hukum kepemilikan tanah dari nabi hingga sby

Upload: yuanda-kusuma

Post on 20-Jul-2015

122 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

HUKUM KEPEMILIKAN TANAH DARI MASA NABI HINGGA SUSILO BAMBANG YUDOYONOOLEH : YUANDA KUSUMA

Latar Belakang Masalah Tanah merupakan benda yang paling diperebutkan oleh umat manusia. Hal ini dikarenakan tanah sarat dengan nilai-nilai, baik nilai sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan bahkan nilai psikologi dan spiritual. Menurut Dr. Mohammed Syaikhun, ada beberapa tujuan manusia dalam menguasai tanah:1 Tanah adalah tempat kelahiran. Di atasnya, manusia lahir, tumbuh dan berkembang serta bergaul dengan sanak saudara, tetangga dan sahabat. Faktor ini sarat dengan nilai psikologi dan spiritual yang pada akhirnya akan melahirkan semangat nasionalisme. Tanah untuk tujuan pertanian Tanah untuk tujuan peternakan Tanah untuk tujuan penguasaan air, baik yang mengalir di atasnya maupun air yang berada di dalamnya. Tanah untuk tujuan penguasaan material pertambangan, baik yang berada di atasnya maupun di dalamnya. Lebih lanjut Dr. Mohammad Syaikun menjelaskan bahwa dilihat dari kacamata ekonomi, tanah merupakan faktor pertama dari tiga faktor produksi (barang dan jasa). Keempat faktor produksi itu adalah:2 Tanah Usaha manusia Manajer Modal

1 Dr. Mohammed Syaikhun, , Hal : 16-18. Disampaikan pada seminar international ekonomi Islam yang diselenggarakan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada hari Senin 14 Juni 2010. 2 ibid

Hal|1

Di lihat dari manfaat dan kegunaan tanah yang holistik dan komprehensif di atas, tak heran jika banyak aliran pemikiran/filsafat bahkan agama yang mengatur dan menata kepemilikan tanah agar menjadi tolok ukur/patokan bagi umat manusia. Saat ini, terdapat tiga aliran besar yang tolok ukurnya dijadikan rujukan. Pertama, aliran Sosialis Komunis yang menyatakan bahwa individu tidak diperkenankan memiliki tanah. Kepemilikan tanah seluruhnya dikuasai oleh negera. Kedua, aliran Kapitalis yang mengatakan bahwa individu diperkenankan sebebasbebasnya untuk memiliki dan menguasai tanah. Ketiga, Islam yang membagi kepemilikan atas tanah menjadi dua, kepemilikan umum / dan kepemilikan individu atau khusus / . Dalam makalah ini, penulis hanya akan membicarakan aliran yang ketiga. Pertama, Penulis akan menerangkan arti dari tanah dan kepemilikan kemudian hakekat kepemilikan dalam Islam, jenis-jenis kepemilikan dalam Islam dan sebab-sebab kepemilikan. Kedua, penulis akan menggambarkan bentangan sejarah kepemilikan tanah dalam Islam mulai dari zaman Nabi hingga SBY, dalam penjelasan bentangan sejarah, penulis akan menerangkan secara singkat tapi padat dan membaginya menjadi: Tanah di zaman Jahiliyah Tanah di zaman Nabi Tanah di zaman Majapahit Tanah di zaman Kerajaan Islam Demak Tanah di zaman Penjajahan Belanda dan Jepang Tanah di zaman Orde Lama Tanah di zaman Orde Baru Tanah di era SBY Ketiga, kesimpulan dan masukan. Definisi-Definisi Pengertian Bahasa Kata tanah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa arti : Pertama,

permukaan atau lapisan bumi yang di atas sekali. Kedua, keadaan bumi di suatu tempat. Ketiga, permukaan bumi yang diberi batas. Keempat, daratan. Kelima, permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu negara atau menjadi daerah negara.3 Kata kepemilikan berasal dari kata milik yang dalam kamus besar bahasa indonesia berarti: Pertama, Kepunyaan. Kedua, Hak. Jika ditambahi dengan tambahan (PE dan AN) pe milik an berarti : Pertama, proses memiliki. Kedua, perbuatan memiliki. Ketiga, cara memiliki. Jika ditambahi dengan tambahan (KE PE dan AN) kepe milik an berarti: hasil dari proses, perbuatan dan cara memiliki.4 "Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya. Para ahli hukum Islam (Fuqoha) memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya. Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan,3 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka, 1999. Hal 655. 4 Ibid.

Hal|3

hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang. Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang- barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang daiberi kuasa untuk mewakili) Imam Hanafi membagi harta menjadi dua bagian:5 Harta Berharga Harta tidak berharga Jika digambarkan pembagian jenis harta tersebut dan dikomparasikan dengan jenis harta menurut ekonomi konvensional adalah sebagai berikut : MAL MUTAQAWI M DEFINISI Segala yang dan hal dikuasai secara MAL GHAIR MUTAQWI M Segala yang atau hal Seluruh benda tidak memiliki nilai ekonomis Angin, matahari Uang, hewan, barang dan jasa yang Seluruh benda yang memiliki nilai ekonomis FREE GOODS ECONOMIC GOODS

belum haram

dikuasai dan digunakan Ikan di laut, burung udara, khamr Ada Tidak boleh di babi,

syariat mubah digunakan BENTUK/CONTO H Uang, barang, jasa, dan hak UNSUR HALAL / HARAM PENGGUNAAN Ada Boleh piutang

Tidak ada Tidak

Tidak ada Digunakan dan

5 Ibn Rushd, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Dar al Fikr, Lebanon. Vol II, 1995. Kitab al Istihqoq wa Ahkamihi, hal 265.

??????? ?????? ??????? ?????? ??????? ?????? ??????? ILIKI OLEH INDIVIDU ATAU BEBERAPA INDIVIDU MILIK SEMUA ORANG DAN TIDAK BBOLEH DIKUASAI OLEH INDI HARTA YANG KEMANFAATANNYA KEPEMILIKAN KEPEMILIKAN PRIBADI KEPEMILIKAN INDIVIDU KEPEMILIKAN PUBLIK

digunakan dan ditransaksikan

digunakan dan ditransaksika n

ditransaksika n

ditransaksikan

Hakekat Kepemilikan Dalam Islam Hakekat kepemilikan dalam sudut pandang Islam adalah bahwa kepemilikan mutlak dan absolut adalah milik Allah SWT. Semata. Manusia hanyalah pemegang amanah.Allah lah pemilik hakiki dan absolut. Dia yang menciptakan apa yang berada di alam semesta.

tB NuqyJ9$# $tBur F{$# 3$ !Kepunyaan

Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi......

(Al Baqarah : 284)

Ndq?#uur `iB A$B !$# %!$# N38s?#u )........ dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. (An Nur : 33). Dengan demikian, manusia terhadap harta yang dimiliki adalah : Bukan pemilik hakiki tetapi pemegang amanah. Manusia menerima harta yang dimiliki terikat oleh aturan-aturan yang di tetapkan oleh pemilik hakiki. Allah SWT. Jenis Kepemilikan Dalam Islam

Jenis Kepemilikan Pribadi

Hal|5

EPEMILIKAN INDIVIDU

KEPEMILIKAN PERSERIKATAN

TNYA HANYA BERKAITAN DENGAN SATU ORANG SAJA KEPEMILIKAN YANG MANFAATNYA DAPAT DIGUNAKAN OLEH BEBERAPA ORANG YANG DIBENTUK DEN

Sumber-Sumber Kepemilikan Pribadi Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang individu memiliki harta : Perniagaan / perdagangan Upah pekerjaan Pertanian Pengelolaan tanah mati Keahlian profesi Ekplorasi tambang yang bukan kategori kepemilikan umum Berburu Hadiah dan Hibah dari penguasa Barang temuan Wasiat Warisan Mahar Harta yang diperoleh dari zakat dan nafkah Sepintas Bentangan Sejarah Kepemilikan Tanah

Zaman Jahiliyah Pada zaman Jahiliyah, penggunaan tanah di Makkah untuk penggembalaan ternak, di Madinah untuk perkebunan kurma dan di Thaif untuk perkebunan anggur dan sayur mayur. 6 Sedangkan untuk sumber pengairan dan mata air berasal dari sumur, oasis, serta "kubangan" hujan yang hanya cukup untuk menutupi kebutuhan dasar manusia, hewan dan tumbuhan. Tidak lebih. Tanah-tanah yang memiliki sumber air tersebut disebut dengan tanah Huma. Setiap kabilah yang memilikinya akan melindunginya dengan nyawa. Karena langkanya air pada saat itu. Kadang beberapa kabilah bersatu untuk melindungi tanah Huma mereka. Jika suatu kabilah merasa kekurangan atau merasa memiliki kekuatan, ia akan menyerang dan mengambil dengan paksa tanah Huma milik kabilah lain. Singkatnya, asas kepemilikan tanah pada zaman Jahiliyah adalah kekuatan dan kekuasaan. Sehingga, kabilah yang lemah akan menjadi bulan-bulanan kabilah yang kuat.7 Zaman Nabi SAW Di zamannya, Nabi SAW mereformasi dasar-dasar kepemilikan tanah yang sebelumnya berasaskan kekuatan dan kekuasaan. Beliau SAW mulai menerapkan sistem pengelompokan dalam kepemilikan tanah, air dan padang gembala. Hal ini dapat kita lihat pada hadithnya yang berbunyi " ." Pengelompokan dalam kepemilikan tanah di bagi menjadi dua. Kepemilikan individu dan kepemilikan umum.8 Skema kepemilikan individu sebagai berikut :9 Kepemilikan tanah individu di bagi menjadi tiga : Tanah yang pemiliknya masuk Islam pada zaman Nabi SAW tetap menjadi hak sang pemilik. Contoh, tanahnya kaum Anshor, Tanah ghanimah yang diambil dari Yahudi Bani Quraizah dan Yahudi Khaibar yang dibagikan pada para pejuang secara individual. Tanah Qata'i'. Atau tanah terlantar yang kemudian dikelola oleh individu muslim.6 Al Bahi Al Khuli, , , Dar al I'tisham Kairo, cet ke III, 1978. Hal 62. 7 Amin Mustafa Abdullah, , Dar al Fikr al Islami Kairo, hal 52. 8 Muhammad Ghazali, , Dar al Qalam Damaskus, 2000. Hal 41. 9 Dr. Mohammed Syauqie al Fanggari, , al Hai'ah al 'Ammah al Mishriyah lil Kitab,1998. Hal 159 163.

Hal|7

Skema kepemilikan umum adalah sebagai berikut:10 Tanah-tanah Huma Tanah milik Nabi SAW yang berasal dari Fai' dan Shadaqah seperti tanah Hawaith Mukhiraq. Tanah-tanah perkebunan yang berasal dari daerah yang telah ditaklukkan oleh umat Islam setelah wafatnya Nabi SAW seperti Irak, Syam dan Mesir. Tanah wakaf. Dari dua skema di atas, dapat kita simpulkan bahwa di zaman Nabi SAW, asas dasar kepemilikan tanah dan pemanfaatannya beradasarkan pada kaidah kemaslahatan dan Negara memiliki peranan penting dalam penentuan kepemilikan tanah. Jika tanah tersebut memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh orang banyak maka kepemilikannya menjadi kepemilikan umum atau dimiliki oleh negara. Kepemilikan individu di Islam tetap diakui dan dihargai. Meskipun demikian, tidak berarti sang pemilik dapat menggunakannya dengan bebas dan tanpa ikatan. Karena dalam islam, kepemilikan individu masih terikat dengan aturan-aturan lain semisal, zakat dan waris. Zaman Majapahit Di zaman Majapahit sebelum Islam, seluruh tanah yang ada di bawah kekuasaan kerajaan adalah milik raja, kerabat dan adipati. Posisi rakyat hanyalah sebagai pengelola tanah yang diwajibkan membayar upeti dari tanah garapannya kepada adipati setempat atau kerabat raja yang memiliki tanah. Kemudian disetor ke bendahara kerajaan di Trowulan (Mojokerto sekarang). Apabila ada kelebihan atau sisa dari target upeti yang dibebankan maka menjadi hak sang pengelola. Posisi raja beserta jajaran di bawahnya yang paling diuntungkan dalam sistem seperti ini. Sedangkan rakyat adalah sapi perah yang terus diperas keringatnya untuk memuaskan hasrat penguasa.11 Asas dasar kepemilikan tanah mirip dengan apa yang terjadi di zaman Jahiliyah, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Zaman Kerajaan Islam Demak Terdapat kemiripan dengan zaman Majapahit pada sistem kepemilikan tanah. Yaitu raja beserta10 Ibid. 11 Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat? Rakyat Kecil Dunia Ketiga Berjuang Demi Keadilan, Kreasi Wacana Yogyakarta, 2002, hal 67.

kerabat dan adipatinya adalah pemilik tanah sedangkan rakyat adalah buruh pengelola tanah. Meskipun terdapat kemiripan, tetapi ada beberapa tambahan positif yang berasal dari ajaran Islam seperti zakat, sedekah dan wakaf mulai diterapkan pada masa itu.12 Asas dasar kepemilikan tanah mirip dengan apa yang terjadi di zaman Jahiliyah, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang Pada masa kelam ini. Semua tanah yang berada dalam kawasan jajahan adalah milik penjajah Belanda dan Jepang. Rakyat sekali lagi tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah yang digarap. Lebih kejam lagi, semua hasil garapan diambil oleh penjajah, sehingga rakyat tidak memiliki apa-apa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini berbeda dengan zaman Majapahit dan zaman Kerajaan Islam Demak yang masih memberikan keleluasaan bagi rakyat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.13 Asas dasar kepemilikan tanah mirip dengan apa yang terjadi di zaman Jahiliyah, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Zaman Orde Lama Selama periode transisi 45-60, politik agraria kita masih menggunakan dasar hukum Belanda dan sebagian tata cara pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan ala Jepang. Pola penguasaan tanah belum diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, terdapat dua buah blok besar kebijakan agraria nasional selama 64 tahun Indonesia merdeka. Pertama, kebijakan agraria populis yang dimulai semenjak disahkannya UUPA 1960 hingga dipenghujung kekuasaan rezim Soekarno. Kedua, kebijakan agraria pro-pasar (kapitalisme) semasa pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga seluruh pemerintahan di masa reformasi. Memang, semua presiden di negara kita secara formal sesungguhnya menggunakan UUPA 1960 sebagai payung pelaksanaan hukum agraria nasional. Namun dengan pendulum yang sama sekali berlainan. Soekarno di sisi kiri dan Seoharto hingga SBY di sisi kanan. Pilihan-pilihan ini memberi gambaran kepada kita semua, bahwa dasar ekonomi politik nasional yang secara sadar dipilih oleh pemerintah yang berkuasa menentukan model rezim agraria yang berlaku. Land reform di masa Soekarno dijalankan melalui Paket UU Landreform seperti UUPA, UU Pokok Bagi Hasil. UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi

12 ibid. 13 Ibid

Hal|9

Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.14 Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa itu yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iexploitation de I homme per I homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya. Dari sini dapat kita lihat kemiripan dengan spirit pembagian kepemilikan tanah di zaman Nabi SAW. Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan. Landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan pertama, golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo14 B.N. Pandey, South and South East Asia 1945-1979 Problems and Policies, The Macmillan Press LTD, London, 1980. Hal 113.

(Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA.15 Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan berupa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal itu karena:16 1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Penguasaan Negara. 2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak; 3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform; 4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra landreform. Konflik horizontal terjadi antara buruh tani dan tuan tanah, khususnya di Jawa Timur, di mana golongan agama merupakan tuan tanah yang relatif kaya. Konflik yang meluas pada perkembangannya telah berubah dari konflik memperebutkan tanah menjadi konflik antara golongan komunis dan non-komunis bahkan antara golongan agama dan golongan anti agama. Konflik vertikal yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama. Kesimpulan pada era ini adalah bahwa meskipun golongan agama telah memahami spirit awal di buatnya UUPA 1960 yang senyawa dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi dalam mengatur kepemilikan tanah, tetap mereka menolaknya dan mengalihkan isu menjadi15 Noer Fauzi, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. hal. 141. 16 Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat? Rakyat Kecil Dunia Ketiga Berjuang Demi Keadilan, Kreasi Wacana Yogyakarta, 2002, hal 77

H a l | 11

pertentangan antara kaum anti agama dengan kaum agamawan. Sehingga hukum kepemilikan tanah yang sejatinya dari awal telah menjadi undang-undang tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Zaman Orde Baru Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru. Stigma PKI atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakanrevolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula ditentukan sebagai tanah kelebihandan karenanya menjadi objek redistribusi tanahdilakukan oleh sejumlah tuan tanah. Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini. Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang

bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.17 Asas dasar dari kepemilikan tanah pada zaman ini mirip dengan apa yang terjadi di zaman jahiliyah, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Zaman Susilo Bambang Yudoyono Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya. Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:18 Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis.1917 Sartaj Aziz, Rural Development, The Macmillan LTD, London 1978. Hal. 130. 18 Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001. hal. 51. 19 Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007.

H a l | 13

Kesimpulan dan Masukan Dari uraian aspek historis dari landreform di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan dan pelaksanaan landreform dipengaruhi oleh politik hukum agraria pada masing-masing rezim. Tetapi satu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa seharusnya landreform bertujuan untuk merombak penguasaan dan pemilikan tanah sehingga berpihak pada petani terutama petani kecil. Bukan suatu program yang digunakan suatu rezim untuk kepentingan politis semata, atau kepentingan ekonomis semata. Di kisaran tahun 65-an terjadi konflik antara kelompok santri dan kubu pembela landreform. Belajar dari sejarah tersebut, dapat kita pahami bahwa meskipun tolok ukur yang telah ditetapkan Islam dalam hal kepemilikan tanah dan telah diimplementasikan juga di zaman Nabi SAW, juga Undang-Undang Dasar 1945 serta UUPA (UndangUndang Pokok Agraria). Tetapi jika berhubungan dengan masalah Tanah, maka kelompok santri pun akan menolak penerapannya sesuai dengan ketetapan yang ada. Seyogyanya, masalah kepemilikan tanah ini juga dibahas dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Hal ini karena signifikansinya dan potensi untuk memicu konflik dan pertentangan dalam hal pertanahan. REFERENSI Dr. Mohammed Syaikhun, , Hal : 16-18. Disampaikan pada seminar international ekonomi Islam yang diselenggarakan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada hari Senin 14 Juni 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka, 1999. Hal 655. Al Bahi Al Khuli, , , Dar al I'tisham Kairo, cet ke III, 1978. Hal 62. Amin Mustafa Abdullah, , Dar al Fikr al Islami Kairo, hal 52. Muhammad Ghazali, , Dar al Qalam Damaskus, 2000. Hal 41. Dr. Mohammed Syauqie al Fanggari, , al Hai'ah al 'Ammah al Mishriyah lil Kitab,1998. Hal 159 163. Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat? Rakyat Kecil Dunia Ketiga Berjuang Demi Keadilan, Kreasi Wacana Yogyakarta, 2002, hal 67.

B.N. Pandey, South and South East Asia 1945-1979 Problems and Policies, The Macmillan Press LTD, London, 1980. Hal 113. Noer Fauzi, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. hal. 141. Sartaj Aziz, Rural Development, The Macmillan LTD, London 1978. Hal. 130. Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001. hal. 51. Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007. Ibn Rushd, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Dar al Fikr, Lebanon. Vol II, 1995. Kitab al Istihqoq wa Ahkamihi, hal 265.

H a l | 15