i. pendahuluan 1. kebutuhan kayu sebagai kayu...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Kebutuhan kayu sebagai kayu energi
Penggunaan kayu sebagai salah satu sumber energi memiliki peranan yang besar dalam
kehidupan manusia. Seiring dengan kemajuan jaman dan ditemukannya sumber energi lain
seperti nuklir, listrik, minyak, sinar matahari dan batu bara, namun ketergantungan
manusia terhadap kayu sebagai bahan bakar masih tinggi. Jumlah manusia semakin
bertambah dari waktu ke waktu semakin meningkat, begitu juga dengan konsumsi kayu
bakar . Menurut laporan FAO (2001), 7% dari total kebutuhan energi dunia dicukupi dari
hasil kayu. Di negara berkembang, kebutuhan energi yang berasal dari kayu lebih tinggi
dibandingkan dengan negara industri. Di Negara berkembang kurang lebih 15% dari total
kebutuhan energi berasal dari kayu bakar, sedangkan pada negara industri hanya 2% saja
(FAO, 2001).
Ketergantungan kebutuhan energi saat ini sebagian besar dipenuhi dari bahan bakar fosil,
sementara itu dipastikan suatu saat sumber bahan bakar ini akan menipis dan habis.
Menurut Alexandrotus (1995) dilaporkan bahwa konsumsi kayu dunia yang digunakan
sebagai sumber energi (kayu bakar dan arang) sekitar 1,8 m ilyar m3 dimana jumlah
tersebut merupakan separuh dari kebutuhan kayu dunia. Sedangkan konsum si kayu bakar di
dunia yang paling tinggi terdapat pada negara berkembang yaitu sekitar 80% dari produksi
kayu per tahun atau sebanding dengan 0,4 milyar ton minyak (Alexandrotus, 1995). Word
Bank pada tahun 1992 melaporkan bahwa rata-rata kebutuhan kayu dunia akan mengalami
2
peningkatan 2,3% per tahunnya (Jepma,1995). Sejalan dengan pendapat diatas, konsumsi
kayu untuk energi di dunia menurut FAO (2001) sebagian besar (50%) diserap oleh negara
di Asia dan peringkat kedua 27% oleh negara-negara di Afrika. Negara berkembang
memiliki tingkat konsumsi kayu energi yang lebih tinggi dibandingkan negara industri.
Negara-negara Eropa Timur dan Barat, Amerika Tengah dan Karibia serta Amerika Utara
tingkat konsum si kayu bakarnya berkisar 1 - 4% seperti pada gambar 1. dibawah ini :
Sumber: FAO,2001
Gambar 1. Konsumsi kayu dunia tahun 2000
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menghadapi krisis energi yang semakin
mengemuka dari tahun ke tahun. Menurut data sensus penduduk tahun 2010 jumlah
penduduk Indonesia adalah 237.641.326 jiwa (BPS,2014) yang tersebar tinggal di
perkotaan dan pedesaan. Dari jumlah penduduk tersebut sekitar 50,2% tinggal didaerah
pedesaan. Dimana sebagian besar penduduk pedesaan menggunakan kayu bakar dalam
mencukupi kebutuhan energi sehari-harinya. Menurut BPPT (2012) konsumsi energi di
50%
27%
1% 2%
3% 4% 3% 10%
Asia Africa
Eropa Timur Eropa Barat
Rusia Amerika Utara
Amerika Tengah dan Karibia Amerika Selatan
3
Indonesia pada tahun 2000 adalah 777,9 juta SBM (Setara Barel Minyak) kemudian
mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 1081,4 juta SBM. Dimana penggunaan
energi terbesar adalah untuk industri sebesar 32,9%. Sementara kebutuhan rumah tangga
menempati peringkat kedua pengguna energi yaitu 30,1%. Secara lengkap proporsi
penyerapan energi di Indonesia dapat dijelaskan pada gambar 2. dibawah ini:
Sumber: BPPT, Outlook energy Indonesia 2012
Gambar 2. Proporsi serapan energi di Indonesia
Sesuai dengan gambar 2 diatas, pada tahun 2010 energi yang dikonsum si rumah tangga
adalah ± 325,5 juta SBM (30,1% dari 1.081,4 juta SBM). Dilaporkan untuk tahun 2005,
konsumsi energi di sektor rumah tangga mencapai 75 juta SBM untuk minyak tanah, arang,
briket, listrik dan LPG, namun untuk kebutuhan kayu bakar saja telah mencapai 210 juta
SBM (Nuryanti dan Herdinie, 2007; DESDM, 2006). Diperkirakan sekitar 120.000 m3
per
tahun kayu bakar dan arang dibutuhkan untuk m encukupi kebutuhan rumah tangga.
30,1
32,9
3
23,7
2,7 7,7
Rumah tangga
Industri
komersial
transportasi
lainnya
Penggunaan non energi
4
Sedangkan menurut Kementrian Kehutanan mencatat bahwa konsumsi kayu bakar di
Indonesia telah mencapai 0,5-0,9 m3 per kapita atau sekitar 12,5 juta m3 kayu bakar per
tahun. Sumardjani dan Waluyo (2007) menyatakan bahwa rata - rata kebutuhan kayu bakar
2,54 m³/kapita/tahun, dengan prediksi kebutuhan kayu bakar nasional 295,502 juta
m³/tahunnya dengan asumsi pengguna kayu bakar 116,274 juta jiwa.
Porsi penggunaan energi terbesar adalah BBM (Bahan Bakar Minyak) 31% disusul kayu
bakar 23%, Gas 14%, Batubara 13% dan listrik 9% seperti yang tampak pada gambar 3.
Kebutuhan kayu bakar menempati nomor dua terbesar setelah BBM, oleh karena itu
kebutuhan akan kayu bakar tidak bisa dipandang sebelah mata dalam konsumsi energi di
Indonesia. Kebutuhan kayu bakar ini ada dan menunjukkan peningkatan dari tahun ke
tahun seiring dengan jumlah penduduk yang meningkat pula. Kesiapan bahan baku kayu
bakar melalui penanaman hutan tanaman untuk tujuan kayu energi sepatutnya direncanakan
dan diimplementasikan.
Sumber: BPPT, Outlook energy Indonesia
Gambar 3. Diagram proporsi energi di Indonesia tahun 2010
31%
23% 13%
14%
9%
4% 3% 3% BBM
Kayu Bakar
Batubara
Gas
Listrik
Biomassa
Biofuel
LPG
5
Selama ini kebutuhan kayu energi dipenuhi dari kayu hutan rakyat, pekarangan dan hutan
negara sebagai hasil sampingan. Untuk itu kedepan perlu dibangun plot-plot uji kayu energi
diberbagai daerah yang memiliki tingkat konsumsi kayu bakar yang tinggi baik untuk
kebutuhan industri maupun untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
2. Pengembangan hutan sebagai penyedia sumber kayu energi di dataran tinggi
Harga minyak bumi dan produk turunannya di pasar dunia yang tidak stabil menyebabkan
sulitnya penetapan harga minyak dalam negeri yang murah bagi masyarakat. Sementara itu
negara dihadapkan pada kondisi yang sulit. Dimana beban subdisi negara pada BBM sudah
tinggi, selama lima tahun terakhir subsidi BBM mencapai Rp.714 Triliun sedangkan untuk
kesehatan hanya Rp. 220 Triliun dan infrastruktur Rp. 574 Triliun (Kompas, 2014).
Sebagai catatan untuk tahun 2015 alokasi APBN sebesar Rp. 2.019 Triliun dimana untuk
subsidi BBM saja senilai Rp. 330 Triliun. Dapat dibayangkan betapa besarnya subsidi
BBM tahun 2015 hampir Rp. 1 Triliun setiap hari (Kompas, 2014). Sementara apabila
subsidi BBM dikurangi atau dicabut tentu akan menambah kesulitan bagi masyarakat
berekonomi kecil.
Tentu saja dengan kondisi ini menyebabkan banyak masyarakat beralih kepada kayu bakar
untuk mengganti bahan bakar minyak dalam kehidupan sehari-harinya. Di daerah pedesaan
kebutuhan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga meningkat mengingat menurunnya
daya beli masyarakatnya terhadap BBM . Mereka memanfaatkan kayu bakar yang tersedia
di pekarangan mereka maupun menggunakan limbah pertanian yang dihasilkan dari lahan
6
mereka sendiri. Sudah sepatutnya kita mulai berpikir untuk beralih pada sumber -sumber
energi yang terbarukan (renewable energy resource) dan yang lebih ramah terhadap
lingkungan. Seiring dengan kemajuan jaman, kebutuhan kayu bakar akan tetap menjadi
kebutuhan pokok bagi masyarakat pedesaan (Nuryanti dan Herdinie, 2007). Aktifitas
sehari-hari seperti memasak makanan, memasak air, sebagai penghangat badan (di daerah
dingin) dan kebutuhan lainnya tidak bisa digantikan dengan menggunakan BBM seperti
membakar gerabah, batu bata, genteng dan industri rumah tangga lainnya.
Kebutuhan kayu didataran tinggi berdasarkan penelitian Bhatt and Sachan (2004)
menunjukkan kecenderungan semakin tinggi ketinggian tempat, semakin tinggi pula
kebutuhan kayunya. Hasil penelitian tersebut membandingkan konsumsi kayu selama 4
musim pada beberapa ketinggian. Rerata konsumsi kayu terendah terletak pada daerah
dengan ketinggian 500 m dpl (392,38 kg/capita/tahun) sedangkan pada daerah dengan
ketinggian diatas 2000 m dpl rerata konsum si kayunya = 1019,26 kg/kapita/tahun.
Kebutuhan kayu yang semakin tinggi kadang tidak disadari menjadi tantangan bagi
keseimbangan lingkungan dan rehabilitasi lahan. Dengan pertimbangan tersebut upaya
untuk penyediaan kayu bakar bagi masyarakat harus bersinergi dengan upaya penanaman
tanaman yang berpotensi sebagai sumber kayu bakar. Kandungan kalor merupakan salah
satu indikator penting dalam memilih tanaman yang memiliki potensi se bagai bahan bakar.
Beberapa tanaman hutan dilaporkan memiliki potensi yang tinggi sebagai bahan bakar
pada dataran tinggi salah satunya adalah Acacia decurrens.
7
Disamping A.decurrens digunakan sebagai kayu energi didataran tinggi, peluang
pemanfaatan kayu lain yang habitatnya ada di daerah pegunungan sangat terbuka lebar.
Terutama pembuatan wood pellet dari sisa kayu dan serbuk gergaji, yang ketersediaannya
sangat melimpah karena selama ini dianggap sebagai lim bah yang tidak berguna. Wood
pellet memiliki keunggulan dibandingan dengan kayu bakar biasa, karena memiliki
kerapatan kayu yang tinggi dan nilai kalor yang lebih tinggi (Sutapa,2014).
Pengembangan wood pellet di Indonesia diawali di Wonosobo dengan investor dari Korea
yang bekerja sama dengan Perhutani sebagai penyedia bahan baku. Perhutani menyiapkan
10.000 ha hutan tanaman untuk tujuan wood pellet ini dengan pembagian 3500 ha di Jawa
Timur, 3500 ha di Jawa Tengah dan 3000 ha di Jawa Barat. Pabrik pembuatan wood pellet
di W onosobo sendiri sudah beroperasi sejak tahun 2009 dengan kapasitas 5000 ton/bulan
yang mengolah limbah kayu sengon dan kaliandra (Bisnis, 2014). Kedepan pengembangan
wood pellet di Indonesia perlu diperluas baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa,
mengingat potensi kayu energi yang dim iliki Indonesia cukup besar dan permintaan wood
pellet di pasar dunia yang cenderung meningkat
3. Potensi Acacia decurrens sebagai bahan baku sumber energi
Keragaman genetik yang luas menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah kegiatan
pemuliaan pohon. Keragaman genetik merupakan syarat utama terpeliharanya stabilitas
jangka panjang suatu ekosistem, karena jumlah dan pola keragaman geneti k akan
menentukan kemampuan spesies pohon hutan dalam beradaptasi terhadap kondisi
8
lingkungan yang beragam pula. Variasi genetik juga berada pada posisi kunci dalam
program pemuliaan dikarenakan mampu memaksimalkan perolehan genetik sifat -sifat
tertentu akan dapat dicapai (Naiem,2004).
Penelitian nilai kalor A.decurrens pada beberapa sebaran alam diharapkan mampu
memberikan gambaran sifat-sifat kayu yang mempengaruhi nilai kalor kayu yang
dihasilkan. Dengan mengetahui sifat-sifat kayu yang mempengaruhi kalor pada
A.decurrens nantinya dapat diambil langkah-langkah seleksi terhadap nilai tertentu yang
akan dilakukan dalam program pemuliaan pohon untuk kayu energi. Dalam penggunaan
kayu sebagai sumber energi sebaiknya dipilih dari pohon dengan sifat-sifat pertumbuhan
sebagai berikut (Alimah, 2010) :
1. Spesies dengan pertumbuhan cepat dengan percabangan yang lebat dan memiliki
berat jenis (BJ) tinggi
2. Memiliki riap yang tinggi
3. Dapat hidup pada berbagai kondisi tempat tum buh
4. Memiliki kemampuan bertunas yang tinggi setelah dipangkas
5. Kalor yang yang dihasilkan oleh kayunya tinggi
Menurut Kasmudjo (2010), kayu untuk tujuan energi memiliki persyaratan antara lain
memiliki berat jenis menengah keatas, kadar air cukup rendah, memiliki kadar karbon,
lignin dan ektraktif yang cukup tinggi, tingkat kekerasan kayu menengah keatas serta
menghasilkan nilai kalor tinggi (diatas 4800 kcal/kg). Kayu energi tidak memerlukan
persyaratan batang yang lurus dengan bebas cabang tinggi, justru dicari jenis-jenis yang
9
memiliki percabangan banyak. Semakin banyak percabangannya maka cadangan kayu
yang dihasilkan per m³/pohonnya semakin tinggi. Salah satu tanaman yang berpotensi
untuk dikembangkan sebagai kayu energi di dataran tinggi adalah A. decurrens.
Berikut adalah informasi beberapa lokasi ditemukannya A. decurrens pada 5 sebaran alam
di Pulau Jawa dimana pengambilan sampel kayu A. decurrens dilakukan :
1. Gunung Merapi
Kawasan Gunung Merapi ditetapkan menjadi Taman Nasional berdasarkan penunjukkan
oleh Menteri Kehutanan berdasarkan SK Menhut 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004.
Taman Nasional Gunung Merapi memiliki luas kawasan seluas 6.410 ha dimana seluas
1.283,99 ha berada di DIY dan 5.126,01 ha di Jateng. Secara geografis TN Gunung Merapi
terletak pada koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT.
(a) (b)
Gambar 4. Pengambilan sampel kayu A.decurrens di Bebeng, lereng Gunung Merapi
(a) dan tegakan A.decurrens (b).
10
Wilayah Taman Nasional Gunung Merapi berada pada ketinggian antara 600 - 2.968 m dpl.
Topografi kawasan mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung-gunung. Kawasan ini
memiliki jenis tanah regosol, andosol, alluvial dan litosol. Untuk area TN Gunung Merapi
yang berada di wilayah Yogyakarta sebagian besar didominasi oleh jenis tanah regosol.
Tipe iklim di daerah ini termasuk dalam tipe C menurut klasifikasi curah hujan Schmidt
dan Ferguson, yakni agak basah dengan nilai Q antara 33,3% - 66%. Rerata curah hujan
bervariasi antara 875 - 2527 mm pertahun. Variasi curah hujan di tiap-tiap kabupaten
adalah Magelang = 2.252 – 3.627 mm/th, Boyolali = 1.856 – 3.136 mm/th, Klaten = 902 –
2.490 mm/th dan Sleman = 1.869,8 – 2.495 mm/th (BTNGM,2009).
A. decurrens disini ditemukan menyebar di daerah Bebeng, Cangkringan yang terletak di
lereng sebelah selatan Gunung Merapi. Pada lereng sebelah utara juga terdapat A.decurrens
yang berbatasan dengan Gunung Merbabu. Setelah erupsi Merapi 2010, regenerasi
tanaman A. decurrens di kawasan Merapi ini tum buh dengan cepat. Dilaporkan oleh
Gunawan dkk (2013) 16 -18 bulan setelah erupsi 2010 A. decurrens memiliki kerapatan
2697 individu/ha diatas Puspa (Schima walicii) 2632 individu/ha. Hasil analisa vegetasi
tanaman pasca erupsi Merapi (Gunawan dkk, 2013), mencatat adanya jenis -jenis tanaman
asli yang memiliki kecepatan regenerasi dengan jumlah anakan alam yang melimpah yaitu
Puspa (Schima walicii), Anggrung (Trema orientalis), Tutup Ijo (Macaranga triloba),
Sengon Gunung (Albizia montana) dan Wilodo (Ficus fistulosa).
11
2. Gunung Merbabu
Sampel kayu A.decurrenss diambil dari daerah Cunthel, Kopeng, Salatiga Jawa Tengah
yang merupakan lereng sebelah utara Gunung Merbabu. Terletak pada 7°25′36″ LS dan
1100 25’ 21” BT dengan ketinggian 1800-1850 m. Secara umum merupakan bagian dari
wilayah Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGM). Taman Nasional Gunung Merbabu
memiliki sejarah kelahiran yang bersamaan dengan lahirnya TN Gunung Merapi. Taman
Nasional ini terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
135/Menhut-II/2004. Memiliki luas kawasan seluas ± 5.725 Ha, yang terletak pada tiga
kabupaten yaitu Kabupaten Magelang seluas 2160 Ha , Semarang seluas 1150 Ha, dan
Boyolali seluas 2415 Ha, Provinsi Jawa Tengah.
(a) (b)
Gambar 5. Tegakan A.decurrens di Cuntel, lereng utara Gunung Merbabu (a) dan
penggunaan kayunya untuk kayu bakar oleh masyarakat (b).
Topografi TNG Merbabu antara bergelombang ringan sampai dengan bergunung, dengan
kemiringan mulai dari 8% sampai dengan lebih dari 40% . Jenis tanah didaerah Merbabu
didom inasi oleh Andosol pada ketinggian 900 m keatas. Sedangkan pada ketinggian kurang
12
dari 900 m memiliki jenis tanah Lateritic soil. (Taolin, 2002). Tanah Andosol biasanya
terbentuk dari bahan induk abu (ash) dan tuff vulcan. Lokasi di TNG Merbabu bercurah
hujan rata-rata/tahun sebesar 2000 - 3000 mm dan rata-rata suhu udara antara 50C - 30
0C.
3. Gunung Ciremai
Gunung Ceremai secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat.
Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan
ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di
Jawa Barat, merupakan gunung berapi soliter yang terpisah dari klaster gunung berapi
lainnya di pulau Jawa (TNGC, 2012). Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat
yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian
sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa
Walet. Gunung Ceremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
(TNGC), yang memiliki luas total sekitar 15.500 hektare.
Nama gunung ini berasal dari kata Cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu
berbuah kecil dengan rasa masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala
hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di wilayah Pasundan yang menggunakan awalan
'ci-' untuk penamaan tempat. Di daerah Jawa Barat, pengambilan biji dan kayu A.decurrens
yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai kayu Kasomala dilakukan pada lahan
kebun dan tegalan di lereng Gunung Ciremai pada ketinggian 1 200 s/d 1400 m dpl, dengan
kondisi lahan yang relatif curam dan terjal, tanaman yang mendominasi disekitarnya yaitu
13
Kaliandara (Caliandra calotirsus), Kerinyu dan semak belukar. Secara admisintratif lokasi
tersebut berada di Desa Sukadana dan Argalingga, Kec Argalingga, Kab Majalengka,
Propinsi Jawa Barat. Daerah tersebut menurut Schm it dan Fergusson masuk dalam tipe B
dengan curah hujan 2000 – 4000 mm/tahun.
Kawasan TNGC ditemukan ± 32 jenis vegetasi pohon pada ketinggian 1200 – 2400 m dpl,
antara lain : Saninten (Castanopsis argentea), Kitandu (Fragraera blumii), Ki pulusan
(Villubrunes rubescens), Kalimorot (Castanopsis javanica), Mara (Macaranga
denticulata), Ki keper (Engelhardia spicata), Tangongo (Castanopsis tungurut), Pasang
(Lithocarpus spicatus), Kiara (Vicus sp), Ki jalantir, Hamberang (Ficus cf Padana).
Beberapa tanaman jenis langka yang terdapat di TNGC antara lain Lampeni ( Ardisia
cymosa DC.), Kakanduan (Platea latifolia Blume), Villebrunea rubescent, Prunus javanica,
Symplocos theaefoli dan Eurya acuminate (TNGC,2012).
4. Gunung Lawu (Petak 33 RPH Blumbang BKPH Lawu Utara KPH Surakarta)
Gunung Lawu memiliki tinggi 3.265 m terletak diantara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Didalam pengelolaan kawasan, Gunung Lawu dikelola oleh Perhutani dengan
pembagian Lawu Utara dikelola KPH Surakarta dan Lawu Selatan dikelola KPH Lawu Ds.
Sebagian besar wilayah BKPH Lawu Utara merupakan kelas perusahaan Pinus ( Pinus
merkusii) yang dimanfaatkan untuk diambil getahnya. Disamping pinus jenis tanaman yang
ada di kawasan tersebut antara lain A.decurrens, Damar (Agathis damara), Cemara gunung
(Casuarina junghunia) dan Puspa (Schima walicii).
14
(a) (b)
Gambar 6. Tegakan A.decurrens di lereng Gunung Lawu (a) dan (b) pemotongan
sampel kayu pada pohon diameter sedang.
Lokasi pengambilan sampel kayu berada di petak 33 RPH Blumbang, BKPH Lawu Utara,
KPH Surakarta yang memiliki ketinggian tempat 1800 m dpl. Secara administratif lokasi
ini masuk dalam Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan data
curah hujan BPS Karanganyar (2007), Kecamatan Tawangmangu memiliki curah hujan
1800 – 3000 mm/tahun dengan nilai Q = 41% sehingga menurut klasifikasi Schimdt dan
Fergusson masuk dalam tipe C (agak basah).
5. Gunung Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS)
Taman nasional yang terdiri dari beberapa gunung ini memiliki luas kawasan 50.267,20
Hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 278/Kpts-VI/1997. Kawasan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru berada pada ketinggian 750 - 3.676 m dpl, dengan
15
keadaan topografinya bervariasi dari bergelombang dengan lereng yang landai sampai
berbukit bahkan bergunung dengan derajat kemiringan yang tegak.
(a) (b)
Gambar 7. Tegakan A.decurrens di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(a) dan tegakan A.decurrens yang sedang berbunga (b).
Secara umum kawasan taman nasional merupakan dataran tinggi yang terdiri dari komplek
Pegunungan Tengger di utara dan komplek Gunung Jambangan di sebelah selatan.
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson (Tabel 14), iklim di kawasan
taman nasional termasuk iklim tipe A meliputi daerah Gunung Semeru, tipe B untuk daerah
Bromo dengan nilai Q sebesar 14,36% dan curah hujan rata-rata 6604,4 mm/tahun.
Kelembaban udara di sekitar laut pasir cukup tinggi yaitu maksimal mencapai 90 - 97% dan
minimal 42 - 45% dengan tekanan udara 1007 - 1015,7 mm Hg. Suhu udara rata-rata
berkisar antara 5°C - 22°C. Suhu terendah terjadi pada saat dini hari di puncak musim
kemarau antara 3°C - 5°C bahkan di beberapa tempat sering bersuhu di bawah O °C (minus).
Sedangkan suhu maksimum berkisar antara 20°C - 22°C.
16
Dari penjelasan diatas dapat diberikan informasi tentang iklim dan lokasi dari 5 lokasi
pengujian kalor A.decurrens yang ditampilkan pada Tabel 1. dibawah ini :
Tabel 1. Informasi iklim dan koordinat lokasi pengambilan A.decurrens
LOKASI IKLIM KETINGGIAN
(m dpl)
CURAH HUJAN
(mm/tahun)
KOORDINAT
Merapi
Merbabu
Lawu
Ciremai
Bromo
Tipe C
Tipe B
Tipe C
Tipe B/C
Tipe A/B
900 m dpl
1800 m dpl
1800 m dpl
1800 m dpl
2300 m dpl
1869 – 2495
2000 – 3000
1800 – 3000
2000 – 4000
6600
7°34'36,53'' LS dan 110°26'59,94'' BT
7°25′36,30″ LS dan 110°25’21,45” BT
7° 39’48,6’ LS dan 111° 10’ 35,5” BT
6°50'25" LS dan 108°21'35" BT
7° 56' 14,27" LS dan 112°57'11,32" BT
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui nilai kalor kayu A.decurrens pada 5 sebaran alam (Gunung Merapi,
Merbabu, Bromo, Ciremai dan Lawu).
2. Mengetahui korelasi nilai kalor kayu dengan berat jenis kayu (BJ), kadar abu, kadar
lignin dan kadar air dengan nilai kalor yang dihasilkan.
3. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan nilai kalor kayu tersebut menjadi tinggi
atau rendah dan bagaimana pula cara memanfaatkanya.
17
C. Hipotesis
Dalam penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah:
1. Berat jenis kayu, kadar air, kadar abu dan kadar lignin A. decurrens mempengaruhi nilai
kalor yang dihasilkan.
2. Nilai kalor kayu lebih dipengaruhi sifat kimia dibandingkan oleh sifat fisika kayunya.
D. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sebaran nilai kalor yang dihasilkan dari jenis tanaman A.decurrens pada
beberapa lokasi sebaran alam.
2. Hasil penelitian kalor kayu A.decurrens ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi
stakeholder kayu energi (pemerintah,masyarakat dan swasta) tentang perlunya penyediaan
bahan baku kayu bakar di dataran tinggi. Hasil penelitian juga dapat menjadi dasar
pemuliaan kayu A. decurrens sebagai kayu energi dimasa mendatang.
3. Diharapkan dapat terbangun hutan tanaman untuk mencukupi kebutuhan kayu energi.