ibrahim
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
-
i
HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING
T E S I S
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok dan Bedah Kepala Leher
Oleh :
IBRAHIM IRSAN NASUTION
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN BEDAH KEPALA LEHER
MEDAN 2007
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Medan, Desember 2007
Tesis dengan judul
HUBUNGAN MEROKOK
DENGAN KARSINOMA NASOFARING
Diketahui oleh:
Ketua Departemen Ketua Program Studi Prof.dr.Abdul Rachman S, SpTHT-KL(K) Prof.dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K)
Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:
Ketua
Prof.dr.Ramsi Lutan, SpTHT-KL(K)
Anggota
Dr.dr.Delfitri Munir, SpTHT-KL(K) dr. Hafni, SpTHT-KL(K)
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang atas segala rakhmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan
untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Saya menyadari, penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun
bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah
perbendaharaan penelitian tentang Hubungan Merokok dengan Karsinoma
Nasofaring (KNF).
Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
Prof. dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K) atas kesediaannya sebagai ketua
pembimbing penelitian ini, begitu juga kepada dr. Hafni, SpTHT-KL (K), Dr. dr. Delfitri
Munir, SpTHT-KL (K) selaku anggota pembimbing dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, Mkes
sebagai konsultan statistik. Ditengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan
kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang
sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang
berbahagia ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr.
Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH) dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran USU
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
iv
Prof. dr. Bahri Djohan SpJP (K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk
mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di Fakultas Kedokteran USU.
Yang terhormat Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, drg. Arman Daulay,
Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, dr. Syahrial Annas, Direktur RS Tembakau Deli
Medan, dr. Tuti R. Ketaren dan Direktur RSUD Lubuk Pakam yang telah memberikan
kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di Rumah Sakit yang beliau
pimpin.
Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Abdul Rachman Saragih,
SpTHT-KL (K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU, Prof. dr.
Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu
kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi sampai selesai.
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran
USU / RSUP H.Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, SpTHTKL, dr. Yuritna Haryono,
SpTHTKL (K), dr. T. Sofia Hanum, SpTHTKL (K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHTKL
(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHTKL, dr. Linda I. Adenin, SpTHTKL (K), dr. Rizalina
A. Asnir, SpTHTKL, dr. Ainul Mardhiah, SpTHTKL, dr. Adlin Adnan, SpTHTKL, dr.
Siti Nursiah, SpTHTKL, dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHTKL, dr. Ida Sjailandrawaty,
SpTHTKL, dr. Harry Agustaf Asroel, SpTHTKL, dr. Farhat, SpTHTKL, dan dr. T. Siti
Hajar H, SpTHTKL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya
selama ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa
pendidikan.
Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP
H.Adam Malik Medan, khususnya Departemen/SMF THT-KL yang selalu membantu dan
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
v
bekerja sama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan
selama ini.
Yang saya hormati, seluruh pasien-pasien yang telah secara ikhlas telah banyak
memberikan banyak hal tentang penyakit yang dideritanya kepada saya. Terima kasih
yang tak terhingga atas semua hal tersebut. Tanpa itu semua, mustahil saya
mendapatkan ilmu dan keterampilan dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Yang saya hormati, guru-guru saya, seluruh penulis buku-buku dan jurnal-jurnal
yang pernah saya baca selama masa pendidikan, sejak pendidikan dasar hingga
pencapaian pendidikan saya sekarang ini. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas
segala didikan, ilmu dan informasi yang telah diberikan kepada saya.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda Sulaiman Nasution SmHk (Alm) dan Ibunda
Purnama Rangkuti, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan
yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah dilimpahkan kepada ananda sejak
dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang terbaik serta diberi
contoh suri tauladan sampai sekarang ini. Ya Allah ampunilah dosa kami dan dosa kedua
orangtua kami, serta kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak
kecil.
Yang tercinta almarhum Bapak mertua Ir. Abdullah dan almarhumah Ibu mertua
Ance Sarianah, yang semasa hidupnya selalu memberikan dorongan dan restu untuk
selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Terima kasih tiada terhingga pada istriku tercinta Dien Mediena Ssos, dan buah
hati kami tersayang Fikri Roja Nasution dan Fahri Zuhdi Nasution yang dengan penuh
kesabaran dan ketabahan telah memberikan dorongan, semangat dan inspirasi yang
tiada henti pada ayahanda dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Kepada saudara-saudaraku tersayang kakanda Dra. Enny Sulprimawati Nasution,
Latifah Khairani Nasution, adinda dr. Akhmad Rusdy Nasution dan Yunita Nasution SH,
terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya selama ini.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
vi
Akhirnya saya haturkan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala
kesalahan dan terima kasih saya sampaikan kepada handai taulan, keluarga dan semua
pihak yang telah membantu saya dengan ikhlas dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Semoga Allah SWT membalas budi baik yang diberikan dengan berlimpah.
Amin, amin ya Rabbal alamin.
Medan, Desember 2007
Penulis
dr. Ibrahim Irsan Nasution
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
vii
ABSTRAK
Etiologi KNF adalah multifaktor, dan banyak dari faktor-faktor tersebut saling
tumpang tindih dimana salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain
sebagai penyebab.
Merokok diduga berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring (KNF). Untuk
mengetahui hubungan merokok dengan KNF, dilakukan penelitian kasus kontrol,
dengan sampel kasus sebanyak 96 orang dan kontrol 96 orang. Sampel kelompok kasus
dan kontrol diambil dari RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU dr. Pirngadi Medan.
Mayoritas penderita KNF adalah; laki-laki (perbandingannya dengan perempuan 2,84:1),
50-59 tahun (29,2%), dan bertani (32,3%). Suku batak merupakan kelompok suku
terbanyak yang menderita KNF 54 orang (56,3%) dan diikuti ditempat kedua terbanyak
adalah suku Jawa (29,2%). Jenis histopatologi terbanyak adalah WHO tipe 3 (38,6%).
Stadium terbanyak adalah III (58,4%), diikuti stadium IV (40,6%), stadium II (1%), dan
tidak terdapat penderita dengan stadium I.
Hasil analisis regresi logistik univariat, memperlihatkan hubungan yang bermakna
antara perokok dengan konsumsi rokok 11-20 batang perhari dengan nilai OR=2,530
(p=0,021) dengan terjadinya KNF. Namun dalam analisis regresi logistik multivariat,
jumlah batang rokok perhari tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna (p=0,587).
Hasil analisis regresi logistik multivariat, karsinoma nasofaring berhubungan
secara bermakna dengan orang yang sudah mulai merokok sebelum usia 20 tahun
(p=0,000; OR 5,35 dan CI 95% 2,290 - 12,499), kebiasaan makan ikan asin sebelum
berusia 10 tahun dengan frekuensi konsumsi ikan asin kadang-kadang p=0,000;
OR 7,766 (CI 95% 2,937 - 20,538), sering p=0,000; OR 16,515 (CI 95% 5,300 -
51,463), dan kebiasaan memakai kayu bakar p=0,014; OR 3,147 (CI 95% 1,260 - 7,860).
Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama merokok (p=0,293), jumlah batang
rokok (p=0,021) dan jenis rokok yang dihisap (p=0,081) dengan kejadian KNF.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
viii
Merokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor
risiko yang berdiri sendiri, namun ada peran faktor lain yang juga mempengaruhi sebagai
faktor risiko.
Kata kunci : KNF, merokok, konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun, kayu bakar.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii
Kata Pengantar .................................................................................................. iii
Abstrak ............................................................................................................... vii
Daftar isi ............................................................................................................. ix
Daftar tabel ......................................................................................................... xii
BAB 1. Pendahuluan ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 3
1.3. Hipotesis ...................................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitan ........................................................................ 4
1.6. Kontribusi Penelitian .................................................................... 4
BAB 2. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 5
2.1. Anatomi ....................................................................................... 5
2.1.1. Nasofaring .................................................................... 5
2.1.2. Batas-batas nasofaring ................................................ 5
2.1.3. Jaringan lunak pembentuk nasofaring ......................... 6
2.1.4. Pendarahan dan persarafan ........................................ 7
2.1.5. Sistem limfatik nasofaring ............................................ 7
2.2. Karsinoma Nasofaring ................................................................. 8
2.2.1. Karsinoma nasofaring (KNF) ........................................ 8
2.2.2. Patologi karsinoma nasofaring ..................................... 8
2.2.3. Epidemiologi .................................................................. 11
2.2.4. Etiologi dan faktor predisposisi .................................... 13
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
x
2.2.5. Karsinogenesis secara umum ....................................... 18
2.2.6. Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya.. 20
2.2.7. Mekanisme karsinogenesis ........................................... 22
2.2.8. Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring....... 24
2.2.9. Gejala Klinis .................................................................. 32
2.2.10. Diagnosis ...................................................................... 34
2.2.11. Stadium ......................................................................... 39
2.2.12. Diagnosis banding ........................................................ 40
2.2.13. Terapi ............................................................................ 41
2.2.14. Prognosis ...................................................................... 44
BAB 3. Metodologi Penelitian ........................................................................... 46
3.1. Rancangan Penelitian ................................................................. 46
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 46
3.3. Sampel ........................................................................................ 46
3.4. Kriteria Karsinoma Nasofaring .................................................... 46
3.5. Penentuan Besar Sampel ........................................................... 46
3.6. Teknik Pengambilan Sampel ...................................................... 47
3.7. Variabel Penelitian ...................................................................... 48
3.8. Kerangka Teori ............................................................................ 48
3.9. Kerangka Konsep Penelitian ....................................................... 48
3.10. Kerangkan Kerja .......................................................................... 49
3.11. Pengolahan Data ......................................................................... 49
3.12. Analisa Data ................................................................................ 50
3.13. Faktor Perancu (Confounding) .................................................... 51
3.14. Batasan Operasional ................................................................... 51
3.15. Etika Penelitian ............................................................................ 53
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
xi
BAB 4. Hasil Penelitian ...................................................................................... 54
4.1. Hasil Analisis Regresi Logistik Univariat ..................................... 54
4.2. Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat ................................... 59
BAB 5. Pembahasan ........................................................................................... 61
BAB 6. Kesimpulan dan Saran ............................................................................ 72
6.1. Kesimpulan .................................................................................. 72
6.2. Saran ........................................................................................... 72
Daftar Pustaka .................................................................................................... 74
Lampiran 1. Kuisioner ..................................................................................... 82
Lampiran 2. Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kasus .............................. 84
Lampiran 3. Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kontrol ............................ 86
Lampiran 4. Persetujuan Penelitian oleh Komite Etik ................................. 88
Riwayat Hidup ..................................................................................................... 89
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1.1. Distribusi karakteristik subjek penelitian .......................................... 54
Tabel 4.1.2. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi dan
stadium tumor ................................................................................. 55
Tabel 4.1.3. Hubungan merokok dengan KNF berdasarkan status merokok,
usia mulai merokok, lama merokok, konsumsi rokok perhari dan
jenis rokok ....................................................................................... 56
Tabel 4.1.4. Hubungan antara konsumsi ikan asin dengan KNF ....................... 58
Tabel 4.1.5. Hubungan antara adanya keluarga yang menderita kanker,
pemakaian lampu minyak, kayu bakar dan obat anti nyamuk
bakar dengan KNF .......................................................................... 59
Tabel 4.2.1. Hasil analisis logistik multivariat hubungan antara usia mulai
merokok, pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin saat
berusia sebelum 10 tahun .............................................................. 59
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah penyakit yang penyebabnya multifaktor. Insiden
dan distribusi geografiknya tergantung pada beberapa faktor, seperti kerentanan genetik,
faktor-faktor lingkungan, diet dan kebiasaan personal (Dhingra, 2004). Banyak teori faktor-
faktor etiologi telah dikemukakan, tapi penyebab pasti masih belum ditemukan (Holt dan
Shockley, 1993). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor,
termasuk genetik, lingkungan dan virus (Yang et al, 2005). Faktor-faktor etiologi ini akan
sangat bergantung kepada individu. Faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih dan salah
satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab terjadinya KNF
(McDermott, et al, 2001).
Hipotesis tentang etiologi KNF dimulai pada awal abad 20, pertama kali dikemukakan
oleh Jackson tahun 1901, yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus
akan merusak epitel saluran nafas. Sejak itu patogenesis KNF secara intensif diteliti,
khususnya ditujukan pada gambaran geografi dan variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini
banyak faktor lingkungan dan biologi telah menunjukkan hubungan risikio terjadinya KNF dan
hasil penelitian termutakhir menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam
perkembangan penyakit ini (McDermott et al, 2001).
Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen,
nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang
berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara
adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan et al, 2001).
Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa asap rokok tembakau
sebagai zat karsinogen. Karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau, dan
kondensasi asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika dioleskan pada kulit tikus
percobaan. Pada akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
2
merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitian-
penelitian kasus kontrol dan kohort (Vinies et al, 2004).
Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana
gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat. Pada tahun 1986, International Agency for
Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat
menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan
tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan
kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus,
dan pankreas. Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal
dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara konsisten dilaporkan dalam
beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan
banyaknya dan lamanya merokok.
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia
diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis karsinogen. Dari penelitian yang ada,
karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds,
inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas
(Armstrong et al, 2000; Drastyawan et al, 2001).
Selain komponen gas, pada asap rokok terdapat komponen padat atau partikel yang
terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin merupakan
bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).
Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran
polusi udara dan asap rokok, serta merupakan lokasi yang dapat berpengaruh buruk terhadap
mukosa dilokasi tersebut. Karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker
(Zhuolin et al, 2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar oleh asap rokok yang
dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al,
1985).
Merokok sebagai faktor risiko, cukup berarti menyebabkan terjadinya kanker pada
berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine dan formaldehyde juga
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
3
mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan
karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring, dengan
demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa
hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang
tidak sama. Namun, Lin et al pada tahun 1971, pada penelitian di Taiwan, melaporkan adanya
peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok.
Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa
penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok
dan KNF (Cheng et al, 1999).
Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) yang diketahui merupakan enzim aktivasi
pada nitrosamine dan karsinogen lainnya, mungkin terlibat dalam perkembangan terjadinya
KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian secara case control mengemukakan bahwa
asap rokok adalah sumber paparan nitrosamine, sehingga dapat mengaktivasi CYP2EI, dan
dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan
dengan risiko terjadinya KNF.
Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan
insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara.
Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan sampai
tidak jumpai adanya hubungan (Zhu et al, 1995). Di Indonesia, khususnya di Medan
Sumatera Utara dengan insiden KNF relatif sedang, belum ada penelitan tentang hubungan
merokok dengan KNF. Atas dasar inilah peneliti tertarik meneliti hubungan antara merokok
dengan KNF di Medan Sumatera Utara.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
Apakah merokok merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
4
1.3. Hipotesis
Ada hubungan antara merokok dengan karsinoma nasofaring.
1.4 Tujuan Penelitian
3.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring.
3.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui risiko perokok dapat menderita karsinoma nasofaring.
2. Melihat karakteristik demografi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan
suku bangsa, pekerjaan, umur, dan jenis kelamin.
3. Melihat hubungan usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap perhari,
lama merokok, dan jenis rokok yang dihisap dengan risiko terjadinya karsinoma
nasofaring.
4. Melihat hubungan faktor-faktor lain selain rokok dengan terjadinya karsinoma
nasofaring.
1.5 Manfaat Penelitian
Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha pencegahan risiko terjadinya karsinoma
nasofaring.
1.6 Kontribusi Penelitian
Sebagai pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok
dan Bedah Kepala Leher.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas
tepi bebas palatum mole yang secara anatomis termasuk bagian faring (Chew, 1997).
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral (Ballenger,
1994). Disamping dilapisi jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga terdapat kelenjar
dan jaringan ikat yang dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar tengkorak. Ukuran rata-
rata dimensi nasofaring pada orang dewasa adalah dengan tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan jarak
anteroposteriornya 3 cm (Chew, 1997).
2.1.2 Batas-batas nasofaring
Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior dari septum nasi. Dinding bawahnya dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole yang membentuk
duapertiga depan nasofaring dan oleh itsmus nasofaringeal.
Atap dan dinding posterior membentuk permukaan yang miring dibentuk oleh tulang sfenoid, basioksiput dan dua tulang servikal yang paling atas sampai pada level
palatum mole. Bagian paling atas dari dinding posterior, tepat di depan dari tulang
atlas terdapat jaringan limfoid yang melekat pada mukosa (tonsil faringeal atau
adenoid) (Chew, 1997).
Tiap dinding lateral nasofaring terdapat muara dari tuba faringotimpanik (tuba eustakhius). Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dibelakang ujung posterior dari konka
inferior, sedikit di level bawah dari palatum durum. Ujung medial dari kartilago tuba
membuka, terbentuk seperti koma. Di belakang dan atas dari kartilago tuba terdapat
faringeal reses atau fossa Rosenmuller (Beasley, 1997).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
6
2.1.3 Jaringan lunak pembentuk rongga nasofaring
a. Selaput lendir (mukosa) nasofaring
Mukosa nasofaring permukaannya tidak rata dan mempunyai tonjolan dan
lekukan. Pada orang dewasa luasnya lebih kurang 50 cm persegi. Kira-kira 60% dari
total permukaan epitel dilapisi oleh epitel skuamosa stratified. Disekitar koana dan
atap nasofaring diliputi oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap
nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan epitel bersilia, bercampur
dengan kumpulan-kumpulan epitel kecil transisional. Dinding belakang sebagian besar
terdiri dari epitel skuamosa (Chew, 1997).
Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva.
Jaringan kelenjar limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang merupakan
kumpulan sel limfoid tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat
germinal tanpa kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke
bagian lateral kelenjar limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik,
dan rantai kelenjar limfe spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat
bervariasi dan terdiri dari epitel skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia
dan epitel tak beraturan. Selama masa kehidupan janin terdapat perubahan secara
bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai epitel skuamosa di bagian bawah
dan belakang nasofaring (Chew, 1997; Witte dan Bryan, 1998).
b. Jaringan submukosa nasofaring
Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2)
aponeurosis faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot
dinding nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdiri atas
2 lapisan yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini
disebut sinus morgagni.
Fasia faring dinding posterior dan lateral meekest at panda tuberculin faring
yang merupakan tonjolan tulang dari basis oksiput dan berada tepat di depan foramen
magnum. Ke arah lateral dari masing-masing sisi, fasia ini berada pada permukaan
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
7
bawah pyramid petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan anterior terdapat
pada apeks dari pars petrosus os temporal dan merupakan batas posterior dari lamina
pterigoid interna. Fasia ini melanjutkan diri sebagai jaringan fibrosa dan mengisi
foramen laserum yang hanya dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan
fibrokartilago (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).
2.1.4 Pendarahan dan persarafan
Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang
faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring
dan berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah.
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor
faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus
(IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus.
Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya
daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan
sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila
saraf trigeminus (V1) (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).
2.1.5 Sistem limfatik nasofaring
Nasofaring mempunyai anyaman limfatik submukosa yang banyak. Bagian
aliran limfe yang pertama adalah pada kelenjar di retrofaringeal yang terdapat diantara
dinding posterior nasofaring, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra (Chew, 1997).
Pada nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral,
bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1994).
Kumpulan jaringan limfe, disebut tonsil faringeal, dijumpai pada membran mukosa yang
melapisi basis sfenoid (Beasley, 1997).
Dibandingkan dengan mukosa saluran napas lainnya, mukosa nasofaring
mengandung banyak sekali jaringan limfoid. Struktur limfoid ini banyak terdapat di
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
8
dinding lateral terutama disekitar muara tuba eustakius, dinding posterior dan bagian
nasofaring di palatum mole. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari
cincin Waldeyer (Chew, 1997).
2.2 Karsinoma Nasofaring (KNF)
2.2.1 Karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang terjadi
pada lapisan epitel di nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yang
bervariasi dan sering tampak pada pharyngeal recess (fossa Rosenmullers) (Wei dan
Sham, 2005). Karsinoma nasofaring termasuk karsinoma sel skuamosa kepala dan leher
yang unik. Insiden terjadinya secara geografis menunjukkan gambaran yang bervariasi.
Walaupun KNF jarang terjadi di seluruh dunia, tumor ini merupakan salah satu tumor
ganas yang sering terjadi di negara-negara Asia Tenggara maupun di China, dimana
insidennya dari 20 sampai 50 per 100.000 penduduk (Krishna et al, 2004).
2.2.2 Patologi Karsinoma Nasofaring
a. Makroskopis
Secara makroskopis pertumbuhan karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi
3 bentuk, yaitu ulseratif, nodular, dan berbentuk eksofitik. Dari 211 kasus KNF, Choa
mendapatkan 59% (124) berbentuk ulseratif, 25% (55) nodular, dan 15% (32) eksofitik.
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering dijumpai pada dinding posterior atau di daerah fosa
Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan tuba eustakhius
dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan nekrotik dan sangat
mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor bentuk ini dapat
berkembang dari dinding lateral atau atap nasofaring ke daerah petrosfenoid di basis
kranii melalui saluran yang dibentuk oleh faring. Penjalaran ke intrakranial sangat
mudah terjadi melalui daerah lemah foramen laserum dan ovale. Penjalaran secara
petrosfenoid ini akan mengenai ganglion Gaseri dan sinus kavernosus beserta saraf-
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
9
saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar, meluas dan merusak foramen-
foramen di basis kranii dan masuk kedalam fosa kranii media.
2. Bentuk noduler/lobuler
Bentuk ini paling sering timbul di daerah tuba eustakhius, sehingga cepat
menyebabkan sumbatan tuba. Tumor ini biasanya berbentuk seperti anggur atau
polipoid tanpa ada ulserasi kecil bila dibandingkan dengan besarnya tumor yang
terlihat. Tumor ini mula-mula mengadakan infiltrasi di sekitar tuba eustachius dan
meluas masuk ke dalam ruang maksilofaring dan mengadakan kompresi cabang
mandibular saraf trigeminus (V2), tumor dapat menjalar ke bawah mendesak
palatum mole dan mudah menyebar ke daerah petrosfenoid di basis kranii.
Walaupun saraf-saraf kranial berada di sekitar tumor dan pertumbuhan tumor sangat
cepat, tetapi kompresi saraf-saraf kranial baru timbul setelah terjadi erosi basis kranii
dan masuk ke dalam fosa serebri media. Pada stadium lanjut tumor dapat
mengadakan invasi ke dalam rongga orbita melalui fisura orbita inferior dan melalui
sinus etmoid masuk ke sinus maksila.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk ini biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak terdapat ulserasi,
kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor ini tumbuh dari atap
dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor dapat mendorong palatum mole ke
bawah dan tumbuh ke arah koana dan masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini
cepat mencapai sinus maksila dan rongga orbita sehingga menyebabkan
eksoptalmus unilateral atau menonjol ke luar nares anterior. Pada daerah tuba
eustakhius, tumor bentuk ini lebih cenderung tumbuh secara submukosa ke arah
basis kranii. Kompresi saraf kranial terjadi bila besarnya tumor cukup besar
(Ackerman dan Del Regato, 1970, Armiyanto, 1993).
b. Mikroskopis (histopatologi)
Klasifikasi histologi secara garis besar membagi jenis histologi KNF menjadi 2
kelompok yaitu: karsinoma sel skuamosa dengan beberapa tingkat diferensiasi dan
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
10
karsinoma tidak berdiferensiasi dengan beberapa variasi sel limfoepithelioma (Cottrill
dan Nutting , 2003)
Tumor ganas nasofaring terdiri dari :
1. Karsinoma nasofaring (KNF)
a. WHO Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
b. WHO Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
c. WHO Tipe 3 : Karsinoma sel tidak berdiferensiasi
2. Limfoma non-Hodgkins (jarang terdapat limfoma Hodgkins)
3. Karsinoma adenoid kistik
4. Adenokarsinoma dan tumor-tumor kelenjar saliva minor
5. Placmacytoma
6. Melanoma
7. Sarkoma (terutama rabdomiosarkoma)
8. Chordoma (Cottrill & Nutting, 2003).
Klasifikasi menurut WHO sejak tahun 1978 ada tiga tipe histologik karsinoma
nasofaring (Chew, 1997; Licitra et al 2003) :
1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing)
a. well differentiated
b. moderately differentiated
c. poorly differentiated
2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing)
3. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated)
WHO tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing)
Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus aerodigestif.
Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian
sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada sel
yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan intersel
(intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin disebabkan karena sel
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
11
mengalami pengkerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat sediaan. Dua puluh
lima persen KNF merupakan karsinoma WHO tipe 1 di Amerika Serikat, namun hanya
1-2% di populasi endemik
WHO tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing)
Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa,
namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan
masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun
teratur/berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel
tumor yang jernih/terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel,
serta tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.
WHO tipe 3. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated)
Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor
yang berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor
berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang hiperkromatik
dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi musin. KNF WHO
tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun di
populasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya
ditemukan sebanyak 60% (Armiyanto, 1993; Witte dan Neel, 1998; Lin et al, 2003;
Zimmermann et al, 2006).
2.2.3 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring mempunyai pola yang berbeda secara epidemiologi
(Chew, 1997). Tumor ganas ini termasuk penyakit yang jarang terjadi disebagian
besar bagian dunia, dimana insidennya secara umum rata-rata kurang dari 1 per
100.000 penduduk tiap tahunnya. Namun, penyakit ini merupakan salah satu tumor
ganas yang sangat biasa terjadi pada penduduk di China Selatan dan Asia Tenggara,
dengan insiden antara 20 sampai 50 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (Wei dan
Sham, 2005; Yang et al, 2005).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
12
Insidennya diantara penduduk China dan Asia Tenggara 10 50 kali lebih
tinggi dibanding dengan negara-negara lainnya. Tumor ini tidak secara kuat
berhubungan dengan ras mongoloid secara serta merta, seperti yang ada di China
bagian Utara, Korea, dan Jepang yang insidennya adalah rendah. Insiden paling
tinggi, 30 50 per 100.000 penduduk laki-laki, terjadi di China bagian Selatan, di pusat
Propinsi Guangdong dan di daerah otonomi Guangxi. Insiden tinggi, 15 30 per
100.000 penduduk laki-laki, terjadi di Hong Kong, ras china di Asia Tenggara dan
emigran ras china ditempat lainnya. Insiden sedang, 5 15 per 100.000 penduduk
laki-laki dijumpai diantara ras Asia Tenggara lainnya (orang Malaysia, Indonesia,
Thailand, Vietnam dan Filipina), orang Eskimo (di Kanada, Alaska dan Greenland) dan
beberapa orang Afrika Utara. Populasi di Malta, Tunisia, Algeria, Maroko dan Sudan
mempunyai insiden paling rendah dibanding negara-negara Asia, tapi tetap lebih tinggi
dibanding kejadian di Amerika dan Eropa (Chew, 1997).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
terbanyak ditemukan di Indonesia, menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan
pada pria dan urutan ke-4 dari seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas
mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan umur, insiden
meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun
(Roezin, 1995; Susworo, 2004).
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti
oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas
rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Roezin dan Syafril, 2001).
Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al,
2004).
Di RSUP H.Adam Malik Medan selama Januari 1991 sampai April 1996
didapatkan 94 kasus KNF dari 160 kasus tumor ganas (Adnan,1996), sementara pada
tahun 1998 2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi
kepala dan leher (Lutan, 2003). Dari data rekam medik jumlah pasien KNF yang
datang berobat dari tahun 2002 - Agustus 2007 ditemukan 924 orang, laki-laki
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
13
berjumlah 630 orang dan perempuan 294 orang, dengan rentang usia 15-82 tahun
(Devira, 2007).
Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN
Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS
Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25
kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula
angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan daerah lain
menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia (Roezin dan Syafril,
2001).
Dalam banyak studi dilaporkan insiden kejadian KNF menurut jenis kelamin,
penderita laki-laki selalu lebih banyak dibanding perempuan. Pada populasi dengan
risiko tinggi, perbedaan ini sangat signifikan, seperti di Cina dan Singapura, rasio laki-
laki dan perempuan adalah 2,3 : 1; dan di Hongkong rasionya 2,5 :1. Perbandingan di
Indonesia adalah 2-3 : 1 (Susworo, 2004). Berdasarkan umur, dilaporkan penderita
KNF termuda berumur 2 tahun dan paling tua 91 tahun (McDermott et al, 2001),
sedangkan di Indonesia umur termuda 4 tahun dan tertua 84 tahun (Roezin,1995).
2.2.4 Etiologi dan faktor predisposisi
Etiologi KNF masih belum pasti (Chew, 1997) Sekarang ini, sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, termasuk genetik,
lingkungan dan virus (Licitra et al, 2003; Yang et al, 2005).
Spekulasi dan hipotesis tentang etiologi dari KNF dimulai pada awal abad 20.
Hipotesis tentang etiologi KNF pertama kali dikemukakan oleh Jackson tahun 1901,
yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus, merusak epitel
saluran nafas. Dia menyimpulkan iritasi tersebut tidak dapat menyebabkan KNF,
seperti kejadian pada kanker laring yang lebih sering. Sejak itu patogenesis KNF
secara intensif diteliti, khususnya perhatian ditujukan pada gambaran geografi dan
variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini banyak faktor lingkungan dan biologik telah
menunjukkan hubungan risikio terjadinya KNF, dan hasil riset termutakhir
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
14
menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam perkembangan dari
penyakit ini (McDermott et al, 2001).
a. Faktor genetik
Pada sel normal pertumbuhan (pembelahan/proliferasi) dan diferensiasi diatur
oleh gen yang disebut proto-onkogen. Pembelahan pada sel normal terjadi bila ada
rangsang pertumbuhan yang diterima oleh reseptor faktor pertumbuhan (growth factor
receptor) yang terletak pada membran sel. Pesan tersebut kemudian diteruskan
melalui membran sel ke dalam sitoplasma, yang seterusnya melalui penghantar
isyarat di dalam sitoplasma akan disampaikan ke dalam inti. Rangsang pertumbuhan
selanjutnya akan mengaktifkan faktor pengatur inti untuk memulai transkripsi DNA
(Tjarta, 1998).
Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal
ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak
mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivasi proto-
onkogen menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen,
translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam berbagai elemen yang
dalam keadaan normal berfungsi untuk mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Mutasi
proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun
perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen
supresor (tumor suppresor genes atau anti-onkogen) yang berperan menginduksi
terhentinya siklus sel atau menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen
yang berperan dalam pengawasan ini terganggu akibat mutasi atau hilang (delesi),
maka sel bersangkutan akan menjadi rentan terhadap transformasi ganas (Murphy
dan Levine, 2001; Kresno, 2005).
Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen
selalu menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan
diferensiasi sel. Sejauh aktivasi ini terjadi karena mutasi, hal ini disebut mutasi
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
15
dominan. Mekanisme onkogen merangsang pertumbuhan pada sel neoplastik adalah
sebagai berikut:
a. Mengkode pembuatan protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth
factor) yang berlebihan (overekspresi) dan merangsang diri sendiri (autokrin),
misalnya c-sis (cellular-sis)
b. Memproduksi reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang tidak
sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus menerus, meskipun tidak ada
rangsang dari luar, misalnya c-erb B
c. Pada amplifikasi gen terbentuk reseptor faktor pertumbuhan yang berlebihan,
sehingga sel tumor sangat peka terhadap faktor pertumbuhan dengan konsentrasi
di bawah ambang rangsang normal, misalnya c-neu.
d. Memproduksi protein yang berfungsi sebagai penghantar isyarat di dalam sel yang
tidak sempurna, yang terus menerus menghantarkan isyarat, meskipun tidak ada
rangsang dari luar sel, misalnya c-K-ras
e. Memproduksi protein yang berkaitan langsung dengan inti yang merangsang
pembelahan sel, misalnya c-myc
Tumor tidak hanya terbentuk karena aktivasi onkogen yang bekerja dominan,
tetapi dapat terjadi akibat hilangnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat
pertumbuhan sel yang disebut anti-onkogen atau gen supresor tumor. Pada
pertumbuhan dan diferensiasi sel normal, anti-onkogen bekerja menghambat
pertumbuhan dan merangsang diferensiasi sel. Beberapa anti-onkogen ialah gen p53,
Rb, APC, WT, DCC, NFI, NF-2 (Suryanto, 2006).
b. Faktor lingkungan
Sangkaan bahwa faktor genetik berperan jelas sebagai penyebab dan juga
peran beberapa kofaktor lingkungan adalah sama pentingnya. Berbagai faktor
lingkungan dan agent yang termasuk dalam etiologi karsinoma nasofaring adalah;
Virus Epstein-Barr (peningkatan antibodi, viral genome di dalam sel tumor), bahan
kimia (tembakau, obat-obatan, jamu-jamuan, produk tanaman, makanan atau diet
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
16
seperti ikan asin, nitrosamin, makanan fermentasi), kebiasaan memasak (asap
bakaran dan uap), praktek keagamaan (dupa cina dan harum-haruman), terpapar
lingkungan kerja (uap dan kimia industri, partikel logam, debu kayu, formaldehid), dan
lain-lain (status ekonomi, penyakit-penyakit THT sebelumnya, defisiensi gizi, logam
seperti arsenik, kromium, dan nikel) (Chew, 1997).
1. Infeksi Virus Epstein-Barr (VEB)
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960 dalam
biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang
diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah
diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa,
penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp
dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya
di orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada
sel ini, menetap pada pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang
berarti (McDermott et al, 2001).
Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan
protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis
infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel
terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi
keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam
nucleus, sitoplasma dan membrane sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi
respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada
infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein lain adalah
LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB
mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa
virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel
T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami
transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral
terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
17
terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor
tersebut secara in vivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun
seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat
mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas
(McDermot et al, 2001).
2. Faktor makanan
Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang
merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai salah
satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang tinggi
pada masyarakat nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang
diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur dan
buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 pasien
KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin
semenjak usia di bawah 10 tahun.Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga
terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke Negara lain seperti
Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga
didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, dan
Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002).
Ikan asin ala orang Kanton dimakan dalam bentuk digoreng atau berupa sup
kepala ikan asin yang merupakan makanan tradisional penduduk Cina Selatan.
Makanan ini dibuat dari ikan laut yang isi perutnya dikeluarkan melalui mulut (tanpa
disayat) kemudian direndam dalam air garam dalam tong yang terbuat dari kayu
selama 1-5 hari, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari. Selama
pengeringan sering terdapat infestasi lalat yang menyebabkan pembusukan sebelum
terjadi proses pengasinan. Konsumsi ikan asin secara banyak dimasa kecil
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya KNF. Yu dkk mendapatkan kira-kira 50 %
kasus KNF di kota Tianjin Cina selatan yang mempunyai insidens KNF yang rendah,
mengkonsumsi ikan asin sejak usia muda (Yu et al, 1990; McDermott et al, 2001)
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
18
Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung
nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya
KNF pada umur dewasa (Roezin, 1996).
3. Radang kronis
Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, maka mukosa nasofaring
menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Ahmad, 2002).
4. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu,
asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa (kemenyan), obat-obatan
tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum
dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan
pasien KNF. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai
resiko menderita KNF. Sedangkan peminum alkohol tidak dijumpai ada hubungan
resiko terjadinya KNF. Yu dkk tahun 1990, melaporkan bahwa pada orang merokok
lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang bukan perokok
(Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan
karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo anthrancene, gas kimia, asap industri,
asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan. Adanya peradangan menahun di
nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen
penyebab KNF (McDermott et al, 2001; Ahmad, 2002).
2.2.5 Karsinogenesis secara umum
Sel tumor ialah sel tubuh kita sendiri yang mengalami perubahan
(transformasi) sehingga bentuk, sifat dan kinetikanya berubah, sehingga tumbuhnya
menjadi autonom, liar tidak terkendali dan terlepas dari koordinasi pertumbuhan normal.
Akibatnya timbul tumor yang terpisah dari jaringan tubuh normal (Sukardja, 2000).
Transformasi sel terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan
diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau supresor gen (anti onkogen). Spektrum
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
19
kerusakan itu sangat luas, dapat dari ringan dan terbatas sampai berat serta luas
(Sukardja, 2000; Irish et al, 2003).
Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami
sebanyak 1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai kemungkinan 106
mengalami mutasi spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi. Jika tiap mutasi dapat
merubah sel normal menjadi kanker, maka kita tidak mungkin dapat berfungsi sebagai
makhluk hidup. Penelitian epidemiologi menunjukkan kemungkinan perubahan menjadi
kanker tidaklah konstan, tetapi bertambah dengan bertambahnya umur. Penelitian
komparatif dari berbagai tumor menunjukkan bahwa aktivasi gen myc dapat merubah
sel itu menjadi immortal (tidak dapat mati), dan aktivasi gen ras atau famili ras dapat
menjadikan transformed sel. Pada manusia gen yang sering mengalami mutasi ialah
gen c-myc, K-ras, hst-1 dan neu (Sukardja, 2000).
Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor suppressor genes
meningkatkan pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekuler patogenesis
kanker. Pemahaman tentang patogenesis kanker tersebut diperoleh dari berbagai
percobaan binatang dan percobaan laboratorium yang mengungkapkan bahwa mutasi
satu atau lebih gen akan menyebabkan penyimpangan dalam pertumbuhan sel yang
berakibat transformasi sel kearah ganas. Sekalipun tampaknya sederhana, pada
hakekatnya tumorigenesis pada manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang
berlangsung melalui berbagi tahapan (multistep/multistage process). Bahwa kanker
terjadi melalui proses multistep dibuktikan dengan berbagi penelitian, diantaranya bukti
tidak langsung yang diperoleh dari studi epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologi
adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Bukti lain adalah
bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara paparan pertama terhadap bahan
karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker, demikian pula peningkatan insiden
kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah dijatuhkannya bom atom di Jepang.
Bila ditinjau dari aspek genetik dan molekuler, sudah diterima secara luas bahwa
perkembangan kanker disebabkan akumulasi kelainan atau mutasi beberapa gen
(multiple genetic alterations) yang berinteraksi satu dengan lain untuk pada akhirnya
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
20
menghasilkan transformasi sel. Mutasi beberapa jenis gen tertentu yang diwariskan
menyebabkan kecenderungan seseorang menderita kanker, jadi dalam hal ini faktor
keturunan merupakan faktor yang penting, tetapi penyebab kelainan gen yang berakibat
kanker sebagian besar berasal dari luar (eksogen). Di antara faktor eksogen adalah
berbagai jenis virus khususnya virus onkogenik, misalnya virus hepatitis B, Epstein Barr,
HTLV-1, berbagai bahan kimia dan radiasi khususnya radiasi pengion. Tetapi tidak
semua mutagen berasal dari luar (eksogen). Akhir-akhir ini diketahui bahwa kerusakan
DNA sebagi reaksi metabolik endogen yang menghasilkan reactive oxygen
intermediates (ROI) dalam jumlah besar juga berpotensi menimbulkan keganasan
(Kresno, 2004).
Mekanisme karsinogenesis baik biokimiawi maupun molekuler berbeda antara
satu karsinogen dengan yang lain, bergantung pada struktur dan sumber karsinogen
masing-masing, tetapi pada dasarnya sasaran karsinogen adalah menimbulkan lesi
pada untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen. Dalam beberapa tahun
terakhir telah terungkap bagaimana hubungan karsinogen dengan lesi DNA dan jenis
mutasi gen yang ditimbulkannya, demikian pula peran gen DNA repair dan respons
tubuh lainnya terhadap kerusakan DNA. Berbagai jenis onkogen dan gen supresor
(tumor suppressor gene) yang berperan sebagai regulator siklus sel atau pertumbuhan
dan diferensiasi sel pada umumnya merupakan sasaran lesi onkogenik (Kresno, 2004).
2.2.6 Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya
a. Karbohidrogen polisiklik
Dalam golongan ini termasuk bermacam-macam derivate batubara, seperti
dimetilbenzantrasen, benzpiren dan metilkolantren. Zat-zat ini dapat menginduksi tumor
pada jarak jauh baik atas dasar aplikasi maupun sesudah absorpsi. Tidak mustahil
bahwa benzpiren merupakan faktor penting dalam terjadinya karsinoma bronkus pada
perokok berat.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
21
b. Amina aromatik
Dalam golongan ini termasuk naftilamina, benzidin, asetilaminofluoren dan zat-
zat warna azo. Naftilamin merupakan salah satu penyebab terpenting kanker kandung
kemih. Terutama pekerja yang berhubungan dengan produksi dan pemrosesan zat
warna aniline, di antaranya di dalam industri tekstil, mendapat kontak dengan zat-zat ini.
c. Nitrosamina dan nitrosamida
Meskipun ada dugaan bahwa zat-zat tersebut dapat memicu terjadinya tumor
pada manusia belum dapat dibuktikan dengan meyakinkan. Zat-zat tersebut mempunyai
arti penting untuk onkologi eksperimental. Zat tersebut merupakan karsinogen distal
yang khas, yang seringkali menunjukkan spesifitas yang mencolok mengenai induksi
tumor-tumor dalam organ tertentu. Etylnitrosamina yang termasuk dalam golongan ini
pada tikus hamil dapat menembus plasenta yang mengakibatkan terjadinya tumor otak
pada anak-anaknya.
d. Karsinogen pengalkil
Dalam golongan ini termasuk beberapa siklofosfamid. Karena bentuk kanker
tertentu dapat disembuhkan dengan kemoterapi, harus diperhatikan sifat onkogen
golongan obat ini. Kemoterapetika kebanyakan merupakan karsinogen proksimal.
Malignitas kedua merupakan komplikasi yang telah dikenal dari kemoterapi (juga dari
radioterapi).
e. Asbestos dan beberapa logam karsinogen
Terutama frekuensi yang meningkat dari mesotelioma dan juga karsinoma
bronkus pada pekerja di dalam industri yang menggunakan asbes, juga di negeri kita,
telah sangat menarik perhatian. Berilium, kadmiun, kobalt, nikel dan timah sebagai ion
bersifat elektrofil, karena itu bahan mungkin dapat mengikatkan diri kepada molekul-
molekul yang aktif biologik dan itu menimbulkan tranformasi sel.
f. Karsinogen alamiah
Berlawanan dengan karsinogen yang disebutkan di atas, karsinogen alamiah ini
merupakan produk-produk metabolik sel terutama dari bermacam-macam jamur.
Mereka terdapat begitu saja di dalam lingkungan alamiah. Paling dikenal dari mikotoksin
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
22
ini adalah aflatoksin suatu produk dari Aspergillus flavus. Data epidemiologik
menunjukan kemungkinan bahwa toksin ini yang antara lain didapat dalam kacang-
kacangan yang jamuran, mempunyai peran dalam terjadinya kanker hepar pada
manusia (Bosman,1999).
2.2.7 Mekanisme karsinogenesis
Pada umumnya karsinogen kimia merupakan senyawa elektrofilik atau dapat
dimetabolisme menjadi senyawa yang memiliki sifat tersebut. Senyawa elektrofilik ini
dapat bereaksi dengan pusat nukleofilik (terutama atom N dan O, kadang-kadang S)
pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Pengikatan secara kovalen dan
perubahan pada molekul-molekul vital ini tidak dapat diperbaiki, menetap, dan
mengakibatkan hilangnya sifat serta kontrol pertumbuhan sel yang normal (transformasi
ganas). Perubahan pada DNA diyakini berkaitan dengan mutasi, seperti mutasi titik
(substitusi pasangan basa) atau mutasi frame-shift, yang berakibat pengaktifan onkogen
(misalnya ras proto-onkogen) dan inaktivasi gen supresor tumor. Karsinogen yang
menyebabkan perubahan pada metri genetic disebut genotoksik. Asbes merupakan
karsinogen non-genotoksik, menyebabkan disjunction melalui pengikatan pada spindle
fibers pada saat mitosis dan menyebabkan anueploidi (Bosman, 1999; Asikin, 2001).
Eksperimen Berendbulm pada tahun 1941 pada mencit yang dicat berulang
kali selama beberapa waktu dengan benzo [a]piren (= B[a]P, suatu hidrokarbon
aromatik) pada kulit yang telah dicukur, berakibat pertumbuhan tumor pada bagian kulit
tersebut. Pengecatan dengan B[a]P hanya satu kali, dan dilanjutkan dengan pemberian
minyak kroton beberapa kali, juga menyebabkan terjadinya tumor kulit. Perlakuan
dengan minyak kroton saja ternyata tidak berpengaruh. Berenblum sampai pada
kesimpulan yang diterima sampai kini bahwa karsinogenesis merupakan peristiwa yang
berlangsung melalui beberapa tahapan (multistep), dari tahap inisiasi yang bersifat
ireversibel dan memerlukan karsinogen, promosi yang reversible, dan selanjutnya
progresi dan metastasis (Bosman, 1999; Asikin, 2001; Irish, 2003).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
23
Tahapan proses karsinogenesis dapat dirinci sebagai berikut :
1. Tahap 1 (bila perlu) biotransformasi suatu zat pro-karsinogen menjadi senyawa
yang reaktif (elektrofilik) terhadap DNA.
2. Tahap 2 (inisasi) pengikatan kovalen kepada DNA.
3. Tahap 3 (inisiasi) stabilisasi mutasi pada DNA (aktivasi onkogen atau inaktivasi
supresor).
4. Tahap 4 (promosi) ekspresi mutasi, perubahan fungsi selular (ekspresi gen,
fungsi reseptor).
5. Tahap 5 (promosi) pertumbuhan neoplastik, terdeteksi secara klinik atau
patologi.
6. Tahap 6 (progresi) manifestasi pertumbuhan tumor secara kualitatif dan
kuantitatif.
7. Tahap 7 (metastasis) penyebaran sel yang mengalami transformasi ke bagian
lain tubuh, berkembang menjadi tumor sekunder.
Proses karsinogenesis pada manusia dapat berlangsung selama 15-30 tahun.
Pada tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang tepat dari suatu bahan karsinogen
inkomplit, menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, yang bila sel membelah
diteruskan ke generasi berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa laten secara klinik.
Senyawa kimia yang dapat memulai (inisiasi) proses transformasi sel normal menjadi
ganas berbagai hidrokarbon aromatic dan aflatoksin B1 disebut sebagai prokarsinogen.
Beberapa senyawa dapat meningkatkan keampuhan karsinogen dan disebut
kokarsinogen, bekerja dengan mengubah ambilan atau metabolisme karsinogen oleh
sel. Contohnya alkohol pada karsinoma sel skuamosa (SCC), pirogalol pada SCC akibat
B[a]P, dan senyawa arsenit pada kanker akibat sinar ultraviolet (Asikin, 2001).
Faktor-faktor yang mempermudah karsinogenesis mempersingkat masa laten
tumor dan disebut promoter. Struktur kimia promoter sangat bervariasi, seperti sakarin,
fenobarbital, estrogen, prolaktin, dan ester forbol. Mekanisme promosi belum diketahui
dengan jelas, berbagai promoter kelihatannya bekerja dengan merangsang proliferasi
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
24
sel. Ester forbol diketahui mengakibatkan single-strand break pada DNA, disamping
berikatan dengan reseptor membran, suatu protein kinase C, yang merupakan
perantara dalam kegiatan PDGF (platelet derived growth factor), mitogen yang disandi
oleh proto-onkogen c-sis. Pengaktifan protein kinse tersebut mempengaruhi
metabolosme fosfat, meningkatkan ion Ca++ serta pH intraseluler, dan selanjutnya
memicu proliferasi sel (Asikin, 2001).
2.2.8 Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring
a. Bahan karsinogen di dalam rokok
Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu
oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan
partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat
kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan dkk, 2001). Merokok
adalah suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, pada hakekatnya
merupakan suatu proses pembakaran massal tembakau yang menimbulkan polusi
udara padat dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh
tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang et al, 2002)
Dewasa ini 80% perokok tinggal di negara-negara berkembang, Di tahun 1997
ada 5,7 triliun rokok yang dikonsumsi di dunia. Lima besar konsumen rokok di dunia
adalah China dengan 1,679 triliun batang setahunnya, Amerika Serikat 480 milyar
batang, Jepang 316 milyar batang, Rusia 230 milyar batang dan Indonesia diurutan
kelima yang mengkonsumsi 188 milyar batang rokok setahunnya (Aditama, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok
(LM3) di 14 Propinsi di Indonesia mendapatkan 59,04% laki-laki perokok berumur 10
tahun ke atas, sedangkan pada perempuan hanya 4,83%. Sementara itu data Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2001,
menunjukkan secara keseluruhan (laki-laki dan perempuan) 31,5% penduduk Indonesia
merokok (Aditama, 2004). Di Indonesia jenis rokok yang terbanyak dikonsumsi adalah
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
25
rokok kretek (81,34%) yaitu rokok yang berisi campuran tembakau dengan cengkeh
(Caldwell, 2001).
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis
kimia diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis kasinogen. Dari penelitian yang
ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various
organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan
beberapa radikal bebas (Haugen, 2000; Drastyawan et al, 2001; Port et al, 2004).
Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari
nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin bukan
karsinogen (Pfiefer et al,2002), tapi merupakan bahan adiktif yang menimbulkan
ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).
Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik
dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia
Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai
hubungan dan ada yang tidak mempunyai hubungan (Zhu et al, 1995).
Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa merokok
tembakau sebagai zat karsinogen. Di akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan
tentang hubungan merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah
diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort, dan karsinogen telah
teridentifikasi dalam asap rokok tembakau. Asap rokok dapat menyebabkan terjadinya
tumor ketika tar asap rokok tersebut dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada dekade
sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini
terjadi pada perokok-perokok berat (Sasco et al, 2004; Vinies et al, 2004).
b. Merokok dan kanker.
Karsinogenesis adalah suatu studi tentang asal muasal kanker. Penelitian
pada sistem biologi dapat dilakukan untuk menghasilkan suatu observasi yang dapat
mengetahui tentang tahap-tahap yang terjadi pada perubahan dari sel normal menjadi
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
26
sel kanker. Dugaan hubungan antara penggunaan tembakau dan kanker telah
dikemukakan oleh Hill (Marshal, 1993). Potensi bahan karsinogen di dalam asap rokok
dan hubungannya dengan kanker dapat dievaluasi dengan cara yang bervariasi, akan
tetapi sangatlah penting untuk mempertimbangkan komponen-komponen yang ada di
dalam asap rokok tersebut dan kemampuannya untuk menginduksi tumor dalam
percobaan pada hewan. (Pfiefer et al, 2002).
Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa asap tembakau adalah
campuran bahan karsinogen yang multipoten. Dengan kemajuan dalam biokimia dan
biologi molekuler telah dilakukan riset-riset untuk mengukur bahan-bahan metabolit
rokok dalam cairan dan organ tubuh yang berbeda, untuk mengukur karsinogen-protein
dan karsinogen-DNA, dan untuk mengidentifikasi kerusakan genetik (mutasi atau
penyimpangan kromosom) yang berhubungan dengan merokok (Venies et al, 2004).
Pada kanker paru, terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa bahan
karsinogen polycyclic aromatic amines (PAHs) dan nitrosamines adalah bahan yang
sangat penting dalam menginduksi kanker paru. Bahan tersebut merupakan karsinogen
yang kuat, dan jumlahnya relatif banyak di dalam tembakau. Selanjutnya, penelitian ini
menunjukkan bahwa jaringan paru manusia dapat memetabolisme PAHs menjadi
metabolit yang reaktif, dimana dapat berinteraksi dengan DNA, membentuk DNA yang
mutagen. Terbentuknya DNA mutagen adalah suatu permulaan dalam proses
karsinogenesis. Konsentrasi nitrosamines yang ditemukan didalam tembakau relatif
tinggi, dan pada perokok berat mempunyai tingkat keterpaparan yang tinggi terhadap
nitrosamines. Penamaan tobacco spesific N-nitrosamines (TSNA), secara prinsip
4(methylnitrosamino) -3-(3-Pyridyl)-1-butanone (NNK), adalah bahan karsinogen yang
sangat kuat pada saluran napas yang teridentifikasi di dalam produk rokok (Haugen,
2000).
Pada asap rokok terdapat logam-logam yang relatif banyak. Sedikitnya 30
logam telah teridentifikasi. Kromium, kadmium dan nikel terdapat di dalam asap rokok.
Yang pasti logam-logam tersebut diketahui sebagai bahan karsinogen. Bukti eksperimen
mengindikasikan banyak bahan logam adalah efektif sebagai inisiator dalam proses
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
27
karsinogenesis, tapi dapat juga menjadi promotor yang potensial selama proses
karsinogenesis (Haugen, 2000).
Ivy dari Universitas Illinois Amerika Serikat yang telah bertahun-tahun
menyelidiki rokok, menemukan bahwa orang yang merokok sebungkus perhari selama
10 tahun, menghirup sekitar 7 liter tar dalam jangka waktu tersebut (Caldwell, 2001).
Selanjutnya pernyataan tersebut dikaji ulang oleh Graham dan Wynder.
Mereka mengecat punggung tikus dengan tar tembakau. Eksperimen ini sebenarnya
sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, tetapi tidak menghasilkan kesimpulan yang
meyakinkan. Menurut kedua peneliti ini, penyebabnya adalah pada penelitian yang
terdahulu tidak dikerjakan dalam waktu yang lama, sehingga sebelum hasilnya terlihat
penelitian sudah dihentikan. Kali ini Graham dan Wynder akan menyempurnakan
penelitian itu, dengan menggunakan larutan tar yang lebih pekat dan periode percobaan
yang lebih panjang. Tar yang mereka gunakan diambil dari asap rokok yang dihasilkan
oleh sebuah mesin yang mampu menghisap 60 batang rokok sekaligus. Tar yang sudah
dikumpul dilarutkan oleh suatu pelarut, kemudian dioleskan pada punggung tikus yang
telah dicukur terlebih dahulu, tiga kali dalam seminggu. Selama dua bulan pertama,
secara bertahap mereka menaikkan kadar larutan tar sebesar tiga kali dari kadar
sebelumnya. Pada pekan ke-42, seekor tikus memperlihatkan gejala awal penyakit
kanker. Memasuki pekan ke-72, rata-rata setiap tikus telah terserang kanker (Caldwell,
2001).
Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan antara merokok
dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher menyatakan
bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher,
didapati mutasi gen p53 yang mempunyai hubungan kuat dengan merokok.
Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa perokok merupakan
major risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher. Penelitian ini menunjukkan
hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan perokok, dimana
kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat besar (Daly, 1993).
Juga didapatkan hubungan antara lama merokok dan banyaknya rokok yang
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
28
dikonsumsi dengan tren positive dose-respons relationship (Uzcudun et al, 2002; Sasco
et al, 2004; Pinar et al, 2007). Pada hasil penelitian lainnya didapatkan bahwa risiko
terjadinya kanker pada faring lebih besar jika dihubungkan dengan lama merokok,
dibandingkan hubungan risiko dengan banyaknya rokok yang dikonsumsi (Pelucchi et
al, 2006).
Berikut ini ditampilkan skema tentang hubungan adiksi nikotin dan kanker paru
yang berkaitan dengan bahan karsinogen di dalam asap rokok. Dimana skema yang
hampir sama dapat dipertimbangkan untuk kanker-kanker lain yang mempunyai
hubungan dengan rokok (Hecht, 2003).
Skema ini menggambarkan peran utama perubahan DNA dalam proses
karsinogenesis. Dalam skema ini, nikotin menyebabkan sifat adiksi ingin terus merokok
dan menyebabkan pajanan kronis terhadap bahan karsinogen. Karsinogen secara
metabolik dapat diaktifkan untuk bereaksi dengan DNA, membentuk produk kovalen
gabungan yang disebut DNA yang berubah (DNA adducts). Bersaing dengan proses
metabolik ini, proses detoksifikasi produk karsinogen gagal untuk diekskresikan. Jika
DNA yang berubah tersebut dapat diperbaiki (repair) oleh enzim perbaikan selular, DNA
akan kembali kebentuk normalnya. Akan tetapi jika perubahan terus berlangsung
selama replikasi DNA, kegagalan pengkodean DNA dapat terjadi, yang cenderung untuk
menjadi mutasi permanen dalam urutan DNA. Sel-sel dengan DNA rusak atau
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
29
bermutasi dapat dilisiskan dengan proses apoptosis. Jika mutasi terjadi pada bagian
utama dalam gen-gen yang krusial, seperti pada RAS atau MYC onkogen atau TP53
atau CDKN2A tumor supresor gen, hasilnya dapat terjadi kehilangan kontrol regulasi
pertumbuhan sel-sel normal dan terjadi pertumbuhan tumor. Nikotin dan karsinogen
dapat juga berikatan secara langsung dengan reseptor beberapa sel, selanjutnya
mengaktifasi protein kinase B (AKT), protein kinase A (PKA) dan faktor-faktor lain. Hal
ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan proses apoptosis, peningkatan
angiogenesis dan peningkatan tranformasi sel. Bahan isi tembakau juga berisi promotor
tumor dan kokarsinogen, yang dapat mengaktifkan protein kinase C (PKC), aktivator
protein 1 (AP1) atau faktor lain, yang selanjutnya meningkatkan proses karsinogenesis
(Hecht, 2003).
c. Merokok sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring
Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC)
Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker
pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya
kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung
kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan
pankreas. Pada tahun 2002, Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan
risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara
konsisten dilaporkan dalam beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive
dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok.
Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti
untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk
nitrosamine dan formaldehide, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi
karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di
dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara
merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang
meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
30
Namun, Lin et al (1971) di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang
signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini
didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang
lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF
(Cheng et al, 1999).
Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) diketahui merupakan enzim aktivasi
pada nitrosamine dan karsinogen lainnya yang mungkin terlibat dalam perkembangan
terjadinya KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian case control mengemukakan
bahwa asap rokok adalah sumber penting paparan nitrosamine sehingga memodulasi
aktivitas CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana
merokok mempunyai hubungan dan merupakan risiko terjadinya KNF.
Vaughan et al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF
dan potensi paparan formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang
perokok dan mantan perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja
pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang-
orang yang tidak pernah merokok (OR 0,5).
d. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi
Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah
rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut
mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama
merokok, dalamnya hisapan dan lain-lain (Drastyawan et al, 2001). Berdasarkan
lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut; merokok selama kurang dari
10 tahun, antara 10 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kolappan dan Gopi, 2002;
Solak et al, 2005).
Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara dengan
berapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan
lamanya merokok dalam tahun (Drastyawan dkk, 2001). Klasifikasi menurut jumlah
rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan sebagai berikut; ringan (1-10
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
31
batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan berat (lebih dari 20 batang perhari)
(Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005).
Mobuchi et al, dalam studi case control, menginvestigasi kemungkinan faktor-
faktor etiologi pada KNF. Hasil penelitiannya menunjukkan peningkatan odds ratio
dengan jumlah rokok yang dihisap, yang menggambarkan adanya positive dose-
response relationship (Mabuchi et al, 1985; Chen et al, 1990; Amrstrong et al, 2000;
Yang et al, 2005). Sementara itu, Nam et al (1992) dan Zhu et al (1995) mendapatkan
hasil yang sama mengenai hubungan peningkatan risiko terjadinya KNF dengan status
merokok, makin lama merokok dan jumlah rokok yang dihisap. Laki-laki yang secara
rutin merokok akan mempunyai risiko 2 kali kemungkinan menderita KNF dibanding
dengan yang tidak merokok.
Chow et al (1993) pada studi cohort meneliti hubungan merokok dengan KNF
pada lebih kurang 250.000 veteran Amerika Serikat. Selama 26 tahun penelitian
dijumpai 48 penderita KNF. Perokok berisiko 4 kali lebih besar kemungkinan terkena
KNF dibandingkan dengan bukan perokok, dan risiko tersebut akan meningkat lagi
menjadi 6,4 kali pada orang yang merokok lebih dari 2 bungkus perhari.
e. Faktor anatomi
Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat
aliran dari polusi udara dan asap rokok adalah berpengaruh buruk terhadap mukosa
dilokasi tersebut, dimana karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker
(Zhuolin et al,2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar dari asap rokok yang
dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et
al, 1985; Cheng et al, 1999).
Adanya variasi bentuk anatomi didalam struktur hidung dan terdapatnya
penyakit yang ada sebelumnya diketahui sebagai hal yang penting dalam etiologi tumor
ganas nasofaring. Konfigurasi dari saluran udara di hidung dan paranasal
memungkinkan terperangkap dan terkumpulnya gas karsinogen, dimana hal ini
berperan dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
-
32
2.2.9 Gejala klinis
a. Gejala akibat tumor primer
1. Gejala telinga
a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius
Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya
dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh
ditelinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma
nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul
tanpa penyebab yang jelas.
b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran
(Sudyartono dan Wiratno, 1996).
2. Gejala hidung
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat
terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya
jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
b. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam
rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus
kental (Sudyartono dan Wiratno, 1996).
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis,
sinusitis dan lain-lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yang
sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.