hubungan kepiting dan mangrove sebagai bio indikator kerusakan

13
POTENSI KEPITING, HUTAN MANGROVE DAN FUNGSINYA SEBAGAI BIOINDIKATOR DEGRADASI MANGROVE (STUDI KASUS DI HUTAN WISATA TRITIH CILACAP) 1. DR. ENDANG HILMI, SHUT, MSI 2 ABSTRACT Mangrove Ecosystem that grows in intertidal areas of coastal and eutariane zone, posseses high diversity of benthos habitat in tropics, generally provide good coonditions as feeding, spawning and nursery ground for lot of sea fauna. Therefore, this ecosystem is very dynamic, but it is very sensitive of enviroment intrusion. The impact of mangrove ecosssystem use such as conversion of lands and biotics component by human activity can decrease of ecological functions. The mangrove ecosystem has functions are (1) production functions, especially to fishery, forestry, plantation, agriculture, industry, minning and resetelment, (2) ecology function as nursery gound, feeding ground, and spawning ground, flora and fauna habitat. And (3) Physic functions, to minimalize effect of aberasion, intrusion, etc. The one of functions of mangrove ecosystem is habitat of mangrove crabs. The aim of this research is to know how relation between abundance of mangrove tress and population of mangrove crabs. The results of this research are (1) the tress dominace of mangrove forest are Rhizophora apiculata Bl Rhizophora mucronata Lamk Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk Avicennia marina (Forsk.) Vierh, with abundance are 103 tress – 298 tress (2) the populations of mangrove crabs are 13 individual – 39 individual, (3) the relation model between abundance of mangrove tress and population of mangrove crabs is Y= 8,535986337/(1- 0,002620491334*x) with R 2 = 0,9930731631. 1 Makalah untuk Seminar Nasional Udang dan Kepiting Unsoed tanggal 25 November 2006 2 Staf pengajar di Jurusan Perikanan PSPK Unsoed

Upload: endanghilmi

Post on 09-Jun-2015

1.350 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

POTENSI KEPITING, HUTAN MANGROVE DAN FUNGSINYA SEBAGAI BIOINDIKATOR DEGRADASI MANGROVE (STUDI KASUS

DI HUTAN WISATA TRITIH CILACAP)1.

DR. ENDANG HILMI, SHUT, MSI2

ABSTRACT

Mangrove Ecosystem that grows in intertidal areas of coastal and eutariane zone, posseses high diversity of benthos habitat in tropics, generally provide good coonditions as feeding, spawning and nursery ground for lot of sea fauna. Therefore, this ecosystem is very dynamic, but it is very sensitive of enviroment intrusion. The impact of mangrove ecosssystem use such as conversion of lands and biotics component by human activity can decrease of ecological functions.

The mangrove ecosystem has functions are (1) production functions, especially to fishery, forestry, plantation, agriculture, industry, minning and resetelment, (2) ecology function as nursery gound, feeding ground, and spawning ground, flora and fauna habitat. And (3) Physic functions, to minimalize effect of aberasion, intrusion, etc. The one of functions of mangrove ecosystem is habitat of mangrove crabs.

The aim of this research is to know how relation between abundance of mangrove tress and population of mangrove crabs.

The results of this research are (1) the tress dominace of mangrove forest are Rhizophora apiculata Bl Rhizophora mucronata Lamk Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk Avicennia marina (Forsk.) Vierh, with abundance are 103 tress – 298 tress (2) the populations of mangrove crabs are 13 individual – 39 individual, (3) the relation model between abundance of mangrove tress and population of mangrove crabs is Y= 8,535986337/(1- 0,002620491334*x) with R2 = 0,9930731631.

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan ekosistem peralihan antara komponen darat dan laut yang mempunyai banyak manfaat, dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologis di suatu perairan. Fungsi hutan mangrove dapat dibedakan menjadi (1) Fungsi ekologis, (2) Fungsi sosial ekonomi, (3) Fungsi fisik dan biotik. Menurut Dahuri (1996) dan Kusmana (1995) bahwa peran dan fungsi hutan mangrove adalah (1) Fungsi produksi, terutama untuk perikanan, kehutanan, perkebunan, pertanian, industri dan tambang serta permukiman, (2) Fungsi lindung terutama untuk pengaturan iklim pelindung fisik dan sumber hara, (3) Fungsi suaka alam terutama sebagai sumber plasmanutfah, nursery ground dan feeding ground bagi biota laut.

Sebagai lingkungan fisik, hutan mangrove berperan sebagai penahan ombak, penahan angin, penahan banjir, penetralisir pencemaran, perangkap sedimen, dan penahan intrusi air asin. Sebaliknya peranannya di dalam lingkungan biotik adalah sebagai habitat dan berkembangbiaknya berbagai macam

1 Makalah untuk Seminar Nasional Udang dan Kepiting Unsoed tanggal 25 November 20062 Staf pengajar di Jurusan Perikanan PSPK Unsoed

Page 2: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

organisme air, berbagai jenis biota air, burung serta berbagi jenis mamalia. Untuk potensi sosial ekonominya, hutan mangrove ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk menghasilkan produk yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat.

Hutan mangrove juga merupakan habitat lain mahluk hidup khususnya mahluk hidup yang hidup di sekitar daerah genangan air yang berada di bawah tegakan mangrove seperti ikan, kepiting, udang, kerang serta banyak lagi yang lainnya. Fungi human mangrove dalai unstuck Spawing ground, nursery ground, feeding ground dan shelter area dari biota perairan. Namun sangat disayangkan laju konversi hutan mangrove dari tahun 1977 sampai tahun 1990-an sebesar 4% pertahun. Faktor yang menyebabkannya adalah perubahan devisa negara dari sektor nonmigas untuk menunjang laju pembangunan.

Pada tahun 1983 saja hutan mangrove dikonversi menjadi pertambakan sebesar 420.00–840.000 ha (10–20%). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa permintaan terhadap hutan mangrove semakin meningkat, tidak hanya dari segi produk, tetapi juga lahannya sendiri. Permintaan terhadap lahan hutan mangrove lebih berpotensi merusak, termasuk kerusakan lingkungan pada lokasi tersebut terutama lingkungan biotiknya dan berdampak luas terhadap lingkungan sekitarnya sehingga mengganggu populasi mahluk hidup lainnya yang senantiasa hidup di daerah hutan mangrove.

B. PermasalahanBagaimana hubungan kerapatan pohon di hutan mangrove terhadap

populasi kepiting bakau (Scylla serrata)C. Hipotesis

Semakin tingkat kerapatan pohon mangrove maka populasi kepiting bakau (Scylla serrata) maka semakin besar atau banyak.D. Tujuan

Untuk mengetahui peranan dan hubungan antara kerapatan pohon mangrove terhadap populasi kepiting bakau (Scylla serrata).

METODE PENELITIANA. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di hutan mangrove Wana Wisata Tritih, BKPH Rawa Timur Cilacap, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, pada bulan Juni sampai Juli 2004.B. Teknik Penariakan Contoh

Menggunakan stratifikasi berdasarkan tingkat kerapatan pohon bakau. Pengambilan secara capture and recapture. Jumlah kelas kerapatan ada 3 (rapat, sedang, dan jarang). Setiap tingkat kerapatan dibuat petak contoh ukuran 20 x 20 m. C. Analisis Data1. Analisis kerapatan pohon

Analisis kerapatan pohon dilakukan dengan menghitung tingkat kerapatan per jenis dan kerapatan relatif.

2. Pendugaan Populasi Kepiting

Page 3: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

Analisisnya dilakukan dengan mengunakan metode capture and recapture, dimana populasi dari kepiting bakau dengan rumus sebagai berikut :

N =

Dimana :

N = besarnya populasi total.Mi = jumlah individu total hewan yang tertangkap periode ke i ditambah periode

sebelumnya (n1 + n2 + n3)ni = jumlah individu hewan yang tertangkap pada periode i.Ri = adalah jumlah hewan yang tertangkap kembali pada periode ke i.

Untuk menghitung kesalahan (error) metode capture–recapture dapat dilakukan dengan cara, menghitung kesalahan baku (standar error = SE)nya dari besarnya populasi. Yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

SE =

Dimana :k : adalah jumlah periode sampling.Mi : adalah jumlah total hewan yang tertanda. 3. Mengetahui Pola Penyebaran Populasi Kepiting

Analisis penyebaran populasi kepiting dilakukan dengan menggunakan sebaran poisoon.4. Membuat model hubungan antara tingkat kerapatan dengan populasi kepiting

Analisis hubungan antara tingkat kerapatan dengan potensi kepiting bakau (Scylla serrata) adalah

Y = f (x)

Dimana :Y = Kepiting bakau (Scylla serrata)x = Tingkat kerapatan

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KERAPATAN POHON DENGAN POLPULASI KEPITING

1. Kerapatan Pohona. Komunitas Dengan Tingkat Kerapatan Tinggi.

Potensi kerapatan pohon pada komunitas kerapatan tinggi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kerapatan dan Kerapatan Relatif Tiap Jenis Pada Komunitas Dengan Kerapatan Tinggi.

NO Jenis Nama Latin

Jumlah Individu (Pohon/ 0,12Ha)

Kerapatan(K)

Kerapatan Relatif (KR)

12

Bakau bandul Bakau kacang

Rhizophora mucronata LamkRhizophora apiculata Bl

171127

1425,001058,33

57,38 %42,62 %

Page 4: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

Jumlah 298 2483,33 100 %

Berdasarkan Tabel 1, pada komunitas kerapatan tinggi hanya ditumbuhi oleh jenis-jenis Rhizophora spp. Hal ini disebabkan titik pengamatan yang diambil adalah pada hutan tanaman. Tingkat kerapatan tinggi dimiliki oleh jenis Rhizophora mucronata Lamk diikuti oleh Rhizophora apiculata Bl, hal ini disebabkan oleh jumlah individu Rhizophora mucronata Lamk yang jauh lebih besar daripada Rhizophora apiculata Bl.

b. Komunitas Dengan Tingkat Kerapatan SedangPotensi kerapatan pohon pada komunitas kerapatan tinggi dapat dilihat

pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 pada komunitas kerapatan sedang ditumbuhi oleh bayak jenis atau bervariasi, karena titik pengamatan yang diambil adalah pada hutan alami. Tingkat kerapatan sedang dimiliki oleh jenis Rhizophora apiculata (Bl) diikuti oleh Rhizophora mucronata (Lamk), Avicennia marina (Forsk.) Vierh, Sonneratia alba Sm, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, Bruguiera sexangula (Lour.) Poir dan Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem jumlah individu Rhizophora apiculata (Bl) dan Rhizophora mucronata (Lamk) lebih besar dari jenis lainnya hal ini disebabkan oleh plot yang diambil masih berdekatan dengan hutan tanaman.

Tabel 2. Kerapatan dan Kerapatan Relatif Tiap Jenis Pada Komunitas Dengan Kerapatan Sedang.

NO Jenis Nama Latin

Jumlah Individu (Pohon/ 0,12Ha)

Kerapatan(K)

Kerapatan Relatif (KR)

1234567

Bakau kacang Bakau bandul Api-api Bogem Tancang Tancang sukun Nyirih

Rhizophora apiculata BlRhizophora mucronata LamkAvicennia marina (Forsk.) VierhSonneratia alba Sm. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk Bruguiera sexangula (Lour.) Poir Xylocarpus moluccensis Lamk.

6937259651

575,00308,33208,3375,0050,0041,678,33

45,39 %24,34 %16,45 %5,92 %3,95 %3,29%0,66 %

Jumlah 152 1266,66 100 %

c. Komunitas Dengan Tingkat Kerapatan Rendah.Potensi kerapatan pohon pada komunitas kerapatan tinggi dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Kerapatan dan Kerapatan Relatif Tiap Jenis Pada Komunitas Dengan Kerapatan Rendah.

NO Jenis Nama Latin

Jumlah Individu (Pohon/ 0,12Ha)

Kerapatan(K)

Kerapatan Relatif (KR)

1234

Bakau kacang Bakau bandul Tancang Api-api

Rhizophora apiculata Bl Rhizophora mucronata Lamk Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk Avicennia marina (Forsk.) Vierh

4329229

358,33241,67183,3375,00

41,75 %28,15 %21,36 %8,74 %

Page 5: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

Jumlah 103 858,33 100 %

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada komunitas kerapatan rendah ditumbuhi oleh jenis yang masih cukup banyak, karena titik pengamatan yang diambil adalah pada hutan alami. Tingkat kerapatan rendah dimiliki oleh jenis Rhizophora apiculata (Bl) diikuti oleh Rhizophora mucronata (Lamk), Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk dan Avicennia marina (Forsk.) Vierh, jumlah individu Rhizophora apiculata (Bl) lebih besar dari jenis lainnya hal ini disebabkan oleh plot yang diambil masih berdekatan dengan hutan tanaman serta banyaknya pencurian phon yang berdiameter cukup besar seperti jenis Avicennia marina (Forsk.) Vierh oeleh masyarakat sekitar untuk bahan bangunan dan kayu bakar.

Dari semua hasil analisis jumlah total jenis dan jumlah total individu jenis, dari tiap-tiap tingkat kerapatan yang telah diperoleh data seperti pada Tabel 4, Gambar 1 dan 2.

Tabel 4. Jumlah Seluruh Jenis, Individu dan Kerapatan Dari Masing-masing Komunitas Dengan Tingkat Kerapatan Yang Berbeda.

Komunitas Jumlah jenis

Jumlah Individu Kerapatan

Kerapatan Tinggi 2 298 Batang 2483,33Kerapatan Sedang 7 152 Batang 1266,66Kerapatan Rendah 4 103 Batang 858,33

050

100150200250300

Jum

lah

ind

ivid

u

Tinggi Sedang Rendah

Tingkat Kerapatan

Gambar 1. Diagram Jumlah Individu Seluruh Jenis di Masing-masing Tingkat Kerapatan.

Dari hasil analisis data jumlah individu dari seluruh jenis, pada tingkat kerapatan tinggi (komunitas I) jumlah individu paling banyak atau tertinggi yaitu sebayak 298 batang dan disusul oleh tingkat kerapatan sedang (komunitas II) yaitu sebayak 152 batang dan pada tingkat kerapatan rendah (komunitas III) yaitu sebanyak 103 batang.

Page 6: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

0

2

4

6

8

Jum

lah

Je

nis

Tinggi Sedang Rendah

Tingkat Kerapatan

Gambar 2. Diagram Jumlah Jenis di Masing-masing Tingkat Kerapatan.

Dari hasil analisis data jumlah jenis tertinggi terdapat pada Tingkat kerapatan sedang (komunitas II) yaitu sebanyak 7 jenis, disusul tingkat kerapatan rendah (komunitas III) yaitu sebayak 5 jenis dan pada kerapatan tinggi (komunitas I) yaitu sebanyak 2 jenis. Hal ini disebabkan karena penyebaran dari suatu jenis lain sangat rendah serta pada hutan yang sudah tua kebanyakan didominasi oleh jenis tertentu saja dan pada hutan mangrove yang tingkat kerapatan tinggi ruang tumbuh dari jenis baru sangat sedikit jadi jenis baru tersebut akan terkalahkan oleh jenis yang dominan dan pada hutan mangrove tegakan (pohon) yang pertama kali tumbuh adalah jenis pohon Avicennia spp dan munculah jenis lainnya seperti Sonneratia spp, Bruguiera, Xylocarpus spp dan jenis Rhizophora spp. Jenis Rhizophora spp inilah yang akan mendoninasi suatu hutan mangrove.

2. Populasi Kepitinga. Potensi JumlahKomunitas I

Besarnya populasi kepiting bakau yang terdapat pada tingkat kerapatan pohon tinggi (komunitas I) dapat diduga yaitu sebanyak 39 ekor dengan tingkat kesalahan bakunya sebesar 7 dengan selang kepercayaan besarnya populasinya adalah berada pada interval 25 dan 53 ekor, sedangkan kepadatan populasi kepiting bakau pada tingkat kerapatan tinggi (komunitas I) tersebut sebesar 325 ekor. 5.4.2. Komunitas II

Besarnya populasi kepiting bakau yang terdapat pada tingkat kerapatan pohon sedang (komunitas II) dapat diduga yaitu sebanyak 13 ekor dengan tingkat kesalahan bakunya sebesar 4 dengan selang kepercayaan besarnya populasinya adalah berada pada interval 5 dan 21 ekor, sedangkan kepadatan populasi kepiting bakau pada tingkat kerapatan sedang (komunitas II) tersebut sebesar 108 ekor. 5.4.3. Komunitas III

Besarnya populasi kepiting bakau yang terdapat pada tingkat kerapatan pohon tinggi (komunitas I) dapat diduga yaitu sebanyak 13 ekor dengan tingkat kesalahan bakunya sebesar 5 dengan selang kepercayaan besarnya populasinya adalah berada pada interval 3 dan 23 ekor, sedangkan kepadatan populasi kepiting bakau pada tingkat kerapatan rendah (komunitas III) tersebut sebesar 108 ekor.

Hasil dari alalisis kepiting bakau yang ada pada tiap-tiap plot dan pada tingkat kerapatan yang berbeda tertera pada Tabel 5.

Page 7: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

Dari hasil analisis data diatas kepadatan populasi dari kepiting bakau yang tertinggi terdapat pada tingkat kerapatan tinggi yaitu tiga kali lebih tinggi dari kerapatan sedang dan rendah yaitu sebesar 325 dan disusul oleh tingkat kerapatan sedang dan rendah dengan hasil 108 ekor. Hal ini diduga bahwa kepiting bakau sangat menyukai daerah kerapatan tinggi dengan jenis Rhizophora spp dikareanakan perakaran dari jenis ini sangat rapat (akar tunjang) serta diduga pula disebabkan oleh kandungan lumpur yang ada di bawah tegakan sangat sedikit dan tanahnya agak keras yang di karenakan oleh bayaknya serabut dari akar Rhizophora spp tersebut sedangkan kepiting bakau ini hidupnya kebanyakan di dalam lubang, mereka menggali lubang untuk dijadikan tempat tinggalnya pada waktu air laut surut dan pada waktu air laut pasang mereka keluar untuk mencari makanan, dari prilaku hudupnya itulah kepiting bakau memerlukan keadaan lingkungan yang menjamin mereka bertahan hidup dan berkembang biak serta di duga pula dengan rapatnya hutan mangrove maka banyak pula serasah yang jatuh di lantai hutan dan sebagai mana kepiting bakau ini adalah berperan sebagai perombak dari serasah tersebut agar dapat terurai oleh jasat renik untuk diuraikan menjadi humus ataupun hara dan juga semakin banyak serasah semakin banyak pula bahan makanan yang terkandung di areal tersebut.

Tabel 5. Hasil Pendugaan Besarnya Populasi, Standar Error, Interval dan Kepadatan Kepiting Bakau Pada Tiap-tiap Tingkat Kerapatan.

Tingkat Komunitas

PlotBesarnya Populasi

(N)

Standar Error (SE)

IntervalKepadatan

(D)

TinggiIVVVI

39 7 25 dan 53 325

SedangIIIIX

13 4 5 dan 21 108

RendahIIIVIIVIII

13 5 3 dan 23 108

0

100

200

300

400

Ke

pa

da

tan

Po

pu

las

i

Tinggi Sedang Rendah

Tingkat Kerapatan

Gambar 3. Diagram Kepadatan Populasi Kepiting Bakau di Masing-masing Tingkat Kerapatan.

b. Penyebaran populasi

Page 8: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

Pola penyebaran dari kepiting bakau pada hutan mangrove Wana Wisata Tritih dapat dilihat dari Gambar 4. Dari Gambar 4 dapat diduga bahwa pola penyebaran kepiting bakau pada hutan mangrove Taman Wisata Tritih adalah mengelompok, sebab perbedaan pola distribusi beberapa populasi yang memiliki nilai yang sama yaitu 8,7 individu/plot. Proporsi observasi pada p(0), p(1), p(2), p(3), p(6), p(7), p(8), p(9), p(10), p(12), dan p(16), hasilnya lebih besar dari p(0), p(1), p(2), p(3), p(6), p(7), p(8), p(9), p(10), p(12), dan p(16) hasil dari distribusi poisson.

Gambar 4. Grafik Pola Penyebaran Kepiting Bakau Hasil Observasi dan Poisson.

3. Model Hubungan antara kerapatan pohon dengan populasi kepitingModel hubungan antara tingkat kerapatan (variabel X) dengan populasi

kepiting (Y) adalah sebagai berikut :Y= 8,535986337/(1- 0,002620491334*x)R2 = 0,9930731631

Diagram hasil analisis data tentang hubungan antara tingkat kerapatan pohon dengan populasi kepiting bakau pada areal Wana Wisata Tritih, Cilacap Jawa Tengah adalah sebagai berikut.

Gambar 5. Grafik Hubungan Antara Tingkat Kerapatan Pohon Dengan Populasi Kepiting Bakau di Wana Waisata Tritih.

Dilihat dari kondisi di lapangan untuk hutan mangrove Wana Wisata Tritih penutupan tajuk bisa dikatakan cukup rapat, ini dapat dilihat dari bentuk fisik tegakan pohon dengan rata–rata diameter cukup besar dari jenis Rhizophora spp

Page 9: Hubungan Kepiting Dan Mangrove Sebagai Bio Indikator Kerusakan

dan Avicennia spp. Sehingga tercipta tingkat kerapatan yang cukup tinggi di areal hutan mangrove Taman Wisata Tritih dan dimana hal ini dapat dijadikan tempat kehidupan bagi kepiting bakau dan untuk berkembang biak sehingga pada tingkat kerapatan pohon yang tinggi dari suatu hutan mangrove akan terdapat populasi kepiting yang tinggi pula.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara terpadu. Paradnya Paramita. Jakarta.

Karsy, A. 1996. Budidaya kepiting bakau dan Biologi Ringkas. Bhratara. Jakarta.

Hasan, S. 2006. Kepiting Familia Grapsidae dan Ocypopidae sebagai Bio Indikator Degradasi Mangrove : Studi Kasus di Tamanan Wisata Air Payau Tritih Cilacap. Thesis. Program Pascasarjana Unsoed.

Hilmi, E. Dan Kusmana. 1999. Ekosistem Hutan Mangrove Antara Karakteristik, Teknik Sampling dan Analisis Sistem. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Hilmi, E. 1998. Penentuan Lebar Optimal Jalur Hijau Mangrove Melalui Pendekatan Sistem (studi Kasus Muara Angke Jakarta). Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Nybaken, J.W. 1986. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia. Jakarta