hubungan stres kerja dan keteraturan …digilib.unila.ac.id/25302/26/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN
DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA
PERAWAT INSTALASI RAWAT INAP RSUD ABDUL
MOELOEK BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
AYANG TRIA PUTRI BARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN
DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA
PERAWAT INSTALASI RAWAT INAP RSUD ABDUL
MOELOEK BANDAR
LAMPUNG
Oleh
AYANG TRIA PUTRI BARAWA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRACT
THE CORRELATION OF WORK-RELATED STRESS AND REGULARY
HABIT OF EATING TO DYSPEPSIA SYNDROME IN PATIENT HOSPICE
NURSE AT RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
By
Ayang Tria Putri Barawa
Background: Dyspepsia syndrome is caused by many factors, among of them are regulary
habit of eating and work-related stress. Nurse is a group of workers which have excessive
work load so that affect the regulary habit of eating and lead work-related stress. This
research aim is to analyze the correlation of work-related stress and regulary habit of eating
to dyspepsia syndrome in patient hospice nurse at RSUD Abdul Moeloek.
Methods: This research is a cross-sectional analytic method with purposive technic
sampling. This research took place in RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung since
Oktober to November 2016 with 144 samples of nurses. Data taken by questionnaire is
analyzed using Chi-Square test.
Results: The analysis showed that 36,8% respondents have work-related stress, 14,6%
respondents have irregulary habit of eating, 34% respondents suffered from dyspepsia
syndrome and there are a correlation between dyspepsia syndrome with work-related stress
(p=0,002; OR:3,257) and regulary habit of eating (p=0,03; OR: 3,099).
Conclusion: There are a correlation of work-related stress and regulary habit of eating to
dyspepsia syndrome in patient hospice nurse at RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Keywords: work-related stress, regularity of eating, dyspepsia syndrome, nurse
ABSTRAK
HUBUNGAN STRES KERJA DAN KETERATURAN MAKAN DENGAN
KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA PERAWAT INSTALASI
RAWAT INAP RSUD ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
Oleh
Ayang Tria Putri Barawa
Latar Belakang: Sindrom dispepsia dapat disebakan oleh banyak faktor, diantaranya
keteraturan makan dan psikologi (stres kerja). Perawat termasuk kelompok kerja dengan
tuntutan kerja dan kepadatan aktivitas cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi
keteraturan makan dan stres kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada perawat
Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross-sectional. Penelitian
ini dilakukan di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung sejak Oktober hingga November
2016 dengan total responden 144 orang perawat yang diambil dengan teknik purposive
sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang kemudian dilakukan
uji analisis menggunakan uji Chi-Square.
Hasil Penelitian: Hasil analisis menunjukkan bahwa 36,8% responden mengalami stres
kerja, 14,6% responden tidak memiliki keteraturan makan, 34% responden menderita
sindrom dispepsia serta terdapat hubungan antara sindrom dispepsia dengan stres kerja
(p=0,002; OR:3,257) dan keteraturan makan (p=0,03; OR: 3,099).
Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan
kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek
Bandar Lampung.
Kata Kunci: stres kerja, keteraturan makan, sindrom dispepsia, perawat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 September 1995. Penulis
merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara, pasangan Bapak Ahmad Anshori dan
Ibu Rusdalina.
Penulis telah menyelesaikan tingkat pendidikan dari TK Melati Panaragan Jaya
pada tahun 2001, SDN 1 Sawah Brebes pada tahun 2007, SMPN 23 Bandar
Lampung pada tahun 2010, dan SMAN 9 Bandar Lampung pada tahun 2013.
Tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi PMPATD Pakis Rescue
Team pada tahun 2013-2015 sebagai salah satu anggota dari divisi Pecinta Alam.
Barangsiapa ingin mutiara, harus
berani terjun di lautan yang dalam
(Ir. Soekarno)
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Hubungan Stres Kerja dan Keteraturan Makan dengan Kejadian Sindrom
Dispepsia pada Perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek Bandar
Lampung” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan,
kritik dan saran dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M. Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
dr. Fitria Saftarina, S.Ked, M.Sc selaku Pembimbing I atas kesediaannya
meluangkan waktu untuk membimbing, mengajari, mendukung,
memberikan nasihat, saran, dan kritik yang bermanfaat dalam proses
penyelesaian skripsi ini;
ix
Ibu Soraya Rahmanisa, S.Si., M.Sc selaku Pembimbing II atas waktu dan
kesediaannya dalam membimbing, memberikan nasihat, saran, dan kritik
yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini;
dr. Dian Isti Angraini, MPH selaku Penguji Utama pada Ujian Skripsi atas
bimbingan, waktu, ilmu, kritik dan saran yang telah banyak diberikan;
Dr. dr. Asep Sukohar, S.Ked, M.Kes selaku Pembimbing Akademik untuk
setiap nasihat, saran dan kritik yang bermanfaat selama perkuliahan di
Fakultas Kedokteran ini;
Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu-ilmu, motivasi, dan nasihat yang
telah diberikan kepada penulis serta seluruh Staf TU, Administrasi,
Akademik dan pegawai Fakultas Kedokteran Unila;
Direktur RSUD Abdul Moeloek serta seluruh staf administrasi RSUD
Abdul Moeloek yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat
terlaksana;
Seluruh Supervisor, Kepala Ruangan, dan perawat Instalasi Rawat Inap
yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kerjasama, dukungan, dan
kesediaannya menjadi responden dalam penelitian ini;
Papa (Ahmad Anshori, S.Pd), Mama (Rusdalina), Atu (Adetia Prananda),
Uan (Ahmad Rio Adi Kartagama), M. Ivan Shepy S, Ahmad Rizki IS,
Andini IP, dan seluruh keluarga yang sangat saya cintai dan sayangi atas
seluruh kasih sayang, kesabaran, perhatian, do’a, semangat, motivasi, dan
dukungan yang selalu mengalir setiap saat;
Sahabat serta keluarga saya “Wance” Ajeng Amalia Insani, Bunga Ulama,
Diah Ayu Larasati, Hanifah Hanum, Intan Damaya Antika, Mulya Dita
x
Paramita, Nada Ismalia, Putri Ria Ariyanti, Wage Nurmaulina, dan
Zulfiana Riswanda atas setiap kebersamaan dan kesediaannya dalam
berbagi suka duka baik selama perkuliahan atau dalam pelaksanaan
penelitian ini, terimakasih kawan;
Teman seperjuangan skripsi Desindah L. Simanjuntak dan Fadiah Eryuda
atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan;
Teman-teman CERE13ELUMS (angkatan 2013) yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan, keceriaan,
kehebohan, kekompakan, kebahagiaan selama 3,5 tahun perkuliahan ini,
semoga kelak kita dapat menjadi dokter yang profesional, amanah, serta
berguna bagi agama, bangsa, dan negara;
Adik-adik angkatan 2014, 2015, 2016 terimakasih atas dukungan, doa dan
bantuannya sebagai satu fakultas kedokteran;
Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang
telah memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
kepada setiap orang yang membacanya. Terima kasih.
Bandar Lampung, Januari 2017
Penulis
Ayang Tria Putri Barawa
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi
KATA-KATA MUTIARA ............................................................................. vii
SANWACANA ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3. Tujuan ................................................................................................ 6
1.4. Manfaat .............................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dispepsia ............................................................................................ 8
2.1.1. Definisi dan Etiologi Sindrom Dispepsia ................................ 8
2.1.2. Patofisiologi ............................................................................. 11
2.1.3. Diagnosis.................................................................................. 15
2.2. Stres Kerja .......................................................................................... 17
2.2.1. Definisi ..................................................................................... 17
xii
2.2.2. Mekanisme Terjadinya Stres.................................................... 18
2.2.3. Dampak Stres Kerja ................................................................. 19
2.2.4. Tahapan Stres ........................................................................... 21
2.2.5. Penyebab Stres ......................................................................... 22
2.2.6. Pengukuran Stres Kerja............................................................ 24
2.3. Pola Makan ........................................................................................ 25
2.3.1. Definisi ..................................................................................... 25
2.3.2. Pengukuran Konsumsi ............................................................. 27
2.4. Hubungan Keteraturan Pola Makan dan Sindrom Dispepsia............. 29
2.5. Hubungan Stres dan Sindrom Dispepsia ............................................ 30
2.6. Kerangka Teori .................................................................................. 32
2.7. Kerangka Konsep ............................................................................... 34
2.8. Hipotesis ............................................................................................ 34
BAB III METODE PENELITAN ..........................................................
3.1. Desain Penelitian ............................................................................... 35
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 35
3.3 Populasi dan Sampel .......................................................................... 35
3.3.1 Populasi ..................................................................................... 35
3.3.2 Sampel....................................................................................... 35
3.4 Variabel Penelitian ............................................................................. 37
3.4.1. Variabel Bebas ........................................................................ 37
3.4.2. Variabel Terikat ...................................................................... 37
3.5. Definisi Operasional Variabel ........................................................... 38
3.6. Pengumpulan Data ............................................................................ 38
3.6.1. Uji Validitas dan Reliabilitas .................................................. 40
3.7. Pengolahan Data ............................................................................... 41
3.8. Analisis Data ..................................................................................... 41
3.8.1. Analisis Univariat ................................................................... 41
3.8.2. Analisis Bivariat...................................................................... 42
3.9. Alur Penelitian .................................................................................. 42
3.10.Etika Penelitian ................................................................................. 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
4.1. Gambaran Umum Penelitian .............................................................. 44
4.2. Hasil Penelitian .................................................................................. 45
4.2.1 Karakteristik Responden ........................................................... 45
4.2.1.1. Jenis Kelamin .............................................................. 45
4.2.1.2. Tingkat Pendidikan ...................................................... 46
4.2.2. Analisis Univariat .................................................................... 46
4.2.2.1. Stres Kerja ................................................................... 46
4.2.2.2. Keteraturan Makan ...................................................... 47
4.2.2.3. Sindrom Dispepsia....................................................... 48
4.2.3. Analisis Bivariat....................................................................... 49
4.2.3.1. Hubungan Stres Kerja dengan Sindrom Dispepsia .... 49
4.2.3.2. Hubungan Keteraturan Makan dengan Sindrom
dispepsia .................................................................... 51
xiii
4.3. Pembahasan ........................................................................................ 52
4.3.1. Stres Kerja ................................................................................ 52
4.3.2. Keteraturan Makan................................................................... 55
4.3.3. Sindrom Dispepsia ................................................................... 58
4.3.4. Hubungan Stres Kerja dengan Sindrom Dispepsia .................. 59
4.3.5. Hubungan Keteraturan Makan dengan Sindrom Dispepsia ..... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 64
5.2. Saran .................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 66
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Penyebab Sindrom Dispepsia ................................................................... 9
2. Alarm Sign ................................................................................................ 16
3. Definisi Operasional Variabel ................................................................... 38
4. Daftar Ruangan Pengambilan Sampel ...................................................... 45
5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin................... 45
6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .......... 46
7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Stres Kerja ....................... 47
8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keteraturan Makan .......... 47
9. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sindrom Dispepsia ........... 48
10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan Dispepsia ........... 49
11. Tabulasi Silang Responden Berdasarkan Stres Kerja dengan Kejadian
Sindrom Dispepsia .................................................................................... 50
12. Tabulasi Silang Responden Berdasarkan Keteraturan Makan dengan
Kejadian Sindrom Dispepsia ..................................................................... 51
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan Makan
dengan Sindrom Dispepsia ....................................................................... 33
2. Kerangka Konsep Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan Makan
dengan Sindrom Dispepsia ....................................................................... 34
3. Alur Penelitian .......................................................................................... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian
Lampiran 3. Lembar Informed Consent
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian
Lampiran 5. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian
Lampiran 6. Analisis Univariat
Lampiran 7. Analisis Bivariat
Lampiran 8. Hasil Penelitian
Lampiran 9. Dokumentasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat
kenyang, rasa perut penuh, sendawa (Djojoningrat, 2014). Sindrom
dispepsia juga didefinisikan sebagai keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman di
perut bagian atas yang sifatnya berulang atau kronik (Mapel et al., 2013).
Para ahli berpendapat bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami
sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2014).
Sebesar 25% dari populasi Amerika Serikat mengalami sindrom dispepsia
setiap tahun dan sekitar 5% dari semua penderita pergi ke dokter pelayanan
primer. Hal serupa juga terjadi di Inggris dengan prevalensi sindrom
dispepsia sekitar 21% dan hanya 2% yang berkonsultasi ke dokter
pelayanan primer dengan episode baru atau pertama sindrom dispepsia
setiap tahun dan sindrom dispepsia menyumbang 40% dari semua konsul ke
bagian gastroenterologi (Hu et al., 2002).
2
Penelitian terhadap dispepsia fungsional di beberapa negara di Asia juga
menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu Cina sebanyak 69% dari
782 pasien, di Hongkong 43% dari 1.353 pasien, di Korea 70% dari 476
pasien dan Malaysia 62% dari 210 pasien (Ghoshal et al., 2011). Di
Indonesia diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60%
pada praktek gastroenterologis merupakan kasus sindrom dispepsia
(Djojoningrat, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian sindrom
dispepsia cukup tinggi. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun
2011, sindrom dispepsia berada di urutan keenam dari 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan jumlah
kasus sebanyak 33.500 (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Di Provinsi
Lampung sendiri, dispepsia menempati urutan kelima dari 10 besar penyakit
terbanyak berdasarkan kunjungan lama dan baru dengan prevalensi 5,49%
atau sebanyak 35.422 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2013).
Sindrom dispepsia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah sekresi cairan asam lambung, psikologi (stres), serta faktor diet dan
lingkungan (Djojoningrat, 2014). Selain jenis makanan yang dikonsumsi,
ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan yang buruk, tergesa-gesa,
dan jadwal tidak teratur dapat menyebabkan sindrom dispepsia (Eschleman
dikutip dari Ade, 2014). Kebiasaan makan pedas di Asia, misalnya, dapat
memicu terjadinya sindrom dispepsia. Salah satu penelitian di Thailand
menunjukkan bahwa kejadian nyeri atau rasa terbakar di abdomen
meningkat setelah mengonsumsi makanan pedas (Ghoshal et al., 2011).
3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2012) dan Susanti
(2011) pola makan yang tidak teratur dapat memicu timbulnya gejala
dispepsia karena lambung menjadi sulit beradaptasi sehingga produksi asam
lambung menjadi tidak terkontrol. Penelitian serupa juga telah dilakukan
oleh Dwigint (2015) terhadap mahasiswa kedokteran dan menunjukkan
bahwa kepadatan aktivitas dapat mempengaruhi pola makan yang pada
akhirnya mampu meningkatkan risiko terjadinya sindrom dispepsia.
Stres adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial, baik
berupa tekanan mental ataupun beban kehidupan. Stres dapat memiliki
konsekuensi fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual (Sunaryo, 2004).
Stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat (Djojoningrat, 2014).
Sebuah studi cross sectional terhadap 775 tenaga profesional di Taiwan
tahun 2010 menunjukkan bahwa 64,4% pekerja mengalami kegelisahan,
33,7% pekerja mengalami mimpi buruk, 44,1% pekerja mengalami
gangguan iritabilitas, 40,8% pekerja mengalami sakit kepala, 35% pekerja
insomnia, dan 41,4% pekerja mengalami gangguan gastrointestinal (Tsai &
Lu, 2012). Pada lingkungan kerja, tuntutan pekerjaan yang tinggi dapat
menyebabkan stres (Al-Homayan dkk., 2013). Menurut Highley dalam
Haryanti dkk. (2013) perawat secara alamiah merupakan profesi yang penuh
dengan stres. Stres kerja berhubungan dengan kondisi kerja dan kesehatan
fisik perawat (Gelsema et al., 2006).
4
Beban kerja mempengaruhi tingkat stres kerja perawat. Hal ini didukung
oleh penelitian Haryanti dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara beban kerja dan stres kerja yang dialami oleh perawat IGD
di RSUD Semarang. Menurut Manuaba dalam Suryaningrum (2015), beban
kerja tersebut dapat berupa tuntutan tugas atau pekerjaan, organisasi dan
lingkungan kerja. Beban kerja fisik pada perawat, seperti mengangkat
pasien, memandikan pasien, atau membantu pasien ke kamar mandi
sedangkan beban kerja mental dapat berupa bekerja dengan sistem shift atau
menjaga komunikasi yang baik dengan perawat lain, atasan, pasien dan juga
keluarga pasien. Berat ringannya beban kerja di setiap bangsal bervariasi
tergantung pada tipe dan jenis ruang.
Illness (SWI) dalam European Agency For Safety and Health at Work
(2009) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa perawat memiliki prevalensi
stres tinggi yang berhubungan dengan pekerjaan. Stres kerja pada perawat
juga terjadi di Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Haryanti
dkk. (2013), perawat IGD di RSUD Kabupaten Semarang mayoritas
mengalami stres tingkat sedang dengan persentase sebesar 82,8% sedangkan
penelitian Yana (2015) menunjukkan hampir separuh dari perawat instalasi
rawat inap RSUD Pasar Rebo memiliki stres tinggi (45,8%) yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti persepsi konflik, dukungan sosial,
lingkungan fisik, ataupun aktivitas non pekerjaan.
5
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek merupakan salah satu
rumah sakit utama di provinsi Lampung. Sebagai rumah sakit utama,
tentunya RSUDAM memiliki jam kerja dan aktivitas yang sangat padat.
Untuk mengimbangi hal tersebut, para tenaga kerja RSUDAM, termasuk
para perawat, harus bekerja ekstra agar dapat memberikan pelayanan yang
efektif dan memuaskan. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah
dilakukan oleh peneliti, instalasi rawat inap merupakan salah satu instalasi
yang memberlakukan sistem shift kerja dan harus siap berjaga siang dan
malam untuk tetap memberikan pelayanan terhadap pasien yang dirawat.
Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi perawat di instalasi rawat inap
untuk lebih siap dan tanggap dalam setiap kesempatan serta memungkinkan
para perawat instalasi rawat inap mendapatkan beban kerja lebih yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi tingkat stres kerja dan keteraturan makan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, peneliti akan melakukan
penelitian tentang hubungan stres kerja dan keteraturan makan terhadap
kejadian sindrom dispepsia pada perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Apakah terdapat hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan
kejadian sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD
Abdul Moeloek?
6
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara stres kerja dan keteraturan makan dengan kejadian
sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul
Moeloek.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran tentang tingkat stres kerja pada
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.
2. Untuk mengetahui gambaran tentang keteraturan makan pada
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.
3. Untuk mengetahui angka kejadian sindrom dispepsia pada
perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.
4. Untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan sindrom
dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul
Moeloek.
5. Untuk mengetahui hubungan antara keteraturan makan dengan
sindrom dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD
Abdul Moeloek.
1.4. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak :
7
1. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan ilmu pengetahuan
peneliti tentang karakteristik sindrom dispepsia.
2. Bagi pekerja/perawat
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tentang hubungan
stres kerja dan keteraturan makan terhadap kejadian sindrom dispepsia
sehingga diharapkan bagi para pekerja khususnya perawat untuk
memperhatikan tingkat stres kerja dan keteraturan makan dengan baik.
3. Bagi institusi
3.1 Hasil penelitian ini dapat memberikan peranserta dalam
perkembangan ilmu pengetahuan berkaitan dengan sindrom
dispepsia.
3.2 Hasil penelitian ini dapat mendorong pemerintah atau institusi
terkait (rumah sakit) untuk memberikan informasi tentang
manajemen stres kerja yang baik melalui seminar atau pelatihan
khusus.
4. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih
lanjut yang berkaitan dengan materi dalam skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindrom dispepsia
2.1.1. Definisi dan Etiologi Sindrom Dispepsia
Kata dispepsia sendiri berasa dari bahasa Yunani, yaitu duis bad
dan peptein to digest, yang berarti gangguan pencernaan (Rani dkk.,
2011). Sindrom dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai
untuk suatu sindroma atau kumpulan gejala/keluhan berupa nyeri
atau rasa tidak nyaman pada ulu hati, mual, kembung, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut merasa penuh/begah
(Djojoningrat, 2014; Rani dkk., 2011). Keluhan tersebut dapat
secara bergantian dirasakan pasien atau bervariasi baik dari segi
jenis keluhan atau pun kualitasnya (Djojoningrat, 2014). Gejala
gejala ini dapat berdampingan dengan gejala gangguan pencernaan
fungsional, seperti gastroesophageal reflux dan irritable bowel
syndrome, serta kecemasan dan depresi (Loyd & McClellan, 2011).
Berdasarkan patofisiologinya, timbulnya sindrom dispepsia dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor diet dan lingkungan,
sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi
9
viseral lambung, infeksi Helicobacter pylori, dan psikologi (stres)
(Djojongrat, 2014; Rani dkk., 2011; Brun & Kuo, 2010). Kejadian
sindrom dispepsia juga dapat disebabkan atau didasari oleh
berbagai penyakit, baik yang berasal dari lambung, diluar
lambung, ataupun manifestasi sekunder dari penyakit sistemik
(Djojoningrat, 2014). Berbagai penyebab sindrom dispepsia dapat
dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Penyebab Sindrom dispepsia
Sumber : (Djojoningrat, 2014)
Berdasarkan penyebabnya, sindrom dispepsia dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik,
gastritis, batu kandung empedu, dan lain-lain) dan kelompok
penyakit disfungsional (bukan penyakit organik). Dispepsia
fungsional ini dapat ditegakkan bila sarana penunjang diagnostik
tidak dapat menunjukkan adanya gangguan patologik struktural
atau biokimiawi (Djojoningrat, 2014).
Penyebab Sindrom dyspepsia
Esofagogastroduodenal Tukak peptik, gastritis, tumor, dan
sebagainya
Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin,
digitalis, antibiotik, dan sebagainya
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, tumor,
disfungsi sfingter Odii dan sebagainya
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik Diabetes melitus, penyakit tiroid,
gagal ginjal, penyakit jantung
koroner, dan lain-lain
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel
syndrome
10
Ulkus peptikum (dispepsia organik) adalah putusnya kontinuitas
mukosa lambung yang meluas sampai dibawah epitel (Lindseth,
2012). Ulkus peptikum terjadi karena adanya ketidakseimbangan
antara pertahanan mukosa dan asam lumen. Pada orang sehat, asam
lambung dan pepsin tidak akan merusak mukosa lambung karena
terdapat mukus yang melapisinya. Mukus ini mensekresi
bikarbonat yang menjaga pH tetap 7. Prostaglandin dan aliran
darah kapiler lambung merupakan hal yang penting dalam sekresi
mukus dan bikarbonat ini (Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus
peptikum dapat terjadi pada bagian saluran cerna yang terkena
getah asam lambung, yaitu distal esofagus, lambung, duodenum,
setelah gastroenterostomi, jejunum, dekat dengan divertikulum
Meckel atau pada anastomosis usus halus manapun (Lindseth,
2012; Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus peptikum berkaitan erat
dengan usia, riwayat ulkus peptikum dalam keluarga, indeks massa
tubuh, dan merokok (Bernersen et al., 1996).
Dispepsia fungsional adalah suatu kondisi yang sangat umum
dengan prevalensi tinggi di seluruh dunia yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Patofisiologi sindrom
dispepsia telah diselidiki selama dua dekade terakhir (Brun & Kuo,
2010). Dispepsia non-ulkus (dispepsia fungsional) berkaitan
dengan faktor psikologis dan kondisi sosial (Bernersen et al.,
1996). Faktor lainnya yang juga mungkin berperan adalah
11
hipersensitivitas viseral terhadap asam atau dilatasi lambung,
gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang
berkaitan dengan pencernaan, motilitas atau pengosongan lambung
yang lama, diet, dan faktor gaya hidup. Remaja rentan mengalami
dispepsia akibat pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang
kurang baik (Susanti, 2011).
2.1.2. Patofisiologi
Berbagai hipotesis telah banyak diajukan tentang patofisiologi
sindrom dispepsia. Diantaranya yang paling banyak dibicarakan
adalah :
1. Sekresi asam lambung
Umumnya kasus dispepsia memiliki tingkat sekresi asam
lambung yang rata-rata normal (Djojoningrat, 2014). Diduga
adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam sehingga menimbulkan rasa tidak enak diperut (Brun &
Kuo, 2010). Pada kasus dispepsia fungsional karena infeksi
Helicobacter pylori akan menyebabkan peningkatan produksi
gastrin sehingga massa sel parietal lebih banyak memproduksi
asam lambung (Rani dkk., 2011).
2. Infeksi Helicobacter pylori (Hp)
Peran Helicobacter pylori pada patogenesis sindrom dispepsia
masih terus dipelajari. H. pylori diduga menyebabkan
12
inflamasi dan dismotilitas, menginisiasi hipersensitivitas
viseral dan meningkatkan sekresi asam. Pada kejadian sindrom
dispepsia yang disebabkan oleh kelainan organik, seperti tukak
peptikum, infeksi Hp memiliki peranan yang penting (Brun &
Kuo, 2010). Reaksi imun yang timbul terhadap Hp justru
menyebabkan kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang
lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan
menjadi infeksi kronik. Selain itu, Hp yang terkonsentrasi di
antrum juga dapat menyebabkan kerusakan sel-sel D setempat
yang fungsinya untuk menghasilkan somatostatin. Penurunan
somatostatin yang terjadi menyebabkan gastrin (asam
lambung) tidak dapat ditekan sehingga asam lambung
berlebihan dan dapat berlanjut ke duodenum menyebakan
tukak dudodenum (Djojoningrat, 2014).
Sedangkan pada dispepsia fungsional, peran Hp belum
sepenuhnya dimengerti. Dari berbagai laporan, kekerapan Hp
pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda
bermakna dengan angka kekerapan pada orang sehat
(Djojoningrat, 2014; Rani dkk., 2011).
3. Dismotilitas gastrointestinal
Gejala pada dispepsia fungsional dijelaskan sebagai akibat
adanya gangguan motilitas selama dan setelah makan (Brun &
13
Kuo, 2010). Pada 23% kasus menyebutkan bahwa pada
sindrom dispepsia, terutama dispepsia fungsional, terjadi
pengosongan lambung yang lebih lama dan berkorelasi dengan
adanya keluhan mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati
sedangkan pada 40% kasus lainnya ditemukan gangguan
akomodasi lambung waktu makan yang berhubungan dengan
rasa cepat kenyang dan penurunan berat badan (Djojoningrat,
2014). Pengosongan lambung terhadap makanan padat dan cair
melambat pada 23% dan 35% pasien (Sarnelli et al., 2003).
4. Gangguan relaksasi fundus
Makanan yang masuk kedalam lambung akan menyebabkan
relaksasi fundus dan korpus gaster. Pada 40% kasus dispepsia
terjadi penurunan kapasitas relaksasi fundus yang
bermanifestasi dalam keluhan cepat kenyang (Djojoningrat,
2014). Keadaan ini juga yang menyebabkan perbedaan
pengosongan lambung terhadap makanan cair dan padat.
Lambung membutuhkan waktu pengosongan yang normal
untuk makanan cair tapi terjadi perlambatan pengosongan
lambung pada makanan padat (Rani dkk., 2011).
5. Faktor dietetik
Pada kasus sindrom dispepsia terjadi perubahan pola makan,
seperti hanya mampu porsi kecil dan intolerasi terhadap porsi
14
besar, terutama makanan berlemak (Djojoningrat, 2014).
Pasien dengan dispepsia fungsional sering melaporkan gejala
yang dialaminya berkaitan dengan makanan yang dikonsumsi,
namun sebenarnya data mengenai hubungan antara keduanya
masih kontroversial (Brun & Kuo, 2010). Mengonsumsi
makanan berminyak dan berlemak terlalu sering dapat
menyebabkan refluks makanan karena pencernaan menjadi
lambat sehingga makanan membutuhkan waktu yang lebih
lama berada dalam lambung. Hal ini akan mengakibatkan
peningkatan tekanan dalam lumen lambung dan akhirnya
membuat katup antara lambung dan kerongkongan menjadi
lemah sehingga asam lambung dan gas dapat naik (Ettinger
dalam Susanti, 2011). Makanan yang dapat mencetuskan
serangan dispepsia diantaranya adalah buah-buahan, kopi,
alkohol, dan makanan berlemak (Rani dkk., 2011).
6. Psikologi
Adanya stres akut dapat mempengaruhi kejadian sindrom
dispepsia sehingga faktor kognitif dan faktor psikosomatik
juga harus dinilai pada pasien kasus sindrom dispepsia.
Penjelasan antara hubungan faktor psikologik stres, fungsi
otonom, dan motilitas tetap masih kontroversial namun
dilaporkan bahwa terdapat penurunan kontraktilitas lambung
15
yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral
(Djojoningrat, 2014).
7. Peran Kolesistokinin (CCK) dan Sekretin
Hormon kolesistokinin (CCK) meningkat setelah makan dan
bersama dengan Gastrin menginduksi relaksasi gaster dan
menurunkan tekanan intragaster. Komponen lemak dan protein
menstimulus pelepasan hormon ini dari sel I dalam jumlah
yang banyak. Hormon ini menyebabkan pelepasan enzim-
enzim pencernaan dari pankreas dan memperlambat
pengosongan lambung melalui kontraksi pilorus sehingga
nutrien dapat dicerna secara optimal. Pada penderita dispepsia
terjadi peningkatan hormon ini. Sekretin juga memicu
pengosongan lambung yang lambat pada penderita dispepsia.
Sekretin akan disekresi saat duodenum mengalami
pengasaman yang kemudian menstimulus duodenum
memproduksi bikarbonat untuk menetralkan duodenum (Rani
dkk., 2011).
2.1.3. Diagnosis
Diagnosis dispepsia dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria
Rome III, yaitu sebagai berikut :
16
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di
epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk di dalamnya
pemeriksaan endoskopik saluran cerna bagian atas) yang dapat
menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan
terakhir sebelum diagnosis ditegakkan (Djojoningrat, 2014;
Park et al., 2011; Brun & Kuo, 2010).
Dari kriteria tersebut, terdapat batasan waktu yang ditujukan untuk
meminimalisasi kemungkinan penyebab organik. Tidak semua
pasien dilakukan pemeriksaan tambahan, seperti endoskopi, kecuali
jika terdapat tanda-tanda khusus yang disebut dengan alarm sign
atau alarm symptom (Tabel 2).
Tabel 2. Alarm Sign Alarm Sign
Umur >45-50 tahun keluhan muncul pertama kali
Adanya perdarahan hematemesis/melena
BB menurun >10%
Anoreksia/rasa cepat kenyang
Muntah yang persisten
Riwayat tukak peptik sebelumnya
Anemia yang tidak diketahui sebabnya
Massa di abdomen atau limfadenopati
Disfagia yang progresif atau odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
Riwayat keganansan atau operasi saluran cerna sebelumnya
Kuning (Jaundice)
Sumber : (Djojoningrat, 2014)
17
2.2. Stres Kerja
2.2.1. Definisi
Stres kerja merupakan kondisi ketegangan yang dapat
mempengaruhi emosi, jalan dan proses pikir, serta kondisi fisik
seseorang. Stres mengakibatkan seseorang mengalami kelelahan
kerja yang kemudian berlanjut pada kelelahan emosionalnya dan
kelelahan secara fisik (Saragih, 2008). Stres kerja yang
didefinisikan sebagai respon berbahaya dari emosi dan fisik dapat
terjadi ketika tuntutan kerja tidak sesuai dengan kemampuan,
sumber daya atau kebutuhan pekerja. Stres kerja dapat
mengganggu kesehatan dan bahkan menimbulkan cedera (NIOSH,
1999).
Stres merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan
ketegangan emosional yang menghambat performance individu
(Almasitoh, 2011).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja
merupakan suatu kondisi ketegangan yang dapat berpengaruh
terhadap emosional, mental dan kondisi fisik seseorang diakibatkan
adanya ketidakseimbangan antara beban kerja yang ditanggung
dengan kemampuan individu untuk mengatasi beban tersebut.
18
Stres kerja pada perawat dapat diakibatkan oleh bermacam-macam
hal, termasuk dari tugas pokok perawat dan tanggung jawab, beban
kerja yang berat, jenis kepemimpinan, kepuasan kerja yang rendah,
ketidakjelasan peraturan, pengalaman kerja yang kurang, dan
dukungan sosial yang rendah (Suryaningrum, 2015).
2.2.2. Mekanisme Terjadinya Stres
Sebuah penelitian modern oleh Hans Selye berusaha menjelaskan
bahwa stresor lingkungan, seperti suhu, kebisingsan, rasa sakit dan
bahaya dapat menimbulkan general adaptation syndrome yang
direspon oleh tubuh melalui tiga fase: alarm, yang menghasilkan
respon fight or flight; penolakan; dan kelelahan. Jika stresor terus
bertahan akan menyebabkan tubuh menjadi sangat lelah sehingga
menghasilkan kelelahan luar biasa dan penyakit. Akan tetapi, tidak
semua individu terjangkit penyakit meskipun menghadapi stresor
yang sama. Hal tersebut disebabkan karena setiap orang memiliki
respon yang berbeda-beda sesuai fisiologis dan psikologis
tubuhnya (Wade & Tavris, 2007).
Saat seseorang berada dalam stres, hipotalamus akan menstimulus
kelenjar endokrin melalui 2 jalur besar. Jalur pertama, hipotalamus
mengaktifkan sistem saraf simpatis untuk menghasilkan respon
fight or flight, hasilnya adalah pelepasan epinefrin dan norepinefrin
dari medulla adrenal. Jalur kedua, hipotalamus mengativasi aksis
19
HPA (hypothalamus-pituitary-adrenal cortex). Hipotalamus
mengirimkan sinyal ke hipofisis yang selanjutnya diteruskan ke
korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol serta hormon-hormon
lainnya yang meningkatkan gula darah dan melindungi jaringan
tubuh dari peradangan jika terjadi luka. Jika kortisol dan hormon-
hormon lain dibiarkan tetap tinggi dapat membahayakan kesehatan
dan menimbulkan tekanan darah tinggi, gangguan imunitas,
penyakit fisik lain dan masalah emosi (Wade & Travis, 2007).
2.2.3. Dampak Stres Kerja
Stres kerja dapat mempengaruhi setiap orang dengan cara yang
berbeda. Pengalaman stres kerja dapat menyebabkan disfungsi
perilaku yang berkontribusi pada timbulnya kesehatan fisik dan
mental yang buruk, seperti merokok, minum minuman keras, atau
penyalahgunaan obat-obatan (Leka et al., 2003). Stres mengatur
alarm di otak yang berespon dengan mempersiapkan tubuh untuk
aksi pertahanan. Perangsangan sistem saraf dan pelepasan hormon
sehingga mempengaruhi perasaan, mempercepat denyut jantung,
memperdalam pernapasan, dan menegangkan otot merupakan
respon biologi tubuh yang penting dalam melakukan pertahanan
terhadap situasi stres. Jika dibiarkan, stres dapat merusak
pertahanan tubuh sehingga tubuh tidak mampu lagi melawan stres.
Hal ini mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit atau risiko
kecelakaan. Tanda-tanda awal seseorang sedang mengalami stres
20
kerja adalah sakit kepala, gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi,
mudah marah, ganggguan pada pencernaan, ketidakpuasan kerja,
dan moral yang rendah. Selain itu, stres juga dapat mempengaruhi
timbulnya masalah kesehatan yang kronik, seperti gangguan
kardiovaskular, muskuloskeletal, psikologi, bunuh diri, kanker dan
ketidakseimbangan fungsi imun (NIOSH, 1999).
Cox dalam Pramudya (2008) menjelaskan efek stres dapat dibagi
menjadi 2, yaitu :
1. Efek psikologi dan sosial
Efek psikologis stres melibatkan perubahan fungsi kognitif-
perseptual, emosi, dan perilaku, seperti gangguan kebiasaan
tidur dan makan, serta penggunaan alkohol. Perilaku lain
seperti perilaku seksual juga dapat terganggu akibat stres dan
karena terganggu maka dapat menjadi penyebab sekunder dari
stres. Selain itu, perilaku sosial dan relasi interpersonal dapat
terganggu akibat stres, kemungkinan disebabkan karena
terjadinya perubahan dasar psikologis, contohnya: iritabel,
attention span, dan perubahan memori.
2. Efek fisiologik dan fisik
Adrenalin dan kortisol diketahui sebagai hormon stres karena
kadar kedua hormon tersebut secara konsisten meningkat
sebagai respon terhadap stres. Peningkatan jangka panjang
kadar adrenalin dan kortisol mempunyai konsekuensi terhadap
21
kesehatan khususnya pada sistem kardiovaskular. Hampir
semua kondisi fisik manusia dapat dipengaruhi oleh stres.
Namun yang paling rentan terhadap stres adalah sistem
kardiorespirasi (contoh: penyakit jantung koroner dan asma),
sistem imun (contoh: rheumatoid arthritis, dan kemungkinan
beberapa jenis kanker), sistem gastrointestinal (contoh: ulkus
peptikum), dan sistem muskular.
2.2.4. Tahapan Stres
Dalam Sunaryo (2004) disebutkan bahwa tahapan stres terbagi
menjadi 6, yaitu:
1. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai
dengan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu
menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang
dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.
2. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti
bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat
menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks,
lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung
berdebar, tegang pada otot tengkuk dan punggung. Hal tersebut
karena cadangan tenaga tidak memadai.
3. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan, seperti defekasi
tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang,
emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali
22
(middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali
(late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh
pingsan.
4. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan,
seperti tidak mau bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas
pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respons tidak adekuat,
kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak
ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul
ketakutan dan kecemasan.
5. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan
kelelahan fisik dan mental (physical and psychological
exhaustion), ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang
sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat,
meningkatnya rasa takut, cemas, bingung, dan panik.
6. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan
tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan
gemetar, dingin, banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan
atau kolaps.
2.2.5. Penyebab Stres
Setiap individu dapat merasakan ketidaknyamanan saat
menghadapi suatu kondisi. Setiap pengalaman dan situasi yang
penuh dengan tekanan disebut sebagai stresor. Beberapa stresor
kronis dapat meningkatkan risiko terjadinya suatu penyakit,
23
diantaranya adalah masalah pekerjaan, kebisingan, kemiskinan,
ketidakberdayaan, diskriminasi, status rendah, duka dan kehilangan
(Wade & Tavris, 2007).
Salah satu organisasi pekerja di dunia, yaitu National Institute for
Occupational Safety and Health atau NIOSH (1999) telah membuat
acuan untuk identifikasi stres kerja dimana kondisi kerja, faktor
non-pekerjaan, faktor individu, dan juga faktor dukungan
merupakan penyebab stres. Menurut Sheridan dan Radmacher
dalam Almasitoh (2011), terdapat tiga faktor penyebab stres kerja,
yaitu lingkungan, organisasi, dan individu. Faktor lingkungan yang
berperan menyebabkan stres adalah ketidakpastian lingkungan,
seperti ketidakpastian situasi ekonomi, ketidakpastian politik, dan
perubahan teknologi. Faktor organisasi berperan langsung
mempengaruhi kinerja individu yang terlibat didalamnya.
Sedangkan faktor individu merupakan faktor yang berasal dari
kehidupan pribadi individu di luar pekerjaan, seperti masalah
keluarga dan ekonomi.
Penyebab stres dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam
kehidupan, seperti kematian, perceraian, pensiun, luka batin,
dan kebangkrutan.
24
2. Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari,
seperti pertengkaran rumah tangga, beban pekerjan, masalah
pangan, dll (Sunaryo, 2004).
Notoatmodjo (2007) juga membagi faktor-faktor yang sering
menyebabkan stres menjadi 2, yaitu:
1. Faktor internal, yakni yang berasal dari dalam diri pekerja itu
sendiri, misalnya kurangnya percaya diri dalam melakukan
pekerjaan, kurangnya kemampuan atau keterampilan dalam
melakukan pekerjaan, dan sebagainya.
2. Faktor eksternal, yakni faktor lingkungan kerja. Lingkungan
kerja ini mencakup lingkungan fisik (tempat kerja yang tidak
higienis, kebisingan yang tinggi, dll) dan lingkungan
sosial/masyarakat kerja (pimpinan yang otoriter, persaingan
kerja yang tidak sehat, dll).
2.2.6. Pengukuran Stres Kerja
Dalam Felix (2008) disebutkan bahwa pengukuran stres kerja dapat
dilakukan dengan 4 cara, yaitu :
1. Self Report Measure
Pengukuran ini dapat dilakukan dengan survei atau kuesioner,
wawancara mengenai pengalaman, perasaan, atau sikap
seseorang.
25
2. Behavioral Measure
Pengukuran ini melibatkan pengukuran actual behavior.
Peneliti menilai persistensi subyek dalam melaksanakan tugas
dan penurunan performa dalam keadaan stressfull berdasarkan
kesalahan yang dilakukan.
3. Medical Measure
Mengukur indeks aktivasi sistem saraf simpatis, seperti
pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, dan ketegangan
otot. Tekanan darah dan denyut jantung adalah pengukuran
yang paling sering dilakukan.
4. Biochemical Measure
Pengukuran ini dilakukan dengan mengukur kadar katekolamin
dan kortisol dalam darah.
2.3. Pola Makan
2.3.1. Definisi
Margaret Mead, seorang ahli Antropologi, mengemukakan bahwa
pola pangan atau food pattern merupakan cara seseorang atau
sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai
reaksi terhadap tekanan ekonomi dan sosio-budaya yang
dialaminya. Pola pangan ini berkaitan dengan kebiasaan makan
(food habit). Aspek sosial budaya pangan yang dimaksud adalah
fungsi pangan yang berkembang di masyarakat sesuai dengan
26
keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan
masyarakat tersebut (Almatsier, 2010).
Pola makan merupakan tingkah laku manusia dalam memenuhi
kebutuhan makan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan
makanan. Seseorang dapat bersikap positif atau negatif terhadap
makanan tergantung nilai-nilai afektif yang berasal dari lingkungan
tempat manusia tersebut tumbuh sedangkan kepercayaan terhadap
makanan berkaitan dengan nilai-nilai kognitif, yaitu kualitas baik
atau buruk, dan menarik atau tidak (Khumaidi dalam Dwigint,
2015).
Suhardjo menjelaskan bahwa kebiasaan makan atau pola makan
adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan
makanan seperti tata krama, frekuensi makan seseorang, pola
makanan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam
anggota keluarga, preferensi terhadap makanan, dan cara pemilihan
bahan pangan (Susanti, 2011). Secara umum, pola pangan terdiri
dari makanan pokok, lauk, sayuran, dan buah-buahan. Di
Indonesia, yang sebagian besar penduduknya adalah petani, masih
menitikberatkan sebagian besar konsumsinya pada makanan pokok,
berupa beras, jagung, umbi-umbian (terutama singkong dan ubi
jalar), dan sagu. Jenis bahan makanan pokok yang ditanam di suatu
daerah bergantung dari iklim dan keadaan tanah (Almatsier, 2010).
27
2.3.2. Pengukuran Konsumsi
Berdasarkan jenis data yang diperoleh, pengukuran konsumsi dapat
dilakukan dengan survei konsumsi melalui: 1) metode kualitatif,
yaitu dengan metode dietary history, metode pendaftaran makanan
(food list), metode frekuensi makanan (food frequency), dan
metode telepon; 2) metode kuantitatif dengan metode recall 24
jam, perkiraan makanan (estimated food records), metode
inventaris (inventory method), metode food account, penimbangan
makanan (food weighing), dan pencatatan (household food record);
dan 3) metode kualitatif dan kuantitatif dengan metode riwayat
makan (dietary history) dan metode recall 24 jam (Supariasa dkk.,
2001). Pengkajian asupan makanan memberikan tantangan yang
cukup besar sebab selama satu minggu seseorang memiliki
kecenderungan untuk mengonsumsi berbagai jenis makanan dalam
porsi yang berbeda-beda sehingga menyulitkan individu tersebut
untuk melaporkan asupan makanannya (Gibney et al., 2008).
Penilaian status gizi perseorangan dapat dilakukan melalui berbagai
metode, yaitu dengan ingatan pangan (recall) 24 jam, kuesioner
frekuensi pangan, riwayat pangan, catatan pangan, pengamatan,
penimbangan makanan, dan estimated food records (Arisman,
2009; Supariasa, 2001).
28
Setiap metode pengukuran konsumsi memiliki kelemahan dan
kelebihan masing-masing sehingga penting untuk memperhatikan
faktor-faktor dalam memilih metode pengukuran, salah satunya
adalah tujuan pengamatan. Metode penimbangan makanan lebih
tepat bila bertujuan untuk memperoleh angka akurat mengenai
jumlah zat gizi yang dikonsumsi disertai jumlah sampel yang kecil.
Bila tujuannya hanya untuk menentukan jumlah konsumsi rata-rata
dari sekelompok responden, maka dapat menggunakan metode
recall 24 jam atau penimbangan selama satu hari sedangkan
metode frekuensi makanan (Food Frequency Questionnaire) lebih
cocok digunakan jika suatu pengamatan bertujuan untuk
mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi dari sekelompok
masyarakat (Supariasa, 2001).
Ingatan pangan (recall) 24 jam dilakukan dengan meminta
responden mengingat kembali dan mencatat jumlah serta jenis
makanan dan minuman yang telah dikonsumsinya dalam 24 jam
terakhir. Dalam pelaksanaannya dapat dipandu oleh pewawancara
terlatih, seperti ahli gizi atau orang yang mengerti tentang pangan
dan gizi secara baik (Arisman, 2009). Pengukuran dengan metode
ini kurang menggambarkan kebiasaan makan individual jika hanya
dilakukan sekali sehingga dianjurkan untuk dilakukan minimal 2
kali yang dilakukan pada hari berbeda dan tidak berurutan
(Supariasa, 2001).
29
Metode frekuensi makanan digunakan untuk memperoleh data
kuantitatif tentang frekuensi konsumsi makanan selama periode
tertentu (minggu, bulan, atau tahun) (Gibney, 2008; Supariasa,
2001). Responden diminta melaporkan frekuensi makan yang lazim
berdasarkan daftar makanan dalam periode tertentu. Metode ini
murah, cocok untuk diterapkan pada kelompok besar yang
asupannya bervariasi setiap hari, dan mudah didistribusikan.
(Arisman, 2009). Keterbatasan metode ini terletak pada
pertanyaannya yang tertutup, daftar produk makanan yang terbatas,
pengisian kuesioner hanya mengandalkan ingatan responden,
responden malas mengisi lengkap, dan tidak dapat memberikan
data kuantitatif tentang asupan pangan (Arisman, 2009; Gibney et
al., 2008).
2.4. Hubungan Keteraturan Pola Makan dan Sindrom Dispepsia
Salah satu penyebab sindrom dispepsia adalah faktor diet dan lingkungan
(Djojoningrat, 2014). Pola makan ditemukan memiliki pengaruh terhadap
dispepsia fungsional. Pola makan yang tidak teratur mungkin menjadi
predisposisi timbulnya gejala gastrointestinal yang menyebabkan hormon-
hormon gastrointestinal tidak teratur sehingga akan mengakibatkan
terganggunya motilitas gastrointestinal (Haapalahti dkk; 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Sorongan dkk. (2013) terhadap siswa SMA
dan hasilnya menunjukkan bahwa dari 220 sampel penelitian terdapat 115
30
orang yang positif sindrom dispepsia dan 71 diantaranya memiliki pola
makan yang tidak teratur. Berdasarkan hasil penelitian, responden dengan
pola makan yang tidak teratur berisiko 6,8 kali lebih tinggi mengalami
sindrom dispepsia.
Frekuensi makan yang tidak teratur, jumlah makan yang tidak sesuai, dan
jeda makan yang terlalu lama dapat mencetuskan sindrom dispepsia. Jika
proses ini terlalu lama, maka produksi asam lambung akan berlebihan
sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung dan menimbulkan keluhan
berupa mual (Sorongan, 2013). Produksi asam lambung dirangsang secara
bertahap oleh faktor intestinal, lambung, dan neural. Asupan makan dan
penurunan kadar glukosa otak dapat memicu reflek sekresi asam lambung.
Reflek ini juga dapat diaktifkan melalui indera penglihatan, penciuman, dan
pengecapan (Despopoulos & Silbernagl, 2003). Fase sefalik dari sekresi
lambung berlangsung bahkan sejak makanan sedang dikonsumsi. Fase ini
timbul akibat melihat, mencium, membayangkan, atau mencicipi makanan
sehingga sinyal neurogenik dari korteks serebri dan pusat nafsu makan
(amigdala dan hipotalamus) ditransmisikan ke lambung melalui nervus
vagus untuk selanjutkan mencetuskan sekresi asam lambung (Guyton,
2007).
2.5. Hubungan Stres dan Sindrom dispepsia
Pada tahun 1950-an, Harold Wolff mengamati bahwa saluran
gastrointestinal tampak berhubungan dengan keadaan emosional tertentu.
31
Sebelumnya, ahli bedah militer Amerika bernama William Beaumont,
memiliki pasien yang mendapatkan luka akibat tembakan hingga
menyebabkan fistula lambung yang permanen. Beaumont kemudian
mencatat setiap keadaan emosional yang sangat hebat, mukosa lambung
dapat menjadi hiperemik atau memucat, yang menunjukkan bahwa aliran
darah ke lambung dipengaruhi oleh emosi (Sadock & Sadock, 2012).
Penelitian Lee et al. (2015) menunjukkan bahwa stres dan depresi
merupakan faktor risiko bebas terhadap dispepsia fungsional (OR, 1.713;
95% CI, 1.526-1.923; P<0.001 dan OR, 1.984; 95% CI, 1.705-2.309;
P<0.001). Tingkat insidensi dispepsia fungsional meningkat sesuai dengan
peningkatan stres dan depresi yang dialami oleh responden. Penelitian lain
oleh Khotimah (2012) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
tingkat stres dengan sindrom dispepsia (p=0,009).
Ulkus lambung (dispepsia organik) mengacu pada ulserasi mukosa yang
meliputi lambung bagian distal atau duodenum bagian proksimal. Studi-
studi awal mengenai penyakit ulkus lambung mengesankan bahwa faktor
psikologis memiliki peranan di dalam terbentuknya kerentanan ulkus,
diperantarai melalui peningkatan sekresi asam lambung yang disebabkan
oleh stres psikologis. Studi pada tawanan perang selama Perang Dunia II
mendokumentasikan angka pembentukan ulkus lambung dua kali lebih
tinggi daripada kontrol. Faktor psikososial dapat terlibat di dalam ekspresi
32
klinis gejala, mungkin mengurangi respon imun, yang menimbulkan
kerentanan terhadap infeksi H. pylori (Sadock & Sadock, 2012).
Pengaruh stres terhadap sindrom dispepsia diduga muncul akibat interaksi
antara otak dan usus. Corticotropin Releasing Hormone (CRH), mediator
utama dari respon stres pada brain-gut axis, dapat meningkatkan
permeabilitas usus sehingga memicu terjadinya dispepsia fungsional. Selain
itu, serotonin dan serotonin transporter, yang membantu modulasi dari
perasaan dan perilaku seperti ansietas dan depresi, dapat dihubungkan
dengan fungsi otak-usus pada gangguan pencernaan fungsional (Lee et al.,
2015).
2.6. Kerangka Teori
Sindrom dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya faktor
diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, infeksi Helicobacter
pylori, gangguan dismotilitas, dan psikologi (stres) (Djojoningrat, 2014).
Menurut Manuaba dalam Suryaningrum (2015), tingkat stres kerja pada
perawat dapat dipengaruhi oleh beban kerja.
Selain itu, Susanti (2011) mengatakan bahwa faktor diet yang meliputi pola
makan yang tidak teratur juga dapat memicu timbulnya gejala dispepsia
karena lambung menjadi sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung
menjadi tidak terkontrol. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh
Dwigint (2015) yang menunjukkan bahwa kepadatan aktivitas dapat
33
mempengaruhi pola makan yang pada akhirnya mampu meningkatkan risiko
untuk terjadinya sindrom dispepsia. Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan melalui kerangka teori penelitian sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Teori Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan Makan
dengan Sindrom Dispepsia
Beban Kerja
Keteraturan
Makan
Sekresi Asam
Lambung
Psikologis (Stres)
Sindrom Dispepsia
Infeksi Helicobacter
pylori
Gangguan
Relaksasi Fundus
Dismotilitas
Gastrointestinal
34
2.7. Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan
keteraturan makan dengan kejadian sindrom dispepsia. Variabel independen
dari penelitian ini adalah stres kerja dan keteraturan makan sedangkan
variabel dependen adalah sindrom dispepsia. Kerangka penelitian ini dapat
dilihat pada gambar berikut ini :
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 2. Kerangka Konsep Hubungan antara Stres Kerja dan Keteraturan
Makan dengan Sindrom Dispepsia
2.8. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Terdapat hubungan antara stres kerja dengan kejadian sindrom dispepsia
pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.
2. Terdapat hubungan antara keteraturan makan dengan kejadian sindrom
dispepsia pada perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.
1. Stres kerja
2. Keteraturan Makan
Sindrom Dispepsia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi cross-
sectional.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek
Bandar lampung yang berlangsung sejak bulan Oktober sampai dengan
November 2016.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di Instalasi
Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung yang
berjumlah 195 orang.
3.3.2. Sampel
Pemilihan subjek dilakukan dengan menggunakan metode
purposive sampling dan menyatakan bersedia untuk menjadi
36
sampel penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan
(informed consent). Besar sampel ditentukan dengan rumus Slovin
sebagai berikut :
Keterangan :
n = Besar Sampel
N = Jumlah Populasi (N = 195)
d = Tingkat Kepercayaan (5%)
Untuk mencegah terjadinya drop out, maka dilakukan penambahan
sampel sebanyak 10% dengan asumsi bahwa penelitian ini
memiliki peluang drop out sebanyak 13 sampel. Jadi, besar sampel
keseluruhan yang dipilih sebanyak 144 sampel dengan kriteria
sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
1. Perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Moeloek.
2. Telah bekerja minimal selama 3 bulan pada saat
pengambilan data.
37
3. Menyatakan bersedia untuk menjadi sampel penelitian
dengan menandatangani lembar persetujuan (informed
consent).
b. Kriteria Ekslusi :
1. Memiliki riwayat gangguan gastrointestinal yang masuk ke
dalam alarm sign (penurunan berat badan, timbulnya
anemia, melena, muntah yang prominen, dll).
2. Tidak hadir saat penelitian dilakukan (cuti, izin, alfa, rotasi
kerja, dll).
3.4. Variabel Penelitian
3.4.1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah stres kerja dan
keteraturan makan.
3.4.2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sindrom dispepsia.
38
3.5. Definisi Operasional Variabel
Tabel 3. Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Hasil Ukur Skala
1. Stres Kerja Kondisi ketegangan
yang mempengaruhi
emosi, mental, serta
kondisi fisik seseorang
(Saragih, 2008).
1. Tidak stres
(skor ≤ 1,5)
2. Stres
(skor > 1,5)
(Pramudya, 2008)
Nominal
2. Keteraturan
Makan
Perilaku yang berkaitan
dengan pola kebiasaan
dan frekuensi makan
seseorang (Susanti,
2011).
1. Teratur
(skor 0-16)
2. Tidak Teratur
(skor 17-33)
(Dwigint, 2015)
Nominal
3. Sindroma
Dispepsia
Satu/lebih keluhan
berupa rasa penuh
setelah makan, cepat
kenyang, nyeri dan rasa
terbakar di ulu hati/
epigastrium tanpa
kelainan struktural yang
terjadi selama 3 bulan
dalam waktu 6 bulan
sebelum diagnosis
ditegakkan (Kriteria
Rome III dalam
Djojoningrat, 2014)
1. Negatif
(jika terdapat
jawaban “tidak”
pada semua
pertanyaan)
2. Positif
(jika terdapat 1
jawaban “ya”
pada pertanyaan
1-4 atau 2/lebih
jawaban “ya”
pada semua
pertanyaan)
Nominal
3.6. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data sekunder diperoleh dari pihak rumah sakit berkaitan tentang
daftar dan jumlah perawat Instalasi Rawat Inap yang ada di RSUD Abdul
Moeloek sedangkan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sampel penelitian (responden) melalui pengisian kuesioner.
39
Kuesioner terdiri dari identitas responden (nama, usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, masa kerja, riwayat penyakit saluran cerna), kuesioner riwayat
penyakit responden (10 item), kuesioner keteraturan makan (11 item),
kuesioner sindrom dispepsia (7 item) dan kuesioner stres kerja (19 item).
Kuesioner riwayat penyakit responden, keteraturan makan dan sindrom
dispepsia diadopsi dari penelitian Dwigint (2015) tentang hubungan pola
makan terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa S1 Kedokteran Unila
sedangkan kuesioner stres kerja diadopsi dari penelitian Pramudya (2008)
tentang stres kerja pada perawat di RSKO. Kuesioner-kuesioner tersebut
kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu sebelum
digunakan pada penelitian ini.
Kriteria penilaian kuesioner adalah sebagai berikut :
a. Kuesioner Stres Kerja
Kuesioner terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi atas 3 indikator yaitu,
kognitif, emosi, dan fisik pada individu yang mengalami stres. Terdapat
4 pilihan jawaban untuk setiap pertanyaan, yaitu tidak pernah (skor 0),
jarang (skor 1), kadang-kadang (skor 2), dan sering (skor 3). Interpretasi
hasil diperoleh dengan membagi antara total skor dari seluruh indikator
dengan jumlah seluruh pertanyaan pada kuesioner. Bila hasilnya >1,5
maka responden dikatakan stres sedangkan bila ≤1,5 maka dikatakan
tidak stres (Pramudya, 2008).
40
b. Kuesioner Keteraturan Makan
Kuesioner ini terdiri dari 11 item pertanyaan dengan menggunakan skala
likert. Pertanyaan nomor 1-10 adalah pertanyaan positif sedangkan
pertanyaan nomor 11 adalah pertanyaan negatif. Nilai tertinggi untuk
setiap pertanyaan adalah 3 dan nilai terendah adalah 0. Hasil ukur
kuesioner dikatakan pola makan teratur apabila jumlah skor 0-16
sedangkan tidak teratur apabila jumlah skor 17-33 (Dwigint, 2015).
c. Kuesioner Sindrom Dispepsia
Kuesioner ini berisi 7 item pertanyaan dengan 2 pilihan jawaban (ya
atau tidak) dan pembuatannya mengacu pada Kriteria Rome III. Positif
sindrom dispepsia apabila terdapat jawaban “ya” pada 1 atau lebih
pertanyaan 1-4 ataupun 2 atau lebih dari seluruh pertanyaan dan negatif
apabila terdapat jawaban “tidak” pada seluruh pertanyaan (Dwigint,
2015).
3.6.1. Uji validitas dan Reliabilitas
Kuesioner keteraturan makan, stres kerja, dan sindrom dispepsia
telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu
sebelum digunakan. Uji ini dilakukan dengan membagikan
kuesioner ke 30 responden yang memiliki karakteristik sama
dengan responden. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan
uji analisis menggunakan program statistik dan didapatkan hasil
nilai r hitung > r tabel (0,3061) pada setiap item pertanyaan
41
yang diuji. Analisis reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai
Cronbach’s Alpha. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas ini
didapatkan 37 pertanyaan tervalidasi dan nilai reliabilitasnya
baik, yaitu 0,909. Kuesioner dengan 37 pertanyaan tervalidasi
terdiri dari 11 pertanyaan pada kuesioner keteraturan makan, 7
pertanyaan pada kuesioner sindrom dispepsia, dan 19
pertanyaan pada kuesioner stres kerja.
3.7. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah semua data terkumpul. Tahap pertama
adalah melakukan editing terhadap data yang tersedia. Pada tahap ini,
peneliti memeriksa data responden dan memastikan bahwa seluruh
pertanyaan dalam kuesioner telah terisi serta sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi. Tahap kedua adalah coding, yaitu memberikan kode-kode
untuk data-data tertentu agar memudahkan tabulasi dan analisa data. Tahap
ketiga adalah entry atau memasukkan data ke komputer untuk selanjutnya
dilakukan pengolahan data dengan teknik komputerisasi.
3.8. Analisis Data
3.8.1. Analisis Univariat
Analisis ini bertujuan untuk menganalisis setiap variabel penelitian
berupa distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti.
Analisis dilakukan menggunakan program statistik untuk
mengetahui distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis
42
kelamin, tingkat pendidikan, keteraturan makan, stres kerja, dan
kejadian sidrom dispepsia.
3.8.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
variabel bebas (stres kerja dan keteraturan makan) dengan variabel
terikat (sindrom dispepsia). Kedua jenis variabel pada penelitian ini
sama-sama menggunakan skala kategorik. Oleh karena itu, uji
analisis dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square jika syarat
terpenuhi dengan nilai α=5% atau 0,05. Syarat uji Chi Square adalah
jumlah sel yang mempunyai nilai expected <5 maksimal sebanyak
20% dari jumlah sel yang ada. Jika tidak terpenuhi maka akan
digunakan uji alternatif Fisher. Berdasarkan uji analisis yang telah
dilakukan menggunakan program statistik diperoleh hasil 0% sel
yang memiliki nilai expected <5 sehingga syarat untuk penggunaan
uji Chi-Square pada penelitian ini terpenuhi.
3.9. Alur Penelitian
Alur penelitian ini sebagai berikut :
43
Gambar 3. Alur Penelitian
3.10. Etika Penelitian
Penelitian ini telah diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung dan telah mendapat surat keterangan lolos
kaji etik dengan nomor 454/UN26.8/DL/2017.
PERSIAPAN
PELAKSANAAN
PENGOLAHAN
DATA
Pembuatan Proposal dan
Perizinan Etik
Survei Pendahuluan terkait
jumlah populasi dan
karakteristik lokasi penelitian
Uji validitas dan reliabilitas
kuesioner
Tidak valid
Penjelasan maksud dan tujuan
penelitian serta pengisian
Informed Consent
Penyebaran kuesioner
Pengolahan dan Analisa Data
Interpretasi Data
Tidak Setuju Setuju
Valid
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Responden yang mengalami stres kerja sebanyak 36,8% sedangkan
yang tidak mengalami stres kerja sebanyak 63,2%.
2. Responden yang memiliki keteraturan makan 85,4% sedangkan yang
tidak memiliki keteraturan makan sebanyak 14,6%.
3. Responden yang menderita sindrom dispepsia sebanyak 34%
sedangkan yang tidak menderita sindrom dispepsia sebanyak 66%.
4. Terdapat hubungan antara stres kerja dengan sindrom dispepsia dan
seseorang yang mengalami stres kerja 3,257 kali lebih berisiko
menderita sindrom dispepsia dibandingkan yang tidak mengalami
stres kerja.
5. Terdapat hubungan antara keteraturan makan dengan sindrom
dispepsia dan seseorang yang memiliki ketidakteraturan makan 3,099
kali lebih berisiko menderita sindrom dispepsia dibandingkan yang
memiliki keteraturan makan.
65
5.2. Saran
1. Peneliti menyarankan kepada para perawat agar tetap memperhatikan
keteraturan dan asupan makan serta tingkat stres yang dialami.
2. Peneliti menyarankan kepada institusi/ rumah sakit untuk memberikan
informasi tentang manajemen stres kerja yang baik melalui seminar
atau pelatihan khusus serta memperhatikan dan mengendalikan faktor-
faktor risiko yang dapat memicu terjadinya stres kerja, terutama dari
lingkungan kerja perawat.
3. Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat meneliti
lebih lanjut mengenai pola asupan makanan, kebiasaan mengonsumsi
makanan dan minuman iritatif, serta faktor-faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi tejadinya sindrom dispepsia. Peneliti juga
menyarankan sebaiknya digunakan metode wawancara atau peneliti
ikut serta secara langsung dalam pengambilan data agar menghindari
hilangnya atau kurangnya informasi yang ingin diperoleh dari
responden.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Ade M. 2014. Hubungan Antara Keteraturan Makan, Dispepsia, dan Konsentrasi
Belajar pada Siswa Farmasi [Tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Al-Homayan AM, Shamsudin FM, Subramaniam C, & Islam R. 2013. Impact of
Job Demands on Nurses Performance Working in Public Hospital. American
Journal of Applied Sciences. hlm.1050-60.
Almatsier S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
hlm 283-5.
Almasitoh UH. 2011. Stres Kerja Ditinjau dari Konflik Peran Ganda dan
Dukungan Sosial pada Perawat. JPI. Lembaga Penelitian Pengembangan dan
Keislaman (LP3K). 8(1)
Annisa. 2009. Hubungan Ketidakteraturan Makan dengan Sindroma DIspepsia
Remaja Perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan [Skripsi]. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Anggraeni SD. 2015. Hubungan antara Body Image dengan Frekuensi Makan,
Jenis Makanan dan Status Gizi Remaja Putri di SMA Negeri 7 Surakarta
[Skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi Edisi 2.
Jakarta: EGC. hlm: 205-12.
Bernersen B, Johnsen R, & Straume B. 1996. Non-ulcer Dyspepsia and Peptic
Ulcer: The Distribution in a Population and Their Relation to Risk Factors.
67
Gut. 38(6): 822-5.
Brun R & Kuo B. 2010. Functional Dyspepsia. Journal of Therapeutic Advances
in Gatroenterology. 3(3): 145-64.
Dehghanizade Z, Zargar Y, Honarmand MM, Kadkhodaie A, Baygi ME. 2015.
The Effectiveness of Cognitive Behavior Stress Management on Functional
Dyspepsia Symptoms. JAMP. 3(2): 45-9.
Despopoulos A & Silbernagl S. 2003. Color Atlas of Physiology. 5th Edition.
Newyork: Georg Thieme Verlag. hlm 242.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Lampung
Tahun 2012. Profil Kesehatan Lampung.
Dwigint S. 2015. Hubungan Pola Makan Terhadap Sindrom Dispepsia pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung [Skripsi]. Bandar
Lampung:Universitas Lampung.
Djojoningrat D. 2014. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi
I, Simadirata M, Setiyohadi B, Syam AF, Editor. Buku Ajar: Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm 1805-10.
El-Aziz AMA, Sharkawy SA, Yousef YE. 2014. Relationship between Stress and
Eating Habits among Nursing Students in Assiut. Med J Cairo Univ. 82(2):
47-55.
Emmanuel A & Inns S, 2014. Lecture Notes: Gastroenterologi dan Hepatologi.
Jakarta: Erlangga. hlm 97.
European Agency For Safety And Health At Work. 2009. European Observatory
Report. Luxembourg: EASHW.
Gelsema TI, Doef MVD, Maes S, Janssen M, & Akerboom S. 2006. A
Longitudinal study of Job stres in the nursing profession: Causes and
consequences. Journal of Nursing Management. 14(4): 289-299. Tersedia
dari: http://onlinelibrary.wiley.com/wol1/doi/10.1111/j.1365-
2934.2006.00635.x/full
68
Ghoshal UC, Singh R, Chang FY, Hou X, Wong BCY, & Kachingtorn U. 2011.
Epidemiology of Uninvestigated and Functional Dyspepsia in Asia: Facts and
Fiction. JNM. 17(3): 235-44.
Gibney MJ, Margetss BM, Kearney JM, Arab L. 2008. Gizi Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: EGC. hlm 82-92.
Guyton AC & Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-11.
Jakarta: EGC. hlm: 836-40.
Haapalahti M, Mykkanen H, Tikkanen S, Kokkonen J. 2004. Food habits in 10–
11-year-old children with functional gastrointestinal disorders. EJCN Clinical
Nutrition. 58:1016–1021.
Haryanti, Aini F, Purwaningsih P. 2013. Hubungan antara Beban Kerja dengan
Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kabupaten Semarang.
Jurnal Managemen Keperawatan. 1(1). hlm. 48–56.
Hu WHC, Wong WM, , Lam CLK, Lam KF, Hui WM, Lai KC, et al. 2002.
Anxiety but not depression determines health care-seeking behaviour in
Chinese patients with dypepsia and irritable bowel syndrome: a population-
based study. AP&T.16(12): 2081–2088.
Idawati. 2014. Hubungan antara Beban Kerja, Stres Kerja, Kepuasan Kerja,
dengan Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Moeloek Bandar Lampung [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Ikrimadhani T. 2015. Perbedaan Tingkat Stres Kerja antara Shift Pagi, Sore, dan
Malam pada Perawat Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Banyudono
Boyolali [Naskah Publikasi Skripsi]. Fakultas Ilmu Keperawatan: Universitas
Muhammadiya Surakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Profil
Kesehatan Indonesia. Tersedia dari:http://doi.org/10.1073/pnas.0703993104
Keshteli AH, Feizi A, Esmaillzadeh A, Zaribaf F, Feinle-Bisset C, Talley NJ, et
al. 2015. Patterns of Dietary Behaviours Identified by Latent Class Analysis
69
are Associated with Chronic Uninvestigated Dyspepsia. British Journal of
Nutrition. 113: 803-812.
Khotimah N. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sindroma
Dispepsia Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
[Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Koh SJ, Kim M, Oh DY, Kim BG, Lee KL, Kim JW. 2014. Psychosocial Stress
in Nurses with Shift Work Schedule is Associated with Functional
Gastrointestinal Disorders. JNM. 20(4): 516-22.
Kumar A, Patel J, Sawant P. 2012. Epidemiology of Functional Dyspepsia. JAPI.
60: 9-12.
Lee SP, Sung IK, Kim JH, Lee SY, Park HS, Shim CS. 2015. The Effect of
Emotional Stress and Depression on the Prevalence of Digestive Diseases.
JNM. 21(2):273-82.
Leka S, Griffiths A, Cox T. 2003. Work Organisation and Stress : systematic
Problem Approaches for Employers, Managers, and Trade Union
Representatives. Nottingham: University of Nottingham. hlm: 8-9.
Lindseth GN. 2012. Gangguan Lambung dan Duodenum. Dalam: Hartanto H.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Ke-6. Jakarta:
EGC. hlm: 371-86.
Loyd RA & McClellan DA. 2011. Update on the Evaluation and Management of
Functional Dyspepsia. American Family Physician. 83(5): 548-52. Tersedia
dari: http://www.aafp.org/afp/2011/0301/p547.html
Mapel D, Roberts M, Overhiser A, & Mason, A. 2013. The Epidemiology,
Diagnosis, and Cost of Dyspepsia and Helicobater pylori Gastritis: A Case-
Control Analysis in the Southwestern United States. Helicobacter. 18(1): 54–
65. Tersedia dari : http://doi.org/10.1111/j.1523-5378.2012.00988.
National Institute for Occupational Safety and Health. 1999. Stress At Work.
NIOSH. 99-101. Tersedia dari : http://www.cdc.gov/niosh/docs/99-101/
70
Nikmah M. 2015. Hubungan Tingkat Stres dengan Gejala Gangguan Pencernaan
pada Santriwati Pondok Pesantresn Sirojul Mukhlasin II Payaman Magelang
Tahun 2015 [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Notoatmodjo S. 2007. Ilmu kesehatan masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta. hlm:
216-8.
Park JM, Choi MG, Cho YK, Lee IS, Kim JI, Kim SW, et al. 2011. Functional
Gastrointestinal Disorders Diagnosed by Rome III Questionnaire in Korea.
JNM. 17(3):279-86
Phiri LP, Draper CE, Lambert EV, Alexander LK. 2014. Nurses’ Lifestyle
Behaviours, Health Priorities and Barriers to Living a Healthy Lifestyle: a
Qualitative Descriptive Study. BMC Nursing. 13 (38): 1-11.
Pramudya F. 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja (Studi Kasus
pada Perawat di RSKO Tahun 2008) [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Rani AA, Simadibrata M, Syam AF, Penyunting. 2011. Buku Ajar
Gastroenterologi. Edisi 1. Jakarta: Interna Publishing. hlm: 131-42.
Rulianti MR, Almasdy D, Murni AW. 2013. Hubungan Depresi dan SInrom
Dispepsia pada Pasien Penderita Keganasan yang Menjalani Kemoterapi di
RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3): 137-40.
Sadock BJ & Sadock VA. 2012. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi Ke-2. Jakarta:
EGC. hlm: 389-90.
Saragih H. 2008. Pengaruh Karakteristik Organisasional dan Individual tehadap
Sres Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Porsea
[Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sarnelli G, Caenepel P, Geypens B, Janssens J, Tack J. 2003. Symptoms
Associated with Impaired Gastric Emptying of Solids and Liquids in
Functional Dyspepsia. Am J Gastroenterol. 98(4): 783-8.
71
Sorongan IM, Pangemanan DHC, Untu FM. 2013. Hubungan Antara Pola Makan
dengan Kejadian Sindroma Dispepsia pada Siswa-Siswi Kelas di SMA
Negeri 1 Manado. E-journal keperawatan. 1(1). hlm 1-6.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. hlm. 213-9.
Tersedia dari:
https://books.google.co.id/books?id=6GzU18bHfuAC&pg=PA219&dq=psiko
logi+stres&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=psikologi%20stres&f=
false.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. hlm
88-98.
Suryaningrum T. 2015. Pengaruh Beban Kerja dan dukungan Sosial terhadap
Stres Kerja pada Perawat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta [Skripsi].
Universitas Negeri Yogyakarta.
Susanti A. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian
Bogor (IPB) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Susanti A, Briawan D, Uripi V. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor (IPB). Jurnal Kedokteran Indonesia. 2(1): 80-91.
Tack J, Talley NJ, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, Malagelada JR, et al. 2006.
Functional Gastroduodenal Disorders. Gastroenterology. 130(5): 1466-79.
Tsai YC & Lu CH. 2012. Factors and Symptoms Associated with Work Stress
and Health-Promoting Lifestyles Among Hospital Staff: A Pilot Project in
Taiwan. BMC Health Services Research. 12:199.
Wade C & Tavris C. 2007. Psikologi Jilid 2. Edisi Ke-9. Jakarta: Erlangga. hlm:
285-92.
Yana D. 2015. Stres Kerja pada Perawat Instalasi Gawat Darurat di RSUD Pasar
Rebo Tahun 2014. Jurnal ARSI. 1(2):107–115.
Zverev YP. 2005. The Impact of Rotating Shift Work on Eating Patterns and Self-
Reported Health of Nurses in Malawi. Malawi Med Journal. 16(2): 39-39.