i11nws_bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
![Page 1: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/1.jpg)
4
TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Pangan
Menurut UU RI No 7 tahun 1996 tentang pangan menyatakan ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau bagi setiap individu. Undang-undang tersebut tidak
berbicara pada konteks nasional atau global, tetapi pada tingkat setiap rumah
tangga dan setiap individu. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa
ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang
cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses dan harus diartikan termasuk
membeli pangan (Sastraatmadja 2006).
Ketahanan pangan menurut (FAO 1996) mendefenisikan ketahanan
pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses, baik
akses fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan
kedua akses tersebut. Berdasarkan kedua defenisi diatas berarti konsep
ketahanan pangan cukup luas pengertiannya yaitu setiap daerah ataupun rumah
tangga harus mempunyai ketersedian pangan yang memadai, stabilitas dan
akses terhadap pangan tertentu.
Pada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional,
pada tahap ini konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan istilah dari food
security difokuskan pada ketersediaan pangan di tingkat nasional maupun
internasional, terutama padi-padian, karena adanya krisis pangan dunia tahun
1974 (Baliwati et al. 2004). Oleh karena itu, sejak awal orde baru kebijakan
ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyedian pangan
yang dikenal sebagai FAA (food availability approach).
Ketidakmampuan daerah tertentu dalam memenuhi kebutuhan pangan di
wilayahnya termasuk dalam kasus golongan rawan pangan. Situasi seperti ini
menunjukkan bahwa daerah ataupun wilayah tersebut berada dalam kelompok
yang mempunyai ketahanan pangan rendah. Ketahanan pangan sangat erat
kaitannya dengan faktor ketersedian pangan yang ada di daerah tersebut.
Ketersedian pangan merupakan suatu ukuran pangan dimana pangan tersebut
secara fisik sudah atau akan tersedia selama satu periode (Soetrisno 1996).
![Page 2: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/2.jpg)
5
Ketahanan pangan dapat diartikan juga sebagai adanya jaminan setiap
penduduk tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya, sebagai satu syarat utama
untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan. Dengan pengertian ini
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa banyak hal yang dapat mempengaruhi
ketahanan pangan yaitu tersedia tidaknya lapangan kerja dan pendapatan
(Khomsan 2002).
Secara teoritis terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan, yaitu kronis dan
transitori. Ketidaktahanan pangan kronis adalah ketidakcukupan pangan secara
menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri. Sedangkan
ketidaktahanan pangan transitori adalah penurunan akses terhadap pangan yang
dibutuhkan rumah tangga secara temporer. Hal ini disebabkan adanya bencana
alam sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan
pendapatan (Setiawan dalam Baliwati 2004).
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap
daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kebutuhan
pangan masyarakatnya sesuai dengan kemampuan wilayah. Dengan adanya
undang-undang tersebut yang dibuat oleh pemerintah maka bagi setiap wilayah
baik yang di provinsi, kota dan kabupaten mampu menyusun dan membuat
perencanaan pangan bagi wilayahnya yang memenuhi prinsip kuantitas dan
kualitas yang didasarkan pada potensi wilayah tersebut. Orientasi penyediaan
dan konsumsi pangan wilayah tidak lagi semata pada aspek jumlah tetapi juga
aspek mutu gizi, keragaman maupun komposisi pangan (Baliwati 2002).
Secara nasional di Depatemen Pertanian terdapat Badan Urusan
Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pangan, dalam
rangka mewujudkan ketahanan pangan diperlukan kerjasama yang baik antara
pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat.
Kerjasama yang dilakukan dimaksudkan dapat meningkatkan penguatan sistem
pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumah tangga. Kegiatan
tersebut meliputi peningkatan jaminan ekonomi, bantuan pangan melalui jaringan
pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, penelitian,
pendidikan dan penyuluhan serta monitoring dan evaluasi untuk membantu
masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya (Soetrisno 1998).
![Page 3: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/3.jpg)
6
Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Hasan (1998) menyatakan bahwa ketahanan pangan sampai pada
tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup
dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun
ekonomi, serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam yang
memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya. Sedangkan pengertian
ketahanan pangan rumah tangga menurut International Congres of Nutrition
(ICN) di roma tahun 1992 adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan
mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Berdasarkan hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (Departemen
Pertanian 1996) menyatakan ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan
dalam beberapa alternatif rumusan, yaitu: 1) kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai
budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat; 2) kemampuan rumah
tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri,
atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup; 3) kemampuan rumah
tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu
agar dapat hidup sehat.
Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi
pangan yang mengarah pada pemikiran kuantitas dan kualitas, termasuk
perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok (Khomsan 2002). Adapun situasi
ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat ditandai oleh perubahan-perubahan
kehidupan sosial, seperti semakin banyak anggota masyarakat yang
mengandalkan barang, bertambahnya anggota rumah tangga yang pergi ke luar
daerah untuk mencari pekerjaan, dan lain-lain (Khomsan 2002).
Dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumah
tangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan
berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya
beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan
gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut
(transitori) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana
alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat
tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo
1995).
![Page 4: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/4.jpg)
7
Sehubungan dengan itu untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat
rumah tangga diperlukan kelembagaan pangan karena ketahanan pangan
mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan
perundangan, organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan
ketatalaksanaan. Kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan
perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai
akses untuk memperoleh pangan yang cukup (Soetrisno 1996).
Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh ketahanan pangan
pada tingkat regional, nasional dan global. Ketahanan pangan merupakan suatu
konsep yang multidimensional yaitu berkaitan antar mata rantai sistem
pengadaan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Untuk
indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan dari tingkat
kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran
pangan, fluktuasi harga, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi
(Suhardjo 1996).
Soetrisno (1996) menyatakan bahwa indikator ketahanan pangan rumah
tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun ketersedian pangan yang
sesuai dengan norma gizi. Sedangkan indikator sosial ekonomi dan demografi
dapat digunakan untuk mengetahui risiko ketahanan pangan seperti pendapatan,
pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan
sebagainya.
Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian
ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibagi
menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator
proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersedian dan
akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun
tak langsung.
Indikator ketersedian berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses
terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi,
pasar, konflik regional dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi
sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal dan strategi rumah tangga
untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak secara langsung adalah
konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak secara tak langsung meliputi
penyimpanan pangan dan status gizi (Baliwati et al. 2004)
![Page 5: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/5.jpg)
8
Hasan (1995) juga menyatakan bahwa ketahanan pangan sampai tingkat
rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan
merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat serta tercapainya
konsumsi pangan yang beraneka ragam yang memenuhi syarat-syarat gizi yang
diterima oleh budaya setempat. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan,
dapat pula dikumpulkan data mengenai ekonomi, sosial, demografi, harga
pangan, pengeluaran dan sebagainya. Data tersebut akan digunakan sebagai
indikator risiko terhadap ketahanan pangan rumah tangga.
Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi
tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam
pasar) dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan
dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya. Faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga dapat dirinci menjadi tiga faktor
yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi.
Berikut ini dapat dijelaskan tiga faktor tersebut:
• Ketersediaan pangan
Komponen ketersedian pangan dipengaruhi oleh sumberdaya (alam,
manusia dan sosial) dan produksi pangan (on farm dan off farm ). Menurut Djogo
(1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki
potensi produksi pangan yang berbeda. Ketersedian pangan terkait dengan
usaha produksi pangan, distribusi dan perdagangan termasuk penyelenggaraan
cadangan, ekspor dan impor. Dalam kaitan ini, pangan bukan hanya beras atau
komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai) tetapi mencakup makanan
dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik
produk primer maupun turunannya.
Dengan demikian pangan tidak hanya dihasilkan oleh pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan tetapi juga oleh industri
pengolahan pangan. Menurut Suryana (2004) menyatakan bahwa pangan yang
cukup tidak hanya dalam jumlah tetapi keragamannya, sebagai sumber asupan
zat gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan
mineral) yang berguna untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik,
kecerdasan dan produktivitas manusia.
![Page 6: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/6.jpg)
9
Angka kuantitatif untuk ketersediaan pangan adalah Angka Kecukupan
Gizi (AKG) rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII
tahun 2004, dalam satuan rata-rata perkapita perhari untuk energi sebesar 2200
Kal dan untuk protein 57 gram. Angka tersebut merupakan standar kebutuhan
energi bagi setiap individu agar mampu menjalankan aktivitas sehari-hari.
• Daya Beli
Kemampuan membeli atau “daya beli” merupakan indikator dari tingkat
sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari
faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin. Menurut Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIPI 1998) kurangnya ketersediaan pangan
keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga
dan potensi desa. Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah,
mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan
bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo
1989). Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto (1994) bahwa faktor ekonomi
menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga
makanan.
• Pengetahuan Pangan dan Gizi
Pengetahuan pangan dan gizi secara umum merupakan perilaku
konsumsi makanan seseorang atau rumah tangga yang sangat erat dengan
wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang
dilakukan. Sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu
yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan, ciri-ciri sosial yang dimiliki
(umur, jenis/golongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya), dan
informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai
sumber (Susanto 1994). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan
karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula
nilai sosial yang rendah (Soemarwoto 1994).
Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun rumah tangga memiliki
daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan
gizinya masih rendah maka akan sulit bagi rumah tangga yang bersangkutan
untuk dapat memenuhi kecukupan pangannya baik secara kuantitas maupun
kualitas.
![Page 7: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/7.jpg)
10
Pengukuran Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Pengkasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam food secure
(tahan pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan) dapat dilakukan
dengan menggunakan pengukuran dari indikator out put yaitu konsumsi pangan
(intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan baduta).
Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi
energi lebih rendah dari cut off point atau TKE < 70,0 % (Zeitlin & Brown 1990 )
Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat
diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan
cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka
kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan
pangan melalui survei, dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan
demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan,
pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan
sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap
ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Sukandar 2001).
Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan
Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan
skor diversifikasi pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan
menggunakan skor diversifikasi pangan relatif sederhana dan mudah. Selain
sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi (aspek kuantitas) dan
dikelompokkan pada lima kelompok pangan empat sehat lima sempurna
(makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah dan susu) dan dihitung kuantitasnya
menggunakan unit konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis
kelamin anggota rumah tangga dapat dipertimbangkan.
Menurut Suwarman dan Sukandar (1998) ketahanan pangan rumah
tangga dikategorikan atas tiga kelompok yaitu rumah tangga tidak tahan pangan
jika konsumsi energinya <75,0% AKE (Angka Kecukupan Energi), rumah tangga
cukup rawan pangan jika konsumsi energi 75,0-100% AKE, dan rumah tangga
sangat tahan pangan jika konsumsi energi >100%.
![Page 8: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/8.jpg)
11
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan jenis dan jumlah pangan yang di makan
oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu pada waktu
tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu
secara biologis, psikologi, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan
yaitu gastronomik, identititas budaya, religi, magis, komunikasi, lambang status
ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan (Baliwati et al. 2004 ).
Menurut Madanijah (2004) pada dasarnya konsumsi pangan berkaitan
dengan gizi dan kesehatan, serta ukuran kemiskinan. Konsumsi pangan
dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya pangan
yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari negara
ke negara. Akan tetapi faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi konsumsi
pangan adalah:
a. Jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia
b. Tingkat pendapatan
c. Pengetahuan gizi
Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kebiasaan
masyarakat dalam mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat
wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor
ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi (PSKPG 2002).
Penelitian konsumsi pangan sering dimaksudkan sebagai studi konsumsi, yang
merupakan satu-satunya cara yang digunakan untuk meneliti status gizi
(Suhardjo et al. 1986). Tujuan konsumsi pangan adalah memperoleh zat gizi
yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989).
Suatu makanan campuran dengan sumber pangan pokok, sumber protein
yang baik, beberapa buah dan sayuran serta beberapa lemak atau minyak akan
mengandung komponen pokok makanan seimbang, jika dimakan dalam jumlah
cukup sesuai dengan selera makan yang sehat. Pemilihan makanan yang
dimakan sedapat-dapatnya harus beranekaragam (Suhardjo et al. 1986).
Rimbawan (1999) menyatakan bahwa pangan dengan kandungan gizi
yang lengkap, dalam jumlah yang proporsional mempunyai potensi yang besar
untuk menjadi pangan yang bergizi tinggi. Tinggi rendahnya nilai gizi suatu
pangan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menilai mutu
pangan tersebut. Selain nilai gizi, mutu pangan juga ditentukan oleh keadaan
fisik, mikrobiologis serta penerimaan secara indrawi (organoleptik).
![Page 9: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/9.jpg)
12
Dalam pengembangan pola konsumsi pangan sangat diperlukan sebuah
pengetahuan tentang jenis bahan pangan, kemampuan dan keterampilan dalam
memilih jenis bahan pangan yang selanjutnya harus disesuaikan kepada
kebiasaan masyarakat tersebut. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan
melalui dua sisi (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Adapun kedua sisi tersebut
adalah:
1. Sisi Kuantitas
Dalam sisi kuantitas hal yang diperlukan untuk diperhatikan adalah
volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan
pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan
sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal
sebagai Angka Kecukupan Gizi (AKG). Sedangkan untuk menilai kuantitas
konsumsi pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Kecukupan Energi
(TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP)
2. Sisi Kualitas
Dalam sisi kualitas ini penilaian lebih ditujukan pada keanekaragaman
pangan. Semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi
akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk penilaian keanekaragaman pangan
digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH).
Ditinjau dari aspek gizi, pangan yang beraneka ragam umumnya memiliki
mutu yang lebih tinggi daripada mutu masing-masing pangan yang
menyusunnya. Hal ini dapat terjadi karena terjadinya saling mengisi antara
pangan yang dikonsumsi, dimana kekurangan zat gizi dalam suatu pangan
ditutupi oleh kelebihan zat yang bersangkutan dalam pangan laiinnya
(Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2000).
Menurut Maxwell dan Frankenberger (1992), seseorang dikatakan cukup
konsumsi pangannya jika konsumsi energinya dapat memenuhi kebutuhan untuk
beraktifitas dan hidup sehat berdasarkan standar kebutuhan minimal. Azwar
(2004) menyatakan secara operasional seseorang dikatakan kebutuhan
energinya terpenuhi bila konsumsi energi perkapita perhari ≥ 70%. Depkes RI
(1990) dalam Supariasa et al. (2001), klasifikasi tingkat kecukupan dibagi
menjadi empat dengan cut of points masing-masing sebagai berikut: baik (≥90%
AKG), sedang (80%-89% AKG), kurang (70-80% AKG) dan defisit (<70% AKG).
![Page 10: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/10.jpg)
13
Penilaian Konsumsi Pangan
Survei konsumsi pangan adalah alat yang digunakan untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan dalam menyusun suatu kegiatan atau program. Survei
konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri konsumsi
pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun jumlah
yang dikonsumsi, termasuk kebiasaan makan serta faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi pangan tersebut (Suhardjo et al. 1988).
Berdasarkan satuan atau unit, penilaian konsumsi pangan dapat
dibedakan menjadi penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi
pangan keluarga (rumah tangga). Umumnya prinsip penilaian konsumsi zat gizi
individu dan keluarga adalah sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan
penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota
keluarga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah
kelompok orang seperti keluarga atau rumah tangga, maka jumlah konsumsi
pangan keluarga atau rumah tangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota
keluarga yang mengkonsumsi pangan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994).
Survei konsumsi pangan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang (baik berupa keluarga, rumah
tangga,penduduk desa atau wilayah), baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Survei konsumsi pangan secara kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah
pangan yang dikonsumsi. Survei konsumsi pangan secara kualitatif digunakan
untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan
yang dikonsumsi, informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara
memperoleh pangan (Suhardjo et al. 1988).
Menurut Gibson (2005) survei konsumsi pangan bertujuan untuk
mengetahui konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang secara
kuantitatif. Ada beberapa survei konsumsi pangan, diantaranya adalah FFQ
(Food Frequency Questionaire), Recall, Weighed Method. FFQ merupakan
kuesioner yang mengambarkan frekuensi responden dalam mengonsumsi
beberapa jenis makanan dan minuman. Ada beberapa jenis FFQ antara lain
Simple or Nonquantitative FFQ, Semi Quantitative Food Frequency, dan
Quantitative FFQ.
![Page 11: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/11.jpg)
14
Metode Recall 24 Jam
Metode ini digunakan untuk memperkirakan jumlah pangan dan minuman
yang dimakan oleh seseorang selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelum
wawancara dilakukan. Dengan metode ini akan diketahui besarnya porsi pangan
berdasarkan ukuran rumah tangga (URT), kemudian dikonversi ke ukuran metrik
(gram) (Riyadi 2004).
Metode recall memiliki keunggulan yaitu murah dan tidak memakan waktu
banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena
mengandalkan ingatan seseorang yang terbatas dan tergantung dari keahlian
tenaga pencatatan dalam mengkonversikan URT menjadi satuan berat (gram)
(Kusharto dan Sa’diyyah 2006).
Food Record
Metode ini umumnya dilaksanakan dalam tujuh hari, biasanya responden
diminta untuk mencatat semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah
tangga (URT) atau menimbang langsung berat pangan yang dimakan (Riyadi
2004). Metode food record merupakan metode yang akurat untuk survei
konsumsi pangan di tingkat keluarga. Kekurangan dari metode ini adalah biaya
relatif mahal, perlu partisifasi yang tinggi dari responden, pola konsumsi pangan
rumah tangga yang dapat berubah (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).
Weighing Method
Metode penimbangan mengukur secara langsung berat setiap jenis
pangan yang dikonsumsi seseorang pada saat wawancara (Riyadi 2004).
Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2006) menyatakan pengukuran dengan
metode weighing method terdiri dari beberapa proses seperti menimbang bahan
pangan dalam keadaan mentah (proses persiapan), setelah masak (penyajian),
dan setelah makanan tersebut dikonsumsi (mengamati sisa yang tidak dimakan).
Metode penimbangan ini juga akurat untuk digunakan karena dilakukan
penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang dikonsumsi.
Tetapi metode ini mahal, memerlukan waktu lama, rasa segan atau malu pada
responden, dan adanya kemungkinan perubahan pola konsumsi pangan dari
kebiasaan sehari-hari dengan adanya kehadiran kita (Kusharto dan Sa’diyyah
2006).
![Page 12: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/12.jpg)
15
Food Frequency Questionnaire (FFQ)
Metode FFQ dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan
untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan seseorang. Untuk itu
diperlukan kuesioner yang terdiri atas dua komponen yaitu daftar jenis pangan
dan frekuensi konsumsi pangan (Riyadi 2004). Pada metode ini ditanyakan
tentang frekuensi konsumsi sejumlah makanan jadi atau bahan makanan selama
periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun.
Metode ini juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara
kuantitatif, semuanya tergantung terhadap tujuan penelitian. Kelebihan FFQ
adalah lebih murah, cepat dalam mengumpulkan data, dapat mengetahui pangan
yang biasa dikonsumsi oleh rumah tangga, dan lebih representatif. FFQ juga
mempunyai kekurangan seperti kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang
dipilih oleh responden, tergantung kepada kemampuan responden untuk
mendeskripsikan dietnya.
FFQ terbagi dalam beberapa jenis antara lain (Gibson 1993):
1. Simple or nonquantitative FFQ
Jenis FFQ seperti ini biasanya tidak memberikan pilihan tentang porsi yang
biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi.
2. Semi quantitative FFQ
Metode ini tidak hanya melihat bahan makanan yang dikonsumsi oleh sampel,
melainkan juga melihat besar porsi atau banyaknya bahan makanan yang
dikonsumsi oleh sampel. Metode SQFF (Semi Quantitative Food Frequency)
adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi selama periode tertentu
seperti setiap hari, minggu, bulan dan tahun. Selain itu dengan metode
frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan
makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan
dapat membedakan individu berdasarkan asupan zat gizi, maka cara ini paling
sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa et al. 2001).
Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah bahan
makanan yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh
responden.
3. Quantitative FFQ
Jenis FFQ yang memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi responden,
seperti kecil, sedang dan besar.
![Page 13: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/13.jpg)
16
Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Konsumsi energi penduduk dikatakan mencukupi bila memenuhi
kebutuhan untuk metabolisme basal dari aktivitas fisik sehari-hari, jumlah
kebutuhan ini disebut kecukupan gizi, yaitu jumlah zat gizi yang sebaiknya
dikonsumsi oleh setiap individu agar dapat hidup sehat (PSKPG 1994). Jumlah
zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan
tubuh untuk melakukan kegiatan baik internal maupun eksternal, pemeliharaan
tubuh, dan pertumbuhan bagi yang masih dalam taraf pertumbuhan (bayi, anak-
anak dan remaja) atau untuk aktivitas pemeliharaan tubuh bagi orang dewasa
dan usia lanjut (Hardinsyah & Martianto 1992).
Muhilal (1998) membedakan istilah kebutuhan gizi dan kecukupan gizi.
Kebutuhan gizi adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan seseorang
agar hidup sehat. Sedangkan kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat
gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua orang (sekitar
97,5% populasi) hidup sehat. Kebutuhan dan kecukupan gizi biasanya disusun
berdasarkan kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis kelamin
(Hardinsyah & Martianto 1992).
Dalam menilai tingkat konsumsi pangan (energi dan zat gizi) diperlukan
suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary
Allowances (RDA) untuk populasi yang diteliti. Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang digunakan di Indonesia adalah Hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII tahun 2004.
Penyajian angka kecukupan gizi tersebut digolongkan berdasarkan
kepada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas dan
kondisi fisiologis khusus (hamil atau menyusui). AKG digunakan sebagai standar
untuk mencapai status gizi optimal bagi penduduk dalam hal penyediaan pangan
secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan gizi penduduk golongan
masyarakat tertentu yang diperoleh dari konsumsi pangan (Almatsier 2005).
![Page 14: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/14.jpg)
17
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketahanan Pan gan
Rumah Tangga
Ukuran Rumah Tangga
Ukuran rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang
terdiri atas ayah, ibu, anak dan anggota rumah tangga lain yang hidup dari
pengelolaan sumberdaya yang sama. Ukuran rumah tangga akan mempengaruhi
pengeluaran rumah tangga (Sukandar 2007). Menurut Suhardjo (1989),
menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk satu rumah tangga yang besar
mungkin cukup untuk rumah tangga yang besarnya setengah dari rumah tangga
tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada rumah tangga
yang besar tersebut. Hasil penelitian Latief et al. (2000) menemukan bahwa
jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi konstibusi karbohidrat, lemak,
dan protein terhadap total energi intake perkapita perhari. Banyaknya anggota
keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (1989) menyatakan
bahwa ada hubungan sangat nyata antara ukuran rumah tangga dan kurang gizi
pada masing-masing rumah tangga.
Jumlah anggota rumah tangga yang semakin besar tanpa diimbangi
dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi
pangan akan semakin tidak merata. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk
mencegah timbulnya gangguan gizi pada rumah tangga besar. Seperti juga yang
dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada
rumah tangga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga
kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak,
lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam
hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan
bahwa besar rumah tangga yaitu banyaknya anggota suatu rumah tangga, akan
mempengaruhi pengeluaran rumah tangga.
Harper (1988), mencoba menghubungkan antara ukuran rumah tangga
dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak
yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika
dibandingkan rumah tangga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan
bahwa rumah tangga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak badutanya
lebih sering menderita gizi kurang.
![Page 15: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/15.jpg)
18
Umur
Setiap anggota rumah tangga memiliki kebutuhan akan makanan yang
berbeda-beda, perbedaan ini dapat dilihat dari kapasitas umur masing-masing
anggota rumah tangga. Menurut Sumarwan (2004), menyatakan bahwa
perbedaan usia dapat mempengaruhi tingkat maupun macam barang dan jasa
(baik berupa pangan maupun non pangan) yang akan dibeli dan dikonsumsi
seseorang. Konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa
yang berbeda pula. Perbedaan usia juga dapat mengakibatkan selera dan
kesukaan terhadap merek suatu produk pangan maupun jasa.
Umur merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengetahui
kebutuhan gizi seseorang. Distribusi kebutuhan pangan dalam rumah tangga
tidak merata, artinya setiap anggota rumah tangga tersebut mendapat jumlah
makanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya, menurut umur dan keadaan
fisiknya (Sediaoetama 1996).
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang dapat dinilai berdasarkan lama atau jenis
pendidikan apa yang dialami baik di bidang formal maupun informal. Menurut
Hardinsyah (2007), menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal mencerminkan
kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk
aspek pengetahuan gizi. Pada umumnya tingkat pendidikan seseorang akan
sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya sehari-hari, hal ini juga dapat dilihat
dari sikap dan perilaku makan yang tercermin pada masing-masing individu.
Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan sebuah keluarga
untuk mengakses kebutuhan hidupnya. Dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan kepala rumah tangga akan memudahkan rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998). Informasi yang dimiliki seseorang
tentang kebutuhan gizi akan menentukan jumlah dan jenis pangan yang
dikonsumsi. Orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memilih
makanan yang lebih murah dengan gizi yang lebih tinggi, sesuai jenis pangan
yang tersedia dan kebiasaan pangan sejak kecil, sehingga kebutuhan zat gizi
dapat terpenuhi (Husaini 1983).
![Page 16: I11nws_BAB II Tinjauan Pustaka](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022080211/557202e04979599169a43948/html5/thumbnails/16.jpg)
19
Pengeluaran
Pengeluaran suatu rumah tangga dapat dibagi menjadi dua pengeluaran
yaitu, pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan. Pengeluaran pangan
merupakan jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan
sedangkan pengeluaran non pangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan
untuk keperluanselain pangan seperti pendidikan, listrik, air, komunikasi,
transportasi, tabungan, biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan
lainnya (Kartika 2005). Menurut Suhardjo (1996) dan Azwar (2004) pangsa
pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan, makin
besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan pangan semakin
berkurang. Semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara pangsa
pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya .
Teori Engel’s mengemukakan “Dengan semakin tinggi tingkat
pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi
makanan” (Sumarwan 1993). Hal ini menjelaskan bahwa suatu rumah tangga
maupun kelurga dikatakan sejahtera apabila alokasi pengeluaran untuk makanan
lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi pengeluaran untuk non pangan.
Besaran pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan dalam suatu rumah tangga
dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rumah tangga.
Menurut Sajogyo (2002) dalam Hildawati (2008), data pengeluaran rumah
tangga lebih menggambarkan pendapatan rumah tangga yang meliputi
penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain seperti tabungan masa lalu,
pinjaman dan pemberian. Menurut Moho dan Wagner (1981) dalam Hildawati
(2008), data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi rumah tangga
dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Dikemukakan pula
bahwa pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan
lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena itu, data
pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.
Sumarwan (2004) para peneliti seringkali mengalami kesulitan untuk
mendapatkan data pendapatan dari konsumen. Untuk mengatasi kesulitan
tersebut, para peneliti menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan
seorang konsumen atau rumah tangga, yaitu dengan pendekatan pengeluaran
konsumen atau rumah tangga. Jumlah pengeluaran rumah tangga inilah yang
dianggap sebagai indikator pendapatan rumah tangga.