hubungan struktur, sifat kimia fisika dan aktifitas biologis obat
TRANSCRIPT
HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DAN AKTIFITAS BIOLOGIS
OBAT
Sifat kimia fisika dapat mempengaruhi aktifitas biologi obat oleh karma dapat
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh dan proses interaksi abat-reseptor.
Beberapa sifat kimia fisika yang berhubungan dengan altifitas biologis antara lain
adalah ionisasi, pembentukan helat, potensial redoks, dan tegangan permukaan.
A. IONISASI DAN AKTIFITAS BIOLOGIS
Ionisasi sangat pentingdalam hubungannya dengan proses penembusan obat ke
dalam membran biologis dan interaksi obat-reseptor. Untuk dapat menimbulkan
aktifitas biologis, pada umumnya obat dalam bentuk tidak terionisasi, tetapi ada
pula yang aktif adalah bentuk ionnya.
1. Obat yang Aktif dalam Bentuk Tidak Terionisasi
Sebagian besar obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah, bentuk tidak
terionisasinya dapat memberika efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila kerja
obat terjadi di membran sel atau di dalam sel.
Contoh : fenobatbital, turunan asam barbiturat yang bersifat asam lemah, bentuk
tidak terionisasinya dapat menembus sawar darah otak dan dapat menimbulkan
efek penekan fungsi sistem saraf pusat dan pernafasan.
Obat modern sebagian bersifat elektrolit lemah, yaitu sam atau basa lemah, dan
derajat ionisasi atau bentuk ionisasi dan tidak terionisasinya ditentukan oleh nilai
pKa dan suasana pH lingkungan. Hubungan antara pKa dengan fraksi obat
terionisasi dan tidak terionisasi dari obat yang bersifat asam atau lemah,
dinyatakan melalui persamaan Henderson-Hesselbach sebagai berikut :
Untuk asam lemah :
pKa = pH + log Cu / Ci Cu : fraksi asam yang tidak terionisasi
Ci : fraksi asam yang terionisasi
Contoh :
RCOOH RCOO - + H +
pKa = pH + log (RCOOH) / (RCOO-) + (H+)
Untuk basa lemah :
pKa = pH + log Ci / Cu Cu : fraksi basa yang tidak terionisasi
Ci : fraksi basa yang terionisasi
Contoh :
RNH3 + RNH2
+ H +
pKa = pH + log (RNH3 +) / (RNH2)
Persen perhitungan ionisasi fenobarbital (pKa = 7,4 ) pada berbagai macam pH
dapat dilihat pada Table 20
Perubahan pH dapat berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan koefisien partisi
obat. Garam dari asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya mudah
diabsorbsi oleh saluran cerna, dan aktifitas biologis sesuai dengan kadar obat
bebas yang terdapat dalam cairan tubuh.
Pada obat yang bersifat asam lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi
bertambah besar, bentuk tak terionisasi bertambah kecil, sehingga jumlah obat
yang menembus membran biologis semakin kecil. Akibatnya kemungkinan obat
untuk berinteraksi dengan reseptor semakin rendah dan aktifitas biologisnya
semakin menurun.
Table 20. Persen perhitungan bentuk terionisasi dan tak terionisasi fenobarbital
pada berbagai macam pH
pH Persen tak terionisasi Persen terionisasi
2,0
4,0
6,0
7,0
8,0
10,0
12,0
100,0
99,17
96,17
71,53
20,0
0,25
0,0
0,00
0,04
3,83
28,47
79,93
99,73
100,0
( Disadur dari Foye WO,Ed., Prinsiples of Medicinal Chemistry, 3th ed., Philadelphia :
Lea & Febiger, 1989. hal.28 )
Pada obat yang bersifat basa lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi
bertambah kecil, bentuk tak terionisasinya semakin besar, sehingga jumlah obat
yang menembus membran biologis bertambah besar pula. Akibatnya
kemungkinan obat untuk bereaksi dengan reseptor bertambah besar dan aktifitas
biologisnya semakin meningkat.
Hubungan perubahan pH dengan aktifitas biologis senyawa yang bersifat asam
dan basa lemah dapat dilihat pada Gambar 37.
Contoh :
Asam aromatic lemah, seperti asam benzoate, asam salisilat dan asam
mandelat, aktifitas anti bakterinya bertambah besar bila dalam media asam.
Pada pH 3, aktifitas anti bakteri asam benzoate 100 kali lebih besar disbanding
aktifasi suasana netral.
Fenol, suatu asam lemah, memberikan gambaran hubungan perubahan pH
dengan aktifitas biologis yang berbeda. Pada pH lebih kecil 4,5 aktifitas anti
bakterinya akan semakin meningkat, tetapi bila pH dinaikkan lebih besar 4,5
aktifitas akan menurun. Hal ini terjadi sampai pada pH 10. pada pH lebih besar
10, aktifitas akan meningkat lagi karma fenol teroksidasi menjadi bentuk kuinon,
yang juga mempunyai aktifitas bakteri cukup besar
Sedikit perubahan struktur dapat menyebabkan perubahan yang bermakna dari
sifat ionisasi asam atau basa, dan hal ini akan mempengaruhi aktifitas biologis
obat.
Aktifitas
Biologis
| | | | | | | | | |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
pH
Gambar 37. Hubungan perbahan pH dengan aktifitas biologis asam dan basa
lemah
( disadur dari Doerge RF. Ed., Wilson and Gisvold’s Texbook of Medicinal Organic and
Pharmaceutical Chemistry, 8th ed., Philadelphia, Toronto : J.B Lippincott Company,1982, hal.39,
dengan modifikasi)
Contoh :
Golongan 5,5-disubtitusi dari turunan asam barbiturate mempunyai nilai pKa 7-
8,5, contoh : asam 5,5-dietilbarbiturat (fenobarbital) mempunayi pKa = 7,4.
Pada pH fisiologis, lebih dari 50 % fenobarbital terdapat dalam bentuk tidak
terionisasi, sehingga dengan mudah menmbus jaringan lemak dan meninjukkan
aktivitas sebagai penekanan system saraf pusat.
Sifat keasaman turunan barbiturat ditenukan oleh bentuk tautomeri keto-enol dan
lakti-laktam.
Golongan 5-subtitusi barbiturate, bersifat lebih asam, contoh : asam 5-
etilbarbiturat, mempunyai nilai pKa = 4,4, pada pH fisiologis mudah terionisasi
(99,9%), sehingga kurang efektif dalam menembus sawar membrane lifofil
system saraf pusat, dan tidak dapat menimbulkan efek penekanan system saraf
pusat.
Proses ionisasi dari 5-subtitusi dan 5,5-disubtitusi barbiturate dapat dilihat pada
gambar 38.
Perubahan pH juga berpengaruh terhadap kereaktifan gugus asam atau basa
pada permukaan sel atau dalam sel mikroorganisme. Pada titik isoelektrik, kation
dan anion potensial molekul protein sel, missal gugus amino dan karboksilat
pada alanain, selalu terdapat dalam bentuk ion Zwitter. Dengan meningkatkan
pH atau bertambah basa media, kadara anion sel akan bertambah besar
sehingga meningkatkan aktivitas obat yang bersifat kation aktif. Sebaliknya,
dengan menurunnya pH atau bertambah asam media, kadar kation sel akan
menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan afinitas obat anion aktif.
Gambar 38. Proses ionisasi dari 5-subtitusi dan 5,5-disubtitusi barbiturate
2. Obat yang aktif dalam bentuk ion
Beberapa senyawa obat menunjukkan aktifitas biologis yang makin meningkat
bila derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion
senyawa obat umumnya sulit menembus membrane biologis, sehingga diduga
senyawa obat dengan tipe ini memberikan efek biologisnya diluar sel.
Bell dan Robin (1942), memberikan postulat bahwa aktivitas antibakteri
sulfonamide mencapai maksimum bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa
tersebut sulfonamide terionisasi ± 50 %. Pada pKa 3-5, sulfonamia terionisasi
sempurna, dan bentuk ionisasi ini tidak dapat menembus membrane sehingga
aktivitas antibakterinya rendah.
Bila kadar bentuk ion kurang lebih sama dengan kadar bentuk molekul (pKa 6-
8), aktivitas antibakterinya akan maksimal pada pKa 9-11, penurunan pKa
meningkatkan jumlah sulfonamide yang terionisasi, jumlah senyawa yang
menembus membrane kecil,sehingga aktivitas antibakterinya rendah.
Hubungan antara aktivitas antibakteri turunan sulfonamide dengan nilai pKa
dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10. Hubungan antara aktivitas antibakteri (log 1/C) terhadap
Escherichia coli (pada pH = 7) dan nilai pKa dari turunan
sulfonamide.
Menurut Cowles (1942), sulfonamide menembus membrane sel bakteri
dalam bentuk tidak terionisasinya, dan sesudah mencapai reseptor yang
bekerja adalah bentuk ion.
Contoh obat yang aktif dalam bentuk ion antara lain adalah turunan akridin
dan turunan ammonium kuarterner.
B. PEMBENTUKAN KELAT DAN AKTIVITAS BIOLOGI
Kelat adalah senyawa yang dihasilkan oleh kombinasi senyawa yang
mengandung gugus elektron donor dengan ion logam, membentuk suatu
struktur cincin. Gugus-gugus kimia yang dapat membentuk kelat antara lain
adalah gugus amin primer, sekunder dan tersier, oksim, imin, imin tersubtitusi,
tioeter, keto, tioketo, hidroksil, tioalkohol, karboksilat, fosfonat dan sulfonat.
Sebagai contoh adalah pembentukan kelat antara etilendiamin tetraasetat
(EDTA) dengan ion Ca++ (Gambar 39)
Ligan adalah senyawa yang dapat membentuk struktur cincin dengan ion
logam karena mengandung atom yang bersifat electron donor, seperti N, s
dan O. Struktur cincin yang umum terdapat dan cukup stabil adalah struktur
cincin dengan jumlah atom 5 dan 6.
Dalam system biologis banyak terdapat ligan-ligan yang dapat membentuk
kelat dengan ion logam.
Contoh ligan dalam system biologis :
1. Asam amino protein, seperti glisin, sistein,histidin, histamine dan asam
glutamate
2. Vitamin, seperti riboflavin dan asam folat
3. Basa purin, seperti hipoxantin dan guanosin
4. Asam trikarboksilat, seperti asam laktat dan asam sitrat
Logam yang berperan dalam system biologis adalah Fe, Mg, Cu, Mn, Co,
dan Zn
Gambar 39. Rekasi pembentukan kelat antara ligan EDTA dan ion logam Ca++
ion Ca++ dan EDTA dihubungkan oleh electron donor dari atom N
dan O.
Contoh kelat dalam sistembiologis :
1. Kelat yang mengandung logam Fe
Contoh :
a. Enzim forfirin, seperti katalase, peroksidase dan sitokrom.
b. Enzim nonforfirin, seperti akonitase, aldolase dan feritin.
c. Molekul transfer oksigen, seperti hemoglobin dan mioglobin.
2. Kelat yang mengandung logam Cu
Contoh : enzim oksidase, seperti asam askorbat oksiadase, tirosinase,
polifenol oksidase, lakase, dan sitokrom oksidase.
3. Kelat yang mengandung Mg
Contoh : beberapa enzim proteolitik, fosfatase dan karboksilase.
4. Kelat yang mengandung logam Mn
Contoh : oksaloasetat dekarboksilase, arginase dan prolidase.
5. Kelat yang mengandung logam Zn
Contoh : insulin, karbonik anhidrase dan laktat dehidrogenase,
6. Kelat yang mengandung logam Co
Contoh : vitamin B12 dan enzim kaarboksi peptiadase.
Ligan mempunyai afinitas yang besar terhadap ion logam sehingga dapat
menurunkan kadar ion logam yang toksis dalam jaringan dengan membentuk
kelat yang mudah larut dan kemudian dieksresikan melalui ginjal.
Penggunaan ligan dalam bidang farmakologi antara lain adalah :
a. Membunuh mikroorganisme parasit, dengan cara membentuk kelat
dengan logam esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan sel (aksi
bakterisida, fungisida, dan virisida).
b. Untuk menghilangkan logam yang tidak diinginkan atau yang
membahayakan organisme hidup (antidotum keracunan logam).
c. Untuk studi fungsi logam dan metaloenzim pada media biologis.
Contoh ligan :
1. Dimerkaprol (British Anti-Lewisite = BAL)
Dimerkaprol mengandung gugus sulfhidril (SH), yang dapat
berinteraksi dengan arsen organik (lewisite), membentuk kelat yang mudah
larut. Senyawa ini spesifik untuk antidotum keracunan arsen organik, logam
Sb, Au dan Hg.
Reaksi pembentukan kelat dimerkaprol dengan arsen organik dapat
dilihat pada gambar 40.
H2C CH CH2OH
H2C CH CH2OH + R As=O S S + H2O
SH SH As
R
Dimerkaprol Arsen organik Kelat
Gambar 40. Reaksi pembentukan kelat dimerkaprol dengan arsen organik.
2. (+) Penisilamin
Penisilamin adalah senyawa hasil hidrolisis penisilin dalam suasana
asam, yang digunakan untuk antidotum keracunan logam Cu, Au, dan Pb.
Penisilamian juga digunakan untuk pengobatan penyakit Wilson, suatu
penyakit keturunan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar ion Cu dalam
darah karena terjadi penurunan eksresi ion Cu oleh berbagai macam sebab.
Penisilamin dapat berinteraksi dengan ion Cu membentuk kelat yang mudah
larut dan kemudian diekskresikan.
Reaksi pembentukan kelat penisialin dengan ion Cu++ dapat dilihat pada
gambar 41.
3. Oksin (8-hidroksikuinolin)
Albert dan kawan-kawan telah meneliti hubungan struktur dan aktivitas
antiabakteri dari 7 isomer mono-hidroksikuinolin dan mendapatkan bahwa
hanya isomer 8-hidroksikuinolin yang aktif sebagai antibakteri.
Mula-mula diduga bahwa mekanisme aksi antibakterinya berhubungan
dengan kemampuan membentuk kelat dengan logam-logam esensial yang
diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhan bakteri. Hal ini berdasarkan
hasil penelitian tentang hubungan struktur dan aktivitas turunan oksin, yang
dijelaskan sebagai berikut :
a. 8-metoksikuinolin dan oksin metoklorida tidak dapat membentuk kelat
sehingga tidak mempunyai efek antibakteri.
b. Substitusi gugus 8-OH dengan gugus merkapto (SH memberikan sifat
ligan yang aktif sehingga aktif pula sebagai antibakteri.
c. Substitusi gugus metil pada posisi 2 menghasilkan ligan yang aktif secara
in vitro relatif tidak aktif sebagai antibakteri. Hal ini disebabkan gugus metil
menimbulkan efek gangguan sterik dan menurunkan penetrasi senyawa
ke dalam sel bakteria, sehingga interaksi dengan reseptor sel menurun.
CH3
H3C C CH COOH
CH3 S NH2 Cu++H3C C CH COOH H3C C CH COOH Cu S NH2 S NH2 Cu+ H3C C CH COOH CH3Penisilamin Kelat Cu-penisilamin(1:1) Kelat Cu-
penisilamin (1:2) mudah larut dalam air
Gambar 41. Bentuk kelat penisilamin dengan ion Cu++
d. Substitusi pada posisi 5 dengan gugus sangat polar, misal SO3H, tidak
mengubah kemampuan pembentukan kelat tetapi aktivitas antibakterinya
akan hilang karena senyawa tidak mampu menembus dinding sel bakteri.
Dari data hubungan struktur-struktur di atas dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pembentukan kelat dan koefesien partisi lemak/air sangat
berperan terhadap aktivitas antibakteri turunan oksin.
Turunan oksin yang aktif sebagai antibakteri antara lain adalah 7-
kloroksin, 5-7-diiodooksin (iodokuinol), 5-klor-7-iodooksin (vioform), 4-azaoksin,
4-hidroksiakridin, 5,6-benzooksin dan 6-hidroksi-m-fenantrolin.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa turunan oksin dapat berfungsi
sebagai antibakteri karena mempunyai kemampuan membentuk kelat dengan
ion-ion logam Fe dan Cu. Kealat loagam –oksin tersebut mengkatalisis oksidasi
gugus tiol asam tiositat, suatu koenzim esensial yang diperlukan oleh bakteria
untuk proses oksidatif dekarboksilasi asam piruvat. Bila tidak ada ion logam,
oksin tidak bersifat toksin terhadap mikrooraganisme.
Oksin (0,01 M) dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus yang
dibiakkan pada media daging. Bila disuspensikan pada air suling tidak
menunjukkan efek antibakteri. Hal ini disebabkan media daging mengandung ion
Fe, yang membentuk khelat tidak jenuh dengan oksin( 1:1 dan 2:1) dan aktif
sebagai antibakteri. Bila kadar oksin dinaikkan menjadi 0,125 M, efek
antibakterinya akan hilang karena terbentuk khelat jenuh( 1:3). Bila ditambahkan
ion Fe 0,125 M, keseimbangan akan bergeser, terbentuk khelat tidak jenuh lagi,
yang aktif sebagai antibakteri.
Diduga bahwa tempat kerja turunan oksin terdapat di dalam dinding sel dan pada
membran sitoplasma bakteri. Bila tempat kerja ada di dalam sel, diduga bahwa
yang mampu menembus dinding sel adalah bentuk khelat jenuh( 1:3), di dalam
sel kelat tersebut akan pecah menjadi bentuk kelat tidak jenuh( 1:2) dan (1:1),
yang aktif sebagai antibakteri.
Reaksi pembentukan kelat feri- oksin dapat dilihat pada gambar 42.
Gambar 42. Bentuk kelat oksin dengan ion logam Fe++
4. Isoniazid, tiasetazon, dan etambunol
Isoniazid, tiasetazon, dan etambunol( obat anti tuberkulosis), dapat
berinteraksi dengan ion Cu++ serum membentuk kelat yang mudah larut
dalam lemak, sehingga mudah menembus dinding sel Mycobacterium
tuberculosis.
O S CH2OH
CH2OH
H3C CNH CH N-NH-C-NH2 H-C-NH-CH2-CH2-NH-C-H
CH2H3 CH2CH3
Tiasetazon Etambunol
Kelat feri-oksin (1:2)tidak jenuh : aktif
Kelat feri-oksin (1:3)jenuh : tidak aktif
Reaksi pembentukan khelat isoniazid dengan ion logam Cu++ dapat dilihat
pada gambar 43.
5. Tetrasiklin
Tetrasiklin, antibiotik dengan spektrum luas, mengandung gugus hidroksil(C3)
yang bersifat asam dan amin tersier(C4) yang bersifat basa, dapat
membentuk kelat dengan ion Mg++ membran sel bakteri. Peningkatan sifat
lipofilik dari kelat memudahkan penembusan kelat ke dalam membran sel
bakteri dan menyebabkan gangguan sintesis protein di ribosom.
Gugus hidroksi fenol, keton, dan hidroksil pada atom C10, C11, dan C12 diduga
juga ikut terlibat dalam proses pembentukan kelat.
Tetrasiklin juga dapat membentuk kelat dengan logam- logam lain, sehingga
aktivitasnya akan menurun bila diberikan bersama- sama dengan susu yang
mengandung Ca++, antasida yang mengandung ion Ca, Mg, dan Al, atau
sediaan yang mengandung Fe.
Tetrasiklin dapat menyebabkan gigi menjadi kuning, terutama pada anak di
bawah usia 8 tahun, karena membentuk kelat dengan ion Ca++ pada struktur
gigi.
H3C OH H N(CH3)2
OH
CH3
COH O
OH O OH O
Tetrasiklin
Beberapa kelat dapat digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu.
Contoh:
1. Sisplatin
Sisplatin, cis- dikloroetilendiaminplatiunum(II), adalah senyawa kompleks
turunan Pt yang digunakan sebagai obat antikanker.isomer trans tidak
menunjukkan aktivitas.
Cu+
O NH2 OH NH2 O NH2
N C – NH N C N + Cu++ N C N
Isoniazid Bentuk enol kelat mudah larut dalam lemak
Gambar 43. Reaksi pembentukan kelat isoniazid dengan ion logam Cu++
Mekanisme kerjanya dengan membentuk ligan reaktif, kemudian Pt
membentuk crosslink diantara atom N dari dua guanosin ADN, sehingga
terjadi hambatan sintesis ADN sel kanker.
Sisplatin mempunyai kelarutan dalam air sangat kecil, sehingga transportasi
ke jaringan tumor relative rendah, oleh karena itu kemudian dikembangkan
turunannya karboplatin( cis- 1,1- dikarboksisiklobutan-diaminplatinum) yang
menunjukkan keefektifan sama dengan sisplatin, dengan distribusi ke
jaringan tumor yang lebih baik.
+H3N Cl +H3N H3O+ O
CH2 C O NH3+
Pt(II) Pt(II) H2C Pt
+H3N Cl +H3N H3O+ CH2 C O NH3+
O
Sisplatin Ligan reaktif Karboplatin
2. Kompleks Tembaga
Kompleks tembaga dengan masa molekul yang rendah banyak digunakan
untuk pengobatan penyakit rematik arthritis dan antiradang.
Contoh: kupralen, alkuprin, dan dikuprin.
COO - SO3-
S-Cu
N=C-NHCH2CH=CH2 N [N+H2(C2H5)2]4 -O3S Kupralen O Cu O
N SO3-
COO-
S-Cu SO3-
O-C=NCH2CH=CH2
Alkuprin Dikuprin
Kompleks Cu di atas sebagai antiradang mempunyai efek yang
menguntungkan yaitu tidak menyebabkan iritasi saluran cerna, seperti yang
ditimbulkan oleh obat- obat antiradang turunan asam pada umumnya, seperti
turunan salisilat, N- arilantranilat, arilasetat dan turunan oksikam.
Mekanisme kerja antiradang dan anti rematik arthritis dari kompleks Cu
belum diketahui secara jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa
obat- obat tersebut dapat mengganggu keseimbangan prostaglandin,
mempengaruhi aktivitas lisil oksidase dan mekanisme radikal bebas yang
melibatkan dismutase superoksida.
Ligan-ligan yang digunakan untuk antidotum keracunan logam berat
atau untuk pengobatan yang lain, dapat menimbulkan toksisitas cukup
besar,karena mengikat logam lain yang justru diperlukan untuk fungsi
fisiologis normal. Oleh karena itu penggunaan ligan harus dipilih seselektif
mungkin.
Contoh :
1. Tiasetazon,difenilditiokarbazon,oksin dan aloksan, dapat
menimbulkan awal penyakit diabetes melitus; karena obat-obat tersebut
membentuk kelat dengan Zn pada sel β-pankreas sehingga menghambat
produksi insulin.
2. Hidralazin (Apresolin), obat penurun tekanan darah, menimbulkan efek
samping anemia karena dapat membentuk kelat dengan Fe darah.
3. Dimerkaprol dan isoniazid, cenderung menimbulkan efek seperti
histamin, diduga karena membentuk kelat dengan logam Cu yang berfungsi
sebagai katalisator enzim perusak histamin (histaminase).
C. POTENSIAL REDOKS DAN AKTIVITAS BIOLOGIS
Potensial redoks adalah ukuran kuantitatif kecenderungan senyawa untuk
memberi dan menerima elektron.
Hubungan kadar oksidator dan reduktor ditunjukkan oleh persamaan Nernst
sebagai berikut :
Eh = E0 – 0,06/n x log (Oksidator)/ (Reduktor)
Eh = potensial redoks yang diukur.
E0 = Potensial redoks baku.
n = jumlah elektron yang berpindah.
0,06 = tetapan termodinamik pemindahan 1 elektron (30o C)
Reaksi redoks adalah perpindahan elektron dari satu atom ke atom molekul
yang lain. Tiap reaksi pada organisme hidup terjadi pada potensial redoks
optimum, dengan kisaran yang bervariasi, sehingga diperkirakan bahwa
potensial redoks senyawa tertentu berhubungan dengan aktivitas biologisnya.
Pengaruh potensial redoks tidak dapat diamati secara langsung karena
hanya berlaku untuk sistem keseimbangan ion tunggal yang bersifat
reversibel, sedang reaksi pada sel hidup merupakan reaksi yang serentak,
termasuk oksidasi ion dan non ion, ada yang bersifat reversibel adapula yang
ireversibel. Hubungan potensial redoks dengan aktivitas biologisnya secara
umum hanya terjadi pada senyawa dengan struktur dan sifat fisik yang
hampir sama. Pada sistem interaksi obat secara redoks, pengaruh sistem
distribusi dan faktor sterik sangat kecil.
Contoh :
1. Turunan kuinon, menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus pada E0 antara (-) 0,10 sampai (+) 0,15 V, dan
aktivitas maksimum dicapai pada E0 = (+) 0,03 V.
2. Sb dan As, menunjukkan aktivitas terhadap Trypanosoma sp. Pada E0
antara (-) 0,12 sampai (+) 0,06 V, dan aktivitas tertinggi terjadi pada E0 =
(-) 0,01 V.
3. Riboflavin
Riboflavin adalah koenzim faktor vitamin; aktivitas biologisnya bergantung
pada kemampuan untuk menerima elektron sehingga tereduksi menjadi
bentuk dihidronya. Reaksi ini terjadi pada E0 = (-) 0,185 V.
Perubahan sistem redoks dapat digunakan untuk membuat senyawa
antagonis riboflavin.
Contoh :
Bila 2 gugus metil dari riboflavin diganti dengan gugus Cl, senyawa yang
terjadi mempunyai E0 = (-) 0,095 V dan berfungsi sebagai antagonis
riboflavin. Diduga hal ini disebabkan bentuk dihidro-2-klororiboflavin
mempunyai sifat reduksi lebih lemah dibanding dihidroriboflavin. Senyawa
tersebut dapat diabsorbsi pada tempat reseptor spesifik, tetapi tidak
mempunyai potensial yang cukup untuk reduksi biologis.
Analog riboflavin yang tidak bersifat redoks dapat dikembangkan sebagai
obat antikanker. Analog tersebut dibuat dengan mengubah potensial
redoks atau memodifikasi molekul menjadi bentuk dihidro yang tidak
dapat dioksidasi.
D. AKTIVITAS PERMUKAAN DAN AKTIVITAS BIOLOGIS
Surfaktan adalah suatu senyawa yang karena orientasi dan pengaturan
molekul pada permukaan larutan,dapat menurunkan tegangan permukaan.
Struktur surfaktan terdiri dari dua bagian yang berbeda, yaitu bagian yang
bersifat hidrofilik atau polar dan bagian lipofilik atau nonpolar, sehingga
dikatakan surfaktan bersifat ampifilik.
Bila surfaktan dimasukkan ke air maka pada permukaan akan teratur
sedemikian rupa sehingga bagian nonpolar, misal rantai karbon, berorientasi
ke fase uap, sedang bagian polar, misal gugus-gugus COOH, OH, NH2 dan
NO2, berorientasi ke fase air.
Bila surfaktan dimasukkan kedalam campuran pelarut polar dan
nonpolar, maka pada batas cairan polar dan nonpolar, bagian nonpolar
berorientasi ke pelarut nonpolar, sedang gugus polar berorientasi ke pelarut
polar. Pada orientasi ini terlibat ikatan Van der waal’s, ikatan hidrogen dan
ikatan ion dipol.
Contoh : Asam oleat (C18H36COOH), Bila dimasukkan ke air dapat
membentuk lapisan monomolekul. Rantai hidrokarbon cenderung tegak lurus
pada permukaan, sedang gugus COOH mengarah ke fase air. Bila kemudian
ditambahkan minyak, rantai hidrokarbon akan berorientasi ke fase minyak
sedang gugus COOH tetap kontak dengan air.
Orientasi asam oleat pada fase uap, fase air dan fase minyak dapat
dilihat pada gambar 44.
Asam oleat cenderung membentuk perubahan dari fase non polar ke
fase polar secara perlahan-lahan sehingga energi bebas pada permukaan
lebih kecil. Aktivitas permukaan surfaktan ditentukan oleh keseimbangan
gugus hidrofil dan lipofil (hidrophyl lipophyl = HLB).
Berdasarkan sifat gugus yang dikandungnya,surfaktan dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu :
1. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan negatif,
dan dapat berupa gugus karboksi, sulfat, sulfonat atau fosfat.
Contoh : Sabun K, sabun Na, Natrium stearat, Natrium laurilsulfat dan
natrium laurilsulfoasetat.
2. Surfaktan kationik
Surfaktan kationik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan positif, dan
dapat berupa gugus amonium kuartener, biguanidin, sulfonium, fosfonium
dan iodonium.
Gambar 44. Orientasi asam oleat pada fase uap, fase air dan fase minyak.
Contoh : turunan ammonium kuartener, seperti setilpiridinium klorida,
benzetonium klorida, benzalkonium klorida dan setavlon, serta turunan
biguanidin, seperti heksaklorofen.
3. Surfaktan non ionik
Surfaktan ini tidak terionisasi dan mengandung gugus-gugus hidrofil dan
lipofil yang lemah sehingga larut atau dapat terdispersi dalam air,
biasanya adalah gugus polioksietilen eter dan polyester alkohol.
Contoh : polisorbat 80, span 80 dan gliserilmonostearat.
4. Surfaktan amfoterik
Surfaktan amfoterik mengandung mengandung dua gugus hidrofil yang
bermuatan positif (kationik) dan negatif (anionik).
Contoh : N-lauril-β-aminopropionat dan miranol.
Dalam larutan encer, surfaktan menunjukkan sifat elektrik dan osmotik
yang sama dan didistribusikan dalam bentuk monomer. Bila kadar
surfaktan ditambah terus, akan dicapai suatu titik kritis, terjadi
penggabungan molekul monomer menjadi suatu polimer, terdiri dari 50
atau lebih monomer, yang disebut misel.
Kadar pada waktu mulai terbentuk molekul polimer dinamakan kadar
misel kritis (critical micelle concentration = CMC). Pada kadar di atas CMC
terbentuk polimer yang besar kemudian menjadi koloid. Proses yang
terjadi bersifat reversible sehingga bila diencerkan polimer akan menjadi
bentuk monomer kembali.
Aktivitas anthelmentik heksilresorsinol dipengaruhi oleh perbandingan
jumlah surfaktan (Na oleat) dan obat (heksilresorsinol). Bila kadar Na
oleat dipertahankan di bawah CMC, terjadi penggabungan surfaktan-fenol
(1:1), penetrasi heksilresorsinol pada membran cacing akan meningkat
sehingga aktivitas anthelmentik juga meningkat.
Bila kadar surfaktan di atas CMC, terbentuk misel-misel yang akan
menyelubungi heksilresorsinol, penetrasi pada membrane cacing
menurun, sehingga aktivitas menurun pula.
Surfaktan juga mempengaruhi absorbsi obat. Aktivitas surfaktan terhadap
absorbsi obat tergantung pada :
a. Kadar surfaktan
b. Struktur kimia surfaktan
c. Efek surfaktan terhadap membrane biologis
d. Efek farmakologis surfaktan
e. Adanya interaksi surfaktan dengan bahan-bahan pembawa atau bahan
obat.
Contoh :
Pengaruh surfaktan polisorbat 80 terhadap absorbsi sekobarbital Na
pada ikan emas, yang dapat dilihat pada gambar 45.
Pada kadar rendah, surfaktan akan meningkatkan absorbsi sekobarbital
karena mempengaruhi permeabilitas membrane biologis sehingga
penetrasi sekobarbital ke membran menjadi lebih besar. Pada kadar
tinggi, surfaktan menyebabkan partisi obat ke dalam fasa air dan misel.
Obat yang berada dalam fasa misel sukar menembus membran sehingga
kecepatan absorbsi sekobarbital menurun.
Gambar 45. Pengaruh polisorbat 80 terhadap absorbsi larutan 0,02%
sekobarbital Na (pH = 5,9 dan t.20°C) pada ikan emas.
Surfaktan mempunyai aktivitas yang nyata terhadap permeabilitas
membrane sel bakteri. Surfaktan dengan aktivitas ringan, diadsorpsi satu
lapis pada permukaan membran sel bakteri sehingga menghalangi
absorpsi bahan-bahan yang dibutuhkan oleh membran sel.
Surfaktan dengan aktivitas kuat, dapat mengubah struktur dan fungsi
membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga
membrane sel bakteri menjadi rusak dan lisis.
Surfaktan pada umumnya tidak berguna secara in vivo karena mudah
diadsorpsi oleh protein dan menyebabkan ketidakteraturan membran sel
serta hemolisis sel darah merah. Surfaktan hanya terbatas untuk
pemakaian setempat yaitu untuk disinfektan kulit dan sterilisasi alat-alat.
Turunan amonium kuartener, seperti benzalkonium klorida dan
dekualinum klorida, mempunyai kation hidrofil dan gugus non polar yang
panjang. Senyawa ini termasuk golongan antibakteri yang bersifat tidak
spesifik.
Karena termasuk surfaktan kationik, aktivitas antibakterinya turun secara
drastis bila dikombinasi dengan sabun anionik.
Aktivitas antibakteri senyawa turunan amonium kuartener tergantung pada
:
a. kerapatan muatan atom N asimetrik (kation hidrofil)
b. ukuran dan panjang rantai non polar yang terikat pada atom N.
Makin panjang rantai non polar, aktivitas senyawa makin meningkat,
sampai pada harga HLB yang memberikan aktivitas permukaan optimal.
Turunan klorofenilbiguanidin, seperti klorheksidin, digunakan secara luas
untuk antiseptik luka dan luka bakar, serta desinfektan pembedahan.
Dikelompokkan dalam sabun kationik karena gugus amino pada
biguanidin dapat terprotonasi membentuk garam. Dengan kadar yang
relatif rendah (10-100 mg/ml) klorheksidin secara cepat menyebabkan
pelepasan material sitoplasma sel bakteri. Pada kadar yang sangat
rendah (1 mg/ml) senyawa masih tetap aktif karena dapat menghambat
membrane-bound ATPase bakteri.