i11nws_bab ii tinjauan pustaka

16
4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU RI No 7 tahun 1996 tentang pangan menyatakan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau bagi setiap individu. Undang-undang tersebut tidak berbicara pada konteks nasional atau global, tetapi pada tingkat setiap rumah tangga dan setiap individu. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses dan harus diartikan termasuk membeli pangan (Sastraatmadja 2006). Ketahanan pangan menurut (FAO 1996) mendefenisikan ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses, baik akses fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Berdasarkan kedua defenisi diatas berarti konsep ketahanan pangan cukup luas pengertiannya yaitu setiap daerah ataupun rumah tangga harus mempunyai ketersedian pangan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan tertentu. Pada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional, pada tahap ini konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan istilah dari food security difokuskan pada ketersediaan pangan di tingkat nasional maupun internasional, terutama padi-padian, karena adanya krisis pangan dunia tahun 1974 (Baliwati et al. 2004). Oleh karena itu, sejak awal orde baru kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyedian pangan yang dikenal sebagai FAA (food availability approach). Ketidakmampuan daerah tertentu dalam memenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya termasuk dalam kasus golongan rawan pangan. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa daerah ataupun wilayah tersebut berada dalam kelompok yang mempunyai ketahanan pangan rendah. Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan faktor ketersedian pangan yang ada di daerah tersebut. Ketersedian pangan merupakan suatu ukuran pangan dimana pangan tersebut secara fisik sudah atau akan tersedia selama satu periode (Soetrisno 1996).

Upload: siwonniekyubum-dija

Post on 26-Jul-2015

124 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

4

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan

Menurut UU RI No 7 tahun 1996 tentang pangan menyatakan ketahanan

pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin

dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,

merata dan terjangkau bagi setiap individu. Undang-undang tersebut tidak

berbicara pada konteks nasional atau global, tetapi pada tingkat setiap rumah

tangga dan setiap individu. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa

ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang

cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses dan harus diartikan termasuk

membeli pangan (Sastraatmadja 2006).

Ketahanan pangan menurut (FAO 1996) mendefenisikan ketahanan

pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses, baik

akses fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota

keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan

kedua akses tersebut. Berdasarkan kedua defenisi diatas berarti konsep

ketahanan pangan cukup luas pengertiannya yaitu setiap daerah ataupun rumah

tangga harus mempunyai ketersedian pangan yang memadai, stabilitas dan

akses terhadap pangan tertentu.

Pada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional,

pada tahap ini konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan istilah dari food

security difokuskan pada ketersediaan pangan di tingkat nasional maupun

internasional, terutama padi-padian, karena adanya krisis pangan dunia tahun

1974 (Baliwati et al. 2004). Oleh karena itu, sejak awal orde baru kebijakan

ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyedian pangan

yang dikenal sebagai FAA (food availability approach).

Ketidakmampuan daerah tertentu dalam memenuhi kebutuhan pangan di

wilayahnya termasuk dalam kasus golongan rawan pangan. Situasi seperti ini

menunjukkan bahwa daerah ataupun wilayah tersebut berada dalam kelompok

yang mempunyai ketahanan pangan rendah. Ketahanan pangan sangat erat

kaitannya dengan faktor ketersedian pangan yang ada di daerah tersebut.

Ketersedian pangan merupakan suatu ukuran pangan dimana pangan tersebut

secara fisik sudah atau akan tersedia selama satu periode (Soetrisno 1996).

Page 2: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

5

Ketahanan pangan dapat diartikan juga sebagai adanya jaminan setiap

penduduk tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya, sebagai satu syarat utama

untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan. Dengan pengertian ini

dapat diambil suatu kesimpulan bahwa banyak hal yang dapat mempengaruhi

ketahanan pangan yaitu tersedia tidaknya lapangan kerja dan pendapatan

(Khomsan 2002).

Secara teoritis terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan, yaitu kronis dan

transitori. Ketidaktahanan pangan kronis adalah ketidakcukupan pangan secara

menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang

dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri. Sedangkan

ketidaktahanan pangan transitori adalah penurunan akses terhadap pangan yang

dibutuhkan rumah tangga secara temporer. Hal ini disebabkan adanya bencana

alam sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan

pendapatan (Setiawan dalam Baliwati 2004).

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap

daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kebutuhan

pangan masyarakatnya sesuai dengan kemampuan wilayah. Dengan adanya

undang-undang tersebut yang dibuat oleh pemerintah maka bagi setiap wilayah

baik yang di provinsi, kota dan kabupaten mampu menyusun dan membuat

perencanaan pangan bagi wilayahnya yang memenuhi prinsip kuantitas dan

kualitas yang didasarkan pada potensi wilayah tersebut. Orientasi penyediaan

dan konsumsi pangan wilayah tidak lagi semata pada aspek jumlah tetapi juga

aspek mutu gizi, keragaman maupun komposisi pangan (Baliwati 2002).

Secara nasional di Depatemen Pertanian terdapat Badan Urusan

Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pangan, dalam

rangka mewujudkan ketahanan pangan diperlukan kerjasama yang baik antara

pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat.

Kerjasama yang dilakukan dimaksudkan dapat meningkatkan penguatan sistem

pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumah tangga. Kegiatan

tersebut meliputi peningkatan jaminan ekonomi, bantuan pangan melalui jaringan

pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, penelitian,

pendidikan dan penyuluhan serta monitoring dan evaluasi untuk membantu

masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya (Soetrisno 1998).

Page 3: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

6

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Hasan (1998) menyatakan bahwa ketahanan pangan sampai pada

tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup

dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun

ekonomi, serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam yang

memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya. Sedangkan pengertian

ketahanan pangan rumah tangga menurut International Congres of Nutrition

(ICN) di roma tahun 1992 adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi

kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan

mampu melakukan kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (Departemen

Pertanian 1996) menyatakan ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan

dalam beberapa alternatif rumusan, yaitu: 1) kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai

budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat; 2) kemampuan rumah

tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri,

atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup; 3) kemampuan rumah

tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu

agar dapat hidup sehat.

Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi

pangan yang mengarah pada pemikiran kuantitas dan kualitas, termasuk

perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok (Khomsan 2002). Adapun situasi

ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat ditandai oleh perubahan-perubahan

kehidupan sosial, seperti semakin banyak anggota masyarakat yang

mengandalkan barang, bertambahnya anggota rumah tangga yang pergi ke luar

daerah untuk mencari pekerjaan, dan lain-lain (Khomsan 2002).

Dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumah

tangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan

berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya

beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan

gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut

(transitori) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana

alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat

tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo

1995).

Page 4: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

7

Sehubungan dengan itu untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat

rumah tangga diperlukan kelembagaan pangan karena ketahanan pangan

mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan

perundangan, organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan

ketatalaksanaan. Kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan

perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai

akses untuk memperoleh pangan yang cukup (Soetrisno 1996).

Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh ketahanan pangan

pada tingkat regional, nasional dan global. Ketahanan pangan merupakan suatu

konsep yang multidimensional yaitu berkaitan antar mata rantai sistem

pengadaan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Untuk

indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan dari tingkat

kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran

pangan, fluktuasi harga, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi

(Suhardjo 1996).

Soetrisno (1996) menyatakan bahwa indikator ketahanan pangan rumah

tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun ketersedian pangan yang

sesuai dengan norma gizi. Sedangkan indikator sosial ekonomi dan demografi

dapat digunakan untuk mengetahui risiko ketahanan pangan seperti pendapatan,

pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan

sebagainya.

Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian

ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibagi

menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator

proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersedian dan

akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun

tak langsung.

Indikator ketersedian berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses

terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi,

pasar, konflik regional dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi

sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal dan strategi rumah tangga

untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak secara langsung adalah

konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak secara tak langsung meliputi

penyimpanan pangan dan status gizi (Baliwati et al. 2004)

Page 5: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

8

Hasan (1995) juga menyatakan bahwa ketahanan pangan sampai tingkat

rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan

merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat serta tercapainya

konsumsi pangan yang beraneka ragam yang memenuhi syarat-syarat gizi yang

diterima oleh budaya setempat. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan,

dapat pula dikumpulkan data mengenai ekonomi, sosial, demografi, harga

pangan, pengeluaran dan sebagainya. Data tersebut akan digunakan sebagai

indikator risiko terhadap ketahanan pangan rumah tangga.

Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi

tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam

pasar) dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan

dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya. Faktor-faktor yang diduga

mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga dapat dirinci menjadi tiga faktor

yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi.

Berikut ini dapat dijelaskan tiga faktor tersebut:

• Ketersediaan pangan

Komponen ketersedian pangan dipengaruhi oleh sumberdaya (alam,

manusia dan sosial) dan produksi pangan (on farm dan off farm ). Menurut Djogo

(1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki

potensi produksi pangan yang berbeda. Ketersedian pangan terkait dengan

usaha produksi pangan, distribusi dan perdagangan termasuk penyelenggaraan

cadangan, ekspor dan impor. Dalam kaitan ini, pangan bukan hanya beras atau

komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai) tetapi mencakup makanan

dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik

produk primer maupun turunannya.

Dengan demikian pangan tidak hanya dihasilkan oleh pertanian,

peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan tetapi juga oleh industri

pengolahan pangan. Menurut Suryana (2004) menyatakan bahwa pangan yang

cukup tidak hanya dalam jumlah tetapi keragamannya, sebagai sumber asupan

zat gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan

mineral) yang berguna untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik,

kecerdasan dan produktivitas manusia.

Page 6: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

9

Angka kuantitatif untuk ketersediaan pangan adalah Angka Kecukupan

Gizi (AKG) rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII

tahun 2004, dalam satuan rata-rata perkapita perhari untuk energi sebesar 2200

Kal dan untuk protein 57 gram. Angka tersebut merupakan standar kebutuhan

energi bagi setiap individu agar mampu menjalankan aktivitas sehari-hari.

• Daya Beli

Kemampuan membeli atau “daya beli” merupakan indikator dari tingkat

sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari

faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin. Menurut Widya

Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIPI 1998) kurangnya ketersediaan pangan

keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga

dan potensi desa. Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah,

mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan

bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo

1989). Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto (1994) bahwa faktor ekonomi

menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga

makanan.

• Pengetahuan Pangan dan Gizi

Pengetahuan pangan dan gizi secara umum merupakan perilaku

konsumsi makanan seseorang atau rumah tangga yang sangat erat dengan

wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang

dilakukan. Sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu

yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan, ciri-ciri sosial yang dimiliki

(umur, jenis/golongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya), dan

informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai

sumber (Susanto 1994). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan

karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula

nilai sosial yang rendah (Soemarwoto 1994).

Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun rumah tangga memiliki

daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan

gizinya masih rendah maka akan sulit bagi rumah tangga yang bersangkutan

untuk dapat memenuhi kecukupan pangannya baik secara kuantitas maupun

kualitas.

Page 7: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

10

Pengukuran Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Pengkasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam food secure

(tahan pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan) dapat dilakukan

dengan menggunakan pengukuran dari indikator out put yaitu konsumsi pangan

(intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan baduta).

Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi

energi lebih rendah dari cut off point atau TKE < 70,0 % (Zeitlin & Brown 1990 )

Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat

diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan

cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka

kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan

pangan melalui survei, dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan

demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan,

pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan

sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap

ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Sukandar 2001).

Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan

Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan

skor diversifikasi pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan

menggunakan skor diversifikasi pangan relatif sederhana dan mudah. Selain

sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi (aspek kuantitas) dan

dikelompokkan pada lima kelompok pangan empat sehat lima sempurna

(makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah dan susu) dan dihitung kuantitasnya

menggunakan unit konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis

kelamin anggota rumah tangga dapat dipertimbangkan.

Menurut Suwarman dan Sukandar (1998) ketahanan pangan rumah

tangga dikategorikan atas tiga kelompok yaitu rumah tangga tidak tahan pangan

jika konsumsi energinya <75,0% AKE (Angka Kecukupan Energi), rumah tangga

cukup rawan pangan jika konsumsi energi 75,0-100% AKE, dan rumah tangga

sangat tahan pangan jika konsumsi energi >100%.

Page 8: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

11

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan jenis dan jumlah pangan yang di makan

oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu pada waktu

tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu

secara biologis, psikologi, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan

yaitu gastronomik, identititas budaya, religi, magis, komunikasi, lambang status

ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan (Baliwati et al. 2004 ).

Menurut Madanijah (2004) pada dasarnya konsumsi pangan berkaitan

dengan gizi dan kesehatan, serta ukuran kemiskinan. Konsumsi pangan

dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya pangan

yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari negara

ke negara. Akan tetapi faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi konsumsi

pangan adalah:

a. Jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia

b. Tingkat pendapatan

c. Pengetahuan gizi

Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kebiasaan

masyarakat dalam mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat

wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor

ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi (PSKPG 2002).

Penelitian konsumsi pangan sering dimaksudkan sebagai studi konsumsi, yang

merupakan satu-satunya cara yang digunakan untuk meneliti status gizi

(Suhardjo et al. 1986). Tujuan konsumsi pangan adalah memperoleh zat gizi

yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989).

Suatu makanan campuran dengan sumber pangan pokok, sumber protein

yang baik, beberapa buah dan sayuran serta beberapa lemak atau minyak akan

mengandung komponen pokok makanan seimbang, jika dimakan dalam jumlah

cukup sesuai dengan selera makan yang sehat. Pemilihan makanan yang

dimakan sedapat-dapatnya harus beranekaragam (Suhardjo et al. 1986).

Rimbawan (1999) menyatakan bahwa pangan dengan kandungan gizi

yang lengkap, dalam jumlah yang proporsional mempunyai potensi yang besar

untuk menjadi pangan yang bergizi tinggi. Tinggi rendahnya nilai gizi suatu

pangan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menilai mutu

pangan tersebut. Selain nilai gizi, mutu pangan juga ditentukan oleh keadaan

fisik, mikrobiologis serta penerimaan secara indrawi (organoleptik).

Page 9: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

12

Dalam pengembangan pola konsumsi pangan sangat diperlukan sebuah

pengetahuan tentang jenis bahan pangan, kemampuan dan keterampilan dalam

memilih jenis bahan pangan yang selanjutnya harus disesuaikan kepada

kebiasaan masyarakat tersebut. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan

melalui dua sisi (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Adapun kedua sisi tersebut

adalah:

1. Sisi Kuantitas

Dalam sisi kuantitas hal yang diperlukan untuk diperhatikan adalah

volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan

pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan

sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal

sebagai Angka Kecukupan Gizi (AKG). Sedangkan untuk menilai kuantitas

konsumsi pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Kecukupan Energi

(TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP)

2. Sisi Kualitas

Dalam sisi kualitas ini penilaian lebih ditujukan pada keanekaragaman

pangan. Semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi

akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk penilaian keanekaragaman pangan

digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH).

Ditinjau dari aspek gizi, pangan yang beraneka ragam umumnya memiliki

mutu yang lebih tinggi daripada mutu masing-masing pangan yang

menyusunnya. Hal ini dapat terjadi karena terjadinya saling mengisi antara

pangan yang dikonsumsi, dimana kekurangan zat gizi dalam suatu pangan

ditutupi oleh kelebihan zat yang bersangkutan dalam pangan laiinnya

(Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2000).

Menurut Maxwell dan Frankenberger (1992), seseorang dikatakan cukup

konsumsi pangannya jika konsumsi energinya dapat memenuhi kebutuhan untuk

beraktifitas dan hidup sehat berdasarkan standar kebutuhan minimal. Azwar

(2004) menyatakan secara operasional seseorang dikatakan kebutuhan

energinya terpenuhi bila konsumsi energi perkapita perhari ≥ 70%. Depkes RI

(1990) dalam Supariasa et al. (2001), klasifikasi tingkat kecukupan dibagi

menjadi empat dengan cut of points masing-masing sebagai berikut: baik (≥90%

AKG), sedang (80%-89% AKG), kurang (70-80% AKG) dan defisit (<70% AKG).

Page 10: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

13

Penilaian Konsumsi Pangan

Survei konsumsi pangan adalah alat yang digunakan untuk memperoleh

informasi yang dibutuhkan dalam menyusun suatu kegiatan atau program. Survei

konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri konsumsi

pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun jumlah

yang dikonsumsi, termasuk kebiasaan makan serta faktor-faktor yang

mempengaruhi konsumsi pangan tersebut (Suhardjo et al. 1988).

Berdasarkan satuan atau unit, penilaian konsumsi pangan dapat

dibedakan menjadi penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi

pangan keluarga (rumah tangga). Umumnya prinsip penilaian konsumsi zat gizi

individu dan keluarga adalah sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan

penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota

keluarga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah

kelompok orang seperti keluarga atau rumah tangga, maka jumlah konsumsi

pangan keluarga atau rumah tangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota

keluarga yang mengkonsumsi pangan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994).

Survei konsumsi pangan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang (baik berupa keluarga, rumah

tangga,penduduk desa atau wilayah), baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Survei konsumsi pangan secara kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah

pangan yang dikonsumsi. Survei konsumsi pangan secara kualitatif digunakan

untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan

yang dikonsumsi, informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara

memperoleh pangan (Suhardjo et al. 1988).

Menurut Gibson (2005) survei konsumsi pangan bertujuan untuk

mengetahui konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang secara

kuantitatif. Ada beberapa survei konsumsi pangan, diantaranya adalah FFQ

(Food Frequency Questionaire), Recall, Weighed Method. FFQ merupakan

kuesioner yang mengambarkan frekuensi responden dalam mengonsumsi

beberapa jenis makanan dan minuman. Ada beberapa jenis FFQ antara lain

Simple or Nonquantitative FFQ, Semi Quantitative Food Frequency, dan

Quantitative FFQ.

Page 11: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

14

Metode Recall 24 Jam

Metode ini digunakan untuk memperkirakan jumlah pangan dan minuman

yang dimakan oleh seseorang selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelum

wawancara dilakukan. Dengan metode ini akan diketahui besarnya porsi pangan

berdasarkan ukuran rumah tangga (URT), kemudian dikonversi ke ukuran metrik

(gram) (Riyadi 2004).

Metode recall memiliki keunggulan yaitu murah dan tidak memakan waktu

banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena

mengandalkan ingatan seseorang yang terbatas dan tergantung dari keahlian

tenaga pencatatan dalam mengkonversikan URT menjadi satuan berat (gram)

(Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Food Record

Metode ini umumnya dilaksanakan dalam tujuh hari, biasanya responden

diminta untuk mencatat semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi.

Pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah

tangga (URT) atau menimbang langsung berat pangan yang dimakan (Riyadi

2004). Metode food record merupakan metode yang akurat untuk survei

konsumsi pangan di tingkat keluarga. Kekurangan dari metode ini adalah biaya

relatif mahal, perlu partisifasi yang tinggi dari responden, pola konsumsi pangan

rumah tangga yang dapat berubah (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Weighing Method

Metode penimbangan mengukur secara langsung berat setiap jenis

pangan yang dikonsumsi seseorang pada saat wawancara (Riyadi 2004).

Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2006) menyatakan pengukuran dengan

metode weighing method terdiri dari beberapa proses seperti menimbang bahan

pangan dalam keadaan mentah (proses persiapan), setelah masak (penyajian),

dan setelah makanan tersebut dikonsumsi (mengamati sisa yang tidak dimakan).

Metode penimbangan ini juga akurat untuk digunakan karena dilakukan

penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang dikonsumsi.

Tetapi metode ini mahal, memerlukan waktu lama, rasa segan atau malu pada

responden, dan adanya kemungkinan perubahan pola konsumsi pangan dari

kebiasaan sehari-hari dengan adanya kehadiran kita (Kusharto dan Sa’diyyah

2006).

Page 12: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

15

Food Frequency Questionnaire (FFQ)

Metode FFQ dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan

untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan seseorang. Untuk itu

diperlukan kuesioner yang terdiri atas dua komponen yaitu daftar jenis pangan

dan frekuensi konsumsi pangan (Riyadi 2004). Pada metode ini ditanyakan

tentang frekuensi konsumsi sejumlah makanan jadi atau bahan makanan selama

periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun.

Metode ini juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara

kuantitatif, semuanya tergantung terhadap tujuan penelitian. Kelebihan FFQ

adalah lebih murah, cepat dalam mengumpulkan data, dapat mengetahui pangan

yang biasa dikonsumsi oleh rumah tangga, dan lebih representatif. FFQ juga

mempunyai kekurangan seperti kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang

dipilih oleh responden, tergantung kepada kemampuan responden untuk

mendeskripsikan dietnya.

FFQ terbagi dalam beberapa jenis antara lain (Gibson 1993):

1. Simple or nonquantitative FFQ

Jenis FFQ seperti ini biasanya tidak memberikan pilihan tentang porsi yang

biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi.

2. Semi quantitative FFQ

Metode ini tidak hanya melihat bahan makanan yang dikonsumsi oleh sampel,

melainkan juga melihat besar porsi atau banyaknya bahan makanan yang

dikonsumsi oleh sampel. Metode SQFF (Semi Quantitative Food Frequency)

adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi selama periode tertentu

seperti setiap hari, minggu, bulan dan tahun. Selain itu dengan metode

frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan

makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan

dapat membedakan individu berdasarkan asupan zat gizi, maka cara ini paling

sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa et al. 2001).

Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah bahan

makanan yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh

responden.

3. Quantitative FFQ

Jenis FFQ yang memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi responden,

seperti kecil, sedang dan besar.

Page 13: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

16

Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Konsumsi energi penduduk dikatakan mencukupi bila memenuhi

kebutuhan untuk metabolisme basal dari aktivitas fisik sehari-hari, jumlah

kebutuhan ini disebut kecukupan gizi, yaitu jumlah zat gizi yang sebaiknya

dikonsumsi oleh setiap individu agar dapat hidup sehat (PSKPG 1994). Jumlah

zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan

tubuh untuk melakukan kegiatan baik internal maupun eksternal, pemeliharaan

tubuh, dan pertumbuhan bagi yang masih dalam taraf pertumbuhan (bayi, anak-

anak dan remaja) atau untuk aktivitas pemeliharaan tubuh bagi orang dewasa

dan usia lanjut (Hardinsyah & Martianto 1992).

Muhilal (1998) membedakan istilah kebutuhan gizi dan kecukupan gizi.

Kebutuhan gizi adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan seseorang

agar hidup sehat. Sedangkan kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat

gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua orang (sekitar

97,5% populasi) hidup sehat. Kebutuhan dan kecukupan gizi biasanya disusun

berdasarkan kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis kelamin

(Hardinsyah & Martianto 1992).

Dalam menilai tingkat konsumsi pangan (energi dan zat gizi) diperlukan

suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary

Allowances (RDA) untuk populasi yang diteliti. Angka Kecukupan Gizi (AKG)

yang digunakan di Indonesia adalah Hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi

VIII tahun 2004.

Penyajian angka kecukupan gizi tersebut digolongkan berdasarkan

kepada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas dan

kondisi fisiologis khusus (hamil atau menyusui). AKG digunakan sebagai standar

untuk mencapai status gizi optimal bagi penduduk dalam hal penyediaan pangan

secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan gizi penduduk golongan

masyarakat tertentu yang diperoleh dari konsumsi pangan (Almatsier 2005).

Page 14: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

17

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketahanan Pan gan

Rumah Tangga

Ukuran Rumah Tangga

Ukuran rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang

terdiri atas ayah, ibu, anak dan anggota rumah tangga lain yang hidup dari

pengelolaan sumberdaya yang sama. Ukuran rumah tangga akan mempengaruhi

pengeluaran rumah tangga (Sukandar 2007). Menurut Suhardjo (1989),

menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk satu rumah tangga yang besar

mungkin cukup untuk rumah tangga yang besarnya setengah dari rumah tangga

tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada rumah tangga

yang besar tersebut. Hasil penelitian Latief et al. (2000) menemukan bahwa

jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi konstibusi karbohidrat, lemak,

dan protein terhadap total energi intake perkapita perhari. Banyaknya anggota

keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (1989) menyatakan

bahwa ada hubungan sangat nyata antara ukuran rumah tangga dan kurang gizi

pada masing-masing rumah tangga.

Jumlah anggota rumah tangga yang semakin besar tanpa diimbangi

dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi

pangan akan semakin tidak merata. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk

mencegah timbulnya gangguan gizi pada rumah tangga besar. Seperti juga yang

dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada

rumah tangga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga

kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak,

lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam

hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan

bahwa besar rumah tangga yaitu banyaknya anggota suatu rumah tangga, akan

mempengaruhi pengeluaran rumah tangga.

Harper (1988), mencoba menghubungkan antara ukuran rumah tangga

dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak

yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika

dibandingkan rumah tangga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan

bahwa rumah tangga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak badutanya

lebih sering menderita gizi kurang.

Page 15: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

18

Umur

Setiap anggota rumah tangga memiliki kebutuhan akan makanan yang

berbeda-beda, perbedaan ini dapat dilihat dari kapasitas umur masing-masing

anggota rumah tangga. Menurut Sumarwan (2004), menyatakan bahwa

perbedaan usia dapat mempengaruhi tingkat maupun macam barang dan jasa

(baik berupa pangan maupun non pangan) yang akan dibeli dan dikonsumsi

seseorang. Konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa

yang berbeda pula. Perbedaan usia juga dapat mengakibatkan selera dan

kesukaan terhadap merek suatu produk pangan maupun jasa.

Umur merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengetahui

kebutuhan gizi seseorang. Distribusi kebutuhan pangan dalam rumah tangga

tidak merata, artinya setiap anggota rumah tangga tersebut mendapat jumlah

makanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya, menurut umur dan keadaan

fisiknya (Sediaoetama 1996).

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang dapat dinilai berdasarkan lama atau jenis

pendidikan apa yang dialami baik di bidang formal maupun informal. Menurut

Hardinsyah (2007), menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal mencerminkan

kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk

aspek pengetahuan gizi. Pada umumnya tingkat pendidikan seseorang akan

sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya sehari-hari, hal ini juga dapat dilihat

dari sikap dan perilaku makan yang tercermin pada masing-masing individu.

Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan sebuah keluarga

untuk mengakses kebutuhan hidupnya. Dengan semakin tingginya tingkat

pendidikan kepala rumah tangga akan memudahkan rumah tangga untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998). Informasi yang dimiliki seseorang

tentang kebutuhan gizi akan menentukan jumlah dan jenis pangan yang

dikonsumsi. Orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memilih

makanan yang lebih murah dengan gizi yang lebih tinggi, sesuai jenis pangan

yang tersedia dan kebiasaan pangan sejak kecil, sehingga kebutuhan zat gizi

dapat terpenuhi (Husaini 1983).

Page 16: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka

19

Pengeluaran

Pengeluaran suatu rumah tangga dapat dibagi menjadi dua pengeluaran

yaitu, pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan. Pengeluaran pangan

merupakan jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan

sedangkan pengeluaran non pangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan

untuk keperluanselain pangan seperti pendidikan, listrik, air, komunikasi,

transportasi, tabungan, biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan

lainnya (Kartika 2005). Menurut Suhardjo (1996) dan Azwar (2004) pangsa

pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan, makin

besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan pangan semakin

berkurang. Semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara pangsa

pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya .

Teori Engel’s mengemukakan “Dengan semakin tinggi tingkat

pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi

makanan” (Sumarwan 1993). Hal ini menjelaskan bahwa suatu rumah tangga

maupun kelurga dikatakan sejahtera apabila alokasi pengeluaran untuk makanan

lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi pengeluaran untuk non pangan.

Besaran pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan dalam suatu rumah tangga

dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rumah tangga.

Menurut Sajogyo (2002) dalam Hildawati (2008), data pengeluaran rumah

tangga lebih menggambarkan pendapatan rumah tangga yang meliputi

penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain seperti tabungan masa lalu,

pinjaman dan pemberian. Menurut Moho dan Wagner (1981) dalam Hildawati

(2008), data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi rumah tangga

dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Dikemukakan pula

bahwa pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan

lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena itu, data

pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.

Sumarwan (2004) para peneliti seringkali mengalami kesulitan untuk

mendapatkan data pendapatan dari konsumen. Untuk mengatasi kesulitan

tersebut, para peneliti menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan

seorang konsumen atau rumah tangga, yaitu dengan pendekatan pengeluaran

konsumen atau rumah tangga. Jumlah pengeluaran rumah tangga inilah yang

dianggap sebagai indikator pendapatan rumah tangga.