repository.utu.ac.idrepository.utu.ac.id/1161/1/bab i-v.docx · web viewsasaran yang ingin dicapai...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai merupakan suatu upaya
dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup kearah yang lebih baik.
Upaya tersebut telah dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan pelayanan
publik seperti pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang merupakan
bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memperhatikan kesehatan masyarakat
haruslah terselenggara dengan sebaik-baiknya. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan juga mengamanatkan pemerintah untuk mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan universal bagi setiap
masyarakat, termasuk pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (Undang-undang
No.36 Tahun 2009).
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas juga merupakan suatu sarana
pelayanan kesehatan yang menjadi andalan atau tolak ukur pembangunan
2
kesehatan, sarana peran serta masyarakat, dan pusat pelayanan pertama yang
menyeluruh dari suatu wilayah (Permenkes RI, 2014).
Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan. Puskesmas memiliki tiga fungsi yaitu sebagai pusat pembangunan
kesehatan masyarakat, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menjadi ujung tombak pembangunan bidang
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh,
terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat dan
menggunakan hasil pembangunan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tepat guna,
dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat (Muninjaya,
2014).
Negara wajib melayani setiap warga Negara dan penduduk untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah
sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama
yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat.
Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan. (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik)
3
Program KIA termasuk satu dari enam program pokok (basic six)
puskesmas yang bertujuan untuk memantapkan dan meningkatkan mutu
pelayanan KIA secara efektif da efisien. Program ini bertanggung jawab dalam
kegiatan pelayanan sebagai berikut: pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana, neonatus, bayi
baru lahir dengan komplikasi, bayi dan balita dan anak prasekolah.
Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih tingginya angka kematian
ibu dan angka kematian bayi dan anak balita yang ada di Indonesia. Tinggi
rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
angka Kematian Anak Balita (AKABa) disuatu negara dapat dilihat dari
kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang
bermutu dan menyeluruh. Menurut hasil SDKI tahun 2012 Angka Kematian
Ibu (AKI) secara nasional masih tinggi yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup,
Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 32 per 1000 kelahiran hidup dan Angka
Kematian Anak Balita (AKABa) yaitu sebesar 40 per 1000 kelahiran hidup
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu upaya pelayanan
dasar yang ada di puskesmas. Tujuan umum program KIA ini adalah
meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak serta menurunkan angka kematian
ibu dan anak. Untuk itu diperlukan pengelolaan program kesehatan ibu dan
4
anak yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak setinggi-
tingginya (Peraturan Presiden RI, 2012).
Program kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas
Kementrian Kesehatan dan keberhasilan program KIA menjadi salah satu
indikator utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005-2025. Tingginya angka kematian ibu (AKI) di indonesia
membuat pemerintah menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program
prioritas dalam pembangunan kesehatan.
Pemerintah menjadikan upaya penurunan AKI, AKB dan AKABa
sebagai upaya dalam pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs).
Sasaran yang ingin dicapai sesuai target MDGs ke-4 yaitu menurunkan Angka
Kematian Bayi menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian
Balita menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 dan target MDGs
ke-5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu untuk menurunkan angka kematian ibu
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Kemenkes RI,
Tahun 2010).
Berbagai program KIA telah dirancang oleh Kementrian Kesehatan RI,
yang ditinjaklanjuti oleh dinas kesehatan di tingkat propinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, desa, sampai dusun dan rumah tangga. Namun jumlah kematian ibu
dan kematian anak tetap tinggi, dan diberbagai propinsi malah mengalami
peningkatan. Tingginya angka kematian ibu dapat menunjukkan masih
rendahnya mutu pelayanan kesehatan. Penurunan AKI juga merupakan indikator
5
keberhasilan derajat kesehatan suatu wilayah. Untuk itu pemerintah berupaya
bahu membahu membuat berbagai strategi untuk akselerasi menurunkan AKI.
Salah satu pemecahan masalah penurunan AKI dan AKB dilakukan
melalui intervensi yang terbukti efektif di Srilangka yaitu semua persalinan
harus di fasilitas kesehatan (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Persalinan di
fasilitas kesehatan harus didukung oleh tenaga kesehatan yang kompeten,
fasilitas kesehatan yang memenuhi standar operasional, manajemen program
yang efektif dan dukungan penuh dari semua pengampu (Stakeholder) terkait
(Permenkes No 71 Tahun 2013).
Dari hasil pengambilan data awal tiga tahun terakhir pada UPTD
Puskesmas Peureumeue terjadi ketidak stabilan kunjungan pasien kesehatan ibu
dan anak yang cenderung naik turun, hal ini dapat dilihat yaitu dari tahun
2013 jumlah kunjungan sebanyak 4.700 kunjungan, tahun 2014 meningkat
sebanyak 7.451 kunjungan dan tahun 2015 jumlah kunjungan mengalami
penurunan yaitu 5.773 kunjungan.
Berdasarkan hasil pengambilan data awal dan survei pendahuluan
melalui wawancara dan observasi, diketahui bahwa masih ada beberapa
permasalahan yang terkait dengan mutu pelayanan program KIA. Hasil
wawancara dengan pasien yang pernah berobat ke Puskesmas Peureumeue yang
dilakukan terhadap 5 orang pasien, dari 2 pasien memberikan tanggapan puas
terhadap pelayanan yang diberikan dan 3 lagi pasien mengatakan belum puas
terhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dengan alasan,
6
dimana seringnya petugas bidan puskesmas tidak ada ditempat, petugas
puskesmas lambat dalam memberikan pelayanan, fasilitasnya yang masih kurang
memadai dan kurang responnya tenaga kesehatan terhadap keluhan-keluhan
pasien.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Mutu Pelayanan Program KIA
(Kesehatan Ibu dan Anak) di Puskesmas Peureumeue Kecamatan Kaway
XVI Kabupaten Aceh Barat”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti
menetapkan rumusan masalah tentang “Evaluasi Mutu Pelayanan Program KIA
(Kesehatan Ibu dan Anak) di Puskesmas Peureumeue Kecamatan Kaway XVI
Kabupaten Aceh Barat.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
Mutu Pelayanan Program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di Puskesmas
Peureumeue Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat.
7
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui conteks mutu pelayanan Program KIA di Puskesmas
Peureumeue.
2. Untuk mengetahui input mutu pelayanan program KIA di Puskesmas
Peureumeue.
3. Untuk mengetahui produk mutu pelayanan program KIA di Puskesmas
Peureumeue.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
1. Memberikan wawasan ilmu pengetahuan penulis untuk mengembangkan
diri dalam disiplin Ilmu Kesehatan Masyarakat.
2. Sebagai bahan bacaan bagi perpustakaan yang dapat dimanfaatkan
oleh mahasiswa khususnya Fakultas Kesehatan Masyarakat dan
Referensi bagi peneliti mengenai hal tersebut.
b. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menilai mutu
pelayanan program KIA di Puskesmas Peureumeue.
2. Dapat memberikan masukan untuk Puskesmas Peureumeue dari
evaluasi mutu pelayanan program KIA di Puskesmas Peureumeue
untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Evaluasi
2.1.1 Definisi Evaluasi
Wirawan (2012) mengatakan bahwa evaluasi sebagai riset untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat
mengenai objek evaluasi, menilainnya dan membandingkannya dengan indikator
evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek
evaluasi.
Menurut Suharsimi Arikunto (2009) evaluasi adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi
yang berguna bagi decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan
diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Tayibnapis (2008) orang pertama yang membedakan antara evaluasi
formatif dan evaluasi sumatif sebagai fungsi evaluasi yang utama. Fungsi
evaluasi formatif yaitu evaluasi untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan
yang sedang berjalan (program, orang, produk, dan sebagainya). Fungsi
evaluasi sumatif yaitu evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan,
seleksi atau lanjutan.
9
Kemudian Stufflebeam juga membedakan sesuai di atas yaitu Proactive
evaluation untuk melayani pemegang keputusan, dan Retroactive evaluation
untuk keperluan pertanggungjawaban. Jadi evaluasi hendaknya membantu
pengembangan implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program,
pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan, dan dukungan
dari mereka yang terlibat (Tayibnapis 2008).
Evaluasi adalah sebagai suatu proses penelitian sistematik untuk
menyediakan informasi yang dapat dipercaya mengenai karakteristik, aktifitas,
atau keluaran (outcome) program atau kebijakan untuk tujuan penelitian.
Definisi ini menyatukan pentingnya pemakaian dengan mensignifikasi bahwa
evaluasi harus dipakai untuk suatu tujuan penilaian. Evaluasi juga sering
dilakukan untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan. Proses
evaluasi suatu pelaksanaan kegiatan dapat menunjukkan informasi tentang
sejauh mana kegiatan itu telah dilaksanakan atau hal-hal yang telah dicapai.
Standar atau kriteria yang telah ditentukan sebelumnya dapat dijadikan acuan
untuk melihat ketercapaian suatu program, kesesuaian dengan tujuan,
keefektifan, keefisienan, dan hambatan yang dijumpai dalam sebuah program
(Wirawan 2012).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi
sifatnya luas, evaluasi dapat dilakukan meliputi dua aspek yaitu kuantitatif dan
kualitatif. Dimana melaksanakan pengukuran terhadap suatu kinerja, dalam hal
ini lebih bersifat mengukur kuantitas dari pada kerja sedangkan penilaiaan
10
menunjukkan pada segi kualitas, jadi evaluasi berkaitan dengan keduanya yaitu
pengukuran dan penilaian dimana pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan
penilaian bersifat kualitatif.
2.1.2 Model-model Evaluasi
1) Model Evaluasi CIPP
Model evaluasi ini merupakan model yang paling banyak dikenal
dan diterapkan oleh evaluator. Oleh karena itu, uraian yang diberikan
relatif panjang dibandingkan dengan model-model lainnya. Model CIPP
ini dikembangkan oleh Stufflebeam. CIPP yang merupakan sebuah
singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu a) Context Evaluation :
evaluasi terhadap konteks, b) Input Evaluation : evaluasi terhadap
masukan, c) Procces Evaluation : evaluasi terhadap proses, d) Product
Evaluation : evaluasi terhadap hasil. Model CIPP adalah model evaluasi
yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah (Tayibnapis
2008).
2) Evalusi Model UCLA
Menurut Tayibnapis (2008) UCLA merupakan singkatan dari
University of california in los angeles. Alkin mendefinisikan evaluasi
sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang
tepat, mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat
melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam
11
memilih beberapa alternatif. Ia mengemukakan lima macam evaluasi,
yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.
3) Model Brinkerhoff
Tayibnapis (2008) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang
disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti
evaluator-evaluator lain, namun dalam komposisi dan versi mereka
sendiri, yaitu 1) Fixed vs Emergent Evaluation Design : desain evaluasi
yang tepat, 2) Formatif vs summative Evaluation : informasi yang
membantu memperbaiki proyek, 3) Experimental and Quasi
Experimental Design vs Natural : menilai manfaat suatu objek.
4) Model Stake atau Model Countenance
Tayibnapis (2008), analisis proses evaluasi yang dikemukakannya
membawa dampak yang cukup besar dalam bidang ini dan meletakkan
dasar yang sederhana namun merupakan konsep yang cukup kuat untuk
perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. Stake
menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi ialah
Descriptions dan judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam
program pendidikan, yaitu: Antecedents (Contexs), Transaction (Proces),
dan Outcomes (Output).
12
2.1.3 Tujuan dan Pentingnya Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan sesuai dengan
objek evaluasinya. Menurut Wirawan (2011) tujuan dalam melaksanakan
evaluasi antara lain : mengukur pengaruh program terhadap masyarakat, menilai
apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, mengukur apakah
pelaksanaan program sesuai dengan standar, evaluasi program dapat
mengindentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan dan mana
program yang tidak berjalan, pengembangan staf program dimana evaluasi
dapat dipergunakan mengembangkan kemampuan staf serta memberikan
masukan kepada pimpinan/manajer program mengenai kinerja staf dalam
melayani masyarakat, jika terjadi staf kompetensinya rendah maka perlu
dilakukan pengembangan dengan segera, tujuan evaluasi lainnya adalah untuk
memenuhi ketentuan undang-undang, akreditas program, mengambil keputusan
mengenai program, memberikan balikan kepada pimpinan dan staf program.
Evaluasi merupakan suatu yang penting dilakukan, dalam hal ini,
Feurstein menyatakan sepuluh alasan mengapa suatu evaluasi perlu dilakukan.
a. Pencapaian. Guna melihat apa yang sudah dicapai.
b. Mengukur kemajuan. Melihat kemajuan dikaitkan dengan objektif
program.
c. Meningkatkan pemantauan. Agar tercapai manajemen yang lebih baik.
d. Mengindentifikasi kekurangan dan kelebihan. Agar dapat memperkuat
program itu sendiri.
13
e. Melihat apakah usaha sudah dilakukan secara efektif. Guna melihat
perbedaan apa yang terjadi setelah diterapkan suatu program.
f. Biaya dan manfaat. Melihat apakah biaya yang dikeluarkan cukup
masuk akal.
g. Mengumpulkan informasi. Guna merencanakan dan mengolah kegiatan
program secara lebih baik.
h. Berbagi pengalaman. Guna melindungi pihak lain terjebak dalam
kesalahan yang sama.
i. Meningkatkan keefektifan. Agar dapat memberikan dampak yang lebih
luas.
j. Memungkinkan perencanaan yang lebih baik. Karena memberikan
kesempatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, komunitas
fungsional dan komunitas lokal.
2.1.4 Desain Evaluasi
Desain evaluasi program (Tayibnapis 2008), suatu desain ialah rencana
yang menunjukkan bila evaluasi akan dilakukan dan dari siapa evaluasi atau
informasi akan dikumpulkan selama proses evaluasi. Alasan utama memakai
desain yaitu untuk meyakinkan bahwa evaluasi akan dilakukan menurut
organisasi yang teratur dan menurut aturan evaluasi yang baik. Semua orang
yang terlibat dalam evaluasi adalah orang yang tepat, dilakukan pada waktu
yang tepat, dan ditempat yang tepat seperti yang telah direncanakan.
14
Pada dasarnya suatu desain ialah bagaimana mengumpulkan informasi
yang komparatif sehingga hasil program yang dievaluasi dapat dipakai untuk
menilai manfaat dan besarnya program apakah akan diperlukan atau tidak.
a. Desain dalam evaluasi sumatif
Biasanya desain dihubungkan dengan evaluasi sumatif, evaluator
sumatif diharapkan membuat kesimpulan umum, menyingkat dan
membuat laporan tentang keberhasilan program. Karena laporan tersebut
dapat mempengaruhi keputusan tentang masa depan program atau nasib
orang lain, maka evaluator perlu mendukung penemuannya dengan data
yang cukup terpercaya.
b. Desain dalam evaluasi formatif
Menggunakan desain formatif dalam program berarti karyawan
program akan berkesempatan melihat dengan seksama keefektifan
program dan komponen yang ada didalamnya. Hal ini memungkinkan
evaluator menjalankan fungsinya yang utama, menganjurkan orang-orang
program mengamati terus-menerus dengan cermat kegiatan-kegiatan
dalam program.
2.1.5 Indikator Evaluasi
Secara umum, indikator dapat didefinisikan sebagai suatu alat
ukur untuk menunjukkan atau menggambarkan suatu keadaan dari suatu
hal yang menjadi pokok perhatian indikator dapat menyangkut suatu
fenomena sosial, ekonomi penelitian, proses suatu usaha peningkatan
15
kualitas. Indikator dapat berbentuk ukuran, angka, atribut atau pendapat
yang dapat menunjukkan suatu keadaan.
Terdapat empat indikator yang digunakan untuk mengevalusi
suatu kegiatan, yaitu :
a. Indikator ketersediaan, indikator ini melihat apakah unsur yang
seharusnya ada dalam suatu proses itu benar-benar ada.
b. Indikator relevansi, indikator ini menunjukkan seberapa relevan
ataupun tepatnya sesuatu teknologi atau layanan yang ditawarkan.
c. Indikator efisiensi, indikator ini menunjukkan apakah sumber daya
dan aktivitas yang dilaksanakan guna mencapai tujuan dimanfaatkan
secara tepat guna (efisien), atau tidak memboroskan sumber daya
yang ada dalam upaya mencapai tujuan.
d. Indikator keterjangkauan, indikator ini melihat apakah layanan yang
ditawarkan masih berada dalam jangkauan pihak-pihak yang
membutuhkan.
Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa dalam mengevaluasi program
harus memilih pendekatan/desain untuk melakukan penilaian secara sistematis
dan objektif terhadap pelaksanaan program.
16
2.2 Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1 Pengertian Mutu
Beberapa pengertian mutu yang dikemukakan para ahli (Azwar, 2010).
1. Mutu adalah tingkat kesempurnaan dan penampilan sesuatu yang sedang
diamati (Winston Dictionary, 1956).
2. Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program.
3. Mutu adalah totalitas, wujud, serta ciri suatu barang atau jasa, yang di
dalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan
kebetuhan para pengguna.
4. Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby,
1984).
Dari keempat batasan itu, mutu pelayanan hanya dapat diketahui apabila
sebelumnya telah dilakukan penilaian. Dalam praktik sehari-hari melakukan
penilaian ini tidaklah mudah. Penyebab utamanya adalah karena mutu
pelayanan kesehatan tersebut bersifat multidimensional, bergantung pada latar
belakang dan kepentingan individu. Dengan demikian, setiap orang dapat saja
melakukan penilaian dengan dimensi yang berbeda Muninjaya (2014).
17
2.2.2 Pengertian Pelayanan Kesehatan
Pengertian pelayanan kesehatan menurut pendapat Azwar (2010), yang
dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan
ataupun masyarakat.
Dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Bab I pasal I
ayat 11 disebutkan bahwa upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat. Selanjutnya dalam Bab VI pasal 46 dan 47 tertulis bahwa untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk
upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Upaya
kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh
dan berkesinambungan. Untuk keberhasilan upaya pembangunan kesehatan
tersebut maka masyarakat perlu diikutsertakan agar berpartisipasi aktif dalam
upaya kesehatan (UU Kesehatan, 2009).
18
Menurut Sondakh (2013) Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok maupun
masyarakat. Syarat pelayanan kesehatan yang baik setidak-tidaknya dapat
dibedakan atas 13 macam, yakni tersedia (available), menyeluruh
(comprehensive), terpadu (integrated), berkesinambungan (continue), adil/merata
(equity), mandiri (sustainable), wajar (appropriate), dapat diterima (acceptable),
dapat dicapai (accessible), dapat dijangkau (affordable), efektif (effective),
efisien (efficient), serta bermutu (quality).
Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan Marjati
(2013). Sementara, mutu pelayanan kesehatan adalah yang merujuk pada
tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada
diri setiap pasien. Sama halnya dengan kebutuhan dan tuntutan, makin
sempurna kepuasan tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan.
Secara umum disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mutu
pelayanan kesehatan adalah timbulnya kepuasan pada setiap pasien sesuai
dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta tata cara penyelenggaraannya
sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan.
Menurut Muninjaya (2014) Mutu pelayanan kesehatan merupakan tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan sesuai dengan kode
etik dan standar pelayanan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan kepuasan
19
bagi setiap pasien Muninjaya (2014). Pelayanan yang bermutu sangat
diperlukan karena merupakan hak setiap pelanggan, dan dapat memberi peluang
untuk memenangkan persaingan dengan pemberi layanan kesehatan lainnya.
Kualitas pelayanan dan nilai berdampak langsung terhadap pelanggan. Kepuasan
pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang dirasakan. Pelanggan
institusi pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Pelanggan internal (internal customer) yaitu mereka yang bekerja di dalam
institusi kesehatan seperti staf medis, paramedis, teknisi, administrasi,
pengelola dan lain sebagainya.
2. Pelanggan eksternal (external customer) yaitu pasien, keluarga pasien,
pengunjung, pemerintah, perusahaan asuransi kesehatan, masyarakat umum,
rekanan, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya (Muninjaya,
2014).
2.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan menurut
Endarwati (2012) adalah unsur masukan, lingkungan dan proses.
1. Unsur Masukan
Unsur masukan meliputi sumber daya manusia, dana dan sarana.
Jika sumber daya manusia dan sarana tidak sesuai dengan standar dan
kebutuhan, maka pelayanan kesehatan akan kurang bermutu. Upaya
dalam meningkatkan mutu puskesmas diperlukan sumber daya manusia
20
yang profesional (SDM) dan peningkatan fasilitas kesehatan. SDM yang
profesional harus mempunyai pendidikan dan keahlian serta memiliki
motivasi, kompetensi dan komitmen kerja yang baik (Muninjaya, 2014).
2. Unsur Lingkungan
Unsur lingkungan meliputi kebijakan, organisasi dan manajemen.
3. Unsur Proses
Yang termasuk dalam unsur proses meliputi proses pelayanan baik
tindakan medis maupun tindakan non-medis. Tindakan non medis salah
satunya adalah penerapan manajemen puskesmas yang merupakan proses
dalam rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk
mencapai tujuan puskesmas (Kemenkes, 2012).
Hal ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Muninjaya (2014)
bahwa mutu pelayanan kesehatan dapat dikaji berdasarkan output sistem
pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitumasukan/input, proses
dan lingkungan.
Menurut Alwi, A. (2011) ada tiga pendekatan penilaian mutu yaitu :
1. Input
Aspek struktur meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk
dapat melaksanakan kegiatan berupa sumber daya manusia, dana dan
sarana. Input fokus pada sistem yang dipersiapkan dalam organisasi,
termasuk komitmen, prosedur serta kebijakan sarana dan prasarana
fasilitas dimana pelayanan diberikan.
21
2. Proses
Merupakan semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional
oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga profesi lain) dan
interaksinya dengan pasien, meliputi metode atau tata cara pelayanan
kesehatan dan pelaksanaan fungsi manajemen.
3. Output
Aspek keluaran adalah mutu pelayanan yang diberikan melalui
tindakan dokter, perawat yang dapat dirasakan oleh pasien dan
memberikan perubahan ke arah tingkat kesehatan dan kepuasan yang
diharapkan pasien.
2.2.4 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
Muninjaya (2014), menganalisis dimensi mutu jasa berdasarkan lima
aspek komponen mutu. Lima aspek komponen mutu pelayanan dikenal dengan
nama Servqual (Service Quality). Servqual mempunyai kontribusi dalam
mengidentifikasi masalah dan menentukan langkah awal pemberi layanan untuk
mengevaluasi kualitas pelayanan. Dimensi mutu menurut Parasuraman terdiri
dari lima dimensi :
1. Bukti fisik (tangibles), mutu pelayanan dapat dirasakan langsung
terhadap fasilitas, penampilan fisik serta pendukung pendukung dalam
pelayanan.
22
2. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan
tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditetapkan.
3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu kesediaan petugas untuk memberikan
pelayanan yang cepat sesuai prosedur dan mampu memenuhi harapan
pelanggan.
4. Jaminan (assurance), yaitu berhubungan dengan rasa aman dan
kenyamanan pasien karena adanya kepercayaan terhadap petugas yang
memiliki kompetensi, kredibilitas dan ketrampilan yang tepat dalam
memberikan pelayanan dan pasien memperoleh jaminan pelayanan yang
aman dan nyaman.
5. Empati (emphaty), yaitu berhubungan dengan kepedulian dan perhatian
petugas kepada setiap pelanggan dengan mendengarkan keluhan dan
memahami kebutuhan serta memberikan kemudahan bagi seluruh
pelanggan dalam menghubungi petugas.
2.2.5 Pengembangan Mutu Pelayanan Kesehatan
Langkah-langkah pengembangan mutu pelayanan harus dimulai dari
perencanaan, pengembangan jaminan mutu, penentuan standar hingga
monitoring dan evaluasi hasil. Menurut Muninjaya (2014) langkah-langkah
pengembangan jaminan mutu terdiri dari tiga tahap.
23
1. Tahap pengembangan strategi dimulai dengan membangkitkan kesadaran
(awareness) akan perlunya pengembangan jaminan mutu pelayanan yang
diikuti dengan berbagai upaya pelaksanaan, peningkatan, komitmen dan
pimpinan, merumuskan visi dan misi institusi diikuti dengan penyusunan
rencana strategis, kebijakan dan rencana operasional, perbaikan
infrastruktur agar kondusif dengan upaya pengembangan mutu.
2. Tahap tranformasi yaitu membuat model-model percontohan di dalam
institusi untuk peningkatan mutu secara berkesinambungan yang
mencakup perbaikan proses perbaikan standar prosedur, dan pengukuran
tingkat kepatuhan terhadap standar prosedur tersebut, pembentukan
kelompok kerja (pokja) mutu yang trampil melakukan perbaikan mutu,
pelatihan pemantauan, pemecahan masalah untuk selanjutnya dipakai
sebagai dasar peningkatan mutu, monitoring dan evaluasinya. Rangkaian
ini disingkat PDCA (Plan, Do, Check and Action).
3. Tahap integrasi yaitu pengembangan pelaksanaan jaminan mutu
diterapkan di seluruh jaringan (unit) institusi, tetapi tetap
memperthanakan komitmen yang sudah tumbuh, optimalisasi proses
pengembangan jaminan mutu secara berkesinambungan.
Perbaikan atau peningkatan mutu bertujuan untuk mencapai kinerja yang
optimal, proses operasional juga harus optimal. Kegiatan peningkatan mutu
meliputi mengidentifikasi proses, membentuk tim untuk melakukan perbaikan
proses tersebut, melakukan diagnosis dan analisis untuk mencari penyebab dan
24
mengidentifikasi penyebab masalah yang utama dan mengembangkan kegiatan-
kegiatan korektif dan preventif serta melakukan uji coba dan berikan
rekomendasi untuk perbaikan yang efektif.
2.2.6 Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan
Menurut Sondakh (2013) Program menjaga mutu atau program jaminan
mutu (PJM-Quality Assurance Program) adalah sesuatu upaya yang
dilaksanakan secara berkesinambungan, sistematis, objektif, dan terpadu untuk:
1. Menetapkan masalah mutu dan penyebabnya berdasarkan standar yang
telah ditetapkan.
2. Menetapkan dan melaksanakan cara penyelesaiaan masalah sesuai dengan
kemampuan yang tersedia.
3. Menilai hasil yang dicapai.
4. Menyusun rencana tindak lanjut untuk lebih meningkatkan mutu.
Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa PJM merupakan sebuah
proses yang dilakukan secara bertahap tetapi berkelanjutan, mulai dari
indentifikasi masalah mutu, mencari dan menerapkan solusi, serta menilai
hasilnya dalam bentuk peningkatan mutu dan penurunan biaya produksi.
Beberapa istilah tentang PJM yang sudah dikenal banyak pakar adalah sebagai
berikut Manajemen Kesehatan Marjati (2013).
25
Menurut Sondakh (2013) Bentuk program menjaga mutu tersebut bisa
ditinjau dari kedudukan organisasi pelaksana program menjaga mutu yaitu:
1. Program Menjaga Mutu Internal
Pada bentuk ini kedudukan organisasi yang bertanggung jawab
terhadap program menjaga mutu berada dalam institusi yang
menyelenggrakan pelayanan kesehatan. Organisasi yang dapat dibentuk
banyak macamnya, jika ditinjau dari peranan para pelaksananya, secara
umum dapat dibedakan atas dua macam:
a. Para pelaksana program menjaga mutu adalah para ahli yang tidak
terlibat dalam pelayanan kesehatan (expert group) yang secara khusus
diberikan wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan Program
Menjaga Mutu.
b. Para pelaksana program menjaga mutu adalah mereka yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan (team based), jadi semacam
Gugus Kendali Mutu, sebagaimana yang banyak dibentuk di dunia
industri.
Dari dua bentuk organisasi yang dibentuk ini, yang dinilai paling baik
adalah bentuk yang kedua, Karena sesunggunya yang paling bertanggung jawab
menyelenggarakan program menjaga mutu sebaiknya bukan orang lainmelainkan
adalah mereka yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan itu sendiri.
26
2. Program Menjaga Mutu Eksternal
Pada bentuk ini kedudukan organisasi yang bertanggung jawab
terhadap program menjaga mutu berada di luar institusi yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Jika dibandingkan kedua bentuk program menjaga mutu ini, jelas
program menjaga internal dinilai lebih baik. Oleh karena pada program
menjaga mutu eksternal seolah-olah ada campurtangan pihak luar untuk
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh suatu institusi pelayanan
kesehatan, yang biasanya sulit diterima Pipitcahyani (2013).
Tetapi jika ditinjau dari waktu dilaksanakannya kegiatan menjaga
mutu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni sebagai berikut:
a. Program Menjaga Mutu Prospektif
Program menjaga mutu prospektif (prospective quality assurance)
adalah program menjaga mutu yang dilaksanakan sebelum pelayanan
kesehatan diselenggarakan Sondakh (2013). Pada bentuk ini perhatian
utama lebih ditunjukkan pada unsur masukan serta lingkungan.
Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu,
dilakukan pemantauan dan penilaian terhadap tenaga pelaksana¸ dana,
serta sarana; di samping terhadap kebijakan, organisasi, dan
manajemen institusi kesehatan.
27
b. Program Menjaga Mutu Konkuren
Program menjaga mutu konkuren (concurrent quality assurance)
adalah program menjaga mutu yang diselenggarakan bersamaan
dengan pelayanan kesehatan. pada bentuk ini, perhatiaan utama lebih
ditunjukkan pada unsur proses, yakni memantau dan menilai
tindakan medis dan nonmedis yang dilakukan. Apabila kedua
tindakan tersebut tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan,
maka berarti pelayanan kesehatan yang diselenggarakan kurang
bermutu (Sondakh, 2013).
c. Program Menjaga Mutu Retrospektif
Program menjaga mutu retrospektif (retrospective quality
assurance) adalah program menjaga mutu yang diselenggarakan
setelah pelayanan kesehatan. pada bentuk ini, perhatian utama lebih
ditunjukkan pada unsur keluaran/hasil, yakni memantau dan menilai
penampilan pelayanan kesehatan. jika penampilan tersebut berada
dibawah standar yang telah ditetapkan, berarti pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan kurang bermutu (Sondakh, 2013).
28
Menurut Pipitcahyani (2013) Apabila program menjaga mutu dapat
dilaksanakan, banyak manfaat yang akan diperoleh. Secara umum manfaat yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Dapat lebih meningkatkan efektivitas pelayanan kesehatan.
2. Dapat lebih meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan.
3. Dapat lebih meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan.
4. Dapat melindungi pelaksana pelayanan dari kemungkinan munculnya
gugatan hukum.
2.3 Program Kesehatan Ibu dan Anak
2.3.1 Pengertian Program KIA
Program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu dari enam
program pokok puskesmas yang bertujuan untuk memantapkan dan
meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien.
Berdasarkan standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten/kota
yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI, maka program di puskesmas,
khususnya KIA harus meliputi sebagai berikut meliputi : pelayanan ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana,
neonatus, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi dan anak balita serta anak
prasekolah.
29
2.3.2 Tujuan Program KIA
Tujuan program kesehatan ibu dan anak adalah tercapainya kemampuan
hidup sehat melalui peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi ibu dan
keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS)
serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh
kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia
seutuhnya.
Tujuan khusus dari program ini adalah :
1. Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap dan prilaku), dalam
mengatasi kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan
tekhnologi tepat guna dalam upaya pembinaan kesehatan keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
2. Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah
secara mandiri didalam lingkungan keluarga da masyarakat.
3. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu
hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan ibu meneteki.
4. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas, ibu meneteki, bayi dan anak balita.
5. Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan
seluruh anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak
prasekolah, terutama melalui peningkatan peran ibu dan keluarganya.
30
2.3.3 Pelayanan Program KIA
Adapun pelayanan Program KIA meliputi :
1. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan
standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan
Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan
khusus, serta intervensi umum dan khusus(sesuai resiko yang ditemukan dalam
pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri atas :
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)
6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus
Toksoid (TT) bila diperlukan.
7. Pemberian Tablet zat besi ini minimal 90 tablet selama kehamilan.
8. Test laboratorium (rutin dan khusus).
9. Tatalaksana kasus.
10. Temu wicara (konseling), termasuk perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.
31
Frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan,
yaitu :
- Minimal 1 kali pada triwulan pertama.
- Minimal 1 kali pada triwulan kedua, dan
- Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.
2. Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga kesehatan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan
yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Hal ini
diutamakan untuk :
a. Mencegah terjadinya infeksi
b. Menerapkan metode persalinan yang sesuai dengan standar
c. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang
lebih tinggi
d. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
e. Memberikan injeksi vit K 1 dan salap mata pada bayi baru lahir
3. Deteksi Dini Faktor Resiko dan Komplikasi Kebidanan
Deteksi dini kehamilan dengan faktor resiko adalah kegiatan yang
dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor resiko dan
komplikasi kebidanan. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal,
tetapi tetap mempunyai resiko untuk terjadinya komplikasi. Oleh karnanya
32
deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor resiko
dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan
kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang
dilahirkannya.
Faktor-faktor resiko pada ibu hamil adalah :
- Primigravida <20 tahun atau >35 tahun
- Anak >4 orang
- Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang <2 tahun
- Kurang energi kronis (KEK) dengan LLA <23,5 cm atau penambahan
berat badan >9 kg selama masa kehamilan
- Anaemia dengan Hb<11 g/dl
- TB <145 cm atau dengan kelainan bentuk panggul dan tulang belakang
- Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau pada kehamilan
sekarang.
- Sedang menderita penyakit kronis antaranya :TBC, kelainan jantung,
ginjal, hati, kelainan endokrin, tumor dan keganasan.
- Riwayat kehamilan buruk (abortus berulang, mola hidatidosa, KPD,
kehamilan ektopik, bayi dengan cacat konginetal).
- Riwayat persalinan dengan komplikasi (sectio cesaria, ekstraksi
vakum/forcep).
- Kelainan jumlah janin (kehamilan ganda)
- Kelainan besar janin dan Kelainan letak janin
33
4. Penanganan Komplikasi Kebidanan
Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan
komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh
tenaga kesehatan yang kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan.
Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan komplikasi
kebidanan maka diperlukan adanya fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu
memberikan pelayanan onstetri dan neonatal emergensi secara berjenjang mulai
dari polindes/poskesdes, puskesmas mampu PONED sampai rumah sakit
PONEK 24 jam.
Pelayanan medis yang dapat dilakukan di puskesmas mampu PONED
meliputi :
Pelayanan obstetri :
- Penanganan pendarahan pada kehamilan, persalinan dan nifas
- Pencegahan dan penanganan hipertensi dalam kehamilan
- Pencegahan dan penanganan infeksi
- Penanganan partus lama/ macet
- Penanganan abortus
- Stabilisasi komplikasi obstetrik untuk dirujuk dan transportasi rujukan
34
Pelayanan neonatus :
- Pencegahan dan penanganan asfiksia
- Pencegahan dan penanganan hipotermi
- Penanganan BBLR
- Pencegahan dan penanganan infeksi neonatus, kejang neonatus, ikterus
ringan sedang
- Pencegahan dan penanganan gangguan minum
5. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar
pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca besalin oleh tenaga kesehatan.
untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan
pemeriksaan terhadap ibu nifas dan meningkatkan cakupan KB pasca persalinan
dengan melakukan kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan ketentuan
waktu :
- Kunjugan nifas pertama (KF1) : 6 jam-3 hari pasca persalinan
- Kunjungan nifas kedua (KF2) : 4-28 hari pasca persalinan
- Kunjungan nifas ketiga (KF3) : 29-42 hari pasca persalinan
Pelayanan yang diberikan adalah :
- Pemeriksaan TD, nadi, respirasi, dan suhu
- Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uteri)
35
- Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran pervaginam lainnya
- Pemeriksaan peyudara dan anjuran ASI eklusif
- Pemberian kapsul vit A sebanyak 2 kali (segera setelah melahirkan dan
24 jam setelah pemberian pertama
- Pelayanan KB pasca persalinan
6. Pelayanan Kesehatan Neonatus
Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar
yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus
sedikitnya 3 kali, selama periode 0-28 hari setelah lahir, baik difasilitas
kesehatan maupu melalui kunjungan rumah. Pelaksanaan pelayanan kesehatan
neonatus yaitu :
- Kunjugan Neonatus ke-1 (KN 1) : 6-48 jam setelah lahir
- Kunjungan Neonatus ke-2 (KN 2) : hari ke 3-7 setelah lahir
- Kunjungan Neonatus ke-3 (KN 3) : hari ke 8-28 setelah lahir
Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap
pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat
kelainan/masalah kesehatan pada neonatus. Resiko terbesar kematian neonatus
terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama
kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat dianjurkan
untuk tetap tinggal difasilitas kesehatan selama 24 jam pertama.
36
7. Pelayanan Neonatus dengan Komplikasi
Pelayanan neonatus dengan komplikasi adalah penanganan neonatus dengan
penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan
kematian oleh dokter/bidan/perawat terlatih di polindes, puskesmas, puskesmas
PONED, rumah bersalin dan rumah sakit pemerintah/swasta.
Tanda-tanda neonatus dengan komplikasi :
- Tidak mau minum/menyusu atau memuntahkan semua yang masuk
kemulutnya
- Riwayat kejang
- Bergerak jika hanya dirangsang
- Frewensi napas<30 x /menit atau >60 x / menit
- Suhu tubuh<35,5 atau >37,5
- Tarikan dinding dada kedalam sangat kuat
- Ada pustul dikulit, nanah banyak dimata
- Pusar kemerahan meluas ke dinding perut
- BBLR atau ada masalah menyusu
- Berat menurun umur rendah, adanya kelainan kongenital
- Prematuritas, asfiksia, infeksi bakteri, kejang, ikterus
- Diare, hipotermi, tetanus neonatorum
- Trauma lahir, sindrom gangguan pernapasan, dll
37
8. Pelayanan Kesehatan Bayi
Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang
diberikan oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode
29 hari sampai 11 bulan setelah lahir.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi :
- Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari 2 bulan.
- Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 5 bulan.
- Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 8 bulan.
- Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 11 bulan.
Kunjugan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap
pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan
pada bayi sehingga cepat mendapat pertolongan pemeliharaan kesehatan dan
pencegahan penyakit melalui pemantauan pertumbuhan, imunisasi, serta
peningkatan kualitas hidu bayi dengan stimulasi tumbuh kembang. Dengan
demikian hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi. Pelayanan
kesehatan tersebut meliputi :
a. Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, polio 1-4, DPT / Hb,
campak) sebelum usia 1 tahun.
b. Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang bayi (SDIDTK)
c. Pemberian vitamin A (6-11 bulan)
38
d. Konseling ASI ekslusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda-
tanda sakit dan perawatan kesehatan bayi dirumah menggunakan buku
KIA.
e. Penanganan dan rujukan kasus jika perlu
f. Penanganan dengan metoda MTBS
9. Pelayanan Kesehatan Anak Balita
Masa balita merupakan masa keemasan atau golden periode dimana
terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan, berfikir, berbicara serta
pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal perumbuhan
moral.Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak balita
sakit dan sehat. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai standar
yang meliputi :
a. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun
b. Stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang (SDIDTK)
c. Pemberian vitamin A dosis tinggi, 2 kali setahun
d. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita
e. Pelayanan anak balita sakit sesuai standar dengan menggunakan
pendekatan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit)
39
10. Pelayanan KB Berkualitas
Pelayanan KB Berkualitas adalah pelayanan KB sesuai standar dengan
menghormati hak individu dalam merencanakan kehamilan sehingga diharapkan
dapat berkonstribusi dalam menurunkan angka kematian ibu dan menurunkan
tingkat fertilitas bagi pasangan yang telah cukup memiliki anak (2 anak lebih
baik), serta meningkatkan fertilitas bagi pasangan yang ingin mempunyai anak.
Pelayanan KB bertujuan untuk menunda (merencanakan) kehamilan. Bagi
Pasangan Usia Subur yang ingin menjarangkan dan/atau menghentikan
kehamilan, dapat menggunakan metode kontrasepsi yang meliputi :
a. KB alamiah (sistem kalender, coitus interuptus)
b. Metode KB hormonal (pil, suntik, susuk)
c. Metode KB non hormonal (kondom, AKDR/IUD, vasektomi, dan
tubektomi).
40
2.4 Kerangka Pikir
Menurut Suharsimi Arikunto (2009) evaluasi adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan.
Setelah memilih objek yang akan dievaluasi, maka harus ditentukan aspek-
aspek apa saja dari objek tersebut yang akan dievaluasi. Masa lalu evaluasi berfokus
kebanyakan atas hasil yang dicapai, jadi untuk mengevaluasi objek program,
berarti mengevaluasi hasil programnya yaitu hasil yang telah dicapai peserta.
Akhir-akhir ini, usaha evaluasi ditujukan untuk memperluaskan atau
memperbanyak variabel evaluasi dalam bermacam-macam model evaluasi
(Tayibnapis, 2008). Model CIPP dari Stufflebeam mengemukakan evaluasi yang
berfokus pada empat aspek yaitu :
Conteks
Input
Proses
produk
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Keterangan : variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Mutu Pelayanan Program KIA
41
2.5 Alur Pikir
Gambar 2.2Alur Pikir
Conteks
1. Indikator-indikator pelayanan program KIA di Puskesmas Peureumeu :- Kunjugan ibu hamil K1- Kunjungan ibu hamil K4- Komplikasi kebidanan yangditangani- Pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
- Pelayanan nifas- Pelayanan neonatus dengan
komplikasi- Pelayanan kesehatan bayi- Pelayanan anak balita- Penjaringan kesehatan SD dan
setingkat- Peserta KB Aktif
Input
1. Pasien 2. SDM3. Dana dan sarana
Produk
1. Pelayanan kesehatan- Jasa dan layanan
Evaluasi Mutu Pelayanan
Program KIA
42
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode
pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih
mendalam tentang Evaluasi Mutu Pelayanan Program KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak) di Puskesmas Peureumeue Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh
Barat.
Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif, istilah Penelitian
kualitatif seperti yang diungkapkan Moleong (2013) metodelogi penelitian
kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Peureumeue Kecamatan
Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat pada bulan Mei 2016. Alasan pemilihan
lokasi penelitian adalah belum pernah ada dilakukan penelitian sebelumnya
dilokasi dengan judul yang sama, dan terjadi ketidak stabilan kunjungan pasien
KIA yang cenderung naik turun tiga tahun terakhir di Puskesmas Peureumeue.
43
3.3 Informan Penelitian
Informan adalah orang yang memberikan informasi (Arikunto, 2010).
Informan diperoleh dari kunjungan lapangan yang dilakukan di lokasi penelitian
Puskesmas Peureumeue, dipilih secara purposive merupakan metode penetapan
informan dengan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan informasi
yang dibutuhkan. Kriteria-kriteria tersebut adalah :
- Pasien KIA yang berkunjung ke puskesmas peureumeue
- Pasien dalam keadaan sadar dan bisa diajak berkomunikasi
- Pasien bersedia menjadi responden
- Pasien sudah berobat minimal 2 kali
Adapun yang menjadi Informan dalam penelitian ini adalah :
1. Informan Utama (IU) adalah:
- Pengelola program KIA (Koordinator Program KIA)
- 1 orang bidan petugas diruang KIA
2. Informan Pokok (IP) adalah 5 orang pasien KIA yang
berkunjung ke Puskesmas Peureumeue.
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian diperlukan suatu alat ukur yang tepat
dalam proses pengolahannya. Instruman penelitian adalah
suatu alat yang digunakan dalam mengukur fenomena alam
atau sosial yang diamati. Menurut Moleong (2013) sumber
data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan
44
tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen
dan lain-lain. Adapun alat-alat tambahan yang digunakan
dalam peneliti dalam mengumpulkan data berupa panduan
wawancara, buku catatan, alat perekam (recorder) dan kamera
digital.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode observasi
wawancara dan dokumentasi yaitu:
a. Pengamatan (Observasi)
Metode ini dilakukan untuk melihat dan mengamati secara
langsung keadaan di lapangan agar memperoleh gambaran yang jelas
tentang permasalahan yang diteliti. Peneliti melakukan pengamatan
langsung di lapangan untuk mengamati dan melakukan pengamatan dan
pencatatan terhadap segala bentuk informasi yang berkaitan dengan
evaluasi mutu pelayanan program KIA di puskesmas peureumeue.
b. Wawancara mendalam (Indept Interview)
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
melalui percakapan dengan maksud menggali informasi. Dalam penelitian
kualitatif, wawancara dilakukan secara mendalam. Wawancara dalam
penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan tak berstruktur.
Wawancara terstruktur adalah peneliti menggunakan pedoman wawancara
yang telah disusun sebelumnya sedangkan wawancara tak berstruktur
45
adalah teknik wawancara yang tidak menggunakan pedoman wawancara
secara sistematis, tapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi fenomena
dilapangan artinya pelaksanaan tanya jawab mengalir seperti dalam
percakapan sehari-hari.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan salah satu teknik pengumpulan data
sekunder, Menurut Moleong (2013), dokumen adalah setiap bahan
tertulis ataupun filem, lain dari record (rekaman) yang tidak
dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik.
Selanjutnya studi dokumentasi dapat diartikan sebagai teknik
pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis yang diterbitkan oleh
lembaga-lembaga yang menjadi objek penelitian, baik berupa prosedur,
peraturan-peraturan, gambar, laporan hasil pekerjaan serta berupa foto
ataupun dokumen elektronik (rekaman).
3.6 Jenis Data
3.6.1 Data Primer
Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung dari sumber
objek penelitian yaitu di Puskesmas Peureumeue dan dari subjek penelitian
terdiri dari koordinator program KIA, petugas ruang KIA dan pasien.
Untuk menjaga keabsahan (validasi) data yang dikumpulkan, dilakukan
triangulasi (Moleong, 2013) yaitu:
46
1. Triangulasi sumber, dengan cara membandingkan dan mengecek balik suatu
informasi yang diperoleh melalui narasumber.
2. Triangulasi metode, menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data
yaitu yang didapat dari wawancara mendalam, pengkajian data, dan observasi
langsung di lapangan.
3.6.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan diperoleh dari pihak lain, data ini
tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek peneliti. Dimana data tersebut
diperoleh dari informasi data rekam medis, studi kepustakaan dan internet yang
mendukung penelitian.
3.7 Definisi Istilah
Variabel Definisi Informan Informan Metode
Istilah Utama Pokok
Conteks Kunjungan ibu hamil Koordinator Pasien IndepK1, kunjungan ibu program KIA interviewhamil K4, komplikasikebidanan yang ditan-gani, pertolongan per-salinan oleh tenaga Petugaskesehatan yang memi-liki kompetensi kebid-anan, pelayanan nifas,pelayanan neonatus de-ngan komplikasi, pelay-anan kesehatan bayi, pe-layanan anak balita, pen-jaringan kesehatan SD dan setingkat, peserta
47
KB Aktif.
Input Masukan atau segala Koordinator Pasien Indepsesuatu yang dibutu- Program KIA interviewhkan untuk dapat me-laksanakan kegiatan berupa SDM, dana dan sarana. Petugas
Produk Keluaran atau mutu Koordinator Pasien Indeppelayanan yang di- program KIA interviewberikan berupa jasaatau layanan mela-lui tindakan medis Petugasatau non medis yangdapat dirasakan olehmasyarakat (pasien).
3.8 Teknik Analisis Data
Analisa Data Kualitatif Moleong (2013) adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Dalam penelitian kualitatif, Menurut Sugiyono (2008) kegiatan analisis
data dimulai sejak peneliti melakukan kegiatan pra-lapangan sampai dengan
selesainya penelitian. Analisis data dilakukan secara terus-menerus tanpa henti
sampai data tersebut jenuh. Proses pengumpulan data dilakukan tiga kegiatan
penting, diantaranya yaitu :
1) Reduksi Data
48
Kegiatan reduksi data, pada tahap ini terfokus pada pemilihan,
penyerderhanaan, dan transformasi data kasar dari catatan lapangan.
Dalam proses ini dipilih data yang relevan dengan fokus penelitian.
Proses reduksi ini dilakukan secara bertahap selama dan sesudah
pengumpulan data sampai laporan hasil. Reduksi data dilakukan dengan
cara membuat ringkasan data, menelusuri tema terbesar dan membuat
kerangka penyajian data.
2) Penyajian Data
Penyajian data dalam kegiatan ini peneliti menyususn kembali
data berdasarkan klasifikasi dan masing-masing topik dipisahkan,
kemudian topik yang sama disimpan dalam satu tempat, masing-masing
tempat diberi kode, hal ini dikarenakan agar tidak terjadi kesimpangan
data yang telah disaring. Pada tahap ini data disajikan dalam kesatuan
tema yang terkhusus pada permasalahan yang dituangkan dalam
pertanyaan penelitian.
3) Penarikan Kesimpulan
Data yang telah dikelompokkan yang sesuai dengan topik-topik,
kemudian diteliti kembali dengan cermat, mana data yang sudah lengkap
dan mana data belum lengkap yang masih memerlukan data tambahan,
dan kegiatan ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Setelah data
dianggap cukup dan dianggap telah sampai kepada titik jenuh atau telah
memperoleh kesesuaian, maka kegiatan selanjutnya adalah menyusun
laporan hingga pada akhir pembuatan kesimpulan.
49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Peureumeue adalah salah satu puskesmas yang ada di Kecamatan
Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat, yang terletak di jalan Meulaboh–Beureunuen
Km. 14 Gampong Beureugang. Puskesmas Peureumeue memiliki membawahi 8 unit
Pustu, 5 unit Polindes, 2 unit Poskesdes, 4 unit Posyandu plus dan 43 unit Posyandu,
luas wilayah kerja puskesmas peureumeu adalah + 439 Km2 dengan jumlah gampong
43 Gampong dengan jumlah penduduk sebanyak 20. 855 jiwa.
Batas-batas wilayah kerja Puskesmas Peureumeu sebagai berikut: Sebelah
Utara berbatas dengan wilayah kerja Unit Pelayanan Teknik Dinas (UPTD
Puskesmas Pante Ceureumeun dan Meutulang, Sebelah Selatan berbatas dengan
wilayah kerja Unit Pelayanan Teknik Dinas (UPTD) Puskesmas Meureubo dan Johan
Pahlawan, Sebelah Timur berbatas dengan wilayah kerja Unit Pelayanan Teknik
Dinas (UPTD) Puskesmas Pante Ceureumeun dan Kabupaten Nagan Raya, Sebelah
Barat berbatas dengan wilayah kerja Unit Pelayanan Teknik Dinas (UPTD)
Puskesmas Samatiga dan Kuta Padang Layung.
Fasilitas Kelengkapan Puskesmas adalah: Ruang Unit Gawat Darurat (UGD),
Ruang Kartu, Kamar Mandi/WC, Poli Umum, Poli Gigi, Ruang Kepala, Gudang
50
Obat, Ruang Imunisasi, Kantin; Ruang Tata Usaha, Ruang Bersalin, Ruang Keswa,
Ruang Resepsionis, Ruang Tunggu, Ruang KIA, Apotek, Ruang Rawat Inap,
Perpustakaan, Laboratorium, Anamnese, MTBS, Ruang Bendahara, Areal Parkir,
Rumah Dokter, Rumah Staf, Dapur Gizi, dan Garasi.
4.1.1 Cakupan Wilayah/Gampong
Puskesmas Peureumeu memiliki luas wilayah kerja + 439 Km2 yang terdiri
dari 43 Desa dengan jumlah penduduk 20.855 jiwa dengan uraian sebagaimana
tersebut dibawah ini :
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Peureumeue Tahun 2015
No Nama Desa PendudukJml Lk Pr
1 Marek 412 208 2042 Pasi Jambu 683 344 3393 AlueTampak 1,228 633 5954 Meunasah Buloh 439 229 2105 Padang Mancang 534 270 2646 Simpang 373 177 1957 Peunia 650 330 3208 Kampong Mesjid 765 390 3769 Keude Aron 634 308 32610 Beuregang 890 408 48211 Mns.Rayeuk 936 631 30512 Mns.Ara 298 123 17513 Tp.Ladang 489 245 24414 Pasi Teungoh 548 260 28615 Tanjong Bungong 381 186 19516 Putim 345 173 17217 Mns.Rambot 457 235 222
51
Lanjutan Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Peureumeue Tahun 2015
No Nama Desa PendudukJml Lk Pr
18 Pasi Jeumoa 431 228 20319 Mukoh 141 64 7720 Palimbungan 252 183 19421 Blang Geunang 377 178 19122 Alue On 279 143 13623 Puuk 230 103 12724 Mns Gantung 387 193 19425 Pungki 560 290 27026 Mng Tanjong 426 211 21527 Pasi Meugat 488 239 24928 Babah Meulaboh 141 75 6629 Tjg. Meulaboh 274 138 13630 Alue Peudeung 486 236 25031 Teuladan 229 126 10332 Pucok Pungki 184 88 9633 Pasi Ara 308 151 15734 Drien Calee 189 85 10435 Teupin Panah 430 227 20336 Blang Dalam 167 85 8237 Alue Lhee 247 130 11738 Kd. Tanjong 428 213 21539 Pasi Kumbang 549 281 26840 Sw. Teubeui 748 398 35041 Alue Lhok 452 244 20842 Pd. Sikabu 2,100 1,076 1,02443 Keuramat 291 150 141
Jumlah Keseluruhan 20.855 10.633 10.222
Sumber: Puskesmas Peureumeue, 2015
52
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini berjumlah 7 orang yang terdiri dari
Informan Utama yaitu koordinator program KIA, 1 orang bidan yang bekerja
diruang KIA dan Informan Pokok yaitu 5 orang pasien KIA.
4.2.2 Conteks
Hasil wawancara dengan koordinator dan petugas ruang KIA mengenai
program KIA yang dilaksanakan di puskesmas peureumeue, dimana jawaban
responden Informan Utama 1 dan Informan Utama 2 adalah sama, bahwa
pencapaian target program KIA di puskesmas peureumeue belum mencapai
target seratus persen, baru sembilan puluh lima, lima lagi yang belum tercapai,
kendalanya ibu hamil pindah ketempat lain tapi tidak dilaporkan. Berikut hasil
wawancaranya :
“Mmm.... mencapai target belum seratus persen, angkanya baru 95 mungkin 5 % lagi yang harus dikejar, mmm.... pencapaian ibu hamilnya belum mencapai 100%, kendalanya mmm... ibu hamil dan pendudukkan ada yang pindah ketempat yang lain jadi KK dan KTP nya masih sasaran puskesmas kaway, sedangkan kelahiran dan kehamilannya yang tinggal ditempat lain tidak pernah dilaporkan, eemm.... jadi sasaran kita hilang, mungkin kerja sama diantara lintas kecamatannya aja yang kurang mmm.... kurang laporan dari daerah lain.” (IU1)
“Eemm.... sejauh ini sudah dilaksanakan, mmm.... semua bidan melaksanakan semua tugasnya dan juga setiap bidan desa, dengan pemantauan dari bidan KIA, kalau pencapaian target belum seratus persen ya.” (IU2)
53
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Informan Pokok 1 dan
Informan Pokok 2 adalah sama mengenai kunjungan ibu hamil, dimana ibu
tersebut tidak pernah memeriksakan kehamilannya kepuskesmas. Berikut hasil
wawancaranya :
“Hantoem pih peuriksa keunoe, watei rab saket na sigoe peuriksa, nyan pih bak tempat praktek bak ibu pik, mangat bak tempat praktek, meunye bak puskesmas takot hana bidan keh, mmm.... le pue pokok jih.” (IP1)
“Meunye bak puskesmas hantoem, tapi bak bidan kampung na sabe yak cek, karna na bidan kampung, jadi mangat bak bidan kampung karna toe.” (IP2)
Selanjutnya jawaban dari IP3 terkait dengan pertanyaan yang sama
dimana bahwa ibu tersebut hanya 2 kali memeriksakan kehamilannya ke
puskesmas waktu 7 bulan dan 9 bulan. Berikut hasil wawancaranya :
“Cuma 2 ge yang na peuriksa, watei ka tujoh beulen ngen sikureng beulen, karena sibuk jadi hana meuteumeu jak ue puskesmas, honda pih hana jet taek jadi susah, meunye tapreh bak yah aneuk cit hana meuteumeu, sibuk kerja.” (IP3)
Berbeda halnya dengan dengan jawaban dari IP4 dan IP5 dengan
pertanyaan yang sama, bahwa ibu-ibu tersebut selalu memeriksakan
kehamilannya kepuskesmas sampai dengan 4 kali. Berikut hasil wawancaranya :
“Na, sabe na peuriksa ue puskesmas, siege tek yang galoem peuriksa, geu peugah le bidan minggu uekeu yue balek loem keunoe, karna tinggai preh ueroe tek.” (IP4)
“Alhamdulillah na sabe peuriksa ue puskesmas, rutin sabe sampek 4 ge peuriksa.” (IP5)
Pendapat yang sama juga oleh IP1, IP2 dan IP3, terkait pertolongan
persalinan, dimana ibu tersebut melakukan pertolongan persalinan lebih memilih
54
melahirkan di bidan kampung, bidan praktek dan di dukun dibandingkan
dipuskesmas. Berikut hasil wawancaranya :
“Bak tempat praktek, bak ibu pik, mangat bak tempat praktek dilayani tanyoe get, meunye bak puskesmas takot hana bidan keh, kaleh nyan le bidan praktek loem.” (IP1)
“Bak rumoeh bidan gampong, bak bidan santi, karena na bidan di gampoeng jadi mangat digampong meulahe.” (IP2)
“Dirumoeh droe, bak bidan gampong, karna mangat dirumoeh, loen sabe bak rumoeh meulahe, alhamdulilah hana terjadi sapu-sapu nyoe ka anek yang keu limoeng.” (IP3)
Jawaban yang berbeda dengan informan sebelumnya IP2 dan IP5 sama,
dengan pertanyaan yang sama, dimana ibu tersebut mengatakan lebih memilih
melahirkan dipuskesmas, karena di puskesmas gratis. Berikut hasil
wawancaranya :
“Rencana jih bak puskesmas meulahe, karna meunye meulahe bak puskesmas gratis hana payah bayeu.” (IP4)
“Bak puskesmas, sabe bak puskesmas loen meulahe, alhamdulillah lancar sabe, kaleh nyan gratis loem.” (IP5)
Pendapat yang sama juga di utarakan oleh IP1 dan IP2 adalah sama,
mengenai pertanyaan kunjungan anak, dimana menyatakan bahwa tidak pernah
memeriksakan anaknya kepuskesmas. Berikut hasil wawancaranya :
“Meunye bak puskesmas hantoem me, tapi meunye bak posyandu di gampoeng na sabe tip-tip beulen.” (IP1)
“Hantoem loen me peuriksa aneuk ue puskesmas, meunye saket loen bloe uebat bak apotik.” (IP2)
selanjutnya jawaban yang diutarakan oleh IP3 dengan pertanyaan yang
sama, menyatakan bahwa ada memeriksakan anaknya kepuskesmas, tapi waktu
anaknya sakit saja. Berikut hasil wawancaranya :
55
“Na me ue puskesmas, tapi watei aneuk saket mantong me ue puskesmas, meunye khusus yak periksa ue puskesmas nyan hana.” (IP3)
Sedangkan jawaban berbeda dari IP4 dan IP5 dengan pertanyaan yang
sama menyatakan bahwa selalu memeriksakan anak-anaknya kepuskesmas.
Berikut hasil wawancaranya :
“Singeh meunye ka meulahe loen me aneuk ue puskesmas tuk periksa, supaya aneuk dalam keadaan sehat sabe, hana saket-saket.” (IP4)
“Na, seulama nyoe ka 4 ge loen me anek ue puskesmas tuk peuriksa, meunye su’um di jok uebat le dokter, dijok vitamin.” (IP5)
Hasil wawancara selanjutnya pada pertanyaan pemberian imunisasi.
Jawaban dari IP1 dan IP2 adalah sama dimana ibu-ibu yang memberikan
imunisasi kepada anak-anaknya tidak lengkap, dengan alasan sesudah
melakukan imunisasi anak-anak mereka sakit/demam. Berikut hasil
wawancaranya :
“Na, tapi hana lengkap, Cuma sigoe, karna hana geubi le ayah aneuk, watei kaleh imunisasi aneuk di peuek su’um, jadi hana geubi le, di gampoeng imunisasi ken bak puskesmas.” (IP1)
”Na sigoe, karna hana geubi le ayah aneuk, karna kaleh di imunisasi anek saket.” (IP2)
Jawaban berbeda dari IP3 pada pertanyaan yang sama, dimana ibu
tersebut tidak mau melakukan imunisasi kepada anaknya, dengan alasan
imunisasi tersebut mengandung lemak babi. Berikut hasil wawancaranya :
“Rencana hana imunisasi, han dibi le ureng tuha, karna dipeugah lam imunisasi nyan na terkandung lemak babi, jadi han geubi.” (IP3)
56
Jawaban dari IP4 dan IP5 sama, dengan pertanyaan yang sama, dimana
ibu tersebut lengkap memberikan imunisasi kepada anak-anaknya. Berikut hasil
wawancaranya :
“Na, sabe na, tapi sige tek yang galoem, imunisasi campak, yang laen kaleh.” (IP4)
“Na sabe, lengkap mandum sampek 4 ge.” (IP5)
Selanjutnya pada pertanyaan pelaksanaan KB. Jawaban dari IP1 dan IP2
adalah sama menyatakan bahwa ibu-ibu yang melakukan KB rata-rata bukan di
puskesmas, tetapi melainkan di bidan kampung dengan alasan lebih mudah
dijangkau. Berikut hasil wawancaranya :
“Na, bak bidan gampong, ken di puskesmas, mangat digampong sabat na bidan cit di gampong jadi hana payah jak ue puskesmas.” (IP1)
“Na, di gampong, karna di gampong na bidan, mah meu KB mantong pat ek tajak ue puskesmas jioeh, mangat digampong jue, bidan pih na.” (IP2)
Berbeda halnya dengan jawaban IP3, IP4 dan IP5 pada pertanyaan yang
sama dimana ibu-ibu tersebut tidak melakukan KB, dengan alasan sesudah
melakukan KB badan sakit-sakit. Berikut hasil wawancaranya :
“Rencana meunye kaleh melahirkan hana KB, karna KB nyan hana get, watei KB badan saket-saket mandum, pakek KB alami mantong singeh.” (IP3)
“Hana jet KB, hana dilawan, kamandum KB kaleh coba, tapi hana dilawan cit, rasa jih watei kaleh KB nyan badan geuhen, sang-sang gaki ie peuek ue wateh, padahei hana cuma perasaan mantong, ue puskesmas loen KB.” (IP4)
“Hana KB, loen hana dilawan meunye KB, kaleh loen coba mandum, hana bisa cit, jinoe pakek KB alamiah mantong.” (IP5)
Hasil wawancara dengan Informan Utama mengenai kegiatan
perencanaan program KIA, dimana Jawaban IU1 dan IU2 adalah sama, bahwa
kegiatan program KIA dilakukan evaluasi terlebih dahulu, jadi program-program
57
apa yang belum mencapai target maka program tersebutlah yang lebih di
utamakan. Berikut hasil wawancaranya :
“Mmm.... biasanya kegiatan programnya kita laksanakan per triwulan ya tiga bulan sekali, jadi setiap 3 bulan kita lakukan evaluasi apa yang belum tercapai kita kejar baik itu kerumah ibu-ibu hamil yang belum pernah melaksanakan kunjungan ataupun menugaskan lagi bidan-bidan desanya untuk meswiping data-data apa yang belum lengkap untuk dilengkapi ya.” (IU1)
“Kami kan ada evaluasi setiap kegiatan program KIA, mmm.... jadi target apa yang belum tercapai, nanti itu yang lebih di utamakan lagi.” (IU2)
Selanjutnya hasil wawancara mengenai mengikut sertakan bidan didalam
menentukan tujuan dan target pencapaian kegiatan KIA. Jawaban IU1 dan IU2
adalah menyatakan bahwa mereka selalu mengikut sertakan bidan-bidan didalam
menentukan tujuan dan pencapaian target program KIA supaya program KIA
tercapai. Berikut hasil wawancaranya :
“Selalu, karena setiap desa juga sudah dibagi wilayah kerja masing-masing ya, bidan juga sudah kita tempatkan masing-masing desa walaupun tidak sepenuhnya tinggal ditempat karna sebagian desa itu bidannya PNS.” (IU1)
“Ada, kami kan duduk bersama dulu program apa yang harus dilakukan dalam triwulan ya, kan ada triwulan dia, mmm..... kalau untuk program 3 bulan sekali, mmm... nantik kita akan tempatkan bidan di masing-masing desa supaya program KIA tercapai.” (IU2)
Hasil wawancara mengenai pelaksanakan pelatihan kepada bidan tentang
program KIA. Jawaban IU1 dan IU2 adalah sama menyatakan bahwa ada
dilakukan pelatihan untuk bidan-bidan tentang program KIA, baik itu yang
dilakukan dipuskesmas, di dinas kesehatan sampai ke provinsi. Berikut hasil
wawancaranya :
“Ada, biasanya pelatihannya nantik kita adakan di pertemuan di puskesmas, mmm.... ada juga pelatihan dilaksanakan diluar gedung puskesmas, nantik melibatkan dana
58
eemm.... dari puskesmas, dari dinas ada nantik sampek ke provinsi ada pelatihannya.” (IU1)
“Ada, Kalau pelatihannya kan dilaksanakan di dinas kesehatan, mmm.... kalau dari puskesmas para dinas yang buat, tapi kalau pelatihan-pelatihan untuk bidan desa yaitu bidan KIA dari puskesmas, misalnya kami dari bidan KIA ada mengikuti pelatihan, nantik kami sosialisasikan kepada bidan desa, seperti itu.” (IU2)
Selanjutnya hasil wawancara mengenai pelaksanaan monitoring dan
evaluasi terhadap kegiatan program KIA di puskesmas. Dimana jawaban IU1
dan IU2 sama, menyatakan bahwa ada selalu dilakukan monitoring dan
evaluasi dari pihak puskesmas terhadap kegiatan program KIA dan dari dinas
kesehatan dilakukan pertriwulan 3 bulan sekali. Berikut hasil wawancaranya :
“Ada selalu karena disetiap kerja saya selaku bidan koordinator puskesmas mmm.... pemantauan wilayah kerja setempat itu memang udah ada sasarannya dan juga ada program yang kita rencanakan dan hasil akhirnya itu kita evaluasi ulang berhasil atau tidak, dari dinas ada juga, biasanya orang tue turun ke puskesmas pertriwulan juga untuk mengcroscek benar apa tidak atau masih ada kekurangan kemudian kita mmm....kalau ada kekurangan nantik mereka akan memberitaukan apa-apa kekurangannya untuk dilanjutkan supaya hasilnya lebih maksimal.” (IU1)
“Ada, selalu kita lakukan monitoring dan evaluasi disetiap program yang kita rencanakan, dari dinas ada juga ya, mmm... mereka turun pertriwulan untuk mengecek kekurangan-kekurangan apa saja yang ada di puskesmas.” (IU2)
Kesimpulan :
Dari informan diatas dapat diketahui bahwa pencapaian target program
KIA belum mencapai target sepenuhnya dikarenakan ibu hamil pindah ketempat
lain tidak pernah dilaporkan dan kunjungan ibu hamil, pertolongan persalinan
dan kunjungan anak ke puskesmas belum sepenuhnya, masyarakat lebih
memilih ditempat praktek, bidan desa dan dukun dibandingkan ke puskesmas
dengan alasan takut tidak ada bidan ditempat, pelayanannya kurang dan ada
bidan dikampung. Selain itu juga rata-rata ibu tidak membawa anak-anaknya ke
59
puskesmas, tapi jika anak-anaknya sudah sakit baru dibawa kepuskesmas dengan
alasan sudah bawa keposyandu dan anak-anaknya tidak sakit. Dan juga Ibu-ibu
yang memberikan imunisasi kepada anak-anaknya rata-rata tidak lengkap
dengan alasan sesudah melakukan imunisasi anak-anak mereka sakit/demam.
4.2.3. Input
Hasil wawancara dengan ke 2 Informan Utama pada variabel input
dengan pertanyaan, Ketersediaan tenaga kesehatan di program KIA, hasil
wawancara dengan IU1 dan IU2 adalah sama, dimana ketersediaan tenaga
kesehatan di puskesmas sudah mencukupi jumlah tenaga kesehatan di
puskesmas. Berikut hasil wawancaranya :
“Untuk saat ini memamng mmm.... bidan dipuskesmas peureumeue sudah banyak, kebutulan desa kita ada 43 desa memang luar biasa banyak desa ya, malahan mmm.... kita udah dobel job kadang-kadang seperti saya padahal tidak memegang bidan desa lagi, tapi pegang desa simpang kemudian ada bidan yang memegang 2 desa, kemudian ada juga desa yang harus menempatkan anak bakti tapi kita dampingi karna eemm.... masih kekurangan, kalau kita katakan kekurangan sudah banyak sebenarnya mungkin karna jumlah desa yang banyak yang menyebabkan mmm.... kita harus memegang 2 desa tapi sudah terkover tidak ada yang kosong ya.” (IU1)
“Sangat sesuai ya, karnakan kita desa memang banyak semua 43 desa, rata-rata semua bidan memegang desa.” (IU2)
Pendapat yang sama di utarakan oleh Informan Pokok 1, Informan
Pokok 2, Informan Pokok 3, Informan Pokok 4 dan Informan Pokok 5 terjadi
kesamaan pendapat dengan pertanyaan yang sama, dimana ketersediaan sumber
daya manusia di puskesmas sudah mencukupi jumlah tenaga kesehatan di
puskesmas. Berikut hasil wawancaranya :
“Ka lengkap, bidan yang senior pih rame, peurawat rame cit, aneuk praktek ngen honor pih rame.” (IP1)
60
“Lengkap, malah mungken leubeh, karna watei loen nging le that peutugas-peutugas yang duk duk mantong peh rantam.” (IP2)
“Meunuroet loen ka lengkap.” (IP3)
”Lengkap, malah leubeh, tapi watei tanyoe yak meu ubat cukop trep-trep bak tapreh, padahei bidan dum inan, dale keudroe-droe.” (IP4)
“Menuroet loen kalengkap, bidan senior pih rame, tapi telat-telat that trok, meunye kaleh luhoe hana le bidan, tinggei bidan honor ngen praktek mantong.” (IP5)
Hasil wawancara dengan informan utama mengenai kelengkapan sarana
dan prasarana untuk kegiatan program KIA, dimana jawaban pada IU1 dan
IU2 adalah sama, dimana jumlah sarana dan prasarana di puskesmas kurang
lengkap peralatannya seperti : cek HB dan keterbatasan persediaan bahan-bahan
yang belum memadai. Berikut hasil wawancaranya :
“kalau untuk sarana dan prasarananya, kita biasanya memang abdet selalu ya, tentang hal-hal baru atau ilmu baru yang ada, jadi kita usahkan untuk melengkapinya, kadang-kadang kendalanya ada juga seperti saat ini ada yang tidak lengkap cek HB, misalnya regennya mmm..... kita kan kerja sama dengan dinas kadang-kadang keterbatasan stok tunggu diamprah dulu baru ada tapi yang lainnya mmm.... diusahakan misalnya pelayanannya, kalau tingkat pelayanan tue sudah maksimum, cuman kadang-kadang eemm.... terkendalanya nantik mmm.... di ketersediaan bahannya aja yang kadang-kadang masih kurang, kalau ada semua dilakukan.” (IU1)
“Untuk sementara ini kalau untuk ANCnya sudah memadai, mah kan kita disini ada PONED nya untuk standarnya sudah tercapai untuk selebihnya belum memadai.” (IU2)
Pendapat yang sama diutarakan oleh IP1, IP2 dan IP3, terjadi kesamaan
pendapat dengan pertanyaan yang sama, dimana alat-alat medis yang ada
dipuskesmas peureumeue kurang lengkap peralatannya karena masih banyaknya
pasien-pasien yang selalu dirujuk kerumah sakit besar, karena tidak bisa
ditangani. Berikut hasil wawancaranya :
“Kureng lengkap, bacut-bacut rujuk rumoeh saket rayek, karna hanjet ditangani, bersih.” (IP1)
61
“Mantong kureng lengkap, loen mantong ronyan watei keumeu yak nging keadaan anek lamprut, di jok surat rujukan yue peuriksa ue rumoeh saket rayek, mah nan mantong puskesmas, pane lengkap that, bersih, karna watei dipeu uebat tanyoe mantong dalam-dalam plastik galoem teubuka loem.” (IP2)
“Kureng lengkap, karna watei meu ubat ronyan, na yang yue bloe ubat ue luwa, resep dijok le wak nyan, di peugah uebat nyan hana inoe, ai bersih cit .” (IP3)
Jawaban yang tidak jauh berbeda dengan informan sebelumnya, IP4 dan
IP5 pada pertanyaan yang sama dimana ibu tersebut mengatakan bahwa alat-
alat medis dipuskesmas peureumeue sudah lumanyan lengkap dari sebelum-
belumnya. Berikut hasil wawancaranya :
“Meunye jinoe ka lumanyan lengkap dari pada ronyan-ronyan, ANC pih kana jinoe, peuriksa darah kana cit, meunye ronyan galoem na, meunye taging lagei nyan ya bersih, mah hana tatuoeh cit kadang cit hana bersih, karna hana tapakek alat.” (IP4)
“Meunye meunurot loen mantong kureng lengkap, tapi meunye ngen puskesmas-puskesmas yang laen, puskesmas peureumeue leubeh get, ruang inap pih na.” (IP5)
Pendapat yang sama diutarakan oleh IP1, IP2 dan IP4 dengan
pertanyaan, persediaan yang dibutuhkan, seperti mobil ambulan dan lain-lain.
menyatakan bahwa alat transportasi seperti ambulan ada, tetapi persediaan yang
lain seperti obat-obat dan peralatan-peralatan medis yang lain masih kurang
lengkap. Berikut hasil wawancaranya :
“Moto ambulan na, tapi yang sering deh dipakek cuma saboeh, meunye yang laen loem menurot loen persedian jih kureng, karna bacut-bacut pasien dirujuk rumoeh saket rayek.” (IP1)
“Meunye moto ambulan na, watei peurelei sabe na, Tapi meunye persedian yang laen loem hana tuoeh peugah, karna jan-jan na jan-jan hana, lagei uebat-uebat.” (IP2)
“Moto ambulan na, yang deh cuma saboeh teudeng di luwa, meunye yang laen loem, menurot loen persedian jih kureng, karna loen ronyan na yang yue bloe ubat ueluwa, karna hana le ubat inoe ka abeh ie peugah.” (IP4)
62
Berbeda dengan jawaban dari informan IP3 dan IP5 sama, pada
pertanyaan yang sama dimana persediaan seperti obat-obat dipuskesmas selalu
ada hanya saja antriannya yang lama. Berikut hasil wawancaranya :
“ Meunurot loen meunye persediaan lagei ubat-ubat nyan pasti na, meunye ka abeh pasti na loem, karna watei loen jak meu ubat alhamdulillah sabe na, hantoem yue bloe uebat ue luwa.” (IP3)
“Ambulan sabe na watei peureulei, ubat-ubat pih watei loen jak sabe na, hantoem yue bloe ueluwa, Cuma antrian jih mantong yang trep.” (IP5)
Hasil wawancara dengan informan utama dengan pertanyaan sumber
pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan program KIA. Jawaban IU1 dan IU2
adalah sama, pendanaan untuk program KIA belum cukup, karena sumber
pendanaan untuk program KIA lebih banyak dibutuhkan dari program-program
yang lain. Berikut hasil wawancaranya :
“Eemm.... ya biasanya sumber pendanaan untuk program KIA memeng lebih banyak dari program yang lain ya, karena memang sasaran KIA kan melibatkan nyawa ibu hamil dan bayi yang dilahirkan, biasanya nantik dananya dari BOK dan dana JKN yang ada dipuskesmas nantik diberikan untuk bidan desa mmm..... sekali kunjungan nantik keposyandu misalnya nantik dibayarkan walaupun tidak langsung dibayarkan tapi nantik dibayarkan, mmm.... kalau dikatakan cukup belum ya, memang tidak akan cukup-cukup ya karna memang banyak yang harus kita penuhi cuman kita upayakan tanpa dana pun kita juga kerja tidak mesti dibiayai, kita juga bilang kebidan kami kita kerjakan tidak harus selalu dibayar jadi selagi kita mampu kita kerjakan tanpa harus dibayar, kalau cukup ya tidak pernah cukup dengan dana tue.” (IU1)
“Kalau untuk sekarang alhamdulillah ada, karnakan sekarang banyak dana-dana yang ada, dana dari BOK, JKN, APBD, pokoknya sekarang sudah ada dananya, kalau dikatakan cukup, ya belum sepenuhnya cukup, karena program KIA ini memang lebih banyak yang diperlukan dari program-program yang lain.” (IU2)
Kesimpulan :
Dari hasil wawancara dengan informan diatas, dapat disimpulkan bahwa
sumber daya yang ada dipuskesmas peureumeue sudah mencukupi jumlah
63
tenaga kesehatan di puskesmas. Kemudian jumlah sarana dan prasarana di
puskesmas masih kurang lengkap peralatannya seperti : cek HB dan
keterbatasan persediaan bahan-bahan yang belum memadai. Kemudian sumber
pendanaan untuk program KIA belum cukup, karena sumber pendanaan untuk
program KIA lebih banyak dibutuhkan dari program-program yang lain karena
melibatkan nyawa ibu hamil dan bayi yang dilahirkan.
4.2.4. Produk
Hasil wawancara dengan 2 informan utama pada variabel produk dengan
pertanyaan cakupan kunjungan ibu dan anak ke puskesmas. Jawaban dari IU1
dan IU2 adalah sama, dimana cakupan kunjungan ibu dan anak ke puskesmas
belum sepenuhnya mencapai target masih delapan puluh persen, kendalanya
ibu-ibu hamil berkunjung kepuskesmas memeriksakan kehamilannya disaat
kandungannya sudah 7 bulan dan 9 bulan, tidak dari awal kehamilan. Berikut
hasil wawancaranya :
“Kalau melihat dari sasaran ibu hamil kitakan ada 505 orang, jadi eemm.... kalau tidak mereka berkunjung kami kerumah pasien membawa orang tue, kami kunjungi dulu biar orang tue mau datang, kecuali ya memang mmm.... sasaran kita tue berada diluar daerah yang memang tidak dilaporkan itu yang tidak kita kunjungi ya, tapi kalau yang didaerah kita dapat ibu hamil walaupun sudah telat dapat, misalnya dapat ibu hamil tiba-tiba pulang kesuatu desa, contohnya orang kitakan banyak yang nikah keluar daerah tiba-tiba pulang hamil 9 bulan hanya untuk persalinan saja, kita kunjugi juga dan jika nantik disaat, misalnya kita juga berikan pelayanan sesuai standar yang ada juga, tidak mesti dari awal periksa hamil sama kita juga kunjungi, mmm..... kunjungannya kalau dari puskesmas memang sudah banyak kunjungan ibu hamil kepuskesmas, tetapi belum sepenuhnya karna rata-rata kadang-kadang masyarakat kita mau baru periksa hamil sudah hamilnya 7 bulan gak mau dari awal masih ada budaya kita yang malu eee.... seperti itu mmm.... untuk datang periksa yang seharusnya sudah tersentuh dengan tangan tenaga kesehatan gak, kecuali kita
64
tau, kita datangi aja, waktu datang kepuskesmas rata-rata hamilnya sudah 5 bulan, 9 bulan gak dari pertama, tapi sudah banyak juga karna muntah tadi menuntut mereka datang, mmm.... awal yang tidak muntah ini baru gak tau kita eh tau-taunya dah hamil 20 minggu, kendalanya mungkin, susah memang mengubah prilaku masyarakat tapi sedikit-sedikit sekarang masyarakat sudah banyak paham dan mengerti bahwa eee..... kesehatan ibu hamil itu penting, gak juga lagi sembarangan mau melahirkan dirumah udah banyak yang kepuskesmas, kerumah-rumah bidan kalau dulu maunya melahirkan di dukun, sekarang malah sudah takut, walaupun ada dukun sebagai pendamping bidannya juga disertakan.” (IU1)
“Kunjungannya kalau dari puskesmas memang sudah meningkat, tetapi belum sepenuhnya mencapai target, kira-kira 80 % tapi dengan adanya sakes-sakes yang didesa-desa itu sudah sangat membantu puskesmas induk, mudah-mudahan dengan adanya bidan-bidan PTT dan bidan-bidan desa dan sakes-sakes didesa itu akan tercapai.” (IU2)
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh IP1, IP2 dan IP4, dengan
pertanyaan pelayanan yang didapatkan sudah nyaman dan aman. Jawabannya
adalah bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman informan ketika memerlukan
pelayanan ke puskesmas petugas tidak ada ditempat saat dalam jam bekerja,
pelayanannya lama dan antrianpun juga lama. Berikut hasil wawancaranya :
“Hana nyaman, kadang-kadang watei tajak ue puskesmas meu dokter galoem na, cukop trep bak tapreh kaleh nyan antri loem.” (IP1)
“Pelayanan jih kureng, petugas jih dale sibuk keudroe-droe, tanyoe hek-hek bak tapreh, ngen tanyoe meu aneuk-aneuk loem.” (IP2)
“Menurut loen hana nyaman loem, karna pelayanan jih lambat, kadang-kadang petugas jih meu trok galoem, kaleh nyan antri pih cukoep trep-trep sabe.” (IP4)
Jawaban yang tidak jauh berbeda dari informan sebelumnya, Informan
Pokok 3 dan Informan Pokok 5 pada pertanyaan yang sama menyatakan bahwa
pelayanannya nyaman dan aman, hanya saja antrian yang lama. Berikut hasil
wawancaranya:
“Menurut loen nyaman dan aman, meunye peuriksa engkeh antrian yang trep that.” (IP3)
65
“Meunye nyaman, ya nyaman, tapi bak tapreh antrian keh yang han’ek tapreh.” (IP5)
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh IP1 dan IP2, mengenai
pertanyaan jadwal pelayanan, bahwa jadwal pelayanan di puskesmas
peureumeue telat dan petugas-petugasnya juga masih ada yang belum datang
ke puskesmas saat sudah masuk jam kerja. Berikut hasil wawancaranya :
“Menurut loen jem pelayanan jih telat, kadang-kadang ka poeh siploeh meu dokter galoem na, meunye aneuk praktek rame.” (IP1)
“Meunye puskesmas jih bagah di buka, tapi petugas jih ladom katrok ladom galoem.” (IP2)
Sedikit berbeda dengan hasil jawaban IP3, IP4 dan IP5 dengan
pertanyaan yang sama, menyatakan bahwa jadwal pelayanan di puskesmas
peureumeue hanya hari senin saja petugasnya cepat datang, kemudian
antriannya juga lama. Berikut hasil wawancaranya :
“Meunye uroe senin petugas jih bagah mandum trok, mah antri hek that bak tapreh.” (IP3)
“Uroe senin mantoeng bagah na mandum petugas jih, tapi uroe laen ladoem katrok ladoem galoem, kaleh nyan tapreh antrian loem.” (IP4)
“Jadwal pelayanan jih meunye uroe senin na mandum petugas jih, tapi antrian jih yang trep that.” (IP5)
Hasil wawancara dengan informan utama dengan pertanyaan, cakupan
layanan. Jawaban IU1 dan IU2 adalah sama, menyatakan bahwa cakupan
layanan di puskesmas peureumeue sudah tergolong cukup baik. Berikut hasil
wawancaranya :
“Mmm... kalau mmm.... pelayanan mmm... kalau dari segalanya udah dari kita nilai sendiri ya mmm.... sudah baik ya karna banyak juga pasien yang bilang begini “enak
66
kita kepuskesmas aja mmm... nantikkan dapat obat” kan sekarang cuman bawak BPJS sudah dapat layanan gratis, kalau sampai dipuskesmaspun kalau di KIA rame yang kerja, nantik kalau gak ada saya ada ibu ainun, ada yang lainnya jadi tidak kosong disitu jadi semua pasien terlayani dan yang disitu juga senior semua jadi pasien insyallah terkoordiner dengan baik ya.” (IU1)
“Sudah tergolong cukup baik ya, mulai dari pemeriksaan atau perawatan ibu hamil sampai dengan perawatan pada anak sekolah tingkat SMA kami lakukan.” (IU2)
Pendapat yang sama diutarakan oleh IP1, IP3 dan IP4, dengan
pertanyaan ketanggapan petugas, menyatakan bahwa petugas dipuskesmas cepat
tanggap dalam memberikan pelayanan, hanya saja komunikasi yang kurang.
Berikut hasil wawancaranya :
“Bagah tangkap, pue peunyaket yang loen peugah, ijok uebat le dokter.” (IP1)
“Dokter/ bidan bagah tangkap pue yang loem peugah, malah disarankan watei loen peuriksa kandungan, yue pajoeh makan-makanan yang bergizi, supaya aneuk sehat.” (IP3)
Bagah tangkap, tapi watei meu uebat cuma di jok uebat mantong, hana di sarankan sapu.” (IP4)
Berbeda halnya dengan jawaban dari Informan Pokok 2 dan Informan
Pokok 5 terkait dengan pertanyaan yang sama menyatakan bahwa petugas
puskesmas kurang tanggap dalam memberikan pelayanan dan komunikasinya
juga kurang. Berikut hasil wawancaranya :
“menuroet loen kureng tanggap, watei loen jak meu uebat aneuk, di tanyoeng pue saket aneuk, loen peugah penyaket-penyaket aneuk, kaleh nyan dijok uebat mantong, hana dipeugah saran sapu le pih.” (IP2)
“Kureng tanggap marid mantong kureng, kaleh ditanyoeng pue saket, dijok uebat mantong kaleh, hana dipeugah sapu le.” (IP5)
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh IP1, IP2, IP4 dan IP5, dengan
pertanyaan prosedur layanan, menyatakan bahwa prosedur layanannya tidak
berbelit-belit hanya saja antrian yang lama. Berikut hasil wawancaranya :
67
“Meunye berbelit-belit hana, kaleh tacok kartu bak loket kaleh, tinggai preh dimeuhoi mantong, bak tapreh di meuhoi keh trep that, karna antri, rame that pasien.” (IP1)
“Berbelit-belit hana, engkeh bak tapreh trep that.” (IP2)
“Meunurot loen hana berbelit-belit, mangat alur kunjungan jih kaleh tacok kartu kaleh, mah kadang-kadang antri, mah kiban tapeuget cit ka lagei nyan sabe, nan mantoeng tempat umum, adat kiban-kiban harus tapreh cit.” (IP4)
“Meunye hana ta tuoeh nye berbelit-belit, tapi meunye ka sering hana le, kaleh tacok kartu jak jue bak tempat yang tanyoe keumeu peuriksa, mah bak tapreh trep that, meunye rame pasien, mah meunye hana rame bagah.” (IP5)
Berbeda halnya dengan jawaban Informan Pokok 3, dengan pertanyaan
yang sama, menyatakan pelayanannya berbelit-belit dan antriannyapun lama.
Berikut hasil wawancaranya :
“Meunurot loen berbelit-belit kaleh nyan antri pih cukop trep-trep bak tapreh, ngen tanyoe meuaneuk-aneuk loem.” (IP3)
Hasil wawancara dengan IU pada pertanyaan, kepuasan pasien. Jawaban
IU1 dan IU2 adalah sama, dimana susah mengukur puas dan tidak puas, tetapi
berdasarkan hasil kunjungan ada masyarakat yang puas dan tidak puas, karena
masyarakat yang datang beraneka ragam. Berikut hasil wawancaranya :
“Mmm..... kalau tingkat kepuasan itu mmm..... memang susah kita untuk mengukurnya puas tidak puas enak kita kaji nyeri dan tidak nyeri dari pada puas tidak puas karena kenapa eee.... mungkin individu yang datang juga beranekaragam yang berbeda mmm.... tapi kita usahakan pelayanannya maksimum untuk pasien dan membuat pasien udah kunjungan sekali dia tidak males untuk kunjungan ulang, dari yang kita lihat udah berkunjung sekali dia mau kunjungan ulang berarti pasien puas terhadap kita itu, karena belum pernah juga kami mengadakan surve secara besar-besaran ataupun secara lisan untuk pasien, ataupun tulisan cuman dilihat dari kunjungan sekali dia balik lagi, malahan dia cari untuk melahirkan dipuskesmas berartikan ada tingkat kepuasan dari pasien, gak ada pernah yang bilang ah... males kepuskesmas nantik gak ad diopen, misalnya kalau tingkat kepuasan mungkin beda-beda orang beda lagi ya, payah itu kita kaji tingkat puas dan tidak puas.” (IU1)
“Kalau tingkat kepuasan susah kita bilang ya, apakah pasien puas atau tidak puas selama ini, mmm.... karna kami belum pernah mengadakan surve terhadap kepuasan
68
pasien, kami hanya menilai dari kunjungan saja, tapi dinilai dari jumlah kunjungan ada yang merasa puas dan ada juga yang tidak merasa puas, karna kan mauusyarakat kita beraneka ragam yang berbeda.” (IU2)
Hasil wawancara dengan informan utama dengan pertanyaan pelaksanaan
survei kepuasan kepada pasien, dengan jawaban belum pernah diadakan survei
kepuasan kepada pasien, hanya menilai dari jumlah kunjugan saja. Berikut
hasil wawancaranya :
“Kalau untuk saat ini belum ya, cuman kami menilai dari kunjungan aja, sudah ada kunjungan K1,K2,K3 lagi datang yang K4 datang walaupun pasien tidak lahir sama kami nantik lahir apa lahir dirumah sakit, tapi rujukannya tetap dari kita dapatnya, berartikan gak pernah ada merasa pasien terabaikan ya, ataupun nantik dia pilih eee... saya nantik mau melahirkan dibidan ini, bidan dipuskesmas disitu juga, nantik kerumah kami atau kerumah saya, kerumah ibu ainun atau dirumah yang lainnya ya, kalau penelitian dari kami buat sendiri selama ini belum puas tidak puas belum pernah kami bagi angket seperti itu mungkin kedepan kita surve masyarakat ya, kita bisa nilai masyarakat puas tidak pua.” (IU1)
“Tidak ada, belum pernah kami mengadakan surve kepuasan kepada pasien selama ini.” (IU2)
Kesimpulan :
Dari informan diatas, dapat disimpulkan bahwa cakupan kunjungan ibu
dan anak ke puskesmas belum sepenuhnya mencapai target masih delapan
puluh persen, karena masih ada masyarakat kita yang tidak mau datang
kepuskesmas untuk periksa, kendalanya susah mengubah prilaku masyarakat dan
berdasarkan pengalaman-pengalaman pasien ketika berobat petugas tidak ada
ditempat saat dalam jam kerja dan juga antriannya lama, petugas hanya hari
senin saja yang cepat. Selain itu juga belum pernah diadakan survei kepuasan
kepada pasien, apa penyebab mereka tidak mau kepuskesmas, apakah pelayanan
yang diberikan selama ini sudah memuaskan pasien atau tidak, mereka hanya
menilai dari jumlah kunjungan saja.
69
4.3 Pembahasan
4.3.1 Conteks
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai variabel
Conteks pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pencapaian target program
KIA di puskesmas peureumeue belum sepenuhnya mencapai target, masih
sembilan puluh lima persen, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
kendalanya ibu hamil pindah ketempat lain, tidak pernah dilaporkan, jadi
sasarannya hilang dan juga kurang kerja sama diantara lintas kecamatannya
dan juga susah mengubah prilaku masyarakat yang tidak memeriksakan
kehamilannya dan melakukan pertelongan persalinan, mereka lebih memilih di
bidan kampung, didukun dan tempat praktek dibandingkan ke puskesmas
dengan alasan takut tidak ada bidan ditempat, pelayanannya kurang, sudah
terbiasa melahirkan dirumah. Selain itu juga rata-rata ibu tidak membawa anak-
anaknya ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan, tapi jika anak-anaknya
sudah sakit baru dibawa kepuskesmas dengan alasan sudah bawa keposyandu
dan anak-anaknya tidak sakit, jadi ngapain dibawa kepuskesmas. Dan juga Ibu-
ibu yang memberikan imunisasi kepada anak-anaknya rata-rata tidak lengkap
dengan alasan sesudah melakukan imunisasi anak-anak mereka sakit/demam.
Hal diatas di dukung oleh penelitian Wanda Jaya Purnama (2015),
didapatkan memeriksakan kehamilan kurang (1 kali) bahkan ada yang tidak
sama sekali memeriksakan kehamilannya ke puskesmas Ciputat Timur
70
dikarenakan peralatan dan fasilitas yang dimiliki oleh Puskesmas masih kurang
memadai.
Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa dari pihak puskesmas
peureumeue mereka selalu mengikut sertakan bidan –bidan didalam menentukan
tujuan dan pencapaian target program KIA dan mereka juga selalu
melaksanakan pelatihan dan juga evaluasi baik itu dari pihak Dinas Kesehatan
sampai Provinsi pada Triwulan 3 bulan sekali terhadap kegiatan program KIA,
yang tujuannya supaya program KIA di Puskesmas Peureumeue tercepai.
Evaluasi merupakan cara yang sistematis untuk memperbaiki kegiatan-
kegiatan yang sedang berjalan serta untuk meningkatkan perencanaan yang
lebih baik dengan menyeleksi secara seksama alternatif-alternatif tindakan yang
akan datang.
4.3.2 Input
Pada PMK (Peraturan Mentri kesehatan) no 75 tahun 2014 pasal
sembilan ayat empat dikatakan bahwa penderian Puskesmas harus memenuhi
persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan kesehatan, ketenagaan,
kefarmasian dan laboratorium.
Input merupakan suatu elemen yang terdapat didalam sistem dan
merupakan elemen yang sangat penting didalam berfungsinya suatu sistem
(Azwar, 2010). Apabila suatu input tidak tersedia dengan baik maka akan
dapat menghambat jalannya suatu proses dan dapat menghambat suatu sistem
dalam mencapai tujuannya.
71
Menurut Handayani (2011), sumber daya manusia bertugas merespon
tuntutan publik dalam rangka peningkatan pemberdayaan (empowerment) para
pelaksana program sehingga tercipta sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan dan ketrampilan dalam memberikan pelayanan. Banyak yang dapat
dilakukan antara lain dengan pelatihan teknis, peningkatan mutu pelayanan dan
manajemen, maupun diklat-diklat lainnya sehingga akan mencapai kemampuan
yang efektif dan efisien yaitu kemampuan interaksi, kemampuan konseptual dan
administrasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai variabel input
pada penelitian ini didapatkan kesamaan hasil antara informan utama dengan
informan pokok menyatakan bahwa ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas
sudah mencukupi jumlah tenaga kesehatan di puskesmas.
Menurut Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.
Sesuai dengan Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan oleh Mentri kesehatan maka jumlah standar sumber daya
manusia di pelayanan tingkat pertama seperti Puskesmas yaitu berjumlah 30
orang dengan 14 jenis tenaga kesehatan antara lain Dokter Umum dan Gigi,
Apoteker, Perawat, Perawat perawat, Perawat Gigi, Bidan, Ahli Gizi, Tenaga
72
Teknisan Kefarmasian, Analisis Kesehatan, Sanitarian, Tenaga Kesehatan
Masyarakat, Epidemilog, Tenaga Promosi Kesehatan, Tenaga Pendukung.
Dalam hal ini Puskesmas Peureumeue memiliki jumlah tenaga kesehatan
lebih yaitu berjumlah 60 orang tenaga kesehatan dan juga sudah memenuhi 14
jenis tenaga kesehatan yang berdasarkan standar adalah 14 jenis jumlah tenaga
kesehatan.
Sarana adalah seluruh bahan serta fasilitas alat kesehatan yang merupakan
pendukung, pendamping dan pemberi hasil dari sistem pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat. Berdasarkan Kompedium Alat Kesehatan, alat
kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama terdiri dari tiga bagian dan 115
item yaitu alat kesehatan elektromedik, Alat kesehatan non Elektromedik dan
produk diagnostik.
Terkait sarana dan prasarana yang dimiliki Puskesmas Peureumeue yang
bahwa sarana dan prasarana di puskesmas masih kurang lengkap peralatannya
seperti : cek HB dan keterbatasan persediaan bahan-bahan yang belum
memadai karena puskesmas kerja sama dengan Dinas Kesehatan kadang-kadang
keterbatasan stok tunggu di amprah dulu dari Dinas baru ada. Pendapat yang
sama juga dari hasil wawancara dengan pasien menyatakan bahwa alat-alat
medis yang ada dipuskesmas peureumeue kurang lengkap peralatannya dengan
alasan masih banyaknya pasien-pasien yang selalu di rujuk ke rumah sakit
besar, karena tidak bisa di tangani.
73
Hal diatas di dukung oleh Penelitian Elpirisa Manik (2015), didapatkan
hasil bahwa sarana dan prasarana di Puskesmas Perumnas kurang lengkap
peralatannya, fasilitas yang seharusnya ada dan sangat penting dalam
memberikan pelayanan namun tidak ada seperti : USG, oksegen, vakum,
sterilisator, chek HB, serta lainnya yang dapat menunjang pemeriksaan pada
penegakan diagnosa dan pemberian tindakan. Mereka juga mengakui bahwa
jumlah sarana dan prasarana memang belum memadai atau belum sesuai
dengan standar yang berlaku sehingga peningkatan rujukan di puskesmas belum
dapat diatasi puskesmas.
Menurut Handayani (2011) dalam penelitiannya menyebutkan pencapaian
tujuan kebijakan harus di dukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana maka
tugas pekerjaan dapat diselesaikan sebagaimana seharusnya. Ketersediaan sarana
dan prasarana merupakan faktor penentu kinerja sebuah kebijakan. Implementor
harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar program berjalan
lancar. Sekalipun kebijakan memiliki tujuan dan sasaran yang jelas, jika tanpa
sarana dan prasarana yang memadai, maka kebijakan hanya tinggal dikertas
dokumen saja.
Menurut Undang-undang no 36 tahun 2009 pada bab XV dan pasal 170
yang mana sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat/swasta dan sumber lain. Pembiayaan yang berasal dari
pemerintah yaitu APBN, sedangkan yang berasal dari pemerintah daerah sering
disebut dengan APBD, dan juga yang berasal dari masyarakat/swasta yaitu
seperti halnya suatu pemberian dari masyarakat itu sendiri dengan seikhlasnya
74
ataupun seperti badan penyelenggaraan asuransi, sedangkan yang sumber lain
itu seperti halnya bantuan biaya dari luar negri.
Terkait pendanaan atau sumber dana yang dimiliki Puskesmas Peureumeue
belum cukup dengan alasan sumber pendanaan untuk program KIA lebih
banyak dibutuhkan dari program-program yang lain karena memang sasaran
KIA melibatkan nyawa ibu hamil dan bayi yang dilahirkan.
4.3.3 produk
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penelitian didapatkan
hasil bahwa cakupan kunjungan ibu dan anak ke puskesmas belum sepenuhnya
mencapai target masih delapan puluh persen, karena masih ada masyarakat kita
yang tidak mau datang kepuskesmas untuk memeriksakan kehamilannya, rata-
rata ibu-ibu baru memeriksakan kehamilannya kepuskesmas disaat kehamilannya
sudah 5 bulan, 7 bulan dan 9 bulan tidak dari pertama kehamilan, kendalanya
susah memang mengubah prilaku masyarakat dan juga berdasarkan hasil
wawancara dengan pasien terhadap pelayanan dipuskesmas peureumeue
menyatakan berdasarkan pengalaman-pengalaman ketika memerlukan pelayanan
ke puskesmas petugas tidak ada ditempat saat dalam jam kerja, pelayanannya
lama, antrianpun juga lama dan pada hari senin saja cepatnya, penyebabnya
adalah kurangnya ketegasan dari pihak Kepala Puskesmasnya, dikarenakan
kepala puskesmas sekarang hanya pengganti sementara saja. Selain itu juga
belum pernah diadakan survei kepuasan kepada pasien, apa penyebab mereka
tidak mau kepuskesmas, apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah
75
memuaskan pasien atau tidak, mereka hanya menilai dari jumlah kunjungan
saja.
Hal diatas di dukung oleh penelitian Efendi (2013) terjadinya penurunan
dan peningkatan jumlah kunjungan setiap tahun dikarenakan dua faktor yaitu
faktor Eksternal yang memungkinkan jumlah pasien yang sakit diwilayah kerja
juga berkurang ataupun faktor internal dari wilayah kerja perlu diperhatikan
apakah selama ini pelayanan yang diberikan kepada pasien menimbulkan
ketidakpuasan dan berpengaruh terhadap mutu pelayanan yang diberikan dan
penurunan jumlah pasien.
Hasil Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Puas dkk (2012)
mengatakan bahwa adanya hubungan antara kepuasan pasien terhadap pelayanan
yang diberikan dengan kelengkapan fasilitas yang dimiliki, dengan adanya
tingkat kepuasan tersebut maka akan mempengaruhi apakah pasien tersebut
menggunakan jasa pelayanan tersebut kembali atau tidak.
Kepuasan pasien akan terpenuhi apabila proses penyampaian jasa
pelayanan kesehatan dari puskesmas kepada konsumen sesuai dengan apa yang
dipersepsikan pasien. Terpenuhi kebutuhan pasien akan memberikan gambaran
kepuasan pasien, oleh karena itu tingkat kepuasan pasien sangat tergantung
pada pandangan pasien terhadap mutu pelayanan puskesmas. Kebutuhan pasien
meliputi keamanan, ketepatan dan kecepatan pelayanan.
76
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sesuai hasil penelitian di lapangan dan didapatkan hasil penelitian yang
akurat sesuai dengan data yang diperoleh. Maka peneliti menyimpulkan
beberapa kesimpulan serta saran yang berhubungan dengan hasil penelitian
bahwa:
1. Conteks
Pencapaian target program KIA di Puskesmas Peureumeue belum mencapai
target sepenuhnya masih sembilan puluh lima persen, berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa kendalanya ibu hamil pindah ketempat lain, tidak
pernah dilaporkan, dan juga ibu-ibu yang memeriksakan kehamilannya dan
melakukan pertelongan persalinan mereka lebih memilih di bidan kampung,
dukun dan tempat praktek dibandingkan ke puskesmas dengan alasan takut
bidan tidak ada ditempat, pelayanannya kurang dan sudah terbiasa melahirkan
dirumah dan juga ibu-ibu tidak membawa anak-anaknya ke puskesmas untuk
melakukan pemeriksaan, tapi jika anak-anaknya sudah sakit baru dibawa
kepuskesmas. Dan juga Ibu-ibu yang memberikan imunisasi kepada anak-
anaknya rata-rata tidak lengkap dengan alasan sesudah melakukan imunisasi
anak-anak mereka sakit/demam.
77
2. Input
a. Ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas Peureumeue sudah
mencukupi jumlah tenaga kesehatan di puskesmas.
b. Jumlah sarana dan prasarana di puskesmas kurang lengkap peralatannya
seperti : cek HB dan keterbatasan persediaan bahan-bahan belum
memadai dan masih banyaknya pasien-pasien yang selalu di rujuk ke
rumah sakit besar, karena tidak bisa di tangani.
c. Pendanaan untuk program KIA belum cukup, karena sumber pendanaan
untuk program KIA lebih banyak dibutuhkan dari program-program yang
lain.
3. Produk
a. Cakupan kunjungan ibu dan anak ke puskesmas belum sepenuhnya
mencapai target masih delapan puluh persen, karena masih ada
masyarakat kita yang tidak mau datang kepuskesmas untuk periksa.
b. Pelayanan dipuskesmas Peureumeue ketika memerlukan pelayanan ke
puskesmas petugas tidak ada ditempat saat dalam jam kerja,
pelayanannya lama dan antrianpun juga lama penyebabnya kurangnya
ketegasan dari pihak Kepala Puskesmas.
c. Dari pihak puskesmas belum pernah mengadakan survei kepuasan
kepada pasien, hanya menilai dari jumlah kunjugan saja tetapi
berdasarkan hasil kunjungan ada masyarakat yang puas dan tidak puas,
karena masyarakat yang datang beraneka ragam.
78
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat dikemukakan saran-saran
sebagai berikut :
1. Dinas Kesehatan
a. Agar melakukan evaluasi terhadap kelengkapan dan berfungsinya sarana,
fasilitas dan sumber pendanaan untuk program KIA dipuskesmas
peureumeue secara rutin, sehingga pemeliharaan, perbaikan, dan
penambahan sarana yang sudah tidak ada lagi cepat tertangani.
2. Puskesmas
a. Kepala Puskesmas serta pemegang program KIA sudah sebaiknya lebih
menekankan kepada karyawan untuk bersikap disiplin didalam berkerja
dan pelayanannya lebih ditingkatkan lagi.
b. Dalam mendukung penyelenggaraan program KIA, Puskesmas
Peureumeue perlu untuk melengkapi peralatan medis, non medis, serta
memperbaiki fasilitas di puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas perlu
mengajukan permohonan secara kontinyu ke Dinas Kesehatan dalam
penyediaan sarana dan prasarana kesehatan tersebut.
c. Kepala Puskesmas serta pemegang program KIA harus mengadakan
survei kepuasan terhadap pasien agar dapat mengetahui apakah
pelayanan yang diberikan selama ini sudah memuaskan pasien atau
belum, agar pelayanan kedepannya lebih baik lagi.