i. pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
252
RINGKASAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usaha perikanan tambak yang terbentuk dan berkembang dapat
menimbulkan keanekaragaman kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi dan
perdagangan lainnya yang saling mendukung. Usaha perikanan tambak selanjutnya
dapat memberikan dampak positif (multiplier effect) bagi perkembangan
perekonomian setempat dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Pengembangan usaha perikanan tambak akan mendorong munculnya budidaya (on
farm) dan off farm, seperti usaha minabisnis hulu (pengadaan sarana perikanan) dan
jasa penunjang lainnya, sehingga kesenjangan kesejahteraan pendapatan antar
masyarakat, kemiskinan dan urbanisasi tenaga produktif dapat dikurangi dan
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Perikanan tambak polikultur dengan yang dikelola secara tradisional dengan
komoditas ikan bandeng dan udang windu, yang dibudidayakan di dalam tambak-
tambak yang tersebar di Kabupaten Sambas sebagian besar di daerah pesisir tiga
kecamatan yaitu Kecamatan Pemangkat, Jawai, dan Jawai Selatan. Pada awalnya
wilayah pesisir Sambas sangat banyak dijumpai tanaman mangrove. Adanya
pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup
meningkat yang mengakibatkan peningkatan aktivitas ekonomi, yang salah satunya
adalah mengkonversi kawasan mangrove beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman,
pertanian, perikanan tambak, dan lain-lain. Dalam jangka panjang pengurangan areal
mangrove akan dapat menyebabkan kerusakan ekologis yang pada akhirnya akan
253
menyebabkan terancamnya keberlanjutan budidaya perikanan tambak itu sendiri,
sehingga diperlukan pengelolaaan perikanan tambak yang ramah lingkungan.
Walaupun demikian, saat ini kawasan pesisir Sambas masih terdapat areal mangrove
yang memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai sumber benih-benih alam,
melindungi kawasan pemukiman dan tambak-tambak perikanan yang banyak terdapat
di bagian daratan.
Terdapat perbedaan jenis tambak di Kabupaten Sambas. Tambak-tambak
yang berlokasi di Kecamatan Pemangkat adalah jenis tambak silvofishery atau biasa
disebut tambak wanamina dengan sistem empang parit, yaitu tambak untuk budidaya
dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi tanaman mangrove, sedangkan di
Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan adalah jenis tambak non wanamina, tanpa
ditanami mangrove.
Secara keseluruhan telah terjadi penurunan produktifitas perikanan tambak
yang dapat disebabkan oleh penurunan kuantitas dan kualitas lingkungan mangrove di
pesisir sekitar tambak, dan dalam jangka panjang akan mengancam keberlanjutan
usaha perikanan rakyat ini, sehingga pada penelitian ini akan mengkaji kelayakan
usaha perikanan tambak secara finansial dan ekonomi saat ini. Keberlanjutan usaha
perikanan tambak polikultur bandneg – udang windu di sebuah kawasan yang
memiliki fungsi ekologis penting seperti kawasan mangrove perlu dianalisis
keberlanjutan ekologisnya untuk melihat apakah daya dukung ekosistem yang ada
mampu mendukung usaha perikanan tambak ini. Selain keberlanjutan secara ekonomi
dan ekologi, perlu mempertimbangkan berbagai kajian keberlanjutan secara
multidimensi dengan tambahan dimensi sosial budaya, infrastruktur & teknologi, serta
hukum dan kelembagaan. Menurut Etkin, 1992 dalam Gallopin, 2003; Dalay Clayton
254
dan Bass, 2002, beberapa pendekatan terkait dengan pembangunan berkelanjutan antara
lain melalui pendekatan ekologi, ekonomi, sosial budaya, etika, kelembagaan, politik,
dan keamanan. Dimensi ekologi, pengembangan usaha perikanan tambak diharapkan
memberikan manfaat positif bagi lingkungan. Dimensi ekonomi, memberikan nilai
tambah bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pengembangan
komoditas unggulan lokal yang berorientasi pada sektor agribisnis dan agroindustri.
Dimensi sosial budaya, pengembangan usaha perikanan tambak membuka lapangan
pekerjaan bagi masyarakat.
Kajian penelitian ini secara khusus menganalisis keberlanjutan ekonomis dan
ekologis, serta menambahkan analisis keberlanjutan berbagai dimensi lainnya yaitu
sosial, infrastruktur teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Dimensi
infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan menjadi tambahan
penting dalam penelitian ini karena pengembangan usaha perikanan tambak yang
berkelanjutan membutuhkan adanya infrastruktur dan teknologi yang memadai serta
dukungan dari sistem kelembagaan petani tambak yang kuat. Disisi lain, dimensi
hukum menjadi pertimbangan dalam upaya mengatasi konflik kepentingan yang akan
muncul. Identifikasi terhadap status keberlanjutan wilayah berdasarkan lima dimensi
tersebut maka akan memudahkan upaya perbaikan terhadap atribut-atribut sensitif
yang mempengaruhi status keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur yang
berlokasi di sekitar kawasan mangrove tersebut, sehingga menjadi landasan urgensi
fokus penelitian pada analisis keberlanjutan usaha perikanan tambak
255
1.2. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan
usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu di sekitar kawasan
mangrove. Secara spesifik tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis kelayakan secara finansial dan ekonomi usaha perikanan tambak
polikultur bandeng – udang windu pada jenis tambak wanamina dan tambak non
wanamina
2. Menghitung nilai jejak ekologis usaha perikanan tambak polikultur bandeng –
udang windu jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina untuk mengetahui
keberlanjutan ekologis usaha perikanan tambak polikultur
3. Menilai indeks dan status keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur
bandeng – udang windu berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan
4. Mengetahui atribut-atribut sensitif pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan yang mempengaruhi
keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur jenis tambak wanamina dan
tambak non wanamina
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
256
mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Brundtland Report, 1987 dalam
Mitchell et al., 2000 dan Gallopin, 2003, WCED, 1987 ). Inti dari konsep ini adalah
bahwa tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait
dalam proses pembangunan. Bila tidak akan terjadi "trade off' antar tujuan
(Munasinghe, 1993).
Keraf (2002) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
upaya mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga
aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Debermann
(2005) berpendapat bahwa keberlanjutan usahatani diukur dari stabilitas produksi.
Dalam mempertahankan keberlanjutan usahatani diperlukan introduksi teknologi.
Hasil penelitian Backes (2001) menunjukkan bahwa teknologi introduksi akan
diadopsi oleh 53% petani jika teknologi tersebut sudah dikenal di daerahnya,
sedangkan 47% petani akan mengadopsi jika nilai tambah teknologi tersebut minimal
relatif sama dengan teknologi yang ada di petani. Sementara itu Dahuri (2003)
menyebutkan indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya
keanekaragaman hayati laut, minimal harus meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi,
(2) sosial, (3) ekologi, (4) pengaturan (governance).
2.1.2. Tambak
Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai
tempat untuk kegiatan budidaya payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum
tambak dikaitkan langsung dengan budidaya udang windu maupun ikan bandeng.
Menurut Martosudarmo (1992) tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah
pasang surut dan digunakan untuk memelihara bandeng, udang laut dan hewan lainnya
yang biasa hidup di air payau. Air yang masuk kedalam tambak sebagian besar berasal
257
dari laut saat terjadi pasang, sehingga pengelolaan air dalam tambak dilakukan dengan
memanfaatkan pasang surut air laut. Keberhasilan budidaya tambak sangat
dipengaruhi oleh ketersediaannya lahan pertambakan yang memiliki persyaratan baik
fisik, kimia, biologi serta faktor-faktor sosial masyarakat di sekitar tambak. Untuk
mendapatkan lahan yang memenuhi persyaratan tersebut, perlu dilakukan perencanaan
menyeluruh sebelum dilakukan usaha tersebut, mencakup dua kegiatan yaitu:
penentuan areal yang memenuhi syarat untuk dijadikan tambak dan pembuatan
konstruksi tambak (Afrianto, 1991).
Tambak Polikultur sistem wanamina merupakan budidaya yang
membudidayakan lebih dari satu jenis komoditas dalam satu masa pemeliharaan dalam
petak yang sama. Penerapan teknik budidaya secara polikultur diharapkan dapat
meningkatkan craying capacity atau daya dukung lahan tambak pada keadaan tertentu,
dimana pertumbuhan produksi akan tetap stabil. Hasil produksi dengan sistem
polikultur, hasil panen dalam satu periode akan bertambah dengan pemanfaatan lahan
luasan yang sama, hal ini sangat membantu peningkatan penghasilan petambak
(Syahid et al, 2006).
Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina merupakan pola
pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan
budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan
upaya pelestarian hutan mangrove (Sualia, 2010). Silvofishery juga merupaka usaha
pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari dengan mengkombinasikan kegiatan
kehutanan, pertanian dan perikanan dalam suatu andil atau kombinasi antara
tambak/empang dengan tanaman mangrove (bakau), yang diharapkan di satu sisi
258
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan di sisi lainnya kelestarian
kawasan mangrove tetap terpelihara.
2.2. Landasan teori
2.2.1. Analisis Finansial dan Ekonomi
Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang
petani sebagai pemilik. Analisis finansial diperhatikan didalamnya adalah dari segi
cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-
sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang
untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial
sering juga disebut “private returns”. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam
analisis finansial ialah waktu didapatkannya returns sebelum pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal.
Analisis ekonomi adalah analisis usahatani yang melihat dari sudut
perekonomian secara keseluruhan. Dalam analisis ekonomi yang diperhatikan ialah
hasil total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang
dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian sebagai keseluruhan,
tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam
masyarakat yang menerima hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “the sosial
returns” atau “the economic returns” dari usahatani.
2.2.2. Jejak ekologi
Jejak ekologi dikembangkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam
Wackernegel et al (2005); merupakan alat bantu dalam mengukur penggunaan
sumberdaya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia dihubungkan
dengan kemampuan lahan. Jejak Ekologi merupakan analisis nilai kebutuhan manusia
259
di dalam ekosistem. Analisis ini membandingkan kebutuhan manusia dengan
kemampuan biosfer alam dalam mereproduksi sumber daya.
Nilai jejak ekologi berasal pada pengukuran ruang yang diperlukan untuk
menyediakan dan menyerap berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan spesies tertentu di daerah tertentu. Larsson et al. (1994) dalam
Wolowicz, K (2005), memperkirakan seberapa besar ruang ekosistem yang
diperlukan, terdiri dari enam komponen área yang berbeda yang dapat dihitung seperti
tabel berikut :
Tabel 2.1. Area ekosistem disesuaikan untuk setiap meter persegi budidaya udang
semi intensif
Área ekosistem Penggunaan
Area mangrove untuk post larval
nursery
Area hutan untuk penyerapan CO2
Ekosistem pertanian
Ekosistem laut
Mangrove detritus
Wilayah mangrove yang
diperlukan untuk menyediakan air
bersih
area yang dibutuhkan untuk menghasilkan
bibit dalam jumlah yang cukup
Área yang diperlukan untuk menyerap CO2
dari hasil pembakaran bahan bakar minyak
untuk menghasilkan tanaman yang digunakan
dalam pakan ikan/udang
untuk menghasilkan ikan/biota laut yang
digunakan dalam pakan ikan/udang.
untuk menghasilkan makanan (diasumsikan
30% dari kebutuhan makan ikan.udang).
Area yang diperlukan untuk menyediakan air
bersih untuk produksi ikan/udang
Sumber : Larsson et al (1994) (dalam Wolowicz, 2005)
.2. Data Analysis Methods
3.2.1. Business Feasibility Analysis Method
To test the hypothesis 1 using the benefit and cost analysis, ie by a)
calculating the revenue stream (benefit) pond fishing effort (b) calculate the spending
260
stream fishing pond, (c) calculate the NPV, BCR, IRR, and payback period, d)
Analysis of Switching Value.
2.2.4 Multi Dimensional Scalling
Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi)
yang diperkecil. Ordinasi suatu obyek pengamatan yang diukur dengan menggunakan
banyak variabel sulit dilihat secara visual mengingat bahwa posisi obyek di dalam
ruang berdimensi lebih dari 3 tidak mungkin digambarkan. Rapfish (Rapid Appraisal
for Fisheries) merupakan salah satu metode dalam menganalisis keberlanjutan
perikanan dan termasuk baru dalam penerapan multi dimentional scaling di bidang
perikanan (Kavanagh, 2001) yang dikembangkan oleh university of British Columbia.
Metode Rapfish pada dasarnya menggunakan pendekatan Multi Dimentional Scaling
(MDS), dimana seluruh atribut yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara
multidimensi. Analisis multidimensi ini untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan
perikanan. Pada metode Rapfish diketahui mempunyai nilai bad (buruk) sampai good
(baik) dalam selang 0-100. Untuk memudahkan penentuan status keberlanjutan
perikanan maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut dibagi menjadi
beberapa kategori atau status, yaitu dengan membagi empat selang dari 0-100 tersebut.
Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-
50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam
status baik (Susilo, 2003).
2.3. Hipotesis
1) Diduga usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu pada jenis
tambak wanamina dan tambak non wanamina secara finansial dan ekonomi layak
untuk diusahakan
261
2) Diduga nilai jejak ekologis perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu
wanamina adalah berkelanjutan secara ekologi, dan tambak non wanamina sudah
melampaui daya dukungnya, sehingga tidak berkelanjutan secara ekologi
3) Diduga status keberlanjutan multidimensi pada tambak wanamina adalah cukup
berkelanjutan, dan status keberlanjutan multidimensi pada tambak non wanamina
adalah kurang berkelanjutan.
4) Diduga atribut-atribut sensitif penggunaan pestisida alami, suhu udara, dan
penggunaan obat/vitamin dari dimensi ekologis; atribut tempat petani tambak
menjual ikan bandeng dan udang, kemampuan pasar menyerap produksi;
kelayakan finansial; sumber modal dari dimensi ekonomi; atribut tingkat
penyerapan tenaga kerja perikanan; Frekuensi penyuluhan dan pelatihan; peran
masyarakat dalam usaha perikanan dan partisipasi keluarga dari atribut sosial
budaya; atribut ketersediaan infrastruktur/ sarana dan prasarana umum, dan
ketersediaan teknologi informasi perikanan dari dimensi infrasruktur dan
teknologi; atribut perjanjian kerjasama dengan daerah lain mengenai perikanan;
sinkronisasi kebijakan pusat & daerah ; keberadaan kelompok tani perikanan;
ketersediaan lembaga sosial; dan ketersediaan lembaga keuangan mikro (kredit)
dari dimensi hukum & kelembagaan yang mempengaruhi keberlanjutan usaha
perikanan tambak polikultur jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina
2.2.5 Multi Dimensional Scalling
Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi)
yang diperkecil. Ordinasi suatu obyek pengamatan yang diukur dengan menggunakan
banyak variabel sulit dilihat secara visual mengingat bahwa posisi obyek di dalam
ruang berdimensi lebih dari 3 tidak mungkin digambarkan. Rapfish (Rapid Appraisal
262
for Fisheries) merupakan salah satu metode dalam menganalisis keberlanjutan
perikanan dan termasuk baru dalam penerapan multi dimentional scaling di bidang
perikanan (Kavanagh, 2001) yang dikembangkan oleh university of British Columbia.
Metode Rapfish pada dasarnya menggunakan pendekatan Multi Dimentional Scaling
(MDS), dimana seluruh atribut yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara
multidimensi. Analisis multidimensi ini untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan
perikanan. Pada metode Rapfish diketahui mempunyai nilai bad (buruk) sampai good
(baik) dalam selang 0-100. Untuk memudahkan penentuan status keberlanjutan
perikanan maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut dibagi menjadi
beberapa kategori atau status, yaitu dengan membagi empat selang dari 0-100 tersebut.
Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-
50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam
status baik (Susilo, 2003).
2.4. Hipotesis
5) Diduga usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu pada jenis
tambak wanamina dan tambak non wanamina secara finansial dan ekonomi layak
untuk diusahakan
6) Diduga nilai jejak ekologis perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu
wanamina adalah berkelanjutan secara ekologi, dan tambak non wanamina sudah
melampaui daya dukungnya, sehingga tidak berkelanjutan secara ekologi
7) Diduga status keberlanjutan multidimensi pada tambak wanamina adalah cukup
berkelanjutan, dan status keberlanjutan multidimensi pada tambak non wanamina
adalah kurang berkelanjutan.
263
8) Diduga atribut-atribut sensitif penggunaan pestisida alami, suhu udara, dan
penggunaan obat/vitamin dari dimensi ekologis; atribut tempat petani tambak
menjual ikan bandeng dan udang, kemampuan pasar menyerap produksi;
kelayakan finansial; sumber modal dari dimensi ekonomi; atribut tingkat
penyerapan tenaga kerja perikanan; Frekuensi penyuluhan dan pelatihan; peran
masyarakat dalam usaha perikanan dan partisipasi keluarga dari atribut sosial
budaya; atribut ketersediaan infrastruktur/ sarana dan prasarana umum, dan
ketersediaan teknologi informasi perikanan dari dimensi infrasruktur dan
teknologi; atribut perjanjian kerjasama dengan daerah lain mengenai perikanan;
sinkronisasi kebijakan pusat & daerah ; keberadaan kelompok tani perikanan;
ketersediaan lembaga sosial; dan ketersediaan lembaga keuangan mikro (kredit)
dari dimensi hukum & kelembagaan yang mempengaruhi keberlanjutan usaha
perikanan tambak polikultur jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.
Lokasi penelitian secara purposive ditentukan tiga kecamatan dan 5 desa yaitu
Kecamatan Pemangkat: desa Pemangkat Kota, Kecamatan Jawai Selatan: desa Jelu
Air dan desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai: desa Sarang Burung Usrat dan desa Sarang
Burung Danau
3.2. Metode Penentuan Responden
264
Penentuan responden untuk menggali informasi ditentukan secara sengaja
(purposive sampling). Pemilihan responden dilakukan dengan dua cara:
1. Responden petani tambak untuk survei kelayakan usaha dan menggali informasi
untuk analisis keberlanjutan, berdasarkan jumlah populasi pada penelitian ini yaitu
para petani lambak yang mengusahakan perikanan tambak polikultur bandeng-
udang windu dengan pola tambak wanamina di Kecamatan Pemangkat, dan
tambak non wanamina di kecamatan Jawai dan Jawai Selatan. Penentuan
responden petani tambak diambil secara random sampling berdasarkan pola
tambak yang dilakukan petani tambak di sekitar kawasan mangrove. Jumlah
responden (n) ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Sevilla, et al, 1993),
sehingga didapat jumlah total responden yang diambil sebanyak 133 petani tambak
dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3.1. Rincian dari populasi dan sampel/responden
No Pola Tambak Populasi Sampel/
Responden
1 Jenis tambak wanamina Kec. Pemangkat 52 44
2 Jenis tambak non wanamina kec. Jawai
&Jawai Selatan
119 89
Sumber: Data primer, 2014
3.3. Responden dari kalangan ahli/pakar sebagai scientific judgement untuk
menentukan atribut-atribut multidimensi, dan analisis keberlanjutan dipilih secara
sengaja (purposive sampling) yang terdiri dari 2 orang dari instansi Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Barat dan 3 orang dari Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sambas, 2 orang ahli perikanan dari
Politeknik Negeri Pontianak dan Jurusan Perikanan Universitas Muhammadiyah
Pontianak, 1 orang dari Yayasan Mangrove Centre dengan pertimbangan; (a)
265
mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b)
memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang
dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, dan bersedia untuk diwawancara
3.4. Metode Analisis Data
3.4.1. Metode Analisis Kelayakan Usaha
Untuk menguji hipotesis 1 menggunakan analisis manfaaat dan biaya, yaitu
dengan a) menghitung arus penerimaan (manfaat) usaha perikanan tambak (b)
menghitung arus pengeluaran perikanan tambak, (c) menghitung NPV, BCR, IRR, dan
payback period, d) Analisis Switching Value
3.4.2. Metode Analisis Jejak Ekologis
Untuk menilai keberlanjutan secara ekologi dengan menghitung nilai jejak ekologi (ef)
dan areal bioprodukstif (bp). Komponen nilai jejak ekologi yang dihitung adalah
mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Larsson et al (1994) (dalam Wolowicz,
K., 2005), sehingga dapat diketahui seberapa besar ruang ekosistem mangrove yang
diperlukan untuk mendukung sistem perikanan tambak ini.
Khusus untuk penelitian ini terdapat tiga area yang akan dihitung nilai jejak
ekologi adalah:
a) Area mangrove yang menghasilkan detritus untuk pakan.
b) Area mangrove untuk menghasilkan air bersih
c) - Area hutan untuk penyerapan CO2 yang dihasilkan dari penggunaan BBM
- Area hutan untuk penyerapan CO2 yang dihasilkan dari penggunaan pupuk.
Setelah seluruh komponen jejak ekologi dihitung maka dapat ditentukan jejak ekologi
total dari kegiatan perikanan tambak. Produksi perikanan dan kehutanan global serta
266
factor ekuivalen dan factor produksi untuk melengkapi data dalam menghitung nilai
jejak ekologi (diperoleh dari www.fao.org, www.panda org, www.footprint.org)
Pada penelitian ini ada tiga area produktif yang akan dihitung yaitu area
biproduktif laut, pertanian, dan hutan. Penjumlahan dari ketiga area bioproduktif ini
merupakan area bioproduktif total untuk perikanan tambak. Indikator keberlanjutan
dinyatakan dengan nilai defisit ekologi (ed) yang dapat dihitung dengan: ed = ef - bp
3.4.3. Metode Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan
Analisis keberlanjutan pengembangan usaha perikanan tambak dilakukan
dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yang disebut pendekatan Rap-
FISHSAMBAS yaitu pendekatan program RapFISH (Rapid Assessment Techniques
for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British
Columbia (Kavanagh, 2001; Fauzi dan Anna, 2002)
3.4.4. Metode Analisis Kepekaan (Leverage Analysis)
Analisis kepekaan digunakan untuk mengetahui atribut-atribut yang sensitif,
ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut yang sensitif untuk
meningkatkan dimensi keberlanjutan usaha perikanan tambak. Penentuan atribut yang
sensitif dilakukan berdasarkan urutan prioritasnya pada hasil analisis Leverage dengan
melihat bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin
besar nilai perubahan RMS, maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam
peningkatan status keberlanjutan, atau dengan kata lain, semakin sensitif atribut
tersebut dalam keberlanjutan pengembangan usaha perikanan tambak di lokasi
penelitian.
267
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Keadaan Geografis Daerah Penelitian
Kabupaten Sambas terletak di bagian paling utara Provinsi Kalimantan Barat
di antara 20 08’ Lintang Utara serta 00 33’ Lintang Utara dan 1080 39’ Bujur Timur
serta 1100 04’ Bujur Timur. Kabupaten Sambas dengan panjang pantai 198,76 km
dengan karakteristik sebagian besar adalah pantai berpasir membentang dari Semelagi
Besar hingga Tanjung Datok. Panjang pantai menurut Lapan (2003) yaitu: Kecamatan
Pemangkat (20,49 km), Kecamatan Jawai (42,53 km). Luas Kabupaten Sambas adalah
6,395.70 km2 atau sekitar 4.36 % dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat
4.2. Usaha Perikanan Tambak Polikultur Bandeng – Udang Windu
Perikanan Tambak rakyat di daerah penelitian yaitu di Kecamatan
Pemangkat, Jawai Selatan, dan Jawai merupakan tambak ekstensif atau tradisional.
Petakan tambak biasanya di lahan pasang surut yang umumnya berupa rawa bakau.
Ukuran dan bentuk petakan tambak tidak teratur, menggunakan sumber pakan alami
tanpa pakan tambahan buatan, dengan sistem polikultur komoditas bandeng dan udang
windu. Budidaya polikultur ini cukup menguntungkan petani tambak, karena bisa
memanen dua komoditas sekaligus dalam satu siklus budidaya, sehingga
menguntungkan secara ekonomis, dan dari segi teknis pemeliharaan juga lebih mudah
dan murah. Secara biologis persyaratan parameter kualitas air untuk kehidupan udang
268
dengan bandeng sama. Keduanya tidak akan saling kanibal karena udang windu
hidupnya di dasar sedangkan bandeng di permukaan air.
4.2.1. Perikanan Tambak Wanamina di Kecamatan Pemangkat
Sentra perikanan tambak di Kecamatan Pemangkat berada di dusun Sei Mas,
desa Pemangkat Kota. Para petani tambak menerapkan jenis tambak wanamina, yaitu
sistem tumpangsari dengan sebagian lahan ditanami jenis tanaman mangrove seperti
bakau, siapi-api, dan lain-lain, dan sebagiannya dibuat tambak untuk usaha budidaya
ikan bandeng dan udang windu.
Luas total lahan tambak di Kecamatan Pemangkat berdasarkan citra landsat
2013 adalah seluas 687,5 ha dengan sistem wanamina. Para petani tambak secara
mandiri menanam mangrove di lahan nya dengan bantuan bibit mangrove dan
pembinaan dari Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas
dan Yayasan Mangrove Sambas. Para petani menyadari pentingnya menjaga
kelestarian ekologis mangrove untuk mendukung keberlanjutan usaha budidaya
bandeng dan udang windu.
4.2.2. Perikanan Tambak di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan
Sentra perikanan tambak di Kecamatan Jawai Selatan adalah desa Jelu Air
dan desa Jawai Laut, di Kecamatan Jawai adalah desa Sarang Burung Usrat dan desa
Sarang Burung Danau. Jenis tambak yang diterapkan petani tambak di kecamatan
Jawai dan Jawai Selatan adalah tambak biasa. Para petani tidak menanam jenis
tanaman mangrove di dalam atau sekeliling tambak. Jika pun ada pohon-pohon
mangrove adalah sisa dari hutan mangrove sebelum konversi menjadi tambak.
Umumnya sekeliling tambak adalah tanaman liar, atau tanaman kebun seperti pisang
dan kelapa, terkadang para petani menanami areal lahan sekeliling tambak dengan
269
tanaman cabe, melon, dan berbagai jenis sayuran untuk konsumsi sehari-hari ataupun
dijual.
V. ANALISIS FINANSIAL DAN EKONOMI
USAHA PERIKANAN TAMBAK POLIKULTUR
BANDENG – UDANG WINDU
5.1. Kelayakan Finansial Usaha Perikanan Tambak Bandeng – Udang Windu
Berdasarkan hasil analisis finansial untuk usaha perikanan tambak dengan
tingkat suku bunga 19% sesuai suku bunga kredit mikro BRI tahun 2013, usaha pada
semua jenis tambak diperoleh nilai NPV > 1, dan Net B/C >1, yang memenuhi kriteria
kelayakan investasi secara finansial. Hasil ini menunjukkan nilai sekarang dari
pendapatan selama 10 tahun yang akan memperoleh keuntungan sebesar Rp.
26.546.311 pada tambak wanamina dan Rp. 15.180.587,- pada tambak non wanamina.
Hal ini dikarenakan biaya operasional terutama bibit nener dan benur, serta biaya
pupuk, vitamin, pestisida lebih tinggi dibanding pada tambak wanamina, sedangkan
hasil produksi bandeng dan udang windu lebih rendah dibanding hasil produksi pada
tambak wanamina. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mardiyati (2004) menunjukkan bahwa budidaya tambak dengan sistem wanamina
memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tambak non
wanamina.
Nilai IRR masing-masing sebesar 32,7, dan 27,7 % yang berarti lebih
besar dari discount rate yang berlaku. Pada net B/C pada usaha perikanan tambak
wanamina sebesar 1,6 yang berarti setiap pengeluaran sebesar satu rupiah pada yang
270
dikeluarkan selama umur proyek mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar 1,6
rupiah dan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Sedangkan payback period atau waktu
pengembalian modal pada usaha perikanan tambak wanamina dan non wanamina
sama-sama dengan nilai 4,7 tahun yang berarti pengembalian investasi adalah sekitar
56 bulan.
Analisis sensitivitas berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan
petani tambak dan penyuluh di lokasi penelitian, yaitu penurunan produksi oleh
kematian bandeng dan udang/ikan alam yang bisa mencapai 25% dan kematian udang
windu mencapai 40%, serta kenaikan biaya operasional sebesar 7,5%. Hasil analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa usaha perikanan tambak polikultur ini menjadi tidak
layak ditinjau dari semua kriteria investasi. Kerugian terbesar terjadi pada tambak non
wanamina yang berlokasi di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan dengan nilai NPV
(28.665.260). Sehingga penurunan produksi dan kenaikan biaya operasional dapat
mempengaruhi keberlanjutan ekonomi usaha perikanan tambak polikultur ini.
Analisis sensitivitas dengan menggunakan nilai pengganti (switching
value) sampai memperoleh nilai NPV yang mendekati nol, Net B/C mendekati nilai 1,
dan IRR mendekati nilai discount faktor. Besarnya penurunan produksi pada tambak
wanamina adalah maksimal sebesar 20% menunjukkan bahwa usaha ini masih layak
apabila penurunan yang terjadi terhadap produksi tidak lebih besar dari 20%. Untuk
tambak non wanamina, sangat sensitif terhadap penurunan produksi, hal ini
ditunjukkan dengan nilai maksimal sebesar 12,5%, artinya para petani tambak harus
menjaga agar tidak terjadi penurunan produksi melebihi 12,5% karena usaha ini akan
merugi dan menjadi tidak layak.
271
Hasil analisis switching value kenaikan biaya operasional pada tambak
wanamina adalah maksimal sebesar 39,8% menunjukkan bahwa usaha ini masih layak
apabila kenaikan biaya operasional yang terjadi tidak lebih besar dari 39,8 persen.
Untuk tambak non wanamina, sensitif terhadap kenaikan biaya operasional, hal ini
ditunjukkan dengan nilai maksimal sebesar 22,5%, artinya para petani tambak harus
menjaga agar tidak terjadi kenaikan biaya operasional melebihi 22,5% karena usaha
ini akan merugi dan menjadi tidak layak.
5.2. Kelayakan Ekonomi Usaha Budidaya Bandeng – Udang Windu
Berdasarkan hasil analisis ekonomi dengan menggunakan harga bayangan
(border price) untuk usaha perikanan tambak rakyat ini dengan tingkat discount rate
11,5%, diperoleh nilai NPV> 1, Net B/C > 1 dan nilai IRR lebih besar dari discount
rate yang digunakan. Berdasarkan semua kriteria investasi secara ekonomi, usaha
perikanan tambak dengan komoditas bandeng dan udang windu adalah layak untuk
dilakukan, sehingga usaha perikanan tambak polikultur sampai dengan saat ini masih
berkelanjutan secara ekonomi
Nilai berbagai kriteria investasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada
analisis ekonomi dibandingkan analisis finansial, hal ini disebabkan karena analisis
ekonomi juga mneghitung nilai-nilai social ekonomi lainnya, misalnya penggunaan
harga bayangan berdasarkan harga f.o.b karena bandeng dan udang windu grade A
adalah komoditas ekspor memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan devisa negara.
Hasil analisis sensitivitas kelayakan ekonomi dengan asumsi terjadinya
penurunan produksi bandeng dan ikan/udang alam sebesar 25%, dan udang windu
sebesar 40%, serta kenaikan biaya operasional 7,5% dapat dilihat bahwa, usaha
272
budidaya perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu ini masih layak
diusahakan tetapi cukup sensitif tehadap penurunan produksi dan kenaikan biaya
operasional. Produksi bandeng dan udang windu grade A merupakan komoditas
ekspor dengan harga jual cukup tinggi, sehingga hasil produksi merupakan hal yang
sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha.
Hasil analisis switching value, besarnya penurunan produksi bandeng dan
udang windu pada tambak wanamina adalah maksimal sebesar 46% menunjukkan
bahwa usaha ini masih layak apabila penurunan yang terjadi terhadap produksi tidak
lebih besar dari 46 persen. Untuk tambak non wanamina, sangat sensitif terhadap
penurunan produksi, hal ini ditunjukkan dengan nilai maksimal para petani tambak
harus menjaga agar tidak terjadi penurunan produksi melebihi 38,3% karena usaha ini
akan merugi dan menjadi tidak layak.
Hasil analisis switching value pada analisis ekonomi menunjukkan batas
maksimal rentang perubahan terhadap kenaikan biaya operasional pada tambak
wanamina lebih besar dibanding pada tambak non wanamina. Kenaikan biaya
operasional pada tambak wanamina adalah maksimal sebesar 122% menunjukkan
bahwa usaha ini masih layak apabila kenaikan biaya operasional yang terjadi tidak
lebih besar dari 122 persen. Untuk tambak non wanamina, para petani tambak harus
menjaga agar tidak terjadi kenaikan biaya operasional melebihi 84% karena usaha ini
akan merugi dan menjadi tidak layak.
.
V. KAJIAN KEBERLANJUTAN EKOLOGI USAHA PERIKANAN
TAMBAK POLIKULTUR BANDENG – UDANG WINDU
273
6.1. Kajian keberlanjutan berdasarkan jejak ekologi
Analisis jejak ekologi digunakan untuk menjawab pertanyaan dasar pada
pembangunan berkelanjutan yaitu: seberapa besar alam yang kita punya, dibandingkan
dengan seberapa besar alam yang kita gunakan (Bond, 2002).
6.1.1. Jejak ekologi untuk detritus mangrove
Hasil perhitungan diperoleh nilai jejak ekologi (ef) detritus mangrove
perikanan tambak non wanamina di kecamatan Jawai dan Jawai Selatan (92,41 gha)
lebih besar dari nilai jejak ekologi (ef) perikanan tambak di kecamatan Pemangkat
(50,66 gha). Meskipun produksi bandeng dan udang lebih besar di kecamatan
Pemangkat, tetapi luasan tambak di kecamatan Jawai dan Jawai Selatan lebih besar
sehingga menyebabkan kebutuhan detritus sebagai sumber energinya menjadi lebih
besar. Kebutuhan energi yang berasal dari detritus mangrove pada perikanan tambak
di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan diperoleh dari areal mangrove yang ada di
pesisir wilayah sekitar tambak melalui aliran sungai-sungai kecil yang masuk pada
saat pergantian air tambak.
6.1.2. Jejak ekologi untuk air bersih
Salah satu fungsi dari mangrove adalah sebagai biofilter zat-zat polutan
perairan. Menurut Pillay (1990) dalam Irianto, 2004 untuk budidaya berkelanjutan
diperlukan 3 ha hutan mangrove sebagai biofilter untuk setiap 1 ha kolam tambak
perikanan budidaya. Hasil perhitungan diperoleh jumlah pohon mangrove adalah
184.177 pohon mangrove di kecamatan Pemangkat. Sedangkan di kecamatan Jawai
dan Jawai Selatan hanya terdapat areal mangrove di daerah pesisir sebagai kawasan
lindung yaitu sebanyak 35.720 pohon mangrove.
274
Para petani tambak di lokasi penelitian melakukan penggantian air mengikuti
peristiwa pasang surut setiap 15 hari sekali. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Kalimantan Barat (2004) untuk tambak ekstensif (tradisional) diasumsikan
persentase penggantian air sebesar 6 % per hari. Tambak-tambak di lokasi penelitian
rata-rata dengan ketinggian air kolam yang sama yaitu 1 m (100 cm). Berdasarkan
data-data tersebut kebutuhan area mangrove untuk mensuplai air bersih pada tambak-
tambak di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan lebih banyak karena total luas tambak
lebih besar.
6.1.3. Jejak ekologi untuk penyerapan CO2
6.1.3.1. Jejak ekologi untuk penyerapan CO2 dari penggunaan bahan bakar minyak
Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak ekologi, kebutuhan areal hutan
untuk menyerap CO2 dari penggunaan bahan bakar di tambak polikultur Kecamatan
Pemangkat lebih banyak dibanding tambak polikultur Kecamatan Jawai dan Jawai
Selatan.
6.1.3.2. Jejak ekologi untuk penyerapan CO2 dari penggunaan pupuk urea dan TSP
Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak ekologi kebutuhan areal hutan
untuk menyerap CO2 akibat produksi urea dan TSP yang digunakan pada budidaya
tambak bandeng-udang windu di kecamatan Pemangkat lebih sedikit dibandingkan
kebutuhan areal hutan pada budidaya di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan.
6.1.4. Nilai jejak ekologi total
Berdasarkan hasil perhitungan nilai jejak ekologi (ef) terlihat adanya
kebutuhan ruang ekologi yang lebih besar pada pada usaha perikanan tambak non
wanamina polikultur bandeng-udang windu di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan
sebesar 6,69 gha untuk setiap ha tambak
275
Tabel 6.1. Nilai Jejak Ekologi Usaha Perikanan Tambak Polikultur Bandeng – Udang
Windu
Komponen
Nilai ef (gha)
Tambak Wanamina Kec.
Pemangkat
Tambak non wanamina Kec.
Jawai & Jawai Selatan
total Per ha tambak total Per ha tambak
Detritus mangrove 50,66 0,18 92,41 0,18
Air bersih 304,61 1,11 3.243 6,18
Energi:
Pembakaran BBM
Pupuk
75.71
40,30
0,27
0,15
158,63
100,81
0,21
0,19
Jumlah 471,28 1,71 3.595,08 6,76
Sumber: Analisis data primer dan sekunder, 2014
6.2. Luas area bioproduktif
Komponen area bioproduktif yang dihitung pada penelitian ini adalah area
hutan mangrove dan area laut. Luas eksisting hutan mangrove yang ada di Kecamatan
Pemangkat dan kecamatan Jawai & Jawai Selatan masing-masing adalah 447,14 ha,
dan 103,8 ha dan area laut masing-masing seluas 151,62 ha dan 314,72 ha (BPS
Sambas 2013). Hasil perhitungan jejak ekologi untuk luas area bioproduktif total
kecamatan pemangkat dan Jawai & Jawai Selatan masing-masing adalah 258,76 gha
dan 84,22 gha
6.3. Defisit jejak ekologi (ecological deficit) dan tingkat keberlanjutan
Nilai deficit jejak ekologi merupakan selisih antara nilai ef dan luas area
bioproduktif (bp) seperti tabel berikut:
Tabel 6.2. Nilai Defisit Jejak Ekologi Usaha Perikanan Tambak Polikultur Bandeng –
Udang Windu
Tambak Ef total Bp total Ed
Tambak wanamina 471,28 501,52 30,24
Tambak non wanamina 3.595,08 2.658,82 (936,26)
Sumber: Analisis Data Primer, 2014
276
Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak ekologi (ef) untuk tambak
wanamina lebih kecil dari area bioproduktif (bp), sedangkan nilai jejak ekologi (ef)
tambak non wanamina lebih besar dari area bioproduktif, sehingga terjadi nilai defisit
jejak ekologi yang berarti penggunaan sumberdaya alam telah melampaui daya
dukungnya, sehingga perikanan tambak wanamina masih berkelanjutan secara
ekologi, sedangkan usaha perikanan tambak non wanamina termasuk tidak
berkelanjutan secara ekologi. Jika dilihat dari kebutuhan ruang ekologi nya untuk
tambak wanamina lebih kecil kebutuhannya, hal ini bisa disebabkan karena tambak
wanamina memiliki pohon-pohon mangrove di dalam tambak sehingga menambah
luas area mangrove nya, walaupun demikian nilai total jejak ekologi nya mengalami
surplus yang cukup kecil yaitu sebesar 30,24 gha, sehingga para petani tambak
seharusnya mulai waspada agar nilai jejak ekologi nya tidak mengalami defisit.
Berdasarkan hasil perhitungan jejak ekologis untuk perikanan tambak non
wanamina di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan sudah tidak berkelanjutan secara
ekologis. Hal ini akan mengancam produksi bandeng dan udang windu di masa
mendatang, karena faktor lingkungan ekologis terutama lingkungan perairan tempat
hidup bandeng dan udang windu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan bandeng dan udang windu. Perhatian khusus seharusnya diberikan
kepada pengelolaan kualitas air, dan penambahan areal mangrove untuk menjaga dan
meningkatkan produksi bandeng dan udang windu, sehingga petani dapat terus
melakukan usaha perikanan tambak polikulur ini secara berkelanjutan.
VII. KEBERLANJUTAN USAHA TAMBAK PERIKANAN
POLIKULTUR BANDENG - UDANG WINDU
277
7.1. Perikanan Tambak Wanamina di Kecamatan Pemangkat
Tambak wanamina, adalah tambak yang sebagian lahan di dalam atau di luar
tambak ditanami berbagai jenis tanaman mangrove seperti bakau, siapi-api, dan lain-
lain, dan sebagian lahan dibuat tambak untuk usaha budidaya ikan bandeng dan udang
windu. Keberadaan mangrove di lahan tambak memberikan keuntungan bioekologis.
Analisis MDS menggunakan model Rapfish yang dimodifikasi menjadi Rap-
FISHSAMBAS menunjukkan status keberlanjutan dimensi teknologi & infrastruk tur
dan dimensi hukum & kelembagaan adalah kurang berkelanjutan dengan masing-
masing nilai indeks sebesar 34,46 dan 39,91, sedangkan dimensi ekologi, ekonomi dan
sosial-budaya menunjukkan cukup berkelanjutan dengan masing-masing nilai indeks
sebesar 61,67 ; 54,44 dan 57,39. Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan usaha
perikanan tambak polikultur saat ini (existing condition), sebesar 44,33 dan termasuk
dalam kategori kurang berkelanjutan. Hal ini berarti, saat ini usaha perikanan tambak
wanamina ini belum berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap
73 atribut dari lima dimensi keberlanjutan, dan terdapat 17 atribut sensitif berpengaruh
atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan usaha perikanan
tambak polikultur ini.
7.2. Perikanan Tambak Non wanamina di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan
Wilayah pesisir yang berbatasan dengan pantai di Kecamatan Jawai dan
Jawai Selatan sebagian masih terdapat kawasan mangrove, tetapi tambak-tambak yang
dibangun adalah tambak biasa berupa kolam-kolam tambak untuk budidaya bandeng
dan udang windu.
278
Hasil analisis MDS menunjukkan status keberlanjutan dimensi teknologi dan
infrastruktur adalah tidak berkelanjutan dengan nilai indeks 21,86, sedangkan dimensi
ekologi, ekonomi, dimensi hukum & kelembagaan adalah kurang berkelanjutan,
dengan nilai indeks masing-masing sebesar 37,94; 39,47; dan 35,82. Sedangkan status
keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah berkelanjutan dengan nilai indeks 64,95.
Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur
saat ini (existing condition), sebesar 36,18 dan termasuk dalam kategori kurang
berkelanjutan. Hal ini berarti, saat ini usaha perikanan tambak non wanamina ini tidak
berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 73 atribut dari lima
dimensi keberlanjutan, dan terdapat 23 atribut sensitif berpengaruh atau perlu
diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan usaha perikanan tambak non
wanamina.
VIII. KESIMPULAN
8.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan kriteria indikator analisis kelayakan finansial, usaha perikanan
tambak polikultur bandeng – udang windu di Kecamatan Pemangkat, Jawai, dan
Jawai Selatan Kabupaten Sambas layak diusahakan. Usaha perikanan tambak
polikultur wanamina di Kecamatan Pemangkat memberikan nilai NPV tertinggi
sebesar 26.546.311, Net B/C sebesar 1,6, dan IRR 32,7%, dengan pengembalian
investasi selama 4,7 tahun, sedangkan usaha perikanan tambak non wanamina
memberikan nilai NPV yang lebih rendah yaitu 15.180.587, Net B/C sebesar 1,4
dan IRR 27,7% dengan pengembalian investasi 4,7 tahun. Hasil analisis
sensitivitas untuk penurunan jumlah produksi bandeng dan udang/ikan alam
sebesar 25% dan penurunan produksi udang windu sebesar 40% serta kenaikan
279
biaya operasional 7,5%, akan menyebabkan usaha perikanan tambak polikultur
wanamina dan non wanamina menjadi tidak layak. Berdasarkan analisis switching
value untuk penurunan produksi perikanan tambak wanamina maksimal turun
sebesar 20% dan 12,5% untuk masing-masing pola tambak wanamina wanamina
dan non wanamina, sedangkan kenaikan biaya operasional maksimal sebesar
39,8% dan 22,5% masing-masing untuk tambak wanamina dan tambak non
wanamina. Berdasarkan hal tersebut pada saat ini usaha perikanan tambak
polikultur bandeng – udang windu jenis wanamina dan non wanamina masih
berkelanjutan secara ekonomi
2. Hasil analisis kelayakan secara ekonomi juga menunjukkan bahwa usaha
perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu di Kecamatan Pemangkat,
Jawai, dan Jawai Selatan Kabupaten Sambas layak untuk diusahakan. Indikator
kelayakan ekonomi tertinggi adalah pada usaha perikanan tambak wanamina di
Kecamatan Pemangkat dengan nilai NPV 115.612.876; Net B/C 3,7, dan nilai
IRR 54%, serta periode pengembalian investasi selama 3,3 tahun. Untuk tambak
non wanamina diperoleh nilai NPV 88.573.731; Net B/C 3,2 , dan nilai IRR
47%, serta periode pengembalian investasi 3,3 tahun. Berdasarkan analisis
sensitivitas untuk penurunan jumlah produksi bandeng dan udang alam sebesar
25% dan udang windu sebesar 40% akan menyebabkan usaha dengan pola tambak
wanamina dan tambak non wanamina masih layak dengan penurunan nilai NPV
yang sangat drastis. Berdasarkan analisis switching value untuk penurunan
produksi maksimal turun sebesar 46,0% dan 38,3% dan kenaikan biaya
operasional maksimal sebesar 122% dan 84% untuk masing-masing tambak
wanamina dan non wanamina
280
3. Keberlanjutan usaha perikanan tambak wanamina berdasarkan analisis jejak
ekologi dan analisis MDS menunjukkan bahwa usaha ini masih berkelanjutan,
sedangkan perikanan tambak non wanamina tidak berkelanjutan secara ekologi.
Kebutuhan ruang ekologi usaha perikanan tambak non wanamina sudah
melampaui daya dukung ekosistem yang ada. Tambak wanamina yang
mengintegrasikan tanaman mangrove di dalam kolam tambak dengan budidaya
bandeng-udang windu menunjukkan kebutuhan ruang ekologi yang lebih rendah
yaitu sebesar 1,71 gha untuk setiap ha tambak dibandingkan kebutuhan ruang
ekologi tambak non wanamina yang sebesar 6,76 gha untuk setiap ha tambak.
4. Secara multidimensi, yaitu dimensi ekonomi, ekologi, social budaya, hukum &
kelembagaan, teknologi & infrastruktur, menunjukkan bahwa usaha perikanan
tambak polikultur bandneg-udang windu model wanamina dan non wanamina saat
ini (existing condition) sudah tidak berkelanjutan dengan masing-masing nilai
indeks keberlanjutan usaha perikanan tambak wanamina sebesar 44,33 dan
tambak non wanamina menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,18
5. Terdapat 17 atribut atribut sensitif pada tambak wanamina dan 23 atribut sensitif
pada tambak non wanamina yang berpengaruh atau perlu diintervensi untuk
meningkatkan status keberlanjutan usaha perikanan tambak. Atribut-atribut
sensitif tersebut adalah penggunaan pestisida alami, suhu udara, penggunaan
obat/vitamin, persentase penduduk miskin, sumber modal, fluktuasi produksi,
kelayakan finansial usaha, ketersediaan benih benur dan nener, tempat petani
tambak menjual ikan bandeng dan udang, harga jual bandeng dan udang windu,
kemampuan pasar menyerap produksi, transfer keuntungan, Frekuensi
281
penyuluhan dan pelatihan, Tingkat penyerapan tenaga kerja perikanan, Peran
masyarakat dalam usaha perikanan tambak, Partisipasi keluarga dalam usaha
perikanan tambak, Ketersediaan infrastruktur/ sarana dan prasarana umum,
Tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan, Ketersediaan sarana dan
prasarana agribisnis, Teknologi pengolahan hasil produk perikanan, Teknologi
pengolahan limbah perikanan, teknologi pakan, ketersediaan teknologi informasi
perikanan, Standarisasi mutu produk perikanan, Perjanjian kerjasama dengan
daerah lain mengenai perikanan tambak, sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah,
ketersediaan lembaga social, Keberadaan koperasi perikanan, Ketersediaan
Lembaga keuangan mikro (bank/kredit), keberadaan kelompok tani perikanan
8.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan usaha perikanan tambak wanamina
dan non wanamina terdapat beberapa hal yang direkomendasikan:
1. Hasil analisis finansial dan ekonomi menunjukkan bahwa usaha perikanan tambak
polikultur bandeng-udang windu model wanamina lebih layak diusahakan dan
lebih berkelanjutan secara ekonomi dibandingkan dengan tambak non wanamina,
sehingga tambak-tambak non wanamina di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan
perlu diupayakan untuk dibuat menjadi tambak wanamina dengan menanam
mangrove di dalam tambak, sehingga akan didapat manfaat ekonomi dan ekologi.
Menjaga keberlanjutan ekologi dengan melakukan manajemen lingkungan yang
baik akan mendukung keberlanjutan ekonomi usaha.
282
2. Menjaga keberlanjutan usaha secara ekologis dapat dilakukan dengan penggunaan
sumberdaya yang efisien yang akan dapat memperkecil nilai jejak ekologis,
misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dan mengganti
pupuk anorganik urea dan TSP dengan pupuk organik sehingga mengurangi
produksi CO2. Hal lainnya adalah dengan memperbesar area bioproduktif dengan
kegiatan rehabilitasi dan reforestasi yaitu dengan menambah luasan mangrove
dengan merehabilitasi kawasan mangrove di daerah pesisir pantai dengan
menanam pohon-pohon mangrove sehingga meningkatkan kerapatan vegetasi dan
memperluas areal mangrove
3. Memperbaiki atribut-atribut sensitif pada semua dimensi keberlanjutan dengan
prioritas perbaikan dimensi keberlanjutan yang mempunyai nilai indeks
keberlanjutan yang rendah, yaitu: ekologi, dimensi teknologi & infrastruktur dan
dimensi hukum & kelembagaan. Perbaikan-perbaikan atribut pada setiap dimensi
seharusnya tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang sensitif, tetapi juga tetap
mengelola atribut yang tidak sensitif berpengaruh terhadap peningkatan nilai
indeks keberlanjutan agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan secara
maksimal.