pelaksanaannya sangat terpengaruh atau dipengaruhi oleh pengamalan
zakat. Padahal, pengamalan lima arkán al-Islám dalam konteksnya
yang utuh dan menyeluruh, itu sejatinya dijamin oleh konstitusi. Hak
konstitusional pengelolaan zakat yang dimaksudkan adalah tercantum
dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan; (1) “Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa” dan (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pengamalan Sila Pertama – Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa)
dan Pasal 29 ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT152 153
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu,” dalam praktik penyelenggaran negara dan terutama
pemerintahan ternyata tidak semudah membalik kedua telapak tangan.
Pasalnya ? Sebagaimana disinggung sebelum ini, proses pembentukan
Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat ternyata memakan waktu
yang terbilang panjang, sebagaimana disebutkan sebelum ini. Maknanya,
optimisme umat Islam untuk bisa mengamalkan syariat Islam secara
memadai (untuk tidak mengatakan secara káffah; comprehensive) di masa-
masa awal kemerdekaan, ternyata tetap di bawah kalkulasi (under estimate),
walaupun hanya sekedar untuk memperoleh jaminan dan perlindungan
pengamalan hukum zakat yang bersifat formal - administratif dalam hal
ini pembentukan organisasi pengelola zakat (oPZ). Di antara indikasinya,
bangsa Muslim terbesar di dunia ini baru bisa memiliki undang-undang
tentang pengelolaan zakat pada tahun 1999 tepatnya dengan pengesahan
dan pengundangan Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang
nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Lepas dari lambatannya regulasi zakat di Indonesia, yang jelas
pasca kehadiran Undang-Undang Pengelolan Zakat, Lembaga Pengelola
Zakat di Indonesia kini tumbuh dan berkembang terbilang cepat dan banyak
jumlahnya. terutama BAZNAS yang kini telah terbentuk di hampir semua
propinsi yang ada di seluruh wilayah Indonesia.96 Di samping BAZNAS, juga
ada LAZIS-NAS yang sampai saat buku ini ditulis, sekurang-kurangnya telah
96 Sampai Agustus 2017, BAZNAS Propinsi telah dibentuk di 32 Propinsi di seluruh wilayah Indonesia. Hanya tinggal dua (2) propinsi saja yang belum dibentuk BAZNAS-nya, yakni Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (Prof. Dr. Mundzir Suparta - Komisioner BAZNAS Pusat, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD DKI, BAZIS Prop. DKI dan BAZNAS Pusat tentang Penyesuaian BAZIS DKI Jakarta, tanggal 13 September 2017 di ruang Komisi E Gedung DPRD DKI Jakarta.
tercatat 16 – an Lembaga Amil Zakat yang berskala Nasional.97 Di samping
LAZ yang bersekala Nasional (LAZ-NAS), juga sudah terbentuk sejumlah
Lembaga Amil Zakat (LAZ) daerah propinsi dan/atau LAZ kabupaten/kota.
Mujurnya, jauh sebelum Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini
lahir, sebagian masyarakat Muslim maupun sebagian pemerintah daerah
tertentu sudah ada yang lebih dulu berhasil membentuk Badan/Lembaga
Amil Zakat. Yang termasuk ke dalam deretan (sebagian) kaum Muslimin
yang tetap bergeming memperjuangkan hak-hak konstitusional diniah -
keagamaannya sebagaimana dijamin penuh oleh Undang-Undang Dasar
1945 ialah mereka yang terus giat dan semangat melakukan harakah
(gerakan) “ijtihad-jihad-mujahadah” untuk mendirikan YAYASAN BAMUIS
yang berasaskan DUIt (dibaca DU-It) = DoA, USAHA, INISIAtIF, DAN
tAWAKKAL). Semua itu dilakukan mereka demi perjuangan supaya bisa
mengamalkan hak-hak konstitusional keagamaan dalam teks dan konteks
ini pengamalan rukun Islam ketiga (zakat) sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Dasar 1945).98 Hasil konkrit dari “ijtihad-jihad-mujahadah”-
nya adalah terbentuknya JAJASAN BAMUIS yang sejak semula bertumpukan
asas DUIt = DoA, USAHA, INISIAtIF, DAN tAWAKKAL).99
97 Ke-16 LAZIS-NAS dimaksud adalah: (1) LAZ – Rumah Zakat (2) LAZ-NAS Nurul Hayat (3) LAZ-NAS Inisiatif Zakat Indonesia (4) LAZ Baitul Mal Hidayatullah (5) LAZ Yayasan Lembaga Manajemen Infak (6) LAZ Yayasan Yatim Mandiri (7) LAZ Yayasan Dompet Dhuafa (8) LAZ Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar (9) LAZ Yayasan Darut-Tauhid (10) LAZ Yayasan Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sadaqah Nahdhatul Ulama (11) LAZ Yayasan Baitul Mal Muamalat (12) LAZ Yayasan Dana Sosial Al-Falah (13) LAZ Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (14) LAZIS Muhammadiyah (15) Yayasan Global Zakat dan (16) LAZ Persatuan Islam.
98 Baca UUD NRI 1945, Pasal 29 ayat (1) dan (2).
99 Istilah DUIT yang sesungguhnya telah umum dikenal, dalam tulisan ini semula disampaikan Yaman Bafirus (Direktur Operasional BAMUIS) dalam kesempatan rapat rutin BAMUIS tanggal 11 Agustus 2017. Dalam rapat dimaksud Yaman menyampaikan harapannya kepada jajaran BAMUIS untuk mengedepankan agar dalam menjalankan program kerja BAMUIS memegang prinsip DUIT, maksudnya D = Doa, U = Usaha, I = Ikhtiar, dan T = Tawakal. Saat itu pula penulis (MAS) menyatakan menerima singkatan DUIT yang diusulkan Yaman; namun dengan usul perubahan/perbaikan kepanjangannya menjadi DUIT = Doa, Usaha, Inisatif [bukan Ikhtiar
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT154 155
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
b. Ringkasan Sejarah Yayasan bAmuIS
Yayasan Baitul Mal Umat Islam atau BAMUIS, lengkapnya YAYASAN BAMUIS
BANK BNI 1946, didirikan di Jakarta pada hari Kamis, tanggal 5 oktober
1967 M/1 Rajab 1387 H di hadapan notaris Raden Soerojo Wongsowidjojo,
Dalam Akte Jajasan BAMUIS Nomor 10 tahun 1967 dinyatakan: “Pada hari
ini, hari Kamis, tanggal lima Oktober seribu sembilan ratus enam puluh tudjuh
(5-10-1967), hadir di hadapan saja, Raden SOEROJO WONGSOWIDJOJO,
notaris di Djakarta, dengan dihadiri oleh saksi-saksi jang saja, notaris, kenal
dan akan disebut dibawah ini:-------------------------100
Dalam Anggaran Dasar dituliskan bahwa:
“Jajasan ini bernama ----------------------------------------------------------
----------------- JAJASAN ‘BAITUL MAL UMMAT ISLAM”, ------------------
---------------------- disingkat JAJASAN “BAMUIS “ -------------------------
sebagaimana dikatakan Yaman] dan Tawakal. Jelasnya, huruf I-nya bukan kependekan dari Ikhtiar sebagaimana usulan Yaman; melainkan diubah kepanjangan huruf I-nya dengan “Inisatif.” Alasannya ? Kata ikhtiar merupakan serapan dari kata Arab (ikhtiyár makna asalnya pilihan); sedangkan usaha merupakan bahasa Indonesia, meskipun kata ikhtiar juga sudah menjadi kata baku bahasa Indonesia. Ikhtiar artinya alat, syarat untuk mencapai maksud; daya upaya; di samping juga berarti pilihan (pertimbangan, kehendak, pendapat dan sebagainya). Sedangkan berikhtiar, maksudnya berusaha; mencari daya upaya. Usaha adalahdengan mengerahkan tenaga, fikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan, prakarsa, iktiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu. Kata usaha juga digunakan untuk pengertian kegiatan di bidang perdagangan (dengan maksud mencari untung (Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1538). Adapun ikhtiar artinya alat, syarat untuk mencapai maksud; daya upaya; atau pilihan (pertimbangan, kehendak, pendapat dan sebagainya) bebas (Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 521). Adapun insiatif artinya prakarsa yang disimbolkan dengan huruf I; sementara I-nya kependekan dari Inisiatif, bukan dari Ikhtiar karena sudah ada U = Usaha.
100 Jajasan Baitulmal Ummat Islam Jakarta, apa itu baitulmal, hlm. 20.
BeRKeDUDUKAN DI Djakarta; berkantor Pusat di Kantor Besar
Bank Negara IndonesiaUnit III dengan tjabang-tjabang ditempat-tempat
jang ditetapkan oleh Badan Pengurus.---------------------------------------
-----------101
Selanjutnya dikatakan:
“Jajasan ini dimulai pada tanggal 27 Djuni 1967 (dua puluh tudjuh
Djuni seribu sembilan ratus enam puluh tudjuh) didirikan untuk waktu jang
tidak ditentukan, Insja Allah untuk selama-lamanya,--------------------------
--------102
Penulis tidak tahu alasan apa (adakah alasan khusus) yang
mendorong para pendiri menghadap Notaris pada tanggal 5 oktober yang
bertepatan dengan tanggal 1 Rajab itu ? Apakah cuma kebetulan, atau
ada inspirasi lain mengingat pada dasarnya sebuah peristiwa itu tidak ada
yang terjadi secara kebetulan. Sebagaimana kita tahu, bulan oktober, bagi
bangsa Indonesia bahkan dunia – tentu termasuk umat Islam di dalamnya
– memiliki beberapa catatan sejarah yang sangat penting, di antaranya
yang bersifat nasional ialah Hari Kesaktian Pancasila (1 oktober), Hari Jadi
tentara Nasional Indonesia (5 oktober), Hari Sumpah Pemuda Indonesia
(28 oktober 1928) dan lain-lain. Adapun hari-hari penting yang berskala
nasional – internasional di antaranya ialah: Hari Batik Nasional dan Hari
Batik Dunia (2 oktober), Hari Guru Sedunia (5 oktober), Hari Kesehatan
Jiwa Sedunia (10 oktober), Hari Pangan Sedunia (16 oktober), Hari
Pengentasan Kemiskinan Internasional (17 oktober), Hari Perpustakaan
Sekolah Internasional (18 oktober), dan lain-lain.
101 Anggaran Dasar Jajasan BAMUIS, Pasal 1.
102 Anggaran Dasar Jajasa BAMUIS, Pasal 2.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT156 157
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Demikian pula halnya dengan bulan Rajab, bulan ke 7 dalam
kalender Hijriah. Di dalamnya paling sedikit terdapat 4 peristiwa penting
bagi kaum muslimin yang bisa dikategorikan bisa mengubah jalannya
sejarah dunia. Keempat peristiwa yang dimaksudkan ialah: bulan
kemenangan militer Rasul Allah SAW dalam peperangan tabuk (9 H)
dan menandai selesainya otoritas Islam atas seluruh semenanjung Arab;
terjadinya perang Pembebasan Yerusalem (1187 M) dari cengkeraman
tentara Salib eropa yang telah memerintah hampir selama 1 abad; pada
28 Rajab 1924 Masehi, runtuhnya kekhalifahan ottoman di turki yang
dihapus oleh Mausthafa kemal Attaturk, dan terutama adalah diisra’-
mikrajkannya Nabi Muhammad SAW.
Rajab, yang terambil dari kata rajaba – yarjubu – rajban, secara
harfiah artinya: malu, risih, kawatir, resah, waswas dan cemas di samping
juga berarti menopang, menghibur, menghormati dan mengagungkan. Akan
halnya bulan oktober, Rajab juga tergolong ke dalam salah stau bulan yang
sangat bersejarah. Salah satunya yang termasyhur adalah peristiwa Isra –
Mikraj Nabi Muhammad SAW yang menurut mayoritas ahli-ahli sejarah
Islam terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 9/10 dari kenabian/pra Hijrah
yang bersesuaian dengan tahun 620/621 Masehi.
Dihubungkan dengan pengertian harfiah bulan Rajab sebagaimana
disebutkan sebelum ini, Nabi Muhammad SAW dalam usia kenabiannya
yang sudah berjalan antara 9 – 10 tahun namun belum juga kunjung
berhasil mendapatkan simpati apalagi pengikut yang berarti karena baru
mendapatkan simpatisan/pengikut hanya sekitar 60-an orang saja yang
memeluk agama Islam, meskipun beliau telah berusaha dengan sekuat
tenaga melakukan dakwah Islamiah. Nabi berusaha pindah ke satu – dua
tempat, namun tetap saja belum menunjukkan hasil yang berarti. Pada sisi
yang lain, Rasul dihadapkan pada kesulitan hidup sampai kepada titik-titik
terendah sepiritual- batiniahnya setelah “dihantam” gelombang musibah
yang bertubi-tubi terutama pada tahun yang dijuluki dengan tahun duka-
cita (ám al-huzn).103 Belum lagi dengan olok-olokan dan bahkan serangan
keji dari musuh-mushunya yang membuat Nabi Muhamad SAW sebagaimana
manusia dalam dirinya terbetik juga rasa risih, resah, kawatir, was-was
dan malu; maka di saat-saat itu pula Allah SWt melindungi, menopang,
menghormati, memuliakan dan mengagungkan Nabi Muhammad SAW
dengan mengisra-mikrajkan (perjalanan di malam hari) Nabi dengan
rute perjalanan (start) dari Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah
menuju Sidratul Muntaha setelah “transit” lebih dulu di Masjid Al-Aqsha
– yang terletak di Palestina, untuk kemudian kembali lagi ke Makkah al-
Mukarramah.
Begitu penting peristiwa Isra dan Mikraj ini, sampai-sampai
pengabadiannya dalam Al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan kata al-
Isrá’ sebagai salah satu nama surah dalam Al-Qur’an, dalam hal ini surah
al-Isrá’ yang juga dinamakan dengan surah Baní Isrá’íl dan surah Subhána.
Surah Al-Qur’an ke-17, yang terdiri atas 110 ayat, 1533 kata, dan 6460
huruf,104 ini memuat ihwal kisah Isra’ Nabi Muhammad SAW yang sangat
fenomenal dan mengundang kontrofersial pada waktu itu dan bahkan
sampai kini. Sedangkan kisah tentang Mikrajnya sendiri, secara terpisah
dijumpai dalam Al-Qur’an surah al-Najm (53): 13 - 18.
103 ‘Am al-Huzn = tahun duka, ini berbarengan dengan tahun ke 8/9 dari kenabian Muhammad SAW atau 619/620 Masehi. Dinamakan tahun duka, karea beliau menghadapi musibah berat dengan kematian beruntun kakeknya (Abdul Muththalib), tidak lama kemudian disusul dengan kematian pamannya (Abu Thalib), dan lalu istri tercintanya (Khadijah ra).
104 Nawawi al-Bantani, Maráh Labíd – Tafsír al-Nawawí, jil. 1, hlm. 470.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT158 159
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Yang melatar belakangi perjalanan Isra – Mikraj Nabi Muhammad
SAW sebagaimana disinggung sebelum ini ialah berbagai peristiwa sulit
yang dialami Nabi di atas sehingga Allah SWt “menghibur” Nabi dan
Rasul akhir zaman ini dengan perjalanan yang amat sangat menyenangkan
dirinya setelah bertubi-tubi mengalami ujian yang sangat berat dan
dahsyat, namun ia tetap jalani tugas kenabian dan kerasulannya dengan
penuh tanggung-jawab dengan kesabaran dan ketawakkalan tinggi yang
menyebakan Nabi Muhammad SAW juga digolongkan ke dalam salah satu
dari lima (5) orang nabi yang bergelar “ulul ‘azmi min al-rusul.” 105 Jauh
berbeda dengan langkah dakwah Islamiah sebelum Nabi diisra-mikrajkan
yang selalu terbelit dengan kesulitan dan kebuntuan, pasca Isra-Mikraj
Nabi Muhammad SAW dakwah Islamiah mengalami lompatan dahsyat dan
sukses besar luar biasa sebagaimana tergambarkan secara jelas dalam surah
al-Nashr (110) yang secara umum menggambarkan gelombang besar umat
manusia memeluk agama Allah (yadkhulúna fí díniláhi afwájan”). termasuk
penduduk Indonesia yang atas keasadaran penuh memeluk agama Allah
(dín al-Haqq) yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW lebih dari
1450-an tahun yang silam.
Mengambil iktibar dengan kebesaran bulan Rajab pada satu sisi,
dan kesejarahan bulan oktober bagi bangsa Indonesia pada sisi yang lain,
kehadiran BAMUIS di bulan oktober yang berbarengan dengan bulan Rajab,
seakan-akan memberikan berkah dan hiburan tersendiri bagi umat Islam
Indonesia yang baru saja dirundung musibah di tahun-tahun itu. terutama
kekisruhan politik dan ekonomi yang melanda bangsa dan negara Indonesia
waktu itu. Ibaratnya mengacu pada keagungan bulan Rajab sebagai bulan
perjalanan Isra-Mikraj Nabi Muhammad SAW yang sangat historis dan
105 Q.S. al-Ahqáf (46): 35.
religius, serta ibarat bertolak pada bulan oktober yang sarat dengan nilai-
nilai patriotisme kebangsaan bagi bangsa Indonesia, maka kedua nama
bulan ini memberikan spirit dan sejarah tersendiri bagi pembentukan
Yayasan Bamuis. Kita tahu, bahwa oktober 1967 M yang yang bertepatan
dengan Rajab 1387 H, itu situasi politik di Indonesia masih dirundung
kegelisahan antara lain disebabkan pemberontakan Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI) pada tahun 1965 yang pengaruhnya
masih tetap tebal di tahun 1967 itu. termasuk dalam kehidupan ekonomi
yang sangat memburuk.106
Memerhatikan makna bulan Rajab dan mengaitkannya dengan bulan
oktober, atau memerhatikan peristiwa-peristiwa pada bulan oktober dan
mengaitkannya dengan bulan Rajab, paling sedikit menginspirasi penulis
bahwa kehadiran Yayasan BAMUIS di bulan dan tahun itu, memiliki fungsi
dan peran tersendiri baik bagi kaum Muslimin secara khusus maupun bagi
warga-bangsa Indonesia secara umum dan keseluruhan. Betapa tidak !
Bangsa Indonesia yang tengah dilanda krisis ekonomi dan politik yang
menimbulkan kesulitan dan kesusahan, itu mengilhami jajaran ummatan
muslimatan untuk mendirikan wadah berupa badan atau lembaga dalam
konteks pengamalan ajaran agama (Islam) yang dipeluknya. Dengan secara
sadar dan terencana dengan baik, mereka mendirikan yayasan bernama
Yayasan Baitul Mal Umat Islam (BAMUIS).
Satu hal penting untuk dicatatkan di sini ialah bahwa dahulu, di
awal-awal pendirian “Jajasan Baitul Mal Ummat Islam” (Yayasan Baitul Mal
106 Pada tahun-tahun 1960-an itu, penulis masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan madrasah Ibtidaiyah (MI). Pernah mengalami kekurangan makan dan makanan, setitdak-tiaknya dalam satu – 3 bulanan penulis makan nasinya hanya satu kali, selebihnya makan jangung, singkong dan ubi jalar. Itupun tidak mudah memperolehnya. Selain barangnya sangat terbatas, juga harganya yang tergolong melambung tinggi.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT160 161
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Umat Islam), dalam akte notaris tidak disertai dengan kata-kata BANK BNI
1946 sebagaimana sekarang ini. Sejak kapan “Jajasan BAMUIS” ini diubah
dan ditambah sehingga lengkapnya bernama “Yayasan Baitul Mal Umat
Islam Bank BNI 1946,” masih perlu ditelusuri lebih lanjut. Yang jelas,
dari 24 kali kata BAMUIS atau BAItUL MAL UMMAt ISLAM – semuanya
ditulis dengan menggunakan huruf kapital – sebagaimana yang tercantum
dalam “POKOK-2 PIKIRAN DALAM MENDIRIKAN BAMUIS DAN USAHA2
JANG TELAH DILAKSANAKANNJA,” tidak ada satupun kata BAMUIS yang
diembel-embeli dengan kata-kata Bank B.N.I. Demikian pula dengan kata
BAMUIS atau lengkapnya JAJASAN BAItUL MAL UMMAt ISLAM dalam
Anggaran Dasar (AD) sebanyak 3 kali dan dalam Anggaran Rumah tangga
(ARt) diulang sebanyak 14-15 kali yang juga hampir semua penulisannya
menggunakan huruf kapital; kecuali satu kali saja yang tidak menggunakan
huruf kapital (ditulis dengan Bamuis) yakni pada Pasal 5 angka 3.4.
Lebih valid lagi ketika menyaksikan pernyataan nama dan tempat
yang termaktub dalam Akte Yayasan yang secara tegas dan lugas dinyatakan
bahwa “Jajasan ini bernama: JAJASAN “BAITUL MAL UMMAT ISLAM,”
disingkat: JAJASAN BAMUIS,” berkedudukan di Djakarta; berkantor Pusat
di Kantor Besar Bank Negara Indonesia Unit III dengan tjabang-tjabang
ditempat-tempat jang ditetapkan oleh Badan Pengurus.”107
Satu-satunya penulisan lengkap dengan imbuhan kata-kata BANK
NeGARA INDoNeSIA 1946 sesudah kata BAMUIS adalah tulisan yang
ditemukan dalam lembaran surat yang memuat struktur kepengurusan
BAMUIS itu sendiri dalam surat kawat Bamuis, lengkapnya:
107 Anggaran Dasar Jajasan BAMUIS, Pasal 1.
JAJASAN BAITULMAL UMMAT ISLAMBANK NEGARA INDONESIA 1946
Djalan Lada No. 1 = Djakarta
Kawat : Bamuis Bank BNI. 1946
tilpon: 26851 s/d 26858; 26951 s/d 26957
Sebutlah tanggal dan nomor
Surah ini, bila Anda mendjawabnja
SUSUNAN BADAN PeNGURUS
JAJASAN BAItUL MAL UMMAt ISLAM
1971 – 1972
(Keputusan Rapat 8-1-1971)
Ketua Umum : M. Ismaill B.B.A
Ketua I : H. Noer Hasjim
Ketua II : effendi Slamet
Sekretaris Umum : Azizman tumenggung
Sekretaris I : Drs. Jackson Arsjad
Sekretaris II : V. Hidajat
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT162 163
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Bendahara Umum : Martunus
Bendahara I : H. Sidi Hambali
Bendahara II : taten Dja’far
Pembantu2 :
Pembantu Ketua : 1. H.A. Moethalib
2. Kaharudin
Pembantu Sekretaris : 1. Affan
2. M. Dumjati
Pembantu Bendahara : 1. M. Wandowo
2. M. thohir
Pembantu Umum : 1. Sjahril Arief S.H.
2. M. Said Lingga
3. Jojoh Rodiah.
Di antara hal menarik lainnya tentang nama BAMUIS dalam surat
kawat di atas yang diawali dengan penulisan lafal basmalah (bismillahir-
rahim), dalam tulisan Arab, ini disebutkan kalimat berikut: SUSUNAN
BADAN PeNGURUS JAJASAN BAItUL MAL UMMAt ISLAM 1971 – 1972
(Keputusan Rapat 8 – 1- 1971), tanpa ada kata-kata BANK BNI 1946, baik
dalam lembaran pengurus harian maupun pengurus lengkapnya.
Pada halaman lain, dijumpai juga lembaran susunan
lengkap pengurus BAMUIS.
SUSUNAN DEWAN PENASEHAT, DEWAN PENGAWAS, DAN BADAN PENGURUS JAJASAN BAITULMAL UMMAT ISLAM
1971 – 1972
(Keputusan rapat tgl. 8 – 1 – 19971)
DeWAN PeNASeHAt:
Ketua : e. Soekasah Somawidjaja;
Anggota2 : - K.H. Moch. Dachlan [Menteri Agama RI]
- M. Natsir
- Let. Djen. oedirman
- Sjahboeddin Latif
DeWAN PeNGAWAS:
Ketua : Zanir
Anggota2 : - Sjafruddin Prawiranegara, S.H.
- Nj. R.A.B. Sjamsuridjal
- t.R.B. Sabaruddin
- Umar Abdalla BBA.
Ketua Umum : M. Ismaill B.B.A
Ketua I : H. Noer Hasjim
Ketua II : effendi Slamet
Sekretaris Umum : Azizman tumenggung
Sekretaris I : Drs. Jackson Arsjad
Sekretaris II : V. Hidajat
Bendahara Umum : Martunus
Bendahara I : H. Sidi Hambali
Bendahara II : taten Dja’far
Pembantu2 :
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT164 165
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Pembantu Ketua : 1. H.A. Moethalib
2. Kaharudin
Pembantu Sekretaris : 1. Affandi
2. M. Dumjati
Pembantu Bendahara : 1. M. Wandowo
2. M. thohir
Pembantu Umum : 1. Sjahril Arief S.H.
2. M. Said Lingga
3. Jojoh Rodiah.
Masih dalam teks maupun konteks penyertaan kata-kata BANK
BNI 1946 setelah nama “BAMUIS/YAYASAN BAMUIS” sehingga lengkapnya
menjadi ‘YAYASAN BAMUIS BANK BNI 1946,” agaknya bisa dimaklumi dan
mudah-mudahan tidak dipandang salah yang karenanya maka tidak perlu
menjadi masalah apalagi sengaja dipermasalahkan. terutama dari sudut
pendekatan sejarah (historical approach), para pendiri, tempat pengelolaan
(kantor) maupun para pengelola (pengurus hariannya) yang dapat dikatakan
hampir 100 % adalah para pejabat dan/atau karyawan-karyawati Bank
BNI. Bukan saja di masa-masa awal pembentukan dan pengelolaannya,
melainkan juga sampai sekarang ini masih tetap “didominasi” (bukan
dimonopoli) oleh orang-orang BNI. Apalagi dalam hal sumber dana ZIS-
nya yang bagian terbesarnya adalah juga keluarga besar BNI. Kalaupun
ada dana ZIS yang bersumberkan dari orang-orang non BNI, maka selain
donatur (muzaki, munfik dan mutasadiknya) sedikit sekali, juga jumlah
nominalnya sangat kecil.108
108 Sebagai contoh, sumber dana ZIS BAMUIS dari masyarakat umum (non BNI) pada tahun anggaran pendapatan dan belanja BAMUIS tahun 2016, tercatat hanya Rp. 308.394 ribu (3,14 % saja dari keseluruhan dana yang berhasil dihimpun LAZIS-NAS BAMUIS sebesar Rp. 34.950.861 ribu.
Alasan lain ialah bahwa dalam kurun waktu 1990-an, penghimpunan
ZIS di Bank BNI jutru praktis dijalankan oleh Badan Pembinaan Kerohanian
Islam (BAPeKIS), belum dilakukan oleh organ BAMUIS sebagaimana
mestinya. Hal ini dapat ditelusuri dari beberapa dokumentasi yang ada. Di
antaranya surat resmi BAPeKIS No. BPK/28/144 perihal himbauan untuk
pembayaran ZIS yang ditujukan kepada kaum Muslimin dan Muslimat para
pegawai dan pensiunan Pt. Bank Negara Indonesia (Persero) di lingkungan
Kantor Besar, Kanwil 10, Kanwil 12 dan Kantor Cabang se Jabotabek. Dalam
surat ini antara lain disebutkan bahwa kepengurusan Bapekis Korpri Unit
Bank BNI untuk masa bakti 1992 – 1996 telah diperbaharui pada bulan
September 1992. … Dalam kepengurusan yang baru tersebut terdapat
bidang khusus ZIS, yang akan mengelola pengumpulan dan penyaluran
Zakat, Infaq, dan Sodaqoh dari segenap kaum Muslimin dan Muslimat para
pegawai dan pensiunan Pt. Bank Negara Indonesia (PeRSeRo). Bidang
khusus ZIS ini diketuai sendiri oleh Bapak Winarto Sumarto, Direktur
Utama Pt. Bank Negara Indonesia, ….109
Masih terkait dengan isi surat Himbauan BAPeKIS BANK BNI,
ini di dalamnya selain dilengkapi dengan beberapa terjemahan Al-Qur’an
terutama surah at-taubah (9): 103, juga dimuatkan ketentuan yang
menyatakan bahwa:
Zakat 2,5 % dari Penghasilan/Gaji Bruto perbulan.
• Infaq dan Sodaqoh bebas tidak terbatas,
• Di samping itu, diterakan juga Catatan:
109 Badan Pengelola Kerohanian Islam (BAPEKIS) KOORPRI UNIT BANK NEGARA INDONESIA 1946, Surah Himbauan, No. BPK/28/144, tanggal 2 Oktober 1992, ditandatangani oleh H. St. Remy Syahdeini, S.H. (Ketua Umum) dan Drs. H. Pintor Siregar (Wakil Ketua Umum).
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT166 167
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Batas minimum pendapatan/penghasilan yang kena wajib
zakat (Nisab) dalam satu tahun adalah senilai 94 gram emas murni (cf.
Lampiran II SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI No. 29
tahun 1991 dan No. 47 tahun 1991 tgl. 19 Maret 1991), atau aquivalent
dengan penghasilan/gaji bruto perbulan sebesar +- Rp. 200.000,- sudah
terkena wajib zakat. Lepas dari urusan perubahan nama BAMUIS menjadi
BAMUIS BANK BNI 1946 yang insya Allah masih bisa didiskusikan lebih
jauh untuk mencari solusinya yang lebih tepat dan lebih maslahat, yang
pasti dengan menyaksikan nama-nama pengurus YAYASAN BAMUIS di
atas penulis benar-benar merasa takjub akan “kehebatan” BAMUIS yang
sejatinya (secara ideal – konseptual) adalah merupakan BAZIS/LAZIS-
NAS raksasa. Kehebatan BAMUIS terutama terletak pada masing-masing
individu Muslim maupun kolektif-kolegialnya yang mampu menjelmakan
kesadaran masing-masing akan posisi fardu ain (kewajiban/hak individu)
yang bersangkutan maupun hak bersama dan kebersamaannya sebagai
fardu kifayah (kewajiban/hak kolektif) dalam menjalankan roda organisasi
BAMUIS. Simpulan ini dicerminkan oleh semua pengurus yang ada, mulai
dari pengurus harian sampai terutama para anggota dewan penasehat dan
anggota-anggota dewan pengawasnya yang berkaliber nasional bahkan
internasional di samping sangat besar pengaruh dan wibawanya di kalangan
masyarakat luas khususnya umat.
Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwa BAMUIS adalah
yayasan yang paling sedikit benar-benar didukung oleh bagian terbesar umat
Islam Indonesia baik dari kalangan sipil maupun militer; serta mulai dari
tokoh umat hingga tokoh atau bahkan pemimpin bangsa dan negara serta
pemerintah pusat. Karenanya, maka layaklah kalau BAMUIS kita katakan
sebagai modal dasar dan model ideal bagi pembentukan Badan/Lembaga
Amil Zakat Nasional yang ada di Indonesia dewasa ini. Alasannya, sebagai
Badan/Lembaga Amil Zakat perdana, tidaklah mungkin BAMUIS yang
mengikuti apalagi “meniru” BAZIS-NAS/LAZIS-NAS lain yang kebanyakan
baru lahir sesudah keberadaan undang-undang tentang pengelolaan zakat.
Sedangkan LAZIS-NAS BAMUIS, justu dilahirkan setengah abad sebelum
pengundangan undang-undang tentang pengelolaan zakat. Karenanya,
tanpa ada maksud untuk mengecilkan apalagi menafikan kehebatan tokoh-
tokoh lain – non BAMUIS yang juga sangat berharga, in sya Allah tidaklah
salah apalagi berlebihan manakala sekali lagi dikatakan, bahwa BAMUIS
adalah modal dasar dan model ideal bagi pembentukan seluruh Badan/
Lembaga Amil Zakat Nasional yang ada di Indonesia dewasa ini.
C. bAmuIS, modal Dasar dan model Ideal badan/Lembaga Amil Zakat nasional yang modern.
tidak diragukan lagi bahwa salah satu komunitas muslim yang
secara kolektif aktif memperjuangkan pengamalan penghimpunan zakat
secara berjamaah melalui badan/lembaga amil zakat yang modern adalah
Yayasan Baitul Mal Umat Islam (BAMUIS), yang diprakarsai oleh Bank
Negara Indonesia 1946. BAMUIS dibentuk atas inisiatif Pengurus Badan
Pembinaan Kerohanian Islam (BAPeKIS) dengan persetujuan Direktur
Utama beserta jajaran Dewan Direksi Bank BNI, pada tahun 1967.
Maknanya, jauh sebelum kehadiran Undang-Undang tentang Pengelolaan
Zakat baik UU No. 38 th. 1999 dan apalagi Undang-Undang Nomor 23
tahun 2011, BAMUIS sebagai Lembaga Pengelola Zakat yang bersekala
nasional dan modern sudah lebih dulu lahir dan hadir secara sah sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku waktu itu. Sebagaimana
disebutkan sebelum ini, Yayasan Baitul Mal Umat Islam didirikan pada
hari Kamis, tanggal 5 oktober 1967 di hadapan Notaris Raden SoeRoJo
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT168 169
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
WoNGSoWIDJoJo, Notaris Jakarta. Adapun BAZIS atau LAZIS yang lain-
lain, kecuali beberapa saja yang didirikan sebelum kehariran Undang-
Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada umumnya
atau kebanyakan dibentuk sesudah pengesahan dan pengundangan UU No.
38 th. 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Sebagai contoh perbandingan, sebut saja misalnya Badan Amil Zakat
Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (BAZ – Propinsi DKI Jakarta) dan
Baitul Mal Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang keduanya dibentuk jauh-
jauh waktunya sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. BAZ Propinsi DKI Jakarta pembentukannya
dilakukan pada tanggal 5 Desember 1968 berdasarkan Surah Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor Cb-14/8/18//68
tentang Pembentukan Amil Zakat berdasarkan Syariat Islam dalam wilayah
Propinsi Jakarta.110 SK yang ditandatangani oleh Gubernur Ali Sadikin (1927
- 2008) yang menjabat Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Djakarta
selama 11 tahun (1966 – 1977), ini pemberlakuannya dimulai dari tingkat
wilayah Kotamadya sampai ke Kelurahan. Semula, namanya cuma Badan
Amil Zakat (BAZ) tanpa ada embel-embel kata Infak dan Shadaqah (IS).
Penambahan kata Infak dan Shadaqah sehingga kepanjangannya menjadi
Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (disingkat BAZIS) Provinsi Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta, ini baru terjadi pada tahun 1973 (lima tahun
setelah BAZ DKI beroperasi).
Usia BAMUIS yang didirikan tahun 1967 M/1387 H, ini berarti satu
tahun lebih dulu atau lebih tua dibandingkan dengan pembentukan BAZ
yang kemudian diubah menjadi BAZIS Propinsi DKI yang baru didirikan
110 Dr. H. Jailani, dalam Problematika Zakat Kontemporer, hlm. 78.
pada akhir tahun 1968 meskipun BAZIS DKI tepat untuk dinobatkan sebagai
BAZ dan/atau BAZIS pertama dan tertua dalam lingkungan Pemerintahan
Daerah Propinsi di seluruh Indonesia; sementara BAZIS tingkat kota yang
pertama kali memiliki PeRDA Zakat adalah Kota Cilegon – Banten, yakni
melalui PeRDA No. 4/2001 tentang Pengelolaan Zakat di Cilegon yang
kemudian diperkuat dengan SK Walikota Cilegon No. 451.12/ Kep.326.Huk/
2001 tanggal 17 September 2001.111
Kembali kepada kesimpulan dasar dan awal bahwa LAZIS/LAZIS-
NAS BAMUIS adalah Badan/Lembaga Amil Zakat pertama dan utama di
Indonesia, tentu jauh lebih tua usianya dibandingkan dengan Baitul Mal
Propinsi Aceh yang baru didirikan pada tahun 1973 meskipun Baitul Mal
Aceh dapat diposisikan sebagai BAZIS tertua ke-2 tingkat propinsi setelah
BAZIS Propinsi DKI Jakarta. Baitul Mal Propinsi Aceh dibentuk melalui
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Atjeh Nomor 5/1973 tentang
Pembentukan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) yang kemudian
diubah menjadi Badan Harta Agama (BHA). Sehubungan dengan adanya
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun
1991 tentang Pembentukan BAZIS maka terjadilah perubahan nama dari
Badan Harta Agama (BHA) menjadi Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah
(BAZIS) pada tahun 1998. Sekarang, berubah lagi namanya menjadi Baitul
Mal sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 23 th. 2011112 di
samping Pemerintah Aceh sendiri sudah memiliki Qanun khusus tepatnya
Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal dan Instruksi
Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Nomor 06/INStR/2008 tahun 2008
111 Alhamdulillah was-syukru lillah, penulis sempat disertakan dalam salah satu kesempatan diskusi/seminar tentang rencana pembentukan Badan Aml Zakat di Kota Cilegon ini sebelum akhirnya pemerintah setempat berhasil membentuk Peratura Daerah dimaksud.
112 Di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota dapat menggunakan istilah baitul mal (UU No.23 Th. 2011, Penjelasan Pasal 15 ayat (1).
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT170 171
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
tentang Pengumpulan Zakat Penghasilan di Kalangan PNS/Pejabat/
Karyawan Lingkup Pemerintah Pusat dan Karyawan Perusahaan swasta
pada tingkat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berbeda dengan dua Badan Amil Zakat Wilayah/Daerah Propinsi
yang baru saja disebutkan (BAZIS Propinsi DKI Jakarta maupun Baitul
Mal Propinsi Daerah Istimewa Aceh), yang keduanya adalah bersifat lokal/
daerah (masing-masing hanya untuk wilayah Ibu Kota Jakata dan untuk
wilayah Propinsi Aceh), LAZIS-NAS – yang dikelola BAMUIS bersifat
nasional mengingat muzaki maupun mustahik BAMUIS yang notabene
kebanyakannya adalah karyawan-karyawati Bank Negara Indonesia adalah
tersebar luas pada cabang-cabang BNI yang ada di seluruh wilayah Republik
Indonesia. Juga tidak sama dengan LAZ-NAS Rumah Zakat Indonesia pada
Mei 1998.113 YBM BRI (didirikan pada tahun 2001), LAZIS-NAS BANK
MANDIRI (yang dibentuk tahun 2001),114 apalagi dengan LAZIS-NAS PLN
yang pembentukannya secara nasional baru dilakukan pada tahun 2006.115
LAZIS-NAS BNI sebagaimana disebutkan sebelum ini, sudah
mengepakkan sayapnya di berbagai wilayah NKRI sejak akhir-akhir tahun
1960-an dan terutama pada awal-awal tahun 1970-an. Maknanya, juga tetap
113 Rumah Zakat Indonesia awalnya bernama Dompet Sosial Ummuml Qura (DSUQ) yang dibentuk pada bulan Mei 1998 di Bandung, kemudian mengalami perubahan nama menjadi Rumah Zakat (tanpa kata Indonesia di belakngnya). Rumah Zakat memperoleh pengukuhan dari Kementerian Agama RI No. 157 tertanggal 18 Maret 2003,
114 Namanya Lembaga Amil Zakat Nasional Bangun Sejahtera Mitra Ummat (LAZ-NAS BSM UMMAT). Didirikan pada tanggal 21 November 2001, dan pada tanggal 17 September 2002 disahkan oleh Departemen – kini Kementerian – Agama RI sebagai Lembaga Amil Zakat Nsional melalui SK Menag No. 406 tahun 2002.
115 LAZIS-NAS Perusahaan Listrik Negara, untuk pertama kali didirikan di PLN P-3 B Gandul pada tahun 2002, yang kemudian disusul oleh LAZIS ke-2 di PLN DIS Jawa Tengah pada tahun 2003. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2006, ada Surah Keputusan Direksi dari PLN Pusat sehingga LAZIS – PLN kemudian didirikan diseluruh kantor PLN yang ada di Indonesia.
mendahului badan-badan atau lembaga-lembaga amil zakat yang dibentuk
oleh lembaga-lembaga swasta baik bank maupun non bank. Sebutlah
misalnya LAZ MUAMALAt Bank Muamalat, LAZ BANK PeRMAtA,116 dan
lain-lain di mana hampir semua lembaga perbankan kini telah memiliki
Lembaga Amil Zakat. Lebih dari itu, LAZIS-NAS BAMUIS juga lebih senior
dibandingkan dengan sejumlah Lembaga Amil Zakat Swasta sekalipun.
termasuk dengan LAZ Dompet Dhuafa Republika yang dinobatkan sebagai
LAZIS-NAS swasta tertua dan pertama di Indonesia.117
Mengiringi Dompet Dhuafa Republika adalah LAZIS - NAS Rumah
Zakat yang dibentuk pada pertengahan tahun 1998, kala itu masih bernama
Dompet Sosial Ummul Qura’ (DSUQ), yang pada tahun 2003 berubah nama
menjadi Rumah Zakat Indonesia (RZI).118 Rumah Zakat yang dibentuk pada
pertengahan tahun 1998, kala itu masih bernama Dompet Sosial Ummul
Qura’ (DSUQ), yang pada tahun 2003 berubah nama menjadi Rumah Zakat
Indonesia (RZI).119 Kemudian diikuti oleh Peduli Ummat Darut-tauhid yang
dibentuk 16 Juni 1999.120 termasuk LAZIS-MUH (Lembaga Amil Zakat, Infak
116 Alhamdulillah penulis buku ini pernah aktif sebagai sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Permata selama sekitar 10 tahun (2004 – 2014), di mana DPS disertakan aktif dalam membina dan mengawasi Lembaga Amil Zakat yang ada pada Bank Permata yang diawasinya.
117 Lagi-lagi alhamdulillah penulis telah diikutkan terlibat pada Yayasan Dompet Dhuafa sejak tahun 1993 dengan jabatan sebagai Advisor (semacam penasehat Syariah) di masa-masa awalnya, dan kemudian menjadi Ketua Dewan Pembina/Pengawas Syariah DD sejak tahun 2009 sampai sekarang.
118 Penggunaan kata Dompet pada lembaga ini, patut diduga terinspirasi dengan nama Dompet Dhuafa Republika yang kelahirannya 5 tahun lebih dulu (1993) daripada Rumah Zakat Indonesia (1998).
119 Penggunaan kata Dompet pada lembaga ini, patut diduga terinspirasi dengan nama Dompet Dhuafa Republika yang kelahirannya 5 tahun lebih dulu (1993) daripada Rumah Zakat Indonesia (1998).
120 Penggunaan kata Dompet pada lembaga ini, patut diduga terinspirasi dengan nama Dompet Dhuafa Republika yang kelahirannya 5 tahun lebih dulu (1993) daripada Rumah Zakat Indonesia (1998).
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT172 173
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
dan Sedekah Muhammadiyah) dan LAZIS-NU (Lembaga Amil Zakat, Infak
dan Sedekah) yang masing-masing baru didirikan pada tahun 2002 dan
2004.121 Apalagi dengan Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) yang baru dibentuk
pada tahun 2016,122 dan lain-lain meskipun karena satu dan lain hal
terutama atas kebijakan BAZNAS dan Pemerintah (Kementerian Agama RI),
keberadaan LAZ dan perkembangannya dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir, ini banyak yang mengalami perubahan status kelembagaannya.
Beralih pada simpulan yang menyatakan BAMUIS adalah Badan/
Lembaga Amil Zakat Nasional dan bahkan bisa disebut menginternasional,
justru didasarkan pada kenyataan bahwa LAZIS-NAS BAMUIS sejak di
masa-masa awal pembentukannya dimaksudkan untuk beroperasi di
seluruh wilayah Indonesia. terutama di wilayah-wilayah yang di dalamnya
ada cabang-cabang Bank Negara Indonesia. Maksudnya, meskipun
YAYASAN BAMUIS ini didirikan oleh pimpinan dan karyawan Bank BNI
1946, khususnya Divisi III yang membidangi sumber daya manusia (SDM)
dan berkedudukan di Jakarta; namun YAYASAN BAMUIS mengembangkan
wilayah operasional (penghimpunan dan penyalurannya) ke seluruh wilayah
NKRI. Bahkan, BAMUIS bertekad untuk mengepakkan sayapnya ke cabang-
cabang BNI yang ada di luar negeri yang sampai saat ini konon jumlahnya
terbanyak dibandingkan dengan bank-bank Indonesia lainnya.123
121 LAZIS-NAS Muhammadiyah didirikan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah pada tahun 2002 yang ditandai dengan penandatanganan deklarasi oleh Prof. Dr. H. Syafi’i Maarif, MA., dan dikukuhkan oleh Menteri Agama RI dengan SK No. 457/21 November 2002. Sedangkan LAZIS-NAS NU pembentukannya dilakukan dalam Muktamar ke-XXXI Nahdhatul Ulama di Solo – Jawa Tengah.
122 Inisiatif Zakat Inonesia, pada dasarnya merupakan spin of (pemisahan) dari PKPU yang semula bergerak dalam bidang zakat dan wakaf; namun kemudian untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang pada intinya memisahkan antara lembaga zakat dengan lembaga wakaf, maka PKPU melakukan spin of dengan dibentuknya IZI.
123 Sampai tahun 2016, Cabang Bank BNI 1946 di luar negeri antara lain terdapat di Singapura dan Hongkong.
Menariknya lagi, dalam brosur yang sempat diedarkan pada awal-
awal dasawarsa 1970-an (tepatnya tahun 1972), ini ada kalimat yang
menyatakan demikian:
“Kaum Muslimin/Muslimat jang berbahagia: Setelah anda membatja
[membaca] brosur ketjil [kecil] ini, didjelaskan bahwa: ‘Jajasan [Yayasan] Baitul
Mal Umat Islam (BAMUIS) bukanlah semata-mata milik Karyawan2 Muslim
B.N.I. 1946 sadja [saja], tetapi adalah milik seluruh Ummat Islam (termasuk
anda sendiri).” Kalimat “BAMUIS bukanlah semata-mata milik Karyawan2
Muslim BNI” pada satu sisi dan terutama anak kalimat “tetapi adalah milik
seluruh Ummat Islam (termasuk Anda sendiri)124 pada satu sisi yang lain,
jelas menunjukkan tekad besar dan cita ideal para pendiri BAMUIS untuk
membentuk badan Amil Zakat dan Wakaf yang tidak saja mengindonesia
(nasional) yang sudah terwuuud selama 50-an tahun; akan tetapi juga
sampai mendunia (internasional) meskipun belum terealisasikan sampai
sekarang.
Cita BAMUIS yang menasional, bahkan tidak tertutup kemungkinan
meregional dan pada akhirnya menginternasional, ini bisa difahami dari teks
maupun konteksnya yang spesifik. Juga diperkuat dengan rangkaian kata/kalimat
lain yang termaktub dalam pendahuluan Anggaran Dasar (AD) dan Peraturan
Rumah tangga (ARt) BAMUIS yang pertama. Antara lain menyatakan:
“Dengan mengutjap [mengucap] sjukur [syukur] kepada Tuhan Jang
Maha Esa, kami antarkan brosur ketjil [kecil] ini kepada masjarakatkaum
Muslimin/Muslimat, untuk memperkenalkan dan memberikan gambaran atas
kehadiran Jasan [Yayasan] Baitul Mal Ummat Islam (BAMUIS) jang [yang]
124 Jajasan Baitulmal Ummat Islam Jakarta, pa itu baitulmal, lembaran awal (tanpa nomor halaman).
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT174 175
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
diprakarsai oleh Karjawan2 [Karyawan-karyawan] Muslim Bank Indonesia
1946 (d/h B.N.I. Unit III) ketengah-tengah masjarakat Muslimin dimanapun
berada.”
Kalimat “… ketengah-tengah masjarakat Muslimin dimanapun
berada,” ini lagi-lagi menguatkan cita dan tekad (‘azam) YAYASAN BAMUIS
untuk menjadikan Badan/Lembaga Amil Zakat yang dikelolanya menjadi
atau sebagai BAZIS/LAZIS NASIoNAL sebagaimana yang kita lakukan dan
saksikan sekarang. tidak tertutup rapat kemungkinan BAMUIS menjadi
BAZIS/LAZIS INteRNASIoNAL di masa-masa yang akan datang.
Atas dasar uraian di atas, sungguh pada tempatnya manakala
penulis katakan (simpulkan) bahwa Badan atau Lembaga Amil Zakat
Nasional pertama untuk tidak mengatakannya yang utama dan apalagi
“istimewa” di Indonesia, ialah “Badan/Lembaga Amil Zakat Nasional (BAZ-
NAS/LAZ-NAS)” yang didirikan dan dikelola oleh YAYASAN BAMUIS. Atau,
lengkapnya “Badan/Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nasional
(BAZIS-NAS/LAZIS-NAS) modern pertama di Indonesia ialah BAZ/BAZIS-
NAS atau LAZ-LAZIS-NAS - YAYASAN BAItUL MAL UMMAt ISLAM
(BAMUIS) yang pendirian maupun pengelolaannya secara “kelembagaan”
maupun perorangan diprakarsai oleh Bank Negara Indonesia 1946. Atau,
minimal oleh pimpinan dan karyawan Bank Negara Indonesia 1946.
Sehingga, mudah dimengerti dan sungguh wajar manakala dalam perjalanan
selanjutnya nama YAYASAN BAMUIS kemudian diimbuhi kata-kata Bank
BNI 1946 sehingga lengkapnya menjadi ‘YAYASAN BAItUL MAL UMAt
ISLAM BANK BNI 1946.” Belum lagi mempertimbangkan kenyataan bahwa
sebelum tahun 2013 M/1936 H, BAMUIS selalu dan selama itu berkantor di
Kantor Pusat Bank BNI, (pernah) di kompleks Rumah Dinas BNI (terutama
di Jalan Pejompongan dan kemudian pindah ke Slipi yang juga milik Bank
BNI), sebelum akhirnya kini memiliki Gedung sendiri dan mandiri di jalan
Percetakan Negara VII Salemba – Jakarta Pusat.
Lebih siginifikan lagi adalah mayoritas muzaki, munfik dan
mutasadik yang menyalurkan zakat, infak dan/atau sedekahnya kepada
YAYASAN BAMUIS adalah terutama karyawan-karyawati Bank BNI beserta
karyawan-karyawati dan para pengelola anak-anak perusahaan Bank BNI.
Kalaupun ada muzaki, munfik dan mutasadik non BNI, selain jumlah
orangnya yang terbilang sangat sedikit, juga mengingat jumlah dana ZIS-
nya yang masih terbilang kecil.
Alasan lainnya ? Untuk mengokoh-kuatkan posisi BAMUIS sebagai
BAZIS/LAZIS-NAS pertama, didasarkan pada kenyataan bahwa Badan/
Lembaga-lembaga zakat nasional yang lain utamanya Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) baik di tingkat pusat maupun propinsi dan
apalagi di tingkat kabupaten/kota, rerata pembentukannya baru dilakukan
setelah kelahiran undang-undang tentang pengelolaan zakat. Maknanya,
pembentukan BAZ maupun LAZ yang lain-lain apalagi dengan BAZNAS
bentukan Pemerintah (Pusat maupun Daerah), yang baru beberapa tahun
ini setelah dindangkan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat. Dengan
kalimat lain, pembentukan BAZNAS pada dasarnya hanya merupakan
tindak lanjut dan/atau modifikasi atas BAZ/LAZ yang sudah ada khususnya
BAZ/LAZ pertama yang sudah ada di Indonesia bernama BAMUIS yang
pembentukannya diprakarsai oleh Bank BNI 1946. Dengan kalimat lain,
BAMUIS-lah yang menjadi acuan tepatnya sebagai modal dasar/esensial dan
model ideal bagi pembentukan dan pengembangan lebih lanjut kebanyakan
atau minimal sebagian BADAN/LeMBAGA AMIL ZAKAt di Indonesia yang
dibentuk sesudah pengundangan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT176 177
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Beralih kepada kemungkinan LAZIS-NAS BAMUIS dikategorikan
sebagai BAZIS/LAZIS bertaraf internasional, asumsinya antara lain
didasarkan pada pernyataan di bawah ini:
“Pengumpulan dana tersebut dimaksudkan tidak lain adalah untuk
sekedar membiajai aktivitas dan kegiatan jang bertudjuan untuk mempertinggi
nilai dan adjaran serta sji’ar agama Islam bagi seluruh penganutnja dipersada
tanah air ini dan kalau mungkin akan lebih luas dari pada itu. Usaha untuk
mempertinggi adjaran dan martabat Islam dan kaum Muslimin ditanah air
atau diseluruh dunia ini adalah merupakan suatu tjita2 jang tidak akan
tertjapai dengan begitu sadja, tanpa disertai dengan semangat, kesadaran
dan kesediaan untuk berkorban. Berkorban dengan tulus, dan ikhlas dalam
arti kata jang seluas-luasnya, baik berupa harta, waktu, fikiran, tenaga dan
sebagainja, semata-mata ingin mendapatkan ridla Ilahi.125
Bukti lain yang memperkuat LAZIS BAMUIS tepat disebut sebagai
Badan atau Lembaga Amil Zakat Nasional maupun internasional, terutama
dikuatkan dengan distribusi dana ZIS-nya yang sejak di masa-masa awal
didirikan terutama di tahun-tahun 1970-an sampai kiprahnya sekarang,
BAMUIS telah dan masih mentasharrufkan dana yang dihimpunnya ke
berbagai lembaga yang ada di seluruh wilayah Indonesia bahkan sampai
ke negara-negara lain. Hampir atau bahkan semua organisasi sosial
kemasyarakatan dan keagamaan Islam inheren di dalamnya organisasi-
organisasi tertua dan terbesar di Indonesia – tidak terkecuali Persyarikatan
125 Jajasan Baitul Mal Ummat Islam Djakarta, apakah baitulmal, hlm. 15.
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), dan lain-lain --, pernah dan/atau masih menerima penyaluran dana
ZIS oleh/dari BAMUIS.126
Bayangkan pula dengan “ekspansi” bantuan “LAZIS-NAS” BAMUIS
yang sejak tahun 1970/1971 sudah menyalurkan sebagian dana ZIS-nya ke
hampir atau bahkan seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia (NKRI),
dan sekian banyak organisasi sosial keagamaan dan/atau kemasyarakatan
yang menerima distribusi dana ZIS BAMUIS, bahkan sudah menjangkau ke
luar negeri. Antara lain untuk Masjid al-Aqsha di Palestina dan bencana
alam di Nigeria yang jumlahnya sebesar Rp. 30.750-; setara dengan 71,5
gram emas yang waktu itu harganya sektar Rp. 430. Per 1 gram. Demikian
pula dengan bantuan bencana alam untuk Pakistan di tahun yang sama
(1970) sebesar, Rp. 30.000 (tiga Puluh Ribu Rupiah), setara dengan 69,767
gram emas dengan harga sekitar Rp. 430 per 1 gram.
Adapun BAMUIS diistilahkan sebagai LAZIS-NAS modern, terutama
mengingat pengelolaannya yang sejak di masa-masa awal pembentukannya
sudah dijalankan dengan sistem administrasi - manajemen yang modern
pula. Sesuai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat yang menyatakan: “Pengukuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dilakukan atas permohonan lembaga amil zakat setelah
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berbadan Hukum;
b. Memiliki data muzaki dan mustahik;
126 Periksa antara lain DFTAR SUMBANGAN/SADAKAH BAMUIS PER 31-12-1970 (Jajasan Baitulmal Ummat Islam Jakarta, apa itu baitulmal, hlm. 36 – 43.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT178 179
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
c. Memiliki program kerja;
d. Memiliki pembukuan;
e. Pernyataan kesediaan dilakukan audit.127
Selanjutnya, keberadaan LAZ ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, tepatnya pada BAB
VII yang mengatur PeRSYARAtAN oRGANISASI, MeKANISMe PeRIZINAN
DAN PeMBeNtUKAN PeRWAKILAN LAZ, mulai Pasal 56 sampai Pasal 66
dijelaskan sebagai berikut:
Bagian Kesatu
Persyaratan organisasi
Pasal 17
“Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk
LAZ.”
Pasal 18
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri;
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah dan sosial;
127 Keputusan Menteri Agama Nomor 851 Tahun 1999, Pasal 22.
b. Berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. Memiliki Dewan Pengawas Syariah;
e. Memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
f. Bersifat nirlaba;
g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat; dan
h. Bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.
Pasal 19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara
berkala;
Pasal 20
Ketentuan Lebih mengenai persyaratan organisasi, mekanisme
perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
LAZ diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bebarapa hal di atas kemudian dikembangkan dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 14 tahun 2014, yang menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 56
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pen-
distribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT180 181
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Pasal 57
Pembentukan LAZ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib
mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri setelah
memenuhi persyaratan:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum;
b. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
c. memiliki pengawas syariat;
d. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
e. bersifat nirlaba;
f. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat; dan
g. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Bagian Kedua
Mekanisme Perizinan
Pasal 58
(1) Izin pembentukan LAZ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilakukan
dengan mengajukan permohonan tertulis.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam dengan melampirkan:
a. anggaran dasar organisasi;
b. surat keterangan terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
dalam negeri;
c. surat keputusan pengesahan sebagai badan hukum dari kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang hukum dan
hak asasi manusia;
d. surat rekomendasi dari BAZNAS;
e. susunan dan pernyataan kesediaan sebagai pengawas syariat;
f. surat pernyataan bersedia diaudit syariat dan keuangan secara
berkala; dan
g. program pendayagunaan zakat bagi kesejahteraan umat.
Pasal
(1) Izin pembentukan LAZ yang diajukan oleh organisasi kemasyarakatan
Islam bersekala nasional diberikan oleh Menteri;
(2) Izin pembentukan LAZ yang diajukan oleh oleh organisasi
kemasyarakatan Islam berskala provinsi diberikan olee direktur jenderal
yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang zakat pada kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama;
(3) Izin pembentukan LAZ yang diajukan oleh organisasi kemasyarakatan
Islam berskala kabupaten/kota diberikan oleh kepala kantor wilayah
kementerian agama propinsi.
dst
Sebagai Badan/Lembaga Amil Zakat Nasional modern utama dan
pertama di Indonesia, LAZIS-NAS BAMUIS sejak di masa-masa awal dan
selanjutnya secara umum dan keseluruhan dapat dipertanggung-jawabkan
eksistensi maupun kinerja dan prahnya, baik secara historis – sosiologis
maupun secara jurisidis - formal – administratif karena hampir atau
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT182 183
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
bahkan semua persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundangan
telah dipenuhi oleh BAMUIS. termasuk untuk tidak mengatakan terutama
pengakuan dan pengesahannya sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional oleh
Departemen/ Kementerian Agama Republik Indonesia. LAZIS-NAS BAMUIS
dikukuhkan oleh Menteri Agama RI pada tanggal 20 Juni 2002 dengan Surah
Keputusan Menteri Agama Nomor 330 tahun 2002. Guna menyesuaikan
dengan UU RI No. 38 th. 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU RI No.
16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka dengan Akte Notaris No. 23 tanggal
26 November 2002, di hadapan Notaris Koesbiono Sarmanhadi, S.H.,M.H.,
Anggaran Dasar BAMUIS-pun kemudian diubah dan disempurnakan melalui
tambahan Berita - Negara R.I. tanggal 11/11 – 2005 No. 90.
Dokumen yang ditandatangani Direktur Jenderal Administrasi
Hukum Umum – Zulakanain Yunus, SH., MH. --, ini pada intinya
mengatakan “..... bahwa perubahan anggaran dasar Yayasan Baitul Mal
Ummat Islam Bank Negara Indonesia disingkat BAMUIS BNI, berkedudukan
di Jakarta, sesuai akta Nomor 23 tanggal 26 Nopember 2002 yang dibuat
oleh Notaris Koesbiono Sarmanhadi, SH., MH., berkedudukan di Jakarta, akta
nomor 04 tanggal 29 Januari2004 yang dibuat oleh Saudari, dalam rangka
penyesuaian dengan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan, telah Kami terima dan kami catat dalam daftar yayasan.”
eksistensi BAMUIS dalam perjalanannnya semakin menguat dan
kokoh dengan semakin banyaknya pengakuan umat dan masyarakat luas
di masa-masa lalu sampai sekarang melalui para pemimpin umat dan
masyarakat serta tokoh bangsa dan negara baik sipil maupun militer
mulai dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
dan Menteri Agama Republik Indonesia, hingga tokoh ternama bangsa
Indonesia sebagaimana yang akan dikutibkan dalam tulisan di bawah ini.
D. Respons Positif umat dan masyarakat Luas Kepada bAmuIS
Masih terkait dengan penobatan BAMUIS BANK BNI sebagai
LAZIS-NAS modern pertama di Indonesia, adalah merujuk kepada respons
positif, pengakuan tulus, dukungan luas dari berbagai komponen umat dan
komponen bangsa di samping legitimasi para mustahik dan kepercayaan
muzaki, munfik dan mutasadik tentunya. Sebagian daripadanya bisa disimak
dari telusur naskah yang ada dan dikutibkan di bawah ini. terutama
beberapa kata sambutan tertulis yang diberikan oleh tokoh-tokoh Muslim –
Nasionalis dan/atau tokoh Nasionalis – Muslim. Di antara mereka adalah:
1. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia (MPRS RI), meski tidak dibubuhi
tanggal pasti, Jenderal (Besar) A.H. Nasution (1918 – 2000 M) berkenan
memberikan kata sambutannya kepada BAMUIS yang baru lahir itu, dengan
judul “BINA TJITA-2 MASJARAKAT ADIL MAKMUR DENGAN MEREALISIR
ADJARAN WADJIB ZAKAT.” tidak banyak kalimat yang ia tuliskan dalam
sambutannya, namun kata sambutan tokoh militer yang berjuluk “Jenderal
Hijau” (Jenderal Muslim yang taat), dapat dikatakan lebih dari sekedar
cukup memberikan “darah segar” bagi para nakhoda dan pengelola BAMUIS
di awal-awal “pembentukannya.” Di antara kata-kata yang dimaksudkan
ialah:
“Permintaan fihak Jajasan Baitul Mal Ummat Islam kepada saja
untuk memberikan sekedar pemikiran mengenai “Baitul Mal” saja sambut
dengan gembira, karena djustru pengharapan ini mengandung bukan sadja
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT184 185
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
tjita2 dan keinginan, tetapi mengandung hasrat langsung berbuat dalam
amal perbuatan jang njata untuk menggali dari adjaran Agama Islam hal2
jang benar2 mungkin serta dapat dilakukan chususnja membina pusat dana
sosial untuk umat beragama. Jang akan ditudjukan mengisi pembangunan
masjarakat.”
Lebih jauh, Nasution yang antara lain sempat menulis buku
“Mengabdi Republik,” ini katakan: “Pada saat ini kita berada disuatu zaman
dimana harga seseorang atau sesuatu lembaga dinilai dari amal2nja jang
konkrit membangun. Kita telah melampaui kehidupan hanja se-mata2 dengan
angan2. Orde Baru jang tjita-tjitanja kita perdjoangkan bersama dewasa ini,
lebih2 lagi menurut kita [umat Islam] sekalian buat bekerdja dan beramal,
bekerdja dan beramal sebanjak-banjaknja; bekerdja, berfikir dan berdoa
sebanjak-banjaknja.”128
Masih kata Jenderal Nasution, “Dalam bidang beramal setjara konrit
dan njata ditudjukan untuk pembangunan masjarakat, kita melihat adanja
kelemahan pada beberapa golongan. Hal ini adalah mungkin disebabkan
ketiadaan konsepsi pembangunan atau ketiadaan tjara jang pasti dan teratur
atau adanja kekurangan-kekurangan akan pentingnja sektor ini walaupun
djustru bidang inilah jang mendjadi sjarat mutlak untuk mengudjudkan tjita2
kita membangun masjarakat jang adil dan makmur jang diridhoi oleh Tuhan
jang Maha Esa.” 129
Dalam hubungan ini saja [Jenderal Nasution], menjambut dengan
gembira idee mengorganisir zakat umat beragama dan ini berupa modernisasi
128 Jajasan Batulmal Ummat Islam Djakarta, apakah itu baitulmal, hlm. 4.
129 Jajasan Baitulmal Ummat Islam Jakarta, apakah baitulmal, hlm. 4.
jang djuga mendjadi djiwa Orde Baru. Dan kita mengharapkan dari modernisasi
ini hasil-hasil jang njata dan bermanfaat jang dapat disumbangkan untuk
tjita2 Orde Baru membangun masjarakat jang adil dan makmur materiil
spiritual.”130
Inti dari sambutan A.H Nasution, selain pernyataan menyambut
gembira prakarsa BAMUIS, ia juga menaruh harapan besar bagi BAMUIS yang
tidak hanya berteori namun juga sekaligus berpraktek nyata. Ia mengajak
BAMUIS khususnya dan umat Islam umumnya untuk segera menanggalkan
kehidupan utopis yang cuma mengumbar retorika dan sudah lama dilalui,
diubah dengan kehidupan nyata yakni bekerja membangun umat, bangsa
dan negara Indonesia. Nasution tegas menyatakan menyambut gembira
ide pengorganisasian zakat umat Islam dengan cara-cara yang modern,
yang olehnya dinyatakan sama dengan cita-cita Pemerintahan orde Baru
yaitu membangun masyarkat adil dan makmur yang diridhai oleh tuhan
Yang Maha esa. Pada alinea yang lain Nasution menyebutkan harapan
senada agar modernisasi pengelola dan pengelolaan zakat yang dilakukan
BAMUIS dapat disumbangkan untuk cita-cita orde Baru -- kala itu, -- yakni
membangun masyarakat adil dan makmur materiil – spiritual.”
tiga sampai lima kata yang disebutkan terakhir, “adil,” “makmur,”
dan “diridhai” oleh tuhan Yang Maha esa; serta materiil dan spiritual
ini benar-benar merupakan untaian kata dan kalimat yang tidak saja
qur’ani dan hadisi (Islami); akan tetapi juga mengisyaratkan cita dan
wujud pembangunan Indonesia yang sangat bertumpu pada keadilan dan
kemakmuran pada satu sisi, dan pembangunan yang berkeseimbangan
antara material dan spiritual pada sisi yang lain.
130 Jajasan Baitulmal Ummat Islam Jakarta, apakah baitulmal, hlm. 5.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT186 187
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Mengapa ? Bukankah keadilan (hukum, sosial, politik, ekonomi
dan lain-lain) itu merupakan cita dan/atau “mimpi” semua bangsa dan
negara serta agama dan bahkan semua insan yang ada di muka bumi ini
walaupun persepsi dan instrument yang digunakan berbeda-beda antara
yang satu dengan yang lain ? Keadilan itulah pula yang selalu diusung
agama termasuk jika kurang elok untuk dikatakan terutama agama
Islam yang sangat gamblang dan lantang dalam menyuarakan keadilan
sebagaimana dapat dilacak dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis dan lain-
lain. Konsep keadilan yang ditawarkan Al-Qur’an benar-benar bersifat utuh
dan menyeluruh di samping meliputi segala hal. tidak kecuali keadilan
dalam lapangan ekonomi dan keuangan di samping adil dalam bentuk
ucapan, perbuatan dan tindakan.131
Konsep Al-Qur’an tentang adil/keadilan (al-’adlu) dapat dikatakan
tidak ada duanya. Al-Qur’an memberikan tuntunan dan sekaligus tuntutan
yang demikian jelas, tegas dan lugas tentang hal penegakan hukum dan
keadilan serta penghapusan penistaan dan kezhaliman; termasuk dalam
hal keadilan sosial – ekonomi sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa
dan negara Indonesia yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Salah satu pembuktiannya ialah dengan adanya pewajiban zakat sebagai
rukun Islam ketiga yang dengan pembayaran zakat itu maka asas keadilan
dan pemerataan ekonomi semestinya dapat direalisasikan; meskipun dalam
kenyataannya sampai kini masih sulit untuk dirasakan.
Makmur (al-ma’múr), patut diduga kuat berasal dari kata Arab –
Al-Qur’an, yaitu al-ma’múr sebagaimana terdapat dalam surah al-thúr
(52): 4 (wa-al-bait al-ma’múr = demi Bait al-Ma’múr). Al-Bait al-Ma’múr
131 Perhatikan beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya: al-Baqarah (2): 282, al-Nisá’ (4): 58; al-Má’idah (5): 95; al-Nahl (16); 76.
adalah tempat sejenis Masjid di langit ketujuh yang digunakan thawaf
oleh para Malaikat sebagai makhluk suci yang jumlahnya mencapai 70-an
ribu dalam satu hari. Al-Bait al-Ma’múr, adalah tempat yang mulia bagi
dan dimuliakan oleh penduduk langit (ahl al-samá’); ibarat Ka’bah al-
Musyarrafah (Kakbah yang dimuliakan) oleh penduduk Muslim di bumi.132
Kata al-ma’múr terambil dari akar kata ‘amara – ya’muru – ‘amrán
– wa’amáratan, yang secara harfiah artinya: dihuni atau didiami; atau
menempati, mendiami dan menghuni (suatu rumah/tempat). termasuk
masjid, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an yang terjemahannya adalah:
Sesungguhnya yang (berhak) memakmurkan masjid-masjid Allah itu ialah
hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain
kepada Allah; maka mereka itulah orang-orang yang diharapkan termasuk (ke
dalam) golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk
(at-Taubah (9): 18).
Maknanya, yang berhak memakmurkan dalam arti meramaikan
dan mensyiarkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang beriman; bukan
orang-orang non mukmin (kafirin dan munafikin) sebagaimana pernah
terjadi pada suatu waktu dan di sebuah tempat yang menyebabkan ayat
di atas (al-taubah (9): 18) dan ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya
diturunkan. Menurut suatu riwayat,
132 Muhammad bin Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafásír, jil. 3, hlm. 262.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT188 189
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Dikemukakan bahwa Al-Abbas di saat-saat dia di tawan pada peperangan
Badar (17 Ramadhan 2 H/13 Maret 624 M), ia berujar: “sekiranya kalian
termasuk orang-orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, hijrah dan jihad,
maka sebenarnya kami termasuk orang-orang yang memakmurkan masjid
al-Haram [dengan keterlibatan kami) sebagai pemberi minum kepada orang-
orang yang naik haji dan membebaskan orang-orang dari penderitaannya.
Maka turunlah ayat 17, 18 dan 19 surah al-taubah di atas.
Makmur, dalam bahasa Indonesia diartikan dengan (1) banyak
hasil (2) banyak penduduk dan sejahtera (3) serba kecukupan; tidak
kekurangan.133 Zakat, sesuai dengan pengertian harfiah maupun makna
istilahiahnya, telah dibuktikan kebenarannya oleh BAMUIS dan lain-lain.
Secara material, dana zakat nyaris tidak pernah berkurang; dan secara
spiritual juga tidak pernah membuat muzaki merasa jenuh. Maknanya,
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur serta diridhai oleh Allah
SWt, ini sama persis semangatnya dengan pembangunan ekonomi dan
keuangan yang ditekankan oleh pensyariatan zakat. Salah satunya dalam
kadar tertentu telah dibuktikan oleh YAYASAN BAMUIS dalam kurun waktu
setengah abad (1967 – 2017).
2. K.H. M. Dachlan
K.H. Moch. Dahlan (1909 – 1977 M), Menteri Agama RI ke-11 (1967
– 1971) pada Kabinet Pembangunan I Pemerintahan orde Baru di bawah
kepemimpinan Presiden H.M. Soeharto (1967 - 1998 M) dalam sambutan
tertulisnya pertanggal 15 Djuli 1968, Nomor: MA/247/1968, Dachlan pada
intinya menyatakan bahwa sebagai Menteri Agama, ia turut menyambut
133 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hlm. 863.
baik usaha BAMUIS di mana pada waktu itu (dasawarsa 1960-an) usaha
yang dilakukan BAMUIS dalam bentuk menghimpun dana ZIS dengan
pengelolaan yang profesional dan modern, ini sungguh diperlukan sekali;
terutama di dalam mengumpulkan dana bagi umat Islam khususnya dan
bangsa Indonesia umumnya untuk membantu Pemerintah yang pada masa
kini sedang membangun disegala bidang, baik dibidang material maupun
dibidang mental dan spiritual.
Selanjutnya, Menag - Dachlan dalam sambutan super pendeknya yang
cuma terdiri atas tiga aline singkat-singkat, ini mengatakan: “Hal ini kami
minta agar dipelihara dengan sebaik-baiknja. Terutama pengertian Baitulmal
itu sendiri hendaknya merupakan suatu Baitulmal jang mendjadi idaman bagi
segenap Ummat Islam dan dirasakan manfaatnja; sehingga masjarakat adil
dan makmur jang diridhoi Allah S.W.T. jang merupakan idaman dan tjita2
kita segenap bangsa Indonesia akan tertjapai dan berhasil dengan sukses.” 134
Kata-kata “Adil – Makmur” atau “Adil dan Makmur” merupakan dua kata
yang dijadikan ikon inti pada masa-masa Pemerintahan orde Baru waktu
itu. Demikian pula dengan kalimat “Ridha Allah SWt atau ridha tuhan
Yang Maha esa sebagaimana diucapkan baik oleh Jenderal A.H. Nasution
maupun Menteri Agama – Moch. Dachlan yang dikutibkan di atas.
134 Jajasan Baitulmal Ummat Islam Djakarta, Apa itu Baitulmal, hlm. 6.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT190 191
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
3. M. Natsir
Mohammad Natsir (1908 - 1993)135 adalah tokoh Muslim –
Nasionalis yang kiprahnya menginternasional mengingat nama maupun
karya-karyanya yang beredar dan diedarkan secara luas ke berbagai pelosok
tanah Air Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya khususnya
kawasan timur tengah. tidak terkecuali dengan “sederet” jabatan formal
maupun non formalnya yang demikian banyak meskipun masih tetap
bisa dihitung. Antara lain tercatat sebagai Ketua Majelis Syura Muslimin
Idonesia (MASJUMI), di samping terutama sebagai Perdana Menteri Kabinet
Natsir pada masa Negara Republik Indonesia Serikat (6 September 1950 –
27 April 1951).
Negarawan Muslim Indonesia yang sempat keluar – masuk penjara
baik di masa-masa Pemerintahan orde Lama (1945 – 1967) maupun di saat-
saat rezim orde Baru berkuasa (1967 – 1998), ini meskipun pada akhirnya
ia memperoleh penganugerahan Bintang Republik Indonesia Adhi Pradana
(1999) pada masa Presiden B.J. Habibie (1998 – 1999), dan kemudian
Pahlawan Nasional Indonesia (2008) di era Pemerintahan Susilo Bambang
135 Mochammad Natsir, kelahirahn Alahan Panjang Lembah Gumanti Solok – Sumatera Barat, adalah salah seorang tokoh Islam terkemuka Indonesia maupun dunia pada zamannya. Selain tercatat pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri (ke-5) Indonesia pada masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 – 1950, adalah pendiri dan sekaligus pemimpin Partai Politik Islam Masjumi (Majelis Sjura Muslimin Indonesia), di samping sebagai Pendiri dan Pemimpin organisasi dakwah Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang masih eksis dan berkibar sampai sekarang. Hingga akhir hayatnya, Natsir telah berhasil menulis ratusan karya tulis, terutama dalam bentuk buku yang berjumlahnya puluhan (45-an). Sebagian besar daripadanya masih dijadikan rujukan oleh uamat Islam dan masyarakat luas hingga sekarang. Tokoh pejuang yang me,peroleh gelar Doktor Honoris Causa sebanyak tiga kali masing-masing 1kali dari Universitas Islam Libanon (dalam bidang politik Islam); dari Universitas Sains Malaysia (dalam bidang Pemikiran Islam), dan bidang Sastra dari Universitas Kebangsan Malaysia (UKM). Malaysia, ini pada tanggal 10 November 2008 Natsir dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Tidaklah mengherankan manakala foto/gambar Natsir pernah bertengger dalam prangko Indonesia. Belum lagi sejumlah penghargaan yang pernah ia terima dari berbagai tokoh internasional.
Yudoyono (2004 - 2014), ini juga sempat menuliskan kata sambutan yang
sangat berkualitas terkait dengan pembentukan BAMUIS. Mantan Wakil
Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang juga pernah menjabat
sebagai Presiden Liga Muslim Sedunia, Ketua Masjid Sedunia, salah seorang
Pendiri dan Anggota Dewan eksekutif Robithah Alam Islami, dan lain-lain,
ini setelah menyebutkan beberapa point singkat namun padat dan in sya
Allah akurat tentang kedudukan harta milik dalam Islam, ulama intelek
dan intektual yang alim bernama M. Natsir, ini menuliskan:
“… Maka dalam rangka inilah saja – dan, rasanja seluruh umat Islam
juga sadar akan kepentingan mengatur tatatjara jang baik untuk mendjelmakan
fungsi sosial daripada harta umat Islam itu sama2 menjambut dengan
gembira inisatip daripada Sdr2 dari B.N.I. Unit III Pusat untuk mendirikan
Jajasan Baitul Mal Umat Islam atau Bamuis ini. Pengumpulan zakat dan
lain2 untuk infaq fi sabilillah setjara lokal dan insidentil, sudah banjak
dilaksanakan oleh umat Islam dimasing2 tempat. Jang kita perlukan sekarang
ialah tjara pengumpulan jang teliti, pemeliharaannja jang administratif [dalam
arti] dapat dipertanggung djawabkan dan penggunaannja jang efektif sesuai
dengan ketentuan2 adjaran Islam.136
Dalam mengakhiri kalimat sambutannya, yang kehidupannya dikenal
sangat santun, sederhana dan pejuang (mujahid) sejati, ini mengakhiri kata
sambutannya demikian: “Achirnja saja [saya] mengharapkan agar mudah2an
prakarsa jang telah diselenggarakan oleh Bamuis ini akan merupakan Uswah
Hasanah (tjontoh jang baik) bagi kita Ummat Islam diseluruh tanah air.”
136 Jajasan Baitul Mal Ummat Islam Djakarta, apakah baitulmal, hlm. 8-9.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT192 193
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Sekedar untuk menghayati dan merenungkan semangat perjuangan
M. Natsir dalam hal kehidupan beragama serta berbangsa dan bernegara,
yang sekaligus membedakan dirinya dari beberapa negarawan lain
termasuk dengan Ir. Soekarno, sedikitnya bisa disimak dari sekelumit
ungkapan Buya HAMKA berikut ini: “Ir. Soekarno, yang menjadi pelopor
gerakan nasional ketika itu, menyemboyankan: “Berjuanglah mencapai
Kemerdekaan Indonesia dengan dasar nasionalisme ! Adapun agam adalah
pilihan dan tanggung-jawab masing-masing diri !” “M. Natsir berpendapat,
Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan
hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Baginya Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu
sendiri, sumber dari penentangan setiap macam penjajahan; eksploitasi
manusia atas manusia; pemberantasan kebodohan, kejahilan, pendewaan
dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak
memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah
suatu langkah, suatu alat yang sudah semestinya di dalam menuju kesatuan
besar, persaudaraan manusia di bawah lindungan dan keridhaan Ilahi.
Sebab itu, Islam itu adalah primair, demikian pandangan M. Natsir.”137
4. Buya Hamka
Sungguh terlalu banyak untuk disebutkan apalagi diuraikan satu
persatu “tumpukan” jabatan yang pernah diemban Buya HAMKA selama
hayatnya (1908 – 1981 M/1253 - 1326 H), dalam hal ini setelah menginjak
usia dewasa tentunya. Selain al-‘álim al-‘allámah dalam bidang ilmu-ilmu
keislaman, sastrawan, budayawan, siyasah (politik) dan lain-lain, Buya
yang politisi atau politisi yang Buya, ini sangat ternama dan termasyhur
namanya di Indonesia maupun dunia sampai sekarang. tokoh agama dan
137 M. Natsir, Capita Selekta . hlm. 9.
tokoh bangsa yang sebelumnya pernah aktif sebagai jurnalis dan guru
agama, ini dua hingga tiga jabatan penting yang tepat dikemukakan di
sini ialah bahwa Buya HAMKA adalah Pendiri dan Pemimpin Yayasan Al-
Azhar yang masih eksis dan terus berkibar sampai sekarang dan tersebar di
beberapa wilayah Indonesia. Jabatan lainnya adalah Ketua Umum Pertama
Majelis Ulama Indonesia/MUI (1975 - 1980), salah seorang Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, dan lain-lain.
Penulis tafsir Al-Azhar (lengkap 30 Juz) yang sangat melegenda di
samping sekian banyak karya-karya keagamaan lainnya, yang memperoleh
anugerah gelar doktor honoris causa (Doctor H.C.) dari Universitas Al-Azhar
– Kairo dan Universitas Nasional Malaysia, serta Guru Besar (Profesornya)
dikukuhkan oleh Universitas Prof. Dr. Mustopo (Beragama), ini dalam kata
sambutannya untuk BAMUIS, antara lain menyebutkan:
“… Sekarang datanglah zaman merdeka. Dalam teori, kemerdekaan
adalah kesempatan sebesar-besarnja mengatur perdjoangan agama kembali
tetapi buat mencapai tudjuan itu tidaklah dapat dielakkan kenjataan jang ada
dikeliling kita. Meskipun Indonesia telah merdeka, namun dia belumlah negara
jang diatur menurut sjariat Islam. Sebab itu pungutan zakat masih bersifat
sukarela, sebagaimana djuga sedekah, hibah, hadiah, dan wakaf. Kalau orang
enggan mengeluarkan zakat belum ada undang-undang jang dapat menuntut
orang itu menuurt hukum. Sebabnja ialah karena jalan berfikir masih sadja
masih saja dipengaruhi oleh adjaran penjajahan 350 tahun; zakat adalah
urusan prive ! Selama ini kaum Muslimin miskin, zakatnja hanja sukarela,
dan kaum muslimin itu majoritas. Sebab itu maka segala amal usaha kaum
Muslimin tidak bisa berdjalan teratur, karena pungutan zakat adalah sukarela,
terserah kepada jang akan berzakat.138
138 Yayassan BAMUIS Djakarta, apa itu baitul mal, hlm. 13.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT194 195
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
“….. Sedjak 50 tahun jang terakhir ini perkumpulan2 Islam telah
mulai mendidik anggotanja berzakat dan digunakan untuk kepentingan
umum. Dalam hal ini perkumpulan2 sebagai Muhammadiyah,139 Nahdhatul
‘Ulama,140 Al-Djam’iyyah Al-Washliyyah,141 P.S.I.I142 dan lain-lain telah berjasa
memajukan tjara berfikir kaum Muslimin Indonesai, agar zakat dipergunakan
untuk maslahat umum. Bahkan al-marhum H.O.S Tjokroaminoto (1882 –
1934) pernah mengemukakan teori Bank Shadaqah atau Bank Zakat. Setelah
Indonesia merdeka dari sedkit kesedikit dipupuk lagi kesadaran ini, sesuai
dengan berfikir modern. Satu diantara inisiatif itu ialah jang dikemukakan
oleh Direksi Bank Negara Indoesia Unit III dengan mendirikan “Jajasan Baitul
Mal Umat Islam” (BAMUIS).
Seketika saja diberitahu dan dimintai fikiran oleh pengambil
prakarsa BAMUIS ini pada bulan September 1967 dalam kesan pertama
sadja telah tumbuh rasa hormat dan penghargaan saja jang setinggi-
tingginya. Pengambil prakarsa BAMUIS ini ialah Karyawan Islam BNI.
Mereka penuh tjita-tjita. tetapi tjita-tjita itu mereka pupuk terlebih dahulu
dalam kalangan mereka sendiri. Pada 5 oktober 1967 telah berdiri jajasan
tersebut dimuka Notaris Raden Soerojo Wongsowidjojo. Mereka timbulkan
kesadaran dalam kalangan anggota sendiri, jang tersebar diseluruh
Indonesia agar memberikan sebagian uangnja untuk Baitul Mal tersebut,
139 Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan pada tanggal 8 Dzul Hijjah 1330 H/18 November 1912 M DI Yogyakarta (Ensiklopedi Islam¸3, hlm. 275).
140 Nahdhatul Ulama (N.U) diririkan di Surabaya tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M atas inisiatif K.H. Hasyim Asy’ari (1875 – 1947 M) dan K.H. bdul Wahhab Hasballah (1888 – 1971 M) dan kawan-kawan.
141 Al-Djam’iyyatul Washliyyah, didirikan di Medan - Sumatera Utara pada tanggal 30 November 1930 atas inisiatif sekelompok pemuda yang belajar di Maktab Islamiyah Tapanuli (Ensiklopedi Islam, 2, hlm. 303).
142 Syarikat Islam (SI), yang semula bernama Syarikat Dagang Islam (SDI) didirikan oleh H. Samanhudi (1868 - 1956) dkk di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905.
dan diajak pula nasabah-nasabah jang ada keinsafan beragama. Dengan
demikian BAMUIS kian lama kian kembang. Mereka mempunjai tjita-tjita
agar dengan Baitul Mal jang mereka dirikan ini amal-amal Islam, da’wah
Islam dan kegiatan Islam dapat disokong dan dibantu.143
5. Sjahboeddin Latif
Sjahboeddin Latif ( ? )144 yang mewakili Dewan Penasehat YAYASAN
BAMUIS, dalam sambutan tertulisnya yang juga sangat singkat (hanya
tiga aline pendek-pendek), menyatakan bahwa “Maksud tudjuannja untuk
mengusahakan dana menurut tjara2 jang diridhoi Allah dan hasilnja akan
disalurkan untuk keagungan Kalimatullah. Maka dengan berhasilnja usaha itu
diharapkan dapatnja dilenjapkan kelemahan Ummat Islam dibidang keuangan,
kekurangan dana dalam usaha, dalam perdjuangan untuk pembangunan,
kebangkitan Ummat Islam lahir-bathin, dunia-achirat, dengan ridho Ilahi.”
“Alangkah luhurnja, alangkah mulianja tjita2 dan usaha itu.”
“Pastilah akan memperoleh bantuan dan sokongan dari Umat Islam
segenapnja.”
“Insja Allah,”145 Imbuh Sjahboeddin.
6. Sjafruddin Prawiranegara
Salah seorang anggota Dewan Pengawas Yayasan BAMUIS di
masa-masa awal pembentukannya adalah Sjafruddin Prawiranegara
143 Jajasan Baitulmal Ummat Islam, apakah baitul mal, hlm. 13 – 14.
144 Penulis belum/tidak berhasil menguak masa-masa hidupnya.
145 Jajasan Baitulmal Ummat Islam, apa itu baitulmal, hlm. 10.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT196 197
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
(1911 – 1989 M), salah seorang tokoh pejuang Indonesia yang dedikasi
maupun konsistensinya sangat dikenal luas oleh masyarakat umum
(Indonesia maupun mancanegara). Sjafruddin, yang mengawali karirnya di
Departemen Keuangan (Departemen van Financien) pada masa pemerintah
Hindia Belanda (1940 – 1942) dan Kantor Pajak pada masa pendudukan
Jepang (1942 – 1945), dalam perjalanan selanjutnya menjadi salah satu
tokoh sentral di masanya, setelah ia aktif pada Komite Nasional Indonesia
(KNI) Karesidenan Bandung dan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Pak Sjaf, demikian ia biasa disapa oleh para koleganya, kemudian berturut-
turut diangkat menjadi Menteri Muda Keuangan pada Kabinet Sjahrir II
(Maret – oktober 1946), Menteri Kemakmuran pada Kabinet Hatta (Januari
1948 – Agustus 1949), sampai akhirnya pernah menjabat sebagai Ketua
[tepatnya semacam “Presiden”] Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI) saat-
saat Agresi Militer Belanda II.
Usai Agresi Militer Belanda II, Sjafruddin diangkat sebagai Wakil
Perdana Menteri pada Kabinet Hatta II (Agustus – Desember 1949), dan di
masa Demokrasi Parlementer, salah seorang Dewan Pengurus Pusat (DPP)
Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) ini ditunjuk sebagai
Menteri Keuangan pada Kabinet Natsir (1950), dan lalu di angkat menjadi
Gubernur De Javasche Bank yang terakhir dan sekaligus sebagai Gubernur
Bank Indonesia (BI) yang pertama (1951-1958). Seluruh jabatan Sjafruddin
Prawiranegara di pemerintahan berakhir ketika ketika ia bergabung dengan
PRRI pada 1958.146
Sayangnya, penulis mengalami kesulitan untuk mengorek lebih
jauh tentang sebesar jasa atau jasa-jasa yang Sjafruddin Prawiranegara
146 Edi Sudarjat, Sjafruddin Prawiranegara Biografi Pemikiran Islam Indonesia, hlm. 23 – 29.
berikan kepada umat melalui Yayasan BAMUIS ini; selain karena tidak
memberikan sambutan apapun dalam dokumen-dokumen yang ada, juga
disebabkan kesulitan penulis dalam melacak informasi tentang pasrtisipasi
aktif pemikirannya selama duduk sebagai salah seorang pengurus (anggota
Dewan Pengawas) BAMUIS. Yang jelas, Sjafruddin adalah sosok negarawan
Muslim yang selalu ikut andil dalam segala hal yang ia ikut terlibat di
dalamnya.
7. E. Soekasah Somawidjaja
Meskipun peneliti/penulis tidak menemukan sambutan tertulis
maupun komentar apapun tentang BAMUIS, namun e. Soekasah
Somawidjaja (1921 – 1996) justru tercantum sebagai Ketua Dewan Penasehat
BAMUIS dengan anggota-angota: K.H> Moch. Dachlan, M. Natsir, Let.
Djen Soedirman dan Sjahboeddin Latif yang sudah lebih dulu disebutkan
sebelum ini. Yang jelas, Soekasah adalah salah seorang Perwira Polisi yang
memiliki pengaruh cukup besar bagi NKRI dan para Pemimpnnya, baik di
masa-masa Pemerintahan orde Lama (1945 – 1966) maupun orde Baru
(1966 – 1998). Di antara jabatan yang pernah diemban Soekasah ialah
Kepala Pengawal rombongan Presiden Soekarno dan para menteri yang
mengungsi dengan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta
(1946), Pribumi pertama yang menjadi pemimpin Bank Indonesia Semarang
(1942 – 1945), pernah diberbantukan kepada Komando operasi Mandala
yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto yang kelak menjadi Presiden
RI ke-2 (1967 – 1998) setelah berakhirnya pemerintahan Ir. Soekarno.
Setelah operasi Mandala selesai dan sukses, Soekasah memegang jabatan
baru sebagai Direktur Ketua Bank Negara Indonesia Unit II (exim dan BRI),
dan tahun 1968, Presiden Soeharto mengangkat Soekasah sebagai Direktur
Utama Bank Negara Indonesia Unit III. Soekasah juga pernah menjabat
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT198 199
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang) bidang sektoral dan
departemental yang dilantik pada 23 Juli 1974 dan dijalaninya sampai
tahun 1989; sampai akhirnya ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk
Negara Kerajaan Arab Saudi – merangkap Pemerintah Kesultanan oman
dan Pemerintah Republik Arab Yaman -- di tahun 1989 hingga 1990-an.
Memerhatikan sejumlah kata sambutan tokoh-tokoh Islam,
perwakilan pemimpin bangsa dan/atau perwakilan pemerintah Republik
Indonesiadi di awal-awal pendirian BAMUIS sebagaimana disampaikan
di atas, ditambah lagi dengan susunan pengurus lengkap Yayasan
BAMUIS, tidak ragu lagi penulis untuk menyimpulkan bahwa kehadiran
Yayasan BAMUIS terutama di masa-masa awal pendiriannya, benar-benar
mendapatkan dukungan penuh dari sejumlah tokoh yang merepresentasikan
dukungan luas umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Sejumlah kata sambutan tokoh-tokoh Nasionalis - Islami dan/atau tokoh-
tokoh Muslim – Nasionalis yang merepresentasikan kalangan militer
(antara lain Jenderal A.H. Nasution sebagai Ketua MPRS waktu itu, dan Let.
Djen. Soedirman sebagai anggota Dewan Penasehat BAMUIS), maupun sipil
oleh perwakilan Pemerintah Pusat (Menteri Agama RI – K.H.M. Dachlan),
dengan dukungan penuh tokoh-tokoh Islam - Nasionalis (diwakili M.
Natsir, Buya Hamka, Sjahboeddin Latif, Sjafruddin Prawiranegara, dan lain-
lain). Ibarat kata pepatah lama yang masih punya makna, “pucuk dicinta
ulam tiba” dan “gayung bersambut, kata berjawab” sambutan para tokoh
di atas mendapatkan “pengaminan” yang luas oleh para penerima manfaat
(mustahik) zakat dari berbagai kalangan yang sebagian daripadanya juga
sudah dituliskan sebelum ini. Amanat para tokoh di atas meskipun belum/
tidak dapat dikatakan sempurna, sampai sekarang masih dijunjung tinggi
oleh pengelola LAZ BAMUIS BNI.
Dari kenyataan ini pula dapat difahami bahwa sejak di masa-
masa awal kelahiran dan kehadirannya lebih dari setengah abad yang
silam, dan lebih-lebih lagi di saat-saat keberadaannya sekarang, Yayasan
BAMUIS ini benar-benar mendapatkan respons positif dari tokoh-tokoh
agama maupun bangsa. Dengan kalimat lain, kehadiran LAZIS-NAS
BAMUIS dan keberadaannya sampai sekarang benar-benar memperoleh
dukungan penuh dan luas dari berbagai kalangan (sipil maupun militer),
(sebagian) pemimpin bangsa maupun pemerintah negara Indonesia secara
luas dan cukup renresentatif jika kurang tepat dikatakan utuh dan apalagi
menyeluruh. Dukungan umat ? tentu saja tidak diragukan lagi dari dulu
sampai sekarang dan in sya Allah mudah-mudahan sampai di waktu-waktu
yang akan datang.
Sambutan ceria dan penuh spirit para tokoh nasional yang
menginternasional sebagaimana dikutibkan di atas, secara sendiri-sendiri
(terpisah) dan lebih-lebih secara kumulatif, ini benar-benar lebih dari sekedar
cukup untuk merepresentasikan dan sekaligus mempresentasikan respons
sangat positif yang sekaligus menandakan simpati umat Islam khususnya
dan bangsa Indonesia umumnya atas kelahiran dan kehadiran Yayasan
Baitul Mal Umat Islam sebagai Badan/Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZ-
NAS) atau lengkapnya Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah Nasional
(LAZIS-NAS) modern di Indonesia. Lebih dari sekedar itu, semua tokoh
di atas mengakui sosok atau wujud BAMUIS sebagai Badan/Lembaga Amil
Zakat yang terbilang modern untuk ukuran waktu itu maupun sekarang
dan insya Allah sampai di masa-masa yang akan datang. tentu dengan
segala perubahan dan penyesuaian di sana-sini.
Selain karena istiqamah semua tokoh yang disebutkan di atas
dalam hal beragama, berbangsa dan berenagara dan bahkan berdunia, juga
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT200 201
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
terutama disebabkan semua mereka mempertimbangkan kesungguhannya
untuk menyampaikan secara lugas dukungan penuh dan terbuka kepada
BAMUIS di tengah-tengah situasi politik bangsa dan negara Indonesia yang
kala itu masih belum kondusif manakala kurang tepat untuk dikatakan
masih “dirundung” faham komunisme. Baik Moch. Dahlan maupun Natsir
dan Buya Hamka, lebih lagi Jenderal A.H. Nasution, keempatnya adalah
penentang tegas dan keras atau bahkan kuat dan berat terhadap ideologi
komunis maupun faham komunisme dan sekaligus anti PKI. Sedangkan
BAMUIS sendiri adalah yayasan dan lembaga zakat yang begitu setia
menjunjung-tinggi ajaran agama Islam dengan mengamalkan segala
perintah dan menjauhi semua larangannya yang telah dianut dengan baik
oleh Ummatan Muslimatan Indonesia. termasuk oleh individu-individu
Muslimin-Muslimah - karyawan/karyawati Bank Negara Indonesia (BNI)
yang dalam urusan zakat telah berhimpun dengan atau di dalam YAYASAN
BAMUIS.
Ringkasnya, “Organisasi [BAMUIS}] itu berbentuk suatu jajasan jang
diperkuat dengan akte Notaris RS. Wongsowidjodjo dan diberi nama BAITUL
MAL UMMAT ISLAM, disingkat BAMUIS. Jajasan ini telah mendapat dukungan
jang spontan dari seluruh warga B.N.I. 1946, baik dari Direksi maupun dari
umat Islam dan organisasi-organisasi Islam jang ada dilingkungan B.N.I. 1946.
Inilah jang merupakan modal pertama dan jang paling utama, jang akan
mendorong aktivitas BAMUIS untuk menghimpun dana dan selanjutnja akan
disalurkan dan mengusahakan dana tersebut menurut tjara2 jang dibenarkan
oleh adjaran agama Islam.”147
147 Jajasan Baitulmal Ummat Islam Djakarta, apakah baitulmal, hlm. 15.
E. Perubahan nama JAJASAn bAmuIS menjadi bAmuIS bAnK bnI
Di balik kelancaran sejarah perjalanan BAMUIS terutama dari
awal-awal waktu pendiriannya sampai tahun-tahun 2016-an yang dapat
dikatakan tidak mengalami permasalahan apapaun dalam melaksanaan
tugas utamanya sebagai pengelola ZIS, ada satu hal penting yang patut
dicatat atau malahan dipertanyakan di sini, yaitu bahwa dahulu, di awal-
awal pendirian “Jajasan Baitulmal Ummat Islam (Yayasan Baitul Mal Umat
Islam) sebagaimana termaktub dalam akte notaris, di belakang kata
BAMUIS sama sekali tidak ada penyertaan kata-kata BANK BNI atau
lengkapnya BANK BNI 1946 sebagaimana yang terjadi di kemudian waktu
sampai sekarang in, yakni BAMUIS BANK BNI.
Pertanyaannya kini: “Sejak kapan “Jajasan BAMUIS” diubah dan/
atau ditambah beberapa kata/kalimat sehingga menjadi “Yayasan Baitul
Mal Umat Islam Bank BNI 1946 ?” Masih perlu ditelusuri lebih lanjut.
Pasalnya ? Berdasarkan penelusuran dokumen lama yang ada, patut diduga
kuat pelengkapan nama BAMUIS menjadi BAMUIS BANK BNI 1946, terjadi
pada saat-saat pengubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga
yang dilakukan di hadapan Notaris Koesbiono Sarmanhadi.”
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga BAMUIS
yang baru, sebagaimana dimuat dalam tambahan Berita Negara R.I.
tanggal 11/11 – 2005 No. 90, antara lain disebutkan perihal “PeRNYAtAAN
KePUtUSAN RAPAt teNtANG PeNGUBAHAN ANGGARAN DASAR
YAYASAN BAItUMAL UMMAt ISLAM PeRSeRoAN teRBAtAS Pt. BANK
NeGARA INDoNeSIA (Persero) tbk Nomor 23. Secara resmi, perubahan
terjadi pada hari Selasa, tanggal 26 Nopember 2002, di hadapan Notaris
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT202 203
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Koesbiono Sarmanhadi, Sarjana Hukum, Magister Hukum, Nitaris di
Jakarta, yang dihadiri oleh saksi-saksi –dalam hal ini – tuan Doktorandus
Haji Muchlis Harun, Master of Science in Management (Ketua Pelaksana
Kegiatan Yayasan Baitul Mal Ummat Islam), dan tuan Salmijas Salam,
Sarjana Hukum, Magister Management, Sekretaris Umum pada Yayasan
BAMUIS.
Pengubahan nama dari Jajasan BAMUIS menjadi YAYASAN BANK
BNI 1946, ini didasarkan atas rapat resmi pengurus (pada hari Kamis, 16
Agustus 2001 pukul 15-00 – 16.00 WIB di ruangan rapat lantai 28 Gedung
Bank BNI Jl. Jenderal Sudirman Kaveling I, Jakarta Pusat. Rapat ini dihadiri
oleh empat (4)orang mewakili Badan Pengawas, empat (4) orang Badan
Pengurus, dan tiga (3) orang Badan Pelaksana Harian sehingga berjumlah 11
orang. Bahwa dalam rapat yang berlangsung selama 1 jam (15.00 – 16.00),
itu salah satu agendanya “adalah mengubah Anggaran Dasar Yayasan serta
kepengurusan Yayasan.”148
Dalam perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Dasar BAMUIS yang
baru, antara lain disebutkan “… Yang untuk selanjutnya Anggaran Dasar
Yayasan Baitulmal Ummat Islam Perseroan terbatas Pt. Bank Negara
Indonesia (Persero) tbk, tersebut berbunyi serta tertulis sebagai berikut:
148 Yayasan – Tambahan Berita – Negara R.I. Tanggal 11/11 – 2005 No. 90, hlm. 574 – 576.
A n g g a r a n D a s a r
Y a y a s a n B a i t u l m a l U m m a t I s l a m
P e r s e r o a n t e r b a t a s
P t . B a n k N e g a r a I n d o n e s i a ( P e r s e r o ) t b k
N a m a d a n t e m p a t k e d u d u k a n
Pasal 1
Yayasan ini bernama: Y a y a s a n B a i t u l m a l U m m a t
I s l a m P e r s e r o a n t e r b a t a s P t . B a n k N e g a r a
I n d o n e s i a ( P e r s e r o ) t b k disingkat B A M U I S B a n k
B N I selanjutnya disebut Yayasan, berkedudukan dan berkantor pusat
di Jakarta, dengan cabang-cabang di berbagai tempat sebagaimana akan
ditetapkan kemudian oleh Badan Pengurus.
Dari teks di atas, dapatlah diketahui bahwa perubahan nama
Jajasan BAMUIS menjadi YAYASAN BAMUIS BANK BNI, secara legal dan
formal terjadi pada tahun 2005; setelah melalui proses – didaftarkan pada
pengadilan negeri tertanggal 1 April 1999 no. 30/1999 dan berdasarkan
Keputusan Agama RI No.: 330 tahun 2002 tentang Pengukuhan Yayasan
Baitulmal Umat Islam Perseroan terbatas Pt. Bank Negara Indonesia
(Persero) tbk, sebagai Lembaga Amil Zakat tertanggal 20 Juni 2002
berdasarkan Pasal 71 UU No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan maka Yayasan
[BAMUIS] ini telah diakui sebagai Badan Hukum.
Selanjutnya, dalam Bagian P e N G U B A H A N Nomor 1 disebutkan,
antara lain:
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT204 205
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Bahwa untuk menghindarkan keberatan-keberatan dari yang
berwenang sebagaimana ternyata dari Surah Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum tertanggal 11 Maret duaribu empat (11-3-2004) nomor: C2
– HT, 01,02.Á 365, dengan ini mengadakan perubahan dalam anggaran
dasar Yayasan tersebut seperti di bawah ini:
1. Mengubah Pasal 1 anggaran dasar Yayasan sehingga untuk selanjutnya
berbunyi sebagai berikut:
Nama dan tempat kedudukan
Pasal 1
Yayasan ini bernama Yayasan Baitulmal Ummat Islam Bank Negara
Indonesia disingkat BAMUIS BNI selanjutnya disebut Yayasan, berkedudukan
dan berkantor pusat di Jakarta, dengan cabang-abang diberbagai tempat
sebagaimana akan ditetapkan kemudian berdasarkan keputusan Pengurus
dengan persetujuan Pembina.
2. Mengubah pasal 4 anggaran dasar Yayasan sehingga untuk selanjutnya
berbunyi sebagai berikut:
Maksud dan tujuan
Pasal 4
Yayan [sic., Yayasan] mempunyai maksud dan tujuan di bidang
keagamaan.
3. Mengubah pasal 5 anggaran dasar Yayasan sehingga untuk selanjutnya
berbunyi sebagai berikut:
Kegiatan
Pasal 5
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, maka Yayasan
menjalankan kegiatan dalam:
1. Mengumpulkan zakat, Infak, Sadaqah, Wakap, Hibah, Wasiat, Waris
dan Kafarat dari Pimpinan dan Pegawai Perseroan terbatas Pt. Bank
Negara Indonesia (persero) tbk, Pensiunan Perseroan terbatas Pt.
Bank Negara Indonesia (persero) tbk, Pimpnan dan Pegawai lembaga-
lembaga lain kelompok Dewan Swadarma, Pimpinan dan pegawai
perusahaan-perusahaan anak Perseroan terbatas Pt. Bank Negara
Indonesia (persero) tbk, lembaga-lembaga lain kelompok Swadharma
serta para nasabah, mitra kerja Perseroan terbatas Pt. Bank Negara
Indoensia (Persero) tbk, dan masyarakat umum lainnya.
2. Menyalurkan dan mendayagunakan Zakat, Infaq, Sadaqah. Wakap, Hibah,
Wasiat, Waris dan Kaffarat tersebut kepada yang berhak sesuai dengan
hukum Islam yang berlaku di Republik Indonesia secara terencana,
sisteatis, menyebar keseluruh wilayah kerja Perseroan terbatas Pt.
Bank Negara Indonesia (persero) tbk, serta sesuai dengan strategi dan
prioritasnya.
Sayangnya, dalam Anggaran Dasar perubahan (yang baru), ini tidak
dicatatkan faktor-faktor apa saja yang melatari pengurus yayasan BAMUIS
“harus”mengubah nama yayasan dan melengkapinya dengan nama BNI
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT206 207
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
sehingga menjadi “Yayasan BAMUIS BANK BNI,” atau lebih lengkap lagi
“YAYASAN BAMUIS BANK BNI 1946” meskipun kata 1946 ini nyaris tidak
pernah digunakan dalam kebanyakan tulisan yang ada. Guna memperoleh
informasi tentang alasan utama (yang mendesak) pengurus melakukan
pengubahan nama Jajasan BAMUIS yang sudah berumur 45 tahun (1967 –
2002), menjadi YAYASAN BAMUIS BANK BNI, ini peneliti/penulis berusaha
melakukan wawancara dengan pengurus yang masih ada (hidup).
Jauh sebelum itu, penambahan kata Bank BNI 1946 sesungguhnya
ditengarai sudah terjadi sejak di awal-awal tahun 1990-an, terutama tatkala
dana ZIS Bank BNI masih dikelola oleh BAPeKIS (Badan Pembinaan
Kerohanian Islam). Di antara buktinya, dijumpai dalam dokumentasi
berupa surat yang ditanda-tangani oleh Pengurus (Ketua) BAPeKIS BNI.
Di antaranya dalam surat Badan Pembina Kerohanian Islam (BAPeKIS)
KoRPRI UNIt BANK NeGARA INDoNeSIA 1946 No. BPK/28/144 tertanggal
2 oktber `1992 dalam teks dan konteks HIMBAUAN UNtUK PeMBAYARAN
ZIS.
Dalam surat tersebut antara lain dikatakan: “Perlu kami sampaikan
kepada segenap kaum muslimin dan muslimat para pegawai dan pensiunan PT.
BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) bahwa kepengurusan Bapekis Korpri
Unit Bank BNI untuk masa bakti 1992 – 1996 telah diperbarui pada bulan
September 1992, (susunan Pengurus terlampir). Dalam kepengurusan yang
baru tsb. Terdapat Bidang Khusus ZIS, yang akan mengelola pengumpulan
& penyaluran Zakat, Infak dan Sodaqoh dari segenap kaum muslimin dan
muslimat para pegawai dan pensiunan PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO).
Bidang khusus ZIS ini diketuai sendiri oleh Bapak Winarto Sumarto, Direktur
Utama PT. Bank Negara Indonesia, sedangkan pengelolaan ZIS secara
profesional akan ditangani oleh Bapak Drs. H.M.T. Junus, yang nantinya
dapat dipertanggungjawabkan baik secara administratif maupun auditif.”
Dalam dokumen ini juga dituliskan bahwa: “Sehubungan maksud
di atas kepada para wajib zakat (muzakki) pegawai dan pensiunan PT. Bank
Negara Indonesia untuk menghitung zakatnya sendiri mulai bulan Oktober
1992 dengan ketentuan sebagai berikut:
Zakat, 2,5 % dari pendapatan/Gaji Bruto perbulan.•
Infaq, & sodaqoh bebas tidak terbatas. •
dan menyerahkan ZIS tsb. kepada Bapekis secara rutin setiap bulan
dengan pemotongan langsung gaji bulanan melalui Bagian Umum Divisi/Biro
masing-masing atas dasar isian pada formulir terlampir.” Hal yang lebih
menarik lagi ialah bahwa dalam surat yang ditandatangani H. St. Remy
Syahdeini, SH. dan Drs. H. Pintor Siregar, masing-masing sebagai Ketua
Umum dan Wakil Ketua Umum BAPeKIS BNI (Periode 1992 – 1996), ini
juga dijumpai catatan (tambahan) yang mengingatkan para muzaki bahwa
“Batas minimum pendapatan/penghasilan yang kena wajib zakat (Nisab)
dalam satu tahun adalah senilai 94 gram emas murni (cf. Lampiran II SKB
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI No. 29 tahun 1991 dan No.
47 tahun 1991 tgl. 19 Maret 1991), atau equivalent dengan penghasilan/
gaji bruto perbulan sebesar +_ Rp. 200. 000,- sudah terkena wajib zakat.149
Menurut Muchlis Harun, alasan utama mengubah atau tepatnya
menambah nama yayasan dari JAJASAN BAMUIS menjadi YAYASAN BAMUIS
149 Surah BAPEKIS BANK BNI, Nomor BPK/28/144, tertanggal 2 ktober 1992.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT208 209
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
BANK BNI 1946, adalah karena kepentingan “mendesak” waktu itu.150
Pendapat senada atau malahan sama dikemukakan juga oleh Saefudien
Hasan yang menyatakan bahwa “Yayasan hanyalah alat untuk menjalankan
syariah. Pada waktu [BAMUIS] diubah [namanya] dengan tambahan BNI
karena kebutuhan saat itu [untuk] menjadi [lembaga] amil zakat.151
Jawaban berbeda meski tidak berarti bertentangan dengan pendapat
Muchlis Harun maupun pemikiran Saefudien Hasan, secara agak panjang
lebar dikemukakan oleh Drs. Sudirman yang menyatakan demikian:
“Memang pada awal berdirinya dalam tahun 1967 yayasan bernama Baitul
Mal Ummat Islam namun dalam perjalanannya maka dalam tahun 1992
ada inisiatif dari managemen Bank BNI pada saat itu untuk melaksanakan
pembayaran zakat karyawan dengan cara memotong gaji pegawai sebesar
2,5 %. Hasil pemotongan melalui divisi SDM diserahkan kepada BAPeKIS
BNI untuk disalurkan kepada yang berhak. Pihak Bank BNI dalam hal ini
Direktur Utamanya yaitu Bapak Winarto Soemarto menginginkan agar
Bank BNI mempunyai Lembaga Amil Zakat. Mengingat BAPeKIS bukan
merupakan lembaga zakat dan telah berdirinya Baitul Maal Ummat
Islam maka dirubahlan AD/ARt atas nama Yayasan Baitul Maal Ummat
Islam menjadi Yayasan Baitul Maal Ummat Islam Bank Negara Indonesia
1946.152
Dari hasil wawancara yang diperoleh, dihubungkan dengan situasi
terkini perkembangan dunia perzakatan pada waktu itu (dasawarsa 1990-
150 Wawancara peneliti/penulis dengan Muchlis Harun, tanggal 5 Juli 2017 di kantor BAMUIS, jln. Percetakan Negara VII Salemba – Jakarta Pusat.
151 Wawancara pribadi peneliti/penulis dengan Saefudien, tanggal 24 Oktober 2017 di Rumah Makan Sate Senayan – Jakrta Selatan; dan jawaban tertulis tertanggal 26 Oktober 2017.
152 Jawaban tertulis wawancara penulis dengan Sudirman, tanggal 30 Oktober 2017 M/10 Safar 1439 H.
an sampai 2000-an), dapatlah disimpulkan bahwa pengubahan JAJASAN
BAMUIS menjadi BAMUIS BANK BNI atau lengkapnya BAMUIS BANK
BNI 1946, pada dasarnya dipengahruhi oleh dua faktor utama, yakni
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kecenderungan
(minimal sebagian) pengurus BAMUIS sendiri untuk menambahkan kata
Bank BNI 1946 setelah kata BAMUIS. Atau, dari kata BAMUIS saja menjadi
BAMUIS BANK BNI 1946. Penambahan kata Bank BNI 1946 ini selain guna
memenuhi keinginan (kehendak) subyektif Bank BNI guna memiliki Badan/
Amil Zakat yang mandiri; juga dalam rangka memudahkan teknik (efisiensi)
pemotongan zakat karyawan/karyawati Bank BNI di samping guna lebih
meyakinkan mereka akan keberadaan BAZ/LAZ sendiri dan mandiri yang
“dimiliki” oleh Bank BNI.
Adapun faktor eksternal yang secara langsung atau tidak langsung
memengaruhi pengubahan dan penambahan nama BAMUIS menjadi
BAMUIS Bank BNI 1946 ialah tuntutan kehadiran Badan/Lembaga Amil
Zakat baru lainnya di luar BAMUIS di samping menguatnya ghirrah
keagamaan umat (masyarakat) Muslim dalam teks maupun konteksnya
yang lebih luas. termasuk tekad sebagian umat untuk memperbaiki kondisi
ekonomi bangsa dan negara untuk “menghidupkan” kembali ekonomi
dan keuangan Syariah/Islam yang kala itu di beberapa negara lain sudah
lebih dulu diamalkan. Salah satunya adalah girah umat dan masyarakat
Muslim untuk melirik dan memberdayakan potensi dan pemberdayaan
zakat. Suka atau tidak suka, langsung maupun tidak langsung, kehadiran
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)153 bersama-sama dengan
beberapa (sedikit) organisasi lain khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI)
153 Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), didirikan pada tanggal 7 Desember 1990 di Malang – Jawa Timur.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT210 211
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
yang sudah ada lebih dahulu,154 mampu membangkitkan kembali ekonomi
dan keuangan Islam/Syariah di Indonesia yang selama ini sudah dalam
keadaan “mati-suri” atau malahan “dimatikan.”155
Pengubahan dan penambahan nama BAMUIS menjadi BAMUIS
Bank BNI 1946 pada tahun 1992, jelas beriringan atau bersesuaian waktunya
dengan kehadiran Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan pada
bulan Desember 1991 dan mulai operasi pada April 1992. Beberapa tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1999, lahirlah Undang-Undang RI nomor
38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian diamandemen
dengan Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2011. Satu hal yang penting
dicatatkan di sini ialah bahwa kehadiran Undang-Undang Zakat di tahun
1999, itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya sudah memakan waktu
yang terbilang lama mengingat sejak di awal-awal kemerdekaan bangsa
Indonesia, ummatan Muslimatan Indonesia sejatinya telah memiliki
keinginan dan bahkan kemauan untuk menerapkan syariat Islam dalam
segala bidang, termasuk bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah. Proses
yang cukup lama meskipun tidak selama proses pembentukan Undang-
Undang tentang Pengelolaan Zakat, juga dialami pada proses pembentukan
Undang-Undang ekonomi dan keuangan Islam yang salah satu puncaknya
adalah kehadiran dan pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah setelah melalui proses sedemikian rupa.
Hal lain lagi yang berguna untuk dicatatkan di sini terkait dengan
faktor eksternal pengubahan nama BAMUIS menjadi BAMUIS Bank BNI
154 Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 26 Juli 1975 M/17 Rajab 1395 H di Jakarta atas saran/masukan dari Presiden Soeharto.
155 Penulis istilahkan dengan mati suri, mengingat ekonomi dan keuangan Islam/Syariah pada akhirnya hidup kembali.
ialah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan itu memakan
waktu dalam pemerosesannya menjadi undang-undang. Maksudnya, jauh
sebelum kehadiran sebuah undang-undang, itu hampir dapat dipastikan
sudah terbaca dan terekam beberapa alasan yang melatari pembentukan
undang-undang dimaksud sehingga membuat banyak atau minimal
sebagian orang/pihak bisa mengambil kebijakan di luarnya yang relevan
dengan kehadiran undang-undang baru dimaksud. tidak terkecuali dengan
kehadiran undang-undang tentang pengelolaan zakat, undang-undang
perbankan syariah dan lain-lain yang senafas dengan itu.
Benar adanya bahwa di kemudian hari, setelah BAMUIS diubah
namanya menjadi BAMUIS Bank BNI menjadi LAZ-NAS/LAZIS-NAS, maka
beberapa tahun kemudian berdirilah LAZ-LAZ/LAZIS-LAZIS-NAS baru
dalam lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun dalam
lingkungan pemerintah daerah di samping yang didirikan oleh umat dan/
atau masyarakat Muslimin-Muslimat pada umumnya sebagaimana telah
disinggung pada bagian lain di dalam tulisan ini. Suasana atau kondisi
demikian itulah yang peneliti/penulis maksudkan dengan faktor eksternal
atau obyektif yang memengaruhi pengubahan nama BAMUIS menjadi
BAMUIS Bank BNI 1946. Kondisi demikian tentu saja merupakan hal
yang sah dan normal adanya. tidak kecuali dari sudut pandang agama
Islam sendiri yang mempersilakan atau minimal membolehkan umat
Islam mengambil inisiatif positif dalam urusan kebaikan dan kebajikan
serta kebijakan, jika perlu bahkan dengan melakukan perlombaan (secara
internal maupun eksternal) yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan
sebutan “fastabiqul khairát” (berlomba-lomba dalam berbagai kebaikan;
hasten towards all that is good)156 yang kemudian dijadikan moto khas
Persyarikatan Muhammadiyah.
156 Q.S. al-Baqarah (2): 148 dan al-Má’idah (5): 48.
LAZIS-nAS bAmuIS DALAm bInGKAI unDAnG-unDAnG PEnGELOLAAn ZAKAT212
05Modernisasi Pengelolaan zakat Model BAMUiS
Ringkasnya, sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, dan
disengaja atau tidak disengaja, dengan pembentukan Yayasan Baitul Mal
Umat Islam (BAMUIS) sebelum maupun sesudah diembel-embeli kata-kata
Bank BNI 1946, dapat dikatakan “terilhami” dan lebih dari itu setidak-
tidaknya sudah mengamalkan Al-Qur’an surah al-Baqarah (2): 148 dan al-
Má’idah (5): 48. Bahkan, juga ayat-ayat senada lain-lainnya yang terkait
urusan pengambilan inisiatif dalam kebaikan dan kebijakan dalam teks
dan konteksnya yang luas sebagaimana termaktub dalam surah-surah Ali
Imran (3): 114, al-Anbiyá’ (21): 73 dan 90, al-Mu’minún (23): 56 dan 61,
serta Fáthir (35): 32.
Demikianlah pembahasan BAB IV tentang LAZ-NAS BAMUIS DALAM
BINGKAI UNDANG-UNDANG PeNGeLoLAAN ZAKAt ini disampaikan.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS214 215
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Keistimewaan itu (tetap ada) pada pemula, walaupun (prestasi)
penerusnya lebih baik lagi (Al-fadhlu lil-mubtadi, wa-in ahsan al-muqtadí)
Pepatah Arab
A. Visi, misi dan Value
Seiring dengan perkembangan zaman serta tuntutan keadaan
dan organisasi, dalam sejarah perjalanan selanjutnya, pengurus BAMUIS
telah berkreasi dan berupaya mengembangkan dasar, maksud dan tujuan
BAMUIS yang dirumuskan di masa-masa awal pembentukannya ke dalam
bentuk perumusan visi, misi dan orientasi program kerja sebagai berikut:
1. Visi, Misi, dan Value BAMUIS
a. Visi
Menjadi Lembaga Amil Zakat Nasional yang amanah, bermanfaat
dan terpercaya;
b. Misi:
• Mengumpulkan, menyalurkan dan mendayagunakan zakat dan
infak/sedekah (ZIS) yang berasal dari dan kepada keluarga besar
BNI, para nasabah dan mitra kerja masjarakat umum lainnya;
• Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan umat melalui pendidikan,
pembiayaan usaha produktif, bantuan kemanusiaan serta kegiatan-
kegiatan fisabilillah dan program lainnya.
c. Value:
Dari mustahik menjadi Muzaki.
Secara substantif, visi, misi dan value yang diperbarui Pengurus
BAMUIS periode 2016 – 2017, ini pada dasarnya masih senafas dengan
tujuan luhur semula dan abadi yang dicita-citakan para pendiri
“JAJASAN BAMUIS” di awal-awal kelahirannya setengah abad yang
silam; meski dalam hal tertentu ada yang belum terimplementasikan
sama sekali. Di antara contohnya ialah ide atau cita awal JAJASAN
BAMUIS untuk menghimpun dana wakaf di samping menghimpun dana
ZIS. Sampai saat-saat sekarang ini, BAMUIS baru mampu melakukan
penghimpunan dana dana ZIS ber dan pengelolaannya, namun belum
sama sekali dengan cita-cita awalnya untuk juga menghimpun dan
mengelola dana wakaf.
b. Orientasi Program Kerja
Guna mengukur keberhasilan atau kegagalan sebuah institusi,
terutama di zaman mutakhir sekarang ini, sudah tentu diukur dari sisi
visi dan misi yang dipunyai oleh lembaga yang bersangkutan; di samping
juga diketahui dengan perencanaan dan terutama realisasi program kerja
yang telah dirumuskan oleh lembaga itu sendiri. tidak terkecuali dengan
Yayasan BAMUIS yang sedang dibahas di dalam tulisan ini. Secara umum
dan keseluruhan, dapat dikatakan bahwa sejak di masa-masa awal didirikan,
BAMUIS telah memiliki tujuan yang hendak dicapainya, atau bahkan
cita ideal (visi) berikut misi yang ingin dilaksanakan olehnya. termasuk
perumusan program kerja yang hendak dilaksanakan guna mencapai visi
dan misinya itu.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS216 217
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Gambaran umum tentang ini dapat diperoleh dari muatan singkat
yang ada dalam Anggaran Dasar BAMUIS pertama (tahun 1967) tentang:
---------------------- DASAR, MAKSUD DAN tUJUAN ----------------------
----------------------------------- Pasal 3 -----------------------------------
1. “Jajasan ini berdasarkan
I s l a m .”- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2. BAMUIS bermaksud menghimpun dana dari masjarakat dan bertudjuan
mengusahakan dana ini menurut tjara-tjara jang sjah dan diridoi ALLAH
dan hasil usaha ini akan disalurkan untuk keagungan Kalimatullah
--------
Senafas dengan dasar, maksud dan tujuan di atas, dalam Peraturan
Rumah tangganya dikemukakan demikian:
Pasal 3
P e n j a l u r a n d a n a – d a n a
Sebagai pedoman, penjaluran dana dan hasil usaha BAMUIS
ditentukan sebagai berikut:
1. Arah dan sasarannja dititik pusatkan pada bidang keagamaan (dinijah),
dengan projek2 pokoknja :
1.1. Da’wah;
1.2. Pendidikan agama;
1.3. tempat ibadah;
1.4. Rumah-rumah sakit, poliklinik bersalin, rumah jatim piatu;
1.5. Dan lain2, menurut pertimbangan pengurus.
2. Membantu pembiajaan kegiatan2 sosial dan pembangunan jang
bertudjuan meningkatkan kesejahteraan masjarakat (duniawijah)
dengan projek2 pokoknja:
2.1. Prasarana (djalan, djembatan);
2.2. Produksi;
2.3. Distribusi;
2.4. Dan lain-lain.
3. Walaupun dalam adjaran Islam urusan duniawi dan dinijah berdjalan
berkelindan, namun untuk memudahkan penjalurannja ditetapkan
perbandingan untuk ajat 1 pasal ini adalah 3 (tiga) dan untuk ajat
2 adalah 1 (satu). Dengan kata lain, perbandingannja adalah 3 : 1,
ketjuali kalau keadaan disuatu daerah membutuhkan pembagian lain
(misalnja kalau telah dianggap tjukup tempat2 ibadah seperti masdjid2,
madrasah2 d.l.l. didaerah tersebut).
4. Bila disuatu tempat terdapat projek penting dan harus segera diselesaikan
projek tersebut dapat dibiajai bersama dari dana2 jang tersedia. Kalau
projek bersangkutan terdapat disuatu wilajah kerja suatu tjabang, maka
tjabang jang bersangkutan harus segera menjampaikannja kepada pusat
agar dana bersama dapat disalurkan kesana.
5. Didalam suatu peraturan tersendiri akan diperintji penggunaan dan
penjaluran dana2 jang akan dibuat oleh Pengurus Pusat setelah
mendapat saran2 dari tjabang2 Bamuis kelak.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS218 219
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Dari Pasal 3 Anggaran Dasar dan Pasal 3 Peraturan Rumah tangga
BAMUIS yang secara lengkap dikutibkan di atas, dapat diambil beberapa
pemahaman, Di antaranya yang penting layak layak disimak lebih jauh
guna memahami maksud dan tujuan dasar dari pembentukan YAYASAN
BAMUIS adalah anak kalimat yang menyatakan: “Untuk keagungan
Kalimatulláh.” Kata “kalimatullah,” dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 3
kali dalam 3 surah dan 3 ayat.157 Belum termasuk kata “kalimátu rabbí”
yang disebut 2 kali dalam 1 surah dan 1 ayat,158 “kalimátu rabbihá” 1 kali
dalam 1 surah dan satu ayat,159 dan “kalimatuhú/kalimátihí sebanyak 7 kali
dalam 7 surah dan 6 ayat160 yang kurang-lebih maksudnya sama bahwa
yang dimaksud kalimatullah -- lengkapnya kalimátulláhi hiya al-‘ulyá -- ialah
Al-Qur’an atau al-Islám yang bernilai tinggi dibandingkan dengan kalimah
al-ladzína kafarú al-suflá (buaian orang-orang kafir yang rendah). Paling
tidak menurut sebagian ahli tafsir, yang dimaksud dengan kalimatullah hiya
al-‘ulyá agama Islam dan kedaulatannya (kalimah al-Islám wa-daulatuh).161
Allah berkalam:
157 Q.S. al-AN’ám (6): 34; Yúnus (10): 64, dan Luqman (31): 27.
158 Q.S. al-Kahfi (18): 109.
159 Q.S. al-Tahrím (66): 12.
160 Q.S. al-Nisá’ (4); 171; al-AN’ám (6): 115; al-A’ráf (7): 15>8; al-ANfál (8): 7; Yúnus (10): 82; al-Kahfi (18): 27; dan al-Syúrá (42): 24.
161 Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsír al-Wádhih, juz 10, hlm, 884.
Jikalau kamu (umat Islam) tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir
(musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedangkan dia salah
seorang dari dua orang ketika keduanya (Nabi Muhammad dan Abu Bakar)
berada dalam gua (Tsaur), di waktu dia (Muhammad) berkata kepada
temannya (Abu Bakar): “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya
Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada
(Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak
melihatnya; dan Al-Qur’an menjadikan omongan orang-orang kafir itulah
yang rendah; dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana
(At-Taubah (9): 40).
Pemahaman lain yang bisa diambil dari teks Peraturan Rumah
tangga BAMUIS di atas ialah keberanian BAMUIS untuk membolehkan
distribusi dana ZIS berdasarkan sekala prioritas, paling tidak dalam
kasus-kasus tertentu yang bersifat mendesak apalagi darurat (emergency)
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS220 221
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
sifatnya; tidak harus “dipaksakan” merata pembagiannya kepada semua
(delapan) asnaf mustahik zakat sebagaimana disyaratkan oleh kalangan
Imam mazhab fikih tertentu.
C. Success Story bAmuIS
Sebelum membahas lebih jauh tentang success story BAMUIS, tentu
pada tempatnya manakala dikritisi kekurangan/kelemahannya. Di masa-masa
awal pembentukannya, BAMUIS tidak serta merta berjalan ibarat pesawat
terbang yang begitu usai mengambil ancang-ancang langsung melesat
terbang jauh dengan kecepatan tinggi. Di awal-awal pembentukannya,
BAMUIS juga teresan mengalami “kevakuman” atau paling sedikit jalannya
tertaih-tatih seakan-akan tidak memiliki daya lantaran sepiritnya tidak
diikuti dengan kinerja yang menyertai.
Ada benarnya apa yang dikatakan Zaim Uchrowi bahwa [di antara]
persoalan terberat yang dihadapi kalangan Melayu [khususnya Indonesia]
adalah ketidak-mampuan untuk bertahan kerja dalam waktu lama, komit
dan sungguh-sungguh. Kalangan Melayu cenderung menyepelekan soal
utak-atik pernak-pernik manajemen sehari-hari. Inilah yang kebanyakan
gagal dilakukan oleh kalangan Melayu. Jikapun tetap bertahan, rata-rata
cenderung terjebak dalam rutinitas kerja. Jarang dijumpai ada langkah
terobosan spektakuler yang sanggup memecah kebuntuan, merubah
paradigma atau menawarkan sesuatu yang baru di Indonesia. Jikapun ada
terobosan kebanyakan berada dalam tataran wacana, berputar-putar di
tingkat diskusi saja.162
162 Eri Sudewo, Manajemen Zakat, hlm. 59.
Kelemahan lain adalah tradisi birokrasi yang cenderung formalistik
dan “ewuh pakewuh” dengan melibatkan banyak orang namun kurang
mempertimbangkan asas-asas fungsional, efisiensi dan profesional. Tanpa
mengingkari kekurangan/kelemahan BAMUIS dalam beberapa untuk
tidak menyatakan dalam banyak hal dan terutama di masa-masa awal
perjalanannya, secara umum dan keseluruhan BAMUIS dapat dikatakan
tergolong sukses dan tetap eksis dalam melaksanakan fungsi dan peran
utamanya sebagai lembaga pengelola dana Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS).
Sukses BAMUIS ini antara lain dapat dibaca dari komitmen kinerjanya
yang antara lain ditandai dengan:
1. Pencapaian Penghimpunan dana dan Penyalurannya
Mencermati rencana penghimpunan dan penyaluran dana-dana
BAMUIS di atas, dapatlah difahami bahwa sejak di masa-masa awal,
sedikit banyak BAMUIS telah memiliki kemauan dan terutama keberanian
untuk melakukan penghimpunan dan pengelolaan dana ZIS sesuai dengan
perkembangan zaman dan tuntutan keadaan. Dengan kalimat lain,
YAYASAN BAMUIS sekurang-kurangnya telah mencerminkan pemikiran
kreativitasnya untuk dalam batas-batas tertentu melakukan “ijtihad” dalam
hal-hal yang bersifat furuiah. Di antara contohnya ialah penetapan besaran
pembayaran zakat (2,5 %) dari pendapatan/gaji Bruto perbulan. terobosan
(ijtihad) lainnya ialah penetapan prinsip 3 : 1 untuk urusan diniah
(dakwah, pendidikan agama, tempat ibadah), dan untuk urusan duniawiah
(pembangunan rumah-rumah sakit, klinik, poliklinik bersalin, rumah yatim
piatu, dan lain2) menurut pertimbangan pengurus.
Kondisi demikian pada dasarnya masih terus dan tetap
“dipertahankan” BAMUIS sampai sekarang; meski dengan beberapa
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS222 223
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
penyesuaian di sana – sini demi kemajuan dan kejayaan BAMUIS di masa-
masa yang akan datang. Lebih-lebih setelah BAMUIS mengubah-suaikan visi
dan misi serta program kerjanya di era sekarang di mana perkembangan
zaman dan kebutuhan umat serta masyarakat jauh lebih dinamis lagi di
samping serba cepat dan kompleks.
Berbicara tentang zakat pada dasarnya berbicara tentang ekonomi
dan keuangan. Dan berbicara perihal ekonomi umumnya dan keuangan
khususnya, dipastikan berbicara tentang angka-angka (nominal -kuantitatif)
dalam hal ini terutama penghimpunan dana ZIS berikut distribusinya
kepada penerima manfaat (mustahik). Sejak di awal-awal tahun BAMUIS
melakukan tugas utamanya menghimpun dana ZIS (terutama di tahun
1970), penghimpunan dana ZIS BAMUIS sampai beberapa tahun terakhir,
terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang tergolong signifikan.
Nyaris tidak pernah mengalami penurunan secara nominal, meskipun tetap
mengalami pasang surut dari waktu ke waktu.
Hal ini dapat dilihat dari perbandingan perhimpunan dana ZIS yang
dihasilkan BAMUIS tahun 1970 dan penghimpunan dana yang sama pada
tahun 2016, Pada tahun 1970, BAMUIS telah berhasil menghimpun dana
ZIS dan lain-lain sebesar Rp. 208.632,33 (Dua Ratus Delapan Ribu enam
Ratus tiga Puluh Dua Koma tiga Puluh tiga Rupiah); sementara realisasi
pengumpulan dana ZIS tahun 2016 sebesar Rp. 34.950.861 ribu (tiga Puluh
empat Miliar Sembilan Ratus Lima Puluh Juta Delapan Ratus enam Puluh
Satu Ribu Rupiah). Dikonversi dengan harga emas yang pada tahun 1970
sekitar Rp. 480 (empat Ratus Delapan Puluh Rupiah) per 1 gram, maka
208.632.33 : 480 = 434, 65 gram emas; sedangkan hasil penghimpunan
dana ZIS tahun 2016 sebesar Rp. 34.950.861 ribu, dikonversi dengan harga
emas tahun 2016 sebesar lebih-kurang Rp. 497.000 per 1 gram (saat buku
ini ditulis), maka Rp. 34.950.861 ribu : 497.000 = 70.000.323 gram emas.
Maknanya, terhitung dari tahun 1970 sampai tahun 2016, penghimpunan
dana ZIS yang dilakukan BAMUIS selalu mengalami kenaikan yang cukup
signifikan.
Signifikansi pertumbuhan penghimpunan dana ZIS oleh BAMUIS
ini terutama dapat dilihat dalam perbandingan dana ZIS tiga (3) hingga
lima (5) tahun terakhir (2012 – 2016) sebagai berikut:
PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA ZIS BAMUISPeRIoDe 2012 – 2016
PEnGumPuLAn DAn PEnYALuRAn ZAKAT, InFAK/SEDEKAH bAmuISPeriode 2012 s/d 2016 (dalam ribuan)
23,653,76624,301,265
26,369,038
30,223,082
34,950,861
23,523,81624,135,106
26,253,699
30,047,784
34,638,882
2012 2013 2014 2015 2016
20,0
00,0
000
40,0
00,0
00
Penghimpunan Penyaluran
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS224 225
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Dari data penghimpunan dan penyaluran dana ZIS yang dikelola
BAMUIS di atas, dapatlah difahami bahwa pada satu sisi terdapat kenaikan
baik dalam penghimpunan maupun penyaluran dana ZIS BAMUIS. Selama
periode 2012 sampai 2014 baik penghimpunan maupun penyaluran
memang relatif sedikit saja kenaikannya hanya sampai sekitar 11 % saja;
dibandingkan rerata kenaikan yang dialami pada periode 2014 – 2016 yang
tergolong signifikan, sebesar 34 %. Kemajuan lain yang bisa dipetik dari
penghimpunan dana dan penyalurannya ialah terletak pada keseimbangan
(balances) antara penghimpunan dan penyaluran yang secara umum dan
keseluruhan sesuai dengan prinsip syariah yang tidak membenarkan Amil
menunda apa lagi dengan sengaja mengulur-ulur waktu distribusi zakat
kepada mustahik (penerima manfaat).
Dalam beberapa tahun terakhir, hasil penghimpunan dana ZIS
BAMUIS memang tertinggal cukup jauh dibandingkan dengan beberapa
lembaga yang sama (dalam lingkungan BUMN maksudnya) yang rata-rata
pembentukannya secara kelembagaan justru jauh lebih muda dibandingkan
dengan pembentukan LAZ BAMUIS BNI; namun penghimpunan dananya
kini justru melonjak signifikan meninggalkan LAZIS BAMUIS. Sebut
saja misalnya LAZIS YBM BRI yang dalam tahun 2016 telah berhasil
menghimpun dana ZIS sebesar 70 – 80-an miliar rupiah dalam satu
tahun, atau antara Rp. 6 – 7 miliaran dalam rerata perbulan.163 Lebih
tinggi lagi adalah LAZIS/YB PLN yang dalam 3 tahun terakhir (2014, 2015
dan 2016) penghimpunan dana ZIS-nya telah menembus angka Rp. 8
miliar (tahun 2014), Rp. 40 miliar (tahun 2015) dan Rp. 141 miliar (tahun
2016).164 Sementara YBM BRI dalam kurun waktu tiga tahun terakhir
163 YBM BRI, Laporan Tahunan 2014, 2015, dan 2016.
164 LAZIS PLN, Annual Report LAZIS PLN/YBM PLN TAHUN 2016, hlm. 11.
masing-masing mampu menghimpun dana Rp. 73.161.750 (2014), Rp. 86.
372.309.733 (2015), dan Rp. 98.124.679.263 (2016). Juga tertinggal jauh
dibandingkan dengan jumlah dana yang berhasil dihimpun BAZIS Propinsi
DKI Jakarta di tahun 2014, 2015, dan 2016 yang masing-masing mencapai
Rp.113.765.807.732 di tahun 2014, Rp 134.388.475.602 di tahun 2015, dan
Rp. 154 miliar di tahun 2016).165
Ketertinggalan LAZIS-NAS BAMUIS dari beberapa LAZIS-NAS
BUMN yang lain dalam hal penghimpunan dana ZIS, tentu berkaitan erat
dengan beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satu penyebab
yang terbilang cukup signifikan adalah jumlah personil Amilin/pegawai
BAMUIS yang secara umum dan keseluruhan dapat dikatakan terbatas
(kualitas maupun kuantitas). Sebagai ilustrasi, BAMUIS yang sejak diawal-
awal pembentukan pengurusnya (di luar Dewan Penasehat dan Dewan
Pengawas) hanya berjumlah belasan (tepatnya 18 orang) pada tahun 1970,
sampai periode sekarang (tahun 2017), ini YAYASAN BAMUIS masih tetap
memiliki sedikit pegawai (pelaksana) yakni berjumlah 27 orang di luar
Dewan Pembina (9 orang), Dewan Pengawas (4 orang), Badan Pengurus (7
orang), dan Badan Pelaksana (4 orang). Maknanya, dalam kurun waktu 46
tahun, rerata kenaikan jumlah karyawan/pegawai BAMUIS hanya sekitar 2
– 3 orang saja (8-10 %) dalam satu tahun. Padahal, banyak hal yang harus
ditangani BAMUIS dengan cara cepat dan akurat.
Beda jauh dengan Badan Pengurus Harian dan Pelaksana YBM BRI
yang kini sudah memiliki 30-an orang pegawai tetap, 35 orang pegawai
kontrak, dan 4 orang karyawan outsource (mengikuti kebijakan di lingkungan
BRI setempat) sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 69 orang. Ke-69
165 BAZIS Propinsi DKI Jakarta, Daftar Rekapitulasi Penumpulan ZIS Propinsi DKI Jakarta, Tahun Anggaran 2014, 205, dan 2016.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS226 227
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
orang pegawai YBM BRI ini tersebar relatif merata di semua Kantor Wilayah
(Kanwil) dan/atau bahkan di sejumlah Kantor Cabang (Kancab) yang tersebar
di seluruh Idonesia. Demikian pula halnya dengan jumlah tenaga pengelola
yang ada pada LAZIS PLN yang jumlahnya lebih banyak daripada LAZIS
BAMUIS, yang juga tersebar di sejumlah wilayah. Apalagi diperbandingkan
dengan jumlah tenaga yang ada pada BAZIS DKI Jakarta sebanyak 71 orang
(22 orab PNS dan 49 orang pegawai honorer) dan terutama Dompet Dhuafa
yang dalam tahun kerja 2016 – 2017, ini telah mengaryakan sebanyak 1411
orang meliputi semua organ dan unit bisnis (business unite) yang ada dalam
lingkungan Yayasan Dompet Dhuafa Republika.
2. Memiliki Data Mustahik danMuzaki
BAMUIS telah memiliki data mustahik maupun muzaki yang dari
waktu ke waktu jumlahnya mengalami pertumbuhan cukup signifikan.
Sampai tahun 2016 - 2017 ini, BAMUIS telah mendapatkan kepercayaan
(trust) dari 13.000-an orang muzaki, dengan mustahik binaan maupun
musiman sebanyak 42.000-an orang.
3. Memiliki Program Kerja yang Terukur dan Terstruktur
Di balik kekurangan dan keterbatasan atau bahkan kelemahannya,
yang jelas BAMUIS adalah LAZIS – NAS utama dan pertama. Ibarat kata
pepatah lama yang masih punya makna, “al-mubdi’ khairun min al-muttabi’
= Pemula (angkatan perdana) itu tetap lebih baik dari yang mengikuti
(angkatan berikutnya), maka BAMUIS adalah tetap yang terbaik. Dengan
kalimat lain, sebagai LAZIS – NAS utama dan pertama, masih tetap
terbilang sebagai LAZIS – NAS yang sukses. Success story (keberhasilan)
BAMUIS dapat didasarkan pada keberhasilannya dalam melaksanakan
tugas pokoknya sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional. Keberhasilan
LAZIS-NAS BAMUIS dapat dilihat dari program kerja yang telah disusun
dan dilaksanakan olehnya.
Yang tergolong ke dalam program besar, mendasar dan monumental
yang telah, tengah dan in sya Allah masih akan terus dilakukan oleh
BAMUIS dan sekaligus bisa dijadikan sebagai deretan indikator bagi
keberhasilan (sukses) BAMUIS dalam pendayagunaan dana ZIS-nya adalah
sebagai berikut:
4. Pembentukan Yayasan Bening Nurani (YABNI).
Yayasan Bening Nurani (YABNI), adalah yayasan bentukan BAMUIS
yang bergerak dalam bidang pendidikan, melalui pembinaan rumah asuh.
Visi dan misi YABNI adalah.
a. Visi
Berusaha membentuk manusia beriman, bertqwa, berakhlak, sehat,
cerdas, mandiri, bermuamalah yang baik serta peduli terhadap umat
dan lingkungan;
b. Misi
1) Membantu meringankan beban orang tua yang kurang mampu
terutama dalam mebantu merasakan kehidupan layak, kelangsungan
pendidikan formal dan pendidikan agama Islam bagi anak-anak
mereka;
2) Memberikan pelayanan dan pembinaan kepada anak-anak asuh
berdasarkan syariat Islam dalam rangka membentuk pribadi religius,
tangguh, sehat, berakhlak mulia, berpendidikan dan mandiri;
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS228 229
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
3) Menjadi mediator dan fasilitator antara kamu dermawan dan
kaum dhuafa serta menjalin kemitraan dengan berbagai pihak baik
lembaga maupun perseorangan dalam rangka pengelolaan rumah
asuh dan segala hal yang berkaitan.166
Sampai tahun 2017 ini, YABNI telah terbentuk di lima wilayah
Propinsi, yakni YABNI Jawa Barat di Sumedang (diresmikan 12 September
2006) dan Bogor (beroperasi sejak Agustus 2016, namun belum diresmikan),
YABNI Magelang – Jawa tengah (diresmikan 21 Desember 2007), YABNI
Sidrap – Sulawesi Selatan (diresmikan 21 Maret 2009), YABNI Palembang
– Sumatera Selatan (didirikan tahun 5 Agustus 2010), dan YABNI Padang
– Sumatera Barat (didirikan tahun 23 Juni 2013).
YABNI - BAMUIS kini telah berhasil membina pendidikan dan
mengantarkan para “santri” lulusannya ke berbagai jenjang pendidikan
tinggi mulai S-1, S-2, dan S-3; pada berbagai perguruan tingi terkemuka
di Indonesia, maupun (sedikit) di luar negeri , yang notebene sebagian
besarnya adalah anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu (dhuafa)
yang masuk ke dalam kategori Mustahik zakat. termasuk sebagiannya yang
menyandang sebutan yatama (para yatim) atau bahkan yatim – piatu.
Satu hal yang membahagiakan keluarga besar BAMUIS termasuk
penulis tentunya adalah secara umum dan keseluruhan, kelima YABNI di
atas masing-masing semula memiliki kekhasan tersendiri karena antara
satu dan yang lain jarang untuk tidak mengatakan sama sekali tidak pernah
mengadakan/diadakan shilaturrahim sama sekali. terhitung sejak tahun
2017, tepatnya tanggal 9 Mei 2017, alhamdulillah atas prakarsa BAMUIS,
166 Suhendry Hafny, Pedoman Rumah Asuh Yayasan Bening Nurani (YABNI), Makalah, BAMUIS, 2017.
empat lembaga YABNI – BAMUIS mengadakan temu kegiatan silaturrahim
tanggal 9 Mei 2017 M/22 Syakban 1437 H di Hotel Puri Mega, Jln.
Rawamangun 59 A Pasar Genjing Pramuka – Jakarta Pusat. Selain masing-
masing Pembina dan/atau Pengurus YABNI menyampaikan program kerja
berikut pengalaman, kesan – pesan dan suka – duka mengelola YABNI
kepada yang lain, juga diadakan dialog interaktif antara pihak YABNI
dengan BAMUIS BNI.
Secara pribadi, alhamdulillah penulis bisa mengikuti acara ini,
dengan menyampaikan materi berjudul: tugas dan tanggung Jawab Amilin
BAMUIS dan Lembaga terkait Lainnya.
5) turut Meningkatan Kuantitas dan terutama Kualitas Para Da’i
Sejak di masa-masa awal didirikan Yayasan Baitul Mal umat
Islam dan oleh itu maka pengurus Badan Pembinaan Kerohanian Islam
(BAPeKIS), BAMUIS BANK BNI 1946 sangat antuisias dalam melakukan
pembinaan dakwah Islamiah dan pengembangannya. terutama dalam
lingkungan karyawan BNI dan sesekali keluarga besarnya. Seiring dengan
perkembangan BAMUIS yang secara finasial maupun kekaryawanan relatif
mengalami perkembangan dan pengembangan yang cukup berarti, BAMUIS
mengembangkan sayap dakwah “pasifnya” dalam bentuk pemberian beasiswa
kepada para mahasiswa/mahasiswi dalam berbagai bidang keilmuan pada
umumnya dan bidang dakwah Islamiah pada khususnya. Baik yang bersifat
perorangan maupun kelembagaan.
Yang bersifat perseorangan pada dasarnya adalah BAMUIS
mempersilakan kepada yang bersangkutan untuk memilih perguruan
tinggi yang diminatinya, sedangkan yang berbentuk kolektif - kelembagaan
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS230 231
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
ialah misalnya memberikan bantuan beasiswa secara kelembagaan dalam
bentuk kerjasama BAMUIS dengan perguruan tinggi yang concern dengan
pendidikan tinggi dakwah. Di antara contoh kongkritnya adalah terutama
kerjasama BAMUIS dengan Sekolah tinggi Dakwah Islam (StDI) Mohammad
Natsir yang berlokasi di Gedung Menara Da’wah Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia Jl. Keramat Raya No. 45 (untuk Kampus A) dan di Jl. Kp. Bulu
Setia Mekar tambun Selatan, Bekasi.
Belakangan, sejak sekitar dua hingga tiga tahunan yang lalu,
BAMUIS BNI melakukan kerjasama lebih aktif lagi dengan beberapa lembaga
dakwah tentunya. Salah satunya dengan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) dalam bentuk program pencerahan para da’i. terutama
yang dilakukan dalam wilayah-wilayah terpencil dan/atau perbatasan
dengan negara-negara tetangga. Kerjasama BAMUIS terutama dalam
bentuk bantuan pendanaan di samping dalam bentuk bantuan buku-buku
yang dipandang penting kepemilikannya oleh para da’i.
terhitung sejak tahun 2015-an BAMUIS ikut aktif mensosialisasikan
program kerja BAMUIS kepada umat dan masyarakat secara luas supaya
diketahui oleh pihak lain dalam rangka transparansi pengelolaan dana
ZIS kelolaan BAMUIS dan sinergi kerjasama yang lebih baik dengan
para mitra kerjanya. Lebih dari itu, sebagian Dewan Pembina termasuk
Pembina Syariah BAMUIS dalam hal ini penulis, turut aktif memberikan
pencerahan tentang dakwah Islamiah kepada para da’i lintas organisasi
dan multi lembaga dakwah. Khususnya kepada para da’i senior maupun
junior yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia,167 utamanya dalam
bidang perzakatan dan ke-BAMUIS-an.
5. Memberdayakan Pedangang Kecil
Program BAMUIS lainnya yang cukup berhasil adalah membantu
pemberdayaan pedagang kecil (kaki lima) seperti pedagang ketoprak, nasi
uduk warung-kecil, dan lain-lain yang sangat kekurangan modal. Beberapa
orang pedagang kecil bisa berhasil mendaya-gunakan modal cuma-cuma
dari BAMUIS untuk melakukan usahanya. Bantuan dimaksud selain berupa
uang untuk modal pembelian barang-barang dagangan, mereka juga diberi
peralatan misalnya gerobag dorong, dan peralatan masak dan wadah
perdagangan nasi uduk. Program ini dilakukan BAMUIS bekerjasama
dengan Yayasan tanmia Insani pada akhir-akhir tahun 1990-an dan awal-
awal tahun 2000-an.168
6. Memberikan Bantuan Keuangan Kepada Guru dan/atauMurid TPA.
Sebagian dana ZIS karyawan-karyawati Bank BNI dan masyarakat
umum yang diserahkan kepada BAMUIS, disalurkan kepada sejumlah tenaga
167 Di antara ikut-serta aktif BAMUIS dalam mengikuti kegiatan pelatihan atau pencerahan Da’i DDII adalah pada kegiatan Daurah Dewan Da’wah di Ternate (2016), di Palu (2), di Majalengka – Jawa Barat (2016), di Batu Malang (2017), dan teranyar di Kabupaten Sambas – Kalimantan Barat yang pesertanya terdiri atas dai-da’i serumpun – khususnya wilayah perbatasan yakni Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia yang diselenggarakan pada tanggal 22 – 24 Agustus 2017 M/29 Dzul Kaidah – 2 Dzul Hijah 1438 H; dan Maninjau, Bukit Tinggi – Sumatera Barat (22 – 24 September 2017 M/2 – 4 Muharram 1439 H.
168 Yayasan Tanmia Insani, dibentuk (2006) atas prakarsa penulis (Muhammad Amin Suma) dan kawan-kawan selagi masih aktif sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. Karena satu dan lain hal, terutama kesibukan hampir semua pengurusnya , maka yayasan ini cuma bisa berjalan dalam beberapa tahun saja (2006 - 2011/2012; dan sejak tahun-tahun tersebut sampai sekarang dapat dikatakan teleh berhenti dengan sendirinya.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS232 233
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
pengajar (guru) dan/atau murid-murid taman Pendidikan Al-Qur’an (tPA)
yang tersebar di beberapa wilayah/daerah, di antaranya Jakarta, Jawa Barat,
Banten, Sumatra Barat, Palembang, Sulawesi, dan lain-lain.
7. Membantu Sejumlah Pondok Pesantren
Penyaluran dana LAZIS BAMUIS lainnya ialah kepada sejumlah
pondok pesantren yang para santrinya sangat memerlukan uluran tangan
para muzaki, munfik dan mutasadik BNI di beberapa atau sejumlah daerah.
termasuk dengan pemberian modal ekonomi dan keuangan pondok
pesantren yang dinilai memiliki kemampuan dan terutama kemauan untuk
melakukan usaha ekonomi misalnya bantuan binatang ternak (kambing),
pembuatan kolam dan pembelian bibit ikan lele di beberapa pondok
pesantren.
8. Membangun atau Membantu Pembangunan Mushalla dan/atauMasjid
Di antara Mushalla yang dibangun oleh Yayasan BAMUIS ialah
Mushalla yang terletak pada Pos Polisi Pejompongan – Jakarta Pusat,
tepatnya berdekatan dengan Gedung Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia (BPK RI). Mushalla ini pembangunannya dibiayai oleh LAZ
BAMUIS yang kala itu berkantor di Jalan Raya Pejompongan nomor 1
sebelum kemudian pindah ke Slipi dan lalu ke Salemba.
9. Penerbitan Buletin
Pada paroh pertama – tepatnya awal-awal tahun 2000-an, BAMUIS
mampu mengelola jurnal yang selain isinya memuat beberapa informasi
ke-BAMUIS-an dan lain-lain, juga di dalamnya terdapat artikel dan ruang
tanya-jawab seputar masalah zakat, infak, dan sedekah. Sayangnya, atas
pertimbangan biaya dan terutama tenaga pengelolanya yang sangat
minim, mengakibatkan BAMUIS tidak lagi memiliki kesanggupan untuk
meneruskan penerbitan jurnal tersebut. Padahal, menurut pendapat
penulis yang lagi-lagi bisa jadi subyektif, keberadaan jurnal untuk LAZIS
Nasional sebesar BAMUIS tampak merupakan salah satu sarana yang
pengelolaannya bisa dimaksimalkan bagi jalinan komunikasi dan informasi
dalam rangka mengembangkan budaya organisasi dan kerjasama BAMUIS
dengan institusi-institusi lain dan bahkan dengan masyarakat luas.
10.Turut Berperan Aktif dalam Pergerakan Organisasi Zakat
Masih dalam konteks kinerja aktif dan persuasif BAMUIS BANK
BNI lainnya ialah peran serta aktif BAMUIS dalam menjalin komunikasi
dan kerjasama dengan beberapa lembaga lain khususnya lembaga-lembaga
amil zakat. Di antaranya turut aktif dalam kepengurusan maupun kegiatan
yang diadakan oleh Forum Zakat (FoZ). Salah satu bentuk konkritnya
ialah BAMUIS-lah yang mengawali kegiatan Sekolah Amil Zakat (SAI)
sebagaimana telah disinggung pada bagian lain di dalam tulisan ini.
11.Santunan Kemanusiaan
Santunan kemanusiaan yang dilakukan BAMUIS sejak di masa-masa
awal kelahirannya tempo dulu hingga keberadaannya di saat-saat sekarang
ini, BAMUIS sarat dengan aktivitas bantuan kemanusiaan. Hampir setiap
ada bencana (alam maupun yang lain-lain), BAMUIS selalu ambil bagian
bersama-sama badan/lembaga amil zakat yang lain-lain meringankan beban
berat para korban bencana alam dimaksud. Baik bencana alam maupun
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS234 235
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
bencana kemanusiaan itu terjadi di dalam maupun di luar negeri. Contoh
kasus terkini ialah bantuan BAMUIS kepada para pengungsi etnik Rohingya
di Kharine - Myanmar yang terjadi belakangan ini. Apalagi dengan berbagai
bencana yang pernah terjadi di Indonesia semisal tsunami Aceh (Desember
2004), Gempa Bumi Yogyakarta (2006), Banjir Jakarta yang hampir setiap
tahun, dan lain-lain yang terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.
12.Memiliki Pedoman Tertulis
Sampai tahun 2017 ini, BAMUIS telah memiliki sejumlah pedoman
pokok dan baku secara tertulis. Beberapa pedoman umum, dasar dan baku
yang hingga kini telah dimiliki YAYASAN BAMUIS, antara lain adalah:
a. Buku Pedoman Kepegawaian;
b. Buku Pedoman Pengelolaan Rumah Asuh Yayasan Bening Nurani
(YABNI);
c. Buku Prosedur Implementasi Cash Management; Pedoman
d. Dan lain-lain.
13. Memperoleh Sejumlah Penghargaan
Bukti lain atas keberhasilan LAZIS BAMUIS dalam melakukan
pemberdayaan gerakan perzakatan dapat dilihat dari sekian banyak piagam
penghargaan yang diserah-terimakan kepada BAMUIS oleh beberapa atau
sejumlah lembaga-lembaga lain. Di antaranya penghargaan dari panitia/
lembaga yang kredibel. Di antaranya:
a. Pemenang I Kategori Pertumbuhan Dana pada Zakat Word 2004;
b. Pemenang III kategori transparansi 2005;
c. Penghargaan Kategori Bidang Program Kerja;
d. the Best LAZNAS pada Islamic Fainance Club, 2009 oleh Karim
Bussines Consulting;
e. Penghargaan Best Grant-Making Zakat organisation, 2010;
f. Penghargaan atas Dukungan Peduli dan Kerjasama Inovasi Zakat
Revoling Found;
g. Lain-lain.
14.Lain-lain
Selain yang telah dikemukakan di atas, sudah tentu masih banyak
lagi jenis-jenis program kerja yang telah dilaksanakan oleh BAMUIS, yang
karena satu dan lain hal terutama pertimbangan teknis, tidak bisa disebutkan
apalagi diuraikan satu persatu. terutama aktivitas pendayagunaan dana ZIS
BAMUIS dalam bentuk bantuan beasiswa yang jumlahnya telah mencapai
ratusan hinga ribuan peserta didik yang dilakukan sepanjang tahun.
Apalagi dalam bentuk bantuan konsumtif khususnya paket sembako,
pakain sekolah, buku pelajaran dan/atau bantuan lainnya yang secara rutin
dan kontinue diberikan kepada kaum duafa mulai dari anak-anak yatim
hingga kepada para lansia dan jompo dan bahkan tenaga yang sejatinya
masih terbilang produktif namun tidak memiliki kesempatan untuk bekerja
atau usaha secara mandiri. Di antara contohnya ialah bantuan yang
diberikan BAMUIS kepada nara pidana dan/atau keluarga nara pidana yang
memerlukan bantuan kemanusiaan. termasuk yang sangat sering adalah
bantuan bagi masyarakat banyak dan luas yang tertimpa musibah massal
semisal bencana alam, kebanjiran, kebakaran dan lain sebagainya.
Di balik kekurangan, keterbatasan, atau bahkan (sedikit) kekeliruan
dan kesalahan yang ada di dalamnya, atau yang pernah dilakukan oleh
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS236 237
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
unsur pengurus BAMUIS BANK BNI, namun disimpulkan bahwa secara
umum dan keseluruhan, BAMUIS telah membuktikan sosoknya sebagai
LAZIS-NAS modern yang sukses. Selain sebagai salah satu Lembaga Amil
Zakat, Infak, dan Sedekah Nasional tertua dan terkemuka di Indonesia
terutama di tahun-tahun 1990-an, BAMUIS juga dapat dikatakan sebagai
salah satu soko guru dalam bidang keamilan dan perzakatan di negara
Republik Indonesia ini. Lebih dari itu, BAMUIS telah pula meletakkan dasar
– dasar fundamental dalam hal pembentukan dan pembinaan lembaga
pendidikan serta peran-serta aktif dalam dunia dakwah. Kecuali itu, di
samping terutama dalam upaya menyantuni kaum dhu’afa - khususnya
kaum fakir-miskin -- dan lembaga-lembaga lain pada umumnya, peran
dasar dan monumental BAMUIS (Baitul Mal Umat Islam) antara lain dapat
ditelusuri dari sejarah perjalanan penyusunan dan pelaksanaan sejumlah
program kerja BAMUIS.
D. Tokoh Pendiri, Penggerak dan Pengelola bAmuIS dari masa ke masa
Di balik peristiwa penting dan kibaran lembaga besar, dipastikan
ada aktor penggagas, pengelola dan pelanjutnya selama lembaga dimaksud
masih tetap eksis sebagaimana halnya Yayasan BAMUIS BANK BNI. Lepas
dari peralihan nama dan/atau perubahan statusnya dari waktu ke waktu
yang karena satu dan lain hal tidak diuraikan di dalam buku kecil ini, yang
jelas sejak didirikannya lebih dari separoh abad yang lalu (1967), sampai
sekarang BAMUIS masih tetap eksis dan berkembang dinamis. Kelanggengan
BAMUIS yang berlanjut hingga sekarang, ini terjadi berkat keterlibatan atau
peran serta aktif banyak orang/pihak. Di antara mereka adalah para pendiri
yang menghadap ke Notaris Raden Soerojo Wongsowidjojo di Djakarta,
sebagai saksi pendirian BAMUIS ialah (1) tuan Mohammad Daud [Ali],
S.H. (2) tuan Sidi Hambali (3) tuan Mohammad Sjafe’i (4) tuan Martunus
(5) tuan doktorandus Mochtar Nasution, kesemuanya adalah karyawan
Bank Negara Indonesia (unit III) yang membidangi sumber daya manusia
(SDM).
tanpa ada maksud untuk mengurangi penghormatan kepada
tokoh-tokoh lain yang ikut andil merintis, mendirikan, mengelola dan/atau
membesarkan YAYASAN BAMUIS, beberapa personal di bawah ini in sya
Allah lebih dari cukup untuk merepresentasikan para pejuang (mujahidín/
mujáhidah) zakat finance Indonesia melalui pintu BAMUIS. Di antara mereka
adalah:
1. Sutanto,
Sutanto (w. 10 Juni 1968) adalah Direktur Utama Bank BNI (1967
– 1968). Meskipun usia tergolong pendek dan menjabat Direktur Utama
Bank BNI hanya dalam waktu (kurang-lebih) satu tahunan saja, namun
menurut para responden yang diwawancara, dialah sejatinya yang menjadi
pelopor penegakkan tiang pancang pembentukan Yayasan Baitul Umat
Islam (BAMUIS) BNI 1946 pada tahun 1967 itu. Sayangnya, peneliti/penulis
mengalami kesulitan untuk mencari lebih tahu tentang almarhum Sutanto
ini.
2. H.Winarto Soemarto
Dr. Winarto Soemarto, S.H., MBA. (1936 - 2013) adalah satu dari
sekian banyak pegiat BAMUIS terutama tatkala pengelolaan dana zakat
masih berada pada Badan Pembinaan Rohani Islam (BAPeKIS). Winarto,
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS238 239
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
yang kala itu (1992) sesungguhnya adalah Direktur Utama Bank BNI, masih
tetap berkenan untuk mengetuai bidang khusus ZIS. Menurut kesaksian
beberapa orang aktivis BAPeKIS maupun BAMUIS BNI, di antaranya
terutama Sutan Remy Syahdaeny, Saefudien Hasan, Muchlis Harun, Fatimah
Ahmad, Sudirman dan lain-lain, menyatakan dan/atau membenarkan bahwa
Pak Win-lah – begitu biasa ia disapa -- pejabat teras (Direktur Utama BNI)
kala itu yang dengan tegas berani memberikan pengumuman dan bahkan
konon surah edaran169 kepada seluruh karyawan-karywati BNI yang pada
intinya berisi pemberitahuan (tepatnya) instruksi bahwa semua pegawai BNI
yang beragama Islam akan dipotong gajinya sebesar 2,5 % sebagai zakat
profesi pribadi yang disalurkan melalui Yayasan BAMUIS BANK BNI. Lebih
dari sekedar surah imbauan, konon Pak Win sempat menyampaikan kata-
katanya bahwa “bagi karyawan/karyawati BNI yang merasa berkeberatan
dengan pengutipan zakat profesi, oleh Winarto dipersilakan menghadap
Dirut BNI170 yang tidak lain dan tidak bukan adalah H. Winarto sendiri.
Kebijakan Winarto ini sejatinya sunguh beresiko, apalagi di zaman
“kegaduhan politik” yang kala itu diwarnai saling curiga antar atau bahkan
inter sesama kolega sekalipun. Namun, bukanlah Winarto namanya kalau
tidak memiliki keberanian semacam itu mengingat jiwa dan semangat
169 Terdapat perbedaan informasi terkait dengan kebijakan mendasar Pak Winarto tentang pemotongan zakat sebsar 2,5 % bagi setiap karyawan-karyawati Muslim/Muslimah dalam lingkungan Bank BNI 1946. Ada yang menyatakan dalam bentuk lisan, namun ada pula yang mengatakandalam bentuk surah edaran. Yang jelas, penulis belum/tidak berhasil menemukan bukti tertulis (otentik) tentang surah edaran itu. Sungguhpun tidak dapat dipastikan keberadaan surah edaran dimaksud, namu memerhatikan situasi surah-menyurat dan/atau arsip-mengarsip terkait dengan urusan semacam itu; bisa dimaklumi kemungkinan adanya namun tidak terdokumentasikan secara baik mengingat sistem pengarsipan Indonesia umumnya pada tahun-tahun itu belum serapi sekarang ini. Yang jelas, informasi tentang kebijakan Pak Win menearik uang zakat sebesar 2,5 % dari pengahislan bruto karyawan-karyawati Muslim-Muslimah Bank BNI, itu merupakan informasi valid yang sangat masyhur atau bahkan mutawatir menurut istilah dalam ilmu Hadis.
170 Wawancara pribadi dengan Muchlis Harun.
keagamaan (Islam)-nya yang demikian tinggi sejak di masa-masa muda
atau bahkan sejak di masa-masa kecilnya.171 Di antara bukti peduli H.
Winarto terhadap BAMUIS adalah seringnya kehadiran mantan Dirut
BNI ini ke kantor BAMUIS ketika masih berkantor di Jl. Pejompongan II
Jakarta – Pusat. Pada usianya yang sudah terbilang sepuh, beliau masih
tetap menyempatkan diri untuk menyambangi kantor BAMUIS, dan
tidak sungkan-sungkan untuk menyampaikan harapan, masukan, nasehat
dan/atau saran-sarannya kepada para awak BAMUIS. termasuk kepada
penulis.
Penulis tidak tahu persis apakah Winarto mengenali atau tidak ayat
Al-Qur’an dan matan Al-Hadis yang dikutipkan di bawah ini, yang jelas
tindakannya memberlakukan kebijakan dan kebajikan potong zakat (2,5
%) dari gaji yang diterima kayawan/karyawati BNI yang beragama Islam,
ini membuktikan ketaatannya terhadap agama (Islam) yang dia peluk. Ini
dibuktikan dengan kemauan dan kemampuannya dalam mengamalkan
Qur’an dan Hadis, sekurang-kurangnya ayat dan hadis berikut ini:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui
(at-Taubah (9): 103).
“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan kemungkaran [dalam konteks
ini enggan membayar zakat], maka hendaklah kamu ubah keadaan itu dengan
(menggunakan) tangan (kekuasaan)-nya. Kalau tidak bisa, maka hendaklah
171 Wawancara pribadi dengan Muchlis Harun.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS240 241
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
mengubahnya dengan lisan (nasehat/teguran)-nya. Kalau tidak bisa (juga),
maka hendaklah turut mengubah dengan hatinya (mendoa); namun yang
terakhir ini (tergolong) ke dalam deretarn orang yang lemah iman”
(al-Hadis).
Winarto, yang menjabat sebagai direktur utama Bank BNI ketika
itu, benar-benar telah mengamalkan ayat dan hadis di atas melalui tangan
(jabatannya) sebagai Direktur Utama dan Ketua Bidang Khusus BAPINRoH
BNI yang mengajak dan sekaligus melakukan pemotongan zakat secara
langsung. Inilah di antara jasa besar dan benar yang dilakukan Winarto
bagi kesejahteraan umatan muslimatan khususnya dan masyarakat serta
rakyat Indonesia secara keseluruhan pada umumnya. Bahkan juga bagi
bantuan kemanusiaan di luar negeri sekalipun yang masih tetap dilakukan
BAMUIS sampai sekarang.
Kecuali itu, Winarto dapat dikatakan berhasil memberikan
contoh tauladan yang baik (uswah hasanah) kepada para penggantinya di
kemudian hari dalam lingkungan BANK BNI, termasuk para petingginya
yang secara umum dan keseluruhan dapat dikatakan hormat dan “loyal”
kepada BAMUIS sampai sekarang ini. Bahwa faktanya di sana-sini masih
ada sedikit (sekitar 20 – 30 %) karyawan/ karyawati BNI yang belum/tidak
menyalurkan zakatnya melalui BAMUIS, di antara faktor penyebabnya tidak
semata-mata karena tidak mengenali BAMUIS, akan tetapi lebih disebabkan
faktor lain-lain di antaranya karena dipindah-tugaskan, ada yang pensiun
dan ada pula karyawan-karyawati baru yang boleh jadi belum mengenal
BAMUIS. Inilah pula di antara kendala yang perlu dan sedang diatasi
oleh BAMUIS yang belakangan terbilang bersemangat untuk melakukan
konsolidasi dan perbaikan demi perbaikan.
3. Drs. H. Muchlis Harun, MSM. dkk.
Muchlis Harun, yang kini telah memasuki usia ke-73 tahun,
adalah tipikal “sejati” pecinta BAMUIS yang ia “gawangi” hampir 20-an
tahun (1996 - 2015) lamanya, dan sampai sekarang masih tetap aktif
sebagai Penasehat Pengurus Harian. terutama dalam kapasitasnya sebagai
Ketua Badan Pelaksana Harian BAMUIS yang dijalaninya sejak masih aktif
sebagai pejabat (Pemimpin Divisi Perencanaan Strategis /ReN dan Direktur
Dana Pensiun) Bank BNI sampai purna bhakti dan masih lanjut sampai
sekarang. Sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian BAMUIS, Muchlis dan
kawan-kawan sempat mengalami beberapa kali perpindah kantor mulai
dari Kantor yang ada di Pejompongan, lalu di Slipi dan kemudian sekarang
di Jalan Percetakan Negara VII. Di bawah kepemimpinan Muchlis Harun
inilah untuk pertama kalinya (2013 M/1434 H) BAMUIS memiliki kantor
permanen sendiri (bukan pinjam/sewa), dengan luas tanah 269 m2 dan luas
bangunan 394 m2 (2 lantai).
terhitung pada waktu-waktu 15 tahun dari masa-masa awal
kepemimpinannya, BAMUIS mengalami kemajuan yang terbilang cukup
pesat baik dari segi penghimpunan dan pengelolaan, maupun dalam
hal distribusi dan pemanfaatan dana ZIS BAMUIS. tidak kecuali dengan
sistem pelaporannya yang selalu diterima baik dalam forum Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) maupun oleh auditor internal dan auditor umum
dengan predikat WtP (Wajar Tanpa Pengecualian).
Lepas dari kekurangan dan keterbatasan Muchlis Harun, terutama
dalam masa-masa kepemimpinannya dalam kurun waktu tiga sampai lima
tahun terakhir disebabkan usianya yang semakin sepuh, Muchlis Harun
memiliki sumbangsih pemikiran dan dedikasi nyata dalam memanage
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS242 243
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
perjalanan organisasi BAMUIS. Seperti disinggung sebelum ini, karya nyata
yang dipersembahkan Pak Muchlis selama memimpin BAMUIS adalah
pembelian gedung perkantoran BAMUIS yang terbilang representatif.
Dengan kepemilikan kantor yang representatif ini, roda organisasi BAMUIS
yang dikendalikan melalui sekretariatnya yang terbilang bagus dan nyaman,
membuat BAMUIS bisa lebih leluasa lagi untuk memberikan pelayanan
kepada para mustahikin zakat dan/atau tamu-tamu lainnya.
Salah satu kekurangan yang ada terkait dengan sekretariat BAMUIS
dalam penilaian subyektif penulis tentunya ialah letak lokasinya yang
tidak strategis. Bukan semata-mata karena posisinya yang menghadapi
tembok penjara dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan (LP) Salemba –
Jakrta Pusat, melainkan terutama juga disebabkan halaman parkirnya yang
dapat dikatakan tidak ada. Akibatnya, para pegawai kantor sendiri BAMUIS
sendiri mengalami kesulitan berat untuk memarkir kendaraannya; apalagi
dengan perparkiran kendaraan tamu BAMUIS.
4. Drs. Sudirman dkk.
terhitung sejak tahun 2015 sampai sekarang ini, kepemimpinan
BAMUIS setelah selama 19 tahun dipegang Drs. H. Muchlis Harun dan
kawan-kawan, kini telah beralih kepada Drs. Sudirman dan kawan-kawan.
Sejak di masa-masa kepemimpinan baru (Sudirman dkk), pergerakan roda
organisasi BAMUIS berjalan demikian dinamis, energik dan lebih fokus.
Pada masa kepemimpinan Sudirman ini banyak terobosan baru yang
dilakukan demi kemajuan BAMUIS baik dalam lingkungan internal seperti
peremajaan kepengurusan BAMUIS itu sendiri maupun secara eksternal di
antaranya merajut kerjasama dengan sejumlah orang/pihak yang pengaruh
positifnya mulai dirasakan banyak pihak termasuk oleh para pegawai
BAMUIS sendiri maupun keluarga besar BNI dan bahkan umat Islam
secara luas. terutama para mustahik yang kian waktu jumlahnya semakin
bertambah dengan sistem pelayanan yang lebih sistematis.
5. Pengubahan logo BAMUIS dari logo lama ke logo baru;
6. Penandatanganan pakta integritas yang ditandatanganibersama oleh para pimpinan dan seluruh karyawanBAMUIS pada hari Jum’at, 19 Januari 2018 M/1 JumadilAwal 1439 H.
7. Lain-lain
Selain beberapa atau sejumlah nama yang sudah disebutkan dan
diuraikan seperlunya di atas, diduga kuat atau bahkan dipastikan masih
ada dan banyak jumlahnya nama-nama lain yang telah terlibat aktif dan
turut memajukan BAMUIS, khususnya dalam lingkungan Bank BNI 1946;
namun karena satu dan lain hal kesaksian maupun bakti nyatanya tidak
bisa disebutkan apalagi diuraikan namanya di dalam tulisan ini. Yang jelas,
orang/pihak yang terlibat dengan pengawalan dan pemajuan BAMUIS, ini
masih jauh lebih banyak daripada yang sudah disebutkan di sini.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS244 245
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
E. Dewan Pembina - Pengawas Syariah bAmuIS
ekonomi dan keuangan syariah/Islam -- di Indonesia -- yang
telah lama “tertidur atau ditidurkan” bahkan tidak salah jika dikatakan
telah “mati suri” kembali “siuman” pada awal-awal tahun 1990-an.
Kehadiran (kembali) ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia secara
juridis - formal antara lain ditandai dengan kelahiran lembaga keuangan
syariah (LKS) yang kemudian lebih populer dengan sebutan Lembaga Jasa
Keuangan Syariah (LJKS), dalam kasus ini Bank Muamalat Indonesia (BMI)
yang didirikan pada bulan Desember 1991 dan mulai beroperasi pada bulan
April 1992. Itulah pula sebabnya mengapa Bank Muamalat lazim dijuluki
atau menjuluki diri sebagai “Bank Pertama Murni Syariah.”
Yang dimaksud dengan “Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga
yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar modal, Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”172
Yang dimaksud dengan “Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian,
lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahan
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersufat wajib, meliputi penyelenggaraan
program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan,
lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder
perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta
lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan
peraturan perundang-undangan.”173 Dan terutama anak kalimat “dan
172 UU Nomor 21 Tahun 2001, Pasal 1 nomor 4.
173 UU No. 21 Tahun 2011, Pasal 1 nomor 10.
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan
lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan perundang-undangan”
mengisyaratkan atau bahkan menegaskan masukannya Lembaga Pengelola
Zakat ke dalam lembaga jasa keuangan syariah (LJKS).
Demikian pula dengan kewenangan Pengadilan Agama untuk
menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi
dan keuangan syariah yang salah satunya adalah lembaga zakat. Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama disebutkan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.174
Meskipun zakat tidak dikatakan sebagai lembaga jasa keuangan
syariah dan tidak pula dimasukkan ke dalam lingkup “ekonomi syariah”
dalam pengertian sebagai perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
174 UU RI No. 50 Tahun 2009, Pasal 49.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS246 247
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
menurut prinsip syariah sebagaimana dikatakan undang-undang,175 namun
sebutan zakat sebagai ibadah maliyah (yang berdimensikan harta-kekayaan),
tentu membuat kita akan menghadapi kesulitan tersendiri manakala tidak
memasukkan badan/lembaga amil zakat ke dalam deretan lembaga jasa
keuangan syariah sebagaimana dikemukakan di atas. terutama dalam anak
kalimat “… serta lembaga jasa keuangan lain ….” Sebab, faktanya kegiatan
utama dan pertama badan/lembaga amil zakat adalah menghimpun,
mengelola, dan mendistribusikan “barang ekonomi - khususnya uang.”
otoritas Jasa Keuangan (oJK) membedakan antara Lembaga Jasa
Keuangan (LJK) – tidak terkecuali Lembaga Jasa Keuangan Syariah (LJKS)
tentunya -- ke dalam dua macam yakni Lembaga Jasa Keuangan Bank
(LJKB) termasuk tentunya Lembaga Jasa Keuangan Syariah (LJKS) dan
Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB) di dalamnya termasuk Lembaga
Jasa Keuangan Syariah Non Bank (LJKSNB). Menurut prediksi penulis (ke
depan) yang boleh jadi tidak terjadi, Lembaga Pengelolaan Zakat, langsung
atau tidak langsung dan cepat atau lambat pada akhirnya akan termasuk
atau dimasukkan ke dalam Lembaga Jasa Keuangan Syariah Non Bank.
Anak kalimat yang mengatakan “lembaga jasa keuangan lainnya” yang
dikutibkan di atas mengisyaratkan hal itu.
“Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.“176
“Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
175 UU RI No. 50 Tahun 2009, Penjelasan Pasal 49 huruf i.
176 UU No. 21 th. 2008, Psasal 1, nomor 1.
Bank Pembiayaan Syariah.”177 Yang dimaksud dengan “Prinsip Syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.”178
Sampai sejauh ini, lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah di Indonesia adalah Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia dalam bidang non ekonomi dan keuangan (akidah, ibadah,
diniah/keagamaan, sosial dan lain sebagainya); sedangkan khusus dalam
bidang ekonomi dan keuangan syariah, penetapan fatwanya dilakukan oleh
(menjadi kewenangan) Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
(DSN – MUI). DSN – MUI berdiri sejak Lokakarya Ulama tentang Reksadana
Syariah yang diselenggarakan MUI Pusat pada tanggal 29 – 30 Juli 1997
di Jakarta, yang salah satu produknya adalah berbentuk rekomendasi yang
memandang penting dan mendesak akan keberadaan sebuah lembaga yang
khusus menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas
lembaga keuangan syariah (LKS) ini. Singkatnya, setelah MUI mengadakan
rapat tim Pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tanggal 14
oktober 1997, Dewan Pimpinan Pusat MUI kemudian menerbitkan SK No.
Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang Pembentukan
Dewan Syariah Nasional.
Guna melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip
syariah yang sudah difatwakan oleh DSN – MUI, pada semua dan setiap
lembaga jasa keuangan syariah – pada akhirnya termasuk juga badan/
lembaga amil zakat – sebagaimana tercantum dalam beberapa peraturan
177 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, Pasal 1 Nomor 7.
178 Undang-Undang No. 21 th. 2008, Pasal 1 nomor 12.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS248 249
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
perundang-undangan, semuanya mengharuskan supaya lembaga keuangan
syariah baik bank maupun non bank memiliki organ yang dinamakan
Dewan Pengawas Syariah (DPS). termasuk dalam Undang-Undang Nomor
23 tahun 2011 yang mengatakan bahwa salah satu persyaratan bagi
pembentukan LAZ adalah “memiliki pengawas syariah.”179
Meskipun undang-undang tentang pengelolaan zakat terbit lebih
dulu, dalam hal ini UU No. 38 th. 1999 tentang Pengelolaan Zakat, belum
menyebut-nyebut keberadaan “Pengawas Syariah” atau lengkapnya “Dewan
Pengawas Syariah.” Keberadaan lembaga Dewan Pengawas Syariah (DPS)
dan terutama Dewan Syariah Nasional (DSN) memang baru dibentuk pada
tahun 1999 sebagaimana disebutkan sebelum ini. Klausul yang melatari
pembentukannya ialah terutama untuk mempersiapkan pengawasan
penegakan prinsip-prinsip Syariah pada lembaga jasa keuangan syariah
khususnya Bank dan Asuransi Syariah. Kini, sebagaimana telah ditegaskan
sebelum ini, semua dan setiap lembaga jasa keuangan syariah baik bank
maupun non bank oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk
memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). tidak kecuali dalam lingkungan
Badan/Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah. Sama halnya dengan
lembaga-lembaga jasa keuangan syariah (LJKS) yang sudah memiliki Dewan
Pengawas Syariah di “bawah naungan” Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN), sejak beberapa waktu yang lalu sampai kini para
aktivis “DPS” lembaga perzakatan tengah memeroses pembentukan “Forum
Dewan Pengawas Syariah” Lembaga Amil Zakat.
Kembali ke pembicaraan utama yakni keberadaan pembina syariah
pada BAMUIS, satu hal yang layak untuk disertakan dalam tulisan ini
179 PP No. 14 th. 2014, Pasal 57, huruf c.
ialah bahwa -- lagi-lagi – jauh sebelum Negara dan Pemerintah Indonesia
melalui peraturan perundang-undangan mewajibkan keberadaan Dewan
Pengawas Syariah pada setiap lembaga jasa keuangan syariah (bank maupun
non bank), sejatinya “lembaga jasa keuangan syariah” yang pertama kali
“mengenalkan” sebutan Pembina Syariah (PS) adalah Yayasan Baitul Mal
Umat Islam (BAMUIS), jauh sebelum Undang-Undang Pengelolaan Zakat itu
disahkan, bahkan jauh sebelum Undang-Undang tentang Perseroan terbatas
maupun Undang-Undang Perbankan Syariah dan lain-lain diundangkan.
Sejak di masa-masa awal pembentukannya, BAMUIS dalam melaksanakan
tugas utama dan pertamanya sebagai penghimpun, pengelola dan penyalur
dana ZIS, telah memiliki Pembina Syariah (PS); suatu istilah yang lebih-
kurang sama fungsi dan terutama maksud-tujuan pembentukannya
dengan lembaga Dewan Pengawas Syariah (DPS) sekarang ini. Namun,
apapun alasannya, yang jelas keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
pada lembaga jasa keuangan syariah dewasa ini tentu jauh lebih populer
dan akseptabilitas (acceptability)-nya dibandingkan dengan sebutan dan
keberadaan Pembina Syariah yang digunakan BAMUIS yang murni bersifat
personal.
Sebagai LAZIS-NAS paling senior atau tertua di Indonesia –
khususnya dalam lingkungan BUMN se-Indonesia --, sudah tentu BAMUIS
memiliki “segudang” pengalaman dalam hal pengelolaan dana ZIS; mulai
dari penghimpunan, pengelolaan, pendistribusian, pendayagunaan dan/
atau pemenfataannya bagi kemaslahatan umat dan masyarakat. termasuk
dengan pelaporannya. Mulai dari pemeriksaan akuntan internal yang
mendampingi pelaporan BAMUIS sampai pengakuan akuntan publik yang
menyatakan Wajar tanpa Pengecualian (WtP) atas pelaporan keuangan
Yayasan BAMUIS, tentu merupakan salah satu indikator lainnya atas sukses
BAMUIS sebagai LAZIS-NAS.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS250 251
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Keberhasilan BAMUIS ini terjadi sudah tentu karena dukungan
dan partisipasi aktif banyak pihak. Salah satunya adalah peran Dewan
Pembina/Pengawas Syariah yang sejak di masa-masa awal didirikannya,
sampai di akhir-akhir waktu “penentuan nasib” kelembagaannya sekarang
ini, BAMUIS telah dan masih memiliki Pembina dan/atau Pengawas
Syariah (PS), meski istilah DSN (Dewan Syariah Nasional) apalagi Dewan
Pengawas Syariah pada saat itu belum dikenal karena memang belum lahir
lembaganya. Para Dewan Pembina/Pengawas Syariah (DPS) BAMUIS yang
dimaksudkan, secara periodik adalah sebagai berikut:
1. Prof. H. Daud Ali, SH
Prof. H. Daud Ali (almarhum) adalah orang pertama yang secara
resmi ditunjuk sebagai Pembina Syariah BAMUIS, tepatnya periode tahun
1993 - 1998. Sayangnya, peneliti/penulis mengalami kesulitan untuk
melacak lebih jauh tentang aktivitas dan terutama efektifitas pembinaan/
pengawasan syariah yang dilakukan Daud Ali, mengingat rangkaian
konsultasi atau bentuk pembinaan syariah apa dan bagaimana saja yang
dilakukan olehnya karena dapat dikatakan tidak terdokumentasikan, atau
tepatnya tidak bisa diperoleh dokumentasinya. Informasi yang peneliti
peroleh dari beberapa orang pengurus BAMUIS terkait dengan ke-DPS-an
Daud Ali, lebih banyak menggambarkan intensitas jalinan-hubungan Daud
Ali dengan Winarto yang sangat erat (mukhalith).
Sepertinya, dapat peneliti dan penulis simpulkan bahwa hubungan
Winarto dan Daud Ali lebih bersifat personal terutama dalam hal (semacam
penasehat) keislaman khususnya dalam bidang hukum syariah. Dengan
kalimat lain, kala itu Daud Ali belum/tidak memiliki hubungan formal
– administratif - kepegawaian dengan Winarto. Namun tampak erat dan
intensif pertemanan (persahabatan) antara keduanya. Menurut dugaan
kuat (zhann) Muchlis Harun, Daud Ali sepertinya yang “mengusulkan”
pembentukan Yayasan BAMUIS ini kepada Winarto. Gagasan demikian
(mewujudkan cita Islam) bukanlah hal yang berat bagi Prof. Mohammad
Daud Ali, Guru Besar UI yang sebelumnya menjadi Pegawai bank BNI ini.
Di antara ilustrasinya, adalah Prof. Daud Ali pula salah seorang Profesor
UI waktu itu yang sangat konsisten (istiqamah) dalam memperjuangkan
pendirian dan pembangunan Masjid Al-Irfan di komplek Perumahan Dosen
Universitas Indonesia (UI) di bilangan Ciputat – tangerang Selatan yang
masih berdiri tegak sampai sekarang menghadap Danau Gintung – Ciputat
yang cukup indah.180
2. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA.
Pada periode 1997 – 2002, Pembina Syariah BAMUIS mengalami
penambahan dengan diangkatnya Prof. Dr. M. Quraish Shihab sebagai Ketua
Pembina Syariah BAMUIS pada tahun 1997, dan Prof. Daud Ali, S.H. sebagai
anggota. Berhubung karena kesibukan dan terutama tugas kedinasannya
sebagai Menteri Agama RI (1998) dan kemudian Duta Besar Mesir dan
Mauritania (1998-2000); Quraish sepertinya mengalami kesulitan untuk
tetap aktif pada Yayasan BAMUIS sebagai Pembina Syariahnya. Sementara
Prof. Daud Ali, sudah keburu wafat pada tahun 1998.
180 Mudah-mudahan tidak salah ingat, penulis adalah penyampai khuthbah (khahib) Jum’at yang ke-dua di Masjid tersebut setelah khathib pertamanya adalah Drs. Harun Asfar (waktu karyawan IAIN dan dosen pada Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antara pengurus Masjidnya ketika itu ialah (almarhum) H. Tubagus Mun’im, SH, salah seorang dosen senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia di samping dr. H. Udin Sjamsudin (almarhum), staf pengajar Fakultas Kedokteran UI yang buka praktik di komplek Perumahan Dosen UI – Ciputat waktu itu. Pada tahun 1990-an, keduanya ikut aktif dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Organisasi Satuan (ORSAT) Ciputat yang Ketua Umumnya adalah peneliti sendiri untuk periode (1990 – 1993 dan 1993 – 1996).
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS252 253
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Menurut informasi yang disampaikan Muchlis Harun maupun
Fatimah Ahmad kepada penulis, baik M. Quraish Shihab maupun Daud
Ali, keduanya tidak sempat bergabung secara aktif dengan BAMUIS,
walau hanya sekedar untuk menghadiri rapat terbatas pengurus/tertentu
sekalipun,181 apalagi dalam rapat-rapat berkala dan rutin yang diadakan
BAMUIS kala itu dilakukan setiap dua mingguan.
Satu hal yang ingin penulis tambahkan di sini ialah bahwa
baik Prof. Daud Ali maupun Prof. M. Quraish Shihab, selain keduanya
berstatus sebagai maha guru pada dua universitas terkemuka yang berada
di Indonesia (masing-masing pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
bagi Prof. Daud Ali dan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri
– kini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Prof. M.
Quraish), keduanya adalah termasuk ke dalam deretan panjang atau pendek
Guru-Guru Besar penulis. Lebih dari itu kedua Professor yang terbilang
aktif kreatif dan produktif dalam melahirkan karya-karya ilmiahnya masing-
masing, sedikit-banyak turut memberikan inspirasi bagi penulis dalam
hal pengembangan ilmu pengetahuan yang digeluti kedunya, yakni ilmu
hukum Islam di Indonesia bagi Prof. Daud Ali dan ilmu-ilmu Al-Qur’an
khususnya tafsir oleh Prof. M. Quraish Shihab.
Di antara karya monumental Profesor Daud Ali ialah “Asas-Asas
Hukum Islam” yang kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan judul “Islamic Law Introduction to Islamic Jurisprudence and the Legal
System in Indonesia,” ekonomi Islam: Studi tentang Zakat dan Wakaf, dan
lain-lain. Sedangkan karya-karya Prof. Quraish, yang terpopuler di antaranya
181 Wawancara pribadi dengan Muchlis Harun dan Fatimah Ahmad, masing-masing tanggal 5 Juli 2017 di Kantor BAMUIS – Jalan Percetakan Negara VII Salemba – Jakarta Pusat, dan .24 Oktober 2017 di Rumah Makan - Sate House Senayan – Jakarta Selatan,
ialah “Tafsir al-Mishbah” di samping Wawasan Al-Qur’an, Membumikan Al-
Qur’an dan lain-lain yang terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu
apalagi dijelaskan secara keseluruhan.
Yang pasti, lagi-lagi kedua ilmuwan ini adalah maha guru
penulis182 yang keduanya alhamdulillah saling mengenali terutama penulis
sendiri kepada keduanya. Kedua Guru Besar kebanggaan bangsa Indonesia
- terutama di kampus besarnya masing-masing (UI dan UIN Jakarta),
ini cukup berarti dan membekas bagi BAMUIS meskipun masa baktinya
tergolong untuk tidak mengatakan teramat singkat. Khususnya Prof. Daud
Ali -- yang jauh sebelum Prof. Quraish bergabung dengan BAMUIS – Daud
Ali telah lebih dahulu “menyertai” Pak Winarto. Bagaimanapun, kedua
penulis telah turut aktif memberikan bekal berharga bagi penulis untuk
meretas ilmu pengetahuan yang secara langsung maupun tidak langsung
bermanfaat dalam melakukan “pembinaan dan/atau pengawasan” syariah
dan kesyariahan bagi pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAMUIS.
Pasalnya ? Kedua beliau – terutama Prof. Daud Ali -- inilah
justru yang telah meletakkan dasar-dasar pijakan dan arahan syariah dan
kesyariahan bagi perjalanan jangka panjang BAMUIS BANK BNI sebagai
lembaga keagamaan yang pada satu sisi wajib menaati syariat Islam dan
182 Bersyukur penulis pernah menjadi murid langsung dengan kedua Profesor ternama ini, terutama Prof. M. Quraish Shihab. Prof. Daud Ali adalah penguji disertasi penulis dalam ujian promosi Doktor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syqarif Hidayatullah Jakarta (... Agustus 1989) di samping beberapa kali jumpa dalam beberapa kali seminar atau diskusi ilmiah tentang hukum Islam dalam beberapa forum; sedangkan Prof. Quraish, selain sebagai Guru Besar penulis dalam mata kuliah Tafsir-Hadis pada Program Pasca Sarjana IAIN Jakarta (1987-1989), adalah juga atasan penulis sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1993 – 1998), sedangkan penulis kala itu masih menjabat sebagai Ketua Jurusan Peradilan Agama pada Fakutas Syariah, lalu Kepala Balai Pengabdian pada Masyarakat - Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, sampai penulis dipilih menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (periode tahun 1998 – 2002) di mana rektor kala itu masih Prof. Quraish.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS254 255
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
pada sisi yang bersamaan wajib juga mengindahkan peraturan perundang-
undangan negara dalam melakukan pengelolaan dana ZIS yang dipercayakan
kepada BAMUIS.
3. Muhammad Amin Suma
Saya pribadi, M. Amin Suma, tinggal lagi meneruskan dedikasi dan
perjuangan para pendahulu penulis di atas, dalam hal ini terutama kedua
Pembina Syariah BAMUIS yang bersama-sama dengan semua komponen
BAMUIS lain-lainnya telah menghantarkan BAMUIS ke pentas dunia dan
sampai sekarang masih tetap eksis dan masih terus kerkibar. tanpa jasa
kedua beliau, dan lain-lain tentunya yang sudah lebih dulu dipaparkan,
maka rasa-rasanya Yayasan BAMUIS belum tentu seharum atau semasyhur
namanya sekarang ini.
Di antara kesan mendalam yang penulis rasakan selama menjadi
Pembina Syariah BAMUIS ialah suasana persaudaraan (ukhuwah) dan
kerjasama individu segenap jajarannya yang benar-benar solid dan saling
melengkapi. terutama dalam kurun waktu 2 – 3 tahun terakhir ini setelah
BAMUIS melakukan peremajaan kepengurusan mulai dari tingkat pimpinan
sampai di tingkat pelaksana. Suasana kerja BAMUIS kian hari semakin
kondusif dengan dinamika perjalanan termasuk sosialisasi dan lain-lainnya
yang nyaris mampu mengimbangi LAZIS-NAS-LAZIS-NAS lainnya.
Kepesertaan aktif penulis dalam rapat-rapat penting tertentu dan
bahkan rapat-rapat berkala yang dilakukan secara rutin dan kontinue
diikuti oleh semua atau minimal bagian terbesar komponen pengurus dan
amilin BAMUIS (minimal 1 sampai 2 kali dalam satu bulan); memberikan
rasa lega tersendiri karena dapat secara langsung turut “membina,”
“mengawasi” dan “mengawal” sebagian besar atau minimal sebagian
gerak-langkah pelaksanaan program kerja BAMUIS. Sependek pengalaman
penulis, kegiatan rapat di lembaga ZIS yang nirlaba, ini justru tampak lebih
sering atau lebih banyak ketika – maaf – misalnya dibandingkan dengan
keharusan meeting yang wajib dikuti oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS)
pada lembaga-lembaga ekonomi dan/atau lembaga jasa keuangan syariah
(LJKS) pada umumnya. Manakala dalam lingkungan lembaga jasa keuangan
syariah kewajiban minimalnya berkisar antara 4 hingga 6 kali dalam satu
tahun kerja (1 kali dalam 2 – 3 bulan); maka rapat Pembina Syariah
BAMUIS justru bisa berkisar antara 12 – 24 kali dalam satu tahun kerja
(1 - 2 kali rapat dalam satu bulan). Belum termasuk rapat umum tahunan
dalam rangka laporan tahunan BAMUIS kepada organ BAMUIS secara
bersama dan keseluruhan.
F. Ibrah berharga dari bAmuIS.
Setelah membaca sejarah pembentukan JAJASAN BAMUIS
(YAYASAN BAMUIS), tujuan dasar pembentukan, kepakaran dan kecakapan
para pendiri dan badan pengurus serta mencermati program kerja dan
kinerja BAMUIS dari tahun 1967 – 2016, sungguh terbilang banyak
pelajaran berharga (‘ibrah) yang telah diberikan oleh/diterima dari Yayasan
BAMUIS - Besutan Bank Negara Indonesia ini kepada generasi penerusnya
sekarang ini. Yang terpenting daripadanya ialah bahwa: Secara umum
dan keseluruhan, BAMUIS tidak hanya memberikan inspirasi cerdas dan
contoh tauladan konkret bagi pembentukan badan/lembagi amil zakat,
infak dan sedekah (BAZIS/LAZIS) di Indonesia; akan tetapi, lebih dari
sekedar itu BAMUIS juga telah memberikan modal dasar dan model ideal
bagi pembaruan pengelolaan dana ZIS berikut pembentukan organisasi
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS256 257
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
pengelola zakat (oPZ) sekaligus. termasuk di bidang kepeloporan BAMUIS
dalam melakukan pembaruan pemikiran dalam hukum Islam yang telah
lama dirasakan membeku (jumud).
Paling sedikit dalam hal “pengangkatan” kaum wanita sebagai
amilah. terobosan ijtihad yang dilakukan BAMUIS untuk mengangkat
dan menyertakan unsur kaum Hawa sebagai amilah dalam kepengurusan
BAMUIS, dibuktikan dengan pelibatan aktif dua (2) hingga empat (4) atau
bahkan lima (5) orang perempuan dalam kepengurusan BAMUIS mulai
dari kepengurusan BAMUIS yang pertama sampai sekarang. Pada periode
kepengurusan 1971 – 1972 misalnya, sudah ada 2 orang (7,14 %) masing-
masing Ny. R.A.B. Sjamsuridjal sebagai anggota Dewan Penasehat BAMUIS
dan Jojoh Rodiah sebagai Pembantu Umum, dari keseluruhan pengurus
BAMUIS kala itu yang berjumlah 28 orang. Maknanya, pengurus BAMUIS
periode ini terdiri atas 26 orang (92,86 %) laki-laki dan 2 orang (7,14 %)
perempuan. Demikian pula dengan kepengurusan BAMUIS periode-periode
selanjutnya misalnya periode tahun 1997 - 1999 yang di dalamnya tercatat
2 – 3 orang amilah, masing-masing Dra. Hj. Ny. Marni, dan Fatimah Ahmad,
SH., dan periode 2003 - 2003 sebanyak 3 orang (9,4 %) perempuan dan 29
orang (93,6 %) laki-laki. Periode 207 – 2008, laki-laki sebanyak 28 orang
(87,5%) dan perempuan berjumlah 4 orang (12,5 %).
Keadaan demikian berjalan normal sampai sekarang di mana
periode 2015 – 2016 dan terutama periode 2016 – 2017, ini kaum Hawa yang
menjadi Amilah di BAMUIS mengalami sedikit kenaikan jumlahnya yaitu
sebanyak 4 orang (16,7 %) putri dan 20 orang (83,3 %) putra. Keberadaan
amilah/amilat semacam ini untuk tahun-tahun 1960-an sampai 1970-
an di mana kebanyakan ulama – termasuk alim-ulama Indonesia masih
keberatan untuk tidak mengatakannya menentang hukum dibolehkannya
(mubah) wanita untk menjadi Amilah sebagaimana juga mereka melarang
(mengharamkan) para wanita untuk menjadi hakim (qádhí) termasuk hakim
dalam lingkungan Peradilan Agama.
Kepesertaan aktif amilah/amilat di zaman sekarang ini memang
boleh dikatakan sudah tidak ada masalah lagi apalagi dipermasalahkan.
Namun keberanian BAMUIS menyertakan kaum hawa dalam struktur
kepengurusan Amilin pada tahun 1960-an, sungguh merupakan terobosan
ijtihad syar’i yang terbilang berani. Betapa tidak ? Bukankan umat Islam
Indonesia terutama para ulamanya dahulu kebanyakan tidak membolehkan
(tegasnya mengharamkan wanita untuk menjadi hakim dan atau pemimpin
negara/pemerintahan. termasuk di dalamnya larangan untuk menjadi
Amilah sebagaimana disimpulkan Dr. Dahlia Syuaib dalam penelitiannya
yang antara lain menyimpulkan bahwa: keterlibatan wanita dalam
pengelolaan zakat [di Indonesia] khususnya di Sulawesi tengah terbilang
rendah berkisar antara 0 % sampai 8,57 %.183
Berbeda dengan jumhur ulama masa silam yang kebanyakan tidak
mendukung atau malahan melarang (mengharamkan) wanita sebagai
amilah, BAMUIS telah memberanikan diri untuk mengangkat atau minimal
menyertakannya sebagai amilah dalam keamilan BAMUIS meskipun
jumlahnya masih terbilang sangat kecil, hanya sekitar 10 – 20 % (2 – 5
orang) dari keseluruhan jumlah pengurus BAMUIS yang reratanya berkisar
antara 24 - 30 orang. Ini merupakan suatu hal yang terbilang berani.
Bagaimana tidak ? opini umum kala itu pada dasawarsa 1960 – 1970
atau bahkan masih dasawarsa berikutnya, faham mazhab fikih yang dianut
(sebagian) bangsa Indonesia belum/tidak membolehkan wanita menjadi
183 Dahlia Syuaib, Wanita dan Pelaksanaan Zakat (Studi Tentang Pemberdayaan Wanita di Sulawesi Tengah, Disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001 M/1422 H, hlm. 254 – 257.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS258 259
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
amilin, sebagaimana juga mereka belum/tidak membolehkan wanita
menjadi hakim di Pengadilan. termasuk di Pengadilan Agama.
Selain karena faktor budaya, faham fikih kala itu kerap masih
diwarnai oleh pandangan yang menyatakan “bahwa kepemimpinan wanita
itu diharamkan karena ada anggapan bahwa kepemimpinan yang dipegang
perempuan tidak akan pernah sukses.” Celakanya, pandangan ini diadop
langsung secara harfiah dari hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
“Lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan” = tidak akan (pernah)
bahagia (sukses) suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang
perempuan” (hadis riwayat al-Imam al-Bukhari dari Abi Bakrah ra)184 tanpa
menyimak lebih dulu dan lebih jauh sabab wurud dari hadis ini sendiri.185
Ijtihad dan jihad BAMUIS lainnya yang cukup menonjol ialah
terlihat dalam pola pendistribusian dana ZIS yang “menganut” asas sekala
prioritas daripada semata-mata mempertahankan asas pemerataan atau
tepatnya asas bagi rata kepada delapan ashnaf. Ijtihad BAMUIS dalam
hal distribusi dana yang memungkinkan skala priorias, ini dapat dilacak
dari kebijakan alokasi dana yang dicanangkan BAMUIS sejak di masa-
masa awal pembentukannya dan secara umum masih tetap dijalankan
sampai sekarang. Tentu dengan pergeseran klasifikasi kelompok-kelompok
mustahik itu sendiri.
184 Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Marám min Adillah al-Ahkám, nomor 1422.
185 Paling tidak menurut sebagian ahli hadis, hadis tersebut disampaikan rasul Allah SAW dalam kontek mengomentari kekaisaran Persi dan Romawi yang menyerahkan urusan pemerintahan – tepatnya kerajaan -- kepada seorang perempuan yang dipandang tidak tepat baik karena pengetahuannya yang sangat minim maupun disebabkan sistem kerajaannya yang dipaksakan.
G. Kekurangan/Kelemahan bAmuIS
Ibarat kata pepatah lama yang masih punya makna, “tidak ada
gading yang tidak retak,” demikian pula halnya dengan BAMUIS. Di
balik keberhasilan capaiannya, dalam beberapa untuk tidak menyatakan
dalam banyak apalagi seluruh hal, ditemukan kekurangan/kelemahan di
dalamnya. Di antara kekurangan BAMUIS dalam kurun waktu hampir
setengah abad ialah dalam kurun waktu 1990-an sampai awal-awal tahun
2000-an. Menurut penuturan Fatimah Ahmad, “antara tahun 1972 sampai
tahun 1998 kepengurusan BAMUIS itu pasif.” [Beruntung] di bawah Dirut
– Pak Winarto ada kegiatan semacam [sejenis] yang dilakukan BAPeKIS
tapi belum berbentuk Badan Hukum. [Kala itu] Saya [Fatimah Ahmad]
mengusulkan pada BAPeKIS untuk tidak membingungkan karyawan
dengan sudah adanya BAMUIS, untuk mengaktifkan kembali BAMUIS
dan mewadahi kegiatan tersebut. Alhamdulillah [usul itu] disetujui. Dan
mulai saat itu [1998] saya [Fatimah Ahmad] membantu BAMUIS dalam
operasionalnya khususnya [dalam bidang] penyebaran/penyaluran zakat
dan sebagainya. Kekurangan BAMUIS lainnya, menurut Fatimah Ahmad,
pada awal pendirian [BAMUIS] memang belum sempat terdokumentasi
administrasi pengelolaan/penyalurannya walau semua (nhya) tercatat. Dan
sulit terlacak karena sudah lama karena yang aktif pada saat itu [pada
umumnya] sudah almarhum.186
Dari penyampaian responden di atas, dapatlah dikatakan bahwa
kekurangan/kelemahan BAMUIS di masa-masa awal setelah pembentukannya
terutama terletak pada jajaran pengurus inti/terasnya yang sebagian
(besar) adalah pegawai atau bahkan pejabat aktif BNI yang tentu saja
186 Jawaban tertulis Fatimah Ahmad (melalui WhatsApp), 25 Oktober 2017.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS260 261
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
sangat terbatas waktunya untuk memikirkan BAMUIS dengan lebih serius;
sementara para staf pelaksananya meskipun bekerja dengan penuh hari
(full day), namun sebagian besar di antaranya adalah para pensiunan BNI
– yang maaf – tentu saja secara umum dan keseluruhan sudah kurang
energik dan kurang efektif.
Akibatnya, roda perjalanan organisasi BAMUIS tidak sebagaimana
yang dikehendaki mengingat segala kebijakan yang telah digariskan tidak
bisa dijalankan secara simultan dan maksimal mengingat banyak kebijakan
yang tidak bisa dilaksanakan secara cepat dan tepat. Meskipun dari sudut
pandang efisiensi pembiayaan operasional BAMUIS dapat dikatakan efisien
dan tepat untuk dikatakan lebih efisien mengingat umumnya pengurus
teras atau bahkan (sebagian) badan pelaksana hariannya tidak diberikan
honorarium apalagi yang diambilkan dari dana BAMUIS maupun dana
lainnya; namun keikhlasan demikian tidak serta merta membuat roda
organisasi BAMUIS berjalan tanpa hambatan. Sekurang-kurangnya tidak
secepat lembaga amil zakat non BAMUIS yang dikelola oleh orang-orang
bisa dikatakan sepenuhnya perofesional sebagaimana yang dilakukan
sekarang ini.
Demikian pula halnya dengan para staf pelaksana yang -- maaf
-- kebanyakannya adalah juga para pensiunan, yang sudah tentu akan
mengurangi gerak cepat jalannya BAMUIS dalam melaksanakan tugas-
tugas rutin yang diamanatkan kepadanya. Hanya sebagian kecil (beberapa
orang) saja yang tergolong orang muda, dan itupun -- lagi-lagi maaf --
kebanyakan ditempatkan pada level-level yang tidak memiliki kewenangan
signifikan dalam mengambil kebijakan apalagi keputusan yang lebih
strategis dan berdampak luas. Singkatnya, dalam perjalanan waktu yang
relatif cukup lama BAMUIS berada dalam “kekurangan dan keterbatasan”
baik terkait dengan perangkat instruktur (infrasturucture) maupun sumber
daya manusia atau insani (SDM/SDI)-nya, baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Jumlah pengurus dan terutama karyawan BAMUIS yang sampai
sekarang masih dalam kisaran belasan hingga 20-an orang saja, ini menjadi
kendala tersendiri bagi kecepatan dan/atau percepatan gerak BAMUIS dalam
berkompetisi (musábaqah fil-khairát) dengan kompetitor maupun mitra kerja
BAMUIS dalam kurun waktu yang terbilang cukup lama. Apalagi setelah
kehadiran Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat khususnya memasuki
dasawarsa 2010-an di mana lembaga-lembaga amil zakat yang dikelola
oleh generasi muda kian tahun semakin tumbuh subur perkembangannya.
Dalam beberapa hal, terutama terkait dengan jaringan penghimpunan
maupun operasional, jelas BAMUIS telah “tertinggal” dari beberapa LAZ
lain yang telah lebih dulu mengepakkan sayap dan membangun jaringan/
jejaring kerjasama (net working) dengan mengembang-biakkan cabang dan
atau mitra kerja dengan pihak-pihak lain.
Beryukur terhitung sejak beberapa waktu terakhir, terutama setelah
kepemimpinan baru, gerak BAMUIS terasa lebih bergairah dan semakin
lincah dengan pelibatan kaum muda-mudi harapan agama dan bangsa
masa depan. Peremajaan atau pembaruan dan pembauran kepengurusan
terutama di kalangan pengurus harian BAMUIS yang secara langsung
melaksanakan tugas-tugas pokok keamilan dan kelazisan, memberikan
nuansa tersendiri bagi kebangkitan era baru BAMUIS kini dan in sya Allah
di masa-masa yang akan datang. Antara lain ditandai dengan peremajaan
pengurus khususnya pada level pelaksana yang diisi oleh orang-orang
muda yang umumnya masih memiliki semangat dan idealisme tinggi
bagi pemajuan dan kejayaan (kembali) BAMUIS di masa-masa yang akan
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS262 263
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
datang. Demikian pula halnya dengan penyusunan program kerja dan
tertib administrasi maupun pelaksanaan program kerja dan lain sebagainya
di bawah koordinasi pimpinan dan kepemimpinan yang lebih solid lagi.
H. Tantangan Terkini bAmuIS dan Kemungkinan Solusinya
BAMUIS tidak hanya masih memiliki kelemahan yang sejatinya
sudah bisa diatasi, namun berbarengan dengan itu belakangan justru
menghadapi atau dihadapkan pada persoalan cukup serius tentang status
ke-LAZ-an atau ke-LAZIS-annya. BAMUIS yang sampai sekarang belum/
tidak mendapatkan rekomendasi BAZNAS dan apalagi izin dari Kementerian
Agama RI sebagai LAZIS Nasional, sedikit banyak tentu memengaruhi
kinerja para awak BAMUIS mulai dari pimpinan sampai para karyawan/
pegawainya. terutama dari sudut pandang formal yuridis - administratif
kelembagaan dan sudah tentu pula secara “psikologis” apalagi dari sudut
pandang historisnya yang sedemikian panjang dan berlika-liku.
Pasalnya ? Menurut penilaian BAZNAS dan Kementerian Agama
RI, tentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, semua
LAZ BUMN tidak terkecuali LAZ BAMUIS di samping yang lain-lain, atas
nama Undang-Undang diharuskan alih status dan alih nama dari LAZ
(Lembaga Amil Zakat) yang selama ini “merdeka” dan “mandiri,” harus
“disesuaikan” menurut istilah undang-undang atau tepatnya harus diubah/
diganti statusnya oleh BAZNAS – Kemenag RI untuk menjadi “Pembantu
BAZNAS” dengan nama baru “Unit Pengumpul Zakat (UPZ).”
Gagasan atau tepatnya tekad semacam itu (peng-UPZ-tan LAZ
BUMN), ini sesungguhnya sudah berjalan lama dan dapat dikatakan
dilakukan secara sistematis sebagaimana dapat “dirasakan” dan terutama
bisa dibaca sejak di masa-masa awal penyusunan (draft) Rancangan Undang-
Undang No. 38 tahun 1999 tentang Peneglolaan Zakat, yang kemudian
diamandemen dengan UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat;
dan lebih diperkuat lagi terutama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14
tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat. Belum lagi memerhatikan Instruksi Presiden
dan lain-lain yang “dikawal ketat” oleh Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS).
“Pengarahan” untuk tidak mengatakannya sebagai “Penggiringan”
LAZ BUMN ke arah UPZ lebih nyata lagi setelah rata-rata LAZ BUMN yang
mengajukan izin resmi (formal-prosedural) untuk melakukan penyesuaian
dengan amar undang-undang pada satu sisi dan kehendak untuk tetap
menjadi LAZ mandiri pada sisi yang lain, sampai saat ini belum/tidak
ada yang dikabulkan baik rekomendasinya oleh BAZNAS maupun lebih-
lebih Surah Pengesahannya dari Kementerian Agama RI. Dalam Peraturan
Pemerintah nomor 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, ini tepatnya pada BAB
VII diatur tentang Persyaratan organisasi, Mekanisme Perizinan, dan
Pembentukan Perwakilan LAZ sebagai berikut.
Pasal 56
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan Pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk
LAZ.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS264 265
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Pasal 57
Pembentukan LAZ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib
mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri setelah
memenuhi persyaratan:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah dan sosial, atau lembaga berbadan
hukum;
b. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
c. Memiliki pengawas Syariah;
d. Memiliki kemampuan teknis, adminsitratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
e. Bersifat nirlaba;
f. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat; dan
g. Bersedia diaudit syariah dan keuangan secara berkala.
Pasal 58
(1) Izin pembetukan LAZ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilakukan
dengan mengajukan permohonan tertulis;
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam dengan melampirkan:
a. Anggaran Dasar organisasi;
b. Surat keterangan terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri;
c. Surat keputusan pengesahan sebagai badan hukum dari kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi Manusia;
d. Surat rekomendasi dari BAZNAS;
e. Susunan dan pernyataan kesediaan sebagai pengawas syariah;
f. Surat pernyataan bersedia diaudit syariah dan keuangan secara
berkala; dan
g. Program pendayagunaan zakat bagi kesejahteraan umat.
Memerhatikan teks-teks pasal Undang-Undang tentang persyaratan
penyesuaian atau sejatinya pembentukan LAZ, secara administratif semuanya
sudah dipenuhi dan dijalani oleh BAMUIS. Namun, dua hal penting yang
sampai sekarang belum/tidak diperoleh BAMUIS ialah rekomendasi BAZNAS
dan apalagi perizinan dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk
berdasarkan masukan pertimbangan dari BAZNAS. Di sinilah LAZ BAMUIS
dan LAZ-LAZ BUMN yang lain mengalami kesulitan untuk tidak dikatakan
menghadapi kebuntuan (?) dalam menetapkan status hukumnya sebagai
LAZ yang disahkan oleh Pemerintah c.q. Kementerian Agama RI.
Sejatinya, ada hal cukup mendasar yang layak dikemukakan
di sini bahwa dana zakat yang dihimpun LAZ-LAZ BUMN – termasuk
LAZIS BAMUIS - adalah bahwa dana ZIS itu diambil dari uang pribadi
(personal) masing-masing karyawan/karyawati Muslim-Muslimah dalam
lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu sendiri tidak terkecuali
karyawan/karyawati Bank BNI yang beragama Islam; bukan diambil apalagi
diambilkan dari atau oleh Bank sebagai korporasi seperti halnya dana CSR
(Corporate Social Responsibility) yang lalu diberikan kepada lembaga dalam
hal ini BAMUIS atau lainnya. Sementara itu, Undang-Undang juga sampai
saat ini tidak atau belum mewajibkan individu Muslimin-Muslimat yang
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS266 267
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
berkemampuan untuk dibebani/dikenai wajib zakat layaknya pembebanan
wajib pajak penghasilan kepada semua pegawai BUMN maupun Aparatur
Sipil Negara (ASN) lainnya, bahkan kepada kaum Muslimin-Muslimat pada
umumnya dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Belum lagi memerhatikan para pengurus LAZIS BUMN ini sendiri
yang pada umumnya atau paling sedikit sebagian dari mereka merasa
“keberatan” atau sekurang-kurangnya tidak merasa senang manakala LAZ
BAMUIS yang sudah sekian lama mereka kelola dengan keberadaannya
selama ini yang terbilang mapan dan berpengalaman dalam hal pengelolaan
zakat yang dijalaninya selama ini, lalu dalam “seketika” harus dijadikan
semacam “pembantu” dengan status baru Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
yang “sepenuhnya” diposisikan sebagai pembantu BAZNAS sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2011 yang menyatakan:
“Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah
lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.” 187 “Lembaga
Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk
masyarakat yang memiliki tugas membantu mengumpulkan zakat.” 188 “Unit
Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi
yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.”189
Pasal 17
“Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pen-
distribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
187 PP No. 14 Th. 2014, Pasal 1 Nomor 2.
188 PP No. 14 Th. 2014, Pasal 1 nomor 3.
189 PP No. 14 Th. 2014, Pasal 1 nomor 4.
Pasal 18
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan dakwah, dan sosial;
b. Berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. Memiliki pengawas syariat;
e. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
f. Bersifat nirlaba;
g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat; dan
h. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Khusus untuk huruf a dan b dalam ayat (2) di atas, ada Amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 yang menyatakan
bahwa: Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b di atas yang menyatakan:
“huruf a dan huruf b “terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; atau lembaga berbadan
hukum, harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang, sedangkan
untuk perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau
pengurus/takmir masjid/mushalla di suatu komunitas dan wilayah yang belum
terjangkau oleh BAZ atau LAZ, cukup dengan memberitahukan kegiatan
pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang.” Lebih lanjut
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS268 269
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
masih dalam Keputusan Nomor 86/PUU-X/2012 huruf d dikatakan bahwa:
“pengawas syariat, baik internal maupun eksternal.”
Dalam pada itu selanjutnya dikatakan dalam Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2011 tepatnya pada:
BAB X KeteNtUAN PeRALIHAN
Pasal 43
(1) Badan Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang
ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Badan Amil Zakat Daerah Propinsi dan Badan Amil Zakat Daerah
kabupaten/kota yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku
tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS provinsi dan
BAZNAS kabupaten/kota sampai terbentuknya kepengurusan baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini
berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4) LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri
paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Dihubungkan dengan LAZ Yayasan BAMUIS Bank BNI khususnya
dan LAZ-LAZ BUMN yang lain-lain pada umumnya, yang sangat relevan
dengan teks Pasal 43 di atas tentunya adalah ayat (3) dan terutama ayat
(4). Sayangnya, apa dan bagaimana cara penyesuaian LAZ (BAMUIS) itu
harus dilakukan, tidak ada petunjuk apapun dalam bagian Penjelasan Pasal
demi Pasal. Yang dijumpai pada Penjelasan Pasal 43 adalah kata-kata
“cukup jelas.” Akibatnya, sampai sekarang eksistensi dan posisi BAMUIS
sebagai LAZ tentu dalam keadaan mengambang, mengingat pada satu
sisi sampai sekarang belum menyesuaikan diri sebagaimana diperintahkan
Undang-Undang dan “kehendak” BAZNAS – Kemenag yakni dengan
sendirinya menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat); namun pada saat yang
bersamaan BAMUIS tampak mengalami kesulitan atau sekurang-kurangnya
tidaklah mudah untuk berubah dan mengubah statusnya menjadi UPZ
dengan begitu saja. tambahan lagi “perasaan berat” pengurusnya tatkala
menerawang kaca spion (masa lalu) terutama atas dasar pertimbangan
lika-liku sejarah panjang yang dilalui BAMUIS di samping telah memiliki
sejumlah binaan dan kerjasama dengan pihak lain yang tergolong banyak.
Apalagi dengan jumlah mustahik yang mencapai ribuan orang.
Beberapa kekurang puasan pengurus LAZ BAMUIS terkait dengan
peng-UPZ-an BAMUIS ini dapat difahami dari jawaban responden yang
diwawancara reratanya berkesimpulan bahwa BAZNAS berfungsi ganda.
Maksudnya, pada satu saat BAZNAS memerankan fungsi dan kewenangannya
sebagai regulator, dan pada saat yang bersamaan juga memainkan fungsinya
sebagai eksekutor. Menurut mereka, “Dengan adanya Undang-Undang Zakat
tersebut menurut hemat kami di samping adanya faktor positif masih
ada beberapa yang menjadi kelemahannya. Antara lain BAZNAS masih
berfungsi ganda. BAZNAS di samping berfungsi sebagai regulator juga
berfungsi sebagai pemain (Amil Zakat) dalam kegiatan penghimpunan dan
penyaluran zakat. Fungsi ganda ini sebaiknya ditiadakan bilamana BAZNAS
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS270 271
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
dijadikan lembaga regulator zakat maka BAZNAS fungsinya hanya membuat
aturan dan mengawasi semua amil zakat yang ada di Indonesia.190
Pendapat senada disampaikan Yaman Bafirus. Yang menyatakan
“tidak sepakat bila BAMUIS BNI di-UPZ-kan sesuai Undang-Undang
dengan pertimbangan:
a. BAMUIS BNI telah melayani muzaki dilingkungan BNI telah cukup
lama kurang-lebih 20 (sic. 50) tahun;
b. Apabila [BAMUIS] di-UPZ-kan bisa jadi potensi penghimpunan ZIS akan
menurun, karena tidak ada keterikatan psikologis dengan pengelola
LAZ-nya;
c. Menjaga eksistensi BAMUIS BNI yang merupakan salah satu LAZ BUMN
tertua.191
Mirip dengan dua orang responden yang sebelumnya, Peng-UPZ-
an BAMUIS dalam pandangan Suhendry Hafni, “selain akan menghambat
perkembangan BAMUIS BNI untuk fokus menjadi LAZ Nasional karena
fokus hanya ke BNI dan Group, juga dengan skema BAZNAS vide Undang-
Undang Zakat tahun 2011 dan tata kelolanya itu hanya akan menghambat
penghimpunan zakat secara luas. Seharusnya BAZNAS hanya sebagai
regulator dan pengawas saja yang merupakan kepanjangan tangan dari
Depag [Kementerian Agama, pen.] dalam pemberdayaan, penghimpunan
dan penyaluran zakat secara nasional. LAZ dan UPZ merupakan ( ? )
dan sebagai operator dalam penghimpunan dan penyaluran sebagaimana
disistem perbankan.192
190 Wawancara dengan Sudirman, Direktur Eksekutif BAMUIS.
191 Wawancara dengan Yaman Bafiroes, Direktur Operasional BAMUIS.
192 Wawancara dengan Suhendry Hafni, Direktur Pelayanan BAMUIS.
Berdasarkan observasi dan hasil wawancara interaktif penulis
dengan responden, menunjukkan bahwa secara langsung maupun tidak
langsung, pengurus BAMUIS tampak masih merasa kurang berkenan (ikhlas)
untuk mengubah status BAMUIS dari LAZIS-NAS yang selama ini berjalan
secara mandiri dan “merdeka” di samping sudah mengrurat dan mengakar
di kalangan masyarakat luas sejak tahun-tahun 1960-an dan terutama
sejak dasawarsa 1970-an. Secara psikologis, umumnya pengurus BAMUIS
masih tetap berharap kiranya BAZNAS dan/atau Kementerian Agama
memberikan jalan keluar yang lebih maslahat daripada satu-satunya pilihan
untuk mengubah LAZ-BAMUIS menjadi UPZ. Bagi BAMUIS, kurun waktu
50-an tahun (setengah abad) dalam keadaan sehat dan tidak bermasalah,
tentu bukanlah waktu yang singkat bagi BAMUIS. tiba-tiba dalam waktu
yang terbilang “singkat” harus berubah/beralih status menjadi “pembantu”
BAZNAS yang baru dibentuk pada awal-awal atau bahkan pertengahan
dasawarsa 2000-an.
Meski 1 – 2 LAZ BUMN sudah ada yang mengubah LAZ-nya
menjadi UPZ BAZNAS, namun tampaknya masih lebih banyak LAZ
BUMN yang mengambil sikap serupa atau sama dengan BAMUIS dalam
arti belum mengubahnya menjadi UPZ BAZNAS. Dengan kalimat lain,
terdapat perbedaan pandangan dan sikap di kalangan LAZ BUMN terkait
wujud konkrit pelaksanaan Pasal 43 Undang-Undang nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat. terutama dihubungkan dengan tekad dan
semangat BAZNAS dan Kementerian Agama yang sejak semula bergeming
untuk tidak memberikan eksepsi apapun dan apalagi tafsir lain terhadap
makna kosa kata “… LAZ … wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima
tahun) terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan” sebagaimana tertera
dalam Pasal 43 ayat (4). Dengan demikian, berdasarkan makna harfiah
teks Pasal Undang-Undang ini, terhitung sejak tanggal 25 November 2016
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS272 273
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
yang lalu seharusnya semua LAZ BUMN sudah selesai, atau “qad tuwuffya”
(sudah harus diakhiri dengan sendirinya).
Sayangnya, dalam kurun waktu 5 tahun = 60 bulan = 1825 hari =
43.800 jam, itu tampaknya tidak dimanfaatkan untuk melakukan langkah-
langkah cerdas, kreatif dan aktif misalnya diupayakan shilaturrahim yang
benar-benar intens yakni dilakukan secara terencana, terkoordinasi, untuk
bermusyawarah mencari solusi yang bersifat seksama. tentu dengan alasan
masing-masing yang bisa difahami dan apalagi dimaklumi. Kalaupun
pernah dilakukan beberapa atau banyak kali komunikasi antara LAZ BUMN
dengan BAZNAS dan/atau Kemenag, selain bentuknya yang – maaf – masih
kurang intens dan tidak berbentuk dialogis dengan mengedepankan prinsip
“wa-amruhum syúrá baynahum”193 dan mengutamakan bentuk “tawáshau
bil-haqqi wa-tawáshau bis-shabri.”194 Sungguhpun demikian, hampir dapat
dipastikan semua pihak tentu tidak menghendaki keadaan demikian menjadi
berlarut-larut apa lagi tanpa ada ujung-pangkalnya. Sampai penulisan buku
ini sudah keburu diselesaikan, shilaturrahim BAMUIS dengan BAZNAS dan
maupun pejabat Kemenag RI masih terus berlanjut.
tentu saja tidak ada maksud BAMUIS untuk tidak mengindahkan
Undang-Undang Pengelolaan Zakat itu sendiri baik sebagian apalagi secara
keseluruhan; namun yang dikehendaki BAMUIS kelihatannya adalah
memohon “pengecualian” jika tidak tepat dikatakan meminta “kekhususan.”
terkait dengan pengecualian BAMUIS, sudah barang tentu memilik
beberapa alasan/argumen mengapa BAMUIS masih sangat berharap untuk
diizinkan dan direstui status ke-LAZIS-annya sebagaimana adanya selama
193 Q.S. al-Syúrá (42): 38.
194 Q.S. al-‘Ahr (103): 4.
ini, dengan mengharap kerjasama dan pembinaan yang lebih baik dan lebih
konkrit lagi dari regulator (BAZNAS maupun Kementerian Agama). Namun
alasan yang paling utama dan pertama di atas semua alasan-alasan yang
lainnya ialah BAMUIS lebih bertumpu kepada dalil kesejarahan (historical
reason) BAMUIS itu sendiri yang sudah panjang usianya di samping bisa
dikatakan telah menjadi milik umat Islam secara luas atau bahkan bangsa
dan negara secara keseluruhan.
Pemaduan kata Baitul Mal pada satu sisi dan terutama kata “Umat
Islam” pada sisi yang lain yang melekat pada BAMUIS, secara harfiah –
istilahiah jelas menunjukkan keberpihakan BAMUIS bagi kepentingan
bangsa dan negara di samping agama (Islam). Alasannya ? Kata umat –
jamaknya umam -- yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 49 kali dalam
23 surah dan 46 ayat.195 Belum termasuk kata “ummatukum” 2 kali dalam
2 surah dan 2 ayat,196 serta kata “umamun/umamán” yang diulang sebanyak
13 kali dalam 11 surah dan 12 ayat.197
Kata “ummat” berasal-usul dari kata “amma – yaummu – umman
–wa-imámatan – wa-umúmatan,” artinya pergi menuju … atau bermaksud
kepada …. Al-Ummu, maknanya asal, pangkal, sumber sesuatu (ashl al-
sya’i); di samping juga berarti induk, tempat tingal/kediaman (al-maskan).
Kota Makkah al-Mukarramah (Makah yang dimuliakan) misalnya dijuluki
195 Q.S. al-Baqarah (2): 128, 134, 141, 143 dan 203; Ali Imran (3): 104, 110, dan 113; al-Nisá’ (4): 41; al-Má’idah (5): 48 dan 66; al-An’ám (6): 108; al-A’ráf (7): 34, 38, 159, 164, dan 181; Yúnus (10): 19, 47 dan 49; Húd (11): 8 dan 118; Yúsuf (12): 45; al-Ra’du (13): 30; al-Hijr (15): 5; al-Nahl (16): 36, 48, 89, 92, 93 dan 120; al-ANbiyá’ (21): 92; al-Hajj (22): 34 dan 67; al-Mu’minún (23): 43, 44 dan 52; al-Naml (27): 83; al-Qashash (28): 23 dan 75; Gháfir (35): 24; Gháfir (40): 5; al-Syúrá (42): 8; al-Zukhruf (43): 33; al-Játsiyah dan (45): 28 ,
196 Q.S. al-Anbiyá’ (21): 92 dan al-Mu’minún (23): 53.
197 Q.S. al-An/ám (6): 38 dan 42; al-A’ráf (7): 38; al-Ra’d (13): 30; al-Nahl (16): 63; al-‘Ankabút (29); 18; Fáthir (35): 42; Fushshilat (41): 25; dan al-Ahqáf 46): 18.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS274 275
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
dengan “Umm al-Qurá,”198 maksudnya pusat perkampungan dunia. Kata “al-
ummah” jamaknya “umam” juga bisa diartikan dengan saat/waktu (al-hín),
di samping bermakna muka/wajah (al-wajh), tangkas/sigap (al-nasysyath);
serta taat dan setia (al-thá’ah) dan/atau jalan besar/raya (al-tharíq) yakni
mu’zhamuhú. orang yang padanya terkumpul segala macam kebaikan (al-
rajul al-jámi’ li-al-khair) atau yang selalu konsisten dengan ebenaran (man
huwa ‘alál-haqqi) lazim dijuluki dengan al-ummah. Lebih dari yang sudah
diuraikan, kata “umat” yang di-Indonesiakan menjadi “umat” berarti rakyat
dan bangsa (al-sya’bu wa-al-jumhúr) sebagaimana dalam istilah “hay’ah al-
umam al-muttahidah” yang berarti Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hebatnya
lagi, al-ummah/al-immah identik benar dengan kata syir’ah/syariah, al-
dín (agama), kenikmatan (al-ni’mah) dan kehidupan yang menyenangkan/
membahagiakan (ghadhárah al-‘aysy).199
Dalam literatur Indonesia, kata umat diartikan dengan (1)
makhluk manusia (2) umat manusia sekalian (bangsa) manusia, dan (3)
para penganut, pengikut, pemeluk suatu agama200 seperti umat Yahudi,
umat Nasrani, uamat Hindu, umat Budha, dan seterusnya. Khusus untuk
umat Islam, dalam Al-Qur’an ditemukan sebuatan “ummatan muslimatan”
yang sama persis maksudnya dengan penamaan “al-muslimún/al-
muslimín” yang dalam bahasa Indonesia umum populer dengan istilah
“umat Islam” atau “kaum Muslimin.” Perhatikan terjemahan dua ayat
Al-Qur’an di bawah ini:
Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua (Ibrahim dan Ismail a.s) orang yang
tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah pula) di antara anak cucu
198 Q.S. al-Syúrá (42): 7.
199 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab r Indonesia, hlm. 42 – 44.
200 Kamus Besar Bahasa Indoneia (KBBI), hlm 1524
kami umat yang tunduk patuh (ummatan muslimatan) kepada Engkau, dan
tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami,
serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah (ya Allah) yang Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang
(al-Baqarah (2): 128).
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
Muslim dari dahulu [sebelum zaman Nabi Muhammad SAW], dan (begitu
pula) dalam (Al Quran) ini; supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri
kamu sekalian dan supaya kamu semua (juga) menjadi saksi atas segenap
manusia (berikutnya). Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan
berpeganglah kamu pada tali (agama) Allah. Dia adalah Pelindung kamu,
maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong
(al-Hajj (22): 78).
Intinya, yang hendak penulis sampaikan tentang penamaan
Baitul Mal Umat Islam yang lebih populer dengan nama singkatannya
BAMUIS, ini dari sudut pandangnya yang menapun secara umum dan
keseluruhan bisa menggambarkan sosok lembaga yang seharusnya
memang baik, merakyat, mengagama, membangsa dan menegara atau
bahkan sekaligus mendunia. Keluasan dan kedalaman makna baitul mal
umat Islam sungguh memberikan suasana kejiwaan yang demikian unik,
menarik, dan apik; sekaligus menyenangkan/membahagiakan keluarga
besar BAMUIS dan umat secara keseluruhan. Persis sebagaimana asal-
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS276 277
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
usul kata umat berikut makna dan maksudnya yang sudah diuraikan
lebar-panjang sebelum ini.
Akurasi penamaan dan pemaknaan Baitul Mal Umat Islam
(BAMUIS) yang digagas dan dibentuk serta diimplementasikan oleh para
pedahulu umat dan bangsa (ulama, bankir, cendekiawan, tokoh masyarakat,
tokoh bangsa serta pemimpin negara dan bahkan tokoh dunia), ini
kemudian terus dirawat, dipelihara dan semakin dimajukan oleh generasi
penerus berikutnya sampai sekarang dengan perkembangan yang terus
menunjukkan kemajuan dan kematangan dalam mengelola amanah umah
dan agama serta bangsa dan negara. Bahwa dalam perjalanannya BAMUIS
mengalami pasang-surut dan naik turun, ini merupakan hal yang wajar
dan dialami oleh hampir atau bahkan semua institusi apa dan di manapun
yang selalau dihadapkan pada kondisi naik-turun. Demikian pula halnya
dengan perjalanan panjang BAMUIS yang fluktuatif.
Satu hal penting lain yang layak dikemukakan di sini ialah
kapasitas BAMUIS sebagai Lembaga Aml Zakat (LAZ) pada satu sisi, dan
keberadaannya di tengah-tengah institusi BANK BNI yang nyata-nyata
adalah Badan Usaha milik Negara (BUMN). Apalagi dengan penyematan
nama lengkapnya yaitu BAMUIS BANK BNI meskipun di masa-masa awal
pembentukannya hanya bernama Yayasan Baitulmal Ummat Islam” tanpa
ada kata tambahan Bank BNI 1946. Dihubungkan dengan amanat Undang-
Undang nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Pasal 43 ayat
(4) dan ayat (5), secara jelas tidak serta merta harus mengubah nama
Baitul Mal Umat Islam itu sendiri; mengingat yang diperintahkan undang-
undang supaya disesuaikan (diubah) adalah fungsi ke-LAZ-an Bamuis dari
Lembaga Amil Zakat (LAZ) menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Itu
saja, bukan pengubahan apalagi pembubaran BAMUIS sebagai Yayasan
Baitul Mal Umat Islam yang dilindungi undang-undang Yayasan tepatnya
Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan UU nomor 16
tahun 2001 tentang Yayasan.
Menyikapi kehadiran Undang-Undang Pengelolaan Zakat berikut
peraturan pelaksanaannya pada satu sisi, dan kehendak untuk melestarikan
BAMUIS sebagai LAZIS-NAS pada sisi yang lain, umumnya pengurus
BAMUIS termasuk sebagian (mantan) pengurus lama, berkeinginan untuk
“mempertahankan” eksistensi BAMUIS sebagai LAZ Nasional; tidak diubah
menjadi Unit Pengumpul Zakat. Meskipun redaksi dan argumentasi yang
disampaikan mereka berbeda antara satu dari yang lain, namun sipiritnya
tetap sama yakni menghendaki supaya BAMUIS secara kelembagaan tetap
sebagai LAZIS-NAS sebagaimana adanya sekarang, tidak diubah menjadi
UPZ (Unit Pengumpul Zakat).
Sudirman umpamanya menyatakan bahwa “Sikap saya atas UU
zakat no 23 tahun 2011 dan Peraturan Bazanas untuk LAZ BUMN dengan
keluanya UU Zakat no. 23 tahun 2011 dan Peraturan Baznas maka BAMUIS
selaku salah satu amil zakat di Indonesia tentunya menyambut baik
upaya pemerintah untuk melakukan regulasi pelaksanaan amil zakat di
Indonesia. Sejak awalnya baik di era jajahan Belanda, kolonial dan diawal
era kemerdekaan Indonesia kegiatan penghimpunan dan penyaluran
zakat tidak ada keterlibatan pemerintah. Aktivitas pengumpulan dan
penyaluran zakat dilakukan secara individual-tradisional yang ditopang
melalui masjid dan institusi keagamaan seperti Masjid, Pondok Pesantren
dan lembaga lainnya. Dalam era orde baru pemerintah masih tetap tidak
melibatkan dalam proses kegiatan penghimpunan dan penyaluran zakat.
Aktivitas penghimpunan dan penyaluran zakat mulai bangkit dalam era
tahun 1999-an dimana beberapa kelompok masyarakat mulai membentuk
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS278 279
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
lembaga amil zakat dalam bentuk yayasan yang salah satunya adalah
Yayasan Baitul Mal Ummat Islam Bank BNI dalam tahun 1967. Dalam era
ini sudah boleh dikatakan bahwa pengelolaan zakat mulai dikelola secara
profesional dan modern. Dalam era ini pengelolaan zakat sudah mulai
berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tatakelola organisasi yang baik.
Sejak era inilah potensi penghimpunan mulai terlihat, tergali, dan tumbuh
berkembang sehingga lembaga amil zakat mulai bertambah dengan dana
yang dihimpun tumbuh secara pesat. Kelahiran undang-undang zakat
yang memicu kontroversi tajam dan tarik-menarik dikalangan [masyarakat]
khususnya antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan zakat
nasional diranah publik. Debat kontroversi publik tentang pengelolaan
zakat ini memanas sehingga berakhir di Mahkamah Konstitusi. Permohonan
uji materi (judicial review) UU No. 23 tahun 2011 disampaikan oleh Koalisi
Masyarakat Zakat (KoMAZ) pada tanggal 16 Agustus 2012. Melalui proses
yang panjang pada tanggal 13 oktober 2013 MK menolak sebagian besar
dan gugatan utama dan mengabulkan sebagian kecil gugatan tuntutan.
Dengan memperhatikan isi dari UU Zakat No. 23 tahun 2011 maka
menurut hemat kami Pemerintah sudah mulai ikut berperan melibatkan
negara dalam pengelolaan zakat. Keterlibatan Pemerintah dalam pengelolaan
zakat memang sangat diperlukan terutama demi kemaslahatan dan keadilan
umat. Dalam pengelolaan zakat agar para amil zakat tidak berjalan sendiri-
sendiri karena adanya aturan dari pemerintah. tentunya dengan adanya
aturan-aturan tersebut, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh para amil
zakat diharapkan bisa lebih baik dan dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat. Adapun faktor positif lain dari adanya undang-undang
tersebut adalah data diarahkan untuk mengukuhkan peran negara dalam
memberikan perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat
(muzaki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan
dana zakat, memfasilitasi zakat nasional untuk perubahan sosial dan
memberi intensif [bagi] perkembangan sektor amal khususnya dunia zakat
nasional. Pembayaran zakat masih bersifat sukarela tidak seperti pajak
sehingga tidak ada sangsi dari negara bagi wajib zakat (muzaki). Dengan
adanya undang-undang zakat tersebut menurut hemat kami di samping
adanya faktor positif masih ada beberapa kondisi yang menurut hemat kami
menjadi kelemahan Undang-Undang ini. Adapun beberapa kelemahannya
antara lain bahwa BAZNAS masih terlihat berfungsi ganda. BAZNAS di
samping berfungsi sebagai regulator juga berfungsi sebagai pemain (Amil
Zakat) dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran zakat. Fungsi ganda
ini sebaiknya ditiadakan bilamana BAZNAS dijadikan lembaga regulator
zakat maka BAZNAS fungsinya hanya membuat aturan dan mengawasi
semua amil zakat yang ada di Indonesia.201
Senada dengan Sudirman, Saefudien Hasan juga menyampaikan
pendapatnya bahwa upaya meng-UPZ-kan LAZ telah menjadi issue nasional
karena banyak lembaga LAZ yang sudah mapan akan terkena dampaknya.
Kalau persyaratan legal dan substansinya LAZ telah memenuhi syarat
dan berperan sebagai lembaga amil [zakat] yang kredible dan kompeten
sebaiknya tetap sebagai LAZ. Untuk LAZ BNI, strateginya agar tetap LAZ
dihilangkan embel-embel BNI. Bagi LAZ yang tidak transparan dan ilegal,
sebaiknya menjadi UPZ supaya legal dan memenuhi syarat good corporate
governance.202
Pokok pemikiran Saefudien yang demikian jelas dan terbuka,
tampak bisa diartikan sebagai tawaran solusi bagi BAMUIS untuk memenuhi
201 Sudirman, jawaban tertulis atas wawancara pribadi, 30 Oktober 2017.
202 Saefudien Hasan, jawaban tertulis atas pertanyaan wawancara peribadi, 26 Oktober 2017.
mODERnISASI PEnGELOLAAn ZAKAT mODEL bAmuIS280 281
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
kehendaknya sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional pada satu sisi, dan pada
saat yang bersamaan sekaligus sebagai bukti dari iktikad baik, taat asas
dan kepatuhan BAMUIS selama ini terhadap segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Intinya, BAMUIS bisa “mempertahankan dirinya”
sebagai LAZ Nasional sebagaimana dimungkinkan menurut Undang-
Undang Pengelolaan Zakat, dengan “catatan” tidak lagi memberikan
embel-embel Bank BNI 1946. terhadap kemungkinan ini, baik Saefudien
maupun Sudirman bahkan juga beberapa lainnya menyatakan setuju untuk
mengembalikan Yayasan BAMUIS ke khittah awal atau semula yang hanya
bernama “Jajasan/Yayasan Baitul Mal Ummat Islam.”
Sefudien Hasan, tanpa ragu menyatakan: “Setuju BAMUIS BNI
kembali ke khitoh sebagai BAMUIS. Alasannya sesuai [dengan] alasan
pendirian awalnya dan alasan-alasan lain yaitu:
a. Yayasan hanyalah alat untuk menjalankan syariah. Pada waktu diubah
dengan tambahan BNI karena kebutuhan saat itu [ntuk] menjadi Amil
Zakat Bank BNI yang kemudian diresmikan sebagai salah satu LAZ
sehingga cocok pada zamannya;
b. Dengan embel-embel BNI untuk saat ini ada resiko yayasan hanya
menjadi UPZ sehingga kurang optimal [dan] tak bisa mandiri untuk
bisa berperan sebagai lembaga amil zakat. Dengan tujuan untuk asas
manfaat yang lebh luas, sangat mungkin direform kembali seperti
khitohnya menjadi Yayasan tanpa embel-embel BNI dan tetap berperan
menjadi LAZ.203
203 Jawaban tertulis Saefudien Hasan, atas pertanyaan wawancara pribadi, 26 Oktober 2017.
Persetujuan serupa disampaikan Sudirman, yang juga menyatakan
bahwa “Bilamana BAMUIS BNI kembali menjadi ke khitohnya yaitu
(Baitulmal Ummat Islam) BAMUIS menurut hemat kami setuju saja karena
Yayasan/LAZ ini dapat kembali ke visi semulanya untuk menjadi Lembaga
Amil Zakat Nasional yang tidak hanya untuk pegawai bank BNI tetapi untuk
seluruh rakyat Indonesia.204 Persetujuan Saefudin Hasan dan Sudirman
ternyata juga diapresiasi oleh minimal dua (2) orang responden lain dalam
hal ini Yaman Bafiroes dan Handry yang masing-masing menyatakan:
“Menurut saya (Suhendry Hafni) dan [dengan] memperhatikan Undang-
Undang tentang Zakat tahun 2011 tepat saatnya untuk mengembalikan
BAMUIS BNI menjadi ke khithah semula yaitu menjadi Amil Zakat Nasional.”
“Setuju sekali agar lebih luas skala operasinya dalam penghimpunan dan
penyaluran zakat. Yaman Bafiroes, menegaskan persetujuannya dengan
dalam ungkapan: “Setuju kembali ke khiththah, sesuai dengan tuntutan
perundang-undangan dan meneruskan eksistensi BAMUIS BNI saat ini.”
204 Jawaban tertulis Sudirman, atas pertanyaan wawancara pribadi, 30 Oktober 2017.
06 Penutup
PEnuTuP284
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA285
A. Kesimpulan
Dari pemaparan cukup panjang- lebar tentang sejarah YAYASAN
BAMUIS khususnya dan lembaga keamilan di Indonesia pada umumnya,
dapatlah disimpulkan bahwa BAMUIS yang kemudian mengubah dan
menambah namanya menjadi BAMUIS BANK BNI 1946 adalah LeMBAGA
AMIL ZAKAt, INFAK DAN SeDeKAH NASIoNAL MoDeRN utama dan
pertama di Indonesia. Alasannya ?
1. Yayasan BAMUIS didirikan tanggal 5 okober 1967 M = 1 Rajab 1387
H; yakni sekitar 32 tahun sebelum pengesahan UU RI Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang kemudian diamandemen dengan
Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat;
sementara kebanyakan atau bahkan semua Badan/Lembaga Amil Zakat
yang lain-lain terutama dalam lingkungan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maupun Pemerintah Daerah, justru baru didirikan setelah
kehadiran Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat di atas.
2. Sejak di masa-masa awal didirikannya, lebih-lebih keberadaannya
kini dan kemungkinannya ke depan, BAMUIS BANK BNI dicanangkan
sebagai Lembaga Amin Zakat Nasional menginat kiprah dan gerakannya
yang mengindonesia; jika perlu bahkan dimungkinkan untuk dijadikan
modal dan percontohan model ideal sebagai Lembaga Amil Zakat Infak
dan Sedekah yang berskala internasional;
3. Dari sudut pandang usia, BAMUIS adalah LAZ/LAZIS-NAS modern
pertama di Indonesia berdasarkan atas kenyataan bahwa secara historis –
sosiologis maupun yuridis – administratif, BAMUIS telah membuktikan
dirinya sebagai Badan/Lembaga Amil Zakat yang memenuhi semua
persyaratan formal sebagaimana diamanatkan undang-undang yakni: (a)
berbadan hukum (b) memiliki data muzaki dan mustahik (c) memiliki
program kerja (d) memiliki pembukuan (e) pernyataan kesediaan
dilakukan audit, dan (f) telah memiliki Dewan Pembina/Pengawas
Syariah. Satu-satunya yang tidak lagi dimiliki LAZ BAMUIS dalam kurun
waktu terakhir (2016 – sekarang) ialah rekomendasi dari BAZNAS dan
terutama izin dari Kementerian Agama RI;
4. BAMUIS adalah inisiator, pelopor, motivator, inovator, dan inspirator
di samping sebagai penggerak dan pendobrak utama atas kelambanan
pembentukan Badan/Lembaga Amil Zakat Nasional yang modern dan
profesional di Indonesia. terutama dari sudut pandang administrasi dan
manajemen. Sebagai penggagas pengelolaan zakat secara profesional
yang bertumpu pada administrasi dan manajemen modern, BAMUIS
telah memberikan inspirasi dan motivasi bagi pengelolaan zakat secara
modern oleh beberapa Lembaga Amil Zakat yang lahir kemudian.
5. Di balik kekurangan dan kelemahannya, LAZ/LAZIS-NAS BAMUIS layak
dinobatkan sebagai modal dasar dan model ideal bagi pembentukan
dan pengembangan Badan/Lembaga Amil Zakat Nasional (BAZNAS/
LAZNAS) atau lengkapnya Badan/Lembaga Amil Zakat, Infak dan
Sedekah Nasional (BAZNAS dan terutama LAZIS-NAS) modern di
Indonesia; khususnya dalam lingkungan BUMN dan bahkan bagi
BAZNAS/LAZIS-NAS yang ada di Indonesia. Baik secara langsung
maupun tidak langsung, serta secara formal maupun tidak formal, telah
banyak Lembaga Amil Zakat yang “berguru” atau minimal melakukan
studi perbandingan kepada BAMUIS.
PEnuTuP286
bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA287
6. Di balik succses story BAMUIS dalam pengelolaan dana ZIS, LAZ
BAMUIS masih tetap mengalami beberapa masalah yang memerlukan
solusi cepat dan tepat. Yang mendesak adalah terkait dengan status
ke-LAZIS-annya yang belum/tanpa ada pengesahan dari Kementerian
Agama setelah pemberlakuan efektif Undang-Undang Nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat.
b. Saran/Rekomendasi
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, dan terutama
berdasarkan kondisi obyektif BAMUIS yang terkesan dilematis dalam
mengambil keputusan berkenaan dengan status ke-LAZIS-annya, maka
berdasarkan beberapa pertimbangan yang ada, terutama memerhatikan
sejarah panjang dan segudang pengalaman BAMUIS, peneliti/penulis
menyarankan atau merekomendasikan kepada BAMUIS demi eksistensi dan
kiprah BAMUIS ke depan, sebaiknya BAMUIS kembali ke khithah semula
yakni berbentuk ‘YAYASAN BAItUL MAL UMAt ISLAM (BAMUIS) tanpa
ada tambahan kata Bank BNI 1946.
Demikianlah penulisan buku mini tentang ke-BAMUIS-an dan
keamilan ini disampaikan, semoga menambah khazanah ilmiah tentang
dunia perzakatan pada umumnya dan lembaga keamilan pada khususnya.
Lagi-lagi penulis berharap dan mendoa buku kecil ini menjadi bagian
dari amal yang tidak putus-putusnya sebagai ilmu yang bermanfaat dan
dimanfaatkan.
Akhirnya, sekali lagi penulis menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak, mohon koreksi dan pelurusan atas kemungkinan kekeliruan,
kekhilafan dan apalagi kesalahan yang ada di dalamnya. Selamat membaca
dan menikmati bacaannya. Lalu meraih manfaat dari padanya. Ámín, ámín,
ámín, yá Mujíb al-sá’ilín wal-hamdu liláhi rabbil-‘álamín !!!
288 289bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
KEPuSTAKAAn
Al-Qur’án al-Karím;
Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Iqtishádiyyát al-Zakáh wa-I’tabárat al-
Siyásiyyah al-Máliyyah wa-al-Naqdiyyah, Mishr: al-Qahirah, 1412
H/1991.
Abdurrahman bin Abdul Karim, Kitab Sejarah Nabi Muhammad SAW Dari
Sebelum Masa Kenabian Hingga Sesudahnya, Jogjakarta: Diva Press,
2013.
Abd al-Rahman Sayyid Sulaiman, al-Bahts al-‘Ilmiyy Khuthuwát wa-Mahárát,
al-Qáhirah – Mishr: ‘Alám al-Kutub, 1429 H/209 M.
Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah Sebuah Kajian Historis dan
Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia;
Yogyakarta, [t.p.]., [t.t.].
Asep Saepudin Jahar, To words Reeforming Islamic Philonthrapy Case Study
on Waqf and Zakát in Contemporary Indonesia, Disertasi Doktor, Der
Universitat Leipzig, 2005.
Asep Syarifudin Hidayat, Hukum Pengelolaan Zakat di Indonesia Tinjauan
UndangUndang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
(Disertasi), Jakarta: Uniersitas Jaya Baya, 2016.
Al-Imam al-Bukhari (Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il), Matn al-Bukhárí
bi-Hasyiyah al-Sindí, Bandung – Indonesia: Syarikah al-Ma’arif, [t.t.].
A.S. Laksana, e. Soekasah Somawidjaja: Bankir, Irjenbang & Diplomat yang
Pendiam, BNI, 2017.
Badan Amil Zakat Nasional, Kompilasi Peraturan Peundang-Undangan
Pengelolaaan Zakat, Cet. Pertama, 2016.
Badudu – Zain (J.S. Badudu – Sutan Mohammmad Zain), Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet. Keempat, 2001.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Cet. Ke-13, 2012.
Bamuis BNI, 50 Tahun BAMUIS BNI Pelopor Zakat Para Profesional Indonesia,
2017.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulúghul Marám mi Adillatil Ahkám,
Surabaya – Indonesia, Ahmad bin Sa’ad bi Nabhan, [t.th.].
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi Keempat, Cet. Kelimabelas, Jakarta: Pt Gramedia, 2015.
Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei – Kementerian Kebudayaan, Belia dan
Sukan, Kamus Bahaya Melayu Nusantara, Lapangan terbang Lama:
290 291bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
Brunei Darussalam: Cet. Pertama, 2003.
Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Kamus Dewan, Kuala Lumpur –
Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, edisi Keempat, 2015.
edi Sudarjat, Sjafruddin Prawiranegara: Biografi Pemikiran Islam Indonesia,
Depok: Komunitas Bambu, 2017.
eri Sudewo, Manajemen Zakat, Jakarta: Spora Internusa Prima, 2004 M/1425
H.
Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
HAMKA, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian Hingga Islam di Nuantara,
Jakarta: Gema Insani, 2016. Cet. Pertama, 2016.
Ibn Rusyd (al-Imam Abi al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad
bin Ahmad al-Qurthubi), Bidáyah al-Mujtahid wa-Niháyah al-Muqtashid,
Mishr: Musthafa al-Babi al-Halabi, Cet. Ketiga, 1379 H/1960 M.
Al-Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani (al-Hafizh), Bulúgh al-Marám min Adillah
al-Ahkám, Surabaya: Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa-Auládih, [t.t.]
Indonesia Magnificence of Zakat dan Pusat Bisnis ekonomi Syariah –
Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, Menggagas Arsitektur Zakat
Indonesia, 2011.
--------------, Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan
Ummat, Indonesia dan Development Report 2009.
Iqbal Setyarso, Manajemen akat Berbasis Korporat Kiprah Lembaga Pengelola
Zakat Pulau Sumatera, Khairul Bayan Press, Cet. Kesatu, 1429 H/2008
M.
Jajasan Baitulmal Ummat Islam Djakarta, apakah itu baitulmal, [t.p.]. [t.k.],
[t.t.].
A. Djamil Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, Jakarta: Nuansa
Madani, 2001.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesiai Sejak
1975, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2001.
Masdar Farid Mas’udi, Pajak Itu Zakat, Bandung: Mizan, Cet, Kesatu, 2010
M/1413 H.
M. Natsir, Capita Selecta, Djakarta: Bulan Bintang, Cet. ketiga, 1973.
Muhamad Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafásír, Beirut – Lubnan: Dar al-Fikr,
[t.t.].
Al-Muritani (Muhammad bin Ahmadal-Dah al-Syanqithi), Fath al-Rahím
‘alá Fiqh al-Imám Malik bi-al-Adillah, Beirut – Lubnan: Dar al-Fikr, Cet.
Ketiga, 1399 H/1979 M.
Muhammad Amin Suma, Lima Pilar Islam, tangerang Selatan, Kholam
Publishing, 2008.
292 293bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
--------------, Mengenal Zakat Lebih Dekat, Jakarta: YBM BRI, 2016.
--------------, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2004.
--------------, Tafsir Ahkam Ayat-Ayat Ibadah, Jakarta: Lentera Hati, Cet.
Pertama, 2016.
Muhammad bin Ahmad (al-Dah al-Syanqithi al-Muritani), Fath al-Rahím
‘alá Fiqh al-Imam Málik bi-al-Adillah, Beirut – Lubnan: Dara al-Fikr,
1399 H/1979 M.
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-M’jam al-Mufahras li-Alfázh al-Qur’án,
Beirut – Libnan: Dar al-Fikr, 1412 H/1992 M.
Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsír al-Wádhih, Beirut – Lubnan: Dar al-
Jail, Cet, Kesepuluh, 1413 H/1993 M.
Mushthafa al-Khinn, Mushthafa al-Bugha, dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-
Manhají ‘alá al-Madzhab al-Imám al-Syáfi’í, Damsyik – Siriya: Dar al-
Qalam, 1432 H/ 2011 M.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1942.
Al-Sayy Ali Fikri, Khuláshah al-Kalám fí-Arkán al-Islám, Beirut – Lubnan:
Dar al-Fikr, [t.t.].
teten Setiawan, dkk., Pedoman Akuntansi Amil Zakat (PAAZ) Panduan
Implementasi Penyusunan Laporan Keuangan Berbasis PSAK 109, Jakarta:
FoZ, 2012.
‘Utsman Husein Abdullah, al-Zakáh al-Dhamán al-Ijtimá’í, al-Islámí, 1409
H/1989 M.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islám wa-Adillatuh, Beirut – Lubnan: Dar al-
Fikr, [t.t.].
Yayasan tambahan Berita – Negara R.I. tanggal 11/11 – 2005 No. 90.
Yayasan BAMUIS, Laporan Tahunan 2016.
--------------, Silaturrahmi Badan Pelaksana BAMUIS BNI dengan Para
Pengasuh YABNI, Makalah, 9 Mei 2017.
--------------, Pedoman Rumah Asuh Yayasan Bening Nurani (YABNI),
Makalah, 9 Mei 2017.
--------------, Pengelolaan Rumah Asuh YABNI Secara Efektif dan Berdaya
Guna, Makalah, 9 Mei 2017.
Yusri al-Sayyid Muhammad, Mausú’ah al-A’mál al-Kámilah li-al-Imam Ibn
Qayyim al-Jauziyyah - Jámi’ al-Fiqh, [t.k.], Dar al-Wafa’: 1421 H/2000
M.
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakáh Dirásah Muqáranah li-Ahkámihá wa-
Falsafatihá fi-Dhau’ al-Qur’án wa-al-Sunnah, Beirut – Lubnán: Muassasah
al-Risálah, 1418 H/1997 M.
294 295bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
bEbERAPA CATATAnPERTImbAnGAn ATAS KEbERLAnGSunGAn bAmuIS
Ada sejumlah pertimbangan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan
“tersendiri” oleh BAZNAS untuk tetap menjadi LAZIS-NAS dan tidak
dijadikan UPZ. Kelima alasan dimaksud ialah:
Pertama, inilah yang paling argumentatif, pertimbangan (alasan)
kesejarahan yang bagi keluarga besar BAMUIS dalam konteksnya yang
luas maupun spesifik, YAYASAN BAMUIS sudah berdiri sejak tahun 1967
M/1387 H, sampai sekarang tidak pernah mengalami keterputusan dalam
arti terus menerus melakukan tugas utama dan pertama sebagai pengelola
dana zakat. Infak, dan sedekah;
Kedua, pertimbangan sumber daya manusia/insani (SDM/SDI)
BAMUIS yang secara umum dan keseluruhan telah memiliki pengalaman
panjang dengan segala suka-dukanya;
Ketiga, kepercayaan (trust) umumnya muzaki, munfik dan mutasadik
khususnya dalam lingkungan Bank BNI di samping sebagian umat Islam
lainnya yang telah demikian kuat kepada LAZIS-NAS BAMUIS, belum tentu
memiliki loyalitas yang sama untuk menyalurkan ZIS-nya melalui BAMUIS
begitu BAMUIS beralih/berubah status menjadi Unit Pengumpul Zakat;
Keempat, sedikit-banyak ada keraguan dari kalangan pengurus
LAZIS-NAS BUMN akan terjadi penurunan hasil penghimpunan yang
dipastikan efeknya akan menurunkan pula distribusi dan/atau pemanfaatan
dana ZIS kepada para mustahik dalam hal ini umat secara keseluruhan;
Kelima, secara umum dan keseluruhan Peraturan Perundang-
Undangan yang ada lebih menekankan kepada
Keenam, LAZIS-NAS dalam lingkungan BUMN pada umumnya
maupun BAMUIS pada khususnya mengaryakan (sebagian) Amilin non BNI
(non BUMN) yang jumlahnya cukup banyak, apalagi jika dihitung dengan
jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Kondisi demikian
tentu saja bertolak belakang dengan semangat zakat itu sendiri yang
antara lain bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi orang banyak
dan bahkan umat secara keseluruhan.
Ketujuh, bisa jadi terjadi keterbengkalaian banyak lembaga-lembaga
lain yang selama ini telah menjadi mitra kerja dengan LAZIS-NAS BUMN
termasuk kerjasama Yayasan BAMUIS dengan sejumlah lembaga lain yang
telah dikemukakan sebelum ini. Bahkan ada juga lembaga yang langsung
dibina oleh LAZ-NAS itu sendiri, terutama lembaga-lembaga pendidikan
yang apabla digabung secara keseluruhan, jumlahnya tergolong banyak dan
signifikan.
Kedelapan, kegamangan BAMUIS (LAZ-NAS BUMN) sejatinya
dirasakan juga oleh mitra kerja maupun para muzaki, amilin dan mustahik
binaannya yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah menjalin
kerjasama yang baik selama ini.
Kesembilan, analog dengan eksistensi beberapa institusi di bidang
lain terutama pendidikan dan ekonomi di mana keberadaan lembaga swasta
tetap dimungkinkan keberadaannya bersama-sama dengan institusi negara/
pemerintah. Misalnya, ada pendidikan negeri di samping pendidikan swasta,
sebagaimana juga ada perusahaan milik swasta di samping perusahaan
296 297bAmuIS bnI LAz-NAS MoDErN PErTAMA Di iNDoNESiA
milik negara/pemerintah. Begitulah seterusnya. Dalam bidang pendidikan
termasuk pendidikan tingi misalnya, ada perguruan tinggi swasta (PtS) di
samping perguruan tingi negeri (PtN). Demikian pula dengan dunia usaha
yang mengenal pula keberadaan perusahaan swasta di samping perusahaan
negara.
Kesepuluh, pengubahan apalagi pengubahan “paksa” semua LAZIS-
NAS BUMN maupun BAZIS Propinsi tertentu ke dalam Unit Pengumpul
Zakat (UPZ), terutama LAZ-NAS/BAZIS yang sudah lama terbentuk, bukanlah
satu-satunya penyelesaian (tunggal) yang benar dan adil; mengingat
masih dimungkinkan ada solusi lain yang bisa dirasakan lebih persuasif,
edukatif dan efektif daripada “memaksakan” kehendak untuk menjadikan
atau melebur semua LAZ/LAZIS ke dalam satu wadah UPZ - pembantunya
BAZNAS, meskipun kebijakan ini juga harus diakui ada nilai kebaikannya
dalam beberapa hal. Namun, seiring dan seirama dengan kondisi umat dan
masyarakat Indonesia yang kian majemuk, “pemonopolian” pengelolaan
zakat oleh BAZNAS dan/atau LAZ-LAZ tertentu di luar LAZ/LAZIS
BUMN,
Kesebelas, suka atau tidak suka, dan diakui atau tidak diakui,
umumnya LAZ/LAZIS dalam lingkungan BUMN dibentuk atas prakarsa
individu pejabat dan/atau karyawan-karyawati Muslim/Muslimah yang
bersifat individu, tidak mengatas-namakan lembaga BUMN-nya, dan tidak
pula melibatkan karyawan-karyawati yang non Muslim/Muslimah. Keadaan
demikian telah berjalan belasan hingga puluhan tahun nyaris tanpa ada
masalah dan apalagi dipermasalahkan.
Itulah beberapa alasan keberatan yang penulis rangkum dari
pembicaraan (non formal) dengan beberapa atau malahan sejumlah pegiat
LAZIS-NAS BUMN umumnya dan LAZIS-NAS BAMUIS pada khsusnya.
tentu dengan segala obyektivitas dan subyektivitasnya. Yang jelas,
umumnya warga LAZIS-NAS termasuk BAMUIS jauh lebih merasa nyaman
dan berbesar hati manakala LAZIS-NAS BUMN diberikan kekhususan
sebagaimana adanya sekarang ini; daripada terpaksa apalagi dipaksakan
harus menjadi UPZ – Pembantu BAZNAS.
Dari sebelas argumen yang penulis rangkum di atas, alasan yang
paling umum dikemukakan oleh para pegiat LAZIS-NAS BUMN khususnya
LAZIS-NAS BAMUIS ialah terutama alasan/argumen sejarah (historis) yang
sudah sedemikian lama yang oleh pihak BAZNAS/Kementerian Agama
nyaris tidak direnungkan sama sekali. Betapa tidak ! YAYASAN BAMUIS
yang lahir dan hadir di tengah-tengah kesulitan umat kala itu, “diambil”
begitu saja oleh BAZNAS yang boleh dikatakan sama sekali tidak memiliki
“saham” apapun bagi pembentukan LAZIS-NAS umumnya dan LAZIS-NAS
BAMUIS pada khususnya.
Alasan lain adalah kemampuan dan pengalaman LAZIS-NAS
BUMN yang setelah berjuang sekian lama dan berhasil menghimpun
dana zakat tanpa ada campur tangan BAZNAS yang memang belum lahir
(belum ada) di saat-saat BUMN membentuk BAZ/LAZ, tiba-tiba BAZNAS
merekomendasikan Kementerian Agama untuk meng-UPZ-kan semua
LAZIS-NAS BUMN. Sunguh mudah difahami manakala ada suara yang
secara sadar atau kelakar mengatakan: “dihubungkan dengan penghimpunan
dana zakat, “BAZNAS itu ibarat orang berburu di kebun binatang” yang
sudah ada “pemiliknya” tidak mau berburu di hutan belantara yang penuh
dengan tantangan.
LAmPIRAn
DAFTAR PERTAnYAAn/WAWAnCARATEnTAnG KE-bAmuIS-An
Selasa, 24 oktober 2017 M/14 Safar 1439 H
1. Kendala apa saja yang dialami BAMUIS dalam melaksanakan tugas
pokoknya sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) bahkan kerap disebut
sebagai Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah Nasional ?
2. Dengan 1 kantor sentral BAMUIS dan jumlah karyawan yang terbatas
sebagaimana adanya sekarang ini, bisakah BAMUIS melakukan tugas
pengelolaan dana ZIS untuk melayani mustahik yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia atau bahkan sampai ke luar negeri ? Apa
kiat-kiat yang dlakukan ?
3. Kendala apa saja yang dirasakan paling sulit diatasi untuk melakukan
pengelolaan dana ZIS yang dipercayakan umat kepada BAMUIS ? Bisa
Bapak/Ibu sebutkan berikut cara mengatasinya ?
4. Jajasan BAMUIS (Baitulmal Ummat Islam), yang didirikan pada tanggal
5 oktober 1967, di masa-masa awal berdirinya tidak ada embel-
embel kata BNI maupun Bank BNI 1946 sebagaimana yang lumrah
digunakan sekarang. Apa yang mendorong penambahan nama Bank
BNI terhadap BAMUIS sampai menjadi BAMUIS BANK BNI ? Siapa
penggas perubahan nama ini ? Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang
penambahan nama dari Yayasan BAMUIS menjadi BAMUIS Bank BNI ?
Adakah pengaruhnya secara internal - karyawan/karyawati BNI ?
5. Menurut Bapak/Ibu, mungkinkah Yayasan BAMUIS dikembalikan ke
khiththah semula yaitu tanpa embel-embel kata Bank BNI meskipun
hampir semua (bagian terbesar) pendiri dan/atau pengelolanya adalah
pejabat/karyawan BNI ?
6. Apa dan bagaimana pendapat serta sikap Bapak/Ibu terkait dengan
pendirian BAZNAS dan Kemenag RI yang atas nama Undang-Undang
tetap bergeming untuk meng-UPZ-kan LAZ Yayasan BAMUIS ?
7. Setujukah Bapak/Ibu apabila Yayasan BAMUIS BNI 1946 dikembalikan
ke khiththah semula (awal) yakni hanya bernama “YAYASAN BAItUL
UMMAt ISLAM” tanpa ada kata Bank BNI di belakangnya ? terutama
untuk jangka menengah - panjang di samping untuk jangka pendek.
Bisa jelaskan alasannya?
JAWAbAn RESPOnDEn
Saefuddien Hasan (26 oktober 2017):
Yayasan BAMUIS Bank BNI sangat mungkin untuk kembali sesuai
khiththahnya tanpa embel-embel BNI dengan alasan:
a. Yayasan hanyalah alat untuk menjalankan syariah.
b. Dengan embel-embel BNI untuk saat ini ada resiko yayasan hanya
menjadi UPZ sehingga kurang optimal tak bisa mandiri untuk berperan
menjadi amil zakat;
Setuju BAMUIS BNI kembali ke khitoh sebagai BAMUIS. Alasannya,
sesuai alasan pendirian awalnya dan alasan di samping pengubahan nama
itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan saat itu. Berbeda dengan
keadaan waktu itu, BAMUIS sebagai LAZ kini sudah mapan adanya sehingga
tidak perlu lagi mempertahankan embel-embel kata BNI.
Sudirman (30 oktober 2017):
Bilamana nama BAMUIS BNI kembali ke khitohnya yaitu (Baitulmal
Ummat Islam) Bamuis menurut hemat kami setuju saja karena Yayasan/
LAZ ini dapat kembali kembali ke visi semulanya untuk menjadi lembaga
amil zakat nasional yang tidak hanya untuk pegawai bank BNI tetapi untuk
seluruh rakyat Indonesia.
Pengembalian BAMUIS BNI [ke] khitohnya menurut saya sangat
memungkinkan karena saat ini program kerjanya baik untuk jangka panjang
maupun jangka pendek sudah disiapkan untuk itu.
bIOGRAFI SInGKAT PEnuLIS
Muhammad Amin Suma (MAS), kelahiran Cilegon – Banten
63 tahun yang lalu, hingga kini aktif sebagai salah seorang Guru Besar
(Profesor) senior pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. terutama pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) di samping
Guru Besar Pascasarjana UIN Jakarta dan beberapa Program Pascasarjana
lainnya (UII Yogyakarta, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, UIN
Imam Bonjol Padang, UIN Radin Intan Lampung, dan lain-lain).
MAS, putra pasangan Sulaiman Syam’un dan Maimunah-
Munawarah binti Ali Hasan yang meniti karir sebagai Pegawai Negara
Sipil (PNS) dalam bidang pendidikan tepatnya sebagai pengajar mulai dari
guru kecil hingga guru besar, ini sempat menjabat beberapa jabatan dalam
lingkungan perguruan tinggi. Khususnya Dekan Fakultas Syariah IAIN
Jakarta (1998 – 2002) dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2006 – 2014). Guru Besar yang pernah melakukan
Visiting Professor pada Universiti Sains Islam Malaysia (1996) dahulu Kolej
University Islam Malaysia, ini sejak masih muda (pelajar dan mahasiswa)
aktif dalam dunia dakwah dan berbagai organisasi profesional maupun
sosial keumatan. termasuk dalam dunia perzakatan.
Sampai sekarang, MAS yang pernah bertugas sebagai Hakim tinggi
Ad. Hoc. HAM pada Pengadilan tinggi Propinsi DKI Jakarta (2002 – 2006),
anggota tim ahli Departemen Agama RI (1990-2000-an awal), tim ahli
Departemen/Kementerian Kehakiman RI (1998 – 2013-an) dan lain-lain,
ini masih aktif sebagai Dewan dan/atau Ketua Pembina/Pengawas Syariah
(DPS) pada Badan/Lembaga Amil Zakat. Salah satunya Dewan Pembina
Syariah BAMUIS Bank BNI yang dipercayakan kepadanya sejak 20-an
tahun yang lalu. Karenanya, tidaklah mengherankan manakala MAS tidak
saja banyak, luas dan dalam terkait pengenalannya tentang BAMUIS; akan
tetapi juga sangat mencintainya.
Kecintaan Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional MUI ini kepada BAMUIS, antara lain
dibuktikan dengan kesetiaannya menemani BAMUIS dalam kurun waktu
yang terbilang panjang (1998 – sekarang). Kecintaan lainnya terhadap
BAMUIS dibuktikan dengan kesedian MAS dalam menuliskan buku berjudul
“BAMUIS BNI, LAZ-NAS MoDeRN PeRtAMA DI INDoNeSIA” yang kini
berada dalam genggaman tangan/pangkuan para pembaca yang terpelajar.
Selamat membaca dan menikmati bacaannya. Semoga bermanfaat!!!