icaseps working paper no. 102 - home - pusat sosial...
TRANSCRIPT
ICASEPS WORKING PAPER No. 102
PROSPEK SISTEM RESI GUDANG (SRG)SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAANSEKTOR PERTANIAN
Ashari
Januari 2010
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianKementerian Pertanian
1
PROSPEK SISTEM RESI GUDANG (SRG) SEBAGAI ALTERNATIFPEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN
Ashari
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJl. A. Yani 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Insiden penurunan harga komoditas pertanian saat panen raya merupakan fenomena laten yangberpotensi merugikan petani. Dengan kondisi sosial ekonomi yang masih relatif rendah, petanitidak mampu melakukan tunda jual karena mereka memerlukan uang tunai untuk modal tanamatau kebutuhan rumah tangganya. Pemerintah telah berusaha menekan dampak negatif dariturunnya harga ini dengan sejumlah kebijakan tetapi masih dalam skala yang sangat terbatas.Salah satu alternatif solusi untuk membantu petani adalah dengan memanfaatkan skim SistemResi Gudang (SRG). Namun sebagai skim yang relatif baru, keberadaan SRG masih perlu diujimanfaat dan efektifitas dalam membantu pelaku sektor pertanian. Tulisan ini berusahamemaparkan konsep SRG, potensi untuk pembiayaan, kendala dan upaya perbaikan yang perludilakukan agar SRG optimali dalam mendukung pembiayaan pertanian. Hasil studi menunjukkanbahwa banyak potensi manfaat yang bisa diambil dari SRG terutama terkait dengan dukunganpembiayaan, minimalisasi fluktuasi harga, peningkatan profesionalisme petani, mobilisasi kreditsektor pertanian, mendorong perbaikan mutu produk dan sebagainya. Namun demikian,implementasi SRG masih dihadapkan pada sejumlah kendala diantaranya besarnya biayatransaksi, kuantitas dan kualitas produk pertanian, minimnya dukungan lembaga perbankan,serta masih lemahnya kelembagaan petani. Dukungan kebijakan pemerintah yang kondusifmenjadi faktor penting untuk mengoptimalkan peran SRG di masa mendatang.
Kata kunci: Sistem resi gudang, komoditas pertanian, pembiayaan pertanian, kebijakanpemerintah
PENDAHULUAN
Fenomena turunnya harga pada komoditas pertanian, terutama pada saat
panen raya, sudah menjadi permasalahan laten yang seringkali merugikan petani. Terus
berulangnya permasalahan tersebut, baik dalam durasi musiman, tahunan, maupun
siklus sekian tahun sekali, seolah-olah membuat petani tidak berdaya menghadapinya.
Secara umum hampir semua komoditas, baik tanaman pangan (gabah/beras, jagung,
kedelai), hortikultura (sayuran, buah-buahan) maupun perkebunan (tebu/gula, kelapa
sawit/CPO, kopi, cokelat, cengkeh) dan komoditas lainnya mengalami nasib yang
sama. Bahkan untuk beberapa komoditas ekspor perkebunan, insiden turunnya harga
bukan hanya terjadi ketika panen raya, tetapi juga rentan terhadap dinamika kondisi
perkonomian global seperti saat krisis finansial.
Untuk menghindari kerugian akibat turunnya harga saat panen raya, secara teori
petani dapat melakukan tunda jual. Namun hal tersebut tidak mudah dilakukan karena
2
petani memerlukan uang tunai secara segera, baik untuk modal tanam berikutnya atau
untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Pemerintah telah berupaya untuk
mengurangi dampak negatif akibat tertekannya harga saat panen raya, tetapi masih
terbatas pada komoditas tertentu misalnya gabah/beras, yaitu dengan kebijakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP). Untuk mengefektifkan kebijakan tersebut, pemerintah
juga melaksanakan program berupa Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi
Perdesaan (DPM LUEP), disamping pembelian gabah/beras oleh Bulog dalam rangka
stok pangan nasional. Walaupun demikian, kemampuan dan jangkauan program
pemerintah masih sangat terbatas sehingga insiden anjloknya harga gabah/beras masih
saja terjadi. Apalagi untuk komoditas selain gabah yang belum ada ketentuan HPP,
peluang terjadinya anjlok harga pasti jauh lebih besar sehingga berpotensi merugikan
petani.
Terjadinya permasalahan turunnya harga, jika dirunut akar permasalahannya
terjadi akibat pola produksi dan konsumsi komoditas pertanian yang tidak matching
antara jumlah pasokan dan kebutuhan pada suatu waktu tertentu. Pada saat panen
raya, supply melimpah yang mengakibatkan turunnya harga dan sebaliknya pada
paceklik harga komoditas melambung tinggi hingga kadang tak terjangkau. Kondisi ini
tentu memerlukan penanganan yang lebih baik lagi di masa mendatang, terutama
pembenahan pada aspek manajemen pola tanam dan stok yang hingga saat ini masih
belum berjalan secara optimal.
Berpijak dari kenyataan tersebut, perlu ada sebuah upaya terobosan dan
alternatif solusi dalam rangka stabilisasi harga komoditas pertanian sekaligus untuk
menjaga stok komoditas tersebut. Pemerintah pada tahun 2006, telah mensyahkan UU
No 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (SRG) yang kemudian diikuti dengan
dikeluarkannya PP No 36/2007. Pada saat meresmikan pelaksanaan SRG perdana di
Jawa Timur, Menteri Perdagangan sebagaimana dikutip Lensa (2008) menyatakan
bahwa dengan SRG, petani dan pelaku usaha dapat menunda waktu penjualan hasil
panennya pada saat panen raya yang harganya cenderung turun serta menunggu saat
yang tepat untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Demikian juga Menteri Pertanian
dalam kesempatan yang sama menjelaskan bahwa SRG dapat dimanfaatkan oleh
kelompok tani dan UKM sebagai bukti kepemilikan komoditas. Selain itu, para pelaku
usaha juga dapat memanfaatkan SRG sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari
perbankan dan nonperbankan.
3
Dengan demikian, SRG ini oleh banyak kalangan diharapkan menjadi salah satu
alternatif sistem pemasaran yang dapat difungsikan sebagai instrumen untuk melindungi
petani dari kerugian akibat turunnya harga. Harapan ini tidaklah terlalu berlebihan,
karena SRG ini sebenarnya sudah diadopsi di banyak negara dan secara umum
berjalan relatif sukses. Dengan Resi Gudang, tidak saja bermanfaat membantu petani
terhindar dari kerugian akibat jatuhnya harga, tetapi juga dapat dijadikan sebagai
instrumen untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan.
Walaupun demikian sebagai skim yang relatif baru, manfaat dan prospek SRG
masih belum teruji benar sebagai alternatif untuk mendukung pembiayaan pertanian.
Masih muncul sejumlah pertanyaan; apakah dari sisi format, aturan, dan
operasionalisasinya sudah matching dengan karakteristik petani dan usaha pertanian.
Tulisan ini berusaha memaparkan tentang konsep SRG, potensi untuk pembiayaan,
kendala dan upaya perbaikan yang perlu dilakukan agar SRG dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk mendukung pembiayaan pertanian, atau lebih jauh menjadi salah
satu instrumen investasi dalam bisnis pertanian.
GAMBARAN UMUM TENTANG SISTEM RESI GUDANG
UU No. 9/2006 mengenai Sistem Resi Gudang telah disahkan pada tanggal 14
Juli 2006 dan telah menjadi bagian penting dari Program Pengembangan Ekonomi Lokal
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004–2009
Departemen Perdagangan (Anonim, 2007). Undang-Undang tentang SRG merupakan
terobosan baru yang melengkapi hukum penjaminan yang berlaku di Indonesia seperti
gadai dan jaminan fidusia. Gadai adalah jaminan atas benda namun penguasaan objek
jaminan berada di tangan kreditur. Sementara, jaminan Fidusia adalah jaminan untuk
benda bergerak dan benda tidak bergerak, namun penguasaan objek jaminan berada di
tangan debitur. Sedangkan dalam Sistem Resi Gudang yang menjadi obyek jaminan
adalah Resi Gudang di mana penguasaan terhadap barang berada di tangan Pengelola
Gudang. Pada tanggal 22 Juni 2007 pemerintah telah pula menerbitkan “Peraturan
Pemerintah nomor 36 tahun 2007 tentang Resi Gudang untuk melaksanakan ketentuan
dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 2006 tersebut.
Departemen Perdagangan (Depdag) sebagai pihak yang paling berkepentingan
dalam hal ini, mengharapkan dengan adanya UU Sistem Resi Gudang dapat tercipta
4
iklim usaha yang lebih kondusif dengan tersedia dan tertatanya sistem pembiayaan
perdagangan yang efektif. Hal ini mutlak diperlukan oleh dunia usaha untuk menjamin
serta mendorong kelancaran usahanya. SRG dapat mendorong pengembangan sektor
perdagangan dan pertanian, terutama dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas
yang selanjutnya dapat meningkatkan daya saing komoditas baik di pasar
lokal/domestik maupun internasional. Diharapkan dengan SRG, pemerintah akan makin
lebih baik dalam melakukan pemantauan harga serta menjaga ketersediaan (stock)
komoditas secara nasional.
Pengertian Resi Gudang
Resi gudang atau dalam bahasa asing disebut warehouse receipt system(WRS) adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang yang
diterbitkan oleh pengelola gudang dan merupakan sekuriti yang menjadi instrumen
perdagangan serta merupakan bagian dari sistem pemasaran dan sistem keuangan dari
banyak negara industri (Wikipedia, 2009). Dalam konteks ini, “gudang” memiliki
pengertian bermacam-macam, tergantung komoditas yang disimpan, mulai dari, coklat,
kopi, beras, hingga minyak sawit (crude palm oil-CPO). Resi gudang ini nantinya bisa
digunakan sebagai jaminan atas kredit dari perbankan.
Secara lebih spesifik untuk sektor pertanian, sistem Resi Gudang merupakan
bukti kepemilikan atas barang yang disimpan oleh para petani di gudang (Document of
Title) yang dapat dialihkan, diperjualbelikan bahkan dijadikan agunan tanpa perlu
persyaratan agunan yang lain. Oleh karena resi gudang merupakan instrumen surat
berharga maka resi gudang ini dapat diperdagangkan, diperjualbelikan, dipertukarkan,
ataupun digunakan sebagai jaminan bagi pinjaman. Resi gudang dapat juga digunakan
untuk pengiriman barang dalam transaksi derivatif seperti halnya kontrak serah (futures
contract).
Bentuk dan Sistem Resi Gudang
Resi gudang dikenal dalam 2 bentuk yaitu : (1) resi gudang yang dapat
diperdagangkan (“negotiable warehouse receipt”), yaitu suatu resi gudang yang memuat
perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang memegang resi gudang tersebut
atau atas suatu perintah pihak tertentu; (2) resi gudang yang tidak dapat
5
diperdagangkan (“non-negotiable warehouse receipt”) yaitu resi gudang yang memuat
ketentuan bahwa barang yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang
namanya telah ditetapkan.
Sebagaimana surat berharga, resi gudang juga dapat diperjual-belikan sehingga
ada transaksi derivatifnya. Derivatif resi gudang adalah turunan resi gudang yang dapat
berupa kontrak berjangka resi gudang, opsi atas resi gudang, indeks atas resi gudang,
surat berharga diskonto resi gudang, unit resi gudang, atau derivatif lainnya dari resi
gudang sebagai instrumen keuangan. Derivatif Resi Gudang ini hanya dapat diterbitkan
oleh bank, lembaga keuangan nonbank, dan pedagang berjangka yang telah mendapat
persetujuan badan pengawas.
Perdagangan resi gudang di Indonesia diatur oleh suatu badan yang disebut
”Badan Pengawas Sistem Resi Gudang” yaitu suatu unit organisasi di bawah Menteri
yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan
pelaksanaan sistem resi gudang. Resi gudang yang diperdagangkan di Indonesia wajib
untuk melalui suatu proses penilaian yang dilakukan oleh suatu lembaga terakreditasi
yang disebut ”Lembaga Penilaian Kesesuaian” yang berkewajiban untuk melakukan
serangkaian kegiatan guna menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang
berkaitan dengan produk, proses, sistem, dan/atau personel terpenuhi.
Adapun yang mendapat kewenangan melakukan penatausahaan resi gudang
dan derivatif resi gudang yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan
kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan
jaringan informasi adalah ”Pusat Registrasi Resi Gudang” yang merupakan suatu badan
usaha yang berbadan hukum.
Sesuai ketentuan perundang-undangan maka resi gudang di Indonesia harus
memuat sekurang-kurangnya:
1) judul resi gudang;
2) jenis resi gudang yaitu ”resi gudang atas nama” atau ”resi gudang atas
perintah”;
3) nama dan alamat pihak pemilik barang;
4) lokasi gudang tempat penyimpanan barang;
5) tanggal penerbitan;
6
6) nomor penerbitan;
7) waktu jatuh tempo;
8) deskripsi barang;
9) biaya penyimpanan;
10) tanda tangan pemilik barang dan pengelola gudang; dan
11) nilai barang berdasarkan harga pasar pada saat barang dimasukkan ke
dalam gudang.
Untuk mewujudkan terlaksananya Sistem Resi Gudang secara tertib dan teratur,
diterapkan berbagai persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi oleh setiap pihak
yang melakukan kegiatan di bidang Sistem Resi Gudang yang meliputi penerbitan,
pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi Resi Gudang. Pengaturan
mengenai persyaratan dan tata cara dimaksud dimulai dari proses penerbitan Resi
Gudang yang meliputi pihak yang dapat menerbitkan Resi Gudang, bentuk Resi Gudang
yang dapat diterbitkan, pendaftaran Resi Gudang ke Pusat Registrasi untuk
mendapatkan kode pengaman, penerbitan Resi Gudang Pengganti, penerbitan Derivatif
Resi Gudang serta pendaftarannya ke Pusat Registrasi.
Komoditas Resi Gudang
Komoditas atau ”Barang” yang dimaksud dalam undang-undang dan peraturan
tentang SRG adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu
tertentu dan diperdagangkan secara umum dan paling sedikit memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan;
2) memenuhi standar mutu tertentu; dan
3) jumlah minimum barang yang disimpan.
Pada tanggal 29 Juni 2007, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang telah menetapkan 8 komoditas pertanian
sebagai barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem resi
gudang. Kedelapan komoditas itu adalah : (1) Gabah), (2) beras (3) Kopi, (4) kakao, (5)
lada, (6) karet, (7) rumput laut dan (8) jagung.
7
Kelembagaan Sistem Resi Gudang
Mengenai kelembagaan, UU ini mengatur tentang lembaga Badan Pengawas
Resi Gudang, Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi
serta hubungan kelembagaan Pusat dan Daerah. Untuk itu diperlukan sinergi antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan sektor-sektor terkait lainnya yang
mendukung pelaksanaan Sistem Resi Gudang.
(1) Badan Pengawas Resi Gudang
Badan Pengawas Resi Gudang adalah unit organisasi di bawah Menteri, yang
diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap
kegiatan yang berkaitan dengan Sistem Resi Gudang. Badan ini antara lain berwenang
memberikan persetujuan sebagai Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian
dan Pusat Registrasi. Badan ini juga memberikan persetujuan bagi bank, Lembaga
keuangan non-bank dan Pedagang Berjangka sebagai penerbit Derivatif Resi Gudang.
Badan Pengawas juga berwenang melakukan pemeriksaan terhadap setiap pihak yang
diberikan persetujuan apabila mereka diduga melakukan pelanggaran.
(2) Pengelola Gudang
Pengelola Gudang adalah pihak yang melakukan usaha perdagangan, baik
gudang milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan,
pemeliharaan dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang. Pengelola
Gudang berhak menerbitkan Resi Gudang. Lembaga ini dipersyaratkan harus berbentuk
badan usaha berbadan hukum dan telah mendapat persetujuan dari Badan Pengawas.
Dalam pelaksanaannya, Pengelola Gudang wajib membuat oerjanjian pengelolaan
secara tertulis dengan pemilik barang atau kuasanya, yang sekurang-kurangnya
memuat identitas serta hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu penyimpanan,
deskripsi barang dan asuransi.
(3) Lembaga Penilaian Kesesuaian
Kegiatan penilaian kesesuaian dalam Sistem Resi Gudang dilakukan oleh
Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah mendapat persetujuan Badan Pengawas.
Kegiatan dimaksud mencakup kegiatan sertifikasi, inspeksi dan pengujian yang
berkaitan dengan barang, gudang dan Pengelola Gudang. Penyimpanan barang di
Gudang sangat erat kaitannya dengan konsistensi mutu barang yang disimpan sehingga
perlu disiapkan sistem penilaian kesesuaian yang dapat menjamin konsistensi mutu
8
barang yang disimpan. Sertifikat yang diterbitkan Lembaga Penilaian Kesesuaian
sekurang-kurangnya memuat nomor dan tanggal penerbitan, identitas pemilik barang,
jenis dan jumlah barang, sifat barang, metode pengujian mutu barang, tingkat mutu dan
kelas barang, jangka waktu mutu barang dan tanda tangan pihak yang berhak mewakili
lembaga.
(4) Pusat Registrasi
Pusat Registrasi adalah institusi yang melakukan penatausahaan Resi Gudang
dan Derivatif Resi Gudang, yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan
kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan
jaringan informasi. Penatausahaan dilakukan untuk menjamin keamanan dan
keabsahan setiap pengalihan dan pembebanan hak jaminan atas Resi Gudang dan
Derivatif Resi Gudang, karena setiap pihak yang menerbitkan, mengalihkan dan
melakukan pembebanan hak jaminan atas Resi Gudang wajib melaporkan tindakannya
kepada Pusat Registrasi.
(5) Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah
Hubungan kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dalam
rangka pembinaan dan pengembangan Sistem Resi Gudang. Urusan Pemerintah Pusat
antara lain mencakup penyusunan kebijakan nasional untuk mempercepat
penerapannya, melakukan koordinasi antar sektor pertanian, keuangan, perbankan, dan
sektor terkait lainnya untuk pengembangannya, dan memberikan kemudahan bagi
sektor usaha kecil dan menengah serta kelompok tani untuk berperan serta di dalam
Sistem Resi Gudang. Urusan Pernerintah Daerah antara lain mencakup pengembangan
komoditas unggulan daerah, penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk
mengembangkan Sistem Resi Gudang dan memfasilitasi pengembangan pasar lelang
komoditas.
9
PENGALAMAN PELAKSANAAN SRG DI MANCA NEGARA DAN INDONESIA
Pengalaman SRG di Beberapa Negara
Sebagai sebuah skim pembiayaan pertanian, SRG sudah dikenal lama di manca
negara. India, Uganda, Polandia, Nigeria, Tanzania dan Ghana adalah beberapa
negara yang sudah menjalankan program ini lebih dulu. Di negara-negara tersebut,
program SRG bahkan sudah memberikan pengaruh besar bagi sektor pertanian
maupun perbankan (Anonim, 2008). Lebih jauh, Berdasarkan data dari konferensi
warehouse receipt system (WRS) di Amsterdam tahun 2001, negara-negara
berkembang yang tercatat cukup berhasil menerapkan sistim resi gudang ini adalah :
Rumania , Hungaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slovakia, Bulgaria, Cesnia,
Polandia, Kazakstan, Turki, dan Mexico
Penerapan resi gudang di negara-negara itu pada dasarnya dilatarbelakangi
permasalahan sama yang dihadapi petani di Indonesia, yakni petani terbiasa menjual
hasil pertaniannya saat panen raya, meski saat itu harga turun. Minimnya
pengembangan sistem pengeringan dan pengawetan juga membuat para petani
terpaksa menjual harga hasil panen dengan harga yang murah. Sebagai contoh,
pengalaman di Uganda, petani terpaksa menjual kepada pedagang tengkulak karena
mereka butuh uang untuk membayar uang sekolah, membayar gaji buruh maupun
membeli kebutuhan saprodi untuk masa tanam berikutnya. Setelah mengikuti Resi
Gudang petani sudah dapat memetik banyak manfaat, karena dengan memiliki
dokumen resi gudang, mereka bisa meminjam uang ke bank sebanyak 80 persen dari
total harga barang simpanan.
Di Uganda, program ini diformulasikan dalam Undang-undang Sistem Resi
Gudang yang telah disahkan parlemen pada 5 April 2006. Bahkan, program ini sudah
dimulai setahun sebelumnya dengan pilot project resi gudang kopi di dua lokasi yakni,
Uganda Barat dan Uganda Timur. Di Uganda Barat, lima kelompok petani
mendepositokan 25 ton kopi Robusta yang kemudian dilelang di Komoditi Bursa.
Setelah UU itu disahkan, resi gudang dilanjutkan dengan komoditi kapas. Pada
Februari 2006, sekitar 100 ton benih kapas didepositkan di Resi Gudang. Untuk
mempermudah, program ini juga dilengkapi dengan Sistem Informasi Pasar, Layanan
Informasi Komoditas, seperti fluktuasi harga. Informasi ini disebarkan melalui radio,
koran gratis dan pesan singkat telepon seluler. Petani Uganda di mana pun berada bisa
10
mengetahui harga kopi di pasar internasional dan nasional di lima lokasi berbeda
dengan segera.
Berkat fasilitas tersebut, petani bisa mengambil keputusan cepat dengan
mengetahui kondisi harga di pasaran. Sejak diluncurkan, petani semakin menunjukkan
antusiasme mereka terhadap program ini. Terbukti, kian hari kian banyak organisasi
petani yang berpartisipasi pada program ini. Namun tidak semua program resi gudang di
Uganda berhasil. Pilot project resi gudang komoditi kopi arabika di Uganda Timur
berjalan lambat. Penyebabnya, iklim kering sempat merusak hasil panen kopi. Selain itu,
pengelola program ini juga harus bersaing dengan pembeli lokal yang sangat agresif
mendekati petani.
Tak berbeda dengan di Uganda, Tanzania juga memiliki konstitusi khusus yang
mengatur sistem resi gudang. Parlemen Tanzania sudah mengesahkan UU Resi
Gudang sejak 13 tahun lalu dan diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden.
Tanzania juga membuat aturan operasional resi gudang lebih rinci lagi, termasuk
pengembangan manual operasional dan pembentukan badan regulator.
Kepercayaan petani di Tanzania terhadap program ini terus meningkat. Deposit
hasil panen komoditas kapas terus meningkat. Peningkatan juga terlihat dari angka resi
gudang kopi dari tahun ke tahun. Hal yang menarik, ternyata peningkatan resi gudang
ini berbanding lurus dengan peningkatan kucuran perbankan di sektor pertanian.
Pengembangan resi gudang komoditas kapas memang sempat terhambat karena biji
kapas kerap rusak karena minimnya jumlah mesin pemisah kapas. Untuk menyiasati
masalah, Departemen Koperasi dan Pemasaran mengucurkan dana membuka empat
lokasi mesin pemisahan biji.
Dengan mesin baru, resi gudang telah menghasilkan efisiensi besar-besaran
sehingga kualitas komoditas pun meningkat. Bahkan berkat program ini pula, kapas
petani Tanzania bisa masuk dengan mudah ke pasar Inggris hanya dengan bantuan
pialang lokal. Sementara itu, petani-petani Ghana juga merasakan manfaat program resi
gudang. Bahkan, para petani bisa menjual panen mereka di masa panceklik sekitar 75-
270 persen lebih tinggi dari harga panen raya.
Di India, resi gudang bahkan telah merangsang industri perbankan dan sektor
pertanian. Tak hanya itu, program ini juga bermanfaat meningkatkan manajemen risiko
harga, mengurangi biaya transaksi dan biaya pemasaran sektor pertanian. Resi gudang
11
juga memainkan peran penting yang membuka peluang bagi Negeri Bombay untuk
berkompetisi di pasar agrikultur dunia. Singkatnya, program ini memberikan keuntungan
ekonomi yang besar. Kini India bahkan telah memiliki kapasitas gudang untuk program
resi gudang sebesar 65,9 juta ton.Bahkan menurut Najiyullah (2006), India termasuk
negara pelaksana SRG terhitung baik sehingga petani tidak tepinggirkan, bahkan profesi
petani membanggakan.
Pelaksanaan SRG di Indonesia
Resi gudang merupakan “barang” baru di Indonesia, karena UU yang mengatur
SRG baru dikeluarkan pada tahun 2006 dan PP pendamping UU tersebut dikeluarkan
tahun 2007. Namun sebetulnya skim yang mirip resi gudang sebagai alternatif
pembiayaaan bagi pengusaha, produsen kecil (termasuk petani) yang tidak memiliki
akses kredit langsung sudah lama digunakan di Indonesia yaitu skema Collateral
Management Agreement (CMA) (kompas.com, 2007). Skema CMA melibatkan tiga
pihak, yakni pemilik barang, pengelola agunan dan bank sebagai penyandang dana.
Namun skema ini lebih banyak dimanfaatkan oleh eksportir dan bersifat tertutup.
Menurut Suhendro (2008), sejak sistem resi gudang diperkenalkan pada tahun
2007 sebagai sebuah alternatif pembiayaan keuangan bagi para petani, ternyata hingga
kini penetrasinya masih terbilang rendah. Setidaknya hal ini dapat dilihat berdasarkan
proyek percontohan sistem resi gudang di empat daerah, yaitu di Indramayu,
Banyumas, Jombang untuk komoditas gabah dan Gowa untuk komoditas jagung.
Hingga kini hanya 305 ton komoditas dikeluarkan sebagai surat berharga (resi) gudang
yang mencakup 15 resi gudang dengan nilai kurang lebih Rp 1 miliar.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar yang mengatakan bahwa pengaplikasian
Undang- Undang (UU) No 9/2006 tentang Resi Gudang belum juga dilakukan (Seputar
Indonesia, 2009). Padahal, UU diharapkan akan sangat efektif meredam anjloknya nilai
tukar petani. Untuk implementasi RSG agar lebih praktis, diusulkan agar penyediaan
gudang bisa dilakukan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) ataupun
instansi yang berhubungan lainnya. Jadi, Bulog nantinya dapat menyerap gabah petani
tanpa perlu membelinya. Selama ini, Bulog masih menempatkan posisi hanya sebatas
pembeli gabah dari tangan petani. Jika SRG ini dipergunakan Bulog, maka
permasalahan modal bagi petani tidak akan terjadi lagi.
12
Masih minimnya implementasi SRG, mungkin harus dipandang sebagai
“pekerjaan rumah” bagi semua pihak yang concern dalam masalah ini. Padahal, salah
satu maksud dari design awal resi gudang adalah sebagai sarana membantu petani
untuk bisa menekan kerugian pada saat harga komoditas yang diproduksinya turun
dengan cara menjaminkan produknya ke resi gudang. Dari penjaminan itu para petani
akan mendapatkan surat berharga atau resi jaminan yang bisa diagunkan ke perbankan
untuk mendapatkan kredit..
Gambaran tentang masih tersendatnya implementasi SRG bukan berarti skim ini
sama sekali tidak dijalankan oleh pelaku usaha pertanian. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa walaupun masih belum secara luas, beberapa daerah telah
melaksanakan pola SRG ini dengan dukungan dana dari lembaga non perbankan.
Umumnya BUMN yang menjadi sumber pendanaan melalu Program Kemitraan Bina
Lingkungan (PKBL) atau Coorporate Social Responsibility (CSR). PKBL yang pernah
dilaksanakan dinataranya di Indramayu, antara gapoktan, UPJA dan PT Pertamina
(Ashari, 2007). Selain itu Pertamina UMPs I Medan, sebagaimana yang dilaporkan
Republika (2008) juga melakukan program ketahanan pangan melalui pendirian SRG
yang dilengkapi dengan fasilitas teknologi informasi komoditas online kepada para
petani, instansi terkait dean perguruan tinggi.
PROSPEK, KENDALA, SERTA ALTERNATIF KEBIJAKAN SRG UNTUKPEMBIAYAAN PERTANIAN
Prospek dan Manfaat SRG
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kapasitas sektor pertanian dalam
mendukung perekonomian nasional, SRG dipandang dapat memainkan peranan yang
cukup signifikan. Hal ini didasarkan pada agumen (BRI, 2009) bahwa dengan
dilaksanakan SRG berpeluang untuk meningkatkan produksi, menambah perputaran
ekonomi, dan menyerap tenaga kerja/mengurangi pengangguran. Di samping itu
kontribusi UMK pada pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Oleh karena itu diperlukan
secara segera kemudahan untuk mengakses sumber pendanaan, yang salah satu
alternatif dapat disediakan dengan SRG. Lebih jauh, penerapan SRG memiliki prospek
yang cukup baik dalam kerangka peningkatan pendapatan usaha tani melalui (1) tunda
jual, yaitu saat panen raya petani menyimpan hasil pertanian di gudang; (2) penjualan
13
dilakukan pada saat harga komoditas pertanian telah tinggi, serta (3) meminimalisir
penimbunan barang oleh pedagang pengumpul.
Menurut Sadaristuwati (2008), resi gudang memiliki posisi yang penting dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di sektor pertanian, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
(a) Resi gudang merupakan salah satu bentuk sistem tunda jual yang
menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai tukar petani.
(b) Di era perdagangan bebas seperti sekarang ini resi gudang sangat
diperlukan untuk membentuk petani menjadi petani pengusaha dan
petani mandiri .
(c) Sistem Resi Gudang bisa memangkas pola perdagangan komoditas
pertanian sehingga petani bisa mendapatkan peningkatan harga jual
komoditas.
Dalam aspek ketersediaan dana, secara teori peluang pengembangan SRG
sebagai alternatif pembiayaan pertanian dengan dukungan perbankan sangat terbuka,
dengan argumen sebagai berikut: (1) secara kumulatif potensi pertanian besar, (2)
jangka waktu kredit SRG relatif pendek, (3) analisis 4 C dilaksanakan oleh LPK,
pengelola gudang, dan asuransi serta (4) bank hanya deal dengan dokumen resi
gudang (BRI, 2008).
Terkait dengan SRG, Wikipedia (2009) menjelaskan secara detail tentang
banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan SRG, yaitu:
1. Dapat memperkuat daya tawar-menawar petani serta menciptakan efisiensi
di dunia agrobisnis. Petani bisa menunda penjualan komoditi setelah panen,
sambil menunggu harga membaik kembali, dengan menyimpan hasil panen
di gudang-gudang yang memenuhi persyaratan. Kebutuhan modal petani
bisa dicukupi dengan mekanisme pembiayaan dari sistem resi gudang,
sehingga saat harga komoditi di pasaran sudah mulai membaik, petani bisa
menjual hasil panen tersebut sambil melunasi kewajibannya kepada bank.
2. Memungkinkan bagi pemilik resi gudang untuk meminjam di luar negeri
dalam mata uang yang bunganya lebih rendah, terutama apabila pinjaman
tersebut dibuat dengan jaminan resi gudang komoditas ekspor. Dengan cara
14
demikian dapat dilakukan lindung nilai terhadap nilai tukar valuta asing yang
menjadi pinjaman.
3. Dapat digunakan petani untuk membiayai proses penananam lahan dan juga
bagi pabrikan dapat digunakan untuk membiayai persediaan bahan baku.
4. Memobilisasi kredit ke sektor pertanian. Adanya kepastian jaminan dari pihak
gudang tertentu yang telah disetujui oleh insitusi tertentu memberikan
keyakinan bagi pihak bank untuk memberikan pinjaman atas jaminan resi
gudang tersebut kepada para petani atau pedagang yang menyimpan
barangnya di gudang tersebut.
5. Dapat digunakan untuk mendapatkan dana dan sebagai aset acuan pada
kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka yang ada
sehingga meningkatkan nilai kompetisinya.
6. Dapat dijadikan instrumen kontrak serah, yaitu apabila pada suatu transaksi
terjadi kesepakatan untuk melakukan penyerahan barang pada suatu masa
mendatang yang ditentukan maka resi gudang ini dapat dijadikan suatu
bentuk kontrak serah yang penyerahan barangnya dilakukan dengan sistem
yang diatur dalam kontrak berjangka.
7. Memperkecil fluktuasi harga, dimana petani tidak perlu menjual barangnya
segera setelah panen yang biasanya harganya sangat rendah (penjualan
terpaksa). Dengan menahan barangnya beberapa waktu diharapkan harga
menjadi lebih baik.
8. Mengurangi risiko di pasar-pasar produk pertanian, memperbaiki sistem
pengamanan pangan dan terbukanya akses kredit bagi pedesaaan.
9. Mendorong perbaikan mutu dan transparansi bagi industri pergudangan
karena harus mematuhi peraturan tertentu dan dilakukan pengawasan.
10. Membantu menciptakan pasar-pasar komoditas atas dasar persaingan,
informasi pasar, dan perdagangan internasional.
11. Mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah dalam perdagangan
produk pertanian.
12. Memperkecil kerugian setelah panen karena sistem penyimpanan yang baik.
15
13. Biaya transaksi menjadi lebih murah karena jumlah dan mutu komoditas yang
ditransaksikan telah terjamin.
14. meningkatkan kesadaran pentingnya mutu yang baik bagi para pihak yang
terkait dengan usaha komoditas pertanian.
Menurut Sadaristuwati (2008), keberadaan SRG tidak hanya bermanfaat bagi
kalangan petani tetapi juga bermanfaat bagi dunia perbankan, pelaku usaha dan serta
bagi pemerintah sendiri. Di antara manfaat dari SRG adalah:
1. Ikut menjaga kestabilan dan keterkendalian harga komoditi.
2. Memberikan jaminan modal produksi karena adanya pembiayaan dari
lembaga keuangan.
3. Keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan yang minim resiko.
4. Ada jaminan ketersediaan barang
5. Ikut menjaga stok nasional dalam rangka menjaga ketahanan dan
ketersediaan pangan nasional
6. Lalu lintas perdagangan komoditi menjadi lebih terpantau
7. Bisa menjamin ketersediaan bahan baku industri khususnya agroindustri
8. Mampu melakukan efisiensi baik logistik maupun distribusi
9. Dapat memberikan kontribusi fiskal kepada Pemerintah
10. Mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha yang terkait
dengan SRG lainnya
Dengan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa SRG memiliki prospek yang
cukup baik sebagai alternatif skim pembiayaan di sektor pertanian. Jika skim ini dapat
dijalankan secara optimal maka SRG dapat secara efektif untuk mengatasi scarcity of
cash di tingkat lokal, memungkinkan petani menjual produknya dengan harga lebih baik,
serta memfasilitasi pemberian kredit oleh perbankan. Jika penerima kredit wanprestasi,
bank dapat menjual komoditas yang tertera di resi gudang, baik secara bawah tangan
maupun lelang.
16
Kendala Pelaksanaan SRG
Sejak sistem resi gudang diperkenalkan pada tahun 2007 sebagai sebuah
alternatif pembiayaan keuangan bagi para petani, diakui bahwa dalam taraf
implementasi ternyata penetrasinya masih terbilang rendah. Menurut Kepala Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) hal ini terjadi karena masih
terbatasnya sosialisasi mengenai sistem resi gudang terutama di daerah-daerah sentra
penghasil komoditas pertanian. Untuk mengatasi perrmasalahan ini, selain melakukan
sosialisasi yang gencar berbagai daerah, Bappebti juga mendorong upaya
memperlancar sistem ini dengan memberi bantuan yang bisa diberikan dalam bentuk
subsidi bunga, atau memberikan bunga lebih rendah pada saat petani mengajukan
kredit dari resi yang mereka peroleh.
BRI (2008) telah mengidentifikasi berbagai kendala yang akan dapat
menghambat implementasi SRG, diantaranya: (1) biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemilik komoditas relatif lebih besar dibanding skema CMA, mengingat banyaknya
lembaga yang terlibat pada Sistem Resi Gudang, (2) Kuantitas komoditas Petani relatif
kecil sehingga apabila di Resi Gudang- kan tidak sebanding dengan biaya yang harus
dikeluarkan, (3) belum adanya pihak yang berfungsi sebagai off taker, dan (4) kuantitas,
independensi dan profesionalisme Lembaga Penilai Kesesuaian perlu ditingkatkan.
Sementara menurut Sadariswati (2008), sebagai instrumen yang relatif baru,
keberadaan SRG masih menghadapi sejumlah permasalahan, diantaranya:
1) Minimnya sarana dan prasarana
2) Kualitas barang masih rendah (mutu/keseragaman)
3) Beban biaya
4) Kurangnya tingkat kepercayaan dari lembaga keuangan atau Bank.
5) Tingkat suku bunga yang masih terlalu tinggi.
6) Hubungan antar lembaga yang kurang sinergis.
Menurut salah seorang pengurus gapoktan di Indramayu, sebagaimana
dilaporkan Ariyani (2008) bahwa implementasi resi gudang masih menemukan banyak
hambatan di lapangan. Hambatan tersebut antara lain terbatasnya jumlah gudang
penyimpan hasil pertanian dan sikap petani yang tidak sabar dengan sistem tunda jual
produk yang diagunkan tersebut.
17
Dalam konteks yang lebih makro, kendala implementasi SRG juga terkait dengan
kurangnya struktur dan kelembagaan yang lazimnya sebagai berikut :
1. Kurangnya insentif pemerintah guna mendukung bertumbuhnya
pergudangan swasta dimana pergudangan swasta sulit memperoleh
keuntungan akibat adanya intervensi pemerintah yang biasanya berupa
penentuan harga dasar komoditas sehingga mengakibatkan tidak adanya
ruang gerak bagi variasi harga pada saat yang berbeda atapun pada wilayah
yang berbeda.
2. Kurangnya hukum ataupun peraturan yang mendukung sistim resi gudang
3. Sistem perdagangan resi gudang ini belum terlalu dikenal oleh kalangan para
pelaku komersial, termasuk kalangan perbankan maupun kalangan yang
menggunakan resi gudang itu sendiri
Hasan (2008) melakukan diagnosis yang cukup kritis terhadap kelembagaan
SRG ini yang harus direspon oleh kalangan yang terlibat dalam SRG serta pihak yang
concern untuk menjadikan SRG sebagai alternatif pembiayaan untuk sektor pertanian.
Menurut pandangannya, kelembagaan dalam penerbitan, pengalihan, penggantian dan
penerbitan derivatif resi gudang menandakan lebih fokus pada ke pembentukan pasar
sekunder SRG dan derivatifnya, dari pada pasar komoditas itu sendiri.
Terkait dengan kebijakan yang sedang dijalankan pemerintah terkadang juga
agak kontrakdiktif untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya SRG. Kebijakan
penetapan harga dasar oleh pemerintah, misalnya seringkali dibuat sedemikian rupa
sehingga pengharapan ini tidak tercapai. Kebijakan harga dasar menyebabkan harga
antara panen dan masa sesudah panen menjadi tetap dan seragam di seluruh wilayah
negara. Disamping itu, dari sisi moneter, tingkat suku bunga yang berlaku seringkali
lebih tinggi pada negara-negara berkembang sehingga meminjam uang dengan jaminan
stok gudang menjadi tidak layak karena beban pinjaman tersebut tidak dapat ditutupi
dengan adanya kenaikan harga komoditas yang disimpan dengan skim SRG.
ALTERNATIF KEBIJAKAN UNTUK MENDUKUNG SKIM SRG
Hasan (2008) menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan SRG (UU
9/2006, PP 36/2007, peraturan-praturan Bappepti) memiliki implikasi Makro dan Mikro
yang menuntut koordinasi lintas instansi (kementrian Koperasi dan UMKM, Bulog,
18
Deptan, Bank Indonesia, Pemda). Pada aspek Makro, arah kebijakan pengendalian stok
dan harga komoditas dalam kerangka penataan sistem perdagangan yang efektif dan
efisien harus terintegrasi dengan program-program lain. Misalnya dalam kerangka
program ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petani, penguatan
perbankan mikro (unit mikro bank umum dan BPR-pembiayaan resi gudang), dan peran
Pemda untuk mengembangkan produk-produk unggulan yang bisa diresigudangkan
Sementara dari aspek mikro, pembiayaan resi gudang tidak akan efektif-efisien
bila dilakukan secara individual kepada petani gurem, melainkan harus kepada
kelompok tani berbadan hukum (misal koperasi tani). Penerapan SRG kepada sektor
koorporat/perusahaan besar tidak akan ada kesulitan, tetapi jika difokuskan pada
segmen ini akan timbul pertanyaan apakah misi SRG dapat dicapai?. Peraturan
perundang-undangan tentang SRG dinilai lebih siap diimplementasikan bagi sektor
koorporasi/komersial daripada untuk membantu dalam mengakses sumber-sumber
pembiayaan. Disamping itu, belum ada keyakinan akan terciptanya stabilitas harga
komoditas melalui mekanisme pengendalian stok.
Oleh karena itu disarankan seyogyanya pada penerbitan dan pembiayaan SRG
yang langsung dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha, daripada mengembangkan
derivatif resi gudang yang akan lebih banyak berhubungan dengan kepentingan pelaku
pasar dan spekulan di bursa. Agenda mendesak yang perlu segera dituntaskan adalah
bagaimana melaksanakan fungsi-fungsi strategisnya sesuai dengan ketentuan Pasal 32
UU No 9/2006 (pemerintah pusat cq Departemen Perdagangan) dan Pasal 33 (pemda).
Diantara urusan pemerinah pusat adalah koordinasi antar sektor pertanian, keuangan,
perbankan dan sektor terkait lainnya dan antara SRG dengan perdagangan berjangka
komoditi, serta memberikan kemudahan bagi UKM dan kelompok tani untuk
memanfaatkan skim SRG.
Sementara itu, menurut Aviliani dan Hidayat (2005) secara kelembagaan,
sebenarnya infrastruktur untuk mendukung SRG telah cukup memadai. Masalahnya,
bagaimana hubungan kelembagaan itu terbentuk secara optimal, efisien, dan berdaya
guna tanpa harus melakukan penyesuaian terhadap regulasi yang sudah ada. Langkah
penting yang harus ditempuh adalah menyamakan persepsi antarlembaga/stakeholder
dan meletakkan struktur program aksi sesuai kompetensinya masing- masing. Paling
tidak terdapat lima pelaku utama yang berperan dalam pengembangan SRG, yakni
19
underwriter, perbankan, collateral management service (CMS), penjamin, dan pasar
keuangan.
Untuk dapat menata hubungan secara tepat, harus dipahami mekanisme
operasional transaksi SRG. Dalam skenario utuh, transaksi SRG dikategorikan sebagai
transaksi di pasar perdana yang mendukung transaksi di pasar sekunder.
Pasar perdana adalah penawaran pembiayaan SRG yang dilakukan oleh
underwriter/arranger kepada lembaga keuangan/perbankan atau investor. Underwriter
diwajibkan menyusun proposal atau info memo yang berisi data dan analisis usaha yang
akan dibiayai serta mengkoordinasikan peran lembaga-lembaga terkait dengan
penawaran SRG. Oleh karena sifatnya pembiayaan modal kerja, analisis ditekankan
pada underlying transaction yang melatari keberadaan fisik barang di gudang, misalnya
verifikasi sales contract, letter of credit (untuk ekspor-impor), jadwal pengiriman,
sertifikasi kualitas dari CMS, dan pertanggungan asuransi.
Pasar sekunder adalah perdagangan di pasar keuangan, yakni pemindahan hak
atas tagihan WRF dari kreditor pertama kepada pedagang/investor di bursa. Untuk
mendorong pasar yang likuid dan stabilisasi harga, instrumen SRG hendaknya dapat
dijamin oleh bank yang memiliki reputasi baik. Di pasar sekunder berperan otoritas
bursa dan lembaga kliring dalam penyelesaian baik secara spot (di pasar primer)
maupun penyelesaian lainnya.
Dengan melihat manfaat dari pembiayaan resi gudang, maka skim ini harus
mendapat fasilitasi serius dari pemerintah maupun Bank Indonesia (BI). Departemen
Perdagangan hendaknya dapat menetapkan prioritas program dan sasaran yang
hendak dicapai secara nasional. Misalnya, SRG sebagai salah satu instrumen program
pengendalian stok bahan pangan, stabilisasi harga produk pertanian, dan akses
permodalan bagi petani. Langkah ini memerlukan koordinasi lintas departemen,
termasuk BI. Untuk itu harus dilandasi atas kesamaan persepsi bahwa pembiayaan resi
gudang bukan dilihat semata sebagai produk pembiayaan-perbankan, namun memiliki
arti strategis. Seperti di negara lain, pemerintah bahkan berperan sebagai penjamin
pelunasan WRF bila debitor cidera janji atau kejadian force majeur.
20
PENUTUP
Sebagai sebuah skim yang relatif baru, SRG akan dapat berjalan apabila
masing-masing pihak dan lembaga yang terlibat bisa bersinergis dan memegang
komitmen sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Resi Gudang
(UU no 9/2006). Jika SRG di-setting sebagai alternatif sumber pembiayaan sektor
pertanian, maka lembaga yang sangat crucial adalah perbankan/lembaga keuangan
lainnya serta lembaga pengelola gudang. Komitmen perbankan diperlukan untuk
mendukung sistem perdangan komoditas pertanian secara komprehensif. Kejelasan
pasar sangat penting untuk menghilangkan keraguan petani dalam melaksanakan SRG.
Selain itu SRG akan lebih optimal jika didukung oleh lancarnya kegiatan Bursa
Berjangka Komoditi serta Pasar Lelang.
Beberapa poin penting yang perlu dipersiapkan untuk mendukung efektifnya
SRG di sektor pertanian, diantaranya: (a) Sarana dan prasarana pertanian harus dimiliki
oleh petani atau kelompok tani agar kualitas produk yang akan disimpan bisa sesuai
dengan standar yang ditentukan, (b) Jaringan pasar dan jaringan informasi harga harus
segera dibuat, (c) Perlu adanya kebijakan khusus dari Pemerintah terutama dalam segi
pembiayaan dan subsidi bunga bank, dan (d) Resi gudang sebagai agunan kredit bagi
petani/UKM perlu disertai upaya penguatan kelembagaan usahatan/UKM.
Upaya-upaya tersebut juga harus disertai dengan pengembangan produktivitas
dan kualitas hasil pertanian yang harus lebih prima. Upaya harus komprehensif mulai
dari pembibitan, pemeliharaan, panen, pasca panen, sehingga diperoleh mutu terbaik,
harga terbaik, dan penghasilan terbaik bagi petani. Secara khusus untuk Departemen
Pertanian, agar keberadaan SRG dapat dimanfaatkan oleh petani secara lebih luas, ke
depan bisa melakukan modifikasi dan mengembangkan pola SRG secara lebih simpel
lagi. Dari pengalaman selama ini pola kerjasama dengan perusahaan melalui
PKBL/CSR bisa dikembangkan lebih baik lagi di masa mendatang, terutama untuk
menjaga sustainability program.
21
DAFTAR PUSTAKA
Aviliani dan Usman Hidayat. 2005. Menuju Skim Pembiayaan Resi Gudang yangAtraktif . http://www.indef.or.id/xplod/upload/arts/Resi%20Gudang.HTM
Ashari. 2007. Resi Gudang: Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian. WartaPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 29 (4): 7-8. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian.
Anonim. 2007. Sistem Resi Gudang Departemen Perdagangan Beri Akses Pembiayaanbagi Petani dan sektor UKM.http://www.depdag.go.id/index.php?option=siaran_pers&task=detil&id=2905 [30/3/09]
Anonim.2008. Kisah Sukses dari Negeri Seberang http://jurnalnasional.com/?med-=Koran%20Harian&sec=Utama&rbrk=&id=44239&detail=Utama
Ariyani, RR. 2008. Sistem resi Gudang akan Diberlakukan Nasional. http://www.tempo-interaktif.com/hg/ekbis/2008/04/16/brk,20080416-121425,id.html [30/03/09]
BRI. 2008. Sistem Resi Gudang: Peluang, Tantangan dan hambatan. Makalahdisampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang, PengembanganAlternatif i Pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang. Hotel Borobudur, tanggal 4Nopember 2008
Bappepti. 2009. Sistem Resi Gudang. http://www.bappepti.go.id/pll/ [30/03/09]
Hasan, F. 2008. Potensi Penerapan Sistem Resi Gudang di Indonesia. Institute forDevelopment of Economic and Financing (INDEF). Makalah disampaikan padaSeminar Nasional Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif Pembiayaanmelalui Sistem Resi Gudang. Hotel Borobudur, tanggal 4 Nopember 2008Jakarta.
Kompas. Com. 2007. Perbankan Diminta Biayai Resi Gudang. Kamis, 10 Mei.http://www2.kom-pas-cetak/0705/10/jatim/6635
Lensa. 2008. Mentan dan Mendag Resmikan Sistem Resi Gudang.http://lensa.disopjatim.go.id/?p=153 [27/05/09]9.htm [27/05/09]
Najiyullah, A. 2006. Sistem Resi Gudang Lindungi Petani dari Tengkulak. http://www.pk-sejahtera.org/v2/main.Php?op-isi&id=1501[6/5/09]
22
Republika. 2008. Pertamina Tawarkan Resi Gudang ke Petani.http://www.republika.co.id/koran/121/22641/ Pertamina_Tawarkan_Resi_Gudang_ ke _Petani [27/5/09]
Seputar Indonesia. 2009. UU Resi Gudang Belum Optimal. Harian Seputar Indonesia.Senin 27 April 2009
Suhendra. 2008. Panetrasi Sistem Resi Gudang Masih Rendah. http://www.detik-finance.com/read/2008/11/04/115658/1030906/4/panetrasi-sistem-resi-gudang-masih-rendah [ 30/3/09]
Sadarestuwati. 2008. Pentingnya Sistem Resi Gudang bagi Petani. Makalahdisampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang, PengembanganAlternatifi Pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang. Hotel Borobudur, tanggal 4Nopember 2008.
Wikipedia. 2009. Resi Gudang. http://id.wikipedia.org/wiki/Resi_gudang[30/3/09]