hukum benda.doc

Upload: djo-why

Post on 08-Jan-2016

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

BAB IIHUKUM BENDAA. Pengantar Hukum Benda

1. Pengertian Hukum Benda

Hukum benda merupakan terjemahan dari istilah di dalam bahasa Belanda, yaitu zakenrecht. Zaken sendiri adalah bentuk jamak dari kata zaak yang berarti benda, sedangkan recht diartikan sebagai hukum. Dalam pengertian yuridis, zaak (benda) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki (menjadi obyek hak milik) sebagai lawan dari subyek hak, yaitu orang dan badan hukum. Menurut system hukum perdata, pengertian zaak (benda) itu meliputi barang-barang berwujud dan barang-barang tidak berwujud (hak-hak atas barang-barang berwujud serta bagian dari harta kekayaan).

Banyak para pakar hukum yang memberikan pengertian tentang hukum benda ini, di antaranya ialah:

a. Prof. Soediman Kartohadiprodjo memberikan definisi bahwa hukum kebendaan adalah semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda.

b. Prof. L.J. van Apeldoorn mendefinisikan bahwa hukum benda adalah peraturan mengenai hak-hak kebendaan.

c. Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, bahwa yang diatur dalam hukum benda ialah pertama-tama mengatur pengertian dari benda, kemudian pembedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan.

Dengan melihat beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum benda adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak. Definisi lain mengatakan bahwa hukum benda adalah keseluruhan peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum antara seseorng dengan benda.

2. Pengaturan Hukum Benda dalam KUH Perdata

Hukum benda merupakan bagian dari hukum harta kekayaan yang diatur dalam Buku ke-II KUH Perdata. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum harta kekayaan adalah semua kaidah hukum yang mengatur hak-hak apakah yang didapatkan pada orang dalam hubungannya dengan orang lain, tertentu atau tidak tertentu yang mempunyai nilai uang. Sementara menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, hukum harta kekayaan adalah peraturan hubungan-hubungan hukum yang bernilai uang.

Dengan demikian, Buku II KUH Perdata tidak hanya memuat mengenai ketentuan hukum benda saja, melainkan juga memuat hukum waris. Diaturnya hukum waris dalam Buku II KUH Perdata dengan pertimbangan bahwa pembentuk undang-undang menganggap bahwa hak waris itu adalah merupakan hak kebendaan, yakni hak kebendaan atas boedel dari orang yang meninggal dunia. Sementara menurut pendapat lain, bahwa hukum waris diatur di dalam Buku II KUH Perdata karena pewarisan itu adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik (Pasal 584 KUH Perdata) dan hak milik itu diatur pula dalam Buku II KUH Perdata.

Selain diatur dalam Buku II KUH Perdata, peraturan mengenai hukum benda atau hak kebendaan juga dapat ditemukan pengaturannya dalam:

a. KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) tentang peraturan yang mengatur kedudukan dagang dan kedudukan hukum dari kapal-kapal.

b. Dalam Staatsblad 1918/21 mengatur tentang hak sewa tanah yang berlaku di Yogyakarta dan Surakarta.

c. Hak sewa tanah yang termasuk dalam Hukum Tanah Betawi (Bataviasche Groundhuur).

d. Dalam Staatsblad 1886/57 peraturan tentang skatan panen (Regeling van het Oogstvenband).

3. Sistem Hukum Benda

Hukum benda mempunyai system tersebdiri yang berbeda dengan system yang dianut dalam hukum perikatan. System pengaturan yang dianut oleh hukum benda adalah system tertutup. Artinya, orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan yang baru selain yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Jadi, orang hanya dapat mengadakan hak kebandaan sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam undang-undang.

Dengan perkataan lain, bahwa jumlah hak-hak kebendaan adalah terbatas pada apa yang hanya disebutkan dalam Buku II KUH Perdata yang sudah terbatas (limitatif). Hal ini telah diputuskan dalam Putusan HR tanggal 3 Maret 1905, yaitu: Adanya hak kebendaan terbatas pada apa yang sudah ditetapkan (ditentukan) oleh pembentuk undang-undang. Selain itu, di dalam pasal-pasal Buku II KUH Perdata tersebut juga tidak terdapat satu pasal yang mengatur secara khusus mengenai hak-hak kebendaan tertentu. Dengan demikian, semakin jelas bahwa hak kebendaan tidak bisa diadakan, sebagaimana system di dalam hukum perikatan.

4. Pengertian Benda

Di dalam hukum perdata, benda lazimnya disebut sebagai obyek hak (zaak) yang berhadapan dengan subyek hak yaitu badan atau orang / pribadi (persoon). Pengertian benda ialah pertama-tama tertuju pada barang berwujud yang dapat ditangkap oleh panca indera, akan tetapi barang yang tidak berwujud termasuk benda juga. Perkataan benda (zaak) dalam arti luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, sedang perkataan benda dalam arti sempit ialah sebagai barang yang dapat dilihat saja. Definisi lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan benda adalah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik).

Sementara menurut Pasal 499 KUH Perdata, benda adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dikuasai oleh hak milik. Dengan demikian, yang dimaksud benda dalam ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum. Ketentuan ini memberikan gambaran bahwa segala yang dapat dimiliki manusia itu adalah benda, sehingga yang tidak dapat dimiliki seperti laut, bulan, bintang dan lain sebagainya itu bukanlah termasuk benda.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa zaak (benda) dalam system hukum perdata (KUH Perdata) mempunyai dua arti, yaitu: pertama, barang yang berwujud dan kedua, bagian dari harta kekayaan termasuk dalam hal ini ialah barang berwujud dan beberapa hak tertentu sebagai barang yang tidak berwujud. Selain pengertian tersebut, benda (zaak) dapat diartikan bermacam-macam, di antaranya:a. Benda sebagai obyek hukum (Pasal 500 KUH Perdata)

b. Benda sebagai kepentingan atau belang (Pasal 1354 KUH Perdata)

c. Benda sebagai kenyataan hukum atau rechtsfeit (Pasal 1263 KUH Perdata)

d. Benda sebagai perbuatan hukum atau rechtshandeling (Pasal 1792 KUH Perdata).

5. Pembagian Benda

Menurut Prof. Subekti, benda dapat dibagi menjadi beberapa macam, di antaranya yaitu:

a. Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan benda yang tidak dapat diganti (contoh: seekor kuda)b. Benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang yang dapat diperdagangkan) dan yang tidak dapat diperdagangkan (contoh: jalan, lapangan umum dan sebagainya)

c. Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh: seekor kuda)

d. Benda yang bergerak (contoh: perabot rumah) dan benda yang tidak bergerak (contoh: tanah).

Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, benda dapat dibedakan menjadi:

a. Barang-barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang-barang yang tidak berwujud (onlichamelijk).b. Barang-barang yang bergerak dan barang-barang yang tidak bergerak

c. Barang-barang yang dapat dipakai habis (verbruikbaar) dan barang-barang yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar)

d. Barang-barang yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan barang-barang yang masih akan ada (toekomstige zaken). Barang yang akan ada ini dibedakan mejadi dua yaitu:

1) Barang-barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada, misalnya panen yang akan dating.

2) Barang-barang yang akan ada relatif, yaitu barang-barang yang pada saat itu sudah ada, tetepi bagi orang-orang tertentu belum ada, misalnya barang-barang yang sudah dibeli tetapi belum diserahkan.

e. Barang-barang yang dalam perdagangan (zaken in de handel) dan barang-barang yang di luar perdagangan (zaken buiten de handel).

f. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak dapat dibagi.

Selanjutnya menurut Prof. L.J. Apeldoorn, benda dapat dibagi menjadi:

a. Benda berwujud (lichamelijke zaken), yaitu benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indera.

b. Benda tidak berwujud (onlichamelijke zakeni), yaitu hak-hak subyektif.

Sementara menurut Pasal 504 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiap-tiap kebendaan adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak.

a. Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya, kendraan, surat-surat berharga dan lain sebagainya. Dengan demikian, kebendaan bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata). Kemudian menurut Pasal (505 KUH Perdata), benda bergerak ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.

b. Benda tidak bergerak, ialah benda yang karena sifatnya, tujuan pemakaiannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tidak bergerak.

Dari pembagian benda tersebut di atas (yang dikemukakan oleh para pakar tersebut), yang paling penting ialah pembagian benda menjadi benda bergarak dan benda yang tidak bergerak. Suatu benda tergolong tak bergerak (onroerend), karena:

a. Sifatnya, misalnya tanah secara langsung atau tidak langsung karena perbuatan alam atau perbuatan manusia.

b. Tujuan pemakaiannya, yaitu segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama; misalnya; mesin-mesin dalam pabrik.c. Ditentukan menurut undang-undang, yaitu segala hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak, misalnya; vruchtgebruik atas suatu benda yang tak bergerak, erfdienstbaarheden, hak opstal, hak erfpacht dan hak penagihan untuk pengembalian atau penyerahan benda yang tak bergerak.

Sementara suatu benda termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dalam tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, misalnya barang perabot rumah. Sedangkan benda bergerak karena penetapan undang-undang adalah vruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, lijfrenten, penagihan mengenai sejumlah uang atau suatu benda yang bergerak, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara dan lain sebagainya.

Pembagian benda ini mempunyai akibat sangat penting dalam hukum. Hal ini karena akibat tersebut berkaitan dengan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing jenis benda tersebut dan berkaitan dengan perbuataan misalnya, penyerahan (levering), penyitaan (beslag), daluwarsa (verjaaring / lampau waktu), pembebanan (bezwaring) dan bezit.

6. Asas-asas Umum Hukum Benda

a. Aturannya merupakan hukum pemaksa (dwingendrecht)Menurut asas ini ialah bahwa suatu benda hanya bisa diadakan hak kebendaannya sebagaimana yang telah disebutkan oleh undang-undang. Hak-hak kebendaan tidak akan memberikan wewenang yang lain dari pada apa yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Dengan kata lain, kehendak para pihak tidak dapat mempengaruhi isi hak kebendaan, sehingga berlakunya aturan itu tidak dapat disimpangi oleh para pihak. Meskipun demikian, terhadap asas ini terdapat pengecualian, antara lain pada:

1) Pasal 674 KUH Perdata mengenai pengabdian pekarangan. Di sini para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri jenisnya, misalnya; hak jalan, hak pemandangan dan lain-lain.

2) Pasal 1165 KUH Perdata berkaitan dengan hipotek, khususnya mengenai lingkup / luas hipotek. Dalam hal ini para pihak dapat mempengaruhi sedikit isi dari hak kebendaan tersebut.b. Dapat atau bisa dipindahkanMenurut asas ini semua hak kebendaan dapat dipindahkan, kecuali hak pakai dan hak mendiami. Jadi, orang yang berhak tidak dapat menentukan bahwa tidak dapat dipindahtangankan. Namun, orang yang berhak (dengan mengadakan perjanjian) dapat menyanggupi bahwa ia tidak akan memindahtangankan. Akan tetapi, pemberlakuan asas ini dibatasi oleh Pasal 1337 KUH Perdata yang berarti jika tujuannya bertentangan dengan kesusilaan, maka janji tersebut tidak berlaku (batal).c. Asas individualiteitMenurut asas ini, obyek dari hak kebendaaan adalah suatu baranng yang dapat ditentukan (individueel bepaald). Di sini orang hanya dapat sebagai pemilik dari barang yang berwujud yang merupakan satu kesatuan (rumah, meubel dan hewan). Dengan demikian, orang tidak dapat mempunyai hak kebendaan di atas barang-barang yang ditentukan menurut jenis dan jumlahnya.d. Asas totaliteit

Asas ini mengandung pengertian bahwa hak kebendaan selalu melekat atas keseluruhan dari pada obyeknya. Dengan kata lain, bahwa siapa yang mempunyai hak kebendaan atas suatu barang, maka ia memiliki hak kebendaan itu atas keseluruhan barang itu dan juga atas bagian-bagiannya yang tidak tersendiri. Jika suatu benda sudah terlebur ke dalam benda lain, maka hak kebendaannya atas benda yang pertama menjadi lenyap. Akan tetapi terhadap konsekuensi ini terdapat perlunakan, yaitu:1) Adanya milik bersama atas barang yang baru (Pasal 607 KUH Perdata)

2) Lenyapnya benda karena usaha dari pemilik benda itu (Pasal 602, 606, 608 KUH Perdata)3) Pada waktu terleburnya benda, sudah ada perhubungan hukum antara kedua pemilik yang bersangkutan (Pasal 714, 725 dan 1567 KUH Perdata.

e. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)Menurut asas ini, pemilik tidak dapat memindahtangankan sebagian dari pada wewenang yang termasuk suatu hak kebendaan yang ada padanya, misalnya pemilik. Jadi pemisahan dari pada hak kebendaan itu tidak diperkenankan. Namun pemilik dapat membebani hak miliknya dengan iura in realiena, yaitu pembebasan hak atas benda orang lain.

f. Asas prioriteitMenurut asas ini, semua hak kebendaan memberikan wewenang yang sejenis dengan wewenang-wewenang dari eigendom, sekalipun luasnya berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu diatur urutannya. Hak atas barang orang lain dilebih dahulukan dari pada hak eigendom (milik). Dengan kalimat lain, iura in realiena meletak sebagai beban atas eigendom (Pasal 674, 771, 720, 756 dan 1150 KUH Perdata).g. Asas percampuran (asas vermening)

Menurut asas ini, hak kebendaan terbatas wewenangnya dan hanya mungkin atas benda orang lain, dan tidak mungkin atas hak miliknya sendiri. Tidak dapat orang atas kepentingannya sendiri memperoleh hak gadai dan hak memungut hasil atas barangnya sendiri. Jika hak yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul dalam satu tangan, maka hak yang membebani itu menjadi lenyap (Pasal 706, 718, 736, 724 dan 807 KUH Perdata).h. Asas publiciteitMenurut asas ini, benda-benda yang tidak dapat bergerak, mengenai penyerahan dan pembebanannya berlaku kewajiban untuk didaftarkan dalam daftar (register) umum. Sementara mengenai benda yang bergerak, cukup dengan penyerahan nyata, tanpa pendaftaran dalam register umum.

i. Asas pemberlakuan yang berlainan terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Asas ini berhubungan dengan penyerahan, pembebanan, bezit dan verjaring (daluwarsa) mengenai benda-benda bergerk (roerend) dan tidak bergerak (onroerend) berlainan. Demikian juga mengenai iura in realiena yang dapat diadakan. Untuk benda bergerak, hak kebendaan yang dapat diadakan adalah hak gadai (pand) dan hak memungut hasil (vruchtgebruik). Sedang untuk benda yang tidak bergerak adalah erfpacht, postal, vruchtgebruik, hipotik dan servituut.j. Sifat perjanjianHak memungut hasil, gadai, hipotik dan lain-lain sebenarnya merupakan proses mengadakan perjanjian. Sifat perjanjian di sini merupakan perjanjian yang zakelijk, yaitu perjanjian untuk mengadakan hak kebendaan. Perjanjian yang zakelijk mengandung pengertian bahwa dengan selesainya perjanjian, maka tujuan pokok dari perjanjian itu sudah tercapai, yaitu untuk mendapatkan hak kebendaan. Perjanjian ini berbeda dengan perjanjian yang bersifat kausal dan merupakan perjanjian obligator. Perjanjian obligator dengan selesainya perjanjian, maka tujuan pokok dari perjanjian itu belum tercapai dan hak baru beralih jika ada penyerahan lebih dulu.B. Hak Kebendaan1. Pengertian Hak kebendaan

Menurut Prof. Subekti, suatu hak kebendaan (zakelijke recht) adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Ilmu hukum dan perundang-undangan telah membagi segala hak-hak menusia atas hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan. Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, sedangkan hak suatu perseorangan (persoonlijkrecht) memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seorang. Suatu hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sementara suatu hak perseorangan hanyalah dapat dipertahankan terhadap sementara orang tertentu saja atau terhadap sesuatu pihak.

Menurut Prof. L.J. Apeldoorn, hak-hak kebendaan adalah hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda. Kekuasaan langsung berarti bahwa terdapat suatu hubungan langsung antara orang-orang yang berhak dan benda tersebut. Sementara menurut Prof. Sri Soedewi M.S, hak kebendaan (zakelijkerecht) ialah hak mutlak atas suatu benda di mana benda itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hak kebendaan adalah suatu hak mutlak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan setiap orang dan mempunyai sifat melekat.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa hak kebendaan bersifat mutlak. Adanya sifat mutlak berarti bahwa hak seseorang atas benda itu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, bahkan setiap orang harus menghormatinya. Hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, sehingga hak kebendaan itu tetap berhubungan dengan bendanya, bahkan sekalipun ada camput tangan daqri pihak luar. Sedangkan hak perseorangan (persoonlijke recht) memberikan suatu tuntutan atas penagihan terhadap seseorang dan hanya dapat dipertahankan terhadap sementara orang tertentu atau terhadap suatu pihak.

2. Ciri-ciri Hak Kebendaan

Pada dasarnya ciri-ciri dari hak kebendaan itu adalah:

a. Hak kebendaan merupakan hak mutlak

Terhadap pernyataan ini dapat dipahami bahwa hak kebendaan bukan kemudian identik dengan hak mutlak, akan tetapi merupakan suatu bagian dari hak mutlak. Hak mutlak merupakan hak yang dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.

b. Hak kebendaan mempunyai zaak gevoig atau droit de suiteHak kebendaan mempuyai zaak gevoig (hak yang mengikuti), artinya hak itu terus mengikuti bendanya di manapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.

c. Hak kebendaan mempunyai system

System yang terdapat di dalam hak kebendaan adalah mana yang lebih dulu terjadinya atau tingkatannya lebih tinggi dari pada yang terjadi kemudian. Hal yang demikian ini tidak dikenal dalam hak perseorangan, karena di dalam hak perseorangan sama kuatnya tidak ada yang didahulukan.d. Hak kebendaan mempunyai droit de preferenceHak kebendaan mempunyai droit de preference, artinya hak yang lebih didahulukan dari pada hak yang lain. Sifat droit de preference mempunyai arti penting juga dalam kaitannya dengan kepailitan.e. Hak kebendaan mempunyai macam-macam actieDi dalam hak kebendaan ini, jika pemegang hak kebendaan mengalai gangguan atas haknya, maka ia dapat melakukan gugatan terhadap siapa saja yang mengganggunya. Gugatan tersebut dinamakan gugat kebendaan yang wujudnya dapat berupa permintaan kembali (pencabutan hak), pelepasan hak, ganti rugi dan lain sebagainya. f. Hak kebendaan mempunyai cara memperalihkan (pemindahan) tersendiri atau berlainan.

Kemungkinan untuk memindahkan hak kebendaan itu dapat secara sepenuhnya dilakukan. Atas hak yang dipindahkan itu dapat pula dibebeni dengan hak lain, tergantung di mana hak itu diatur.3. Pembedaan Hak KebendaanDi dalam membicarakan macam-macam hak kebendaan harus dilihat ketentuan-ketentuannya yang terdapat di dalam Buku II KUH Perdata dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria. Hak-hak kebendaan yang diatur dalam KUH Perdata yang sudah disesuaikan dengan UU No. 5 Tahun 1960 dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Hak-hak benda yang bersifat memberikan kenikmatan (zakelijke genotsrecht), yang juga meliputi:

1) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya: hak eigendom dan hak bezit2) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain, misalnya: hak postal, hak erfpacht, hak memungut hasil, hak pakai, hak mendiami dan lain sebagainya.

b. Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijke zakerheinsrecht), misalnya: hak gadai (pand), hipotik. Di samping itu, ada pula hak-hak yang diatur dalam Buku II KUH Perdata, akan tetapi bukan merupakan hak kebendaan, melainkan merupakan privilege dan hak retentie. Namun, hak-hak ini juga dapat digolongkan ke dalam hak kebendaan.C. Macam-macam hak kebendaan1. Hak Bezita. Pengertian hak bezitMenurut Prof. Subekti, bezit ialah suatu keadaan lahir di mana seseorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Riduan Syahrani mengatakan bahwa bezit adalah suatu keadaan di mana seseorang meguasai suatu benda, baik sendiri maupun dengan melalui perantaraan orang lain, seolah-olah benda tersebut kepunyaan sendiri. Orang yang menguasai benda dinamakan bezitter.

Sementara di dalam KUH Perdata, bezit diterjemahkan dengan kedudukan berkuasa, yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (Pasal 529 KUH Perdata). Dengan mengacu pada Pasal 529 KUH Perdata tesebut, Prof. Sri Soedewi M.S mendefinisikan bezit ialah keadaan memegang atau menikmati suatu benda di mana seseorang menguasainya, baik sendiri ataupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah itu adalah kepunyaannya sendiri.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bezit adalah hak seseorang yang menguasai suatu benda, baik langsung maupun melalui perantaraan orang lain untuk bertindak seolah-olah itu adalah kepunyaan sendiri. Dengan ungkapan lain, bezit adalah menguasai atau mengambil manfaat atau suatu benda yang langsung atau tidak langsung, dengan perantaraan orang lain yang di bawah kekuataanya untuk bertindak olah-olah benda itu kepunyaannya.

Pada dasarnya, suatu bezit itu berada di tangan pemilik benda itu atau dapat pula berada di tangan orang lain. Jika orang mengira bahwa benda yang dikuasainya adalah milik sendiri, maka bezitter itu disebut dengan bezit te goeder trouw atau bezit yang jujur (Pasal 531 KUH Perdata). Sebaliknya, jika diketahui bahwa benda yang ada bukan miliknya, maka bezitter yang demikian disebut dengan bezit te kwader trouw atau bezit yang tidak jujur (Pasal 532 KUH Perdata).

Baik bezitter yang jujur maupun bezitter yang tidak jujur, keduanya memiliki perlindungan hukum yang sama. Meskipun demikian, menurut ketentuan Pasal 533 KUH Perdata, bezit dianggap selalu jujur dan barang siapa yang mengemukakan bahwa sesuatu bezit tidak jujur, maka ia wajib membuktikannya. Hal ini karena dalam hukum berlaku suatu asas bahwa kejujuran dianggap selalu ada pada setiap orang, sementara ketidakjujuran itu harus dibuktikan.

b. Syarat-syarat adanya bezitDi dalam hak bezit ini ada hal penting yang harus diperhatikan, yaitu mengenai dasar untuk adanya hak. Dasar adanya hak di sini tidak hanya pada adanya penguasaan memegang atau menikmati suatu barang, melainkan ia juga harus bersikap seolah-olah benda itu adalah kepunyaannya sendiri. Oleh karena itu, untuk adanya hak bezit haruslah dipenuhi syarat-syarat, yaitu:1) Adanya corpus, yaitu harus ada hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya.

2) Adanya animus, yaitu hubungan antara orang dengan benda itu harus dikehendaki oleh orang tersebut. Dengan demikian, untuk adanya bezit harus ada dua unsur, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Dalam hal ini, bezit harus dibedakan dengan detentie, di mana seseorang menguasai benda berdasarkan hubungan hukum tertentu dengan orang lain (pemilik benda itu). Jadi, seseorang (detentor) tidak mempunyai kemauan untuk memiliki benda itu bagi dirinya sendiri.

Terdapat pendapat lain yang mengemukakan bahwa syarat-syarat untuk memperoleh hak bezit antara lain:

1) Untuk memperoleh bezit harus ada perbuatan, baik timbul dari perbuatan sendiri atau perbuatan orang lain asal perbuatan orang lain itu atas nama orang pertama.

2) Untuk memperoleh bezit juga harus ada tujuan dari perbuatan itu. Tujuan tersebut adalah untuk meletakkan benda yang dimaksud di bawah kekuasaan atau untuk menyimpan benda itu di bawah pegawasan.

c. Fungsi bezitPada dasarnya bezit mempunyai dua fungsi, yaitu:

1) Fungsi polisionilBahwa bezit itu mendapatkan perlindungan hukum tanpa mempersoalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Dengan demikian, bagi siapa yang merasa haknya dilanggar, maka ia harus meminta penyelesaiannya melalui polisi atau pengadilan.2) Fungsi zakenrechtlijkeBahwa bezitter yang telah membezit suatu benda dan telah berjalan untuk beberapa waktu, tanpa adanya protes dari pemilik sebelumnya, maka bezit itu berubah menjadi hak milik melalui lembaga verjaring (lewat waktu / daluwarsa). Inilah yang disebut fungsi zakenrechtlijke yang tidak ada pada setiap benda.d. Cara memperoleh bezitDi dalam ketentuan Pasal 538 KUH Perdata (kedudukan berkuasa), atas suatu kebendaan diperoleh dengan cara melakukan perbuatan menarik kebendaan itu dalam kekuasaannya. Dalam hal cara untuk memperoleh bezit juga terdapat di dalam Pasal 540 KUH Perdata, yaitu dengan cara:

1) Accupatio, yaitu memperoleh bezit tanpa bantuan dari orang yang membezit terlebih dahulu. Bezit diperoleh karena perbuatannya sendiri yang mengambil barang secara langsung.2) Traditio, yaitu memperoleh bezit dengan bantuan dari orang yang membezit terlebih dahulu. Bezit diperoleh karena penyerahan dari orang lain yang sudah menguasainya terlebih dahulu atau diperoleh dengan cara tidak langsung.Di samping dengan dua cara di atas, bezit juga dapat diperoleh karena warisan (Pasal 541 KUH Perdata). Pasal tersebut menentukan bahwa segala sesuatu yang merupakan benzit seeorang yang telah meninggal dunia, berpindah sejak hari meninggalnya kepada ahli warisnya, dengan segala sifat-sifat dan cacat-cacatnya. Sementara orang yang sakit ingatan tidak dapat memperoleh bezit, tetapi anak yang belum dewasa dan perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bezit (Pasal 593 KUH Perdata). Orang akan kehilangan bezit jika kekuasaan atas benda itu berpindah kepada orang lain, baik diserahkan maupun diambil oleh orang lain dan benda yang dikuasainya nyata telah ditinggalkan.

2. Hak Eigendoma. Pengertian hak eigendom

Menurut Prof. Subekti, eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seseorang yang memiliki hak eigendom (hak milik) atas suatu benda dapat melakukan apa saja dengan benda itu asal tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain. Sementara menurut Pasal 570 KUH Perdata menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmti kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggun hak-hak orang lain. Kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

Dengan melihat perumusan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hak milik adalah hak yang paling utama jika dibandingkan dengan hak-hak kebendaan yang lain. Hal ini karena yang berhak itu dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya dan hak milik tersebut tidak dapat diganggu gugat. Hak eigendom ini berbeda dengan hak bezit, karena pada hak eigendom memberi kepada subyek hukum suatu hak yang semutlaknya terhadap suatu benda. Sementara hak bezit hanya bersifat memberikan perlindungan terhadap suatu kekuatan nyata yang diberikan oleh hukum terhadap suatu benda yang tidak berdasarkan eigendom amaupun perjanjian. Akan tetapi, seiring dengan perubahan pandangan dalam masyarakat, hak milik tidak lagi bersifat mutlak, melainkan mempunyai fungsi social (sociale functie), bahkan timbul berbagai peraturan yang membatasinya.

Dengan demikian, maka hak eigendom (hak milik) mempunyai unsur-unsur penting, di antaranya ialah adanya hak, tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak bertentangan dengan peraturan umum dan tidak mengganggu hak orang lain. Hak eigendom dapat dicabut untuk kepentingan umum dengan syarat bahwa pencabutan itu dilakukan diimbangi dengan ganti kerugian atau dapat dicabut berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b. Ciri-ciri hak milikMenurut Prof. Sri Soedewi MS, yang merupakan ciri-ciri dari hak milik itu ialah:

1) Hak milik itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak-hak kebendaan yang lainnya yang bersifat terbatas itu berkedudukan sebagai hak anak terhadap hak milik.

2) Hak milik itu ditinjau dari kuantitasnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.

3) Hak milik itu tetap sifatnya. Artinya, tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang lain. Sedang hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.

4) Hak milik itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain. Sedang hak kebendaan yang lain itu hanya merupakan onderdreel (bagian) saja dari hak milik.

Menurut ketentuan Pasal 574 KUH Perdata, tiap pemilik sesuatu benda, berhak menuntut kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu. c. Cara memperoleh hak milikMenurut ketentuan dari Pasal 584 KUH Perdata, hak eigendom dapat diperoleh dengan cara: pendahuluan (toeeigening), ikutan (natrekking), lewat waktu (verjaring), pewrisan (erfopvalging) baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan penyerahan (levering) berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik yang dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap benda itu.

Sementara menurut Prof. Sri Soeewi MS, cara memperoleh hak milik di luar dari Pasal 584 KUH Perdata yang diatur oleh undang-undang ialah penjadian benda (zaaksvorming), penarikan buahnya (vruchtterekkingi), persatuan benda (vereniging), pencabutan hak (onteigening), perampasan (verbeurdverklaring), pencampuran harta (boedelmenging), pembubaran dari sebuah badan hukum, dan abandonnement (cara yang dijumpai dalam hukum perdata laut Pasal 663 KUHD).

d. Hak milik bersama (medeeigendom)Suatu benda dapat dimiliki oleh dua orang atau lebih. Jika demikian, maka hak ini disebut dengan hak milik bersama atas suatu benda. Mengenai hak milik bersama ini menurut KUH Perdata dapat dibagi menjadi dua, yaitu hak milik bersama yang bebas dan hak milik bersama yang terikat.

e. Hapusnya hak milik

Pada dasarnya seseorang dapat kehilangan hak miliknya jika:

1) Seseorang memperoleh hak milik itu melalui salah satu cara untuk memperoleh hak milik.

2) Binasanya benda yang menjadi hak milik

3) Pemilih hak milik (eigenaar) melepaskan benda itu.

3. Hak Servituuta. Pengertian hak servituutMenurut Prof. Subekti, hak survituut atau erfdienstbaarheid adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk kepreluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Sedangkan menurut Pasal 674 ayat (1) KUH Perdata, hak survituut disebut juga dengan pengabdian pekarangan, yaitu suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang lain.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak survituut atau hak pekarangan adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain. Hak survituut dapat membawa suatu kewajiban untuk mengizinkan sesuatu atau juga kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu. Adapun yang dimaksud dengan pekarangan di sini adalah barang-barang yang tidak bergerak, misalnya; kebun, tanah, bangunan dan lain sebagainya. Survituut sebagai hak kebendaan mempunyai sifat asas lain yaitu melekat pada bendanya. Ia mengikuti pekarangan yang memikul benda itu jika pekarangan itu diperalihkan kepada yang lain.

b. Macam-macam hak pekarangan

Menurut Pasal 677 678 KUH Perdata, hak pekarangan (survituut) dapat dibedakan menjadi:

1) Hak pekarangan abadi, yaitu hak tersebut dapat dilangsungkan secara terus menerus, tanpa bantuan orang lain atau manusia, misalnya: hak mengalirkan air, hak atas pemandangan ke luar dan lain sebagainya.

2) Hak pekrangan tak abadi, yaitu hak tersebut dalam penggunaannya memerlukan suatu perbuatan manusia, misalnya: hak melintas pekarangan, hak mengambil air dan lain sebagainya.3) Hak pekarangan yang nampak, yaitu hak terhadap suatu benda yang nampak, misalnya: pintu, jendela, pipa air dan sebagainya.

4) Hak pekarangan yang tidak nampak, yaitu hak terhadap benda-benda yang tidak nampak, misalnya: larangan untuk mendirikan bangunan di sebuah pekarangan dan sebagainya.

c. Syarat-syarat hak pekarangan

Hak pekarangan (survituut) baru dianggap sah, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Harus ada dua halaman yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun dan yang dimiliki oleh berbagai pihak.

2) Kemanfaatan dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna oleh berbagai pihak yang memiliki halaman tadi.

3) Hak pekarangan harus bertujuan untuk meninggalkan kemanfaatan dari halaman penguasa.4) Beban yang diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu.5) Kewajiban-kewajiban yang timbul dalah hak pekarangan itu hanya dapat ada dalam hal membolehkan sesuatu atau tidak membolehkan sesuatu.

d. Timbul dan hapusnya hak pekarangan

Menurut Pasal 695 KUH Perdata, hak pekarangan timbul karena suatu perbuatan perdata dan lewat waktu. Sementara hak pekarangan dapat terhapus jika kedua pekarangan itu jatuh ke tangan satu orang (Pasal 706 KUH Perdata) dan selama 30 tahun berturut-turut tidak digunakan (Pasal 707 KUH Perdata).

4. Hak Opstala. Pengertian hak opstalHak opstal adalah suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain. Sementara menurut Pasal 711 KUH Perdata, hak opstal disebut juga dengan hak numpang-karang, yaitu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di atas pekarangan orang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak opstal adalah hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanah milik orang lain.

Hak opstal berlainan dengan hak survituut, karena pada hak opstal pemiliknya pada saat itu malah memberikan kepada orang-orang tertentu, meskipun ia berwenang untuk memindahkannya. Di sini, semua kewenangan yang ada pada pemilik jatuh kepada orang yang berhak opstal. Pada pemiliknya sendiri hanya tinggal mempunyai hak eigendom belaka. Hak ini dapat dialihkan kepada orang lain, tetapi dapat pula dipakai sebagai jaminan. Ia dapat diperoleh karena atas hak, tetapi dapat pula karena daluwarsa.

b. Timbul dan hapusnya hak opstalHak opstal ini dapat dipindahkan pada orang lain atau dapat dipakai sebagai hipotik (Pasal 712 KUH Perdata). Hak opstal diperoleh karena perbuatan perdata (Pasal 713 KUH Perdata). Menurut Pasal 718-719 KUH Perdata, hak opstal dapat hapus karena; hak opstal jatuh ke dalam satu tangan, musnahnya pekarangan, selama 30 tahun tidak digunakan, waktu telah lampau dan diakhiri oleh pemilik tanah. Pengakhiran dapat dilakukan setelah hak tersebut sudah dipergunakan selama 30 tahun dan didahului pemberitahuan 1 tahun sebelumnya.

5. Hak Erfpachta. Pengertian hak erfpacht

Hak erfpacht adalah hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun, yang dinamakan pacht atau canon. Di dalam Pasal 720 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa hak erfpacht itu sendiri adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang maupun hasil pendapatan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak erfpacht adalah hak guna usaha yaitu hak kebendaan untuk menimmati sepenuhnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun. Hak erfpacht ini dapat juga dijual atau dipakai sebagai jaminan hutang (hipotik).

b. Berakhirnya hak erfpacht Hak erfpacht ini dapat berpindah pada ahli warisnya jika orang yang mempunyai meninggal dunia, sebagaimana pada hak opstal. Menurut Pasal 736 KUH Perdata, hak erfpacht dapat hapus atau berakhir karena; hak opstal jatuh ke dalam satu tangan, musnahnya pekarangan, selama 30 tahun tidak digunakan, waktu yang diperjanjikan telah lampau dan diakhiri oleh pemilik tanah.

6. Hak Pakai Hasil (vruchtgebruik)a. Pengertian hak bagi hasil

Menurut Pasal 756 KUH Perdata, hak bagi hasil adalah suatu hak kebendaan yang mana seseorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, seolah-oleh dia pemiliknya sendiri kebendaan itu dan berkewajiban memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Dengan mengacu pada Pasal di atas, Prof. Subekti memberikan pengertian bahwa vruchtgebruik adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya yang semula.

Dari uraian di atas, tampak bahwa hak memungut hasil (vruchtgebruik) tidak hanya memberikan hak untuk menarik penghasilan saja, melainkan juga hak untuk memakai benda itu. Hak tersebut diberikan kepada orang secara pribadi dan berakhir jika orang tersebut meninggal dunia. Cara memperoleh hak pakai hasil ini adalah diperoleh karena undang-undang dan kehendak si pemilik (Pasal 759 KUH Perdata).Hak vruchtgebruik hanya dapat diberikan atas benda-benda yang tidak akan hilang atau menjadi berkurang karena pemakaiannya, yaitu benda-benda yang tidak dapat diganti. Akan tetapi, dalam praktek telah timbul suatu vruchtgebruik atas barang-barang yang dapat diganti, misalnya atas suatu modal (sejumlah uang), sehingga dapat dikatakan sebagai oneigenlijk vruchtgebruik.

b. Kewajiban si pemakai hasil

Menurut ketentuan Pasal 783-784 KUH Perdata, kewajiban orang yang mempunyai hak pakai hasil (vruchtgebruiker) adalah sebagai berikut;

1) Membuat catatan / daftar pada waktu ia menerima haknya.

2) Menanggung semua biaya pemeliharaan dan perbaikan yang biasa.

3) Memelihara benda itu sebaik-baiknya dan menyerahkannya dalam keadaan yang baik jika hak itu berakhir.

Apabila ia melalaikan kewajibannya tersebut, maka ia dapat dituntut untuk mengganti kerugian.

c. Hapusnya hak pakai hasil

Menurut Pasal 807 KUH Perdata, hak pakai hasil hapus karena sebagai berikut:

1) Meninggalknya si pemakai

2) Tenggang waktu yang diberikan telah lewat waktu atau telah terpenuhkan.

3) Adanya percampuran, yaitu jika hak milik dan hak pakai hasil berada di tangan satu orang.

4) Pelepasan hak oleh si pemakai kepada pemilik

5) Kedaluwarsa, yaitu jika si pemakai selama 30 tahun tidak mempergunakan haknya.

6) Musnahnya benda itu seluruhnya. 7. Hak Gadaia. Pengertian hak gadaiMenurut Pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah suatu hak kebendaan yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan barang-barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Dengan mengacu pada Pasal 1150 KUH Perdata di atas, Prof. Subekti mendefinisikan bahwa pandrecht (hak gadai) adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu lebih dulu dari penagihan lainnya.

Hak gadai ini bersifat accessoir, yaitu merupakan tambahan saja dari perjanjian pokok yang berupa perjanjian pinjaman uang. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai si berutang lalai membayar utangnya. Menurut Pasal 1160 KUH Perdata, hak gadai ini tidak dapat dibagi-bagi. Artinya, sebagian hak gadai tidak menjadi hapus dengan dibayaranya sebagian dari utang. Gadai tetap meletak atas seluruh bendanya.

b. Syarat-syarat timbulnya hak gadai

Hak gadai lahir dari penyerahan kekuasaan atas barang-barang yang dijadikan tanggungan pada pemegang gadai. Hak atas gadai itu dapat pula ditaruh di bawah kekuasaan seorang pihak ketiga atas persetujuan kedua belh pihak yang berkepentingan (Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata). Di dalam ayat (2) menyebutkan bahwa gadai tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada di dalam kekuasaan si pemberi gadai (si berutang).

c. Obyek hak hadai

Adapun yang dapat dijadikan obyek hak gadai adalah barang-barang yang bergerak, yaitu:

1) Benda bergerak yang berwujud

2) Benda bergerak yang tidak berwujud, yaitu berupa berbagai hak untuk mendapatkan pembayaran utang, yaitu berupa; surat-surat piutang atas pembawa, piutang atas tunjuk, dan piutang atas nama

Hapusnya hak gadai karena seluruh utangnya sudah lunas, barang gadai hilang atau musanah, barang gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai dan barang gadai dilepaskan secara sukarela.

8. Hak Hipotika. Pengertian hak hipotikMenurut Pasal 1162 KUH Perdata, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dengan mengacu pada Pasal di atas, Prof. Subekti mendefinisikan bahwa hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari (pendapatan penjualan) benda itu.

Hipotik sifatnya adalah accessoir, yang adanya tergantung pada perjanjian pokok. Adapun pada dasarnya hipotik memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1) Hipotik lebih didahulukan dari pada pemenuhan dari hutang yang lain (droit de preference).

2) Hipotik tidak dapat dibagi-bagi dan meletak di atas seluruh benda yang menjadi obyeknya.

3) Hak hipotik selalu mengikuti bendanya dalam tangn siapa benda itu berada (droit de suite).

4) Obyek hipotik adalah benda-benda tetap, yaitu benda yang dapat dipakai sebagai jaminan, baik berupa benda berwujud maupun yang berupa hak-hak atas tanah.5) Hak hipotik hanya berisi hak untuk pelunasan utang saja dan tidak mengandung hak untuk menguasai atau memiliki bendanya.

b. Syarat-syarat hipotikAdapaun cara untuk mendapatkan hak hipotik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Harus dengan akta notaris, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang (Pasal 1171 KUH Perdata).

2) Harus didaftarkan ke Kantor Balik Nama (Pasal 1179 KUH Perdata).

c. Asas-asas hipotikMenurut Prof. Sri Soedewi M.S, dua asas dalam hipotik, yaitu:1) Asas publicitiet, yaitu asas yang mengharuskan bahwa hipotik harus didaftarkan kepada pegawai pembalikan nama yakni pada kantor Kadaster. Adapun yang didaftarkan adalah akta dari hipotik.2) Asas specialiteit, yaitu asas yang menghendaki bahwa hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjukkan secara khusus untuk dipakai sebagai tanggungan.

d. Hapusnya hipotikMenurut Pasal 1209 KUH Perdata, hipotik dapat hapus karena: hapusnya perikatan pokok, si berpiutang melepaskan hipotiknya dan penetapan tingkat oleh hakim.

9. Hak Istimewa (privilege)a. Pengertian hak istimewa (privilege)Di dalam Pasal 1134 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang, sehingga tingkatanya lebih tinggi dari pada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang. Dengan mengacu kepada Pasal di atas, Prof. Subekti memberikan pengertian bahwa privilege ialah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang berdasarkan sifat piutang.

b. Macam-macam privilegeMenurut undang-undang, privilege ini ada dua macam, yaitu:1) Privilege khusus, adalah piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu (Pasal 1139 KUH Perdata).

2) Privilege umum, adalah piutang-piutang yang diistimewakan terhadap semua harta benda (Pasal 1149 KUH Perdata).

Menurut ketentuan Pasal 1138 KUH Perdata, privilege yang khusus didahulukan dari pada privilege yang umum.

10. Hak Reklame

Hak reklame diatur dalam Pasal 1145-1146 a KUH Perdata dan dalam Pasal 230 dan seterusnya KUHD. Adapun yang dimaksud dengan hak reklame adalah hak yang diberikan kepada penjual untuk meminta kembali barangnya yang telah diterima oleh si pembeli setelah pembeli membayar tunai. Dengan demikian, jika penjualan telah dilakukan dengan tunai, maka penjual memiliki kekuasaan untuk menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang masih di tangan pembeli dan penuntutan kembali ini dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada si pembeli (Pasal 1145 ayat (1) KUH Perdata).

Menurut undang-undang ini, hak penjual gugur atau tidak dapat dilaksanakan jika:a. Barang-barang yang telah diterima oleh pembeli ternyata telah disewakan (Pasal 1146 KUH Perdata).

b. Barang-barang tersebut oleh pembeli telah dibeli pihak ketiga dengan itikad baik dan telah diserahkan kepada pihak ketiga tersebut (Pasal 1146 a KUH Perdata)

Dapat disimpulkan bahwa hak reklame ini mempunyai unsur yang dimiliki dalam hak kebendaan, yaitu memberikan kekusaaan langsung pada bendanya dan dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Oleh kerena hak reklame ini ada miripnya dengan hak kebendaan, maka diatur di dalam Buku II KUH Perdata.

11. Hak RetentieHak retentie juga diatur dalam Buku II KUH Perdata, karena mengandung persamaan dengan gadai. Hak retentie ini juga memberikan jaminan dan juga bersifat accessoir. Adapun yang dimaksud dengan hak retentie adalah hak untuk menahan suatu benda sampai suatu utang yang bertalian dengan benda itu dilunasi. Pendapat lain mengemukakan bahwa hak retentie ialah hak menahan (retentie) atau hak untuk memegang benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebut telah lunas.Hak retentie ini memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi. Artinya pembayaran atas sebagian utang saja, tidaka berrti hapusnya hak retentie (harus mengembalikan sebagian dari barang yang ditahan). Hak retentie hapus jika seluruh utang telah dibayar dengan lunas.

12. Hak Kebendaan Menurut Undang-Undang Pokok AgrariaMenurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut:

a. Hak milik, ialah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial atas tanah.

b. Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun.

c. Hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

d. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan / memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain yang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.

e. Hak sewa untuk bangunan, yaitu hak seseorang / badan hukum mempergunakan tanah milik orang lain untuk kepentingan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sebagai sewa.

f. Hak membuka hutan dan memungut hasil hutan, yaitu hak membuka tanah dan memungut hasil hutan wargan negara Indonesia, akan tetapi bukan berarti memiliki hak milik atas tanah tersebut.

g. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan, yaitu hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan / atau mengalirkan air tu di atas tanah orang lain.

h. Hak guna ruang angkasa, yaitu hak untuk menggunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.i. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial, yaitu hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi.13. Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang Hak Tanggungana. Pegertian hak tanggungan

Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain. Mengenai hak tanggungan ini diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Adapun undang-undang tersebut bertujuan untuk:

1) Menuntaskan unifikasi tanah nasional dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan hipotik dan credietverband (Psal 29 UUHT)

2) Menyatakan berlakunya UUHT dan hak tanggungan dinyatakan sebagai satu-satunya hak jaminan atas tanah, sehingga tidak berlaku lagi fidusa sebagai hak jaminan atas tanah.

b. Sifat-sifat hak tanggungan

1) Kreditur pemegang hak tanggungan diutamakan dari pada kreditur yang lainnya dalam rangka pelunasan atas piutangnya.

2) Tidak dapat dibagi, kecuali jika diperjanjikan antara kreditur dan debitur dilaksanakan royal partial3) Obyek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan.

4) Hak tanggungan selalu mengikuti obyek di tangan siapapun berada.

5) Hak tanggungan hanya dapat diberikan oleh yang berwenang atau yang berhak atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan.

6) Hak tanggungan dapat beralih kepada kreditur lain, jika perjnjian kreditnya dipindahkan kepada kreditur yang bersangkutan karena cessie atau subrograsi.7) Pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menuru UUHT jika pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit.

c. Obyek hak tanggungan

Menurut Pasal 4 UUHT, obyek dar hak tanggungan adalah sebagai berikut:

1) Hak milik (Pasal 25 UUPA), hak guna usaha (Pasal 33 UUPA), dan hak guna bangunan (Pasal 39 UUPA).

2) Hak pakai atas tanah negara yang memenuhi syarat bersertifikasi dan dapat diperjualberlikan

3) Bangunan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun yang berdiri di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai yang diberikajn oleh negara (UU No. 16 / 1985 tentang Rumah Susun).

d. Pemberi dan pemegang hak tanggungan

Pemberi hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (1) UUHT). Sementara pemegang hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur).

e. Lahir dan hapusnya hak tanggungan

Hak tanggungan lahir sejak tanggal hari ketujuh (hari kerja ketujuh), setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan dinyatakan lengkap oleh Kepala Seksi Pendaftaran Tanah di kantor Pertahanan yang bersangkutan.

Sedangkan menurut Pasal 18 UUHT, hak tanggungan hapus karena adanya hal-hal sebagai berikut:1) Hapusnya piutang yang dijamin dengan hak tanggungan

2) Dilepaskannya hak tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan.

3) Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan Katua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli obyek hak tanggungan.

4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Prenhallindo, 2001), hlm. 152. Perlu diuraikan bahwa hukum benda (zakenrecht) merupakan bagian dari hukum harta kekayaan (vermogensrecht). Hukum harta kekayaan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang. Hukum harta kekayaan meliputi dua wilayah, yaitu hukum benda (zakenrecht) dan hukum perikatan (hetverbintenissenrecht). Lihat C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata: Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, cet. III (Jakarta: Pradnya Paramita, 2000), hlm. 156-157.

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, cet. X (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 92. Dalam hal ini ada juga perkataan benda itu dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang hanya terlihat saja, ada juga dipakai jika yang dimaksudkan kekayaan seseorang. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. XXI (Jakarta: Intermasa, 1987), hlm. 60.

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, alih bahasa Mr. Oetarid Sadino, cet. XVI (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 234.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, cet. IV (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 12.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 205.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 124.

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum, hlm. 74.

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 234.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 2. F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 153. Lihat juga dalam P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 202.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 202.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 152-153.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 12. F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 157. Lihat juga dalam P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 203.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 158. Sistem hukum perikatan menggunakan system terbuka. Artinya, orang dapat mengadakan perikatan atau perjanjian mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya di dalam undang-undang maupun yang belum ada peraturannya sama sekali. Jadi siapapun dapat mengadakan suatu perikatan atau perjanjian mengenai apapun juga. Dengan demikian, hukum perikatan mengenal asas kebebasan berkontrak yang dibatasi oleh kesusilaan dan ketertiban umum. P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 203.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 13.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 60.

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum, hlm. 92.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 203.

Pengertian mengenai benda di atas berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 580 dan 511 KUH Perdata. Benda (zaak) di dalam ketentuan kedua Pasal tersebut bukan hanya barang yang berwujud saja, melainkan juga meliputi bunga, perutangan, dan penagihan, hak pakai hasil-hasil, hak pakai atas kebendaan bergerak, sero-sero / andil, serta ibligasi. Di sini zaak dalam arti bagian dari pada harta kekayaan (vermogens bestanddeel). Lihat F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 148.

Lihat Ibid., hlm. 148-149. Lihat juga dalam P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 204.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 204. Uraian lengkapnya lihat F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 149.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 61.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 19.

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 215.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 206.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 61-62.

Ibid., hlm. 62.

. Uraian lengkapnya lihat F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 150-152. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 157.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 207-210. Liht juga dalam F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 159-163.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 159.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 62-63.

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 214-215.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 24.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 210.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 163-164.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 210-212. Lihat juga dalam F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 164-167.

Hal yang demikian hak kebendaan mempunyai zaak gevoig atau droit de suite tidak berlaku dalam hak perseorangan. Dalam hak perseorangan, seseorang hanya dapat melakukan hak tersebut terhadap seseorang tertentu (orang lain). Hak perseorangan akan lenyap / berhenti jika terjadi pemindahan hak atas benda. Akan tetapi ada pula hak-hak perseorangan yang mempunyai sifat selalu menikuti bendanya, misalnya hak sewa menyewa, hak privilegie, dan hak retentie. Lihat F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 165.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 212. Lihat juga dalam F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 167-168.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 63.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas, hlm. 129.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 213.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 83-84.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 162.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 213-214. F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 170. Lihat juga dalam Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 64.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 214.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 169-170.

Ibid. Lihat juga dalam P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 214.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 162-163.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 214-215. Lihat juga dalam F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 170-171.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum,, hlm. 215. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 163.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 65-66. lihat juga dalam P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 216.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 69

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 216.

Ibid., hlm. 217.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 163.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 172. Lihat juga dalam Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 69

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 164-165.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 42.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 217-218. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 166. Lihat juga dalam Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 70-71.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 63.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 165.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 221.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 75

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 221-222.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 168.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 173.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 222.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 169.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 223.

Ibid., hlm. 223-224.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum, hlm. 170.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 173.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 224.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 76.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 224.

Ibid., hlm. 225. Lihat juga dalam F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 174.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 225.

Ibid.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 76.

F.X. Suhardana, dkk., Hukum Perdata I: hlm. 174.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 77.

Ibid.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 226-227.

Ibid., hlm. 227.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 79.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 228.

Ibid.

Ibid., hlm. 230.

Ibid.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 82-83.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 230-231.

Ibid., hlm. 232.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 104.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 234.

Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 88.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 234-235.

Ibid., hlm. 235.

Ibid.

Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, Hukum Perdata, hlm. 35.

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum, hlm. 235-236.

Ibid., hlm. 236-237. Lihat juga dalam Subekti, Pokok-pokok Hukum, hlm. 93-94.

Ibid., hlm. 238.

Ibid.

Ibid., hlm. 238-239.

Ibid., hlm. 239.

Ibid., hlm. 240.